Ceritasilat Novel Online

Rahasia Kaum Falasha 3

Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana Bagian 3


*** Sembilan orang yang memandu sebuah pesawat kecil yang baru mendarat di Avalon Airport pagi itu. Dua orang berkulit putih dengan rambut yang sama-sama hitam keriting turun dari pesawat. Avram Meir dan Moses Goldstein tak banyak bicara saat mereka meninggalkan pesawat itu dan segera menuju keluar bandara di mana sebuah jaguar hitam telah menanti mereka. Mereka menempatkan diri dengan nyaman di jok belakang jaguar hitam itu. Setelah itu, jaguar itu meluncur meninggalkan kawasan Avalon.
"Siapa yang hendak kita urus lebih dulu, Moses?"tanya Meir mengawali percakapan.
"Tergantung situasi dan kondisi, Avram. Kau sudah mendapat laporan dari orang-orang kita di sini?" tanya Goldstein.
"Si kurus itu sedang bersama kembaran si bodoh Indra. Sedang pelacur berkerudung itu berada di rumah seorang ulama. Rumahnya di dekat Flinders," jawab Meir dingin. Matanya menatap ke luar kendaraan yang melarikan mereka.
"Hmmm, seorang ulama ya" Target yang sangat menarik," ujar Goldstein. "Tapi," lanjut Goldstein, "apa yang dilakukan sikurus dengan kembaran si Indra?"
"Entah," jawab Meir, "tapi Jonah baru saja menelponku. Dia bilang, kembaran si Indra dan si kurus itu pergi dari rumah si Indra menuju ke Clayton."
"Sudah kau cek lagi ke mana mereka pergi?"
"Aku baru mau melakukannya," jawab Meir.
Tangannya lalu menekan tombol-tombol pada ponsel yang dipegangnya.
"Halo," ujar Meir mengawali percakapan telepon.
Meir lalu diam tanpa bicara sepatah kata pun. Ia nampak sedang menyimak sesuatu. Tak lama kemudian ia menekan tombol merah di ponselnya.
"Moses," ujar Meir, "kau akan terkejut mendengar kabar terbaru ini."
"Apa?" tanya Goldstein.
"Si kurus itu berada di apartemen Heri."
Goldstein diam dan nampak sedang memikirkan Sesuatu,
"Biarkan ia, Avram," ujar Goldstein tiba-tiba, "paling mereka sedang bernostalgia bersama kawan sialnya yang sudah mati itu."
"Lalu?" tanya Meir.
"Kita urus pelacur berkerudung itu dulu," jawab Goldstein mantap.
*** Walau baru dua hari kenal, Nisa sangat menyukai Ummi Alifa. Selain baik dan keibuan, ia juga mengajari Nisa banyak hal. Nisa tak merasa digurui ketika Ummi Alifa banyak berceramah tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Ia banyak menyoroti hubungan Nisa dengan Esa yang menurutnya terlalu dekat untuk ukuran seorang muslimah dengan seorang lelaki yang bukan muhrimnya. Sebagai seorang muslimah, Nisa sebenarnya tahu bahwa ia sering melakukan banyak kesalahan dalam hubungan dengan lawan jenis. Namun, seringkali hal itu tak terhindarkan. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hal tersebut. Sebab pertama adalah budaya. Orang Indonesia tergolong sangat permisif dalam hal membiarkan seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan muhrim berdua-duaan'. Akibatnya, tidak ada kontrol sosial yang kuat dalam mengatur hubungan seorang lelaki dan perempuan, termasuk dalam hubungan Esa dan Nisa. Sebab kedua adalah keterpaksaan. Kondisi yang akhir-akhir itu dihadapi oleh Nisa dan Esa membuat mereka, mau tak mau, banyak berbicara secara pribadi dalam situasi di mana tak ada orang lain yang menyertai mereka. Selain dua sebab tersebut, ada beberapa sebab lain yang hanya diketahui oleh mereka sendiri. Satu hal yang pasti, Nisa merasa dirinya cukup mampu menjaga diri ketika berada di dekat Esa. Ia pun yakin bahwa Esa dapat melakukan hal yang sama. Maka, ketika Ummi Alifa banyak bicara tentang masalah tersebut, ia hanya menyimak tanpa mendebat atau balas mengomentari.
Pagi itu, setelah Esa berlalu ke kediaman Bayu, Nisa membantu Ummi Alifa membereskan rumah. Setelah itu mereka pergi berbelanja ke sebuah supermarket yang berada tak jauh dari Stasiun Flinders, Ummi Alifa hendak memasak banyak hari itu karena pada malam harinya akan ada banyak tamu yang datang. Hari itu adalah jadwal pengajian di rumah Syaikh Rashed. Mereka yang datang umumnya mahasiswa yang berasal dari Timur Tengah. Sesampai kembali di rumah, Nisa membantu Ummi Alifa menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak dan bumbunya.
Syaikh Rashed nampak sedang membuka-buka beberapa kitab. Tak jauh dari sang Syaikh, Younnes membersihkan kitab-kitab lainnya dengan hati-hati. Hari belum beranjak zuhur ketika seseorang mengetuk pintu rumah dari luar. Syaikh Rashed lalu meminta Younnes untuk membuka pintu dan melihat siapa yang datang. Younnes pun beranjak menuju pintu dan membukanya. Tiga orang berpakaian hitam berada di ambang pintu.
"Can I help you?" tanya Younnes.
"Of Course," jawab salah seorang dari mereka sambil mengacungkan pistol ke arah kepala Younnes.
Mereka lalu mendorongnya masuk ke dalam.
"Siapa itu, Younnes?" tanya Syaikh Rashed dari balik ruang Mushala.
Younnes tak menjawab, Setelah dua kali menanyakan hal yang sama dan tak ada jawaban, Syaikh Rashed beranjak ke ruang muka untuk melihat. Ia tertegun saat berada di ujung ruang itu. Younnes didekap seseorang yang juga menodongkan pistol ke kepalanya. Sementara, dua orang lain langsung mengacungkan pistol ke arah Syaikh Rashed.
"Apa-apaan ini" Siapa kalian?" tanya Syaikh Rashed.
Roman mukanya menunjukkan ia terkejut luar biasa. Namun ia tetap tenang dan tak nampak ada perasaan gentar sedikit pun pada wajahnya. Ketiganya tak menjawab. Namun tak lama kemudian, dua orang lain memasuki rumah dari pintu yang sama.
"Halo, Syaikh," ujar Avram Meir dengan nada congkak.
Tanpa sungkan ia langsung duduk di sofa yang berada di ruang itu. Moses Goldstein yang masuk bersamanya sudah lebih dulu duduk tanpa banyak bicara.
"Hey! Siapa kalian?"
Syaikh Rashed kembali bertanya. Kali ini volume suaranya meninggi.
"Sist," ujar Goldstein sambil menempelkan telunjuk di bibirnya, "Kau tak usah banyak bertanya siapa kami. Dasar teroris berjenggot. sekarang, panggilah istrimudan juga pelacur berkerudung yang sejak kemarin ada di rumah ini kemari."
Syaikh Rashed terpana. Keterkejutannya masih belum hilang.
"Ayo cepat!" giliran Meir membentaknya, "dan jangan macam-macam kalau kau tak ingin kepala pemuda ini hancur berantakan!" ia lalu menunjuk ke arah Younnes yang masih dibekap pria berpistol.
Syaikh Rashed mulai menguasai dirinya dari keterkejutan. Lalu dengan tenang dan agak keras, ia menjawab,
"Istriku tak berada di rumah. Begitu juga perempuan muda yangkau maksud."
"Bohong!" teriak Goldstein, "Kau. dan kau!" ujarnya pada dua anak buahnya, "cari perempuan-perempuan itu!"
Dua anak buahnya lalu beranjak mencari Ummi Alifa dan Nisa. Sementara seorang masih mendekap Younnes dengan pistol di tangannya. Meir lalu beranjak mendekati Syaikh Rashed dan menarik kerah kemejanya. Diseretnya Syaikh Rashed ke sofa dan didudukkannya dengan paksa di sofa itu.
*** Sebelum dua anak buah Meir beranjak mencari Nisa dan Ummi Alifa, mereka sebenarnya telah mengetahui apa yang terjadi. Mereka mengintip semua peristiwa itu melalui celah yang ada di dinding yang memisahkan dapur dengan ruang tengah. Segera setelah Syaikh Rashed berteriak bahwa Ummi Alifa dan Nisa tak berada di rumah itu, Ummi Alifa tahu bahwa suaminya memberi kode agar ia dan Nisa lari. Ummi Alifa lalu menarik tangan Nisa ke arah dapur setengah berlari. Sesampainya di dapur, ia masih menarik Nisa menuju ke pojok dekat ulash basin. Tiba-tiba ia berjongkok dan membuka keset kain yang berada di bawah uash basin itu. Nampak ada dua handle besi tertancap pada lantai. Dengan sekuat tenaga, Ummi Alifa menarik handle itu dan Nisa dapat melihat ada basement tersembunyi di bawah wash basin. Ummi Alifa lalu menyuruh Nisa masuk lebih dulu ke dalam basement. Sementara, ia menempatkan keset kain lebih dahulu ke atas tutup basement itu sebelum ia sendiri masuk dan menutup kembali lubang itu dari bawah.
Nisa merasa pengap. Ia pun tak dapat melihat apa-apa. Saat sesuatu menyentuhnya, ia hampir berteriak sebelum Ummi Alifa berbisik keras di telinganya.
"Ssst. jangan ribut. Kau dengar" ada langkah-langkah kaki di atas kita." ujar Umni Alifa. Tiba-tiba, cahaya dari pemantik api menerang basement itu. Ummi Alifa rupanya membawa korek api di saku abayanya. Nisa dapat melihat bahwa basement itu berukuran sangat kecil, hanya sekira tiga kali dua meter. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu. Umi Alifa lalu merapat ke dinding sebelah selatan. Ia lantas merogohkan tangannya ke dalam lubang yang ada di dinding itu. Tiba-tiba, sebagian dinding itu bergerak dan Nisa pun dapat melihat sebuah terowongan di depannya.
"Ayo," pekik Ummi Alfa sambil menarik tangan Nisa.
Di atas mereka, dua anak buah Meir mencari mereka berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Mereka tak mendapati seorang pun berada di semua ruangan yang mereka masuki. Lalu mereka kembali keruang muka di mana Meir dan Goldstein sedang menyandera Younnes dan Syaikh Rashed.
"Mana mereka?" tanya Meir saat kedua orang itu kembali.
"Tak ada. Kami tak menemukan seorang pun," jawab salah seorang dari mereka.
"Kalian ini bagaimana" Tadi kalian sendiri yang berkata bahwa dua perempuan itu sudah masuk ke rumah ini?" tanya Goldstein.
"Kami juga heran. Padahal kami begitu yakin bahwa." ucapan orang itu terpotong oleh teriakan Syaikh Rashed,
"Sudah kubilang mereka tak ada di rumah! Mereka sedang..."
"Diam!" bentak Meir, "Bagaimana, Moses?" Ia lalu berpaling ke arah Goldstein.
"Bawa mereka ke mobil, Avram," Goldstein menjawab dingin.
Lorong di bawah rumah Syaikh Rashed sengaja dibuat sejak mengerasnya sentimen orang-orang Australia pada umat Islam. Tanpa tahu siapa yang melakukannya, Syaikh Rashed dan para penghUmmi rumahnya kerap menerima teror, mulai dari yang ringan hingga upayapenyerangan secara fisik. Karena itu, murid-murid sang Syaikh lalu berinisiatif membuat jalan tahasia itu agar Syaikh Rashed dan Ummi Alifa dapat menyelamatkandiri setiap saat, bilamana terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Nisa mendengarkan penjelasan Ummi Aifa tentang lorong itu dengan perasaan tak menentu.
Setelah beberapa saat menyusuri lorong yang gelap, Nisa dan Ummi Alifa sampai di gorong-gorong saluran air yang tak jauh dari rumah Syaikh Rashed. Ummi Alifa lalu membuka tingkap besi yang menutup gorong-gorong air itu. Mereka naik dan keluar dari gorong-gorong air di samping sebuah rumah makan khas Maroko. Pemilik rumah makan itu ialah kerabat Syaikh Rashed dan Ummi Alifa, seorang janda asal Sudan bernama Khalceda.
Ummi Alifa membawa Nisa memasuki ruang belakang rumah makan itu. Ia lalu menjelaskan mengapa mereka datang ke tempat itu pada Khaleeda. Khaleeda membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua restoran yang juga rumahnya tersebut. Ia lalu meminta diri pada Ummi Alifa dan Nisa karena masih harus mengurusi restorannya.
Selepas Khaleeda meninggalkan mereka, Ummi Alifa berdiri di tepi jendela dan menandang Nisa yang masih kaget dengan kejadian yang baru saja dialaminya.
"Nisa," ujar Ummi Alifa perlahan namun tegas,
"bisakah kau jelaskan apa yang sebenarnya terjadi" Siapa orang-orang tadi" Dan. apa hubunganmu dengan mereka?"
"Entahlah, Ummi ," jawab Nisa gugup,
"aku...tak bisa menjelaskan semua ini. Aku...aku harus segera menghubungi Esa. Semua ini juga berhubungan dengan dia." Ummi Alifa mengangkat bahu lalu,
"Esa membawa ponsel?" tanyanya.
"Ya, tapi entahlah.mungkin tidak aktif, sebab kami kan di Australia dan."
"Oke," potong Ummi Alifa cepat,
"kau tahu dia berada di mana?"
"Ah...saya ingat," jawab Nisa. Tak lama kemudian, Nisa menggunakan telepon
restoran itu untuk menghubungi rumah Bu Rini dan menanyakan nomor ponsel Bayu. Segera setelah itu, Nisa menghubungi nomor yang diberikan Bu Rini.
Di Clayton, Esa dan Bayu baru saja keluar dari apartemen Heri setelah membereskan beberapa barang milik Heri yang tersisa di tempat itu. Esa memesan
pada petugas di apartemen itu untuk mengirim barang-barang Heri ke Indonesia melalui paket. Setelah ia memberikan uang yang diperlukan oleh petugas di
apartemen itu, ia keluar bersama Bayu. Saat itulah ponsel Bayu berbunyi.
"halo?" tanya Bayu. Tak lama kemudian, ia tiba-tiba menyodorkan ponsel itu pada Esa.
"Untukmu," ujar Bayu. Esa menerimanya.Segera setelah mendengar kejadian di rumah Syaikh Rashed dari Nisa, Esa bergegas mengajak Bayu pergi menujurestoran
nilik Khaleda. Ia pun memberitahu Bayu tentang apa yang telah terjadi di rumah Syaikh Rashed Bayu langsung memacu Toyota Crown nya dengan kecepatan tinggi
hingga mereka sampai di tempat Khaleeda. Khaleda mengantar mereka berdua menemui Ummi Alifa dan Nisa di lantai dua rumahnya. Ummi Alifa sempat kaget melihat
Bayu yang dikiranya Indra. Nisa lalu menjelaskan bahwa yang dilihatnya bukan Indra, namun Bayu-kembarannya. Penjelasan Nisa malah membuat Ummi Alifa pusing.
"Masya Allah," ujar Ummi Alifa,
"tak bisakah seseorang memberitahu tentang apa yang terjadi" Nisa. Esa...suamiku ditawan oleh orang-orang
yang tak kukenal dan kukira kalian bisa menjelaskan siapa mereka?" Semua orang di ruangan itu lalu diam. Esa lalu berbicara,
"Sebelumnya, maafkan kami Ummi ," ujarnya
"ini semua berada di luar akal dan kehendak kita sebagai manusia." Mereka semua kembali diam. Gurat-gurat kebimbangan nampak pada wajah mereka.
"Oke.bagaimana jika kita kembali ke rumahku?" tanya Ummi Alifa tiba-tiba.
"Ide bagus, Ummi ," ujar Bayu,
"setidaknya kita bisa mengamati keadaan dari jauh dan mengamati.apakah orang-orang itu masih berada di rumah atau tidak." Seketika, mereka bergegas turun
dan pamit pada Khaleeda. Dengan mobil Bayu, mereka berempat mendekati rumah Syaikh Rashed. Sekitar seratus meter dari rumah, Bayu menarkir mobil di tepi
jalan. Mereka lalu mengamati rumah yang nampak sepi.
"Sepertinya mereka sudah pergi,"gumam Nisa. Semua diam tak menimpali. Tiba-tiba...sebuah mobil berhenti di muka rumah. Mobil itu ialah mobil Syaikh Rashed
yang dikemudikan Hashem. Mereka tercekat karena melihat Hashem turun dari mobil dan masuk ke rumah.
"Itu Hashem," seru Ummi Alifa pelan,
"Bagaimana jika orang-orang itu masih berada di rumah?" Semua melihat dengan tegang ke arah rumah. Namun tak terjadi apa-apa. Hashem malah keluar lagi
dari rumah. Ia nampak bingung ketika mendapati rumah tak terkunci tanpa ada seorang pun yang tinggal di
dalamnya. Seketika itu Bayu menghidupkan mobilnya dan menuju muka rumah. Dugaan mereka benar. Orang-orang itu telah pergi dengan membawa Syaikh Rashed
dan Younnes. Hashem nampak bingung melihat mereka dan mendapati bahwa Syaikh Rashed tak berada di rumah. Ummi Alifa lalu menjelaskan apa yang baru saja
terjadi pada Hashem. Hashem sangat terkejut mendengar penuturan Ummi Alifa. Beberapa saat ia termenung. Tiba-tiba, mereka mendengar telepon berdering dengan
keras dari dalam rumah. Mendengar dering telepon itu, mereka diam sesaat dan nampak bagai tak tahu apa yang harus dilakukan. Umni Alifa tiba-tiba menyentak
dengan berjalan cepat ke dalam rumah Seketika yang lain berlari mengikuti Ummi Alifa Tanpa dikatakan, mereka memiliki pikiran yang sama kemungkinan bahwa
dering telepon itu ialah panggilan dari orang-orang yang menyandera Syaikh Rashed dan Younnes. Segera setelah berada di dalam rumah, Ummi Alifa menghambur
menuju telepon di ujung ruang depan rumah
dan mengangkatnya Baru beberapa saat gagang telepon menempel di telinganya, wajahnya seketika berubah pucat. Selama beberapa saat, ia nampak serius mendengarkan
sesuatu Lalu perlahan Ummi Alifa menurunkan gagang telepon itu pada tempatnya.
"Mereka hendak membunuh suamiku dan Younnes." ujar Ummi Alifa bergetar. Semua terdiam dan tak berkata apa-apa. Bayu memegang kepalanya dengan raut wajah
tak menentu. Sedang Esa mengucap innalilaah dengan ekspresi yangkurang lebih sama dengan Bayu. Ummi Alifa menangis di dekapan Nisa yang juga nampak mulai
menangis. "Baiklah," ujar Ummi Alifa mencoba mengatur napas dan bersikap tenang,
"ada apa sebenarnya" Kalian...belum juga menceritakan sebab dari semua ini. Demi Allah. Esa, Nisa.ada apa sebenarnya dengan semua ini?" Sejenak Esa tertegun
dan menerawang ke arah jendela rumah. Sementara, Nisa hanya mengusap kedua matanya yang berair. Kemudian Esa mulai berkata-kata. Cerita demi cerita mengalir
dari mulut Esa. Mulai dari saat Esa menerima paket dari Indra, saat Nisa dihubungi seorang Yahudi ketika di Singapura, hingga saat Esa ditawan di Avalon.
Terkadang Nisa dan Bayu menambahkan cerita Esa. Ummi Alifa menyimak semua itu dengan serius. Bibirnya mengatup dan wajahnya menunjukkan ia sedang berpikir
keras. Setelah itu; "Bayu. Esa...," Ummi Alifa melanjutkan,
"mereka meminta. segitiga yang diberikan Heri pada Esa." Bayu mengangguk lemas. Sementara Esa memegang dagu, lalu memandang ke arah Nisa. Nisa juga rupanya
sedang memandang ke arahnya. Mereka lalu sama-sama tertunduk.
"Oke,.sekarang apa yang akan kita lakukan untuk menolong suamiku?" tanya Ummi Alifa Pertanyaan itu menyentak semua orang di ruangan itu.
"Kita." jawab Nisa,
"tak punya pilihan lain Ummi . kita harus ...dan akan memberikan segitiga itu."
"Nisa," ujar Esa tiba-tiba,
"di mana kau menyimpan segitiga itu" Kau meningalkannya di. Indonesia?"Semua kaget dan cemas mendengar pertanyaan Esa pada Nisa. Bagaimana jika.
"Tidak," jawab Nisa tegas,
"segitiga itu ada di sini..di Australia." Nisa lalu bercerita pada semua. Ia menyewa sebuah PO BOX di Melbourne melalui internet sebelum ia bertolak
menuju Singapura bersama keluarganya. Ia lalu mengirimkan segitiga itu melalui pos. Menurut perkiraannya, segitiga itu tentu sudah berada di PO BOX yang
disewanya. "Mau tak mau..," ujar Esa,
"kita harus membuat rencana."
"Kau benar Esa," timpal Ummi Alifa,
"kita harus berikhtiar, disamping berdoa tentunya." Nisa ikut bicara,
"Kita harus berhati-hati. Mereka sangat licik. Bukan hal yang mustahil jika saat ini mereka sedang mengawasi kita di tempat ini. Aku sudah bercerita
pada kalian, kan" Bagaimana aku mengelabui mereka saat menerbangkan keluargaku ke Singapura?" Mereka semua mengamini.
"Jika kita menyerahkan segitiga itu begitu saja, itu tak menjamin bahwa mereka akan tetap membiarkan Younnes, Syaikh Rashed dan kita semua tetap hidup.
Seperti yang kau katakan, Nisa, ...mereka sangat licik," ujar Bayu.
"Karena itulah," tukas Esa, "kita harus membuat rencana."
"Ada yang punya ide?" tanya Bayu. Semua diam berpikir.
Esa Mencoba berpikir keras. Ia mencoba mengkaji segala kemungkinan dalam otaknya.
"Yahudi-yahudi itu akan menelpon kembali jam lima sore," ujar Ummi Alifa,
"sementara itu, mari kita shalat ashar dan berdoa."
*** Jam lima tepat, Ummi Alifa menanti cemas di
samping telepon tak berapa lama, telepon itu pun berdering Umui Alifa sigap mengangkatnya, terdengar suara khas seseorang yang telah didengarnya pada
pagi hari. "Halo Alifa?" ujar Goldstein.
"Ya...," Umni Alifa menjawab singkat. Tangannya menempelkan telpon di pipikiri. Nisa yang duduk di samping Umi Alifa dapat melihat bahwa tangannya agak
bergetar saat ia memegang gagang telepon itu.
"Dengar," lanjut Goldstein,
"aku harap kau bisa berlaku pintar."
"Apa...yang kau inginkan?" tanya Ummi Alifa setengah bergetar.
"Dengar, aku yakin bahwa kau sudah mendengar dari Si Kurus dan teman perempuannya itu bahwa kami hanya menginginkan segitiga yang
sekarang dimiliki perempuan dari Indonesia itu. Tak lebih.dan tak kurang. Setelah kalian menyerahkan barang-barang itu, kulepaskan suamimu dan muridnya.
Maka. kalian akan dapat melanjutkan hidup kalian dengan tenang. Nah. untuk itu, kalian harus segera berada di pelabuhan Port Philip sebelum jam delapan
malam ini. Kita akan mengadakan acara pertukaran sandera antara kedua Arab yang ada padaku ini dengan barang yang kuminta dari kalian. Ya. seperti di film-film
Hollywood-lah mengerti naksudku?"
"Aku mengerti..," jawab Ummi Alifa singkat.
"Baik. Aku akan kembali menghubungimu setelah kalian berada di Port Philip. Dan satu lagi. jangan macam-macam. Aku selalu mengawasi kalian. Mengerti"
Sekali lagi. jangan macam-macam!" setelah kalimat Goldstein yang terakhir itu, saluran telepon terputus. Ummi Alifa menurunkan gagang telepon dari pipi
kirinya dengan mata terpejam dan mulut terkatup kuat. Ia lalu menatap ke arah Nisa yang terus menatapnya dengan pandangan cemas dan khawatir sejak ia mengangkat
telepon. "Bagaimana?" tanya Nisa. Umni Alifa menggelengkan kepalanya. la lalu menceritakan semua percakapannya dengan Goldstein pada Nisa, Esa, dan Bayu. Tak
lama mereka termenung sebelum kata-kata Esa menyentak lamunan;
"Sebaiknya kita segera bergegas ke kantor pos." Mereka segera beranjak ke depan rumah, menuju mobil Bayu yang terparkir di tempat itu. Ummi Alifa dan
Nisa duduk di belakang Esa danBayu yang memegang kemudi. Tujuan mereka ialah kantor
POS Melbourne. "Aku tak yakin ujar Nisa, "apakah kantor pos masih buka pada jam ini." Hampir semua lalu serempak melihat pada arloji
masing-masing, kecuali Ummi Alifa.
"Jangan terlalu khawatir," tukas Ummi Alifa,
"aku punya seorang teman yang bekerja di sana. Kalaupun sudah tutup, mungkin ia bisa membantu kita." Semua berharap cemas. Beberapa saat kemudian, Toyota
Crown milik Bayu telah berada di muka Kantor Pos Melbourne. Mereka berlima lalu turun dan berjalan beriringan Esa dan Bayu berjalan di muka. Dugaan Nisa
benar. Kantor pos itu mungkin sudah tutup pada satu ala dua jam sebelumnya. Nisa melihat arlojinya dan waktu sudah mendekati pukul enam.
"Bagaimana ini, Uni," ujar Nisa cemas,
"Kantor Pos ini ternyata sudah tutup."
"Sudahlah," tukas Ummi Alifa dengan nada suara yang tenang,
"kita berbagi tugas sekarang Bayu dan Esa, kalian tunggu di sini. Nisa, ikutlah denganku menemui temanku di dalam. Ia bekerja di bagian ekspedisi." Ummi
Alifa lalu beranjak ke samping Kantor Pos, diikuti oleh Nisa. Teman Ummi Alifa itu seorang bule, perempuan berusia paruh baya. Namanya Cindy. Ia nampak
ramah dan baik hati. Ummi Alifa menjelaskan padanya bahwa Nisa hendak mengambil sesuatu dari PO BOX yang disewanya dan karena satu hal, ia terlambat datang
ke kantor pos.Semula, Cindy tak menyanggupi untuk membantu mereka karena ia bekerja di bagian ekspedisi yang tidak ada hubungannya dengan PO BOX. Namun,
ia lalu memperkenalkan mereka dengan kawannya di bagian PO BOX Beruntung sekali bahwa kawan Cindy itu akhirnya mau membukakan PO BOX yang disewa Nisa,
setelah mereka sedikit membujuk dan mengatakan bahwa mereka tak memiliki waktu lagi untuk mengambil barang yang ada dalam PO BOX tersebut. Dalam
beberapa menit saja, segitiga itu telah berada di tangan Nisa.
|an di tangan Esa nenunjukkan waktu baru beranjak ke pukul tujuh empat puluh lima saat mereka tiba di Port Philip. Dari kawasan inilah kota Melbourne
berkembang dengan pola mengikuti aliran Yarra River ke arah Yarra dan Dandenong Rangers. Dari pelabuhan yang berada di ujung Port Philip, Esa dapat melihat
kapalkapal sandar dan berlabuh. Esa, Nisa, Bayu, dan Ummi Alifa memilih duduk di sebuah beton yang teronggok di sisi pagar pelabuhan dan menunggu dengan
cemas. Ummi Alifa memegang ponselnya sejak mereka turun dari mobil. Esa tertegun menatap ke arah kapal-kapal yang sandar di pelabuhan. Benaknya benar-benar
kacau memikirkan segala yang telah dan akan terjadi. Ekspresi dan perasaan Nisa kurang lebih sama dengan Esa. Untuk menyalurkan energi kecemasannya, ia
mendekap erat Ummi Alifa yang tak henti hentinya berzikir. Sementara Bayu nampak paling tenang di antara mereka. Sesekali, ia melirik arloji di tangan kirinya. Semua
tertegun dan tegang Tiba-tiba, ponsel Ummi Alifa berdering. Dengan tangan bergetar, ia lalu mengangkat ponsel itu.
"Halo" ujar Ummi Alifa membuka percakapan.
"Well, rupanya kalian datang tepat waktu," terdengar suara Goldstein di ponselnya Ummi Alifa kemudian menekan opsi lot pada ponselnya agar semua orang
dapat mendengar percakapannya dengan Goldstein.
"Semuanya dengarkan. kalian pergilah ke anjungan pelabuhan paling timur. Di sana sudah menunggu sebuah kapal kecil bernama Golden Star".naiklah ke atasnya.
Kalian akan bertemu aku di sana." KLIK Hubungan terputus. Semua tertegun. Esa lalu menghela napas panjang.
"Sebaiknya kita tidak membuang waktu," ujar Esa. Mereka lalu bergegas setengah berlari menuju timur. Tak lama kemudian mereka tiba di dermaga kecil tempat
kapal-kapal penangkap ikan bersandar. Mereka lalu menemukan 'Golden Star yang dimaksud Goldstein. 'Golden Star itu sebuah tongkang kecil yang tampaknya
biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Mereka berhenti berjalan ketika melihat kapal itu tertambat di tepi dermaga yang sepi. Esa mengedarkan pandangannya.
Di sekitar dermaga itu masih ada empat kapal lain yang bertambat. Namun, hanya Golden Star" itu yang terlihat memiliki lampu yang menyala. Mereka lalu
bergegas naik ke anjungan kapal. Taknampak ada seorang pun di kapal itu. Tiba-tiba, pintu
anjungan yang menjorok ke perut kapal terbuka.
"Selamat datang, kawan-kawanku." Moses Goldstein dan Avrain Meir berdiri di ambang pintu menyambut mereka. Mereka tak menjawab, hanya menatap ke arah
Goldstein dan Meir yang berdiri sambil menghisap Marlboro.
"Masuklah," ujar Meir dingin. Ia lalu beranjak ke dalam mengikuti Goldstein yang sudah lebih dulu masuk. Esa berjalan mengikuti mereka terlebih dahulu.
Kemudian Bayu, Nisa, dan Ummi Alia berjalan mengikutinya. Mereka menurUmmi tangga yang berada di balik pintu. Begitu masuk, disambut aroma amis ikan laut
yang kuat menusuk hidung. Ruangan di dalam itu ukup lapang walau kapal itu sempit. Esa menaksir ruangan itu berukuran sekira enam kali delapan meter Sebuah
meja dan kursi berada di ujung ruangan. Di samping bawah meja, nampak Syaikh Rashed dan Younnes terikat dalam posisi duduk. Ummi Alifa kembali meneteskan
air mata melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Sementara di dekat mereka, dua lelaki berpakaian hitan menodongkan sebuah pistol masing-masing ke
kepala Syaikh Rashed dan Younnes.
"Sekarang," uja Goldstein membuka percakapan,
"mana segitiga itu?" Bayu lalu memberikan barang yang dimaksud Goldstein pada Esa yang berdiri paling depan. Esa lalu mengangkat benda yang dimaksud
sebuah segitiga berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa."Yah., aku masih harus memeriksa keasliannya. Aku punya pengalaman buruk ditipu olehnya,"
ujar Meir sambil menunjuk Nisa. Nisa menunduk.
"Ya! Periksalah, Avram," ujar Goldstein tanpa ekspresi,
"sementara itu, kita akan berjalan-jalan." Goldstein lalu menekan tombol interkom di dinding samping tempat ia berdiri dan mengatakan sesuatu. Tibatiba,
mesin kapal berderu keras dan kapal pun mulai meninggalkan dermaga. Sesaat mereka oleng Bayu hampir terloncat ke depan. Namun ia masih dapat menjaga keseimbangan tubuhnya. Meir refleks menarik pistol dari bajunya dan mengarahkannya pada Bayu.
"Jangan macam-macam!" ujarnya.
"Kau," lanjutnya pada Esa,
"maju dua langkah dan simpan benda itu. Setelah itu, mundur kembali. Sementara aku memeriksa keaslian benda-benda itu. Kalian diamlah dan cukup menonton
kedua Arab teroris itu." Meir menunjuk ke arah Syaikh Rashed dan Younnes. Tangis Ummi Alifa mulai mengeras. Sementara Esa dan Bayu menatap geram kearah
Goldstein dan Meir .Esa lalu mengikuti perintah Meir .Meir berjongkok memungut benda itu dan berjalan dengan tenang menuju meja di sudut ruang itu. Ia
lalu menghidupkan laptop yang berada di atas meja dan memasukkan USB Flash Disk yang baru diambilnya. Segitiga emas ia letakkan di samping laptop tersebut.
"Moses," ujar Meir sambil mengerling ke arah Goldstein,
"kau lebih tahu tentang benda itu. Silakan kau periksa." Meir lalu beringsut meninggalkan meja dan kembali
menodongkan pistol pada Esa dan kawan-kawan. Goldstein lalu beranjak ke arah meja dan duduk dengan dingin di kursi yang berada di depan meja. Ia menghadapi
layar laptop dengan wajah teliti. Kemudian ia beralih mengamati segitiga emas yang terletak di samping laptop. Sementara itu, Esa merasakan bahwa kapal
terus bergerak maju. Sayup-sayup ia mendengar deru mesin lain tak jauh dari kapal itu. Rupanya sebuah kapal lain mengikuti kapal tersebut. Ia lalu menatap
sekilas pada Umni Alifa dan Nisa. Nisa balas menatapnya dengan bingung. Syaikh Rashed yang terikat bersama Younnes nampak sibuk komat-kamit, begitu pula
Younnes. Mereka pasti sedang berdoa. Tak beberapa lama kemudian. Goldstein berdiri. Lalu ia menghadap ke arah mereka sambil menimbangnimbang segitiga emas
di tangan kanannya. "Aku sudah pernah memegang segitiga emas ini," ujarnya. Lalu ia diam sambil menatap wajah mereka satu persatu. Semua terdiam menunggu apa yang hendak
diperbuatnya. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja dari pintu masuk empat orang lain yang berpakaian hitam masuk sambil membawa senapan otomatis.
"Aku menghargai kejujuran kalian," lanjut Goldstein,
"barang ini asli. Namun." ucapannya terpotong. Ia nampak memberikan isyarat pada Meir yang kemudian meneruskan isyarat itu pada orang-orang yang baru
masuk. "...dengan sangat menyesal sekali, aku tak dapat membiarkan kalian hidup setelah ini!" Keempat orang yang baru masuk tiba-tiba mendorong
mereka ke tangah ruangan. Nisa sempat berontak sebelum ia didorong hingga hampir terjatuh. Salah seorang dari mereka lalu merenggut tangan mereka satu
persatu dan mengikatnya dengan sebuah tambang rami. Sementara, yang lainnya terus menodongkan senapan ke arah mereka. Setelah itu, tangan-tangan dan kaki
kaki mereka semua terikat. Seorang kaki tangan Goldstein yang bertubuh paling besar lalu menyatukan ikatan mereka dengan ikatan Syaikh Rashed dan Younnes.
"Baiklah," suara Goldstein memecah ketegangan di kapal itu,
"sebelum kalian mati, ada permintaan terakhir?"
"Ada" jawab Esa cepat.
"Wah! Nyalimu besar juga, kurus. Baiklah.apa permintaan terakhirnu?"
"Siapa sebenarnya kalian"' tanya Esa. Goldstein tertawa keras.
"Kau sudah akan mati dan masih bertanya siapa kami" Kenapa kau tak meminta makanan enak atau tidur dengan perempuan cantik" tanya Goldstein tanpa berhenti
tertawa. Meir dan beberapa kaki tangannya juga ikut tertawa.
"Setidaknya," ujar Esa,
"aku tahu siapa yang mengirimku bertemu dengan Tuhanku."
"Baiklah, kurus," jawab Goldstein,
"Biar kuperkenalkan siapa kami. Kami adalah The Knight of Zion. Tugas kami menjaga ritus suci milik bangsa kami."
"Kalian agen Mossad?" tanya Esa.
"Oh no.no. bukan itu kawan," jawab Goldstein,
"Mossad ialah lembaga milik pemerintah Israel. Merekabermain dengan urusan intelijen dengan memakai penyamaran dan paspor palsu. Sementara kami ialah


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agen Zionisme Internasional. Tugas kami ialah menjaga agar cita-cita Zionisme tetap terjaga dan tetap berlangsung hingga akhir zaman. Kami membantu para
atasan kami untuk mengatur dunia dan menjaga ritus-ritus suci bangsa kami. Dengan kata lain, kami memiliki tugas yang lebih besar dan berat dari sekadar
tugas Mossad yang hanya menjaga kelangsungan negara Israel. Mengerti?"
"Belum!" tukas Esa cepat. Goldstein lalu tersenyum. Ia menatap Esa dengan pandangan meremehkan.
"Begini, kurus, lanjutnya dengan nada lebih tenang,
"Kalian sudah melangkah terlalu jauh. Kalian sudah mengetahui dan ingin menemukan di mana warisan leluhur kami yang agung, Salomon. Berpikirlah, harta
itu adalah milik sah kani.warisan kami...hanya kami yang berhak mendapatkannya."
"Maksudmu?" tukas Esa.
"Segitiga ini..," jawab Meir,
"adalah kunci tempat penyimpanan harta karun Salomon yang agung" Esa tertegun. Demikian pula yang lain.
"Jadi..," lanjut Meir," karena cita-cita menjaga citacita Zionisme tetap terjaga dan tetap berlangsung hingga akhir zaman. Kami memerlukan dana besar.
Dan leluhur kami telah meninggalkan warisannya yang kaya bagi kami." Lalu Esa memotong,
"Dan akan kalian gunakan untuk membunuhi anak-anak, perempuan, dan orang-orang tua tak berdosa di
Palestina, Libanon, Yordania, Suriah." ucapannya pun terpotong,
"... membunuh kalian semua, Goyyin'" seru Goldstein,
"kalian hanya anjing-anjing makar yang tak layak hidup bersama kami, putra-putri Israel." Esa diam tangannya yang terikat dibelakang terkepal, bibirnya
mengatup kuat. "Oke!" lanjut Goldstein,
"senang sekali bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan kalian...namun kini waktunya kami untuk pergi." Ia lalu mengatakan sesuatu pada Meir dalam
bahasa Hebrew. Tiba-tiba, mesin kapal itu mati. Namun di luar terdengar ada deru mesin kapal lainnya. Goldstein dan kawan-kawannya lalu beranjak
naik ke geladak me ninggalkan ruangan itu. Setelah itu, tiba-tiba lampu di kapal itu pun ikut mati. Dan sayup-sayup, suara kapal lain yang mengikuti kapal
itu terdengar menjauh. Kegelapan di ruangan itu membuat mereka tak dapat melihat satu sama lain.
"Aneh...," ujar Bayu dalam gelap,
"tadi mereka bilang hendak membunuh kita. Tapi. mengapa mereka meninggalkan kita begitu saja?"
"Sst Diam Bayu!" tukas Ummi Alifa,
"dengarkan. suara apa itu?" Mereka memicingkan telinga. Terdengar suara desisan dari bawah kapal. Tiba-tiba, Esa merasakan kakinya basah. Ternyata yang
lain pun merasakan hal yang Sama.
"Ya Allah," ujar Nisa,
"mereka membocorkan kapal ini...mereka hendak membuat kita mati tenggelam!" antara hidup dan mati adalah ruang yang lapang bagi seseorang untuk meminta
ampunan dari Allah Swt. Saat semacam itu ialah saat pertaruhan bagi seorang mukmin. Dapatkah mereka mengingat Tuhan dan Rasul-Nya" Esa, Nisa, Bayu, Younnes,
Ummi Alifa dan Syaikh Rashed sangat menyadari hal tersebut. Saat kaki-kaki mereka mulai basah oleh air yang masuk melalui bagian kapal yang bocor, mereka
mulai memusatkan pikiran pada Sang Pencipta. Ketujuh orang itu diam dan tak berbicara. Namun hati mereka berbicara kepada Allah. Esa merenungkan kehidupannya
selama dua puluh empat tahun yang mungkin harus berakhir saat itu. Ia lalu memanjatkan doa pada Allah Swt:
Allah, tiada tuhan selain Engkau yang telah mengutus Muhammad sebagai Rasul-Mu. hanya padaMu kami menyembah dan hanya pada-Mu pula kami harus meminta
bantuan dan pertolongan. Jika Engkau berkehendak kami untuk mati saat ini, izinkanlah aku dan kauan-kauanku untuk mati dalam keadaan berinan pada-Mu dan
rasul-Mu. Namun jika Engkau berkehendak lain. tunjukkanlah jalan bagi kani untuk keluar dari kapal ini.
Perlahan, air mulai merambat dan merendam kaki mereka setinggi lutut. Esa pun berbicara,
"Semua yang ada di sini. saya hendak minta maaf Sayalah yang telah melibatkan kalian semua dalam masalah ini dan menyebabkan kalian semua berada di sini.
Sekali lagi, maafkanlah saya."
"Hentikan ucapanmu," tukas Syaikh Rashed. Nada suaranya terdengar tenang dan mengalun,
"Semua ini adalah kehendak Allah. Kita hanya bisa tawakal saat ini. Berdoalah. Namun, aku pun ingin minta maaf pada kalian...bila ada sikapku selama
ini yang tidak berkenan di hatian kalian.terutama padamu, Alifa." Ummi Alifa terisak.
"Maafkan aku juga, suamiku," ujarnya terbata-bata. Mulutnya lalu terdengar komat-kamit, mengucap doa pada Allah Swt. Setelah itu, giliran Younnes dan
Bayu mengucapkan kalimat yang isinya kurang lebih sama. Esa tak mendengar Nisa mengucapkan sepatah kata pun. Gemericik air yang menerobos masuk ke ruangan
itu terdengar jelas.Sementara gelap membuat Esa tak dapat melihat apa pun, begitu juga yang lainnya.
"Esa,." tiba tiba Esa mendengar Nisa berbicara,
"ini mungkin yang terakhir kalinya aku berbicara padamu." lanjutnya. Suaranya mulai terdengar berat dan ada isakan mengiringi ucapannya.
"Untuk itu, aku ingin jujur padamu." Ucapan Nisa terpotong karena mereka tiba-tiba mendengar suara deru mesin kapal yang tak jauh dari tempat mereka
berada. "Suara kapal" teriak Younnes,
"kita mungkin bisa selamat. Toloong." Semua tertegun sejenak, lalu mereka berteriak dan membuat kegaduhan di tengah gelap itu. Deru kapal itu terdengar
mendekat lalu mereka dapat mendengar suara gedebuk di dek kapal, pertanda ada seseorang yang beranjak naik ke kapal yang mulai tenggelam dan merendam mereka
setinggi perut. Mereka terus berteriak minta tolong dan terdengar orang yang berada di anjungan kapal itu mencoba membuka pintu yang menuju ke lambung
kapal Bruk! Tiba-tiba pintu itu terbuka. Mereka yang berada di lambung kapal dapat melihat kilatan cahaya melalui ambang pintu dan tiba-tiba, ada sosok
bayangan manusia di ambang pintu itu.
saat semuanya pergi, Hashem mengikuti permintaan Ummi Alifa
untuk tidak mengikuti mereka ke Port Philip. Ia menunggu di rumah karena malam itu sedianya menjadi malam pengajian untuk murid-murid Syaikh Rashed.
Ummi Alifa memberinya tugas untuk mengabari mereka yang datang ke rumah bahwa pengajian malam itu dibatalkan.
Segera setelah murid-murid Syaikh Rashed berdatangan, Hashem lalu memberitahu mereka tentang apa yang baru saja terjadi. Rasa keke luargaan mereka yang
erat lalu membuat mereka bergegas menyusul Ummi Alifa dan yang lainnya. Mereka takut terjadi sesuatu. Apalagi setelah mendengar bahwa Syaikh Rashed disandera
oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Hashem dan kawan-kawannya menguntit dari jauh saat Esa, Bayu, Nisa, dan Ummi Alifa berjalan hingga memasuki Golden Star. Hashem dan kawan-kawannya lalu
beramai-ramai menyewa sebuah kapal lain yang tertambat tak jauh dari Golden Star. Kemudian dengan kapal itu mereka mengikuti Golden Star dari jauh. Saat
menyadari bahwa ada kapal lain yang berjalan bersama Golden Star, mereka meningkatkan kewaspadaan hingga kemudian mereka melihat Golden Star ditinggalkan
oleh kapal yang menyertainya dan hampir tenggelan. Secepat mungkin mereka kemudian mendekati Golden Star setelah kapal yang ditumpangi Goldstein menjauh.
Rupanya itulah skenario yang dirancang Allah untuk menyelamatkan Esa, Nisa, Syaikh Rashed, Ummi Alifa, Bayu, dan Younnes yang hampir saja dicelakakan oleh
Goldstein dan kawan kawan Hashem dan kawan kawannya segera melepaskan ikatan dan membawa Esa dan lainnya naik ke kapal yang mereka bawa. Mesin kapal pun
segera menyala dan mengarah kembali ke Port Philip. Beberapa saat setelah kapal yang mereka tumpangi beranjak menjauhi Golden Star, mereka dapat mendengar
gelegak suara kapal tenggelam. Rupanya Golden Star telah tertelan oleh laut. Mereka semua kembali mengucap syukur. Kapal itu dikemudikan oleh seorang kawan
Hashem dan terasa bergerak lambat. Sementara itu, semua yang berada di kapal itu memilih diam dan menikmati ketegangan yang masih ters
isa dalam diri mereka. Esa mencoba memicingkan matanya. Namun ia tak dapat melihat apa pun di sekitarnya, hanya gelap karena kapal itu tak dilengkapi lampu
atau alat penerangan lainnya. Satu-satunya panduan bagi kapal itu ialah lamat cahayayang terpancar dari Port Philip yang ada di depan mereka.
"Syaikh," ujar Esa pada Syaikh Rashed tiba-tiba memecah kebisuan di tengah deru mesin mesin kapal,
"Anda tak apa apa?"
"Alhamdulillah. Aku baik-baik saja, Esa. Mereka tak melakukan apa pun padaku dan Younnes, hanya mengintimidasikan dengan kata-kata," jawab Syaikh Rashed.
"Syukurlah, Syaikh," ujar Esa,
". Syaikh,. apakah mereka pernah mengatakan siapa mereka sebenarnya" Maksud saya, mereka sudah mengatakan bahwa mereka adalah The Knight of Zion. Namun...saya
sangat penasaran. Siapakah The Knight of Zion itu sesungguhnya?" Syaikh Rashed mengangkat bahu.
"Yang jelas.," ujar Syaikh,
"mereka semua Yahudi."
"Tentu saja," tukas Bayu,
"dari nama The Knight of Zion itu kita dapat menebak perkumpulan macam apa mereka. Pasti The Knight of Zion itu adalah salah satu wujud kesintingan orang-orang
Zionis. Namun yang tak kusangka, ternyata Indra dan Heri berurusan dengan mereka."
"Ya, Nisa menimpal, "dan juga kita sekarang."
"Semua ini membuatku semakin bingung dan pusing," ujar Esa.
"Satu-satunya yang bisa menjawab tentang apa yang sebenarnya terjadi..," ujar Syaikh Rashed,
"adalah Indra."
"Sa," ujar Bayu pada Esa,
"bagaimana dengan rencana kita tadi siang?"
"Rencana untuk menemui Indra?" tanya Esa. Bayu mengangguk."Kukira kita harus segera menjalankannya," lanjut Esa,
"Visaku di Australia hanya tinggal beberapa hari lagi. Semakin cepat kita menjumpai Indra, maka akan semakin baik bagi kita."
"Di mana Indra ditahan?" tanya Syaikh Rashed.
"Menurut berita surat kabar, ia sedang diobservasi di sebuah rumah sakit hingga esok hari," jawab Bayu,
"tapi saya tak tahu di rumah sakit mana karena kabarnya lokasi rumah sakit itu dirahasiakan."
"Sayang sekali, "ujar Hashem tiba-tiba,
"sepertinya rencana kalian tak dapat dilaksanakan."
"Apa maksudmu?" tanya Esa.
"Indra sudah kabur siang tadi," jawab Hashem pendek, nyaris tanpa eksplesi.
"Apa?" seru Nisa dan Esa hampir bersamaan.
"Dari mana kamu tahui itu, Akhi Hashem?" tanya Nisa dengan ekspresi yang lebih tenang.
"Ketika mengikuti kalian di mobil kawanku, aku sempat mendengarkan berita di radio yang mengabarkan hal tersebut," Hashem menjelaskan. Lalu semua diam.
Sambil berdiri di geladak kapal, mereka bersandar pada pagar tepi kapal dan memandang jauh ke laut lepas yang kelam.
"Apa saja yang kau dengar dari berita di radio itu, Hashem?" tanya Syaikh Rashed pada Hashem. Hashem mengangkat bahu, lalu dengan tak yakin ia menjawab,
"Seingat yang saya dengar tadi, Indra kabur ketika akan diobservasi di rumah sakit. Dari laporan di radio itu, Indra diketahui lari dengan bantuan seseorang
yang menyamar sebagai petugas rumah sakit.?"Apa"!" seru Bayu,
"Siapa, ya?" gumam Bayu kemudian, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Perasaan.aku mengenal semua temannya. Maksudku.teman-temannya ialah teman-temanku juga."
"Radio menyebut bahwa orang yang menyamar sebagai petugas rumah sakit itu adalah seorang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar," ujar Hashem sambil
memegangi tepian kapal yang oleng oleh terjangan ombak.
"Ah.sudahlah , itu tak penting," ujar Esa,
"yang penting sekarang adalah bagaimana caranya menemukan Indra."
"Kau benar," ujar Nisa pendek Esa melirik sekilas ke arahnya.
"Tapi, tunggu dulu...," ujar Esa pada Hashem,
"kau bilang tadi Indra berhasilkabur dari rumah sakit dengan bantuan seorang yang menyamar sebagai petugas rumah sakit.dan orang itu ialah seorang berkulit
hitam dengan tubuh yang tinggi besar?"
"Begitulah yang kudengar," jawab Hashem sambil mengangkat bahu.
"Apa mungkin, ya..?" Esa berbicara sendiri.
"Mungkin apa, Sa?" tanya Nisa.
"Nis, kau ingat ceritaku bahwa ketika aku disekap di Avalon aku dilepaskan dengan bantuan seorang hitam bertubuh tinggi besar?"
"Ya," jawab Nisa,
"maksudmu.apakah orang yang melepaskanmu adalah orang yang sama dengan orang yang menolong Indra kabur?"
"Hey, itu bisa jadi benar," ujar Bayu sambil melirik
ke arah Esa. "Ya," ujar Esa,
"kemungkinan itu ada.?"Hm..., masuk akal juga," tambah Syaikh Rashed.
"Bila dugaanmu benar, berarti kita memiliki seorang kawan dalam menghadapi masalah ini," ujar Bayu pada Esa.
"Ya," ujar Esa,
"walau kita belum tahu siapa dia. Yang jelas.lawan dari lawan kita adalah kawan kita." Kemudian mereka kembali diam. Riak ombak meningkahi kebisian yang
mereka ciptakan di geladak kapal, seakan menyuruh mereka bicara.
"Bay!," uja Esa pada Bayu tiba-tiba,
"jika kembaranmu itu kabur.menurutmu ke mana dia akan lari?" Bayu merenung sejenak. Lalu,
"Aku tahu pasti bahwa ia tak akan kabur ke rumah. Dia terlalu pintar dan tahu bahwa polisi dan orang-orang Yahudi itu juga pasti akan mencarinya ke rumah."
Lalu Bayu kembali berpikir la mereka-reka kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Begitu juga dengan yang lain. Semua nampak ikut memikirkan kemungkinan-kemungkinan
itu. "Kalian tahu," Nisa ikut berbicara,
"dalam bahasa Indonesia ada pepatah.tempat terbaik untuk bersembunyi dari kejaran harinau adalah di kandang harimau."
"Jadi siapa harimaunya?" tanya Esa tanpa minat.
"Ya tentu saja Meir, Goldstein dan kawan-kawannya," jawab Nisa.
"Bagaimana jika ternyata ha
rimaunya adalah Indra?" ujar Syaikh Rashed tiba-tiba.
"Maksud Anda, Syaikh?" giliran Bayu yang bertanya.
"Maksudku...," ujar Syaikh,
"semuanya serba tidak pasti. Kita sama sekali bingung di mana dan ke mana harus mencari Indra. Apalagi, Bayu sendiri, sebagaisaudara kembarnya bahkan
tak memiliki gambaran apa pun."
"Tunggu dulu." Ummi Alifa ikut berbicara,
"Bayu, sebenarnya sejauh mana kedekatan kau dan Indra sebagai saudara kembar?"
"Cukup dekat," jawab Bayu singkat,
"walau kami memang sering bertengkar dan memiliki banyak ketidakcocokan, namun kami saling menyayangi seperti layaknya saudara, Ummi ."
"Apakah ada kemungkinan dia menghubungimu?" tanya Ummi Alifa kembali.
"Ya! Tentu saja kemungkinan itu ada," jawab Bayu.
"Jadi maksud Anda, kita tunggu saja Indra menghubungi Bayu?"tanya Esa pada Ummi Alifa.
"Kukira seperti itu," jawab Ummi Alifa sambil menerawang,
"seperti kata Syaikh, semuanya serba tidak pasti. Kita sama sekali bingung di mana dan ke mana harus mencari Indra. Jadi satu-satunya kemungkinan adalah
berharap Indra menghubungi Bayu."
"Ya, tetapi sebelum Indra menghubungi Bayu, kita tetap harus mencarinya. Ke manapun itu..," ujar Syaikh Rashed. Kemudian diam kembali menyelimuti kebersamaan
mereka di atas kapal itu. Tak lama kemudian, kapal yang membawa mereka bergerak mendekati muara Sungai Yarra. Mereka sengaja tak kembali ke Port Philip
karena khawatir jika Goldstein, Meir, dan kawan-kawannya masih berada di sana. Segera setelah turun dari kapal, Esa, Bayu, Nisa, Ummi Alifa, serta Syaikh
Rashed dan para muridnya mengatur siasat. Demi keselamatan, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke rumah di Flinders. Goldstein dan Meir pasti mengira
mereka sudah tewas dan mereka harus menjaga agar ia tetap berpikir begitu. Mereka harus menjaga prasangka Goldstein dan Meir itu untuk
beberapa waktu. Hashem dan Younnes memutuskan untuk menginap di Clayton, di apartemen salah seorang kawan mereka yang tinggal di sana. Tinggal untuk sementara di Clayton
akan memberikan keuntungan tambahan bagi mereka karena mereka tak perlu menempuh perjalanan jauh ke kampus. Sementara itu, Bayu memiliki sebuah ranch'
kecil yang letaknya tak jauh dari Port Philip. Esa, Bayu, Nisa, Ummi Alifa, serta Syaikh Rashed akan pulang ke ranch itu.
yah Bayu membeli ranch itu ketika mereka
baru bermigrasi ke Australia. Ketika kecil, Bayu dan Indra biasa melewatkan liburan di tempat itu. Tempat itu memang cukup menyenangkan, teduh dan menyejukkan.
Ranch itu luasnya sekira 5 hektar. Sebagian besar lahannya digunakan untuk menanam jagung. Usaha utama ranch itu memang menjual jagung manis kering untuk
bahan mentah pembuatan popcorn. Sebuah rumah berada tepat di tengah-tengah kepungan kebun jagung. Ada sebuah bangunan yang lebih besar berada di samping
bangunan rumah. Bangunan besar itu adalah gudang penyimpanan jagung dan jerami serta kandang beberapa hewan peliharaan. Hewan-hewan yang dipelihara di
ranch itu antara lain beberapa ekor kambing, ayam, angsa, dan sapi. Biasanya sebuah ranch juga memelihara babi. Namun berhubung pemilikranch itu adalah
sebuah keluarga muslim, sudah tentu tak ada babi di situ. Keluarga Bayu mempekerjakan seorang Aborigin berusia paruh baya untuk menunggui ranch itu. Bayu
memanggilnya Josh. Sejak mereka datang ke ranch itu, Josh bisa cepat menyesuaikan diri dengan mereka. Esa pun cepat akrab dengannya walau biasanya ia agak
susah beradaptasi dengan orang baru. Biasanya Bayu shalat subuh sendiri di rumahnya. Namun subuh itu ia sangat senang karena ia dapat shalat berjamaah
dengan Nisa, Esa, Ummi Alifa, dan Syaikh Rashed. Para tamu yang tinggal di ranch miliknya pun merasa nyaman dengan situasi yang tenang dan teduh di situ.
Tak lama seusai shalat subuh berjamaah, Bu Rini datang. Bayu memang memintanya untuk datang juga ke situ. Ia menceritakan pada ibunya apa yang telah dialaminya
malam sebelumnya. Bayu juga khawatir terjadi sesuatu pada ibunya itu. Apalagi setelah Indra kabur dari tahanan. Tak lama setelah kedatangan Bu Rini, hujan
turun pagi itu. Padahal di bulan Agustus biasanya jarang turun hujan di Australia. Hujan itu cukup deras, sehingga membuat Josh mengurungkan niatnya untuk
menyemprot jagung dengan pestisida. Akhirnya Josh mengganti kegiatannya dengan memeriksa gudang dan memberi makan ternak di kandangnya. Sementara itu,
Esa dan yang lainnya berkumpul di beranda rumah. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja kecil. Sebuah teko berisi teh panas disimpan oleh Josh di atas meja
itu. Di sampingnya ada beberapa cangkir dan kue muffin."Bu," ujar Bayu pada ibunya memulai percakapan,
"apa Indra tidak melakukan kontak dengan Ibu?" Bu Rini menghela napas, kemudian menggeleng. Lalu matanya menerawang menembus rintik hujan yang mengguyur
kebun jagung Nisa menuangkan teh ke cangkir, satu demi satu. Kemudian ia menyodorkan cangkir-cangkir itu kehadapan masing-masing orang.
"Ternyata masalah ini menjadi lebih rumit dari yang aku bayangkan," gumam Bayu.
"Ya," timpal Esa,
"bagai benang kusut yang sulit diurai."
"Memang begitu," tambah Syaikh Rashed,
"dan benang kusut akan tetap menjadi benangkusut sebelum diurai."
"Karena itu untuk menyelesaikan masalah ini, kita memang harus berusaha mengurai dulu masalahnya," Ummi Alifa menambahkan.
"Menurutmu," ujar Esa sambil melirik ke arah Bayu,
"Apa motif pembunuhan Heri?" Bayu hanya termenung mendengarkan sambil tak lekang menatap hujan.
"Aku benar-benar tak memiliki gambaran," jawab Bayu kemudian,
"tapi kukira masalahnya berhubungan dengan segitiga emas yang kemarin dirampas Meir dan Goldstein dari tangan kita."
"Benar juga," gumam Esa
"aku jadi penasaran. sebenarnya benda apa itu?"
"Benda itu pasti ada hubungannya dengan Yahudi..," gumam Ummi Alifa.
"Saya kembali teri ngat diskusi kita tentang simbol segitiga tempo hari," ujar Esa.Syaikh Rashed mengangguk.
"Nampak jelas bahwa orang-orang Yahudi itu memiliki kepentingan terhadap segitiga itu. Kemungkinan besar benda itu memang memiliki keterkaitan besar
dengan mereka. Mungkin...benda itu ada hubungannya dengan sejarah Yahudi atau.bagaimana, ya?"
"Saya kira juga begitu, Syaikh," ujar Bayu,
"dan segitiga itu pasti ada kaitannya juga dengan manuskrip yang sedang diteliti Heri."
"Mungkin manuskrip yang diteliti Heri menjelaskan kegunaan benda itu?" reka Nisa.
"Atau mungkin juga manuskrip yang diteliti Heri merupakan petunjuk yang membuat Heri dan Indra menemukan segitiga emas tersebut. Lalu karena itu, orang-orang
Yahudi itu ingin merebutnya," Ummi Alifa ikut berspekulasi.
"Masuk akal juga," komentar Bayu,
"namun terlalu banyak spekulasi justru membuat saya pusing." Kemudian obrolan mereka terheti. Sesosok bayangan berjalan menembus hujan. Rupanya Josh
telah selesai melakukan pekerjaannya.
"Come here Josh Join us" seru Bayu pada khadimnya itu. Josh melambaikan tangannya.
"Maaf tuan, saya harus kembali ke kandang Ada bagian atap yang bocor. Saya harus membetulkannya sekarang juga karena bagian bocor itu berada tepat di
atas tempat kambing. Kambing kambing itu nampaknya kurang suka ada air menetes jatuh dari atas," Josh menjawab sambil berlalu ke dalam runah. Tak lama
kemudian Josh kembali dengan membawa toolkit. Segera saja ia bergegas kembali menuju kandang."Josh! Biar kubantu kau!" seru Bayu tiba-tiba sambil berlari
mengikuti Josh. Sementara itu, yang lain memerhatikan Josh dan Bayu berjalan menembus hujan. Mereka berlari memasuki gudang yang letaknya menjorok berhimpitan dengan
rumah, sehingga membentuk huruf l jika dilihat dari atas.
Gudang itu memiliki sebuah gerbang besar yang menghadap ke kebin jagung Dinding-dindingnya terbuat dari kayu lapis yang lunayan tebal. Sementara bagian
atasnya tertutupi asbes Terdapat beberapa jendela di bangunan itu dan semua jendela itu tak ditutupi oleh kaca, hanya ditutupi ram kawat saja. Bagian depan
gudang itu digunakan untuk menyimpan kandang-kandang ayam yang berderet memanjang mengikuti lebar bangunan itu. Setelah deretan kandang ayam, di belakangnya,
ada empat buah kandang yang berukuran lebih besar yang digunakan sebagai kandang-kandang kambing, sapi, dan angsa. Di situ ada juga dua ekor kuda yang
biasa dipakai Josh untuk berjalan-jalan mengelilingi ranch. Di bagian belakang terdapat ruangan yang paling besar yang dipakai menumpuk jagung dan mengeringkannya.
Bayu sempat mengelilingi bangunan itu untuk memeriksa bagian-bagiannya sebelum ia kembali ke kandang kambing di mana Josh sedang membetulkan atapnya.
Atap bangunan besar itu sangat tinggi, sekira 5 meter dari permukaan tanah. Josh harus memakai tangga stegger untuk menjangkau atap itu dan menambalnya
dengan potongan asbes yang ia bawa dari rumah. Selama beberapa saat Bayumengamati Josh melakukan pekerjaannya.
Suara rintik hujan beriringan dengan pukulan palu bertalu-talu yang dibuat Josh. Bayu menikmati alunan suara-suara bising itu. Hingga tiba-tiba, Bayu
merasa mendengar sebuah suara lain selain suara rintik hujan dan pukulan palu yang bertalu-talu. Semula Bayu mengira itu adalah suara kuda yang mengaruk
tanah dengan kakinya. Namun saat ia memicingkan telinganya, ia mendengar suara itu datang dari gudang penyimpanan jagung.
"Josh," seru Bayu,
"Apa di gudang kita ada tikusnya?"
"Apa" Tikus?" seru Josh setengah berteriak demi melawan suara hujan yang gaduh menerpa asbes,
"saya kira tak ada, tuan. Setiap hari saya memeriksa gudang dan memastikan agar jagung jagung tersimpan dan dikeringkan tanpa gangguan hama apa pun,
apalagi tikus" Bayu diam. Ia percaya pegawainya itu tidak bohong. Josh telah bekerja di ranch itu sejak Bayu masih berusia sepuluh tahun dan ia bekerja
dengan nyaris sempurna. Bayu kembali menekUmmi aktivitasnya mengamati Josh dan juga mengamati seisi gudang. Namun ia kembali mendengar suara asing itu.
Bayu pun menajamkan telinganya. Suara itu terdengar seperti suara kantung kertas yang diremas-remas Bayu yakin sekali jika suara itu berasal dari gudang
penyimpanan. Kali itu ia tak lagi bertanya pada Josh, melainkan langsung melangkah ke pintu gudang. Semakin didekatinya pintu gudang, semakin jelas suara
itu terdengar. Lalu perlahan-lahan, dipegangnya pegangan pintu gudang dan diputarnya. Pintu terbuka sedikit dan Bayu pun masuk. Tepat ketika Bayu masuk,
suara itu menghilang. Gudang itu agak remang-remang, sehingga Bayu perlu memicingkan matanya dan mengamati tumpukan jagung yang menggunung di tengah ruangan.
Beberapa jagung yang belum kering tergantung di beberapa sudut ruangan. Bayu berjalan perlahan memasuki ruangan. Ia mengedarkan pandangannya kembali ke
seisi penjuru ruangan. Namun tak ada yang aneh di ruangan itu. Ia lalu berjalan mengelilingi tumpukan jagung. Perhatiannya lalu tertuju ke sudut kiri ruangan.
Sebuah tumpukan kain terpal teronggok di situ. Ia lalu melangkah ke arah itu. Bayu menbolak balik tumpukan terpal itu, namun ia tak menemukan sesuatu yang
aneh di situ. Ia berjongkok nenerhatikan terpal itu. Mungkin suara tadi berasal dari terpal yang melambai tertiup angin. Ia pun mengangkat bahu dan berdiri
untuk segera beranjak dari tempat itu. Namun ketika ia baru berdiri, sesuatu yang dingin terasa menempel di leher bagian belakangnya dan bulu kuduknya
pun berdiri dibuatnya. "Sst! Jangan bergerak!" sebuah bisikan menyuruhnya diam. Bayu cukup mengenal suara itu.
"Sudahlah! Ini aku, Bayu," ujar Bayu. Ia pun menghela napas seraya membalikkan badannya. Ia kemudian berhadapan dengan pemilik suara bisikan tadi, sosok
yang sangat mirip dengan dirinya. Ia dan orang itu bagai pinang dibelah dua.
Esa menangkupkan dua tangannya di atas meja. Di hadapannya, dua lelaki berwajah nyaris mirip duduk bersisian Nisa duduk di samping Esa dengan tenang Malanya tak lekang mengamati dua orang berwajah mirip itu. Kakinya terlipat santai sementara sebelah tangannya memainkan sehelai tisu. Syaikh Rashed
dan Ummi Alifa duduk di sisi meja lainnya. Sementara Bu Rini duduk berhadapan dengan Syaikh Rashed dan Umni Alifa, namun matanya tertuju ada dua lelaki
di hadapan Esa dan Nisa. Josh duduk di samping Bu Rini dengan wajah terpana, mirip orang yang baru saja melihat hantu. Indra menyantap makanan di meja
dengan lahap. Ia seakan tidak memerhatikan bahwa orang-orang yang duduk semeja dengannya sedang memerhatikannya. Hampir tak ada suara di ruangan itu selain
dentang piring yang beradu


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sendok yang dipegang Indra, itu pun hanya sesekali terdengar. Hening itu lalu selesai saat Bayu mulai bicara,
"Apa kau tak diberi makan saat dalam tahanan?" Indra hanya tersenyum sambil menatap kembarannya itu. Lalu ia mengangkat bahu, seakan tak acuh pada pertanyaan
Bayu. Lalu ruang makan itu kembali hening selama beberapa saat hingga Indra menyelesaikan makannya. Esa menurunkan tangannya ke meja dan menyondongkan
wajahnya ke depan. "Jadi. bisa kita mulai?" tanya Esa pada Indra. Syaikh Rashed mendongak. Sementara semua memandang ke arah Indra, menanti ia bicara.
"Maksudmu?" Indra balik bertanya.
"Maksudku.bisa kita mulai dengan ... ada apa dengan semua ini?" ujar Esa dingin.
"Baiklah, Esa...," jawab Indra,
"by the uay, it's nice to meet you. Heri banyak bercerita tentang kamu. Ia sangat bangga padamu." Indra lalu menuang teh dari teko di atas meja ke dalam
cangkir. Dalam sekejap, teh di cangkir telah berpindah ke perutnya. Ia lalu diam. Tangan kanannya memegang cangkir yang ia letakkan di atas meja.
"Semua bermula dari delapan bulan yang lalu...," ujar Indra mengawali ceritanya,
"Seperti kalian semua ketahui, pekerjaanku ialah mencari barang-barangantik atau kuno dari berbagai tempat dan menjualnya kembali." Sejenak ia berhenti,
lalu bersandar dan menatap ke langit-langit.
"Delapan bulan yang lalu," lanjutnya,
"saat aku sedang berada di Chicago, untuk sebuah urusan bisnis, seorangAfro-Amerika datang padaku membawa lima lembar manuskrip tua. Manuskrip-manuskrip
tua itu ditemukannya di Somalia saat ia sedang bertugas menyisir kawasan pinggiran Mogadishu. Kebetulan, orang itu adalah prajurit Angkatan Darat Amerika
Serikat dari kesatuan Airbone Rangers yang sedang bertugas di sana." Indra kembali berhentibicara, lalu kembali menuangkan teh dari teko yang tergeletak
di atas meja ke cangkir. Kemudian ia meneguk teh itu perlahan.
"Sejujurnya," Indra melanjutkan,
"aku tak tahu manuskrip apa itu. Kusimpan manuskrip itu di ruangan perpustakaan rumahku. Tepat di atas meja." Esa mengangguk.
"Lalu dua hari kemudian, Heri datang ke rumahku karena hendak meminjain beberapa buku. Saat ia masuk ke perpustakaan,. Ia melihat lima lebar manuskrip
itu. Heri sangat terkejit. Menurutnya, manuskrip tua itu berusia sekira dua ribu lima ratus tahun karena manuskrip itu ditulis dengan huruf Ge'ez kuno."
"Huruf Ge'ez kuno?" tanya Esa.
"Kau tahu huruf apa itu?" Indra balas bertanya. Esa menggeleng.
"Bidangku sastra, bukan filologi," jawab Esa singkat.
"Aku tahu!" seru Nisa,
"Huruf Ge'ez kuno ialah huruf yang digunakan oleh bangsa Ethiopia zaman dulu. Huruf Ge'ez masih ada di zaman sekarang ini. Namun, bentuknya jauh berbeda
dengan hurufGe'ez kuno. Bukan begitu?"
"Benar sekali, Nisa," jawab Indra sambil menjentikkan jarinya,
"by the way, kamu lebih cantik dari yang diceritakan Heri padaku.?"Terima kasih," jawab Nisa sambil tersipu. Esa mendelik menatap Nisa. Indra mengamati
perubahan roman muka Esa, namun ia pura-pura tak melihat, lalu ia melanjutkan,
"Huruf Ge'ez zaman sekarang ini tentu berbeda dengan huruf Ge'ez kuno yang ada pada manuskrip itu. Nah.yang menjadi ketertarikan Heri ialah bahasa yang
digunakan dalan manuskrip tua itu adalah bahasa Archaic Senti
"Benarkah tanya Esa terkejut,
"Bukankah bangsa Ethiopia berbahasa Amharic?"
"Ya menurut Heri, jelas sekali bahwa itu bahasa Archaic-Semitic. Namun kau tak perlu kaget. Di zaman sekarang pun ada satu suku di Ethiopia yang memiliki
salinan kitab turun-temurun yang ditulis dengan huruf Ge'ez kuno namun berbahasa Archaic-Semitic."
"Oh ya?" tanya Esa, ia makin penasaran. Indra mengangguk Lalu ia mereguk teh dari cangkir dihadapannya.
"Mereka adalah orang-orang Beta Israel."
"Beta Israel?" kali ini giliran Nisa dan Bayu bertanya hampir bersamaan. Nada heran yang kental menghiasi ucapan mereka.
"Ya," ujar Indra sambil mengangguk,
"dunia menyebut mereka kaum Falasha."
"Kaum Falasha" Maksudmu.kaum Falasha yang itu.yang.Operation Moses dan Operation Solomon?"," Syaikh Rashed ikut berbicara. Indra kembali mengangguk.
Tentu saja. tak banyak orang tahu bahwa ada orang Yahudi di Ethiopia. Kaum Beta Israel sendiri yang
menyebut diri mereka dengan sebutan Beta Israel, sementara sebutan Falasha dalam bahasa Arnharic berarti
"terasing" atau
"tak memiliki rumah", mereka anggap sebagai istilah yang hina."
"Lalu hubungannya dengan manuskrip itu".dan
dengan Heri?" tanya Bayu.
"Sangat kebetulan sekali bahwa desertasi Heri meneliti peran manuskrip-manuskrip tua dalam menyingkap fakta sejarah Heri meminta izin padaku untuk mengangkat
manuskrip itu dalam desertasinya. Aku tentu tak keberatan. Namun kemudian terjadi sesuatu." Lagi-lagi dia berhenti dan mereguk teh di cangkir nya. Sementara
Esa dan yang lainnya diam menunggu.
"Heri membawa manuskrip itu pada orang yang salah," lanjut Indra.
"Maksudmu?" tanya Bayu.
"Ia ingin meyakinkan bahwa manuskrip itu memang berasal dari ribuan tahun yang lalu. Lalu ia membawa manuskrip itu pada seorang
ahli arkeologi di Monash. Namanya Jack Townsend Nah...si Townsend itu menyatakan manuskrip tersebut bahkan berusia lebih dari tiga ribu tahun. Ia juga
heran karena menurutnya.jika benar manuskrip itu adalah milik tradisional orang-orang Beta Israel, maka itu tak masuk akal. Beta Israel diperkirakan baru
ada di Ethiopia pada sekira abad pertama Masehi."
"Lalu apa maksudmu menyebut Townsend sebagai orang yang salah?" Esa lanjut bertanya. Indra menghela napas.
"Townsend kemudian memperlihatkan manuskrip itupada seorang Yahudi. namanya Goldstein, Moses Goldstein."
"Tunggu!" potong Esa dengan cepat. Ia lalu merogoh dompetnya dan mengeluarkan sehelai foto, lalu menunjukkannya pada Indra Indra menerima foto itu.
"Dia orangnya?" tanya Esa.
"Ya," ujar Indra sambil menghela napas,
"... dia orangnya. Kami menganbil foto itu tepat sebelum pergi ke Ethiopia."
"Lanjutkan, pinta Esa.
"Heri juga malah memberitahukan isi manuskrip itu padanya pada si Goldstein itu."
"Apa isi manuskrip itu?" Esa semakin bersemangat menyelidik.
"Manuskrip itu menceritakan asal-usul Beta Israel. Sebenarnya ini cerita lama yang sudah diketahui turuntenurun. Orang Beta Israel meyakini bahwa mereka
adalah keturunan Menelik-putra dari Raja Sulaiman dan Ratu Saba. Orang lain meyakini bahwa Beta Israel ialah keturunan Suku Dan-satu dari sepuluh suku
Israel yang hilang sebelum diaspora Sebagian kecil ahli meyakini Beta Israel ialah orang-orang Yahudi yang lari dari Mesir ke selatan saat masa perbudakan
Fir"aun. Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Beta Israel merupakan anak cucu kaum Yahudi yang datang dari Yaman 2000 tahun yang lalu." Indra kembali
berhenti. Ia menutup wajahnya dengan dua tangan.
"Isi manuskrip itu menceritakan asal-usul Beta Israel yang sesungguhnya dan.sebuah penemuan besar."
"Penemuan apa?" tanya Esa.
"Bagian pertama manuskrip itu menceritakan tentang The Lost Ark of Copenat. Pernah dengar?"
Esa mengangguk dengan raut wajah kaget. Setelah film yang berjudul Raiders of the Lost Ark beredar dengan sukses, hampir semua orang tahu apa itu Lost
Ark of Couenar". "Apa manuskrip itu menceritakan di mana Lost Ark of Covena berada?" tanya Esa.
Indra menggeleng. "Tidak. tidak. Lembar pertama itu hanya berisikisah Menelik yang merawat dan menindahkan lokasi penyimpanan Los Ark of Covenant tanpa menyebut di mana
lokasinya. Lembar kedua dan ketiga manuskrip itu. menceritakan perjalanan Menelik hingga tiba di tanah yang sekarang disebut Ethiopia .Masalah berada pada
lembar keempat dan kelima."
Esa mendong ak menanti kelanjutan cerita Indra yang sedang menghirup teh untuk yang kesekian kalinya.
"Lembar keempat itu menceritakan lokasi penyimpanan sebuah benda yang disebut El Beyt."
"Apa?"tanya Esa
"El Bey," cetus Indra
"Rumah"' tanya Esa.
"Ya Kata untuk menyebut rumah dalam bahasa Archaic-Semitic. Aku tak tahu mengapa dinamakan begitu. Begitu juga Heri, Townsend, dan. Goldstein. Namun
yang jelas.benda itu ialah sebuah segitiga sama sisi yang bagian tengahnya penuh dan terbuat dari emas murni 24 karat. Benda yang kuberikan padamu dua
pekan lalu."Esa kaget Emas 24 karat" Jadi selama ini, ia memiliki emas 24 karat berukuran cukup besar"
"Dan itu pula alasan kami membentuk tim untuk pergi ke Ethiopia. Penelitian Heri hanya alasan. Alasan kepergian kami ke sana, sebenarnya hanya untuk
mencari benda itu," ujar Indra,
"Benda itu pun masih bukan apaapa,"
"Bukan apa-apa?" Esa bingung.
"Lembar kelima manuskrip itu yang menjelas kannya, lanjut Indra,
"Benda itu ialah sebuah kunci. Kau bisa menebak kunci apa?"
Esa mengeleng. "Kunci sebuah kuil yang lokasinya disamarkan dalam peta berwujud syair. Nah...kuil itu adalah tempat. penyimpanan. harta karun Nabi Sulainan Alaihissalaan
dan tabut perjanjian yang hilang, The Los Ark of Coenant!" cetus Indra mantap.
Esa bagai disambar petir mendengar ucapan Indra yang baru saja didengarnya.
"Oke.oke...," ujarnya dengan suara tercekat,
"masuk akal juga. Dalam bahasa sem kuno yang menjadi cikal-bakal rumpun bahasa Semit, Beyt juga bisa berarti kunci. Tapi. jangan katakan bahwa kau dan
Heri lantas memperebutkan harta yang belum tentu ada itu. hingga. Heri. meninggal."
Indra menghela napas. "Lalu tabut.tabut itu. Indiana Jones kan sudah menemukannya?" cetus Nisa polos.
Indra tertawa. "Kau ini terlalu banyak nonton film Hollywood,rupanya Tentu saja kami tidak berebut," jawab Indra sambil mengedarkan pandangannya mengitari ruang itu.
"Kami," lanjutnya,
"Ditohok dari belakang oleh Goldstein dan Townsend. Goldstein adalah anggota dari sebuah perkumpulan Zionis rahasia. Aku tak tahu perkumpulan apa itu.
yang jelas, mereka sangat berpengaruh."
"Tentu saja, tukas Bayu,
"mana ada orang Yahudi yang tak berpengaruh di dunia ini."
"Apa yang terjadi kemudian" Bagaimana Heri bisa terbunuh" Dan mengapa kau memberikan benda itu padaku?" Esa bertanya bertubi-tubi. Lagi-lagi Indra menghela
napas sambil mendesah. Matanya menatap mana ke sudut ruangan.
"Goldstein ingin menguasai harta itu. Ia berkata bahwa ia akan membayar Heri dan aku dengan harga yang pantas jika Heri bisa memecahkan teka-teki yang
ada pada manuskrip kelima. Teka-teki tentang lokasi kuil rahasia itu. Heri dan aku sepakat untuk menghentikan investigasi kami saat kami telah menemukan
segitiga tersebut. Kami menemukan segitiga itu tertanam di sebuah desa di Gondar, sebuah kawasan di Barat Laut Ethiopia." Indra berhenti sambil menatap
ke arah Esa sebelum melanjutkan;
"Goldstein terus memaksa kami. Pada malam saat Heri terbunuh, sebenarnya aku dan Heri telah berencana untuk pulang ke Australi
a keesokan harinya."
"Lalu?" desak Esa tak sabar.
"Lalu Goldstein mengundang kami berkunjung ke sebuah tempat di Addis Ababa dengan alasan inginmerayakan temuan kami. Tempat itu namanya Failovitch Centre,
sebuah klinik dan pusat pendidikan khusus orang Beta Israel di Ethiopia yang didirikan oleh sebuah perkumpulan Yahudi Internasional. Di tempat itu, kami
melihat ada Townsend dan beberapa orang yang tak kami kenal. Goldstein kembali memaksa kami untuk memecahkan teka-teki yang ada pada manuskrip kelima.
Namun Heri dan aku kukuh menolak." Indra kembali berhenti.
"Kenapa kalian menolak?" tanya Esa.
"Kami sudah bisa mencium gelagat tidak baik dari Goldstein saat ia bersemangat untuk ikut ke Ethiopia dan bahkan bersedia membiayai keberangkatan kita
kesana. Dengan kata lain..saat itu aku dan Heri sudah tahu bahwa Goldstein ialah agen Zionis.kau tak bisa membayangkan jika..harta karun itu..jatuh ke
tangan orang-orang Zionis."
"Lantas.apa yang terjadi pada malam itu" malam saat Heri terbunuh?"tanya Nisa, sementara Esa menatap ke arahnya.
"Karena Goldstein terus memaksa," lanjut Indra,
"dan kami pun terus menolak Goldstein kehilangan kesabaran. Ia lalu menawarkan untuk membeli kelima lembar manuskrip tua itu. Namun lagi-lagi kami menolak.
Tentu saja...dengan alasan yang sama.karena ketakutan kami bahwa harta karun itu jatuh pada orang-orang Zionis." Indra mereguk sisa teh di cangkirnya.
Kini cangkir itu kosong. "Lalu," lanjutnya,
"kami meninggalkan ruangan itu. Namun tiba-tiba saja Goldstein kalap dan mengejar kami.Kami berlari hingga akhirnya. Heri tersandung dan jatuh. Aku yang
berlari di depannya tak menyadari jika Heri lalu tertangkap oleh mereka. Aku baru menyadari hal itu saat tiba di flat yang kami tinggali."
"Lalu Heri" Mengapa ia ditemukan tewas di flat kalian"' tanya Syaikh Rashed menyelidik.
"Begitu sadar bahwa Heri tak ada di belakangku.aku memindahkan semua barang-barang yang dicari Goldstein ke ransel dan kembali mencari Heri. Aku tiba
di Faitlovitch Centre yang sepi dan masuk ke sebuah ruangan di samping bangunan utama. Kusimpan ranselku di sana, lalu menyelinap masuk melewati bangsal
perawatan hingga aku mendengar suara orang mengaduh dan suara gedebuk pukulan di sebuah ruangan yang tak jauh dari bangsal itu."
"Itu. Heri?" tanya Esa.
"Ya," jawab Indra. Suaranya ilai bergetar.
"Itu, menang Heri. Heri yang sedang disiksa oleh orang-orang biadab itu.aku berhasil mengintip perbuatan mereka melalui jendela di samping ruangan itu,
Lalu.aku mendengar Goldstein menyuruh seseorang berpakaian medis agar menguliti Heri hidup-hidup. Aku kehabisan akal. dan tak tahu apa yang hendak kulakukan.
Lalu aku membuat kegaduhan sambil berteriakteriak memanggil Goldstein."
"Dan mereka terpancing keluar?" potong Esa Indra mengangguk.
"Rupanya, Heri pun masih memiliki tenaga. Saat Goldstein dan sebagian besar orang di ruangan itu keluar mencari aku, ia berhasil menendang orang berpakaian
medis yang disuruh Goldstein mengulitinya dan berlarikeluar. Beberapa orang berkulit hitam sempat menyabetkan golok dan sebagian ada yang menghadangnya
di pintu ruangan. Namun ia menerjang mereka dan terus berlari hingga aku berhasil menemuinya di ujung bangsal dan membawanya menyelinap ke ruangan tempat
aku menyimpan ranselku. Sementara itu, Goldstein menyuruh orang-orang berpencar mencari kami." Indra kembali menuang teh ke cangkirnya yang kosong Sementara
Esa sadar bahwa ia belum menghabiskan teh di cangkirnya.
"Saat memasuki ruangan itu, lanjut Indra,
"tubuh Heri limbung Aku masih sempat menangkap tubuhnya. Ia masih sempat menanyakan di mana aku menyimpan segitiga dan manuskrip-manuskrip itu, kemudian
aku mengeluarkan barang-barang yang ditanyakannya dan menyimpannya di atas meja untuk meyakinkan Heri bahwa benda-benda itu belum hilang."
"Dan saat itulah Heri meninggal karena kehabisan banyak darah?" tanya Esa. Indra mengangguk. Lalu ia melanjutkan ceritanya.
"Sesaat sebelum Heri meninggal di ruangan itu, ia memintaku membakar semua manuskrip itu."
"Apa"!" Seru Esa kaget.
"Ya.membakar semua manuskrip itu. Aku setuju dengan usul itu dan telah kulakukan. Yahudi-yahudi itu pun mengetahui jika manuskrip itu sudah kubakar karena
aku sengaja meninggalkan sisa bakarannya dekat mayat Heri Kupastikan mereka tahu bahwa aku sudah memusnahkan semuanya."
"Tapi," lanjut Esa,
"kenapa dibakar" Manuskrip itu kan sebuah penemuan besar?"
"Memang," jawab Indra,
"namun bila sampai semua manuskrip itu jatuh pada orang-orang zionis. dampaknya pun akan besar sekali. dahsyat sekali. Aku mempertimbangkan manfaat dan
mudharat jika aku tetap memelihara manuskrip itu." Esa termenung sejenak. Indra benar, pikirnya.
"Nah...sebenarnya.aku masih menyimpan salinan manuskrip itu."
"Hah?" Esa terkejut,
"dan Yahudi Yahudi itu tahu hal itu?" Indra mengangguk,
"Ya Heri membuat transliterasi dan nenerjemahkan salinan manuskrip itu untuk penelitiannya. Goldstein dan Townsend tahu itu."
"Kau simpan di mana salin itu" tanya Ummi Alifa. Indra lalu menunjuk ke arah keningnya,
"Di sini..," jawabnya dingin,
"itulah yang membuat mereka sangat bernafsu ingin memburuku. Dengan pengaruh besarnya, mereka memanfaatkan polisi dan pemerintahan beberapa negara sebagai
alat." "Lalu," tanya Nisa,
"Sebenarnya.apa yang terjadi setelah kau membakar manuskrip itu dan setelah Heri meninggal?" Esa menoleh ke arah Nisa. Sementara Indra langsung menjawab
pertanyaan itu, "Kutinggalkan mayat Heri di Faitlovitch Center. Mereka rupanya memindahkan mayatnya ke flat yang kami hUmmi dan membuat kesan seolah-olah aku yang membunuhnya.
Sedangkan aku, setelah membakar manuskrip itu, lari kejalan disamping Faitlovitch Centre. Beruntung sekaa keesokan harinya."
"Lalu?" desak Esa tak sabar.
"Lalu Goldstein mengundang kami berkunjung ke sebuah tempat di Addis Ababa dengan alasan inginmerayakan temuan kami. Tempat itu namanya Failovitch Centre,
sebuah klinik dan pusat pendidikan khusus orang Beta Israel di Ethiopia yang didirikan oleh sebuah perkumpulan Yahudi Internasional. Di tempat itu, kami
melihat ada Townsend dan beberapa orang yang tak kami kenal. Goldstein kembali memaksa kami untuk memecahkan teka-teki yang ada pada manuskrip kelima.
Namun Heri dan aku kukuh menolak." Indra kembali berhenti.
"Kenapa kalian menolak?" tanya Esa.
"Kami sudah bisa mencium gelagat tidak baik dari Goldstein saat ia bersemangat untuk ikut ke Ethiopia dan bahkan bersedia membiayai keberangkatan kita
kesana. Dengan kata lain..saat itu aku dan Heri sudah tahu bahwa Goldstein ialah agen Zionis.kau tak bisa membayangkan jika..harta karun itu..jatuh ke
tangan orang-orang Zionis."
"Lantas.apa yang terjadi pada malam itu" malam saat Heri terbunuh?"tanya Nisa, sementara Esa menatap ke arahnya.
"Karena Goldstein terus memaksa," lanjut Indra,
"dan kami pun terus menolak Goldstein kehilangan kesabaran. Ia lalu menawarkan untuk membeli kelima lembar manuskrip tua itu. Namun lagi-lagi kami menolak.
Tentu saja...dengan alasan yang sama.karena ketakutan kami bahwa harta karun itu jatuh pada orang-orang Zionis." Indra mereguk sisa teh di cangkirnya.
Kini cangkir itu kosong. "Lalu," lanjutnya,
"kami meninggalkan ruangan itu. Namun tiba-tiba saja Goldstein kalap dan mengejar kami.Kami berlari hingga akhirnya. Heri tersandung dan jatuh. Aku yang
berlari di depannya tak menyadari jika Heri lalu tertangkap oleh mereka. Aku baru menyadari hal itu saat tiba di flat yang kami tinggali."
"Lalu Heri" Mengapa ia ditemukan tewas di flat kalian"' tanya Syaikh Rashed menyelidik.
"Begitu sadar bahwa Heri tak ada di belakangku.aku memindahkan semua barang-barang yang dicari Goldstein ke ransel dan kembali mencari Heri. Aku tiba
di Faitlovitch Centre yang sepi dan masuk ke sebuah ruangan di samping bangunan utama. Kusimpan ranselku di sana, lalu menyelinap masuk melewati bangsal
perawatan hingga aku mendengar suara orang mengaduh dan suara gedebuk pukulan di sebuah ruangan yang tak jauh dari bangsal itu."
"Itu. Heri?" tanya Esa.
"Ya," jawab Indra. Suaranya ilai bergetar.
"Itu, menang Heri. Heri yang sedang disiksa oleh orang-orang biadab itu.aku berhasil mengintip perbuatan mereka melalui jendela di samping ruangan itu,
Lalu.aku mendengar Goldstein menyuruh seseorang berpakaian medis agar menguliti Heri hidup-hidup. Aku kehabisan akal. dan tak tahu apa yang hendak kulakukan.
Lalu aku membuat kegaduhan sambil berteriakteriak memanggil Goldstein."
"Dan mereka terpancing keluar?" potong Esa Indra mengangguk.
"Rupanya, Heri pun masih memiliki tenaga. Saat Goldstein dan sebagian besar orang di ruangan itu keluar mencari aku, ia berhasil menendang orang berpakaian
medis yang disuruh Goldstein mengulitinya dan berlarikeluar. Beberapa orang berkulit hitam sempat menyabetkan golok dan sebagian ada yang menghadangnya
di pintu ruangan. Namun ia menerjang mereka dan terus berlari hingga aku berhasil menemuinya di ujung bangsal dan membawanya menyelinap ke ruangan tempat
aku menyimpan ranselku. Sementara itu, Goldstein menyuruh orang-orang berpencar mencari kami." Indra kembali menuang teh ke cangkirnya yang kosong Sementara
Esa sadar bahwa ia belum menghabiskan teh di cangkirnya.
"Saat memasuki ruangan itu, lanjut Indra,
"tubuh Heri limbung Aku masih sempat menangkap tubuhnya. Ia masih sempat menanyakan di mana aku menyimpan segitiga dan manuskrip-manuskrip itu, kemudian
aku mengeluarkan barang-barang yang ditanyakannya dan menyimpannya di atas meja untuk meyakinkan Heri bahwa benda-benda itu belum hilang."
"Dan saat itulah Heri meninggal karena kehabisan banyak darah?" tanya Esa. Indra mengangguk. Lalu ia melanjutkan ceritanya.
"Sesaat sebelum Heri meninggal di ruangan itu, ia memintaku membakar semua manuskrip itu."
"Apa"!" Seru Esa kaget.
"Ya.membakar semua manuskrip itu. Aku setuju dengan usul itu dan telah kulakukan. Yahudi-yahudi itu pun mengetahui jika manuskrip itu sudah kubakar karena
aku sengaja meninggalkan sisa bakarannya dekat mayat Heri Kupastikan mereka tahu bahwa aku sudah memusnahkan semuanya."
"Tapi," lanjut Esa,
"kenapa dibakar" Manuskrip itu kan sebuah penemuan besar?"
"Memang," jawab Indra,
"namun bila sampai semua manuskrip itu jatuh pada orang-orang zionis. dampaknya pun akan besar sekali. dahsyat sekali. Aku mempertimbangkan manfaat dan
mudharat jika aku tetap memelihara manuskrip itu." Esa termenung sejenak. Indra benar, pikirnya.
"Nah...sebenarnya.aku masih menyimpan salinan manuskrip itu."
"Hah?" Esa terkejut,
"dan Yahudi Yahudi itu tahu hal itu?" Indra mengangguk,
"Ya Heri membuat transliterasi dan nenerjemahkan salinan manuskrip itu untuk penelitiannya. Goldstein dan Townsend tahu itu."
"Kau simpan di mana salin itu" tanya Ummi Alifa. Indra lalu menunjuk ke arah keningnya,
"Di sini..," jawabnya dingin,
"itulah yang membuat mereka sangat bernafsu ingin memburuku. Dengan pengaruh besarnya, mereka memanfaatkan polisi dan pemerintahan beberapa negara sebagai
alat." "Lalu," tanya Nisa,
"Sebenarnya.apa yang terjadi setelah kau membakar manuskrip itu dan setelah Heri meninggal?" Esa menoleh ke arah Nisa. Sementara Indra langsung menjawab
pertanyaan itu, "Kutinggalkan mayat Heri di Faitlovitch Center. Mereka rupanya memindahkan mayatnya ke flat yang kami hUmmi dan membuat kesan seolah-olah aku yang membunuhnya.
Sedangkan aku, setelah membakar manuskrip itu, lari kejalan disamping Faitlovitch Centre. Beruntung sekali bahwa saat itu ada sebuah truk yangmengangkut garnisun Ethiopia yang hendak dikirim ke perbatasan Somalia."
"Kau menumpang truk itu?"tanya Esa. Indra kembali mengangguk.
"tentara-tentara itu kuberi seribu dolar agar mereka mau membawaku ke perbatasan Somalia. Aku lalu berhasil menyelinap ke Mogadishu hingga sampai di
pelabuhan Mogadishu Sebuah kapal mau menyelundupkanku ke Jeddah setelah kuberi.lagi-lagi.seribu dolar."
"Banyak uangkau rupanya, gumam Esa. S enyum Indra kembali mengembang.
"Pekerjaanku memberiku banyak uang, Esa."
"Aku memiliki beberapa kawan di Saudi Arabia yang dapat menolongku dan membawaku ke Mekkah. Hmmm. itulah tempat paling aman di dunia untuk seorang muslim.
Kau tahu, kan.jika orang-orang non muslim tak boleh memasuki Mekkah?" Mereka lalu kembali diam Raut wajah Indra menunjukkan kelelahan luar biasa. Beberapa
kali tangannya terangkat kewajah untuk menutupi mulutnya yang menguap lebar.
"Sepertinya kau butuh istirahat," ujar Ummi Alifa pada Indra.
"Ya," tambah Syaikh Rashed,
"tidurlah.lanjutkan saja ceritamu setelah kau bangun nanti." Indra tentu saja setuju dengan usul itu. Ia sudah benar-benar ingin mengatasi rasa lelahnya
yang luar biasa.Hari itu berlalu begitu cepat. Tak ada sesuatu
yang istimewa selain ditemukannya Indra. Satu hal yang pasti adalah mereka harus meningkatkan kewaspadaan. Bisa saja aparat keamanan datang ketempat


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu untuk mencari Indra. Polisi biasanya mencari buronan ke tempat-tempat yang mungkin disinggahi buronan yang dicarinya. Selain itu, mereka juga sedang
menghadapi musuh yang belum mereka kenal sepenuhnya. Ini harus menjadi perhatian mereka.
Seisi rumah, kecuali Josh, baru saja menyelesaikan shalat Ashar ketika matahari mulai menyiratkan warna oranye di cakrawala barat. Seusai salat, mereka
kembali duduk di ruang tengah. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Josh berteriak bagai orang yang histeris karena melihat selebriti idolanya. Ia
berlari masuk ke ruang tengah di mana semua orang sedang berkumpul.
'."Gawati!" teriak Josh.
"Ada apa, Josh" Kenapa?" tanya Bayu.
"Tian Indra. Tian Indra.," ujar Josh sambil terengah-engah dan terbata bata. Tangannya menunjuk ke arah Indra yang terpana melihat Josh.
"Iya.ada apa?" tanya Bayu kembali.
"Tadi saya sedang berkuda di tepi ranch. Dari depan, saya melihat iringan mobil polisi sedang menuju kemari..," ujar Josh, masih dengan terengah-engah.
"Apa?" teriak Bayu, gawat. gawat.kau harus sembunyi, Indra." Seketika itu semuanya sibuk menata tempat dan menghilangkan jejak-jejak kehadiran Indra
di situ. Bayu langsung bereaksi dengan menarik Indra ke belakang rumah. Di bagian belakang rumah, ada sebuah bunker yang menjorok masuk ke arah rumah.
Bunker itu ditutupi oleh dua tingkap kayu. Bayu segera membuka tingkap kayu itu dan menyuruh Indra masuk. Kemudian ia menutupi tingkap itu dengan tumpukan
jerami dan kulit jagung. Josh pontang-panting membantu Bayu membawakan jerami dan kulit jagung dari gudang. Tepat ketika mereka selesai melakukan aktivitas
itu, terdengar deru beberapa mobil di luar rumah. Bayu segera berlari ke depan. Ia harus menyambut orang-orang yang datang layaknya tuan rumah. Tak lama
setelah itu, bel di muka rumah pun berbunyi. Bayu membuka pintu dengan sigap. Ia langsung berhadapan dengan dua orang yang mengenakan jas dan dasi. Seorang
di antara mereka bertubuh tinggi besar dengan wajah yang ditutupi jambang dan kumis. Sementara kawannya bertubuh sedang dengan
wajah klimis. Beberapa orang berseragam polisi berkumpul di belakang mereka. Sejenak kedua orang itu nampak kaget dan heran melihat Bayu. Namun salah
seorang diantara mereka, yang bertubuh besar dan berjambang, segera dapat menguasai diri dan berbicara,
"Maaf, apa betul ini kediaman Tuan Yusuf Hermawan?"
"Ya," jawab Bayu pendek,
"He's my father Beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."
"Dan Anda tanya kawannya yang kurus.
"Saya Bayu Hernawan. Putra kedua Pak Yusuf Hernawan."
"Oh ya..., tentu saja," cetus si tubuh besar. Ia seakan baru saja mengingat sesuatu
"Maaf Tuan Heinwan, saya Janes McIver dari Kepolisian Sydney dan kawan saya ini adalah Graham Armand dari Kepolisian Federal Australia. Kami sedang mencari
saudara Anda, tuan Indra Hernawan. Tentu Anda sudah tahu.dia lari dari tahanan dua hari yang lalu," paparsi tubuh besar. Bayu mengangguk-angguk. Lalu ia
menjawab, "Ya. saya sudah tahu itu. Tapi. saudara kembar saya itu tak ada di sini saat ini." Sejenak kedua polisi itu terdiam dan saling berpandangan. Lalu Grahan
Armand berbicara; "Ya.sebenarnya saya mau saja percaya pada cerita Anda. Tapi kami membawa surat perintah penggeledahan." Ia lalu mengeluarkan selembar surat dari balik
jasnya dan memberikannya pada Bayu .Bayu menerima surat itu dan membacanya."Yah, baiklah bila itu tujuan Anda datang kemari," ujar Bayu,
"Silakan saja lihat. Namun saya kira Anda akan menyesal karena tak menemukan apapun." Segera setelah itu, James Mclver menggerakkan tangannya ke arah
para polisi berseragam yang berkumpul di belakang mereka dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Ruang pertama yang mereka lalui ialah bagian depan rumah
dan tak ada yang aneh di situ. Satu set sofa berukuran sedang tertata di sudut ruangan, mengelilingi sebuah meja kecil. Beberapa buah guci berderet di
sisi lainnya dan di dinding-dinding tergantung beberapa pigura yang menampang foto dan lukisan. Mereka melihat ke sekeliling .Bayu melihat keluar dan melihat
beberapa polisi berjalan kearah gudang Rupanya mereka membagi diri menjadi dua kelompok Melver yang memimpin para polisi itu melihat-lihat berkeliling
dan ia lalu menambatkan pandangannya pada sebuah foto di dinding Foto itu ialah foto Indra dan Bayu semasa SMA.
"Anda sangat mirip dengan kembaran Anda," cetusnya pada Bayu.
"Ya," jawab Bayu,
"kami bagaikan melon dibelah dua." McIver tersenyun.
"Saya sudah memeriksa catatan kejahatan di database kepolisian. Baik saudara Anda, apalagi Anda, sebelumnya tak pernah tercatat melakukan kejahatan apa
pun. Bahkan pelanggaran lalu lintas sekalipun. Anda maupun saudara Anda tak pernah menerima tilang. Menurut Anda.apa yang membuat saudara Anda
terdorong melakukan sebuah kejahatan seperti yang telah dilakukannya?"
"Dilakukannya" Bayu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan,
"Maaf Tuan Mclver. sebagai aparat penegak hukum.bukankah seharusnya Anda bisa menjaga asas praduga tak bersalah sebelum pengadilan memutuskan apakah
saudara saya bersalah atau tidak?" Mclver tersen
"Anda benar, Tian Hermawan. Saya minta maaf." Mereka lalu beranjak ke ruang tengah. Syaikh Rashed, Umni Alia, Nisa, Esa dan bu Rin sedang berkumpul di
ruang itu "Wah. sedang ada acara kumpul kumpul rupanya, Tuan?" tanya Arnal. Bayu mengangkat bahu lalu ia menunjuk ke arah bu Rini.
"Ini ibu saya," ujar Bayi memperkenalkan ibunya.
"Ya," jawab Ainal, saya tahu. Saya pernah bertemu beliau saat minta keterangan ihwal saudara Anda di kantor polisi." Lalu Armand dan Melver beranjak
mendekati bu Rini. "How do you do, Ma'an?" ujar McIver sambil mengulurkan tangan kanannya. Bu Rini menyambut jabat tangannya.
"I'm fine," jawab bu Rini pendek.
"Wel.Nyonya Hermawan, mungkin Anda memiliki info terbaru tentang putra Anda?" Bu Rini menggeleng pelan.
"I knou nothing about him,' Bu Rini menjawab singkat."Wait a minute...," ujar McIver,
"saya rasanya pernah melihat Anda." Ia menunjuk ke arah Syaikh Rashed.
"Saya Rashed El Atlassi," jawab Syaikh Rashed,
"kita memang pernah bertemu. di kantor Anda."
"Ah ya.kasus terorisme itu, cetus Mclver tanpa beban.
"Ia guru agama keluarga kami," tukas Bayu cepat sebelum McIver ataupun Armand mengajukan pertanyaan susulan.
"Oh rupanya Anda sedang mengadakan acara agama?" tanya Armand.
"Hanya pengajian biasa," jawab Bayu.
"Ini.?" Mclver menunjuk ke arah Ummi Alifa, Esa dan Nisa.
"Ini istri saya, Alifa, jawab Syaikh Rashed.
"Ini kawan-kawan saya dari Indonesia," jawab Bayu sambil mendekati Esa dan Nisa.
"Ini Esa.dan ini Nisa." Esa menganggukkan kepalanya sambil menatap bergantian ke arah McIver dan Armand. Nisa menunduk. Armand mengangkat bahu.
"Nice to meet you, folks," ujarnya,
"by the way.apa masih ada orang lain lagi di rumah ini?"
"Ada pembantu saya, Josh. Ia penunggu ranch ini," jawab Bayu.
"Ah.ya, tentu saja," ujar Amand,
"sehari-hari Anda tidak tinggal di sini, kan?" Bayu mengangguk.
"Kami sedang tetirah di ranch ini," ujar Bayu. Mclver mengangguk-anggukkan kepala. Mereka laluberanjak memeriksa kamar-kamar dandapur dan tentu saja
mereka tak akan menemukan Indra di situ. Lalu rombongan polisi yang memeriksa gudang datang dan bergabung Nampak mereka bicara berbisik-bisik satu sama
lain. "Well, Tuan Hernawan," ujar Mclver sambil mendekati Bayu,
"tampaknya kami memang tak menemukan saudara Anda di sini." Bayu mengangguk.
"Tunggu dulu, James," sengah Armand kemudian.
"Saya pernah berkunjung ke beberapa ranch dan. biasanya sebuah ranch memiliki bunker untuk berlindung dari badai. Saya yakin di sini pun ada bunker,"
ujarnya. "Wait!" seru Bayu. Bayu hendak mengatakan sesuatu. Namun rombongan polisi itu keburu beranjak ke bagian belakang rumah. Bayu mulai panik. Ia mengejar
mereka. Namun ia terhalang oleh beberapa polisi berseragam yang berjalan paling belakang. Mereka tiba di dapur. Lalu Graham Armand membuka pintu belakang
Satu persatu mereka keluar melalui pintu itu. Setelah berada beberapa jarak dari pintu, Armand dan Melver nampak mengedarkan pandangan ke sekeliling Beberapa
anak buah mereka yang mengenakan seragam melakukan hal yang sama. Tibatiba;
"Lihat tumpukan jerami itu," seru Mclver. Ia lalu menyuruh anak-anak buahnya mengorek tumpukan jerani yang ditunjuknya. Bayu terdiam. Lidahnya kelu dan
ia tak tahu apa yang hendak dikata.Para polisi tentu saja menemukan tingkap bunker dibalik tumpukan jerami itu. Dengan sigap, beberapa polisi berseragam
membuka tingkap itu. McIver lalu menyuruh salah seorang anak buahnya mencari senter. Setelah menerima senter, ia perlahan turun ke dalam bunker, diikuti
oleh Armand .Bayu terhenyak dan diam. Ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia menunggu di pintu belakang dengan wajah panik. Di belakangnya, Esa, Nisa,
bu Rini, Ummi Alifa, dan Syaikh Rashed nenunjukkan raut yang nyaris serupa. Sementara di seberang mereka, Josh hanya menatap dengan tatapan hampa. Selama
beberapa saat mereka menunggu McIver dan Armand Mungkin mereka berdua kembali dengan memborgol Indra dari dalam bunker. Namun seketika mereka merasa heran.
Melver dan Armand keluar tanpa membawa siapa pun dari dalam bunker. Mereka lalu mendekati Bayu.
"Yah. sudah kami periksa dan ternyata kami memang tak menemukan apa pun di sini, Tuan Hernawan," ujar Armand. Bayu mengangkat bahu. Benaknya sebenarnya
dihiasi rasa heran. "By the way," ujar Mclver,
"kenapa tingkap bunker itu ditutupi jerami?" Bayu kembali mengangkat bahu.
"Aku tak tahu, tapi itu kebiasaan Josh. Ya.ia biasa menjemur jerani di atas tingkap itu," ujar Bayu. McIver menghela napas.
"Baiklah, kami pamit," ujar McIver,
"Kami sangat mengharapkan kerja sama Anda dan keluarga dalam upaya kami mencari saudara Anda. Bila ada informasi tentang saudara Anda, Anda dapat menghubungi
saya." Mclver memberikan sebuah kartu nama pada Bayu. Bayu menerimanya. Mereka berlalu ke depan rumah. Bayu mengikuti mereka. Ia melihat mereka sempat
menyisir pula kebun jagung yang mengelilingi rumah hingga akhirnya mereka kembali kemobil dan pergi meninggalkan ranch itu. Segera setelah mereka pergi, Bayu dan yang lain beranjak masuk ke rumah. Saat tiba di ruang depan, Bayu melihat
Indra duduk di sofa dengan santai sambil tersenyun.
"How can." uja Bayu sambil bertolak pinggang dan menatap Indra. Yang lain ikut menandang ke arahnya dengan heran.
"Aku sangat tahu cara kerja polisi," ujar Indra,
"Mereka tak akan menyerah sebelum mendapat apa yang mereka cari Makanya aku keluar dari bunker setelah kau berlalu ke dalam. Saat mereka berpencar, sebagian
ke gudang dan sebagian masuk ke rumah, aku menyelinap masuk ke salah satu mobil polisi itu."
"Apa" Gila" seru Bayu, sementara yang lain hanya geleng-geleng kepala
"Wel. cara terbaik menghindari terkaman harimau ialah dengan bersembunyi di kandang harimau," ujar
Indra. selepas magrib bu rini pulang kerumah, bayu
memintanya pulang untuk menghindari kecurigaan polisi jika mereka terus berkumpul di tempat itu. Bisa dipastikan bahwa polisi akan memantau tempat itu.
Mereka mungkin mengintai dari suatu tempat. Karena itu, Indra pun harus menjaga diri sebisa mungkin agar tidak keluar dari bangunan rumah.
Untuk menghindari kecurigaan polisi, ia lalu menelpon Mclver dan mengatakan bahwa dirinya dan ibunya telah meninggalkan ranch. Sehingga bila polisi hendak
meminta keterangan darinya atau ibunya, mereka bisa menemuinya di rumah mereka, bukan di ranch.
Seusai melepas kepulangan bu Rini, mereka kembali berkumpul di tengah rumah. Josh sudah menutup tirai-tirai jendela dan ia sedang memeriksa gudang.
"Lusa, visaku di sini akan habis," ujar Esa memulai percakapan,
"Aku harus segera pulang ke Indonesia."
"Tapi masalah ini belum selesai sampai di sini, Sa," ujar Bayu. Esa mengangkat bahu.
"Aku sendiri bingung," jawab Esa tak acuh.
"Lantas bagaimana. Kau mau diam saja dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa" kali ini Indra ikut berbicara.
"Aku bingung Kita menghadapi sesuatu yang jauh lebih kuat dari kita Masalah ini seperti benang kusut," jawab Esa.
"Ya," tukas Syaikh Rashed,
"dan benang kusut akan tetap kusut jika tak pernah diurai." Esa mengangguk
"Apa ada kemungkinan bagi kita untuk membuktikan bahwa Indra tidak bersalah dan sekaligus mengungkap siapa dalang pembuhan Heri?" gumam Nisa.
"Aku lebih mengkhawatirkan urusan lainnya," ujar Esa.
"Maksudmu?" tanya Nisa.
"Wel.setiap hari ada saja orang mati. Banyak pembunuhan yang tidak terungkap dalangnya. Jika Allah memang menakdirkan agar kematian Heri tetap tertutupi.apa
mau dikata?" "Bicaramu seperti orang yang pasrah dan putusasa," jawab Nisa, ketus.
"Maksudku bukan begitu, sanggah Esa,
"Aku lebih mengkhawatirkan jika cerita Indra benar. Bagaimana jika memang harta karun Nabi Sulaiman itumenang ada" Lalu...harta itu jatuh ke tangan orang-orang
Zionis" Mereka akan semakin kukuh dalam kesombongan dan kesemena-menaannya. Mungkin uang yang mereka peroleh dari harta itu nantinya akan mereka pakai
untuk membantai lebih banyak lagi orang-orang Palestina dan sekitarnya."
"Tapi masalah pembunuhan Heri juga penting untuk diungkap," ujar Nisa,
"bagaimana jadinya nasib Indra jika dia terus hidup dengan menanggung kesalahan yang sama sekali tidak dia lakukan?"
"Wah terima kasih untuk perhatiannya," cetus Indra sambil tersenyum Esa melirik ke arah Indra
"Pikiran yang bijak, cetus Bayu sambil melirik ke arah Nisa. Esa tertegun.
"Masalah ini memang harus diselesaikan," guman Esa.
"Jadi bagaimana langkah penyelesaiannya?" tanya Nisa.
"Sedang kupikirkan," jawab Esa tak acuh. Nisa mendelik.
"Satu-satunya cara menyelesaikan masalah ini adalah dengan merebut kembali segitiga emas di tangan Goldstein," ujar Indra,
"Lalu menunjukkan pada dunia bahwa dia dan kawan-kawannya yang bertanggungjawab akan hal ini."
"Ya.tentu saja...," ujar Esa,
"lalu caranya?"
"Begini." lanjut Indra,
"Apa kalian tahu bahwa aku berhasil lari dari rumah sakit dengan bantuan seseorang?"
"Ya, kami membaca koran dan menonton televisi," Bayu yang menjawab,
"siapa orang itu?"
"Aku tak tahu...," jawab Indra."Tak tahu" Apa maksudmu?" tanya Syaikh Rashed,
"bukankah dia yang menolongmu?"
"Begini, Syaikh.," jelas Indra,
"sebenarnya kemarin saya tidak ada rencana sama sekali untuk kabur. Apalagi dengan penjagaan seketat itu, rasanya mustahil ada celah untuk kabur. Namun
saat akan diobservasi, tiba-tiba orang itu, perawat gadungan itu, berbisik ke telinga saya. Ia menyuruh agar saya meminta diantar ke toilet. Lalu saya
menurut Kemudian dia menemani saya dengan alasan untuk menjaga saya Nah. setelah berada di dalam toilet, dia tiba-tiba menyuruh saya agar masuk ke dalam
saluran udara yang be ada di atas toilet. Rupanya ia sudah mempersiapkan semuanya. Ia sudah membuka penutup lubang saluran udara itu Ia lalu menyuruh saya
merangkak di dalam saluran udara hingga ujung Ternyata ujung saluran itu adalah tangga darurat. Kemudian ia menjemput saya di ujung saluran itu dan mengajak
saya turun melalui tangga darurat itu. Semuanya begitu sistematis. Coba kalian pikirkan toilet dan tangga darurat adalah tempat-tempat yang tidak terawasi
dengan maksinal oleh CCTV
" Indra lalu diam sejenak. "Begitu juga setelah kami berhasil keluar dari rumah sakit," lanjut Indra,
"ia membawaku ke sini, hingga tepi jalan. Sekilas memang aneh, karena bisa jadi tempat ini adalah tempat yang paling diawasi oleh polisi karena ranch
ini milik keluargaku. Namun jika dipikirkan lebih matang, aku dapat memahaminya. Di sinilah aku bisa bertemu dengan kalian, sekaligus bersembunyi
jika polisi datang."
"Kira-kira.siapa dia, ya?" ujar Nisa.
Indra mengangkat bahunya.
"Yang jelas.dia seorang Afro-Amerika. mungkin." cetusnya tak pasti.
"Afro-Amerika" Kau yakin" Jangan-jangan orang itu malah Aborigin"' tanya Bayu.
"Ya.aku cukup yakin. Dia berkulit hitam dan bicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Amerika. Badannya tinggi besar dan wajahnya memiliki gurat gurat
keras." "Tunggu dulu rasanya aku familiar dengan ciri-ciri orang itu," ujar Esa,
"tapi siapa ya?"
"Tunggu dulu ," ujar Syaikh Rashed;
"Esa, kau pernah bercerita bahwa saat kau disekap di Avalon Airport kau bisa kabur dengan bantuan seseorang" Salah satu dari penyekapmu?"
"Oh ya.kemungkinan besar kita ditolong oleh orang yang sama, Indra, cetus Esa,
"Ya.dia memang salah satu penyekapku. Ketika itu aku dipukuli oleh dua orang, salah satunya seorang perempuan yang namanya Josephine, sementara yang
satu lagi bernama Ivan. Lalu mereka keluar untuk mencari makan dan menyuruh orang berkulit hitam itu untuk menungguiku. Tapi ia malah melepaskanku begitu
saja!" "Jadi. siapa dia, ya?" gumam Bayu.
"Him.begini. Biar kita luruskan," ujar Syaikh Rashed tiba-tiba,
"Aku yakin bahwa Esa dan Indra ditolong oleh orang yang sama. Orang itu adalah salah seorang dari The Knight of Zion, musuh yang tak kita kenali sepenuhnya.
Berarti dalam hal ini kita memiliki sekutu. Karena jelas-jelas orang itu membantu kita. Sementara The Knight of Zion memiliki satu musuh dalam selimut.
Dalam hal ini kita memiliki keuntungan."
"Tentu saja," tambah Bayu,
"Lalu kita berurusan dengan mereka karena mereka hendak merampas segitiga emas yang menurut Indra merupakan kunci gudang harta peninggalan Nabi Sulaiman
AS Nah, segitiga emas itu ditemukan di Ethiopia."
"Dan di sana." Esa menyambar,
"ada kelompok masyarakat Yahudi Ethiopia yang disebut Beta Israel. Jangan-jangan si hitam itu salah seorang Beta Israel?" Indra menepuk keningnya.
"Tentu saja" seru Indra,
"kenapa tak terpikir olehku, ya" Begini bisa jadi ia ingin melindungi segitiga itu juga."
"Maksudnya?" tanya Nisa dan Ummi Alifa bersamaana.
"Begini..," papar India,
"Secara tradisional orangorang Beta Israel menganggap mereka sebagai pengawal Menelik dan penjaga harta Nabi Sulaiman di Ethiopia."
"Jadi si hitam itu. adalah Yahudi Ethiopia yang menganggap dirinya sebagai bagian dari kaum penjaga harta Nabi Sulaiman?" tanya Ummi Alifa.
"Begitulah maksud saya, Umi."
"Tunggu dulu.," ujar Nisa,
"dia sendirikan Yahudi. Lantas kenapa ia tak ingin harta itu jatuh ke tangan kaumnya?"
"Ke tangan Zionis, Nisa, sanggah Syaikh Rashed,
"begini.kita harus meluruskan satu hal. Tidak semua orang Yahudi adalah Zionis. Bahkan di Amerika Serikat, ada sebuah perkumpulan Yahudi yang menamakan
dirinya The American Jeus Alternaties for Zionism. Mereka aktif mengkampanyekan penentangan atas berdirinya negara Israel dan pembantaian orang-orang Arab
Palestina. Akusendiri memiliki beberapa kawan Yahudi yang bukan Zionis dan mereka orang-orang yang cukup menyenangkan."
"Hm ini menarik Kukira kita akan mendapat jawaban pasti jika bertemu dengan orang itu dan menanyakan langsung apa sebenarnya motif tindakannya dengan
menolong aku dan Indra. Tapi untuk saat ini, kukira kita harus menggali lagi beberapa hal di seputar manuskrip yang diteliti Heri dan Indra itu."
"Ask me' tantang Indra pada Esa.
"Begini.kau kan menjelaskan bahwa lembar keempat manuskrip itu merupakan petunjuk tempat penyimpanan segitiga yang telah kau temukan bersama Heri. Lalu
lembar kelimanya merupakan petunjuk tempat harta yang bisa dibuka dengan menggunakan segitiga itu sebagai kunci?"
"Ya," jawab Indra.
"Lalu," lanjut Esa,
"sebenarnya apa isi manuskrip pertama, kedua, dan ketiga?"
"Sudah kukatakan isinya tentang Menelik dan asalusul kaum Beta Israel di Ethiopia. Namun isinya sendiri tak sama dengan anggapan kita selama ini. Anggapan
sejarah yang tercatat di buku-buku dan catatan sejarah. Yah.yang namanya sejarah tentu selalu bisa dimanipulasi oleh penulisnya."
"Anggapan kita" Maksudmu" Memang sebenarnya siapa Menelik itu?" tanya Nisa.
"Menelik adalah Kaisar pertama Ethiopia," Esa yang menjawab.
"Kau tahu?" "Heri sempat mengirim email sebelum berangkat ke
Ethiopia," jawab Esa. Ia lalu menghela napas panjang.
"Karena membaca email Heri itu, aku jadi tertarik untuk membaca beberapa literatur tentang Menelik. Kepercayaan tradisional rakyat Ethiopia meyakini
bahwa Menelik adalah Putra Raja Salomon" dari Kerajaan Israel dan Ratu Makeda dari Kerajaan Saba."
"Makeda?" kali ini Ummi Alifa yang bertanya.
"Balqis," jawab Esa,
"Kalian bisa lihat di Surah An Naml Qur'an mengisahkan cerita pertemuannya dengan Sulaiman, namun tak pernah menyebut siapa namanya, hanya menyebutkan
frasa Ratu Saba" saja. Namun hadis Rasulullah Saw menyebut namanya adalah Balqis."
"Menurut kisah yang ditulis dalan Kebra Nagast, Menelik lahir di Hanasien, sebuah wilayah yang kini menjadi bagian dari Negara Erithrea, Indra menambahkan.
"Dan apa pula itu Kebra Negast?" Bayu ikut bertanya.
"Sebuah frasa dari bahasa Ge'ez, artinya The Glory of Kings," jawab Esa.
"Jadi Kebra Negasi itu sebuah buku?" Bayu kembali bertanya.
"Kitab tepatnya, Indra yang menjawab,
"ada 117 bab di dalamnya dan isinya secara umum menceritakan silsilah Kaisar-kaisar Ethiopia sejak Kaisar yang pertama, Menelik hingga Kaisar generasi
terakhir, Haile Selassie, yang terguling dalam sebuah kudeta tahun 1976. Kitab itu juga menceritakan pencapaian prestasi setiap Kaisar."
"Semacan laporan perkembangan?" kembali Bayu bertanya.
"Ya," jawab Indra pendek."tunggu dulu, cetus Nisa,
"Kaisar terakhir terguling tahun 1976 dan kaisar pertama mereka ada 3000 tahun yang lalu" Panjang sekali?"
Pedang Langit Dan Golok Naga 37 Payung Sengkala Karya S D Liong Anak Rajawali 20

Cari Blog Ini