Fear Street - Cewek Baru The New Girl Bagian 1
PROLOG SELAMAT tinggal, Anna. Selamat tinggal. Lihatlah ia di bawah sana, berantakan. Gaunnya kusut.
Ia tak mungkin seperti itu. Ia selalu rapi.
Ia tak mungkin berdarah, hitam, dan kotor.
Kau selalu tampak sempurna, Anna. Kau selalu cemerlang dan
bercahaya, sepertinya kau berkilau baru setiap hari.
"Permataku," Mom selalu bilang begitu.
Lalu, siapakah diriku"
Siapakah aku kalau kau adalah Nona Cilik yang Sempurna"
Nah, kau sempurna sekarang. Kau sempurna mati, hahaha.
Seharusnya aku tak tertawa. Tapi itu amat mudah.
Aku tak pernah bermimpi itu amat mudah. Oh, aku sering
bermimpi tentang itu. Aku memimpikan dan mengharapkannya, dan,
oh, bersalahkah aku"
Tapi aku tak pernah tahu itu akan mudah.
Sekali dorongan. Sekali dorongan, dan jatuhlah kau.
Lihatlah kau di bawah sana, semuanya kusut. Kusut sempurna.
Dan kini pintu depan terbuka. Mereka kembali. Dan aku pun
mulai menangis. Betapapun ini adalah tragedi yang mengerikan.
Kecelakaan tragis yang mengerikan.
Aku harus menangisimu sekarang. Dan aku harus lari
memberitahu mereka. "Anna mati, Mom! Kemarilah cepat! Semuanya amat
mengerikan"tapi Anna sudah mati!"
Bab 1 KETIKA Cory Brooks pertama kali melihat cewek baru itu, ia
ada di ruang makan, sedang berdiri dengan kepala di bawah.
Sebenarnya, ia bertumpu pada kepala dan sebelah tangannya,
sambil menjaga keseimbangan nampan makan siangnya di tangannya
yang bebas. Sepatu hitamnya di atas, lurus ke tempat kepalanya
seharusnya berada. Beberapa detik sebelumnya, David Metcalf, teman baik Cory
dan sesama anggota tim senam Shadyside High, mengutarakan
keraguannya bahwa Cory mampu memperagakan gerakan itu.
"Itu sih kecil," kata Cory. Ia ingin membuktikan bahwa David
keliru. Ia bimbang sesaat, lalu merapikan rambutnya yang hitam
keriting dan mengamati ruangan luas dan ramai itu, meyakinkan tak
ada guru yang melihatnya. Kemudian ia bersalto, mendarat dengan
kepala di bawah, tanpa memiringkan nampannya sedikit pun.
David bertepuk tangan dan bersuit dari meja di dekat situ,
berbarengan dengan penonton yang tertawa-tawa dan bersorak-sorai.
"Sekarang lakukan tanpa tangan!" seru David.
"Yeah, lakukanlah!" Arnie Tobin, anggota lain tim senam,
mendesak. "Lakukan tanpa kepala!" ejek yang lain. Semua tertawa.
Sementara itu Cory mulai merasa sedikit tak nyaman. Darah
mengalir ke kepalanya. Ia merasa agak pusing, dan bagian atas
kepalanya mulai sakit karena menekan ubin lantai yang keras.
"Aku menantangmu makan siang dengan posisi seperti itu!"
kata David, yang selalu mendorong Cory untuk melakukan hal-hal
yang lebih "hebat".
"Apa pencuci mulutnya" Kue terbalik?" ledek cewek dari dekat
jendela. Beberapa anak yang tidak setuju dengan lelucon konyol itu
berteriak dan bersuit. "Cory...si jago akrobat!" teriak seseorang.
"Ada apa ini?" seorang guru berseru cemas.
Lelucon, teriakan, cemooh, dan olok-olok semuanya langsung
lenyap ketika cewek itu berkelebat di mata Cory. Cewek itu amat
pucat, amat pirang, amat bercahaya, amat cantik. Mula-mula Cory
berpikir itu cuma imajinasinya. Pasti karena semua darah mengalir ke
kepalanya hingga menyebabkannya melihat yang aneh-aneh!
Cewek itu berjalan di dekat tembok, melangkah cepat ke pintu.
Cory hanya menangkap bayangannya. Cewek itu berhenti untuk
memandangnya. Cory melihat mata birunya. Mereka pun
berpandangan. Tahukah dia bahwa Cory membalas tatapannya"
Tersenyum atau cemberutkah dia" Tak mungkin mengetahuinya dari
posisi seperti itu. Lalu cewek itu menggoyangkan kepalanya yang
pirang, kontak pun terputus, dan lenyaplah ia dari pandangan.
Matanya. Siapakah dia" Cory berpikir. Ia luar biasa!
Memikirkan cewek baru itu, Cory lupa berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangannya agar tetap tegak lurus. Mula-mula
nampannya yang terjatuh. Lalu ia sendiri. Wajahnya meluncur ke
makanannya. Dadanya menghantam lantai yang keras. Tungkainya
yang panjang membujur ke belakang.
Ruangan itu segera dipenuhi gelak tawa dan cemooh.
"Lakukan lagi!" suara Arnie Tobin terdengar mengguntur,
mengalahkan keramaian di situ.
David bergegas membantu Cory berdiri. "Ada ide yang lebih.
bagus lagi?" erang Cory membersihkan spageti dan saus tomat dari
rambutnya. "Lain kali ambil sandwich saja," ujar David tertawa. Rekan
Cory yang sama-sama nekat ini memiliki rambut berwarna oranye
wortel, dan bintik-bintik wajah yang nyaris berwarna oranye pula.
Teriakan serta tawanya yang mengguntur bisa membuat anjing-anjing
menegakkan telinga dari jarak bermil-mil.
Cory menggunakan bagian depan T-shirt nya untuk mengelap
saus spageti di wajahnya. Ketika ia mendongak, Mrs. MacReedy,
pengawas ruang makan, sudah berdiri di depannya. Wanita itu tidak
mengatakan apa-apa, hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf atas semua itu," kata Cory, merasa lebih tolol dari orang
tolol. "Semua itu apa?" tanya Mrs. MacReedy dengan wajah dingin.
Cory tergelak. Untunglah Mrs. MacReedy punya selera humor
yang tinggi! "Ini semua ide Arnie," David melaporkan. Ia menunjuk ke meja
tempat Arnie sedang sibuk memasukkan tiga pretzel-stick sekaligus ke
mulutnya. "Kukira Arnie tak pernah punya ide," kata Mrs. MacReedy,
masih berwajah dingin. Lalu ia mengedip cepat kepada Cory dan
berlalu. Masih dengan spageti dan saus tomat menetes-netes, Cory
memungut nampannya. "Hei, David, siapa cewek itu?"
"Cewek mana?" "Cewek berambut pirang. Cewek yang berjalan keluar
sementara..." "Siapa?" David tampak bingung. Ia memunguti sendok-garpu
Cory yang tercecer, lalu melemparkannya ke nampan. "Cewek?"
Cory mendesah. "Tidakkah kau melihatnya?"
"Tidak. Aku pasti sedang asyik melihat ulahmu
mempermalukan diri sendiri."
"Aku" Itu kan idemu."
"Bukan aku yang menyuruhmu menyurukkan wajah ke piring
penuh spageti." "Cewek itu pirang dan mengenakan gaun biru pucat."
"Siapa?" "Cewek yang kulihat itu."
"Kaulihat cewek memakai gaun ke sekolah?"
"Kau tak mempercayaiku, hah?" Cory melihat ke pintu seolaholah cewek itu masih di sana. Tapi ketika perutnya berbunyi, ia
teringat bahwa ia baru saja menumpahkan makan siangnya. "Hai,
David, kau punya uang" Aku lapar."
"Jangan pandang aku seperti itu," David berkata sambil nyengir
dan berbalik pergi. "Ayolah. Pinjami aku." Cory meletakkan nampan di meja yang
kosong dan bergegas mendahuluinya.
"Tak usah, ya."
"Mana makan siangmu" Yuk kita bagi dua." Cory berbalik dan
melangkah ke meja David. "Makan siangku" Lupakanlah. Aku tak..."
Cory mencomot apel dari nampan David, lalu menyambar
segenggam penuh pretzel-stick dari piring Arnie.
"Hei... aku masih mau!" protes Arnie, berusaha merebutnya
kembali, tapi gagal. "Jangan pelit dong," ujar Cory dengan mulut penuh apel.
"Bukankah kita akan berlatih sepulang sekolah" Kalau aku tidak
makan, aku takkan kuat memanjat balok keseimbangan."
"Rasain," kata Arnie sambil menyambar pretzel-stick dari
tangan Cory dan memasukkannya ke mulutnya. "Mungkin dengan
begitu yang lain jadi mendapat kesempatan."
Cory menangkap nada iri dalam ucapan Arnie itu. Ia merasa
kurang enak, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Bukan salahnya kalau ia
lebih berbakat dibandingkan anggota tim lainnya. Ia sudah menjadi
anggota tim senam sejak tahun pertama bersekolah di Shadyside. Dan
Mr. Welner, pelatihnya, menganggapnya punya kesempatan
mengikuti berbagai kejuaraan musim semi mendatang.
Untunglah Mr. Welner tidak melihatku tersuruk ke dalam
makan siangku, pikir Cory. Ia melahap pretzel-stick terakhir Arnie
dan menghirup sisa susu cokelat David, lalu meremas-remas
kotaknya. "Makan siang yang mengenyangkan," katanya, bersendawa.
Arnie sibuk mengajari David cara baru bersalaman. Wajahnya
yang biasa nyengir kelihatan serius. Ia menepuk tangan David
berulang kali, berusaha melakukannya dengan benar. "Bukan begitu,
tolol," katanya. Cory tak bisa menentukan siapa yang tolol. "Sampai nanti,"
pamitnya, melemparkan kotak susu yang penyok-penyok ke keranjang
sampah di seberang ruangan. David dan Arnie tak menengok.
Cory berjalan lurus ke pintu, mengabaikan beberapa anak yang
menertawakan T-shirt-nya yang kotor dan rambutnya yang kaku oleh
saus tomat. "Hei, Cory... gesit sedikit dong!" Ada orang melemparkan
kotak susu ke arahnya. Kotak itu terpental ke meja dan jatuh ke lantai.
Cory. tak menoleh. Ia sedang memikirkan cewek bergaun biru
itu. Ia cuma melihatnya sekilas sewaktu bersalto. Tapi Cory tahu, dia
cewek tercantik yang pernah dilihatnya.
Kecantikan yang mengesankan.
Kejadian tadi muncul lagi di benaknya.
Cory mencari-cari cewek itu saat ia menelusuri koridor menuju
locker . Di manakah dia" Siapakah dia" Ia bukan cuma bayangan, kan"
"Hei, Cory... kau berenang dalam makan siangmu?"
Cory tak menoleh untuk melihat siapa yang mengejeknya. Ia
sadar dirinya pasti kelihatan amat jelek. Tiba-tiba ia berharap tak
berpapasan dengan cewek itu. Ia tak mau cewek itu melihatnya
dengan T-shirt dan rambut berlepotan saus tomat.
Cory berdiri di depan locker-nya, ragu-ragu mau berbuat apa.
Masih sempat mandikah" Ia melihat arlojinya. Tidak. Bel jam
pelajaran kelima akan berbunyi dua menit lagi. Mungkin ia akan
membolos pelajaran bahasa Inggris. Tidak bisa juga. Hari ini Mr.
Hestin akan menjelaskan tugas pembuatan karya tulis.
Lisa Blume melewatinya dan mulai memutar nomor kombinasi
locker-nya. Ia menarik pintu locker hingga terbuka, kemudian
memandang Cory. "Kau tampak luar biasa."
"Trims," Cory menatap kausnya. "Ini mengingatkanmu pada
masa kanak-kanak kita, heh?"
"Tidak. Kau dulu lebih rapi." Lisa tergelak.
Sejak kecil Cory dan Lisa tinggal bersebelahan di daerah North
Hills. Mereka bermain bersama sejak masih kanak-kanak. Kedua
keluarga mereka sangat akrab, seperti keluarga besar saja.
Karena tempat tinggal mereka berdekatan, persahabatan Cory
dan Lisa tak pernah terputus, bahkan pada masa kritis ketika anak
laki-laki dan perempuan lebih suka bermain dengan sesama jenis. Kini
mereka telah beranjak dewasa dan tetap berteman. Mereka mengenal
pribadi masing-masing dengan baik dan saling cocok. Persahabatan
mereka sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan.
Lisa sangat cantik. Rambutnya yang hitam berombak tergerai
sebahu. Matanya yang hitam berbentuk seperti mata kucing. Bibirnya
yang berlipstik gelap sering menyungging senyum kalau ia
mengatakan sesuatu yang lucu. Banyak orang mengatakan ia mirip
Cher. Lisa pura-pura tak tersanjung oleh perbandingan itu, tapi diamdiam ia menyukainya.
Kini di depan locker. Lisa menatap Cory.
"Aku bersalto di ruang makan," kata Cory seolah menerangkan
penampilannya. "Itu bukan berita baru," kata Lisa. Ia membungkuk, mengambil
beberapa buku dari dasar locker. "Kali ini kau pamer pada siapa?"
Pertanyaan Lisa mengusiknya. "Aku tidak pamer. Aku hanya
bersalto." "David yang menantangmu, kan?"
"Kok tahu?" "Asal tebak." Lisa berdiri, lengannya penuh dengan kertas dan
notes. "Kau tak bisa masuk kelas dalam keadaan begitu. Kau bau
piza." "Jadi aku harus bagaimana?"
"Ini. Kau boleh pinjam T-shirt-ku." Lisa membungkuk lagi dan
meraba-raba locker-nya yang berantakan.
"T-shirt perempuan" Tak usah ya!" Cory mencengkeram lengan
sweter Lisa dan menarik cewek itu berdiri.
Lisa menyentakkan cengkeraman Cory. "Ini bukan T-shirt
perempuan. Ini T-shirt uniseks, bisa untuk cewek atau cowok." Lisa
mengeluarkan T-shirt bergaris-garis hitam-putih dan menunjukkannya
pada Cory. "Tapi cuci dulu rambutmu sebelum memakainya."
Bel pertama berbunyi. Pintu-pintu locker terbanting. Ruangan
itu berubah sunyi sepeninggal anak-anak yang pergi mengikuti jam
pelajaran kelima. "Ngomong sih gampang. Bagaimana caranya mencuci rambut?"
Lisa menunjuk keran air di seberang ruangan. Cory tersenyum
penuh terima kasih. "Kau pintar, Lisa."
"Itu pujian yang sangat berarti karena datangnya dari cowok
yang berenang di spageti," ujar Lisa, mulutnya seperti biasa
menyungging senyum. "Tolong jaga agar airnya terus mengucur," pinta Cory, berjalan
cepat ke keran rendah berwarna putih. Ia mengamati sekitarnya untuk
memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Tempat itu hampir
kosong. "Nggak mau ah. Aku tak ingin terlambat." Namun Lisa
mengikuti juga langkah Cory. "Aku tak mau dilihat orang
bersamamu." "Kau kan sahabatku."
Cory tak melihat Lisa cemberut. Lisa benci kata-kata itu. Ia
benci jadi sahabat Cory. Ia mengeluh dan memutar keran air, lalu
berjaga-jaga, berharap tak ada yang lewat. Cory cepat-cepat
membasuh kepalanya untuk menghilangkan saus kering dari
rambutnya yang keriting dan acak-acakan.
Bel kedua berbunyi. Lisa meninggalkan keran. "Cory, aku harus
pergi."
Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cory berdiri, air mengalir turun ke wajahnya. "Untunglah air
keran itu selalu hangat," katanya. Ia membuka T-shirt-nya yang kotor
dan menggunakannya untuk mengeringkan rambutnya.
"Cory... serius nih. Aku tak mau terlambat." Lisa melemparkan
T-shirt bersih kepada Cory Ia berlari ke kelas sambil memegangi
buku-bukunya. T-shirt bergaris-garis itu jatuh ke lantai di depan sepatu karet
Cory. Masih mengeringkan rambutnya dengan T-shirt kotor, Cory
memungut T-shirt bersih itu.
Ketika berdiri, Cory melihat cewek itu.
Pertama ia melihat gaun birunya, lalu rambut pirangnya.
Cewek itu menyusuri koridor, bergegas-gegas ke kelas. Tampak
ada yang aneh ketika ia bergerak. Langkahnya tak bersuara ketika ia
berlari. Ia amat bercahaya. Ia seperti melayang beberapa senti di atas
bumi. "Hei, tunggu...," panggil Cory.
Cewek itu berhenti dan menoleh. Rambut pirangnya tergerai.
Sekali lagi mereka berpandangan. Ada apa di matanya" Rasa
takutkah" Bibirnya bergerak-gerak. Sepertinya cewek itu mengatakan
sesuatu kepadanya, tapi Cory tak bisa mendengarnya.
"Jangan." Itukah yang dikatakannya"
Tidak. Bukan itu. Pasti bukan itu. Cory memang kurang pandai
membaca gerak bibir. "Jangan?" Tidak. Apa sebenarnya yang dikatakan cewek itu" Kenapa ia tampak
amat ketakutan" "Tunggu...!" seru Cory.
Tapi cewek itu telah menghilang ke dalam kelas.
Bab 2 CORY membanting pintu locker gimnasium hingga tertutup
dan meninjunya dengan marah.
"Hei, kenapa kau?" tanya David, masih berkaus olahraga.
"Aku gagal!" jerit Cory. "Aku merasa seperti badut di atas
balok-balok itu hari ini."
"Ah, itu kan biasa," kata David mengangkat bahu. "Paling tidak
pergelangan kakimu tak keseleo." Ia mengusap pergelangan kakinya
yang membengkak hampir sebesar bola softball.
"Sampai nanti," Cory mencibir. Ia melemparkan handuknya
yang basah ke kepala David. Dengan kesal ia menerobos keluar
melalui pintu ruangan locker. Ini latihannya yang terburuk sepanjang
tahun ini, bahkan sepanjang hidupnya. Dan ia tahu apa sebabnya.
Cewek itu. Cory telah mencarinya beberapa hari ini. Ia tak pernah bertemu
dengannya lagi sejak pertemuan singkat di koridor sebelum pelajaran
kelima Senin lalu. Tapi sejak itu ia tak pernah sanggup
mengenyahkannya dari pikirannya. Ia teramat cantik!
Senin malam itu ia bahkan bermimpi.
Rasanya ia sedang makan siang di sekolah. Cewek itu
berkelebat menyeberangi ruang makan dan mendekati mejanya. Mata
birunya bercahaya seperti laut disinari matahari. Ia membungkuk.
Rambutnya terjatuh ke wajahnya, lembut dan harum.
Cewek itu mencium wajahnya, pipinya, keningnya, pipinya
yang sebelah lagi. Kecupannya begitu lembut, hingga Cory tak dapat
merasakannya. Cory ingin merasakannya. Ia berusaha merasakannya, tapi tetap
tak merasakan apa-apa. Cory meraihnya, menyentuh wajahnya. Tangannya seakan
benar-benar menyentuhnya.
Dan ia terbangun. Mimpi itu terus menghantuinya. Seharusnya itu mimpi yang
indah, mimpi yang menggairahkan. Tapi kenyataannya tidak. Ada
yang aneh tentang mimpinya itu. Kenapa ia tak bisa merasakan
ciuman cewek itu atau menyentuh wajahnya"
Selama tiga hari berikutnya Cory mencarinya di ruang makan
dan lorong-lorong kelas. Ia juga menunggunya di pintu gerbang
sepulang sekolah, berharap melihat kelebatannya. Tapi cewek itu tak
pernah muncul. Dan tak seorang pun yang ditanyainya mengenal
cewek itu atau ingat pernah melihatnya.
Kini Cory berjalan di sepanjang koridor yang kosong. Dengan
susah payah ia berusaha memikirkan kegagalannya, tapi wajah cewek
itu selalu muncul dalam pikirannya. Dan sekali lagi ia
membayangkannya sedang menyeberangi koridor.
"Apakah kau manusia?" tanya Cory keras-keras, suaranya
bergema di dinding. "Yah, aku manusia. Terus, kau apa?" terdengar suara cewek
menyahut. Cory terkejut setengah mati.
"Huh?" Cory menengok dan melihat Lisa di belakangnya,
wajahnya tampak bertanya-tanya.
"Bicara sendiri, ya?"
Cory merasakan wajahnya memerah. "Apa yang kaulakukan di
sini" Ini sudah jam lima."
"Ini sekolahku juga. Aku bisa tinggal di sini sesuka hatiku.
Jangan pernah berpikir kau bisa menyewa tempat ini."
Cory mengangkat bahu. Ia tak berselera membalas gurauan
Lisa. "Aku bekerja di Spectator. Kami sedang mengejar deadline hari
ini." Lisa asisten editor surat kabar Shadyside High. "Kau barusan
berlatih salto?" "Tidak cuma salto," sahut Cory galak. "Kami berlatih untuk
menghadapi Mattewan Jumat malam."
"Semoga menang," ujar Lisa, meninju bahu Cory. "Mereka
bagus, kan?" "Tidak terlalu bagus."
Mereka menyusuri koridor, langkah mereka bergema keras.
Mereka berhenti di locker, mengeluarkan jaket dan tas sekolah.
"Kau mau pulang?" tanya Lisa. "Mau kutemani?"
"Boleh," ujar Cory, meskipun sebenarnya ia tak ingin ditemani.
Mereka keluar lewat pintu belakang, ke lapangan parkir khusus
untuk guru. Di dekat lapangan parkir itu ada stadion football,
bentuknya oval dengan tribun kayu memanjang di kedua sisinya. Di
belakang stadion itu terletak Shadyshide Park, taman yang luas,
berumput, dan ditumbuhi pohon-pohon ek tua, sycamore, serta
sassafras. Taman itu melandai sampai ke tepi Sungai Conononka yang
sempit dan berkelok-kelok.
Jaraknya yang dekat menyebabkan taman itu menjadi tempat
bersantai bagi anak-anak yang tak punya pekerjaan rumah. Juga
merupakan tempat menyenangkan untuk bertemu teman-teman,
mengadakan piknik perpisahan dan pesta kejutan, belajar, berpacaran,
bermain frisbee, atau sekadar melihat-lihat tupai, pemandangan, dan
sungai yang mengalir tenang.
Tapi tidak malam ini. Angin dingin menderu-deru, terbang
berpusar menggulung daun-daun kering di lapangan parkir. Cory dan
Lisa menarik ritsleting jaket mereka untuk melawan hawa dingin.
Mereka memandang langit yang gelap, langit November, langit yang
bersalju. "Ayo ke depan!" ajak Cory. Mereka berputar menuju bagian
depan sekolah. Saat berjalan, Lisa bersandar pada Cory. Pasti Lisa
ingin menghangatkan diri, pikir Cory.
"Oh, ini benar-benar seperti musim salju," kata Lisa.
Mereka berbelok ke Park Drive dan lurus menuju North Hills,
rute yang mereka lalui bersama ribuan kali. Bagaimanapun malam itu
tampak berbeda. Cory menduga itu karena perasaannya yang sedang
tak enak. Mereka lama berdiam diri, mendaki bukit. Angin mula-mula
menderu di belakang mereka, kemudian bertiup kencang menerpa
wajah mereka. Lalu mereka berkata berbarengan.
Cory, "Pernahkah kau melihat cewek berambut pirang dan..."
Lisa, "Apa acara malam Minggumu?"
Seketika mereka berhenti bicara, dan mulai lagi pada saat
bersamaan. Lisa mendesak Cory, "Kau duluan."
Cory ganti mendesak, tapi tidak begitu antusias. "Tidak. Kau
duluan." Sebuah mobil mengklakson mereka, mungkin seseorang dari
sekolah. Honda Accord biru tua itu melaju. Terlalu gelap untuk
melihat siapa yang ada di dalamnya.
"Aku tanya apa acara malam Minggumu," kata Lisa, kembali
bersandar pada Cory. "Tak tahu. Aku belum memikirkannya."
"Aku juga," kata Lisa. Suaranya terdengar lucu, agak keras.
Cory mengira itu disebabkan oleh angin.
"Pernahkah kaulihat cewek berambut pirang dan bermata biru
besar?" tanya Cory. "Apa?" "Cewek yang amat cantik, tapi kelihatan aneh. Agak kuno.
Amat pucat." Lisa menjauhkan diri dari Cory. Cory tidak melihat kekecewaan
di wajahnya. "Maksudmu Anna?" tanyanya.
Cory berhenti melangkah dan berpaling menatap Lisa,
ekspresinya mendadak penuh gairah. Lampu-lampu jalanan menyala.
Sepertinya lampu-lampu itu langsung menyala begitu mendengar
jawaban Lisa. "Anna" Itukah namanya" Kaukenal dia?"
"Dia murid baru Amat pucat. Pirang. Apakah rambutnya disisir
lurus ke belakang dan memakai jepit" Selalu memakai gaun?"
"Yeah. Itulah dia. Anna. Apa nama belakangnya?"
"Nggak tahu!" bentak Lisa, kemudian menyesal kenapa ia
tampak terluka. "Corwin, kurasa. Anna Corwin. Ia ikut pelajaran
fisika pada jam ketiga."
"Wow," kata Cory, tak bergerak, bayang-bayang pohon yang
tertiup angin menerpa wajahnya. "Kaukenal dia" Bagaimana
orangnya?" "Tidak, Cory. Aku tak kenal. Ia anak baru. Duduk di deretan
belakang, pucat seperti hantu. Ia sering membolos. Kenapa kau sangat
ingin tahu tentangnya?"
"Apa lagi yang kau tahu?" tanya Cory, mengabaikan pertanyaan
Lisa. "Teruskan."
"Cuma itu," Lisa berkata tak sabar. Ia mulai berjalan
mendahului Cory, langkahnya panjang-panjang.
Cory berlari menyusulnya. "Kupikir ia cuma imajinasiku,"
katanya. "Tidak. Ia manusia kok," sahut Lisa. "Meskipun kelihatannya ia
tak seperti manusia. Kau jatuh cinta padanya ya" Oh, aku tahu. David
dan kau pasti bertaruh siapa yang lebih dulu memacarinya." Lisa
mendorong Cory, nyaris menjatuhkannya dari trotoar. "Benar, kan"
Huh, kalian berdua ini memang selalu mengganggu cewek-cewek."
Lagi-lagi Cory mengabaikannya. "Apa lagi yang kau tahu
tentang Anna" Kelas berapa dia sekarang" Di mana rumahnya?"
"Oh, ya, aku pernah dengar. Ia pindah dari Melrose, sekarang
tinggal di Fear Street bersama keluarganya."
"Fear Street?" Cory berhenti sejenak, tiba-tiba merinding.
Fear Street punya arti khusus bagi orang-orang yang tinggal di
Shadyside. Jalan terkutuk, kata mereka. Jalanan itu sempit,
mengelilingi kuburan, dan melintasi hutan lebat di selatan kota.
Reruntuhan rumah besar bekas terbakar" rumah tua Simon
Fear"tegak menjulang di blok pertama Fear Street, menghadap ke
kuburan di bawahnya, terletak di antara hutan lebat. Di malam hari
rumah itu amat mengerikan. Lolongan, tak jelas manusia atau
binatang, serta jerit pilu kesakitan sering terdengar dari rumah tua itu.
Penduduk Shadyside mendengar cerita yang terus berkembang
tentang Fear Street"tentang orang-orang yang hilang di hutan,
makhluk mengerikan di hutan, api yang tak dapat dipadamkan, roh
penuh dendam yang menghuni rumah-rumah tua dan bergentayangan
di pohon-pohon, pembunuhan dan misteri yang tak terungkap, serta
kejadian aneh lainnya yang tak bisa dijelaskan.
Ketika masih kanak-kanak, teman-teman Cory dan Lisa saling
menantang siapa yang berani pergi ke Fear Street di malam hari.
Beberapa anak pemberani menerima tantangan itu. Meskipun begitu,
tak seorang pun sudi berlama-lama tinggal di Fear Street. Kini,
meskipun Cory sudah lebih besar, kata Fear Street masih membuatnya
merinding. "Kurasa Anna itu hantu Fear Street," kata Lisa tersenyum. "Ia
menghuni salah satu rumah tua, seperti hantu-hantu lain."
"Kupikir dia cewek tercantik yang pernah kulihat," kata Cory,
merasa harus melindungi Anna dari semua serangan.
"Karena itu kau bertaruh dengan David, kan?" tanya Lisa.
"Tidak," bentak Cory, tanpa berpikir.
Mereka tiba di rumah, rumah pertanian beratap sirap yang
semuanya hampir kelihatan serupa. Letaknya jauh dari jalan, di balik
pagar tanaman yang tinggi. Halaman rumputnya luas dan rapi. Seperti
itulah kebanyakan rumah di North Hills, bagian kota yang terindah.
"Tentang malam Minggu...," Lisa mencoba lagi.
"Sampai besok," kata Cory, mulai menyusuri jalan beraspal
menuju rumahnya. ******************** "Betul, Operator. Nama keluarganya Corwin. Itu nomor baru.
Di Fear Street." "Saya akan mencarinya, Sir," kata operator itu. Sunyi beberapa
saat. Kenapa menelepon kantor penerangan saja aku gugup" Cory
bertanya pada diri sendiri.
Selama makan malam ia terus memikirkan Anna. Kini, di atas
di kamarnya, Cory berusaha mencari tahu nomor teleponnya. Kurasa
aku akan lebih gugup lagi saat meneleponnya, pikirnya. Tapi aku
cuma ingin mendapatkan nomornya kok. Kalau-kalau aku ingin
meneleponnya suatu hari nanti.
Sunyi sesaat. Cory bertopang pada meja, pensilnya diletakkan
di atas setumpuk kertas kuning di dekat telepon.
"Ya, ini nomornya. Ada di daftar baru." Operator itu
membacakan nomornya dan Cory menuliskannya.
"Alamatnya di Fear Street, Operator?"
"Kami tak boleh memberitahukannya, Sir."
"Ayolah. Saya janji takkan menga takannya kepada siapa pun."
Cory tertawa. Yang mengejutkan, operator itu juga tertawa. "Baiklah saya
katakan. Ini toh hari terakhir saya bekerja di sini. Alamatnya 444 Fear
Street." "Terima kasih banyak, Operator. Anda sangat menyenangkan."
"Anda juga, Sir," katanya, cepat-cepat memutuskan sambungan.
Cory berdiri dekat mejanya dan memandang kertas kuning
bertuliskan nomor telepon Anna. Haruskah ia meneleponnya"
Jika ia meneleponnya, apa yang akan dikatakannya"
Telepon dia, Cory. Teruskan. Jangan penakut begitu. Betul, ia
cewek tercantik yang pernah kaulihat. Tapi ia kan hanya cewek biasa.
Cory mengangkat gagang telepon. Tangannya dingin dan
berkeringat meskipun kamar itu cukup panas. Ia memandangi nomor
Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telepon di kertas kuning itu sampai tulisannya memburam.
Tidak. Aku tak boleh meneleponnya. Apa yang akan
kukatakan" Aku gugup dan suaraku akan terdengar aneh. Ia akan
berpikir aku ini aneh setelah melihatku bersalto di ruang makan.
Cory meletakkan gagang telepon.
Tidak. Aku tak boleh meneleponnya, benar-benar tak boleh.
Betulkah" Kenapa tidak"
Cory kembali mengangkat gagang telepon.
Ini perbuatan tolol. Aku akan menganggap diriku idiot.
Cory memencet nomor telepon.
Letakkan kembali gagang telepon itu, Cory. Jangan tolol.
Telepon berdering sekali. Dua kali.
Mungkin ia tak ingat siapa aku.
Telepon berdering lagi. Lagi.
Kurasa tak ada orang di rumah. Huh!
Cory membiarkan telepon itu berdering empat kali lagi. Ia baru
mau meletakkannya ketika terdengar bunyi "klik" di seberang sana.
Seorang laki-laki menyahut, "Yeah?"
"Oh, halo." Entah kenapa, Cory tak pernah menduga yang akan
menyahut itu bukan Anna. Bibirnya tiba-tiba terasa kering, hanya
keajaibanlah yang membuatnya bisa bicara.
"Yeah?" "Anna ada?" "Apa?" Siapakah laki-laki ini" Kenapa ia tidak ramah" Mungkinkah
Cory membuatnya terbangun"
"Maaf, ini rumah keluarga Corwin?" tanya Cory.
"Ya, betul," suara pria itu terdengar serak di telinga Cory.
"Bolehkah saya bicara dengan Anna?"
Sunyi sesaat. "Maaf. Ini memang rumah keluarga Corwin. Tapi tak ada Anna
di sini." Sambungan terputus. Bab 3 KETIKA Cory tiba di sekolah esok paginya, yang pertama
dilihatnya adalah Anna Corwin.
Pagi itu hujan lebat, hujan yang sangat dingin bercampur angin
kencang. Cory masuk ke gedung sekolah melalui pintu samping.
Jaketnya yang bertopi menutupi kepalanya. Ia tergelincir karena
sepatu karetnya basah dan nyaris menubruk cewek itu.
"Oh," Cory memegang tembok dan berhenti. Ia membuka topi
jaketnya dan memandang cewek itu. Locker Anna adalah yang
pertama dari pintu. Ia sedang mengeluarkan buku-buku dari rak atas,
agaknya tidak melihat kalau Cory nyaris menubruknya.
Ia mengenakan rok abu-abu dan sweter putih. Rambutnya diikat
ke belakang dengan pita putih.
Ia terlalu pucat, pikir Cory. Kulitnya hampir transparan.
Tiba-tiba Cory teringat kembali suara serak pria di telepon itu.
Ini rumah keluarga Corwin, tapi tak ada Anna di sini.
Yah, dia ada di sini. Apa sih maksud cowok itu" Kenapa ia berbohong kepadanya"
Mungkin dia pacar yang cemburu, pikir Cory. Atau barangkali
aku keliru memutar nomor, dan orang itu sengaja
mempermainkannya. "Hai," tegur Cory sambil menurunkan tas sekolah dari
pundaknya. Air menetes dari tasnya, mengenai sepatu karetnya yang
basah kuyup. Cewek itu menoleh, terkejut karena diajak bicara. Matanya
yang keheranan memandang Cory, kemudian cepat-cepat melihat ke
bawah. "Halo," katanya. Kemudian dengan gugup ia berdeham.
"Kau anak baru," kata Cory.
Langkah brilian, Cory, ia memaki dirinya sendiri. Kau bicara
tiga kata kepadanya dan ia pun tahu betapa tololnya kau!
"Ya," jawab cewek itu. Ia berdeham lagi. Suaranya lebih pelan
dari bisikan. Tapi ia kelihatan senang karena Cory mengajaknya
mengobrol. "Namamu Anna, kan" Aku Cory Brooks."
Itu lebih baik, Cory. Jangan tergesa-gesa. Yang kaulakukan itu
sudah bagus. Cory mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ia harus
menyentuhnya, memastikan bahwa cewek itu benar-benar manusia.
Tapi tangannya berkeringat dingin. Cepat-cepat ia menariknya
kembali. "Senang berkenalan denganmu," kata Anna, kembali mencari
sesuatu di locker-nya. "Betul kau baru pindah ke Fear Street?" Hampir bel, tapi Cory
tak ingin meninggalkan cewek itu. Bukankah perlu waktu lama untuk
menemukannya" Anna berdeham. "Ya."
"Kau pasti pemberani. Sudah dengar semua cerita seram tentang
Fear Street" Tentang setan-setan dan..."
"Setan?" Mata Anna melebar dan wajahnya mendadak amat
ketakutan. Cory menyesali ucapannya. Anna kelihatan semakin pucat.
"Cerita apa?" "Cuma cerita kok," kata Cory cepat. "Kurasa tidak semuanya
benar." Teruskan, Cory. Cuma itukah yang bisa kaukatakan" Payah!
"Oh," kata Anna pelan. Ketakutan belum lenyap dari matanya.
Ia amat cantik, pikir Cory. Tubuhnya serba halus, amat
bercahaya. Cory kembali teringat akan mimpinya. Itu membuatnya agak
malu. "Hei, Cory... hebat!"
Ia menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata
Arnie, yang mengacungkan jempol dari koridor.
"Sampai nanti, Arnie," seru Cory. Ia mengawasi Arnie masuk
ke ruang pertukangan, lalu menoleh ke Anna.
"Aku... uh... aku meneleponmu semalam. Aku... aku cuma ingin
mengobrol. Uh... cowok yang menjawab, katanya kau tidak tinggal di
situ. Apakah nomor itu keliru, atau..."
"Tidak," bisik Anna, menutup locker dan menguncinya.
Kemudian tanpa memandang Cory ia berbalik, ia menyusuri
koridor, lenyap di antara kerumunan anak-anak, menuju kelasnya.
**************** "Senam lantai yang bagus," puji Mr. Welner, menepuk
punggung Cory. Cory, masih terengah-engah, menyeringai kepada
pelatihnya. Ia selalu melakukannya dengan baik, tapi menyenangkan
juga mendengar pujian pelatihnya. Mr. Welner orang yang keras.
Tubuhnya berotot dan atletis meskipun umurnya sudah lima puluhan.
Ia jarang memuji, sehingga pujiannya itu sangat berarti.
Di belakang mereka, pertandingan melawan Mattewan"
pertandingan pertama musim semi itu"sedang berlangsung. Cory
melihat ke deretan tempat duduk, mencari David. Kalau saja
temannya itu mendengar Mr. Welner memuji senam lantainya yang
hampir sempurna... Kemudian Cory teringat pergelangan kaki David
yang keseleo sewaktu berlatih kemarin. David ada di tribun, sedang
bersedih dan menyesali diri.
"Nah, jangan menekan terlalu keras di ring," kata Mr. Welner.
"Kau terlalu tergesa-gesa, ingin cepat sampai di atas, dan itu
membuatmu kehilangan irama."
"Yeah," sahut Cory, terengah-engah.
"Kau gugup?" tanya Mr. Welner, menatap mata Cory.
"Tidak. Sungguh. Cuma terlalu bersemangat."
"Bagus. Itu yang kita inginkan." Mr. Welner tampak puas.
"Ingat, jangan ngoyo. Lakukan dengan santai." Ia berpaling dari Cory
dan menggeram keras, "Bangun, Tobin! Kau bisa beristirahat nanti!"
Arnie baru saja melakukan salto ke belakang tapi terjatuh lagi.
Dua puluhan penonton di tribun menertawainya habis-habisan.
Wajahnya merah padam ketika ia berusaha berdiri tapi terjatuh lagi ke
matras. Mr. Welner menutup mata dan menggeleng dengan muak.
Kegagalan Arnie takkan menambah angka bagi tim Shadyside.
Padahal senam lantai adalah bagian terbagus yang bisa dilakukan
Arnie. Ia kurang mampu melakukan senam di ring maupun balok
sejajar. Perawakan anak-anak Mattewan tidak sebesar Cory dan rekanrekannya. Tapi itu malah menguntungkan mereka. Gerak mereka
ringan, kuat, dan tangkas.
Cowok macam Arnie seharusnya jadi pemain gelandang di tim
football, pikir Cory. Apa gerangan yang membuatnya jadi pesenam"
Tak ada yang bisa membuat Arnie berusaha lebih baik. Ia salah satu
covvok paling sableng yang pernah Cory kenal. Ia menganggap hidup
ini mudah, dan tampaknya tak pernah berpikir serius.
"Oke, Brooks," suara Mr. Welner membuyarkan lamunan Cory.
"Tunjukkan pada mereka bagaimana itu seharusnya dilakukan."
Cory mengambil napas dalam-dalam dan berjalan lurus ke ring.
Entah kenapa, lingkaran besi itu selalu kelihatan jauh lebih tinggi
dalam pertandingan daripada sewaktu latihan.
Cory berteriak sebelum melakukan gerakan. Ia tak
membutuhkan otaknya lagi. Semua gerakan itu tersimpan dalam ototototnya. Setelah melatihnya berkali-kali, ia seperti mesin, mesin yang
halus gerakannya. Oke, dorong. Ke atas. Pelan-pelan saja, Cory. Sekarang lebih cepat. Bersiaplah. Kini
sampai di bagian yang paling sukar. Dorong, dorong....
Dan Cory melihat Anna duduk di tribun.
Benarkah itu Anna" Tidak. Itu bukan dia... atau memang dia?"
...Ke atas. Lagi. Stop. Berbalik....
Bukan. Itu pasti cewek berambut pirang lain.
Matanya. Itu matanya. Ya. Itu Anna. Mengejutkan! Anna memandangnya dengan mata
birunya. Ia menontonku, pikir Cory. Ia datang untuk menontonku.
Cory balas memandangnya. Dan ia pun tergelincir, lalu jatuh
berdebum ke lantai. Ia tidak merasa sakit. Ia cuma bingung. Ia tidak jatuh betulan,
kan" Ia tidak gagal, kan" Bukan cewek itu yang membuat
konsentrasinya hilang, kan"
"Aku jatuh cinta padanya!" teriak Cory, tertawa sambil pelanpelan berdiri.
"Apa yang lucu, Brooks?" bentak Mr. Welner.
"Aku jatuh cinta padanya," Cory mengulang lirih. Itu kedua
kalinya ia terjatuh karena Anna. Kedua kalinya pula ia dipermalukan
di depan umum. Cinta sejatikah itu, atau apa"
"Apa yang lucu, Brooks?" Mr. Welner tampak prihatin. "Kau
histeris atau apa" Kepalamu tidak terbentur, kan?"
"Saya baik-baik saja," kata Cory, menendang tepi matrasnya.
"Saya tergelincir, itu saja."
"Kau masih punya kesempatan. Lain kali berusaha lebih baik,"
hibur Mr. Welner. Ia mendadak tampak amat letih.
"Ini lelucon konyol. Pergilah mandi, Brooks, kemudian pulang
dan lupakan kejadian hari ini."
"Baik, Sir," Cory memandang ke tribun.
Ia ingat betul tempat cewek itu duduk, di bagian tengah deret
ketiga. Hatinya kecewa. Tak ada siapa-siapa di sana. Apakah ia
sungguh-sungguh melihat cewek itu tadi" Ia tidak berkhayal, kan"
Apakah Anna sudah membuatnya sinting"
Tidak. Tentu saja tidak. Aku harus bicara padanya, Cory memutuskan. Aku akan
meneleponnya lagi. Bab 4 Cory memandang kalender yang tergantung di atas mejanya.
Malam Minggu. Aku duduk sendirian di sini, di kamarku,
memandangi meja. Walkman berbunyi di telingaku, tak sebuah lagu
pun kudengar, terus memikirkan Anna Corwin.
Seorang cowok bisa stres berat nih, kata Cory pada diri sendiri.
Ia mencabut ear-phone dan melemparkannya ke meja.
Anna. Anna. Anna. Dieja dari depan maupun belakang bunyinya tetap sama.
Brilian, Cory. Sungguh brilian. Otakmu benar-benar sedang
berubah jadi keju! Ia tahu harus berhenti memikirkannya. Tapi mungkinkah" Apa
pun yang dilakukannya, Anna selalu muncul dalam pikirannya.
Sebelumnya ia pernah juga menyukai cewek lain, tapi tak pernah
seperti ini! Ia bangkit dan menyambar telepon. "Aku akan mengajaknya
nonton," katanya, "Kalau aku tahu sedikit tentangnya, mungkin aku
tak begitu tergila-gila dan ingin memilikinya seperti ini."
Matanya. Suaranya yang berbisik selembut angin.
Tidak. Stop. Aku tak bisa meleponnya di malam Minggu.
Mungkin ia sedang keluar.
Tak ada salahnya mencoba. Anna tampak amat senang ketika
kuajak ngobrol dekat locker.
Tidak. Aku tak boleh meneleponnya. Ia akan merasa terhina.
Kalau aku meneleponnya sekarang, ia akan mengira aku tahu ia tidak
berkencan dengan seseorang.
Lebih baik aku menelepon David. Mungkin kami bisa pergi ke
mall dan mejeng di sana. Tidak. David tak bisa pergi ke mana-mana. Ia sedang tertatihtatih dengan kruk-nya karena pergelangan kakinya bengkak.
Telepon Anna, Cory. Ia akan deg-degan mendengar suaramu.
Oh, yang benar saja. Si tolol yang sudah dua kali tergelincir
gara-gara pandangan Anna bisa membuatnya deg-degan"
Cory meletakkan gagang telepon. Tidak malam ini. Tidak.
Begini saja. Hari Senin aku akan menunggunya di tempat locker
dan mengajaknya nonton pertandingan basket Jumat depan.
Cory merasa jauh lebih baik. Setidaknya ia punya rencana.
Sekarang apa yang bisa kulakukan" Jam di meja menunjukkan
pukul 20.30. Orangtuanya sedang bermain scrabble di bawah dengan
orangtua Lisa. Cory memutuskan untuk main ke sebelah, kalau-kalau
Lisa juga tidak punya kesibukan.
"Lisa di rumah?" teriak Cory sambil mengenakan sweternya.
"Ya," sahut Mrs. Blume. "Kenapa kau tidak ke sana dan
menemaninya" Ia agak murung karena tidak berkencan malam ini."
"Oke," kata Cory, menyambar sekantong keripik kentang dan
sekotak biskuit cokelat dari rak dapur. Di rumah keluarga Blume tak
pernah ada makanan. Mungkin itulah sebabnya mengapa Lisa murung.
Mungkin ia kelaparan. Aku bisa mengobrol dengannya tentang Anna, pikir Cory
senang. Ia ingin sekali mendiskusikan Anna dengan seseorang. Kalau
ia membicarakan topik itu dengan David atau Arnie, mereka hanya
mengolok-oloknya dan melontarkan lelucon konyol.
"Bagaimana pertandingan melawan Mattewan?" tanya Mr.
Blume. Cory mendengar ibunya berkata, "Jangan tanyakan itu
padanya." Cory mengulangnya, "Jangan tanyakan itu padaku."
"Ia bertekuk lutut," ayah Cory berbisik cukup keras hingga
terdengar sampai ke seberang jalan. Mereka semua tertawa.
Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih, Dad," kata Cory. "Terima kasih banyak."
Cory memegang biskuit dan keripik kentang di satu tangan.
Tangannya yang lain membuka pintu belakang. Ia berjalan di malam
yang berkabut. Sebagian bulan yang keperakan tersembunyi di balik
segumpal awan tipis. Bulan itu amat pucat, pikirnya. Sama seperti
rambut Anna. Uh-oh, Cory. Hati-hati. Kau mulai lagi melihat cewek itu di
mana-mana, juga di bulan! Kau jadi aneh. Sangat aneh. Kau tak boleh
terlalu sering memikirkannya.
Cory perlu mengetuk pintu sampai tiga kali, barulah Lisa
membuka pintu belakang. Ia mengenakan jeans buntung dan kemeja
putih yang kebesaran, mungkin milik ayahnya. "Oh, hai," keluh Lisa.
"Ternyata kau."
"Kaupikir siapa?"
"Kupikir maling. Pokoknya orang yang lebih 'seru'." Lisa
menepi sehingga Cory bisa masuk. Ia tersenyum. "Aku tak punya
acara. Aku senang kau datang."
Cory menunjukkan buah tangannya kepada Lisa.
"Wah, kau membuatku benar-benar senang," kata cewek itu,
menyambar makanan itu dari tangan Cory. "Aku lapar!"
Cory mengikutinya masuk ke ruang baca dan duduk di sofa
kulit cokelat yang terletak dekat tembok. Lisa menuang keripik
kentang ke mangkuk keramik besar dan duduk di sampingnya.
"Malam Minggu kelabu."
"Kau sedang apa?" tanya Cory, menyambar segenggam keripik
kentang dan memasukkannya satu per satu dari atas ke mulutnya.
Terasa lebih enak dimakan dengan cara begitu, pikir Cory.
"Bengong. Aku menyewa video, tapi belum memutarnya. Mau
nonton bersamaku?" "Nggak tahu. Film apa sih?"
Lisa berjalan ke meja di bawah TV dan mengambil kotak kaset
video. "Film Star Trek?" Cory mengacungkan dua jempol tangannya
ke bawah. "Aku tak ingin menontonnya."
"Aku juga," kata Lisa, mendesah lagi. "Aku terlambat datang,
semuanya sudah disewa."
Lisa duduk kembali di sofa, semakin dekat ke Cory. Mereka
sama-sama mengulurkan tangan untuk mengambil keripik kentang.
Tangan Lisa menyambar tangan Cory, lalu cepat-cepat dilepaskan
lagi. Ia tampak malu tapi Cory tak memperhatikannya.
"Bagaimana keadaanmu, Cory?" tanya Lisa, berpaling
menatapnya. Lutut mereka bersentuhan.
"Payah," kata Cory, mengangkat bahu.
Lisa memegang lengannya. Cory dapat merasakan
kehangatannya melalui sweternya. "Kasihan, apa masalahmu?"
"Oh, aku tak tahu. Entahlah."
Lisa berdecak. Mereka diam sesaat.
Lisa memindahkan tangannya ke rambut Cory dan mulai
melingkar-lingkarkan jarinya di rambut Cory yang keriting. "Aku
sudah dengar tentang pertandingan senam itu," katanya lembut.
"Aku gagal," gumam Cory, menggelengkan kepala. "Gagal
total." Lisa bersandar ke tubuh Cory, masih melingkar-lingkarkan
jarinya di rambutnya. "Jangan terlalu kecewa, Cory. Itu kan baru
pertandingan pertama." Ia menyingkirkan mangkuk keripik kentang ke
samping dan bergeser lebih dekat lagi.
"Anna Corwin ada di sana," kata Cory. "Aku melihatnya
menontonku. Aku sangat terkejut. Lalu aku kehilangan konsentrasi."
"Apa?" "Aku bilang Anna Corwin ada di sana. Kulihat mata birunya
menatapku dan..." "Menjijikkan." "Apa?" "Tidak. Aku tak bilang apa-apa." Lisa menjauh dan melompat
berdiri. Cory menengadah, kebingungan. Kenapa Lisa kelihatan
sangat marah" "Pernahkah kau mengobrol dengan Anna?" tanyanya.
Lisa berdiri di hadapannya, berkacak pinggang. "Cory, kupikir
sebaiknya kau pulang."
"Hah" Aku baru saja tiba."
"Tidak. Sungguh. Pulanglah, oke?"
"Tapi kenapa?" "A-aku sedang tak ingin ditemani. Oke" Sampai jumpa hari
Senin di sekolah. Aku cuma tak ingin mengobrol malam ini."
Cory bangkit pelan-pelan, masih kebingungan. "Oke, maaf
karena mengganggumu. Bolehkah kutinggalkan keripik kentang dan
biskuit ini?" Lisa melotot padanya. Ia menyambar kotak biskuit. Sesaat Cory
berpikir ia akan melemparkannya padanya. Tapi Lisa menaruhnya di
tangan Cory. "Bawalah biskuit ini. Keripiknya akan kuhabiskan."
Namun ia lalu mengambil biskuit itu lagi, katanya, "Persetan.
Mungkin biskuit itu menggemukkan, tapi kenapa tidak?"
"Aku senang karena bisa membuatmu cerah lagi," kata Cory,
mencoba tersenyum kepadanya, tapi tak mendapat balasan.
Beberapa saat kemudian Cory sudah berada kembali di luar,
menyusuri rumput-rumput kasar yang basah menuju rumahnya. Tak
lama ia sudah berada kembali di kamarnya, duduk di kasur, bertanyatanya apa yang akan dilakukannya untuk mengisi sisa malam
Minggunya. Ada apa sih dengan Lisa" pikirnya. Tak biasanya ia mudah
tersinggung begitu. Ia tak mungkin stres hanya lantaran tak
berkencan! Pasti ada sesuatu yang mengganggunya. Tapi apa"
Cory melirik jam mejanya sekilas. Pukul 21.25. Matanya
melihat kertas kuning di samping telepon. Ia berjalan ke meja dan
memandang nomor telepon Anna.
Tanpa berpikir lagi, tanpa memberi dirinya kesempatan untuk
merasa gugup atau ragu-ragu, Cory memencet nomor telepon Anna.
Telepon berdering sekali, dua kali. Deringnya terdengar amat
jauh meskipun letak tempat itu cuma di bagian lain kota.
Setelah dering ketiga, ia mendengar bunyi "klik". Ada orang
yang mengangkat telepon. Suara lembut perempuan berkata, "Rumah
keluarga Corwin. Halo?"
"Halo, Anna?" Hening. Cory mendengar suara gemeresik di teleponnya.
"Siapa?" ulang perempuan itu.
"Bolehkah saya bicara dengan Anna?"
"Ohhh!" perempuan itu mengeluh keras.
Hening lagi. Kemudian Cory mendengar bunyi mencicit keras.
Suara mengerikan apa itu" Seperti jeritan seorang cewek.
Ya. Pasti itu suara TV, katanya pada diri sendiri.
Pasti suara TV. "Kenapa kau menelepon kemari dan minta bicara dengan
Anna?" wanita itu berteriak marah.
"Aku hanya..." Sekali lagi Cory mendengar jeritan cewek itu. "Biarkan aku
bicara! Itu untukku! Aku tahu itu untukku!"
Perempuan itu mengabaikan jeritannya. "Mengapa kau
menelepon dan menyiksaku seperti ini?" tanyanya pada Cory,
suaranya bergetar. " Well, adakah Anna di situ?" tanya Cory.
"Tidak, tidak, tidak!" desis perempuan itu. "Kau tahu Anna
tidak ada di sini! Kau tahu ia tak ada! Oh, kumohon... berhentilah!"
Cory mendengar jeritan lain. Kemudian sambungan terputus.
Bab 5 CORY mendengarkan dengung telepon itu beberapa saat sambil
menunggu detak jantungnya kembali normal. Percakapan dengan
perempuan itu terus-menerus memenuhi pikirannya, sampai katakatanya menjadi tak jelas. Kemudian jeritan itu kembali terngiang,
jeritan protes seorang cewek.
Biarkan aku bicara. Itu untukku! Aku tahu itu untukku!
Apa yang terjadi di sana"
Pikiran Cory dipenuhi hal-hal menakutkan. Apa yang mereka
lakukan pada Anna" Kenapa mereka tak mengizinkannya menelepon"
Kenapa mereka bersikeras mengatakan ia tak ada"
Fear Street. Apakah tempat itu menuntut korban lagi" Apakah
Anna menjadi tahanan di rumahnya sendiri" Apakah mereka menyiksa
Anna" Kau terlalu banyak nonton film horor, katanya pada dirinya.
Kau jadi edan. Bagaimana jalan keluarnya"
"Aku akan ke sana," kata Cory keras-keras. Gagasan itu
langsung muncul dalam benaknya. Kelihatannya cukup mudah. Ia
melihat sekilas ke jam mejanya. Pukul 22.00 lewat sedikit, belum
larut. Cory mengamati dirinya di kaca pintu lemarinya. Ia meluruskan
lengan sweternya, menyingkirkan rambut keritingnya dari dahi, lalu
keluar dari kamar, menuruni tangga ke ruang baca.
Ia berhenti di tengah tangga.
Tunggu sebentar. Apakah aku akan pergi ke Fear Street...
sendirian" Bagaimana kalau sesuatu yang mengerikan benar-benar
terjadi di rumah itu" Bagaimana kalau jeritan itu benar-benar ada"
Berita besar dan misterius beberapa minggu sebelumnya tibatiba muncul dalam benaknya. Sebuah keluarga yang terdiri atas tiga
orang ditemukan terbunuh di hutan Fear Street. Tak seorang pun
melaporkan kejadian itu. Tak seorang pun mengidentifikasi mereka.
Itu hanya satu dari sekian banyak kasus pembunuhan di Fear
Street yang tak terungkap....
Cory memutuskan untuk menelepon David dan mengajaknya
pergi bersamanya. David. pasti sedang duduk-duduk di rumah, bosan
memandangi pergelangan kakinya yang bengkak. Ia perlu sedikit
hiburan. Yang membuat Cory terkejut, David menganggap gagasan itu
agak ganjil. "Coba kuulangi, Brooks," katanya setelah Cory
menjelaskan misinya. "Kau ingin naik mobil ke Fear Street,
mendobrak masuk ke rumah orang yang sedang menonton film horor,
dan mencari cewek yang sebenarnya tak pernah ada."
"Betul," kata Cory.
"Oke. Kedengarannya bagus," jawab David. "Jemput aku dalam
waktu sepuluh menit."
"Lima," kata Cory, menutup telepon sebelum David sempat
berubah pikiran. David sahabat yang baik, pikir Cory. Aku selalu bisa
mengharapkannya menjadi setolol aku!
Di bawah, di ruang baca, pertandingan scrabble masih
berlangsung seru. Papan scrabble hampir penuh. Keempat orang
dewasa itu menatap Cory dengan membisu, berkonsentrasi untuk
mencari peluang memenangkan permainan itu.
"Aku akan keluar sebentar," kata Cory pada ayahnya. "Mobil
mana yang bisa kupakai?"
"Bukankah malam sudah larut?" tanya ibunya sambil terus
memandang ke papan. Tinggal satu biji scrabble di tangannya. Biji
tanpa huruf itu diputar-putarnya di antara jemarinya.
"Baru pukul sepuluh."
"Pakailah Taurus," kata ayahnya. "Jangan pakai mobil ibumu."
"Mau ke mana kau?" tanya ibunya.
"Cuma ke rumah David." Itu memang setengah benar.
"Kau akan membuat kata atau tidak?" Mrs. Blume bertanya
pada ibu Cory dengan nada tak sabar, seperti umumnya perasaan
orang yang ingin cepat menyelesaikan permainan scrabble-nya.
"Bagaimana keadaan David?" tanya Mr. Brooks.
"Buruk," sahut Cory. "Ia pakai kruk. Ia stres berat."
"Anak malang," gumam Mrs. Blume sambil memandang hurufhuruf itu.
"Lewat," bisik Mrs. Brooks, mengeluh sedih.
Cory menyambar kunci di meja depan dan berjalan ke mobil.
David tinggal enam blok di sudut utara North Hills, dekat sungai.
Cuma perlu dua menit naik mobil ke sana.
Cory mengetuk pintu depan rumah David dan menunggu. Lama
baru David membuka pintu. "Sori. Aku tak bisa menemanimu,"
katanya. "Apa maksudmu?"
"Aku tak bisa pergi bersamamu. Ibuku tak mengizinkan." David
tampak malu. "Hai, Cory," Mrs. Metcalf menyapa dari belakang David. "Aku
tak mengizinkan David keluar malam ini. Pergelangan kakinya belum
sembuh. Ia juga sedang masuk angin. Kau mengerti, kan?"
"Tentu, Mrs. Metcalf," kata Cory, menyembunyikan
kekecewaannya. "Masuk angin." Ia nyengir pada David. "Tentu saja
kita tak ingin anak Mama yang manis masuk angin, kan?"
David memutar bola matanya dan mengangkat bahu. "Jangan
ngeledek." "Aku akan meneleponmu dan menceritakan apa yang terjadi di
Fear Street," kata Cory. "Kalau tak ada kabar dariku, kirimkan bala
bantuan ke sana." "Kau pernah nonton Poltergeist?" tanya David. "Kalau masuk
ke rumah itu, bisa-bisa kau terisap masuk ke layar TV!"
Cory tidak tertawa. "Kaupikir semua ini hanya lelucon konyol,
ya?" David menyeringai lebar. "Menurutku itu huru-hara."
"Well..." Cory berbalik, mengentakkan kakinya ke lantai batu,
dan kembali ke mobil. "Mungkin kau benar."
Di Park Drive, Cory mengendarai mobilnya ke selatan dan
langsung menuju Fear Street. Malam itu dingin dan cuaca buruk
Awan tebal dari bukit menyebar cepat ke bawah. Ia memasang
pemanas dan menyalakan radio. Ia perlu musik keras untuk
melindunginya dari roh-roh jahat.
"Ini musik rock Beatles dari Q-ROCK!" si penyiar berteriak
antusias. "Dua puluh empat jam bersama lagu-lagu hit Beatles, diurut
secara alfabetis!" Cory tergelak. "Mana ada orang yang mau mendengarkan
musik berdasarkan urutan abjad?"
Ia berharap David ada di situ dan tertawa bersamanya. Ia
sebenarnya tak suka ide berkeliling Fear Street sendirian di malam
yang dingin dan berkabut itu.
"Oh, well, aku takkan keluar dari mobil," katanya. "Aku hanya
akan melewati rumah itu dan melihat apa yang terjadi di sana."
Kabut bertambah tebal sewaktu Cory melewati Canyon Road
dan memasuki lembah. Kabut selalu turun pada malam hari di bagian
kota itu, meskipun musim panas. Lampu besar mobilnya seperti
menabrak kabut yang bergulung-gulung dan membasahi kaca depan.
Ia menyalakan lampu kabut, tapi mati.
Sebuah mobil dari arah berlawanan hampir mencelakainya.
Pengemudinya pasti tak melihatnya. Begitu menyadari pikiran itu,
perasaan Cory jadi tak enak. "Ini salah," katanya.
Tapi ketika membelok ke Mill Road, lampu kabutnya menyala
lagi. Sebuah Toyota kecil dengan paling tidak enam remaja di
dalamnya, menyalip sambil membunyikan klakson. Mereka mungkin
baru dari penggilingan sepi di ujung jalan, tempat berpacaran yang
paling disukai anak-anak Shadyside.
Mimpi berciuman dengan Anna muncul di benaknya. Ia
menghidupkan radio. Q-ROCK sudah sampai pada huruf L. Mereka
sedang memutar Love Me Do.
Karena asyik mengetuk-ngetuk setir mengikuti alunan musik
Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan membayangkan mimpi menggairahkan bersama Anna, Cory
hampir lupa membelok ke Fear Street. Begitu sadar ia langsung
menginjak rem kuat-kuat, berbelok tajam di jalan beraspal yang licin.
Ketika Cory membelok ke jalan yang sempit dan melingkar,
keadaan tampak semakin gelap. Pohon maple dan ek yang tinggi
tumbuh di kedua sisi jalan. Ranting-rantingnya hampir melengkung
membentuk atap di atas jalan itu, menutupi cahaya lampu jalanan
yang kelabu pucat. Cory tak dapat melihat dalam gelap, tapi ia tahu sedang
melewati bekas reruntuhan rumah tua Simon Fear. Ia mempercepat
laju mobilnya dan menghidupkan pemanas. Rumah-rumah kuno yang
kebanyakan bergaya Victoria, terletak jauh dari jalan, tersembunyi di
balik pagar tanaman yang tak terawat atau halaman berumput yang
penuh dengan daun-daun kering.
Bagaimana caranya menemukan rumah Anna" Cory bertanyatanya, sambil membersihkan bagian dalam kaca mobilnya dengan
lengan sweternya. Ia mengintip dari balik kaca, namun tak berhasil
melihat nomor rumah-rumah itu.
Nomor berapa rumahnya" ia bertanya lagi, mulai panik.
Haruskah ia mengendarai mobil sepanjang jalan ini tanpa tahu nomor
berapa rumahnya" Tidak. Ia ingat. Rumahnya Nomor 444.
Cory membelokkan mobil ke tepi jalan dan memarkirnya di
situ. Ia mematikan lampu besar mobilnya dan menunggu sampai
matanya terbiasa melihat dalam gelap. Ia malah bisa melihat lebih
baik setelah lampu dimatikan.
Ia mematikan mesin, membuka pintu, dan melangkah keluar.
Kalau mau mencari rumah Anna, sebaiknya ia berjalan kaki saja.
Bukankah nomor-nomor itu terletak di pintu gerbang rumah, sehingga
tak terlihat bila dibaca dari mobil.
Ia menggigil. Sweter tidak cukup melindunginya dari hawa
dingin yang menusuk. Ia mengembuskan napas. Rasanya asam, mirip
bau daun-daun busuk. Seekor binatang melolong, agak jauh. Lolongannya amat
memilukan. Sepertinya bukan lolongan anjing, Cory membatin. Ia menoleh
ke arah suara itu, tapi tak melihat apa-apa. Serigalakah"
Binatang itu melolong lagi. Terdengar lebih dekat.
Cory mendadak teringat pengalamannya ketika dulu berada di
Fear Street. Waktu itu ia masih kecil, baru sembilan atau sepuluh
tahun. Ben, temannya, menantangnya berjalan di hutan. Entah dari
mana ia mendapat keberanian untuk memenuhi tantangan itu. Tapi ia
baru berjalan beberapa menit di sana ketika sesuatu menyambar
pundaknya. Mungkin cuma dahan pohon. Mungkin juga bukan. Ia berlari ke
jalanan sambil menjerit ketakutan. Ia belum pernah ketakutan seperti
itu selama hidupnya. "Berhentilah memikirkannya," kata Cory keras-keras.
Sepatu karetnya berbunyi ketika berjalan di kerikil yang
membatasi jalan itu. Ia tiba di kotak surat yang terbuat dari metal. Ia
berusaha membaca nama yang memudar di bagian samping kotak itu.
Tapi malam itu terlalu gelap, dan huruf-hurufnya pun sudah
mengelupas. Binatang itu melolong lagi. Kedengarannya sudah menjauh.
Angin tiba-tiba berhenti berembus. Yang terdengar kini cuma bunyi
sepatunya di kerikil. Ia melewati rumah besar bobrok yang daun
jendelanya terlepas dan tergantung tak beraturan. Entah untuk apa
jangkar kapal berkarat diletakkan di tengah-tengah halaman berumput
itu. Station wagon tua yang bumper belakangnya hilang dan dua
jendelanya tertutup kardus, teronggok di tempat parkir.
Malam yang menyenangkan untuk berjalan-jalan, pikir Cory
menghibur diri. Ia mulai menyiulkan lagu. Love Me Do, kemudian
menyanyikannya. Bukankah di sekitar situ tak ada orang" Fear Street
yang sunyi. Tak ada yang bergerak kecuali daun-daun kering yang
bergemeresik tertiup angin.
Lampu sebuah rumah menyala. Lampu serambinya
memancarkan cahaya keemasan ke halaman berumput dan bagian
dalam rumah berlantai dua itu. Apakah itu rumah Anna"'
Bukan. Nomornya 442. Angin bertiup lagi, mengembuskan udara dingin ke punggung
Cory. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana jeans-nya.
Tiba-tiba ia mendapat firasat buruk. Ia berbalik, memeriksa apakah
ada yang mengganggu mobilnya. Tapi ia tak dapat melihatnya.
Jalanan itu berkelok. Haruskah ia kembali"
Tidak. Ia sudah jauh. Dan, rumah berikutnya rumah Anna.
Jika cewek itu tinggal di sana.
Cory mulai berjalan cepat. Kerikil di bawah sepatu karetnya
basah dan licin. Beberapa kali ia terpeleset, tapi cepat-cepat berdiri
tegak lagi. Pagar tanaman di rumah berikutnya pendek dan tidak rata.
Apakah itu rumah keluarga Corwin" Cory tak dapat menemukan
kotak suratnya. Oh, itu dia, tumbang ke jalan. Jatuh bersama tiangnya.
Ia memungut kotak surat itu, nomornya terletak di bagian
samping: 444. Ini dia. Ia menjatuhkannya kembali ke jalan dan
mengusapkan tangannya yang basah ke celananya.
Rumah itu amat sunyi dan gelap. Tak ada tanda-tanda
kehidupan: Tak ada mobil di carport. Dari balik pagar pendek itu Cory
mengintai ke beranda. Kerai pintunya tergulung, terbanting-banting
mengenai bagian samping rumah bila angin bertiup. Kursi taman tua
ada di dekat situ. Cory menyusuri carport. Apa yang harus dilakukannya
sekarang" Meneruskan ke rumah dan mengetuk pintu" Tapi di sana
tak kelihatan ada orang. Ia memandang semak belukar, daun-daun berserakan, dan
rumput tinggi yang tak terurus. Sepertinya rumah ini sudah beberapa
tahun tak berpenghuni! Barangkali ini bukan rumah Anna, pikirnya.
Kemudian ia mendengar sesuatu menapak di kerikil. Langkah
orang. Ia mendengarkan baik-baik. Angin berembus. Langkah itu tak
terdengar lagi. Itu pasti suara dedaunan, binatang, atau sejenisnya.
Sebaiknya ia kembali ke mobil. Tak ada gunanya berdiri di
udara dingin sambil memandangi rumah tua yang sunyi.
Langkah kaki itu kembali terdengar.
Ada orang di belakangnya.
Ada orang membuntutinya, menyusulnya cepat-cepat.
Cory siap berjalan, ingin segera meninggalkan suara-suara di
belakangnya. Itu pasti cuma suara dedaunan, suara anjing, atau kucing
liar yang kesepian. Tapi langkah kaki itu kini semakin dekat. Seseorang
mengejarnya, seseorang berada tepat di belakangnya.
Ketika sebuah tangan merenggutnya, Cory langsung berbalik.
Bab 6 CORY menjerit dan berbalik menghadap ke orang yang
merenggutnya. Orang itu kelihatan lebih terkejut dibanding Cory. "Maaf. Aku
tak bermaksud menakut-nakutimu."
Cory memandangnya, mengembuskan napas, bersiap-siap
berkelahi atau melarikan diri.
Orang itu tinggi, kekar, mengenakan jas hujan abu-abu yang
lusuh dan topi tenis usang. Ujung janggutnya kelabu dan mulutnya
bau rokok. "Tak usah takut," katanya. Suaranya terlalu nyaring untuk
orang sebesar dia. "Kenapa, kenapa kau...," Cory masih terlalu gugup untuk
bicara. Ia mundur beberapa langkah, sedikit tenang, tapi tetap
waspada. "Aku melihatmu memarkir mobil," katanya, menunjuk ke arah
tempat mobil Cory diparkir. "Aku tinggal di sana. Aku sedang jalanjalan dengan Voltaire, anjingku. Kupikir kau tersesat dan dalam
kesulitan. Maka aku menyusulmu."
"Di mana anjingmu?" tanya Cory curiga.
Laki-laki itu mengerutkan dahi, tersinggung oleh kecurigaan
Cory. "Voltaire tak suka orang asing," katanya pelan. "Ia sangat
pencuriga. Aku membawanya pulang sebelum kemari, kalau-kalau
kau butuh pertolongan."
Cory mulai bernapas normal lagi. Tapi ia tak boleh lengah
menghadapi orang ini. Ada yang aneh pada dirinya, bukan cuma
penampilan, tapi juga tatapannya yang penuh kecurigaan, caranya
memandangi Cory dari atas ke bawah, dan wajahnya yang keras tanpa
ekspresi. "Mobilmu mogok?" tanya laki-laki itu.
"Tidak," sahut Cory.
"Lalu apa yang kaukerjakan di sini" Kau tersesat?"
"Tidak juga. Aku sedang mencari rumah keluarga Corwin."
"Kau telah menemukannya," kata laki-laki itu, menunjuk rumah
gelap itu dengan gerakan kepalanya. "Kaukenal mereka?"
"Mmm... tidak terlalu."
"Orang-orang aneh. Kurasa aku takkan datang ke sana tanpa
diundang." Laki- laki itu mengelus janggutnya.
"Apa maksudmu?" Cory menggigil. Ia belum pernah setakut itu.
"Cuma itu." "Oh." Mereka berdiri dan lama berpandangan.
"Mereka misterius," kata orang itu. Ia memasukkan tangan ke
saku jas hujannya dan berbalik ke jalan. "Kalau kau tidak tersesat, aku
akan kembali." "Ya. Maksudku, tidak. Aku baik-baik saja, terima kasih," kata
Cory ragu-ragu. Ia memandang rumah keluarga Corwin. Terlihat
kelap-kelip lampu di jendela kamar atas.
Jadi, ada ada orang di rumah itu.
"Mereka sangat aneh," ulang laki-laki itu, berjalan cepat
sekarang, lalu menoleh. "Tentu saja, setiap orang di Fear Street ini
aneh semua." Ia tertawa kecil, sepertinya baru saja membuat lelucon,
lalu menghilang di kegelapan.
Cory menunggu sampai pria itu benar-benar pergi. Kemudian ia
berbalik dan berjalan pelan ke mobil. Ia berhenti dan memandang
rumah itu, kamar di lantai duanya masih terang.
Apakah sebaiknya ia ke sana dan mengetuk pintu"
Ia sudah jauh-jauh datang ke situ, kenapa tidak berani" Kenapa
tidak melakukannya" Lakukan sekarang, pikirkan belakangan. Kenapa
ia harus selalu berpikir masak-masak sebelum melakukan sesuatu"
Selain itu, ia harus punya pengalaman menarik untuk
diceritakan kepada David.
Cory membayangkan bagaimana temannya itu akan
mengejeknya jika ia cuma berdiri dan memandangi rumah itu. Ia akan
terus mendengar ejekan itu selama beberapa minggu. Ejekan itu
takkan pernah berhenti. Oke, Cory, pergilah. Ia berlari kecil menyusuri jalan kerikil di depan rumah keluarga
Corwin. Ada dua hal yang mendorongnya melakukan itu, pertama
untuk menghangatkan badan dan kedua, ia takut akan berbalik pergi
kalau tak cepat-cepat melakukannya.
Pesenam harus agresif, Cory mengingatkan dirinya sendiri. Ia
harus meraih ring dan mendorong badannya, meskipun sebenarnya
badannya tak mau digerakkan. Seperti pesenam, Cory harus yakin dan
bertindak cepat. Tapi ini bukan senam, ini kehidupan.
Cory menyusuri beranda depan, melewati kursi teras tua,
menghindari beberapa paku panjang yang tersebar di lantai beranda,
dan hampir menubruk pintu depan rumah.
Ia menenangkan diri, bersandar ke pintu tempat belnya berada,
dan tanpa ragu-ragu ataupun memberi dirinya kesempatan untuk
mengurungkan niat, ia menekan bel itu kuat-kuat.
Ia tak mendengar bunyi bel di dalam rumah. Ia memencetnya
lagi. Ia merapikan sweternya dan tangan yang lain menyibakkan
rambutnya ke belakang. Bel itu tak berbunyi. Pasti rusak.
Ia mengetuk pintu, mula-mula pelan, kemudian keras-keras.
Hening. Ia berdeham, berlatih tersenyum.
Ia kembali mengetuk pintu.
Kali ini ia mendengar langkah kaki, ada orang yang tergesagesa menuruni tangga.
Pintu terbuka sedikit. Lampu tak dinyalakan, bagian dalam
rumah gelap. Sebuah mata memandang Cory. Pintu dibuka lebih lebar,
dan sepasang mata menatap Cory dengan curiga.
Lampu beranda menyala, memancarkan cahaya kuning pucat ke
beranda dan halaman berumput di sekitarnya.
Seorang laki-laki berdiri di pintu masuk. Wajahnya serba bulat.
Pipinya bulat berisi, mata birunya kecil dan berair, terletak di dekat
hidungnya yang bulat. Ia masih muda, mungkin baru sekitar dua
puluh. Rambutnya pirang acak-acakan dan amat tipis, hingga dahinya
tampak amat lebar. Salah satu telinganya diganduli anting-anting
berlian. Lama ia memandang Cory tanpa berkata-kata. Dengan perasaan
tidak enak Cory balas memandangnya. Akhirnya, ia berkata, "Hai, aku
Cory Brooks. Apakah Anna ada di rumah?"
Mata berair cowok itu melebar. Ia tampak terkejut. "Anna" Kau
tahu apa tentang Anna?" Suaranya serak, seperti sedang sakit
tenggorokan. "Aku... oh... aku juga murid Shadyside."
"Shadyside" Apa itu Shadyside?" kata cowok itu dan kemudian
terbatuk-batuk panjang"batuk perokok"sambil berpegang erat-erat
ke pintu. "Shadyside itu Sekolah Menengah Umum," kata Cory ketika
batuknya berhenti. "Aku bertemu Anna di sekolah pekan ini dan..."
"Itu tak mungkin," potong cowok itu, meninju kusen pintu. Ia
melotot kepada Cory. Matanya tampak bersinar merah di bawah
cahaya lampu. "Tidak, aku serius...."
"Kau takkan pernah bertemu Anna di sekolah. Anna tak pernah
ada di sekolah." "Betul. Ia ada di sana," desis Cory. "Ia..."
"Kau yang menelepon tempo hari?"
"Ya Aku..." "Anna sudah meninggal," kata cowok itu serak. "Jangan pernah
ke sini lagi. Anna sudah MENINGGAL!"
Bab 7 CORY tak ingat bagaimana ia bisa sampai ke rumah.
Ia hanya ingat cowok yang matanya berair. Ia ingat keheningan
panjang yang mencekam, dan ekspresi penuh duka cowok itu.
Ia ingat ucapannya. Ia mengulangnya berkali-kali, seperti
rekaman yang terus diputar. Anna sudah meninggal. Anna sudah
meninggal... Ia ingat kata-katanya sendiri. "Maaf." Cuma itu yang
dikatakannya. "Maaf." Betapa tololnya. Betapa tak berartinya.
Tapi apa lagi yang dapat dikatakannya"
Kemudian ia ingat pandangan marah cowok berwajah bulat itu,
dan sosoknya yang ditelan kegelapan saat pintu dibanting. Cory juga
ingat ia berlari ke mobilnya. Ia berlari menyelamatkan diri diikuti
kata-kata, Anna sudah meninggal. Anna sudah meninggal.
Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berlari secepat-cepatnya agar kata-kata itu tidak terus
mengejarnya. Ia ingat wajahnya yang berkeringat dingin, gemeresik
daun-daun basah yang terinjak sepatu karetnya, ranting-ranting tajam
yang menggores pergelangan kakinya saat ia berlari.
Menyingkirlah dari Fear Street, katanya waktu itu.
Apa yang kaulakukan di Fear Street larut malam begini" Ceritacerita itu semuanya benar, dan kini kau menjadi salah satu tokohnya.
Ia ingat bagaimana tangannya gemetar ketika memasukkan
kunci ke lubang starter. Dan ia ingat betapa panik dirinya ketika mesin
mobilnya tak mau hidup. Begitu mesin menderum ia pun ngebut. Tangannya
mencengkeram kemudi sepertinya benda itu penyelamat di lautan
yang tengah dilanda badai.
Tapi ia tak ingat perjalanannya ke rumah. Yang diingatnya
hanya lampu besar mobilnya yang buram dan jalanan yang hitam. Ia
tak ingat bagaimana menyelinap ke dalam rumah, atau bagaimana ia
berjalan berjinjit menaiki tangga ke kamarnya, menanggalkan
pakaian, dan naik ke tempat tidur.
Ia cuma ingat mata sipit cowok itu, mata yang berair. Perasaan
sedih di matanya, luka bercampur kebencian. Dan kata-kata itu.
Anna sudah meninggal. Anna sudah MENINGGAL.
Ia tak dapat tidur sampai pukul empat pagi. Ketika kemudian
tertidur, tidurnya gelisah, wajah-wajah yang tak dikenalnya
bermunculan, lampu mobil kadang-kadang tepat menyoroti dirinya
dan kadang-kadang melewatinya.
********************* Senin paginya Cory buru-buru menghabiskan sarapannya dan
bergegas ke sekolah, mencari Anna. Ia tiba lebih awal, dua puluh
menit sebelum bel pertama berbunyi. Ia menunggu di depan lockernya. Di tempat itu sudah ada beberapa anak, menguap bersandar ke
locker, seakan-akan takut jatuh kalau tak bersandar.
Cory mencoba membuka locker Anna, tapi tak tahu kombinasi
kuncinya. Ia duduk bersila di lantai dan menunggu. Tak lama
kemudian ruangan menjadi berisik dan rombongan anak-anak pun
muncul. Beberapa di antara mereka menyapa Cory sambil lalu.
"Sedang apa kau di situ, Brooks?" tanya Arnie ketika memasuki
ruangan. "Duduk," kata Cory.
Jawaban itu cukup memuaskan Arnie. Ia mengayunkan tas
sekolahnya, berusaha mengenai Cory. Cory mengelak. Arnie tertawa
dan keluar ke koridor. Ke manakah Anna" Anna sudah meninggal. Anna hantu. Tapi ia tidak tampak seperti hantu.
Locker-nya ada. Cory kembali memutar tombol dan menarik
pintunya. Bel pertama berbunyi.
Ia berdiri. Badannya terasa sangat berat, sudah dua malam ia tak
bisa tidur. Ruangan itu segera kosong. Anak-anak masuk ke kelas
masing-masing. Ia juga harus bergegas. Ia sudah dua kali terlambat,
dan tak ingin mendapat hukuman.
Tapi, ke manakah Anna"
Anna tak masuk hari ini. Tentu saja Anna tak masuk hari ini. Ia sudah meninggal.
Tapi Cory melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ia
mengobrol dengannya. Cory masuk ke kelasnya tepat ketika bel kedua berbunyi.
Sepanjang pagi itu ia berusaha keras untuk membuka mata.
Untungnya, tak seorang guru pun menegurnya. Atau barangkali tak
seorang pun menyadari ia ada di situ.
Mungkin aku juga sudah jadi hantu, katanya.
Ia mencari Anna di koridor di antara kelas-kelas, tapi tak
menemukannya. Sebelum makan siang, ketika akan memasukkan tas
sekolahnya ke locker, ia berjumpa dengan Lisa.
"Apakah Anna ikut pelajaran fisika pagi ini?" tanya Cory ingin
tahu. "Selamat pagi," jawab Lisa kasar.
"Oh. Maaf. Selamat pagi, Lisa. Apakah Anna Corwin ikut
pelajaran fisika pagi ini?"
Lisa membanting pintu locker-nya dengan marah. "Tidak."
"Oh." Cory melemparkan tas sekolahnya ke locker. Ia tak
melihat wajah Lisa yang terluka. "Kurasa ia tidak masuk."
"Kesimpulanmu tepat, Sherlock Holmes," kata Lisa,
menggelengkan kepala. Ia mengunci locker-nya dan berlalu. Tapi
kemudian ia mengurungkan niat dan kembali ke locker. "Apa lagi
masalahmu?" "Masalah?" Bagaimana Lisa tahu ia punya masalah"
"Kenapa tingkahmu amat aneh?"
"Aku tidak bertingkah aneh. Aku cuma..." Cory sadar telah
kelepasan bicara, tapi kemudian ia memutuskan untuk
menceritakannya. Ia harus bercerita kepada seseorang. Dan Lisa
sahabatnya. Sepanjang perjalanan ke ruang makan, Cory menceritakan
kejadian di malam Minggu itu.
Ia menceritakan bagaimana ia naik mobil ke Fear Street,
bagaimana ia mengetuk pintu, bagaimana cowok aneh itu mengatakan
Anna sudah meninggal. Lisa mendengarkan cerita itu sambil membisu, wajahnya
kelihatan mencela. Tapi ketika Cory selesai bercerita, amarahnya
lenyap, wajahnya biasa lagi. "Ada, yang tidak beres," katanya lembut,
mengikuti Cory antre makan siang.
"Banyak yang tidak beres!" kata Cory. "Aku cuma tak bisa
berhenti memikirkan tentang..."
"Kurasa kau pergi ke rumah yang salah," potong Lisa. Ia
tersenyum, merasa puas dengan gagasannya.
"Apa katamu?" "Ya itu tadi. Kau salah alamat. Kau membuat cowok itu
terbangun, sehingga ia sengaja mempermainkanmu." Lisa melihat
wajah Cory sedikit lebih cerah. Ia menunggu Cory mengakui bahwa
pendapatnya itu benar. Namun Cory cuma mendesah. "Jangan mengada-ada," katanya
murung. "Aku tak salah alamat."
"Tapi kau kan tak dapat memastikannya," desis Lisa, meskipun
ia sadar takkan dapat mempertahankan pendapatnya lagi. "Sebenarnya
kau mau apa sih?" tanyanya, mencolek rusuk Cory seperti yang sering
ia lakukan sewaktu kanak-kanak. "Kenapa kau naik mobil tengah
malam ke rumah seorang cewek" Kenapa kau mencarinya seharian"
Kenapa kau ingin memiliki Anna Corwin" Masih banyak cewek lain
di dunia ini, kau tahu itu."
Cory tak menyahut, matanya menerawang.
"Cory... tidakkah kaudengar kata-kataku?"
"Ya," jawab Cory cepat tanpa memandangnya. "Kau bilang
cowok itu mempermainkanku."
Anna sudah meninggal. Lelucon apa itu!
"Selamat tinggal, Cory." Lisa menjabat tangan Cory dengan
gaya dibuat-buat dan meninggalkannya.
"Bagaimana makan siangnya?" tanya Cory.
Tiga Mutiara Mustika 1 Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah Kelana Buana 31
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama