Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain Bagian 1
THE SECRET MOUNTAIN by Enid Blyton Copyright Darrell Waters Limited 1941
" All rights reserved First published by Basil Blackwell Ltd 1941
EMPAT SERANGKAI: GUNUNG RAHASIA Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM 86.061 Hak cipta terjemahan Indonesia PT Gramedia, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Sampul dikerjakan oleh Nono. S
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI Jakarta, Maret
1986 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
Djvu: BBSC ==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Daftar Isi 1. Awal Mula Suatu Petualangan
2. Tengah Malam 3. Perjalanan yang Menggairahkan
4. Di Negeri Aneh 5. Menunggu Berita 6. Cerita Aneh si Ranni 7. Kedatangan Mafumu 8. Perjalanan Panjang 9. Gunung Rahasia 10. Kejutan 11. Air Terjun 12. Jalan Masuk ke Perut Gunung
13. Penemuan Mafumu 14. Di Dalam Gunung 15. Di Puncak Gunung 16. Perjalanan Aneh dengan Kejutan
17. Ranni dan Pilescu Lolos
18. Kurban 19. Matahari Menghilang! 20. Burung Raksasa 21. Lolos 22. Selamat Tinggal, Mafumu!
1. Awal Mula Suatu Petualangan
Pagi-pagi sekali, pada suatu hari yang cerah, empat orang anak berdiri di sebuah
lapangan terbang. Lapangan terbang itu ditumbuhi rumput kasar. Dua orang lelaki
nampak sedang memutar baling-baling sebuah pesawat udara berwarna putih
berkilauan. Anak-anak asyik memperhatikan kedua orang itu bekerja.
Wajah anak-anak itu agak sedih. Mereka hendak berpisah dengan ayah dan ibu
mereka yang sebentar lagi akan berangkat terbang ke Afrika.
"Punya ayah dan ibu yang terkenal berprestasi banyak dalam dunia penerbangan
memang bangga," kata Mike. "Tapi, kalau beliau pergi ke tempat yang jauh - tak
enak juga!" "Ah, kan perginya tak lama," ujar Nora, saudara kembar Mike. "Seminggu lagi kita
sudah bisa bertemu lagi dengan Ayah dan Ibu."
"Ya, tapi aku punya firasat sepertinya akan lebih lama dari itu," kata Mike pula
dengan suram. "Hus, jangan berkata yang bukan-bukan begitu dong, Mike!" komentar Peggy. "Suruh
dia berhenti ngomong, Jack!"
Jack tertawa. Bahu Mike ditepuknya.
"Sudahlah, Mike!" katanya. "Jangan bersedih begitu. Seminggu lagi kita akan
berada di tempat ini lagi - menyambut kedatangan beliau. Bukan cuma kita yang
datang menyambut Tapi, banyak wartawan yang akan mengerumuni kita - memotretmu,
bahkan - karena kau adalah putra pilot paling kawakan di dunia!"
Ayah dan ibu anak-anak datang. Mereka mengenakan pakaian penerbang. Keduanya
mencium dan memeluk anak-anak itu.
"Jangan kuatir," kata ibu mereka. "Tak lama lagi Ayah dan Ibu pulang. Kalian
bisa mengikuti perjalanan terbang kami dengan membaca koran tiap hari. Kalau
Ayah dan Ibu pulang nanti, kita akan mengadakan pesta. Kalian boleh ikut pesta
sampai pukul sebelas malam."
"Wah!" ucap Jack. "Kalau begitu, mulai sekarang kami harus tidur sore-sore
supaya tidak ngantuk kalau pesta seminggu lagi!"
Gurauan Jack kurang lucu sebenarnya. Tetapi semua merasa senang karena ada
alasan untuk tertawa. Setelah sekali lagi mencium masing-masing anak, Kapten dan
Nyonya Arnold naik ke pesawat. Sementara itu baling-baling pesawat sudah
berputar kencang. Kapten Arnold mendapat giliran pertama menjadi pilot dalam babak pertama
penerbangan kali itu. Ia melambaikan tangan kepada anak-anak. Anak-anak melambai
kembali kepadanya. Mesin pesawat menderu lebih keras, lalu pesawatnya mulai bergerak. Mula-mula
perlahan-lahan menyeberangi lapangan berumput, makin lama makin kencang.
Akhirnya, seperti seekor burung yang membumbung ke udara, pesawat itu lepas
landas. Rodanya meninggalkan tanah, dan badannya naik makin tinggi dan makin tinggi ke
udara bebas. Dua kali pesawat itu terbang memutar. Setelah itu ia baru terbang
ke arah selatan. Deru mesinnya masih terdengar walaupun pesawatnya sudah tak
kelihatan. "Aku berani tebak, si Seriti Putih pasti menang lagi," kata Mike, memandang
titik putih yang semakin kabur di ketinggian langit biru. "Kita minum limun
sambil makan kue, yuk!"
Mereka meninggalkan landasan. Tak lama kemudian keempatnya telah duduk
mengelilingi sebuah meja makan di kantin lapangan terbang. Karena semuanya
kelaparan, mereka memesan dua belas buah kue kismis.
"Kita mujur bisa bebas dari sekolah dua hari," kata Mike. "Sayangnya, hari ini
kita sudah mesti kembali. Kalau tidak, wah - asyik! Kita bisa nonton bioskop
atau jalan-jalan." "Kereta api kami berangkat dari London dua jam lagi," ucap Peggy. "Berapa lama
lagi keretamu berangkat?"
"Tiga jam lagi," sahut Jack sambil sibuk mengunyah kue kismisnya. "Kita mesti
cepat-cepat ke stasiun. Lama perjalanan dari sini ke London kira-kira satu jam.
Kalau tidak secepatnya berangkat, bisa-bisa Nora dan Peggy ketinggalan kereta."
"Kita janji, ya - tiap hari masing-masing harus baca koran. Supaya tahu
perkembangan perjalanan Ayah dan Ibu. Lagi pula, supaya kita selalu tahu sudah
sampai di mana beliau," kata Peggy. "Jangan lupa - seminggu lagi kita bertemu
kembali di sini untuk menyambut kedatangan Ayah dan Ibu. Wow! Senangnya minggu
depan ya!" "Terus terang, perasaanku masih kurang enak," ucap Mike. "Rasanya kita bakal
berpisah dengan Ayah dan Ibu untuk waktu yang lama."
"Kau ini ada-ada saja!" Nora tertawa. "He, ngomong-ngombng, bagaimana kabarnya
Pangeran Paul?" Pangeran Paul bersekolah di sekolah Mike. Bersamanya, tahun sebelumnya, anakanak mengalami kejadian yang aneh dan tak terlupakan. Ketika itu Pangeran Paul
diculik dari negeri Baronia, dan ditawan di sebuah rumah tua yang pernah
ditinggali kelompok penyelundup. Anak-anak berhasil menyelamatkan Pangeran Paul.
Sekarang Paul disekolahkan di sekolah Mike dan Jack.
"Dia baik-baik saja," jawab Mike. "Tapi, ketika Bapak Kepala Sekolah tak memberi
izin padanya untuk pergi bersama kami untuk mengantar Ayah dan Ibu - wah,
marahnya bukan main!"
"Salam buatnya. Katakan, kami kangen dan ingin cepat-cepat liburan supaya bisa
bertemu lagi dengannya," kata Peggy. Peggy sangat menyukai si pangeran.
"Ayo berangkat!" kata Mike. "Di mana mobil kita tadi" Oh, itu dia. Ayo, masuk
semua! Jack dan aku masih punya waktu buat mengantar kalian sampai ke dalam kereta,
Nora dan Peggy!" Sore harinya anak-anak sudah berada kembali di sekolah mereka masing-masing.
Pangeran Paul sudah menunggu-nunggu kedatangan kedua orang sahabatnya. Ketika
melihat Jack dan Mike datang, ia berlari menyambut mereka.
"Bagaimana" Besar sekali pesawat terbangnya ya?" tanya Paul berteriak-teriak.
"Sudah lihat surat kabar sore" Ada potret Kapten dan Nyonya Arnold di situ!"
Benar juga. Surat kabar sore memuat banyak artikel mengenai penerbangan besar
yang pernah dilakukan oleh pilot-pilot kenamaan. Dengan bangga anak-anak
membacanya. Hati mereka senang mempunyai ayah dan ibu yang demikian terkenal.
"Aku lebih suka punya ayah jadi pilot kenamaan daripada raja," ujar Pangeran
Paul iri. "Jadi raja banyak tak enaknya. Kalau pilot kan hebat?"
Dua hari berturut-turut surat kabar memuat berita mengenai penerbangan yang
mulus dan hebat. Tetapi, secara mendadak sesuatu yang mengerikan terjadi. Mike
lari mengambil koran yang baru datang. Yang pertama-tama menarik perhatiannya
adalah judul berita utama. Bunyinya,
"SUAMI-ISTRI ARNOLD TAK ADA BERITANYA. KE MANA SI SERITI PUTIH?"
Seriti Putih adalah nama pesawat terbang yang diterbangkan oleh Kapten dan
Nyonya Arnold. Wajah Mike langsung pucat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
diberikannya koran kepada Jack.
Jack memandang judul berita dengan hati kecut.
"Ada apa, ya?" katanya. "Nora dan Peggy pasti kebingungan."
"Aku kan sudah bilang, aku punya firasat tak enak waktu Ayah dan Ibu berangkat,"
ujar Mike. "Aku merasa akan terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan."
Seperti Mike dan Jack, Nora dan Peggy sedih dan bingung. Nora menangis tak
henti-hentinya. Peggy berusaha menghibur saudaranya.
"Tak ada gunanya kaukatakan kepadaku bahwa Ayah dan Ibu tidak apa-apa," sedu
Nora. "Beliau pasti turun di tengah Benua Afrika. Tak ada orang yang tahu bagaimana
keadaan mereka. Mungkin dimakan binatang buas, atau ditawan oleh suku bangsa
yang masih belum beradab, atau -"
"Sudahlah, Nora. Ayah dan Ibu kan membawa cukup banyak persediaan makanan. Di
samping itu, mereka juga membawa senjata api," hibur Peggy. "Seandainya terjadi
kecelakaan dengan pesawat yang diterbangkan beliau, pasti ada regu penyelamat
yang dikirim untuk mencari mereka sampai ketemu. Jangan pikirkan yang terburuk
sebelum kita mendengar berita lebih lanjut."
"Kalau ada Mike dan Jack, mungkin kita takkan jadi sebingung ini," ujar Nora
sambil mengeringkan air matanya. "Bagaimana pendapat mereka, ya?"
"Libur tengah semester tak lama lagi, kan" Dua minggu lagi kita bertemu mereka,"
kata Peggy pula. Anak-anak sangat kecewa ketika surat kabar tidak memuat berita lebih lanjut
mengenai orang tua mereka pada esok harinya. Hal yang sama terjadi pada hari
yang berikutnya. Hari demi hari berlalu. Surat kabar tetap saja tidak memberitakan mengenai
penerbang yang hilang beberapa hari sebelumnya. Berita yang dimuat cuma beritaberita baru yang masih segar. Anak-anak menjadi semakin bingung dan gelisah.
Liburan tengah semester tiba. Keempat anak itu pergi ke London. Mereka hendak
menghabiskan liburan di rumah orang tua mereka. Nona Dimmy yang sudah lama
menjadi sahabat keluarga Arnold akan menemani mereka. Sore itu Pangeran Paul
ikut bersama anak-anak. Siangnya, ia harus menemui orang tuanya yang kebetulan
sedang berada di bagian lain kota London.
"Adakah sesuatu yang dilakukan orang untuk mencari Ayah dan Ibu?" tanya Mike, ia
lega bertemu dengan Nona Dimmy yang ia sayangi.
"Kalian tak perlu terlalu kuatir," ucap Dimmy. "Segala sesuatu yang bisa
dilakukan tentu sudah dilakukan. Sudah beberapa pesawat dikirim ke daerah yang
mungkin menjadi tempat pendaratan ayah dan ibu kalian. Percayalah. Tak lama lagi
pasti ketemu." Dimmy mengajak anak-anak menonton bioskop. Beberapa jam lamanya anak-anak lupa
akan kegelisahan mereka. Hampir magrib, Pangeran Paul datang bergabung. Anak itu
nampak gembira luar biasa.
"He!" serunya. "Ayahku memberiku hadiah ulang tahun yang hebat sekali. Tebak apa, ayo!" "Gajah merah muda," kata Mike segera.
"Jas tidur biru," tebak Nora.
"Tikus-tikusan," seru Peggy.
"Gasing!" ucap Jack.
"Ah, kalian ngeledek," kata Pangeran Paul. ia cuma nyengir, sudah terbiasa
dengan ledekan anak-anak Inggris yang menjadi sahabat karibnya. "Tebakan kalian
salah semua! Ayahku menghadiahi kapal terbang - khusus buat aku sendiri!"
Anak-anak memandang Paul dengan keheran-heranan. Mereka tahu ayah Paul seorang
raja yang kaya raya. Meskipun demikian, rasanya pesawat terbang merupakan hadiah
yang terlalu berlebih-lebihan untuk anak seusia Paul.
"Pesawat terbang!" seru Mike. "Astaga! Mujur benar kau, Paul! Sayangnya kau
masih terlalu kecil untuk menerbangkannya. Jadi, pesawat itu takkan ada gunanya
buatmu!" "Ada," sanggah Paul. "Ayah mengirimkan pilotnya yang paling hebat. Aku bisa
terbang mengelilingi negara kalian - supaya lebih mengenal liku-likunya."
Dari arah jendela, terdengar orang berteriak di bawah.
"Koran! Koran! Berita hangat - Seriti Putih ketemu!"
Sambil memekik, anak-anak berhamburan turun - membeli koran sore. Ternyata
beritanya sangat mengecewakan!
Benar Seriti Putih ketemu - tetapi, Kapten Arnold dan istrinya tidak ada di
dalamnya. Mereka hilang tanpa bekas!
Anak-anak membaca beritanya dengan diam. Seriti Putih berhasil dilihat oleh
sebuah pesawat pencari yang kebetulan mendarat tak jauh dari tempat Seriti Putih
ditemukan. Kelihatannya Seriti Putih mengalami kerusakan. Kapten Arnold sedang berusaha
memperbaiki. Tetapi, sesuatu menyebabkan ia tak bisa meneruskan perbaikan itu.
"Mereka menghilang. Semua penduduk di sekitar situ sudah ditanyai. Tetapi, tak
seorang pun tahu," ucap Peggy hampir menangis.
"Ingin rasanya aku pergi ke Afrika mencari Ayah dan Ibu," kata Mike. Ia tak tahu
betapa luasnya benua itu.
Tiba-tiba Pangeran Paul menyelipkan tangannya pada tangan Paul. Matanya
bersinar-sinar. "Kita pergi ke sana, yuk!" ajaknya. "Aku kan punya pesawat terbang baru! Kita
menumpang pesawat itu. Pilescu, pilot pribadiku, pasti mau menerbangkan kita ke
sana! Orangnya suka bertualang! Ayolah, Mike - kita tak usah kembali ke sekolah!
Kita pergi saja ke Afrika menumpang pesawat baruku!"
Semua terperanjat. Mereka memandang si pangeran dengan terheran-heran. Bukan
main anak itu! "Tak mungkin," kata Mike.
"Mengapa tidak?" sahut Paul. "Kau takut, ya" Kalau kau takut, aku akan pergi
sendiri." "Jangan!" seru Jack. "Mike - gagasan Paul bagus, lho! Kita pernah bertualang
bersama. Apa salahnya bertualang sekali lagi" Kita pergi saja, yuk!"
2. Tengah Malam Tak seorang pun teringat akan bahaya dan risiko yang mungkin mereka jumpai dalam
perjalanan yang dengan singkat mereka rencanakan.
"Kita bilang Dimmy?" tanya Nora.
"Jangan," cegah Jack meremehkan. "Kau kan tahu sendiri bagaimana orang dewasa
itu. Dimmy pasti cepat-cepat menelepon pilot si Paul - melarang dia membawa kita ke
mana pun!" "Ah, kurang baik kalau meninggalkan Dimmy begitu saja tanpa mengatakan ke mana
kita hendak pergi," kata Nora. Nora sangat sayang kepada Nona Dimmy.
"Kita tinggali surat saja," usul Mike. "Usahakan Dimmy baru membaca surat kita
setelah kita berangkat. Jangan sampai Dimmy atau orang lain tahu rencana kita
sebelumnya. Wah, untung saja ya Paul dapat hadiah pesawat terbang!"
"Kapan kita berangkat?" tanya Paul. Matanya yang hitam besar tampak berkilatkilat.
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang juga?"
"Jangan bodoh, Paul," kata Jack. "Banyak yang harus kita siapkan lebih dulu.
Kita perlu membawa senjata, misalnya!"
"Aku kurang suka senjata," tutur Nora. "Ngeri! Takut pelurunya keluar sendiri."
"Mana bisa," kata Jack. "Jangan takut! Kau dan Peggy tak perlu membawa senjata.
Tapi, dari mana kita bisa dapat senjata - aku sendiri tak tahu."
"Pilescu punya segalanya yang kita perlukan," ujar Paul. "Kalian tak usah
bingung-bingung." "Bagaimana dia bisa tahu apa yang mesti dibawa?" tanya Mike. "Aku sendiri belum
bisa mikir apa yang harus dibawa."
"Asal diberi tahu, Pilescu akan mencari semua yang kita perlukan," kata Paul.
"Coba kasih tahu bagaimana caranya menelepon di sini. Aku hendak menelepon
Pilescu." Tak lama kemudian Paul sudah bercakap-cakap dengan Pilescu, pilotnya yang cuma
bisa bengong. Akhirnya, Pilescu bilang ia akan datang menemui Paul - supaya bisa
mengerti perintah yang diberikannya itu dengan lebih jelas.
"Bagaimana kalau pilotmu tak mau?" kata Jack. "Pilot bangsa kami pasti cuma
tertawa dan menyuruh kami sekolah, belajar kali-kalian!"
"Pilescu tidak akan menolak," ujar si pangeran kecil. Dagunya sedikit mendongak
ke atas. Mendadak ia kelihatan benar-benar seorang putra raja. "Dia sudah
bersumpah hendak mengabdi kepadaku selama aku hidup. Dia akan melaksanakan
segala perintahku." "Kalau dia bilang kepada ayahmu, bagaimana?" tanya Mike.
"Yah, dia takkan kujadikan orang kepercayaanku lagi," sahut Paul tajam. "Kalau
sampai hal itu terjadi, Pilescu tentu sedih sekali. Dia sangat sayang kepadaku,
dan menghormati aku. Aku pangerannya. Pada suatu hari kelak, aku akan memerintah
negaraku sebagai raja."
"Omonganmu kayak buku sejarah saja." Peggy tertawa. "Pokoknya, Paul - usahakan
Pilescu mau melaksanakan rencana kita. Sebentar lagi ia pasti datang."
Dua puluh menit kemudian, Pilescu sampai. Kelihatan benar bahwa ia orang asing.
Tubuhnya tinggi kekar, matanya hitam tajam, dan jenggotnya lebat berwarna merah
seperti nyala api kalau tertimpa cahaya matahari.
Tingkah lakunya sopan sekali. Ia mengangguk hormat kepada semua sahabat Paul,
satu per satu. Lalu, dengan suara yang lembut ia berbicara kepada Paul.
"Pangeran, aku rasanya tak percaya kau sungguh-sungguh menyuruhku melaksanakan
perintah yang kausampaikan lewat telepon tadi. Tidak mungkin, Pangeran. Aku tak
bisa melaksanakannya."
Pangeran Paul langsung marah. Kakinya ia hentak-hentakkan ke lantai sementara
wajahnya merah padam dan matanya melotot murka. "Pilescu, berani kau berkata
begitu kepadaku, ya" Ayahku, Raja Yang Dipertuan, mengatakan bahwa kau harus
memenuhi segala perintahku
- sampai pada yang sekecil-kecilnya! Baiklah. Mulai sekarang, kau tidak lagi
jadi orang kepercayaanku.
Kau kukirim pulang ke Baronia. Aku akan minta ayahku mengirim orang lain yang
lebih baik." "Pangeran, sejak kecil kau kugendong dan kutimang. Aku telah berjanji hendak
berbakti kepadamu," ujar Pilescu dengan suara ketakutan. "Aku takkan pernah
meninggalkanmu, Pangeran. Ayahmu memerintahkan agar aku menemanimu. Tapi, jangan
hendaknya kau memintaku melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan bahaya bagimu."
"Pilescu! Aku putra raja! Pantaskah seorang putra raja takut menghadapi bahaya?"
seru Pangeran Paul. "Yang kaulihat di sini ini semuanya sahabatku. Mereka sedang
mengalami musibah. Aku sudah berjanji hendak menolong mereka. Kau ingat, mereka
menyelamatkan diriku waktu aku diculik dan ditawan dulu, kan" Nah, sekarang tiba
giliranku menolong mereka. Dan, kau kuminta melaksanakan perintahku."
Anak-anak memandang Paul dengan heran. Belum pernah mereka melihat Paul bersikap
sebagai seorang pangeran. Tak sampai sepuluh menit kemudian, lelaki Baronia
bertubuh besar dan kekar itu telah berjanji hendak mematuhi segala perintah si
pangeran kecil. Dengan setengah membungkuk, Pilescu meninggalkan Pangeran Paul dan temantemannya. Dimmy tak sempat tahu siapa tamunya.
"Bagus, Paul!" ujar Mike. "Sekarang kita tinggal menunggu kabar dari Pilescu."
Malam itu juga Pilescu menelepon Pangeran Paul. Sehabis berbicara dengan
Pilescu, Paul berlari-lari menghampiri kawan-kawannya. Wajahnya berseri-seri.
"Pilescu sudah menyiapkan segalanya. Semua yang perlu dibeli sudah ia beli.
Tapi, ia menyuruh kita mengepak dua tas berisi barang-barang yang kita pikir
bakal kita perlukan. Kita mengepak sekarang, yuk. Kita harus berangkat tengah
malam, langsung masuk ke mobil yang sudah disediakan di tikungan. Kita ke
lapangan terbang dengan mobil itu!"
"Wah! Asyik benar!" kata Mike.
Nora dan Peggy menggosok-gosok tangan - merasa tak percaya bahwa sebentar lagi
petualangan baru akan segera dimulai. Hanya Jack yang nampak ragu-ragu. ia yang
paling tua usianya. Terpikir olehnya bahwa membawa serta Nora dan Peggy serta
dalam perjalanan yang mungkin berbahaya ini bukanlah tindakan yang bijaksana.
Tetapi, Jack tak sempat menyatakan keraguannya. Mereka semua sudah bertekad
hendak berangkat. Segalanya telah siap. Mereka tinggal mengepak dua tas lagi berisi barang-barang yang akan mereka perlukan. Ya, sebentar lagi mereka hendak
berangkat! Tas telah dipak. Karena hati berdebar-debar, mereka hampir tak dapat berpikir
apa yang hendak mereka masukkan ke dalam tas itu. Ketika akhirnya kedua tas yang
hendak mereka bawa itu penuh diisi, mereka sudah lupa apa saja yang telah mereka
masukkan ke dalamnya! Dengan tangan gemetar, anak-anak mengunci tas mereka. Lalu
Mike menulis surat pendek untuk Dimmy.
Surat itu ia letakkan di atas meja rias di kamar Nora dan Peggy.
"Dimmy yang baik, Kami pergi mencari Ayah. dan Ibu. Jangan kuatir akan keadaan kami ya! Sebentar
lagi kami pasti kembali dengan selamat
Salam sayang dari kami semua."
Pada waktu itu Dimmy sedang bertamu ke rumah temannya, ia baru pulang pukul
sembilan malam. Anak-anak sengaja berangkat tidur dengan berpakaian bagus,
supaya tak perlu ganti baju lagi sebelum berangkat.
Dimmy kaget melihat anak-anak telah berbaring di tempat tidur masing-masing
ketika ia datang. Mereka tidak ribut, dan tidak bergerak dari selimut yang
menutupi tubuh mereka. Dimmy tak mengira bahwa semuanya itu karena mereka tidak mengenakan pakaian
tidur! "Astaga! Kalian pasti kecapekan!" ucapnya heran. "Selamat tidur, semuanya! Tidur
yang enak, ya! Libur kalian masih ada sehari lagi. Jadi, kita bisa memuasmuaskan diri besok."
Semua berbaring tenang-tenang sampai terdengar Dimmy masuk ke kamarnya dan
menutup pintu. Setelah itu mereka memasang telinga, mendengarkan setiap gerakan
Dimmy di kamar sebelah. Akhirnya kedengaran Dimmy mematikan lampu kamarnya.
"Jangan bangkit dulu," bisik Jack kepada Mike. "Biarkan Dimmy tidur dulu."
Setengah jam mereka menunggu. Semuanya diam, tak ada yang mengobrol atau
bergerak-gerak, Nora sampai ketiduran! Peggy membangunkannya. Nora sangat kaget
ketika terbangun. Gelap gulita di sekelilingnya. Di samping itu, ia tidak
mengenakan pakaian tidur! Tetapi Nora segera sadar. Mereka hendak berangkat
bertualang, ia menggosok-gosok mata, lalu mengambil air untuk membasahi matanya
supaya tidak terpejam lagi,
"Jam berapa sekarang?" bisik Mike, ia menyalakan senter dan melihat ke jam
dinding. Setengah dua belas. Sudah hampir saatnya mereka berangkat
"Kita cari biskuit di kamar makan, yuk," ajak Jack. "Rasanya perutku lapar.
Jalannya hati-hati, ya! Paul, jangan sampai tersandung, dan Nora - lepas saja
sepatumu itu, berisik!"
Nora melepaskan sepatunya, lalu menjinjingnya. Jack dan Mike membawa tas.
Kemudian mereka pun berjalan berjingkat-jingkat ke ruang makan. Di sana mereka
menemukan sekaleng biskuit Sebentar saja semuanya sudah asyik mengunyah. Bunyi
biskuit dikunyah terdengar keras di keheningan malam.
"Hus! Bagaimana kalau bunyinya kedengaran oleh Dimmy?" tanya Nora kuatir. Buruburu ia menelan biskuitnya yang belum hancur. Serpihan biskuit yang masih kasar
menyangkut di tenggorokannya. Langsung wajahnya jadi pucat keunguan. Ingin
batuk, tetapi menahan supaya jangan sampai batuk. Akhirnya batuknya tak bisa
ditahan. Nora terbatuk. Yang lain memaki Nora.
"Nora! Jangan berisik!" bisik Jack tajam. Ditariknya taplak meja, lalu cepatcepat ditutupnya mulut Nora dengan gumpalan taplak itu. Batuknya jadi tidak
begitu keras, tetapi cara Jack menutupkan kain ke mulut Nora membuat anak itu
hampir tercekik. Nora marah sekali. Disingkirkannya taplak meja dari mulutnya sambil melotot pada
Jack yang nyengir di belakangnya.
"Jack! Hendak kaucekikkah aku" Jahat amat, sih!"
"Ssst!" bisik Mike. "Jangan bertengkar di sini. He - sudah jam dua belas. Dengar
tuh jamnya berdentang."
Dimmy sudah tertidur pulas ketika anak-anak menyelinap ke luar dari pintu depan.
Dengan perlahan-lahan sekali mereka membuka dan menutup kembali pintunya. Mereka
turun tangga, dan sampai ke pintu gerbang yang juga harus dibuka dengan sangat
perlahan-lahan. "Pintu ini berbunyi kalau ditutup," kata Mike kuatir. "Harus dibanting. Bisabisa semua orang jadi bangun."
"Kalau begitu, jangan ditutup! Biarkan saja terbuka," kata Jack.
Mereka meninggalkan pintu gerbang dalam keadaan terbuka, lalu berjalan di jalan.
Dalam hati mereka berdoa agar tak bertemu dengan polisi. Kalau sampai ada polisi
yang melihat lima orang anak berjalan tengah malam seperti itu, tentu ia curiga!
Syukurlah mereka tak bersua siapa pun. Mereka sampai di tikungan, dan Mike
segera menyentuh lengan Jack.
"Lihat - ada mobil di sana! Mobil itukah yang menunggu kita?"
"Benar!" sahut Jack. "Ya kan, Paul?"
Paul mengangguk. Anak-anak lalu menyeberang ke tempat mobil besar berwarna biru
keperakan diparkir. Mesinnya dalam keadaan tidak dihidupkan. Warnanya kelihatan
jelas, karena mobil itu persis disinari lampu jalan. Pesawat terbang Paul juga
berwarna biru keperakan - seperti kendaraan kerajaan Baronia lainnya.
Seorang lelaki keluar dari dalam mobil, membukakan pintu untuk anak-anak. ia
mengenakan seragam berwarna biru keperekan juga. Seperti kebanyakan orang
berkebangsaan Baronia, lelaki ini pun bertubuh tinggi besar dan kekar, ia
mengangguk hormat kepada Paul.
Tak lama kemudian, mobil yang megah itu sudah meluncur dengan lajunya, membelah
kegelapan malam. Anak-anak yang duduk di dalamnya gembira bukan buatan. Hati
mereka berdebar-debar. Pertama, karena mereka hendak naik pesawat terbang. Di
samping itu, siapa tahu mereka akan mendapat petualangan baru yang mengasyikkan!
Gelap gulita di sekeliling lapangan terbang ketika mereka sampai di sana. Hanya
ada lampu yang menyinari tempat pesawat terbang Paul yang megah dan indah
berdiri, siap diterbangkan.
"Aku dipesan untuk membawa kalian sampai ke samping pesawat dengan mobil ini,"
kata sopir yang duduk di samping Paul.
"Bagus," sahut Paul. "Dari sana, gampang kami masuk ke dalam pesawat. Dan,
sebelum ada orang tahu di mana kita, kita sudah bisa berangkat!"
3. Perjalanan yang Menggairahkan
Mobil yang ditumpangi anak-anak berjalan di atas lapangan terbang sampai ke sisi
pesawat Pilescu ada di sana. Jenggotnya yang merah kelihatan menyala oleh cahaya
lampu. Di dekatnya ada seorang laki-laki. Perawakannya sama besar dengan Pilescu.
"Halo, Ranni!" teriak Pangeran Paul gembira. "Kau akan ikut" Oh, senang benar
aku bisa ketemu kau, Ranni!"
Ranni mengangkat tubuh mungil si pangeran, lalu menggendongnya tinggi-tinggi.
Wajahnya berseri-seri. "Pangeranku!" katanya. "Benar. Aku dan Pilescu akan menemanimu! Sebenarnya, aku
kurang setuju kau melakukan perjalanan ini, Pangeran. Tapi, dari dulu - rajaraja Baronia terkenal suka melakukan tindakan gila!"
Paul tertawa. Kelihatan sekali bahwa anak itu menyayangi Ranni yang berbadan
besar kekar dan bahwa ia senang Ranni akan ikut.
"Cukupkah pesawatku ini membawa tujuh orang penumpang?" tanyanya sambil
memperhatikan pesawat terbang yang besar itu.
"Oh, tentu saja," sahut Pilescu. "Tapi, sebaiknya kita cepat-cepat masuk Keburu
ada montir yang datang memeriksa kemari."
Mereka semua naik tangga pesawat ke ruang pilot. Dari situ baru masuk ke ruang
penumpang. Bagian dalam pesawatnya terasa luas dan menyenangkan. Selain itu,
segalanya di situ bagus sekali. Mike dan saudara-saudaranya memekik kagum.
"Mewah sekali," ujar Mike. "Jauh lebih bagus daripada Seriti Putih."
"Pesawat terbang Baronia memang terkenal paling bagus di dunia," kata Pilescu
bangga. "Negara kami memang kecil, tetapi di sana banyak ahli."
Anak-anak duduk di kursi penumpang yang empuk. Paul menunjukkan cara mengubah
tempat duduk itu menjadi tempat tidur kecil yang enak ditiduri - cukup hanya
dengan menekan tombol. "Astaga!" ucap Jack sambil mengubah kursinya menjadi tempat tidur dan
mengembalikannya menjadi kursi lagi. "Ajaib!"
"Nah, sekarang duduklah baik-baik," kata Pilescu. ia sendiri lalu masuk ke ruang
pilot dan duduk di kursinya. Ranni duduk di sampingnya. "Kita akan mengudara.
Kuharap, sebelum matahari tinggi jarak yang kita tempuh nanti sudah jauh."
Anak-anak menegakkan sandaran kursi, lalu duduk dengan rapi - mengenakan
pengikat kursi. Paul tak henti-hentinya berbicara! Tak seorang pun merasa
ngantuk. Malam itu terlalu menggairahkan, hingga tak ada yang ingat tidur.
Baling-baling pesawat berputar-putar. Sementara itu mesinnya menderu lembut
Lalu, dengan sedikit sentakan, pesawat mulai bergerak - mengarungi lapangan
terbang yang gelap. Gerakannya terasa tersendat sesaat-lalu, pada menit berikutnya burung raksasa
itu telah membumbung ke udara, melewati tiang-tiang dan kabel listrik yang
terdapat di sekeliling lapangan terbang. Anak-anak hampir tak merasakan bahwa
pesawat yang mereka tumpangi telah tinggal landas.
"Apakah kita masih berada di lapangan terbang?" tanya Mike sambil berusaha
melihat ke luar jendela. "Tentu saja tidak," Ranni menyahut sambil tertawa. "Kita sudah terbang
meninggalkan lapangan terbang. Lapangan terbang sudah jauh dari sini!"
"Astaga!" seru Peggy terperanjat.
Betapa cepatnya pesawat terbang mengarungi jarak. Anak-anak terpaksa berbicara
dengan suara keras karena deru pesawat terdengar keras sekarang.
Aneh rasanya terbang dalam kegelapan malam seperti itu. Begitu pesawat tinggal
landas, rodanya masuk ke tubuh pesawat dan tak kelihatan lagi. Pada waktu hendak
mendarat nanti, baru rodanya dikeluarkan lagi. Pesawat itu melaju dengan
kecepatan tinggi seperti anak panah yang baru dilepas dari busurnya. Pilescu
yang menjadi pilotnya tampak sibuk mengamati segala peralatan di hadapannya,
yang menjadi sumber informasi mengenai pesawat yang dikemudikan.
"Mengapa Ranni ikut?" tanya Paul keras-keras.
"Supaya ada yang menggantikan aku jadi pilot kalau aku lelah," sahut Pilescu.
"Di samping itu, aku perlu teman untuk mengawasi anak-anak sebanyak ini!"
"Kami sih tak perlu diawasi!" Mike berkata meremehkan. "Kami bisa mengawasi diri
sendiri! Kami pernah minggat ke Pulau Rahasia. Di sana kami mengurus diri
sendiri berbulan-bulan lamanya!"
"Aku tahu. Kisah kalian sempat kubaca," sahut Pilescu. "Bagaimanapun, aku perlu
teman. Dan kebetulan Ranni bisa kupercaya. Kita harus bersyukur Ranni bersedia membantu
kita." Saat itu belum ada seorang pun yang tahu bahwa mereka bakal memerlukan bantuan
Ranni yang bertubuh tinggi kekar. Walaupun begitu anak-anak merasa senang ada
Ranni di dalam pesawat. Ranni membuatkan coklat susu panas ketika anak-anak
merasa kedinginan. Setelah itu, ia menyajikan pula sup tomat yang lezatnya bukan
main! "Wah! Asyik ya, makan sup panas dalam pesawat di ketinggian langit pada tengah
malam begini," kata Peggy. "Biskuitnya enak sekali, Ranni! Untunglah kau ikut!"
Ranni nyengir. Perawakannya memang besar seperti beruang, tetapi pembawaannya
lembut sekali, ia sangat memuja Pangeran Kecil Paul. Tak henti-hentinya ia
membawakan makanan dan minuman untuk tuannya itu. Setelah makan sup, mereka
diberi beberapa batang coklat berkacang. Pilescu ikut menikmati coklatnya.
Pesawat mereka terbang dengan mulus. Gerakannya hampir tidak terasa oleh anakanak. Tetapi, mendadak terasa ada guncangan. Pesawatnya lalu turun sedikit. Kejadian
seperti itu berulang sampai beberapa kali. Paul merasa tak senang.
"Kenapa sih begini?" serunya.
Mike tertawa, ia sudah beberapa kali naik pesawat. Dan dari pengalaman
terbangnya yang sudah-sudah, ia tahu mengapa hal itu terjadi.
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pesawat kita sedang menembus awan," serunya kepada Paul. "Yang tadi sih cuma
awan kecil. Tunggu sampai kita bertemu awan yang besar! Lebih asyik lagi
rasanya!" Benar saja. Ketika pesawat menembus gumpalan awan besar, pesawat itu terasa
anjlok dan berguncang keras. Paul kaget bukan buatan. Wajahnya langsung pucat.
"Aku mual," katanya.
Ranni langsung memberinya sebuah kantung terbuat dari kertas kuat.
"Buat apa ini?" tanya Paul dengan suara lemah. Wajahnya nampak semakin pucat
"Kok tak ada isinya?"
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Kasihan benar si Paul. Tapi, mereka tak
bisa menahan tawa melihat kelucuan tingkahnya - memeriksa bagian dalam kantung
yang disodorkan oleh Ranni kepadanya, seolah mencari sesuatu di dalamnya.
"Kalau kau ingin muntah, muntahkan ke situ," seru Jack. "Masa kau tak tahu,
Paul?" Tetapi akhirnya kantung kertas itu tidak diperlukan. Pilescu meninggikan terbang
pesawat mereka, hingga tidak lagi menembus awan tetapi terbang dengan mulus
seperti semula. Paul merasa enak sekarang.
"Mungkin karena kebanyakan makan coklat," ucap Paul riang.
"Makanya jangan makan banyak-banyak," kata Jack, ia tahu Paul kuat makan coklat.
Jack belum pernah melihat ada anak lain yang bisa makan coklat sebanyak Paul.
"Hmm, asyik terbang begini, ya! Mudah-mudahan kita bisa menyaksikan matahari
terbit!" Ternyata tidak. Pada saat matahari terbit, anak-anak dalam keadaan tertidur
lelap. Pukul dua malam, Nora dan Peggy mulai menguap. Kebetulan Ranni melihat.
"Nah, sekarang kalian harus tidur," katanya, ia membantu Nora dan Peggy mengubah
kursi mereka jadi tempat tidur empuk yang enak ditiduri. Sesudah itu, Ranni
memberikan bantal kepada masing-masing ditambah lagi dengan selimut tebal.
"Kami tak kepingin tidur," ucap Nora agak kecewa. "Mana bisa aku memejamkan
mata?" "Kalau tak mau tidur, jangan tidur," kata Ranni sambil nyengir. Ia menyelimuti
anak-anak dengan rapi, lalu kembali duduk di samping Pilescu.
Nora, Peggy, dan Paul langsung terpejam - mata mereka rasanya tak bisa dibuka
lagi. Tiga menit kemudian mereka telah tertidur pulas. Mike dan Jack cuma bertahan
bangun lebih lama sedikit. Ranni menyentuh lengan Pilescu. Keduanya mengedipkan
mata melihat anak-anak yang sudah tidur dengan tenang.
Ranni dan Pilescu mengobrol dalam bahasa Baronia sementara pesawat mereka terus
melaju menembus malam. Sudah beratus-ratus mil mereka arungi sebelum hari pagi.
Indah sekali pemandangan matahari terbit dilihat dari ketinggian terbang mereka.
Langit tak lagi gelap. Kini ia disinari warna lembut cerah. Sementara matahari
makin meninggi, warna di langit berubah-ubah. Ranni dan Pilescu memperhatikan
keindahan pagi itu dengan diam. Sudah sering keduanya menyaksikan pemandangan
seperti itu. Tetapi, mereka tak pernah bosan melihat keindahannya.
Ketika matahari ke luar di cakrawala timur seperti bola raksasa yang memancarkan
cahaya keemasan ke sekelilingnya, suasana dalam pesawat pun diliputi warna yang
sama. Segera Ranni memadamkan lampu-lampu listrik yang menyala. Di bawah, bumi
membentang sangat indah menyambut fajar.
"Biru dan warna keemasan," ucap Ranni dalam bahasa Baronia. "Sayang anak-anak
masih tidur- tak bisa menyaksikan pemandangan indah ini."
"Hus, jangan kaubangunkan mereka," cegah Pilescu. "Siapa tahu kita bakal
mengalami saat-saat yang tak gampang. Kalau menuruti keinginanku, aku ingin
terbang kembali ke London secepat anak-anak itu sadar bahwa mereka takkan bisa
mencari orang tua mereka.
Yah, mudah-mudahan saja kita tak harus tinggal terlalu lama di Afrika."
Anak-anak tidur terus. Baru kurang lebih pukul delapan mereka terbangun. Saat
itu matahari sudah tinggi. Pemandangan di bawah pesawat putih bagaikan salju.
"Astaga! Saljukah di bawah kita itu?" tanya Paul sambil menggosok-gosok mata
keheranan. "Pilescu, kau kusuruh terbang ke Afrika, bukan ke Kutub Utara!"
"Itu bukan salju, Pangeran Paul! Bentangan awan yang sangat luas!" kata Nora
sambil memandang kagum pada panorama di bawahnya. "Rupanya kita sedang terbang
di atas awan. Peggy - wah, awannya kelihatan keras benar! Kita bisa berjalan di atasnya,
mungkin!" "Konyol kalau mau mencoba jalan di situ," kata Mike. "Kenapa kau tidak
membangunkan kami waktu fajar tadi, Ranni" Jadinya kami tak bisa menyaksikan
keindahannya. Hmm, laparnya!"
Ranni mulai sibuk di bagian belakang pesawat. Di situ terdapat sebuah dapur
kecil yang lengkap dengan segala peralatan dapur modern. Tak lama kemudian,
tercium harum daging dan telur goreng. Disusul oleh aroma kopi yang baru
diseduh. Sambil memperhatikan bentangan putih di bawah, anak-anak menarik napas
dalam - menikmati wangi yang masuk ke kabin dari dapur.
Mendadak bentangan putih di bawah terputus. Kelima anak yang tengah asyik
mengagumi keindahan awan yang terbentang luas itu langsung berseru kegirangan.
"He! Kita sedang melintas di atas padang pasir kelihatannya! Aneh ya!"
Pemandangan padang datar digantikan oleh pemandangan bergunung-gunung, lalu
disusul oleh pemandangan datar lagi. Asyik sekali memperhatikan pemandangan yang
berubah-ubah itu. "Di mana kita saat ini?" tanya Mike.
"Di atas Afrika," sahut Ranni yang sedang menghidangkan daging dan telur goreng
serta secangkir kopi panas di hadapan masing-masing anak. "Nah, makanlah dulu!
Habiskan semua, ya! Waktu makan siang masih lama sekali."
Nikmat rasanya makan di atas pesawat. Apalagi kalau teringat kemarin malam
mereka masih makan di London dan sekarang sudah sarapan di atas Benua Afrika!
Wah, senangnya bukan main!
"Tahukah kau di mana kira-kira orang tua kami mendarat, Pilescu?" tanya Mike.
"Tanyakan kepada Ranni. ia bisa menunjukkan tempatnya di peta," sahut Pilescu
yang masih menjadi pilot. "Sebentar lagi kita harus mendarat untuk menambah
bahan bakar. Persediaan bahan bakar kita tinggal sedikit. Kalian harus berjanji tetap tinggal
di dalam pesawat pada waktu kita mendarat nanti. Aku takut ditahan karena
membawa kalian!" "Kami sembunyi deh! Jangan kuatir, Pilescu!" kata Paul dengan hati berdebardebar. "Mana petanya, Ranni" Kami ingin melihat tempatnya. Ah, sayang pengetahuan ilmu
bumiku jelek. Aku hampir tak tahu apa-apa mengenai Afrika!"
Ranni membuka peta, lalu menunjukkan kepada anak-anak tempat Kapten dan Nyonya
Arnold mendaratkan pesawat terbang mereka. Di tempat itulah pesawat terbang itu
ditemukan dalam keadaan kosong. Ranni juga menunjukkan di mana pesawat terbang
mereka berada saat ini. "Wah, kelihatannya tak begitu jauh lagi dari tempat ditemukannya Seriti Putih!"
seru Paul sambil menunjuk peta.
Ranni tertawa. "Di peta memang kelihatan dekat," katanya. "Nah, kita sudah dekat lapangan
terbang. Sebentar lagi kita turun, mengisi bahan bakar. Pergilah kalian ke bagian ekor
pesawat. Di sana ada tumpukan selimut. Sembunyi di sana, ya!"
Sementara pesawat berputar-putar sambil menurunkan ketinggian terbangnya di atas
lapangan terbang, anak-anak menyusupkan diri masing-masing pada tumpukan selimut
dan barang-barang bawaan lainnya. Mereka berharap takkan ada orang yang
menemukan mereka. Kalau sampai disuruh terbang kembali ke London, wah, bisa berabe!
4. Di Negeri Aneh Beberapa orang berlari-lari menyambut kedatangan pesawat yang baru saja mendarat
mulus di lapangan terbang. Pilescu keluar dari pesawat. Ranni disuruh berjaga di
dalam. Anak-anak diam seribu bahasa di tempat persembunyian mereka.
Orang-orang yang bekerja di lapangan terbang sangat kagum melihat keindahan
pesawat yang baru datang itu. Mereka berlari-lari mendekat sambil berteriakteriak. Belum pernah mereka melihat pesawat terbang seindah itu. Ada dua orang
yang hendak naik ke pesawat, memeriksa bagian dalamnya. Tetapi, Ranni tak
bergerak dari tempatnya berdiri.
Tubuhnya yang besar menghalangi pintu masuk. Pilescu berbicara kepada montirmontir yang ada di sana. Sebentar saja pesawat mereka telah diisi beratus-ratus
liter bahan bakar. "Huh, baunya!" bisik Paul. "Aku jadi kepingin batuk."
"Hus! Tahan!" bisik Jack langsung. Suaranya pelan, tetapi tajam dan berwibawa.
Paul menahan batuknya. Wajahnya pucat sekali. Nora dan Peggy juga tak tahan
mencium bau bahan bakar yang diisikan ke dalam pesawat. Mereka menyusupkan
kepala lebih masuk lagi ke dalam tumpukan selimut tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Ada suara seorang lelaki di bagian depan pesawat. Bahasa Inggrisnya terdengar
kaku. "Ada berapa orang penumpangnya, Pak?" tanya orang itu.
"Hanya kami berdua," jawab Pilescu sambil menunjuk kepada Ranni.
Lelaki yang bertanya tadi kelihatan puas. ia berjalan mengelilingi kabin pesawat
dengan penuh kekaguman. Pilescu tidak menghiraukan orang itu. ia lalu
menyibukkan diri memeriksa mesin pesawat Rupanya ada yang kurang beres. Pilescu
berteriak memanggil Ranni.
"Turunlah sebentar! Aku perlu bantuan!" seru Pilescu.
Ranni pun turun, dan berdiri di samping Pilescu. Secepat kilat salah seorang
montir melompat naik, mengintip bagian dalam pesawat.
Pada saat yang bersamaan, Mike mengintip hendak melihat apakah tak ada orang
lagi di dalam pesawat. Untunglah Mike melihat orang itu sebelum orangnya sempat
melihat Mike. Cepat ia menutupi dirinya lagi sambil memberi isyarat kepada yang lain agar
tetap tenang. Melihat orang yang melompat naik ke pesawat, Ranni berteriak. "Turun! Kami tak
membolehkan siapa pun masuk ke dalam pesawat kami tanpa mendapat izin lebih
dulu!" "Ya deh, aku minta izin," kata orang itu. Matanya yang jeli melihat tumpukan
selimut di bagian belakang pesawat, ia ingin memeriksa. "Kami baru menerima
berita dari London, bahwa ada lima orang anak menghilang. Raja Baronia
menawarkan hadiah besar untuk siapa saja yang berhasil menemukan mereka."
Pilescu menyumpah-nyumpah dengan suara tertahan, ia langsung lari ke balingbaling pesawat. Diputarnya baling-baling itu. Dalam sekejap mesin pesawat pun
menyala. Ranni naik ke pesawat dengan gesitnya, lalu mendorong lelaki yang ingin
masuk tadi ke luar pesawat. Pilescu melompat naik dan langsung menyelinap ke
ruang pilot, duduk di kursinya.
Terdengar orang berteriak-teriak memanggil. Tetapi deru mesin pesawat
mengalahkan teriakan-teriakan itu. Pilescu menjalankan pesawat, dan dalam
sekejap pesawat itu sudah bergerak di atas landasan dengan kecepatan tinggi.
Pesawat itu terus bergerak ke landasan pacu sementara orang banyak mengejar
sambil berteriak-teriak. Sesampainya di landasan pacu, pesawat menderu lebih
kencang dan akhirnya dengan mulus meninggalkan landasan - membumbung ke udara.
Pilescu tertawa pendek. "Sekarang orang tahu bahwa anak-anak yang hilang itu ada dalam pesawat ini.
Suruh mereka keluar, Ranni! Bisa mabok mereka kalau lama-lama disekap!"
Anak-anak sudah merayap ke luar. Hati mereka masih dag-dig-dug. Hampir saja
mereka tertangkap! "Seandainya mereka menemukan kami, apakah kami akan disuruh kembali ke London?"
tanya Paul. "Aku tadi mengintip. Untung orangnya tidak melihatku!" seru Mike.
"Sudah amankah sekarang?" tanya Peggy, kembali duduk di kursinya yang empuk.
"Mereka toh takkan mengirim pesawat lain untuk mengejar kita?"
"Tak ada gunanya," kata Ranni, menyengir. "Pesawat kita termasuk pesawat yang
paling cepat di dunia. Kalian tak perlu kuatir. Sekarang kita aman. Tapi, kita
harus berusaha secepatnya mencari tempat Seriti Putih mendarat. Sebaiknya, kita
tidak lagi mendarat di lapangan terbang untuk sementara."
Sehari itu anak-anak memuaskan diri menikmati pemandangan pegunungan, sungai,
lembah, dan dataran yang datang berganti-ganti. Betapa ingin mereka turun dan
menjelajah alam di bawah sana. Berada tinggi di atas daerah asing - senang
rasanya. Melihat ke bawah, bentangannya terlihat seperti peta raksasa.
Siang hari, ketika anak-anak sedang menikmati biskuit manis, coklat, dan minum
limun dingin, mendadak Pilescu berteriak.
Ranni dan Pilescu lalu menunduk, mengamati peta sambil berbicara dalam bahasa
Baronia. Nada suaranya sangat bersemangat. Paul mendengarkan. Matanya bersinar-sinar.
"Apa yang mereka katakan, Paul?" tanya Mike tak sabar. "Ceritakan, dong!"
"Katanya, kita sudah dekat dengan tempat pendaratan Seriti Putih," ucap Paul.
"Ranni bilang, dia sudah pernah melihat daerah sini. Ketika itu ia mendapat
tugas mencari binatang untuk kebun binatang Baronia. Dia kenal sifat
penduduknya. Agak kasar dan aneh sikap mereka. Lagi pula, orang-orangnya suka
menyendiri hingga tak banyak dikenal orang."
Pesawat mereka terbang dengan kecepatan berkurang, lalu mengurangi ketinggian.
Ranni mengamati tanah di bawah mereka sementara pesawat terbang berputar
membentuk lingkaran besar.
Ternyata Mike melihat duluan apa yang sedang mereka cari! Anak itu berteriak
keras sekali sampai Nora dan Peggy sangat kaget dan Ranni tersentak. Lelaki
Baronia bertubuh besar itu langsung membalikkan badan, melihat ke arah anakanak. "Ranni! Lihat - itu Seriti Putih! Lihat! Wah, sekarang sudah terlewat! Kembali,
Pilescu! Kembali! Aku lihat Seriti Putih barusan!"
Begitu bergairahnya Mike hingga bahu Ranni ia guncang-guncangkan. Seandainya
tidak diingatkan supaya tidak mengganggu pilot yang sedang menerbangkan pesawat,
Mike tentu sudah mengguncang-guncang Pilescu juga. Ranni melihat ke tempat yang
ditunjukkan Mike lalu membicarakan arah dengan Pilescu.
Sebentar saja pesawat mereka sudah terbang berputar-putar di atas tempat Seriti
Putih berdiri diam. Warnanya yang putih berkilau-kilauan tertimpa cahaya
matahari. Anak-anak memandang pesawat yang terlihat sepi sendirian di bawah sana
dengan tak bosan-bosannya.
Bayangkan. Pesawat itulah yang mereka lihat di lapangan terbang di London
beberapa minggu sebelumnya. Ke dalam pesawat itulah orang tua mereka masuk, lalu
terbang meninggalkan London. Sekarang pesawatnya mereka temukan, tetapi kedua
pilotnya tak ada lagi di sana.
"Aku tak bisa mendaratkan pesawat di dekat situ," kata Pilescu. "Heran.
Bagaimana Kapten Arnold bisa mendaratkan pesawatnya di situ tanpa mencederai
pesawatnya. Pasti beliau pilot yang sangat ulung."
"Ayah memang pilot yang hebat," kata Peggy bangga, "ia termasuk salah seorang
penerbang terbagus di dunia."
"Aku hendak mendaratkan pesawat kita di tanah datar yang kelihatan agak di
sebelah sana itu," kata Pilescu, menurunkan lagi pesawat. "Besar kemungkinan
pesawat kita akan terguncang keras! Siap-siap saja, ya! Lihat, banyak batu besar
di sana." Pesawat makin turun. Tiba-tiba Pilescu merasa tak bisa mendarat dengan aman.
Pesawat ia naikkan lagi. Kemudian ia terbang berputar-putar. Beberapa saat
kemudian turun lagi. Kali ini Pilescu mengeluarkan roda pesawat. Dalam sekejap roda pesawat menyentuh
tanah. Pesawat mereka lari di atas tanah berbatu. Sekali ia mengenai batu besar dan
seperti hendak tergelincir. Semua penumpang pesawat itu sudah merasa pesawat
mereka hendak terbalik. Wajah Pilescu jadi pucat, ia tak mau mengalami
kecelakaan di negeri yang tak dikenal!
Namun pesawat itu betul-betul hebat. Keseimbangannya bagus, hingga dalam sekejap
ia sudah berada pada posisi normal kembali. Anak-anak sempat terlempar dari
kursi mereka. Dan barang-barang yang berada di kabin bergeser ke satu sisi pesawat.
Anak-anak langsung berdiri. Kegembiraan dan semangat mereka yang menggebu-gebu
menyebabkan mereka lupa akan rasa sakit. Mereka lari ke pintu pesawat yang
terdapat di dekat ruang pilot. Masing-masing tak sabar, ingin cepat keluar.
Ranni berteriak kepada mereka.
"He! Jangan turun dulu! Aku akan memeriksa daerah di sekitar sini sebelum
mengizinkan kalian turun!"
Pilescu mematikan mesin pesawat. Dalam sekejap suasana pun menjadi sepi. Aneh
rasanya. Sekarang suara mereka terdengar keras sekali kalau berbicara. Baru setelah
beberapa lama, anak-anak terbiasa berbicara tanpa berteriak-teriak. Selama dalam
penerbangan dari London ke situ, mereka harus berteriak kalau bicara.
Ranni keluar dari ruang pilot Sebuah senjata api siap di tangannya. Tak seorang
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun tampak di sekeliling tempat itu. Ternyata mereka mendarat di tanah kasar
yang disana-sini bertancapkan batu-batu raksasa. Untung saja pendaratan mereka
bisa begitu lancar. Melihat keadaan tanah yang mereka darati, rasanya mukjizatlah yang memungkinkan
mereka mendarat dengan selamat. Kira-kira dua kilometer di sebelah kiri mereka
ada sederet gunung-gunung. Di sebelah kanan, membentang tanah datar ditumbuhi
pepohonan yang tak mereka kenal. Di depan dan belakang terlihat bukit-bukit
kecil. "Segalanya kelihatan aneh," ucap Mike. "Lihatlah bunga-bungaan liar yang merah
kecoklatan di sebelah sana. Rumputnya pun berbeda dengan rumput yang biasa kita
lihat!" "Burung-burungnya juga berbeda," kata Peggy, memperhatikan seekor burung
berwarna merah dan kuning cemerlang sedang terbang mengejar lalat besar. Seekor
burung lain berbulu hijau dan oranye terbang mengitari pesawat, sementara
kawanan burung berwarna biru menyala lewat di atas mereka. Semua burung itu
sangat berbeda dengan burung yang sering dilihat anak-anak di negeri mereka.
"Sudah boleh keluarkah kami, Ranni?" seru Mike yang benar-benar sudah kepingin
melihat-lihat keadaan di luar.
Ranni mengangguk. Tak ada seorang pun terlihat olehnya di luar. Kelima anak yang
dipaksa menunggu di dalam pesawat tadi segera menghambur ke luar, lalu melompat
turun ke tanah. Senang menginjak tanah lagi setelah beberapa jam terbang.
"Rasanya tanah yang kupijak akan bergerak dan terangkat seperti pesawat kita,"
Nora berkata sambil tertawa cekikikan. "Seperti kalau kita habis berperahu goyang-goyangnya masih terasa terus walaupun kita sudah berdiri di darat."
"Hus, jangan ah!" ucap Jack. "Kalau tanahnya bergerak, itu namanya gempa bumi.
Aku tak mau kita mengalami gempa bumi pada saat begini."
Matahari di atas memancarkan sinar panas yang terasa menyengat kulit. Pilescu
mengeluarkan topi bertepi lebar untuk anak-anak, Ranni, dan dirinya sendiri.
Bentuknya aneh, tetapi topi itu melindungi kepala hingga ke tengkuk dari
sengatan matahari. Walaupun hanya mengenakan selapis pakaian, anak-anak merasa kepanasan.
"Aku haus," kata Mike sambil mengusap keringat di kepalanya. "Kita minum dulu
yuk, Ranni." Mereka semua minum limun sambil duduk-duduk di tempat teduh yang terlindung oleh
pesawat. Matahari sudah condong ke barat. Pilescu melihat arlojinya.
"Sebaiknya hari ini kita beristirahat dulu," katanya. "Besok kita cari penduduk
setempat. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapat dengan menanyai mereka.
Ranni mungkin bisa berkomunikasi dengan mereka. Dia pernah belajar sedikit
bahasa sini ketika berburu binatang untuk kebun binatang Baronia beberapa tahun
yang lalu." "Masa kita mau tidur sesore ini?" tanya Nora kecewa. "Bagaimana kalau kita
jalan-jalan sedikit, melihat-lihat?"
"Nanti kemalaman. Lihat, matahari sudah hampir terbenam," ujar Ranni. Ketika
Ranni selesai berbicara, matahari hilang di balik cakrawala dan kegelapan pun
segera menggantikan kehadiran matahari. Anak-anak heran.
"Siang langsung berubah jadi malam, tanpa lewat senja dulu," ujar Nora sambil
memandang ke sekelilingnya. "Banyak bintang di langit. Lihat! Wah, Mike - Jack,
bukan main besarnya bintang-bintang itu!"
Nora benar. Di sini bintang-bintang yang bertebaran di langit kelihatan lebih
besar dan lebih terang daripada di negeri mereka. Anak-anak duduk diam,
mengagumi pemandangan indah yang aneh itu dengan perasaan agak takut.
Nora tiba-tiba menguap. Besar sekali - hingga yang lain ikut-ikut menguap. Juga
si Ranni! Pilescu tertawa.
"Semalam kalian kurang tidur," katanya. "Malam ini usahakan tidur cukup. Di sini
kita harus bangun pagi-pagi benar. Sebisanya kegiatan kita lakukan sebelum
matahari tinggi. Kalau siang hari terlalu panas. Nah, sekarang Ranni akan menyiapkan makan buat
kalian. Setelah itu kalian tidur, ya!"
"Apakah kita harus tidur dalam pesawat?" tanya Jack. "Udaranya panas benar. Tak
bolehkah kami tidur di luar saja" Biar agak sejuk."
"Boleh saja," sahut Ranni. "Kita bawa saja tikar dan selimut ke luar. Pilescu
akan bergilir denganku berjaga."
"Kenapa perlu ada yang berjaga?" tanya Peggy heran. "Di sini kan tak ada lawan?"
"Ingat! Kapten dan Nyonya Arnold hilang di kawasan ini, bukan?" ujar Pilescu
serius. "Aku tak mau kita pun hilang. Mana bisa kita mencari diri kita sendiri kalau
sampai hal itu terjadi!"
Semua tertawa - tetapi perasaan aneh menjalari hati anak-anak. Betul juga yang
dikatakan Pilescu. Ini bukan negeri Inggris yang aman. Mereka sedang berada di
daerah asing yang tak mereka kenal. Siapa tahu ada kejadian yang tak diinginkan"
Mereka mendekat pada Pilescu yang berjenggot lebat. Aman rasanya berada di
dekatnya. 5. Menunggu Berita Ranni menyajikan makanan lezat. Sementara itu Pilescu membuat api unggun.
Nyalanya berkobar-kobar, membuat suasana menjadi hangat "Selama api unggun
menyala, takkan ada binatang buas yang berani mendekat," kata Pilescu sambil
menumpuk persediaan ranting-ranting kayu untuk kayu bakar di dekat mereka.
"Ranni akan bergilir berjaga denganku sambil menambah kayu bakarnya kalau nyala
api unggun berkurang."
Mereka membentangkan tikar dan selimut di sekeliling api unggun. Bunga-bunga api
berlompatan membuat suara riang. Anak-anak berbaring dengan hati gembira dan
bersemangat. Mereka sudah tiba di tempat tujuan, dan hendak mulai mencari Kapten
Arnold dan istrinya. Sudah banyak petualangan yang pernah mereka alami. Kini
mereka menyambut petualangan baru yang lebih seru dan mengasyikkan.
"Wah, rasanya aku tak bakal bisa tidur," ujar Nora sambil bangkit, duduk. "Tak
bakal bisa deh! Bunyi apa yang aneh barusan, Ranni?"
"Bunyi sejenis binatang di bukit sana," sahut Ranni. "Tak usah takut. Mereka
takkan berani mendekati kita."
"Nah, kalau yang itu bunyi apa?" tanya Peggy.
"Kicau burung malam," sahut Ranni pula. "Sepanjang malam kalian akan mendengar
bunyi-bunyi semacam itu. Jadi, kalian harus membiasakan diri. Berbaringlah,
Nora. Cepat tidur! Kalau dalam waktu dua menit kau masih juga belum tidur,
kutaruh kau dalam pesawat supaya tidur di sana sendirian!"
Ancamannya berat. Nora langsung membaringkan diri. Malam benar-benar indah
mempesona. Gadis kecil itu berbaring menghadap ke atas, memperhatikan bintang-bintang besar
cemerlang yang terlihat seperti lampu-lampu menghiasi bentangan beledu langit
malam. Di sekelilingnya terdengar bunyi burung dan binatang malam. Aneh semua
bagi telinganya. Nora merasakan kenikmatan berbaring ditemani oleh bunga-bunga api yang
berlompatan di api unggun di dekatnya. Hangat dan nyaman, ia memandang Ranni
sebentar. Lelaki itu duduk bersandarkan pesawat. Sebuah senjata siap di
tangannya. Tak lama kemudian Nora pun memejamkan mata.
"Anak-anak sudah tidur," Ranni berkata kepada Pilescu dalam bahasa Baronia. "Aku
merasa bersalah membawa mereka kemari, Pilescu. Seharusnya mereka tidak kita
ikut sertakan dalam petualangan semacam ini. Kita belum tahu apa yang bakal
terjadi. Mana bisa kita menemukan Kapten Arnold dan istrinya di negeri ganjil
begini" Seperti cari kacang di pohon apel saja!"
Pilescu menggerutu, ia sudah kecapekan menerbangkan pesawat tanpa beristirahat
sama sekali. Ranni diberi tugas berjaga sampai pukul tiga pagi. Pilescu akan
tidur dulu, baru menggantikan berjaga.
"Yah, kita lihat saja bagaimana besok," kata Pilescu. Kepalanya terkulai ke
depan. Jenggotnya yang merah lebat menyentuh dadanya. Dalam sekejap, bunyi binatang
malam ditemani oleh bunyi lain - dengkur Pilescu.
Keras sekali dengkur orang itu. Ranni kuatir anak-anak terbangun mendengar
dengkurnya. Cepat disentuhnya lengan Pilescu.
Tetapi Pilescu tidak bangun. Tidurnya sudah sangat lelap, karena ia benar-benar
kecapekan. Mendengar bunyi-bunyian baru, Jack terbangun, ia duduk dengan
perasaan takut. Jack memasang telinga, memperhatikan bunyi baru tadi. ia heran.
"Ranni! Ranni! Kudengar ada binatang mendengkur dekat tempat ini!" teriaknya.
"Kau masih bangun, kan" Masa tidak mendengar?"
Ranni jadi tertawa terbahak-bahak.
"Tidurlah lagi, Jack," katanya. "Itu dengkur kawan kita, Pilescu. Mungkin dia
sengaja mendengkur begitu untuk mengusir binatang. Singa pun takut mendengar
dengkurnya!" Jack meringis, lalu berbaring lagi. Astaga! Seru benar dengkur si Pilescu!
Hampir sama ributnya dengan mesin pesawat terbang! Jack lalu tertidur lagi.
Ranni berjaga sebagian besar malam itu. Terlihat olehnya beberapa bayangan tak
begitu jauh dari tempatnya. Tetapi ia tahu, itu bayangan binatang malam yang
sedang berkeliaran, ia memperhatikan bintang yang gemerlapan di langit, sambil
menikmati aroma kayu terbakar. Sesekali ia menggapai segenggam kayu bakar, lalu
melemparkannya ke tengah nyala api, menambah besar nyalanya.
Beberapa jam sebelum fajar, Ranni membangunkan Pilescu. Pilescu menguap besar
sekali, lalu membuka mata. Dalam sekejap ia sudah sadar di mana ia berada saat
itu. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Ranni, Pilescu pergi berjalanjalan mengelilingi tempat mereka bermalam - menghilangkan kepegalan kakinya
sambil membuat matanya tidak berat lagi.
Dengan tangan masih memegangi senjata, Ranni tidur. Sementara itu Pilescu
menyaksikan fajar tiba. Bumi di sekelilingnya berubah dari gelap menjadi
keemasan. Ketika hari sudah benar-benar terang, segera dibangunkannya anak-anak.
Mereka berada di daerah yang berbeda. Di tempat itu, pagi-pagi sekali harus
sudah bangun. Kalau tidak, matahari akan keburu menyengat hingga mereka takkan
bisa melakukan apa-apa dan cuma ingin beristirahat sambil berteduh.
Anak-anak gembira sekali berada di lingkungan yang lain daripada yang lain.
Mereka berkejar-kejaran sambil berteriak-teriak mengelilingi tempat mereka
berkemah. Sementara itu Ranni menyiapkan sarapan. Keharumannya tercium,
membangkitkan air liur. "He, lihat! Ada semacam danau kecil di situ!" seru Jack. "Kita mandi di situ,
yuk! Ranni, Pilescu, bisakah kita berenang di danau itu?"
"Jangan! Kecuali, kalau kalian mau dicaplok buaya!" ujar Ranni.
Mendadak Nora memekik, lalu lari tunggang-langgang kembali ke api unggun. Ranni
nyengir. Dia pergi ke danau yang ditunjukkan Jack tadi. Ternyata danau itu cuma
semacam kolam dangkal. "Aman," katanya. "Di situ ternyata tak ada buaya. Meskipun begitu, sebaiknya
kalian tidak mandi di situ. Mungkin ada semacam lintah yang bisa menempel di
kulit kaki kalian dan mengisap darah. Jangan lupa. Kalian harus sangat berhatihati di tempat yang belum kalian kenal. Di sini banyak binatang yang di Inggris
cuma ada di kebun binatang."
Nora dan Peggy jadi ngeri. Keduanya mencuci muka dan tangan dengan sangat
tergesa-gesa. Lain dengan anak-anak lelaki. Mereka sempat bermain air. Udaranya sejuk segar.
Rasanya anak-anak bakal bisa lari jauh dalam udara sesejuk itu. Tetapi ternyata
mereka cuma kuat lari mengelilingi api unggun. Semuanya sudah kelaparan. Lagi
pula, keharuman sarapan yang sedang disiapkan Ranni makin membuat mereka merasa
lapar. "Apa rencana kita hari ini, Pilescu?" tanya Jack. "Apakah kita akan mencari
orang yang bisa kita tanyai mengenai Seriti Putih dan kedua pilotnya?"
"Ranni akan pergi ke desa terdekat, berusaha mencari berita," ujar Pilescu
sambil memindahkan daging goreng ke piringnya.
"Dari mana dia tahu desa yang terdekat di sini?" tanya Mike heran, memandang ke
sekelilingnya. "Tak kulihat satu pun di sekitar sini."
"Ah, kau tidak pakai mata sih!" ucap Ranni, tersenyum. "Lihatlah di sebelah
sana!" Anak-anak mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Ranni. ia menunjuk ke arah di
mana terdapat bukit-bukit kecil. Anak-anak segera tahu maksud Ranni.
"Asap api!" kata Mike. "Benar! Asap api menunjukkan adanya api, dan api
menunjukkan adanya orang di tempat itu. Jadi kau akan ke sana, Ranni" Hati-hati,
ya!" "Aku ditemani oleh senjataku," kata Ranni sambil menyeringai, menepuk-nepuk
kantung celananya. "Aku mungkin baru kembali malam nanti. Jangan nakal ya selama
kutinggalkan!" Ranni berangkat begitu mereka selesai sarapan, ia membawa bekal makanan, dan
mengenakan topi lebar. Matahari sudah mulai panas pagi itu. Anak-anak
menyaksikan Ranni berangkat.
"Sebenarnya ingin aku ikut Ranni," kata Jack. "Mudah-mudahan Ranni pulang
membawa berita." "Nora, Peggy - kemarilah. Tolong cuci piring-piring ini di kolam," kata Pilescu.
"Sebentar lagi matahari terlalu menyengat."
"Tolong matikan api unggun," kata Pilescu kepada anak-anak lelaki. "Sesudah itu,
cari kayu bakar untuk nanti malam!"
Pilescu menyibukkan anak-anak sampai matahari cukup tinggi. Ketika sinar
matahari mulai menyengat dengan panasnya, Pilescu menyuruh anak-anak duduk-duduk
dalam keteduhan bayangan pesawat. Paul mula-mula menolak, ia masih senang
berpanas-panas. Tetapi Pilescu menyuruhnya menemani yang lain.
"Pilescu, tak sepantasnya kau memerintah aku," ucap si pangeran sambil
mendongakkan dagunya. "Paul, aku yang bertanggung jawab di sini," sahut Pilescu lembut tetapi tegas.
"Kau bukan pangeranku dalam petualangan ini. Sebaliknya, kau harus menganggapku
sebagai kapten. Turuti apa yang kuperintahkan!"
"Sudahlah, Paul - jangan keras kepala! Kalau kau tak mau menurut, kutarik leher
bajumu sampai kau terseret kemari. Ingat, Paul - kalau kau sampai pingsan dan
sakit, kita bisa-bisa harus segera kembali ke London!" ucap Mike.
Dengan patuh Paul berjalan ke tempat yang teduh, ia membaringkan diri dekat
kawan-kawannya. Mereka semua terengah-engah kepanasan. Sebentar-sebentar semua
merasa haus. Pilescu sibuk masuk-keluar pesawat membawakan persediaan limun yang sudah
didinginkan dalam lemari es.
Anak-anak tertidur dalam panasnya udara siang itu. Pilescu sebenarnya juga
mengantuk. Tetapi ia merasa wajib menjaga keselamatan anak-anak. Sambil berjaga, ia
membayangkan sudah sampai di mana Ranni. Ketika matahari sudah agak condong ke
barat, Pilescu menyeka keringat di wajahnya lalu membangunkan anak-anak.
"Ada buah kaleng dingin di pesawat," katanya kepada Nora. "Bukakan, lalu bawa ke
luar sini. Kurasa, enak menikmati kesegarannya sambil menunggu matahari
terbenam." Ranni belum juga datang meskipun matahari telah terbenam. Anak-anak menanti
kedatangannya dengan tak sabar. Untuk membantu Ranni menemukan jalan kembali ke
tempat itu, Jack, Mike, dan Paul sengaja menyalakan api unggun sejak sore."
Pilescu sama sekali tidak kuatir. ia tahu, bahwa walaupun asap api yang mereka
lihat pagi tadi terlihat dekat, sebenarnya letaknya cukup jauh. Di samping itu,
Pilescu menyadari juga bahwa Ranni takkan bisa meneruskan perjalanan ketika
matahari menyengat pada siang hari.
Anak-anak dan Pilescu duduk mengelilingi api unggun. Di atas langit malam
terbentang berhiaskan bintang-bintang gemerlap. Mereka semua menunggu kedatangan
Ranni. "Ranni bakal datang membawa berita atau tidak, ya?" kata Nora tak sabar. "Oh,
Ranni! Cepat-cepatlah pulang! Aku sudah tak sabar lagi menunggu!"
Tetapi Nora masih harus menunggu. Begitu juga yang lain. Malam sudah agak larut
ketika terdengar suara Ranni berteriak di kejauhan. Semua langsung melompat
menyambutnya. "Itu dia Ranni!" teriak Jack. Mata Jack memang jauh lebih tajam di dalam gelap.
"Tuh, bayangannya bergerak-gerak di antara bebatuan."
Bayangan itu berseru. Segera rombongan yang menyambutnya membalas.
"Ranni! Hore! Ranni datang!"
"Bagaimana beritanya, Ranni?"
"Buruan, Ranni!"
Ranni berjalan mendekati api unggun. Tubuhnya terasa penat dan kepanasan, ia
menjatuhkan diri di atas tikar, lalu menyeka wajahnya. Pilescu memberikan
segelas besar limun dingin. Ranni menenggaknya sekaligus.
"Kau dapat berita, Ranni?" tanya Pilescu.
"Dapat," sahut Ranni. "Berita paling aneh yang pernah kudengar. Beri aku roti
atau biskuit dulu, Pilescu. Sesudah itu akan kuceritakan semuanya. Kalian baikbaik semuanya, kan?"
"Sip!" sahut Pilescu. "Nah, sekarang berceritalah, Ranni! Berita aneh apa yang
kaudengar?"
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
6. Cerita Aneh si Ranni Ranni menyalakan tembakau di pipanya, lalu menghisap dan menyemburkan asapnya.
Semua menunggu ia mulai bercerita.
"Aku mendapatkan sebuah tempat perkemahan kecil," mulai Ranni. "Orangnya paling
banyak juga hanya empat atau lima orang. Mereka sedang berburu rupanya. Ketika
melihat kedatanganku, mereka mendadak menjatuhkan diri dan menelungkup dengan
rupa ketakutan." "Kenapa takut?" tanya Nora keheranan.
"Itu baru kemudian kuketahui," sahut Ranni. "Untunglah aku bisa bicara sedikitsedikit dengan bahasa mereka. Dulu aku pernah berburu ke daerah sini. Rupanya,
mereka mengira aku ini salah seorang anggota masyarakat aneh yang tinggal di
Gunung Rahasia." "Gunung Rahasia!" pekik Mike. "Apa maksudnya" Di mana gunung itu?"
"Bersabarlah! Biarkan Ranni bercerita sendiri," kata Pilescu yang asyik
mendengarkan cerita Ranni. "Teruskan, Ranni."
"Di sekitar sini ada sebuah gunung aneh," lanjut Ranni. "Orang menamakannya
Gunung Rahasia, sebab sudah bertahun-tahun bagian tengahnya dijadikan tempat
tinggal oleh suatu suku bangsa aneh tak dikenal. Ciri-ciri mereka sama sekali
berbeda dengan ciri-ciri penduduk asli daerah sekitar sini."
"Memang bagaimana rupa mereka?" tanya Jack.
"Sejauh yang terlihat olehku, kulitnya tidak hitam atau coklat," sahut Ranni.
"Warna kulit mereka ganjil - putih kekuningan. Rambut dan jenggotnya merah
seperti rambutku dan rambut Pilescu. Rata-rata perawakannya kurus tinggi. Dan,
matanya hijau. Suku bangsa lain tak diperbolehkan bergabung dengan mereka.
Selain itu, pintu masuk ke tempat tinggal mereka di tengah-tengah Gunung Rahasia
belum pernah bisa ditemukan."
"Wah, ini namanya baru luar biasa!" ucap Paul. Matanya bersinar-sinar penuh
semangat. "Benarkah cerita itu, Ranni" Kalau benar, kita pergi sekarang juga mencari
Gunung Rahasia!" "Hus, jangan konyol kau, Paul," kata Mike sambil mendorong Paul. Pangeran Paul
tidak sabaran. Sering Jack dan Mike harus menahan semangat temannya yang terlalu
berkobar-kobar itu. "Diam dulu, biarkan Ranni menyelesaikan ceritanya!"
"Semua suku bangsa yang tinggal di daerah sini takut pada suku bangsa tak
dikenal yang tinggal di Gunung Rahasia," lanjut Ranni. "Katanya, suku bangsa itu
mempunyai kekuatan magis. Lagi pula, kalau tidak terlalu perlu, mereka tak
pernah lewat. Nah, orang-orang yang sedang berkemah di tempat yang kutuju tadi
pagi sangat kaget melihatku datang.
Melihat warna rambutku, mereka mengira aku datang dari Gunung Rahasia. Itu
sebabnya mereka begitu ketakutan. Sampai-sampai, lari pun mereka tak berani."
"Apakah mereka tahu sesuatu mengenai ayah dan ibu kami, Ranni?" tanya Peggy
bersemangat. "Tentu itu kutanyakan," sahut Ranni. "Tapi, besok akan ada seseorang yang datang
kemari, Katanya orang itu melihat waktu Seriti Putih mendarat. Mungkin ia bisa
memberi tahu apa yang kita perlukan. Tapi, menurutku, bisa dipastikan ayah dan
ibu kalian ditangkap oleh penduduk Gunung Rahasia. Sebabnya tak tahu, tapi yah, aku merasa yakin mereka ada di Gunung Rahasia."
"Kita takkan bisa mencari Kapten dan Nyonya Arnold," ujar Pilescu. "Sebaiknya
kita pulang saja ke London, dan mencari pasukan pencari yang lebih bisa
diandalkan. Kita bisa membawa mereka terbang kemari."
"Jangan, Pilescu! Jangan!" pekik anak-anak dengan kecewa.
"Pokoknya, kami akan mencari orang tua kami," Mike berkata tegas dengan suara
bangga. "Ini pengalaman seru kami yang ketiga. Percayalah, Pilescu - kami anak-anak
pemberani. Kami takkan kembali ke London sebelum orang tua kami ketemu."
Anak-anak, termasuk Paul, bersikeras takkan mau terbang kembali ke London
bersama Pilescu dan Ranni. Kedua lelaki itu jadi berpandang-pandangan.
"Kemauan mereka keras," ucap Ranni kepada Pilescu dengan bahasa Baronia.
Pangeran Paul tertawa mengakak. Ia tahu Ranni ingin meneruskan petualangan seru
ini. Artinya, Paul juga akan ikut. Ranni takkan mau meninggalkan pangerannya
sendirian. Paul lalu berpaling kepada kawan-kawannya.
"Beres," katanya. "Kita tak perlu pulang ke London. Ranni berniat membantu
kita." Sampai larut malam, mereka tak henti-hentinya memperbincangkan cerita Ranni. Di
mana letaknya gunung misterius itu" Siapa suku bangsa aneh yang tinggal di situ"
Mengapa mereka menangkap Kapten dan Nyonya Arnold" Bagaimana mereka bisa
menemukan jalan masuk ke perut gunung itu kalau penduduk di sekitar tempat itu
sendiri tak bisa menemukan"
Berkali-kali pertanyaan-pertanyaan itu mereka bahas.
Lalu Pilescu melihat jam. "Wah, sudah larut malam!" serunya. "Kalian mesti
tidur, Anak-anak! Giliranku berjaga malam ini, Ranni. Kau pasti lelah sekali."
"Baiklah," sahut Ranni. "Kau yang berjaga dulu sampai tengah malam. Sesudah itu
aku," tambahnya. "Sementara, kurasa belum ada yang bisa kita lakukan. Kita tunggu dulu
kedatangan orang yang katanya menyaksikan Seriti Putih mendarat."
Tak lama kemudian, suasana pun sudah menjadi sunyi senyap. Semua sudah tertidur,
kecuali Pilescu. Sambil memegang senjata, Pilescu mengamati gerak binatang malam
yang berkeliaran tak jauh dari tempatnya berjaga. Mereka tak berani mendekat
karena di situ ada api. Sebenarnya, Pilescu pun sangat suka bertualang. Sambil
berjaga, ia tak henti-hentinya berpikir - memikirkan suku bangsa aneh yang
tinggal di Gunung Rahasia, suku bangsa yang katanya berkulit putih kekuningan,
berambut merah, dan bermata hijau.
Seperti lelaki bangsa Baronia lainnya, Pilescu yang bertubuh kekar itu mempunyai
sifat pemberani dan keras. Tak ada apa pun yang ia takuti. Dalam hal ini, ia
hanya merasa kurang suka mengikutsertakan anak-anak menghadapi bahaya. Tapi,
Ranni berpendapat mereka itu bukan anak-anak cengeng. Lagi pula, sudah beberapa
kali mereka mengalami petualangan yang tak kalah membahayakan.
Pagi pun datang. Bersamaan dengan datangnya pagi, datang pula lelaki penduduk
daerah itu yang pernah menyaksikan Seriti Putih mendarat. Lelaki itu berkulit
hitam. Wajahnya seram dan kelihatannya agak jahat Di belakangnya berjalan
seorang anak lelaki bertubuh kurus, ia membawakan tiga buah lembing untuk lelaki
tadi. Anak itu berwajah periang.
Anak-anak langsung menyukainya.
"Siapa dia?" tanya Jack sambil menunjuk kepada anak laki-laki itu.
Ranni menanyakan, dan lelaki berkulit hitam menjawab. Wajahnya merengut.
"Keponakan tamu kita," kata Ranni. "Anaknya nakal. Paling nakal di dalam
keluarganya. Kerjanya lari dari rumah, menjelajah ke sana-sini sendirian. Suku bangsa di sini
tidak memperbolehkan anak-anak menjelajah seorang diri. Kalau hendak pergi
menjelajah, anak-anak harus pergi bersama pemburu ulung dan paling tidak harus
sudah mendapat pendidikan yang memadai. Anak ini liar. Karena itu pamannya yang
mengambil alih untuk mendidiknya."
"Tapi aku senang melihat tampang anak itu," ucap Jack. "Tidak seperti pamannya.
Pamannya aku tak suka sama sekali. Cepat tanyakan mengenai Seriti Putih, Ranni.
Tanyakan apakah dia tahu apa yang terjadi dengan Kapten Arnold dan istrinya."
Ranni kurang fasih berbicara dalam bahasa orang itu, walaupun bisa mengerti
kalau mendengar orang bercakap-cakap. Lelaki berkulit hitam tadi menjawab
pertanyaan Ranni sambil membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Dari gerakan
dan sikapnya ketika ia bercerita, anak-anak merasa mengerti apa yang ia
maksudkan walaupun tak sepatah kata pun mereka mengerti.
"Katanya, ia sedang berburu tak jauh dari sini sambil mengamati kalau-kalau ada
orang dari Gunung Rahasia. Tiba-tiba terdengar olehnya bunyi gemuruh di langit,"
ucap Ranni mengulangi yang dikatakan orang tadi. "ia lalu melihat ke atas. Di
atas ada burung putih besar sekali yang bunyinya bergemuruh r-r-r-r-r-r-r
seperti geluduk." Anak-anak memekik riuh rendah, geli mendengar Seriti Putih digambarkan demikian
oleh penduduk asli itu. Ranni pun geli dan ikut tertawa, lalu meneruskan
terjemahannya. "Katanya, burung putih raksasa itu terbang makin rendah, lalu mendarat di situ.
Ia ketakutan luar biasa, dan tak berani bergerak dari balik pohon yang menjadi
tempatnya bersembunyi, ia takut kelihatan oleh si burung raksasa. Dikiranya
burung raksasa itu bisa makan orang."
Lagi-lagi semua tertawa. Si lelaki berkulit hitam pun ikut menyengir. Giginya
kelihatan putih sekali. Keponakannya tertawa mengakak, tetapi segera diam ketika
pamannya berpaling dan menampar kepalanya.
"Jangan!" teriak Jack terperanjat "Mengapa anak itu tak boleh ikut tertawa?"
"Anak-anak di sini dilarang tertawa kalau ada orang dewasa di sekitarnya," kata
Ranni. "Anak ini rupanya memang sering melanggar aturan yang satu ini! Lihat saja. Dia
gampang sekali geli."
Si penduduk asli melanjutkan ceritanya, ia melihat dua orang berwajah pucat
keluar dari perut gunung raksasa tadi. Lalu, sesuatu membuatnya lebih kaget
lagi! Beberapa orang berambut merah warga Gunung Rahasia nampak berdatangan!
Melihat burung putih raksasa, ia sudah gemetar ketakutan hingga tak bisa
bergerak di balik pohon tempatnya bersembunyi. Tetapi, melihat bangsa berambut
merah dari Gunung Rahasia itu, ketakutannya jadi begitu memuncak sampai tanpa ia
sadari kakinya membawa ia lari pontang-panting meninggalkan tempat itu!
"Jadi, kau tidak melihat bagaimana nasib selanjutnya kedua orang yang keluar
dari burung putih raksasa itu?" tanya Ranni, sangat kecewa.
Si penduduk asli menggeleng, lalu menirukan caranya berlari tanpa berani melihat
ke belakang. Keponakannya melihat, lalu menirukan setiap gerakan pamannya dengan
persis sekali. Anak-anak jadi tertawa walaupun mereka merasa kecewa.
Mendengar semuanya tertawa, paman anak itu menoleh. Tepat pada ketika itu
keponakannya sedang mencibir. Tanpa berpikir lagi si paman berbalik, menyepak
keponakannya sampai terpelanting ke tanah. Anak itu berteriak, ia bangkit duduk
sambil menggosok-gosok kepalanya.
"Sadis benar orang ini," ujar Pilescu tak senang. "Coba tanyakan jalan ke Gunung
Rahasia, Ranni." Ranni bertanya. Yang ditanya menjawab dengan wajah ketakutan.
"Katanya dia tahu jalan menuju gunung itu, tetapi tak tahu jalan masuk ke
dalamnya," ujar Ranni. "Tanyakan-apakah dia mau mengantar kita ke sana," kata Pilescu. "Katakan saja kalau dia mau, kita akan memberinya hadiah!"
Mula-mula lelaki itu menggeleng-geleng kepala. Tetapi, ketika Pilescu mengambil
cermin dari dalam kabin pesawat dan menunjukkan wajah orang itu dalam cermin
sambil memberi isyarat bahwa cermin itu akan diberikan sebagai hadiah kalau ia
mau, rupanya tergoda juga orang itu.
"Dia bilang cermin ini ajaib - membuatnya ada di dalam cermin sekaligus di
luar," kata Ranni menerjemahkan ucapan lelaki penduduk asli tadi. Ranni nyengir
ketika mengucapkan itu. "Dia kepingin punya cermin itu. Sebab, kalau sampai
terjadi sesuatu dengan dirinya
- misalnya saja ia terluka, orang yang di dalam cermin akan tetap sehat."
Mendengarnya semua jadi tersenyum-senyum. Seperti anak kecil saja kedengarannya.
Tetapi, lelaki berkulit hitam itu belum pernah melihat cermin seumur hidupnya.
Selama ini ia hanya bisa melihat gambaran dirinya di permukaan air. Rupanya ia
yakin benar bahwa dirinya berada juga di dalam benda berkilau-kilauan yang
ditawarkan oleh lelaki berambut merah ini. Lagi-lagi ia berdiri di depan cermin
sambil menggerak-gerakkan wajahnya dengan gaya.
Sekali lagi Ranni bertanya apakah ia mau mengantarkan mereka ke Gunung Rahasia.
Ranni mengatakan bahwa ia akan memberikan benda ajaib yang ditunjukkan itu kalau
lelaki itu mau mengantarkan. Kali ini orang itu mengangguk-angguk. Cermin itu
sangat besar artinya buatnya. Wah, bisa-bisa dia dipilih jadi ketua suku kalau
punya benda ajaib sehebat itu!
"Katakan kepadanya kita akan pergi ke sana besok subuh," kata Pilescu. "Aku
ingin menyiapkan segala sesuatu yang mungkin akan kita perlukan sebelum
berangkat. Di samping itu, aku ingin memeriksa mesin Seriti Putih dan pesawat
kita sendiri. Aku ingin keduanya siap diterbangkan setiap saat, kalau kita
berhasil menemukan Kapten Arnold dan Nyonya. Besar kemungkinan kita ingin cepatcepat lari dari sini!"
Anak-anak jadi penuh semangat, dan tak bisa diam hari itu. Bahkan, pada saat
panas menyengat sekali pun mereka tak bisa diam. Pikiran mereka sibuk
membayangkan pengalaman yang bakal mereka mulai esok. Mereka akan berangkat ke
Gunung Rahasia. "Untunglah Ranni dan Pilescu menemani kita," kata Nora. "Aku senang bertualang,
tetapi hiiii... ngeri juga kalau teringat akan suku aneh yang menempati gunung
yang terlupakan itu!"
7. Kedatangan Mafumu Pilescu dan Ranni sibuk memeriksa mesin Seriti Putih yang berdiri tak jauh dari
tempat mereka mendarat. Anak-anak memeriksa bagian dalamnya. Melihat pesawat
yang kosong itu, hati mereka sedih memikirkan Kapten Arnold dan istrinya telah
menghilang dari situ secara misterius.
Mula-mula Mike mengira, mungkin ada semacam catatan kecil yang ditinggalkan di
dalam pesawat. Tetapi, anak-anak tak menemukan apa pun di sana.
"Tak perlu heran," ujar Pilescu. "Kalau orang tua kalian sempat meninggalkan
catatan, tentunya mereka sempat pula melarikan pesawat ini dan terbang ke tempat
yang aman! Sejauh yang kulihat, tak ada kerusakan yang berarti pada mesin Seriti Putih.
Yang ada, semuanya sudah diperbaiki dengan sempurna. Menurutku, orang tua kalian
dijebak hingga tak sempat melakukan apa-apa sama sekali."
"Oke. Kedua pesawat siap diterbangkan setiap saat," Ranni berkata ketika
bergabung di samping Pilescu. Rambutnya basah oleh keringat. Sekujur tubuhnya
bercoreng-coreng hitam kena oli.
"Perlukah seseorang ditinggalkan di sini untuk berjaga?" tanya Mike. "Bagaimana
kalau kita kembali ke sini tahu-tahu pesawatnya sudah dirusak orang?"
Ranni tertawa. "Kau tahu sendiri bagaimana takutnya penduduk asli tadi mendekati pesawat kita,"
ujarnya. "Yang lain pun pasti sama saja. Takkan ada seorang pun yang bakal
berani menyentuh pesawat-pesawat ini. Yang kukuatirkan malah panasnya matahari.
Tapi, yah - kita tak bisa berbuat apa-apa untuk menghindarinya. Mau tak mau kita harus
meninggalkan kedua pesawat ini di sini. Berdoa saja supaya tidak terjadi apa-apa
pada keduanya." Pilescu telah menyiapkan satu pak besar makanan dan beberapa baju hangat serta
selimut. Paul tertawa melihat kaus wol bertangan panjang yang dibawa oleh Pilescu.
"Astaga, Pilescu! Buat apa begituan dibawa-bawa" Begini saja sudah kepanasan!
Maunya sih cuma pakai ikat pinggang rumput seperti anak kulit hitam tadi pagi!"
"Kita hendak ke gunung. Udara di gunung dingin," ucap Pilescu. "Siapa tahu kita
memerlukan pakaian ini di sana."
Hari itu berlalu dengan lambat. Rasanya tidak sore-sore.
"Mengapa waktu rasanya berjalan lambat sekali pada waktu kita menunggu sesuatu
yang menyenangkan, ya?" keluh Mike. "Hari ini rasanya seperti seminggu saja!"
Tetapi, akhirnya hari itu berlalu juga. Malam tiba. Monyet-monyet ribut
mengobrol di suatu tempat tak jauh dari sana. Dendang kodok di kolam terdengar
bersahut-sahutan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, si penduduk asli datang bersama keponakannya.
Anak lelaki kulit hitam itu cuma mengenakan celana tipis dengan ikat pinggang
terbuat dari sejenis tumbuhan, ia sama sekali tidak mengenakan topi. Anak-anak
keheranan ia bisa tahan panas.
"Sudah kuduga ia akan ikut," ucap Jack gembira. "Siapa sih namanya, Ranni?"
Anak laki-laki itu nyengir - memamerkan giginya yang berderet rapi berwarna
putih cemerlang. Ranni berseru menanyakan namanya. Dengan suara riang ia
menjawab, "Mafumu, Mafumu!"
"Namanya Mafumu," sahut Ranni. "Baiklah, Mafumu. Sekarang kau tak perlu
meneriakkan namamu kepada kami lagi."
Mafumu kegirangan diajak bicara oleh Ranni. Tak henti-hentinya ia meneriakkan
namanya. "Mafumu! Mafumu! Mafumu!"
Pamannya segera menghentikan keributan anak itu dengan menempeleng kepalanya.
Mafumu tersentak, lalu mencibir di balik punggung pamannya. Anak-anak merasa
senang Mafumu akan ikut mengantar mereka. Pembawaan anak berkulit hitam yang
riang gembira dan agak nakal itu menyenangkan hati anak-anak.
Ranni menutup pintu pesawat, lalu menguncinya. Sambil beberapa kali menengok ke
arah dua pesawat yang berkilau-kilauan tertimpa matahari pagi, rombongan pun
berjalan - memulai petualangan mereka. Semuanya diam ketika meninggalkan tempat itu.
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masing-masing berpikir apa yang hendak terjadi pada hari-hari mendatang.
Mafumu memecah kesunyian dengan berteriak dan mulai mendendangkan lagu aneh.
"Seperti nada nyanyian gereja," cetus Mike. "Wah, lihat - pamannya menghampiri
anak itu lagi. Astaga! Dipukuli lagi! Keterlaluan benar orang itu! Ingin rasanya
aku menempeleng kepalanya - biar tahu rasa!"
Mafumu benar-benar ditempeleng oleh pamannya. Anak itu langsung diam tak
bersuara, ia berjalan paling belakang. Wajahnya suram, menggendong bungkusan
besar. Pamannya juga membawa bungkusan. Jumlahnya ada beberapa. Semua itu
diletakkan di atas kepalanya.
Hebat sekali! Sama sekali tak pernah terjatuh!
Ranni menjelaskan, bahwa bangsa-bangsa di Afrika sudah terkenal pandai
mengangkat barang berat. Buat mereka, mengangkat barang berat sampai berkilokilo jauhnya bukanlah hal yang aneh.
Sebentar saja tanah datar tempat pesawat mereka melandas telah tertinggal di
belakang. Saat ini mereka tengah menuju ke suatu daerah yang mirip hutan kecil. Daerah
seperti itu membentang jauh hingga ke kaki gunung yang paling dekat.
Di dalam hutan terasa gelap setelah sekian lama disinari langsung oleh matahari
di tempat terbuka. Makin lama pepohonannya semakin rimbun dan lebat. Di sanasini berjuntai akar yang menyerupai tambang digantung. Anak-anak sama sekali
tidak melihat ada jalan setapak atau sejenisnya. Tetapi si lelaki kulit hitam
yang menjadi penunjuk jalan berjalan pasti di depan mereka. Yang mengherankan,
di dalam hutan pun barang bawaan yang tersusun di atas kepalanya tidak bergerak
sedikit pun. Di mana-mana terdengar monyet berceloteh. Anak-anak melihat makhluk berkulit
kecoklatan bergelantungan di pohon, mengintip mereka. Ketika melihat seekor
induk kera menggendong bayinya, anak-anak merasa geli dan tak kuasa menahan
tawa. Binatang lainnya lari ketakutan oleh kedatangan mereka. Suatu ketika,
paman Mafumu mengayunkan tombaknya sambil berteriak pada seekor ular yang sedang
merambat. "Astaga!" ucap Nora kaget. "Aku lupa di sini banyak ular. Mudah-mudahan saja
jangan sampai terpijak olehku. Wah, hutannya asyik ya" Seperti dalam dongeng.
Tak aneh rasanya kalau tiba-tiba muncul seorang peri."
"Jangan, ah! Kalau muncul seorang peri, kita takkan melihat penunjuk jalan
kita!" kata Pilescu. "Bisa-bisa dia lari tunggang-langgang pulang ke desanya
karena ketakutan! Ingat, orang-orang sini sangat percaya akan kekuatan gaib. Mereka takut pada
banyak hal. Aku heran Mafumu tak takut berada di hutan gelap begini. Tapi, dia
memang orangnya periang!"
Mafumu nampak santai, ia berjalan jauh di belakang pamannya. Pamannya berjalan
paling depan - menunjukkan jalan. Sementara Mafumu berjalan di urutan terakhir.
Di depannya berjalan Jack. Nampaknya Mafumu berusaha berteman dengan anak
berkulit putih itu. Ia memetik sekuntum bunga liar berwarna merah dari semak-semak di bawah pohon,
lalu meletakkan bunga itu di telinga Jack.
Jack jengkel sekali. Yang lain menertawakan sambil memekik-mekik melihat bunga
merah terselip di atas telinga Jack. Mafumu mengira Jack tak suka warna merah,
ia memetik bunga lain berwarna biru menyala, lalu menarik bunga merah di telinga
Jack dan menggantinya dengan yang biru.
Jack marah bukan buatan. Dengan gusar, dicampakkannya bunga itu dari telinganya.
Saudara-saudaranya tertawa cekikikan karena geli.
"Diam kau, Mafumu!" ucapnya.
Mafumu cepat hafal akan kata-kata yang diucapkan anak-anak di sepanjang
perjalanan, walaupun ia tak mengerti artinya. "Diam, diam, diam," katanya
menirukan dengan senang, ia lalu memanggil Ranni. "Diam! Diam! Diam!" katanya.
Semua menertawakan Mafumu. Anak itu konyol, lucu, cepat tertawa. Pada saat
pamannya bersikap kasar pun ia segera tersenyum lagi.
Rupanya ia masih ingin menunjukkan keinginannya bersahabat dengan Jack. Kali ini
ia memberi sejenis buah-buahan. Buah itu ia taruh dalam genggaman Jack, sambil
mengatakan, "Ammakeepa-lotti-loo."
Jack memandang buah di tangannya. Diciumnya buah itu. Wangi - seperti madu.
"Bolehkah buah ini dimakan, Ranni?" tanyanya.
Ranni menoleh, lalu mengangguk
"Boleh saja. Buah itu jarang kita dapatkan. Adanya hanya di hutan lebat begini.
Diberi oleh Mafumu, ya?"
"Betul," sahut Jack. "Tak henti-hentinya anak itu memberiku sesuatu. Aku jadi
tak enak." "Kalau kau tak mau, suruh saja Mafumu memberikan semuanya itu kepadaku," seru
Peggy. "Aku suka diberi bunga warna-warni. Apalagi buah ranum berwarna kuning segar
itu! Pasti enak rasanya."
Jack mencicipi buah di tangannya. Hmm, enaknya! Belum pernah ia makan buah
selezat itu. Manis rasanya, seperti madu. Jack menyuruh Nora dan Peggy mencicipi pula. Mereka
kepingin lagi. "Carikan lagi, Mafumu; carikan lagi, Mafumu!" pekik mereka.
"Diam, diam, diam!" sahut Mafumu riang, ia mengerti maksud Nora. Dan rasanya,
jawabannya barusan benar. Mafumu menghilang ke dalam hutan. Lama sekali
perginya, hingga anak-anak mulai gelisah.
"Ranni! Lama benar Mafumu pergi!" seru Jack. "Dia takkan kesasar, kan?"
Ranni bertanya pada paman Mafumu yang berjalan di depan. Lelaki pribumi itu
tertawa, lalu menjawab acuh tak acuh.
"Dia bilang Mafumu kenal hutan ini seperti semut kenal liangnya," kata Ranni
menerjemahkan. "Dia mengatakan dia tak peduli walaupun Mafumu dimakan buaya atau
dicengkeram singa. Rupanya orang itu sama sekali tak sayang kepada
keponakannya." "Ah, dasar orang jahat," ucap Peggy. "Astaga! Benarkah banyak singa berkeliaran
di sini?" "Ada sih. Tapi, kau tak perlu takut," jawab Ranni. "Aku dan Pilescu membawa
senjata. Di samping itu, paman Mafumu membawa banyak tombak."
Di hutan udaranya sejuk dan agak gelap. Mereka bisa berjalan cukup jauh tanpa
harus beristirahat. Mereka berjalan melewati jalur yang berliku-liku di antara
pepohonan raksasa. Bunyi kodok terdengar di kejauhan, sementara itu burung
berkicau dengan keras memekakkan telinga.
Jack melihat seekor burung nuri berwarna cerah dan seekor bajing sedang melompat
dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Buat anak-anak, yang paling menarik
adalah monyet-monyet. Beberapa ekor bergelantungan di pohon, berpindah dari
pohon satu ke pohon lainnya, mengikuti mereka berjalan sampai cukup jauh.
Akhirnya mereka sampai di tepi hutan. Pepohonan di situ berkurang rimbun dan
lebatnya. Sinar matahari terlihat di antara pepohonan itu, membuat bayang-bayang yang
bergerak-gerak sementara ranting-ranting bergerak tertiup angin.
"Hutannya tak begitu besar. Cuma sebentar kita lewat menyeberanginya," kata
Mike. "Sebenarnya hutan itu besar," kata Pilescu. "Cuma, kita tidak lewat di bagian
tengahnya. Kita hanya menyeberangi salah satu sudutnya barusan. Kalau hendak
lewat bagian tengahnya, kita harus membawa kapak dan pisau tajam untuk membabat
tumbuhan yang menghalangi jalan kita."
Anak-anak masih kuatir memikirkan Mafumu. Tetapi anak hitam itu tiba-tiba saja
muncul. Tubuhnya membungkuk lebih dari sebelumnya, karena di kepalanya terdapat beban
baru berupa buah-buahan kuning seperti yang diberikannya kepada Jack beberapa
saat sebelumnya. Mafumu memberikan buah itu kepada anak-anak. Masing-masing anak
diberinya sebuah. Sambil menyodorkan buah kepada mereka, Mafumu menyengir
girang. "Oh, terima kasih banyak," ujar Mike. "Hmm, segarnya! Buah beginilah yang paling
kudambakan. Aku haus! Terima kasih banyak, Mafumu!"
"Terima kasih banyak, diam," sahut Mafumu senang.
"Kupikir, sebaiknya kita semua istirahat dulu di sini," usul Pilescu. "Matahari
masih tinggi. Di luar hutan tentu panas sekali. Kita takkan bisa berjalan jauh
di udara terbuka yang sepanas itu. Kalau matahari sudah condong ke barat nanti,
baru kita teruskan perjalanan."
Tak seorang pun merasa lapar. Mereka semua kepanasan. Mafumu mencari buah lagi.
Kali ini semua kebagian. Buahnya tidak selezat yang tadi, tetapi toh cukup segar
dan manis. Pamannya tidak ikut makan buah. ia mengambil sesuatu dari kantungnya, lalu
menggigit-gigit benda itu.
Anak-anak tertidur semua, kecuali Mafumu. ia berlutut di dekat Jack, lalu
memperhatikan anak yang sedang tidur itu. Ketika merasa napas Mafumu mengenai
pipinya, Jack mendorong Mafumu supaya menjauh. Tetapi, begitu Jack tertidur,
Mafumu mendekat lagi. Anak berkulit hitam itu rupanya sangat terpesona pada
Jack. Ranni memandang anak-anak yang sedang tidur. "Mereka menurut hari ini," katanya
kepada Pilescu. "Tapi, pasti sangat lelah. Malam nanti harus kita usahakan
mereka tidur cukup. Perjalanan kita besok jauh dan mendaki pula."
"Aku sudah kepingin petualangan ini berakhir," ujar Pilescu kuatir. "Kalau ingat
bahwa ini baru mulai, rasanya ngeri." Sambil berkata-kata Pilescu mengipasi
wajah Paul yang kepanasan dengan selembar daun. Paul tak merasakan kesejukannya,
karena ia tertidur nyenyak sekali.
Berbeda dengan Pilescu, anak-anak justru senang petualangan itu baru mulai. Bagi
mereka, masa-masa di tengah petualangan merupakan masa yang paling menyenangkan.
Mereka menunggu-nunggu saat itu dengan tak sabar!
8. Perjalanan Panjang Dua hari penuh rombongan itu berjalan terus. Anak-anak kuat berjalan jauh. Hanya
Paul yang kurang kuat. Untunglah Ranni bisa menggendong Paul di bahunya kalau
anak itu mulai kecapekan.
Mereka sudah sampai ke daerah yang bergunung-gunung sekarang. Paman Mafumu
memimpin perjalanan mendaki. Lelah juga mendaki terus-terusan. Tetapi, lamakelamaan anak-anak pun jadi terbiasa. Lain halnya dengan Mafumu. Buatnya,
perjalanan mendaki itu nampaknya bukan hal aneh. ia melompat-lompat bukan
seperti sedang mendaki, tetapi lebih mirip gerakan orang yang sedang menuruni
bukit. Selama dua hari sudah banyak kata-kata Inggris yang dipelajarinya. Mafumu
tak pernah ragu-ragu menggunakan kata-kata barunya.
Anak-anak sering geli dibuatnya.
"Astaga, diam, halo, terima kasih banyak," celotehnya sambil melompat-lompat.
Yang membuat anak-anak heran, beban yang disunggi di atas kepalanya tak pernah
bergoyang sedikit pun. "Cepat, cepat, halo!"
"Konyol banget," ucap Jack.
Walaupun anak-anak menganggap Mafumu konyol, mereka suka pada anak yang selalu
riang gembira itu. Bermacam-macam tumbuhan ia berikan kepada anak-anak untuk
dimakan - jamur yang lezat sekali kalau dimasak, daun yang mengeluarkan rasa
pedas segar kalau digigit-gigit, berbagai jenis buah-buahan - ada yang pahit dan
Manusia Srigala Hantu 2 Sepuluh Anak Negro Ten Lime Niggers Karya Agatha Christie Rahasia Peti Wasiat 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama