Ceritasilat Novel Online

Balas Dendam Seorang Kakak 2

Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out Bagian 2


Lalu ia sadar akan suara tawa yang dengan cepat membesar
membahana memenuhi ruangan. "Ini karet!" teriak seseorang sambil tertawa keras.
"Ular karet!" Salah seorang peserta, anak laki-laki, datang ke meja Holly
membawa "ular" itu.
Sekarang Holly bisa melihat itu cuma ular-ularan, bahkan tidak
terlalu mirip ular betulan. Sekali lagi ia merasa pipinya panas karena malu.
Beberapa anak Pondok Lima masih menangis ketakutan. "Demi
Tuhan, Holly!" kata Debra, kembali ke meja. "Sudah cukup parah kau ketakutan
pada ular karet! Kau cuma mau duduk bengong sementara
anak-anak itu perlu bantuanmu?"
Dibantu Thea, cepat-cepat Holly menenangkan dan membujuk
anak-anak itu sampai berhenti menangis.
"Jangan terlalu dipikirkan. Semua orang tadinya mengira itu
ular betulan," bisik Thea ke Holly.
"Oke," kata Holly. "Terima kasih."
"Jangan lupa nanti malam," tambah Thea. "Di danau." Ia kembali ke mejanya
sendiri, dan Holly kembali ke makan siangnya.
Tapi nafsu makannya sudah hilang lagi. Dilihatnya Debra
memandangnya dengan tidak senang. "Debra," katanya, walaupun tahu tidak akan ada
gunanya, "aku minta maaf. Seumur hidup aku
takut sekali pada ular. Soalnya - "
"Kalau kau takut sekali pada ular," potong Debra, "lalu kenapa kau datang ke
Camp Nightwing?" Pertanyaan bagus, pikir Holly.
?b?k?l?w?s.bl?gsp?t.c?m ************** Sisa hari itu berjalan baik, para peserta yang mereka asuh
sangat menikmati kegiatan mereka, sehingga Holly melupakan semua
kesulitannya. Debra tidur cepat, dan Holly mendengarkan dengkur lembutnya
sebelum berjingkat-jingkat keluar pondok. Di keheningan malam bisa
didengarnya derik jutaan jangkrik, dan langit penuh bintang sehingga
cahaya mereka menciptakan bayangan di tanah.
Merasa agak takut dan agak berdebar-debar, Holly berjalan ke
arah danau. Di tengah jalan ia bertemu Thea.
"Kelihatannya perkenalanmu dengan camp tak menyenangkan,"
kata Thea bersimpati. "Barangkali bisa lebih buruk dari itu," kata Holly. "Cuma aku tak bisa
membayangkan." "Tadi pagi," kata Thea. "Aku baru tahu sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan
kesulitan-kesulitan yang kauhadapi. Tahun lalu aku
belum menyadarinya karena perbedaan umur mereka, tapi Debra dan
Geri berteman baik."
"Oh, gawat!" kata Holly, "Ya, pasti itu sebabnya mengapa Debra tak suka padaku.
Geri pasti meracuni otaknya agar
membenciku." "Semacam itulah, " kata Thea. "Aku hampir tak percaya begitu marahnya Debra
karena kau takut ular karet tadi. Padahal dia sendiri,
seperti semua orang, tadinya juga mengira itu ular betulan. "
"Yang aku tak mengerti," kata Holly, "kenapa Kit melemparkan ular itu ke mejaku"
Bagaimana dia tahu aku takut ular?"
"Mungkin dia tak tahu," kata Thea. "Tapi aku berani taruhan itu ulah Geri juga."
"Mungkin dia menyuruh Kit membuatku malu," kata Holly
murung. "Dan, apa yang diminta Geri, akan didapatnya," kata Thea.
Mereka sudah sampai ke tepi danau. Thea duduk di tepi dermaga,
mengayun-ayunkan kakinya ke air. Holly duduk di sampingnya,
bersandar ke tonggak kayu, memandang bulan merambat naik di atas
telaga, memancarkan sinar keperakan yang dipantulkan riak-riak air di
permukaan telaga. "Kau tahu," Thea meneruskan. "Bahkan kalau tak punya
dendam lama padamu, mungkin Geri akan menganggapmu sebagai
saingan. Dia terpilih jadi Miss Populer di sini tahun lalu. Lagi pula ada
sesuatu antara dia dan Mick tahun lalu."
Waduh, pikir Holly. Tambah lagi urusannya.
Ia memeluk lutut, mencoba berpikir apa yang harus
dilakukannya, ketika tiba-tiba terdengar lolongan di kejauhan.
"Apa itu?" seru Holly, terperanjat.
Thea menggerakkan bahu. "Serigala, barangkali," katanya.
"Bukannya mereka memang senang melolong waktu ada bulan?"
"Untuk apa aku ke sini?" tiba-tiba Holly meratap. "Aku tak suka kegiatan di luar
rumah, aku takut serangga dan ular, dan separo
pembimbing membenciku! Dan sekarang aku harus mendengarkan
lolongan serigala!" "Jangan begitu. Mungkin itu cuma anjing," kata Thea. "Dengar.
Menurutku, kalau masih mau mencoba, kau akan menikmati musim
panas ini di sini. Tapi mungkin - kalau kau betul-betul tak tahan - kau
pulang saja. Aku yakin Paman Bill akan mengerti."
"Justru di situ masalahnya," kata Holly. "Dia mungkin akan mengerti. Tapi dia
perlu bantuanku. Terutama sekarang saat ada orang
mencoba menghancurkan camp ini."
"Apa maksudmu?" tanya Thea.
"Ingat bulu merah yang kita temukan di ruang rekreasi
kemarin?" Thea mengangguk. "Nah," Holly meneruskan, "ada satu lagi bulu merah di
kano yang dirusak. Dan satu lagi direkatkan direkatkan - di papan ranjang yang roboh di Pondok Lima."
"Aneh," kata Thea.
"Lebih dari aneh," kata Holly. "Itu bukti bahwa orang yang sama yang merekayasa
ketiga 'kecelakaan' itu. Dan yang paling
merisaukan hatiku adalah karena yang terakhir terjadi di kabinku."
"Tapi kenapa orang ingin melakukan itu?" tanya Thea.
Suaranya agak terganggu, dan Holly memperhatikan bahwa ia berkalikali menoleh ke arah pondok anak laki-laki.
"Aku tak tahu apa tujuannya," kata Holly. "Dan aku tak
bermaksud curiga tanpa alasan. Tapi rasanya ada hubungannya
denganku. Aku harus tahu. Paman Bill tak mau mendengarku. Untung
masih ada kau yang mau kuajak bicara."
"Apa?" kata Thea.
"Aku bilang untung ada - Thea, ada yang mengganggumu?"
"Sori," kata Thea. "Mungkin aku agak gugup. Aku minta John menemuiku di sini
malam ini, tapi sampai sekarang dia belum
muncul." "Mungkin dia akan datang belakangan nanti," kata Holly.
"Entahlah," kata Thea. "Ini sudah terlalu malam." Ia menghela napas. "Kau tahu,
aku ingin sekali bertemu dengannya lagi musim
panas ini. Tapi sikapnya aneh sejak camp dibuka. Entah kenapa dia."
Holly hanya mengangkat bahu. Baginya jelas bahwa Thea
bertepuk sebelah tangan. Ia menguap dan meregangkan lengannya.
"Aku ngantuk," katanya. "Mau balik ke pondok?"
Thea menggeleng, senyumnya sedih. "Aku mau coba menunggu
beberapa menit lagi. Siapa tahu dia datang."
"Oke," kata Holly. "Dan terima kasih kau telah memberitahuku tentang Debra. Itu
tak membuat sikapnya lebih mudah bagiku, tapi
setidaknya aku mengerti mengapa dia bersikap begitu."
Holly berjalan di sepanjang dermaga, lalu ke jalan setapak,
sambil merasakan dinginnya udara malam. Di suatu tempat seekor
burung hantu bersuara, dan Holly berpikir, kalau diberi cukup waktu,
mungkin dia akan suka juga kehidupan di hutan.
Dia sedang melewati bagian jalan yang paling dekat dengan
hutan ketika tiba-tiba mendengar bunyi berkerisik di belakangnya.
Cuma bunyi daun, katanya dalam hati. Bunyi berkerisik itu terdengar
lagi, dan lagi. Bunyi langkah.
Jantungnya berdebar, ia berjalan lebih cepat. Langkah kaki itu
semakin cepat juga. Siapa - atau apa - itu"
Holly menengok ke belakang, tapi hanya melihat pohon-pohon
dan bayang-bayang. Cuma khayalanku saja, pikirnya.
Ia berhenti. Langkah itu berhenti, lalu mulai lagi, lebih cepat, berlari.
Siapa yang ada di hutan malam-malam begini" Siapa pun orang
itu, dia ada di belakangnya dan semakin dekat.
Chapter 11 HOLLY mulai berjalan lebih cepat lagi.
Langkah itu menambah kecepatan juga.
Lalu Holly mendengar suara. "Ke sini jalannya," suara seorang anak perempuan.
Lalu suara lain: "Ayo, Cindy! Kaudengar sendiri kata Paman
Bill mengenai jam malam."
Holly bernapas lega. Cuma dua peserta perempuan, keluar malam-malam, berusaha
agar tidak ketahuan. Ia mengenali, mereka. Yang cantik berambut
pirang namanya Courtney Blair. Yang satu lagi Cindy siapa begitu.
Holly menyunggingkan senyum di sudut bibirnya, lalu
melangkah keluar dari jalan setapak ke pepohonan.
"Oke," katanya. "Sudah terlalu malam bagi kalian untuk
berkeliaran di hutan, ya?"
"Kami tak bermaksud apa-apa," kata Cindy. "Kami sedang
kembali ke pondok." "Kalian dari pondok mana?" tanya Holly, dengan nada
berwibawa. "Sebelas, di sebelah sana gedung utama," jawab Courtney.
"Baik, kutemani kalian agar sampai ke pondok dengan aman,"
kata Holly. Kedua anak perempuan itu cepat-cepat berjalan.
Enak juga jadi pembimbing, pikir Holly. Ia menikmati perasaan
bahwa ia punya tanggung jawab.
Ia mengikuti mereka dari belakang untuk meyakinkan mereka
betul-betul kembali ke Pondok Sebelas. Mereka sudah sampai di dekat
gedung utama ketika ia melihat lampu di samping jalan setapak yang
mereka lalui, lalu lampu itu menyinari wajahnya. Ia mengedipkan
mata, lalu memicingkannya, dan dilihatnya Mick yang memegang
lampu senter itu. "Hai, Holly," sapa Mick. Hanya dua kata sederhana, tapi
caranya mengatakannya membuat Holly merasa Mick tahu segalanya
tentang dirinya. "Hai, Mick," sahutnya agak gugup. "Sedang apa kau malam-malam begini?"
"Percaya tidak kalau kukatakan aku sedang mencarimu?" kata
Mick dengan senyum menggoda.
"Tidak," kata Holly setelah diam sesaat. "Aku tak percaya."
"Ya, tapi toh aku menemukanmu," katanya. "Seharian tadi aku ingin bicara
denganmu. Aku belum sempat mengatakan terima kasih
atas bantuanmu dengan kano-kano tadi."
"Tak apa-apa," kata Holly. "Untung kerusakannya tak lebih parah."
"Aku suka caramu bekerja," Mick melanjutkan. "Membantuku tanpa banyak tanya atau
mencari segala macam alasan seperti cewek-cewek lain."
"Tak perlu dibesar-besarkan," kata Holly.
"Tapi kau memang oke," kata Mick. "Sejak pertama melihatmu aku ingin lebih
mengenalmu." Sesaat Holly tidak menjawab. Ia memperhatikan wajah Mick
dan melihat bahwa Mick serius. Terlalu serius. Kenapa dia seserius
ini" "Aku yakin," katanya hati-hati, "kita akan lebih saling mengenal sebelum musim
panas ini berakhir."
"Aku ingin mulai sekarang," kata Mick. "Mau jalan-jalan denganku?"
"Sekarang?" tanya Holly. "Ini sudah hampir tengah malam."
"Justru lebih bagus," kata Mick. Di kegelapan bayang-bayang
pepohonan dia terlihat sangat tampan, sangat misterius, dan Holly
tidak tahu bagaimana dia bisa sampai terlibat seperti ini.
"Aku - aku tak bisa jalan-jalan denganmu sekarang," katanya.
"Aku harus mengantar anak-anak itu kembali ke pondok mereka."
"Kalau begitu sehabis itu," kata Mick. "Kutemani kau
mengantar mereka." Holly sadar ia membuat kesalahan. Bila seseorang begitu
memaksa seperti Mick, kau tidak bisa menghindar hanya dengan
membuat alasan. Katakan yang sebenarnya. Ia menarik napas dalamdalam. "Tidak malam ini, Mick," katanya. "Sudah terlalu malam, dan beberapa
menit lagi sudah jam malam untuk para pembimbing."
"Kenapa sih kau ini?" tanya Mick, nada suaranya berubah
menantang. "Kau takut berduaan saja denganku?"
"Tentu saja tidak," sahut Holly. "Tapi seperti yang kubilang.
Aku ingin anak-anak itu betul-betul kembali ke pondok mereka
dengan selamat, lalu aku sendiri mau tidur. Hari ini sangat
melelahkan." "Ya, oke," kata Mick. Ia terdengar marah dan kecewa. "Kau sudah punya pacar" Itu
sebabnya, kan?" "Tak ada hubungannya sama sekali dengan ini," kata Holly,
sengaja tidak menjawab pertanyaan itu. "Sekarang kembalilah ke
pondokmu, Mick. Kita bicara besok."
"Mungkin kau akan bicara denganku malam ini," kata Mick,
suaranya kasar. Disambarnya lengan Holly, dan untuk sesaat Holly
merasa takut padanya. "Lepaskan aku!" serunya.
"Aku bilang - " Lalu tiba-tiba ia melepaskan tangan Holly dan
berbalik dengan jengkel. "Ah, apa gunanya," katanya. Tanpa
mengatakan apa-apa lagi ia berjalan pergi menerobos hutan.
Ada apa dengan semuanya ini" pikir Holly. Di satu sisi ia
bangga karena ada cowok setampan Mick tertarik padanya. Dan mau
tidak mau ia harus mengakui bahwa ia sendiri pun tertarik pada
Mick - lebih daripada yang diinginkannya.
Tapi di sisi lain, perhatian Mick membuatnya takut. Apakah
memang orang jadi gila kalau ke hutan" pikirnya.
Sementara berpikir macam-macam begitu, ia sudah mengantar
kedua anak perempuan tadi sampai ke Pondok Sebelas dan
mengucapkan selamat malam. Lalu ia berjalan menuju ke Pondok
Lima. Ia mencoba untuk santai, mendengarkan suara jangkrik dan
burung hantu, tapi otaknya masih dipenuhi ratusan masalah, tubuhnya
serasa tegang bagaikan senar biola. Yah, pikirnya, apa boleh buat.
Memang banyak masalah yang membuatku pusing.
Ketika Pondok Lima sudah terlihat, ia mulai tenang dan santai.
Akhirnya, pikirnya, dan mulai mempercepat langkah.
Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti.
Apakah cuma penglihatanku saja" Atau memang ada orang
menyelinap keluar dari pintu Pondok Lima"
Sesosok tubuh berpakaian warna gelap, mengendap-endap.
Ia mengedipkan mata sekali, dan sosok tubuh itu lenyap.
Hanya ada bayangan, bayangan pohon ek di samping pondok.
Cuma penglihatanku saja, pikir Holly. Benarkah"
Dengan masih bingung, ia berdiri diam di situ memperhatikan
daerah itu. Tak ada tanda-tanda orang. Semuanya di camp - kecuali
dirinya - mungkin sudah tidur lelap.
Sesaat kemudian ia merasa bahunya ditepuk.
Sambil menjerit kecil ia memutar tubuh dengan terkejut dan
marah. Kalau ini Mick - "Hei, tenang," kata orang yang menepuk bahunya. "Maaf, aku tak bermaksud
mengejutkanmu." Ternyata Sandy, rambut pirangnya terlihat lebih pucat lagi di
bawah sinar bulan. "Sandy!" kata Holly, kaget dan lega. "Apa yang sedang
kaulakukan di sini?"
"Jalan-jalan," sahut cowok itu, raut mukanya agak aneh. "Aku selalu jalan-jalan


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum waktu tidur. Kenapa?"
"Rasanya aku melihat ada orang keluar dari pondokku," kata
Holly. "Kaupikir aku ada di pondokmu?" Sandy pura-pura terperanjat.
"Kupikir mungkin kau juga melihatnya," kata Holly.
"Tidak," katanya. "Aku tak melihat siapa pun." Raut aneh tadi muncul lagi di
wajahnya. "Mungkin khayalanmu saja, Holly."
"Mungkin juga," kata Holly. "Hari ini banyak kejadian saling susul."
"Aku tahu," kata Sandy simpatik. "Aku lihat bagaimana Debra membentak-bentakmu
tadi pagi." "Kelihatannya semua yang kulakukan salah di matanya," kata
Holly. "Jangan biarkan Debra mengganggu pikiranmu," kata Sandy
sejenak kemudian. "Dia terlalu perfeksionis. Ingin semuanya
sempurna. Mungkin dia tak menyadari kalau kau sudah berusaha
semampumu." "Kau benar, aku memang sudah berusaha sebisaku," kata Holly.
"Terima kasih kauucapkan hal itu."
"Hei," kata Sandy, "aku juga tahu bagaimana rasanya sendirian di tempat asing."
"Ini juga tahun pertamamu?" tanya Holly.
"Tahun pertama di sini," kata Sandy. "Bukan tahun pertamaku sebagai pembimbing.
Musim panas lalu aku jadi pembimbing di camp
di barat - di gurun."
"Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya," kata Holly.
"Beberapa tahun lalu kakak perempuanku pernah bekerja di camp."
"Kau dekat dengan kakakmu?" tanya Sandy. "Tak terlalu,"
sahut Holly. "Dia hampir sepuluh tahun lebih tua dariku."
"Tapi kau tetap beruntung punya kakak," kata Sandy. "Aku tak punya kakak atau
adik." Suaranya terdengar sedih ketika ia
mengatakan itu sehingga Holly kasihan padanya.
"Lebih baik kau masuk sekarang," kata Sandy, suaranya sudah
terdengar riang lagi. "Terima kasih, Sandy," kata Holly, sungguh-sungguh, bukan
cuma basa-basi. "Kau telah mengembalikan kepercayaanku pada sifat baik manusia
atau semacam itu." "Bagus," kata Sandy. "Sampai besok." Dengan lambaian tangan dan senyuman ia
berjalan pergi. Holly berjingkat-jingkat masuk ke
pondok dan dengan cepat tapi tanpa bersuara bersiap naik ke tempat
tidur. Aku akan tidur seperti balok malam ini, pikirnya sambil
membuka lipatan selimutnya. Lalu ia merebahkan diri, menaruh
kepalanya di bantal, lalu menyusupkan tangannya ke bawah bantal
seperti yang selalu dilakukannya sebelum tertidur.
Dan tersentuh olehnya sesuatu yang halus dan lembut bergerakgerak di sela-sela jari-jarinya.
Dengan jeritan nyaring Holly melompat dari tempat tidur dan
melemparkan bantalnya jauh-jauh.
Di sana, di tempat tidur, di tempat bantalnya tadi, seekor ular
hijau-putih bergerak melepaskan gelungannya.
Chapter 12 SESAAT Holly berharap ular ini hanya ular karet, seperti yang
tadi siang. Tapi tidak. Sementara ia memandang sambil gemetaran, ular itu
menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang.
Lalu bergerak turun ke selimutnya.
Holly merasa jijik dan ngeri.
Ditariknya selimutnya - dan dilihatnya tubuh gelap ular itu,
sangat kontras dengan latar belakang seprai putih. Ia menjerit lagi.
"Ada apa?" seru seseorang sambil menghidupkan lampu.
"Ada ular!" suara Jessica melengking mendekati panik.
"Bunuh! Bunuh!" teriak Tracy.
"Awas! Dia mau menggigit!" Stacey berdiri di tempat tidurnya di atas, wajah
kecilnya pucat pasi ketakutan.
"Ada apa lagi kali ini?" Holly mendengar suara jengkel Debra.
Pembimbing senior itu berjalan ke ranjang Holly sambil mengusapusap matanya yang masih mengantuk. Di seberang kamar, anak-anak
perempuan itu menjerit-jerit gaduh.
"Itu... ada ular," kata Holly, menahan rasa panik. "Itu. Tadi ada di bawah
bantalku." "Itu?" kata Debra dengan nada mencemooh. "Itu cuma ular kecil tak berbisa. Demi
Tuhan, Holly, kenapa sih kau ini?"
Sementara Holly melihat dengan rasa takut campur malu, Debra
mengambil ular itu dengan tangannya, lalu membuka pintu pondok
dan melemparkan ular itu ke luar ke tengah kegelapan malam.
Semua anak perempuan asuhan mereka menangis, takut ular
seperti Holly. Debra memelototi Holly. "Lakukan sesuatu!" desisnya. "Kau bukan cuma tak
berguna, lebih parah lagi."
Dengan pipi panas, Holly mendekati anak perempuan di tempat
tidur terdekat, menggumamkan sesuatu untuk menenangkan mereka.
Satu per satu dibantunya anak-anak itu memeriksa barang-barang
mereka untuk membuktikan bahwa tidak ada ular lagi.
Rasanya berjam-jam kemudian baru anak-anak itu tenang lagi.
Tidak lama kemudian pondok kembali sunyi dan gelap setelah semua
orang kembali tidur. Semua orang kecuali Holly.
Kepalanya bagaikan gunung api yang hampir meletus perasaan marah, terhina, dan takut campur aduk jadi satu, mendidih,
hampir meledak. Ular itu tidak merayap sendiri ke bawah bantalnya, pikirnya.
Tapi siapa yang menaruhnya di situ" Kit" Debra" Geri"
Aku masih mujur kali ini, pikirnya. Itu cuma ular tak berbisa,
tak berbahaya. Tapi apa lagi setelah ini"
Hentikan, Holly, ia menyuruh dirinya sendiri. Jangan jadi takut
pada bayangan sendiri. Memang ada alasan apa orang ingin
mencelakakanmu" Tak masuk akal. Mungkin Paman Bill bisa mencari jawabnya. Apa pun yang
terjadi, ia akan membuat Paman Bill mau mendengarnya.
****************** "Katakan pada mereka aku sudah memesan barang-barang itu
sebulan yang lalu untuk dikirim minggu ini!"
Suara keras Paman Bill terdengar ke seluruh gedung utama
tempat kantornya berada, dan dari nadanya dia sedang tidak senang.
"Aku tak peduli apa penyebab kesalahannya!" teriaknya. "Aku ingin barang-barang
itu dikirim paling lambat besok. Kalau tidak,
pengacaraku yang akan bicara dengan kalian!"
Holly menunggu sampai pamannya berhenti berteriak, lalu
dengan gugup mengetuk pintu.
"Masuk!" sahutnya ketus, lalu raut wajahnya berubah ketika
dilihatnya siapa yang mengetuk pintu. "Maaf," katanya. "Ada masalah dengan salah
satu pemasok. Kadang-kadang mereka harus dimarahi
agar tetap jujur." "Paman Bill," kata Holly. "Aku tahu Paman sangat sibuk, tapi aku benar-benar
perlu bicara dengan Paman beberapa menit saja.
Sangat penting." Bill menaruh kertas yang sedang dipegangnya. "Oke, Putri,"
katanya. "Aku bisa menyisihkan semenit untukmu. Meskipun aku
masih punya seribu satu urusan yang harus kubereskan sebelum
tengah hari." Holly menarik napas dalam-dalam, merogoh sakunya, dan
mengeluarkan tiga bulu merah yang disimpannya. "Lihat ini?"
katanya. "Bulu merah," kata Paman Bill. "Ya. Lalu?"
"Yang satu kutemukan di lubang sekrup yang longgar di
dinding," kata Holly. "Yang kedua kutemukan di kano yang
tenggelam. Dan yang ketiga direkatkan pada papan ranjang yang
roboh." "Lalu?" Paman Bill mengulangi.
"Itu membuktikan bahwa ketiga kejadian itu berhubungan,"
kata Holly. "Ketiga kejadian itu bukan kecelakaan."
Bill meneliti bulu-bulu itu beberapa lama, lalu tersenyum. "Ini
tak membuktikan apa-apa," katanya. "Tapi aku mengerti kenapa kau sampai berpikir
seperti itu." "Tapi itu membuktikan sesuatu!" protes Holly. "Bagaimana ketiga bulu itu bisa
ada di tempat-tempat itu kalau bukannya sengaja
ditaruh disana oleh seseorang?"
Bill menggeleng. "Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu,"
katanya. Diajaknya Holly ke jendela, dan dengan jarinya ia menunjuk
ke bagian bawah panel. Ada beberapa bulu terselip di sana - walaupun
tak satu pun merah. "Banyak bulu bertebaran di seluruh camp ini,"
katanya. "Bulu dari burung, bulu dari kabin prakarya. Menemukan
tiga bulu merah - atau bahkan seratus bulu merah - tak membuktikan
apa pun kecuali bahwa kau berada di Camp Nightwing."
"Tapi - " "Tak ada tapi-tapian, Sayang," ia meneruskan. "Aku mengerti kau sangat terganggu
oleh kecelakaan-kecelakaan itu. Dan aku tahu
beberapa pembimbing telah mempersulit dirimu. Tapi itu bukan
alasan untuk kau berkhayal yang tidak-tidak."
"Aku bukan berkhayal!" kata Holly, tiba-tiba timbul marahnya.
"Aku menguatirkan Paman - dan camp! Bagaimana kalau aku benar"
Bagaimana kalau ada orang yang berusaha menghancurkannya?"
Paman Bill tertawa tanpa nada riang. "Tak ada alasan apa pun
di dunia ini yang membuat orang ingin berbuat itu," katanya. "Nasib burukku
sendiri mungkin sudah cukup untuk menghancurkanku dan
camp ini." "Tapi ini bukan nasib - kecelakaan-kecelakaan itu sebetulnya " "Tak ada hubungannya satu sama lain," kata Paman Bill,
menyelesaikan sendiri kalimat Holly. "Tapi tak peduli seburuk apa pun nasibku
sampai sekarang, suatu saat nanti pasti akan berubah. Dan
aku punya perasaan mengenai musim panas tahun ini, Holly. Rasanya
tahun ini kita akan berhasil. Bisakah aku mengharap dukunganmu?"
"Pasti, tentu saja," sahut Holly.
"Jadi berhentilah memikirkan urusan bulu dan pusatkan
perhatianmu untuk jadi pembimbing terbaik sejauh kemampuanmu.
Dan jangan terlalu peka. Ingat bahwa para pembimbing lain semuanya
bermaksud baik." "Baik," kata Holly. Ia membuka mulut untuk sekali lagi
mencoba meyakinkan pamannya, tapi Paman Bill sudah memegang
telepon, memencet nomor. Paman Bill mengedipkan mata padanya,
lalu mulai bicara dengan seseorang di telepon.
Holly meninggalkan kantor dengan kecil hati. Kata-kata Paman
Bill bahwa bulu bertebaran di mana-mana di seluruh camp tidak
meyakinkan dirinya. Hampir, tapi tidak sepenuhnya.
Karena, jauh di lubuk hatinya, dia tahu dia benar. Tahu bahwa
seseorang sedang berusaha menghancurkan camp musim panas ini,
berusaha menghancurkan Paman Bill. Sayangnya Paman Bill terlalu
baik hati untuk melihat hal itu.
Tapi Paman Bill benar mengenai satu hal. Ia tidak boleh terlalu
peka, dan jangan terlalu memikirkan Geri dan Debra.
Sebaliknya, ia harus menyimpan energinya untuk membuka
lebar-lebar mata dan telinganya. Bagaimanapun ia mencoba
membuang pikiran itu, pikiran itu selalu kembali lagi.
Camp Nightwing berada dalam bahaya besar. Begitu juga
dirinya. Chapter 13 Camp Nightwing Dear Chief, Sudah lama aku tidak mendengar kabar darimu. Banyak yang
sudah terjadi. Hal-hal buruk. Tapi itu bagus, kalau kau tahu
maksudku. Aku sudah melakukan semua yang kujanjikan, bahkan lebih
lagi. Sekarang aku siap untuk langkah berikutnya. Langkah besar.
Seseorang di camp ini akan mati.
Aku sudah berjanji, dan akan menepatinya. Tidak lama lagi.
Orang yang paling pantas menerimanya. Sayang sekali. Padahal
dia manis. Akan kuceritakan semuanya padamu nanti. Harap menulis
padaku, Chief. Aku sudah lama menunggu suratmu.
Salam, Aku Chapter 14 HOLLY merasa jauh lebih baik. Takut. Tapi lebih baik. Dia
sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya. Dia akan mencari
tahu apa yang terjadi di camp. Karena Paman Bill tidak akan
melakukannya. Jadi semua tergantung padanya.
Siapa kira-kira yang melakukan perbuatan jahat ini"
Pasti seseorang yang selalu berada di camp, karena kejadiannya
tidak memilih waktu. Dan tentu orang yang berbadan besar dan cukup kuat untuk
menenggelamkan kano-kano itu serta melonggarkan sekrup lemari.
Artinya bukan salah satu peserta, karena mereka belum tiba ketika
lemari itu roboh. Jadi pasti salah satu pembimbing.
Tapi yang mana" Ia mengingat-ingat lagi film-film misteri yang pernah
ditontonnya di televisi. Salah satu dari yang pertama-tama dilakukan
para detektif di film-film itu adalah mengenal diri para tersangka
sebaik mungkin, sedekat mungkin.
Jadi sudah jelas apa yang harus dilakukannya - dia harus
mengenal baik-baik para pembimbing, sebaik mungkin yang dapat
dilakukannya. Dia punya kesempatan bagus untuk memperhatikan
para pembimbing sore ini. Nanti sore akan ada pertandingan sofbol
antara Nightwing melawan camp lain. Seluruh camp, termasuk para
pembimbing, akan berkumpul di lapangan untuk memberi dukungan
pada para pemain Nightwing saat mereka bertanding melawan Camp
Starlight. ******************** Anak-anak Starlight memang jago. Sampai inning ketiga
mereka sudah unggul tujuh angka, dan para suporter Nightwing mulai
kehilangan harapan. Kelompok Holly duduk mengerjakan tali-temali sepanjang
pertandingan dan tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di
lapangan. Perhatian Holly terpusat pada para pembimbing, terutama para
pembimbing yang sudah dikenalnya.
Dilihatnya Kit selalu bekerja sesedikit mungkin sementara
berusaha agar selalu kelihatan sibuk. Holly tertawa ketika melihat Kit
menghabiskan sepuluh menit "merapikan" kotak PPPK, padahal yang sesungguhnya
dilakukannya selama itu adalah mencoba berada
sedekat mungkin dengan Geri.
John Hardesty bekerja keras. Dia betul-betul memperhatikan
pertandingan dan para peserta camp. Boleh dikatakan dia
mengabaikan para pembimbing yang lain, hanya bicara pada mereka
kalau betul-betul perlu. Sandy seperti John, selalu bekerja keras, dan menyendiri. Dia


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatan agak pemalu dan jarang bicara dengan orang lain, kecuali
Holly. Tapi saat pertandingan berjalan, Holly melihatnya bicara
dengan Debra. Bercanda" Holly tidak pernah melihat mereka bicara
berdua sebelumnya. Geri salah satu pelatih. Bahkan Holly terpaksa mengakui bahwa
Geri tahu betul apa yang dilakukannya. Dia mengharap banyak dari
para peserta, tapi mereka menyukainya. Dan Mick... Mick seperti
tidak pedulian. Dia pekerja yang baik, tapi pikirannya selalu terbang
jauh entah ke mana. Holly membuka mata dan telinganya lebar-lebar sepanjang hari.
Ketika pertandingan berakhir
(skor akhir 16 - 4), ia membantu memimpin anak-anak Camp
Nightwing bersorak menghormati kemenangan lawan mereka lalu
membawa semua anak ke danau untuk berenang bersama-sama.
Ketika ia duduk di dermaga menunggu bunyi peluit yang menandakan
waktu berenang telah habis, mau tidak mau ia harus mengakui bahwa
tidak ada satu pun pembimbing yang ucapan atau tindakannya
menimbulkan kecurigaan. Penelitiannya tidak mengalami kemajuan.
Dia baru selesai mengumpulkan handuk anak-anak ketika Mick
tiba-tiba muncul di sampingnya.
"Hai," sapa Mick.
"Hai, Mick," sahutnya.
"Jadi" Ada yang kausukai?"
"Hah?" Holly sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud Mick.
"Ya," kata Mick, "seharian tadi kau menatapku terus."
"Masa?" "Aku melihatnya begitu. Jadi kupikir kau akan kuundang
menatapku lagi - lebih dekat dan berdua saja. Misalnya di sini di
pinggir danau nanti malam."
"Uh, aku..." Beberapa saat Holly tidak tahu apa yang harus
dikatakannya. Seperti biasa kalau berada di dekat Mick, dia selalu
kehilangan rasa percaya diri dan agak sedikit takut. Tapi Mick tampan
dan dia sendiri tidak keberatan bertemu Mick. "Boleh juga," katanya.
"Kedengarannya menyenangkan. Aku ke sini nanti setelah para
peserta tidur." ****************** Malam itu, ketika duduk menunggu di dermaga sambil
memandang pantulan cahaya bulan di permukaan danau, Holly
berpikir tentang Mick. Dia betul-betul menyukai Mick, tapi ada
sesuatu yang terasa aneh pada diri Mick, sesuatu yang... tidak pas.
Mungkin malam ini dia bisa tahu apa yang erasa kurang pas itu.
"Hai, Holly." Mick datang tanpa bersuara sehingga Holly tidak mengetahui
kedatangannya sampai Mick duduk di sampingnya.
"Mick!" katanya. "Kau mengagetkanku."
"Kelihatannya aku selalu mengagetkanmu," kata Mick. Ia
memakai kaus putih ketat melekat ke tubuhnya dan jins buntung. Ia
terlihat tampan, dan sadar betul akan ketampanannya.
"Indah sekali di sini," kata Holly.
"Kedengarannya kau sedang menyesuaikan diri dengan camp,"
kata Mick. "Rasanya begitu," Holly setuju. "Ini tahun keduamu sebagai pembimbing, kan?"
"Ketiga," sahut Mick. "Kedua di Camp Nightwing."
"Kenapa kau kembali ke sini?" tanya Holly.
Ia tertawa. "Kenapa tidak?" katanya. "Camp ini bagus,
walaupun Paman Bill tak membayar setinggi beberapa camp lain. Dan
ini dekat tempat tinggalku."
"Di mana tempat tinggalmu?"
"Percaya atau tidak, sebuah tanah pertanian," kata Mick sambil tersenyum kecil.
"Tak jauh dari Belleville."
Sejenak Holly bungkam. Mick kelihatan "canggih" sehingga
tadinya Holly otomatis mengira dia tinggal di kota besar. "Aku tak tahu
tadinya," hanya itu yang bisa dikatakannya.
"Banyak yang tak kauketahui tentang aku," kata Mick.
Holly menatapnya di bawah cahaya bulan. Mick terlihat beda
saat itu, tidak menakutkan atau ditinggal pergi oleh pikirannya yang
terbang entah ke mana seperti biasanya. Mungkin ia salah menilai
Mick selama ini. "Aku - aku ingin lebih mengenalmu," katanya,
mengandung lebih dari satu arti.
"Berarti kita berdua sama," kata Mick. Dengan sikap wajar ia merangkulkan
tangannya ke bahu Holly. "Maksudku," kata Holly, bergeser menjauh, "sebagai teman."
"Tak masalah," kata Mick, menariknya lebih dekat. "Karena aku merasa kita teman
dekat sekarang." Bukan ini yang kumaksud, pikir Holly. Dia tidak menginginkan
ini - atau barangkali ya" "Sungguh, Mick," katanya. "Aku ingin lebih mengenalmu,
tapi pelan-pelan." Dengan tegas dilepasnya rangkulan
Mick. "Hei!" kata Mick. "Kenapa" Tadi kau menatapku seharian, lalu kau bilang ingin
lebih mengenalku - "
"Memang!" kata Holly. "Tapi tak seperti yang kaupikirkan."
"Hebat!" kata Mick. "Kau tahu, Holly" Menurutku kau tak tahu apa yang
kauinginkan!" Ia menyambar Holly dan menariknya dekat-dekat sehingga wajahnya
hampir menyentuh wajah Holly.
Holly sangat ingin Mick menciumnya, tapi dia takut dan merasa
situasi sudah tidak terkendali. "Lepaskan aku!" teriaknya sambil berontak.
Sekuat tenaga ia mendorong Mick sehingga Mick jatuh dari
dermaga, tercebur ke danau dengan bunyi tercebur keras. Holly tidak
bisa menahan tawanya. "Maaf!" katanya pada Mick. Ia mengulurkan tangan untuk
membantu Mick naik, tapi Mick tidak menyambut tangannya.
"Sudah! Biar saja!" kata Mick. "Lain kali kalau kau ingin lebih mengenalku, akan
kukirim surat saja!"
Mick sangat marah sehingga Holly mundur. Ia melihat Mick
meninggalkan dermaga berlari-lari sepanjang jalan setapak menuju ke
pondoknya. Ketika Holly berjalan kembali ke pondoknya, sesosok tubuh
muncul menghadang di depannya. Dengan terkejut Holly melihat
orang itu adalah Geri, wajahnya yang pucat berkerut marah.
"Kulihat dan kudengar semuanya," desis Geri. "Aku tahu apa yang ingin
kaulakukan, Holly. Aku tahu semuanya!"
"Aku tak tahu apa maksudmu!" seru Holly, tanpa sadar ia
melangkah mundur. "Dulu kaurusak hidupku waktu di Waynesbridge," Geri
meneruskan dengan marah. "Dan sekarang kau ingin merebut Mick.
Kau takkan berhasil, Holly. Kau takkan berhasil!"
Chapter 15 ESOK paginya, ketika berjalan ke ruang makan, Holly seperti
orang linglung. Dia hampir tidak bisa tidur tadi malam, setelah
kejadian dengan Mick dan Geri.
Dan dia tidak semakin dekat dalam penyelidikannya mencari
tahu apa yang terjadi di camp.
"Holly, awas!" Holly mengangkat kepalanya dan masih sempat melihat sebuah
bola sofbol melayang ke rahnya.
"Oh!" serunya sambil mengelak.
"Anak-anak, hati-hati memukul bola, lihat arahnya!" seru Sandy pada beberapa
anak, lalu lari mendekati Holly. "Kau tak apa-apa?"
tanyanya. "Tak apa-apa," sahut Holly. "Terima kasih."
"Pikiranmu kelihatannya jutaan kilometer dari sini."
"Tepatnya, aku berharap berada jutaan kilometer dari sini," kata Holly.
"Masih punya masalah dengan kehidupan di alam?" tanyanya
bersimpati. "Lebih dari itu," kata Holly. "Semuanya... semuanya jadi masalah."
"Wah," kata Sandy. "Pelan-pelan, Holly. Takkan seburuk itu.
Ingin menceritakannya padaku?"
"Rasanya tidak," jawab Holly. "Urusannya pribadi."
"Oh," kata Sandy, terlihat kecewa. "Maaf, aku hanya berusaha membantu."
"Aku tahu," kata Holly. Tempat ini seperti rumah sakit gila, pikirnya. Kenapa
semua orang mudah tersinggung" Ia menghela
napas. "Aku cuma - aku cuma tak ingin membuatmu bosan dengan
masalah-masalahku." "Tidak, kau takkan membuatku bosan," kata Sandy. "Apa yang mengganggu pikiranmu"
Ceritakan pada Paman Sandy."
Tiba-tiba Holly sadar bahwa dia ingin bicara tentang masalahmasalahnya. Salah satu masalahnya adalah karena tidak ada orang
yang mau mendengarnya. Paman Bill terlalu sibuk, dan Thea repot
dengan masalahnya sendiri dengan John.
"Ya, kenapa tidak," katanya. "Terima kasih." Ia mengikuti Sandy ke sebongkah
batu besar di bawah sebatang pohon, lalu
menceritakan masalah tiga "kecelakaan" dan bulu-bulu merah itu.
"Aku tahu kedengarannya aneh," ia menutup ceritanya, "tapi aku merasa seseorang
sedang berusaha menghancurkan camp ini."
Tadinya ia ingin menambahkan peristiwa ular di tempat tidurnya, tap i
memutuskan tidak menceritakannya karena takut menimbulkan kesan
bahwa dia penakut. "Tapi untuk apa orang berbuat begitu?" tanya Sandy. "Tak masuk akal."
"Aku tahu," kata Holly. "Tapi barangkali kalau tahu siapa yang berbuat, aku akan
tahu sebabnya." "Mungkin," kata Sandy. Tapi Holly melihat bahwa Sandy tidak
percaya padanya. "Begini saja," kata Sandy sesaat kemudian. "Aku mengerti
mengapa kau kuatir. Siapa pun akan kuatir, terutama karena
Paman Bill adalah pamanmu. Mungkin kesulitannya adalah karena
kau terlalu dekat pada masalahnya."
"Apa maksudmu?" tanya Holly.
"Kauhabiskan seluruh waktumu mengurus anak-anak,
membantu orang lain. Padahal kau belum biasa dengan kehidupan di
alam. Kau belum sempat punya waktu untuk menikmatinya. Mungkin
kau bisa berpikir lebih jernih bila kau di luar camp."
"Maksudmu?" tanya Holly.
"Minggu depan aku akan memimpin perjalanan lintas alam,"
katanya. "Kau tak tahu" Kau ditunjuk untuk ikut sebagai asisten
pembimbing berperahu."
Perjalanan lintas alam" Holly ingat ia pernah mendengar
beberapa peserta bicara tentang itu. Tapi dia terlalu sibuk sehingga
tidak sempat melihat jadwal tugas untuk melihat siapa saja yang akan
pergi. "Hanya beberapa pembimbing dan beberapa peserta yang sudah
agak besar," Sandy meneruskan dengan antusias. "Pasti asyik."
"Ke hutan?" tanya Holly. "Aku?"
"Cocok untukmu," kata Sandy. "Mungkin kau lebih bisa di luar rumah dari yang
kaukira." "Entahlah, aku tak tahu," kata Holly.
"Cuma satu malam," Sandy meneruskan. "Dan Paman Bill pasti menilai kau bisa,
kalau tidak dia takkan memasukkan namamu.
Jangan takut, Holly. Pasti menyenangkan. Kita akan berkano di White
River." "Kano" Kukira kano kita sudah rusak semua," kata Holly.
"Kita sewa kano di sana. Lebih mudah daripada membawabawa kano dari sini. Pasti kau akan suka. Percayalah."
Belakangan, ketika berjalan ke pondok prakarya, Holly berpikir
tentang perjalanan lintas alam itu. Tambahan pikiran lagi! Ketika ia
melewati gedung utama, dilihatnya Thea dan John berdiri di jalan.
Mereka kelihatannya sedang bertengkar. Sebentar kemudian John
pergi, dan Thea tetap berdiri, tanpa bergerak.
"Thea," kata Holly, mendekati temannya. "Ada apa?"
Thea kelihatan seperti menahan tangis. "Itu, si John," katanya sedih. "Akhirnya
kutanyakan juga kenapa dia tak menemuiku malam
itu. Tahu apa katanya?"
Holly hanya mengangkat bahu.
"Katanya - dengar baik-baik - katanya dia sedang menulis
surat! Kau pernah dengar alasan konyol seperti itu?"
"Sabar," kata Holly, "mungkin memang dia benar-benar
menulis surat waktu itu. Atau mungkin dia lupa dan malu
mengakuinya padamu."
"Atau mungkin bulan betul-betul terbuat dari keju!" kata Thea.
"Tidak. Bukan itu. Aku tahu apa yang terjadi sekarang. Yang terjadi adalah tak
terjadi apa-apa. Jelas John tak peduli lagi padaku. Mungkin memang dari dulu
juga tak pernah peduli! Aku merasa seperti orang
tolol!" "Aku tahu apa yang kaurasakan," kata Holly bersimpati. "Itu salah satu sebabnya
mengapa aku bilang mau cuti dari cowok selama
musim panas ini." "Aku rasanya mau cuti seumur hidupku!"
"Sabar, Thea," kata Holly. "Kau kan belum sampai serius sekali dengan John."
"Ya, memang," kata Thea. "Dan rasanya aku juga sudah
setengah mengira hal ini akan terjadi. Tapi aku rasanya betul-betul
seperti orang tolol!"
"Tak usah merasa begitu, karena kau tak begitu. Dan masih
banyak cowok lain di camp."
"Aku percaya kalau kau yang bilang," kata Thea.
"Apa maksudmu?" kata Holly.
"Iya," kata Thea, senyumnya mulai muncul lagi. "Aku dengar kau berduaan dengan
Mick di danau tadi malam."
"Itu tak ada apa-apa," kata Holly cepat-cepat, berpikir jangan-jangan seluruh
camp menggosipkan dirinya.
"Dan bagairnana dengan Sandy?" Thea meneruskan.
"Kenapa dengannya?" tanya Holly, merasa semakin canggung.
"Setiap kali aku menoleh kulihat kau bicara dengannya. Bagi
seseorang yang sedang cuti dari cowok, kau sungguh sangat sibuk."
"Sandy cuma teman biasa," kata Holly.
"Betul?" kata Thea. "Aku senang mendengarnya. Karena
menurutku dia sangat tampan. Dan begitu sembuh dari patah hati,
mungkin aku akan mencoba peruntunganku dengannya."
Ia mengedipkan mata pada Holly, dilebih-lebihkan, lalu
berjalan pergi. Holly lega melihat Thea menyikapi "putusnya" dengan John dengan
baik. Ia membuka pintu pondok prakarya dan dilihatnya
anak-anak kelompoknya duduk di sepanjang meja kayu pendek,
membuat pot-pot tanah liat sederhana dengan tangan. Di tengah
ruangan Debra duduk di depan meja putar, sedang menyelesaikan
sebuah vas. "Maaf aku terlambat," kata Holly walaupun hanya satu-dua
menit terlambat. Debra tidak menjawab, hanya meliriknya dengan
sebal. Baik, pikir Holly. Tapi dia tidak akan membiarkan sikap negatif
Debra mengganggunya, karena kalau itu terjadi, ia tidak akan bisa
mengerjakan apa pun. Ia menarik napas lalu membantu anak-anak
perempuan itu mengerjakan pot mereka. Mereka sangat bergairah,
terutama Stacey, yang ingin melukis sebuah wajah pada potnya. Holly
memperlihatkan padanya bagaimana caranya, lalu mulai menjelaskan
pada anak-anak perempuan itu bahwa membakar pot di tempat
pembakaran akan membuat pot-pot itu keras.
"Seperti membakar kue?" tanya Jessica.
"Hampir seperti itu," jawab Holly. "Dan juga akan membuat warna-warnanya lebih
cerah. Pot ini," katanya, menunjuk pot yang
belum dibakar, "kelihatannya tak menarik. Tapi setelah dibakar,
warnanya akan jadi hijau cerah seperti yang ini." Ia mengangkat pot cantik
bertandakan Debra di sisinya.
"Ooh, coba lihat!" seru Stacey sambil melompat berdiri dan
menghambur ke Holly. "Hati-hati," kata Holly. "Ini sangat - "


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi terlambat. Dalam ketergesaannya, Stacey telah menampel
pot itu dari tangan Holly, dan pot itu jatuh dan hancur berkepingkeping di lantai. Debra melompat dari depan roda pemutar. "Apa yang
kaulakukan?" jeritnya. "Tak bisakah kau melakukan apa pun dengan benar?"
******************** Sepanjang sisa sore itu Holly mengerjakan tugas-tugasnya bagai
robot. Tidak bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal buruk yang ia
tahu sedang terjadi. Belum pernah ia merasa terkucil seperti ini.
Semua orang tidak mau mendengarkannya - Paman Bill, juga Thea,
yang kelihatannya menganggap Holly cuma paranoid, takut dan curiga
pada bayangan sendiri. Untungnya sore itu agak tenang, tidak seperti biasanya.
Sebagian besar pembimbing senior pergi ke kota kecil di dekat situ
yang sedang mengadakan bazar. Separo peserta sedang ikut acara
piknik, sehingga hanya kelompok Holly dan tiga kelompok lain yang
ada di tepi danau. Setelah acara berenang terakhir hari itu, Holly
membiarkan anak-anak lari pulang lebih dulu, dan ia memilih jalan
memutar melalui lapangan tempat api unggun.
Ia sudah di jalan kecil menuju ke Pondok Lima ketika seekor
labah-labah besar yang menakutkan meluncur turun ke depan
wajahnya. Ia meloncat mundur, lalu melihat Kit berdiri di pinggir
jalan kecil itu, mengayun-ayunkan serangga karet itu dengan seutas
tali. Tanpa bisa ditahan emosi Holly meledak. "Kenapa tingkahmu
kayak anak kecil?" teriaknya pada Kit. "Memang aku pernah salah apa padamu?"
"Bagaimana dengan Geri?" kata Kit dengan senyum jahat. "Aku dengar kau banyak
salah padanya." "Itu urusanku dengan Geri!" kata Holly. "Lagi pula - "
"Aku punya berita untukmu," Kit memotong. "Kau akan
menghadapi masalah serius. Bukan cuma lelucon."
Lalu wajahnya berubah, dari mengejek menjadi mengancam.
Holly mundur selangkah, dan Kit maju selangkah mengikutinya.
"Jangan ganggu aku!" teriak Holly sekuat tenaga. Ia merunduk masuk ke tengah
pepohonan dan mulai lari, sampai akhirnya berhenti
mengambil napas di tempat yang agak terbuka di tengah hutan.
Tiba-tiba ia merasa kedua lengannya disergap dari belakang.
"Kit, kau brengsek!" katanya sambil berontak sekuat tenaga.
"Wah, begitu caramu bicara, ya." Itu bukan suara Kit.
Suara Mick. Mick yang menyergapnya dari belakang.
"Lepaskan aku!" seru Holly, meronta mencoba melepaskan diri
dari sepasang lengan kuat itu. "Mau apa sih kau?"
"Mengundangmu ke pesta kecil kami," sahut Mick, suaranya
tenang dan dingin. "Dia tak senang undanganku tadi," kata Kit, muncul di depan
Holly, membawa labah-labah palsu tadi.
"Sayang sekali," kata Mick. "Mungkin dia lebih suka undangan pesta ini."
Sekarang Geri muncul. Mulutnya tersenyum mengejek, dan
kedua tangannya memegangi sebuah ember.
Sambil memegangi ember itu di depan, ia berjalan mendekati
Holly. "Aku tahu kau takut hidup di alam bebas, Holly," kata Geri,
masih tersenyum jahat. "Jadi ini kesempatanmu untuk melihat semua mimpi burukmu
jadi kenyataan." Holly terus meronta-ronta, tapi tidak ada hasilnya. Bagaimana
semua ini bisa terjadi" pikirnya. "Kumohon," katanya. "Lepaskan aku, kumohon."
"Nanti, setelah kau dapat pelajaran," kata Mick. "Setelah kau tahu kau tak lebih
hebat dari orang lain."
Geri menyorongkan ember itu ke dada Holly. Di dalam ember,
menggeliat-geliat di air kotor, ada setengah lusin lintah menjijikkan.
Chapter 16 "IH!" Holly menjerit jijik dan menoleh ke arah lain.
"Kau suka ini?" kata Geri. "Kami tangkap ini khusus buatmu."
Kit tertawa. Mick dan Geri ikut tertawa.
Holly mencoba meyakinkan diri bahwa mereka cuma bercanda
mengganggunya. Tapi dia tidak lupa kemungkinan bahwa salah satu
dari mereka bisa saja sangat berbahaya. Atau ketiganya sama-sama
berbahaya - mereka bertiga bekerja sama"
"Kau selalu mencari masalah, ya kan, Holly?" kata Geri seakan membaca pikiran
Holly. "Nah, kami cuma ingin kau tahu kami tak
suka perangaimu!" "Geri, aku tak pernah melakukan apa pun - "
"Jangan bilang begitu!" Geri memotong kalimatnya. "Kau
sengaja merusak hidupku dua tahun lalu. Waktu itu aku sudah bilang
akan kubalas suatu hari nanti. Dan hari itu telah tiba." Ia
menyorongkan ember itu lebih keras ke tubuh Holly.
"Bagaimana rasanya, Holly?" Geri melanjutkan. "Bagaimana rasanya tak berdaya,
bagaimana rasanya tahu hidupmu tergantung
pada orang lain?" Geri sangat dekat sekarang, sehingga Holly bisa mendengar
napasnya. Apa yang akan dilakukannya" pikir Holly.
Beberapa lama Geri hanya menatap Holly, wajahnya dingin
tanpa emosi. Lalu, tiba-tiba, ia berbalik dan berjalan pergi
meninggalkan tempat terbuka itu.
"Bawa dia ke sini," kata Geri.
Mick dan Kit masing-masing memegang satu lengan Holly dan
mendorongnya ke anak sungai kecil yang mengalir melalui hutan itu.
"Miss Sempurna. Miss Terlalu Hebat bagi Semua Orang. Kau
tak terlihat sempurna," kata Geri. "Mungkin kau perlu mandi." Lalu tanpa
disangka-sangka ia menjambret baju Holly dan mendorongnya
ke anak sungai itu. Holly jatuh dengan keras, jatuh berlutut. Air di situ dangkal,
sehingga ia jatuh ke dasar sungai yang berlumpur tebal. Rasanya
dingin dan lengket - dan bau daun busuk. Aku tak mau mereka
melihat betapa takutnya aku, katanya dalam hati. Apa pun yang akan
mereka lakukan lagi, aku takkan membiarkan mereka tahu aku takut
pada mereka. Ia berdiri dan mencoba naik ke tepi, tapi kakinya tergelincir di
lumpur yang licin dan ia jatuh terjengkang. Mick tertawa keras. "Tak lucu kalau
yang jatuh ke air kau sendiri, kan?"
"Diam kau!" jerit Holly. "Kelakuan kalian seperti anak kecil.
Aku tak heran kalau Kit melakukan sesuatu seperti ini - tapi kau, apa
alasanmu?" Ia menatap Mick dengan dingin.
"Oh, santailah sedikit," kata Kit. "Semua pembimbing baru harus dipelonco. Itu
sudah tradisi di sini. Ya kan, Geri?"
Geri tidak memedulikan pertanyaan Kit. Ia menatap Holly, sinar
matanya penuh kebencian. "Rasanya Holly kesepian," kata Geri. "Rasanya dia perlu teman mandi." Ia
mengambil ember berisi lintah itu dan, sebelum Holly
sempat bergerak, menuangkannya ke tubuh Holly.
Holly menjerit dan berusaha mati-matian naik ke tepi, tapi
lumpurnya sangat licin, dan dia jatuh lagi berkali-kali.
"Cukup," kata Mick pada Geri, tapi tidak berusaha menolong
Holly naik ke tepi. Holly menatap ke bawah. Dua lintah menjijikkan menggeliatgeliat di baju kausnya yang basah kuyup. Kakinya terasa perih dan
dilihatnya seekor lintah menempel di betisnya.
"Tidak!" teriaknya. "Tidak!"
Ini benar-benar mimpi buruk, pikir Holly. Ini pasti cuma mimpi.
Hampir putus asa, ia menoleh memandang Geri, berharap
menemukan sedikit sisa-sisa persahabatan mereka dulu.
Tapi wajah Geri dingin, sedingin air berlumpur yang mulai
membuat Holly menggigil. Lalu ia melihat sesuatu di belakang Geri yang membuatnya
lebih menggigil lagi. Ada orang keempat berdiri di tepi pepohonan, menonton.
Sandy. Holly tidak terlalu yakin. Matanya silau oleh sinar matahari.
Tapi kelihatannya seperti Sandy.
Dan orang itu juga tersenyum - senyum jahat tanpa rasa
kasihan. "Tolong!" teriaknya. Terasa seekor lintah bergerak naik di
pundaknya menuju ke leher.
Ketika ia melihat lagi, Sandy sudah pergi. Mungkin dia cuma
membayangkan melihat Sandy di sana.
"Bagaimana pestanya, Holly?" kata Geri. "Sudah mulai belajar"
Janji tak ikut campur urusan orang lain mulai sekarang?"
Mereka akan melepasku, pikir Holly lega.
"Atau barangkali kau perlu betul-betul diajar?" Geri
meneruskan. Jantung Holly berdebar kencang lagi, berdegup ketakutan.
"Ayo, Geri, itu sudah cukup," kata Mick. "Sudah hampir
malam. Kita harus balik. Sudah hampir waktu makan malam."
Holly heran dengan perubahan sikap Mick yang begitu
mendadak. Mick membuang pandang menghindari tatapan Holly, lalu
menarik lengan Geri. "Ayo," katanya.
Sambil masih sempat melempar senyum jahat, Geri berbalik
dan berjalan pergi dengan Mick. Kit mengikuti mereka dari belakang
seperti anak anjing. Sudah selesai, pikir Holly.
Akhirnya ia berhasil naik ke tepi, lalu, dengan tangan gemetar
karena jijik, ia menarik lepas lintah yang menempel di kakinya.
Sebetulnya tidak sakit, tapi terlihat noda merah berbentuk oval di
kulitnya. Dengan panik ia meraba-raba seluruh lengannya dan di
bawah bajunya, tapi tak ada lintah yang melekat di sana.
Dengan kaki gemetar ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke
pondoknya. Ia merasa dingin, basah, dan sengsara.
Mereka tak betul-betul menyakitiku, pikirnya. Mereka cuma
ingin menakut-nakutiku. Yah, mereka berhasil. Tapi mereka takkan tahu. Aku takkan membiarkan mereka tahu
betapa takutnya aku. Sesaat Holly berniat memberitahu Paman Bill. Tapi kemudian
ia memutuskan tidak. Itu hanya akan membuat situasi lebih buruk, itu
pun kalau Paman Bill percaya.
Sekarang ia semakin yakin salah satu dari ketiga orang itu Mick, Kit, dan Geri - tahu mengenai apa yang sedang terjadi di camp.
Dia tidak paranoid, dia bukannya takut dan curiga pada bayangan
sendiri. Mereka ingin menyakitinya, bukan cuma lelucon! Tepat saat
itu tiba-tiba pikirannya terputus oleh sebuah teriakan ketakutan.
"Tidak! Jangan!"
Chapter 17 HOLLY menghentikan langkahnya dan berdiri terpaku di antara
pepohonan, ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Teriakan itu tidak terulang, sehingga perlahan-lahan ia mulai
melangkah lagi. Tapi mendadak, seperti tadi, jeritan itu terdengar lagi: "Tidak!"
Saat itu Holly melangkah ke tempat terbuka yang tidak begitu
besar dan sekilas melihat seperti ada orang yang baru lari dari sana.
Sesaat kemudian ia melihat John muncul dari balik sebatang pohon ek
besar. "John!" katanya, terkejut. "Apa yang kau - "
"Holly!" seru John, sama terkejutnya. Tangannya bergerak
cepat, dan Holly merasa ia menyembunyikan sesuatu di balik
punggungnya. "Ada apa?" tanya Holly. "Dengan siapa kau di sini?"
"Hah" Tak ada siapa-siapa," sahut John.
"Aku lihat ada orang lari," kata Holly. "Aku pikir - "
"Tidak, aku cuma sendirian di sini," kata John, mulai ada nada marah dalam
suaranya. "Lagi pula kenapa kau memata-mataiku?"
"Memata-mataimu?" Holly tidak percaya pendengarannya.
"Aku basah kuyup dan penuh lumpur - satu-satunya yang kuinginkan
adalah kembali ke pondok secepat-cepatnya."
"Ya, ya!" kata John sinis. "Itu yang kauinginkan! Dengar, aku tak peduli apakah
kau keponakan Paman Bill, kalau tak cepat-cepat
pergi kau akan menyesal!"
"Tapi aku cuma - oh, sudahlah!" Dengan frustrasi Holly
mengentakkan kaki dan berjalan kembali ke arah pondoknya. Setelah
semua kejadian tadi, sekarang ini.
Kenapa sih si John" Kenapa dia sampai begitu marah" Kenapa
semua orang gampang marah padanya"
Hari sudah malam. Dia tidak ingin dapat masalah baru dengan
Debra, jadi dia mulai berlari.
Tapi sebelum tiba di tempat aman, ia mendengar langkahlangkah orang berlari di belakangnya, makin lama makin dekat.
Apakah John mengejarnya"
Ia mempercepat larinya, dan lalu, tiba-tiba, bertubrukan dengan
seseorang. Ia merasakan lengan-lengan kuat menangkapnya dari
belakang. Ia berbalik dan menatap wajah Sandy yang keheranan.
"Holly!" kata Sandy. "Maaf. Apa yang terjadi denganmu?"
"Ceritanya panjang," jawab Holly. "Aku - aku sedang jalanjalan, dan jatuh ke
kali." Holly meneliti wajah Sandy mencari tanda-tanda rasa bersalah karena telah
membantu Geri. Tapi tidak
ditemukannya. "Kau baik-baik saja?"
"Ya," sahut Holly dengan nada capek. Di wajah Sandy ia hanya melihat
persahabatan dan rasa prihatin. Pasti tadi cuma bayangannya
waktu ia mengira melihat Sandy di tepi kali.
"Betul kau tak apa-apa?" Sandy mengulangi pertanyaannya.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Aku tak memperhatikan ke mana aku melangkah, dan aku
terpeleset," kata Holly.
"Cuma itu saja?" kata Sandy.
"Ya, lalu aku ketemu John," kata Holly. "Dia membuatku agak jengkel. Dia
bersikap seakan-akan aku memergokinya sedang
merampok bank atau semacam itu. Ia membentak-bentakku dan
mengancamku." "Betul?" kata Sandy. Ia menggeleng-geleng. "Dia memang
punya tabiat angin-anginan."
"Kelihatannya begitu," kata Holly. "Aku sama sekali tak mengerti kenapa dia
sampai marah-marah begitu."
"Kau mengalami musim panas yang buruk kali ini, ya?" kata
Sandy bersimpati. "Tak separah Paman Bill," kata Holly tanpa semangat. "Kalau saja aku bisa
membuatnya mendengarkanku. Kalau saja aku bisa
membuat seseorang mendengarkanku."
"Aku tahu apa yang kaurasakan," kata Sandy. "Mungkin tak persis. Tapi aku tahu
bagaimana rasanya bila kau tahu sesuatu yang
buruk terjadi dan tak ada orang yang mau mendengarkanmu."
"Betul?" kata Holly.
Sandy mengangguk. "Suatu hari nanti akan kuceritakan,"
katanya. Ia tersenyum, dan Holly mulai merasa tenang dan aman
untuk pertama kalinya hari itu. Beberapa saat mereka hanya saling
menatap, lalu Sandy melihat jam tangannya. "Hei," katanya. "Aku hampir lupa. Aku
punya sesuatu untukmu. Aku baru dapat daftar
terakhir siapa yang akan ikut dalam perjalanan lintas alam." Ia
merogoh sakunya, lalu memberikan selembar kertas terlipat.
"Terima kasih," kata Holly. "Sampai ketemu makan malam
nanti." Pondok kosong, dan Holly menjatuhkan dirinya ke tempat tidur,


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaring sebentar. Ketika ia sedang membuka baju mau mandi,
lipatan kertas yang diberikan Sandy tadi jatuh ke lantai. Diambilnya
kertas itu dan dilihatnya isinya.
Ada lima belas peserta camp musim panas yang akan ikut
perjalanan lintas alam. Semuanya sudah agak besar, dan tidak satu pun
yang betul-betul dikenalnya.
Tapi ketika ia membaca nama-nama para pembimbing yang
akan ikut, jantungnya berdegup kencang lagi. Di samping Holly,
Sandy, dan Stewart Winchester pembimbing panahan, pembimbingpembimbing lain yang ada di daftar itu adalah Mick, Kit, dan Geri.
Chapter 18 "HOLLY?" Thea mengetuk pintu. "Hei, kau ada di dalam?"
Holly sedang berpakaian, akan makan malam. "Bagaimana
kabarmu?" "Baik sekali," sahut Thea. "Kau sendiri?"
Dengan singkat Holly menceritakan masalah terbarunya dengan
Geri. "Aku tak tahu harus berbuat apa," katanya setelah selesai bercerita. "Geri
betul-betul kelewatan. Dia membuatku benar-benar takut. Dan dengan Debra pun
sama buruknya. Sore tadi Jessica sampai
tanya kenapa aku dan Debra saling tak menyukai."
"Seburuk itu?" tanya Thea.
"Sampai aku berpikir bagaimana caranya menghindarinya. Tapi
masalahnya aku asistennya, jadi tak mungkin."
"Mungkin keadaan akan lebih baik setelah dia lebih
mengenalmu," kata Thea bersimpati.
"Mungkin," kata Holly. "Tapi aku tak terlalu berharap." Ia melihat jamnya. "Hei,
hampir makan malam. Ke mana Debra"
Biasanya dia ada di sini membantu anak-anak membersihkan badan."
"Aku tak tahu," sahut Thea. "Aku sudah suruh anak-anakku langsung ke ruang
makan. Aku bisa bantu kau."
Holly pergi ke pintu memanggil anak-anak asuhannya masuk.
Lalu ia dan Thea membantu mereka membersihkan badan. Kulit
Jessica terbakar matahari dan ia tidak mau membasuh mukanya, tapi
Holly melumurkan salep dingin, dan tidak lama kemudian anak
perempuan itu sudah tersenyum lagi.
Kalau saja semua di camp semudah bekerja dengan anak-anak
perempuan ini! pikirnya. Sambil berjalan ke ruang makan, ia mencari-cari Debra. Di
mana sih dia" Ia berpikir mungkin Debra sengaja membiarkannya
sendirian untuk mengujinya.
Kalau benar, pikirnya, Debra akan terheran-heran, karena
sejauh ini aku bisa menanganinya sendiri.
Ruang makan lebih ribut daripada biasanya, Thea dan Holly
segera melihat penyebabnya begitu mereka masuk: Kit sedang
bergelantungan pada balok langit-langit, memakai topeng gorila dan
melempar-lemparkan kepingan-kepingan kulit pisang ke meja-meja
makan di bawah. Memang lucu, mau tidak mau Holly juga tertawa melihatnya.
"Kalau dia sedang mencoba menarik perhatian Geri, tak bisa tidak
Geri akan memperhatikannya," kata Holly pada Thea.
"Belum tentu," kata Thea. Mereka berdua menengok ke tempat
Geri duduk. Geri sama sekali tidak mengacuhkan tingkah Kit, seakanakan Kit tidak ada. Beberapa saat kemudian Kit melemparkan kulit
pisang ke Geri, dan benda itu mendarat tepat di tengah baki makanan
Geri. "Kit, brengsek kau!" bentak Geri sambil bangkit berdiri. "Tak lucu!"
"Nguk-nguk," kata Kit dan ia meluncur turun melalui seutas
tambang yang diikatkannya pada balok langit-langit. Masih memakai
topeng gorila-nya, ia mendekati meja Geri, tapi sama sekali tidak
dipedulikan lagi. "Kalau dia tak sekonyol itu, mungkin aku akan kasihan
padanya," kata Thea.
"Debra tak ada di sini," kata Holly, mendadak sadar
pembimbing senior itu masih belum kelihatan.
"Kau yakin?" tanya Thea. "Tak biasanya dia begitu." Ia berdiri dari kursinya
untuk meneliti seluruh ruangan, lalu mengangkat bahu.
"Kau benar," katanya. "John juga tak ada di sini, aneh juga."
"Mungkin mereka pergi berdua ke tempat lain?" tanya Holly.
"Mudah-mudahan tidak!" seru Thea.
"Tapi apa - " Holly berhenti sebentar ketika suatu pikiran
menakutkan muncul di kepalanya. "Thea," katanya, "bagaimana kalau - "
"Bagaimana kalau apa?"
"Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada mereka" Bagaimana
kalau Debra dan John kenapa-napa?"
"Holly," kata Thea. "Jangan terlalu berpikir aneh-aneh.
Mungkin mereka berdua sedang menyelesaikan sesuatu. Atau mereka
lupa waktu. Bagaimanapun aku sudah berjanji pada diriku sendiri
untuk tak memikirkan John lagi, dan aku tak memikirkannya!"
"Aku masih harus memikirkan camp, suka atau tidak, dan aku
tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan," kata Holly.
"Oke," kata Thea, masih bersikap tidak kuatir. "Kalau kau ketemu John, sampaikan
pesanku. Katakan padanya supaya mati saja."
Thea pergi bergabung dengan anak-anak kelompoknya, dan
Holly berhenti sebentar di meja anak-anak Pondok Lima.
Dikatakannya pada anak-anak itu bahwa dia akan mencari Debra agar
mereka bisa makan bersama-sama, lalu ia bergegas pergi ke luar. Ia
membuka matanya lebar-lebar, mencari tanda-tanda adanya masalah.
Tapi camp terlihat tenang dan damai, suasana sunyi, kecuali
suara katak pohon dan gemeresik dedaunan diembus angin lembut
musim panas. Holly pergi dulu ke pondoknya, siapa tahu Debra sudah
kembali. Tapi tak ada Debra atau tanda-tanda Debra pernah ke situ.
Holly menoleh ke arah telaga, tetapi tak seorang pun terlihat.
Akhirnya ia menyimpulkan Debra pasti masih di pondok
prakarya. Dan ia ingat betapa asyik dan seriusnya Debra membuat vas
dan pot tadi. Pasti Debra lupa waktu.
Holly tidak bisa menahan senyum ketika membayangkan ia
mengatakan pada Debra bahwa Debra terlambat.
Ketika sampai di pondok prakarya, dilihatnya pondok sudah
gelap, dan ia hampir tidak jadi masuk. Tapi pada saat terakhir ia
memutuskan untuk memeriksanya juga.
Dibukanya pintu pondok. "Debra?" panggilnya. "Debra, kau di sini?" Satu-satunya jawaban hanya bunyi
dengung aneh. Holly masuk ke pondok, menyalakan lampu. Dan terpaku.
Semua di dalam ruangan - lantai dan dinding-dinding - penuh
dengan cipratan warna merah. Cipratan darah.
Darah yang bepercikan dari meja putar pembuat pot yang
digerakkan listrik. Holly masih menatap tanpa bergerak, ngeri dan mual. Roda itu
berputar kencang, menggerus sesuatu yang terpuruk di permukaannya.
Sesuatu itu tadinya wajah manusia, tapi sekarang hanya sisasisanya, bagaikan bubur darah.
Chapter 19 HOLLY berdiri membeku di ambang pintu, tidak mampu
mengalihkan matanya dari pemandangan mengerikan di depannya.
Debra tertelungkup di atas meja, wajahnya hampir habis
tergerus roda putar. Hanya rambut panjang dikepang yang
menunjukkan bahwa itu Debra.
"Tidak," rintih Holly tanpa sadar. "Tak mungkin."
Dengan tangan gemetar ia mencabut kabel roda putar dan
mendekati tubuh Debra, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan.
Tapi Debra diam tidak bergerak, diam bagai kematian.
Holly mengulurkan tangan meraba urat nadi di pergelangan
tangan Debra, tapi kulit Debra sudah terasa dingin.
Debra takkan bangun lagi. Selamanya.
Sekarang setelah dia lebih dekat, Holly bisa melihat apa yang
terjadi. Liontin burung hantu yang selalu dipakai Debra di lehernya
tersangkut di roda. Pasti kalung itu yang menariknya ke bawah.
Mencekiknya. Di sekitar Debra berserakan barang-barang prakarya. Waktu
meronta melawan tarikan roda Debra pasti menggapai-gapai dengan
panik dan menjatuhkan barang-barang itu dari rak di belakangnya. Ke
mana pun ia melihat, Holly melihat tumpahan cat, manik-manik, bulu,
sobekan kulit, dan lain-lain.
Dia melawan sampai mati, pikir Holly. Melawan roda itu.
Atau jangan-jangan Debra melawan seseorang, seseorang yang
membunuhnya" Ruangan itu mulai terasa bergoyang. Holly merasa pusing. Aku
ingin muntah, pikir Holly.
Tidak, jangan, pikirnya. Ia menarik napas dalam-dalam. Setelah
agak tenang ia mulai berpikir. Ketika pertama kali menemukan Debra
tadi, ia mengira kematian Debra disebabkan oleh kecelakaan. Tapi
sekarang ia tidak begitu yakin.
Bagaimana Debra, yang sudah berpengalaman, bisa mengalami
kecelakaan seperti ini" Tak masuk akal.
Takkan terjadi pada Debra. Debra yang hati-hati dan
berpengalaman. Tapi siapa yang ingin mencelakainya" Dan kenapa"
Mendadak Holly mendapat gagasan: Mungkin ini ada
hubungannya dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Bulu kuduknya
berdiri. Kali ini lebih dari sekadar kecelakaan.
Kali ini pembunuhan. Dan yang terbunuh temannya sesama pembimbing Pondok
Lima. Tiba-tiba terdengar suara di belakangnya.
Ia meloncat kaget sambil menjerit.
Ketika ia menengok ternyata itu John Hardesty.
"Holly?" kata John. "Kulihat pintu terbuka, dan aku - "
Seketika ia berhenti bicara. Matanya membelalak, wajahnya berubah
pucat pasi. "Oh, John!" jerit Holly, lalu lari menubruk John. Ia jatuh ke pelukan John,
sesaat mengira dirinya akan pingsan.
"Ap - apa yang terjadi?" bisik John.
"Aku tak tahu," kata Holly. "Kelihatannya kalung Debra
tersangkut di roda putar. Aku sedang mencarinya, dan kutemukan dia,
dan... dan..." "Tenang," kata John, mengusap punggung Holly. Tapi suaranya
sendiri gemetar. "Kita harus panggil dokter," katanya.
"Sudah terlambat memanggil dokter," kata Holly. Lalu sepercik gagasan memualkan
muncul di kepalanya. "John - kenapa kau tak ada
di ruang makan?" "Apa?" tanyanya bingung. "Makan" Oh! Tadi ada yang harus kukerjakan dulu. Memang
kenapa?" "Tidak apa-apa," sahut Holly.
"Begini saja," kata John, suaranya bergetar. "Kau di sini saja dulu dengan dengan Debra. Aku panggil Paman Bill."
"Baik," kata Holly. Ia memandang John berjalan pergi. Lalu,
dengan menghindari melihat ke arah Debra, ia duduk di bangku
menghadap ke pintu. Aku tak percaya ini bisa terjadi, pikirnya.
Kematian mengerikan! Ia meneruskan lamunannya: Mungkin seharusnya ia bisa
berusaha lebih keras, melakukan segala sesuatu dengan cara berbeda,
sehingga ia dan Debra bisa berkawan. "Maafkan aku, Debra," katanya.
Tanpa sadar ia menoleh ke tubuh tidak bernyawa itu.
Dan terpaku membeku. Tidak terlihat olehnya sebelumnya, tapi sekarang, karena duduk
dia bisa melihat tempat liontin itu tersangkut di roda.
Dan dia bisa melihat sesuatu yang ikut terbelit bersama kalung
itu. Benda itu berlumur darah - dan sudah rusak sehingga hanya
tinggal sisa-sisanya terselip di roda. Tapi Holly yakin sekali apa yang
dilihatnya. Benda apa itu tadinya.
Sehelai bulu merah. Chapter 20 Camp Nightwing Dear Chief, Coba tebak. Aku memutuskan belajar membuat pot.
Dan ternyata tidak mengecewakan. Sangat bermanfaat.
Rasanya bahkan pembimbing prakarya pun tidak tahu bahwa
membuat pot bisa sangat berbahaya. Kalung dengan liontin itu
kelihatan cocok melingkar di lehernya, tapi tidak secocok kedua
tanganku. Polisi datang. Mereka menanyai semua orang. Tapi mereka
yakin itu kecelakaan. Kecelakaan tragis. Mereka bahkan tidak memperhatikan kartu namaku.
Padahal kutinggalkan di tempat yang takkan terlewat dari
pandangan mereka. Itu saja dulu. Bagaimana menurut pendapatmu, Chief" Perlukah
kubunuh yang satunya juga"
Terserah kau. Cepat-cepat tulis surat padaku dan beritahu aku apa yang kau
ingin kulakukan. Salam dari, Aku Chapter 21 MALAM itu malam terpanjang dalam hidup Holly. Polisi
datang dan menanyai semua orang sampai hampir pukul tiga pagi.
Dan mereka sudah datang lagi pagi-pagi sekali. Para ahli memeriksa
pondok prakarya sekali lagi.
Jelas terlihat bahwa mereka berpikir semua ini hanya
kecelakaan. Semua berpikir begitu - kecuali Holly.
Dan Geri. Ketika Holly sedang berjalan ke ruang makan untuk sarapan,
Geri tiba-tiba merenggut tangannya. Wajah Geri bebercak-bercak
karena kurang tidur dan banyak menangis. "Kau senang Debra sudah
tak ada, kan?" kata Geri.
Holly terperanjat. "Tentu saja tidak!" katanya. "Aku sedih, seperti kau juga."
"Aku berani bertaruh kau senang," kata Geri. "Menurutku aneh juga kau yang
menemukan tubuh Debra."
"Dia pembimbing seniorku," kata Holly. "Aku kuatir waktu dia tak muncul makan
malam." "Tak usah pura-pura, Holly," kata Geri. "Semua orang tahu kau benci padanya."
"Itu tak betul!" protes Holly, tersengat oleh tuduhan Geri.
"Kami memang tak terlalu dekat, tapi sebenarnya aku suka padanya.
Dan aku tak pernah - "
"Tak pernah apa?" tanya Geri, tersenyum jahat. "Kata John, waktu dia datang di
pondok prakarya, kau cuma berdiri di sana,
menatap Debra." "Aku masih terkejut," kata Holly. "Kupikir - " Lalu tanpa meneruskan ia berbalik.
"Sudahlah, percuma!" katanya. Masalah yang dihadapinya sudah cukup banyak.
Ia benar-benar tidak bisa percaya. Sekarang Geri menuduhnya
menjadi pembunuh. Mungkin dia sudah ngoceh ke seluruh camp, pikir
Holly. Tapi Geri benar mengenai satu hal. Kematian Debra bukan
kecelakaan. Dan Holly tahu dia harus memberitahu dan meyakinkan


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

polisi. Dia sudah menunggu hampir dua puluh menit di kursi kayu
yang tidak nyaman di luar kantor Paman Bill ketika sebuah suara
lembut tapi tegas memanggil, "Masuk."
Di dalam Holly melihat seorang lelaki tinggi berkulit pucat dan
berambut hitam sedang membungkuk memeriksa setumpuk kertas di
meja Paman Bill. "Holly Flynn?" tanyanya, mengangkat kepalanya.
"Aku Inspektur Bradley. Kau ingin bicara denganku?"
Holly mengangguk. "Saya sudah bicara dengan Detektif Reed
tadi malam. Tapi dia cuma tertarik pada apa yang saya lihat waktu
menemukan Debra. Saya ingin cerita mengenai beberapa kejadian
lain." Bradley menatap Holly lurus-lurus. "Kejadian apa?"
Dengan cepat, sambil melawan rasa gugupnya, Holly
menceritakan padanya mengenai bulu-bulu merah yang
ditemukannya. Tapi waktu dia sampai pada teorinya mengenai
seseorang mencoba menghancurkan camp, dia tahu sang inspektur
tidak sungguh-sungguh mendengarkannya.
"Bulu-bulu, oke," katanya. "Akan kami pertimbangkan itu dalam penyidikan kami."
"Tapi itu tak mungkin hanya sekadar kebetulan," Holly
menekankan. "Selalu ada bulu di setiap kejadian yang seakan-akan
kecelakaan itu. Tolong dengarkan saya! Saya yakin - "
Bradley mengangkat tangannya, memutus kata-kata Holly.
"Aku mengerti kau sangat terguncang, Holly," katanya. "Menemukan mayat memang
salah satu pengalaman yang paling mengguncangkan
bagi siapa pun. Tapi kami telah melakukan penyelidikan menyeluruh,
dan untuk saat ini kesimpulan kami adalah bahwa kematian Debra
disebabkan oleh kecelakaan."
"Bagaimana dengan kejadian-kejadian yang lain itu?" tanya
Holly. "Lemari, kano - "
"Semua itu memang mencurigakan, tapi sayangnya sebagai
polisi kami tak bisa mengambil kesimpulan begitu saja. Kami perlu
bukti-bukti kuat kalau akan melebarkan lingkup penyelidikan.
Kuhargai niat baikmu untuk membantu, dan jangan ragu-ragu
menelepon kalau melihat atau mendengar sesuatu."
Mulutnya mengatakan begitu, tapi Holly tahu maksudnya lain
lagi. Inspektur Bradley tidak percaya padanya, dan sama sekali tidak
serius menanggapinya. Ditemukannya Paman Bill sedang bekerja di ruang rekreasi dan
ia sudah hampir mencoba sekali lagi untuk meyakinkan Paman Bill,
tapi dari wajah Paman Bill yang terlihat sangat lelah saja, Holly sudah tahu
Paman Bill tidak akan mau mendengarnya.
"Oh, Holly," kata Paman Bill waktu melihat Holly. "Kasihan sekali kau. Kenapa
harus kau yang menemukan Debra seperti itu. Kau
tak apa-apa" Dengar, aku sudah menunjuk Geri Marcus untuk
menggantikan Debra di pondokmu."
Holly ternganga. "Apa, Paman?"
"Geri sudah punya banyak pengalaman. Dia sudah hampir sama
dengan pembimbing senior, dan anak-anak perempuan senang
padanya," Paman Bill melanjutkan, tidak menyadari wajah terkejut
Holly. "Tapi, Paman Bill," kata Holly, "Geri dan aku ada masalah! Tak bisakah Paman
The Return 2 Dewi Ular Parit Kematian Pendekar Lembah Naga 25

Cari Blog Ini