Ceritasilat Novel Online

Drama Dari Krakatau 3

Drama Dari Krakatau Karya Sinng In Kiok Bagian 3


"Rasanya saya masih inget samar-samar." "Bagimana kaadaan di itu waktu?"
"Gelap peteng, turun ujan abu, dan suara guntur samber-menyamber hingga membikin tuli kuping." "Itu waktu ibu ada di mana?"
Istri Pandita bengong sabentaran, komudian menjawab: "Sudah lupa".
78 "Coba pikir-pikir, apakah itu waktu ibu ada di tenga sawah, atawa di atas satu prau?" "Bukan."
"Kalu bukan, ibu ada di mana, apakah brangkali lagi naek dokar?"
"Ya,ya, rasanya naek dokar." "Bersama siapa ibu naek dokar." "Itu saya sudah lupa."
"Ibu naek dokar hendak pergi ka mana?"
"Rasanya hendak pergi menyingkir, sebab takut gunung pecah."
"Siapa yang suru menyingkir?" "Ibu punya orang tua." "Orang tua lelaki atawa prampuan?" "Dua-dua."
"Kalu begitu ibu, toch bisa inget yang ibu ada punya orang tua lelaki dan prampuan."
"Ya, sekarang saya inget, saya punya pikiran mulai jadi terangan."
"Di manakah rumahnya itu orang tua?" "Itu saya sudah lupa."
"Apakah di atas gunung atawa di tenga utan?"
"Oh, bukan, rasanya di pinggir laut, sebab saya sring ambil kiong di pinggir laut bersama saya punya sudara."
"Ah, sekarang ibu inget yang ibu ada punya sudara. Itu sudara lelaki atawa prampuan?" "Laki-laki." "Siapakah namanya?"
Kombali istri pandita bengong berpikir, akhirnya ia menyaut: "Lupa".
"Tida apa," saut Raden Moelia. "Kumpulken ibu punya pikiran nanti sabentar ibu bisa inget semua. Sekarang saya mau tanya lagi: ibu punya orang tua itu kerjanya apa?" "Saya sudah lupa."
"Apakah ia jadi tukang prau, tukang grobak atawa paman tani?"
"Oh, bukan, itu saya tau betul, bukan!" "Apakah rumahnya besar atawa kecil?" "Rasanya rumahnya besar."
"Apakah itu rumah adanya di alun-alun dan deket masigit?"
"Betul, saya inget betul di deket masigit dan di depannya ada alun-alun."
"Apakah tida ada banyak opas politie dan jurutulis atawa mandoor yang sring dateng di situ?" "Ya, rasanya begitu."
"Bukankah ibu punya ayah saorang berpangkat?" "Orang panggil juragan. Ya, saya inget, saya punya ayah ada pegang pangkat dan dihormat oleh orang banyak."
"Waktu gunung Krakatau ampir meletus, ibu punya ayah suru ibu menyingkir dengen naek dokar bukan?" "Ya, betul." "Ibu punya ayah dan bunda ada turut sama-sama di itu dokar, sebab iaorang juga hendak turut lari, bukan?" "Rasanya tida, ibu dan ayah tinggal di rumah." "Siapa yang turut sama-sama di dalem dokar?" "Saya punya sudara." "Sudara prampuan?" "Bukan, sudara lelaki." "Yang bernama Hasan?" "Ya, betul, namanya Hasan."
Bupati Rangkas-gombong lantes berdiri menghampiri itu istri pandita sambil berkata: "Hasan" Hasan kau punya sudara?"
"Sabar, rama, jangan ribut dulu!" berkata Raden Moelia sambil tuntun ayahnya aken disuru berduduk lagi di korsi. Sasudahnya membujuk ayahnya supaya tinggal sabar. Ia lanjutken pula pepreksaannya, dengen majuken ini pertanyaan:
"Tida boleh jadi dua anak-anak naek dokar dengen tida ada yang anter. Siapakah orang yang turut sama-sama?"
"Itu betul-betul saya sudah lupa, rasanya saja bujang prampuan."
"Itu dokar menuju ka mana?"
"Saya tida tau, cumah saya inget aken bawa kita-orang menyingkir ka tempat yang jau dari pinggir laut."
"Sampe brapa jau itu dokar anter ibu dan ibu punya sudara?"
"Rasanya itu dokar kudanya kabur di satenga jalan, saya dan
babu Satimah jatuh terlempar." "Siapa itu babu Satimah?"
"Itu bujang prampuan yang anter...oah, baru sekarangsaya
inget namanya!" "Apa komudian sudah jadi?"
"Saya tida inget lagi, cumah saya tau saya ada di atas gunung bersama satu orang tua yang amat baek, yang saya panggil bapa, yang gendong saya masuk kaluar utan dan akhirnya ajak saya berdiam dalem rumahnya di atas gunung dan satiap hari saya memaen dengen iapunya anak yang sekarang jadi saya punya suami."
"Waktu ibu dengen Hasan dan babu Satimah hendak brangkat lari dengen naek dokar, apakah tida ada bawa pakean atawa barang-barang makanan?"
"Itu saya sudah lupa, tapi saya rasa musti ada."
"Apakah ibu punya orang tua tida ada pesan atawa kasih apa-apa?"
"Saya tida inget lagi."
"Apakah ia tida ada kasih pake gelang atawa rante?"
"Oh. Ya, ada! Ibu dan ayah ada kasih pake satu gelang dan satu rante pada saya, dan satu gelang dan satu rante pada Hasan, dengen dipesan, jaga baek jangan sampe ilang sebab itu
80 79 ada barang pusaka. Saya masih inget itu pesanan, maka sampe sekarang saya jaga betul itu gelang dan rante yang ada dipake oleh Retna."
Raden Moelia tuntun sudaranya ka depan istri Pandita, lalu kasih liat gelang dan rante yang dipake oleh Roekmini: "Apakah ini dia itu gelang dan rante?" ia menanya.
"Betul," saut istri pandita. "Retna, kau tida boleh kasih laen orang pake, sebab itu cumah buat kau sendiri," penyo-mell7 istri pandita pada anaknya.
"Mari sini, Retna, kasih liat kau punya," kata Moelia.
Retna Sari kasih liat pada ibunya itu gelang dan rante yang masih menempel di tangan dan lehernya.
"Heran sekali," kata istri pandita, "bagaimana ini barang pusaka bisa ada serba dua yang begitu sama!"
"Itulah ada dari sebab yang Roekmini pake ada punyanya Hasan, ibu punya sudara!" "Hasan" Di manakah adanya Hasan?"
Raden Adipati Hasan di Ningrat tida bisa tahan hatinya lagi. Ia berbangkit dan pelok sudara prampuannya itu sambil menangis dan berkata:
"Oh, Soeryati! Soeryati! Sudaraku yang sudah begitu lama terhilang! Terpujilah kamurahan Tuhan yang ini hari sudah bikin kita-orang bisa bertemu kombali!"
XIII Resianya itu Gowa dari Gunung Ciwalirang
Pada hari Senen tanggal 27 Augustus taon 1883 jam 11 pagi, tatkala antero penduduk di Bantam lagi sedeng ka-bingungan dan katakutan satenga mati lantaran itu perletusan heibat dari Krakatau yang membikin udara jadi gelap petang hingga siang hari berobah jadi seperti malem, di jalanan besar deket desa Cidangur, antara Waringin dan Cening, ada berjalan saorang lelaki kira berusia 45 taon, badannya tinggi besar, romannya gagah, aer mukanya angker dengen disertaken jembros yang item dan gomplok, pake baju warna abu-abu yang panjang seperti jubah, celana dari kaen biru, kepalanya ditutupin oleh satu tudung lebar, dan tangannya yang kanan memegang tungket yang dipanggul di pundaknya, di ujung mana ada satu buntelan besar yang
berisi pakean dan sedikit barang makanan. Tangannya yang kiri ada menuntun saorang anak lelaki yang berusia kira limablas
81 taon, yang pegangin tangannya itu orang tua dengen keras dan badannya gumeter serta rupanya seperti hendak menangis lantaran katakutan. Maskipun kaadaan di itu waktu ada luar biasa heibatnya hingga membikin kuatir dan ngeri pada sesuatu orang yang mengadepin, tapi itu orang tua punya aer muka tida sekali mengunjuken takut, hanya tinggal sabar. Salaennya dari iapunya tindakan dibikin lebih cepet aken menuju ka jurusan Wetan, tida ada tanda yang menunjukken ia merasa kuatir, cumah bibirnya ada bergerak-gerak seperti orang yang lagi berdowa dengen perlahan, dan tempo-tempo ia ucapken satu dua perkataan pada itu anak yang sedeng ketakutan aken besarken hatinya.
Di itu kutika, maskipun sudah jam n pagi, ada sanget gelap seperti juga waktu tenga malem lantaran matahari tertutup oleh asep dan abu yang dimuntahken oleh Krakatau, sedeng itu abu alus yang turun ka bumi dengen begitu tebel membikin orang yang berjalan maski membawa lentera atawa obor, tida liat dengen nyata apa yang ada dalem duapulu meter di saputernya. Maski begitu itu lelaki berjalan terus dengen tindakan tetep mengikutin sapanjang jalanan raja, dan sabagi penyuluh jalan ia cumah gunaken saja itu cahaya kilap yang sabentar-bentar berkrelepl8 di sablah Kulon di mana ada pernanya itu gunung api yang sedeng meletus.
Tatkala iaorang berjalan sampe di mana satu jalanan cagak,19 itu lelaki ampir jato tersumpet20 lantaran kakinya tersandung apa-apa yang melintang di tenga jalan raya. Ia merandek,21 lalu, sulut satu geretan, dan dapet liat di hadepannya ada satu anak prampuan kira berusia lima taon sedeng terlentang dengen muka dan kepalanya penuh darali dan merintih dengen perlahan. Ia mengawasi ka tempat-tempat di saputernya, tapi tida dapet liat sabiji manusia.
"Kasian ini anak," ia berkata sendiri-sendiri, "rupanya saja ia sudah dapet cilaka terlindes kandaraan atawa terinjek kuda. Tiada katauan siapa ada orang tuanya, tapi dari rupa dan pakeannya sudah terang ia bukan anak kampung, hanya musti ada turunan menak atawa orang hartawan, kerna itu gelang emas dan rante perak yang ia pake, begitu pun anting anting dari emas, menunjukken ia ada anaknya saorang mampu. Ini anak tida boleh dibiarken terlentang di sini, kerna sabentar ia bisa terlindes pula oleh laen kandaraan atawa terinjek oleh orang-orang yang lari. Laen dari itu, iapunya luka ada begitu heibat, jidatnya peca, kaki dan tangannya besot di sana sini, hingga perlu musti lantes ditulung supaya ia jangan binasa lantaran kaluarken banyak darah."
Abis bilang begitu, ia lalu pondong itu anak ka pinggir jalan, buka bungkusannya, ambil sapotong kaen yang lantes
82 dirobek buat iket itu anak punya jidat yang luka, komudian lantes dipondong, sedeng iapunya bungkusan dan tungket ia srahken aken dibawa oleh itu anak lelaki.
"Marin kita-orang lekas brangkat, Ujang," katanya pada itu anak, "di ini tempat ada berbahaya kerna masih dekel pada lautan."
Abis bilang begitu, sambil pondong itu anak prampuan yang luka dan tida brentinya merintih-rintih, itu orang tua dan anaknya berjalan dengen lekas mengikuti jalan besar ka lor-wetan yang menerus ka kakinya gunung Aseupan. Tida antara lama iaorang sudah liwatin kampung Sukacai, Talun Sukaraja, dan akhirnya sampe di Curugsangiang yang letak nya sedikit tinggi kerna pernanya di kaki Gunung Aseupan, dimana ia brenti di satu warung aken ilangken lelahnya dan bli juga barang makanan. Di situ ia preksa lebih terliti itu anak prampuan, yang lukanya dicuci dengen aer, lalu ditempelin oleh daon sirih yang sudah ditumbuk alus, komudian dibung-kus pula dengen rapih.
Itu anak sekarang bisa menangis, kerna rupanya ia sudah tersedar betul dari pangsannya, tapi segala pertanyaan ia tida mau menyaut, cumah bisa meratap dan sebut-sebut iapunya ibu yang tida katauan siapa adanya.
Sasudanyanya mengaso kira satu jam, itu lelaki terusken perjalanannya ka jurusan Mandalawangi, tapi tinggal lagi satu pai dari itu desa, ia membiluk ka satu jalanan kecil yang cumah bisa digunaken oleh orang yang berjalan kaki atawa naek kuda, yang menuju ka jurusan lor.
Di itu waktu gemuruhnya suara perletusan dari Krakatau sudah banyak kurangan. Udara pun tida begitu gelap seperti kutika jam 11 pagi, hingga maskipun itu waktu sudah jam 4 sore, bumi ada diterangi oleh cahaya remeng-remeng seperti waktu magrib. Itu lelaki berjalan terus di itu jalanan gunung dengen meliwatin kampung kadupandak dan Pasilihan, komudian membiluk pula ka jurusan Kulon, dan akhirnya ia sampe di kampung Cikupa yang pernanya di lamping wetan dari Gunung Ciwalirang.
Itu kampung Cikupa ada terdiri dari ampat bua rumah atep dari orang tani yang idup dengen menggarap tanah-tanah kurus di lamping gunung yang ditanemin padi huma. Hasil yang laen cumah dari memotong kayu dan membikin areng. Tatkala itu lelaki dengen membawa itu dua anak dateng di itu kampung, penduduknya sedeng ada dalem katakutan sanget, kerna mengira, lantaran meletusnya Krakatau, sekarang sudah sampe akhir jeman yaitu dina-maken lebur kiamat. Iaorang semua jadi sanget bergirang tatkala meliat datengnya itu tetamu, yang rupanya ada jadi iaorang punya kenalan lama. Dengen buru-buru
marika menyambut dengen menyembah aken unjuk hormatnya, sedeng bebrapa orang prampuan kasih kaluar tiker bersih yang lalu digelar di bale-bale, sedeng bebrapa orang lagi pergi ka dapur aken masak aer buat seduh kopi.
"Kita-orang tiada kira embah aken dateng di ini hari," kata satu penduduk yang paling tua, "oh, dalem ini bebrapa hari kita merasa katakutan sanget oleh itu suara guntur yang tida brentinya berbunyi siang dan malem di jurusan Kulon, atau dari mana datengnya. Bagimana embah rasa, apakah tida aken kejadian apa-apa" Apakah ini dunia tida jadi kiamat" Tadi tengahari matahari telah linyap, bumi jadi gelap petang, seperti juga di waktu malem. Saumur idup saya blon perna dapetin kaadaan seperti sekarang."
Itu lelaki yang baru dateng, yang dibahasaken Embah, berkata dengen tersenyum:
"Trausah kuatir, di ini tempat tida nanti ada bahaya apa-apa. Yang berbunyi seperti guntur ada itu gunung api di pulo Krakatau yang pernanya di tengah laut. Penduduk yang tinggal di pasisir, seperti Waringin, Anyer dan laen-laen tempat boleh jadi aken katimpah bincana besar kalu aer limpas22 ka darat, tapi kita-orang yang tinggal di atas gunung tida usah takut apa-apa."
"Tapi embah, " kata pula itu orang desa, "di atas puncak ini gunung Ciwalirang pun ada kaliatan kaluar asep dan tempo-tempo kadengeran suara gemuruh maskupun tida sabrapa keras."
"Apakah betul?" tanya itu "embah" dengen rupa terkejut, mukanya pucet dan badannya kaliatan gumeter. Suara gemuruh yang begitu heibat dari meletusnya Krakatau, dan bumi yang menjadi gelap petang tertutup oleh asep dan abu, tidamembikin ia jadi begitu kaget, kuatir dan bingung seperti waktu mendenger ceritanya itu orang dusun.
"Memang betul," menyaut bebrapa orang dusun dengen berbareng, "itu suara gemuruh seperti bunyinya gluduk di tempat jau, berikut dengen kaluarnya asep yang bau walirang, sudah lama kita-orang sring saksiken dan denger, yang jadi lebih tegas pula kalu di waktu malem." "Sadari kapan kau denger itu suara?"
"Kira-kira tiga minggu yang lalu, pada sasudahnya turun ujan besar berikut gempah bumi yang membikin banyak tanah-tanah di lamping23 gunung jadi gugur dan batu-batu karang merosot turun."
"Kalu begitu, biarlah nanti besok aku naek ka atas puncak aken pergi preksa."
"Ya, kita-orang harep embah punya pertulungan buat mintain pada jin penunggu dari ini gunung dan begitu pun
84 83 kita-orang punya karuhun-karuhun,24 aken lindungken kita-orang semua dari bahaya."
"Baeklah, itu perkara kau jangan kuatir, aku nanti coba apa yang aku bisa aken pelihara kau-orang semua punya kaslametan. Sekarang aku minta kau sediaken makanan dan satu kamar aken kita-orang menginep, sebab aku ada bawa, salaennya anakku sendiri, ini satu anak prampuan yang sakit dan dapet luka keras, yang musti dirawat dengen terliti."
Itu orang-orang desa lalu bikin bersih iaorang punya kamar yang paling baek dengen disediaken kasur, tiker, dan bantal salengkepnya. Itu embah lalu bawa itu anak prampuan yang luka ka dalem itu kamar aken dikasih tidur, sedeng ia sendiri duduk bersila di sablahnya, badannya mengadepin ka jurusan puncak gunung Ciwalirang, lalu berdowa dengen perlahan, sampe hari sudah jadi malem betul-betul.
Pada besok paginya, itu anak prampuan kaliatan sudah mulai seger. Ia mau minum aer dan dahar satu dua potong pisang direbus. Itu embah mulai tanya kombali padanya aken preksa asal-usulnya, tapi ia tida dapet banyak katerangan, cumah itu anak bisa bilang ia sendiri punya nama Jati atawa "Neng Jati", sudaranya nama Hasan, iapunya bujang prampuan nama Satimah, anjingnya nama Kiloeng, ibu-bapanya ada di Waringin, tapi siapa namanya dan apa pekerjaannya itu anak tida bisa bilang, cumah ia tau ibunya orang biasa panggil "N'den" dan ayahnya banyak orang panggil "Agan". Ia bersama sudaranya lagi naek dokar aken pergi ka rumahnya iapunya aki, tatkala berbunyi suara gledek sanget keras hingga ia jato dari itu dokar dan tida inget lagi apa yang kajadian lebih j au.
Dari ini semua katerangan, itu Embah jadi dapet tau, ini anak prampuan betul ada anaknya satu priyaie. Ia pikir, nanti kalu pakerjaannya di gunung Ciwalirang sudah selese, ia hendak pergi ka Waringin aken cari tau siapa adanya ibu bapa dari itu anak prampuan bernama "Jati".
Dan pembaca tentu bisa lantes duga, itu anak bukan laen adalah dari Soeryati anaknya Wedana Waringin yang telah linyap terlempar dari dalem dokar waktu kudanya kabur lantaran kaget. Itu embah yang jadi penulung bukan laen dari Pandita Asheka, sedeng itu anak lelaki ada iapunya putra sendiri yang komudian terkenal sabagi Pandita Noesa Brama.
Pada besok paginya, di tanggal 28 Augustus 1883, bekerjanya Krakatau sudah banyak kendoran. Abu alus masih terus jato ka bumi. Langit tinggal mendung dan matahari tida kaliatan, tapi itu asep dan abu tida bikin siang hari berobah menjadi malem, cumah udara tinggal teduh seperti di waktu ampir magrib.
Pandita Asheka, begitu lekas meliat ada cukup terang aken orang jalan ka luar, lalu ajak putranya, yang ia biasa panggil Oejang, aken pergi ka atas puncak gunung Ciwalirang, dengen membawa satu golok, satu tungket dan satu bungkusan kecil yang berisi areng, menyan, satu cendana, rupa-rupa kembang dan bebrapa potong lilin serta satu flesch kecil berisi minyak tanah. Penduduk desa dilarang buat turut, kerna saban kalih pergi ka atas puncak, ia selamanya berjalan sendirian atawa berdua dengen putranya. Inilah bukan buat pertama kalih ia dateng di itu tempat. Lebih dulu dari itu, pada satiap taon, malah sadari tatkala Bantam Kidul masih utan melulu kerna penduduknya blon brapa banyak, itu pandita, begitu pun iapunya ayah dan kake, sring kunjungin ini puncak gunung dengen diam-diam.
Jalan buat naek ka atas puncak bukannya gampang, kerna musti memanjat batu-batu karang yang amat tebing, penuh dengen gombolan dan oyot-oyot.109 Itu golok yang dibawa ternyata amat perlu buat membabat segala tetum-buan yang menghalangin jalan. Ampir dua jam lamanya itu ayah dan anak bergelut aken naek ka atas. Akhirnya iaorang bisa sampe ka sapotong tanah rata yang terletak di bawah batu-batu karang besar, di mana blakangan ada terletak itu pondok yang terkenal dari Pandita Noesa Brama.
Tapi di itu waktu disitu tida ada apa-apa, cumah penuh dengen gombolan dan rumput alang-alang melulu. Maski begitu, kalu orang panjat bebrapa batu karang yang terletak di itu lapangan, orang lantes bisa liat itu pemandangan indah dari Selat Sunda dengen tempat-tempat di saputernya.
Tapi Pandita Asheka tida suka ilangken tempo aken saksiken itu semua kaindahan yang terbeber di bawah kakinya. Hatinya kaliatan merasa sibuk dan kuatir dengen itu kabar yang ia denger kemaren dari penduduk Cikupa. Begitu sampe di itu lapangan, lantes ia mulai merobos masuk ka dalem itu tempat growong yang terapit oleh bukit-bukit karang, yang macemnya seperti gowa, di mana ada penuh akar-akar dan pepuhunan yang merambat, hingga kaliatan-nya semak sekali. Itu pandita dengen anaknya lalu berjalan terus sampe ka ujung itu growongan di mana ada kaliatan mengalir aer yang berbau walirang, yang kaluar dari bawah satu batu yang besarnya kira satenga meter pesegi dan tertutup oleh lumut dan puhun-puhunan kecil.
Di ini tempat itu ayah dan anak lalu gunaken tungket dan goloknya aken korek tanah di sablahnya itu batu. Bebrapa batu kecil yang jadi sabagi ganjelan sudah dikasih kaluar. Komudian dengen tida banyak susah iaorang iserken itu batu
86 85 besar yang ternyata bangunnya ada ceper seperti jubin, dan lantes kaliatan satu lobang yang panjang dan dalem.
Itu pandita lalu sulut sapotong lilin dan merangkang masuk ka dalem itu lobang yang saanteronya ada dari batu karang melulu, dengen diturut oleh anaknya. Samingkin ka dalem itu lobang jadi bertambah besar. Sasudahnya merangkang berbulak-bilukllO kira sapulu meter jaunya, marika sampe di satu lobang yang besar di mana orang bisa berjalan dengen berdiri. Tapi itu jalanan tida terlalu gampang, kerna amat ciut. Di sablah kanan ada batu karang besar seperti tembok sedeng di kirinya ada gawir yang amat dalem hingga tida kaliatan dasarnya di mana kadengeran suara aer mengalir. Bebrapa ratus kampretlll ada terbang berseliweran. Jauh di atas kapalanya ada kaliatan sinar terang dari renggang-rengganganll2 batu.
Sasudah berjalan sepanjang itu gawir kira dua-pulu meter jaunya, iaorang sampe di satu tempat yang lebar, di
Oyot = akar Berbulak-biluk = berkelok-kelok.
Kampret = kelelawar kecil pemakan serangga.
Renggang-renggangan = sela-sela.
mana ada terletak batu-batu karang malang melintang. Pandita Asheka jadi sangat kaget meliat ini kaadaan, dan lalu berkata pada anaknya:
"Cobalah kau liat, Oejang, ini batu-batu sudah gugur dari sablah atas, boleh jadi lantaran tergoyang lindu. Aku kuatir sekali kita punya tempat yang suci sudah dapet karusakan."
Dengen banyak susah iaorang melangkahi itu batu-batu aken terusken perjalanannya. Akhirnya marika sampe ka ujung dari itu gowa yang macemnya seperti kamar, kira anem meter pesegi lebarnya. Di sampingnya itu kamar ada satu lobang besar yang macemnya seperti sumur, amat gelap dan dalem, di mana kadengeran suara gemuruh seperti aer mendidih dan kaluar asap yang berbau walirang. Tapi itu pandita tida ambil perduli pada itu sumur yang menimbulken suara ngeri di dalem itu gowa, kerna maranya ada mengawasi ka satu pojok dari itu kamar yang penuh dengen batu-batu yang tersiar malang melintang seperti gugur dari atas.
"Cilaka!" ia berkata dengen suara ketakutan: "Oh, Sanghiang Betara Wishnu, Sri Maha Dewa, ampunilah dan tulunglah pada kami-orang dan semua manusia yang berdosa!"
87 Abis bilang begitu, ia berlari ka pojok dari itu kamar, lalu angkat dan gulingin bebrapa potong batu karang yang bersusun tindi dengen dibantu oleh anaknya. Tida antara lama, kaliatan ia angkat dengen sanget hormat dan hati-hati satu area kira satu meter tingginya dari saorang yang bertangan ampat tapi yang dua sudah kutung dan kepalanya sudah linyap.
Ia senderken itu area di pinggir batu, lalu mulai membongkar lagi. Tida antara lama ia dapetken kepala dan potongan-potongan tangan dari itu patung yang sudah patah, lantaran tertimpah oleh batu yang gugur dari atas itu gowa.
"Bapa, ini kepala dan tangan tida rusak, hingga masih bisa dibikin betul kombali," berkata anak Pandita . "Aku rasa sekarang sudah telaat," berkata itu pandita sambil coba tempelkan itu kepala di atas pundaknya itu area. "Kau sendiri sudah saksiken bagimana itu gunung Krakatau sudah meletus, dan aku kuatir sekali banyak jiwa manusia aken binasa".
"Tapi ada hubungan apakah antara meletusnya Krakatau dengen karusakannya ini patung dewa?"
"Aku sendiri tiada tau", kata itu pandita dengen rupa kuatir, "tapi di blakangnya ini area ada tulisan yang mene-rangken, di harian rusaknya ini patung, ini negri aken binasa juga. Aku sudah dipesan oleh aku punya ayah, yang trima pesenan lagi dari kake moyangnya, aken saban taon musti kunjungi ini gowa buat preksa dan jaga baek ini patung, supaya manusia di Bantam bisa tinggal slamet, kerna kalu ia jadi rusak ini negri aken katerjang bincana besar, lantaran itu gunung api di pulo Krakatau musti meletus, dan turunan dari Karajaan Pajajaran bakal abis ludes semua. Kau liat, anak, itu perletusan dari Krakatau dengen karusakannya ini patung suci, ada punya hubungan satu pada laen."
"Kalu begitu, bapa, paling baek kita jangan ilang tempo aken bikin betul kombali ini patung yang boleh ditambal dan disambung dengen pake cement," kata itu anak pandita.
"Pikiranmu ada bener sekali, Oejang," kata Pandita Asheka, "Marilah sekarang kita berlalu dari sini aken suru orang pergi membli cement."
Tida antara lama itu ayah dan anak sudah kaluar dari dalem gowa, yang lobangnya ditutup kombali dengen rapih, terus turun dari atas puncak dan balik ka desa Cikupa. la minta tulung pada saorang desa aken pergi bliken 10 kati"3 cement ka Menes, kerna ini barang ada perlu buat melin-dungken marika punya kaslametan.
Itu kutika sudah jam 11 siang. Perjalanan dari Cikupa ka Menes ada 12 pai"4 jaunya, tapi itu orang desa jalanken prentahnya
88 ":1 i kati =0,5 kilogram. "41 pai =1,5 kilometer.
pandita dengen girang, dan harep bisa kombali jam 6 sore.
Samentara menunggu kombalinya itu orang suruan. Pandita Asheka duduk omong-omong berdua dengen anaknya, yang maskipun baru berusia 15 taon, ternyata ada cerdik dan terang ingetannya.
"Bapa," kata itu anak. "Apakah kita musti bikin dengen itu Jati yang bapa baru tulungin?"
"Kita nanti kasih kombali pada orang tuanya di Waringin," saut sang ayah.
"Bagimana kalu saandenya itu orang tua tida dapet dicari?"
"Kita nanti bawa pulang ka kita punya tempat di gunung, aken dirawat sabagi kau punya sudara. Sakean lama kau idup sendirian saja, Oejang, sebab kau tida ada punya sudara, baek pun sudara betul atawa sudara misan. Ini Jati aku nanti rawat sabagi anak sendiri aken jadi aku punya temen me-maen."
Oejang kaliatan merasa girang mendenger ini omongan. Ia lalu pergi samperin Jati yang lagi disuapin oleh satu prampuan desa dengen nasi merah dan ikan kering dibakar. Oejang mulai omong-omong dan bicara banyak pada Jati dengen sacara lucu, hingga itu anak prampuan yang sedeng sedih dan kasakitan mulai bermesem dan mau berkata-kata.
Jam 7 sore itu orang suruan yang pergi ka Menes sudah kombali. Bukan saja ia sudah dapet itu cement yang perlu aken perbaeki itu area suci yang sudah rusak, tapi juga ia ada bawa satu kabar yang heibat sekali. Di tenga perjalanan ka Menes ia bertemu banyak orang dari desa-desa di sablah Kulon yang melariken diri dengen membawa kabar, bahua kemaren tengahari aer laut telah limpas ka darat, rendem banyak desa-desa yang pernanya deket pasisir, hingga bilang ribu orang jadi binasa, dan semua rumah-rumah telah rubuh terbawa anyut.
"Liatlah," kata pandita Asheka pada anaknya: "Apa yang aku kuatirken telah kajadian. Itu bahaya sudah dateng. besok pagi kita musti lekas betulken patungnya kita punya Betara Wishnu, mudah-mudahan saja itu bahaya bisa dicega hingga tida menjalar lebih jau."
Pada hari besoknya, di waktu masih pagi sekali, Pandita Asheka dengen putranya sudah ada lagi di dalem itu gowa aken tambal dan rapetken kombali anggotanya itu area yang sudah rusak dan patah. Itu baru karang yang tersebar di sana sini sudah disingkirken dan dikumpul dengen rapih di satu pojokan. Sekarang baru kaliatan bahua itu gowa ada jadi satu tempat pamujaan kuno yang maskipun macemnya saderhana tapi bersifat suci dan agung. Itu area dari Betara Wishnu, satu dari agama
Hindu punya Trimurti (tiga dewa yang paling suci), ada dipernaken"5 di atas sebua singasana atawa tahta yang terbikin dari batu karang melulu, di mana ada terukir gambarnya Garuda yang jadi iapunya tunggangan, yang macemnya saparo manusia dan saparo burung. Di blakangnya itu tahta, di mana batu karang yang terpahat licin hingga macemnya seperti tembok, ada terpeta gambarnya matahari, kerna Wishnu ada terpandang juga sabagi Dewa dari Matahari, iapunya ampat tangan ada memegang satu rujung atawa lingga, satu kulit kiong, satu piring dan satu bunga trate yang ada jadi symbool dari kakwasaan, kan-jaringan, penerangan dan kasucian. Ini dewa ada dianggep yang memalihara atawa membri pengidupan pada ini dunia dengen sekalian isinya, sedeng Brahma yang menjadiken, dan Siwa yang merusakken.
Di blakangnya itu patung ada terukir ampat baris tulisan dengen huruf-huruf Sangkrit, yang artinya, menurut katePernaken = ditempatkan. rangan pandita Asheka, ada begini:
"Pada saat aku rusak, rusaklah juga ini negri dengen sekalian turunanmu, katimpah murkanya Rakata."
Di hadepannya itu singasana ada sabua batu besarnya kira 40 centimeter pesegi, tingginya satu meter dan di tengahnya ada satu lobang besar sabagi lumpang, di mana orang biasa membakar dupa. Ini batu pendupaan pun sudah jato terbalik, tapi sekarang diberdiriken kombali, dan Pandita Asheka lalu taroken areng dan mulai membakar dupa sambil berdowa aken bersujut di hadepan itu patung Dewa sedeng itu kembang-kembang lalu disebar di hadepannya.
Tatkala Asheka dengen anaknya kaluar dari dalem gowa, hari sudah jadi lohor. Iaorang terkejut meliat matahari, yang sudah satu minggu tertutup oleh awan, sekarang mulai kasih liat rupanya dan tojoken sinarnya ka bumi, maski juga tida begitu terang seperti biasa. Ujan abu pun sudah brenti, hingga orang bisa dapet liat itu panorama yang begitu indah dari Selat Sunda, di mana tertampak juga itu pulo Krakatau yang sifatnya sudah jadi berobah begitu banyak hingga tida bisa dikenalin lagi. Ini gunung api, sasudahnya menda-tengken karusaken begitu heibat, sekarang kaliatan mulai sirep, suara meletusnya tida kadengeran lagi cumah kebulken saja sedikit asep item sabagi asep yang kaluar dari tumpukan arang dari rumah yang baro abis terbakar.
Sudah tentu Pandita Asheka dan putranya anggep bren-tinya perletusan dari Krakatau ada dari lantaran patungnya Betara Wishnu yang rusak sudah dibikin betul dan itu area suci
89 90 ditaro kombali atas tahtanya. Tapi apa betul begitu"apa karusakannya itu patung suci di dalem gowa gunung Ciwalirang ada jadi sebab dari meletusnya Krakatau, dan iapunya pembetulan membikin itu gunung api jadi sirep kombali sasudahnya terbitken bincana begitu heibat"inilah ada suker dibilang.
Boleh jadi ini semua hal cumah dari kabetulan saja. Tapi pandita Asheka dengen putranya ada taro percaya dengen sagenep hati pada itu katerangan yang didapet dari kake moyangnya, bahua dipeliharanya itu area yang suci dari Betara Wishnu di dalem gowa dari gunung Ciwalirang nanti mendatengken kaslametan buat penduduk Bantam, dan di harian itu area rusak. Bantam aken kalanggar bincana heibat dan turunan dari dynastie Pajajaran yang dulu hari begitu berkwasa besar di Jawa Kulon, aken menjadi musna.
XIV Terburu Nafsu Pandita Noesa Brama duduk bersila sambil rangkep kadua tangannya di hadepan itu area dari Betara Wishnu di dalem gowa dari Gunung Ciwalirang, yang sadari masih kecil ia biasa kunjungin bersama-sama ayahnya satiap taon, hingga sekarang ia sudah jadi saorang tua dan berambut putih. Itu Dewa suci tinggal berdiri di atas tahtanya dengen rupanya yang amat sadar dan adem: matanya saparo ketutup, bibirnya sedikit tersenyum, seperti juga hendak membilang, segala kajadian dalem dunia ini semua ada perkara kecil yang tida berharga aken dibuat jengkel dan diambil pusing.
Tapi itu pandita yang sekarang bersujut di hadepannya, yang sudah berpuluan taon unjuk baktinya pada Betara Wishnu, tida meliat, tida mengarti dan tida perduliken pada itu symbool amat penting yang tertampak di paras mukanya
itu patung suci. Iapunya ingetan sedeng kalut lantaran hatinya merasa sanget sakit atas perbuatan istri dan anaknya yang ia sangka sudah minggat lantaran kena bujukannya Abdoel Sintir dan iapunya kawan-kawan dari Palembang. Itu prampuan Jati, yang jiwanya telah ditulung oleh ayahnya pada 45 taon lalu; yang sadari masih anak-anak ada jadi iapunya temen maen, sasudahnya rumaja putri jadi sabagi iapunya sudara, dan akhirnya atas kainginan ayahnya telah jadi iapunya istri yang begitu baek, setia dan denger kata" sekarang telah balikin
blakang waktu suaminya katerjang kasusahan yang tida disangka, tinggalken padanya saorang diri, aken turut pada anaknya yang sudah kena dipikat oleh harta dan kasenangan dunia yang dijanjiken oleh itu Abdoel Sintir yang terkutuk, hingga itu kacintaan, kabruntungan dan karukunan yang sudah berjalan 45 taon lamanya, mendadak jadi linyap, ancur dan musna di dalem sakicepll6 mata! Pandita Noesa Brama punya plajaran, nasehat dan aturan yang sudah dijaga, dilindungken dan dipegang teguh be-ratusan taon lamanya dari kake moyangnya turun temurun terus sampe sekarang, dalem tempo sabentaran saja sudah dilempar kasamping, dilanggar dan diinjek-injek, bukan oleh laen orang, hanya oleh dua mahluk dalem dunia yang ia paling cinta, paling percaya dan taro harepan, yaitu istri dan anak sendiri!
Noesa Brama, salaennya jadi satu Pandita, ia ada teritung satu Kshatriya atawa Satriya, satu Bangsawan yang mema-rentah negri atawa satu kepala perang. Itu darah raja-raja dari dunastie Pakuan Pajajaran yang dulu begitu berkwasa besar di Jawa Kulon, ada mengalir dalem tubuhnya. Sedeng terhadep pada suai kasenangan dan harta dunia ia pandang enteng dan tida ambil perduli, tapi dalem hal yang mengenaken derajat diri dan familienya ia ada berlaku sanget cerewet, terliti dan hati-hati. Lantaran menginget pada derajat yang begitu agung dari kake moyangnya, maka ia ada punya tabeat yang angku, yang bisa dibuktikan dari pembicaraannya pada Raden Moelia, yaitu: kalu iapunya anak prampuan, Retna Sari, brantas larangannya dan brani menikah pada lelaki sembarangan, ia ada sedia aken bunuh pada itu anak yang cumah satu-satunya. Ia lebih suka antero familie dan turunannya abis ludes dari ini dunia, dari pada musti idup dengen tercemar dan merendahken derajat sendiri. Inilah ada tabeat dan anggepan yang sudah umum dari orang-orang Hindu berderajat tinggi, turunan Brahmana dan Ksatriya, yang pandang kasuciannya iapunya derajat atawa Kasta ada lebih penting dari segala apa dalem dunia.
Maskipun Pandita Noesa Brama ada saorang yang bijak serta luas pemandangannya dalem banyak perkara, tapi dalem ini satu suai ia ada amat kukuh, cupetll7 dan fanatiek. Itu anggepan yang sudah berjalan turun menurun dari kake moyangnya, ia pandang seperti juga titah-titah agama yang tida bisa dirobah lagi. Sasuatu pelanggaran pada ini adat kabiasaan ada jadi dosa besar yang tida bisa diampunken. Dalem kaadaan begitu, orang bisa mengarti bagimana ada perasaannya itu pandita, yang anggep derajatnya tida lebih rendah dari Sunan Solo atawa Sultan Jokja, tatkala ditinggal -ken oleh anak istrinya sendiri yang pergi minggat aken mengikuti satu lelaki yang di
91 92 dalem tubuhnya tida ada satu tetes darah bangsawan dan tida mempunyai satu apa yang berharga aken bedaken dari dari laen-laen orang, salaennya dari kakayaan, yang oleh pandita Noesa Brama di pandang rendah sekali.
Pada Abdoel Sintir sendiri pun ia merasa amat gusar, Sakicep = sekejap. Cupet = sempit.
kerna ia sudah ditulung hingga matanya yang ampir buta menjadi sembuh kombali, ia tida harep semua orang yang ia tulung nanti inget iapunya budi, tapi juga ia tida ingin aken trima pembalasan yang begitu heibat dan kejem, hingga brani curi hatinya iapunya anak prampuan dan turunan yang satu-satunya, yang ia pandang lebih berharga dari segala apa di ini dunia. Dalem pemandangannya Noesa Brama itu anak prampuan bukan cumah ada jadi iapunya putri yang tercinta, tapi juga jadi turunan yang paling akhir dari kake moyangnya yang berderajat begitu agung dan tinggi.
Ia inget juga bagimana iapunya ayah telah jaga, didik dan bri plajaran pada dirinya begitu terliti supaya bisa jadi saorang terhormat sabagimana layiknya satu orang berderajat agung, yang sudah berjalan turun menurun dengen jaga baek dan pegang tinggi martabatnya. Tapi sekarang ia sendiri seperti satu ayah sudah tida bisa jaga namanya familie hingga anak dan istrinya dapet kutika aken lakuken perbuatan yang begitu rendah dan hina. Ini rasa malu itu pandita tida sanggup pikul!
Tapi sedeng begitu Noesa Brama merasa, sabagi suami dan ayah, ia blon perna berlaku alpa aken didik dan pimpin istri dana anaknya itu sabagimana mustinya. Kalu sekarang itu dua prampuan berkhianat dan berlaku sesat, inilah bukan dari iapunya salah atawa alpa, hanya lantaran buruknya jeman, yang membikin rusak tabeat yang baek dari manusia. Dari lantaran itu, menurut anggepannya Noesa Brama bukan saja iapunya istri dan anak bersama Abdoel Sintir harus dapet hukuman, tapi juga ini dunia yang kotor sudah sampe temponya aken dibasmi dan dibikin bersih kombali.
Dengen mengandung itu pikiran sekarang ia ada bersujut di hadepan itu area yang suci dari Betara Wishnu, Dewa yang memalihara sekalian isi alam. Dengen suara sedih dan mata mengembeng aer Noesa Brama berkata-kata di hadepan dewanya itu:
93 "Oh Betara, Sri Maha Dewa yangberkwasa, saksikenlah olehmu bagimana nasibku sekarang ini. Sudah beratusan taon nenek moyangku selalu hormat dan puja padamu. Kita punya negri telah jadi musna, kabesaran telah linyap, kita punya kota-kota yang teguh dan kraton yang gilang-gemilang dengen taman-tamannya yang begitu indah, sekarang telah jadi linyap, musna dan rata dengen tanah atawa menjadi rimba. Tapi toch maski begitu kita-orang tinggal tetep hormat dan bersetia padamu. Lantaran tida mau pelok agama Islam, hanya hendak memuja terus padamu, maka kita telah menahan sangsara aken pergi mengumpat di dalem utan yang paling lebat, yang tida bisa ditinggalin dan didatengin orang, idup terpisah dari laen-laen bagian dunia berabad-abad lamanya, hingga kaadaannya kita punya kaum dan rahayat jadi semingkin mundur dan katinggalan dari laen-laen golongan pribumi yang berdiam di Jawa Kulon. Ini semua kita lakonin cumah buat unjuk kasetiaan padamu, oh, Betara yang Moelia!
"Maskipun kita punya kaadaan sudah begitu suker, aku punya kake moyang yang jadi turunan dari raja-raja yang berkwasa di jeman dulu, blon perna alpa aken unjuk kabak-tiannya padamu, maski juga dengen sembuni serta me-ngadepi banyak kasusahan dan bahaya. Aku sendiri, sabagi turunan dari kaum Karajaan Pajajaran yang pengabisan, sudah lebih dari satenga abad lamanya satiap taon perluken bikin ini perjalanan suker dan jau buat dateng cari ini gowa yang suci, aken jalanken itu kawajiban seperti yang telah jadi kabiasaannya aku punya ayah dan kake moyang, yaitu aken unjuk hormat dan berbakti padamu, bukan cumah buat kauntungan dan kabaekan diri sendiri atawa kita punya kaum, hanya terutama aken guna kaslametannya manusia rata-rata yang mendiamin ini bagian dari pulo Jawa, maski
juga iaorang sudah memuja laen agama.
"Tapi buat ini semua kabaktian, kasatiaan dan katulusan, liatlah, oh Betara Wishnu yang Maha Suci! Apa macem ganjaran dan pembalesan yang aku trima dari ini dunia! Sekarang aku idup sendirian aken tanggung kasedian dan kahinaan, ditinggal pergi oleh istri dan anak sendiri yang aku cinta dan hargaken begitu tinggi. Apakah ini ada takdir yang sudah ditetepken oleh Brahma dan atas kamauannya Betara Guru" Kalau betul turunan karajaan Pajajaran yang Maha Agung musti jadi musna, apakah itu kamusnaan tida bisa dibikin dengen cara yang lebih baek" Mengapakah turunannya Prabu Siliwangi musti saksiken anak prampuannya yang satu-satunya ceburken diri di dalem pecomberan yang begitu hina" Apakah begitu musti akhirnya turunan dari kaum karajaan besar yang memuja padamu dengen
94 setia" Oh, Sri Maha Dewa! Lantaran Retna Sari sudah bikin rendah derajatnya sendiri, hingga linjap iapunya hak aken trima itu warisan dari karajaan Pajajaran, maka kita-orang punya turunan aken berakhir sampe di sini saja! Apa yang kajadian semalem ada begitu heibat hingga aku rasa aku tida bisa tahan idup lebih lama dalem dunia, dan kalu aku sudah tida ada lagi, tida saorang yang nanti gantiken buat hormatken padamu di ini gowa yang suci. Ini tempat pendupaan buat selamanya tida aken mengebulken lagi asep yang wangi; kau punya area tida aken terias lagi dengen kembang-kembang, dan kau punya patung bakal tertutup oleh lumut, tanah dan cirit kampret,"8 kerna tida ada tangan manusia yang dateng bikin bersih. Oh, dengen abisnya turunan karajaan Pajajaran, ini tempat suci, kita punya rumah sembahyang yang mulia, aken turut musna juga!
Cirit kampret = kotoran kelelawar.
"Oh, Betara Wishnu, yang berkwasa atas sekalian peng hidupan! Sablonnya itu hal terjadi, sedeng aku masih idup dan ada disini, idzinkenlah aku slesekan ini pakerjaan yang bakal berakhir sampe di sini saja. Brapa ratus taon yang lalu saorang diri kake moyangku, telah dapetken ini gowa atai pengunjukannya saprang pertapaan dan telah bawa kau ka sini dan ditempatken di ini tahta buat dipuja oleh sekali.m turunannya. Sekarang biarlah aku sendiri, turunannya yang pengabisan, angkat dan singkirken kau dari ini tempat, lantaran tida ada lagi orang yang aken ambil perdu 1 i dan rawat padamu. Dari pada musti jadi rusak tertimpah oleh batu yang gugur dari atas atawa jadi teruruk oleh lumu! lumpur tanah dan cirit kampret, lebih baek kau musna d.m ancur di aku punya tangan sendiri!
"Oh, Betara Wishnu! Itu tulisan yang ada tertata di blakangmu ada meramalken, di harian kau rusak, ini ni'gti dan sekalian turunan dari karajaan Pajajaran aken turul rusak juga, katimpah murkanya Rakata atawa Krakatau. Ini aku sudah buktiken pada ampat-puluhlima taon yang lalu Itu karusakan sekarang aku tida mau cegah, hanya aku ingin bisa kajadian dengen lantes, sedeng istriku dan Retna San. dengen itu orang-orang Palembang yang durhaka, masili ada di tenga laut, lagi menyebrang dengen prau meliwatin pulo Krakatau. Biarlah ini bagian dunia jadi rusak, supaya pendu duknya yang berhati jahat dan sanget kurang trima, bisa turut terbasmi! Biarlah turunan dari karajaan Pajajaran turul musna juga, kerna ada lebih baek Retna Sari binasa di lautan dari pada ia tinggal
95 idup dengen menjadi istrinya saorang durhaka sabagi Abdoel Sintir!"
Abis berkata-kata begitu, pandita Noesa Brama lalu berbangkit menghamperi itu area dari Betara Wishnu, yang ia lalu angkat dari tahtanya dengen hati-hati, dibawa ka itu sumur yang terletak di samping kamar, lalu dilemparkan Kira-kira lima seconde"9 lamanya barulah kadengeran suara terbalik dari dalem itu sumur seperti suara barang keras beradu. Itu area sudah musti jadi ancur terbentur dengen batu karang yang ada di itu sumur yang amat dalem. Tida antara lama disadari jatonya itu area, dari dalem itu sumur lantes kadengeran suara gluguran seperti bunyinya gluduk, di tempat jau, dan berbareng dengen itu, dari mulut sumur telah kaluar begulung-gulung asep kuning yang berbau walirang.
Begitulah itu patung suci dari Betara Wishnu telah jadi rusak pula dan ini kali itu karusakan tida bisa dibikin betul kombali.
Tatkala ini hal kajadian, kira-kira sudah jam sembilan pagi, yaitu tatkala praunya Abdoel Sintir berada di lautan antara pulo Krakatau dan pulo Panjang dalem pelajarannya menuju ka Sumatra, dengen dikejer oleh stoombarkasnya politie yang dikepalain oleh Raden Moelia. Apa yang telah kajadian lebih jau, telah dituturken di fatsal X dari ini cerita. Liwat satu jam komudian, tatkala Noesa Brama kaluar dari dalem gowa dan pan j at satu batu aken liat apa yang kajadian di selat Sunda, dengen terkejut ia saksiken bagimana dari lautan di tepi pulo Krakatau telah kaluar asep item bergulung-gulung yang menandaken itu gunung api telah bekerja kombali, dan di deket itu tempat perletusan ada kaliatan tiang-tiang dari satu prau yang telah karem.
Sekarang ia mengarti, kainginannya aken binasaken itu prau Palembang sudah terkabul, dan itu gunung api di pulo Krakatau telah mulai bekerja kombali, brangkali bakal lebih heibat dari 45 taon yang lalu, hingga banyak manusia aken binasa.
Iapunya istri dan Retna Sari bersama itu orang-orang Palembang ia anggep pasti sudah binasa semua di dalem lautan. Dan ini kacilakaan ada dari iapunya perbuatan, dilakuken oleh iapunya tangan sendiri.
Ini pikiran membikin ia jadi merasa takut dan ngeri. Ia mulai bersangsi apa perbuatannya itu ada betul. Ia inget kombali pada tingka laku lemah lembut dari istrinya yang tercinta, bersama siapa ia telah idup 45 taon lamanya, sadari masih anak sampe sudah begitu tua, dengen tida kurang apa-apa. Ia terkenang pada anak prampuannya yang begitu cantik, yang biasanya selalu berlaku hormat dan denger kata, yang
96 sekarang telah binasa atas iapunya perbuatan. Ia sudah jatoken hukuman pada itu dua orang yang paling tercinta dengen tida cari tau lebih jau atawa denger katerangannya. Apakah ini perbuatan ada betul" Apakah ia ada hak buat menerbitken kabinasaan pada puluan, brangkali ratusan ribu manusia yang tida berdosa"
Ini pikiran yang dateng dengen mendadak, membikin Noesa Brama menjadi bingung. Kepalanya pusing dan kalut. Ia lalu masuk kombali ka dalem gowa aken kumpulken ingetannya dan duduk terpakur di hadepan itu tahta di mana pada satu jam yang lalu ada berdiri patungnya Betara Wishnu yang dengen parasnya yang sabar dan kalem ada seperti membri nasehat pada manusia aken pandang ringan segala kasusahan dunia.
Seconde = detik. Prabu Wastu Kencana Itu pertemuan yang tida disangka dengen iapunya sudara prampuan yang sudah begitu lama terhilang, dan yang dikira telah binasa waktu meletusnya Krakatau di taon 1883, membikin Raden Adipati Hasan di Ningrat ambil putusan aken tunda segala niatannya, dan lalu menginep di rumah anaknya, menunggu pada pandita Noesa Brama yang ia prentah satu opas aken ondang dateng ka Sindanglaut buat bertemu pada anak istrinya dan sekalian hendak dibri tau itu resia yang baru terpeca. Tatkala hari sudah jadi malem, itu opas kombali dengen membawa kabar, pandita Noesa Brama tida ada dalem pondoknya, dan menurut ceritanya Koesdi, orang tida bisa bertemu padanya sablonnya besok pagi. Dari sebab begitu, itu Bupati ambil putusan aken brangkat rame-rame pada besok pagi ka Gunung Ciwalirang, sekalian aken saksiken bekerjanya Krakatau dari atas puncak dari itu gunung.
Antero malem itu Bupati dan istrinya ampir tiada tidur, kerna iaorang asik pasang omong dengen Soeryati yang ceritaken penghidupannya waktu dipunggut anak oleh pandita Asheka sampe ia menika dengen Noesa Brama. Dari penuturannya itu istri pandita baru katauan bahua Noesa Brama punya tempat kadiaman yang tetep ada di tenga-tenga pagunungan dari Bantam Kidul yang jarang sekali dida-tengken orang, yaitu di dusun Citorek yang pernanya di kaki Gunung Kendeng pada tepi sungai Cimadur. Di situ ia ada mempunyai bebrapa bau sawah dengen kebon-kebon lebar yang penuh taneman klapa dan buah-buahan,
hingga hatsil-nya ada cukup sekali aken dipake idup sacara pantes. Ini tempat ada di tenga-tenga dari tempat kadiamannya kaum
Baduy yang tersiar di utan-utan yang lebat dari gunung-gunung Halimun, Sanggabuana, Kendeng, Ciawitali, Bongkok, Nyungcung, Ciburalang, Bentanggading, dan laen-laen lagi. Buat urus dan garap itu sawah dan kebon, ia ada dapet bantuan dari banyak kepala-kepala orang Baduy yang satiap taon bergiliran kirim bebrapa orangnya buat bekerja dengen dikasih makan dan trima sabagian dari hatsil yang didapet.
Tapi pandita Noesa Brama tida tinggal tetep di itu dusun, maski juga ia bisa idup dengen senang sekali. Pada saban taon, anem bulan lamanya ia gunaken temponya aken bikin perjalanan kunjungin tempat-tempat yang suci dari kaum Baduy, yang di mana letaknya cumah ia sendiri saja yang tau. Soeryati pun tida tau sampe abis di mana adanya itu tempat-tempat semua. Ia cumah denger itu tempat-tempat suci yang suaminya biasa kunjungi bukan cumah di bilangan Bantam saja, hanya juga sampe di Bogor, yaitu di Batutulis, di mana dulu ada pernanya Kraton dari Pajajaran; di gunung Cibodas deket Campea, dan di area Domas yang pernanya di Cikopo, juga dalem bilangan Bogor, pada lamping sablah utara dari Gunung Gedeh. Di saputernya pagunungan Kendeng pun ada bebrapa tempat yang dipandang suci, di mana masih kada-petan arca-arca dan tempat pamujaan dari jeman dulu, waktu karajaan Pajajaran masih berdiri. Satu tempat begitu, yang Soeryati perna kunjungi bersama suaminya, ada terletak di deket Gunung Nyungcung, pada tepi sungei Cimadur. Di itu tempat, dalem satu jurang, ada bebrapa area besar dari Brahma, Wishnu, Siwa, Genesha dan laen-laen dewa dari agama Hindu, yang semua terbikin dari batu karang, dan macemnya begitu besar, ada juga yang saratus kalih lebih besar dari manusia, tapi kabanyakan sudah rusak, tertutup oleh lumut, akar puhun dan oyot, hingga kalu bukan orang yang sudah biasa kunjungin, kalu dateng di itu tempat niscaya tiada dapet tau segala kaanehan yang ada di situ. Katanya orang Baduy sengaja umpetken itu tempat-tempat pamujaan yang dibiarken menjadi rimba supaya jangan dirusak oleh orang Islam yang dulu sanget musuin pada marika punya agama, dan segala berhalanya saban dike-temuin lantes dibikin rusak. Area yang masih utu cumah ada sedikit saja, dan kabanyakan tersembuni dalem gowa-gowa yang orang tiada tau lantaran jalanan buat masuk selalu diresiaken. Di deket gunung-gunung Kendeng, Endut dan Sanggabuana, sedikitnya ada dua atawa tiga gowa suci yang berisi arca-arca dan jeman Pajajaran. Di Gunung Ciwalirang pun ada kadapetan satu gowa suci yang berisi area dari Betara Wishnu yang saban taon
98 97 pandita Noesa Brama biasa kunjungken kerna ada dipercaya kalu sampe itu area jadi rusak. Bantam aken katerjang bincana heibat lantaran meletusnya Krakatau dan turunan dari karajaan Pajajaran aken jadi musna.
"Tapi mengapakah itu pandita musti jalan sendiri?" tanya Moelia; "Apakah itu pakerjaan tida bisa diwakilken pada laen orang?"
Atas ini pertanyaan, Soeryati membri katerangan, ada pantangan keras aken kunjungin itu tempat-tempat suci sabagitu lama masih ada orang yang beratsal turunan dari raja-raja Pajajaran di jeman dulu, yang ada memangku juga pakerjaan Pandita atawa kepala agama. Iapunya suami ada kaum karajaan Pajajaran punya turunan yang pengabisan. Ia tida mempunyai sanak atawa familie, hingga tida ada yang boleh wakilken pakerjaannya. Kalu Noesa Brama wafat, cumah Retna Sari saorang diri yang katinggalan dan mempunyai itu hak aken jadi sabagi kepala dari sekalian orang Baduy. Tapi sebab ia ada satu anak prampuan, ia tida boleh lakuken pakerjaan pandita, yang cumah boleh dilanjutken kombali oleh iapunya anak lelaki kalu Retna sudah bersuami. Tapi maski begitu, Retna tinggal tetep menjadi kepala dari kaum karajaan Pajajaran, dan sebab ini taon ia sudah tutup usia 20 taon maka sudah sampe temponya aken ia diper-makotaken, dan dikasih kenal segala resia-resia yang cumah diketahui oleh ayahnya sendiri. Ia sudah dibawa dalem ini perjalanan yang jau ka gunung Ciwalirang aken dibri tau pintunya gowa dan dikasih kenal pada patungnya Betara Wishnu, supaya kalu ayahnya sudah meninggal, ia bisa kasih tau ini resia pada anak-anaknya. Komudian Retna aken diajak buat tengok juga laen-laen tempat yang ayahnya biasa kunjungi, antara mana katanya ada satu gowa yang jadi kamar harta dari segala barang pusaka dari karajaan Pajajaran yang terdiri dari emas dan batu permata yang berharga mahal, yang sudah disingkirken dan diumpatken waktu Kraton karajaan Pajajaran diserang oleh tentaranya Sunan Gunung Jati dari Chirebon. Soeryati sendiri waktu masih anak sudah perna dapet liat bebrapa keris dan tumbak pusaka yang terbikin dari emas tertabur mirah dan jambrut, yang diambil dari dalem gowa oleh pandita Asheka buat dibersihken dan dibetulin karusakannya. Ia masih inget itu ayah angkat punya perkataan pada putra lelakinya: "Ini semua barang pusaka musti disimpen dan dirawat baek-baek jangan sampe kurang apa-apa, kerna temponya sudah semingkin deket aken di Jawa Kulon berdiri kombali satu karajaan dari orang Sunda tulen yang memarentah dengen merdika, dan di Bogor aken bertahta saorang kepala pa-merentah dari kita-orang punya bangsa sendiri. Kapan sudah jadi begitu, ini
99 barang pusaka nanti dipake buat meriasken tahta karajaan, dengen dapet kombali kadudukannya yang mulia, disujut, dihormat dan dikagumin orang seperti dulu, tatkala karajaan Pajajaran masih kuat dan jaya."
"Tapi di manakah itu barang-barang berharga ada di-taro?" tanya Raden Adipati Hasan di Ningrat.
"Itulah saya tida bisa bilang," saut Soeryati. "Ini barang-barang musti ada dalem salah satu gowa di saputer pagunungan Kendeng. Itu tempat diresiaken keras dan brangkali cumah ada dua tiga orang yang tau. Satiap taon suamiku pergi jalan mengider ka itu tempat-tempat suci bukan saja buat membri hormat pada dewa-dewa menurut kawajiban agama, tapi juga aken preksa itu barang-barang yang disim-pen dalem tempat-tempat resia supaya tida ilang atawa rusak, kerna suamiku tetep percaya, satu waktu itu pusaka dan upacara karajaan bakal digunaken lagi. Dalem perjalanan ini kalih, suamiku ajak padaku dan Retna Sari dengen maksud aken kasih kenal pada ini anak itu segala tempat-tempat resia, supaya kalu ayahnya tida ada, ia bisa gunaken haknya sabagi Ratu, dengen menjadi jurukunci dari segala tempat-tempat suci dan penjaga atawa pengurus dari barang-barang pusaka karajaan Pajajaran, yaitu dua pakerjaan yang biasa dilakuken oleh turunan raj a."
"Kapan begitu," kata itu Bupati, "kau punya suami bukan saja ada jadi pandita, tapi juga ada jadi raja dari kaum Baduy, atawa lebih betul, dari sekalian rahayatnya karajaan Pajajaran di tempo dulu."
"Betul sekali," saut Soeryati. "Sabagi Pandita ia terkenal dengen nama Noesa Brama, tapi di pagunungan Kendeng, oleh kepala dari orang-orang Baduy ia dipandang sabagi Sri Paduka Maharaja Prabu Wastu Kancana, turunan peng-abisan dari Prabu Guru Dhewata Bhana, yang memarentah karajaan Pakuan Paj aj aran."
"Kalu begitu Soeryati, kau ini sekarang ada jadi Permaisuri dari Raja Pajajaran?"
"Betul," saut itu sudara prampuan dari Bupati sambil tertawa.
"Dan Retna Sari ada jadi Putri Makota?"
"Tiada salah. Kalu ayahnya sudah tida ada, ia aken dibri gelaran Sri Ratu Dewi Retna Sari dari karajaan Pakuan Paj aj aran."
"Kalu begitu," kata Raden Moelia, "Panteslah Pandita bilang ia tida suka nikahken anak prampuannya pada sein barang orang, hingga ia lebih suka bunuh Retna Sari kalu ia brani cintaken satu lelaki yang berderajat rendah."
100 "Apakah itu anak blon perna ada yang lamar atawa bertemu pada satu lelaki yang dirasa pantes buat jadi pa sangannya?" tanya Bupati.
"Tida," saut Soeryati. "Di kita punya desa tida ada sal u lelaki yang dianggep sampe cakep buat jadi suaminya Sri Ratu dari karajaan Pajajaran. Itu orang-orang Baduy di saputernya pagunungan Kendeng semua dari golongan ren dah dan bodo, sedeng kita punya tempat tinggal di utan membikin Retna Sari tida bisa bertemu pada lelaki dari laen golongan, kacuali orang-orang dusun yang tida terplajar."
"Tapi kau punya suami, yang sring mengider di banyak tempat, niscaya bisa cariken lelaki yang pantes aken jadi mantunya."
"Dalem hal ini suamiku tida suka berlaku gegabah Salaennya musti pilih yang berderajat tinggi, ia mau uji dulu tabeat dan tingka lakunya itu lelaki, supaya Retna Sari tida disia-sia satenga jalan."
"Apakah ia sudah perna sebut namanya satu lelaki yang dirasa pantes aken jadi mantunya?"
"Baru bebrapa hari yang lalu ia ada sebut tentang sal u lelaki yang ia ia penuju." "Siapa" Siapa?"
"Bukan laen dari kau punya anak sendiri, yang sudah bebrapa kalih dateng di gunung dan tida mau pulang kalu blon bertemu pada Retna Sari."
"Betul, bibi," saut Raden Moelia sambil tertawa, "saya merasa aneh sekali, saya punya hati begitu keras tertarik
"Itulah saya tida bisa bilang," saut Soeryati. "Ini barang-barang musti ada dalem salah satu gowa di saputer pagunungan Kendeng. Itu tempat diresiaken keras dan brang-kali cumah ada dua tiga orang yang tau. Satiap taon suamiku pergi jalan mengider ka itu tempat-tempat suci bukan saja buat membri hormat pada dewa-dewa menurut kawajiban agama, tapi juga aken preksa itu barang-barang yang disim-pen dalem tempat-tempat resia supaya tida ilang atawa rusak, kerna suamiku tetep percaya, satu waktu itu pusaka dan upacara karajaan bakal digunaken lagi. Dalem perjalanan ini kalih, suamiku ajak padaku dan Retna Sari dengen maksud aken kasih kenal pada ini anak itu segala tempat-tempat resia, supaya kalu ayahnya tida ada, ia bisa gunaken haknya sabagi Ratu, dengen menjadi jurukunci dari segala tempat-tempat suci dan penjaga atawa pengurus dari barang-barang pusaka karajaan Pajajaran, yaitu dua pakerjaan yang biasa dilakuken oleh turunan raj a."
"Kapan begitu," kata itu Bupati, "kau punya suami bukan saja ada jadi pandita, tapi juga ada jadi raja dari kaum
101 Baduy, atawa lebih betul, dari sekalian rahayatnya karajaan Pajajaran di tempo dulu."
"Betul sekali," saut Soeryati. "Sabagi Pandita ia terkenal dengen nama Noesa Brama, tapi di pagunungan Kendeng, oleh kepala dari orang-orang Baduy ia dipandang sabagi Sri Paduka Maharaja Prabu Wastu Kancana, turunan pengabisan dari Prabu Guru Dhewata Bhana, yang memarentah karajaan Pakuan Paj aj aran."
"Kalu begitu Soeryati, kau ini sekarang ada jadi Permaisuri dari Raja Pajajaran?"
"Betul," saut itu sudara prampuan dari Bupati sambil tertawa.
"Dan Retna Sari ada jadi Putri Makota?"
"Tiada salah. Kalu ayahnya sudah tida ada, ia aken dibri gelaran Sri Ratu Dewi Retna Sari dari karajaan Pakuan Paj aj aran."
"Kalu begitu," kata Raden Moelia, "Panteslah Pandita bilang ia tida suka nikahken anak prampuannya pada sembarang orang, hingga ia lebih suka bunuh Retna Sari kalu ia brani cintaken satu lelaki yang berderajat rendah."
"Apakah itu anak blon perna ada yang lamar atawa bertemu pada satu lelaki yang dirasa pantes buat jadi pasangannya?" tanya Bupati.
"Tida," saut Soeryati. "Di kita punya desa tida ada satu lelaki yang dianggep sampe cakep buat jadi suaminya Sri Ratu dari karajaan Pajajaran. Itu orang-orang Baduy di saputernya pagunungan Kendeng semua dari golongan rendah dan bodo, sedeng kita punya tempat tinggal di utan membikin Retna Sari tida bisa bertemu pada lelaki dari laen golongan, kacuali orang-orang dusun yang tida terplajar."
"Tapi kau punya suami, yang sring mengider di banyak tempat, niscaya bisa cariken lelaki yang pantes aken jadi mantunya."
"Dalem hal ini suamiku tida suka berlaku gegabah. Salaennya musti pilih yang berderajat tinggi, ia mau uji dulu tabeat dan tingka lakunya itu lelaki, supaya Retna Sari tida disia-sia satenga jalan."
"Apakah ia sudah perna sebut namanya satu lelaki yang dirasa pantes aken jadi mantunya?"
"Baru bebrapa hari yang lalu ia ada sebut tentang satu lelaki yang ia ia penuju." "Siapa" Siapa?"
"Bukan laen dari kau punya anak sendiri, yang sudah bebrapa kalih dateng di gunung dan tida mau pulang kalu blon bertemu pada Retna Sari."
102 "Betul, bibi," saut Raden Moelia sambil tertawa, "saya merasa aneh sekali, saya punya hati begitu keras tertarikpada Retna, seperti oleh satu tenaga resia yang tida kaliatan. Saya merasa musti ada perhubungan apa-apa antara saya dengen bibi dan Retna Sari. Saya tida takut aken mengaku, yang memang saya taro cinta padanya. Siapakah dalem dunia tida nanti tertarik oleh gadis yang begitu manis" Apalagi kalu ia ada satu anak turunan bangsawan yang jadi misanannya sendiri."
"Oh, inilah sebabnya maka bebrapa hari yang lalu kau tulis padaku aken jangan dulu lamar putrinya Bupati Cianyar?" menanya ayahnya.
"Tida salah, Rama," saut Moelia. "Saya tida bisa idup jikalu tida dengen Retna Sari, biarpun ia ada satu anak prampuan dusun yang tida terplajar. Sekarang kita sudah tau siapa ada ibu-bapanya, yang disatu fihak ada jadi kita punya familie sendiri, di laen fihak ada turunan orang bangsawan kuno dan agung, yang tida kalah derajatnya dengen Sunan Solo atawa Sultan Jokja. Tentang plajarannya, saya rasa Roekmini bisa tulung pimpin supaya ia bisa membaca dan menulis. Maka saya harep rama dan ibu tida bikin kabratan aken saya menikah dengen ini misanan."
"Nanti dulu, jangan omong begitu gampang," saut Bupati Rangkas-gombong. "kau musti tegesken lagi pada ayah dan ibunya Retna Sari, apa ia tida kabratan mempunya mantu satu priyaie rendah, satu assistant wedana, sedeng anaknya ada satu putri, satu Kroon Prinses25 dari Karajaan Pajajaran. Jangan gegabah kau hendak melamar satu anak raja."
Semua yang denger ini omongan jadi tertawa. Akhirnya Soeryati berkata:
"Ini urusan baek dibicaraken saja pada suamiku. Aku sendiri tida kabratan apa-apa."
Raden Moelia lalu sembah bibinya itu dengen rupa girang. Ia lalu pergi ka kamar blakang di mana Roekmini dengen Retna Sari duduk berduaan. Ia dapetken adenya lagi membaca satu buku Sunda, sedeng Retna Sari mendengerin di sablahnya dengen sunggu hati.
"Roekmini," kata Raden Moelia, "kau musti ajar Retna membaca dan menulis, sebab siapa tau, dengen kurnia Allah dikomudian hari ia aken jadi Raden Ayu Bupati dari Rangkas-gombong . "
Sang ade mengarti kamana tujuannya itu omongan. Orang banyak sudah tau yang Raden Moelia ada harepan besar aken bisa gantiken ayahnya menjadi Bupati. Ia tersenyum dan menjawab: "Kalu begitu terpujilah itu Krakatau, yang beserta ancemannya yang begitu heibat dan mena-kutken, sekarang telah
membuka jalan aken sudaraku dapet punyaken satu gadis yang begini eilok dan cantik."
XVI Pengorbanan dari Pandita Noesa Brama
Tatkala besok paginya Bupati Rangkas-gombong dengen istri, sudara dan anak-anaknya dateng di atas bukit Ciwalirang, ia dapetken dalem pondok pandita cumah ada Koesdi saorang diri, yang membri tau dari kemaren pagi Noesa Brama ada di dalem gowa dengen tida mau ketemu orang, lantaran terlalu sakit hati ditinggal pergi oleh anak istrinya, yang disangka sudah lari mengikut itu orang-orang Palembang.
"Kalu begitu," kata Soeryati, "biarlah aku masuk ka dalem gowa aken kasih terang duduknya hal kerna kaliatannya suamiku sudah salah mengarti".
Begitulah itu istri pandita bersama Koesdi sudah masuk ka dalem gowa, dan tida lama iaorang kaluar kombali bersama Noesa Brama yang rupanya amat lelah dan lesu, lalu dikasih ajar kenal pada Bupati dengen Raden Ayunya dan anak prampuannya.
Sasudahnya marika masing-masing mengambil tempat duduk di bale-bale, Soeryati lalu tuturken pada suaminya apa yang ia telah alamken sadari Noesa Brama dibawa oleh orang-orang dari veldpolitie, sampe waktu iaorang ditulung di sampingnya pulo Krakatau oleh Raden Moelia. Kemudian ini assistent wedana lanjutken itu cerita dengen tuturken cara bagimana ia sudah ambil tindakan aken tulungin istri dan anak pandita yang dibawa lari. Lebih jau ia bri tau juga bagimana bebrapa hari di muka ia sudah pergokin waktu Abdoel Sintir bicaraken iapunya maksud jahat, dan tentang sikepnya Retna Sari yang blon perna bikin perhubungan apa-apa dengen itu lelaki durhaka, yang pembriannya ia kepaksa trima lantaran dari kabodoannya.
Sasudahnya mendenger ini cerita, Noesa Brama tarik napas panjang sedeng aer mukanya menunjukken tegas iapunya rasa menyesel. Dengen kepala tertunduk ia berkata:
"Kalu begitu, aku sudah berbuat kakliruan besar lantaran terlalu terburu nafsu, hingga menyilakan pada banyak orang."
"Tida," saut Raden Moelia, "tida satu orang yang dapet cilaka lantaran itu kakliruan, salaennya dari si Abdoel Sintir dan kawan-kawannya."


Drama Dari Krakatau Karya Sinng In Kiok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang betul sekarang blon ada kacilakaan apa-apa," saut pandita; "tapi siapa bisa pastiken apa yang aken jadi di komudian hari lantaran meletusnya Krakatau."
"Kalu betul meletusnya itu gunung api ada dari kau punya perbuatan, tuan pandita, tentulah kau bisa juga berdaya aken bikin ia jadi sirep kombali," kata Bupati 1 [asan
"Kalu saya bisa berbuat begitu tentu saya tida usah must 1 menyesel," saut Noesa Brama. "Sasudahnya itu area yang suci dari Betara Wishnu saya bikin rusak, tida ada satu apa yang bisa mencegah meletusnya itu gunung api dan musnanya turunan dari kaum karajaan Pajajaran."
"Apakah boleh jadi itu area ada begitu manjur?"
"Ini saya tida bisa bilang, tapi diliat dari apa yang lelah kajadian, ternyata ada betul apa yang orang tuaku bilang, bahua itu area yang suci dari Betara Wishnu, yang ada dalem gowa dari ini gunung, mempunyai pengaruh besar bagi keslametannya ini negri."
Pandita Noesa Brama lalu tuturken bunyinya tulisan yang ada di blakang itu area, dan apa yang ia telah saksiken kutika terjadi perletusan pada 45 taon yang lalu.
"Kalu kau tau itu area ada begitu manjur dan mempunyai pengaruh besar bagi keslametan ini negri, mengapakah kau begitu gegabah aken rusakken?"
"Dari sebab saya percaya yang saya punya istri dan anak telah minggat dengen itu orang-orang jahat dari Palembang, hingga saya jadi nekat dan putus harepan, dan lalu ambil pembalesan dengen rusakken itu area supaya Krakatau bekerja kombali aken bikin ancur ini negri dan tenggelemken itu prau dengen apa iaorang melariken diri. Lantaran perbuatan anak dan istriku itu, saya anggep dunia sudah jadi terlalu kotor, hingga musti disapu dan dibikin bersih kombali. Kau brangkali tida tau. Kanjeng Bupati bagaimana kalakuannya Retna Sari, kalu betul ia melariken diri, ada sanget menyakitken hatiku, kerna ia bukan saja menghina dan melanggar prentah dari satu ayah, tapi juga ia rusakken derajat dirinya sendiri dan kita punya turunan."
"Itu hal saya sudah tau, kerna saya punya sudara, kau punya istri, semalem sudah tuturken semua dari kau punya pangkat dan kadudukan. Saya merasa girang sudaraku sudah bersuami pada turunan pengabisan dari kaum karajaan Pajajaran yang maha agung, dan saya tau juga anakmu Retna Sari ada jadi ahliwaris dari Putri Makota dari itu warisan besar."
"Apakah istriku ada kau punya sudara?" menanya Noesa Brama dengen kaget.
"Betul," saut Bupati, yang lalu tuturken bagaimana itu pertandaan gelang dan rante sudah membuka jalan hingga ia bisa kenalin pada Soeryati.
Noesa Brama dengerken ceritanya Bupari Rangkas-gombong dengen terliti, komudian ia lalu berkata:
"Saya merasa girang yang istriku sudah bisa bertemu kombali pada iapunya sudara, satu priyaie berderajat tinggi, hingga ia dan Retna Sari punya nasib buat hari ka depan bakal ada yang urus dan perhatiken."
"Oh, itu sudah tentu, tuan pandita jangan kuatir," saut Bupati; "Saya nanti jaga dan lindungken iaorang semua supaya tida ada lagi orang jahat yang brani mengganggu dan bikin tercemar iaorang punya derajat. Laen dari itu, saya dan istriku telah dapet pikiran tetep akan lamar Retna Sari buat jadi istrinya Moelia yang ada taro cinta keras padanya sadari pertama kalih ia bertemu di ini gunung. Saya harep kau tida tampik ini lamaran, yang saya rasa tida terlalu merendahken pada kau punya derajat dan turunan, kerna saya punya putra di komudian hari ada banyak harepan aken jadi Bupati dari Rangkas-gombong."
Noesa Brama tunduk berpikir. Bebrapa minuut komudian ia angkat kepalanya dan menyaut: "Baeklah saya trima kau punya lamaran. Raden Adipati, kerna ini ada jalan yang paling baek buat lindungken anak istriku kalu saya sudah tida ada lagi di dunia. Kalu nanti kau kombali ka Rangkas-gombong, bawalah Retna Sari dan istriku bersama-sama, aken diajar supaya ia mengenal apa yang perlu diketahui oleh istri dari satu priyaie berderajat tinggi." "Saya harep kau pun turut sama-sama."
"Tida bisa. Raden Adipati, dari sebab saya ada punya laen kawajiban, yaitu saya musti coba sabrapa bisa aken betulken kombali saya punya kesalahan dan menyega terjadinya itu bincana heibat yang timbul dari Krakatau."
"Kalu begitu toh masih ada jalan aken mencegah itu bahaya?"
"Cumah ada satu jalan saja, dan ini jalan ada yang paling suker dan berat." "Cara bagaimanakah itu?"
"Sekarang saya blon bisa terangken, cumah saya minta Raden Adipati dengen Raden Ayu dan anak-anak semua turut masuk ka dalem gowa aken jalanken satu upacara yang penting."
Sasudahnya disediaken bebrapa lilin dan obor, itu sekalian tetamu bersama anak dan istri pandita lalu mengikuti Noesa Brama masuk di itu gowa dari gunung Ciwalirang dan duduk berkumpul di itu kamar di depan bekas tahta dari Betara Wishnu.
Itu pandita lalu tuntun anak prampuannya aken naek di itu tahta yang sudah kosong, disuru duduk bersila disitu, sedeng ia sendiri berdiri di sampingnya lalu berkata pada sekalian orang yang hadir:
"Sanak sudara sekalian! Di ini hari Retna Sari, saya punya anak yang satu-satunya, saya tetepken aken jadi saya punya penganti sabagi kapala dari kaum karajaan Pajajaran dengen gelaran Sri Ratu Dewi Retna Sari. Tapi lantaran sabentar ia aken menikah dengen Raden Moelia, putranya Raden Adipati Hasan di Ningrat, Bupati dari Rangkasgombong, maka ia tida bisa lanjutken pegang ini pangkat dan gelaran, hingga dengen begitu, dynastie Pakuan Pajajaran yang sudah berjalan turun temurun lebih dari limaratus taon lamanya aken sampe di akhirnya, kacuali kalu Retna bisa melahirken putra lelaki, yang komodian boleh sambungken pangkat dari ibunya, dan pangku juga itu jabatan pandita sabagimana saya biasa berbuat, yaitu memelok agama jeman dulu dan kunjungin segala tempat-tempat suci serta menjaga barang pusaka karajaan. Tapi pada sablonnya pernikahannya Retna Sari dan Raden Moelia disahken, saya ingin dapet kepastian lebih dulu dari saya punya bakal mantu dan bakal besan dua-dua: apakah ada kabratan atawa tida kalu anak lelaki pertama yang dilahirken oleh Retna Sari, dititahken memelok agama Hindu dan dijadiken pandita dari orang Baduy?"
"Aken hal itu," jawab Bupati Rangkas-gombong, "saya tida ada kabratan. Cumah saya ingin tau, apakah ada begitu perlu buat di jeman sekarang diadaken itu pandita yang musti gunaken sabagian besar dari penghidupannya aken tinggal di dalem utan dan sembahyang dalem gowa-gowa dan tempat sunyi di pagunungan yang ampir tida bisa didatengin orang?"
"Itu ada perlu sekali!" saut Noesa Brama dengen suara tetep.
"Apakah tuan pandita bisa unjuk bukti-bukti dari itu kaperluan?"
"Bukti" Liatlah saja apa yang terjadi dengen itu Krakatau! Dan salaennya dari itu, ada pula satu suai laen yang lebih penting yang sekarang saya mau terangken, tapi saya minta dipegang resia."
"Menurut pesanan dari saya punya ayah, yang dapet pesenan lagi dari kake moyangnya, itu tempat-tempat suci perlu sekali dirawat dan dihormat terus satiap taon, sebab begitu lekas ini pulo Jawa terlilit oleh besi, rumah-rumah bisa pindah sendiri dari satu ka laen tempat, dan kuda sambrani bisa disewa oleh orang banyak aken plesiran di udara, niscaya sudah dateng temponya aken Bumiputera memegang kwasa kombali di ini pulo dan pengaruhnya sekalian bangsa asing aken jadi
musna. Di itu kutika nanti muncul di Jawa Kulon satu karajaan besar dan tegu di mana orang Sunda aken pegang prentah dan turunan dari karajaan Pajajaran bakal berkwasa dan jadi jaya kombali seperti dulu. Kapan sudah jadi begitu, itu pusaka karajaan dan tempat-tempat suci yang sekarang tida diperduliken lagi, nanti dirawat dan dimulyaken sabagimana mustinya: maka itu kita-orang, yang jadi turunan dari raja-raja dulu, harus berdaya supaya segala peringetan dari tempo yang lalu tida menjadi linyap, sablonnya ramalan di atas jadi berbukti nyata.
"Kau saksiken sekarang, Raden Adipati, itu tanda-tanda yang diramalken oleh orang dulu, sudah mulai kaliatan. Antero pulo Jawa sudah dililit oleh besi rail dari kreta api: itu autobus,26 vrachtauto27 dan automobiel28 yang macemnya sabagi rumah, satiap hari muncang mancing29 dari satu ka laen tempat. Masin-masin terbang bukan saja bisa diliat, tapi juga bisa disewa dan dinaekin oleh penduduk yang brani membayar. Kalu ini semua ditambah lagi dengen pergolakan antara rahayat yang mengandung angen-angen ingin mer-dika, maka saya percaya dalem bebrapa pulu taon lagi ini pulo Jawa aken menampak perobahan yang sanget penting, hingga itu ramalan aken berbukti."
Bupati Rangkas-gombong bengong berpikir, kerna hatinya sanget tertarik dengen itu omongan. Komudian ia berkata:
"Apa yang kau bilang tadi, tuan pandita, boleh jadi ada bener, boleh jadi juga ada kliru. Tapi saya sendiri rasa, memang pantes diadaken orang yang jujur dan boleh dipercaya aken tilik itu tempat-tempat suci dan menjaga pusaka karajaan dari jeman Pajajaran, yang kabarnya terdiri dari barang-barang yang mahal dan serba indah, yang sudah tentu ada sanget besar harganya, hingga tida boleh disrahken pada sembarang orang. Tapi di manakah itu barang-barang ada disimpen" Siapakah yang kenal itu tempat kalu kau sudah tida ada?"
"Itu tempat saya tida boleh unjuk pada siapa juga, kacuali kalu itu orang sudah bilang pulu taon ada jadi kita punya kaum dan memuja pada kita punya agama. Sekalipun saya punya istri sendiri tida boleh dikasih tau. Kalu sudah sampe temponya, aken disrahken pada kepala dari itu karajaan Sunda yang bakal diberdiriken kombali di Jawa Kulon, tentu nanti dateng orang-orang dari pagunungan yang aken unjuk itu tempat, maskipun saya sendiri sudah lama meninggal, kerna bukan cumah saya saja yang tau di mana itu pusaka ada disimpen."
"Apakah Retna Sari, yang sekarang jadi ahliwaris dari karajaan Pajajaran, juga tida boleh dikasih tau?" menanya Raden Moelia.
"Tida berguna, sebab satu anak prampuan muda seperti ia, blon tentu bisa jalanken itu kawajiban. Tadinya saya pikir hendak ajak ia liat itu tempat-tempat tapi sekarang saya rasa lebih baek menunggu sampe ia sudah berputra."
"Tapi kalu ibu dan ayahnya sendiri tida tau, siapakah di komudian hari yang aken ajar dan unjuk jalan pada itu anak?"
"Jangan kuatir, kerna ada bebrapa kepala dari orang Baduy yang nanti terangken itu semua. Kapan itu anak sudali berusia limablas taon, bawalah dan suru ia tinggal di kita punya tempat di deket desa Citorek di kaki pegunungan Kendeng. Ia nanti diperlakuken dengen hormat dan diajar apa yang ia musti tau oleh kepala-kepala dari orang Baduy yang jadi kita punya mantri-mantri dan pemimpin adat."
"Tapi bagaimanakah itu orang-orang bisa tau yang itu anak ada turunan dari marika punya junjungan?"
Pandita Noesa Brama tersenyum dan berkata: "Satu dari itu barang-barang pusaka yang paling berharga, ada disimpen dalam ini gowa. Siapa yang pegang itu, ia dipandang sabagi kepala, maski juga buat diakui sabagi raja, musti ada punya lagi laen-laen pusaka."
Abis bilang begitu itu pandita lalu berjalan ka satu pojokan dari itu kamar, dan dengen dibantu oleh Koesdi ia lalu kiserken satu batu yang macemnya pesegi ampat, yang ada di samping tembok karang. Sasudahnya itu batu dising-kirken, kaliatan satu lobang besarnya satenga meter pesegi, di mana dari terangnya obor, ada mencorong sarupa barang yang terbikin dari emas. Dengen hati-hati pandita angkat kaluar itu barang yang ternyata ada semacem tutupan kepala seperti biasa dipake oleh wayang wong, cumah perhiasannya ada lebih indah dan ditabur oleh mirah dan jambrut.
"Inilah ada makota dari karajaan Pakuan Pajajaran. Ini Makota sudah perna dipake di kepalanya Prabu Siliwangi, Prabu Guru Dewata Bhana, Sang Ratu Dewata, Rahiyang Dewa Niskala dan laen-laen raja besar. Banyak darah telah ditumpahken waktu raja Poernawarman, yang bertahta di Taruma Negara, memalumken peperangan dengen Pakuan aken merebut ini makota. Sekarang biarlah ia riasken kepalanya Sri Ratu Dewi Retna Sari!"
Abis bilang begitu, Noesa Brama menghamperi anak prampuannya yang masih duduk bersila di atas itu tahta dari Betara Wishnu, lalu taro itu makota di kepalanya, sementara sang ayah ucapken satu dua nyanyian dalem bahasa Sunda kuno bercampur bahasa Sangkrit.
Setelah abis berdowa, itu makota lalu diangkat, dibung-kus oleh sapotong kaen puti, dan oleh pandita disrahken pada Raden Moelia sambil berkata:
"Jagalah ini barang yang aken membikin kau punya anak lelaki menjadi yang dipertuan dari sekalian orang Baduy di antero Bantam. Tapi ingetlah, jangan kau ceritaken pada sembarang orang apa yang kau liat dan saksiken disini; jangan kasih liat atawa ceritaken pada siapa juga tentang ini makota, dan jangan kau kasih pake pada orang yang tida berhak, kerna terkutuklah segala orang yang brani pake ini makota kalu ia bukan turunan yang sah dari karajaan Paj aj aran."
Sasudahnya Moelia berjanji aken perhatiken itu pesenan, Noesa Brama berkata kombali:
"Marilah anakku Moelia, berduduk di sablahnya kau punya tundangan,30 kerna aku ingin sahken kau punya pernikahan di ini tempat dan sekarang juga."
Moelia turut apa yang diprentah, lalu naek di atas itu batu tahtanya Betara Wisnu dan duduk bersila di sablahnya Retna Sari.
Itu pandita lalu prentah Koesdi nyalahken itu pendu-paan, komudian ia lalu berdowa sambil menyanyi aken minta berkahnya dewa-dewa dan kake moyangnya. Komudian pandita minta iapunya besan lelaki pegang tangan kanannya Moelia, sedeng ia sendiri pegang tangannya Retna Sari, dan itu dua tangan dikasih berjabat satu pada laen. Dengen ini upacara saderhana pernikahannya itu Putra Bupati dengen Sri Ratu yang pengabisan dari karajaan Pajajaran, telah dianggep sah oleh itu pandita, dan itu kadua penganten lalu turun dari itu singasana aken bersujut dan cium kaki orang tuanya masing-masing .
Noesa Brama lalu minta Moelia dan semua orang-orang prampuan kaluar dari itu gowa, cumah Bupati Hasan dan Koesdi yang masih tinggal di dalem.
"Sekarang", kata itu pandita, "saya sudah brenti jadi Raja dari Pajajaran dan kepala dari kaum Baduy, sebab itu kakwasaan saya sudah srahken pada Retna Sari dengen kasih padanya buat pake dan simpen itu makota. Saya punya kawajiban di ini waktu ada buat bikin betul kombali saya punya kakliruan lantaran terlalu turutin hawa nafsu amarah hingga banyak jiwa manusia bakal terancem oleh meletusnya itu Krakatau. Buat mencegah itu bahaya, tida ada laen jalan cumah saya musti pergi ka Sorgaloka atawa Dewachan, tempat kadiaman dari saya punya kake moyang dan sekalian dewa-dewa, aken minta pertulungannya supaya itu bincana bisa dicega. Jadi tegasnya, saya musti singkirken diri dari ini dunia lantaran sudah menanggung dosa dengen berbuat itu kakliruan besar, dan sabagi orang alus brangkali saya lebih bisa mencegah terjadinya itu bahaya dari pada tinggal dalem dunia dengen pake badan yang kasar, hingga saya punya gerakan sanget diwatesken."
Bupati Hasan membujuk dan hiburken pada Noesa Brama supaya batalken niatnya itu, dengen kasih alesan, blon tentu Krakatau nanti timbulken bincana besar, apalagi sekarang segala persediaan lagi diatur, hingga kalu terjadi perletusan rahayat semua aken keburu menyingkirken diri.
Tapi maski dibujuk bagimana juga, itu pandita tida ladenin, dan mulai tinggalken banyak pesenan pada Koesdi yang sabagian diucapken dengen berbisik hingga tida katauan apa yang diomongken. Yang kadengeran cumah ia bri prentah aken Koesdi balik ka kampungnya di kaki gunung Kendeng buat usahaken sawah-sawah dan kebon dan saban taon sedikitnya satu kalih musti dateng tengok pada Retna Sari, yang bersama ibunya, bakal berdiam di kabupaten Rangkas-gombong sampe pernikahannya Raden Moelia dan Retna Sari sudah dirayaken dengen officieel.
Sasudahnya slese tinggalken itu pesenan, Noesa Brama silahken iapunya besan pergi kaluar dari gowa aken dahar, kerna itu waktu sudah tengahari. Dari Sindanglaut itu Bupati memang ada bawa banyak barang makanan, hingga maski dalem itu pondok ada banyak orang, semua bisa dahar sampe puas. Itu angin gunung yang adem, dengen sejuk dan sunyinya itu tempat, ditambah pula oleh rasa bruntung dari itu pertemuan dan pernikahan yang menarik hati, membikin iaorang semua dapet nafsu makan yang lebih dari biasa, dan sasudahnya dahar marika jalan-jalan di pelataran aken memandang ka selat Sunda di mana bekerjanya Krakatau kaliatan dengen tegas sekali, apalagi sebab marika ada bawa tropong.
"Liatlah," kata Bupati pada istrinya: "Bagimana heibat bekerjanya itu kawah di bawah laut yang satiap minuut mengeluarkan asep item dan muntahken api dan lumpur. Tapi ini semua tida berarti kalu dibandingken dengen apa yang kajadian pada tempo dulu."
"Saya harep saja hal ngeri itu tida tertampak lagi," saut Raden Ayu.
"Saya nanti coba berdaya aken bikin pengharepannya Raden Ayu lekas terkabul," berkata Noesa Brama yang berdiri di sablahnya. "Kalu saya punya percobaan berhasil, niscaya dalem satu minggu bekerjanya itu gunung api jadi kurangan, kalu bukan brenti sama sekali."
Sigrah juga hari sudah jadi lohor dan matahari mulai doyong ka Kulon. Awan item yang melayang-layang di udara
menunjukken tida antara lama pula bakal turun ujan. Bupati Hasan ambil putusan aken lekas turun dari itu gunung dan brangkat pulang, dengen bawa sudara dan mantunya, sedeng pandita Noesa Brama lebih suka tinggal di itu pondok bersama Koesdi.
Tatkala itu Bupati ampir brangkat, pandita bisikan di kupingnya ini perkataan:
"Ingetlah, Raden Adipati, jangan kau ceritaken pada istriku atawa Retna Sari atawa pun pada Moelia, tentang aku niatan. Jiwaku ini ada terlalu murah kalu dibandingken dengen kaslametannya bilang pulu ribu manusia yang harus dilindungken. Kau bilang pembesar-pembesar telah ambil aturan aken lepasken rahayat dari itu bincana, tapi saya rasa kalu bahaya alam sudah dateng menyerang, tida ada kepan-dean dari manusia yang sanggup menangkis. Maka itu saya berniat tetep aken tinggalken ini badan yang kasar, begitu lekas kau-orang semua sudah berlalu dari sini. Tapi buat kasenang annya kita punya anak, mantu dan istri sendiri, yang sedeng berada dalem kabruntungan besar, kau musti pegang resia atas apa yang aken terj adi."
"Memang boleh saya pegang resia," saut Bupati, "tapi apakah anak istrimu bisa merasa puas kalu iaorang tida bertemu lagi padamu?"
"Sudah berpuluan kalih saya tinggalken iaorang dengen mendadak hingga berbulan-bulan, maka iaorang tida nanti berkuatir kalu saya sekarang linyap, apalagi pada istriku saya sudah kasih tau, saya mau lekas brangkat. Bikinlah supaya Retna Sari dan kau punya sudara Soeryati bisa idup bruntung. Iaorang punya nasib aku srahken dalem tanganmu!"
Abis bilang begitu, Noesa Brama lalu angsurken tangannya aken kasih salam yang pengabisan, lalu ia berjalan dengen lekas aken masuk dalem pondoknya. Bupati Hasan, yang sabrapa boleh hendak cega iapunya niatan itu, lalu mengikuti dari blakang. Ia dapetken itu pandita sudah masuk ka dalem gowa. Lantaran badannya itu bupati ada gemuk, maka ia cumah bisa merangkang dengen perlahan di itu mulut gowa yang amat sempit. Tatkala ia sudah ada di dalem dan jalan menuju ka itu kamar sembahyang, ia cumah dapetken Koesdi lagi duduk bersila sambil berdowa di pinggir sumur." "Mana tuan pandita ?" tanya itu Bupati.
Koesdi tida menyaut. Dengen rupa sedih ia cumah angkat tangannya dan menunjuk ka itu sumur, dari mana
Bupati Hasan lalu berlutut mengadepi itu sumur dan membaca dowa sacara orang Islam aken minta kaslametan bagi rohnya Noesa Brama. Komudian ia bersama Koesdi lalu kaluar dari itu gowa yang mulutnya lantes ditutup kombali oleh itu
batu ceper dan diuruk dengen tanah dan pepuhunan idup hingga tida bisa kaliatan, kalu bukan oleh orang yang sudah tau itu resia. Dengen pengrasaan sedih itu Bupati lalu turun dari atas gunung menyusul kawan-kawannya. Ia dapetken Moelia sedeng bergandengan tangan bersama Retna Sari, beromong-omong sambil tertawa. Oh, kalu iaorang tau apa yang baru terjadi di dalem gowa, itu sinar matahari kagirangan tentulah aken berobah menjadi ujan aer mata!
Pada hari esoknya, Koesdi sudah rombak itu pondok di puncak gunung Ciwalirang dan angkut itu sedikit barang-barang yang katinggalan, aken balik ka tempat tinggalnya pandita di pagunungan Kendeng, dalem utan yang lebet di antara kaum Baduy. Begitulah itu puncak dari gunung Ciwalirang, yang dalem hal ini bebrapa minggu telah saksi-ken berbagi-bagi macem drama dari penghidupan manusia, telah menjadi sunyi kombali, dan tida antara lama itu tempat di mana ada terletak pondok pandita, dengen pelatarannya yang begitu menarik hati, sudah tertutup oleh alang-alang dan pepuhunan utan yang lebat, di mana senggarangan31 dan kucing utan biasa berglandangan.
Bebrapa minggu komudian dengen hati lega penduduk di Jawa Kulon dapet baca di surat-surat kabar rapportnya Dr. Stehn bahua bekerjanya Krakatau sudah banyak kurangan, hingga penduduk di pasisir, yang sudah melariken diri dan angket barang-barangnya, telah balik kombali dan urus pakerjaannya seperti biasa. Apa memang maunya natuur itu perletusan menjadi urung, atawa rohnya pandita Noesa Brama sudah bisa cega itu bincana heibat, itulah tida bisa dibilang. Itu patung yang sudah ancur dari Betara Wishnu, yang terpendem dalem sumur dari gowa gunung Ciwalirang, kaliatan sampe sekarang masih merasa penasaran dan hendak lanjutken ancemannya aken terbitken kabinasaan pada penduduk Bantam dengen gunaken perantaraannya Krakatau; tapi rupanya di laen fihak ada satu kakwasaan yang mencega, hingga bekerjanya Krakatau sabentar heibat, sabentar sirep kombali. Nyata sekali di saputernya Krakatau ada terjadi satu perguletan, antara Karusakan dan Kaslametan. Fihak manakah yang akhirnya menang"
TAMAT Cicurug, 28 Mei 1928 Cheribon = Cirebon. Sembu.nl = sembunyl. Ierland = Irla.nd.ia. Asia. Selatan Timur = Asia Tenggara.
Pepreksaan dengen terliti = pemeriksaan dengan teliti. Rangkasgombong = sekarang Rangkasbitung. Semprong = cerobong. Gapein = menggapai. Bestuur = pemerintah.
Straat = jalanan. "Massigit = masjid. Rekest = petisi. Veriof = cufci kerja.
Mantri irrigatie = mantri pengairan.
Kasep = terlambat. Dienst = dinas. Potlood = pensil. Typ = mengetik. Bade = menerka. Dikemuken = dikumur. Jampeken = mantrai. Spion = mata-mata. Serepin = selidiki. Merandek = berhenti sejenak.
Mengkirik = takut, ngeri.
Somplak = hancur. Prinsenstraat = Selat Pangeran.
Behhouden-passage = Jalur Pert.ah.anan.
Peper-Baai = Teluk Lada. Java's Derde Punt = Ujung Ketiga Jawa.
Merangkang = merangkak. Tunit saya punya pengliatan = Hemat/sepengetahuan saya. Bestuurschool = sekolah untuk pejabat pemerintah. Kulawarga = keluarga. Tercenggang = tercengang, kaget.
Vrij = istirahat, libur.
Motorfiets = sepeda motor.
Mengiser = bergeser. Erct = porot. Lodong = bambu besar. Melinyasin = menghilangkan.
Petaken = menduga, menempatkan.
Guden avond meneer = selamat malam Tuan.
Trommol = kotak, kopor. " Stoombarkas = kapal uap.
Tersedar = tersadar. Pengrasaan = perasaan. Pengunjukan = petunjuk, pemberitahuan.
oorzitter Landraad = Ketua Pengadilan. "'"Kapan = bukankah.
Penyomel = pengomel, pengadu.
Berklerep = berkilat. Cagak = cabang. Tersumpet = terjerumus. los Merandek = berhenti sejenak.
Limpas = luber. Lamping = lereng. Karuhun-karuhun = nenek moyang.
Kroon Prinses = Putri Raja.
Autobus = bus. Vrachtauto = truk. Automobiel = mobil. Muncang-mancing = rungsing.
Tundangan = tunangan. Senggarangan = musang. Candi Murca 1 Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye Kait Perpisahan 2

Cari Blog Ini