Ceritasilat Novel Online

Musibah Pertama 3

Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil Bagian 3


cahaya lampu jalanan. Sambil menggigil ia menuju mobilnya, melewati jalan setapak
yang dilapisi batu kerikil.
Kres, kres, katanya dalam hati. Seperti bunyi tulang remuk.
Sesampainya di mobil, ia menggosok-gosok kaca depan dengan
telunjuknya. Lapisan bunga es ternyata tidak begitu tebal. Ia tak perlu
membersihkannya. Masalah itu bisa diatasi dengan menyalakan wiper
mobil. Ia membuka pintu mobil. Lalu, sebelum menyelinap ke balik
kemudi, ia sempat menoleh ke arah rumah Jennifer.
Seketika ia menahan napas.
"Wah!" ia berseru. Napasnya mengepul-ngepul di hadapannya
ketika ia memicingkan mata untuk mengamati jendela ruang tamu
yang besar. Itu satu-satunya jendela yang terang di rumah Jennifer, dan dari
ujung ke ujung tertutup tirai. Warnanya tampak jingga cerah akibat
lampu ruang tamu, dan Bobbi melihat sejumlah bayangan.
Bayangan yang bergerak. Ia kembali memicingkan mata dan menyadari bahwa bayangan
Jennifer-lah yang dilihatnya.
Dan Jennifer sedang berjalan.
Berjalan mondar-mandir di balik tirai.
"Wah!" ujar Bobbi sekali lagi.
Berkali-kali ia mengedipkan mata.
Tapi setiap kali ia memandang ke jendela, bayangan itu belum
berubah atau menghilang. Bobbi tahu bahwa Jennifer seorang diri di rumah. Dan ternyata
Jennifer tidak duduk di kursi rodanya. Jennifer sedang berjalan!
"Bagaimana mungkin?" Bobbi bertanya pada dirinya sendiri.
Rupanya aku memang mulai gila, katanya dalam hati. Aku
harus mencari bantuan. Aku mulai melihat yang bukan-bukan.
Ia kembali ke jalan setapak. Perlahan-lahan ia melintasi batubatu kerikil yang basah.
Aku sudah gila. Gila. Gila.
Tapi tunggu dulu! Bobbi semakin mendekati rumah Jennifer,
dan bayangan pada tirai jingga itu tetap berjalan mondar-mandir.
Bayangan itu semakin jelas.
Ternyata memang Jennifer. Dan ia memang sedang berjalan.
Bagaimana mungkin" Bobbi bertanya-tanya. Berbagai pikiran
ganjil berkecamuk dalam benaknya.
Mungkinkah telah terjadi keajaiban" Mungkinkah Jennifer baru
sadar bahwa ia bisa berjalan"
Hmm, rasanya tidak mungkin. Kalau begitu...
Jangan-jangan Jennifer hanya berpura-pura selama ini"
Tapi kenapa" Kenapa ia berlagak lumpuh"
Kenapa" Bobbi melangkah ke teras. Ia menekan bel pintu.
Ia harus mendapatkan jawabannya. Ia harus bertanya pada
Jennifer ada apa sebenarnya"
Ia bersandar pada pintu dan berusaha mendengar suara langkah.
Hening. Sekali lagi ia menekan bel pintu.
Akhirnya pintu depan membuka.
"Jennifer!" seru Bobbi.
Bab 17 Bingung BOBBI memandang ruang depan yang diterangi cahaya
kekuningan. Jennifer membuka pintu lebar-lebar. Ia tampak kaget
ketika melihat Bobbi. "Bobbi... ada apa?"
"Oh... ehm..." Bobbi tergagap-gagap. "Tidak ada apa-apa.
Aku... kupikir sarung tanganku ketinggalan."
Jennifer langsung lega. Ia menyandarkan diri di kursi rodanya,
lalu mundur beberapa senti sambil tetap menggenggam pegangan
pintu. "Kau mau masuk mencarinya?"
"Tidak," sahut Bobbi cepat-cepat. "Aku baru ingat bahwa aku
tidak membawa sarung tangan ke sini. Sori."
Jennifer tertawa. "Kau sudah mulai linglung, ya?"
"Yeah. Kelihatannya begitu." Bobbi malu sekali. Dan bingung.
Dan cemas. Jennifer duduk di kursi roda, dan kakinya tertutup selimut kecil.
Kenapa Bobbi mengira bahwa ia melihat Jennifer mondar-mandir di
balik jendela" Apakah Bobbi hanya membayangkan semuanya" Apakah ia
hanya menduga bahwa ia melihat bayangan itu mondar-mandir di
jendela" Ada apa sih denganku" Bobbi bertanya-tanya dalam hati. Ia
kembali mengucapkan selamat malam kepada Jennifer, lalu menyusuri
jalan setapak yang dilapisi kerikil.
Embusan napasnya mengepul-ngepul dalam udara malam yang
dingin. Tapi Bobbi tidak merasa kedinginan.
Ia justru kepanasan. Seperti demam. Kepalanya berdenyutdenyut, dan matanya seperti ditusuk-tusuk dari belakang.
Kenapa aku mulai berkhayal seperti ini"
Betulkah aku cuma berkhayal"
Betulkah aku sudah mulai gila" Benar-benar gila"
Sorot lampu depan mobilnya seakan-akan menari-nari selama ia
menempuh perjalanan pulang ke rumahnya di Fear Street. Semua
lampu di rumahnya sudah dipadamkan, kecuali lampu teras. Rupanya
semua orang sudah tidur.ebukulawas.blogspot.com
Ia menggantungkan jaketnya di pagar tangga dan bergegas naik
ke kamarnya. Tanpa menyalakan lampu, ia mengguncang-guncangkan
Corky sampai terbangun. "Hah?" seru Corky. Ia tampak kaget. Dengan susah payah ia
menegakkan badan dan duduk di tempat tidur.
"Ini aku," bisik Bobbi. "Bangun."
"Kau bikin kaget saja!" kata Corky gusar. Ia memang paling
tidak suka dibangunkan. Bobbi menghidupkan lampu di samping tempat tidur. "Aku
melihat Jennifer berjalan!" cetusnya.
Corky menguap. "Hah?"
"Sepertinya aku melihat Jennifer berjalan. Aku tak bisa
memastikannya, tapi..."
"Pukul berapa sih sekarang?" tanya Corky jengkel. "Kau pasti
mimpi." "Tidak. Ini bukan mimpi," Bobbi berkeras. "Aku berdiri di
depan rumahnya. Aku melihat bayangannya."
Corky meregangkan tubuh, berguling ke samping, dan
menurunkan kaki ke lantai. Ia menyibakkan beberapa helai rambut
yang menutupi matanya. "Kau melihat bayangan?" Wajahnya tampak
prihatin. "Bobbi, aku mulai khawatir tentang kau."
"Sungguh! Aku melihatnya," ujar Bobbi, tanpa menyadari
bahwa ia hampir berteriak. Ia berdiri di hadapan Corky sambil
meremas-remas tangannya dengan gelisah. Badannya gemetaran dan
matanya masih nyeri. "Lebih baik kita beritahu Mama dan Papa," kata Corky sambil
melirik jam di samping tempat tidurnya. "Coba pikir, Bobbi. Mulamula katamu kau melihat semua pintu locker di sekolah membuka dan
menutup sendiri waktu kau berjalan di koridor. Lalu kau bercerita
bahwa kau sempat lumpuh waktu latihan tadi sore. Kau tidak bisa
bergerak. Kau bahkan tidak bisa bicara. Dan itulah sebabnya kau
membiarkan Kimmy jatuh."
"Tapi, Corky..."
"Aku belum selesai," tukas Corky dengan ketus. Ia mengangkat
sebelah tangan seolah-olah ingin menangkis sanggahan Bobbi. "Lalu
masih ada cerita aneh tentang Chip, dia juga sempat lumpuh dan tidak
bisa bergerak. Dan sekarang kau pulang dari rumah Jennifer dan..."
"Tapi itu benar!" seru Bobbi. "Semuanya benar. Maksudku, aku
pikir semuanya benar. Kurasa... aku... kamu tidak percaya padaku,
ya?" Corky menutup telinga dengan kedua tangannya. "Jangan
berteriak. Jangan bentak-bentak aku."
"Sori. Aku..." "Ayo, kita beritahu Mama dan Papa saja," desak Corky.
"Menurutku, kau harus bicara dengan psikiater atau sebangsanya.
Kurasa kau butuh bantuan, Bobbi. Sungguh."
"Kau tidak percaya padaku," tuduh Bobbi sengit. Ia kecewa dan
kepalanya berdenyut-denyut. "Kau tidak percaya padaku."
Tanpa berpikir panjang ia merenggut bantal Corky dan
melemparkannya ke muka adiknya.
"Hei...," Corky berseru. Ia merebut bantalnya dan
mengembalikannya ke tempat semula.
"Pokoknya aku tak mau bicara denganmu lagi!" hardik Bobbi.
"Pengkhianat!" "Oh, boleh saja!" teriak Corky. "Malah kebetulan! Kau gila,
Bobbi! Gila!" Bobbi bergegas ke lemari pakaian. "Diam! Diam! Aku tak mau
mendengar suaramu lagi! Untuk selama-lamanya!" Sambil bergumam
dengan geram ia mulai menanggalkan baju, dan mencampakkan
semuanya ke lantai. Corky kembali berbaring. Ia menarik selimut dan memunggungi
kakaknya. Ia sudah gila, katanya dalam hati. Benar-benar gila!
Bayangkan saja, ia menuduhku pengkhianat, hanya karena aku
merasa ia perlu bicara dengan psikiater.
Enak saja ia menyebutku pengkhianat.
Dan gara-gara dia, aku jadi kesal dan pasti tidak bisa tidur lagi.
Aku benci dia. Aku benar-benar benci dia, pikir Corky gusar
sambil berusaha mencari posisi yang paling nyaman. Bobby selalu
membuatku marah. ******************** Seharusnya Corky lebih bersimpati pada Bobbi. Seharusnya ia
lebih sabar. Lebih peduli. Lebih percaya.
Tapi Corky memang tidak tahu bahwa malam itu merupakan
malam terakhir bersama kakaknya.
BAGIAN TIGA Roh Jahat Bab 18 Musibah Fatal Ebukulawas.blogspot.com "OKE, semuanya, aerobik dulu untuk pemanasan!"
Penuh semangat Bobbi berlari ke tengah lapangan. Ia bertepuk
tangan dan mengajak para cheerleader lain memulai latihan seusai
sekolah. Tapi mereka tetap bersandar pada dinding dan saling berbisikbisik.
"Ayo, semuanya... semangat sedikit, dong! Kita mulai dengan
pemanasan!" Bobbi menatap mereka satu per satu. Mana Corky" ia bertanya
dalam hati. Baru kemudian ia teringat bahwa Corky ada tugas
tambahan di lab IPA. Ia melihat Jennifer masuk naik kursi roda.
Jennifer pun melihat Bobbi, dan melambaikan tangan.
"Ayo, berbaris!" Bobbi mendesak.
"Mana Miss Green?" tanya Kimmy sambil maju perlahan-lahan.
Ia memegang pergelangan tangannya yang terbungkus gips putih.
"Aku tidak tahu," jawab Bobbi. "Kau mau ikut pemanasan
bersama kami" Atau pergelangan tanganmu terlalu..."
"Pergelangan tanganku bukan urusanmu," balas Kimmy ketus.
"Aku takkan mengundurkan diri gara-gara pergelangan tanganku,
kalau itu yang kaumaksud." Ia menatap Bobbi dengan tajam.
"Kita mulai dengan pemanasan! Ayo, semuanya!" seru Bobbi
tanpa menggubris kemarahan Kimmy.
Perlahan-lahan para cheerleader menjauhi dinding dan
membentuk barisan di depan Bobbi. Bobbi menyalakan kaset. Mereka
memulai latihan aerobik, latihan yang telah mereka lakukan sejak
awal tahun ajaran. Tapi semuanya tampak cemberut dan tidak bersemangat.
"Ayo... kita cari keringat dulu!" seru Bobbi. Ia berlatih dua kali
lebih keras dari biasanya. Tapi ajakannya tidak memperoleh
tanggapan. Debra dan Ronnie malah terus mengobrol sambil
menggerak-gerakkan badan.
Bobbi melirik ke seberang lapangan. Jennifer mengacungkan
jempol, tapi Bobbi tidak merasa terhibur. Ia sadar bahwa anak
buahnya sengaja tak mau berusaha.
Ia menghentikan musik. "Ayo, kita berlatih gerakan Steam
Heat," ia mengusulkan. "Ronnie, kau mau mengambil alih bagian
terakhir kali ini?" "Hah?" "Kau mau mengambil alih bagian terakhir" Kau boleh
memimpinnya." "Entahlah." Ronnie angkat bahu. "Terserah kau saja." Ia
kembali mengobrol dengan Debra.
Tanpa Corky, tidak ada seorang pun di pihakku, Bobbi
menyadari, dan tiba-tiba saja ia merasa amat tertekan. Hanya ada
Jennifer. Tapi gara-gara kejadian yang menimpa Kimmy, Jennifer
juga tak mau bicara denganku di depan yang lain.
"Oke, semuanya berbaris untuk Steam Heat," seru Bobbi. Ia
harus memaksakan diri agar tetap kelihatan bersemangat.
"Menurutku, lebih baik kita tunggu saja sampai Miss Green
datang," ujar Kimmy dengan nada menantang.
"Yeah. Kita tunggu saja," Debra segera menambahkan.
"Kenapa harus menunggu dia?" ujar Bobbi ragu-ragu. Ia melirik
jam di papan pencatat skor. Pukul 15.45. "Kita kan sudah tahu gerakan
apa saja yang harus kita latih."
"Kita tunggu Miss Green saja," ujar Kimmy. Ia jelas-jelas
menantang wibawa Bobbi. "Yeah. Tunggu," gumam Debra. Heather dan Megan
mengangguk sambil merengut.
Mereka memberontak, Bobbi menyadari. Sekonyong-konyong
ia merasa pusing. "Semuanya berbaris!" ia berkeras sambil melirik ke arah
Jennifer, yang kini tak lagi tersenyum. Gadis itu memperhatikan
perkembangan dengan wajah prihatin. "Kimmy, kalau kau mau
mengatakan sesuatu..." Bobbi angkat bicara.
"Rasanya, Miss Green mau mengatakan sesuatu," balas Kimmy
sambil tersenyum licik. Ronnie, yang berdiri di sampingnya,
cekikikan. Pintu gedung olahraga membuka, dan Miss Green masuk. Ia
berjalan dengan langkah panjang sambil membawa tas kantor yang
tampak menggembung karena terlalu penuh. "Maaf saya terlambat,"
serunya sebelum menuju ke ruang kerjanya di sudut gedung.
Tapi ketika melihat Bobbi dikelilingi para cheerleader
bertampang masam, Miss Green berhenti. "Kalian sudah mulai
latihan?" ia bertanya.
"Belum," jawab Kimmy sambil melirik penuh arti ke arah
Bobbi. "Sepertinya tak ada yang berminat latihan hari ini," Bobbi
melaporkan. Miss Green memindahkan tas kantor ke tangannya yang lain.
"Bobbi... saya perlu bicara sebentar denganmu. Di ruangan saya saja."
"Baik," ujar Bobbi. Ia mulai cemas dan tenggorokannya serasa
dicekik.

Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk yang lain, latihan hari ini dibatalkan saja, oke?" Miss
Green berkata sambil menatap Kimmy.
Oh-oh, pikir Bobbi. Ia merasakan nadi di pelipisnya berdenyutdenyut.
"Besok sore kita ketemu lagi," Miss Green menegaskan.
Sambil berbisik-bisik satu sama lain, para cheerleader
meninggalkan lapangan dan mulai memunguti barang masing-masing.
Bobbi menyadari bahwa tak ada yang mau menoleh ke arahnya. Ia
sempat melihat Kimmy tersenyum penuh kemenangan, tapi Kimmy
segera berpaling dan pergi bersama Debra dan Ronnie.
Mereka semua sudah tahu apa yang akan dikatakan Miss Green
padaku, Bobbi menyadari. Dan aku juga sudah tahu. Bobbi mengikuti Miss Green ke ruang pelatih. Jantungnya
berdebar-debar, dan kakinya mendadak terasa berat sekali.
Miss Green meletakkan tasnya di meja kerja. Ia memeriksa
beberapa pesan yang dicatat pada kertas merah muda, lalu menatap
Bobbi. "Formulir kesehatan," katanya sambil menepuk-nepuk tasnya.
"Beratnya minta ampun. Orang yang bekerja di bidang pendidikan
olahraga memang harus kuat."
Bobbi tampak kikuk di depan meja kerja Miss Green. Dengan
gelisah ia memilin beberapa helai rambutnya. Ketika Miss Green
menyuruhnya duduk, Bobbi segera menarik kursi, lalu duduk
berpangku tangan. Ia sadar bahwa ia berkeringat. Udara di gedung olahraga
memang pengap, dan ia satu-satunya yang melakukan gerakan aerobik
dengan bersemangat pada waktu pemanasan tadi.
"Bobbi, saya menyesal sekali," Miss Green mendadak berkata,
"tapi saya terpaksa memintamu mengundurkan diri dari regu
cheerleader." "Oh!" seru Bobbi.
Sebenarnya ia telah menduga bahwa Miss Green akan berkata
begitu. Tapi meski demikian, ia tetap kaget mendengarnya.
"Saya... saya tidak..." Ia tergagap.
Miss Green mengangkat sebelah tangan untuk menyuruh Bobbi
diam. "Saya tak mau membahas kejadian kemarin. Saya tahu kau tak
mungkin mencelakakan salah satu anggota regu dengan sengaja. Tapi
nyatanya kemarin terjadi kecelakaan. Entah karena kurang konsentrasi
atau apa, kecelakaan itu terjadi."
Ia duduk dan membungkuk ke depan sambil memutar-mutar
cincin di jarinya. "Kau cheerleader yang sangat berbakat, Bobbi," ia
melanjutkan. "Kau dan adikmu. Saya menyukai kalian berdua. Tapi
setelah kejadian kemarin, saya khawatir... ehm, saya khawatir kau
kehilangan kepercayaan rekan-rekanmu."
"Kepercayaan?" Bobbi mengulangi dengan suara tercekik.
Sekonyong-konyong ia sadar bahwa napasnya terengah-engah.
Butiran keringat membasahi keningnya, tapi ia tidak berusaha
mengusapnya. "Regu cheerleader didasarkan atas kepercayaan. Dan anak-anak
lain merasa bahwa mereka tak bisa mempercayaimu," ujar Miss Green
sambil merendahkan suara. Wajahnya tanpa ekspresi. "Mereka yang
mengatakan hal itu kepada saya. Entah benar atau tidak, mereka yakin
bahwa kau sengaja tidak menangkap Kimmy kemarin." Ia berdeham
dengan keras, sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. "Saya
benar-benar menyesal, Bobbi. Saya tidak punya pilihan. Saya terpaksa
memintamu mengundurkan diri."
Bobbi menundukkan kepala. Ia harus berjuang agar tubuhnya
tidak gemetaran. Ia harus memaksakan diri agar tidak menangis.
"Saya... saya mengerti," katanya pelan.
"Kalau kau ingin bicara dengan seseorang," Miss Green
menawarkan penuh simpati, "seorang dokter, maksud saya... Saya
punya kenalan. Mungkin kau bisa membicarakan masalahmu
dengan..." Sekonyong-konyong Bobbi berdiri. Ia harus keluar dari tempat
itu. Ia mendadak merasa mual, badannya panas-dingin dan gemetaran.
"Tidak, terima kasih. Saya permisi dulu," katanya, lalu berpaling ke
pintu sambil menghindari tatapan Miss Green.
"Saya tahu bagaimana perasaanmu sekarang," ujar Miss Green.
Ia ikut berdiri. "Kalau ada yang bisa saya lakukan..."
Beberapa detik kemudian Bobbi sudah berada di ruang ganti.
Seorang diri. Suara langkahnya bergema di lantai beton yang basah. Ia
nyaris tak sanggup menahan air mata yang sudah mulai menggenang.
Aku basah kuyup. Basah kuyup.
Aku harus mandi dulu, ia memutuskan. Lalu ganti baju.
Setelah itu pasti lebih enak.
Kemudian ia seperti mendengar bunyi gesekan dari deretan
locker lain. "Siapa itu?" ia bertanya dengan suara gemetaran.
Tak ada jawaban. "Sekarang telingaku juga sudah mulai tidak beres," ia berkata
kepada dirinya sendiri. Ah, sudahlah, ujar Bobbi dalam hati. Paling tidak, sekarang aku
punya lebih banyak waktu untuk belajar.
Dan kemudian air matanya tak terbendung lagi.
Aduh, kenapa aku jadi sial begini" Kenapa aku jadi sial begini"
Jangan-jangan aku benar-benar mulai gila"
Ia meninggalkan pakaiannya di bangku kayu, mengambil
handuk dari locker, lalu melintasi lantai yang basah ke ruang
pancuran. Mandi air panas pasti membantu, katanya dalam hati. Air
yang panas akan membuatnya tenang dan berhenti gemetaran.
Bobbi berhenti ketika sampai di pintu ruang pancuran.
Sepertinya ia mendengar seseorang. Ia memasang telinga. Tapi lagilagi tak ada suara apa pun.
Ia masuk ke ruang pancuran yang luas, dengan dinding berlapis
keramik yang sudah kotor serta deretan kepala pancuran yang dulu
pernah mengilap. Lantainya masih digenangi air dingin dari jam
pelajaran olahraga sebelumnya.
Bobbi menggigil. Aku kedinginan. Benar-benar kedinginan.
Ketika ia hendak memutar keran untuk menyalakan air, pintu
logam di dekatnya menutup dengan keras.
"Hah?" Mula-mula Bobbi tak tahu apa yang terjadi. Ia tersentak kaget
waktu mendengar bunyi keras yang tak terduga itu. Mungkin ada
orang yang masuk ke ruang ganti, pikirnya.
Tapi kemudian ia melihat bahwa pintu ruang pancuranlah yang
baru saja menutup. Aneh, ia berkata dalam hati, lalu menyalakan air.
Dan kemudian ia menjerit ketika air panas menyembur dari
kepala pancuran dan mengenai dada dan pundaknya.
"Aduuuh!" Ia segera menghindar. Tapi kepala pancuran di sebelah juga
menyemburkan air panas, air mendidih.
"Tolong!" Semua pancuran kini menyala. Semuanya menyemburkan air
panas mendidih. Ada yang tidak beres, Bobbi menyadari. Ia mundur sambil
terhuyung-huyung karena panik. Dadanya seperti terbakar. Kakinya
seperti terbakar. "Oh!" Ia terpeleset dan jatuh ke belakang, ke genangan air yang
mengepul-ngepul. "Tolong!" Cepat-cepat ia berdiri lagi. Ia melihat bahwa air panasnya
semakin tinggi. Rupanya saluran pembuangan airnya tersumbat.
"Aduh!" Genangan air kini sudah mencapai dua setengah senti, begitu
panas sehingga kaki Bobbi mulai melepuh.
Ruang pancuran mulai dipenuhi uap.
Bobbi melompat ke pintu. Ia menarik-narik pegangan pintu.
"Hei..." Pintunya tidak bergerak sedikit pun.
Ia berusaha mendorong pintu. Tapi pintunya macet. Atau
ditahan dari luar. Atau dikunci.
"Hei!" Uap air semakin tebal. Paru-paru Bobbi serasa terbakar. Ia
nyaris tak dapat bernapas.
Sambil berteriak kesakitan, ia menghampiri deretan pancuran.
Ia meraih keran pertama dan memutar dan memutar dan memutar...
Tapi semburan air tidak bertambah pelan. Dan airnya pun tidak
bertambah dingin. Dengan panik ia memutar keran lain. Dan keran di sebelahnya.
Dan yang di sebelahnya lagi.
"Oh!" Ia tak bisa menghentikan semburan air.
"Aku tidak bisa bernapas!" Uapnya begitu tebal, begitu panas.
"Aku tidak bisa melihat!"
Ia tergelincir dan terhuyung-huyung ke pintu.
"Tolong!" ia berteriak putus asa. "Tolong!"
Air kini menggenang sampai ke mata kakinya. Kenapa tidak
turun-turun" Ia melompat-lompat dengan liar, terdorong oleh rasa
sakit yang tak tertahankan.
"Tolong! Aku tidak bisa... bernapas!"
Suara air semakin keras, bergemuruh.
Bobbi memejamkan mata dan menutup telinga.
Gemuruh itu tidak hilang.
Rasa sakitnya tidak hilang.
Gemuruhnya semakin keras.
Kemudian semuanya menjadi hening.
Bab 19 Penemuan Corky MANA sih orang-orang" Corky terheran-heran.
Ia masuk ke gedung olahraga sambil memindahkan ranselnya
dari bahu kiri ke kanan. "Halo?" ia memanggil, dan suaranya
memantul dari langit-langit yang tinggi.
Sepatu karetnya berdecit-decit di lantai yang dipoles mengilap.
Ia melirik jam di papan pencatat skor. Belum pukul 16.30.
Latihan biasanya berlangsung sampai pukul 17.00.
Jadi, di mana semuanya"
Barangkali latihannya dipindah ke luar gedung" Kadangkadang, kalau cuacanya bagus, mereka memang berlatih di luar.
Mereka senang berlatih di stadion, tempat mereka bisa menghirup
udara segar dan tidak perlu kepanasan seperti di gedung olahraga.
Tapi cuaca hari itu mendung dan kelabu, bukan cuaca yang
cocok untuk berlatih di luar.
Suara langkah Corky bergema ketika ia menuju ruang kerja
Miss Green dan mengintip melalui jendela yang besar.
Kosong. Semua kertas ditumpuk rapi di salah satu sudut meja.
Kursi pun didorong ke bawah meja.
Rupanya latihan selesai lebih cepat, pikir Corky sambil
menggelengkan kepala. Hmm, Bobbi pasti senang. Ia sebenarnya enggan bertemu anakanak lain hari ini.
Bobbi. Aku perlu bicara dengannya untuk berbaikan lagi, Corky
berkata dalam hati. Ia mendorong pintu ruang ganti dan mengintip ke dalam.
"Bobbi?" Ruang ganti ternyata kosong juga.
Corky sudah akan menutup pintu ketika mendengar suara air
mengalir. Rupanya ada yang sedang mandi, ia menyimpulkan.
Ia masuk ke ruang ganti, yang lebih pengap dari biasanya, lalu
melewati sederetan locker.
Ia melihat setumpuk pakaian pada bangku panjang di depan
locker-locker. Di balik deretan locker, ia mendengar suara air
mengalir kencang. Ia meraih kaus yang tergeletak di bangku, dan
mengenalinya sebagai kaus milik Bobbi.
Jadi Bobbi yang sedang mandi.
Sendirian" Mana yang lain" Ini tidak masuk akal. Corky hendak menuju ke ruang pancuran, tapi tiba-tiba ia
berhenti. Ia melihat sesuatu di lantai di bawah barang-barang Bobbi.
Sesuatu yang mengilap. Ia membungkuk dan memungut benda itu, lalu mengamatinya
sambil mengerutkan kening. Ternyata kalung perak milik Kimmy,
kalung berbentuk megafon mungil.
Kimmy pasti tidak sadar bahwa kalungnya jatuh, pikir Corky. Ia
membungkus kalung itu dengan tisu, kemudian memasukkannya ke
kantong celana jins-nya. Nanti kukembalikan kepada Kimmy.
Corky menyusuri deretan locker, membelok ke ruang pancuran,
lalu berhenti dengan heran. Pintu ruang pancuran tertutup rapat.
Aneh, pikirnya. Pintu ruang pancuran tak pernah ditutup. Corky bahkan baru
tahu bahwa pintu itu bisa ditutup.
Ketika Corky mendekat, gemuruh air di balik pintu bertambah
keras. Mana mungkin satu pancuran berisik seperti ini" ia bertanyatanya.
Ia mengetuk pintu. "Hei... Bobbi!"
Tak ada jawaban. "Bobbi?" Ia mengetuk lebih keras.
Ia tak bisa mendengarku gara-gara suara air, ujar Corky dalam
hati. Ia menggenggam pegangan pintu ruang pancuran dan
menariknya. Pintunya membuka dengan mudah.
"Hei..!" Corky memekik karena diterjang gelombang air panas.
Ia kaget setengah mati, dan langsung mundur sampai menabrak
pinggiran locker. Air panas itu membasahi sepatu karet serta celana
jins-nya. "Aduh! Hei...." Airnya panas sekali.
Corky mengangkat dagu dan melihat uap putih memasuki ruang
ganti, seperti kabut yang bergulung-gulung di pantai.
Ada apa ini" ia bertanya dalam hati, lebih marah daripada takut.
Siapa yang menutup pintu"
Di mana Bobbi" Air panas itu membanjiri ruang ganti, tapi sepertinya aliran air
sudah dimatikan. Sambil berjingkat, Corky kembali ke ruang
pancuran. Ia berpegangan pada dinding dan mengintip ke dalam sambil
memicingkan mata untuk menghalau uap.
Dan kemudian ia melihat Bobbi.
Bobbi tergeletak dalam posisi tengkurap di dinding di bawah
deretan pancuran. "Bobbi...?" Uap di ruang pancuran menipis, dan Corky mulai bisa melihat
tubuh kakaknya. Tangan Bobbi terlipat di bawah badannya. Kakinya menekuk.
Rambutnya basah kuyup, dan menempel di kepalanya dan di lantai.
Punggung, kaki, kulitnya... seluruh tubuhnya tampak merah
padam seperti udang rebus.
"Bobbi...?" Corky dicekam panik. Ia segera masuk ke ruang pancuran dan
berlutut di air mendidih.
"Bobbi...?" Sambil menahan napas, ia meraih kepala Bobbi dan menariknya
dengan lembut.

Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bobbi..." Bobbi..." Jawab, dong!"
Bobbi menatapnya dengan pandangan kosong. Matanya
terbelalak ketakutan. Seluruh tubuhnya merah dan bengkak, dan
mulutnya menganga lebar. "Bobbi...?" Tak ada jawaban. Baju Corky basah oleh uap, dan ia mulai menggigil.
Ia mendekap kakaknya erat-erat. Ia tahu bahwa ia takkan pernah
lagi mendengar suara Bobbi.
Bab 20 Corky Menarik Kesimpulan BULAN purnama menyinari taman pemakaman Fear Street,
menerangi batu-batu nisan dengan cahaya yang pucat menyeramkan.
Pohon-pohon terdengar berdesir ketika dahan-dahan yang telah
menanggalkan hampir semua daun diguncang tiupan angin.
Corky terpeleset karena menginjak dedaunan basah di tanah,
dan nyaris kehilangan keseimbangan. Gerimis baru saja berhenti,
membuat tanah di antara makam-makam dalam keadaan empuk dan
becek. Seperti pasir apung, pikir Corky. Tiba-tiba ia membayangkan
dirinya masuk ke dalam tanah, ditarik ke bawah, terus ke bawah,
sampai tinggal kepalanya yang menyembul di permukaan. Dan
akhirnya kepalanya pun lenyap untuk bergabung dengan mayat-mayat.
Sesuatu menyelinap di antara daun-daun mati di dekat kakinya.
Seekor tupai" Tikus"
Di tengah makam pun ada makhluk hidup, pikir Corky. Ia
menggigil dan menyelipkan kedua tangan ke kantong jaketnya.
Angin berhenti bertiup ketika ia menyusuri jalan setapak yang
melewati pemakaman lama. Bobbi dimakamkan di bagian baru di atas
bukit kecil, jauh dari jalan. Corky hafal jalannya di luar kepala.
Batu-batu nisan tua, yang menyembul dari tanah bagaikan gigi
busuk, menimbulkan bayangan-bayangan panjang di depan kaki
Corky. Ia berhenti ketika mencapai ujung deretan pertama. Kenapa
batu nisan di ujung itu tampak tidak asing"
Corky maju beberapa langkah. Sepatu botnya setengah
terbenam dalam lumpur. Ia membaca tulisan yang tertera: SARAH
FEAR. 1875-1899. "Sarah Fear," ujar Corky sambil mengamati nama yang terukir
itu. Tiba-tiba ia teringat. Di makam inilah Jennifer ditemukan
tergeletak pada malam mengerikan ketika ia terlempar dari bus
sekolah. "Sarah Fear." Apakah keempat batu di belakang makam Sarah juga batu
nisan" Corky mendekat, lalu membungkuk untuk membaca tulisan
pada batu-batu itu. Nama-nama yang terukir sudah dimakan waktu,
tapi semua tanggal masih terbaca dengan jelas. Mereka semua
meninggal pada tahun yang sama: 1899.
Empat batu nisan dengan tahun yang sama seperti yang
tercantum pada makam Sarah.
Apa yang terjadi waktu itu" Corky bertanya dalam hati. Apakah
seluruh keluarga Sarah Fear menemui ajal pada waktu yang sama"
Orang zaman itu meninggal dalam usia yang begitu muda, pikir
Corky sambil kembali berdiri. Sarah Fear baru berusia 24 tahun ketika
ia meninggal. Tanpa sadar, ia mulai terisak-isak.
Bobbi baru tujuh belas. Sambil memasukkan tangan ke kantong jaket, Corky berpaling
dari bagian makam lama dan menyusuri jalan setapak ke bagian yang
baru. Angin kembali berembus, dingin dan lembap. Corky mendengar
seekor anjing melolong di kejauhan. Dahan-dahan pohon tampak
bergoyang-goyang. Daun-daun mati beterbangan, seolah-olah hendak
melarikan diri. "Aku datang lagi," ujar Corky sambil memegang batu nisan
sementara di makam kakaknya. "Kau pasti sudah bosan melihatku di
sini." Entah berapa kali sudah Corky mengunjungi makam Bobbi
sejak pemakamannya dua minggu yang lalu" Hampir setiap hari"
"Aku benar-benar merasa kehilangan," bisik Corky. Air
matanya mulai menggenang.
Upacara pemakaman Bobbi kembali terbayang-bayang di depan
matanya. Karangan-karangan bunga, begitu cerah dan berwarnawarni dan tidak cocok untuk hari kelabu penuh duka itu. Orangtuanya,
bergandengan tangan, menutup wajah masing-masing agar orang lain
tidak melihat kesedihan mereka.
Sekali lagi Corky melihat para cheerleader, berdiri
menggerombol, pucat, dan membisu. Jennifer menyendiri di kursi
rodanya, dengan kaki terbungkus selimut wol. Pipinya dibasahi air
mata. Chip pun hadir. Ia tampak kikuk dan salah tingkah. Ia berusaha
bersikap ramah kepada Corky, berusaha mengatakan sesuatu untuk
menghiburnya. Tapi akhirnya ia hanya sanggup berkata bahwa ia ikut
berduka, lalu segera pergi.
Dan Kimmy. Kimmy juga datang. Ia tidak bergabung bersama
para cheerleader. Ia menyilangkan tangan di depan dada. Wajahnya
geram. Pandangannya melekat pada Chip.
Gerimis mulai turun ketika peti jenazah Bobbi diturunkan ke
liang lahat. Corky merasakan tangan ibunya merangkul dirinya dan
Sean. Mereka semua menangis, ia tahu, dan air mata mereka jatuh ke
liang lahat yang menganga.
Corky sempat menoleh kepada Kimmy, dan melihat bahwa
Kimmy tetap melotot ke arah Chip. Dan kemudian, ketika hujan
bertambah deras, orang-orang mulai meninggalkan makam sambil
berlindung di bawah payung-payung hitam.
Ayah Jennifer muncul dan mendorong kursi rodanya pergi.
Chip pulang dengan langkah lebar. Kimmy pergi bersama rombongan
cheerleader. Semua menundukkan kepala berlindung dari terjangan
hujan dan angin. Akhirnya tinggal Corky dan keluarganya.
Tanpa Bobbi. Tanpa Bobbi, untuk selama-lamanya.
Dan kini, dua minggu kemudian, Corky tetap belum terbiasa tak
lagi memiliki kakak yang dapat diajak bicara.
"Aku datang lagi," ujar Corky sambil menatap bulan purnama.
"Aku tahu kau bisa mendengarku, Bobbi. Aku... aku cuma berharap
kau juga bisa menjawab."
Tenggorokannya serasa tersekat. Ia berhenti sejenak dan
menarik napas dalam-dalam, menghirup udara yang dingin dan harum.
"Aku cuma mau cerita," ia melanjutkan setelah terdiam lama.
"Kimmy diangkat sebagai kapten regu cheerleader. Kau pasti sudah
menduga bahwa itu bakal terjadi, ya, kan" Hmm, kelihatannya semua
orang senang. Terutama Kimmy. Sejak diangkat, dia tak pernah
mengeluh lagi soal pergelangan tangannya."
Corky mendesah. Dengan lembut ia membelai batu nisan
kakaknya. "Semua orang menoleh ke arahku waktu Miss Green
mengumumkannya," Corky melanjutkan. "Sepertinya mereka pikir
aku bakal mengamuk atau sebangsanya." Dan kemudian ia
menambahkan dengan getir, "Padahal aku tidak peduli."
Ia menyingkirkan selembar daun yang menempel di kaki celana
jins-nya. "Aku sudah tidak peduli, Bobbi. Sungguh," ia berkata
terbata-bata. "Aku tak tahu apa yang masih kupedulikan. Aku cuma
berharap kau ada di sini. Supaya aku bisa minta maaf karena marahmarah pada malam sebelum... malam sebelum kau meninggal. Coba
kalau kau ada di sini dan bisa memberitahuku apa yang terjadi."
Corky terisak-isak. "Apa yang terjadi di ruang shower" Kenapa
kau tidak membuka pintu dan keluar saja" Polisi bilang kau
mengalami kejang-kejang dan meninggal seketika. Aku senang kau
tidak perlu menderita, tapi aku tetap tidak mengerti. Kenapa"
Bagaimana itu bisa terjadi" Kau tidak sakit. Kau sehat. Apa yang
terjadi, Bobbi" Apa yang terjadi?"
Kemudian Corky mulai menangis. Butiran air mata mengalir di
pipinya, dan hidungnya tersumbat. Ia mendengar suara tangisnya
sendiri. "Maafkan aku. Maafkan aku," ia berkata kepada batu nisan
yang membisu. "Aku terus datang setiap hari dan mengatakan hal-hal
yang sama. Aku cuma... cuma..."
Corky menyelipkan sebelah tangannya ke kantong celana untuk
mencari tisu. Ia merogoh kantongnya dalam-dalam, menemukan
selembar yang telah menggumpal, dan menariknya keluar.
Ia melihat benda mengilap jatuh ke tanah.
Ia membungkuk dan mengamati tanah basah di sekitarnya
sampai menemukan benda itu. Kemudian ia berdiri mengamatinya.
Ternyata kalung megafon milik Kimmy.
Corky menemukannya pada hari naas itu. Di lantai ruang ganti.
Di dekat tumpukan baju Bobbi.
Ia telah memasukkannya ke dalam kantong celana, lalu
melupakannya. Ia memperhatikan kalung itu di bawah cahaya bulan yang
dingin, dan menyadari bahwa ia telah menemukan petunjuk.
Kimmy sempat berada di sana. Kimmy sempat berada di ruang
ganti. Di dekat pakaian Bobbi.
"Ya Tuhan," ujar Corky sambil meremas-remas kalung itu di
tangannya. "Ya Tuhan."
Mungkinkah Kimmy terlibat dalam kematian Bobbi" Tak
seorang pun punya motif lebih kuat daripada Kimmy, Corky
menyadari. Tak seorang pun lebih kesal kepada Bobbi daripada Kimmy.
Sebenarnya, bukan sekadar kesal. Kimmy membencinya.
Terang-terangan membencinya.
Kimmy membenci Bobbi karena Bobbi dijadikan kapten regu
cheerleader. Karena Chip mencampakkan Kimmy dan mengajak
Bobbi berkencan. Karena Bobbi cantik, pirang, dan berbakat, dan
Kimmy tidak. Karena semuanya. "Ya, Kimmy ada di sana," Corky menegaskan kepada dirinya
sendiri. "Kimmy ada di sana waktu Bobbi meninggal, dan buktinya
ada di tanganku." Dan kemudian, tanpa menyadarinya, ia mulai berlari. Ia berlari
di antara deretan makam, dan sepatunya berulang kali tergelincir
dalam lumpur. Dan kemudian ia sampai di rumah dan masuk ke mobil. Ia
memutar kunci kontak. Mesin mobilnya meraung-raung, sorot
lampunya membelah kegelapan malam.
Buktinya ada di tanganku. Buktinya ada di tanganku.
Dan ia segera menancap gas, menyusuri Fear Street yang
membelok, melewati rumah-rumah tua yang gelap, melewati
pepohonan yang hampir tak berdaun, dan menuju rumah Kimmy.
Beberapa menit kemudian, dengan jantung berdegup-degup,
dan dengan kalung masih dalam genggaman tangannya, ia berdiri di
depan rumah besar bercat putih. Semua jendelanya terang, dan sebuah
Volvo perak diparkir di depan garasi.
Ibu Kimmy membuka pintu. Ia terkejut melihat Corky datang
malam-malam, tanpa menelepon dulu. Tanpa berkata apa-apa, Corky
bergegas melewatinya. Dengan napas tersengal-sengal ia menyerbu ke
ruang baca. Kimmy ada di situ bersama Debra dan Ronnie.
"Hei..." Kimmy berseru ketika Corky masuk.
"Nih!" Corky berteriak menuduh. Ia membuka kepalan
tangannya dan melempar kalung megafon ke wajah Kimmy.
Kimmy tersentak kaget, dan ia membelalakkan mata dengan
heran. Bab 21 Kejutan dari Kimmy "INI buktinya!" seru Corky.
Ronnie langsung berdiri. Debra menatap Corky sambil tetap
duduk di lantai. Di pangkuannya ada sebuah buku tulis.
"Ini buktinya!" Corky kembali berseru kepada Kimmy.
"Kautemukan di mana?" Kimmy bertanya sambil memelototi
Corky. "Kalung ini tertinggal di suatu tempat," balas Corky. Seluruh
tubuhnya gemetaran karena marah.
"Hah?" "Kalung ini tertinggal di suatu tempat, dan sekarang jadi
buktiku!" seru Corky.
"Corky... kau tidak apa-apa?" tanya Ronnie. Ia menghampiri
Corky dan meletakkan tangan di pundak gadis itu.
"Duduk dulu, deh," ujar Debra. Ia menutup buku tulisnya. "Kau
kelihatan kurang sehat."
Corky menepis tangan Ronnie. "Kau ada di sana. Kau ada di
sana waktu Bobbi meninggal," tukasnya ketus sambil menatap Kimmy
dengan pandangan menuduh.
Kimmy membuka mulut tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Ini buktinya!" Corky berkata sambil mengayun-ayunkan
kalung di depan wajah Kimmy.
"Turuti kata Debra," kata Kimmy akhirnya. "Duduklah." Ia
menunjuk ke sofa. "Bicaramu tak karuan, Corky."
"Aku menemukan ini di ruang ganti," ujar Corky tanpa
menggubris ucapan Kimmy. "Pada hari Bobbi meninggal. Aku
menemukannya tergeletak di lantai."
"Corky... ayolah!" Kimmy mendesak. "Duduk dulu, deh. Biar
kuambilkan minuman hangat. Kamu gemetaran seperti daun kering!"
"Jangan alihkan pembicaraan!" Corky menjerit. Ia menyadari
bahwa ia tak dapat menguasai diri, tapi ia tidak peduli. "Ini buktinya,
Kimmy! Ini buktinya! Aku menemukan kalungmu di bawah tumpukan
baju Bobbi." Roman muka Kimmy berubah dari heran menjadi prihatin.
"Corky," ia berkata dengan lembut. "Kalung itu bukan milikku."
Bab 22 Kejutan dari Jennifer "HAH?" Corky mundur selangkah. Roman mukanya mencerminkan
kecurigaan dan rasa tidak percaya.
"Ini bukan milikku lagi," ujar Kimmy sambil menatap kalung di
tangan Corky. "Tapi... tapi..."
"Aku memberikannya kepada Jennifer," Kimmy menjelaskan.
"Benar," Debra cepat-cepat berkata. Ia berdiri sambil
memegang buku tulisnya, dan segera melangkah ke samping Kimmy,
seakan-akan ingin menunjukkan di pihak siapa ia berada. Ronnie
langsung mundur dan bersandar pada kusen jendela. Ia tampak cemas.
"Jennifer?" Corky mengulangi. Tiba-tiba ia seperti jatuh ke
lubang gelap tanpa dasar.
"Kalung ini kuberikan kepada Jennifer. Kira-kira sebulan yang
lalu," kata Kimmy sambil bertolak pinggang. "Sejak dulu dia sangat
menyukainya. Jadi suatu hari, waktu aku bertemu dengannya di
koridor sekolah sebelum pelajaran dimulai, kuberikan saja padanya."
"Tidak," Corky berkeras. "Kau selalu memakainya..."
"Kimmy tidak bohong," Debra membela sahabatnya. "Aku ada
di sana waktu dia memberikannya kepada Jennifer. Jennifer senang
sekali."

Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang sudah bosan memakainya," Kimmy
menambahkan. "Jepitannya gampang terbuka, dan kalungnya selalu
jatuh." Corky menatap Kimmy dengan tajam. Ia tidak bohong, ia tahu.
Tapi itu berarti... "Kau membenci kakakku!" Corky berseru. Ia tak mau percaya
bahwa Kimmy mungkin tidak bersalah.
Kimmy menggelengkan kepala. Ia menoleh ke jendela. "Aku
memang tidak menyukainya, Corky. Tapi aku tidak membencinya.
Aku cuma agak iri padanya."
"Agak?" Corky kembali berseru.
"Oke, oke. Aku sangat iri," aku Kimmy. "Tapi aku bukan
pembunuh! Aku tak mungkin membunuh seseorang hanya karena
urusan cheerleader."
"Jennifer..." Corky tergagap-gagap.
"Jennifer juga bukan pembunuh," kata Kimmy lembut. Ia
menggelengkan kepala. "Kau juga tahu itu, Corky. Jennifer yang
malang..." "Tapi bagaimana dengan ini?" ujar Corky sambil mengamati
kalung di tangannya. "Mungkin jatuh waktu Jennifer memakainya," sahut Kimmy.
"Kalung ini selalu jatuh waktu aku memakainya. Aku kan sudah
bilang, jepitannya gampang terbuka."
Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Corky. Ia menatap
kalung di tangannya seakan-akan tak sanggup mengalihkan
pandangan. Ruangan tempat ia berada mendadak miring, lalu mulai
berputar. Sekali lagi ia serasa jatuh ke lubang yang gelap tanpa dasar.
"Corky!" Kimmy segera meraih lengannya.
"Jennifer tak mungkin ganti baju di ruang ganti," ujar Corky
sambil memejamkan mata untuk menghentikan perasaan bahwa ia
sedang jatuh. "Jennifer selalu ganti baju di rumahnya. Dia tak mau
masuk ke ruang ganti."
"Yeah. Mungkin saja," Kimmy setuju. "Tapi, Corky..."
"Untuk apa Jennifer masuk ke ruang ganti" Untuk apa" Apa
yang dilakukannya di situ?" jerit Corky.
"Corky... stop! Coba tenang dulu!" seru Kimmy.
"Duduklah," Ronnie berkata dari seberang ruangan. "Kimmy,
suruh dia duduk!" "Barangkali kita perlu menelepon orangtuanya," ujar Debra
bersamaan. "Jangan!" teriak Corky. Ia melepaskan lengannya dari
cengkeraman Kimmy. "Jangan! Aku harus bicara dengan Jennifer!
Harus! Aku harus tahu apa sebenarnya yang terjadi waktu itu!"
"Corky... kita telepon orangtuamu saja, deh," kata Kimmy
memohon. "Oke?"
Tapi Corky sudah bergegas keluar dari ruang baca dan berlari
ke pintu depan. Ketiga gadis lain memanggil-manggilnya, dan
memohon agar ia kembali. "Ada apa ini?" ibu Kimmy berseru sambil menyembulkan
kepala dari ruang duduk. Corky berlari melewatinya, lalu keluar ke malam yang dingin
dan gelap. "Corky... kembalilah! Kembalilah!"
"Kembalilah! Kita bicarakan bersama-sama!"
Seruan-seruan yang melengking tinggi itu tak digubris oleh
Corky. Cepat-cepat ia menghidupkan mesin mobil, lalu menyalakan
lampu. Dan kemudian mengarahkan mobilnya ke rumah Jennifer di
North Hills. Ia melewati rumah-rumah yang gelap. Melewati pekarangan
dan hutan penuh pepohonan yang membungkuk dalam kesunyian.
Melewati Shadyside High, yang gelap-gulita kecuali lampu sorot yang
menerangi pintu depan. Rumah Jennifer berada di utara gedung sekolah. Ketika Corky
membelok, cahaya lampu mobilnya menyapu rumah besar bergaya
country itu. Ia menginjak rem dan menghentikan mobilnya di tepi
jalan sebelum mencapai rumah Jennifer. Pandangannya melintasi
pekarangan yang tertata rapi.
Gelap. Semua jendela tampak gelap, semua tirai tertutup rapat.
Corky melirik jam di dasbor. Pukul 23.00.
"Rupanya mereka biasa tidur cepat," katanya kepada dirinya
sendiri. Kemudian ia melihat lampu sebuah mobil yang diparkir di
depan rumah Jennifer dinyalakan.
Corky mengamati mobil tersebut, sebuah Skylark merah.
Mobil itu mulai berbalik arah. Lampu interiornya sempat
menyala sejenak, menerangi gadis yang duduk di dalam mobil.
Itu Jennifer! Corky sadar. Ia langsung terbengong-bengong.
Aku baru tahu bahwa ia sanggup menyetir mobil.
Aku tak menyangka bahwa ia sanggup menggerakkan kaki
untuk menginjak pedal-pedal.
Ia memperhatikan mobil itu menjauh ke arah berlawanan.
Sorot lampu depan mobil Jennifer membuat Corky silau. Ia
bakal berpapasan denganku, ujar Corky dalam hati. Ia pasti akan
memergoki aku. Corky segera menunduk dan menutup wajahnya dengan lengan
jaket. Tampaknya Jennifer tidak melihatnya. Skylark itu
menggelinding perlahan ketika melewati mobil Corky, lalu membelok
ke kanan, ke arah gedung sekolah.
Mau ke mana Jennifer malam-malam begini" Corky bertanyatanya.
Ia memutuskan untuk mengikuti gadis itu, dan cepat-cepat
berbalik arah. Kemudian ia tancap gas dan membelok dengan
kecepatan tinggi. Ia tak ingin kehilangan jejak Jennifer.
Ketika melesat menyusuri Park Drive, Corky segera menyadari
bahwa selain mobil-mobil mereka tak ada kendaraan lain di jalan itu.
Ia mengurangi kecepatan dan berusaha menjaga jarak paling tidak satu
blok dengan mobil Jennifer.
Mau ke mana dia" Ke mana"
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di telinganya.
Bulan purnama mengapung di atas kaca depan mobilnya,
seakan-akan hendak menunjukkan jalan. Seekor tupai melintasi jalan,
berhenti sebentar ketika terkena sorot lampu Corky, lalu kabur ke tepi.
Ketika mengikuti Skylark merah itu dari jarak satu blok, pikiran
Corky kembali ke pertemuannya dengan Kimmy tadi. Tampaknya
Kimmy mengatakan yang sebenarnya mengenai kalung perak itu. Dan
sepertinya ia benar-benar cemas tentang Corky.
Apa artinya" Apakah Jennifer berada di ruang ganti pada sore Bobbi tewas
secara menyedihkan" Bobbi dan Jennifer bersahabat. Tak ada alasan menduga
Jennifer mungkin membunuh Bobbi. Tak ada alasan sama sekali.
Jadi, kenapa Jennifer ada di sana sore itu"
Dan apa yang hendak dilakukannya sekarang"
Corky mengikuti Skylark itu ke Old Mill Road. Dalam cahaya
lampu dari mobil yang berpapasan dengan mereka, Corky melihat
bayangan Jennifer pada kaca belakang mobilnya yang kecil.
Ia menuju ke Fear Street! Corky menyadari hal itu.
Tapi untuk apa" Apakah ia mau ke rumahku"
Pasti bukan. Jennifer bukan temanku. Ia teman Bobbi.
Teman Bobbi. Teman Bobbi. Teman Bobbi.
Kata-kata itu terus berulang sampai kehilangan makna.
Corky semakin bingung. Ia mengikuti mobil Jennifer ke Fear Street. Melewati rumahrumah tua yang kumuh. Melewati reruntuhan kediaman Simon Fear
yang terbakar habis di tengah pekarangan yang dipenuhi alang-alang.
Dan kemudian, tiba-tiba, setelah Fear Street berakhir dan mulai
memasuki hutan lebat, Corky melihat Jennifer menghentikan
mobilnya di tepi jalan dan memadamkan lampu.
Corky segera menginjak rem. Mobilnya berhenti pada jarak
kurang dari satu blok. Ia pun cepat-cepat mematikan lampu.
Kenapa ia berhenti di sini" Corky terheran-heran.
Ia membungkuk agar pandangannya lebih jelas, dan melihat di
mana Jennifer berhenti. Di pemakaman. Di pemakaman Fear Street.
Sambil memicingkan mata, Corky melihat pintu mobil Jennifer
membuka. Ia melihat tangan Jennifer pada pegangan pintu.
Kemudian ia melihat Jennifer turun dari mobil dan menjejakkan
kaki di aspal. "Oh, tak mungkin!" Corky bergumam ketika melihat Jennifer
berdiri. Berdiri. Melangkah menjauhi mobil. Membanting pintu. Lalu berjalan
ke rumput taman pemakaman.
Berjalan. "Tidak mungkin," Corky berkata sekali lagi. Dengan mata
terbelalak ia menatap sosok gelap yang menghilang di balik batu-batu
nisan. "Dia jalan. Dia bisa berjalan. Bobbi benar. Malam itu di depan
rumah Jennifer... Bobbi benar. Dan aku malah menyangka dia sudah
gila." Corky melompat turun dari mobil, dan menutup pintu tanpa
bersuara. Kemudian ia mulai berlari menyusuri trotoar sambil
berlindung dalam bayang-bayang pepohonan besar.
Ia berhenti dan berlutut di balik pohon ek, lalu mengintip ke
tempat Jennifer menghilang.
Kabut tipis menyelubungi pemakaman. Cahaya bulan yang
menembus kabut berbias kehijauan. Bayangan-bayangan tampak
bergoyang-goyang dalam cahaya menyeramkan itu. Batu-batu nisan
seakan-akan berpendar. Corky bersandar pada batang pohon yang dingin dan lembap,
mengamati pemandangan remang-remang di hadapannya. Sekonyongkonyong Jennifer muncul kembali. Ia sedang menari.
Menari dengan gerak aneh, tanpa suara.
Tangannya terangkat tinggi-tinggi di atas kepala, kakinya"kaki
yang oleh semua orang disangka lumpuh"berputar-putar dan
menendang-nendang. Ia menari tango dalam suasana hening, tanpa
kegembiraan. Jennifer mengenakan seragam cheerleader. Roknya yang
pendek terangkat setiap kali ia berputar. Rambutnya yang hitam
melambai-lambai, seolah-olah bernyawa.
Dan apa yang dipegangnya di tangannya"
Corky memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Ternyata kalungnya. Kalung Shadyside yang dihadiahkan pada
Jennifer setelah ia mengalami kecelakaan. Kecelakaan mengerikan
yang membuatnya cacat. Dan kini Jennifer sedang berputar-putar dalam cahaya bulan.
Berputar-putar sambil menendang-nendang. Mengayun-ayunkan
kalungnya. Menari dalam lingkaran kecil. Ia melengkungkan tubuhnya ke
belakang, wajahnya menghadap bulan, dan rambut panjangnya hampir
mengenai tanah. Berputar dan berputar. Mengelilingi sebuah batu nisan.
Jennifer berputar-putar di sekitar batu nisan yang dikelilingi
empat batu nisan lainnya.
Batu nisan Sarah Fear. Sambil mengayunkan kalungnya, ia menendang tinggi-tinggi,
seakan-akan sedang memimpin pawai tanpa suara.
Matanya terpejam, dan cahaya bulan kehijauan memantul pada
wajahnya. Ia membungkuk rendah-rendah sambil menyilangkan kaki
untuk memberi penghormatan kepada bulan. Kemudian ia
menegakkan badan, dan mulai bergerak mengikuti irama yang tak
terdengar, perlahan-lahan, mengelilingi batu nisan. Matanya tetap
terpejam, dan wajahnya dihiasi senyum aneh yang berkesan tenteram.
Corky tidak tahan lagi. Ia muncul dari persembunyiannya di balik pohon, lalu bergegas
ke makam. Sepatu botnya setengah tenggelam dalam lumpur yang
becek. "Jennifer...!" panggilnya. Suaranya terbawa angin. "Jennifer...
ada apa ini?" Bab 23 "Aku Bukan Jennifer"
JENNIFER menghentikan tariannya yang aneh dan membuka
mata. Senyumnya lenyap. Ia menurunkan tangan.
Corky berlari dan berhenti di depan deretan batu nisan pertama.
"Jennifer... sedang apa kau?"
Mata Jennifer memantulkan cahaya bulan yang kehijauan ketika
berpaling ke arah Corky. "Aku bukan Jennifer," katanya dengan suara
parau. "Hah" Jennifer... aku melihatmu menari-nari," seru Corky.
"Aku bukan Jennifer," ulang Jennifer. Ia berdiri tepat di depan
batu nisan Sarah Fear. Dan kemudian ia menjerit, "Aku bukan
Jennifer!" "Jennifer... aku melihatmu." Corky berkeras.
Jennifer tidak menyahut. Ia mengangkat sebelah tangannya
tinggi-tinggi dan melambai-lambaikannya seakan-akan memanggil
seseorang. "Oh!" Corky memekik. Ia menutup wajahnya dengan kedua
tangan ketika rumput di makam Sarah Fear mulai beterbangan dan
tanahnya berhamburan ke segala arah.
Jennifer memutar-mutar tangannya di atas kepala, dan tanah itu
naik seperti tirai gelap, terbang dari makam, terbang tinggi ke langit
hitam. Dan kemudian tanahnya mengelilingi mereka berdua, semakin
lama semakin tebal, sampai Corky tak dapat melihat apa-apa di
baliknya, sampai Corky terpaksa melangkah mendekati Jennifer.
Tirai tanah itu berputar semakin kencang, sampai menjadi
pusaran gelap yang bergemuruh bagaikan angin ribut.
Corky melindungi mata dengan lengannya. Sambil terhuyunghuyung ia melangkah maju, sampai berhadap-hadapan dengan
Jennifer. Tangan Jennifer masih terangkat tinggi-tinggi, seolah-olah
mengendalikan pusaran tanah itu. Matanya bersinar-sinar.
"Jennifer... apa yang kaulakukan" Hentikan! Hentikan!"
Namun permohonan Corky tenggelam dalam gemuruh yang
mengelilinginya. Gemuruh itu mengalahkan semua suara lain,
menghalau setiap pikiran. Bulan maupun langit, deretan makam,
pepohonan, semua tak tampak lagi.
Di dalam pusaran tanah yang gelap, Corky hanya bisa melihat
Jennifer. Mata Jennifer tampak menyala-nyala dengan cahaya
kehijauan, memelototi Corky. Roman mukanya keras, marah, dan
tangannya tetap terangkat tinggi-tinggi.
Mereka berdua terperangkap di dalam badai tanah makam yang
mengerikan itu. Sekonyong-konyong gemuruhnya berhenti, tapi tanahnya terus
berputar-putar di sekeliling mereka. Dan suara Jennifer yang parau,
suara yang belum pernah didengar Corky, memecahkan keheningan.
"Aku bukan Jennifer," ulangnya sambil mendelik ke arah Corky.
"Jennifer sudah mati. Jennifer mati beberapa minggu lalu."
"Apa maksudmu?" seru Corky. Ia memeluk tubuhnya sendiri
seakan-akan hendak melindunginya. "Ada apa ini?"


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jennifer mati dalam kecelakaan bus itu," suara parau itu
berseru. Matanya bersinar-sinar, seolah-olah senang mendengar katakata tersebut. "Dia mati di tengah hujan malam itu. Dia mati di atas
makam Sarah Fear." "Jennifer... apa maksudmu?" Corky kembali berseru. Ia
memandang ke segala arah, mencari jalan untuk kabur. Tapi pusaran
tanah di sekelilingnya tidak memberi peluang untuk melarikan diri.
"Aku menunggu begitu lama, begitu lama," suara parau itu
berkata dengan nada yang semakin rendah karena sedih. "Aku
menunggu begitu lama, lalu Jennifer datang..."
"Aku tidak mengerti," potong Corky. "Aku..."
"Terkubur begitu lama," suara itu melanjutkan. "Terkubur
seratus tahun di dalam tanah bersama Sarah Fear. Menunggu.
Menunggu..." "Kamu... kamu Sarah Fear?" Corky tergagap-gagap, sambil
menatap mata yang menyala-nyala karena marah itu.
"Tak lagi," didengarnya suara itu menjawab.
Corky merinding dan semakin erat memeluk dirinya.
Ini tidak mungkin. Pusaran tanah dari makam tetap menyelubungi kedua gadis itu,
menghalau semua suara, semua cahaya, semua bukti bahwa sisa dunia
masih ada. "Aku... aku tidak mengerti," ujar Corky gugup. "Kau semacam
hantu" Semacam roh jahat?"
Sekali lagi Jennifer tergelak. "Itu pilihan kata yang bagus," ia
menyahut sambil mencibir. Ia menunjuk ke makam. "Hampir seratus
tahun aku menanti di bawah sana, menanti tubuh baru. Lalu Jennifer
datang." "Kumohon...," Corky berkata sambil menurunkan kedua
tangannya, "hentikan semuanya. Biarkan aku pergi, oke?"
Jennifer menggelengkan kepala. Matanya bersinar-sinar
gembira. "Jangan... jangan," Corky memohon. "Biarkan aku pergi. Mau
diapakan aku?" Jennifer tersenyum tipis. "Sekarang giliranmu turun ke sana,"
katanya sambil menunjuk ke makam Sarah Fear.
Bab 24 Masuk ke Peti Mati "JANGAN!" Corky berusaha mengelak. Tapi ia terperangkap
dalam pusaran tanah yang setebal tembok pembatas pekarangan.
Jennifer membungkukkan badannya ke depan, sampai Corky
bisa merasakan panas yang terpancar dari matanya. "Hampir seratus
tahun aku menanti. Tapi sekarang aku hidup di dalam Jennifer, dan
musuh-musuh Jennifer akan merasakan pembalasanku." Sekali lagi ia
menunjuk makam. "Sekarang giliranmu, Corky."
"Tapi kenapa?" Corky berseru. "Aku tidak melakukan apa-apa
terhadapmu." "Tidak melakukan apa-apa" Kau dan kakakmu... dengan wajah
kalian yang sempurna" Tubuh kalian yang sempurna" Hidup kalian
yang sempurna?" "Tapi..." Corky mengalihkan pandangan. Ia berusaha
menghindari panas menyengat yang terpancar dari kedua mata
Jennifer. Jennifer tersenyum getir. "Tapi Bobbi sudah kuberi pelajaran.
Bobbi, dan cowok itu, Chip."
"Kau menakut-nakuti mereka," ujar Corky. Tiba-tiba ia tahu apa
yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa cerita-cerita Bobbi memang
benar. "Kau membuat mereka lumpuh. Dan setelah itu, kau... kau
membunuh Bobbi," Corky berkata dengan suara tercekik.
Jennifer mengangguk, lalu menatap Corky tajam. "Sekarang
giliranmu." "Jangan! Jennifer... tunggu!" Corky memekik.
Roh jahat di dalam tubuh Jennifer tertawa mengejek. Ia
menunjuk ke bawah. "Lihat ke bawah sana, Corky sayang. Lihat
rumah barumu." Corky, yang terlalu takut untuk melawan, menoleh ke bawah.
Jennifer melambaikan tangan, dan semakin banyak tanah
tersedot ke dalam pusaran. Tanah itu terangkat, dan Corky menatap ke
dalam lubang menganga di hadapannya. Ia membelalakkan mata
ketika melihat tutup peti mati yang terbuat dari kayu berwarna gelap.
"Lihat rumah barumu... dan teman barumu!" roh jahat itu
berseru dengan suara paraunya.
"Oh!" desah Corky tertahan ketika tutup peti mati membuka
perlahan-lahan. Ia tak kuasa mengalihkan pandangan.
Di dalam peti mayat, ia melihat kerangka manusia yang sudah
membusuk, dan tengkoraknya yang tanpa mata seolah-olah menatap
Corky sambil meringis. Kerangka itu hidup. Semua tulangnya gemetaran.
Bukan. Corky membelalakkan mata dengan ngeri ketika menyadari
kenapa kerangka itu seperti hidup.
Yang bergerak ternyata belatung, ribuan belatung yang merayap
pada tulang belulang Sarah Fear.
"Oh!" Corky langsung mual. Ia hampir muntah.
Ia memejamkan mata dan membuang muka, tapi pemandangan
ribuan belatung itu tetap terbayang-bayang.
Ia menelan ludah dan berusaha menyingkirkan bayangan
mengerikan tersebut. Tiba-tiba ia mendengar suara-suara. Sayupsayup, namun akrab di telinganya.
Sejenak ia menyangka bahwa itu suara Sarah Fear, yang
memanggilnya dari dalam liang kubur yang menganga.
Tapi kemudian ia mengenali suara Kimmy. Dan mendengar
jawaban Debra. Dan jeritan Ronnie yang ketakutan.
Suara-suara itu terdengar sayup-sayup karena berasal dari balik
pusaran tanah. Mereka pasti membuntuti aku, pikir Corky.
"Teman-temanmu terlambat untuk menyelamatkanmu,"
Jennifer berkata dengan tenang, tanpa terburu-buru. Ia mengangkat
kedua tangannya. "Jangan! Jangan!" teriak Corky. "Kumohon... jangan!"
Tanpa menggubris permohonan Corky, Jennifer mendorongnya
dengan kekuatan luar biasa.
Sambil memekik, Corky terempas ke dalam lubang, menindih
Sarah Fear di peti mati terbuka yang penuh belatung.
Bab 25 Corky Kalah JATUH ke dalam lubang. Ke dalam peti mati yang penuh
belatung. Tapi meskipun Corky dicekam ketakutan, nalurinya tetap
bekerja. Ia mengingat semua gerakan cheerleader yang telah
dilatihnya selama bertahun-tahun, sampai menjadi bagian dari dirinya.
Ia mendarat di atas kedua kakinya. Menekuk lutut untuk
meredam benturan. Lalu bertolak ke atas, melompat tinggi dalam
posisi berdiri. Mengangkat tangan. Meraih tepi lubang kubur ketika
pusaran tanah mulai ambruk menghujaninya. Menarik dirinya keluar
sementara tanahnya kembali mengisi liang lahat.
Sambil terengah-engah, ia merangkak menjauhi lubang,
menjauhi kengerian. Jennifer telah berpaling, berbalik untuk menghadapi ketiga
cheerleader. Masih dibimbing oleh naluri, Corky menerjang Jennifer dari
belakang. Memeluk pinggangnya. Menariknya ke arah lubang kubur
yang menganga. Jennifer berseru dengan suaranya yang parau, dan berusaha
membebaskan diri dari pelukan Corky.
Bendera segi tiga yang selama ini digenggamnya terlepas dari
tangannya. Corky melihatnya jatuh ke lubang kubur, ke tengah-tengah
tulang-belulang dan belatung yang menggeliat-geliat.
Mereka bergulat dan semakin mendekati tepi lubang. Corky
menarik sekuat tenaga. Ia merangkul pinggang Jennifer semakin erat,
berusaha mengempaskannya ke tanah.
Jennifer melawan sambil berteriak marah.
Semakin dekat ke lubang. Semakin dekat ke tepi.
Aku sanggup! pikir Corky. Aku sanggup!
Tapi kemudian Jennifer membalik, dan matanya menyala-nyala
garang. Ia membuka mulutnya lebar-lebar... dan kemudian Corky
diterjang angin berbau busuk.
Jennifer mendongak dan memejamkan mata. Mulutnya
menyemburkan uap yang berbau busuk, bau kematian.
Angin itu menerpa wajah Corky, panas, lembap, dan asam.
Corky tercekik dan memalingkan kepala.
Tapi angin itu terus menyembur dari mulut Jennifer,
menyelubungi wajah Corky dan mencekiknya dengan baunya yang
menyengat dan memuakkan. Aku bakal mati lemas, ia berkata dalam hati.
Aku tak dapat bernapas. Aku bakal mati lemas. Baunya. Baunya
terlalu menjijikkan. Corky sadar bahwa tenaganya mulai terkuras. Ia sadar bahwa ia
di ambang kekalahan. Sekali lagi. Ia menahan napas dan memasang kuda-kuda,
mengerahkan segenap tenaga untuk menarik terakhir kalinya.
Sekarang! katanya dalam hati.
Ia menarik sekeras mungkin, sambil merangkul pinggang
Jennifer erat-erat. Masuk ke kubur! pikir Corky. Jennifer... kembalilah ke dalam
kubur! Tapi Jennifer terlalu kuat.
Angin busuk itu menderu-deru dari mulutnya yang terbuka
lebar. Jennifer bergeming. Celaka, pikir Corky. Bab 26 Terkubur CORKY merasakan tangannya terlepas dari pinggang Jennifer.
Celaka. Aku bakal celaka.
Di tengah-tengah hujan tanah, ia tiba-tiba mendengar teriakan
ketakutan ketiga teman sekolahnya.
Jennifer membelalakkan mata sambil terus menyemburkan
angin busuk dari mulutnya. Ia tahu ia menang. Ia tahu ia berhasil
mengalahkan Corky. Mula-mula Bobbi. Sekarang aku, pikir Corky.
Bobbi. Bobbi. Corky teringat pada kakaknya, dan kemarahannya bangkit
kembali. Sambil berteriak, Corky melompat ke punggung Jennifer dan
mencekik lehernya dari belakang.
Jennifer meronta-ronta ketika Corky mendorong kepalanya ke
bawah. Uap busuk yang keluar dari mulut Jennifer kini menyembur ke
dalam lubang kubur yang menganga. Corky melihat belatung-belatung
di peti mati tertiup-tiup.
"Ya!" ia bersorak ketika menyadari bahwa angin dari mulut
Jennifer mulai melemah. Segala kebusukan masuk ke dalam peti mati.
Dan semakin lama Corky mencekik, semakin ringan pula tubuh
Jennifer. Seringan udara.
Akhirnya anginnya berhenti. Jeiinifer mengerang tertahan dan
anginnya berhenti. "Ya!" Corky bersorak sekali lagi, tanpa mengendurkan
cengkeraman tangannya pada leher Jennifer.
Roh jahat itu mulai meninggalkannya, Corky berkata dalam
hati. Ia merasakan kepergiannya, merasakan tubuh Jennifer
bertambah ringan. Corky melepaskan tangannya.
Jennifer tergeletak di tanah, dalam posisi tengkurap.
Corky memperhatikan peti mati menutup sendiri, mengurung
roh jahat itu di dalamnya.
Tanah masih turun bagaikan hujan deras, mengisi lubang kubur
sampai tertutup kembali. Terkubur. Roh jahatnya sudah terkubur lagi, pikir Corky. Ia
menghirup udara yang sejuk dan wangi, udara yang bersih,
membiarkan udara malam mengisi paru-parunya.
Kemudian ia sadar bahwa ia masih berlutut di tanah.
"Corky!" jerit Kimmy.
Ketiga gadis itu berdiri persis di depan Corky. Ketiga-tiganya
menatap kuburan Sarah dengan ngeri. Mereka melihat semuanya,
mereka menyaksikan setiap detik pertempuran Corky. Kini mereka
mengelilinginya. "Corky... kau tidak apa-apa?" seru Ronnie.
Semuanya menoleh ke arah tubuh Jennifer. Perlahan-lahan
Corky membalikkannya, sehingga wajahnya menghadap ke atas.
"Oh," erang Kimmy.
Ronnie menahan napas dan berpegangan pada Debra agar tidak
jatuh. Di hadapan keempat gadis itu, kulit Jennifer mengering dan
mengerut, lalu terkelupas. Rambutnya yang panjang rontok dan segera
terbawa angin. Matanya mengecil, lalu membusuk dalam waktu
beberapa detik saja. Seragam cheerleadernya seakan-akan bertambah
besar ketika dagingnya pun mengelupas, dan tulang belulangnya
mulai kelihatan. Sebelum Corky sadar apa yang terjadi, ia merasakan tangan
Kimmy merangkul bahunya. "Biarkan saja, Corky," bisik Kimmy.
"Kau sudah aman sekarang. Semuanya bakal beres."
Dan kemudian mereka mendengar suara seorang pria
memanggil dari jalan. "Ada apa ini?"
Berkas cahaya dari beberapa senter menyorot-nyorot. Corky
dan yang lain menatap wajah dua petugas polisi Shadyside yang
memandang mereka curiga. "Ada apa ini" Kami menerima laporan dari seorang warga
bahwa..." Kedua petugas muda itu terbengong-bengong melihat tubuh
yang tergeletak di tanah di samping keempat gadis itu. Tubuh itu
terbungkus seragam cheerleader.
"Ya Tuhan..." "Ini Jennifer," Corky berkata di tengah kebingungannya.
"Jennifer Daly. Saya mengikutinya ke sini. Dia..."
"Hah?" Kedua petugas polisi mengalihkan senter masingmasing dari sosok Jennifer ke wajah Corky. "Anda mengikutinya ke
sini" Anda yakin, Nona?"
"Ya. Saya mengikutinya ke sini. Dia menari..."
"Nona, Anda tidak mungkin mengikuti gadis ini," si petugas
polisi berkata sambil mengamati Corky. "Dia tidak mungkin menari
tadi. Coba perhatikan jenazahnya. Dia meninggal beberapa minggu
lalu!"ebukulawas.blogspot.com
********************** Orangtua Jennifer, yang dibangunkan dan diminta datang ke
kantor polisi, sangat terpukul dan segera menuntut penjelasan.
Tapi tak ada penjelasan yang masuk akal. Tak ada penjelasan
yang dapat diterima akal sehat.
Orangtua Corky juga datang, dan mereka pun terkejut dan
bingung seperti orang-orang lain. Dengan sabar mereka menunggu
selama berjam-jam sementara putri mereka dimintai keterangan. Pihak
polisi berulang-ulang mengajukan pertanyaan yang sama, karena tidak


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puas dengan jawaban yang mereka terima dari Corky dan ketiga gadis
lainnya. "Fear Street," salah satu petugas berkata dengan geram sambil
menggelengkan kepala. "Fear Street..."
Beberapa menit kemudian ia mengizinkan mereka pulang ke
rumah masing-masing. ****************** Ketika Corky menaiki tangga ke kamarnya, kamar yang dulu ia
tempati bersama Bobbi, ia mengenang kakaknya itu.
Bobbi menemui ajal karena kedengkian roh jahat.
Dan kini Corky seorang diri. Kengerian yang dialaminya malam
ini takkan pernah ia lupakan.
Ia menyalakan lampu dan melirik jam di samping tempat tidur.
Pukul 03.00 dini hari. Dengan letih ia menanggalkan pakaian,
membiarkan semua jatuh ke lantai, lalu mengenakan baju tidur.
"Bobbi... aku benar-benar kehilangan kau!" serunya.
Sambil berusaha menahan air mata yang mulai menggenang, ia
memadamkan lampu dan merebahkan diri di tempat tidur.
Bobbi pergi untuk selama-lamanya, ratapnya dalam hati.
Tapi begitu juga si roh jahat.
Roh jahat itu kembali terkubur, terkurung di dalam peti mati,
dua meter di bawah permukaan tanah, dan takkan ada lagi orang yang
akan celaka karenanya. Ia mendesah, kemudian menarik selimutnya sampai ke dagu.
"Hei..." Ada sesuatu di tempat tidurnya.
Sambil memekik tertahan, ia meraih ke bawah selimut, meraih
benda itu, dan menggenggamnya erat-erat.
Ia menyalakan lampu dan menatap benda tersebut. Matanya
berkedip-kedip karena silau.
Benda itu ternyata bendera segi tiga merah-putih dengan nama
Jennifer tertisik di bagian depan.
Corky menatap bendera itu. Berulang kali ia membaca nama
yang tercantum. Kemudian bendera itu terlepas dari tangannya, dan ia mulai
menjerit.END Misteri Elang Hitam 1 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Pemisahan The Separation 3

Cari Blog Ini