Ceritasilat Novel Online

Cowok Misterius 3

Fear Street - Cowok Misterius The Knife Bagian 3


terpukul. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya pada Dr. Price, yang
jelas menganggapnya gila.
"Apa yang kaurisaukan, Laurie" Ada yang dapat kubantu" Kau
dapat mengatakannya." Dr. Price menatap Laurie dengan prihatin.
"Saya... saya... well, bukan cuma Suster Wilton." Laurie merasa
kecewa dan malu, tapi ia harus mengatakan semuanya. Tak ada
ruginya, putusnya. "Salah seorang anak, pasien di rumah sakit... Saya
melihatnya di Bagian Anak sebelum dia dipulangkan. Saya rasa dia
telah diperlakukan dengan tidak baik oleh ibunya. Hanya saja anak itu
tidak tinggal di rumahnya lagi. Saya pergi ke rumahnya dan melihat
anak itu dibawa pergi oleh seorang pria dan seorang wanita. Tampang
anak itu sedih sekali, dan, tampaknya dia sebenarnya tak ingin pergi."
Mata Dr. Price memicing. Laurie yakin pria itu merasa terusik
dan mungkin sama bingungnya dengannya.
"Coba, apa aku benar menangkap kata-katamu," katanya. "Kau
bermaksud mengatakan padaku bahwa seorang anak juga hilang?"
"Tidak, bukan 'juga'. Anak itu tidak lenyap seperti mayat itu.
Ah, saya cuma tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Anda
tahu, kan, perawat itu lenyap, tapi anak itu dibawa pergi.
Kedengarannya gila, saya tahu, tapi saya tak bisa berhenti
mengkhawatirkan tentang..."
"Khawatir," kata Dr. Price mengangguk-angguk. "Kurasa kau
memang terlalu banyak khawatir. Mungkin aku dapat meringankan
kekhawatiranmu. Nah, siapa nama anak itu" Dan mengapa dia berada
di rumah sakit?" "Namanya Toby Deane. Dia menderita pneumonia. Dia tinggal
di Fear Street. Umurnya baru tiga tahun, dan dia selalu menangis
selama diopname. Saya yakin dia sedang menghadapi kesulitan!"
"Ya ampun, Laurie, hampir semua anak menangis waktu
mereka sakit dan jauh dari rumah dan ketakutan. Tapi mungkin ini
akan membuat perasaanmu lebih enak; semua anak yang tinggal di
Shadyside secara otomatis akan dijadwalkan untuk datang check-up
kepada para dokter yang menanganinya. Aku yakin dia pasti sudah
dijadwalkan untuk datang check-up beberapa hari setelah dia
meninggalkan rumah sakit."
Dr. Price mengubah duduknya, lalu menatap Laurie dengan
penuh selidik. "Toby Deane, katamu" Itukah namanya" Nanti sampai
di kantor akan kusuruh kepala dokter anak membubuhkan catatan di
file anak itu untuk memanggilnya check-up dan..."
"Tapi file-nya lenyap," Laurie berkata serbasalah. "Saya telah
mencarinya, tapi file itu hilang."
"Orang-orang dan file... rasanya banyak sekali yang hilang,
ya?" Dokter itu tersenyum samar. Ditatapnya Laurie dengan penuh
simpati. "Kurasa kaulah yang paling membutuhkan liburan.
Bagaimana menurutmu?"
"Anda tidak menyuruh saya berhenti bekerja, kan?" pekik
Laurie. "Maksud saya, Anda tidak menyuruh saya meninggalkan
rumah sakit, kan?" "Tidak, kalau kau memang tak ingin, tentu saja. Terserah
padamu. Kalau kau merasa itu tidak terlalu berat untukmu, tentu saja
aku ingin kau tetap bekerja membantu kami. Katakan apa yang
kauinginkan." "Saya senang di sana! Dan saya tidak membutuhkan liburan.
Tolong biarkan saya tetap bekerja! Hanya..."
Ia berhenti sebentar, berpikir apakah ini waktu yang tepat untuk
minta tolong. Well, kenapa tidak" Cuma Dr. Price yang dapat
membantunya. "Hanya saja mereka menempatkan saya di Bagian
Rontgen. Dapatkah Anda membantu agar saya bisa kembali ke Bagian
Anak" Mereka lebih membutuhkan saya daripada Bagian Rontgen,
dan saya tahu saya bisa bekerja dengan baik di sana. Bisakah Anda
bicara dengan perawat penyelia?"
Dr. Price mengerutkan bibirnya. Perlahan-lahan ia berdiri. "Kita
lihat saja nanti. Aku akan bicara dengan Suster Schneider kalau
bertemu dengannya nanti. Kau baru masuk lagi hari Senin, kan"
Mungkin aku dapat mengaturnya untuk minggu depan. Nah, untuk
sementara, jangan khawatir tentang... yah, tentang semuanya."
Ia berjalan mengitari meja ke tempat Laurie duduk.
Diletakkannya tangannya di pundak gadis itu. Laurie menengadah ke
arahnya dengan penuh permohonan.
"Dan Laurie, sayangku," lanjut Dr. Price, "aku yakin semua ini
pasti dapat dijelaskan, dan aku akan mencari tahu apa yang terjadi dan
membuatmu risau ini."
Senyumnya yang ramah menghangatkan Laurie, hingga rasanya
ia dapat bernapas lebih mudah. "Akan kusuruh seseorang pergi
memeriksa anak kecil itu secepatnya, dan akan kulihat apa yang dapat
kulakukan untuk mengembalikanmu ke Bagian Anak. Nah, kau
merasa lebih baik sekarang?"
"Jauh lebih baik!" Laurie melompat berdiri. Setidaknya Dr.
Price akan melakukan sesuatu. Ia senang telah menemuinya.
Sekali lagi Dr. Price tersenyum padanya. "Aku harus pergi
sekarang, tapi aku senang kita sudah bicara, walaupun semua ini
membingungkan. Kita akan bicara lagi, aku berjanji. Dan jangan ragu
untuk datang menemuiku kapan pun kau punya masalah. Kau tahu kau
selalu akan diterima di rumah ini."
Terdengar ketukan di pintu.
"Ah, kurasa Andy sudah bangun. Sampai ketemu lagi, Sayang...
secepatnya. Ingat, jangan khawatir." Dr. Price pergi ke pintu dan
membukanya. "Kami baru saja selesai... wawancara," katanya pada
Andy di pintu. "Bye. Semoga hari kalian menyenangkan, ya."
Laurie menarik napas lega. Misinya memang cuma setengah
berhasil, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
"Apa sih yang kalian bicarakan?" tanya Andy, berdiri
menghadang di depan pintu.
"Cuma soal proyek yang kuceritakan semalam, beberapa
wawancara untuk nilai tambahan semester depan." Laurie merasa agak
tidak nyaman karena berbohong.
Apakah Andy telah menguping pembicaraan mereka" Apakah
ia mendengar semua perkataannya"
Andy maju beberapa langkah, lalu mengulurkan tangannya.
"Bagaimana kalau beberapa nilai ekstra denganku?" Ia meletakkan
tangannya di pinggang Laurie, lalu menunduk mencium gadis itu.
"Andy, jangan sekarang ah!" Laurie melepaskan diri dari
pelukannya. "Aku lagi nggak mood. Sungguh."
"Kenapa?" tuntut Andy. "Kenapa sih kau selalu menghindar
dariku akhir-akhir ini?" Dipasangnya senyumannya yang paling
menarik, yang biasanya membuat Laurie luluh.
Pesonanya semakin menipis saja, pikir Laurie. "Aku harus
pergi," ujarnya. "Aku janji ketemu Skye di mal. Sampai nanti malam,
oke?" Andy membenamkan tangannya ke dalam kantong celana
pendeknya seraya memberengut. "Dengar, kalau kau mau ketemu
cowok lain, kenapa tidak bilang terus terang saja" Aku berhak tahu,
Laurie. Kalau memang ada cowok lain, aku ingin tahu. Apakah cowok
itu satu sekolah dengan kita?"
"Sudah kubilang, aku mau ketemu Skye." Laurie menarik
napas, capek karena dicemburui terus.
"Atau mungkin seseorang yang kaukenal di rumah sakit?"
berondong Andy lagi. "Seorang mahasiswa sekolah kedokteran, atau
salah satu sukarelawan seksi yang kauceritakan padaku itu?"
Cukup! Rasanya Laurie akan meledak oleh amarah. "Kapan aku
pernah bilang... oh, sudahlah! Aku muak dengan kecurigaanmu itu!
Dan aku kenyang dengan sikapmu yang cemburu dan marah setiap
kali aku ingin melakukan sesuatu tanpa kau. Aku tidak mau dikekang,
harus hidup di satu tempat saja dan tak boleh pergi ke mana pun. Aku
tidak mau seperti itu. Setidaknya, tidak saat ini."
"Bagus buatmu!" Andy balas menghardik. "Kurasa kau
bermaksud mengatakan bahwa kau lebih suka melakukan hal lain
daripada keluar denganku malam nanti. Begitu?"
"Sekarang, memang itulah yang kuinginkan," jawab Laurie
dengan geram. "Jadi, kau punya kencan lain malam ini" Itukah sebabnya kau
memancing pertengkaran denganku, supaya kita tidak pergi malam
ini?" "Aku memancing pertengkaran" Andy, detik ini aku cuma ingin
di rumah sendirian, aman tenteram damai, tanpa kau menggangguku!
Kau benar-benar tidak tahu, kapan sebaiknya kaubiarkan aku sendiri!"
Laurie terbang ke luar perpustakaan, wajahnya merah padam.
"Laurie!" panggil Andy di belakangnya.
"Tidak! Tinggalkan aku sendiri! Selamanya!"
Ia berlari menuruni undakan, melompat masuk ke mobil,
meninggalkan Andy yang berdiri di pintu depan. Sebenarnya ia tak
ingin hubungannya dengan Andy berakhir seperti ini, tapi cowok itu
sudah terlalu sering bertindak keterlaluan begini.
Dalam perjalanan ke mal untuk menemui Skye, Laurie mulai
tenang. Ia yakin Andy akan segera menghubunginya, dan ia akan
memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya. Ia dan Andy tidak
cocok, dan cowok itu harus menyadarinya.
Kenapa sih orang tidak bisa berpisah baik-baik tanpa harus ada
yang disakiti" Seharusnya ada cara yang mudah.
Oh, well, nanti saja dipikirkan. Ia kan punya malam Minggu
yang panjang dan sepi untuk memikirkannya.
Ia memasuki lapangan parkir mal dan berhenti di depan toko
buku. Skye ada di dalam toko itu, melihat-lihat majalah. Mereka
saling melambai sebelum Laurie mengunci pintu mobil. Dirapikannya
pakaiannya, lalu menengadah menatap langit yang kelabu dan
berawan. Sempurna. Benar-benar sekelabu perasaannya.
Tiba-tiba sesuatu membuat jantung Laurie berdebar.
Di tengah lapangan parkir di seberangnya, tampak Mrs. Deane
sedang membuka pintu mobilnya. Di sebelahnya, sambil memeluk
boneka beruang hadiah dari Laurie, berdiri Toby!
Toby sudah kembali! Dan ia tampak jauh lebih sehat daripada
ketika terakhir Laurie melihatnya di rumahnya. Laurie benar-benar
terkejut dan senang sekali.
"Toby!" panggilnya. Ia melambaikan tangannya kuat-kuat,
supaya anak itu melihat. "Laurie!" anak itu membalas dengan penuh semangat.
Laurie mendekati mereka. Toby maju selangkah ke arah Laurie, tapi Mrs. Deane segera
mencengkeram tangannya dan menyeretnya mundur. Sambil menjaga
agar pintu mobil terbuka lebar, ia mendorong anak itu ke dalam, lalu
menyusul melompat ke dalam sesudahnya.
Mobil itu melaju keluar dari lapangan parkir. Tampak oleh
Laurie bagaimana Toby berbalik di tempat duduknya agar dapat
melihatnya lewat kaca belakang.
BAB 19 TIDAK enak shopping, putus Laurie, kalau mood-mu sedang
jelek. Diseretnya dirinya seharian itu di mal, nyaris tidak
mendengarkan celoteh Skye.
Satu-satunya yang didengarnya cuma jeritan gembira Toby
waktu anak itu melihatnya tadi. Yang ada dalam pikirannya cuma
wajah kecil dan sedih itu, yang menatapnya dari balik kaca jendela
waktu ibunya membawanya pergi.
Dibuntutinya Skye keluar-masuk toko; rasanya semua toko
mereka masuki. Dan walaupun ada beberapa barang yang
dibutuhkannya, hati Laurie tetap tidak di situ, dan rasanya tak ada
yang bisa membuatnya tertarik. Akhirnya ia menyerah dan cuma
menemani Skye. Waktu mereka berhenti untuk makan siang, Laurie
memberitahu Skye bahwa ia dan Andy tadi bertengkar.
Diceritakannya kejadian itu dengan nada biasa, tanpa terlalu banyak
detail. "Wah, aku ikut sedih mendengarnya," Skye berkata, ingin tahu
lebih banyak. "Kalian bertengkar serius nih?" tanyanya lagi. Rasanya
Laurie seperti mendengar secercah nada harap dalam suara Skye. Yah,
soalnya kalau mereka putus, kan Andy...
Laurie mengangkat bahu. "Entahlah. Kayaknya sih serius. Lihat
saja nanti. Kami batal kencan nanti malam... sebenarnya sih, aku yang
membatalkan. Oh, nggak seburuk itu kok. Lagi pula, aku memang
ingin di rumah saja, melewatkan malam yang damai sendirian."
"Ya, pasti," ujar Skye tak percaya. "Tunggu saja sampai besok.
Lalu ia mulai bicara panjang-lebar tentang kencannya dengan Jim
Farrow malam itu. Pokoknya, Skye menekankan, ia harus menemukan
sesuatu yang pantas untuk dipakai, sebab kalau tidak ia takkan mau
meninggalkan rumahnya. Sorenya kedua tangan Skye sudah penuh dengan barang
belanjaan, yang setengahnya pasti akan dikembalikannya minggu
depan. Laurie sendiri cuma membeli lipstik. Itu pun semata-mata
supaya Skye berhenti mengatainya orang yang membosankan.
Ketika mereka keluar ke lapangan parkir, langit sudah gelap dan
angin berembus kencang menyebarkan awan hitam. Terdengar bunyi
gemuruh di kejauhan. Akan datang badai. Benar-benar malam yang ideal untuk
bermalas-malasan di rumah, pikir Laurie. Ia dan Skye berpisah.
Mobil Bibi Hillary tidak tampak di jalan masuk ketika Laurie
tiba, dan tak satu pun lampu di rumah menyala.
Laurie mengunci BMW-nya. Petir menoreh langit di kejauhan.
Dengan merinding ia bergegas masuk ke dalam rumah.
Yang pertama dilakukannya adalah mengitari lantai dasar
sambil menyalakan semua lampu, hingga semua ruangan di bawah
terang benderang. Tak lupa ia juga memeriksa apakah pintu dan
jendela-jendela telah benar-benar terkunci.
Diperiksanya pintu basement. Setelah merasa puas, ia naik ke
atas. Di tengah tangga ia berhenti dan mendengarkan. Apakah suara
itu berasal dari dalam rumah" Dari lantai atas"
Rasa takut seakan memakukan kakinya ke anak tangga.
Lalu tampak olehnya kilatan petir dari salah satu jendela di
lantai atas, disusul gelegarnya. Tidak, tak ada siapa-siapa di dalam
rumah. Cuma suara petir. Cepat ia menaiki tangga sebelum keberaniannya lenyap.
Ia merasa lebih baik setelah seluruh lampu di lantai atas
dinyalakan dan jendela-jendela terkunci rapat. Ia mengganti
pakaiannya dan mengenakan jeans, sepatu karet, dan sweter rajutan
putih yang longgar, lalu turun ke dapur. Ia mau makan malam
sekarang saja. Bibinya mungkin akan pulang larut lagi malam ini.
Setelah melahap semangkuk sup tomat dan salad yang tidak
terlalu disukainya, Laurie pergi ke ruang perpustakaan untuk
menonton televisi. Menit-menit berlalu amat lambat. Sebentar-sebentar ia
memeriksa jam tangannya, memikirkan jam berapa kira-kira bibinya
akan pulang. Ia mulai gelisah. Dikecilkannya volume TV dan ia
mencoba mendengarkan apakah ada suara-suara, yang biasa maupun
yang menakutkan. Namun tak lama kemudian pikirannya melayang ke Toby....
Mengapa Toby kembali bersama Mrs. Deane secepat itu" Dari
koper itu tampaknya ia akan pergi cukup lama. Siapakah anak yang
menangis di rumah keluarga Deane setelah kepergian Toby" Apakah
hubungan antara Toby dan Suster Wilton" Anak itu begitu manis


Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan... Apa yang dapat kulakukan" pikir Laurie. Toby dalam bahaya,
aku yakin. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus menolongnya!
Akhirnya ia tak tahan lagi. Ia harus tahu apakah Toby baik-baik
saja. Ia melompat berdiri dan mematikan TV Diangkatnya gagang
telepon dan ditekannya nomor telepon keluarga Deane yang
diketahuinya dari file Toby.
Belum terpikir olehnya alasan apa yang akan dikatakannya
untuk menelepon, ketika didengarnya nada panggil dari telepon di
seberang sana. Ia tahu ia harus segera menemukan sebuah alasan.
Telepon itu berdering lama sekali. Laurie menunggu dengan
gugup. Akhirnya sebuah suara tidak ramah menjawab. "Ya?" Itu suara
Mrs. Deane. "Eh, ini, uh, Laurie Masters. Saya... saya yang menjual kupon
berhadiah beberapa hari yang lalu, tapi saya tidak yakin apakah kupon
itu sudah saya berikan atau belum. Saya kelebihan kupon undian, dan
saya ingin tahu, apakah waktu itu saya sudah menyerahkan kuponnya
pada Anda atau belum."
"Ya Tuhan!" bentak Mrs. Deane jengkel. "Kau benar-benar
bikin kesal! Dengar, aku tak peduli kupon undian sialan itu! Dan
sekarang aku sedang sibuk. Goodbye!"
"Tunggu!" mohon Laurie. "Bisakah saya bicara dengan Toby"
Saya yakin dia suka..."
"Tidak!" tandas Mrs. Deane. "Dan aku tak ingin kau mengintipi
kami lagi, kau mengerti" Pokoknya jangan ikut campur! Aku serius,
Laurie. Jauhi kami!"
Sebelum wanita yang marah itu meletakkan gagang telepon,
Laurie mendengar suara tangisan anak kecil di latar belakang. "Laurie!
Laurie!" Lalu terdengar suara tamparan, jeritan kesakitan, dan suara
gagang telepon ditutup dengan kasar.
Toby! Wanita itu memukulnya!
Laurie menyambar kunci mobilnya dan terbang ke luar rumah.
BAB 20 DALAM perjalanan ke Fear Street, dengan panik Laurie
memikirkan apa yang akan dilakukannya. Ia harus masuk ke rumah
keluarga Deane dan mencari Toby.
Apakah Toby terluka" Apakah anak itu membutuhkan dokter"
Sekujur tubuh Laurie gemetaran. Ia merasa gusar dan khawatir.
Teganya wanita itu bersikap begitu kejam terhadap seorang anak
kecil, anak kandungnya sendiri" Memuakkan!
Di tikungan Fear Street di dekat rumah Toby, Laurie
mengurangi kecepatan mobilnya. Melalui kaca depan ditatapnya
rumah-rumah gelap yang dilewatinya.
Kilatan petir menerangi langit, hingga menyebabkan kedua
lengannya biru pucat. Ia melompat kaget ketika suara petir seperti
meledakkan gendang telinganya. Suara petir itu keras dan dekat.
Sebentar lagi badai akan tiba.
Setelah meninggalkan BMW-nya di mulut jalan masuk rumah
keluarga Deane tanpa terkunci, ia berlari tergesa-gesa melewati
halaman rumput yang luas, menuju rumah besar itu. Kilatan petir lagi.
Rasanya Laurie seperti melihat sebentuk wajah di jendela lantai atas,
tapi ia tidak benar-benar yakin.
Ia mengitari bagian luar rumah itu, mencari-cari jalan untuk
menyelinap masuk. Mungkin salah satu jendela di bawah terbuka. Ia
mencoba semua jendela satu per satu, tapi nihil.
Lalu ia meraih jendela dapur di bagian belakang rumah.
Aaaahhh! Jendelanya terbuka sedikit.
Tanpa suara dibukanya daun jendela itu, lalu ia menyelinap
masuk. Hujan mulai turun begitu ia merayap masuk dan mendarat di
lantai dapur. Sepatu karetnya meredam suara jatuh kakinya. Ia bergerak
menjauhi jendela dalam kegelapan, namun tidak melihat meja dapur
yang penuh dengan piring kotor.
Pinggulnya menabrak tepi meja, hingga sebuah mangkuk
terjatuh dan pecah berantakan.
Ia berdiri mematung dan menahan napas.
Sesaat tak ada suara selain badai di luar. Sambil berharap tak
ada yang mendengar, ia membungkuk memunguti pecahan-pecahan
mangkuk itu. Cahaya kilat lagi. Namun kali ini kilatan itu ada di dalam kepalanya!
Dan disusul oleh rasa sakit yang amat sangat di bagian belakang
lehernya! Seseorang telah memukulnya, keras sekali.
Saat roboh ke lantai, dirasakannya sebuah sosok gelap
menjulang di atasnya. Rupanya sejak tadi orang itu sudah ada di sini,
menantinya... menunggu kesempatan untuk memukulnya....
Laurie mengerang dan mencoba berdiri. Didorongnya tubuhnya
dengan lemah. Sambil membungkuk ia mencoba bernapas. Cahaya
masih berpendar di depan matanya.
Seseorang menariknya dengan kasar dan memaksanya bangkit.
Ia berdiri sempoyongan ketika sepasang tangan yang kuat
menyeretnya ke pintu. Ia didorong turun ke gudang bawah tanah.. Lalu orang itu
mendudukkannya di sebuah kursi.
Setelah itu semuanya kabur....
Ketika siuman, Laurie sadar ia pasti telah pingsan beberapa
menit lamanya. Ia mencoba bergerak, tapi tak bisa.
Ia terikat erat di kursi, tali yang tebal me-ngunci tangan dan
kakinya ke kursi. Lalu ia menyadari bahwa seseorang membungkuk
ke arahnya. Laurie mengangkat wajah dan mendapati wajah Mrs.
Deane yang marah. "Berteriaklah sesukamu," gertak Mrs. Deane. "Tak seorang pun
akan mendengarmu. Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau tidak
mendengarkan juga!" Ditariknya tali itu untuk terakhir kali, lalu ia berbalik ke tangga
yang menuju lantai dasar. "Dasar tukang ikut campur!" bentaknya,
lalu ia naik ke atas. Dibantingnya pintu yang menuju gudang itu.
Laurie mencoba membebaskan diri, namun tali itu tidak kendurkendur juga. Dicobanya sekali lagi.
Kemudian didengarnya suara Mrs. Deane sedang menelepon di
ruang dapur di atas. "Gadis itu lagi. Laurie Masters," terdengar Mrs. Deane berkata.
"Dia kemari, mau mengintip. Dia menyelinap masuk, tapi aku berhasil
menangkapnya.... Tidak, dia tak bisa kabur. Dia terikat erat di gudang
bawah tanah. Tapi kau harus menanganinya sendiri. Ini di luar
kesepakatan kita.... Oke, habisi bibinya dulu. Lalu gadis itu. Dan
lakukan segera!" Mrs. Deane membanting gagang telepon dengan kasar.
Bibi Hillary berada dalam bahaya juga"
Mata Laurie membelalak ketakutan. Kenapa Bibi Hillary
sampai ikut terseret" Ia kan tidak terlibat sama sekali.
Tapi mereka akan membunuh Bibi Hillary! Juga dirinya!
Laurie harus memperingatkan bibinya. Dan kalau ingin
menyelamatkan mereka berdua, ia harus membebaskan diri!
Ia meronta dengan panik, tapi tali itu mengikatnya begitu erat,
hingga setiap usahanya membuat pergelangan tangannya terasa sakit.
Dicobanya sekali lagi, lalu ia menjerit kesakitan begitu tali itu
mengiris kulitnya. Dengan lemas ia menundukkan kepala. Air matanya bergulir
jatuh. Didengarnya gelegar petir di luar dan suara hujan yang
menampar jendela ruang bawah tanah itu.
Kilatan petir yang kembali disusul gelegarnya menembus
kepekatan ruangan. Laurie mengedarkan pandangannya dalam cahaya
yang singkat itu. Ada sesuatu yang berkilat di meja panjang di
seberang ruangan. Gunting... di meja kerja! Kalau ia dapat mencapainya, ia dapat
memotong tali yang mengikatnya ini!
Ia mulai menggerakkan kursinya ke arah meja, hingga suara
kaki kursi yang menggaruk lantai semen menggema di ruangan
lembap itu. Laurie sadar, kalau begini terus Mrs. Deane pasti akan curiga
dan turun kemari untuk memeriksa. Ia harus menunggu sampai yakin
bahwa wanita itu telah meninggalkan dapur.
Sambil mendengarkan dengan tegang, Laurie mencoba
mengumpulkan tenaga. Dihitungnya menit-menit yang berlalu dalam
kepalanya. Tak tahan ia rasanya. Setiap detik akan menyeret bibinya
dan dirinya sendiri ke ambang kematian!
Akhirnya ia merasa keadaan aman. Tidak terdengar suara apa
pun dari atas. Ia menggerakkan kursinya menuju meja kerja. Pelan sekali,
dengan kesakitan dan tanpa menimbulkan banyak suara, ia bergerak.
Kilatan petir membimbingnya. Gemuruhnya membantu
membenamkan suara-suara yang ditimbulkan oleh kaki kursi dan
jantungnya yang berdentam di telinga.
Sedikit demi sedikit... inci demi inci... dientakkannya kursi itu,
diseretnya, lalu ia berhenti untuk mendengarkan....
Rasanya seperti seabad, tapi akhirnya Laurie berhasil membawa
kursi itu ke meja kerja. Ia membalik supaya tangannya dapat
menjangkau gunting itu. Tangannya merayap naik ke atas meja,
terulur jauh-jauh. Ia dapat merasakan ujung gunting itu!
Ada suara dari atas. Laurie menahan napas. Dari tempatnya ia dapat melihat pintu gudang di atas.
Dan kilatan petir menyuguhkan pemandangan yang membuat
Laurie bergidik. Kenop pintu bergerak. Pintu membuka.
Saat kegelapan kembali menyelubungi ruangan itu, didengarnya
anak tangga berderak. Mereka akan menangkapnya sekarang.
BAB 21 LAURIE duduk kaku di kursinya. Di mana ia dapat
bersembunyi" Tak ada tempat bersembunyi!
Ia duduk lemas sambil memejamkan mata.
Semoga semuanya selesai dengan cepat, doanya.
Langkah kaki yang menuju ke arahnya ringan dan pelan.
Langkahnya satu-satu, pelan- pelan. Laurie tetap memejamkan mata.
Lalu didengarnya sebuah suara kecil berbisik, "Laurie?"
Laurie membuka mata. Toby Deane berdiri di depannya, bertelanjang kaki, dalam
piamanya. Tangannya memeluk boneka beruang, dan ia tampak lebih
ketakutan daripada Laurie.
"Oh, Toby!" seru Laurie lega. "Kau baik- baik saja?" Anak itu
tampak baik-baik saja, hanya ketakutan setengah mati.
"Kenapa kau diikat begitu?" tanya Toby, matanya membelalak
lebar-lebar. "Sssshhh," Laurie mengingatkan. "Aku butuh bantuanmu,
Toby. Kau mau membantuku, kan?"
"Ya," jawab Toby seraya mengangguk serius.
"Kaulihat gunting di meja itu" Gunting itu tajam sekali, tapi aku
ingin kau mengambilnya dan meletakkannya di tanganku. Kau bisa
melakukannya untukku?"
"Aku selalu hati-hati terhadap gunting," kata Toby bangga.
"Anak pintar. Sekarang ambil gunting itu pelan-pelan, lalu
berikan padaku. Dan jangan sampai mengeluarkan suara, ya?"
Toby mengulurkan tangan ke meja di belakang Laurie.
Terdengar suara gesekan, lalu Laurie merasakan gunting yang dingin
itu di tangannya. Toby menyaksikan Laurie mulai memotong tali itu
memakai salah satu sisi gunting dengan gugupnya.
"Di mana ibumu?" tanya Laurie. Tangannya masih sibuk
menggerak-gerakkan gunting itu dengan hati-hati, agar tidak melukai
kulitnya. "Tidak tahu," jawab Toby.
"Di lantai atas" Di kamarnya mungkin?"
"Oh, yeah," kata Toby, seperti baru mengerti. "Di kamar. Aku
benar-benar hati-hati supaya dia tidak mendengarku. Dia bisa marah
kalau tahu." "Aku tahu," ujar Laurie, tangannya tetap sibuk. "Jadi, dia tidak
tahu kau turun kemari?"
Toby menggeleng. "Kenapa kau tidak menyapaku waktu aku datang beberapa hari
yang lalu" Apakah aku membuatmu takut?"
Toby tampak tak mengerti.
"Itu, lho," kata Laurie, "waktu aku melihatmu di tangga... lalu
ibumu menyeretmu ke atas. Kenapa kau begitu takut padaku?"
Toby menatapnya kebingungan.
"Kau ingat, kan?"
Toby menggeleng. "Well, coba katakan, ke mana kau malam itu" Ke mana lakilaki dan wanita itu membawamu pergi" Siapa mereka dan ke mana
mereka membawamu?" "Aku tidak pergi ke mana-mana," kata Toby bersungguhsungguh.
"Tapi aku melihatmu," Laurie berkata. Usahanya memotong tali
yang mengikat tangannya membuatnya kehabisan napas, tapi ia tak
peduli, ia harus tahu apa yang terjadi dengan Toby.
"Kau masuk ke mobil dan mereka membawamu pergi, ingat"
Katakan, ke mana kau pergi" Aku benar-benar ingin... oh!"
Ia menahan napas. Gunting itu terasa menggigit pergelangan
tangannya. Tapi langsung saja rasa sakit itu terlupakan ketika
disadarinya tali itu jatuh di belakang punggungnya.
Tangannya bebas. Ia berhasil.
Ditariknya tangannya dan digosoknya pergelangannya yang
sakit. Lalu ia menunduk untuk memotong tali yang mengikat
pergelangan kakinya. Semenit kemudian ia telah bebas!
Ia bangkit dengan kaku, lalu menggeliat untuk melancarkan
peredaran darahnya. Toby menatapnya. "Itu bukan aku," katanya.
"Apa?" tanya Laurie bingung. Ia sedang memikirkan langkah
selanjutnya. "Bukan aku yang pergi itu," ulang Toby. Ia meraih tangan
Laurie, lalu menggoyang-goyang-kannya untuk menarik perhatian
gadis itu. "Lalu siapa?" Laurie menatapnya dengan kaget.
"Terry. Di mana Terry?" tanya Toby. Ia mulai menangis.
"Siapa Terry?" Sekarang Laurie benar-benar bingung.
"Saudara kembarku," jawab Toby, air matanya jatuh
membasahi boneka di pelukannya. "Aku mau Terry!"
"Ssshhhl" bisik Laurie. "Maksudmu kau punya saudara, saudara
kembar, dan tadinya dia ada di sini bersamamu?"
"Ya. Mereka membawanya pergi. Aku mau bertemu Terry!"
Suara Toby kembali meninggi.
Laurie membungkuk untuk memeluk dan menghiburnya. Jadi,
Toby punya saudara kembar! Itulah sebabnya anak yang satu lagi
tampak sedikit berbeda dengan Toby. Itulah sebabnya anak itu tidak
mengenalinya. Mereka kembar identik, dan salah satu dari mereka
sekarang hilang. Benar-benar hilang.
Laurie harus keluar dari rumah ini sekarang juga. Ia harus
memperingatkan bibinya, kalau belum terlambat!


Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ia tak akan meninggalkan Toby. Biarpun ia bakal dituduh
menculik anak itu, ia tetap akan membawanya bersamanya.
"Dengar, Toby," katanya seraya menggenggam tangan Toby.
"Aku akan membantumu menemukan Terry. Tapi sekarang kita harus
meninggalkan rumah ini. Kau mau ikut denganku?"
Sambil terisak Toby mengangguk.
"Baik. Tapi kau tidak boleh berisik. Kita tak ingin seorang pun
mendengar kita, ya, kan" Kau bisa tenang?"
Toby menggigit bibirnya dan meremas tangan Laurie.
"Ya, begitu. Jangan bersuara, ya" Oke. Ayo."
Sambil memasang telinga, mereka menaiki anak tangga dan
keluar ke dapur. Ruangan itu gelap, tapi Laurie dapat melihat
selembar sweter digantungkan di sandaran salah satu kursi.
Diselubungkannya sweter itu ke tubuh Toby, walaupun baunya
tak tertahankan. Ia tak ingin anak itu jatuh sakit lagi.
Ia sudah memutuskan bahwa jalan terbaik adalah lewat pintu
belakang. Jadi, diseberanginya dapur dan dirabanya daun pintu itu...
pelan... tanpa suara.... Diputarnya kenop pintu sampai berbunyi klik.
Ia mendorong pintu itu hingga membuka, lalu diangkatnya anak
yang bertelanjang kaki itu, dan ia lari cepat menembus malam yang
disiram hujan lebat. BAB 22 EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM DENGAN mengitari semak-semak di samping bangunan
rumah, Laurie menggendong Toby ke mobil dan mendudukkannya di
dalam. Lalu dipasangnya sabuk pengamannya.
Tanpa menarik napas ia mengitari mobil dan melompat masuk
ke belakang kemudi. Dinyalakannya mesin mobil.
Salah satu lampu lantai atas rumah keluarga Deane menyala.
Mobilnya bergerak maju dan dilihatnya wajah Mrs. Deane yang
penuh kemarahan melongok dari jendela. Wanita itu berteriak ke arah
mereka. Kilat menyambar di langit, suaranya menggelegar. Laurie
mengemudikan mobilnya secepat mungkin meninggalkan Fear Street.
Jalanan licin oleh hujan dan ia harus berkonsentrasi untuk melihat
jalanan di depannya. Sebentar-sebentar ia melirik kaca spion untuk
memeriksa apakah Mrs. Deane membuntuti mereka.
Tak ada yang mengikuti. Mereka membelok ke Old Mill Road.
Di sudut jalan ada telepon umum. Laurie memutuskan akan
menggunakannya. Ia menghentikan mobilnya dan berlari ke pesawat
telepon. Ia akan menelepon rumah dan mengingatkan bibinya.
Sambil berdiri dalam hujan, ia mendengarkan nada panggil di
seberang sana. Tak ada yang mengangkat. Bibi Hillary pasti masih bekerja di rumah sakit.
Dengan frustrasi Laurie menekan nomor lain. Operator
Shadyside Hospital segera menjawab.
"Tolong sambungkan saya dengan Bagian Akuntan," kata
Laurie. "Kantornya kosong. Semua sudah pulang," jawab operator.
"Anda ingin bicara dengan siapa?"
"Hillary Benedict," jawab Laurie. "Dia sedang melakukan audit
untuk dewan pengawas rumah sakit, dan saya kira dia lembur malam
ini. Bisakah Anda menghubungi...?"
Operator itu memotongnya, "Apakah ini Laurie Masters?"
"Benar," jawab Laurie terkejut.
"Ada pesan untukmu dari Ms. Benedict. Sejak tadi dia berusaha
menghubungimu. Katanya mobilnya mogok. Dia berpesan agar kau
menjemputnya. Dia akan menunggumu di Kantor Perawat di lantai
sembilan." "Oke, saya akan ke sana," ujar Laurie. Diletakkannya gagang
telepon. Ia tak boleh membuang-buang waktu. Jadi, ia akan langsung ke
rumah sakit untuk menjemput bibinya. Lalu mereka akan
menghubungi polisi. Waktu menyalakan mobil, tiba-tiba suara grup penyanyi rap
melompat keluar dari speaker dan membuat Laurie kaget setengah
mati. Rupanya tadi Toby memencet-mencet tombol radio. Ditegurnya
anak itu seraya memelankan suara radio.
Sambil mengendarai mobilnya sepanjang Old Mill Road,
pikiran Laurie berputar. Ia benar-benar ketakutan. Ia harus sampai di
sana sebelum terlambat! Ia harus menemukan Bibi Hillary sebelum
mereka menemukannya! Musik itu membuatnya semakin gugup, jadi diulurkannya
tangan untuk mematikannya. Tapi sebelum tangannya mencapai
tombol OFF, didengarnya si pembawa acara menyampaikan berita:
Kami interupsi dengan laporan khusus. Sebuah mobil
ditemukan di dasar jurang yang dalam di hutan Fear Street.
Kecelakaan itu merenggut nyawa pengemudinya, seorang
wanita, satu-satunya penumpang dalam mobil itu. Polisi di TKP
melaporkan bahwa mayatnya rusak berat, dan mereka
menyimpulkan bahwa kecelakaan itu terjadi beberapa hari
yang lalu. Tanda pengenal di tubuh mayat menyatakan bahwa
korban bernama Edith Wilton, seorang perawat di Shadyside
Hospital... Laurie begitu kaget, hingga mobilnya nyaris selip di tikungan.
Jadi, Suster Wilton benar-benar mati. Tapi Laurie tahu bukan
kecelakaan itu yang membunuhnya!
Segera setelah menemukan Hillary dan menelepon polisi, ia
akan menelepon Dr. Price juga. Sekarang dokter itu harus percaya
padanya. Mereka semua harus percaya padanya. Autopsi akan
menunjukkan bagaimana sebenarnya perawat itu tewas.
Pikirannya benar-benar kusut. Lalu dengan refleks ia melirik
kaca spion sebelum membelok. Tampak sebuah Honda biru
berkecepatan tinggi mendekat di belakang mereka.
Rick Spencer membuntutinya lagi!
Bagaimana mungkin ia tak melihatnya tadi" Apakah cowok itu
telah mengikutinya dari Lear Street"
Ditekannya pedal gas dalam-dalam. BMW-nya melesat cepat.
Mungkin ia dapat lepas dari kuntitan cowok itu sebelum tiba di rumah
sakit. Ia yakin akan berhasil, tapi dalam cuaca seperti ini, tindakannya
amat berbahaya.... Ia tak melihat Honda itu saat mobilnya memasuki lapangan
parkir rumah sakit yang ramai. Ia yakin mereka telah berhasil lepas
dari Rick, dan tak mungkin cowok itu tahu ke mana mereka pergi. Ya,
kan" Laurie menemukan tempat yang kosong di ujung. Setelah
melompat keluar, ia mengangkat Toby ke dalam pelukannya, lalu
berlari cepat ke dalam rumah sakit.
Sebelum melangkah ke pintu masuk, ia menoleh ke belakang.
Honda Rick sedang memasuki lapangan parkir.
Lobi rumah sakit penuh sesak. Jam jenguk baru saja berakhir
dan para pengunjung menyerbu keluar dari lift-lift.
Laurie berjalan melewati kerumunan orang dengan Toby dalam
pelukannya. Ia pergi ke ruang tunggu lantai satu dan menemukan
seorang perawat muda yang diketahuinya bertugas di Bagian Anak.
Lalu dipeluknya Toby sekali lagi sebelum ditinggalkannya bersama
perawat itu. Laurie berlari cepat ke lift, dalam hati berdoa semoga lift itu
datang sebelum Rick; semoga ia menemukan bibinya dalam keadaan
hidup. Menunggu itu benar-benar menyiksa!
"Ayo, dong!" dengan panik Laurie menekan-nekan tombol naik,
tapi lampu indikator di depannya menunjukkan bahwa semua lift
berhenti di setiap lantai dalam perjalanan turun.
"Ayo! Ayo dong! Kumohon, ayo!"
Akhirnya sebuah lift tiba. Pintunya bergeser membuka.
Laurie terdorong mundur oleh arus orang yang keluar dari lift.
Aku harus naik, pikirnya, nyaris pusing oleh rasa panik. Aku
harus ke atas. Ia maju menerjang arus manusia itu, lalu dengan penuh
ketakutan menoleh ke belakang.
Tidak! Rick memasuki lobi! Cowok itu menuju lift, pandangannya lurus, wajahnya penuh
tekad. Tidak! Dengan sekuat tenaga Laurie bergerak masuk ke lift.
Ayo, pintu-pintu. Menutuplah.
Rick tinggal beberapa meter lagi.
Menutuplah, pintu-pintu. Kumohon. Apa sih yang kalian tunggu"
Rick bergerak cepat, matanya menatap lift.
Tolong, Laurie berdoa. Menutuplah!
Ia memejamkan mata, berdoa agar pintu lift itu menutup,
sementara Rick dengan napas berat melangkah mendekatinya.
BAB 23 PINTU lift bergerak menutup.
Laurie membuka mata. Dilihatnya ekspresi kecewa di wajah
Rick ketika pintu lift menutup di depannya.
Apakah Rick melihatnya"
Laurie tak yakin. Ia tahu waktunya tidak banyak.
Rick akan naik lift berikutnya.
Saking ketakutan, Laurie sampai lupa menekan angka sembilan.
Dengan tangan gemetar ditekannya tombol itu.
Lift berhenti di lantai dua. Lalu lantai tiga.
Beberapa dokter masuk sambil mengobrol tentang pertandingan
bola. Lift berhenti di lantai empat.
Aku tidak akan sampai-sampai di lantai sembilan, pikir Laurie.
Tak akan pernah sampai. Rasanya baru seabad kemudian pintu itu membuka dan Laurie
melangkah keluar. Jantungnya berdebar keras, kakinya gemetar hebat
hingga ia sulit sekali bergerak.
Lantai sembilan sepi. Beberapa lampu sudah dipadamkan,
hingga suasananya temaram.
Laurie mengedarkan pandangannya, mencari Rick.
Tidak ada. Cepat ia menuju Kantor Perawat.
Tapi satu-satunya orang di sana hanya Suster Girard. Bibinya
tidak ada. Sekarang bagaimana"
Dengan perasaan tidak enak Laurie menyadari penampilannya
yang berantakan"rambutnya yang basah, jeans-nya yang melekat
oleh air hujan, dan sweter putihnya yang kotor hanyalah beberapa
oleh-oleh kecil dari kunjungannya ke Fear Street. Tapi ia tak punya
waktu untuk memberikan penjelasan.
"Ada yang menanyakan saya?" tanya Laurie terengah-engah,
sambil dengan tatapan gugup menoleh ke arah lift.
Suster Girard menengadah terkejut mendengar suara Laurie.
"Apa yang kaulakukan di sini selarut ini?" tanyanya dengan
tatapan tak senang. Ia tak lupa insiden Paviliun Fear yang
membuatnya jengkel itu. Dan rupa Laurie dalam pakaian basah kuyup
menambah kecurigaannya. "Seharusnya saya bertemu bibi saya di sini. Namanya Hillary
Benedict. Anda melihatnya?"
"Tidak," jawab Suster Girard. "Sudah sejam aku di sini dan tak
ada seorang pun yang menanyakan dirimu."
Apakah tadi aku salah menangkap pesan itu" pikir Laurie. Ia
menggigit bibir, berpikir apa yang harus dilakukannya sekarang.
Tiba-tiba sebuah pikiran menyentaknya: si operator rumah
sakit! Mungkin ada pesan lain dari bibinya.
Laurie mencondongkan tubuhnya ke meja. "Bolehkah saya
meminjam telepon untuk mengecek" Mungkin bibi saya ada di bagian
lain." "Silakan," ujar Suster Girard. "Tapi jangan lama-lama." Ia
bangkit, kemudian menyeret sebuah tangga kecil ke kabinet besar
yang menempel di dinding Kantor Perawat. Dengan pelan ia mulai
memanjat tangga itu, tangannya berusaha menjangkau sebuah karton
besar di rak teratas. Laurie mengangkat gagang telepon. Ditekannya nomor
operator. Di koridor, pintu lift membuka tanpa menimbulkan banyak
suara. Rick Spencer melangkah keluar.
Laurie menahan napas. Diletakkannya gagang telepon itu, lalu
ia berdiri menempel di dinding, dalam hati berharap cowok itu tidak
melihatnya. Syukurlah tempat ini cukup temaram, katanya dalam hati
sambil menyelinap keluar dari Kantor Perawat. Dapat didengarnya
langkah kaki Rick berjalan ke arahnya. Cowok itu tahu di mana ia
berada. Rick mengejarnya!
"Hei, Rick! Kau mau membantuku, kan?" panggil Suster Girard
dari tangganya. "Pegang karton ini, supaya aku bisa turun tanpa
mematahkan leherku, ya?"
Laurie menoleh ke belakang.
Rick berhenti di Kantor Perawat. Ia tak mungkin menolak
membantu perawat itu. Laurie melangkah ke belakang meja, hingga
tak terlihat. Secepat kilat Laurie kabur. Ia berlari kencang menyusuri
koridor, dengan panik mencari-cari tempat bersembunyi.
Di mana" Di mana" Di mana"
Ia tak bisa masuk ke kamar pasien; sudah terlalu larut.
Tangga darurat ada di sisi yang berlawanan dengan Kantor
Perawat, jadi Laurie berbelok.
Rick akan mengejarnya lagi... segera. Laurie harus kabur
darinya. Ia harus bersembunyi. Tapi di mana" Di mana"
Sekonyong-konyong ia tahu di mana.
Hanya ada satu tempat. Dilihatnya tanda peringatan itu. BAHAYA! JANGAN
MENDEKAT! Lalu didorongnya pintu itu dan ia masuk ke dalam... ke dalam
kepekatan Paviliun Franklin Fear.
Sinar lampu di situ tidak terlalu terang, bayang-bayang gelap
dan menakutkan memenuhi paviliun baru yang kosong itu. Semua
pekerja bangunan sudah lama pulang, dan Laurie hanya sendirian,
gemetaran dalam gelap. Mungkin dia tidak melihatku.
Mungkin dia tidak akan membuntutiku.
Mungkin aku selamat! Setelah membiasakan matanya dengan kegelapan, ia melompati
tumpukan peralatan para pekerja bangunan sambil berpikir ketakutan.
Seharusnya ada jalan keluar yang lain. Rick dan Suster Wilton
tak mungkin lenyap begitu saja.
Entah bagaimana Rick bisa keluar dan kemudian kembali untuk
membawa keluar mayat perawat itu.
Mestinya ada jalan keluar lain.
Sambil berjalan hati-hati di antara puing bangunan, dicarinya
jalan keluar itu dengan putus asa. Lalu ia melihatnya, cahaya redup


Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang datang dari bawah lantai di seberang ruangan.
Ia menahan napas ketika menyadari dari mana asal cahaya itu.
Tentu saja. Itu kan trapdoor, pintu yang letaknya di lantai. Pintu
itu digunakan oleh para pekerja bangunan untuk pergi ke lantai lain.
Jadi, dari situlah Rick pergi. Ia menyelinap lewat trapdoor itu.
Dengan cara seperti itulah Laurie akan keluar dari sini.
Sekarang juga. Inilah satu-satunya kesempatannya kabur.
Dengan hati-hati, agar tidak tersandung kawat dan kabel, Laurie
melangkah maju. Tiba-tiba nyala lampu menyeruak masuk ketika seseorang
membuka pintu menuju koridor.
Ya Tuhan! Aku terperangkap.
Tidak! Kumohon! Dengan pelan, sambil berusaha keras agar tidak menimbulkan
suara, Laurie melangkah mundur. Disusurinya tembok di belakang
ruangan itu. Jantungnya berdebar keras.
Sebuah kawat tersangkut di lengan bajunya. Laurie menjerit
kaget, lalu berputar melepaskan dirinya. Setelah itu ia memasang
telinganya baik-baik. Trapdoor itu sudah sangat dekat. Amat sangat dekat.
Beberapa langkah lagi, dan ia akan bebas.
Beberapa langkah menembus kegelapan.
Tapi kemudian didengarnya suara Rick, "Laurie" Aku tahu kau
di sini. Kau tak bisa bersembunyi dariku."
BAB 24 AIR mata ketakutan membanjiri mata Laurie.
Tangannya yang menyusuri dinding menyentuh bahan yang
kasar. Rupanya sebuah tangga yang disandarkan di dinding dan
diselimuti kanvas tebal. Dengan cepat ia menyelinap masuk ke balik kanvas itu.
Apakah Rick membawa pisau bedah itu" Pisau yang dipakainya
untuk menikam Suster Wilton"
"Keluarlah, Laurie," bujuk Rick. "Aku cuma ingin bicara
denganmu. Izinkan aku memberi penjelasan."
Aku harus kabur dari sini! Ia akan menemukanku!
Karena takut terperangkap di balik kanvas itu, Laurie keluar dan
kembali menyusuri tembok. Lehernya berdenyut cepat. Ia tak dapat
melihat Rick, tapi ia dapat merasakan kehadiran cowok itu.
"Aku takkan menyakitimu," kata Rick lembut.
Apakah dia bilang begitu juga pada Suster Wilton, sebelum
menikam wanita itu" Sekujur tubuh Laurie gemetaran. Ia melangkah lagi, tubuhnya
bersandar rapat di dinding.
Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Rick sudah berada di
depannya. Dicengkeramnya bahu Laurie dan dengan kasar ditariknya
gadis itu. Dengan sisa kekuatannya, Laurie berusaha menjerit.
Tapi Rick segera membungkam mulut gadis itu dengan
tangannya. Terasa oleh Laurie napas cowok itu di pipinya, panas dan asam.
Yang ada dalam pikiran Laurie cuma satu: di mana pisau bedah
itu" BAB 25 " DASAR tolol!" jerit Rick di telinga Laurie. "Kau nyaris jatuh
ke dalam lubang itu!"
Laurie mengerang dan berusaha melepaskan diri dari cowok itu.
Tapi tangan Rick yang kuat menguncinya, dan usaha Laurie sia-sia
saja. "Diam!" perintah Rick. "Jangan bersuara."
Digesernya tubuh Laurie dan ia berkata, "Lihat itu! Lihat ke
mana langkahmu tadi!"
Masih sambil mencengkeram Laurie erat-erat, Rick menarik
tangannya dari mulut gadis itu. Ditunjukkannya lubang untuk lift itu"
lubang yang jauhnya delapan lantai ke bawah.
"Satu langkah lagi, dan kau akan tewas. Berhenti meronta! Aku
takkan menyakitimu."
"Lepaskan aku! Jangan sentuh aku!" suara Laurie dipenuhi rasa
ngeri. Ia menendang-nendang dan meronta melepaskan diri. Ia lebih
takut terhadap Rick daripada fakta bahwa semenit yang lalu ia nyaris
mati remuk. "Tolong, lepaskan aku!" Laurie memohon.
Tiba-tiba pintu ke arah koridor terbuka lagi, membawa masuk
sekilas cahaya. Ada orang lain memasuki Paviliun Fear.
Pikiran Rick teralih. Ia menoleh ke cahaya yang masuk itu.
"Tolong!" jerit Laurie.
Ia melepaskan diri dari Rick dan berjalan menyusuri dinding,
menjauhi lubang yang menganga tadi. Ketika tangannya menyentuh
kanvas yang menyelimuti tangga, ia menyelinap masuk ke baliknya
lagi. Siapa pun, tolong! Laurie berdoa.
Ia mendengar suara mirip geraman marah, lalu mengintip ke
dalam kegelapan. Dilihatnya dua sosok bayangan saling mendekat.
Apa itu" pikir Laurie. Apa yang sedang terjadi"
Siapa itu" Lalu terdengar suara orang bertumbukan, diikuti erangan keras
dan suara seseorang jatuh ke lantai.
Sesudah itu hening. Yang terdengar cuma suara napas yang
cepat. Laurie menahan napas. Rasanya lama sekali.
Akhirnya sebuah suara memanggilnya, parau dan lelah
kehabisan tenaga. "Sudah aman, Laurie. Kau bisa keluar sekarang."
Dr. Price! Syukurlah! Laurie keluar dari balik kanvas. "Bagaimana Anda bisa
menemukan saya" Bagaimana Anda tahu saya di sini?" tanya Laurie
seraya menangis lega. Dr. Price menyalakan lampu senter di tangannya dan
mengarahkannya ke arah Laurie yang berdiri gemetaran di dekat
tangga. "Kemari. Cepat!" perintah Dr. Price.
Laurie menghapus air matanya, lalu melangkah ke arah dokter
itu, ke dalam perlindungan yang ditawarkannya.
Selangkah. Dua... kaki Laurie tersandung sesuatu yang lembut.
Sambil berusaha menjaga keseimbangan, ia menunduk, lalu menjerit
ngeri. BAB 26 RICK terbaring telungkup di lantai Paviliun Fear. Dalam
keremangan tampak oleh Laurie pisau yang penuh darah itu menikam
punggungnya. "Anda membunuhnya!" jerit Laurie. "Dia mati.... Anda
membunuh Rick!" "Apa?" tanya Dr. Price, suaranya terdengar tak percaya. "Tak
mungkin. Aku tidak terlalu keras memukulnya. Dengan lampu senter
ini." Dr. Price mengarahkan senternya ke lantai yang gelap, hingga
jatuh di atas tubuh Rick yang diam tak bergerak.
Tawa histeris keluar dari mulut Laurie. Kini ia dapat melihat
Rick dengan jelas. Pisau di punggungnya itu cuma gambar di T-shirtnya. Gambar itu menyeramkan dan konyol, tapi tampak hidup dan
nyaris seperti pisau sungguhan. Sebilah pisau bergagang hitam dengan
darah merah menetesi T-shirt yang putih.
Cuma T-shirt norak! Rick mengerang pelan dan berbalik. Ia terbatuk dan
menggeram, lalu bangkit duduk.
"Kemari, Laurie!" panggil Dr. Price. "Cepat!"
Laurie mengulurkan tangannya kepada Dr. Price. Sekarang
Rick tak dapat melukainya lagi. Ia selamat.
Rick duduk, kepalanya terasa sakit. Ia memegang dan
menggoyang-goyangkan kepalanya untuk memfokuskan
pandangannya. "Ya, begitu," kata Dr. Price lembut. "Hati-hati kawat itu. Kau
akan baik-baik saja. Terus kemari."
"Laurie! Jangan!" Rick berteriak. "Jauhi dia!"
Laurie menghentikan langkahnya. Ia menatap Rick, dan
kemudian Dr. Price. Matanya membelalak lebar kebingungan.
"Dia membunuh Suster Wilton," kata Rick. "Dia akan
membunuhmu juga. Stop!" Rick berjuang sekuat tenaga untuk berdiri.
"Coba katakan, kenapa aku melakukannya?" tanya Dr. Price.
"Kenapa aku membunuh salah satu perawatku?"
Rick nyaris tak dapat bernapas, tapi dijawabnya pertanyaan itu
dengan marah sekali. "Karena dia tahu apa yang kaulakukan dan dia
memerasmu. Kaukira Laurie mengetahuinya juga. Tapi dia tidak tahu
sama sekali." "Dan apakah yang kulakukan itu?" Dr. Price bertanya sinis.
Rick menatap Laurie. "Dia melakukan bisnis adopsi ilegal di
rumah sakit ini, juga menculik anak-anak dan..."
"Omong kosong!" dengus Dr. Price.
"Dia dan Mrs. Deane... atau siapa pun nama sebenarnya...
mereka menculik anak-anak dari luar negara bagian dan menjual
mereka, menjual bayi-bayi ke penawar tertinggi! Suster Wilton
mengetahui hal itu, dan kemudian memerasnya. Itu sebabnya dia
membunuh perawat itu," Rick menjelaskan. Ditatapnya Laurie,
dengan putus asa berharap agar gadis itu percaya padanya.
"Kau gila!" gertak Dr. Price. "Jangan percaya, Laurie. Kau
sudah mengenalku bertahun-tahun. Tapi siapa anak ini" Kalau
memang ada yang terbunuh, dialah yang bertanggung jawab. Aku
akan memanggil polisi. Berikan tanganmu padaku."
Dr. Price mengulurkan tangannya.
"Jangan bergerak, Laurie!" suara Rick terdengar mendesak.
Amat pelan ia bergerak ke arah gadis itu. "Saya bukan anak-anak, Dr.
Price. Tapi adik saya ya. Apa yang kaulakukan dengan Beth" Ke
mana kau membawanya pergi setelah orang-orangmu menculiknya?"
Laurie berdiri tegang. Ditatapnya kedua pria itu bergantian
dengan penuh ketakutan. Aku tidak tahu siapa yang harus kupercaya!
Dr. Price seorang pembunuh, atau Rick yang katanya ingin
menyelamatkan adiknya... dan aku"
"Dengarkan, Laurie," bujuk Rick. "Percayalah padaku...
kumohon!" Aku tak tahu. Aku tak tahu. Aku tak tahu.
Ditatapnya Dr. Price. Lalu, entah mengapa, Laurie berbalik ke arah Rick, lalu
melangkah ragu ke arah cowok itu.
Setelah menjatuhkan lampu senternya hingga menimbulkan
suara berisik, dengan langkah lebar Dr. Price mengejar Laurie.
Dikalungkannya lengannya di leher gadis itu dari belakang.
Sinar lampu bergerak-gerak di tempat lampu senter tadi
terjatuh. Laurie mencoba berteriak.
"Diam!" ancam Dr. Price. Terasa oleh Laurie gagang pistol
yang keras dan dingin di pelipisnya.
Dengan setengah membungkuk Rick maju seinci.
"Kau!" teriak Dr. Price. "Diam di tempatmu, atau akan
kutembak! Dia dulu, baru kau."
Dr. Price mulai bergerak mundur sambil menyeret Laurie
bersamanya. "Kau tak dapat melakukannya!" teriak Rick parau.
"O ya" Dan bagaimana menurutmu, kau dapat
menghentikanku" Aku tak mungkin membiarkan kau menghancurkan
semuanya. Satu kematian lagi takkan ada artinya. Atau dua."
Saat Dr. Price menyeret Laurie pergi, Rick segera melihat
bahwa bahaya yang mengancam gadis itu lebih besar dari yang
dikiranya. Dr. Price tidak sadar bahwa perlahan-lahan ia menyeret
dirinya dan Laurie ke lubang yang menganga di lantai.
BAB 27 "JANGAN coba-coba!" ancam Dr. Price. Dengan pistol di
pelipis Laurie, diseretnya gadis itu mundur. "Kuperingatkan kalian!"
"Kau tak perlu melukai Laurie," kata Rick, pikirannya berputarputar mencari cara membujuk dokter itu.
Kalau saja ia dapat mengalihkan perhatian dokter itu cukup
lama... kalau saja ia dapat mengulur cukup waktu, mungkin saja,
mungkin... "Lepaskan dia, dan akan kubantu kau kabur," teriaknya
panik. "Aku janji." Ia bergerak ke arah Laurie seraya mengulurkan
kedua tangannya. Refleks Laurie mengulurkan tangannya kepada Rick. Tapi
lehernya tercekik oleh tangan si dokter dan rasa ketakutannya sendiri.
"Kau pasti menyangka aku ini tolol," Dr. Price menggeram.
Diseretnya Laurie selangkah ke belakang.
Hanya tinggal beberapa inci dari lubang itu.
"Bukan kau yang akan membantuku kabur. Tapi dia. Dia akan
membantuku keluar dari sini, dan kalau kau mencoba membuntuti
kami, riwayat kalian tamat. Kaudengar, Laurie?"
"Tidak!" jerit Rick. "Stop!"
Dengan kasar Dr. Price menarik Laurie.
Ia mundur selangkah lagi, dan mereka berdua jatuh ke dalam
lubang itu. BAB 28 RICK melompat maju dan mendarat di atas perutnya. Satu
tangannya terulur menjangkau tangan Laurie, sedangkan yang lain
memeluk tiang. Kalau ia tak berhasil meraih Laurie, gadis itu akan
mati. Tapi tak mungkin ia sempat meraihnya.
Tak mungkin. Tak mungkin. Tak mungkin....
"Aaaahhhh!" Jeritan mengerikan keluar dari mulut Dr. Price saat ia melayang
jatuh. "Laurie, bertahanlah!" teriak Rick. Ia berhasil menjangkau
Laurie, tepat saat terdengar suara gedebuk delapan lantai di bawah.
Rick mencengkeram tangan Laurie, sementara gadis itu
menggantung seperti pendulum di lubang itu.
Sambil mengerang Rick mempererat cengkeramannya.
"Berikan tanganmu yang satu lagi," katanya.
"Tidak bisa!" jerit Laurie.
"Harus!" hardik Rick.
Perlahan-lahan Laurie mengangkat tangannya yang lain dan
dengan hati-hati Rick melepaskan tangannya sendiri dari tiang, lalu
menyambut tangan Laurie. Ditariknya gadis itu. "Yes!" Mereka terengah-engah. Laurie berbaring tengkurap dan Rick
berlutut, tangannya masih menggenggam tangan gadis itu.
Laurie selamat. Rick berhasil. Ia telah menyelamatkan gadis itu.
************************

Fear Street - Cowok Misterius The Knife di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bagaimana?" tanya Rick.
"Tak pernah sesehat ini," jawab Laurie sarkastis seraya menatap
pergelangan tangannya yang terbebat perban.
Mereka duduk di luar Unit Gawat Darurat, menantikan Bibi
Hillary. Toby Deane sudah ditidurkan di salah satu kamar pasien di
Bagian Anak. Polisi telah menanyai Laurie dan Rick. Jadi, sekarang
mereka cuma menunggu. "Kurasa aku nyaris merusak semuanya, ya?" kata Laurie seraya
menyandarkan tubuhnya dengan lemas di sandaran sofa ruang tunggu
itu. "Tepat," kata Rick dengan wajah kaku. Tapi kemudian
senyuman tersungging di wajahnya yang tampan. "Tidak, aku
bercanda. Jangan murung terus, dong," ujarnya. "Kau benar-benar
pemberani. Aku tahu aku takkan menemukan adikku secepat ini tanpa
kau. Besok polisi akan membawanya kemari. Ibuku akan datang ke
Shadyside untuk menjemputnya. Kau pasti tak bisa membayangkan
betapa menyiksanya semua ini bagi kami!"
"Kenapa kau tidak bilang bahwa itulah yang membuatmu
kemari?" tanya Laurie.
Rick mengangkat bahu. "Sori. Aku tak bisa. Aku khawatir kalau
ada yang tahu alasanku kemari, si penculik juga bisa mengetahuinya.
Dan itu akan membahayakan Beth. Aku tak boleh mengambil risiko
itu." "Kau kan bisa mempercayaiku?" tukas Laurie tersinggung.
Mata Rick yang biru berkedip. "Tadinya aku tidak tahu."
Kejadian-kejadian selama seminggu itu memenuhi benak
Laurie. "Semuanya begitu... mengerikan," katanya, seraya
mencondongkan tubuhnya kepada Rick. "Aku melihatmu di Paviliun
Fear. Lalu Suster Wilton mati terbunuh. Dan... dan... bagaimana Dr.
Price mengeluarkan mayatnya dari situ?"
"Mudah baginya," jawab Rick. "Aku membuntuti dia sampai ke
lantai delapan, tapi kemudian kehilangan jejaknya. Dia pasti langsung
kembali lewat jalan yang sama dan menuju Paviliun Fear. Lalu
dikeluarkannya mayat itu di atas brankar yang disembunyikannya di
bangunan baru itu." "Aku yakin kau benar," Laurie berkata setelah berpikir dalamdalam.
"Tentu saja," sambung Rick. "Siapa yang akan curiga melihat
pasien berselimut didorong di atas brankar sepanjang koridor rumah
sakit" Dan kalau Dr. Price bersembunyi di balik masker operasi, siapa
pun takkan mengenalinya."
Laurie tertegun. "Aku melihatnya!" jeritnya. "Kami semua
melihatnya. Aku ingat waktu berlari kembali ke Paviliun Fear bersama
Suster Girard dan Skye, aku nyaris menabrak sebuah brankar
bermuatan pasien. Petugas yang mendorongnya mengenakan masker
operasi. Kami semua bahkan berlari melewatinya!"
"Ya, dia memang cerdik sekali, dan sangat berani. Dia juga
nekat," kata Rick seraya memegang tangan Laurie yang tidak terbebat.
"Aku tak percaya aku malah pergi minta bantuan padanya!"
Laurie merinding mengingat pertemuannya dengan Dr. Price.
"Kuberitahukan semuanya kepadanya... semua ketakutan dan
kecurigaanku. Sikapnya amat baik, padahal selama itu dia menyusun
rencana untuk membunuhku!"
"Kau dan bibimu," kata Rick.
"Kenapa Bibi Hillary?" tanya Laurie.
Seperti mendengar pertanyaan itu, pintu ruang tunggu terbuka
dan dengan ekspresi khawatir Hillary Benedict menyerbu masuk. Rick
berdiri saat wanita itu berlari ke arah Laurie dan memeluknya.
"Oh, Sayang! Kau baik-baik saja?" tanyanya. "Rick bilang ada
sedikit kecelakaan, tapi sepanjang perjalanan kemari yang terbayang
olehku hanya yang terburuk, bahwa kau telah... Tanganmu! Kau
terluka! Apa yang terjadi?"
Laurie memeluk bibinya seraya tersenyum lega. "Jadi, Bibi
cemas, nih?" "Jelas. Ceritakan semuanya," kata Hillary sambil duduk di sofa.
Rick menarik sebuah kursi. Lalu ia dan Laurie menceritakan
segalanya. Hillary mendengarkan dengan sungguh-sungguh, ekspresi
cemas menghiasi wajahnya.
"Aku sudah tahu ada yang tidak beres," kata Hillary akhirnya.
"Waktu melakukan audit untuk rumah sakit ini, aku menemukan
ketidakberesan dalam pembukuan, sesuatu yang aneh sekali; beberapa
pengeluaran untuk sebuah proyek yang tak pernah diketahui Dewan
Pengawas"proyek rahasia yang menghabiskan dana yang amat besar.
Beberapa hari setelah menyelidiki hal itu, akhirnya aku sampai ke Dr.
Price. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa proyek itu adalah
penjualan bayi! Dan tak kusangka dia tega membunuh untuk
melindungi dirinya sendiri!"
"Itulah sebabnya, Laurie," potong Rick, "Dr. Price mengincar
bibimu. Dia tahu, cepat atau lambat bibimu akan tahu. Dia harus
menghentikan bibimu sebelum rahasianya terbongkar."
Hillary gemetar oleh rasa ngeri. "Well, untung saja kita semua
selamat. Dan aku juga berhasil mengetahui sumber dana misterius itu
sore ini. Langsung saja kuhubungi polisi Shadyside."
"Polisi sudah mengamankan Mrs. Deane," Rick berkata.
"Mereka mengumpulkan semua anak yang hilang itu, termasuk
saudara kembar Toby."
"Aku tak percaya Dr. Price sanggup melakukan hal seperti itu,"
kata Laurie seraya tenggelam kembali di dalam sofa.
"Yah, kurasa alasannya sederhana"serakah," ujar Hillary.
Tiba-tiba ia berdiri. "Akan kucari dokter yang menangani pergelangan
tanganmu itu. Aku ingin tahu, apa lagi yang dapat kulakukan untuk
merawatnya. Aku cuma sebentar. Lalu kita pulang."
Hillary mencondongkan tubuhnya dan mencium kening Laurie.
Lalu ia membungkuk di atas Rick. "Dan ini untukmu," katanya seraya
mencium cowok itu. "Aku benar-benar berterima kasih."
Rick merasa malu sedikit setelah Hillary berlalu.
"Kau tahu, aku sebenarnya tidak bermaksud menakut-nakutimu
malam itu di Fear Street," katanya. "Tapi kau terlalu ikut campur,
sehingga aku khawatir kau akan terancam bahaya. Itulah sebabnya aku
menghubungimu malamnya. Untuk memperingatkanmu, supaya kau
tidak terluka. Tapi kau tak mau mendengarkan aku."
"Aku tahu," kata Laurie. "Tapi kau membuatku takut. Yah, aku
minta maaf, deh." Rick mencondongkan tubuhnya. "Hei, aku akan memaafkanmu
kalau kau memaafkanku."
"Aku tak punya pilihan," ujar Laurie tersenyum. "Kau
menyelamatkan nyawaku."
Laurie menciumnya. "Hei, mungkin kau dan aku bisa kencan sungguhan," usul Rick,
masih memegang tangan Laurie.
"Tak usah ya," tukas Laurie.
"Hah?" "Kecuali kau membuang jauh-jauh T-shirt itu."
Rick meremas bagian depan T-shirt-nya, wajahnya pura-pura
ngeri. "Mencampakkan T-shirt bergambar pisau berdarah-ku" Kau
gila?" "Pokoknya buang," Laurie berkeras.
"Tapi T-shirt ini benar-benar... benar-benar keren." protes Rick.
Hillary muncul di mulut pintu. "Siap untuk pulang?" tanyanya
pada Laurie. "Setelah semua ini" Jelas!" Laurie melompat berdiri.
Ditinggalkannya Rick yang duduk menggerutu. "Hubungi aku,
ya," katanya, lalu menghilang di balik pintu.END
Pangeran Anggadipati 6 Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Pendekar Seribu Diri 8

Cari Blog Ini