Ceritasilat Novel Online

Musibah Kedua 1

Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil Bagian 1


BAGIAN SATU Di mana Roh Jahat itu"
Bab 1 Harapan-harapan yang Terkubur
Kimmy BASS menghentikan mobilnya di persimpangan
Division Street. Dengan kesal dan tak sabar diketuk-ketukkannya
jemarinya pada lingkaran kemudi. "Lampu merah brengsek,"
omelnya. Temannya, Debra Kern, menoleh ke luar jendela dan
memperhatikan cowok berjaket biru yang sedang mengajak anjing
Doberman besar berjalan-jalan di trotoar seberang. "Kenapa sih kau
mesti terburu-buru begini?" ia bertanya sambil menghapus embun di
jendela mobil dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan wol.
"Ya, kau selalu terburu-buru," Ronnie (Veronica) Mitchell
menimpali dari jok belakang
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Kimmy langsung
tancap gas, dan Camry biru mudanya melesat melintasi persimpangan.
"Aku tidak terburu-buru. Aku cuma tidak suka berhenti,"
katanya. Debra menggigil meskipun alat pemanas sudah dipasang pada
posisi high. Ia kurus sekali, tak peduli berapa lapis T-shirt dan sweter
yang dikenakannya, ia tetap saja selalu kedinginan.
Ronnie tampak tenggelam di dalam mantel bulu palsu bekas
milik ibunya, yang menjaganya tetap hangat. Dengan rambut
merahnya yang keriting, hidungnya yang mungil, dan wajahnya yang
penuh bercak-bercak, ia kelihatan seperti anak 12 tahun.
Di luar mobil, angin bertambah kencang dan meniupkan daundaun mati berwarna cokelat melintasi jalanan. Udaranya lebih dingin
daripada biasanya di akhir bulan November. Awan tebal menggantung
rendah di langit sore, pertanda hujan salju bakal turun.
"Sudah ada acara untuk malam Minggu?" tanya Kimmy sambil
membelok tajam ke Old Mill Road. "Bagaimana kalau kita kumpulkumpul?"
Debra menyibakkan rambut pirangnya yang lurus. Matanya
yang biru, yang biasanya sayu, mendadak berbinar-binar. "Lain kali
saja deh. Aku sudah ada janji."
"Hei, dengan siapa?" tanya Ronnie. Ia mencondongkan
badannya melewati sandaran kursi depan agar dapat melihat ekspresi
Debra yang malu-malu kucing.
"Eric Bishop," jawab Debra setelah menunggu sejenak untuk
membuat suasana tegang. Kimmy tampak terkejut. "Hah, Eric" Dia kan pacarnya Cari
Taylor?" Debra tersenyum simpul. "Bekas pacarnya." Ia menorehkan
jarinya pada kaca jendela yang berembun dan membuat gambar
bintang. Ronnie kembali bersandar. "Eric Bishop!" ia berseru. "Wah,
boleh juga." Kemudian ia melonggarkan mantelnya yang kebesaran.
"Tolong kecilkan pemanasnya dong."
Kimmy tak menggubrisnya. "Kau lagi naksir siapa?" tanya Debra pada Kimmy, sambil
membetulkan posisi sabuk pengaman.
"Entahlah," sahut Kimmy lesu. "Sebenarnya tidak ada siapasiapa."
"Kau masih patah hati sama Chip, ya?" tanya Debra. Ia menoleh
agar dapat mengamati wajah Kimmy yang bulat. Di bawah cahaya
lampu jalanan yang mereka lewati, ia melihat temannya itu tersipusipu.
"Hah, yang benar saja!" protes Kimmy sengit "Corky boleh
mengambil dia. Sungguh."
Debra menatapnya dengan tajam. Ronnie bersenandung sendiri
di belakang. "Summpah!" Kimmy menegaskan. "Aku serius. Aku sudah
melupakan Chip. Aku malah senang kami putus."
"Sepertinya Chip memang pengagum Corcoran bersaudara,"
Debra berkomentar. Ia kembali memandang ke luar jendela dan
mengamati rumah-rumah yang melintas di luar. "Dulu Bobbi,
sekarang adiknya, Corky."
Ketika nama Bobbi terdengar, suasana di dalam mobil
mendadak terasa bertambah dingin. Debra hendak memutar tombol
alat pemanas, tapi alat itu ternyata masih terpasang pada posisi high.
"Bobbi begitu cantik," ujar Ronnie sambil termenung-menung.
"Dia cheerleader paling hebat yang pernah kulihat," Debra
menambahkan. "Aku begitu iri padanya," Kimmy mengakui. "Sampai sekarang
aku tetap belum bisa percaya dia sudah meninggal."
"Kasihan Corky," kata Debra sambil merendahkan suaranya.
"Bobbi adalah idolanya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana
rasanya. Maksudku, kalau kakakku yang meninggal, aku pasti..." Ia
tidak meneruskan kalimatnya.
"Corky agak aneh belakangan ini," ujar Kimmy. Pandangannya
tetap terarah pada dua berkas sinar putih sejajar di depannya. "Dia jadi
pendiam sekali." "Aku juga iri pada dia dan kakaknya," Ronnie mengakui.
"Mereka begitu menawan dengan rambut pirang, gigi putih, dan
potongan badan yang sempurna."
"Aku sudah berusaha ramah terhadap Corky," cerita Kimmy.
"Tapi dia terus pasang tampang sedih dan sikapnya sama sekali tidak
ramah. Karena itu kupikir, barangkali kita bertiga bisa..."
"Kita harus membujuk Corky untuk kembali ke tim
cheerleader," tukas Debra. "Rasanya aneh sekali waktu dia berhenti
bulan lalu. Kalau dia langsung berhenti waktu kakaknya meninggal,
itu sih bisa dimengerti. Tapi dia menunggu dulu sebelum
mengundurkan diri." "Kita bisa membantunya supaya dia normal lagi," ujar Ronnie.
"Mudah-mudahan saja dia mau mendengarkan kita."
Kimmy memutar kemudi ke kanan dan membelok ke Fear
Street. Seketika langit berkesan lebih gelap. Angin kencang menerpa
mobil kecil itu. "Sayang waktu jam pelajaran keenam tadi kalian tidak ada di
perpustakaan," kata Debra. "Coba kalau kalian lihat Suki Thomas dan
Gary Brandt. Wah, Suki seperti sedang memberi pelajaran pendidikan
seks kepada Gary. Mereka bahkan tidak mau repot-repot bersembunyi
di antara rak-rak." Suki menciumnya?" tanya Ronnie sambil mencondongkan
badannya lagi ke depan, agar bisa mendengar suara Debra yang
lembut dengan lebih jelas.
"Bisa dibilang begitu. Aku sudah ngeri saja kalau Mrs. Bartlett
pingsan." Ketiga cewek itu tertawa.
Tapi tawa mereka segera terhenti ketika mereka mendekati
Pemakaman Fear Street. Di belakang pagar kayu yang sudah rapuh
dimakan cuaca, tempat yang penuh ilalang itu tampak menanjak dari
jalan. Kabut tipis terlihat mengambang di antara batu-batu nisan yang
miring. "Keluarga Corky seharusnya pindah saja," ujar Debra. Ia
merinding. "Rumah mereka begitu dekat dengan kuburan Bobbi.
Bagaimana mereka tidak akan teringat-ingat terus"!"
"Corky selalu berkunjung ke makam Bobbi," kata Kimmy
sambil menggelengkan kepala.
"Kita harus bicara padanya!" seru Ronnie berapi-api. "Kita
harus menolong dia melupakan Bobbi dan roh jahat...."
"Roh jahat itu belum mati," Debra mendadak berkomentar.
"Aku masih merasakannya."
"Jangan macam-macam, Debra!" ujar Kimmy ketus.
"Aku tahu roh jahat yang membunuh Bobbi masih hidup,"
Debra berkeras. "Jangan bicara begitu!" seru Ronnie.
"Kenapa sih kau membaca buku-buku konyol itu?" tanya
Kimmy. "Cuma buang-buang waktu!"
"Aku mau belajar sebanyak mungkin tentang ilmu gaib," balas
Debra. "Kalian berdua seharusnya juga. Kalian lihat sendiri, kan, apa
yang terjadi malam itu. Kalian ikut ke kuburan dan melihat roh jahat
itu." "Aku melihat Corky melawannya. Dan aku melihat roh jahat itu
kembali ke dalam lubang kubur," sahut Kimmy gusar. "Oh, aku tak
tahu apa yang kulihat. Semuanya seperti mimpi buruk. Aku justru mau
melupakannya. Aku tak mau membaca segala tetek-bengek ilmu
hitam, dan aku juga tak mau mendengar apa pun soal itu."
Debra memutar-mutar kalung kristal yang mulai dipakainya tak
lama setelah pemakaman Bobbi. "Tapi aku bisa merasakannya...," ia
kembali berkata. "Aku tak mau dihantui masa lalu!" kata Kimmy tegas. "Aku
mau..." Tiba-tiba ia terdiam sambil melongo.
Ronnie dan Debra mengikuti pandangan Kimmy melalui kaca
depan yang tetap berkabut. Di tengah kegelapan kuburan, mereka
melihat seseorang di dekat puncak bukit. Tanah di sana agak datar,
dan digunakan untuk beberapa makam baru.
Kabut kelabu merayap di sekeliling kaki sosok itu. Sebelah
tangannya memegang ujung sebuah batu nisan, dan ia menundukkan
kepala seakan-akan sedang berbicara dengan seseorang di dalam
kubur. "Eh, itu Corky," bisik Debra. "Sedang apa dia?"
"Aku kan sudah bilang," ujar Kimmy, sambil mengurangi
kecepatan mobilnya sampai hampir berhenti. "Dia selalu berkunjung
ke kuburan Bobbi." "Tapi dia bisa mati kedinginan!" seru Debra sambil menggigil.
"Klakson saja." Ia hendak menekan klakson, tapi Kimmy menepis
tangannya. "Jangan." "Kenapa?" tanya Debra.
"Membunyikan klakson di kuburan bisa bawa sial."
"Hah, sebenarnya siapa yang percaya takhayul?" gerutu Debra.
Ia memandang ke arah kegelapan.
"Apakah dia melihat kita?" tanya Ronnie.
"Tidak. Dia masih menatap kuburan," jawab Kimmy. Ia
membuka jendela. "Biar kupanggil saja."
Ia menyembulkan kepala dari jendela dan memanggil-manggil
Corky. Tapi suaranya berbalik akibat tiupan angin dari depan.
"Dia tidak mendengarmu," kata Debra sambil menatap sosok
Corky yang kelihatan seperti patung di tengah-tengah deretan batu
nisan. Kimmy menutup jendela. Ia mengerutkan kening, dan pipinya
tampak merah. Ia mengusap rambutnya yang hitam, matanya terus
memperhatikan sosok Corky di antara batu-batu nisan.
"Bagaimana sekarang?" bisik Ronnie.
Debra kembali memutar-mutar kalung kristalnya sambil
memandang ke arah Corky. "Entahlah," jawab Kimmy. "Aku juga tidak tahu."
******************* Tanpa menyadari sedang diperhatikan, Corky Corcoran
bersandar pada batu nisan Bobbi yang terbuat dari granit. Wajahnya
basah air mata yang keluar tanpa bisa dicegah. Air mata tanpa tangis
itu seakan merupakan kata-kata yang ia ucapkan kepada kakaknya
yang telah tiada. "Mestinya aku tidak ke sini terus," ujar Corky sambil
membungkuk dan menyandarkan sebelah tangannya pada batu nisan.
"Aku tahu itu. Kadang-kadang aku merasa seperti ditarik ke sini.
Hampir seperti dipaksa."
Angin menderu-deru di antara pepohonan yang tumbuh di bukit
landai itu. Tapi Corky tidak memedulikan dinginnya udara.
"Kalau saja aku bisa tidur nyenyak," katanya. "Kalau saja aku
bisa tidur tanpa bermimpi. Aku terus dihantui mimpi buruk yang
menakutkan, Bobbi. Mimpi yang begitu menakutkan. Tentang malam
mengerikan di kuburan ini. Ketika aku melawan roh jahat itu."
Ia mendesah dan mengusap air mata dengan kedua tangannya.
"Rasanya aku masih terus melawannya, Bobbi. Aku masih terus
melawannya walaupun aku sudah mengirimnya kembali ke dalam
kubur." Corky menempelkan wajahnya yang panas ke granit yang
dingin. "Bobbi, kau bisa mendengarku?" tiba-tiba ia bertanya.
Seakan-akan hendak menjawab, tanah mulai bergoyang.
"Bobbi?" seru Corky. Ia langsung menegakkan badan karena
kaget. Seluruh bukit bergetar. Batu-batu nisan di sekelilingnya tampak
terguncang-guncang. "Bobbi?" Sebuah retakan muncul di tanah. Retakan lain membentuk garis
patah-patah bagaikan petir.
Di bawah tatapan Corky yang ternganga kaget, tanah di kubur
Bobbi mendadak terbelah. Retakan itu bertambah lebar.
Semakin lebar. Sebuah tangan yang kurus kering muncul ke permukaan.
Potongan-potongan daging tampak menempel pada lengan yang
menyusul tangan itu. Tangan kedua menerobos ke permukaan. Bau menyengat mulai
menyebar, menusuk-nusuk hidung Corky.
Tangan-tangan itu berpegangan pada tepi retakan, menariknarik dengan keras sampai sebuah kepala muncul, kemudian sepasang
bahunya. "Bobbi!" Corky menjerit ngeri ketika kakaknya yang sudah
meninggal itu bangkit dari liang kubur.
Bab 2 Ada yang Mengintai "BOBBI?" Corky menyebutkan nama itu sambil berbisik serak, suaranya
seakan tersangkut di tenggorokan. Ia menahan napas.
Ketika melihat kakaknya yang telah meninggal itu bangkit di
hadapannya, Corky mundur terhuyung-huyung. Ia menabrak batu
nisan Bobbi dan nyaris terjengkang.
"Bobbi!" serunya sambil berlutut di tanah yang beku.
Kakaknya bergerak maju sampai berdiri tepat di depan Corky.
Kemudian ia menatap Corky dengan matanya yang cekung. Kulit
wajahnya tampak biru kehijauan, terkelupas di sana-sini. Rambutnya
yang pirang dan lurus berlumur lumpur dan ranting-ranting.
"Ooh!" Corky mengerang ngeri. Seluruh tubuhnya gemetaran
karena ketakutan. Almarhumah kakaknya terus melotot, sementara angin
berputar-putar dan tanah terguncang-guncang.
"Ada apa, Bobbi?" seru Corky dengan suara tertahan. Ia
menatap sosok kakaknya yang sudah mulai membusuk. Ia tidak tega
melihat apa yang terjadi dengan Bobbi, tetapi tak sanggup
mengalihkan pandangan. "Ada apa, Bobbi" Kenapa kau bangkit dari kubur" Kau mau
memberitahukan sesuatu padaku?"
Corky begitu ketakutan, begitu terkesima melihat penampilan
Bobbi yang mengerikan, sehingga ia tidak tahu pasti apakah
pertanyaan-pertanyaan itu diucapkannya keras-keras atau hanya dalam
hati. Ia menatap wajah hijau bermata cekung di hadapannya. Mulut
Bobbi mulai membuka perlahan. Bibir yang hitam dan pecah-pecah
itu tampak bergerak-gerak, seolah-olah hendak mengatakan sesuatu.
Namun suaranya tak kunjung terdengar.
"Bobbi, ada apa?" tanya Corky. "Apa yang mau kauceritakan


Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padaku?" Bibir hitam itu membuka semakin lebar.
Mata yang cekung itu berputar ke atas.
Angin berderu-deru dengan kencang.
Corky menatap Bobbi tak berkedip. Ia begitu ketakutan
sehingga tak sanggup berdiri, tak sanggup bergeser sedikit pun.
Bibir Bobbi membuka lebih lebar lagi, dan seekor cacing
gemuk berwarna cokelat menggeliat keluar dari mulutnya.
"Tidaaaaaak!" Jeritan Corky yang melengking seakan-akan berputar-putar
terbawa angin. Ia menutup mata dengan kedua tangannya dan menundukkan
kepala, berusaha mengendalikan rasa mual yang tiba-tiba menyerang.
Beberapa detik kemudian ia kembali mengangkat dagu sambil
mengedip-ngedipkan mata. Napasnya terengah-engah.
Bobbi sudah lenyap. Langit yang hitam tak lagi tertutup awan. Bulan memancarkan
cahayanya yang lembut. Angin pun telah berhenti.
Suasana di pemakaman menjadi hening. Sunyi senyap.
Tanah di makam kakaknya tidak retak maupun terbelah.
Tidak ada apa-apa, Corky menyadari. Semuanya cuma mimpi.
Mimpi buruk mengenai Bobbi.
Aku ketiduran, Corky berkata dalam hati.
Aku bersandar pada batu nisan Bobbi, dan aku ketiduran.
Belakangan ini aku selalu letih sekali. Setiap malam aku tidak
bisa tidur. Aku tak pernah bisa tidur nyenyak sampai pagi karena
selalu dihantui mimpi buruk.
Ya. Aku ketiduran. Ia menatap tanah yang gelap dan keras. Semuanya pasti cuma
mimpi, pikirnya. Tanah yang bergoyang, batu-batu nisan yang
terguncang-guncang. Tangan kurus kering yang muncul dari retakan
di tanah. Sosok kakaknya yang aneh, hijau, membusuk, berlumuran
lumpur dan serangga. Semuanya hanya mimpi yang mengerikan.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Corky pada dirinya sendiri.
"Apa yang harus kulakukan untuk menghentikan mimpi-mimpi buruk
ini?" Ia kembali berpaling ke batu nisan dan merendahkan suaranya
untuk berbicara dengan Bobbi. "Untuk sementara aku takkan
mengunjungimu," katanya lirih. "Paling tidak, aku akan berusaha
untuk tidak datang ke sini."
Angin mulai bertiup lagi, membelai-belai pepohonan di sekitar
pemakaman. Corky seperti mendengar bisik-bisik di sekelilingnya.
"Aku bukannya mau melupakanmu, Bobbi," sambung Corky
sambil terisak. "Tapi aku... aku masih hidup, dan aku harus..."
Sekonyong-konyong ia terdiam. "Maafkan aku. Aku jadi
bingung sekali. Aku pulang dulu. Sekarang sudah larut, dan aku
kedinginan." Bobbi lebih kedinginan lagi, terlintas dalam benak Corky.
Pikiran suram itu membuatnya merinding. ebukulawas.blogspot.com
"Bobbi, aku benar-benar..."
Ia terdiam dan memekik tertahan.
Di balik sebuah tugu marmer yang tinggi ada sesuatu yang
bergerak. Tupai" Bukan. Tak ada tupai sebesar itu.
Corky memandang ke kegelapan, dikelilingi suara bisik-bisik
yang tak terputus. Samar-samar ia melihat sosok gelap berjongkok di
balik tugu. Sebuah tangan bergerak, lalu cepat-cepat ditarik kembali.
Sebuah kepala, dengan wajah terlindung bayang-bayang, tampak
menyembul, tapi seketika menghilang lagi.
Ada orang, Corky menyadari.
Aku diintai orang. Bisik-bisik di sekelilingnya semakin keras ketika angin
bertambah kencang. Tanpa disadarinya Corky sudah berlari menuruni bukit. Dengan
napas tersengal-sengal ia bergegas di antara deretan batu nisan.
Berulang kali ia nyaris terpeleset ketika sepatu ketsnya menginjak
rumput yang basah dan daun-daun mati berwarna cokelat.
Tanpa mengurangi kecepatan, Corky menoleh ke belakang.
Dan melihat orang itu mengikutinya.
Seorang pria, atau mungkin pemuda tanggung. Ia memakai
sweter bertudung gelap yang menutupi kepalanya.
Ia berlari dengan kencang sambil tersengal-sengal. Uap
napasnya tampak mengepul-ngepul.
Corky hanya bisa melihat sebagian wajah orang itu. Sebagian
hidung dan matanya. Mata yang menyorot tajam. Mata yang
memancarkan kemarahan. Mata kelabu, begitu pucat sehingga nyaris
tak berwarna. Mata yang menyerupai mata hantu.
Tolong! Corky hendak berseru, tapi ia hanya bisa terengahengah sambil berusaha lari secepatnya.
Suara langkah orang itu terdengar jelas di belakangnya. Begitu
dekat. Ataukah yang ia dengar itu degup jantungnya"
Siapa orang itu" Kenapa dia mengintaiku" Kenapa dia
mengejarku" Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat kepalanya pening
sewaktu ia berlari menembus kegelapan. Ke arah jalan. Ke Fear
Street. Rumahnya tinggal satu blok lagi.
Sanggupkah ia mencapainya"
Corky sudah hampir sampai di jalan.
Ia berlari dengan kencang. Pinggangnya serasa ditusuk-tusuk.
Suara langkah tadi terus mengikutinya.
"Aduh!" Corky memekik ketika kakinya tersandung sebuah batu nisan
pendek. Rasa nyeri segera menjalar. Ia kehilangan keseimbangan dan
terjerembap ke onggokan daun basah
Bab 3 "Kembalilah" "CoRKY!" Mula-mula, ia tidak mengenali suara itu.
"Corky!" Ia mengangkat kepala, lalu bergegas bangkit. Dengan panik ia
menepis-nepis daun-daun basah yang menempel di bagian depan
mantelnya. "Hei, Corky!" Suara itu berasal dari arah jalan. Dari mobil kecil berwarna biru
di sisi trotoar. "Kimmy!" ia berseru. "Oh, Kimmy!"
Kimmy berlari menyambutnya. Gadis itu membelalakkan mata
karena cemas. Di belakang Kimmy, Corky melihat Debra dan Ronnie
turun dari mobil. "Dia... dia mengejarku!" seru Corky tersengal-sengal. Ia
langsung berhenti. Kimmy segera merangkul pundak Corky. "Ada apa, Corky?"
"Ada apa sih?" tanya Ronnie setelah menghampiri mereka.
"Dia mengejarku!" Corky berbalik dan menunjuk ke belakang.
Tak ada siapa pun. Pria bertudung itu tidak kelihatan.
Lenyap. Ataukah semuanya hanya mimpi buruk"
Seluruh tubuh Corky gemetaran. Pinggangnya sakit. Mata
kakinya terasa berdenyut-denyut akibat membentur batu nisan tadi.
Mimpi buruk lagi" Hanya halusinasi"
"Kami akan mengantarmu pulang," ujar Kimmy sambil tetap
merangkul Corky. "Ayo, Corky, kau ikut kami saja," desaknya dengan
lembut. "Di sini dingin sekali!" seru Ronnie sambil menggosok-gosok
lengannya. Debra diam saja. Pandangannya tertuju pada batu-batu nisan
yang malang-melintang di bagian lama makam. Roman mukanya
keras, penuh konsentrasi. Ia meraih kalung kristal yang melingkar
pada lehernya, dan sambil tetap menatap batu-batu tua itu, ia komatkamit, seakan-akan sedang membaca mantra tanpa bersuara.
"Debra, ayo!" Suara Kimmy membuyarkan konsentrasi Debra.
Ia berbalik, menyusul teman-temannya ke mobil sambil termenungmenung.
Tak lama kemudian Kimmy sudah menghentikan mobilnya di
samping rumah tua keluarga Corcoran. Dimatikannya mesin.
Keempat gadis itu berlari kecil ke teras depan. Corky repot
mencari kunci rumah sebelum akhirnya berhasil membuka pintu.
Semuanya masuk. "Brrrrr!" Debra menggigil dan mengentak-entakkan kaki.
"Debra, dinginnya tak seberapa kok," gerutu Kimmy.
"Yaaaai!!" Tiba-tiba seseorang menyergap mereka sambil berteriak.
"Sean, jangan macam-macam," Corky menegur adik lakilakinya.
"Kalian takut, kan?" tanya Sean sambil menyeringai, dan mata
birunya tampak berbinar-binar. Dengan rambutnya yang pirang dan
lurus serta tulang pipi yang tinggi, ia kelihatan seperti Corky kecil
yang lebih alim. "Kami lagi tidak mau ditakuti-takuti," ujar Kimmy sambil
menggantungkan mantelnya pada pagar tangga.
"Kau mau main Nintendo?" tanya Sean sambil menarik-narik
lengan Kimmy. "Nintendo?" "Yeah. Aku punya Mega Man II."
"Jangan sekarang deh," jawab Kimmy.
"Sebentar saja," Sean berkeras sambil menarik Kimmy ke
tangga. Kimmy berpaling kepada Corky dan menatap dengan
pandangan tak berdaya. "Sean, jangan ganggu teman-temanku," kata Corky ketus.
"Kami tidak bisa bermain-main denganmu sekarang." Ia mengintip ke
ruang duduk. "Mom dan Dad ke mana?"
Dengan berat hati Sean melepaskan lengan baju Kimmy. "Ke
sebelah." "Masuk, yuk." Corky mengajak ketiga temannya ke ruang
duduk. "Aku ke dapur dulu, ya. Aku mau bikin susu cokelat panas
untuk kita." "Wah, boleh juga!" ujar Debra sambil menggosok-gosok
bahunya. Rupanya ia masih kedinginan.
"Aku benci susu cokelat," Sean menjelaskan tanpa ditanya.
"Sean, cepat!" seru Corky. Ia menunjuk ke tangga. "Ayo, naik.
Sekarang." "Huh, brengsek," balas Sean. Kata itu digunakannya seratus kali
dalam sehari. Ia menjulurkan lidah kepada kakaknya, kemudian
berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.
Corky menyalakan lampu baca di samping sofa kulit yang
menempel pada dinding. Cahaya pucat menerangi ruang duduk yang
didominasi oleh warna hijau dan cokelat dalam berbagai corak.
"Sebentar, ya," ia berkata kepada yang lain. Tapi kemudian ia
berhenti di ambang pintu. "Sedang apa kalian di sana tadi" Maksudku
di kuburan." Debra langsung menatap Kimmy. "Ehm..."
"Kami mencarimu," Kimmy menjelaskan. "Kami mau ke
rumahmu. Tapi kami berhenti waktu melihatmu... ehm..." Tampaknya
ia enggan menyelesaikan kalimat itu.
Corky tersipu-sipu. "Aku berkunjung ke kuburan Bobbi.
Kadang-kadang aku pergi ke sana."
Kimmy, Debra, dan Ronnie tak tahu harus menjawab apa.
Suasana menjadi hening dan kaku.
"Aku masak air dulu," kata Corky, lalu bergegas meninggalkan
ruangan. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam benaknya ketika ia
mengisi ceret. Ia bertanya-tanya kenapa ketiga cheerleader itu
mendatanginya. Corky jarang berkumpul dengan mereka sejak ia mengundurkan
diri dari tim cheerleader. Mereka selalu bersikap ramah sekali padanya
kalau kebetulan berpapasan di sekolah. Tapi sebenarnya sudah
berminggu-minggu Corky tidak mengobrol dengan mereka.
Sekonyong-konyong terdengar suara aneh.
Corky mengintip ke luar dari jendela dapur. Dua ekor kucing
sedang berkejar-kejaran di pekarangan belakang yang tertutup
dedaunan yang berguguran. Corky jadi teringat bagaimana ia tadi
dikejar-kejar oleh pria bertudung dan bermata kelabu tadi. Ia bergidik,
lalu cepat-cepat kembali kepada teman-temannya.
Kimmy dan Debra masing-masing duduk di ujung sofa. Kimmy
mengetuk-ngetuk lengannya dengan gelisah. Debra duduk sambil
berpangku tangan. Ronnie berdiri di dekat jendela. Sambil bertolak pinggang ia
memandang ke arah jalan. Ketika mendengar Corky kembali, ia
langsung berbalik. "Rasanya aku sudah mulai lebih hangat," katanya.
Corky menuju ke kursi besar yang menghadap sofa. Tapi
sewaktu ia duduk, terdengar bunyi memalukan dari bawah jok.
"Sean!" serunya kesal. Ia langsung berdiri, meraih ke bawah
bantalan kursi, dan mengeluarkan bantal "oh-oh" merah jambu milik
Sean. Ketiga temannya tertawa. "Keluargaku memang suka iseng," Corky menjelaskan sambil
geleng-geleng kepala. Ia mencampakkan bantal yang telah kempis itu.
"Adikmu lucu," ujar Debra sambil melipat kaki.
"Mau dibawa?" Corky menawarkan. Ia kembali duduk di
kursinya. Ronnie pindah ke depan sofa dan duduk di karpet sambil
menyilangkan kaki. "Corky, bagaimana keadaanmu?" Kimmy akhirnya bertanya
dengan nada prihatin. "Aku baik-baik saja," sahut Corky cepat-cepat. Ia tak berani
menatap mata Kimmy. "Kau nonton pertandingan semalam?" tanya Ronnie.
"Tidak." Corky menggelengkan kepala.
Hening lagi. Corky berdeham. Iringan musik permainan Nintendo terdengar
dari kamar Sean di atas. "Sebenarnya kalian ada perlu apa sampai mencariku ke rumah?"
tanya Corky. "Kami ingin kau masuk tim cheerleader lagi," Ronnie langsung
menjawab. "Yeah. Untuk itu kami datang ke sini," Kimmy menegaskan
sambil menatap mata Corky.
"Bagaimana, ya?" balas Corky. Ia menggelengkan kepala, lalu
menepis beberapa helai rambut yang menutupi pandangannya.
"Tim kita benar-benar membutuhkanmu," kata Kimmy.
"Semuanya jadi lain tanpa kau."
"Ya, rasanya tidak sama," tambah Ronnie dengan sungguhsungguh.
"Aku senang kalian datang ke sini," ujar Corky sambil
menundukkan kepala. "Tapi..."
Ia mendadak teringat bagaimana keadaannya waktu Bobbi
masih ada. Ia ingat Kimmy marah sekali ketika Bobbi diangkat
sebagai kapten tim cheerleader. Ia ingat bagaimana Kimmy berusaha


Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghasut anak-anak yang lain untuk menentang Bobbi.
Kini Kimmy telah menggantikan Bobbi sebagai kapten. Bobbi
telah tiada, sedangkan Kimmy berhasil memperoleh yang diidamidamkannya. Jadi kenapa mereka memohon-mohon agar Corky
bergabung kembali" "Coba saja dulu," desak Kimmy.
"Yeah. Kau bisa ikut latihan beberapa kali," Ronnie
mengusulkan, sambil memutar-mutar cincin berbatu mata kucing di
jari telunjuknya. "Kita jujur saja deh," balas Corky. "Kalian semua membenci
Bobbi dan aku." Ucapannya yang blak-blakan membuat suasana membeku
seketika. Sejenak Kimmy dan Ronnie tampak terbengong-bengong.
Debra menelan ludah. "Keadaannya sudah berubah," Kimmy akhirnya berkata.
Kemudian ia menambahkan, "Sejak malam itu."
Debra meletakkan tangan di pangkuannya. Ia memandang ke
luar jendela, dan wajahnya tampak semakin pucat.
"Rasanya kita semua sudah berubah," lanjut Kimmy sambil
merendahkan suaranya. "Yang jelas, aku berubah."
Corky menghela napas tapi tidak mengata-kan apa-apa.
"Aku juga ada di sana malam itu," kata Kimmy dengan sengit.
"Aku juga melihat roh jahat itu. Aku melihat tanah yang terbang dari
kuburan tua. Aku... aku tidak bisa melupakan semuanya itu."
"Aku juga," Ronnie menimpali. "Sampai sekarang aku masih
dihantui mimpi buruk."
"Aku juga," bisik Debra.
"Aku berubah gara-gara kejadian itu," Kimmy menjelaskan
sambil terus menatap Corky. "Aku memang tidak kehilangan kakak
seperti kau, tapi aku berubah. Dulu aku sering kesal sendiri. Dan kau
benar, waktu itu aku memang benci padamu dan Bobbi. Aku tidak
selangsing atau secantik dan sehebat kalian. Tapi setelah malam
mengerikan di kuburan, aku tidak terlalu peduli tentang hal-hal seperti
itu. Aku sadar betapa rapuhnya hidup kita. Aku sadar bahwa..."
"Kejadian itu membuat kita berpikir tentang apa yang benarbenar penting," tukas Ronnie. "Aku sendiri juga berubah."
"Begitu juga kau," Kimmy memberitahu Corky. "Kami semua
melihatnya. Dan kami mengerti."
Debra mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Karena itu kami pikir ada baiknya untukmu kalau kau masuk
tim cheerleader lagi," ujar Ronnie. "Kami benar-benar ingin
membantu." "Kita seharusnya berteman," kata Kimmy. "Kita telah
mengalami peristiwa yang mengerikan bersama-sama. Kita
seharusnya sekarang berteman."
Corky menatap mereka satu per satu.
Ia menyadari bahwa mereka tidak pura-pura. Mereka
bersungguh-sungguh. Mereka datang ke sini karena rasa persahabatan,
karena mereka peduli padanya.
Mereka benar-benar sudah berubah.
Corky mendadak ingin melompati meja dan memeluk ketigatiganya. Tapi akhirnya ia hanya berkata sambil terbata-bata, "Kalian...
baik sekali, mau datang ke sini. Maksudku, karena mau mengajakku
bergabung lagi. Aku akan memikirkannya. Sungguh."
"Bagaimana kalau kau datang ke tempat latihan seusai
sekolah?" desak Kimmy. "Kalau belum mau ikut berlatih, kau bisa
nonton saja." "Ehm..." Corky berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri
jendela sambil menyilangkan tangan.
"Penampilan tim kita kurang bersemangat tanpa kau," kata
Ronnie sambil memperhatikan Corky melintasi ruangan.
"Tempatmu juga belum diisi orang lain," tambah Kimmy.
"Kami benar-benar berharap kau mau kembali."
"Thanks," ujar Corky. Ia sangat terharu.
Ia memandang ke luar jendela... dan tersen-tak kaget. "Ohh! Dia
ada di luar!" Pria bertudung dengan mata kelabu yang aneh"rupanya ia
menguntit Corky ke rumahnya.
Sementara Corky membelalakkan mata dengan ngeri, orang itu
melintasi pekarangan depan, bergegas menghampiri rumah.
Bab 4 Roh Jahat Masih Hidup "ADA apa, Corky?"
Begitu melihat Corky berdiri mematung dengan mata terbelalak
ngeri di jendela, Kimmy dan Ronnie langsung berdiri dan bergegas
menghampirinya. Ronnie segera menyusul.
"Dia... dia ada di sini!" seru Corky tertahan. Ia menunjuk ke
tengah-tengah pekarangan.
Kimmy merangkul bahu Corky dan menggiringnya menjauhi
jendela. Kedua temannya merapatkan wajah mereka ke kaca dan
mengintip ke luar. "Ha?" "Mana?" "Dia ada di luar!" Corky berkeras dengan suara bergetar. "Dia
menatapku dengan matanya yang seperti mata hantu."
"Di luar tidak ada siapa-siapa," ujar Debra sambil menempelkan
kedua tangannya mengelilingi mata untuk menghalau pantulan cahaya
lampu yang menyilaukan. "Aku juga tidak lihat apa-apa," Ronnie menandaskan. "Cuma
ada daun-daun yang tertiup angin."
"Hei, di ujung jalan mobil ada dua ekor kucing," kata Debra. Ia
berbalik dan menatap Corky. "Barangkali kucing itu yang kaulihat."
"Tidak!" jawab Corky tegas sambil menggelengkan kepala.
"Aku melihatnya. Sumpah! Dia ada di luar. Dia berjalan di rumput
menuju rumah." "Hmm, sekarang dia sudah pergi," komentar Ronnie. Ia melirik
Kimmy sambil mengerutkan kening.
Corky menarik napas lega. "Dia pasti kabur karena kalian
muncul di jendela," ia menyimpulkan.
"Kurasa begitu," ujar Debra ragu-ragu.
"Yeah, kurasa begitu," Ronnie membeo.
Mereka tidak percaya, pikir Corky sedih. Mereka tidak percaya
aku melihatnya. Mereka pikir aku mengada-ada.
Aku sendiri tidak yakin aku percaya, tambahnya kemudian.
Ia merinding, lalu kembali ke sofa.
"Kami pulang dulu deh," ujar Kimmy sambil menuju pintu
depan. "Seharusnya setengah jam yang lalu aku sudah sampai di
rumah." "Aku juga," kata Ronnie. Ia memaksakan senyum untuk Corky.
"Terima kasih karena kalian mau datang ke sini," ujar Corky. Ia
agak salah tingkah karena ucapannya terdengar begitu kaku. "Untung
saja kalian mampir. Orang itu..."
Sekali lagi Ronnie dan Kimmy bertukar pandang. Corky sempat
melihatnya. Mereka tak percaya padaku, katanya dalam hati. Pasti mereka
pikir aku mulai gila. Dengan waswas ia melirik lewat jendela depan, seakan-akan
takut kalau pria bertudung itu sedang menatapnya dari luar.
Tapi jendela itu ternyata gelap dan kosong.
Kimmy dan Ronnie telah mengenakan mantel masing-masing.
"Ini bulu palsu, ya" Wah, keren juga!" Corky mengusap-usap
lengan mantel Ronnie. "Kau suka" Berdua juga masih muat kok," Ronnie berkelakar.
"Hei, kau tidak ikut?" seru Kimmy pada Debra, yang masih
berdiri di ambang pintu ruang duduk.
"Kalian duluan deh. Aku masih mau mengobrol sebentar
dengan Corky," jawab Debra. Ia berpaling kepada Corky. "Kalau kau
tidak keberatan." "Boleh saja," ujar Corky sambil tersenyum kepada Debra.
"Nanti aku pulang jalan kaki saja," kata Debra kepada Kimmy.
"Aku bisa mengantarmu naik mobil," Corky menawarkan.
"Hmm, oke deh, Corky, tolong pikirkan yang kukatakan tadi,"
kata Kimmy sambil membuka pintu depan. "Datang saja ke tempat
latihan, ya?" "Aku akan memikirkannya. Sungguh," balas Corky.
Mereka saling mengucapkan selamat malam, kemudian Kimmy
dan Ronnie melangkah ke luar.
Corky mengikuti Debra kembali ke ruang duduk. Kedua-duanya
menuju ke sofa. Sorot lampu mobil Kimmy sempat menyapu dinding,
kemudian lenyap. Debra menyilangkan kaki dan duduk bersandar. "Bagaimana
keadaanmu, Corky" Sebenarnya sudah lama aku mau datang ke sini."
"Rasanya sih, baik-baik saja," jawab Corky, yang duduk di
lengan sofa yang berjauhan dengan Debra.
"Bukan itu. Maksudku, keadaanmu sebenarnya," balas Debra
sambil menatap Corky. Matanya yang biru mendadak berbinar-binar.
"Bagaimana keadaanmu sebenarnya?"
"Tidak begitu baik," Corky mengakui. "Rasanya berat sekali.
Kau juga ada malam itu, Debra. Kau pasti juga merasakannya."
Debra mengangguk muram. "Kimmy dan Ronnie pikir aku
mulai tidak waras." Tangannya meraih kalung kristal yang melingkar
pada lehernya. "Mereka pikir aku sinting karena aku sekarang tertarik
pada ilmu hitam. Tapi aku tidak bisa melupakan yang telah terjadi."
Corky memaksakan tawa. "Kurasa kita semua jadi agak aneh."
Debra tidak tersenyum. "Mereka melarangku menceritakan ini
kepadamu, tapi aku tidak bisa diam saja. Mereka memaksaku
bersumpah agar aku tidak menceritakannya, tapi aku tak peduli. Aku
harus memberitahu kau, Corky."
Corky menuju ke jendela, berbalik, lalu bersandar pada dinding.
"Apa yang harus kauceritakan padaku, Debra" Jangan misterius begitu
dong." "Roh jahat itu masih ada di sini," kata Debra tegas. Matanya
mendadak redup, seakan-akan seseorang mematikan lampu di dalam
dirinya. Corky terbengong-bengong. Ia tak sanggup mengucapkan
sepatah kata pun. Debra bergeser-geser gelisah di sofa.
Musik menyebalkan dari permainan Nintendo di lantai atas
seolah bertambah keras. "Kau ada di sana, Debra," bisik Corky akhirnya. "Kau
melihatku melawan Jennifer yang malang. Kau melihat roh jahat yang
keluar dari mulutnya. Kau melihat roh jahat itu masuk ke peti mayat
Sarah Fear, lalu terkubur lagi. Kau melihat semuanya itu, Debra."
Debra mengangguk. Pandangannya tetap melekat pada mata
Corky. "Aku melihatnya. Tapi aku tahu roh jahat itu tidak mati,
Corky. Kau tidak membunuhnya. Percayalah padaku. Roh jahat itu
masih di sini." "Tapi, Debra, mungkin..."
Corky tidak tahu harus berkata apa. Kimmy dan Ronnie
benar"Debra memang agak aneh. Dari dulu ia sudah pendiam,
bahkan menjurus dingin. Tapi sekarang, dalam posisi duduk tegak
dengan kaki terlipat, dengan pakaian serba hitam dan wajah yang
pucat berkesan kaku seperti topeng, Debra tampak benar-benar
menakutkan. "Kimmy dan Ronnie tidak percaya padaku," ujar Debra sambil
mengatupkan tangan seolah-olah hendak berdoa. "Tapi aku benar,
Corky. Roh jahat itu masih berkeliaran. Aku bisa merasakan
kehadirannya. Sekarang ini" di rumah ini!"
"Debra, sudah!" seru Corky. Ia menjauhi jendela, kembali ke
sofa, dan berhenti beberapa inci di depan Debra. "Buku-buku yang
kaubaca. Soal voodoo dan ilmu hitam..."
"Aku belajar," balas Debra dengan nada membela diri. "Aku
tidak asal bicara, Corky." Sekonyong-konyong ia meraih tangan
Corky. "Selama ini kita bukan teman dekat. Aku tahu aku tak pernah
bersikap ramah terhadapmu, atau terhadap kakakmu. Tapi kita harus
berteman sekarang. Kita harus saling percaya."
Tangan Debra panas sekali.
Corky langsung menarik tangannya.
Debra membiarkan tangannya jatuh ke pangkuannya.
Corky duduk di sofa di samping Debra. "Kita harus melupakan
yang telah terjadi," Corky mendengar suaranya sendiri.
Debra menggeleng sambil mengerutkan kening. "Tidak. Kita
tidak boleh melupakannya sementara roh jahat itu masih berkeliaran."
"Mungkin ada baiknya kalau kau berhenti membaca buku-buku
itu," kata Corky lembut. "Kita semua telah melewati pengalaman yang
mengerikan. Tapi sekarang kita harus melanjutkan hidup kita. Kita
harus memaksa diri. Aku tahu itulah sebabnya Kimmy dan Ronnie
minta aku bergabung lagi dengan tim cheerleader."
"Kau tidak mendengarkanku," Debra berkeras. "Roh jahat itu
masih hidup. Kau tidak membunuhnya, Corky. Selama roh jahat itu
masih ada, kita tidak bisa melanjutkan hidup kita. Kau harus percaya
padaku!" "Debra, tanganmu panas sekali. Kau demam, ya?" tanya Corky.
Bunyi melengking memotong percakapan mereka.
"Oh, ya ampun! Airnya sudah mendidih!" Corky langsung
bergegas ke dapur. "Biarkan saja. Aku banyak membaca soal roh-roh zaman dulu,"
ujar Debra. "Aku..."
"Rasanya kita perlu minuman hangat," tukas Corky. "Tunggu
sebentar, ya!" Ia bergegas meninggalkan ruangan, tapi kata-kata Debra terus
terngiang-ngiang di telinganya.
Kasihan Debra, pikir Corky. Kelihatannya ia juga bingung
seperti aku. Ia kelihatan begitu pucat, begitu tegang... begitu rapuh.
Apa yang bisa kukatakan padanya" tanya Corky dalam hati
setelah mematikan kompor. Apa yang ingin didengarnya dariku"
Aku tidak percaya roh jahat itu masih hidup. Aku melihatnya
terkubur waktu itu, dengan mata kepala sendiri.
Aku melihatnya. Kita semua melihatnya.
Tapi bagaimana kalau Debra benar" Bagaimana kalau roh jahat
itu memang masih berkeliaran di sini"
Bagaimana kalau begitu"
Jangan-jangan Debra cuma berusaha menakut-nakutiku, Corky
mendadak mulai curiga. Jangan-jangan ia cuma mengarang cerita
supaya aku tidak kembali ke tim cheerleader.
Tidak. Debra percaya pada apa yang dikatakannya. Kelihatan
kok, dari roman mukanya, dari kengerian yang tercermin di matanya.
Corky mengambil dua cangkir dari lemari dan memandang ke
luar jendela. Apa itu" Sepertinya ada orang di pekarangan belakang.
Ia mengamati kegelapan di luar, tapi ternyata tidak ada apa-apa.
Oh, aku cuma salah lihat, ia menyimpulkan. Ia memasukkan susu dan
cokelat bubuk ke cangkir sambil terus memandang ke luar jendela.
"Hei, Corky?" panggil Debra dari ruang duduk.
"Sebentar!" balas Corky. "Tinggal tuang air panas!"
Ia mengangkat ceret dari kompor dan membawanya ke cangkircangkir di meja.
Ketika ia sampai di meja, tangannya tiba-tiba naik sendiri.
Di luar kehendaknya, tangan kanannya mengangkat ceret yang
mengepul-ngepul ke atas tangan kirinya.
"Hei!" serunya.
Ia mencoba menurunkan tangan dan berusaha untuk menaruh


Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceret. Menjauhkannya dari tangan kirinya.
Tapi tangannya tidak mau menurut.
Ia tak sanggup mengendalikannya.
Dan tangan kirinya pun tidak mau dipindahkan dari meja.
"Ada apa ini" Ada apa denganku?"
Tangan kanannya mulai memiringkan ceret untuk menuangkan
isinya. Uap tampak mengepul-ngepul. Kemudian air yang baru saja
mendidih mulai tumpah ke tangan kirinya.
"Tolong! Aduh!"
Ia tak mampu menurunkan ceret, tak kuasa menjauhkan tangan
kirinya dari air yang panas.
"Tolong! Tolong!" pekiknya.
Air panas itu mengenai punggung tangannya dan bercipratan
sampai ke lengan. "Aku tak bisa menghentikannya! Aku tak bisa
menghentikannya!" Tangannya terus tersiram air panas.
Pedihnya tak tertahankan.
Dan Corky tak dapat berbuat apa-apa selain menjerit.
Bab 5 Bangkit dari Kubur "DIA ada di atas, di kamarnya," Sean memberi tahu Chip.
Chip menggantungkan jaketnya yang bertulisan Shadyside High
di pagar tangga, lalu menurunkan lengan sweternya. "Tidak apa-apa
kalau aku naik?" ia bertanya.
Sean meniup permen karetnya sampai menyerupai balon besar
sebelum menjawab, "Naik saja. Kimmy juga ada di atas."
Chip mengerutkan kening. Ia memandang ke puncak tangga.
Sebenarnya ia enggan bertemu Kimmy. Sudah dua bulan berlalu sejak
ia putus dengan Kimmy dan mulai berkencan dengan Bobbi Corcoran.
Tapi Kimmy masih juga bersikap dingin dan membuatnya merasa
tidak enak kalau mereka kebetulan bertemu. Setiap kali berpapasan di
sekolah, Kimmy membuang muka dan tidak menggubrisnya.
"Bagaimana keadaan Corky" Sudah mendingan?" tanya Chip
pada Sean, sekadar untuk mengulur-ulur waktu.
Sean mengangguk sambil melepaskan permen karet yang
menempel di pipinya. "Yeah, sudah lumayan. Tapi dia belum boleh
main gulat." "Sayang sekali," ujar Chip terkekeh-kekeh. Ia sedang berusaha
memutuskan apakah ia perlu naik atau tidak. "Mungkin lebih baik
kalau nanti saja aku ke sini lagi," katanya kepada Sean.
"Itu kau, ya, Chip?" suara Corky terdengar dari atas.
Mati aku, pikir Chip. "Hai!" ia berseru, kemudian melewati Sean untuk menaiki
tangga. Ia berhenti di ambang pintu kamar Corky. Gadis itu duduk di
pinggir tempat tidur sambil memangku tangannya yang terbalut
perban. Kimmy berdiri di depan lemari pakaian, sedang
mengancingkan mantelnya. "Apa kabar nih?" tanya Chip sambil tersenyum lebar.
"Sudah jauh lebih baik," jawab Corky sambil balas tersenyum.
Chip menghampiri Corky, lalu membungkuk untuk mencium
pipinya. Setelah kematian Bobbi, ia dan Corky menjadi dekat sekali.
Corky menemukan bahwa Chip bisa diajak bicara, tentang kakaknya,
tentang kesedihannya, tentang ketakutannya. Dan setelah beberapa
waktu, hubungan mereka berkembang menjadi lebih dari sekadar
teman. Penampilan Chip memang di atas rata-rata. Wajahnya ramah,
badannya jangkung dan tegap. Kali ini ia mengenakan sweter wol
tebal berwarna biru dan hijau, yang membuatnya kelihatan kekar dan
berbahu lebar. Seperti biasa, rambutnya yang cokelat tidak disisir.
"Jadi tanganmu sekarang sudah tidak sakit?" tanyanya kepada
Corky. "Anggap saja tak ada orang lain. Aku sudah mau pulang kok,"
tukas Kimmy getir. "Oh, hai, Kimmy," sapa Chip sambil mencoba bersikap biasa
saja. Ia tidak menoleh. Ia tidak ingin melihat kekesalan yang tercermin
pada wajah Kimmy. "Terima kasih atas kunjunganmu," kata Corky kepada Kimmy.
"Dan terima kasih karena kau mau membawakan PR-ku."
"Sampai ketemu hari Senin," ujar Kimmy. Ia segera berbalik
dan meninggalkan kamar Corky.
Begitu Kimmy pergi, Chip langsung maju dan memeluk Corky
dengan erat. "Aduh. Pelan-pelan dong. Tanganku!" seru Corky.
"Hei, ada apa ini?" sebuah suara dari ambang pintu menegur
mereka. "Tidak ada apa-apa," sahut Corky cepat-cepat.
Sean memelototinya. "Katanya kau belum bisa main gulat.
Kenapa kau main gulat sama dia?" Ia menuding Chip.
"Kami bukan main gulat," balas Corky sambil tertawa.
"Sekarang pergilah."
"Tidak mau." Jawaban klise dari Sean.
"Ayo, sana!" Corky berkeras.
Sean menjulurkan lidah. Juga salah satu tanggapan klise.
Chip tertawa. Corky langsung menyikutnya. "Jangan ditanggapi. Nanti dia
malah tambah konyol," gerutunya, kemudian mendelik ke arah
adiknya. "Ayo, pergi!"
"Oke," kata Sean sambil cemberut. "Aku pergi." Sean mulai
meninggalkan kamar, tapi berbalik ketika sampai di ambang pintu.
"Tapi jangan gulat-gulatan lagi, hmm?"
Ia menghilang, dan Corky mendengarnya menuruni tangga.
"Adikmu lucu," komentar Chip sambil tertawa.
"Aku lebih suka adik yang penurut," balas Corky. Ia kembali
duduk di tepi tempat tidur.
Chip duduk di sebelahnya. "Tanganmu benar-benar sudah lebih
baik?" "Yeah. Tapi masih suka perih. Kapan-kapan coba deh,
berpakaian dengan sebelah tangan!" Ia memaksa dirinya tertawa.
"Senin besok aku sudah masuk sekolah lagi," ia memberitahu Chip.
"Istirahat seminggu sudah cukup. Aku sudah bosan di rumah terus."
Chip hendak mengatakan sesuatu, tapi telepon di meja di
samping tempat tidur mendadak berdering. Corky langsung
mengangkatnya. "Oh. Hai. Yeah. Nanti kutelepon lagi, ya?" ia berkata sambil
memegang gagang telepon dengan tangan kanan. "Chip baru saja
datang. Oke. Bye." Ia meletakkan gagang telepon. Secara kebetulan ia melihat
bayangan dirinya di cermin di meja rias, lalu merapikan rambutnya
yang pirang dengan tangannya yang tidak cedera.
"Siapa itu?" tanya Chip. Ia berbaring di tempat tidur sambil
menggunakan kedua tangan untuk menyangga kepala.
"Debra," jawab Corky. "Dia menelepon setiap sore sekarang.
Sejak tanganku tersiram air panas dan dia berlari ke sebelah untuk
memanggil orangtuaku. Mungkin dia merasa ikut bertanggung jawab."
"Dia masih ngotot roh jahat itu yang menyebabkan tanganmu
tersiram air panas?" tanya Chip sambil mengerutkan kening.
Corky berjalan ke jendela dan memandang ke pekarangan
belakang di bawah. Matahari sore telah berada di balik pohon-pohon,
sehingga cahayanya menimbulkan bayang-bayang panjang pada
dedaunan gugur yang berserakan di rumput.
"Jangan mengejek Debra," katanya setengah berbisik.
"Hei, sorry," sahut Chip cepat. "Belakangan ini dia memang
agak aneh. Orang sering mengalami kecelakaan sepertimu. Mungkin
kau kurang kuat menggenggam ceret itu, dan airnya tumpah ke
tanganmu. Dan..." "Tidak!" sergah Corky sengit. "Itu bukan kecelakaan." Ia
memutuskan untuk memberitahu Chip bagaimana kejadian
sesungguhnya. Chip langsung duduk. Ia tampak heran. "Jadi kau percaya
ceritanya?" ia bertanya, dan suaranya naik beberapa oktaf.
"Aku tidak perlu percaya ceritanya," balas Corky dengan ketus.
"Aku ada di sana. Aku tahu apa yang terjadi. Aku merasakan
kehadiran roh jahat itu, Chip. Aku merasakan bagaimana kekuatannya
membuatku lumpuh. Roh jahat itu memaksaku menuangkan air panas
ke tanganku. Memaksa!"
"Oke. Oke. Sorry," gumam Chip. Ia tidak suka bertengkar
dengan Corky. Ia hampir selalu mundur teratur atau mengalihkan
pembicaraan. "Pria bermata kelabu itu tidak muncul lagi, kan?"
tanyanya. "Tidak," ujar Corky. Dengan kesal ia menggelengkan kepala.
"Kimmy dan Ronnie yakin aku cuma mengada-ada. Setiap kali aku
mau menunjuk dia, dia langsung menghilang. Begitu saja." Corky
menjentikkan jari. "Aneh," komentar Chip. Ia tidak tahu apa lagi yang bisa
dikatakannya. "Jadi kau..."
"Aku belum pernah cerita, tapi aku sempat bicara dengan
psikiater," potong Corky. Ia kembali ke tempat tidur dan duduk di
samping Chip. "Oh ya?" "Di rumah sakit," Corky menjelaskan, "waktu aku memberitahu
dokter di ruang gawat darurat bagaimana tanganku sampai terkena air
panas, mereka langsung memanggil psikiater untuk bicara denganku.
Mungkin mereka ingin tahu apakah aku sengaja menuangkan air itu."
Ia memutar-mutar bola matanya.
Kemudian roman muka Corky menjadi lebih serius. Sambil
bicara, ia merapikan seprai di tempat tidur dengan tangannya yang
tidak terbalut perban. "Orangnya masih muda. Ramah sekali. Namanya Dr. Sterne.
Mayra Barnes pernah beberapa kali berkonsultasi dengan dia."
Chip tampak terkejut. "Mayra" Dia berkonsultasi dengan
psikiater" Dia kan orang paling normal di Shadyside High!"
"Dia cerita bahwa dia tiba-tiba mulai jalan-jalan sambil tidur
beberapa tahun yang lalu," ujar Corky. "Dr. Sterne ini banyak
membantu dia mengatasi masalahnya."
"Jadi apa saran Pak Dokter untukmu?" tanya Chip.
"Kauberitahu dia tentang roh jahat itu?"
Corky mengalihkan pandangannya ke jendela, menghindari
tatapan Chip. "Ehm, sebenarnya... tidak."
"Hah?" "Aku enggan membicarakannya dengan dokter itu," Corky
mengakui. "Maksudku, aku belum siap. Aku tidak mau dia sampai
menyangkaku gila. Aku cuma cerita Bobbi meninggal dan
sebagainya...." "Terus, apa katanya?" tanya Chip lagi.
"Dia bilang aku harus kembali ke kehidupan normal. Dia bilang
aku sudah mengalami cobaan berat. Tapi aku harus berhenti
memikirkan masa lalu. Aku harus melupakan semuanya dan
meneruskan hidupku." Corky meraih tangan Chip dan
menggenggamnya dengan erat. "Dia penuh pengertian."
"Apa yang dimaksudnya dengan kehidupan normal?" tanya
Chip. "Tidur cepat, bangun pagi, dan sebagainya?"
"Jangan konyol. Maksudnya, aku harus menjalankan hidupku
seperti sebelumnya"sebelum Bobbi meninggal dan roh jahat itu..." Ia
terdiam. "Aku lagi pikir-pikir untuk kembali ke tim cheerleader."
"Bagus!" seru Chip gembira.
"Paling tidak bisa kucoba dulu," ujar Corky sambil terus
memegang tangan Chip. "Kimmy dan Ronnie terus mendesakku,
jadi..." "Bagus sekali!" kata Chip sambil meremas tangan Corky.
"Aku mau bergabung lagi karena dua alasan," ujar Corky
dengan serius. "Aku sadar aku harus mulai membiasakan diri tanpa
Bobbi. Bergabung lagi dengan regu cheerleader bakal membuatku
sibuk. Mudah-mudahan saja itu bisa membantuku melupakan masa
lalu." "Dan alasan kedua?" tanya Chip.
"Aku harus menemukan roh jahat itu," jawab Corky sambil
menatap mata Chip. "Dia kembali lagi. Pasti ada orang yang
dikuasainya. Mungkin seseorang yang kukenal."
"Hah" Kenapa kau begitu yakin?" ujar Chip.
"Karena dia ada di rumahku malam itu," bisik Corky. Ia
menundukkan kepala. "Aku harus menemukannya sebelum dia
membunuh lagi." Chip mengerutkan kening tetapi diam saja.
Corky mengangkat dagu. "Aku mau minta tolong," katanya
pelan-pelan. "Yeah?" Chip menatapnya waswas. "Ada apa?"
"Kau bisa menemaniku ke pemakaman sehabis makan malam
nanti?" tanya Corky dengan nada memohon.
"Hah?" Chip mengusap rambutnya yang tebal dan acak-acakan.
"Antarkan aku, ya" Aku mau ke kuburan Bobbi. Sekali ini saja.
Aku sudah berjanji dalam hati takkan sesering dulu pergi ke sana.
Tapi aku mau menceritakan keputusanku kepada Bobbi. Soal kembali
ke tim cheerleader."
Chip mendesah. "Jangan deh," katanya lembut.
Corky meremas tangannya. "Ayo dong, Chip."
"Ini bukan ide baik, Corky," sahut Chip sengit. "Kau sendiri
bilang psikiater itu menyuruhmu kembali ke kehidupan normal. Nah,
pergi ke kuburan hampir setiap hari tidak bisa dibilang normal.
Menurutku lebih baik kau tidak ke sana."
Corky bersandar pada Chip dan menempelkan pipinya ke pipi
pemuda itu. "Ayo dong!" ia memohon. "Untuk terakhir kali. Aku
janji." Ia membiarkan pipinya menempel pada pipi Chip. Pemuda itu
menoleh. Corky menciumnya dengan lembut.
Akhirnya ia melihat wajah Chip telah melunak.
"Oke. Oke. Sehabis makan malam kuantar kau ke sana." Dan
setelah itu ia menambahkan, "Apa sih yang bisa terjadi?"
******************* Udara malam itu termasuk hangat untuk awal Desember.
Ribuan bintang tampak di langit yang hitam pekat. Pemakaman Fear
Street diterangi cahaya purnama.
Karena pemakaman itu berjarak hanya sekitar satu blok dari
rumah Corky, ia dan Chip berjalan kaki ke sana. Chip membawa
senter"kalau-kalau cahaya bulan kurang terang"dan mengayunayunkannya sambil melangkah.
Corky bertanya tentang pertandingan basket Sabtu kemarin,
pertandingan pemanasan pertama sebelum musim kompetisi dimulai.
Chip bercerita mengenai pemain center tim lawan yang berulang kali
melakukan slam-dunk, padahal ia pemain paling pendek di lapangan!
Corky lalu bercerita bagaimana Sean memasukkan zat pewarna
makanan ke bubur kentang tepat sebelum makan malam.
Kedua-duanya sengaja tidak menyinggung apa yang tengah
mereka lakukan dan ke mana mereka sedang menuju. Mereka bersikap
seakan-akan mereka hanya berjalan-jalan, bukannya berkunjung ke
Pemakaman Fear Street agar Corky dapat berbicara dengan
almarhumah kakaknya yang tak bisa ia lupakan.
Mereka berbelok dari trotoar, melintasi bagian makam lama,


Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melewati deretan batu nisan rendah yang keropos. Senter di tangan
Chip menerangi ilalang di hadapan mereka.
Corky berhenti dan meraih lengan Chip ketika dua mata
memantulkan cahaya senter. Seekor kucing berbulu putih muncul dari
balik sebuah batu nisan. Kucing itu mengeong, lalu berlari menjauh
dan menghilang dalam kegelapan.
Corky terus memegang lengan Chip dan mengajaknya menaiki
bukit, ke bagian makam yang lebih baru, di tempat datar yang
ditumbuhi rumput dan dikelilingi pohon. "Lewat sini. Kita sudah
hampir sampai," bisiknya.
Chip mendadak berhenti. Corky pun menghentikan langkahnya dan menoleh. Cahaya
senter di tangan Chip terarah pada sebuah batu nisan baru yang masih
putih mulus. Makam Jennifer Daly. Corky mendesah dan menarik lengan sweter Chip. Setiap kali ia
melewati makam itu, berbagai kenangan mengerikan bangkit dalam
dirinya. Ia tidak ingin hal tersebut terjadi sekarang. Ia tidak ingin
memikirkan Jennifer yang malang maupun roh jahat yang sempat
menguasainya. Ia ingin menceritakan keputusannya kepada Bobbi, lalu segera
pergi. Ia ingin melupakan kengerian itu. Melupakan kenangan yang
menghantui dirinya. Paling tidak, ia akan berusaha melupakan semuanya.
Sekonyong-konyong ada suara dari arah jalan, dan Corky
langsung menoleh. Ternyata hanya sebuah mobil yang kebetulan
lewat. Ketika menoleh kembali ke bagian pemakaman lama, ia melihat
batu nisan miring berusia seabad yang diterangi cahaya bulan. Corky
segera mengenalinya. Dikelilingi empat makam lain, batu nisan Sarah
Fear yang sudah lapuk dimakan waktu dan cuaca tampak berdiri
membisu. Di atas makam Sarah Fear-lah Corky melawan roh jahat pada
malam yang mengerikan itu. Di atas makam Sarah Fear-lah ia
berjuang dan menang"dan memaksa roh jahat tersebut meninggalkan
tubuh Jennifer Daly dan kembali ke dalam makam, untuk selamalamanya.
Paling tidak, itu yang disangkanya selama ini.
Tapi ternyata roh jahat itu tidak sudi terperangkap di dalam
liang lahat. Roh jahat itu telah muncul kembali.
Entah di mana. Corky bergidik. Aku tak mau memikirkan soal itu sekarang.
Tidak. Tidak. Tidak. "Lewat sini," kata Corky sambil berpaling ke arah lain. Dengan
langkah panjang ia menuju batu nisan kakaknya. Sisa-sisa bunga yang
dibawakan Corky minggu lalu kini masih ada, namun telah
mengering. Corky mendadak kedinginan. Ia memasukkan tangan ke
kantong jaket dan berbalik menghadap Chip. Pemuda itu sedang
bersandar pada pohon sambil menyilangkan tangan di depan dada dan
memandang langit. Mungkin ia tak mau mengganggu, pikir Corky.
Ia berpaling ke arah batu nisan kakaknya. "Ini aku, Bobbi,"
katanya dengan suara rendah. "Untuk sementara aku takkan
berkunjung lagi. Paling tidak, aku akan berusaha tidak ke sini.
Hidupku harus kembali normal dulu. Aku tahu kau juga menginginkan
itu." Corky terdiam sejenak. Ia melirik ke arah Chip yang masih
memandang langit, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku
cuma mau menceritakan keputusan yang kuambil. Moga-moga ini
keputusan yang tepat. Aku memutuskan bergabung lagi dengan tim
cheerleader. Masalahnya begini, Bobbi..."
Corky berhenti. Ia mendengar sesuatu. Ia berbalik dan menatap
ke lereng bukit. Seketika ia menahan napas.
Ia berdiri seperti patung.
Dan dengan ngeri ia membelalakkan mata ketika seorang
wanita muncul dari makam Sarah Fear.
Bab 6 Lima Kematian Misterius ebukulawas.blogspot.com KETIKA wanita itu muncul dari kegelapan, suara Corky
seakan-akan tersangkut di tenggorokan. Akhirnya ia berhasil
memanggil nama Chip. Chip menoleh sambil mengerutkan kening, Corky langsung
menunjuk. Apakah Chip juga akan melihat wanita itu" Ataukah Corky
kembali dikelabui oleh matanya sendiri"
Corky mendadak dihantui kecemasan. Jangan-jangan ia
memang mulai gila" Betulkah ia melihat wanita itu muncul dari
makam Sarah Fear" "Hei!" seru Chip. Rupanya ia pun melihatnya.
Baru sekarang Corky sadar bahwa ia menahan napas, segera
saja ia mengembuskan udara dari paru-parunya.
"Oh, hai!" sahut wanita itu.
Berkas cahaya dari senter Chip menerangi wajah wanita itu
ketika ia berjalan ke arah mereka. Ia masih muda dan penampilannya
biasa saja. Rambutnya hitam lurus, dibiarkan terurai sehingga
menutupi kerah jas hujannya.
Ia mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari
sinar senter. "Kalian mengagetkan aku!" serunya. "Aku tak sadar ada
orang selain aku di sini."
Chip menurunkan senter dan menunggu sampai Corky
menyusul. "Kau juga mengagetkan kami," ujar Chip, ia dan Corky
menghampiri wanita itu. "Kupikir kau hantu atau sebangsanya," kata Corky sambil
berusaha agar nadanya terdengar seperti bergurau.
Wanita muda itu tidak tersenyum. "Aku sedang
mendokumentasi batu-batu nisan di sini," jelasnya. Suaranya parau,
dan terkesan lebih tua dari penampilannya. "Kalian ke sini supaya bisa
berduaan saja?" Tanpa menunggu jawaban, ia berlutut di depan batu nisan Sarah
Fear, lalu tiarap untuk meneruskan pekerjaannya.
"Oh!" pekik Corky tertahan. Wanita muda itu berbaring persis
di tempat Jennifer Daly meninggal.
Stop! Stop! Stop! seru Corky dalam hati. Jangan ingat-ingat itu
lagi! Tapi bagaimana ia tidak teringat kalau wanita itu berbaring di
tempat yang persis sama"
"Sedang apa kau?" ia bertanya. Suaranya sengaja dikeraskeraskan untuk mengusir kenangan mengerikan tersebut.
"Sudah kubilang"aku sedang mendokumentasi batu-batu nisan
di sini," jawab wanita itu. Ia menempelkan selembar kertas pada batu
itu, lalu menggosok-gosoknya dengan kapur hitam. "Di sini banyak
batu nisan yang bagus-bagus. Beberapa di antaranya benar-benar unik.
Dan sebagian besar bercerita banyak mengenai zaman dulu."
Setelah selesai menggosok-gosok, ia berdiri dan memeriksa
hasil pekerjaannya. Dengan wajah puas ia menggulung kertasnya,
kemudian tersenyum kepada Corky. "Sebenarnya aku lega juga tidak
sendirian," katanya ramah. "Kuburan ini punya reputasi yang
mengagumkan." "Yah, memang," balas Corky singkat.
"Aku mahasiswa S2. Aku sedang melakukan penelitian
mengenai sejarah Shadyside." Ia mengulurkan tangan kepada Chip.
"Namaku Sarah Beth Plummer."
Chip dan Corky bersalaman dengannya dan memperkenalkan
diri. Kelihatannya cukup ramah, pikir Corky. Hanya saja suaranya
terlalu tua untuk wajahnya. Corky menaksir usia Sarah Beth sekitar 20
tahun. "Kau tahu siapa Sarah Fear?" tanya Corky sambil menatap batu
nisan di hadapan mereka. Sepertinya pertanyaan itu mengejutkan Sarah Beth; ia
memicingkan mata dan menggelengkan kepala. "Aku cuma tahu
sedikit. Dari studi literatur yang kulakukan. Namanya muncul
beberapa kali dalam artikel di koran-koran lama. Tapi aku tahu dia
meninggal secara misterius."
"Oh" Masa sih?" tanya Corky dengan sungguh-sungguh, dan
nada suaranya naik beberapa oktaf. "Apa yang terjadi dengannya?"
Sarah Beth merapatkan kerah jas hujannya. Ia menggigil.
"Udaranya mulai dingin, ya?" katanya sambil melirik ke jalan. "Kau
benar-benar tertarik pada Sarah Fear?"
"Yeah," Corky langsung menyahut. Ia menatap Chip seakanakan hendak mendesaknya untuk mengatakan sesuatu.
"Ehm... aku juga," ujar Chip dengan patuh, lalu merangkul
pundak Corky. "Hmm, di Hawthorne ada kedai kopi kecil," balas Sarah Beth
sambil mengancingkan jas hujan. "Namanya Alma's. Tempatnya tidak
jauh dari sini. Kita bisa jalan kaki. Anak-anak college suka nongkrong
di situ." "Aku tahu tempatnya," kata Chip. "Cuma beberapa blok dari
sini." "Kalau kalian mau," Sarah Beth meneruskan, "kita bisa pergi ke
sana dan pesan minuman hangat. Aku akan menceritakan segala
sesuatu yang kuketahui tentang Sarah Fear."
"Oke," ujar Chip sambil melirik kepada Corky.
"Boleh saja," Corky menyetujui.
Tapi kemudian terbayang kembali dalam benaknya bagaimana
Sarah Beth muncul dari makam Sarah Fear tadi, lalu ia mengerutkan
kening. Aku cuma mimpi, katanya dalam hati. Sama seperti aku mimpi
Bobbi bangkit dari kubur.
Lalu, setelah menatap batu nisan kakaknya untuk terakhir kali,
ia berbalik, mengikuti Chip dan Sarah Beth.
******************* Hanya berjalan beberapa menit saja, mereka sudah sampai di
restoran di pojok Hawthorne dan Old Mill Road. "Kalian lihat rumah
di sebelah sana itu?" tanya Sarah Beth sambil menunjuk rumah kecil
di seberang jalan. "Aku tinggal di situ. Tempatnya memang tidak
mewah, tapi cukup nyaman."
Kedai Kopi Alma's ternyata kecil, tapi nyaman juga. Sebuah
meja layan memanjang di dinding kanan. Di sepanjang dinding kiri
terdapat deretan meja dan kursi berlapis vinil merah.
Empat remaja di sebuah meja dekat pintu masuk sedang
mengobrol dengan gaduh. Selain mereka hanya ada dua pria berambut
putih yang tengah minum kopi di meja layan.
Sarah Beth memilih meja paling belakang. Corky dan Chip
duduk berhadapan dengannya. Sarah Beth memesan teh, sementara
Corky minta cokelat panas. Chip memesan Coke dengan es krim
cokelat. Mula-mula suasananya terasa kaku. Corky sampai heran kenapa
ia mau ikut dengan wanita yang sama sekali tak dikenalnya itu. Sarah
Beth cukup ramah, tapi Corky mempunyai perasaan tidak enak,
semacam kecurigaan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
"Kenapa kau bekerja sampai malam-malam begini?" tanyanya
kepada Sarah Beth. Sarah Beth kembali memicingkan mata, seakan-akan tidak suka
mendengar pertanyaan itu. "Oh, seharusnya aku sudah selesai dari
tadi, tapi seperti biasa aku telat," ia menjawab sambil mengaduk
tehnya. Penjelasan itu masuk akal, tapi Corky tetap merasa ada yang
tidak beres. "Oh! Sorry!" Sendok es krim Chip terlepas dari tangannya dan
jatuh ke kursi. Ketika hendak meraihnya, ia tanpa sengaja menyenggol
tangan Corky. Pekik kesakitan Corky mengejutkan Sarah Beth.
"Tanganku... ehm... tersiram air mendidih,"
Corky menjelaskan sambil memperlihatkan tangannya yang
dibalut perban. Sarah Beth terus menatapnya. Sejenak Corky merasa Sarah
Beth tahu bagaimana tangannya sampai terkena air panas.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Jangan curiga terus, Corky menegur dirinya sendiri.
"Tolong ceritakan soal Sarah Fear," ia mendesak Sarah Beth.
"Aku benar-benar ingin tahu."
Sarah Beth menghirup tehnya, lalu menaruh cangkir di meja. Ia
meraih tempat gula yang terbuat dari aluminium. "Oke, tapi aku
sendiri tidak tahu banyak tentang dia," kata Sarah Beth sambil
menuangkan gula. "Tidak banyak informasi mengenai dia. Anehnya, sebagian
besar justru menyangkut kematiannya, bukan hidupnya.
"Dia menikah dengan cucu Simon Fear, seorang pria misterius
yang pindah ke Shadyside dan membangun rumah besar di balik
hutan, jauh dari orang-orang lain di..."
"Bekasnya masih ada di seberang kuburan," tukas Chip sambil
menyendok es krimnya. "Kuburan itu belum ada sewaktu Simon membangun
rumahnya," balas Sarah Beth. "Mula-mula dia tinggal seorang diri di
sana. Kemudian ada yang membangun pabrik di daerah ini. Tidak
lama setelah itu, dewan kota membuat jalan melintasi hutan, tepat di
sebelah rumah Simon. Jalan itu lalu diberi nama Fear Street."
"Wah, aku baru tahu ini semua," ujar Corky penuh semangat.
"Tapi keluargaku memang belum lama tinggal di sini. Kami baru
pindah dari Missouri beberapa bulan yang lalu. Kau sudah lama
tinggal di Shadyside, ya" Mungkin karena itu kau begitu tertarik pada
kota ini?" Sarah Beth kembali menghirup tehnya sambil memandang ke
jendela depan. "Kadang-kadang saja aku tinggal di sini," ia menjawab
dengan singkat. Jangan-jangan aku terlalu usil, kata Corky dalam hati.
Kelihatannya Sarah Beth agak kesal.
"Pokoknya, Sarah Fear menikah dengan cucu Simon. Dia dan
suaminya tinggal di sebuah rumah di dekat kediaman Simon, sebuah
rumah besar di tepi Fear Lake."
"Itu danau kecil dengan pulau di tengah-tengahnya," Chip
menjelaskan kepada Corky. "Letaknya di tengah hutan, kira-kira dua
atau tiga blok dari rumahmu."
"Nah, informasi tentang kehidupan Sarah Fear sangat sedikit,"
Sarah Beth melanjutkan, sambil memutar-mutar tempat gula dengan
jarinya yang panjang. "Suaminya mati mendadak karena radang paruparu dua tahun setelah mereka menikah. Menurut berita koran pada
masa itu, dia meninggalkan warisan yang cukup besar untuk istrinya.
Setelah kematian suaminya, Sarah Fear ditemani kedua saudara lakilakinya serta beberapa sepupu.
"Walaupun kaya, dia tak pernah disebut-sebut dalam beritaberita mengenai acara sosial. Dan sepertinya dia juga tidak terlibat
dalam kegiatan amal seperti orang-orang kaya pada umumnya.
"Aku hanya menemukan sedikit informasi mengenai kehidupan
pribadi Sarah," Sarah Beth meneruskan. "Aku tidak tahu apakah dia
pernah menikah lagi. Catatan keluarga Fear tidak menunjukkan apaapa. Tapi usianya memang tidak terlalu panjang."
"Jadi dia juga mati muda?" tanya Corky dengan heran.
"Ya," sahut Sarah Beth. "Dia meninggal waktu berumur dua
puluhan, pada musim panas tahun 1899. Kejadiannya sangat


Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

misterius. Perahu pesiar keluarga Fear terbalik di Fear Lake"tanpa
alasan yang jelas. Cuaca hari itu cerah. Tak ada ombak sama sekali,
dan tidak ada perahu lain di air.
"Tapi perahu mereka toh terbalik juga. Semua penumpangnya
tenggelam. Sarah Fear, saudara laki-lakinya, dua keponakannya, dan
seorang pelayan." "Wah!" Chip geleng-geleng kepala.
Corky menatap Sarah Beth sambil membisu. Sekarang aku
mengerti kenapa kuburan Sarah Fear dikelilingi empat kuburan lain,
katanya dalam hati. "Semuanya tenggelam," Sarah Beth kembali angkat bicara
sambil bersandar pada meja. "Padahal mereka tidak seberapa jauh dari
tepi danau. Paling-paling beberapa ratus meter."
Sarah Beth menghirup tehnya, kemudian menjilat bibirnya yang
pucat. "Tak seorang pun tahu bagaimana perahu itu bisa terbalik, dan
kenapa semua penumpangnya tenggelam. Semuanya serba misterius."
Corky merenungkan cerita itu sambil menatap cangkir di
hadapannya. Suara Sarah Beth yang parau masih terngiang-ngiang di
telinganya. Pasti roh jahat itu, pikir Corky. Biang keladinya pasti roh jahat
itu. Sebenarnya ia ingin bercerita soal roh jahat itu kepada Sarah
Beth, tapi malam sudah larut. Tangannya nyeri, dan ia mendadak
merasa letih. Lagi pula, ia belum percaya benar pada wanita muda itu.
Ia merasa belum bisa berbagi rahasia dengannya.
"Ada lagi," kata Sarah Beth sekonyong-konyong. Corky melihat
Sarah Beth memandangnya seakan-akan berusaha membaca
pikirannya. "Setelah kematian Sarah Fear, berbagai desas-desus mulai
beredar"desas-desus bahwa ia dan pelayan yang tenggelam
sebenarnya sepasang kekasih. Desas-desus bahwa Sarah dan pelayan
itu terlihat berjalan-jalan di Shadyside, di hutan di belakang
rumahnya, bahkan di kota"lama setelah kematian mereka.
"Cerita hantu yang merupakan ciri khas keluarga Fear," tambah
Sarah Beth dengan ringan.
Sikapnya mengejutkan Corky. "Jadi kau tidak percaya?" ia
bertanya. Sarah Beth tertawa kecil. Perlahan-lahan ia mengembangkan
senyum. "Menurutku ini sebenarnya lucu," sahutnya sambil menatap
Corky, seolah ingin melihat reaksinya.
Lucu" ujar Corky dalam hati. Lima orang mati tenggelam"
Perahu mereka terbalik di danau tanpa alasan jelas" Kejadiannya
begitu tragis. Dan Sarah Beth pikir ini lucu" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Corky menghabiskan minumannya. "Wah, sudah jam berapa
nih" Ibuku pasti sudah mulai kuatir. Aku tidak bilang akan pulang
selarut ini." Ia mendorong Chip agar berdiri.
"Sampai ketemu," kata Chip kepada Sarah Beth. Kemudian ia
berdiri dan mengambil jaket Corky yang tergantung pada pengait di
dinding belakang. "Aku juga senang bisa mengobrol dengan kalian," Sarah Beth
menyahut tanpa melepaskan pandangannya dari Corky. "Jarang-jarang
aku ketemu orang seperti kalian di kuburan."
"Kau juga sudah mau pulang?" tanya Corky. Ia pun berdiri dan
membiarkan Chip membantunya memakai jaket.
"Aku mau pesan secangkir teh lagi," balas Sarah Beth.
"Rumahku kan dekat sini. Aku tidak perlu jalan jauh-jauh."
Mereka saling mengucapkan selamat malam, lalu Chip dan
Corky menyusuri gang sempit ke pintu depan, melewati kedua pria
berambut putih yang masih minum kopi.
"Dia cukup ramah," ujar Chip sambil menatap bulan yang
tampak putih pucat di langit malam.
"Yeah," balas Corky dengan lesu. "Tapi kau merasa tidak, ada
sesuatu yang aneh padanya?"
"Aneh?" Chip menggelengkan kepala. "Paling-paling
suaranya." Corky memandang melalui jendela restoran dan memperhatikan
meja paling belakang. Ia melihat Sarah Beth Plummer duduk seorang
diri sambil menggenggam cangkir teh.
Corky terkejut ketika melihat senyum yang tersungging di bibir
wanita muda itu. Bukan senyum yang menyenangkan, kata Corky dalam hati.
Senyum yang kejam. Meski dari kejauhan, meski dari balik kaca yang buram, Corky
bisa melihat mata Sarah Beth bersinar-sinar, dan ia segera menyadari
bahwa mata itu memancarkan kesan... jahat.
Bab 7 Sorak-sorai dan Jeritan SENIN, seusai sekolah, Corky berhenti di depan pintu gedung
olahraga. Di balik pintu ia bisa mendengar seruan-seruan dan suara
langkah berdebam-debam pada lantai kayu. Rupanya tim basket juga
sedang latihan, ia menyadari.
Setelah menghela napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan
mengucapkan doa dalam hati, ia membuka pintu. Seketika, seakanakan mendapat aba-aba, para cheerleader mulai berseru,
"Hei, you! Yeah, you! Are you ready" Our team is tough and our team is steady!
We're on the way to the top
And we'll never stop! The tigers are on the hunt.
Hear them growl, hear them roar!
You"d better hold y our ears,
"Cause the Tigers will roar
All over, All over you!" Seruan itu diakhiri dengan teriakan penuh semangat, dan kelima
gadis itu memperagakan gerakan split sambil melompat, satu per satu.
"Lumayan, lumayan," komentar Miss Green, pelatih mereka,
sambil mengangguk-angguk. Ia bertolak pinggang dan mengerutkan
kening. Suaranya yang parau selalu memberi kesan bahwa ia sedang
menderita radang tenggorokan.
"Coba sekali lagi," katanya kepada mereka, "dan kali ini
usahakan agar lompatan kalian lebih tinggi. Dan perhatikan
pengucapan kalian. Jangan bergumam. Saya ingin mendengar setiap
huruf!" Di sisi lain, Pak Swenson sedang meniup peluit. Bunyinya yang
melengking memantul dari dinding-dinding. Corky melihat para
pemain basket membentuk barisan untuk berlatih lay-up.
Pembunuhan Di Sungai Nil 3 Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Misteri Bunga Noda 1

Cari Blog Ini