Ceritasilat Novel Online

Malam Mencekam 3

Fear Street - Malam Mencekam Silent Night Bagian 3


Reva menatapnya seakan tidak mengerti sama sekali apa yang
tengah dibicarakannya. "Well, karena aku sudah tidak berhubungan lagi dengan Lissa,"
lanjut Mitch ragu-ragu, "kupikir mungkin kau dan aku bisa"eh"
yaah, mungkin nonton bioskop atau apa Sabtu malam."
Reva mengangkat tangannya dari bahu Mitch dan bangkit
berdiri. "Tidak, kurasa tidak, Mitch," katanya dingin.
"Kau ada janji lain?"
"Tidak," kata Reva, wajahnya keras dan tanpa ekspresi, tidak
mengungkapkan betapa puas ia dengan dirinya sendiri. "Kurasa tidak
bisa begitu." Ia melangkah ke pintu yang menuju ke toko, tapi Mitch
menyusulnya dan mencengkeram lengannya. "Kau tidak mau pergi
denganku?" "Begitulah," kata Reva datar.
Ia menatap Mitch tajam hingga Mitch melepaskan
cengkeramannya dan mundur selangkah, wajahnya memerah, matanya
dipenuhi kemarahan. "Aku tidak mengerti," katanya.
"Benar," jawab Reva dan tersenyum untuk pertama kalinya.
"Kau tidak bisa memperlakukan orang-orang seperti ini, Reva!"
jerit Mitch, mulai emosi.
"Kelihatannya justru begitu," kata Reva.
"Kau tidak bisa mendekati seseorang dan"dan..." Frustrasi
karena tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya, Mitch
mengambil bangku kayu tempat mereka tadi duduk dan
mengayunkannya ke dinding.
"Sangat mengesankan," sembur Reva. Sambil mengabaikan
makian-makian Mitch, perlahan-lahan ia meninggalkan gudang tanpa
berpaling lagi. Benar-benar masih bayi, pikir Reva jengkel. Bagaimana aku
dulu bisa tertarik padanya"
Sewaktu kembali ke gerai parfum, Mindy tengah menerima
telepon. "Untukmu," katanya pada Reva setelah menekan tombol
Hold. "Dari sepupumu, Pam?"
Reva melambaikan tangannya, menolak untuk menerima
teleponnya. "Katakan aku hari ini tidak masuk," katanya. "Katakan
saja kau belum melihatku."
Mindy ragu-ragu sejenak, menatap Reva dengan pandangan
ingin tahu, lalu kembali berbicara ke telepon, menyampaikan pesan
tersebut kepada Pam. Aku sedang tidak suka makan siang yang membosankan
bersama Pam hari ini, pikir Reva, sambil melirik jam dinding besar di
dinding dekat pohon Natal. Pam benar-benar pecundang. Dia cuma
mau mengeluhkan hidupnya. Dia selalu membuatku merasa bersalah
karena memiliki lebih dari dirinya.
Well, aku sedang tidak ingin merasa bersalah hari ini.
Tidak tentang Mitch dan Lissa. Dan tidak tentang Pam.
Mindy telah meletakkan kembali teleponnya dan bergegas
melintasi lorong menuju ke gerainya. "Paket itu"itu untukmu,"
panggilnya kepada Reva sambil menunjuk.
Reva berbalik dan melihat kotak karton cokelat besar di
belakangnya, di ceruk untuk kasir. Karton itu hampir sama tinggi
dengan dirinya. Tidak terbungkus kertas kado, tapi ada pita merah
lebar yang diikatkan sekeliling dengan simpul pita di atasnya.
Oh, tidak, pikir Reva tidak bersemangat. Lelucon konyol lain
lagi. Siapa yang melakukan ini padanya" Sekarang apa lagi"
Sambil menggeleng, ia menemukan gunting di laci persediaan
di bawah mesin kasir, menggunting kartonnya, lalu mengangkat
tutupnya. Dan mengintip ke dalam.
Ia memerlukan waktu sedetik sebelum menyadari kalau tengah
menatap mayat manusia yang telah kaku dan terbungkus.
Lalu, sambil memegangi tutup karton erat-erat dengan kedua
tangan, ia mulai menjerit.
Bab 19 Aku Melihat Perbuatanmu REVA masih terus menjerit sewaktu Ms. Smith muncul. Ia dan
Mindy menarik Reva menjauhi karton dan mengintip ke dalam.
"Cuma manekin!" teriak Mindy.
Reva tampaknya tidak mendengar.
"Ini manekin. Cuma manekin," ulang Ms. Smith, mengangkat
Reva dengan mantap pada bahunya.
"Tapi kelihatan seperti mayat sungguhan," kata Mindy,
menggelengkan kepalanya. Reva, masih gemetar tidak karuan dan tidak bisa mengucapkan
apa-apa, mengawasi Mindy memiringkan kotaknya dan mengeluarkan
manekinnya. "Siapa yang mengirim ini?" sentak Ms. Smith dengan marah,
menatap Reva seakan-akan menuduhnya.
Reva masih terlalu terkejut untuk berbicara.
Manekin tersebut menatap Reva dengan mata biru yang pucat
dan lebar, senyum lelah dilukiskan pada wajahnya.
Kelihatannya seakan-akan dia menertawakanku, pikir Reva.
Semua orang menertawakanku. Sikapku benar-benar konyol.
Tapi manekin itu kelihatan begitu nyata, begitu... mati.
"Lihat"ada kartu ucapannya!" seru Mindy. Ia mencabut sehelai
kartu putih dari pergelangan manekin.
Ms. Smith menyambarnya dari tangan Mindy dan merobek
amplopnya. Ia membacanya dengan diam-diam, lalu mengulurkannya
kepada Reva. Dalam tulisan tangan huruf kapital, kartu tersebut bertuliskan:
SELAMAT BERLIBUR DARI SEORANG TEMAN.
Apa yang terjadi" Reva penasaran, sambil menatap kartu
tersebut. Ini tidak lucu. Ini sama sekali tidak lucu.
Sewaktu menengadah, ia menyadari kalau orang-orang telah
berkumpul. Segerombolan besar orang telah mengerumuni gerai
parfum, ekspresi mereka gelisah, penasaran. Semuanya tengah
menatap dirinya. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Ms. Smith, suaranya bergetar
dan bernada menuduh. "Apa ini lelucon?"
"Lelucon yang menjijikkan," kata Mindy.
Manekin tersebut terus menatap Reva, senyum lelah membeku
di wajah lukisannya yang cantik.
Toko tiba-tiba terasa lebih riuh, suara-suara di sekitarnya
semakin keras. Kerumunan penonton terasa semakin merapat. Langitlangit seolah menurun dengan cepat. Lantai seolah bergerak naik
untuk menyambutnya. "Tidak"please!"
Reva harus pergi, meninggalkan kerumunan orang-orang,
menjauhi tatapan mereka, suara-suara mereka berceloteh. Menjauhi
mayat dingin yang terus menatap itu.
Ia mendorong Mindy dan melesat keluar dari balik meja kasir.
"Reva! Reva!" Ia bisa mendengar suara Ms. Smith yang
bergetar dan khawatir dari belakangnya.
Tapi ia tidak berhenti, tidak berpaling.
Ia terus berlari, berlari membabi buta melewati wajah-wajah
yang tampak kabur. Ia tidak yakin lari ke mana, pokoknya lari sejauhjauhnya.
SELAMAT BERLIBUR DARI SEORANG TEMAN.
Kata-kata dalam kartu ucapan tersebut terus terngiang
sepanjang lorong. Ada yang mencoba menakut-nakutiku, ia sadar akan hal itu.
Ada yang ingin membuatku ketakutan setengah mati.
Siapa" Reva penasaran. Dan kenapa" Kenapa mereka
melakukannya" Dan sampai seberapa jauh"
**************************
Mr. Wakely, kerah jaket kulitnya yang telah lusuh terkancing
rapat di lehernya, melintasi ruang duduk dan berhenti di pintu depan.
"Kalau kalian butuh apa-apa, ambil saja sendiri," katanya.
"Trims, Mr. Wakely," kata Pam dengan perasaan tidak enak. Ia
sedang duduk di tepi sofa yang telah lusuh, Clay di sampingnya.
Mickey berdiri di jendela, menatap ke pepohonan tertutup salju di
luar. "Mau ke mana, Dad?" tanya Mickey. "Jalannya sangat licin."
"Cuma mau beli bir," jawab Mr. Wakely sambil membuka
pintu. "Kurasa bisa. Aku belum loyo, kau tahu," tambahnya tajam.
Ia membanting pintu di belakangnya. Melalui jendela, Mickey
mengawasinya berjalan kaki menyusuri jalur masuk, tidak ragu lagi
menuju ke Pat's, bar kecil kotor sekitar setengah blok jauhnya.
"Apa dia sudah lebih baik?" tanya Pam kepada Mickey.
"Semangatnya, maksudku?"
Mickey menggeleng. "Sekarang dia tidak lagi minum bir di
dapur tapi langsung ke bar. Apa itu yang namanya lebih baik?"
Ia terus berdiri di depan jendela selama beberapa saat lagi,
kemudian bergabung dengan teman-temannya di seberang ruangan. Ia
merosot ke kursi lipat dan mendesah. "Aku terus mengharapkan ada
yang mengetuk pintu," katanya pelan.
"Maksudmu polisi?" tanya Pam, secara otomatis memandang ke
pintu. "Yeah," jawab Mickey. "Sudah tiga hari. Aku tidak tahu kenapa
mereka belum juga menangkap kita."
"Mungkin kita tidak akan pernah tertangkap," kata Clay,
memecahkan kebisuannya sendiri. Ia terus menatap sneakers-nya
sejak tiba sekitar sejam sebelumnya. "Mungkin kita berhasil lolos." Ia
menyipitkan mata kelabunya dan menatap Mickey seakan-akan
menantangnya. Mickey melirik Pam dan tidak mengatakan apa-apa.
"Kita berhasil lolos dari pembunuhan," gumam Pam,
mengutarakan pikirannya. "Kita tidak membunuh siapa pun!" kata Clay bersikeras,
melompat berdiri dan berjalan mondar-mandir. "Sudah kukatakan"
pistolku kosong." "Duduk, Clay," kata Pam, sambil menampar bantalan sofa.
"Aku cuma bermaksud..."
"Ada orang lain yang membunuh satpam itu," kata Clay raguragu, menjejalkan kepalannya ke saku celana jinsnya. Ia tidak mau
mengatakan apa-apa lagi. "Dan ada yang berhasil mendapatkan dua puluh lima ribu
dolar," tambah Mickey muram.
"Yeah. Dan kita pergi seperti waktu datang"tidak membawa
apa-apa!" teriak Clay, membangkitkan kemarahannya sendiri.
"Apa kau sudah bicara dengan Maywood?" tanya Pam dengan
tenang, tangannya terlipat dengan gugup di pangkuannya. "Apa kau
sudah tahu apa yang terjadi dengannya Jumat malam kemarin?"
Clay menggeleng sambil melangkah ke jendela, berdiri di
tempat Mickey dan menatap lapisan tipis salju baru di balik jendela.
Hari itu salju turun kurang dari satu inci. "Aku sudah berusaha
meneleponnya ke Dalby's. Katanya dia izin sakit. Sewaktu kucoba
menghubungi apartemennya, tidak ada jawaban."
"Kalau sakit, kenapa dia tidak menghubungimu?" tanya Pam,
memilin-milin ujung-ujung kain sofa dengan gugup. "Aku cuma tidak
mengerti mengapa dia membiarkan kita merampok kalau tahu dia
tidak akan ada di sana. Maksudku, kalau dia tahu satpam yang
bertugas orang lain, kenapa tidak..."
"Darimana aku tahu?" potong Clay dengan liar. "Jangan ganggu
aku dulu, oke?" "Pam bukan menuduhmu atau apa!" jerit Mickey, membela
Pam. "Kalian berdua menganggap ini kesalahanku hingga segalanya
kacau," kata Clay, menatap Pam dan Mickey bergantian. "Well, aku
tidak bisa berbuat apa-apa." Ia pindah ke tengah-tengah ruangan,
menghela napas berat, dadanya naik-turun.
"Kami tidak menyalahkanmu," kata Mickey, berusaha
menenangkan Clay. Mickey jelas ketakutan"ia tahu bagaimana Clay
kalau kehilangan kendali.
"Dengar, kita semua terlibat dalam hal ini"kan?" tambah Pam
cepat-cepat. "Ayolah, Clay. Duduk."
Clay melipat tangan di dadanya, menolak memenuhi
permintaan Pam. "Apa kau sudah menelepon sepupumu?" tanya Mickey kepada
Pam. "Apa ayahnya mencurigai sesuatu" Apa dia tahu sesuatu?"
"Sudah kucoba menghubunginya sekitar jam makan siang. Tapi
menurut gadis penjaga gerai parfum dia tidak ada," kata Pam, dengan
ekspresi jengkel. "Rasanya aku sempat mendengar suaranya sebelum
disuruh menunggu. Dia tidak mau bicara denganku."
"Karena dia tahu kalau kau"kalau kita..." Mickey tidak bisa
menyelesaikan pertanyaannya.
"Tidak ada yang tahu apa pun," kata Clay bersikeras, seakan
berusaha meyakinkan diri sendiri. "Kalau ada yang menduga kita
pelakunya hari Jumat malam itu, kita tidak akan berada di sini dan
membicarakannya sekarang. Kita akan ada di ruangan kecil yang
panas entah di mana, diinterogasi polisi."
"Clay benar," kata Mickey, berubah lebih ceria. "Jelas kalau
tidak ada yang melihat kita. Tidak ada yang tahu kalau kita ada di
sana." Telepon di samping sofa berdering.
Pam terkejut, meraihnya. "Halo?"
Suara pria di ujung seberang terdengar serak, kasar. "Aku
melihat perbuatanmu," katanya.
"Apa?" Pam membeku.
"Aku melihat perbuatanmu," kata pria tersebut, pelan dan
mengancam. "Aku minta bagian."
"Tidak!" jerit Pam sambil menjatuhkan gagang telepon.
Bab 20 Akan Kubunuh Dia "DI mana kau semalam?" tanya Foxy.
Pam ragu-ragu sejenak. "Sudah kukatakan. Aku di rumah
Mickey," katanya dengan perasaan tidak nyaman, sambil menghindari
tatapan Foxy. "Aku menawarkan bantuan padanya dan Clay. Mereka
harus menyelesaikan proyek matematika dalam liburan ini."
"Oh. Aku tidak ingat." Foxy menatapnya sambil berpikir,
menarik-narik leher sweter birunya. "Kau baik-baik saja, Pam?"
"Yeah. Baik," kata Pam berbohong, memaksa diri tersenyum. Ia
meremas lengan Foxy dengan lembut, meyakinkannya.
Dia mengenalku terlalu baik, pikir Pam. Dia bisa tahu kalau ada
sesuatu yang menggangguku. Kalau saja bisa kuceritakan padanya.
Tapi tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku melibatkan dirinya.
Saat itu malam Selasa. Orangtua Pam tengah berbelanja, dan ia
duduk di sofa ruang duduk bersama Foxy. Televisi di seberang
ruangan tengah menayangkan komedi situasi, tapi tidak ada yang
memperhatikannya. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Pam, berusaha mengalihkan
pembicaraan, berusaha menghentikan Foxy agar tidak
memperhatikannya dengan tajam.
Foxy mengangkat bahu. "Tidak buruk. Ada saat-saat yang
menyenangkan," katanya. "Kenapa kau bergaul dengan Clay dan
Mickey sesering itu?"
Pam tersenyum padanya, berusaha menutupi ketidaknyamanan
yang dirasakannya. "Foxy, kau bukan tipe pencemburu, bukan?"
tanyanya, menjepit tangan Foxy yang besar dengan tangannya.
"Mungkin," jawab cowok itu, sambil balas tersenyum.


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau terlalu sibuk," kata Pam berusaha untuk tidak terdengar
membela diri. Foxy mau mengatakan sesuatu tapi telepon berbunyi.
Pam beranjak bangkit, menyeberang ke TV untuk mengecilkan
suaranya, lalu meraih telepon dari meja rendah di dekat lorong.
Ia segera mengenali suara serak dari ujung seberang.
"Aku minta bagianku," bisik pria itu di telinganya.
Dia tahu tempat tinggalku! pikir Pam. Dia tahu siapa diriku.
Ia melirik ke Foxy, yang tengah mengawasi dirinya. Dia pasti
melihat ekspresi ngeri di wajahku.
"Aku minta sepuluh ribu dolar atau akan kulaporkan kepada
polisi," kata pria di ujung seberang.
"Apa maksudmu?" tanya Pam, suaranya gemetar. Ia berpaling
menghadap ke dinding, berharap Foxy tidak mendengar.
"Aku melihatmu," kata pria itu. "Aku melihatmu membunuh
satpam itu. Aku melihat semuanya."
"Tidak"bukan kami!" jerit Pam. "Kami tidak melakukannya!"
Di seberang ruangan, Foxy melompat bangkit.
Penelepon tersebut mengabaikan semburan Pam. "Aku minta
sepuluh ribu dolar untuk tutup mulut," katanya. "Aku akan segera
datang mengambilnya."
"Tapi kami tidak punya uang!" jerit Pam.
Ia berbicara kepada telepon yang telah putus. Pria tersebut telah
menutup teleponnya. "Pam..." Ia terkejut mendapati Foxy telah berdiri tepat di belakangnya.
"Pam"ada apa" Siapa itu tadi?"
"Oh, Foxy!" jerit Pam dan menenggelamkan diri ke dalam
pelukan Foxy. Foxy memeluknya erat-erat. "Apa" Apa" Katakan," katanya
berkeras. "Aku terlalu takut," aku Pam, kepalanya bersandar ke dada
Foxy. "Takut sekali."
"Siapa itu tadi?" ulang Foxy. "Apa yang terjadi, Pam?"
Ia harus memberitahu Foxy. Ia terlalu ketakutan untuk
menahannya lebih lama lagi.
Foxy membimbingnya kembali ke sofa, dan mereka duduk.
Foxy memegang tangannya erat-erat. "Foxy, kau tidak akan suka
dengan apa yang akan kaudengar," kata Pam dan lalu menceritakan
seluruh kejadiannya. Pam memulai dengan malam di rumah Mickey sewaktu Clay
mengungkapkan rencananya untuk merampok Dalby's. Dengan suara
gemetar ia menceritakan tentang perampokannya, bagaimana keadaan
berubah kacau, bagaimana satpam itu tertembak, bagaimana mereka
melarikan diri hampir bersamaan dengan kedatangan polisi.
Sekalipun mereka tengah sendirian di rumah, Pam bercerita
dengan berbisik, sambil bersandar rapat kepada Foxy. Sambil
bercerita ia terus memandang Foxy, berusaha menemukan
ketidaksetujuan yang ia tahu pasti ada di sana.
Tapi wajah Foxy hanya memancarkan kekhawatiran,
kekhawatiran bercampur ketidakpercayaan. Dia mendengarkan
seluruh cerita tanpa berkata apa-apa. Lalu, setelah Pam selesai
menceritakan tentang pria bersuara serak yang meminta sepuluh ribu
dolar itu, Foxy melepaskan pelukannya. Ekspresi wajahnya berubah,
alisnya yang tebal merapat ke matanya yang hitam.
"Pam," katanya. "Aku"aku"maaf."
Pam berhasil menahan diri hingga saat itu. Lalu bahunya
terguncang, dan ia mulai terisak-isak.
Foxy mengulurkan tangan untuk menenangkannya, tapi Pam
mendorongnya menjauh. Ia ingin menangis. Ia ingin terisak-isak,
menjerit, dan menendang. Ia telah menahannya cukup lama, terlalu
lama. Tapi yang mengejutkan, bagi Pam sendiri, perasaan tersebut
berlalu dengan cepat. Ia mengusap pipinya, tersenyum kepada Foxy
dan meminta maaf. "Tadinya aku tidak mau kau tahu," kata Pam mengakui. "Aku
tidak bermaksud untuk memberitahu."
"Aku tidak terkejut kalau tentang Clay," kata Foxy sambil
berpikir. "Tapi kau dan Mickey..."
"Aku cuma bosan jadi orang miskin!" jerit Pam. "Dan sangat"
sangat iri kepada Reva, kurasa. Entahlah, Foxy. Maksudku, aku tidak
punya alasan. Aku bodoh. Aku mau saja terlibat."
Ia beranjak bangkit dengan tiba-tiba, teringat akan sesuatu.
"Sekarang apa yang harus kulakukan" Orang yang baru saja
menelepon"dia tahu rumahku. Dia"dia sangat menakutkan, Foxy."
"Kau harus ke polisi. Beritahukan semuanya. Seperti yang baru
saja kauceritakan," kata Foxy.
"Tidak, aku tidak bisa!" teriak Pam. "Kau tidak mengerti" Polisi
tidak akan mempercayai kami! Aku heran kau mau percaya!"
"Tapi, Pam..." "Tidak!" potong Pam tegas. "Kami tidak bisa memberitahukan
pada polisi kalau kami ada di sana tapi tidak membunuh satpamnya
ataupun mengambil uangnya. Mereka tidak akan pernah mempercayai
kami. Lagi pula, Clay tidak akan pernah setuju untuk melapor pada
polisi." Foxy beranjak bangkit dari sofa dan mencengkeram lengan
Pam. "Ayo kita temui Clay," katanya.
Beberapa menit kemudian mereka telah berada dalam mobil ibu
Pam, melaju ke rumah Mickey, tempat Clay dan Mickey berkumpul
seperti biasa. Pagi hari sebelumnya salju mulai mencair. Lalu suhu
kembali menurun dan jalan-jalan pun membeku.
Foxy mencengkeram tangkai pintu penumpang seerat-eratnya
saat mobil terselip di es. "Bisa lebih pelan sedikit?" tanyanya dengan
gugup. "Ini cuma lima belas," kata Pam padanya, "dan mobilnya masih
terus selip. Ini benar-benar berbahaya. Mungkin sebaiknya kita
kembali saja." "Tidak," kata Foxy bersikeras. "Kita sudah hampir sampai. Kita
harus berbicara dengan Clay dan Mickey, dan memikirkan apa yang
harus kaulakukan dengan... pemeras itu."
"Kau sangat penuh perhatian," kata Pam, sambil terus berusaha
menguasai kemudi. "Aku nabi"ingat?" Foxy tertawa, sambil terus berpegangan
erat-erat pada tangkai pintu.
Hampir sepanjang perjalanan ke rumah Mickey, tempat Pam
memarkir mobilnya di tepi jalan, mobil terus-menerus selip. Dari
mobil ke pintu depan rumah Mickey mereka harus menerobos angin
utara yang menusuk tulang.
Mickey terkejut sewaktu melihat Foxy. "Hai, bagaimana
kabarnya?" tanyanya pada Foxy, tapi menatap Pam.
"Dia tahu," kata Pam pada Mickey. "Aku sudah menceritakan
semuanya." "Sebaiknya kita masuk saja. Di sini sangat dingin!" jerit Foxy.
"Di dalam juga tidak lebih hangat," kata Mickey, sambil
menggeleng. "Rasanya Dad tidak membayar tagihan pemanas."
Mereka masuk ke ruang duduk yang kecil. "Yo, ayo ikut
pestanya," kata Clay muram.
"Clay, aku mendapat telepon lagi," kata Pam gelisah, katakatanya menyembur keluar begitu saja. "Pria bersuara serak itu.
Katanya dia minta sepuluh ribu dolar. Katanya dia melihat kita di
toko. Katanya dia akan datang mengambil sepuluh ribunya sebentar
lagi." Mula-mula, Clay tidak bereaksi, hanya menatap jendela dengan
tajam. Lalu ia memandang Pam dan dengan suara pelan yang tenang
ia mengatakan, "Siapa pun dia, aku akan membunuhnya."
Cara Clay mengatakannya membuat Pam ketakutan. Sama
seperti yang seringkali dikatakan orang-orang. "Akan kubunuh dia.
Aku bersumpah akan membunuhnya." Sesuatu yang dikatakan pada
waktu marah. Ekspresinya kosong. Orang-orang tidak pernah
bersungguh-sungguh dalam mengatakannya.
Tapi lain dengan Clay. Clay selalu menepati ucapannya. Itu
salah satu hal yang menakutkan dari dirinya.
"Clay"kau bergurau, kan?" kata Pam, lebih merupakan
permintaan daripada pertanyaan. "Please"berjanjilah kalau kau hanya
bergurau." Bab 21 Semua Orang Membencimu,Reva
HARI Kamis pagi, sekalipun ia sudah terlambat satu jam, Reva
tetap naik ke lantai enam, menggantung mantelnya di lemari pakaian
ayahnya, lalu bergegas menuju ke deretan monitor keamanan untuk
berbicara dengan Hank. Ia menepuk bahu Hank keras-keras, membuat cowok itu
berputar dari layar. "Reva. Hai." Ia menatap Reva dengan pandangan
curiga. Terakhir kali Reva melintas, cewek itu mengabaikan dirinya.
"Hank, sudah saatnya permainan bodoh ini dihentikan," kata
Reva, suaranya pelan dan kaku. Ia telah melatih ucapannya sepanjang
perjalanan ke toko. Ia tahu persis apa yang ingin dikatakannya.
"Reva, aku tidak bisa bicara sekarang," kata Hank padanya,
kembali melirik ke monitor keamanan. "Toko sudah buka. Aku harus
mengawasi layar-layar ini."
Reva menyambar lengannya dan menariknya, memaksanya
bangkit berdiri dari kursi bulat yang didudukinya. "Hei, lepaskan..."
protes Hank kurang meyakinkan. "Memangnya kau ada masalah apa,
Reva?" "Ini cuma perlu waktu beberapa detik," katanya.
"Tapi pekerjaanku..."
"Kau tidak akan kehilangan pekerjaanmu. Aku berjanji," kata
Reva, wajahnya masih tetap dingin tanpa ekspresi. Ia menarik Hank
ke kantor ayahnya, yang kosong, dan menutup pintunya.
"Reva. Dengar..." Hank menatap lurus ke matanya, berusaha
menebak apa yang diinginkan cewek itu.
"Hentikan permainanmu," ulang Reva, sambil menyapu
rambutnya ke belakang. "Jangan pura-pura tidak bersalah, Hank. Aku
tidak percaya." "Tidak bersalah?" Hank bergeser dengan tidak nyaman,
memasukkan tangan ke saku celana seragam birunya.
"Dengar, kurasa sikapku padamu terlalu kejam," lanjut Reva.
"Maksudku, aku sudah mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya.
Dan kejadian malam itu dengan anjing penjaga. Well"aku minta
maaf." Hank terus menatapnya, ekspresinya tidak berubah.
"Kuharap kau menerima permintaan maafku," lanjut Reva,
membalas tatapan Hank, "karena itu aku meminta gencatan senjata
darimu sekarang. Kuminta kau berhenti menakut-nakutiku."
"Hah?" Mulut Hank ternganga, kekagetan yang dibesarbesarkan.
"Kau mendengar apa kataku," kata Reva tajam. "Aku minta kau
menghentikan semua lelucon konyol ini. Tidak lucu, dan sudah di luar
kontrol." Hank menggeleng. Ia mengeluarkan tangan dari saku dan
menyapu rambutnya dengan salah satu tangan. "Kau sudah sinting
atau apa?" "Hank!" Reva tidak ingin emosi. Tapi tidak bisa menahan diri.
"Aku tahu kau yang mengirimkan boneka dalam kotak itu. Dan botol
berisi darah." "Hah?" "Kau bukan pembohong yang baik, Hank," kata Reva,
memelototinya. "Kau yang memasukkan jarum ke dalam lipstikku.
Kau berusaha menakut-nakutiku, berusaha menerorku sebagai balasan
caraku memutuskan dirimu. Tapi..."
"Tidak mungkin," kata Hank lembut. Ia maju selangkah ke
pintu kantor. "Tidak mungkin."
"Kau mengingkarinya?" Reva menatap Hank dengan tajam.
"Tidak mungkin," ulang Hank.
"Hank, aku tahu kau membenciku," sembur Reva. Ia sendiri
terkejut mendengarnya. Ini bukan kata-kata yang telah
dipersiapkannya. Hank tampaknya juga terkejut. Ekspresinya berubah, menjadi
lebih lunak. Matanya yang gelap menyipit. "Hei, aku tidak
membencimu," katanya. "Aku kasihan padamu."
Kata-kata Hank menyengat bagai tamparan telak di pipi. Reva
menjerit pelan. "Kau mengasihaniku?" Ia merasa ingin tertawa dan
menangis pada saat yang sama. "Aku tidak mengerti," katanya
kemudian, masih kebingungan oleh perasaannya sendiri.
"Siapa pun bisa mengirimkan benda-benda itu padamu," kata
Hank menjelaskan. "Kau tidak punya teman di dunia ini, Reva. Semua
orang membencimu. Semua orang. Aku bisa memikirkan sepuluh
orang yang begitu benci padamu sampai tega memasukkan jarum ke
dalam lipstikmu." "Kau sinting!" jerit Reva. "Kau benar-benar sinting!"
"Aku bukan bermaksud kejam," jawab Hank sama
emosionalnya, wajahnya yang biasanya pucat tampak memerah,
matanya berkilau-kilau. "Aku cuma menjelaskan mengapa aku
kasihan padamu." "Tapi itu tidak benar..." kata Reva tanpa menyelesaikannya.
"Coba sebutkan satu teman baik yang kau punya," tuntut Hank,
mendekatinya, menjulang di atasnya, tampak kuat dalam seragam
birunya. "Ayo. Sebutkan satu."
"Well..." Kenapa tidak ada yang terpikirkan"
Bodohnya, pikir Reva. Tentu saja aku punya teman. Aku punya
banyak teman. Sebutkan satu, Reva, tantangnya sendiri. Sebutkan satu.
"Aku kasihan padamu," ulang Hank, tidak mundur, tidak
membiarkan Reva lolos. "Kau tidak punya teman di dunia ini."
Reva menunduk lemas. Ia kembali menengadah dan menatap Hank. Hank benar.
Ia merasa kosong, seakan ada yang telah menusuknya dengan
jarum dan semua yang mendukungnya selama ini hancur berkepingkeping.
"Kau benar, Hank," bisik Reva.
Hank balas menatapnya penuh harapan, menunggu dirinya
melanjutkan. "Sejak Mom meninggal, aku"aku tidak punya waktu untuk
berteman. Aku harus tangguh," kata Reva, lebih kepada diri sendiri
daripada kepada Hank. "Aku harus menanggung semuanya sendirian.
Menyimpan perasaanku dari orang lain. Kalau kubiarkan perasaanku
tersebar satu detik saja, aku akan kehilangan kendali dan"dan..."
Suaranya tertahan di tenggorokan.
Mereka saling tatap, berdiri begitu dekat sekarang.
Ekspresi Hank melunak, ia mengamati wajah Reva.
"Aku"aku bahkan tidak menangis dalam pemakaman Mom,"
kata Reva. "Bahkan waktu itu, aku tahu aku harus tabah, harus
mengeraskan diri. Kalau tidak..."
Sebelum sadar, ia telah berada dalam pelukan Hank. Hank
terasa begitu hangat, begitu kuat, begitu melindungi.
Tapi bahkan sekarang pun Reva merasakan ketakutannya.
Sekalipun ia membiarkan dirinya dihibur, membiarkan Hank
memeluknya, membiarkan benteng dirinya terbuka sedikit,
melepaskan kekang yang selama ini menahannya.
Tapi bahkan sekarang pun Reva masih penasaran apakah bukan
Hank yang telah berusaha menakut-nakutinya. Bahkan sekarang pun
ia ingin tahu: Apa lagi yang akan terjadi berikutnya"


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

********************** Pam membanting tangkai telepon ke tempatnya.
Tidak ada jawaban dari rumah Reva. Dan telepon di rumah
Foxy sibuk terus. Memangnya cowok itu sedang bicara dengan siapa saat ini"
Ia melirik arlojinya. Pukul delapan lewat tiga puluh lima. Kamis
malam. Ia masih ingin berbicara dengan Reva, untuk mengetahui berita
yang beredar di toko, kalau ada teori tentang pelaku perampokan toko
yang telah membunuh satpam.
Tapi Reva jelas sedang tidak di rumah. Dan Foxy"apa yang
dilakukan Foxy berbicara di telepon selama ini" Bercakap-cakap
dengan kekasih gelap"
Pikiran tersebut menggelitiknya. Ia tidak bisa membayangkan
Foxy menyeleweng. Tapi, Pam menyadari, segalanya mungkin saja. Ia tidak bisa
membayangkan dirinya merampok toko. Tapi ia sudah melakukannya.
Aku mau melihat apa yang sedang dilakukan Foxy, pikirnya
mengambil keputusan. Ia membuka pintu badai dan mengintip ke seberang halaman
depannya yang kecil. Di luar udara terasa hangat, hampir seperti
musim semi. Es dan salju telah mencair semuanya. Udara terasa segar
dan berbau pinus. Pam memutuskan untuk berjalan kaki ke rumah Foxy. Hanya
lima blok dari rumahnya. Ia belum berolahraga sama sekali sepanjang
hari, hanya berkeliaran di dalam rumah, tidak mampu melakukan apa
pun atau memusatkan perhatian terhadap apa pun kecuali perasaan
khawatirnya terhadap diri sendiri.
Foxy begitu penuh pengertian dalam hal ini, pikirnya sambil
menyeberangi jalan dan berjalan dengan langkah-langkah cepat di
sepanjang trotoar. Rumah-rumah sunyi, yang dikenalinya, berlalu di
sisinya. Cowok itu tampaknya langsung menyadari kalau aku bukan
membutuhkan kemarahannya atau ketidaksetujuannya atau makian
betapa idiotnya diriku. Dia begitu mendukung, seperti seorang teman sejati.
Dan dia begitu manis. Banyak gadis yang tidak menghargai Foxy, pikirnya. Tapi aku
langsung tahu kalau dia istimewa.
Dua blok kemudian Pam tengah tersenyum sendiri, memikirkan
Foxy, sewaktu sebuah tangan menyambarnya dari belakang.
Sebelum ia sempat menjerit, tangan terbungkus sarung tangan
tersebut telah mendekap mulutnya, mencengkeramnya kuat-kuat agar
tidak berteriak. Ia berusaha membebaskan diri, tapi terkalahkan oleh kepanikan.
Otot-ototnya bagai terkunci, seluruh kekuatannya seakan-akan hilang.
Ia merasakan embusan napas panas di pipinya.
Lengan yang lain sekarang mengunci pinggangnya.
Ia tengah diseret, diseret dari trotoar ke sebuah halaman yang
gelap, ke balik semak-semak tinggi tempat tidak ada yang bisa
melihatnya. Tidak ada yang bisa membantunya.
Bab 22 Apa yang Akan Kaulakukan Padaku"
AKU tidak bisa bernapas, pikir Pam.
Aku terlalu takut untuk bernapas.
Siapa ini" Apa yang akan dilakukannya"
Semak-semak tinggi itu seakan mengurungnya, membungkuk
mendekatinya, mencekiknya.
Jangan panik. Jangan panik. Jangan panik.
Pikir. Harus bisa membebaskan diri.
Pandangannya melesat ke gedung di atas halaman rumput yang
menurun. Please"semoga ada orang di sana. Siapa pun"tolong aku.
Tapi rumah tersebut gelap. Tirainya tertutup.
Tangan yang mencengkeram mulutnya sedikit mengendur.
"Jangan berteriak. Jangan coba-coba berbalik." Suara serak
tersebut berbicara tepat di samping telinganya.
Sekali lagi ia merasakan napas penyerangnya, panas dan basah
di pipinya. Kemudian penyerangnya mendorongnya ke semak-semak
berdaun tajam, sambil masih terus memeganginya.
"Kuperingatkan. Jangan berbalik. Jangan berteriak minta
tolong." Aku terlalu takut untuk berteriak, pikir Pam. Aku terlalu takut
untuk mengeluarkan suara.
Napasnya terengah-engah, bersuara ribut melalui hidungnya.
Tangan terbungkus sarung tangan tersebut melepaskan
mulutnya, dan Pam tersentak, menghirup udara sebanyak-banyaknya.
"Jangan berbalik dan kau tidak akan disakiti," bisik suara
tersebut tepat di belakangnya.
"Apa yang akan kaulakukan padaku?" kata Pam dengan susah
payah. Kesunyian yang timbul terasa lama.
Di jalan terdengar seseorang menutup pintu mobil. Seekor
anjing menggonggong. "Apa yang akan kaulakukan padaku?" ulang Pam, suaranya
terdengar begitu ketakutan hingga ia sendiri tidak mengenalinya.
Di balik semak-semak sebuah mobil meluncur lewat dengan
lambat. Kau tidak bisa melihatku" pikir Pam, sambil mengawasi sorotan
lampu depan melalui semak-semak. Please, sopir"tolong lihat aku.
Tapi mobil tersebut berlalu dengan diam-diam. Cahaya
lampunya menghilang. Pelukan di pinggangnya bertambah erat.
"Aku melihat perbuatanmu," bisik suara tersebut. "Aku ada di
sana Jumat malam itu."
"Tapi aku tidak punya uang," Pam balas berbisik. "Kami..."
"Jangan berbalik!" sergah penyerangnya. "Kuperingatkan kau."
Mereka berdua sekarang sama-sama terengah-engah.
Pam merasa seluruh tubuhnya dingin, mati rasa, membeku
ketakutan. "Please..." katanya.
"Ini cuma peringatan," kata pria tersebut, tanpa mengendurkan
cengkeramannya. "Aku bisa menangkapmu. Mudah. Aku bisa
menyakitimu. Aku bisa menyakitimu sekarang."
"Kau mau apa dariku?" bisik Pam, sambil menatap tanah yang
gelap. "Aku minta sepuluh ribu dolar. Cuma itu. Dan aku ingin
mendapatkannya besok malam."
"Tapi aku mau memberitahumu," bisik Pam, susah payah,
"kami tidak punya uangnya. Kami tidak mengambil uangnya. Auw!"
Ia menjerit saat kedua tangan pria tersebut menjepit
pinggangnya, dan mendorong wajahnya ke semak-semak.
"Jangan bohong! Aku ada di sana! Aku melihatmu!"
"Aku tidak bohong!" kata Pam bersikeras.
"Aku minta sepuluh ribu dolar besok malam atau aku akan
menghubungi polisi. Kau dengar?"
Bukannya menjawab, Pam menghela napas dalam-dalam. Lalu,
dengan tiba-tiba, ia membungkuk rendah dan memutar tubuhnya
membebaskan diri. Sambil menjerit ia menjauhi semak-semak dan
terjatuh-jatuh di jalur masuk menuju ke jalan.
Dan berputar. Dan melihat siapa penyergapnya.
Pam segera mengenalinya. "Kau!" jeritnya. "Mustahil!"
Ketakutan melintas sejenak di mata pria tersebut, lalu
digantikan kemarahan. Sementara Pam ternganga menatapnya, pria tersebut berhasil
menyusulnya, mencengkeram bahunya, dan melemparnya ke aspal.
Pria tersebut berdiri di atasnya, lalu menjatuhkan diri, menjepit
dirinya ke jalur masuk. "Sayang kau berbalik," bisiknya.
Bab 23 Satu Lelucon Konyol Lagi SEGALANYA berubah putih. Pam memejamkan matanya. Sewaktu membukanya kembali, cahaya tersebut masih ada. Saat
ia menatapnya, cahaya tersebut seakan-akan terbelah menjadi dua.
Ia memerlukan waktu beberapa detik sebelum menyadari kalau
tengah menatap lampu depan mobil, bergerak perlahan-lahan ke
arahnya. Mana orang yang menyerangku"
Pria tersebut telah melarikan diri. Pam melihatnya sewaktu dia
menyelinap di semak-semak, membungkuk rendah hingga tiba di
tikungan. Lalu berbelok, dan menghilang dalam kegelapan yang
pekat. Pam bangkit berlutut, tanah seakan-akan miring dan berputarputar.
Tanpa beranjak lebih jauh, ia mengacungkan satu tangan dan
melambai-lambai ke mobil tersebut. Mobil tersebut berhenti. Pintu di
sisi pengemudi terbuka. "Di sini"please!" jerit Pam dengan susah payah.
Berdiri, katanya sendiri.
Tapi tanahnya terlalu miring. Ia tidak yakin kalau bisa bangkit
berdiri hingga tegak. Ia mendengar langkah kaki, langkah-langkah kaki yang berat
dan tergesa-gesa. Lalu ia merasa dua tangan memegang bahunya.
"Pam?" Ia mengangkat kepalanya, berusaha memusatkan
pandangannya. "Foxy!"
Sambil tetap kebingungan dan khawatir, Foxy terus
memeganginya. "Pam"apa yang terjadi" Siapa orang itu tadi?"
Pam menggeleng sebagai jawaban.
Tanah terasa kembali normal. Semak-semak tidak lagi berputar
secepat tadi. "Foxy"senang sekali rasanya melihatmu," kata Pam.
Ia membiarkan Foxy menariknya berdiri. Foxy
membimbingnya ke mobil, sementara Pam bersandar kepadanya.
"Siapa itu tadi" Aku melihat ada yang lari," kata Foxy, sambil
mendukungnya. "Foxy," katanya, "kau tidak akan percaya kalau tahu siapa yang
memeras kami. Kau pasti tidak akan percaya!"
*********************** Keesokan harinya Reva mengucapkan selamat sendiri karena
tiba di kantor tepat pada waktunya. Malahan, ia tiba di sana sepuluh
menit sebelum pintu dibuka.
Kuharap aku bukan sedang berubah, pikirnya. Tepat waktu
baginya merupakan sifat yang sangat membosankan.
Hari ini seharusnya ramai sekali, ia menyadari. Jumat sebelum
Natal berarti para pembeli menit terakhir akan membanjiri toserba.
Dalam perjalanan ia telah melihat barisan orang-orang, bertahan
dalam dinginnya pagi, menunggu pintu toserba dibuka.
Reva memutuskan hari yang sibuk sama saja baginya. Mungkin
keharusan menunggu sekian banyak pembeli akan menyibukkan
pikirannya hingga ia tidak lagi memikirkan percakapannya dengan
Hank. Ia boleh dikatakan tidak memikirkan hal lainnya sejak sehari
sebelumnya. Mula-mula ia mengira Hank hanya sekadar bersikap
kejam. Tapi semakin ia mempertimbangkan kata-kata Hank, semakin
ia sadar kalau Hank berkata begitu karena khawatir akan dirinya.
Dan ia memutuskan kalau Hank mungkin saja benar.
Reva selalu menganggap Hank bodoh dan keras kepala. Tapi itu
semata-mata karena ia perlu merasa lebih hebat dibandingkan orangorang lainnya. Sekarang ia tahu Hank jauh lebih peka daripada yang
dipikirkannya selama ini.
Apa mungkin Hank yang melakukan lelucon-lelucon kejam dan
menjijikkan ini" Reva tidak bisa memikirkannya sekarang.
Ia telah melintasi lantai pertama toserba dan tengah menuju
bagian elektronik sewaktu mendengar teriakan dari gudang elektronik.
Reva menghentikan langkahnya.
Ia mendengar makian keras, erangan, serta geraman, sepatusepatu yang tergeser di lantai beton, kotak-kotak berjatuhan, suara
orang-orang yang tengah bergulat.
Ia bergegas menuju ke pintu gudang dan mengintip ke dalam.
"Hei..." jeritnya terkejut. "Ada apa ini" Hentikan!"
Kedua cowok yang tengah bergulat di lantai tidak
memedulikannya. Mereka bahkan tidak berpaling untuk meliriknya.
"Mitch"apa-apaan!" jerit Reva.
Mitch, dengan wajah merah, rambut hitamnya yang tebal
tampak kusut masai di sana, tengah bergulat dengan Robb, yang
mengenakan seragam Sinterklas lengkap, kecuali janggut dan topi
merahnya yang tergeletak di lantai.
"Hentikan! Ayo"hentikan!" pinta Reva.
Kedua cowok tersebut tetap tidak mengacuhkannya, saling
memaki dengan marah sambil bergulingan di lantai, saling pukul.
Reva menerobos masuk, membungkuk, dan berusaha menarik
Robb agar menjauhi Mitch. Tapi Robb menggeliat membebaskan diri
dan menghantam rahang Mitch.
"Apa yang terjadi di sini?"
Ketiganya berpaling saat Donald Rawson, manajer gudang,
masuk ke dalam. Rawson bereaksi dengan cepat dan mendekati kedua
cowok yang tengah bergulat tersebut dengan langkah-langkah lebar. Ia
menarik Robb, menjauhkannya dari Mitch dengan mudah.
Perlahan-lahan, Mitch bangkit berdiri, menggosok-gosok
pipinya yang mulai bengkak. "Robb sudah sinting," katanya pada
Rawson. "Ia yang mulai"tanpa alasan."
Robb hanya memelototi Mitch tanpa berkata apa-apa, terengahengah menarik napas, wajahnya hampir semerah kostum yang
dikenakannya. "Aku tidak mau tahu," kata Rawson dengan marah. "Kembali
bekerja." Ia berpaling kepada Robb. "Ambil barangmu dan bereskan
kostummu. Pintu akan dibuka kurang dari lima menit lagi."
"Tapi dia..." kata Mitch.
Rawson mengangkat tangan memotongnya. "Aku bilang aku
tidak mau tahu. Selesaikan setelah jam kerja, oke" Pergi ke tempat
parkir dan berkelahilah di sana seperti orang yang tidak punya otak.
Tapi paling tidak tunggu sampai Robb tidak mengenakan kostumnya
lagi"oke" Kita tidak butuh anak-anak melihat Sinterklas Dalby's
berkelahi dengan petugas gudang!"
Kedua cowok itu tampak seperti ingin melanjutkan perkelahian
mereka, tapi Rawson berdiri di antara mereka, menunggu sambil
bersedekap. Akhirnya Robb membungkuk dan meraih kostumnya
sebelum meninggalkan gudang.
"Kalian benar-benar sulit dipercaya," gumam Rawson kepada
Mitch. Lalu ia sendiri bergegas keluar.
Mitch menghindari tatapan mata Reva. Ia masih terus
menggosok-gosok pipinya yang bengkak.
"Memangnya ada persoalan apa?" tanya Reva, sambil
menggeleng, keheranan. Mitch mengangkat bahu. "Apa pedulimu?" gumamnya. Lalu
berjalan ke tumpukan peti-peti di area penerimaan dan mulai
membongkarnya. Reva mengawasinya selama beberapa detik sebelum
melanjutkan perjalanannya ke lantai utama.
Apa semua orang sudah gila" ia penasaran.


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

**************************
"Aku tidak bisa menemukan daftarku, tapi aku masih ingat
semua yang kuinginkan," kata Michael penuh semangat.
Sambil memegang tangannya erat-erat, Reva membimbing
adiknya melewati lorong-lorong yang penuh sesak oleh pembeli sore
hari. Saat mereka menaiki tangga pendek, Santa Land pun muncul di
depan mata, sederetan panjang bocah tengah berbaris di satu dinding,
sambil berpegangan erat-erat kepada orangtua mereka, melompatlompat, mengoceh dengan penuh semangat.
"Ooh"itu dia!" seru Michael, matanya kemilau.
"Kita harus antre," kata Reva, sambil menunjuk ke arah yang
harus mereka tuju. "Apa janggutnya asli?" tanya Michael, menatap Robb sewaktu
ia menaikkan seorang gadis kecil yang menangis ke pangkuannya.
"Kenapa tidak kautanyakan sendiri padanya?" jawab Reva
sambil tertawa. "Tidak. Aku cuma mau minta hadiah," kata Michael serius.
Mereka melangkah ke ujung barisan. Seorang gadis kecil,
sekitar dua tahun, tengah duduk di pangkuan Robb sambil menariknarik janggutnya.
"Apa aku harus duduk di pangkuannya?" tanya Michael, dan ia
tiba-tiba tampak gelisah menghadapi pengalaman yang telah dinantinantikannya. "Apa tidak bisa berdiri di sampingnya saja?"
Robb mungkin akan menghargainya, pikir Reva. Tapi ia berkata
kepada Michael, "Tidak. Itu aturannya. Kau harus duduk di
pangkuannya kalau mau mendapat hadiah-hadiah yang kauminta
darinya." Michael benar-benar memikirkannya, sambil menggigit bibir
bawahnya. Reva tertawa melihat keseriusan adiknya dan mengusap rambut
merahnya yang halus. "Kau tidak mau membuat Sinterklas
tersinggung, bukan" Dia suka memangku anak-anak," katanya.
Sama sukanya seperti menyukai sakit gigi, pikirnya sambil
tertawa kecil. Barisan pun maju dengan lambat. Anak-anak berebut meminta
digendong orangtuanya, tidak sabar untuk menyelesaikan kunjungan
mereka pada Sinterklas. Beberapa ibu tengah sibuk menyiapkan
kamera, tidak mengacuhkan rengekan anak-anaknya.
Akhirnya giliran Michael kurang satu lagi.
"Apa dia tahu namaku?" tanyanya kepada Reva, sambil masih
mencengkeram tangan kakaknya.
"Kurasa kau harus memberitahukan namamu," kata Reva.
"Bagaimana dengan alamat rumah" Apa Sinterklas tahu
rumahku?" Sebelum Reva sempat menjawab, salah seorang pembantu
Sinterklas, seorang wanita muda mengenakan kostum konyol yang
digantungi bel di topi dan sepatu lancipnya yang lembut, telah
mengajak Michael menemui Sinterklas.
Michael segera melepaskan tangan Reva dan setengah berjalan
setengah melompat-lompat mengikuti pembantu Sinterklas. Senyum
bersemangat merekah di wajahnya.
Seharusnya aku membawa kamera, pikir Reva, sambil
meninggalkan barisan ke area tunggu di sisi seberang Santa Land.
Daddy seharusnya menyaksikan ini.
Ia mengawasi Michael yang tengah mengatur duduknya di
pangkuan Sinterklas, mendaftar semua barang yang "diperlukannya"
untuk Natal, menghitung dengan bantuan jari-jarinya seakan tiada
habis-habisnya. Dia memang telah menghafal seluruh daftarnya.
Setelah akhirnya selesai, Michael berlari menemui Reva,
dengan ekspresi kebingungan. "Sinterklas itu palsu," katanya pada
Reva. "Hah?" Reva meraih tangannya. "Apa maksudmu?"
"Itu bukan perut asli. Ada bantal di sana. Aku merasakannya."
"Well, dia cuma pembantu Sinterklas," kata Reva menjelaskan,
sambil membimbing adiknya ke lift. "Sinterklas yang asli ada di
Kutub Utara. Tapi para pembantu Sinterklas akan menyampaikan
seluruh informasi ke Sinterklas yang asli pada waktunya."
Ini tampaknya memuaskan adiknya. Merasa gembira karena
akhirnya memenuhi janjinya kepada Michael, Reva meninggalkan
Michael di lantai enam di ruangan ayahnya. Lalu, sambil
bersenandung, ia kembali ke gerai parfum.
Di sana, di balik gerai, ia menemukan karton besar lain lagi
telah menunggunya. Seperti karton sebelumnya, ini juga diikat dengan
pita merah besar yang bersimpul di bagian atasnya.
Reva mendesah. "Kapan ini tiba?" tanyanya kepada Ms. Smith.
"Maaf"aku sedang melayani pembeli," sergah penyelianya
tersebut. "Ada beberapa orang di antara kita yang benar-benar
menunggu pembeli." Tipuan bodoh lain yang jahat, pikir Reva, sambil menatap
karton besar tersebut. Kali ini aku tidak akan menjerit-jerit.
Aku pasti sangat bodoh kalau tertipu dua kali berturut-turut.
Ia menggunting pitanya dengan gunting, lalu memotong lakban
yang merapatkan penutupnya.
Ada yang selera humornya masih remaja, katanya sendiri.
Sakit dan kekanak-kanakan.
Kurasa ada manekin yang malang lain lagi yang dikorbankan
untuk membuatku ketakutan setengah mati.
Ia membuka tutupnya dan menatap ke dalam.
Dan membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia mulai tercekik.
Ia berpaling secepat kilat, tapi apa yang dilihatnya tetap terlihat.
Sepertinya membuat matanya terbakar.
Ini bukan manekin. Bukan manekin. Bukan manekin. Bukan manekin.
Mitch tengah meringkuk di dasar kotak.
Darah yang menetes di punggungnya dan menggenang di
bagian bawah kotak benar-benar darah.
Karena ada sebilah pisau dapur besar yang tertancap di sela
tulang belikat Mitch. Bab 24 Siapa yang Telah Membunuh Mitch"
SETIAP kali Reva memejamkan mata, ia melihat Mitch.
Melihat lututnya yang menekan ke salah satu sisi kotak,
mencuat melebihi kepalanya yang tertunduk.
Melihat bahunya yang tertekuk ke depan dalam kotak, kedua
lengannya terjuntai lemas di sisinya.
Melihat bagian belakang lehernya, begitu pucat. Melihat
rambutnya yang hitam mengilat dan biasanya disisir begitu rapi, kusut
masai dan menempel ke kepalanya.
Melihat noda gelap di bagian punggung kemejanya. Genangan
darah yang mulai membeku di dasar kardus meresap ke celana
jinsnya. Melihat tangkai pisau, matanya yang mengilat, ditancapkan
dengan begitu sempurna, begitu simetris di tengah-tengah tulang
belikatnya. Setiap kali Reva memejamkan mata, ia melihat semua itu.
Dan kalau matanya terbuka, ia tidak bisa melihat dengan jelas,
tidak bisa memikirkan hal lainnya lagi.
Dua petugas polisi menanyainya. Suara mereka lembut dan
yang satu usianya tidak terpaut jauh dengan Reva. Tapi ia tidak bisa
berpikir, hampir tidak bisa bicara.
Mengapa ada orang yang membunuh Mitch"
Mengapa ada yang membunuh Mitch dan membungkusnya
seperti hadiah untuk dirinya"
Reva tidak memiliki jawabannya.
Dan masih ada Lissa, yang menyandarkan kepalanya ke kaca
gerai parfum sambil terisak-isak dan mengotori kaca dengan air
matanya. Dia juga tidak bisa membantu polisi.
Setelah ditanyai, setelah merasa bagai berjam-jam melihat polisi
berkeliaran dan mengotak-atik, setelah para fotografer, para wartawan,
paramedis, gumaman riuh para penonton berlalu, setelah mayat
terlipat tersebut ditutupi dan disingkirkan, menyisakan noda darah
yang besar, Reva masih terus melihat mayatnya, masih melihat Mitch
yang malang meringkuk di sana.
Ia teringat saat mereka berciuman di gudang.
Ia teringat saat Lissa menangkap basah mereka berdua.
Ia teringat saat menertawakan Mitch setelah Lissa memutuskan
hubungan mereka. Dan ia melihat Lissa, wajahnya merah dan bengkak akibat
menangis begitu lama, menatapnya dengan pandangan menuduh.
Menuduh. Menganggapnya layak untuk dituduh.
Aku berutang permintaan maaf kepada Mitch, pikir Reva. Tapi
terlambat. Terlambat untuk memberitahu Mitch kalau aku menyesal.
Dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, Reva
merasa ingin menangis. Ia merasa ingin menangis tapi masih mampu menahannya.
"Pulanglah," kata ayahnya dengan lembut, lengannya yang
hangat memeluk bahunya yang gemetar. "Apa perlu kusuruh
seseorang mengantarmu?"
"Tidak. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," kata Reva, sambil
meraih tangan ayahnya dan meremasnya.
Aku tidak akan pernah baik, pikirnya.
Di rumah malam itu ia terus melihat Mitch, terus meminta maaf
padanya dalam pikirannya.
Malam itu ia memaksa bayangan itu pergi, memaksa dirinya
tidur. Tidur yang diganggu mimpi buruk, yang rumit dan kejam.
Tepat sebelum pukul dua pagi Reva beranjak duduk, terjaga.
"Aku tahu siapa yang telah membunuh Mitch," katanya keras-keras.
Bab 25 Dia Cuma Cacing "CLAY"apa kau yang membunuh Mitch?"
Sambil terlentang di sofa Mickey, Clay menengadah
memandang Pam, senyumnya menghilang.
"Benar?" tuntut Pam, berdiri di hadapannya, kedua tangan di
pinggang. "Apa benar kau yang membunuhnya?"
Angin mengguncang daun jendela ruang duduk yang telah
kendur. Mickey melangkah keluar dari bayang-bayang dapur yang
gelap dan menghidupkan lampu di samping sofa. Ekspresinya serius,
Pam melihat, pandangannya tegang. Ia memegang cokelat Three
Musketeers yang baru separo dimakan dengan tangan kiri, tapi tidak
lagi mengunyahnya. Clay masih juga tidak menjawab. "Jangan mendesakku, Pam,"
gumamnya, sambil memutar bola matanya.
"Aku tidak akan membiarkanmu lolos," kata Pam. "Aku mau
tahu, Clay. Aku harus tahu. Sesudah kuberitahu kalau Mitch-lah yang
memeras kita, kalau Mitch yang menangkap dan mengancamku-"apa
kau ke toserba untuk membunuhnya?"
"Tentu saja tidak," sela Mickey, berbicara dengan nada yang
sangat tidak biasa. Tapi ia lebih terdengar penuh harap daripada
keyakinan. "Katakan, Clay," desaknya. "Jangan bersikap keras kepala
seperti ini." Clay mencibir. "Dia menuduhku membunuh, dan kau
menuduhku keras kepala," katanya datar. "Benar-benar sulit
dipercaya." "Well, Mitch tewas," Pam berteriak marah, melipat lengan di
dadanya, menolak untuk mundur dari posisinya, memelototi Clay.
"Dan dia dibunuh."
"Lalu?" tanya Clay, mata kelabunya berkilau penuh kemarahan.
"Menurutmu aku yang membunuhnya?"
"Yeah," kata Mickey menyetujuinya. "Apa yang membuatmu
berpikir Clay yang melakukannya?"
"Karena dia berkata akan melakukannya," kata Pam pada
Mickey dengan tidak sabar. "Kata Clay kalau dia tahu siapa yang
mengancam kita, dia akan membunuhnya." Ia kembali memandang
Clay yang sekarang tengah tersenyum.
"Memangnya kenapa kalau aku membunuhnya?" tanya cowok
itu. "Benar, tidak?" kata Pam bersikeras.
Clay mengangkat bahu, senyumnya cuek, menantang.
Pam sekilas melirik Mickey, yang masih berdiri di dekat lampu.
Dalam cahaya kuning ia tampak ketakutan. "Clay...?" Ia membiarkan
permennya jatuh dari genggamannya. Permen itu menghantam karpet
lusuh di lantai tanpa suara. Ia menatap Clay tajam, tidak memedulikan
permennya. Clay mengacuhkannya, terus saja mencibir kepada Pam.
"Kau tidak membunuhnya"bukan?" tanya Mickey, suaranya
pelan dan ketakutan. "Ayolah, Man. Katakan saja kalau kau tidak
membunuhnya, oke?" "Oke. Aku tidak membunuhnya," kata Clay, sambil terus
mencibir. "Aku tidak percaya," kata Pam. Ia melirik ke Mickey. Jelas
sekali kalau Mickey telah berubah pendapat tentang Clay. Ia juga
tidak mempercayai Clay. "Hei, ayolah, Guys," kata Clay, sambil mendorong dirinya
bangkit berdiri dari sofa rendah. Ia maju selangkah, menurunkan
gulungan lengan T-shirt Motley Crue hitamnya, memaksa Pam untuk
mundur. "Menyingkirlah dari hadapanku, oke" Aku sudah
mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak menghabisi Mitch"
bagaimana?" Ia melangkah ke jendela dan menatap ke halaman depan yang
mungil. "Tadinya aku mau," katanya, sambil memunggungi mereka.
"Sewaktu aku tahu kalau dia ada di toserba malam itu, mengawasi kita
sepanjang waktu, aku ingin membunuhnya. Tapi lalu aku
memikirkannya kembali, kau tahu. Dan kuputuskan kalau dia tidak
cukup layak. Dia cuma cacing. Untuk apa aku menghancurkan
hidupku hanya gara-gara seekor cacing?"
Mickey memungut permennya dan melontarkannya ke atas
meja rendah dekat dinding. Ia dan Pam bertukar pandang. Mereka
masing-masing berusaha memutuskan apakah mereka bisa
mempercayai Clay atau tidak.
"Kuharap kau sudah mengatakan yang sebenarnya, Man," kata
Mickey sambil mendekati Clay. "Karena kalau kau bohong, kami..."
Tanpa peringatan, Clay berputar balik dan menyambar bagian
depan kaus kelabu Mickey. Ia menyentaknya kuat-kuat, hampir saja
mengangkat Mickey ke udara. "Aku bukan pembohong!" jeritnya,
ekspresinya keras dan mengancam.
Pada saat itu Mr. Wakely melangkah masuk dari dapur yang
gelap. "Hei..." Ia tampaknya terkejut melihat perkelahian di seberang
ruangan. Clay bergegas melepaskan kaus Mickey, dan Mickey
terhuyung-huyung mundur namun memperoleh keseimbangannya
kembali dengan cepat. Mr. Wakely berdiri sambil mengedip-kedipkan matanya. Pam
bisa melihat kalau matanya merah dan dihiasi lingkaran hitam. Mr.
Wakely tampak bungkuk dan berdiri dengan goyah. Jelas sekali kalau
dia mabuk. Usianya bertambah sepuluh tahun hanya dalam seminggu, pikir
Pam. "Pergi keluar kalau kau mau berkelahi!" jeritnya, sambil
mengacung-acungkan tinjunya kepada Mickey. "Keluar! Keluar!"


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menerjang Mickey dan hampir jatuh karena kakinya sendiri.
Ia benar-benar sudah lepas kontrol, pikir Pam. Tidak ada alasan
baginya untuk semarah itu kepada Mickey.
"Kami baru saja mau keluar, Dad," kata Mickey, melangkah
mundur. "Ayo, Guys."
Mereka menyambar mantelnya dan beberapa detik kemudian
telah berdiri di luar, menggigil dalam angin musim dingin.
"Maafkan Dad," kata Mickey, jelas sekali merasa malu. "Aku
tidak tahu dia sedang menghadapi masalah apa." Ia menendang batu
dari tepi jalan, melontarkannya menyeberangi jalan.
"Aku pergi," kata Clay muram. "Kecuali kalian mau
menghubungi polisi dan menyerahkanku karena telah membunuh
Mitch." Ia melotot kepada Pam dan Mickey, menantang mereka.
"Kau tidak melakukannya," kata Mickey lembut. "Aku tahu kau
tidak melakukannya, Man."
Senyum aneh kembali merekah di wajah Clay. Senyum yang
tidak bisa ditafsirkan Pam, senyum yang menyebabkan ia merinding.
Bab 26 Pengakuan HARI Sabtu pagi Reva terjaga lebih awal dan bergegas
mengenakan celana panjang wol kelabu dan kaus kasmir krem. Ia
bergegas turun, menyikat rambutnya sambil melangkah, tidak ingin
ditinggalkan ayahnya. Di ruang makan ayahnya mengalihkan pandangannya dari
cangkir kopinya, terkejut. "Kau bangun terlalu pagi untuk hari Sabtu,"
katanya, sambil mengamati putrinya. "Kalau tidak hati-hati, pagi ini
kau bisa tiba di toserba tepat pada waktunya."
Reva tidak tersenyum mendengar lelucon kecil ayahnya. "Aku
tidak mau Daddy berangkat lebih dulu," katanya serius. "Aku
mendapat gagasan"tentang pembunuhan itu."
Senyum seketika menghilang dari wajah ayahnya. Ia
meletakkan cangkir kopinya. "Apa?"
"Harus kutunjukkan padamu. Kalau kita sudah di toko nanti,"
kata Reva. "Aku tidak yakin, tapi mungkin aku mendapatkan
petunjuk. Aku mendapatkannya tengah malam tadi."
Reva telah berpikir keras sepanjang malam, tentang
perampokan, tentang Mitch, tentang Hank"dan tentang dirinya
sendiri. Ia sadar ia tidak bahagia dengan dirinya, tentang betapa keras
dan dingin dirinya sekarang. Tapi pembunuhan Mitch dan perasaan
yang terpicu dalam dirinya akibat pembunuhan tersebut
mengisyaratkan kalau belum terlambat"masih ada sisa-sisa Reva
yang lama, tersembunyi di balik kulit keras yang dibangun di
sekelilingnya. Ia menyantap semangkuk sereal cornflakes, menyambar
mantelnya dan bergegas ke garasi, ayahnya telah memanaskan mobil
di sana. Matahari pagi yang merah tengah memanjat ke langit. Udara
tidak bergerak dan dingin. Halaman rumput kemilau tertutup lapisan
embun. Mereka bermobil ke toserba tanpa berbicara, mendengarkan
radio berita. "Apa teorimu?" tanya Mr. Dalby setelah memarkir
mobilnya di lokasi parkir khususnya. Mereka berjalan kaki
menyeberangi areal parkir dan memasuki toserba melalui pintu
belakang. "Harus kutunjukkan," kata Reva. "Bukannya aku mau bersikap
misterius, Daddy. Tapi aku harus memastikan sendiri dulu."
Mereka naik ke lantai enam dan menyimpan mantel di lemari
pakaian di ruangan Mr.Dalby. Lalu Reva mengajaknya ke deretan
monitor keamanan di seberang kantor.
Hank baru saja tiba, matanya masih mengantuk, seragam
birunya licin dan halus. Ia baru saja menghidupkan sistem keamanan,
memeriksa monitor dan VCR, dan tampak terkejut melihat Reva dan
ayahnya berjalan menuju ke tempat kerjanya.
"Pagi," katanya, sambil menatap Reva penuh pertanyaan.
"Hank, kau punya rekaman keamanan kemarin?" tanya Reva.
"Yeah. Tentu saja," katanya. "Aku baru saja memutar baliknya.
Polisi sudah melihatnya, tapi tidak menemukan apa-apa."
"Reva"memangnya ada apa?" tanya Mr. Dalby tidak sabar,
sambil meluruskan dasi garis-garisnya.
"Hank, kau punya kamera di areal Santa Land" Kau punya
rekaman areal itu kemarin siang?" tanya Reva, sambil meremas tangan
ayahnya sebagai tanda agar dia bersabar.
"Yeah. Tentu saja," jawab Hank, kebingungan. "Kau mau
melihatnya?" Reva mengangguk serius, dan mengalihkan pandangannya ke
monitor. "Reva"kenapa kita harus melihat Sinterklas?" tuntut Mr.
Dalby. "Aku tidak yakin," kata Reva, pandangannya tetap ke layar.
"Aku cuma mendapat gagasan..."
Beberapa detik kemudian salah satu monitor mulai
menunjukkan areal Santa Land. Reva mendekati layar untuk
mempelajarinya dengan lebih teliti.
Di sana, Sinterklas tengah memangku seorang gadis kecil. Dia
tengah tertawa-tawa. Gadis kecil tersebut malu-malu, enggan untuk
bicara. Setelah beberapa saat Sinterklas menurunkan gadis kecil
tersebut dan memberi tanda agar pembantunya membawa anak
berikutnya. "Hentikan di sini," kata Reva kepada Hank.
Gambarnya pun berhenti. Reva mempelajari wajah Sinterklas.
"Aku benar," katanya kepada ayahnya. "Aku tahu. Aku benar."
Mr. Dalby menunggu penjelasan putrinya lebih lanjut.
"Ia bukan Robb," katanya. "Itu orang lain."
"Hah?" seru Hank.
Mr. Dalby hanya menatapnya, tidak mengerti sama sekali.
"Itu bukan temanku Robb"sekalipun dia seharusnya berada di
sana. Itu orang lain. Seseorang yang pasti diminta Robb untuk
menggantikannya." "Aku tidak mengerti," kata ayahnya, mempermainkan dasinya
dengan gugup. "Untuk apa temanmu berbuat begitu?"
"Entahlah," kata Reva. "Mungkin agar dia bisa membunuh
Mitch. Aku"kurasa Robb bisa melakukannya. Tapi tampaknya agak
sedikit mencurigakan, bukan?"
Ayahnya mengangguk. "Kurasa begitu," katanya serius, sambil
menatap gambar di layar. "Sebenarnya, Michael yang memberiku gagasan itu," kata Reva
penuh semangat dengan penuh semangat.
"Michael?" "Sesudah Michael duduk di pangkuan Sinterklas, dia
memberitahuku kalau Sinterklasnya palsu. Katanya Sinterklas
mengenakan bantal di balik mantelnya," kata Reva padanya. "Well,
aku tidak memikirkannya sampai tengah malam. Tapi lalu aku ingat
kalau Robb tidak mengenakan bantal. Dia benar-benar gendut. Tidak
memerlukan bantal. Jadi kusadari kalau Michael berbicara pada
Sinterklas yang bukan Robb."
"Tapi"itu tidak membuktikan kalau Robb seorang pembunuh,"
kata Mr. Dalby. "Tentu saja tidak," jawab Reva. "Tapi ada hal lain lagi. Robb
dan Mitch berkelahi kemarin pagi. Bergulat di gudang. Aku
melihatnya. Kucoba untuk memisahkannya. Tapi mereka begitu
bersungguh-sungguh."
"Robb dan Mitch?" tanya Hank terkejut. "Memangnya kenapa
mereka berkelahi?" "Entah," jawab Reva. "Sesudah itu, Mitch tidak mau
memberitahuku. Tapi perkelahiannya benar-benar menakutkan. Robb
seperti benar-benar mau mencopot kepala Mitch."
"Dan beberapa jam kemudian Mitch tewas," kata Mr. Dalby,
mengutarakan pemikirannya.
"Benar-benar aneh," kata Reva. "Robb itu cowok paling
pendiam, paling santai yang pernah kukenal. Dia selalu bersikap
manis. Sulit dipercaya dia akan berkelahi seperti itu. Dia benar-benar
marah terhadap Mitch!"
"Cukup marah untuk menyelinap dan membunuhnya?" tanya
Hank. Reva mengangkat bahu. Ayahnya menatap gambar di layar dengan pandangan lurus.
"Aku akan menghubungi polisi," katanya.
****************************
Karena hari itu hari Sabtu terakhir sebelum Natal, toserba penuh
sesak dengan para pembeli sejak pintu dibuka. Dan sekalipun masih
pagi, ada sekitar dua puluh atau tiga puluh anak-anak, telah menunggu
dengan tidak sabar kesempatan besar mereka duduk di pangkuan
Sinterklas. Reva berdiri agak jauh di satu sisi, emosinya berputar-putar
sementara mengawasi Robb menangani anak-anak tersebut. Mungkin
aku keliru, pikirnya. Robb selama ini tampaknya menyenangkan,
terkadang agak sedih, tapi selalu ramah. Apa mungkin dia sebenarnya
pembunuh berdarah dingin"
Mungkin aku salah. Rasanya tidak mungkin.
Rasanya tidak nyata.... Dan rasanya juga tidak nyata bagi Reva sewaktu beberapa
menit kemudian empat petugas polisi mendekati tahta permen
Sinterklas. Robb tengah bersama seorang gadis kecil, mengenakan
celana pendek oranye cerah dan kaos yang sewarna, di pangkuannya
sewaktu keempat polisi berwajah suram tersebut mengepungnya.
Gadis kecil tersebut marah. "Ini giliranku!" teriaknya.
Salah seorang petugas dengan lembut mengangkat gadis kecil
yang memprotes tersebut dari pangkuan Robb.
"Ada apa?" tanya Robb, sangat khawatir.
"Sinterklas ditangkap!" teriak seorang bocah dari depan barisan.
"Lihat"mereka menangkap Sinterklas!"
"Apa yang dilakukan Santa?"
"Oh, tidak! Oh, tidak!"
"Hentikan mereka!"
"Mereka tidak bisa menangkap Sinterklas!"
Teriakan-teriakan anak kecil yang tertegun dan terkejut
bercampur dengan dengungan suara orangtua mereka yang
kebingungan. Dua polisi menyambar lengan Robb dan membantunya bangkit
berdiri dari kursi. Salah seorang dari mereka mengulurkan tangan dan
mencabut janggutnya. Beberapa anak, masih berbaris sambil menatap pemandangan
aneh tersebut, tercekat. Seorang bocah lelaki kecil seketika terisakisak.
"Kau yang bernama Robb Spring?" tanya salah seorang polisi.
"Ya. Tapi aku tidak melakukan apa-apa!" Reva mendengar
seruan Robb mengatasi tangisan anak-anak yang kebingungan dan
keributan orangtua mereka.
"Sebaiknya kau ikut kami. Ada beberapa pertanyaan yang harus
kaujawab." Polisi menarik Robb menjauhi tahta yang didekorasi
dengan mencolok. Ketiga petugas lainnya menegang, bersiap-siap
seandainya dia melawan. "Tapi aku tidak melakukan apa-apa!" ulang Robb ketakutan.
"Kau mau ikut kami dengan sukarela atau tidak?" tanya polisi
dengan suara rendah, mantap.
Ini mengerikan sekali, pikir Reva, sambil melirik ayahnya, yang
mengawasi dari barisan anak-anak. Ayahnya hanya menggeleng.
Saat itulah Reva merasa ada yang mendorongnya ke samping
dan seseorang menerobos maju. Sewaktu berusaha menyeimbangkan
diri lagi, Reva terpana melihat sepupunya Pam dengan panik bergegas
mendekati Robb. "Foxy!" jerit Pam. "Apa yang terjadi" Mengapa mereka
menangkapmu?" Apa Pam kenal Robb" tanya Reva sendiri, terkejut. Kenapa
Pam memanggilnya Foxy"
"Permisi, Nona." Salah seorang polisi berusaha menyingkirkan
Pam agar tidak menghalangi mereka.
"Foxy"apa yang terjadi?" tuntut Pam, sambil menghindari
polisi dan menyambar lengan kostum Sinterklas Robb.
Foxy" pikir Reva. Itu pasti nama panggilan Pam untuk Robb.
"Aku cuma mau membantumu, Pam!" jerit Robb emosi.
"Apa?" Wajah Pam memucat. "Apa yang kaulakukan, Foxy"
Apa yang sudah kaulakukan?"
"Aku cuma mau membantumu. Aku cuma mau membalas!"
teriak Robb, memelototi Reva.
Apa yang dibicarakannya" Reva penasaran, tiba-tiba ketakutan
melihat tatapan liar dan penuh kemarahan yang dilontarkan Robb. Apa
Robb mengaku" Apa dia mengaku kalau telah membunuh Mitch"
"Aku melakukannya cuma untukmu!" kata Robb kepada Pam.
"Foxy, aku"aku tidak mengerti," kata Pam lemah dan
menutupi wajah dengan tangannya. Mr. Dalby melangkah maju dan
memeluk keponakannya dengan sikap melindungi.
Keempat petugas polisi tersebut membimbing Robb pergi. "Aku
cuma ingin menunjukkan pada Reva!" jeritnya, memalingkan
kepalanya kepada Pam, topi Sinterklas merahnya jatuh ke lantai. Lalu
dia dan para pendamping berseragam hitamnya menghilang di balik
tangga. Para orangtua mulai menarik anak-anak mereka yang ribut
menjauhi Santa Land. Area tersebut dipenuhi suara tangisan anakanak, kemarahan orang dewasa, dan celoteh kebingungan bercampur
gugup. Reva berdiri dekat dinding, tidak mendengar semua keributan
dan kebingungan tersebut. Ia sibuk berpikir, berusaha menebak apa
yang dimaksud Robb. Robb menjerit kalau dia melakukan apa yang dilakukannya
untuk Pam, kalau dia cuma ingin menunjukkan pada Reva.
Menunjukkan apa" Apa yang bisa ditunjukkan dengan membunuh Mitch"
Apa aku yang menyebabkan kematian Mitch" Reva penasaran.
Bagaimana mungkin" Ia memandang ke seberang lorong, yang sekarang kosong, ke
arah Pam berdiri. Pam tengah menatapnya, memandanginya.
Menuduhnya. Bab 27 Toko Gelap, Lagi REVA membuat dirinya sendiri terkejut dengan kembali ke
gerai make-up dan tetap tinggal di toko hingga malam harinya. Ia
melibatkan diri dengan pembeli, mendengarkan tuntutan-tuntutan
mereka, bekerja keras, memaksa dirinya untuk tidak memikirkan apa
pun yang telah terjadi. Kalau ada waktu senggang, kejadian-kejadian yang mengerikan
itu akan melintas kembali dalam benaknya. Tatapan Pam yang
menuduh. Teriakan-teriakan liar Robb yang ketakutan. Mayat Mitch
yang terlipat dan berlumuran darah di kotak karton.
Paling tidak pembunuhnya sudah tertangkap, pikir Reva
menghibur diri. Hari itu berlalu tanpa terasa. Toserba ditutup pukul tujuh. Ayah
Reva harus menghadiri rapat sejak siangnya, jadi Reva harus pulang
ke rumah naik bus. Ia melewati pintu masuk karyawan dan keluar ke malam yang
bersih dan dingin. Bulan sabit telah tinggi di langit yang ungu.


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia baru saja mau memutar ke halte bus di depan toserba,
sepatunya mengetuk-ngetuk lantai lorong yang sempit, sewaktu
melihat seseorang setengah tersembunyi di bayang-bayang, bersandar
ke gedung. Menunggu. Menungguku" Reva penasaran.
Ketakutan yang tiba-tiba muncul menghentikan langkahnya.
Sosok tersebut bergegas melangkah menjauhi gedung dan
mendekati Reva. Reva mundur selangkah, lalu membeku.
"Pam!" Sepupunya, hanya mengenakan jas hujan, kedua tangan
terbenam dalam saku, bergegas mendekatinya.
"Pam, kenapa kau masih di sini?" tanya Reva, merasa lega.
"Selamat berlibur," kata Pam sedih. Rambut pirangnya, yang
biasanya terikat ke belakang dengan rapi, terurai bebas di bahunya.
Matanya, Reva melihat, merah. Jelas ia baru saja menangis. "Aku"
aku menunggumu, Reva. Kupikir mungkin kau dan aku bisa bicara."
Ia menatap Reva penuh harap. Seluruh tatapan dingin, seluruh
tuduhan tidak lagi terlihat di sana.
"Tentu saja," jawab Reva, sambil mengamati wajah Pam yang
tampak susah. "Sudah lama sekali kita tidak bicara," kata Pam pelan.
"Maksudku, bicara jujur."
Reva mendesah. "Sejak Mom meninggal," bisiknya. Sekalipun
udara malam terasa dingin, Reva justru dibanjiri perasaan hangat,
perasaan terhadap Pam, perasaan yang mengejutkannya.
Ia meraih lengan Pam dan mulai berjalan ke depan toserba.
"Dengar, Reva," kata Pam dengan nada mendesak. "Foxy"
maksudku, Robb"dia tidak mungkin melakukannya."
"Hah?" "Dia tidak mungkin membunuh Mitch, Reva. Tidak mungkin,"
kata Pam dengan emosi yang nyata. "Aku mengenalnya dengan baik."
"Aku sendiri terkejut," kata Reva mengakui. "Aku juga merasa
Robb tidak mungkin melakukannya. Tapi pasti dia pelakunya, Pam."
"Tidak!" jerit Pam. Ia menarik lengannya dari genggaman Reva
dan menghentikan langkahnya. "Kuberitahukan padamu, Reva. Bukan
Robb pelakunya. Aku tahu!"
"Tapi bicaranya begitu sinting," kata Reva bersikeras. "Boleh
dikatakan dia mengaku tadi pagi sewaktu mereka membawanya
pergi." "Kau tidak mengerti..." kata Pam hendak mengutarakan sesuatu.
"Dan sewaktu melihat dia berkelahi dengan Mitch kemarin
pagi," sela Reva. "Aku melihatnya, Pam. Dia ingin membunuh Mitch.
Sungguh. Dan lalu siang harinya dia meminta seseorang untuk
menjadi Sinterklas menggantikannya agar dia bisa menyelinap pergi."
"Aku bisa menjelaskan segalanya," kata Pam. "Mobil ayahku di
sana." Ia menunjuk ke Grand Prix di tepi jalan. "Please, Reva. Kita
duduk saja, tidak kedinginan di sini. Biar kujelaskan. Beri aku
kesempatan." "Tentu saja," kata Reva. Ia mengikuti Pam ke mobil tua yang
besar tersebut dan naik ke kursi penumpang. Bagian dalam mobil
berbau asam termakan usia.
"Aku tahu alasan Foxy berkelahi dengan Mitch," kata Pam,
sambil menyelinap ke balik kemudi, mulai bicara bahkan sebelum
menutup pintu. "Itu salahku."
"Salahmu?" "Foxy tahu kalau Mitch memerasku," ungkap Pam. "Itu
sebabnya dia berkelahi dengan Mitch."
Mulut Reva membentuk huruf O karena terkejut. "Hah" Mitch"
Memerasmu" Yang benar, Pam. Kenapa?"
Pam ragu-ragu. Ia menyandarkan dahinya ke kemudi selama
beberapa detik sebelum kembali menegakkan duduknya. "Ceritanya
terlalu panjang, Reva. Aku yakin semuanya akan keluar. Tapi nanti.
Sekarang ini, aku ingin bicara tentang Foxy"maksudku, Robb."
Reva menatap Pam dengan pandangan curiga. Apa yang tidak
ingin diceritakan sepupunya ini" ia penasaran. Mengapa Mitch
memerasnya" "Jadi kenapa Robb meminta orang lain menggantikannya
sebagai Sinterklas?" tanyanya.
"Semuanya tidak jahat, sungguh," kata Pam, mendesah. "Dia
meminta temannya menggantikan tempatnya selama satu jam agar
bisa menemuiku." "Kau?" "Robb dan aku sudah berpacaran hampir enam bulan lamanya.
Dia tahu kalau aku sangat bingung tentang... banyak hal. Jadi dia
menyelinap keluar untuk menemuiku. Sekadar menemaniku."
Reva tahu kalau Pam mengatakan yang sebenarnya.
Tapi masih banyak hal yang harus dijelaskan.
"Tapi apa maksud kata-katanya yang diucapkan sewaktu polisi
membawanya pergi, Pam?" tanya Reva. "Apa maksudnya kalau dia
cuma berusaha menunjukkan padaku?"
"Foxy memberitahuku kalau telah melakukan hal-hal yang jahat
untuk menakut-nakutimu. Lelucon yang kejam. Katanya dia
memasukkan jarum ke dalam lipstikmu. Dan mengirimkan barangbarang. Sebotol kolonye. Manekin dalam kotak. Kukatakan itu
konyol. Tapi dia begitu marah dengan caramu memperlakukanku,
sikapmu yang buruk. Dan bagaimana kau menipunya untuk menjadi
Sinterklas, bagaimana kau mempermalukannya di depan banyak
orang." Reva menghindari tatapan Pam.
"Tapi cuma itu yang dilakukannya," lanjut Pam. "Kau harus
percaya padaku. Dia tidak membunuh Mitch. Aku tahu kalau bukan
dia pelakunya. Aku tahu dia tidak bisa melakukannya."
Reva melihat kalau air mata telah menggenang di mata Pam
dan, yang mengejutkan, juga di matanya sendiri. "Kau berhak untuk
marah padaku," kata Reva pada sepupunya tersebut, suaranya lebih
berupa bisikan. "Robb juga. Kurasa... kurasa banyak orang juga."
Lalu dengan tulus, Reva mengulurkan tangan kepada Pam,
memeluk bahunya erat-erat. "Aku benar-benar menyesal, Pam.
Sungguh. Aku sangat menyesal," katanya.
"Bisa kuantar kau pulang?" tanya Pam, air mata mengalir di
pipinya. "Aku ingin menelepon dan mencari tahu bagaimana kabar
Foxy." "Ya, trims," kata Reva. "Mungkin kau bisa makan malam
sekaligus, dan kita bisa bicara. Kau tahu. Mengejar ketinggalan."
"Mungkin," kata Pam, mencari-cari kunci mobilnya.
Mereka telah dua atau tiga blok jauhnya sewaktu Reva
menyadari kalau tidak membawa tasnya. "Pasti tertinggal di kantor
Daddy," katanya kepada Pam dengan nada meminta maaf. "Bisa kita
kembali untuk mengambilnya?"
Pam memutar mobil di lampu lalu lintas berikutnya. Sewaktu
tiba di toserba, Reva mengarahkannya ke bagian belakang toserba ke
pintu masuk karyawan. "Tunggu di sini," katanya kepada Pam. "Aku
cuma sebentar." Reva masuk ke koridor sempit, terkejut melihat satpam yang
bertugas malam tidak berada di mejanya. Daddy tidak akan senang
kalau tahu, pikirnya. Ia bergegas melangkah melintasi lorong belakang yang gelap
dan kosong, terus ke lantai utama. Ia mencari-cari dengan
pandangannya. Kecuali sejumlah lampu redup di langit-langit di atas
dinding seberang, satu-satunya cahaya berasal dari lampu-lampu Natal
di pohon Natal tinggi di bawah balkon.
Tenang. Tenang saja, katanya sendiri, merasakan ketakutan
lamanya kembali. Hanya perasaan teror yang selalu dirasakannya,
menjepit perutnya. Tapi Reva tahu perasaan tersebut akan menyebar
sebentar lagi. Ketakutan itu akan menyebar sampai
mencengkeramnya. Fobia bodoh. Tenang, Reva. Tidak ada yang perlu ditakutkan.
Musik apa itu" Reva berhenti dan mendengarkan. Ada yang
meninggalkan sistem musik menyala. "Malam Kudus" menggema
mengerikan di seluruh toko yang kosong tersebut.
Lampu-lampu pohon Natal masih menyala. Musiknya masih
melantun. Tidak ada satpam di pintu belakang. Ada yang bersikap
ceroboh, pikir Reva. Untung Daddy tidak ada di sini. Ada orang yang
akan dimarahi karena semua ini kalau Daddy ada.
Ketakutan berusaha memaksanya kembali, memaksanya
membeku di tengah-tengah lorong. Tapi sambil mendengar lagu Natal
yang lembut di telinganya, Reva memaksa dirinya maju. Ia menahan
napas hingga mencapai lift karyawan, lalu menyelinap masuk dan naik
ke lantai enam. Ia melangkah keluar ke ruang tunggu eksekutif, merasa lega,
merasa bangga karena tidak mengizinkan ketakutan menguasainya.
Sambil melangkah cepat melintasi karpet tebal, ia bergegas
menuju ke kantor ayahnya di sudut. Yang mengejutkan, monitormonitor keamanan masih menyala, layarnya berdenging,
menampilkan garis-garis kelabu.
Apa yang terjadi" ia penasaran.
Dan lalu Reva melihat seseorang berdiri di dekat monitormonitor tersebut.
"Hank?" panggilnya, sambil mendekati orang tersebut. "Hank"
apa yang kau lakukan di sini se..."
Orang itu bukan Hank. Pria yang melangkah keluar dari balik deretan monitor tersebut
mengenakan seragam biru satpam. Layar kelabu yang terus
berdenging menyiraminya dengan cahaya kelabu sehingga
mengesankan dia tidak nyata, sebuah kreasi video yang aneh.
Sambil menatap ke cahaya kelabu tersebut, Reva memerlukan
waktu yang cukup lama untuk mengenali orang itu.
"Mr. Wakely!" jerit Reva karena kaget. "Kau sudah tidak
bekerja di sini lagi!"
"Masih ada yang harus kulakukan," kata Mr. Wakely.
Lalu Reva melihat pistol di tangannya.
Bab 28 "Tenang; Mr. Wakely"
LAGU " Malam Kudus" di pengeras suara terdengar semakin
keras. Mulut Reva ternganga sementara pandangannya berpindahpindah dari pistol ke wajah Wakely yang berwarna kelabu dalam
siraman cahaya monitor. Wakely maju selangkah. Lalu selangkah lagi.
Wajahnya kembali berwarna normal. Reva melihat kalau mata
pria tua tersebut merah dan berkaca-kaca. Ia bisa melihat urat-urat
merah di batang hidung Wakely yang besar.
"Maywood berjanji padaku kalau tidak akan ada masalah,"
katanya, pandangannya berpindah-pindah dari satu sisi ke sisi lain.
Ia mabuk, Reva sadar, mengalihkan pandangannya dari tatapan
Wakely ke pistol yang tergenggam erat di tangannya.
Mabuk dan berbahaya. "Maywood sudah berjanji padaku," ulang Wakely. Mungkin
ingin menjelaskan kehadirannya kepada Reva.
"Tenang, Mr. Wakely," kata Reva sambil mengacungkan
tangannya. "Tenang saja, oke, aku yakin segalanya akan beres."
Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia kesulitan mendengar katakatanya sendiri.
"Tidak." Wakely menggeleng. "Tidak akan beres. Kami sudah
mengacaukannya. Kami sudah benar-benar mengacaukannya." Katakatanya meluncur keluar tidak keruan, hingga Reva menemui
kesulitan untuk memahaminya.
"Apa maksudmu?" tanyanya, masih tercekam ketakutan.
"Perampokannya. Maywood. Dia yang merencanakan. Katanya
tidak akan ada masalah." Ia mundur selangkah dan mengulurkan
tangan ke samping sebuah monitor, bersandar ke sana.
"Maksudmu perampokan toko ini?" tanya Reva.
Wakely mengangguk, kepalanya yang botak berkilau kelabu
dalam cahaya yang terkesan aneh. "Kata Maywood ada tiga bocah
yang merencanakan untuk merampok toko. Katanya ketiga bocah itu
akan menjadi pengalih perhatian. Kau tahu. Menyibukkan satpamsatpam lainnya. Aku dan Maywood bisa menguras lemari besi di
lantai bawah. Dan tiga bocah itu tidak akan mengetahuinya."
Ia berhenti sejenak seakan berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi selanjutnya. Lalu ia melanjutkan, mengarahkan pandangannya
ke Reva. "Kami berhasil mendapatkan uangnya. Rencana itu memang
bagus. Seharusnya berjalan lancar. Cuma sewaktu aku keluar dari
kantor belakang, aku melihat kalau salah satu bocah itu anakku!"
Ia menggeleng sedih. "Bocah itu Mickey. Putraku sendiri. Aku
sama sekali tidak tahu." Pandangannya menusuk Reva, meminta,
putus asa. "Maywood tidak pernah mengatakan kalau Mickey salah
satu dari mereka. Aku tidak tahu kalau Mickey ada di sana. Dia tidak
tahu kalau aku ada di sana. Dan lalu..."
Ia tidak menyelesaikan kata-katanya, menggosok-gosok
dagunya dengan tangannya yang bebas.
"Dan lalu apa?" tanya Reva, sambil memikirkan rute untuk
melarikan diri. "Lalu... lalu aku melihat satpam itu. Ed Javors. Dia mencabut
pistolnya. Dia mau menembak Mickey. Apa yang bisa kulakukan"
Aku ini ayah, kan" Aku tidak bisa berdiam diri melihatnya menembak
putraku. Putraku satu-satunya. Jadi aku"aku panik. Kutembak Ed.
Aku tidak bermaksud membunuhnya. Tapi aku tidak bisa
membiarkannya menembak Mickey."
Ia kembali terdiam, tenggelam dalam lamunan, menyandar kuat
ke monitor. Di pengeras suara Malam Kudus terus melantun lembut.
"Apa kau yang membunuh Mitch?" tanya Reva. Pertanyaan
tersebut terlontar begitu saja.
Wakely mengangguk. "Terpaksa," katanya, berusaha
memusatkan pandangannya. "Aku tahu apa yang dilakukannya. Aku
tidak sengaja mendengarnya. Dia memeras anakku. Bocah Mitch itu
kebetulan ada di belakang sewaktu perampokan berlangsung. Dia
kembali ke toko karena ada barangnya yang tertinggal. Dia melihat
Mickey dan kedua temannya lari keluar. Jadi dia mulai memeras
putraku. Mau melaporkannya ke polisi. Aku tidak bisa
membiarkannya, kan" Aku tidak bisa membiarkan Mickey mendapat
masalah karena perbuatanku."
"Tapi kenapa kau mengirim mayat Mitch padaku?" tanya Reva,
menatap pistolnya, masih terjuntai di sisi Wakely.
"Hah?" Wakely menyipitkan mata menatapnya, seakan hal itu
akan membantunya memahami pertanyaannya. "Mengirimnya
padamu" Tidak. Aku menemukan kotak karton besar yang ada
pitanya. Kotak besar pertama yang kutemukan. Jadi kumasukkan
mayatnya ke sana dan meninggalkannya di balik gerai."
Kotak yang tadinya berisi manekin, Reva sadar. Namanya
masih tertempel di kotak itu, jadi dikirimkan lagi padanya.
Wakely memicingkan mata menatapnya. "Dan sekarang di
sinilah aku. Tahu tidak aku kembali untuk menyelesaikan pekerjaanku
di sini. Aku cuma ingin dibayar. Dari lemari besi di kantor ayahmu."
Ia memberi isyarat ke arah kantor dengan pistolnya.
"Sayang sekali," kata pria itu, menegakkan tubuh.
Pandangannya seakan tampak telah terfokus, jelas dan dingin. Ia
mengangkat pistolnya. "Kau tidak memberiku pilihan lain."
"Jangan!" jerit Reva dan berbalik hendak melarikan diri.
Kakinya terasa bertambah berat lima ratus kilogram. Tapi ia
memaksa dirinya melangkah maju, membungkuk rendah sambil
berlari, seluruh tubuhnya tegang menantikan letusan pistol.
Wakely mengejarnya, dengan pistol terayun-ayun di


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampingnya. Reva bisa mendengar dengus napasnya yang terengahengah, mendengar detakan berat sepatunya beradu dengan karpet
tebal. Apa yang bisa kulakukan" Aku harus ke mana" Reva bertanyatanya, kantor-kantor kosong melayang kabur di sisinya.
Kalau saja bisa masuk ke dalam lift...
Tidak. Terlalu berisiko. Terlalu lambat.
Kalau begitu, ke mana"
Kalau ia bisa memutar kembali ke kantor ayahnya, ia bisa
mengunci pintu, membiarkan dirinya terkunci di dalam, dan
memanggil pertolongan. Ya. Tapi, bagaimana ia bisa melewati Mr. Wakely untuk kembali ke
sana" Tidak ada waktu untuk memikirkannya. Tidak sempat
menyusun rencana. Ia harus melakukannya begitu saja.
Ia tiba di ruang tunggu, mengitari sofa, menghela napas dalamdalam, dan melesat lurus ke arah Wakely.
Mulut Wakely ternganga terkejut.
Jangan tembak. Jangan tembak. Jangan tembak.
Ia berhasil melewati Wakely, berlari sekuat tenaga, berlari
secepat-cepatnya. Ia membutuhkan waktu sejenak untuk menyadari kalau benda
yang baru saja berdesing melewati telinganya adalah sebutir peluru.
"Oh!" jeritnya ketakutan.
Letusan lain terdengar dari belakangnya, kali ini lebih keras,
kali ini lebih menakutkan karena ia tahu suara apa itu. Peluru lain
berdesing lewat, menancap di tembok di depannya.
Reva membeku. Kantor ayahnya masih setengah perjalanan lagi.
Aku tidak bisa mendahului peluru, pikirnya.
Dan lalu pemikirannya bagai meleleh menjadi warna-warna
cerah, kata-kata yang tidak berkaitan satu sama lain, denging keras
yang terus-menerus terngiang di telinganya saat kepanikannya
mendorong pikiran lain. Ia mundur ke balkon rendah yang terbuka ke toko.
Punggungnya mengenai pagar. Ia tidak benar-benar menyadari
keadaannya. Ia tidak benar-benar memahami mengapa ia berhenti,
mengapa berdiri di sana, apa yang tengah dilakukannya.
Sambil tersenyum muram, pistol yang masih berasap teracung
tinggi, Wakely menerjang ke arahnya.
Bab 29 Zap AKU terjebak, pikir Reva, punggungnya menempel ketat ke
pagar balkon yang rendah.
Ia melirik ke bawah, ke lantai utama lima tingkat di bawahnya,
dan merasa pusing. Wakely melompat dengan lengan terulur, berusaha
mendorongnya. Reva memejamkan mata dan membungkuk.
Wakely melayang melewatinya"dan jatuh melewati balkon.
Ia bisa mendengar teriakan Wakely saat melayang jatuh.
Lalu ia mendengar dentingan kaca pecah, jeritan pelan diikuti
debuman keras. Ia mendengar jeritan terakhir yang memekakkan telinga, disusul
suara listrik yang mengalami hubungan pendek berulang-ulang, dan
raungan yang seakan-akan menggetarkan dinding.
Reva mengintip ke lantai satu di bawahnya. Ia menjerit,
menutupi wajah dengan tangannya, sewaktu melihat Wakely di bawah
sana, matanya terbuka dan memandang ngeri, tubuhnya tersentaksentak di tengah-tengah arus listrik merah dan kuning yang
membutakan mata. Pohon Natalnya, Reva sadar, masih tetap menutupi wajahnya
dan berpaling menjauhi pemandangan yang mengerikan tersebut.
Wakely mendarat di pohon Natal, dan listriknya mengalami
hubungan pendek. Reva merasa ingin muntah.
Ia mendengar beberapa letupan terakhir, seperti tembakan pistol
otomatis, lalu arus listriknya putus.
"Ohhh," ia mengerang pelan.
Dan tiba-tiba seseorang telah memeluknya. Lengan-lengan yang
kuat melingkarinya, mendukungnya, menghiburnya.
"Hank!" "Aku sedang di bawah, memperbaiki kamera video," kata Hank
lembut, memeluknya lebih erat lagi. "Aku melihat segalanya. Melalui
monitor di ruang bawah tanah. Semuanya terekam. Pengakuan
Wakely, segalanya." Ia menengadah dan menatap Hank lurus-lurus, dengan
pandangan masih tertegun. "Hah" Bagaimana caranya?"
"Sudah kukatakan, aku ini pakar elektronik," kata Hank.
"Kucoba untuk naik ke sini dan menolongmu. Maaf aku tidak bisa
datang lebih cepat."
"Paling tidak kau di sini sekarang," kata Reva lemah, lalu
pingsan dalam pelukan Hank.
Bab 30 Perasaan Asli REVA duduk di antara Hank dan Robb di sebuah bangku kayu
panjang. Mereka meringkuk rapat, terbungkus mantel masing-masing,
kerahnya dinaikkan, memicingkan mata menghindari sengatan cahaya
terang benderang dari lampu di atas mereka.
Langkah-langkah kaki terdengar bergema di lantai marmer, dan
dari waktu ke waktu ada pintu yang terbuka dan seorang polisi
berseragam bergegas melewati mereka.
Reva dan kedua cowok tersebut telah duduk di luar ruang
dengar pendapat kepolisian Shadyside selama hampir satu jam,
menatap ubin di dinding, tidak banyak bicara, dengan gugup
menunggu Pam keluar. "Bagaimana rasanya di dalam sana?" tanya Hank kepada Robb,
memberi isyarat ke arah pintu ganda tinggi yang menuju ke dalam.
"Tidak jelek," kata Robb, sambil menggigil. "Lebih hangat
daripada di luar sini."
"Kutub Utara masih lebih hangat daripada di sini," sembur
Reva, sambil berpegangan pada lengan mantel Hank.
"Ada beberapa ruangan kecil di belakang sana," kata Robb.
"Ada kursi, meja, dan barang-barang lainnya. Itu saja."
"Dan cermin satu arah, bukan?" tanya Hank. "Jadi mereka bisa
memata-mataimu?" Robb tergelak. "Kurasa tidak. Aku tidak melihat cermin apa pun
di sana." "Berapa lama kau di sana?" tanya Reva, sambil melirik penuh
harap ke pintu, lalu melihat arlojinya.
"Sekitar satu jam. Mungkin lebih sedikit," jawab Robb. "Aku
ketakutan. Tapi aku tahu bahwa aku tidak melakukan kesalahan apa
pun." Wajahnya memerah. "Kecuali perbuatan-perbuatan jahat yang
kulakukan padamu." "Aku layak mendapatkannya," kata Reva lembut. Lalu ia
tertawa. "Lagi pula, akan kutemukan cara membalasmu. Sekarang
giliranku." Ekspresi Robb berubah khawatir. "Kau cuma bergurau"kan?"
Reva mengangguk dengan sikap misterius. "Mungkin."
Mereka kembali membisu sejenak, menatap ke pintu ganda,
berharap keduanya membuka. Reva mencengkeram tangan Hank eraterat. "Menurutmu apa yang akan terjadi pada Pam?"
Hank mengangkat bahu. Kedua pintu membuka. Pam melangkah keluar, lelah dan pucat, diapit orangtuanya
yang muram. Ekspresinya berubah agak cerah sewaktu melihat Reva
dan kedua cowok tersebut menunggunya.
Mereka melompat bangkit saat Pam dan orangtuanya mendekat,
langkah-langkah mereka bergema di ruang tunggu yang berlangitlangit tinggi itu.
"Pam"apa yang terjadi?" tanya Reva, bergegas mendekatinya.
Pam mengangkat bahu dan melirik orangtuanya. "Akan ada
dengar pendapat," katanya. "Sementara itu, aku berada dalam
pengawasan orangtuaku."
"Pengawasan?" seru Reva. "Kata yang mengerikan."
"Pam akan baik-baik saja," kata ayahnya kaku.
"Dia belum pernah terlibat masalah sebelumnya," tambah
ibunya. "Jadi mereka cuma akan mengajukan tuntutan pelanggaran
masuk tanpa izin." "Bagaimana dengan Mickey dan Clay?" tanya Robb.
"Entahlah," kata Pam, sambil menggeleng sedih. "Dengar
pendapat Mickey baru diselenggarakan sesudah pemakaman ayahnya.
Dia tinggal dengan bibinya. Dengar pendapat Clay diadakan minggu
depan." Mereka semua berjalan melewati pintu dan keluar dari kantor
polisi. Salju tipis mulai turun, butiran-butiran kecil yang basah,
menggelitik hidung Reva dan terasa nyaman di pipinya. Trotoar dan
jalanan telah memutih. Ia mencari-cari bulan, tapi tertutup awan.
Sambil memegangi tangan Hank, Reva memandang Pam di sisi
lain. Pam tersenyum kepadanya. Reva berhenti, berpaling dari Hank,
dan memeluk Pam cukup lama.
Aku merasa begitu hangat, pikir Reva, begitu ringan, seakan
ada lapisan es yang telah mencair dalam diriku. Kalau saja aku tidak
begitu dingin, begitu tertutup, penuh kebencian, mungkin semua ini
tidak akan terjadi. Betapa memalukan kejadian semengerikan ini harus terjadi agar
aku punya perasaan lagi, pikir Reva. Sekarang ia merasa sedih, tapi
juga lega karena semuanya telah berakhir.
Sekarang aku benar-benar punya perasaan, ia sadar. Perasaan
hangat. Perasaan sedih. Diam-diam ia membuat janji Tahun Baru bagi dirinya sendiri
untuk tidak pernah kehilangan perasaan tersebut lagi.
Lalu, sambil bersandar pada Hank, ia berjalan bersama yang
lain menembus malam yang sunyi ke dalam salju lembut yang tengah
turun.END Ebukulawas.blogspot.com Geger Dunia Persilatan 13 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Pedang Penakluk Iblis 6

Cari Blog Ini