Ceritasilat Novel Online

Pesta Tahun Baru 2

Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party Bagian 2


Greta kembali dengan segelas air. Ia memeluk kepala P.J. di
lengan kirinya dan mencoba menuangkan air ke dalam mulutnya.
P.J. tidak menelan air itu. Ia tidak mengisapnya. Air itu
mengalir turun ke dagu dan pipinya.
"Tidak!" teriak Greta. "Tidak, tidak, tidak."
Sean memegang pergelangan tangan P.J. Anak-anak yang lain
diam. "Aku tidak merasakan denyut nadinya," Sean melapor.
"Jangan mati karena aku, man," Artie mengerang. "Bangun, P.J.
Ayolah. Bangunlah. Ayolah!"
"Marc, telepon 911," pinta Reenie. Marc tidak bergerak.
Dengan linglung ia menatap P.J.
P.J. terbaring di sana. Pucat. Tidak bergerak. Tidak bergerak
atau bernapas. Reenie ngeri. Sean menarik dia mendekat, memeluknya. "Ia
mati," pekik Reenie. "Kita membunuh P.J."
BAGIAN KETIGA 1965 Chapter 17 BETH DAN JEREMY MOBIL itu terbalik dengan roda di atas. Beth terikat di sabuk
pengamannya dan Jeremy tergantung di sampingnya.
"Jeremy," panggilnya dengan bisikan tercekat.
Tidak ada jawaban. Ia menemukan pembuka sabuk pengamannya dan menekannya.
Ia terjatuh ke lantai. Yang sebenarnya atap, ia mengingatkan dirinya
sendiri. Oke, apa yang harus kulakukan" tanya Beth pada dirinya sendiri
sambil mencoba untuk tenang. Apa" Membebaskan Jeremy" Keluar
dari mobil" Mencari pertolongan"
Ia menemukan pembuka sabuk pengaman Jeremy.
Menekannya. Gagal. Ia mencoba lagi. Sabuk itu terbuka dengan bunyi
keras, dan Jeremy mendarat dengan suara gedebuk.
Aku tidak terluka, Beth sadar. Kami mendapat kecelakaan yang
mengerikan dan aku tidak terluka!
Beth menatap Jeremy. Cahaya terang memenuhi mobil itu. Ia
sadar lampu depan mobil masih menyala. Memantul di salju.
Tidak ada darah! Tidak ada luka. Tidak ada luka yang
menganga. Rasa lega menyapu dirinya. Jeremy baik-baik juga.
Beth melihat satu-satunya jalan keluar dari mobil yang ringsek
itu. Jendela di samping jok penumpang. Kacanya pecah dalam
kecelakaan itu. Ia menggeliat-geliat, melalui jendela itu dan mendarat
di atas salju. Sekarang aku harus menyelamatkan Jeremy.
Ia menelungkup dan meluruskan tubuhnya rata di salju,
kemudian menjulurkan tangannya untuk menangkap lengan Jeremy. Ia
menarik sekuat tenaga. Jeremy bergerak sedikit. Beth menarik dengan semua kekuatannya sampai ia bisa
menyeret Jeremy ke jendela. Sekarang bagian yang sulit. Ia
mencengkeram mantel Jeremy dan menyentakkannya.
Ia menarik satu lengan Jeremy ke luar. Kemudian kepala
Jeremy. Kemudian kedua bahu Jeremy. Ia menarik mantel Jeremy
lagi - dan tubuhnya meluncur ke luar.
"Jeremy!" teriaknya. "Bangun. Ayolah."
Jeremy merintih dan membuka matanya, berkedip di cahaya
keperakan. "A-apa yang terjadi?"
"Kita mengalami kecelakaan. Kau kehilangan kendali mobil itu
dan kita jatuh terguling-guling dari bukit yang curam. Tidakkah kau
ingat?" Jeremy menatap Beth dengan pandangan kosong. "Yeah,"
gumamnya. "Yeah, sekarang aku ingat."
"Apakah kau baik-baik saja?"
"Aku... aku tidak yakin."
Jeremy duduk pelan-pelan. "Tidak ada yang luka. Kukira aku
baik-baik saja." Beth menghela napas lega. "Aku juga."
"Kita harus kembali ke anak itu!" desak Jeremy. Mungkin
belum terlambat untuk menolongnya." Jeremy berusaha bangkit.
"Apa kau yakin bisa berdiri?"
"Yeah, aku baik-baik kok." Jeremy menjulurkan tangannya ke
bawah dan menarik Beth berdiri.
"Cepat," desak Jeremy. "Kita harus mencari anak itu. Sekarang
juga." Mereka berjalan terhuyung-huyung di salju yang tebal. Beth
tidak bisa melihat jalan. Ia berharap mereka berjalan ke tujuan yang
benar. Ia menengok sekilas ke mobil. Mobil itu ringsek. Roda-rodanya
di atas. Atapnya rata dengan tanah. Semua jendelanya hancur dan
berantakan - kecuali jendela tempat ia dan Jeremy meloloskan diri.
Bagaimana kita bisa selamat" tanya Beth dalam hati.
"Anak itu seharusnya tepat di sini," kata Jeremy. "Ini tempat
kita menabrak dia." Tak ada tanda-tanda anak itu ada di sana. Tak ada jejak kaki di
salju. Tak ada bekas selip di jalanan.
"Kita pasti di tempat yang salah," ujar Beth pelan.
"Tidak," jawab Jeremy. "Lihat." Ia menunjuk tanda hitam di
salju beberapa meter di depan mereka.
Bercak darah" "Bagaimana ia bisa berjalan?" tanya Beth.
"Oh, man," gumam Jeremy. "Ia tak mungkin bisa berjalan.
Apakah seseorang menolong dia - sementara kita pingsan?"
"Hanya kau yang pingsan," ujar Beth. "Aku tidak. Aku pasti
mendengar seandainya ada mobil berhenti."
"Tapi... ke mana ia pergi?"
"Kita bisa mengikuti jejaknya," saran Beth.
Mereka mencari jejak kaki di salju.
Tak ada jejak kaki. Tak ada sama sekali. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Beth dengan suara gemetar.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
Chapter 18 MOBIL YANG SESAK SUARA berderak mendekat. Menderum pelan. "Apa itu?"
Jeremy berbisik. Beth mendengar suara itu juga. "Itu mobil!" serunya. "Datang
dari arah sana." Lampu besar mobil menyapu salju ketika mobil itu mendekat.
Derum mesin yang pelan menjadi lebih keras.
Beth dan Jeremy berjalan ke tepi jalan, langsung melambailambaikan tangan
mereka. Lampu besar mobil itu menjadi lebih
terang. Tapi... tapi mobil itu tidak melambatkan jalannya! Beth sadar.
"Berhenti! Hei - berhenti!" jeritnya. "Ada kecelakaan!
Berhenti!" Mobil itu meraung melewati mereka, mengocok salju dan
mencipratkannya ke wajah Beth.
Kenapa sih orang itu" Kenapa ia tidak berhenti" Beth bertanya
dalam hati. Ia memandang lampu belakang mobil itu yang menyusut
menjadi dua titik merah, kemudian menghilang.
"Mungkin pikirnya ini hanya main-main," Jeremy memberi
pendapat. "Mungkin pikirnya kita punya rencana untuk merampok dia.
Atau mungkin ia sudah terlambat hadir ke pesta Tahun Baru.
Bagaimanapun juga ini Tahun Baru."
Beth memegang tangan Jeremy. "Dengar, ada mobil datang!"
"Aku akan meyakinkan agar yang satu ini berhenti," kata
Jeremy. Ia berjalan ke tengah jalan dan menghadap ke kendaraan yang
melaju di depannya. Beth mengikuti Jeremy. Kali ini mobil truk, ia memutuskan. Ia
bisa mengatakan begitu karena tanah bergetar, dan dari suara mesin
dieselnya. Lampu besar truk menyorot tanah yang bersalju itu.
Getaran di bawah kaki Beth menjadi lebih hebat.
Beth dan Jeremy langsung melambai-lambaikan tangan mereka
di atas kepala. Truk itu melaju ke arah mereka, meraung memecah kesunyiari
malam. "Tolong kami!" jerit Beth. "Tolong!"
Beth bisa melihat kisi-kisi truk itu.
Dan bemper. "Loncat!" jeritnya. Ia melompat dari jalan truk itu. Jeremy
mendarat keras di sampingnya.
"Kurang ajar!" teriak Beth. "Truk itu hampir menggilas kita!"
"Ia bahkan tidak melambatkan kecepatannya," bisik Jeremy,
matanya menatap lampu belakang truk yang menjauh. "Kenapa sih
orang-orang malam ini" Apakah mereka tidak punya semangat
liburan?" Mereka bangkit berdiri. Beth mengibaskan salju di punggung
Jeremy. Seharusnya aku membeku, pikir Beth. Tapi tidak. Pasti akibat
shock karena kecelakaan itu.
"Seseorang harus berhenti," bisik Beth.
Tolong kami, pikirnya. Tolonglah. Kumohon.
Sebutir air mata bergulir di pipinya. Kemudian butiran air mata
lagi. Dan lagi. Ia menghapus air matanya.
Tiga mobil lagi melaju kencang melewati mereka tanpa
memperlambat kecepatannya.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Jeremy. "Kita tak bisa
tinggal di sini. Kita akan beku."
"Aku lihat ada cahaya di atas sana," kata Beth sambil
menunjuk. Tapi ia tidak dapat menemukan cahaya itu lagi. Di mana cahaya
itu" Apakah pohon-pohon itu menutupi pandangannya" Ia bergerak ke
kiri, mengintip dari sela-sela pohon.
Dan itu dia! Cahaya-cahaya yang putih pucat. Hampir di puncak
bukit. Jendela-jendela. Terang berkilauan.
"Itu rumah!" teriaknya. "Siapa pun yang tinggal di sana akan
menolong kita. Mereka harus menolong kita!"
Mereka berjalan tergesa-gesa menuju cahaya di kejauhan itu.
Ketika mereka sampai di pagar kawat, mereka memanjat pagar itu dan
sampai di ladang yang tertutup salju. Tanah di bawah salju itu tidak
rata, dan mereka berdua berjalan dengan terpeleset-peleset.
"Sepatuku penuh salju," keluh Beth. Tapi kakinya tidak merasa
dingin. Apakah ia mengalami radang dingin"
Mereka berjalan dengan susah payah. Cahaya itu semakin
terang. Mereka bisa melihat rumah itu dengan jelas. Tapi mereka
harus memanjat dua pagar lagi sebelum sampai di rumah itu.
"Akhirnya!" Beth menghela napas ketika mereka naik ke
beranda depan yang terbuat dari kayu.
Cahaya berkilauan dari tiga jendela. Seseorang pasti ada di
rumah. Terima kasih, Tuhan, pikirnya. Oh, terima kasih, Tuhan.
Beth memencet bel pintu. Ia bisa mendengar bel berdering di
dalam. Mereka menunggu. Tak seorang pun membuka pintu. Beth dan Jeremy bertukar
pandang dengan cemas. Beth memencet bel lagi. Ia melihat tirai jendela depan bergerak,
tapi tak seorang pun muncul.
Jeremy mengetuk pintu. Ia memukul pintu itu berulang-ulang.
Dan masih tak ada yang keluar.
"Tolong!" teriak Beth. "Kami mengalami kecelakaan! Kami
butuh pertolongan!" "Tolonglah!" teriak Jeremy. "Izinkan kami masuk!"
Tak seorang pun muncul di pintu.
"Kenapa mereka tidak mau membuka pintu?" teriak Jeremy.
"Shhhh! Aku mendengar sesuatu. Dengarlah."
"Aku dengar juga!" seru Jeremy.
"Itu suara TV. Dan orang-orang yang sedang bicara," kata Beth.
"Mereka ada di sana," seru Jeremy. "Kenapa mereka
mengabaikan kita?" Mereka berteriak. Memukulkan kepalan tangan mereka ke daun pintu.
Tak terjadi apa-apa. Tak ada orang yang keluar membukakan
pintu. "Kenapa mereka mengabaikan kita" Kenapa mereka tidak
keluar untuk menolong kita?" teriak Jeremy.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Beth. Air mata terasa
panas di matanya. "Kita harus kembali ke jalanan. Mungkin beberapa mobil akan
berhenti." Beth mengangguk. Ia tidak punya ide yang lebih baik lagi. Tapi
ia terlalu bingung untuk bergerak.
Air mata mengalir di wajahnya. Tubuhnya berguncang ketika ia
menangis terisak-isak. Kenapa tak ada yang menolong kami" Kenapa,
kenapa, kenapa" Beth berusaha untuk menghentikan air matanya. Kemudian
mereka berbalik dan mengikuti jalan mereka tadi melewati ladang dan
kembali ke jalan raya. Dua mobil lagi lewat. Mereka tidak berhenti, Beth tidak tahu apa lagi yang harus
dilakukannya. Ia ingin berbaring di tumpukan salju dan beristirahat.
"Kita bisa kembali ke dalam mobil," saran Jeremy.
"Dingin sekali di sana," jawab Beth.
"Setidaknya bisa menolong kita dari kebekuan."
Beth tidak bisa mendebat pendapat Jeremy itu.
Mereka berjalan menuju mobil. Mobil itu terbalik, ringsek, dan
tergeletak, seperti kumbang yang terinjak. Lampu depannya sudah
suram, akinya hampir habis.
Beth benci harus merangkak kembali ke dalam mobil. "Satusatunya cara masuk
adalah berbaring rata sekali dan menggeliat-geliat
lewat jendela," ia menjelaskan. "Aku akan masuk duluan."
Aku sama sekali tidak ingin melakukan ini, pikirnya. Tapi ia
mulai beringsut masuk ke mobil itu.
Sesuatu menyapu wajahnya.
Sebuah tangan! "Hah" Apakah ada orang di sini?" teriaknya, tak bisa
menyembunyikan perasaan ngerinya.
Beth mengintip ke dalam mobil yang gelap itu.
Tidak. Tak mungkin! "Jeremy!" teriaknya. "Ada dua orang di sini. Anak laki-laki dan
perempuan. Dan..." Jeremy terpana. "Siapa mereka" Bagaimana mereka masuk ke
sini?" Chapter 19 AKU TAHU SIAPA MEREKA BETH menatap anak laki-laki dan perempuan itu di kegelapan.
Tubuh mereka tertekuk. Luka-luka parah. Dan berlumuran darah.
Mata mereka menatap lurus ke depan. Melotot.
"Jeremy - mereka sudah mati!" seru Beth.
Ia menatap tajam wajah mereka.
Dan kemudian memejamkan matanya. Aku tahu siapa mereka!


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikirnya. Ia keluar lagi dari jendela mobil. Jeremy membungkuk agar bisa
melihat ke dalam mobil. Beth menghalang-halangi. "Jangan," katanya kepada Jeremy.
"Jangan lihat. Belum."
"Kenapa?" "Ada sesuatu yang harus kukatakan kepadamu dulu."
"Apa?" Beth menarik Jeremy mendekat dan memeluknya.
"Beth - apa...?"
Sebutir air mata bergulir di pipinya. Tapi hanya sebutir. Ia
terlalu kaget sehingga tak bisa menangis.
"Jeremy," bisiknya. "Anak laki-laki dan perempuan yang mati
di dalam mobil. Aku kenal mereka."
"Siapa mereka?" desak Jeremy.
Ia tak tahu bagaimana harus mengatakannya kepada Jeremy. Ia
sendiri hampir tidak mempercayainya.
"Beth, siapa mereka?" Jeremy mengulangi dengan penasaran.
"Mereka adalah... kita."
"Kau bohong!" teriak Jeremy. "Tidak! Tidak, Beth!"
"Jeremy, itu kita yang di dalam!" teriaknya. "Kita mati di sana!"
"Gila." "Tidakkah kaulihat" Itulah sebabnya tak seorang pun berhenti
untuk kita - kenapa orang-orang itu tidak membukakan pintu untuk
kita." "Tidak," Jeremy mengulangi. "Tidak, tidak, tidak."
"Ini benar. Kita sudah mati." Mungkin seandainya aku
mengatakannya berulang kali aku sendiri akan percaya kematian itu,
pikir Beth. "Tidak!" jerit Jeremy.
Jeremy mendorong Beth dan mengempaskan tubuhnya sendiri
ke atas tanah. Ia mencoba untuk menyusup kembali ke dalam mobil
itu. "Aku akan masuk lagi!" ratapnya. "Aku akan masuk ke dalam
tubuhku!" Beth mengawasi, ngeri, ketika Jeremy bersusah payah
mendekati tubuhnya yang sudah tidak bernyawa.
"Aku harus masuk kembali ke tubuhku! Harus," serunya dengan
putus asa. Beth mengawasi Jeremy merangkak ke dalam mobil.
"Kumohon!" pinta Jeremy. "Kumohon, biarkan aku masuk!" "
"Jeremy - berhenti!" teriak Beth. "Itu akan sia-sia." Ia
menangkap kaki Jeremy dan menariknya keluar dari mobil yang
ringsek itu. "Tanganku menembus tubuhku!" ratapnya. "Aku tak bisa masuk
kembali ke dalam tubuhku. Aku coba. Tapi aku tak bisa."
"Sekarang apa?" tanya Beth pada dirinya sendiri. "Apa yang
akan terjadi sekarang?"
Beth melihat mulut Jeremy membuka dan menutup ketika ia
menjawab pertanyaannya. Tapi ia hampir tak bisa mendengar apa
yang diucapkan Jeremy. Ada yang tidak beres. Kenapa suara Jeremy tiba-tiba menjadi lemah" "Jeremy?"
panggilnya. "Apa yang terjadi?" Beth tidak bisa mendengar jawaban
Jeremy. Suara Jeremy lenyap menjadi keheningan. Kemudian Jeremy
mulai memudar juga. "Jeremy!" teriak Beth. Ia menggapai Jeremy. Berusaha untuk
menangkapnya, mempertahankannya.
Tapi Jeremy pergi. Hanya kegelapan yang tinggal.
Dimana-mana. Menutupi dia. Menuntut dia. BAGIAN KEEMPAT TAHUN INI Chapter 20 KEJUTAN DI BALIK TUNGKU PERAPIAN
APA yang harus kulakukan" tanya Reenie dalam hati dengan
panik. Ia terlalu bingung dan ketakutan untuk berpikir jernih.
Bagaimana ini bisa terjadi"
P.J. terbaring mati di kakinya.
Reenie menatap tubuh P.J. di bawah, sambil berharap sepenuh
hati agar PJ. bisa merintih, sadar. Menjerit padanya. Melakukan
sesuatu. Apa pun. Tapi P.J. terbaring diam.
Pucat. Begitu pucatnya. Begitu mati. Keheningan memenuhi ruangan yang penuh sesak itu.
Kemudian seorang cewek mulai terisak-isak.
"Kita harus memompa jantungnya," perintah Sean. "Reenie, kau
beri napas. Aku akan menekan dadanya. Semua tolong pergi dulu.
Jangan berkerumun." "Sean benar," kata Greta. "Ayolah. Ambil mantel kalian. Kami
akan memberitahu apa yang terjadi."
Reenie tak bisa bergerak. Ia menatap P.J. di bawah. Ini semua
kesalahanku, pikirnya. Aku tahu P.J. mengidap lemah jantung. Aku
satu-satunya yang diberitahu Liz. Dan aku tidak mengatakan apa-apa.
Tidak sama sekali. Aku bahkan tidak mencoba untuk menghentikan
mereka. "Reenie!" panggil Sean tajam.
Reenie memaksa dirinya untuk bergerak. "Oke," bisiknya.
"Pertama aku miringkan kepalanya ke belakang - dagu ke atas.
Kemudian aku akan mengosongkan mulutnya. Sekarang tiup udara
lima kali dengan cepat."
Reenie menundukkan kepalanya dan meniup ke dalam mulut
PJ. Bibirnya sangat dingin, pikirnya. Bibir itu sudah begitu dingin.
Reenie menarik kepalanya dan menghirup udara. Kemudian ia
meniup napas ke dalam mulut P.J. Ia bisa mendengar Sean
menghitung - mengatur irama di antara tiupan napas Reenie dan
pompa yang dilakukan di dada P.J.
"Ini mestinya cuma lelucon!" teriak Artie dari suatu tempat di
belakangnya. "Lelucon yang konyol! Seharusnya tak ada kejadian
buruk yang terjadi."
"Ayolah, PJ., sadarlah! Tolong sadarlah!" ia mendengar Greta
mendesak. Reenie memusatkan semua perhatiannya pada hitungan Sean dan tiupan napasnya. Aku akan tetap melakukannya, katanya kepada dirinya sendiri.
Aku tak akan berhenti sampai ia kembali hidup.
"Hitung, hitung, hitung, hitung, napas," bisiknya kepada dirinya
sendiri. "Hitung, hitung, hitung, hitung, napas."
Reenie merasakan sebuah tangan di pundaknya. Ia mendengar
suara Sean yang pelan, menyuruhnya berhenti.
Tidak, pikir Reenie. Aku tak akan berhenti sampai P.J. duduk.
Aku tak akan berhenti. Hitung, hitung, hitung, napas. Hitung, hitung, hitung...
Sepasang tangan yang kuat menariknya berdiri. Reenie menatap
tubuh P.J. yang terbaring di bawah.
"Ia sudah mati, Reenie," bisik Sean. "Tak ada yang bisa kita
lakukan." "Apa aku harus menelepon polisi?" tanya Reenie. Ia mendengar
suaranya gemetar dan ia menelan ludah. "Mereka tidak akan
menyalahkan kita karena kematian P.J. - ya kan?"
Sean mengerutkan kening. "Aku tak tahu apa yang seharusnya
kita lakukan." "Kita harus melakukan sesuatu!" teriak Reenie. "Kita harus
memanggil orangtuanya. Kita harus memanggil Liz. Kita harus
memberitahu semua orang bahwa - "
Jendela di belakang sofa bersinar terang ketika sebuah mobil
berhenti di jalan masuk. Greta menyibak tirai dan mengintip ke luar.
"Ada orang datang!" seru Greta. "Reenie - itu orangtuamu,
kukira!" "Cepat - sembunyikan dia!" teriak Artie. "Sampai kita tahu apa
yang harus kita lakukan."
Apakah menyembunyikan P.J. tidak akan membuat kita
malahan kelihatan lebih bersalah" Reenie bertanya dalam hati.
"Kita harus mengarang cerita sebelum memberitahu orang lain,"
desak Greta. "Sembunyikan dia! Sembunyikan dia!" jerit Artie. Ia memegang
kedua tangan P.J. yang lemas dan mulai menarik tubuhnya.
Sean dan Greta buru-buru menolong mengangkat tubuh P.J.
Reenie ragu-ragu, kemudian menangkap salah satu kaki P.J.
yang kurus. "Buruan!" desak Greta, sambil mengawasi lampu depan mobil
yang berputar di dinding. "Ke mana kita letakkan dia?"
"Ruang bawah tanah!" teriak Reenie.
Ia dan Sean berjalan menuju dapur. Tubuh itu membentur
karpet. "Cepat dong!" teriak Artie.
Perut Reenie tiba-tiba merasa mual waktu mereka menyeret
tubuh P.J. melewati dapur. Jangan panik, katanya kepada dirinya
sendiri. Kau tak boleh panik sekarang.
Reenie membuka pintu ruang bawah tanah dengan tangan
kanannya dan menyalakan lampu. Ia menoleh lewat bahunya, melihat
anak tangga semen yang curam.
"Hati-hati," ia memperingatkan yang lain. "Anak tangga ini
tidak rata." Sambil memegang pergelangan kaki P.J., ia melangkah
mundur dengan salah satu kakinya meraba-raba mencari pijakan pada
anak tangga pertama. Ia menemukannya, menurunkan kakinya,
kemudian meraba-raba anak tangga berikutnya. Sean satu anak tangga
di atasnya. Reenie memandang Artie di atas. Cahaya yang suram dari lantai
bawah tanah itu menampakkan bayang-bayang yang menimpa
wajahnya. Ia tidak dapat melihat ekspresi wajahnya.
Jangan memikirkan hal lain, pikirkan saja soal anak tangga,
kata Reenie kepada dirinya sendiri. Jangan mencoba memutuskan apa
yang harus kaulakukan sampai kau berhasil menuruni anak tangga ini.
Salah satu kaki celana panjang P.J. tersingkap, dan Reenie
merasakan daging pergelangan kaki P.J. di bawah jari-jari tangannya.
Dingin dan basah. Mati. Reenie menggigil.
Ia memaksa dirinya untuk meraba-raba anak tangga berikutnya
dan melanjutkan menuruni tangga.
"Di mana kita letakkan dia?" tanya Sean ketika mereka sampai
di bawah. "Di balik tungku perapian itu," Reenie memutuskan.
"Aku harus istirahat sebentar," Greta terengah-engah. Mereka
menurunkan tubuh P.J. ke tanah.
"Aduh. Aku benci cara P.J. menatapku," Artie mengerang. Ia
berjongkok di dekat tubuh P.J. dan menjulurkan tangannya di atas
mata P.J. yang melotot. Reenie melihat tangan Artie gemetar. Artie menekan tangannya
ke mata P.J. dan mengusap kelopak mata P.J. "Sori," bisiknya. "Sori,
PJ." Artie melompat ke belakang. "Ayo. Selesaikan dan keluar dari
sini." Mereka mengangkat tubuh itu ke atas dan meletakkannya di
atas tungku perapian dengan susah payah. Celah itu cukup untuk
kepala P.J. - tapi tidak untuk kedua bahunya. Mereka harus
memiringkan tubuh P.J. dan memaksa tubuh P.J. masuk ke tempat
kecil di antara tungku perapian dan dinding itu inci demi inci.
"Lumayan," kata Sean. "Kita harus kembali ke atas."
Mereka menaiki anak tangga beton yang kasar itu. Reenie
membanting pintu ruang bawah tanah hingga tertutup di belakang
mereka, dan mereka bergegas masuk ke ruang tamu.
Greta menghambur ke jendela dan mengintip ke luar. "Sudah
pergi!" ia mengumumkan. "Mobil itu sudah pergi."
"Apa" Siapa dia?" tanya Sean.
Reenie menghela napas. "Orang-orang terkadang mengunakan
jalan masuk rumahku untuk berputar," katanya, sambil menggelenggelengkan
kepalanya. "Blok berikutnya buntu. Dan tanda jalan buntu
tepat di seberang jalan."
"Wow!" Sean mengembuskan napasnya. Reenie menahan isak
tangisnya. "Aku lihat Marc dan Sandi tidak berani tinggal," kata Greta
dengan masam. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Artie.
Reenie menarik napas panjang dan gemetar. "Kita tak punya
pilihan," katanya. "Kita harus menelepon polisi. Kemudian, kukira,
mereka akan memanggil orangtua P.J."
"Apa yang akan mereka lakukan pada kita?" tanya Greta.
"Aku tak tahu," jawab Reenie. "Tapi ini kecelakaan.
Kecelakaan yang mengerikan. Dan kita harus mengatakan yang
sebenarnya kepada mereka."
"Reenie benar," kata Sean. "Kita panik. Kita seharusnya
langsung menelepon mereka."
"Setidaknya ayo kita bawa tubuh itu kembali ke sini," saran
Artie. "Mereka pasti akan berpikir bahwa kita bersalah jika mereka
menemukan tubuh itu disembunyikan di ruang bawah tanah."
"Siapa yang akan menelepon?" tanya Greta. "Aku," jawab Sean.
Greta menyerahkan telepon cordless itu kepada Sean. Sean
menekan 911. Reenie mendengarkan ketika Sean memberikan
informasi kepada operator. "Tidak, kupikir ia tidak butuh perawatan
darurat," Sean mengakhiri. "Ia benar-benar sudah meninggal."
Sean meletakkan telepon itu di meja kopi. "Mereka akan ke sini
lima menit lagi." "Hainpir tidak ada waktu untuk mengangkat tubuh P.J. kembali
ke atas sini!" seru Artie.
Mereka berjalan lewat dapur menuju tangga ruang bawah tanah.
Reenie berpikir tentang Liz. Apa yang akan kukatakan
kepadanya" Bagaimana aku bisa menemui dia"
Sean memimpin berjalan ke ruang bawah tanah dan menuju
tungku perapian. "Tak banyak waktu!" Artie merunduk dan sampai di balik
tungku perapian. Ia terkejut.
"Tidak!" teriak Greta.
"Apa" Apa yang terjadi?" Reenie ingin tahu. Ia menatap
bayang-bayang di balik tungku perapian.
Tubuh P.J. lenyap. Chapter 21 DI MANA P.J." KEPANIKAN melanda Reenie. Ia merasa seakan tak bisa
bernapas. Kakinya lemas. Ia bersandar pada dinding beton gudang bawah tanah dan
memejamkan matanya. Dan menunggu. Menunggu jantungnya
berhenti memukul-mukul. Menunggu tubuhnya berhenti gemetar.
"Kita diperdaya," akhirnya ia bisa bicara dengan suara tercekik.
"Yeah, ditipu," bisik Greta. Ia melingkarkan lengannya di bahu
Reenie yang gemetar. "P.J. melakukan tipuan yang bagus pada kita," Artie setuju,


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tak percaya kita bisa terkecoh!" Sean menambahkan.
Greta membelalakkan mata. "Bagaimana kita sampai bisa
berpikir P.J. mati" Kita telah melakukan terlalu banyak lelucon ini
pada diri kita, tapi kita masih bisa diperdayai dengan begitu
mudahnya." "Tapi ia begitu lemas ketika kita menggotongnya," Reenie
mengingatkan mereka. "Ia begitu pucat, begitu... begitu kelihatan
mati." "Ia pura-pura mati," ujar Sean. "Apa lagi yang bisa
kaujelaskan" Tak ada waktu bagi seseorang untuk menemukan
tubuhnya dan memindahkannya."
Itu satu-satunya penjelasan, pikir Reenie. Tak ada lagi yang
masuk akal. Tapi ia tidak dapat menghilangkan ingatannya tentang kulit P.J.
yang dingin di bawah jari-jari tangannya. Bibirnya yang dingin di
bawah bibirnya ketika ia berjuang untuk membuat P.J. hidup kembali.
"Aku senang sekali ia hidup." suara Greta gemetar. "Aku - aku
benar-benar ngeri." "P.J. pasti tertawa sampai sakit perut." Artie meloncat menaiki
tangga. Reenie tertawa. Ia akhirnya mulai merasa normal - normal dan
lega. Ia menaiki tangga di belakang Artie.
"Kau tahu betapa takutnya aku tadi?" tanya Reenie. Ia
mengempaskan dirinya sendiri di sofa.
"Aku tahu sekali betapa takutnya kau!" seru Greta, sambil
menjatuhkan dirinya di samping Reenie. "Karena aku juga begitu
ketakutan. "Aku memang sudahberpikir ini mungkin lelucon," kata Artie.
"Sejak awal, aku sudah curiga ini hanya lelucon."
"Yeah, benar. Kau tadi kan takut sekali dan kau tahu itu," kata
Sean. Artie menatap Sean - kemudian mereka berdua tertawa
terbahak-bahak. Reenie mulai tertawa. Segera mereka berempat
tertawa sambil saling bertepuk tangan tinggi-tinggi, berguling-guling
di atas karpet. Kita semua mengalami semacam reaksi shock yang tertunda,
Reenie menyadari. Kemudian bel pintu berbunyi.
"Aku bertaruh itu pasti P.J. Ia barangkali ingin menertawakan
kita." Reenie buru-buru menuju pintu depan.
Ia membuka pintu - dan melihat seorang polisi berseragam
hitam. "Aku Officer Jackson dari Dinas Kepolisian Shadyside. Kami
menerima laporan ada yang meninggal di sini."
"Ah..." Reenie tak tahu bagaimana harus menjawab.
"Apakah kau menelepon nomor darurat?" tanya polisi itu,
sambil menatap Reenie dengan tajam.
"Ah...," Reenie mengulangi. "Ah, tidak. Semuanya baik-baik
saja di sini. Anda pasti salah alamat."
"Aku harus masuk dan memeriksa rumah ini," kata polisi itu
kepada Reenie. "Tentu," kata Reenie cepat-cepat. Ia minggir untuk memberi
jalan. Officer Jackon masuk ke ruang tamu. Ia menatap mereka satu
per satu. "Baik, apa yang sedang terjadi di sini?" tanya polisi itu ingin
tahu. "Itu... itu hanya lelucon," Reenie menjelaskan. "Ada yang
melakukan tipuan." "Maksudmu ada yang menelepon. untuk main-main?" Ia
menyipitkan matanya. "Kami menanggapi telepon main-main ke 911
dengan amat serius."
"Kami selalu memainkan tipuan terhadap satu sama lain," kata
Sean. "Tipuan itu selalu tidak berhasil, tapi kali ini tipuan itu berhasil
mengecoh kami. Seseorang memperdayai kami sehingga kami
berpikir ia benar-benar mati."
Sean menjelaskan apa yang terjadi langkah demi langkah.
Terima kasih, Tuhan, Sean tetap tenang, pikir Reenie. Ia merasa
terlalu terguncang untuk memberi penjelasan tentang apa yang telah
terjadi pada P.J. dengan cara yang masuk akal.
"Kami benar-benar percaya ia mati. Kalau tidak kami tidak
akan menelepon Anda," kata Sean mengakhiri.
"Dan kau orang yang tinggal di sini?" Polisi itu mengalihkan
pandangannya kepada Reenie.
Reenie mengangguk. "Aku perlu izinmu untuk memeriksa rumah ini," kata polisi itu
kepadanya. "Silakan," jawab Reenie. Reenie ingin polisi itu memeriksa
rumah ini. Ia tahu tubuh P.J. tidak ada di ruang bawah tanah. Ia telah
melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa tubuh P.J. lenyap.
Tapi ia tetap ingin turun dan memeriksa sekali Iagi. Hanya
untuk meyakinkan diri. Karena P.J. kelihatan benar-benar mati.
Sekarang Officer Jackson akan memeriksa rumahnya.
"Tetap di sini," perintah polisi itu sebelum ia meninggalkan
ruangan. "Tak seorang pun boleh pergi."
Reenie mengawasi laki-laki itu masuk ke dapur. Mendengar dia
membuka pintu ruang bawah tanah. Mendengar suara sepatunya yang
berbunyi gedebak-gedebuk di atas anak tangga beton.
Reenie menghitung tiap langkahnya. Oke, ia sampai di bawah,
pikirnya. Sekarang ia sedang menyeberang menuju tungku perapian.
Ia sedang membungkuk. Sunyi. Apakah ia menemukan sesuatu"
Keheningan yang mencekam. Reenie mengepalkan telapak
tangannya. Kau tahu tak ada apa pun di bawah sana, katanya kepada
dirinya sendiri. Kau tahu itu.
Reenie menahan napasnya sampai ia mendengar bunyi
gedebak-gedebuk sepatu Officer Jackson sedang naik tangga ke atas.
Ia tidak tergesa-gesa. Ia pasti tergesa-gesa jika menemukan mayat,
pikir Reenie. "Tak ada masalah di bawah sana," ia melaporkan. "Tapi aku
harus mengisi laporan yang lengkap."
Polisi itu mencatat nama, alamat, dan nomor telepon mereka
sebelum pergi. Reenie tidak peduli apa yang akan ia lakukan terhadap
data-data itu. Ia tidak peduli jika polisi itu menelepon orangtuanya
ketika mereka sudah pulang. P.J. baik-baik saja. Tak ada lagi yang
perlu dipersoalkan. Tak seorang pun bicara sampai mereka mendengar pintu mobil
polisi itu ditutup. "Fiuh!" Artie mengembuskan napas.
"Ketika ia menatapku, aku hampir mengakui bahwa aku benarbenar membunuh P.J.!"
seru Greta. "Aku merasa seakan-akan ia bisa
mengintip isi kepalaku dan tahu semua perbuatan buruk yang pernah
kulakukan." "Aku tahu, aku terdengar, seperti anak brengsek betulan waktu
menjelaskan lelucon-lelucon konyol yang kita lakukan kepada orang
lain," Sean menambahkan.
Reenie tahu ia tidak akan pernah ingin memainkan permainan
ini lagi. "Ayo berjanji tak ada tipuan lagi," katanya. "Lagi pula
permainan ini tak akan asyik lagi setelah malam ini."
"Tak ada tipuan lagi," Greta mengiyakan.
"Tak ada tipuan lagi," Sean dan Artie mengulangi.
Reenie berdiri dan mengambil mangkuk cokelat M&M yang
setengah kosong. "Aku akan mencucinya," ujarnya. "Aku tak ingin
apa pun di sekitar sini mengingatkan aku pada pesta yang mengerikan
ini." "Aku akanmembantu," kata Greta sukarela. Ia mengambil
beberapa mangkuk M&M dan menuju dapur.
"Mungkin kau seharusnya hanya mengadakan pesta Halloween
mulai sekarang!" Artie bercanda. Ia mengangkat beberapa kaleng soda
yang sudah kosong dan berjalan di belakang Greta. "Malam ini tidak
menolong aku untuk memperoleh semangat Natal," ia mengakui
dengan sedih. Mereka bekerja dengan berdiam diri sampai selesai
membersihkan semua bekas pesta.
Greta menghela napas ketika mereka berkumpul kembali di
ruang tamu. "Aku capek sekali. Padahal kita harus sekolah besok. Aku
bisa tidur selama setahun rasanya."'
"Aku juga," jawab Artie. "Aku akan ambil mantel."
Greta memeluk Reenie. "Sampai jumpa besok."
"Bye," seru Artie.
"Kukira aku akan pulang juga," kata Sean. "Kau tidak apa-apa
sendirian di sini?" Reenie mengangguk. Sean menariknya mendekat dan menciumnya. Reenie ingin
ciuman itu tak akan pernah berakhir. Ia tak ingin memikirkan hal lain
kecuali bibir Sean yang mencium bibirnya.
"Malam," bisik Sean.
Reenie segera mengunci pintu begitu Sean melangkah ke luar.
Ia memasang rantainya juga - walaupun orangtuanya tidak pernah
melakukannya. Kemudian ia memeriksa semua pintu dan jendela.
Reenie tahu ia seharusnya mematikan lampu, tapi ia tidak
melakukannya. Ia merasa lebih aman bisa melihat setiap sudut. Ia tak
ingin kejutan-kejutan lagi.
Ia berjalan menuju kamarnya, duduk di ranjang, dan menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya. Ia ingin menangis.
Betapa mengerikan malam ini. Betapa mengerikan pesta itu.
Ia berharap orangtuanya ada di rumah. Atau ia tadi minta Greta,
untuk menemaninya. Ia tak ingin sendirian.
Telepon berdering mengejutkan dia.
Ia mengangkat telepon di meja samping ranjangnya. "Halo?"
"Hai, ini Liz. Apakah adikku masih di situ?"
"Sudahlah, Liz. Tolong," Reenie memohon. "Kami sudah tahu
lelucon itu. Kami tahu adikmu baik-baik saja."
"Maaf" Lelucon apa" Apakah P.J. termakan lelucon dengan
Sandi itu" Apa yang terjadi, Reenie?"
"Aku yakin P.J. akan menceritakan semuanya kepadamu
nanti - jika kau belum tahu," jawab Reenie.
"Ia bukan masih di sana?" Liz ingin tahu. "Di mana dia,
Reenie?" "Ia... ia tidak di sini," kata Reenie kepada Liz.
Liz menutup teleponnya. Reenie memaksa dirinya untuk berdiri, dan mengganti
pakaiannya dengan baju tidur kesukaannya dari bahan flanel
bergambar domba-domba kecil. Kemudian ia merangkak ke atas
ranjangnya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia akan menyikat
giginya dua kali besok pagi.
Tapi ia tidak bisa tidur. Ia tetap mendengar suara Liz terngiangngiang di
telinganya. Apakah adikku masih di situ" Apakah adikku masih di situ"
Chapter 22 TAK ADA JAWABAN "AKU tidak bisa tidur selama berjam-jam," kata Reenie kepada
Sean di perjalanan menuju sekolah keesokan paginya. "Aku terusmenerus mendengar
suara Liz di kepalaku. Membuat aku merinding."
"Mereka tidak mau menghentikan lelucon itu," ujar Sean.
"Mereka bertekad untuk meyakinkan kita bahwa kejadian yang buruk
menimpa P.J." Sean menguap. "Oh, man, aku capek pagi ini. Aku
bermimpi kalian sedang menggotongku menuruni tangga ruang bawah
tanah, bukan P.J. Aku berusaha memberitahu kalian bahwa aku tidak
mati - tapi kalian tidak mau dengar."
Reenie menepuk bahu Sean. "Mimpi yang mengerikan sekali."
"Taruhan deh, P.J. akan menunggu kita di sekolah - siap untuk
menertawakan kita," kata Sean.
Begitu mereka memarkir mobilnya di lapangan parkir untuk
siswa, Reenie keluar dari mobil dan mencari-cari P.J. di kerumunan
anak-anak. Ia memperhatikan wajah anak-anak di sana ketika ia dan
Sean masuk ke gedung sekolah.
Tak ada P.J. Mereka berlari menghampiri Greta dan Artie di koridor. Greta
bahkan tidak berbasa-basi lagi. "Aku belum melihat P.J. Tapi ia pasti
ada di sini di suatu tempat," kata Greta kepada mereka.
"Aku tidak mengikuti mata pelajaran yang sama dengan dia.
Kau bagaimana?" tanya Artie kepada Reenie.
"Mata pelajaran kelima. Sejarah," jawabnya.
"P.J. akan ada di sana," kata Artie. "Ia tidak akan bolos sekolah
hanya untuk lelucon yang tidak bisa mengibuli siapa pun."
Artie benar, pikir Reenie. P.J. bukanlah tipe orang yang suka
membolos. Aku salut padanya karena berhasil memperdayai kami, dan
itu akan menjadi akhir dari lelucon kami.
Bel pertama berbunyi. "Sampai makan siang nanti," seru
Reenie. Ia melanjutkan untuk mencari-cari P.J. atau Liz di koridor
yang ramai, kemudian ia bergegas ke locker-nya dan terus menuju
kelasnya. Semua pelajaran sebelum makan siang terasa tanpa akhir.
Ketika bel berbunyi pada jam 12.30, Reenie menghambur ke kafetaria,
berharap ada yang telah melihat P.J. Ia harus tahu bahwa PJ. telah
datang di sekolah. Tapi ketika ia bertemu dengan Sean, Greta, dan Artie, mereka
mengatakan bahwa mereka masih belum menemukan P.J. Atau Liz.
Bahkan Ty. Sean dan Artie mulai bicara tentang konser yang ingin mereka
hadiri. Reenie mencoba untuk mengikuti obrolan itu, tapi ia menjadi
semakin cemas. Kau bodoh, katanya pada dirinya sendiri. P.J. keluar dari
belakang tungku perapian itu. Yang berarti ia tidak mati. Yang artinya
ini semua hanya lelucon. Tapi ia tetap membayangkan kulitnya yang
pucat, pucat sekali. Tubuhnya yang lemas dan dingin.
Ketika bel pelajaran kelima berbunyi, Reenie melompat berdiri.
"Aku akan memberitahu kalian apa yang terjadi pada P.J. begitu
sekolah berakhir," ia berjanji kepada teman-temannya. Ia ingin
setidak-tidaknya salah seorang dari mereka mengikuti pelajaran
sejarah bersamanya sehingga ia tidak harus menghadapi P.J. sendirian.
Reenie sampai di kelas sebelum orang lain - termasuk guru
mereka. Setiap kali pintu terbuka, ia mengangkat kepala untuk melihat
apakah P.J. yang datang. Lisa Blume berjalan masuk tanpa tergesa-gesa dan tersenyum
pada Reenie. "Kudengar kau mengadakn pesta yang amat liar tadi
malam?" Sejak tadi Reenie sudah menjawab banyak pertanyaan tentang
pesta dan lelucon yang bagaikan senjata makan tuan. Ia tak ingin
membicarakan hal itu lagi. "Liar sekali," gumamnya, lalu ia
menunduk dan membaca buku sejarahnya.
Ia tetap mencuri-curi pandang ke bangku P.J. Tapi selalu
mendapati bangku itu kosong.
Bel kedua berbunyi - dan P.J. tetap tidak ada.
Reenie merasa perutnya melilit. Di mana dia" Mengapa P.J.
tidak mau mengakhiri leluconnya" Apakah ia begitu marahnya pada
kami karena memainkan lelucon itu padanya"


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin minta maaf padanya - dan Liz. Aku ingin ia
memperlihatkan diri sehingga aku bisa mengatakan padanya aku tak
akan pernah memainkan lelucon lagi. Tak pernah.
Reenie berusaha memusatkan perhatiannya pada pelajaran Mr.
Northwood. Kemudian ia menyerah - dan menatap kosong ke papan
tulis. Ia tak akan ketahuan bengong, sepanjang Mr. Northwood tidak
memanggilnya. Bel akhirnya berbunyi. Reenie tidak sabar untuk mengatakan
pada Sean bahwa P.J. tidak kelihatan. Ia meraup buku-bukunya dan
menghambur ke luar. Liz berdiri di koridor bersama Ty. Sempurna, pikir Reenie. Aku
bisa minta maaf dan menanyakan P.J. Ia buru-buru melewati koridor
yang ramai dan berisik itu, menghampiri mereka.
Tunggu, pikir Reenie, memperlambat langkahnya. Ada yang
tidak beres. Wajah Liz tampak merah dan bengkak.
Liz menangis, Reenie sadar. Menangis sesenggukan sampai
bahunya berguncang. Dan Ty sedang mencoba untuk
menenangkannya. Sebelum Reenie sampai kepada mereka, ia melihat Liz
melepaskan diri dari Ty dan berlari cepat-cepat di koridor. Ty raguragu,
kemudian mengikutinya. Reenie menatap teman-temannya. Apa yang terjadi hari ini"
Kenapa Liz menangis"
Uh-oh. Tugas bahasa Inggris! Aku belum belajar. Dan melihat
situasi hari ini, kami akan mendapat ulangan Ms. Roper yang terkenal
bengis itu. Reenie melihat arlojinya. Masih beberapa menit lagi sebelum
pelajaran dimulai. Di mana aku bisa belajar cepat-cepat"
Ruang olahraga. Tidak ada pelajaran keenam di sana.
Sempurna. Ia buru-buru berjalan di koridor, berputar di pojokan, dan
mendorong pintu ganda ruang olahraga itu.
Ia naik ke bangku baris keempat, membuka diktat bahasa
Inggrisnya, dan mendengar sesuatu berdenting tepat di bawahnya.
Bolpoinnya jatuh. "Hebat," gumam Reenie. Ibunya memberikan bolpoin itu
kepadanya, bolpoin yang sangat bagus dengan ukiran namanya. Jadi
Reenie harus menemukannya.
Ia turun ke lantai ruang olahraga, bergegas ke balik bangku dan
merangkak di bawahnya. Bangku kayu itu menjulang di atasnya ditopang banyak tiang
dan rusuk raksasa. Semua kelihatan sama. Di mana ia duduk tadi"
Reenie mendengar langkah-langkah kaki, suara-suara pelan.
Ada orang memasuki ruang olahraga ini.
"Ia lenyap... lenyap," bisik seorang cewek, suaranya gemetar.
Suara yang tidak asing. Suara Liz.
Sambil mengintip dari sela-sela bangku, Reenie melihat Liz dan
Ty. Mereka berdiri di bawah keranjang bola basket.
Ty mengelus rambut Liz dengan lembut. "Ayo naik mobil
keliling kota dan menyelidiki apakah ada yang telah melihat dia,"
saran Ty. "Terima kasih," jawab Liz. Ia memeluk Ty.
Apa ini" Reenie bertanya dalam hati. Mungkinkah P.J. benarbenar hilang"
Seram rasanya mengintip mereka begini, pikir Reenie. Tapi aku
perlu mengetahui kebenarannya. Jika P.J. benar-benar hilang, aku tak
tahu apa yang akan kulakukan.
Sementara Reenie mengawasi, Liz dengan lembut menarik
kepala Ty mendekat dan menciumnya. Ciuman yang panjang dan
dalam. Tunggu, pikir Reenie. Liz menangis tersedu-sedu beberapa
menit yang lalu. Dan sekarang ia mencium Ty seakan-akan semuanya
beres. Kenapa" Bel berbunyi. Liz dan Ty berjalan ke luar ruang olahraga,
sambil bergandengan tangan. Reenie melihat bolpoinnya dan meraih
benda itu. Ia berlari-lari kecil ke kelas bahasa Inggris.
Ia duduk di bangkunya kira-kira sepuluh detik sebelum bel
terlambat berbunyi. "Nyaris saja," Ms. Roper memberi peringatan,
memandang Reenie dengan tajam.
"Kalian semua sudah melakukan tugas membaca Julius Caesar,"
serunya. "Sekarang, siapa yang ingin menceritakan apa yang terjadi?"
Tak seorang pun yang mau menjadi sukarelawan. Mata guru itu
memperhatikan ruangan, mencari-cari korban. Jangan aku, Reenie
memohon, sambil merendahkan duduknya di bangkunya. Tolong,
jangan aku. Mata Ms. Roper tertuju pada orang lain. "John, kauceritakan
kepada kami apa yang terjadi di drama itu."
"Uh..." John Clayton hadir di pesta Reenie. Ia barangkali tidak
membaca drama itu juga. "Kau sudah membacanya, bukan?" tanya Ms. Roper.
"Uh... well..." John tergagap.
Pintu terbuka. Mr. Hernandez, kepala sekolah, menyembulkan
kepalanya. "Sebentar, anak-anak," kata Ms. Roper. Ia menghampiri Mr.
Hernandez di koridor, menutup pintu di belakangnya.
Beberapa saat kemudian ia muncul. "Reenie, Mr. Hernandez
ingin bicara denganmu." Semua orang menatap Reenie.
Reenie berdiri dengan pelan, mengumpulkan buku-bukunya. Ia
tidak pernah dipanggil ke luar kelas oleh kepala sekolahnya.
Pasti ada masalah serius. Kepala sekolah tidak memanggil
murid ke luar kelas jika tidak ada kejadian serius.
Reenie melangkah ke koridor. Polisi yang datang ke pestanya
berdiri di samping kepala sekolah itu. "Sersan Jackson punya beberapa
pertanyaan untukmu. Silakan pergi dengannya," kata Mr. Hernandez.
Ia mengusapkan tangannya dengan gugup di rambutnya yang tipis.
Pikiran yang buruk berputar-putar di otak Reenie. Apakah ini
tentang telepon main-main itu" Atau sesuatu yang lain" Apakah
sesuatu yang sungguh-sungguh mengerikan telah terjadi"
Chapter 23 TERLAMPAU JAUH PETUGAS itu mengajak Reenie ke kafetaria yang kosong.
Greta, Artie, Sean, dan Sandi duduk di meja panjang di bagian
belakang. Seorang pria bertubuh tinggi kurus memakai setelan warna
abu-abu berdiri di belakang mereka.
"Duduklah," perintah Officer Jackson.
Reenie bergabung dengan teman-temannya duduk di meja itu.
Mereka sekilas bertukar pandang dengan cemas.
"Ini Detektif Frazier," kata polisi itu, sambil mengangguk ke
arah pria satunya. "Ia akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada
kalian." Detektif itu duduk di ujung meja panjang itu. Reenie merasa
wajahnya merah ketika matanya bertatapan dengan mata detektif itu.
"Aku mengerti kalian suka memperdayai satu sama lain," ujar Frazier.
"Benar, kan?" "Itu hanya... hanya lelucon," kata Artie gagap. "Semuanya
hanya untuk bersenang-senang."
"Siapa di antara kalian yang bernama Maureen Baker?" tanya
Frazier. "Saya," jawab Reenie. "Tapi semua orang memanggil saya
Reenie." "Kau mengadakan pesta Natal di rumahmu tadi malam?"
"Ya." "Dan kalian memainkan beberapa dari tipuan ini kepada yang
lainnya?" Reenie menggangguk. Kenapa polisi ini menanyai kami" Ia
tiba-tiba merasa cemas. Menurut mereka kami melakukan apa"
Apakah mereka marah karena mereka pikir kami melakukan telepon
main-main" "Aku ingin mendengar dari kalian satu per satu." Detektif
Frazier menoleh kepada Artie. "Sebutkan namamu dan apa yang
terjadi tadi malam."
Artie menceritakan semuanya kepada detektif itu. Rencana
untuk memperdayai P.J. Dan bagaimana mereka merasa telah
sukses - tapi ternyata P.J. melakukan tipuan yang jauh lebih baik
terhadap mereka. "Itukah yang terjadi?" tanya detektif itu sambil menatap Sean.
"Ya," jawab Sean. "Betul."
"Kami selalu mencoba untuk menakut-nakuti satu sama lain,"
Greta menjelaskan. "Itu hanya permainan."
"Jadi P.J. kelihatan sudah meninggal?" Detektif itu memandang
ke sekeliling meja itu. "Ya, dan ia membuat saya takut setengah mati," Sandi
mengakui. Bagaimana dengan kami" pikir Reenie pahit. Sandi kan tidak
harus mengangkat tubuh P.J. menuruni tangga.
"Saya... saya pikir ia tidak bernapas," kata Artie.
"Jadi kalian menggotong dia ke lantai bawah tanah" Tapi ketika
kalian mengecek kira-kira lima menit kemudian, ia sudah lenyap,"
kata detektif itu. "Apakah itu cerita kalian?"
Cerita" Kenapa ia menyebut semua ini hanya sebuah cerita"
Reenie heran. Apakah ia tidak mempercayai kami"
"Betul," jawab Sean. "Dan kami di atas hanya kira-kira lima
menit. Dan P.J. sudah tidak ada."
Detektif Frazier mendengarkan ketika satu per satu di antara
mereka menceritakan cerita yang sama. Ia mengulangi pertanyaan
yang sama kepada mereka satu per satu.
"Kenapa Anda menanyakan semua ini kepada kami?" Sandi
ingin tahu. "Kami tidak melanggar hukum. Ini hanya lelucon yang
konyol." "Kurasa bukan hanya lelucon," jawab detektif itu dengan
muram. "Kami menemukan jaket P.J. di Fear Street Woods, di dekat
danau. Kakak perempuannya melaporkan ia tidak pulang tadi malam."
Reenie merasa jantungnya berhenti berdenyut. "Ia... ia benarbenar hilang?"
tanyanya dengan suara melengking.
"Ya. Ia hilang," jawab Frazier. "Mungkin lelucon seseorang
berkembang terlampau jauh."
Chapter 24 MASALAH DENGAN MOBIL MARC
"KAMI khawatir tentang apa yang menimpa temanmu," kata
Detektif Frazier kepada mereka. "Kalian masing-masing kuberi kartu
namaku. Jika kalian ingat apa pun yang belum kalian ceritakan penting atau tidak penting - teleponlah."
Setelah itu Detektif Frazier mengakhiri pertanyaannya. Pihak
sekolah memberi izin tidak mengikuti pelajaran untuk hari itu.
"Apa yang mungkin terjadi pada P.J.?" tanya Greta ketika
mereka berjalan di lapangan parkir.
Reenie tidak tahu apa yang harus dipikirkannya. "Kenapa ia
berada di Fear Street Woods setelah pesta itu?"
"Itu tidak ada hubungannya dengan kita," Sandi berkeras. "Kita
melakukan lelucon, itu saja. P.J. mendapat kesulitan setelah ia
meninggalkan rumah itu."
"Sandi benar," Sean setuju. "Begitu kita meninggalkan lantai
bawah tanah, ia barangkali menyelinap ke atas dan keluar lewat pintu
belakang. Kemudian - "
"Apakah kau pikir mungkin seseorang membunuh dia?" tanya
Artie. Ia menelan ludah. Reenie menangkap ketakutan di mata Artie. Reenie bergidik.
"Tunggu," desak Sean. "Kenapa kita menduga kejadian yang
paling buruk" Kita cuma tahu ada yang menemukan jaket P.J. di
hutan. P.J. bisa saja tak apa-apa."
"Yeah!" Artie cepat-cepat menyetujui pendapat Sean. "P.J. bisa
saja tidak apa-apa."
"Polisi itu tidak berpikir ia baik-baik saja," Greta menjelaskan.
"Dan demikian juga Liz," kata Reenie kepada mereka.
"Kudengar dia mengatakan kepada Ty bahwa P.J. hilang. Bahkan
polisi itu mengatakan ia tidak pulang ke rumah tadi malam.
Bagaimana jika mereka tidak pernah menemukan dia?"
***********************************
"P.J. telah hilang hampir seminggu. Kudengar polisi sedang
merencanakan untuk mengeruk Fear Lake untuk mencari tubuhnya,"
kata Reenie. Ia menutup buku trigonometrinya keras-keras dan
menjatuhkan dirinya di ranjang. "Ini membuat aku gila. Aku
memikirkan P.J. terus. Aku bisa tidak lulus dalam semua pelajaran."
"Aku tahu," jawab Greta dari meja Reenie. "Aku terus berharap
waktu itu kita tidak melakukan lelucon yang konyol itu padanya. Aku
berharap saat itu menemaninya di pesta itu. Kami bisa mengobrol
dengan asyik, kau tahu?"
Reenie menghela napas lagi dan menatap sampul buku
trigonometrinya. "Soal nomor berapa yang kaukerjakan?"
"Nomor empat," jawab Greta. "Tapi aku tidak mengerjakannya.
Aku hanya mencoba untuk memahaminya."
"Hih. Soal itu. Aku tak bisa mengerjakannya juga. Kita butuh
Sean." Reenie melemparkan bukunya ke lantai. "Aku ingin tahu
apakah kita akan pernah mengetahui apa yang terjadi pada PJ."
"Mungkin tidak," jawab Greta. "Terkadang orang lenyap begitu
saja. Hilang. Tak seorang pun pernah melihat mereka lagi."
Reenie menggigil. Ia benci memikirkan orang bisa lenyap. Puf!
Seakan-akan mereka diculik ke planet lain.
Reenie memutuskan tidak ingin membicarakan P.J. "Kau tahu
apa yang kaurencanakan untuk Natal?" tanyanya, bertekad untuk
mengubah pokok pembicaraan.
Greta berdiri dan menggeliat. "Hah" Oh, Natal. Aku belum
memikirkan soal itu. Kukira aku tidak punya semangat liburan."
"Kenapa tidak" Di samping kejadian ini, maksudku."
"Aku memutuskan untuk putus dengan Artie."
"Jangan!" Reenie merasa sesak napas. "Kalian kan sudah lama
pacaran." "Aku muak dengan Artie. Ia menghabiskan waktunya dengan
Marc, dan ia akan berhenti sekolah."
"Kupikir ia sudah bosan dengan Marc," protes Reenie.
"Maksudku, setelah Marc melarikan diri dan meninggalkan kita di
pesta itu - ketika semua orang mengira P.J. mati."
"Itu berlangsung kira-kira dua hari." Greta membelalakkan
matanya. "Ia seakan kecanduan Marc. Ia tidak bisa berpisah dengan
Marc." "Mungkin Artie sedang mengalami fase yang aneh." Reenie
duduk dan mulai mengepang rambutnya. "Kau sudah memeriksa
ramalan bintangnya?" goda Reenie.
Greta tidak tersenyum. "Ia ingin bekerja di pabrik mobil dengan
Marc. Ia ingin punya mobil seperti mobil Marc. Ia bilang sekolah
hanya membuang-buang waktu dan universitas hanya untuk anakanak kaya yang
manja," kata Greta kepada Reenie. "Apakah itu
kedengarannya seperti cuma fase yang aneh?"
Reenie menggelengkan, kepalanya. "Maaf, Greta. Kapan kau
akan mengatakan kepada Artie bahwa kau akan putus dengan dia?"
"Setiap hari aku berjanji pada diriku sendiri akan memutuskan
hubunganku dengan dia. Kemudian aku takut mengutarakannya."
"Menurutmu bagaimana reaksinya nanti?" tanya Reenie.
"Tak tahu deh." Greta menatap lantai. "Sulit mengatakannya
kepadanya." Greta duduk di ranjang di samping Reenie. "Aku harus


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakannya sekarang. Aku akan merasa lebih baik kalau sudah
melakukannya. Temani aku - tolong. Kita belum menyelesaikan
tugas, dan aku butuh dukungan moral."
"Bagaimana caranya" Aku tak bisa mewakilimu untuk
mengatakannya kepada Artie," kata Reenie.
"Aku tak ingin kau mewakiliku untuk mengatakannya kepada
Artie," kata Greta. "Tapi jika kau menemaniku, aku tahu aku tak akan
ragu untuk mengatakannya."
"Entahlah. Apa itu fair buat Artie" Bagaimana perasaannya jika
kau memutuskan hubunganmu dengan dia di depanku?"
"Ayolah, Reenie. Aku butuh bantuanmu. Aku jadi gila karena
harus berpura-pura semuanya beres di antara kami. Aku harus
mengatakan kepada Artie yang sebenarnya."
"Oke," Reenie mengiyakan.
"Terima kasih." Greta menekan tangan Reenie. "Aku sungguhsungguh menghargai
bantuanmu. Mereka mengambil mantel. "Cepat," desak Greta kepada
Reenie. "Aku tak ingin mundur karena takut lagi."
Mereka meloncat masuk ke Civic kecil Greta. Greta tampak
semakin gugup begitu mereka hampir sampai ke rumah Artie. Ia
melaju di Old Mill Road. "Lampu merah!" seru Reenie. "Lampu merah!" Greta
mengerem mobilnya sampai berdecit-decit.
"Maaf. Tidak lihat sih."
Reenie merasa lega ketika mereka akhirnya sampai juga.
Kupikir lebih baik aku yang menyetir mobilnya kalau pulang nanti, ia
memutuskan. Ia mengikuti Greta ke rumah Artie, berjalan dengan
hati-hati di atas jalanan yang berlapis es.
Greta ragu-ragu di luar pintu rumah Artie. Kemudian ia
menghirup napas dalam-dalam dan memencet bel pintu.
Artie segera membuka pintu. Sebelah wajahnya penuh oli.
"Hai. Masuklah. Kulihat kalian berhenti. Aku ada di garasi
bersama Marc. Kami sedang membetulkan mobilnya."
Greta menghirup napas dalam-dalam lagi. "Aku ingin
mengatakan sesuatu kepadamu, Artie - tapi tidak di depan Marc,
oke?" Artie mengerutkan kening. "Uh, tentu. Biar kuberitahu dia agar
di sana saja untuk sementara."
Reenie mendengar pintu belakang dibuka dan ditutup ketika
Artie kembali ke garasi. "Kuharap aku bisa mengatakannya, Reenie."
"Kau pasti bisa," Reenie meyakinkan Greta. Aku berharap aku
tahu apa yang harus kukatakan kepadanya, pikir Reenie. Aku tahu aku
akan kacau jika putus dengan Sean.
Greta akan mengatakan sesuatu. Tapi berhenti ketika jeritan
terdengar dari garasi. Jeritan ketakutan yang melengking mengerikan.
Reenie dan Greta berlari-lari melewati dapur dan keluar dari
pintu belakang. Jeritan itu semakin keras. Suara paling mengerikan
yang pernah didengar Reenie.
Greta mengempaskan pintu garasi hingga terbuka. "Tidaaakkk!"
ratapnya. Reenie masuk ke garasi. Greta dan Artie menatap mobil Marc.
Reenie merasa seolah sebongkah es meluncur di tulang
belakangnya. Sesosok tubuh telentang di atas tutup mesin merah yang
mengilap. Tubuh Marc. Darah menetes-netes dari mulut dan hidungnya.
Dan kepalanya... kepalanya...
Oh, kepalanya... Kepalanya terpuntir di lehernya...
Menghadap ke belakang seratus delapan puluh derajat.
Chapter 25 BUKAN LELUCON REENIE mundur hingga membentur dinding garasi. Ia tidak
ingin melihat. Tidak ingin melihat tubuh telentang di atas tutup mesin
itu. Darah itu. Kepala yang terpuntir ke belakang.
Tapi ia tidak bisa berpaling.
Dan ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak membayangkan
apa yang terjadi. Urat yang sobek. Tulang leher yang patah.
Apakah Marc langsung mati ketika lehernya dipuntir" pikir
Reenie. Apakah ia sadar apa yang menimpa dirinya"
Reenie memandang wajah Marc. Mulutnya masih membentuk
jeritan tanpa suara. Matanya terbelalak ketakutan.
Marc tahu, pikir Reenie. Marc tahu. Akhirnya ia berpaling. Ia
tidak tahan melihat pemandangan yang mengerikan itu lebih lama
lagi. Artie pelan-pelan mundur dari mobil itu, sambil menggelenggelengkan kepalanya.
"Marc - ia tadi tak apa-apa. Baik-baik saja," ia
berkeras. "Keadaannya baik ketika aku meninggalkan dia!"
Greta mengerang pelan, matanya terpaku pada tubuh Marc yang
tertekuk. Reenie merasa pusing. Berdirinya goyah. Ia harus
berkonsentrasi agar tetap berdiri tegak.
Berpikirlah, ia memerintahkan dirinya sendiri. Berpikirlah.
"Kita harus pergi dari sini," kata Reenie tanpa berpikir lagi. "Siapa
pun yang membunuh Marc bisa saja sekarang sedang mengawasi kita
di sini!" "Marc tadi baik-baik saja," Artie mengulangi. "Sedang
memasang kawat busi. Ia tak apa-apa. Semenit yang lalu."
"Kita harus menelepon polisi. Ayo!" perintah Reenie. "Jangan
sentuh apa pun," katanya, lalu ia menangkap lengan Greta dan
menariknya ke luar dari garasi, sambil mendorong Artie di depan
mereka. Begitu sampai di dalam rumah, mereka memeriksa kunci-kunci
di semua pintu dan jendela. Reenie menelepon 911. Kemudian ia
duduk di sofa bersama Greta dan Artie.
"Pembunuhan itu perlu kekuatan yang besar,?"kata Artie.
"Apa?" tanya Reenie. Ia merasa mati rasa. Suara Artie sayupsayup di telinganya
seperti tertiup angin dari kejauhan.
"Memuntir leher seseorang seperti itu. Siapa pun yang
melakukan pasti kuat - kuat sekali."
"Kau benar," Reenie mengiyakan.
Greta tidak mengatakan apa-apa. Ia menatap karpet di depannya
dengan pandangan kosong. "Harus cepat juga," Artie melanjutkan. "Marc hanya sendirian
kira-kira semenit. Kita bahkan tidak mendengar jeritannya."
"Yeah," Reenie setuju.
"Ini seperti permainan kita," gumam Greta.
Reenie menoleh dan menatapnya. "Apa?"
Greta tidak menjawab. Tubuhnya bergerak ke depan dan
belakang, lengannya memeluk dirinya sendiri.
"Apa katamu, Greta?" desak Reenie.
"Persis seperti kita memperdayai satu sama lain," jawab Greta
dengan suara datar. "Tapi sekarang seseorang memainkannya dengan
sungguh-sungguh." "Tapi siapa dia?" tanya Reenie.
Pertama P.J. Sekarang Marc.
Siapa yang melakukannya"
Dan kemudian pertanyaan yang menakutkan muncul di
benaknya: Siapa berikutnya"
Chapter 26 JANGAN LAGI REENIE melirik kaca spion sekilas. Tidak ada yang aneh.
Bagus. Ia mencengkeram setir mobil ibunya. Menekannya sampai
buku-buku jarinya sakit. Aku ingin tahu apakah aku akan pernah merasa aman pergi
sendirian" Masuk akal jika aku gelisah, kata Reenie kepada dirinya sendiri.
Baru seminggu semenjak Marc dibunuh. Konsentrasi pada setir saja.
Dalam beberapa menit kau akan berada di Burger Basket dengan Sean
dan Ty. Mobil Sean mogok. Saluran bensinnya rusak, Sean
memberitahu dia. Jadi ia harus menjemput Sean pulang dari kerja. Ty
juga. Liz Berjanji akan menjemput Ty. Tapi ia membatalkannya di
menit terakhir. Liz merasa ketakutan sehingga tak berani keluar di
malam hari. Tak seorang pun ditahan karena pembunuhan Marc. Dan polisi
tidak punya informasi baru tentang lenyapnya P.J. Jadi pembunuh itu
bisa saja bergentayangan di mana-mana.
Reenie memarkir mobilnya di tempat parkir Burger Basket. Ia
memeriksa tempat itu dengan hati-hati - tak seorang pun ada di sana.
Ia keluar dari mobil, mengunci pintunya, kemudian bergegas menuju
pintu masuk. Sesuatu bergerak. Di samping kirinya.
Reenie berjalan lebih cepat.
Langkah-langkah kaki. Di belakangnya. Reenie langsung lari. "Hei, tunggu!" Reenie berbalik. Sandi berlari-lari kecil menghampirinya. "Ada
apa?" tanya Sandi. "Kau tidak lihat aku melambaikan tangan?"
"Maaf. Kau membuatku takut. Ngapain kau di sini" Tempat ini
akan tutup kira-kira tiga puluh menit lagi."
Sandi memakai pakaian tebal, mantel hitam tebal berbulu halus
yang panjangnya sampai ke tumit. Ketika menjawab, napasnya
tampak berupa kepulan asap putih. "Aku ke sini untuk menjemput
Ty." Apa" pikir Reenie. Sandi dan Ty" Apa yang terjadi di sini"
"Aku, uh, kupikir ia pacaran dengan Liz."
"Itulah sebabnya aku di sini," Sandi menjelaskan, tersenyum
puas pada dirinya sendiri. "Kupikir Liz tahu lebih daripada yang
dikatakannya tentang kejadian yang menimpa adiknya. Dan kupikir
Ty mungkin tahu apa yang diketahui Liz."
"Apa tidak lebih baik kaubiarkan polisi saja yang melakukan
penyidikan?" "Aku hanya ingin bicara dengan Ty. Apa salahnya?"
"Tidak ada," jawab Reenie. "Kukira."
Aku tak mengerti, pikir Reenie. Kenapa Sandi mendadak begitu
bersemangat tentang semua ini"
Reenie menatap Sandi, sambil mencoba untuk memahami
sikapnya yang baru, kemudian mereka masuk ke Burger Basket.
"Awas," Sean memperingatkan. "Lantai licin." Sean
mengayunkan alat pel yang basah itu ke depan dan belakang di lantai
keramik. "Ty ada?" tanya Sandi.
"Di belakang, sedang membereskan gudang. Ia akan selesai
sebentar lagi." "Aku akan menunggu," katanya kepada Sean. Sandi
melemparkan mantelnya di salah satu meja. Ia memakai sweter
panjang biru di atas celana ketat hitam.
Sean mengepel sampai di ujung counter dan berhenti. "Fiuh!
Lantainya selesai. Kami tidak lama lagi sekarang. Begitu kami
menyelesaikan pekerjaan di belakang, kita bisa keluar dari sini."
Sean mengunci pintu. "Kami resmi tutup," ia mengumumkan. Ia
menyelinap ke belakang counter dan kemudian menghilang ke dapur.
Sandi mondar-mandir di lantai yang baru dipel Sean,
meninggalkan jejak yang basah. Reenie jengkel dan memandang
Sandi dengan kening berkerut. Sandi tampaknya tidak menyadarinya.
"Tanganku terasa lengket semua," kata Reenie kepada Sandi.
"Aku akan cuci tangan."
Sambil melangkah dengan hati-hati supaya tidak mengotori
lantai yang baru dipel Sean, Reenie berjalan ke toilet wanita.
Reenie mengamati wajahnya di kaca sambil mencuci tangan.
Aku tak keberatan kalau secantik Sandi, pikirnya. Tapi Ty cowok
yang cerdas. Bisakah Sandi membuat Ty mengatakan semuanya
dengan cara merayunya"
Reenie mengeringkan tangannya dengan handuk kertas. Ia
mendorong pintu hingga terbuka - dan ragu-ragu. Restoran itu terasa
sepi. Menakutkan, meskipun semua dindingnya dihiasi Sinterklas
yang sedang tersenyum. Ayo, Reenie menghardik dirinya sendiri. Tentu saja sepi. Hanya
ada tiga orang lain di tempat seluas ini!
Reenie bergegas menuju counter depan. Sandi tidak ada.
"Hei!" panggil Reenie. "Kalian di mana?" Tidak ada jawaban.
Reenie mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Di suatu
tempat sebuah motor kecil menderum memecah kesunyian. Mungkin
bunyi kulkas, pikirnya. Restoran itu sunyi senyap seperti kuburan.
"Hei, Sean!" Suara Reenie memantul di dinding keramik kuning itu. Matanya
memandang ke sekelilingnya. Ke atas meja-meja yang kosong. Dapur
yang sepi. Jejak kaki Sandi yang masih basah di lantai. Papan menu
yang terang di atas counter - Big Cheeser, $2.89; medium drink,
$1.75. "Ty!" panggilnya.
Gema suaranya sendiri yang menyahut, diikuti oleh keheningan.
Tubuhnya merinding. "Hei, Sandi!" teriak Reenie. "Di mana kau?"
Ayolah, kata Reenie kepada dirinya sendiri, Sandi ada di
belakang - dengan Ty dan Sean. Di mana yang lainnya" Mereka
semua akan menertawakannya jika tahu betapa takutnya dia.
Ketakutan" Aku" Hanya karena seseorang membunuh Marc dan mungkin P.J."
Dua orang yang hadir di pestanya. Dan yang memainkan permainan
yang sama dengan, yang biasa kulakukan dengan teman-temanku.
Kenapa aku harus takut"
Tubuh Reenie merinding lagi. Ia berjalan ke dapur. Tidak ada
masalah. Tak ada yang perlu dicemaskan.
Lantai itu masih basah, dan sangat licin.
Meja baja tahan karat mengelilinginya. Tudung kipas dapur dari
metal yang besar menjulang di atasnya. Sejenak ia merasa tersesat.
Di mana benda itu" Di mana pintu ke belakang"
Kemudian ia melihat pintu itu. Di samping kirinya. Ia
membelok. Kakinya terpeleset di lantai yang licin. Dan ia jatuh.
Mendarat keras di atas lantai keramik.
Reenie menggeleng-gelengkan kepalanya. Boy, tidakkah ini
lemah gemulai" Untung tak seorang pun melihatku. Ia berdiri - dan
menjerit. "Jangan lagi. Oh, tolong! Jangan lagi."
Chapter 27 SEPERTI SAMPAH SEMOGA ini hanya lelucon, doa Reenie. Semoga ini salah satu
dari lelucon kami yang paling memuakkan yang pernah kami
mainkan. Sepasang kaki mencuat dari tempat sampah besi.
Sepasang kaki yang panjang dan dibalut celana ketat hitam.


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reenie beringsut mendekati tempat sampah itu dan mengintip
ke dalamnya. Sandi! Dijejalkan dengan wajah tertelungkup di antara roti-roti
hamburger, potongan selada, dan kentang goreng basi. Mayones
menetes-netes dari salah satu kakinya.
Reenie menjerit lagi. Menjerit sampai tenggorokannya terasa
panas. Langkah kaki berdebam-debam menghampiri dia. Sean dan Ty
menghambur masuk lewat pintu.
"Ada apa?" tanya Sean ingin tahu. "Kami di luar. Tutup tempat
sampah - " "Sandi!" Reenie tercekik. "Ia... ia..." Reenie menunjuk tempat
sampah. "Itu... itu Sandi."
Sean dan Ty menghambur menghampiri tempat sampah itu dan
membaliknya. Sandi meluncur ke lantai keramik bersama timbunan daun
selada yang lembek, serbet kertas, kotak kardus hamburger, dan sisasisa makanan.
"Wow!" bisik Ty. "Wow."
Sekujur tubuh Reenie dingin.
Mata Sandi melotot menatap langit-langit. Tetapi ia terbaring di
atas dadanya. Di atas dadanya.
Kepalanya telah dipuntir ke belakang. Persis seperti kepala
Marc. Dan wajahnya memperlihatkan ekspresi ketakutan yang sama.
Mata birunya membelalak ketakutan.
Chapter 28 UNDANGAN YANG MENGEJUTKAN
"TIGA anak yang kita kenal dibunuh," kata Reenie sedih.
"Sepertinya seseorang di luar sana sedang mengincar kita. Temanteman kita.
Kita!" "Jadi apa hadiah untuk Natal?" tanya Artie kepada yang lainnya
yang sedang berkumpul di kamar Reenie.
"Artie," Greta mengerang. "Perasaan sedikit dong!"
"Hei, aku ingin mencerahkan suasana sedikit," jawab Artie.
"Aku tak memahami kalian, guys, tapi aku ingin tertawa sedikit."
"Aku yakin kejadian ini berhubungan dengan permainan kita,"
ujar Greta. "Tiga orang Dan mereka semua ikut ambil bagian dalam
salah satu lelucon kita. Apa ada hubungan lainnya di antara P.J., Marc,
dan Sandi?" "'Aku punya ide," Sean mengumumkan. "Ide itu muncul ketika
aku memasang selang bensin baru di mobilku - dan mengingat apa
yang terjadi pada Marc ketika ia membetulkan mobilnya."
Reenie merinding, mencoba untuk melupakan bayangan kepala
Marc yang terpuntir. "Katakan kepada kami," desak Greta.
"Kupikir PJ. pembunuhnya," kata Sean.
"Tapi... ia sudah mati!" seru Reenie.
"Mati?" tanya Sean. "Apa ada orang yang melihat mayatnya?"
"Ia menghilang beberapa minggu," ujar Reenie. "Satu-satunya
barang yang pernah diketemukan oleh polisi adalah jaketnya. P.J. ada
di luar sana, sedang bersembunyi di suatu tempat - dan membunuh
kita satu per satu."
"PJ.?" Artie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ayolah. Anak
itu penakut. Ia tak bisa membunuh siapa pun."
"Coba pikir," desak Sean. "Ia punya alasan untuk menghabisi
Sandi dan Marc. Mereka memainkan peranan terbesar waktu
mempermalukan dia." "Tapi bagaimana ia masuk ke dalam Burger Basket?" tanya
Reenie. "Pintunya kan dikunci."
Mereka saling bertukar pandang. Mereka membicarakannya
selama berjam-jam setelah peristiwa itu terjadi. Tapi tak seorang pun
tahu jawabannya. "Aku tak tahu bagaimana caranya ia masuk ke dalam Burger
Basket," Sean mengakui. "Tapi orang kan bisa saja mencari jalan.
Kenapa P.J. tidak?" "P.J. sangat cerdas," Greta mengingatkan mereka.
"P.J. benar-benar Houdini," Artie memberi pendapat. "Kembali
dari kubur dan bergentayangan di jalan-jalan Shadyside."
Reenie menatap Artie. "Apa kau ingin giliran berikutnya?"
tanya Reenie ingin tahu. "Apakah kau ingin mati dengan kepala
dipuntir ke belakang" Bagaimana kau bisa bercanda mengenai semua
ini?" "Maaf," gumam Artie.
Reenie menghela napas. "Maafkan aku juga. Aku jadi gila
memikirkan semua orang yang kutemui bisa saja si pembunuh. Aku
bahkan berpikir pembunuh itu Ty."
"Ty?" teriak Greta. "Tidak."
"Tapi ia di Burger Basket ketika pembunuhan itu terjadi. Dan
kami jarang melihatnya lagi," kata Reenie.
"Tidak," protes Sean. "Aku bersama Ty dari saat aku
meninggalkan kau dan Sandi di depan sampai kami mendengar kau
menjerit." "Ia tidak bergabung dengan kita karena Liz," Greta
menambahkan. "Sekarang mereka bersama-sama sepanjang waktu.
Dan kita tahu kenapa Liz menghindari kita."
"Kupikir P.J. sedang menuntut balas," kata Sean kepada
mereka. "Dan mungkin ia tidak hilang. Mungkin ia mengincar kita."
"Tapi di mana ia bersembunyi selama ini?" tanya Reenie ingin
tahu. "Mungkin Liz menyembunyikan dia," Artie memberi pendapat.
"Ia bisa saja sembunyi di rumahnya sendiri!"
"Polisi pasti telah memeriksa rumah itu," kata Reenie.
"Memeriksa rumah mungkin salah satu langkah pertama yang mereka
lakukan." "Well, kupikir pembunuh itu P.J., dan kupikir ia sedang
bersembunyi di suatu tempat," Sean berkeras.
"Misalnya di pondok di dalam hutan!" seru Artie. "Ada
beberapa pondok di dekat Fear Lake. Pondok-pondok itu semuanya
kosong. Tak seorang pun menghuninya di musim dingin begini."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Reenie. "Melapor ke
polisi?" "Mengapa mereka harus mendengarkan kita?" desak Artie.
"Artie benar," Sean setuju. "Kita hanya bisa mengatakan kepada
mereka bahwa kita berpikir P.J. adalah pembunuh itu, dan kita
berpikir P.J. bersembunyi di suatu tempat. Mereka tidak akan menaruh
perhatian pada kita."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Reenie.
"Mungkin kita seharusnya gantian mengikuti Liz," saran Greta.
"Ia mungkin membimbing kita bertemu P.J."
"Mari kita coba bicara dengan Liz dulu," kata Sean. "Liz tidak
akan mengatakan kepada kita hal-hal yang akan merugikan P.J. Tapi
kita mungkin bisa mengetahui apakah ia percaya P.J. mati - dan
apakah ia menyalahkan kita."
"Ide bagus." Artie melompat berdiri dan mulai mondar-mandir
di ruangan itu. "Karena seandainya P.J. pembunuhnya, aku ada di
urutan paling atas."
"Mungkin kau seharusnya bicara dengan Liz sendirian, Reenie,"
kat Greta. "Kau teman dekatnya. Dan ia tidak akan banyak bicara di
depan sekelompok orang."
Reenie menatap wajah mereka bergantian. Mereka semua
menginginkan aku yang melakukan itu, ia sadar. "Oke, aku akan
mencoba. Tapi aku yakin Liz membenciku setelah apa yang terjadi di
pestaku." **********************************
Salju yang ringan mulai berjatuhan ketika Reenie menghentikan
mobilnya di depan rumah Liz di Fear Street. Ia memarkir mobil itu di
taman dan duduk di sana, enggan keluar.
Ia memperhatikan rumah-rumah di sekitar sana. Salju menutupi
atap-atap rumah dan halaman rumputnya, membuat semuanya putih
kecuali jendela-jendelanya. Jendela-jendela itu menatapnya seperti
mata-mata yang gelap. Reenie menggigil. Aku tak suka Fear Street, pikirnya.
Jadi pergilah untuk bicara dengan Liz. Kemudian kau bisa
segera angkat kaki dari sini.
Reenie keluar dari mobil dan berjalan di jalan masuk rumah
Liz. Di tengah perjalanan ke rumah itu, pikiran yang menakutkan
menghantuinya. Bagaimana seandainya P.J. benar-benar pembunuh itu" Dan
bagaimana seandainya ia tinggal di rumah itu" Bagaimana seandainya
ia sedang menunggu di sana sekarang ini - sedang menungguku"
Pintu terbuka. Reenie menyentakkan kepalanya ke atas. Liz melangkah ke
teras dan berdiri di sana mengawasinya.
Uh-oh. Terlambat untuk mengkhawatirkan hal itu sekarang,
pikir Reenie. "Hai!" sapanya ketika ia melanjutkan berjalan di jalan
masuk. Liz tidak menjawab. Ia terus menatap Reenie, ekspresi
wajahnya kosong, lengannya disilangkan di depan dadanya.
Reenie melangkah naik ke atas ke samping Liz.
"Apa yang kauinginkan?" tanya Liz dingin.
"Well, aku ingin bicara denganmu." Ini akan sulit, pikir Reenie.
Ini akan menjadi begitu sulit.
"Mengenai apa?"
Reenie membalas tatapan mata Liz yang tajam. "Aku ingin
minta maaf. Kami semua melakukannya. Kami tak bermaksud untuk
melukai P.J. Kami pikir semuanya tidak berakhir buruk - "
"Adikku hilang," Liz menyela. "Ia mungkin saja mati."
"Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi kami cuma memainkan
lelucon - itu saja." ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Permintaan maafmu tidak akan mengubah apa pun. Semua
yang bisa kupikirkan adalah P.J. Aku tetap membayangkan semua
kejadian mengerikan yang mungkin menimpa dia. Aku tetap
membayangkan..." Suara Liz menjadi serak. Reenie melihat air mata di matanya.
Reenie mengulurkan tangannya untuk merangkul Liz. Liz
mundur. Ia membelakangi Reenie ketika berusaha untuk
mengendalikan air matanya.
Reenie membuka tasnya dan mengambil tisu. Ia menepuk
lengan Liz dan mengulurkan tisu itu padanya.
"Trims," bisik Liz. Ia membersit hidungnya. Kemudian ia
menenangkan diri dan berpaling menghadap Reenie.
Reenie merasa air mata mengembang di matanya. Ia telah
menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan Liz dan bagaimana
perasaannya. Semuanya terjadi begitu cepat - lenyapnya P.J.,
pembunuhan Marc, pembunuhan Sandi.
"Aku harus mengatakan kepadamu sekarang juga," Reenie
mengakui. "Kita berteman, betul kan" Aku seharusnya menemanimu."
Liz menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku dulu tak ingin kau
di sini, Reenie," kata Liz pelan. "Aku masih tidak ingin. Setiap kali
aku melihatmu, aku memikirkan P.J. Tentang apa yang kaulakukan
pada adikku." "Tidak bisakah kau memberi kami semua kesempatan lagi?"
pinta Reenie. "Terutama sekarang, dengan pembunuh yang masih
berkeliaran. Kita semua harus bersatu."
Kemarahan berkelebat di mata Liz. "Pergilah, Reenie. Aku tahu
kau menyesal. Tapi aku tak bisa memaafkanmu atas apa yang
kaulakukan pada P.J. Tidak akan pernah."
"Liz, aku - " Liz membuka pintu dan melangkah masuk. Pintu depan
dibanting di muka Reenie.
****************************************
"Apa sebaiknya aku yang seharusnya bicara dengan Liz?" tanya
Greta. "Setelah beberapa hari ini sekarang ia pasti sudah tenang."
Reenie ragu-ragu. "Liz tahu aku berteman dengan P.J.," Greta melanjutkan.
Mereka membelok di pojokan menuju blok rumah Reenie.
"Kau benar," Reenie setuju. "Aku ingat Liz mengharapkan P.J.
akan mengajakmu berkencan. Tapi kupikir ia tidak ingin berurusan
lagi dengan kita." Greta dan Reenie bergegas menuju jalan masuk rumah Reenie.
"Kakiku membeku," kata Reenie. "Semua salju itu membasahi
sepatuku. Aku ingin memakai kaus kaki kering sekarang juga."
Reenie membuka pintu. Mereka melemparkan mantel-mantel
mereka ke koridor. "Mom, aku pulang," panggil Reenie. "Greta
bersamaku." "Ada beberapa surat untukmu," ibunya menjawab dari ruang
tamu. "Aku meletakkannya di ranjangmu. Dan aku membuat kue
Natal jika kau mau."
"Oke. Trims." Reenie berjalan menuju kamarnya.
"Kau ingin sepasang kaus kaki kering?" tanyanya kepada Greta
ketika ia menarik laci atas meja riasnya.
"Tidak. Sepatu botku membuat kaus kakiku tetap kering." Greta
menjatuhkan dirinya di ranjang Reenie.
Reenie duduk di samping Greta dan melepas sepatunya. "Aku
heran apa ini." Ia mengambil sebuah amplop abu-abu panjang. "Tak
ada alamat pengirimnya."
"Bukalah," desak Greta. "Isinya kelihatannya bukan cuma
brosur. Terlalu bagus."
"Reenie merobek amplop itu dan mengeluarkan suratnya. Ia
membuka lipatan surat itu dan menggelengkan kepalanya. "Wow."
"Apa?" desak Greta.
"Aku tak percaya ini. Ini dari Liz. Ia mengundangku ke pesta."
Reenie membaca surat itu lagi:
29 Desember Reenie yang baik, Aku sudah memikirkan apa yang kaukatakan, dan kita semua
memang harus bersatu. Aku membutuhkan teman-temanku untuk
melewatkan saat-saat yang menakutkan ini.
Jadi aku memutuskan untuk mengadakan pesta Malam Tahun
Baru. Aku tahu P.J. sudah tiada, dan bahwa tahun ini menjadi tahun
yang sulit bagi kita semua. Tapi mari kita tinggalkan tahun ini dan
merayakannya. Dan kuharap tahun depan adalah tahun yang lebih baik
bagi semua orang. Silakan datang. Aku mengundang semua teman-temanku yang
paling akrab ke rumahku sekitar jam sembilan.
Kuharap kau bisa hadir. Liz Chapter 29 SAAT PESTA REENIE melihat ke luar dari jendela mobil ketika Sean
menghentikan mobilnya di depan rumah Liz. Angin yang dingin
menggigit mengembuskan gelombang putih salju yang berputar-putar
menyeberangi Fear Street.
"Aku tidak melihat lampu menyala," komentar Reenie. "Dan
tidak ada mobil yang diparkir di jalan."
"Kau benar," jawab Sean. "Aku ingin tahu berapa orang yang
diundang Liz." "Seandainya dia mengundang banyak orang pun, kupikir tidak
banyak yang akan datang." Reenie menghela napas. "Justin Stiles
mengadakan pesta besar malam ini, ingat" Dan pesta-pestanya selalu
hebat."

Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin kita bisa pulang lebih awal dan menuju ke sana,"
saran Sean. "Siap untuk masuk?"
Reenie membuka tasnya dan mengaduk-aduk untuk mencari
lipstik berry-pink kesukaannya. Ia melambaikan lisptik itu di hadapan
Sean. "Kupikir kau menciumku sampai lipstikku kuhabis," katanya
kepada Sean. "Kuharap kau tidak menyuruhku minta maaf," goda Sean.
Reenie menggelengkan kepalanya dan selesai memulas kembali
lipstiknya. "Siap?" tanya Sean.
"Belum siap betul sih," Reenie mengakui. "Aku senang Liz
mengundang kita. Tapi aku gugup bertemu dia lagi."
"Ayolah - ini Malam Tahun Baru!" seru Sean. "Ayo berpesta!"
Klakson mobil dibunyikan di belakang mereka. "Greta dan
Artie," kata Sean. "Bagus! Sekarang kita semua bisa masuk bersama-sama. Akan
lebih enak menghadapi Liz beramai-ramai."
Reenie dan Sean keluar dari mobil dan menemui pasangan
lainnya di trotoar. Aku senang mereka tidak putus, pikir Reenie.
Cukuplah peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi tahun ini.
"Saatnya pesta!" seru Artie. Ia mengadakan tos dengan Sean.
"Selamat Malam Tahun Baru, guys!"
Mereka melangkah di jalan depan yang tertutup salju. "Apakah
mereka tidak tahu yang namanya sekop?" keluh Greta. "Aku akan
membunuh diriku sendiri jika berjalan di salju dengan sepatu ini."
Reenie berpegangan pada jeruji ketika ia naik ke anak tangga
menuju beranda. Ia tidak ingin terpeleset di semen berlapis es itu.
Lampu beranda tidak menyala. Reenie tidak mendengar musik
atau suara dari dalam rumah itu.
"Kenapa rumah ini begitu sepi?" bisik Greta.
Reenie mengangkat bahu dan memencet bel pintu. "Kukira kita
yang pertama datang."
"Apakah kau pernah masuk?" tanya Artie ketika mereka
menunggu Liz. "Tidak. Aku mengantarkan Liz beberapa kali, tapi tidak pernah
masuk. Dan kami bicara di beranda waktu aku mencoba untuk minta
maaf," jawab Reenie. "Aku ingin tahu apakah orangtuanya ada di
rumah malam ini. Aku tak pernah bertemu mereka."
Reenie berharap mereka tidak ada. Ia tidak tahu bagaimana bisa
menemui mereka. Apa yang akan dikatakannya kepada mereka
tentang malam waktu P.J. lenyap"
"Kenapa Liz lama sekali?" tanya Artie ingin tahu. "Dingin
sekali di sini." Ia mengangkat tinjunya untuk menggedor pintu - dan
pintu terbuka. Liz muncul, mengenakan gaun pesta beludru warna merah.
Merah tua adalah warna favoritnya, pikir Reenie. Tapi Liz pucat
sekali. Bahkan bibirnya tampak hampir tidak berwarna.
Liz mengayunkan lengannya, memberi isyarat kepada mereka
untuk masuk. "Masuklah. Aku sudah menunggu kalian," katanya
pelan. "Aku senang sekali kau memutuskan untuk mengadakan pesta
Malam Tahun Baru!" seru Reenie. Ia cepat-cepat memeluk Liz. Tapi
Liz tidak membalas pelukannya, lengannya tetap di samping
badannya, tubuhnya kaku. Kenapa ia mengundangku kalau sikapnya begitu dingin" tanya
Reenie dalam hati. Liz tiba-tiba membelakangi mereka. Ia berjalan cepat di
koridor, menuju satu-satunya ruangan yang lampunya menyala.
"Ruang tamu lewat sini," serunya.
Oh, tidak! pikir Reenie ketika ia melangkah masuk ke ruangan
itu. Ia mendengar Greta mendesah di belakangnya. Aku seharusnya
tidak datang ke sini, kata Reenie pada dirinya sendiri. Aku seharusnya
tidak pernah datang ke sini.
Liz menghiasi seluruh ruangan itu dengan warna hitam. Kertas
krep hitam menghiasi dinding-dindingnya. Balon-balon hitam
melayang di langit-langit.
Ini bukan pesta. Ini upacara pemakaman, pikir Reenie muram.
"Apakah orangtuamu ada di rumah?" tanya Artie, sambil
menatap ke sekeliling ruangan itu dengan tegang.
"Tidak," jawab Liz. Ia tidak mau memberi informasi yang lain.
Reenie memandang Greta sekilas. Greta membelalakkan
matanya, seakan-akan mengatakan, "Kau percaya ini?"
Reenie mempelajari ruangan itu, mencoba untuk kelihatan
tertarik dengan rumah itu. Tapi matanya tetap tertuju kembali pada
dekorasi warna hitam itu.
"Wow. Ruang tamumu sebesar lobi hotel," sembur Reenie. Ia
tak bisa berdiri diam sedetik lagi. Semua otot di tubuhnya terasa
tegang. Liz tidak menjawab. Ia menatap Reenie dengan pandangan
kosong. Kenapa sih dia" tanya Reenie cemas.
Ruangan yang besar itu hampir kosong. Di pojok Reenie
melihat meja bundar dengan mangkuk besar untuk minuman. Di
sebelah mangkuk itu ada sebuah buku besar.
"Apakah keluargamu sedang mengubah penataan ruangan?"
tanya Reenie. "Tidak," jawab Liz.
Mungkin orangtua Liz tidak mampu untuk segera melengkapi
tempat ini dengan perkakas, pikir Reenie.
"Mari kusimpan mantel kalian," kata Liz tiba-tiba.
Mereka menyerahkan mantel mereka, dan Liz menghilang ke
koridor. "Wah. Apakah kita tamu tak diundang di pesta Tahun Baru
Addams Family?" ujar Artie tiba-tiba, begitu Liz menutup pintu di
belakangnya. "Benar," Sean mengiyakan.
Mereka saling bertukar pandang, bertanya-tanya apa yang harus
mereka lakukan. Tidak ada musik. Tidak ada tempat untuk duduk.
Tidak bisa menghindari dekorasi hitam dan serius itu.
"Bagaimana dengan minuman itu?" saran Greta. Ia
menghampiri meja dan memandang ke dalam mangkuk itu. "Setidaktidaknya minuman
ini tidak hitam," ia mengumumkan.
Mereka mengerumuni meja ketika Greta mengisi empat
cangkir. "Apa-apaan sebenarnya ini, guys?" tanya Reenie berbisik.
"Siapa yang tahu," jawab Sean. "Tapi menurutku kita tinggal di
sini setengah jam lagi dan pergi."
"Pasti," kata Artie. "Liz membuat aku merasa ngeri. Aku
bahkan tidak mengira dekorasi hitam ini."
"Lihat itu," kata Reenie sambil mengambil buku besar dari
meja. "Liz punya buku tahunan Shadyside High yang kuno. Tahun
berapa ini" Wow - 1965. Aku ingin tahu apakah orangtuanya sekolah
di sana." Ia membuka sampulnya.
Greta mencibir. "Dengar prasasti ini: Kita akan berteman
sampai lautan perlu popok agar dasarnya tetap kering."
"Tidak terlalu dangkal," canda Sean sambil memutar bola
matanya. Reenie membalik halaman itu. "Apakah mereka ini pemandu
sorak?" teriak Artie. "Seragam mereka melewati lutut!"
"Letakkan buku itu!" teriak Liz dari depan pintu.
Reenie terlompat. Ia tidak mendengar Liz kembali. Ia cepatcepat menutup buku
tahunan itu. "Kenapa kau membukanya?" desak Liz tajam ketika ia
melintasi ruangan dan menghampiri mereka.
"Liz, buku tahunan itu ada di atas meja. Kupikir tidak apa-apa.
Maaf," kata Reenie. Ketukan di pintu depan mengejutkan mereka semua.
Bagus! pikir Reenie. Lebih banyak orang. Lebih banyak orang
berarti kami bisa pergi lebih awal. Mungkin ruangan ini tidak akan
terasa begitu mengerikan jika banyak orang.
"Bagus!" kata Liz. "Aku tak ingin mulai sampai kita semua di
sini." Mulai apa" tanya Reenie heran. Ia memperhatikan Artie
mencicip minuman dengan hati-hati.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sean.
"Minuman biasa." Artie menyeringai. Ia meneguk sisa
minuman di cangkirnya. "Brrr!" teriak Greta, sambil menggosok lengan bajunya.
"Dingin amat di sini."
"Aku tahu," jawab Reenie. "Kupikir ia tidak rnenyalakan
pemanas ruangan. Aku ingin tetap memakai manteIku."
"Ini pacarku," Liz mengumumkan. Ia menggandeng Ty ke
depan yang lain. Paling tidak Liz kedengaran agak bahagia, Reenie
memperhatikan. Mungkin Ty akan membuat semangatnya lebih baik.
"Yo - Ty. Ke mana saja kau, man?" tanya Artie. "Tidak
melihatmu selama ini."
"Aku juga," kata Sean. "Kami masih tugas bergantian di Burger
Basket." Ty mengangkat bahu. "Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya
keluyuran saja." Keluyuran dengan Liz, pikir Reenie.
Ruangan itu menjadi sepi lagi.
Aku harus menanyakan P.J. kepada Liz, Reenie memutuskan.
Kami semua tidak bisa berpura-pura melupakan apa yang terjadi pada
P.J. "Ada kabar tentang adikmu?"
"Tidak," jawab Liz kosong, wajahnya tanpa ekspresi. "Polisi
masih tidak menemukan tanda-tanda mengenai dia - kecuali
jaketnya." "Kuharap mereka segera menemukan dia. Kami semua berharap
ia baik-baik saja," kata Reenie.
Liz menatap Reenie. Tatapannya keras dan dingin.
Percayalah padaku, pinta Reenie diam-diam. Kau harus
mempercayai itu. Aku tidak bermaksud membuat peristiwa buruk itu
terjadi. Tidak pada P.J. Tidak padamu. Tidak pada semua orang.
Liz berlalu. "Kita akan mengetahui apa yang terjadi padanya
cepat atau lambat - ya kan?" bisiknya.
Apa yang dimaksud Liz" tanya Reenie dalam hati. Ketika
mereka menemukan tubuhnya" Atau apa"
"Kau pikir P.J. mungkin melarikan diri?" tanya Greta. "Pergi ke
kota lain atau bagaimana?"
"Tidak," jawab Liz datar.
"Kenapa kau tidak berpikir demikian?" tanya Greta. "Anakanak seumur kita banyak
yang minggat. Maksudku, ini keadaan yang
biasa. Dan ia mengalami saat-saat yang sulit di sekolah."
"Aku kenal adikku," kata Liz kering. "P.J. tidak akan ingin aku
jadi cemas. Ia tidak pernah minggat."
Liz menuang secangkir minuman untuk Ty dan menuang satu
cangkir untuk dirinya sendiri. "Ini saatnya," ia mengumumkan, sambil
melambaikan tangannya kepada mereka untuk menuju ke tengahtengah ruangan itu.
Saat untuk apa" Reenie heran. Ini belum tengah malam.
Liz mengangkat cangkirnya. "Tos buat teman-teman kita yang
telah meninggal. Kita sangat kehilangan mereka." Ia memandang
setiap orang di lingkaran itu, kemudian membawa cangkir itu ke
bibirnya. Reenie mencicip minuman itu. Bayangan mengerikan dua
bulan yang lalu berkelebat di benaknya. Darah yang menetes-netes
dari pipi Marc. Sandi telentang di tumpukan sampah. Kepala mereka
berdua terpuntir ke belakang.
Dan P.J. begitu dingin dan pucat ketika ia memberinya
pertolongan mulut-ke-mulut untuk menyadarkan P.J.
Apakah mereka akan menemukan P.J. yang mati berikutnya"
Akankah kepalanya dipuntir ke belakang seperti yang lainnya"
Atau apakah P.J. sedang bersembunyi di suatu tempat"
Bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan - dan
merencanakan pembunuhan lagi"
Liz mengangkat cangkirnya. "Tos lagi untuk almarhum temanteman kita..." Katakatanya semakin lemah. Bibirnya gemetar dan air
mata mulai mengalir turun di kedua pipinya.
Liz menutupi wajahnya dengan tangannya dan menangis
terisak-isak. Liz yang malang, pikir Reenie. Ia begitu pucat. Begitu kurus.
Aku harus ingat betapa banyak kejadian yang telah ia alami. Tidak
heran ia merasa begitu emosional malam ini.
Ty membimbing Liz ke pojok ruangan itu. Mereka masih bisa
mendengar isak tangisnya yang memilukan.
"Apakah kau pikir kita seharusnya pergi?" bisik Greta.
"Aku tak tahu," jawab Reenie. "Nanti malah membuat Liz
merasa semakin sedih."
Reenie memandang Liz dan Ty sekilas. Mereka berdiri
berdekatan, membelakangi mereka.
"Sekarang apa?" gumam Sean. "Apakah kita seharusnya tetap
berpura-pura ini pesta yang normal?"
"Tidak!" kata Liz keras. "Aku tak ingin."
Reenie menoleh dan melihat Liz mendorong Ty menjauh. Ia
berjalan menghampiri mereka, wajahnya berkerut penuh kemarahan.
Matanya hampir berkilauan.
"Aku akan mengatakan kepada kalian mengapa aku
mengundang kalian semua ke sini!" kata Liz.
Ty mendekati Liz. "Menjauhlah dariku!" katanya dengan suara melengking.
Ty mundur, ekspresi wajahnya tampak tersinggung.
Liz menyipitkan matanya memandang Reenie. "Alasanku
mengadakan pesta ini karena aku memutuskan akan lebih mudah
untuk membunuh kalian semua sekaligus - daripada meneruskan
membunuh kalian satu per satu."
Chapter 30 REENIE YANG PERTAMA MATI "JANGAN coba-coba lari," Liz memperingatkan. "Semua pintu
terkunci." "Liz, ini tidak lucu!" protes Reenie.
"Aku akan pergi," kata Artie. "Aku tidak mau melakukan
permainan yang konyol ini lagi."
Sean menatap tajam, memperhatikan wajah Liz. "Kupikir ini
bukan permainan." "Dengarkan Sean. Ia cowok yang cerdas," kata Liz kepada
mereka. "Maksudmu kau yang membunuh Marc dan Sandi?" tanya
Greta ingin tahu. "Sekarang kau mengerti," jawab Liz, tersenyum dingin.
Reenie merasa bulu romanya berdiri.
"Tidak!" katanya serak. "Aku tak percaya ini. Kau tidak boleh
membunuh orang lain - walaupun betapa marahnya kau."
"Aku membunuh mereka. Dan aku menikmatinya," Liz
menegaskan, matanya membakar mata Reenie. "Aku suka mendengar
bunyi krak ketika aku mematahkan leher mereka. Aku suka menatap
wajah mereka yang ketakutan."
Artie lari ke pintu besar dari kayu jati yang menuju koridor dan
membuka pintu itu dengan menyentakkannya. Pintu itu tidak terbuka.
Ia memukul-mukul pintu itu, mendorong dengan menghantamkan
tubuhnya ke pintu. Tapi pintu itu bergeming.


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Greta lari ke jendela di belakang ruangan itu. Ia menyibakkan
tirainya - dan melihat batang-batang besi tempa mengganjal pintu itu.
Kami terperangkap, pikir Reenie.
"Kami berlima dan kau sendirian," Artie menantang Liz. "Kau
tak bisa memaksa kami untuk tinggal."
"Coba saja." Liz menyingkap taplak meja dan menarik laci. Ia
mengambil sebuah pisau daging.
"Kenapa?" tanya Reenie. "Kenapa kaulakukan ini?"
"Kenapa?" Liz memancangkan pandangannya ke wajah Reenie.
Matanya menyala-nyala penuh kebencian. "Karena lelucon konyol
yang bertanggung jawab atas kematian adikku," jawabnya.
"Itu tidak benar!" teriak Sean. "P.J. tidak mati di pesta itu.Ia - "
"Siapa yang akan mati duluan?" jerit Liz. Ia memandang wajah
mereka satu per satu. "Jangan semua mati sekaligus. Dan jangan
kuatir - aku akan membunuh kalian satu per satu sebelum lonceng
Tahun Baru berdentang."
Liz melangkah menghampiri Reenie. Ia mengangkat pisau itu
tinggi di atas kepalanya. Pisau perak yang tajam itu berkilauan.
"Bagaimana dengan kau, Reenie" Kau ingin jadi yang pertama mati"
Kaulah yang pertama kali berpura-pura menjadi temanku."
Liz menusukkan pisau itu tepat di jantung Reenie.
Chapter 31 TAMU KEJUTAN REENIE tak punya waktu untuk menjerit.
Ketika pisau itu mendekat, Sean menukik menubruk Liz. Ia
mencengkeram lengan Liz dan memuntir pisau itu dari Reenie
sebelum pisau itu menikam dadanya.
Pisau itu jatuh berdentang di meja.
Reenie berdiri seakan lumpuh. Ia hampir bisa merasakan mata
pisau yang dingin merobek tubuhnya.
Liz mengulurkan lengan kirinya yang bebas. Merebut pisau itu
dengan tiba-tiba. Tapi Sean lebih cepat. Ia merampas pisau itu dan
menodongkannya kepada Liz.
"Tangkap dia, Sean!" teriak Artie.
"Buka pintu," Sean memerintah Liz. Ia tetap menodongkan
pisau itu kepada Liz. Liz tidak bergerak. "Buka pintu itu sekarang!" bentak Sean. "Aku tak ingin
melukaimu. Tapi kami akan pergi - dan kami akan memanggil polisi."
Reenie bergerak maju mendekati Sean, jantungnya masih
berdebar-debar, masih kacau karena nyaris mati.
"Oke," kata Liz dengan terengah-engah. "Oke, aku akan
membukanya." Ia mundur menjauhi Sean. Sean tidak menurunkan
pisau itu. Liz sudah menyerah, pikir Reenie. Ia memejamkan matanya dan
menghirup napas dalam-dalam, membiarkan perasaan lega merasuki
dadanya. Tapi bukannya membuka pintu, Liz malah berteriak
menyerang - dan menghantamkan dirinya kepada Sean.
Sean jatuh di lantai dengan Liz di atas tubuhnya.
Pisau itu terjatuh dari tangannya, tapi ia menangkapnya
kembali. Sean berguling dan menendang-nendang ketika ia berusaha
untuk mengempaskan tubuh Liz.
Liz berteriak lagi - dan mengincar tenggorokan Sean. Wajah
Sean merah ketika Liz mencekiknya. "Jatuhkan pisau itu! Jatuhkan!
Jatuhkan!" jeritnya.
Reenie memaksa dirinya maju. Ia menangkap bahu Liz dan
menarik Liz sekuat tenaga agar melepaskan Sean.
Dengan kekuatan yang mengagetkan, Liz melepaskan diri dari
cengkeraman Reenie. Menerkam lengan Sean - dan mengiggit
pergelangan tangan Sean. Sean melolong kesakitan. Liz berteriak penuh kemenangan ketika ia menarik pisau itu
dari genggaman Sean. Liz melompat berdiri.
Sean berguling menjauhi Liz, sambil memegangi lengannya
yang terluka. Liz mengejar Sean. "Kukira kau ingin giliran yang pertama,
Sean!" kata Liz serak, sambil terengah-engah. Ia membelah udara
dengan mata pisau itu. "Liz - jangan!"
Liz membeku. Pisau itu berkilauan sedetik di udara. Kemudian
ia menangkap Sean dan menekan pisau itu di tenggorokannya.
"Jangan, Liz!" suara itu mengulangi.
Reenie berputar untuk melihat siapa yang sedang
memperingatkan Liz. "P.J.!" jeritnya.
P.J. melangkah cepat ke ruangan itu. "Jangan lakukan itu, Liz,"
P.J. mengulangi. "Kau masih hidup!" teriak Reenie. "P.J. - kau selamat!"
"Syukur kau masih hidup!" Greta berteriak gembira.
"P.J. - katakan kepada kakakmu!" Reenie memohon. "Katakan
kepada kakakmu kami tidak melukaimu. Katakan kepadanya!"
P.J. ragu-ragu, matanya terpaku pada Liz.
Liz tetap menekan pisau itu di tenggorokan Sean. Reenie
melihat setitik darah merah mengalir turun dari leher Sean.
"Liz - " P.J. maju pelan-pelan menghampiri kakaknya.
Liz menarik pisau itu dari leher Sean. Ia menurunkan pisau itu
di samping tubuhnya. "Itu lebih baik," kata P.J. lembut, menenangkannya. "Aku
senang kau menghentikannya, Liz. Aku senang kau mendengarkan
aku." Fiuh! Sudah berakhir! kata Reenie kepada dirinya sendiri.
Terima kasih, Tuhan, P.J. tiba ketika nyawa Sean terancam. Sudah
selesai. Sudah selesai. Wajah P.J. pelan-pelan menyeringai ketika ia melangkah
menghampiri kakaknya. "Aku senang kau menunggu, Liz," katanya
lembut. "Aku akan sangat kecewa jika kau mulai tanpa aku. Aku juga
ingin melihat mereka mati."
Chapter 32 TERTIKAM P.J. berputar membelakangi Liz, menghadap Reenie dan temantemannya. Matanya
berkilat-kilat penuh kebencian. "Aku ingin
melihat kau mati. Kalian semua!" teriaknya.
"Tapi, P.J. - kami teman-temanmu," seru Greta. "Kami semua
sangat mencemaskanmu. Ke mana saja kau" Apa yang terjadi malam
itu setelah pesta Reenie?"
Di belakang P.J. dan Liz, Reenie melihat Sean pelan-pelan
berdiri. Apa yang akan dilakukan Sean" Reenie cemas. Hati-hati, Sean,
pintanya. Tolong - hati-hati.
"Aku sudah ada di sini lama sekali," P.J. mengungkapkan. "Aku
tidak mau kehilangan kesenangan itu. Aku melihat Liz membunuh
Sandi dan Marc. Ia membunuh mereka - tapi aku harus melihat."
"Sinting!" teriak Reenie. Ia tidak bermaksud untuk berkata apaapa. Tapi katakata itu keluar dari mulutnya begitu saja.
"Kenapa?" ratap Greta. "Kenapa kau bunuh mereka, Liz?"
Artie melangkah maju mendekati Greta. Sementara itu, Sean
mengendap-endap di belakang Liz dan P.J.
Reenie merasa mual. Bagaimana bisa Liz menjadi pembunuh"
Bagaimana P.J. bisa menikmati melihat Liz membunuh"
Mereka tampak begitu normal. Begitu sangat normal.
"Kenapa kau tega membunuh Sandi dan Marc karena mereka
melakukan lelucon yang tidak melukai P.J.?" tanya Reenie kepada
mereka. Sebelum salah satu dari mereka menjawab, Sean menangkap
pinggang Liz. Ia menjepit Liz ke tubuhnya dengan tangan kiri - dan
menangkap pisau dengan tangan kanannya.
Liz berkelit membebaskan diri.
Ia menerjang Sean. Sean mencoba untuk mengelak terkaman Liz.
Terlambat. Liz kehilangan keseimbangannya. Terjerembap ke arah Sean.
Dan pisau itu menembus dadanya.
Jeritan-jeritan membahana di ruangan besar itu.
Semua orang menjerit, tapi Liz tidak. Reenie terpana melihat
ekspresi wajah Liz yang kosong.
"Ohhhh." Rintih ketakutan keluar dari tenggorokan Sean.
Reenie tahu bahwa Sean tidak sengaja menikam Liz. Dan
sekarang sekujur badan Sean gemetar, matanya terbelalak ketakutan.
Hanya Liz yang tetap tenang.
"T-tidak berdarah - !" kata Artie gagap sambil menunjuk.
Reenie ternganga memandang gaun depan Liz. Tak ada darah.
Tak ada darah yang menyembur dari luka itu.
Dengan terengah-engah, Sean menarik pisau itu dari dada Liz.
Liz tidak bergerak. Tidak menjerit.
Tubuh Reenie gemetar ketakutan.
Ada apa ini" tanyanya dalam hati. Apa yang terjadi di sini"
Chapter 33 DALAM KENANGAN REENIE menatap pisau di genggaman Sean. Pisau itu
berkilauan tertimpa cahaya dari langit-langit. Tidak ada darah.
Tidak ada darah. Kata-kata itu berulang-ulang di telinga Reenie
sampai terdengar seperti auman.
Liz menoleh kepada Sean, senyum aneh menghias wajahnya.
"Kau merobek gaunku," katanya kepada Sean sambil pura-pura
mencibir. "Aku-aku - " Sean menjatuhkan pisau itu ke lantai. Wajahnya
tegang ketakutan ketika ia mundur menjauhi Liz.
Liz tertawa. "Dasar penakut," bisiknya. "Maaf sekali, Sean.
Tapi kau tidak bisa membunuhku. Tahu kenapa?"
"Kenapa - ?" Sean tercekik.
"Karena aku sudah mati."
"Tidaaaak!" Jeritan keluar dari kerongkongan Reenie.
"Aku dan P.J. sudah mati," Liz mengungkapkan. "Kami berdua
mati sebelum kalian dilahirkan. Ini. Aku akan membuktikannya
kepada kalian." Liz berjalan ke meja dan mengambil buku tahunan kuno
Shadyside High. Ia melemparkan buku itu kepada Reenie.
Jari-jari Reenie gemetar ketika menelusuri huruf-huruf di atas
sampulnya yang dicetak menonjol. Murid-murid tahun 1965. Ia
membuka buku itu. Halaman-halaman yang mengilap otomatis terbuka pada potret
satu halaman penuh di depan. Potret itu dikelilingi bingkai hitam
tebal. Di bawah potret itu tertulis:
DALAM KENANGAN Elizabeth Fleischer dan saudara laki-lakinya Philip Jeremy
Fleischer. Kalian akan selalu hidup dalam hati kami.
Greta memandang potret itu lewat bahu Reenie. Ketika
membaca tulisan itu, tangannya menekan lengan Reenie.
"Itu Liz dan P.J.," bisik Sean, sambil menatap halaman itu.
"Lihat mereka! Mereka tampak benar-benar sama. Tapi potret ini
diambil lebih dari tiga puluh tahun yang lalu!"
"Kami tidak dikenal sebagai Liz dan P.J. saat itu," Liz
menjelaskan. "Kami adalah Beth dan Jeremy. Kami meninggal dalam
kecelakaan mobil di Malam Tahun Baru, di suatu malam yang
bersalju tebal seperti saat ini."
"Dan apa kau tahu kenapa kami mati?" tanya P.J., sambil
melangkah ke sebelah kakaknya. "Kau tahu kenapa?"
"Kami meninggal karena beberapa anak yang kejam
memainkan lelucon yang keji pada adikku," kata Liz pahit kepada
mereka. "Dan sekarang ini tiga puluh tahun kemudian. Tiga puluh
tahun yang mestinya bisa kami nikmati, yang mestinya bisa kami
jalani. Tiga puluh tahun kemudian - dan kalian melakukan hal yang
sama." "Wow. Tunggu - " Sean memulai.
"Kali ini akan berbeda," Liz membentak, mengabaikan Sean.
"Kali ini kalian akan menerima ganjaran untuk lelucon kalian. Kalian
akan membayar untuk tiga puluh tahun kami yang lenyap karena
sebuah lelucon." "Kalian semua akan mati!" seru P.J. dengan riang.
Chapter 34 KEJUTAN BUAT LIZ "AKU dan P.J. telah menunggu lama sekali untuk saat ini," Liz
melanjutkan. "Kami menghabiskan tahun demi tahun terperangkap di
suatu tempat yang dingin dan kelabu. Seiring dengan waktu yang
berlalu, kami tumbuh menjadi lebih kuat. Dan kemudian tiba-tiba
kami kembali. Kembali ke Shadyside. Kembali ke tubuh-tubuh tua
kami. Orang bisa melihat kami dan mendengar kami lagi. Aku sadar
P.J. dan aku diberi kesempatan kedua - kesempatan untuk membalas
dendam." "Tapi kenapa kau melakukan pembalasan pada kami?" teriak
Reenie. "Kau mati lebih dari tiga puluh tahun sebelum kami lahir!"
Suaranya menjadi gemetar dan lemah, tapi ia memaksa dirinya untuk
melanjutkan. "Kami tidak menyebabkan kematianmu! Kami tidak
menyebabkan kematian P.J.!"
Liz maju mendekati Reenie. Ia berdiri begitu dekat. Reenie bisa
merasakan napas Liz yang dingin dan asam di wajahnya.
"Aku suka pada kalian semua mulanya. Terutama kau, Reenie,"
kata Liz, hampir dengan suara lembut. "Kau selalu begitu manis.
Begitu ramah padaku." Raut wajah Liz menjadi gelap. "Kemudian kau
memainkan lelucon kejam pada P.J., sama seperti yang dilakukan oleh
orang lain yang menyebut dirinya teman."
Liz menghela napas. "Dan waktu itulah aku tahu. Waktu itulah
aku tahu kalian semua harus mati."
"Kami memainkan lelucon-lelucon itu sepanjang waktu!" teriak
Greta. "Untuk bersenang-senang. Supaya bisa tertawa meriah. Itu saja.
Kami tidak seperti anak-anak lain itu. Kami tidak ingin melukai P.J."
Greta menoleh kepada P.J. "Aku temanmu - ingat?"
P.J. cemberut. "Teman apaan."
"Cukup bicaranya," kata Liz tajam. "Aku dan adikku telah
menunggu begitu lama untuk balas dendam. Sulit untuk dipercaya
akhirnya ini akan terjadi."
Liz mengambil pisau itu. Tersenyum pada Reenie. Senyuman yang dingin. Matanya yang
sudah mati berkilauan. Menerkam Reenie.
Ty melompat di antara mereka.
"Jangan ikut campur, Ty," perintah Liz. Ia mengangkat pisau
itu, wajahnya penuh kemarahan. "Menyingkirlah, Ty."
Ty tidak, bergeser. Ia berdiri di sana, kedua tangannya di
samping badannya, pandangannya terpancang pada Liz.
"Kau mengarang cerita yang salah, Beth," Ty menerangkan
dengan lembut. "Salah" Apa katamu?" Liz ingin tahu.
"Kau tidak memahaminya, Beth," kata Ty kepadanya. "Kau
tidak mengerti kenapa kau kembali hidup."
"Ty, minggirlah," perintah Liz. "Berhentilah mencoba membela
Reenie. Ia akan mati dan kau juga."
"Tidak, aku tidak akan mati," Ty berkeras.


Fear Street - Pesta Tahun Baru The New Years Party di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reenie menatap Ty lekat-lekat, mengamati wajahnya. Ia tidak
terlalu kenal Ty. Tapi Ty sangat berani, amat sangat berani, berdiri di
hadapan Liz atau Beth atau siapa pun namanya. Berdiri di hadapan
seorang gadis yang telah mati tiga puluh tahun dengan begitu
tenangnya, begitu beraninya.
"Kau tidak tahu, Beth," Ty mengulangi dengan lembut. "Kau
tidak kembali dari kematian untuk balas dendam. Akulah yang akan
balas dendam!" Chapter 35 SELAMAT TAHUN BARU "KAU balas dendam?" pekik Liz. "Untuk apa?"
"Aku juga mati di Malam Tahun Baru yang bersalju tahun 1965
itu," kata Ty kepada Liz.
Reenie ternganga. Ty" Ty hantu juga" Reenie merinding.
"Tidakkah kau ingat padaku?" tanya Ty kepada Liz. "Aku ingat
betul padamu. Kau dan adikmu itu."
"Tidak!" P.J. dan Liz berteriak seketika. Mereka takut, Reenie
melihat. Ternyata mereka juga ingat Ty.
"Aku tak tahu kenapa aku dibawa kembali untuk hidup, kembali
ke Shadyside juga," Ty melanjutkan. "Sampai aku bertemu kau dan
adikmu. Kemudian aku tahu. Aku tahu kau adalah Beth dan Jeremy.
Orang-orang yang menabrakku di salju di Malam Tahun Baru dan
meninggalkan aku sampai mati."
P.J. mengerang kesakitan. "Kami seharusnya berhenti. Kami
seharusnya berhenti."
"Tidak!" bentak Liz kepada adiknya. "Kita tidak membunuh
dia! Kita menabrak binatang. Seekor raccoon."
"Kau tahu itu tidak benar, Beth," Ty berkeras. "Aku yakin kau
ingat wajahku di kaca depan mobil itu. Aku menatapmu. Aku melihat
kalian berdua - sebelum kau melarikan diri dan meninggalkan aku
sampai mati." Liz berputar dan berlari pontang-panting ke pintu.
Ty sampai di pintu sebelum Liz sampai dan menghalanghalangi langkahnya. Ty
membelai pipi Liz dengan jari telunjuknya.
Liz menggigil. "Itulah sebabnya kenapa aku mendekatimu," kata Ty kepada
Liz. "Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini. Saat yang tepat untuk
melakukan pembalasanku - Tahun Baru."
Teng! Jam dinding berdentang, mengagetkan Reenie. Dentangnya
yang pertama kali di tengah malam.
"Sekarang giliranku," Ty melanjutkan. "Itulah sebabnya kalian
berdua hidup kembali. Jadi aku bisa membunuh kalian. Itulah
sebabnya kita bertiga hidup kembali."
Ekspresi sangat ketakutan tersirat di wajah Liz.
Ty menangkap Liz. Liz berteriak ketakutan. Jam dinding kembali berdentang. Teng!
Teng! Teng! Teng! Teng! Liz memukuli Ty dengan tinjunya. Berusaha untuk melepaskan
diri dari cengkeramannya.
Tapi Ty memegangi Liz, tidak mau melepaskannya.
"Lepaskan kakakku!" pekik P.J.
P.J. menubruk Ty. Berjuang untuk menarik Liz dari
cengkeraman Ty. Teng! Teng! Teng Reenie tidak sempat menghitung. Tapi ia tahu tengah malam
hanya beberapa saat lagi.
Liz, Ty, dan P.J. berputar, saling menarik seakan-akan dalam
tarian gila. Makin lama makin cepat. Gelombang udara dingin muncul dari tubuh-tubuh mereka.
Kulit Reenie terasa mati rasa. Matanya berair.
Teng! Jeritan Liz tenggelam dalam suara jam. Mereka berputar
membentuk lingkaran setan, lingkaran kemarahan dan balas dendam.
Lebih cepat. Lebih cepat. Angin puyuh putih.
Siulan tinggi melengking menusuk telinga Reenie.
Makin keras. Makin nyaring. Sampai Reenie menutupi kedua
telinganya agar telinganya tidak sakit.
Kemudian siulan itu berhenti.
Dan tiga hantu itu mulai memudar.
Mereka menjadi lebih kabur.
Lebih kabur. Teng! Mereka memudar menjadi bayangan.
Kemudian bayangan itu lenyap menjadi asap.
Putaran gumpalan asap yang naik lurus ke atas.
Teng! Jam dinding berdentang dua belas kali.
Dan hening. Asap itu lenyap. Dan melayang pergi.
Reenie dan teman-temannya melotot ketakutan.
"Mereka sudah pergi," bisik Greta akhirnya.
"Pergi." Sean menghela napas panjang.
Tanpa menyadari, mereka saling berpelukan.
Saling berpelukan dengan erat. Karena mereka telah selamat.
Karena mereka masih hidup!
Mereka saling berpelukan dalam diam.
Dan kemudian Reenie menoleh ke tempat hantu-hantu itu tadi
berpusing dan berputar, menyelesaikan tarian akhir mereka.
"Semuanya sangat menyedihkan, sangat menyedihkan dan
menakutkan," katanya. "Apa lagi yang harus diucapkan?"
Untuk beberapa lama tak seorang pun menjawab.
Kemudian Sean memeluknya dan menariknya mendekat.
"Bagaimana kalau Selamat Tahun Baru?" katanya lembut.END
Kitab Lorong Zaman 2 Pendekar Mabuk 029 Cambuk Getar Bumi Pendekar Tanpa Bayangan 1

Cari Blog Ini