Ceritasilat Novel Online

Musim Panas Berdarah 2

Fear Street - Musim Panas Berdarah One Evil Summer Bagian 2


Amanda menghela napas panjang. Chrissy"ke mana kau" Kenapa kau bangun"
Diikutinya suara-suara yang didengarnya di lantai bawah hingga ke dapur. Lampu dapur menyala.
Dilihatnya Chrissy di sana. Gadis itu mengenakan jubah tipis warna merah jambu di luar gaun tidurnya. Badannya bertumpu pada meja dapur, mulutnya asyik mengunyah biskuit Oreo, dan matanya menerawang ke luar jendela.
Ternyata ia sedang ngemil!
Amanda mengembuskan napas lega.
Dengan riang ia naik kembali ke kamarnya. Di depan kamar Chrissy, ia berhenti.
Wow! Guntingan-guntingan koran itu!
Berserakan di tengah tempat tidur Chrissy.
Kenapa aku tidak melihatnya tadi" tanya Amanda dalam hati. Rupanya cahaya bulan bergeser sedikit. Ia tidak melihatnya tadi karena gelap.
Aku harus melihatnya, Amanda memutuskan. Aku harus tahu rahasia Chrissy.
Ia menoleh untuk memeriksa keadaan. Chrissy masih di dapur.
Kesempatan, pikir Amanda sambil melangkah masuk ke kamar Chrissy.
Apa yang kausembunyikan di sini, Chrissy" Apa"
Dengan jantung berdebar-debar, ia membungkuk dan mengumpulkan guntingan-guntingan koran itu. Banyaknya kira-kira lima belas lembar.
Dengan tangan gemetaran, Amanda memungut sehelai guntingan berita dan membaca judulnya, "Remaja Koma Masih Dirawat di Rumah Sakit."
Diletakkannya guntingan koran itu dan diambilnya yang lain.
Tapi sebelum ia sempat mengangkat artikel itu dan membacanya dalam cahaya yang remang-remang, sebuah tangan dingin mencengkeram tengkuknya.
Jilatan Api AMANDA menyentakkan badannya. Guntingan-guntingan koran itu berjatuhan dari tangannya, berserakan di lantai. Secepat kilat ia berbalik. "Chrissy!"
Chrissy diam saja. Tapi wajahnya berkerut marah.
Amanda menggosok-gosok tengkuknya. Ia masih bisa merasakan dinginnya bekas jari-jari Chrissy di sana.
Sekonyong-konyong embusan angin laut yang kencang menerobos masuk melalui jendela kamar Chrissy yang setengah terbuka, meniup guntingan-guntingan koran di lantai hingga berhamburan ke segala penjuru.
Apakah ini tipuan mata belaka" pikir Amanda. Benarkah Chrissy sengaja membuat guntingan-guntingan koran itu berhamburan supaya aku tidak bisa melihatnya" Dalam keremangan cahaya bulan, kertas-kertas itu terbang dan melayang-layang menuju pintu.
Chrissy mundur selangkah dan berdiri dengan tegang, sepertinya marah sekali, sementara kertas-kertas itu berserakan di dekat kakinya.
"Keluar dari kamarku, Amanda," bisik Chrissy, matanya menyipit dengan marah. "Kau ini kenapa, sih" Mula-mula kau menyerangku selagi aku tidur. Lalu kau diam-diam masuk ke kamarku."
Gadis itu menyentakkan kepalanya, seolah-olah hendak mengenyahkan rasa marahnya. "Apa pun masalahnya, jangan ganggu aku! Kalau sampai aku memergokimu masuk ke sini lagi?"
"Aku"aku"tidak akan pernah masuk sini lagi." Sambil berusaha keras untuk tetap tenang, Amanda cepat-cepat berjalan melewati Chrissy. Ia sengaja tidak mau membalas tatapan Chrissy yang garang.
Begitu ia keluar, Chrissy membanting pintu kamarnya.
Amanda membeku di lorong. Ia ingin lari kembali ke kamarnya dan mengunci pintu. Tapi langkahnya terhenti.
Cahaya bulan masuk melalui genting kaca di atas kepalanya dan Amanda melihat ada sehelai guntingan koran yang tertiup ke lorong.
Amanda menyambar guntingan koran itu dan lari ke kamarnya. Ditutupnya pintu dan dinyalakannya lampu.
Amanda memegang guntingan koran itu, tangannya gemetar saking bersemangatnya. Hal pertama yang dilihatnya adalah bahwa artikel itu diambil dari koran Harrison County Gazette.
Harrison County tidak jauh dari Shadyside. Kira-kira dua puluh menit perjalanan naik mobil. Mengapa Chrissy tertarik pada peristiwa yang terjadi di Harrison County" Kota itu kan jauh sekali dari Seahaven.
Sama seperti guntingan koran lain yang sempat dilihat Amanda, yang satu ini juga sudah berumur dua tahun.
Dengan jantung berdebar-debar, Amanda duduk di pinggir tempat tidur dan membacanya.
Artikel itu memuat laporan mengenai sebuah peristiwa tragis. Mr. dan Mrs. Anton Minor, suami-istri warga Harrison County, ditemukan tewas selagi tidur di rumah mereka. Hanya putri mereka, Lilith, yang selamat. Tapi, seperti yang sudah diberitahukan Chrissy padanya, Lilith sekarang dalam keadaan koma dan kecil kemungkinannya untuk sadar kembali.
Menurut artikel itu, kematian mereka diyakini sebagai kecelakaan. Ada yang tidak sengaja meninggalkan mobil dalam keadaan menyala di garasi yang letaknya berdempetan dengan rumah. Mula-mula garasi dipenuhi gas karbon monoksida. Lalu gas yang mematikan itu menyusup melalui saluran pemanas dan pendingin udara, dan masuk ke rumah. Keluarga Minor menghirup karbon monoksida itu selagi tidur. Mr. dan Mrs. Minor tidak pernah bangun lagi. Begitu juga Lilith, seperti yang diberitakan di koran itu.
Amanda memandangi guntingan koran di tangannya, bingung.
Mengapa Chrissy sama sekali tidak disebut-sebut di sini"
Sepatah kata pun tidak. Apakah waktu itu ia sudah tinggal bersama bibinya" Tapi kenapa"
Mungkin ia kebetulan sedang tidak ada di rumah, pikir Amanda. Tapi bukankah berita-berita seperti ini biasanya menyebutkan nama anggota keluarga yang selamat"
Mungkin berita ini tidak lengkap, putus Amanda. Ayahnya selalu mengeluhkan para wartawan yang sering kali tidak mengungkapkan semua fakta yang ada dalam kasus-kasus kriminal yang ditanganinya.
"Wah!" seru Amanda keras-keras.
Menurut cerita Chrissy pada ibunya, kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil.
Itu kan tidak sepenuhnya benar. Kenapa dia bohong" Dan kenapa namanya sama sekali tak tercantum dalam artikel ini"
Baru satu bagian dari keseluruhan teka-teki ini yang aku tahu, pikir Amanda dalam hati. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mendapatkan sisanya. Guntingan-guntingan koran yang lain pasti memuat keterangan yang kuperlukan.
Amanda menguap. Cukuplah untuk malam ini.
Dengan perasaan letih, Amanda berjalan ke jendela, membuka gorden, dan memandangi hutan yang disinari cahaya bulan. Seahaven indah sekali, pikirnya. Seandainya tidak ada Chrissy, segalanya pasti sempurna.
Besok pagi aku akan berusaha mendapatkan guntingan-guntingan koran yang lain, Amanda memutuskan dalam hati. Toh caranya gampang saja.
Aku akan menunggu sampai Chrissy keluar bersama Kyle dan Merry, lalu aku akan menyelinap masuk ke kamarnya dan membaca semua guntingan koran yang ada.
Sedangkan guntingan koran yang ini akan kusimpan dulu, dan besok akan kutunjukkan pada Mom dan Dad, sebagai bukti kalau aku tidak gila"bahwa perkiraanku mengenai Chrissy benar.
Mungkin Chrissy memang tidak melayang. Mungkin itu cuma mimpi, pikir Amanda.
Tapi ada sesuatu yang aneh tentang Chrissy. Ia tidak seperti yang dikatakannya selama ini.
Amanda beranjak dari jendela. Dibukanya laci lemari paling atas untuk menyembunyikan guntingan koran itu di bawah baju-baju dalam.
Tiba-tiba saja jari-jarinya terasa perih dan panas. "Aduh?" pekiknya.
Ia terkesiap ketika melihat guntingan koran di tangannya mendadak tersulut api!
"Aduh!" Lidah api menjilat ujung jari-jarinya.
Dilemparnya kertas yang berkobar-kobar itu ke lantai.
"Tidak!" Matanya melotot ketakutan waktu melihat lidah api menyambar jumbai-jumbai permadani. Dalam sekejap, api sudah melahap seluruh pinggiran permadani.
Sambil memekik takut dan panik, Amanda menyambar sebuah bantal besar dan memukul-mukulkannya ke permadani agar api padam.
"Tidak! Tidak!"
Selagi ia berjuang mati-matian memadamkan api, telinganya mendengar suara yang menyeramkan.
Suara tawa" Siapa yang tertawa" Dari mana datangnya"
Amanda memandang berkeliling. Ia takut sekali ketika menyadari suara tawa itu datang dari dalam kepalanya sendiri.
Dipegangnya dahinya erat-erat.
Suara itu tak mau berhenti juga.
Suara tawa yang amat menyeramkan.
Amanda memejamkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengenyahkan tawa itu dari kepalanya.
Tapi suara itu tetap tak mau berhenti.
Saat itu barulah Amanda menyadarinya. Suara tawa itu bernada rendah dan serak-serak basah, dan sebelum ini, ia sudah pernah mendengarnya"suara tawa Chrissy ketika ia melayang diterangi sinar bulan.
"Diam!" teriak Amanda keras-keras. "Kumohon, diam!"
Salah Sambung ESOK harinya, pagi-pagi sekali, dengan takut-takut Amanda mengintip lorong di depan kamarnya. Pintu kamar Chrissy tertutup.
Sekarang atau tidak sama sekali, kata Amanda dalam hati. Aku harus bergerak cepat, mumpung dia belum bangun.
Walaupun semalam hanya tidur satu-dua jam, anehnya Amanda sama sekali tidak merasa ngantuk. Semua sarafnya waspada. Seolah-olah ia punya tenaga baru.
Tanpa suara, ia turun ke dapur dan menutup pintunya kembali. Diangkatnya gagang telepon warna merah yang terpasang di dinding dan ditekannya tombolnya. Mula-mula ditekannya kode area Shadyside, lalu nomor telepon Suzi Banton, tetangganya di Fear Street.
Untung Suzi punya telepon sendiri, jadi seisi rumah tak akan terbangun mendengar dering telepon.
Ayo dong, Suzi, angkat teleponnya, pikir Amanda tidak sabar. Aku benar-benar butuh bantuanmu nih.
Empat deringan. Lima. Akhirnya terdengar suara Suzi yang masih mengantuk. "Halo?"
"Hai, Suzi. Ini aku, Amanda."
"Hah" Amanda" Awas ya kalau tidak penting. Soalnya aku barusan mimpi indah, berlayar saat matahari terbenam dengan?"
"Ini penting, kok," sela Amanda tidak sabar. "Sangat penting."
"Kenapa bisik-bisik segala, sih?" tanya Suzi. "Ada apa?"
"Aku ingin minta tolong," jawab Amanda.
"Aku nggak punya uang," tukas Suzi sambil menguap. "Musim panas ini aku nggak dapat pekerjaan. Kau ingat, kan?"
"Ini lebih penting daripada uang," bisik Amanda. "Bisakah kau pergi ke perpustakaan Shadyside" Cari koran-koran lama. Pokoknya cari apa saja yang berkaitan dengan keluarga bernama Minor. Lilith Minor, Anton Minor, pokoknya yang bernama belakang Minor."
"Well..." Suzi ragu-ragu. "Mereka ini siapa?"
"Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya," kata Amanda. "Tapi ini soal hidup dan mati, Suzi. Pokoknya penting sekali untukku."
"Masa aku harus ke sana, sih?" erang Suzi. "Kedengarannya kok seperti tugas sekolah."
"Suzi"tolonglah! Perpustakaan Seahaven kecil sekali. Aku melewatinya waktu mau ke sekolah kemarin. Seperti perpustakaan boneka saja. Aku yakin tidak ada koran-koran lama di sana," tukas Amanda. "Lagi pula, kau kan berutang budi padaku."
"Utang budi apa?" tanya temannya itu.
"Berkali-kali aku melihatmu kabur dari jendela kamar untuk menemui Pete Goodwin. Aku tak sekali pun pernah mengadukannya pada orangtuamu."
"Oh, baiklah," kata Suzi menyanggupi. "Kira-kira berapa banyak koran yang harus kulihat-lihat?"
"Pertama-tama, cari dulu koran Harrison County Gazette," kata Amanda. "Tidak perlu melihat koran yang usianya lebih dari dua tahun. Pokoknya cari informasi sebanyak-banyaknya."
"Paling tidak kau bisa dong menceritakan masalahnya padaku."
"Sudah kubilang, aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Pokoknya ada hubungannya dengan pengasuh anak yang dipekerjakan oleh ibuku. Orangnya aneh."
"Mana ada sih orang yang tidak aneh?" tukas Suzi kering. "Oh, ngomong-ngomong," tambah temannya itu dengan nada yang tiba- tiba tidak mengantuk lagi. "Berkaitan dengan masalah pengasuh anak, bagaimana pelajaran aljabarmu?"
"Lumayan. Aku berkenalan dengan seorang cowok keren."
"Oh, aku mengerti sekarang. Akui kalau benar. Si pengasuh anak itu naksir cowok barumu. Benar, kan?"
"Salah besar!" tukas Amanda tajam. "Masalahnya jauh lebih serius daripada itu."
"Mana ada yang lebih serius daripada itu?" kata Suzi sambil tertawa. "Kalau cuma itu, akan segera kulaksanakan. Serahkan saja padaku, Amanda. Pokoknya beres."
Amanda mendengar langkah-langkah kaki di atas. Lalu suara keran kamar mandi dinyalakan. Toilet disiram. Sudah waktunya mengakhiri pembicaraan.
"Terima kasih banyak, Suzi. Sudah dulu ya," kata Amanda cepat-cepat. "Bye."
"Tunggu," cegah Suzi. "Hampir aku lupa. Cewek pirang itu muncul tidak di rumahmu?"
"Cewek pirang mana?"
"Tak lama setelah kalian berangkat, seorang cewek pirang datang mencari keluargamu. Kebetulan aku sedang lewat di depan rumahmu, jadi ia lantas bertanya padaku. Katanya dia sepupumu atau sebangsanya. Kubilang kalian sedang berlibur di Seahaven."
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Amanda.
"Cantik, dan?" Amanda tidak mendengar kata-kata Suzi selanjutnya. Ia menjauhkan gagang telepon dari telinganya.
"Hei!" Tiba-tiba saja gagang telepon itu terasa hangat dan lembek di tangannya. Dengan terheran-heran dipandanginya telepon itu. Gagangnya menjadi sangat lembek, dan jari-jarinya terbenam ke dalamnya.
Sekonyong-konyong gagang telepon itu meneteskan darah.
Mengalir menuruni tangan Amanda. Merayapi lengannya.
"Ohhhh." Amanda terpekik pelan saat merasakan darah itu mengalir hangat di kulitnya.
Itu bukan darah. Bukan darah. Tapi cat pesawat telepon.
Mengalir menuruni lengannya. Panas sekali"panas membara.
Kop teleponnya meleleh dan menetes-netes. Benang-benang merahnya terjuntai hampir sampai lantai.
"Amanda" Amanda" Ada apa?" Didengarnya Suzi berseru-seru melalui gagang telepon yang meleleh dan berdarah itu.
"Suzi, bagaimana ciri-ciri cewek itu?" teriak Amanda kalang kabut melalui gagang telepon yang panas membara itu.
"Cantik," jawab Suzi sambil tertawa.
Amanda membeku ketakutan.
Ini bukan Suzi, pikirnya menyadari. Bukan suaranya.
Ini bukan Suzi. Ini Chrissy!
Tapi bagaimana bisa" Di rumah ini hanya ada satu pesawat telepon. Tidak ada sambungan paralel di ruangan lain.
"Lebih baik kau sekolah saja, Amanda," terdengar suara Chrissy yang serak-serak basah itu melalui telepon yang berdenyut-denyut.
Kop telepon copot dan jatuh ke lantai linoleum dengan suara plop yang menjijikkan. Gumpalan merah itu bergetar, seolah-olah bernapas.
Amanda memandanginya dengan badan gemetar.
Suara Chrissy masih terdengar dari gumpalan merah itu. "Kenapa kau ingin tahu sekali tentang cewek itu, Amanda" Kenapa kau ingin sekali tahu ciri-cirinya" Jangan khawatir. Pada waktunya nanti, cewek itu pasti akan mendatangimu. Kalau ia menemukanmu"kalau ia menemukanmu, Amanda Sayang"kau bakal menyesal."
Tumpah Darah DENGAN jantung berdebar kencang, Amanda terbirit-birit menaiki tangga dan berlari di sepanjang lorong menuju kamar kedua orangtuanya.
"Mom! Dad!" teriaknya sambil menghambur masuk ke kamar. "Teleponnya! Kalian harus lihat teleponnya!"
Kalau mereka melihat gumpalan merah itu di lantai dapur, mereka pasti percaya padanya!
"Hah?" Amanda terpekik kaget karena ternyata kamar itu kosong melompong.
Terdengar bunyi dentang besi beradu. Apakah suara itu berasal dari luar"
Ia melongok ke luar jendela dan terkejut waktu melihat sebuah mobil derek menderek mobil station wagon milik keluarganya yang rusak parah. Kedua orangtuanya berdiri di halaman, memperhatikan. Ia sama sekali tidak mendengar mereka keluar.
Amanda berpaling dari jendela dan melihat kertas referensi Chrissy tergeletak di atas meja.
Ia menyambar kertas itu, melipatnya, dan menyelipkannya ke saku belakang celana pendeknya.
Hari ini akan kusuruh Mom mengecek referensi Chrissy, janji Amanda dalam hati. Tapi begitu melihat pesawat telepon yang hancur itu, mereka tak perlu repot-repot lagi. Chrissy harus segera angkat kaki.
Amanda cepat-cepat turun ke dapur. Langkahnya terhenti di ambang pintu"dan mulutnya ternganga keheranan.
"Oh, tidak!" Telepon merah itu bertengger di gagangnya, seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Amanda menahan diri untuk tidak menjerit frustrasi. Ada apa sebenarnya"
Sekujur tubuhnya merinding.
Apakah aku sudah gila"
Apakah aku sudah benar-benar gila"
Guntingan koran yang mendadak terbakar" Pesawat telepon yang meleleh"
Kalau aku menceritakannya pada orangtuaku, mereka pasti akan mengurungku!
Amanda memandang ke sekeliling dapur. Ngomong-ngomong, mana Chrissy"
Terdengar cericip riang si Garam dan si Merica dari sangkar yang tidak ditutupi kain.
Jadi Chrissy tidak ada di rumah. Amanda tahu itu dari kicauan riang burung-burungnya.
Sebaiknya aku pergi saja, mumpung Chrissy belum muncul, putus Amanda.
Ia menyambar tas kanvasnya dan bergegas ke belakang. Diambilnya sepeda dari gudang. Chrissy benar. Kalau tidak cepat-cepat, ia nanti bisa terlambat ke sekolah.
Sewaktu Amanda muncul di depan rumah, mobil derek itu baru saja pergi. "Kau tidak apa-apa?" seru ibunya ketika melihat Amanda mengayuh sepedanya menghampiri mereka.
"Aku baik-baik saja," jawab Amanda. Tak pernah sebaik ini.
Di kota, Amanda berhenti di dekat Toko Serba Ada Seahaven untuk menggunakan telepon umum. Diteleponnya lagi Suzi. Mrs. Banton yang mengangkat. "Kata Suzi ia akan ke perpustakaan atau apalah tadi," jawab Mrs. Banton dengan nada bingung.
"Terima kasih. Bye." Suzi yang baik"galak tapi bisa diandalkan. Amanda berdoa semoga temannya itu bisa mendapatkan informasi yang berguna.
Amanda meneruskan perjalanan ke Seahaven High. Ia memarkir sepedanya dan berlari-lari kecil ke Ruang Sepuluh. Dave Malone tersenyum sewaktu melihatnya masuk kelas. Amanda membalas senyumannya.
Ia memilih tempat yang sedekat mungkin dengan Dave. Ironis benar, pikirnya. Aku kok jadi suka belajar aljabar.
Di sini semuanya biasa-biasa saja, pikirnya sambil membuka buku aljabarnya. Sesuatu yang paling kutakuti"summer school"ternyata malah menjadi satu-satunya kegiatanku yang paling masuk akal.
"Bergabunglah dengan pasangan kalian masing-masing," kata Mrs. Taylor ketika pelajaran hampir usai.
Dave duduk di sebelah Amanda. "Untunglah," katanya. "Kita masih mempelajari bab yang aku pahami."
"Bagus," sahut Amanda sambil tersenyum.
"Yeah, nikmati sajalah, mumpung masih bisa. Minggu depan kita mulai mempelajari kosinus dan sebangsanya. Yang itu aku sama sekali nggak ngerti."
"Jadi kita harus sama-sama berusaha keras untuk mengerti," kata Amanda.
"Entahlah," keluh David sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan-jangan kau nanti tidak respek lagi begitu melihat ketololanku."
"Kau tak mungkin lebih goblok daripada aku," hibur Amanda.
"Bakalan payah, deh," bisik Dave.
Setelah pelajaran usai, Dave bertanya, "Bagaimana kabar pengasuh anak yang kauceritakan kemarin itu" Yang kautanyakan padaku?"
Amanda menggeleng dengan sikap muram. "Jangan tanya, deh. Kau nggak bakalan percaya."
"Coba saja," kata Dave lembut.
Amanda mengumpulkan buku-bukunya. Mereka berjalan bersama-sama ke depan se?olah. Sementara itu, Amanda menceritakan semua yang terjadi. "Kau pasti menganggapku sinting, kan?" tanya Amanda sesampainya di halaman depan.
"Menurutku kau tidak seperti orang gila," jawab Dave serius. "Tidak ada alasan bagimu untuk mengarang-ngarang semua itu."
Kata-kata Dave itu membuat hati Amanda terasa hangat. Senang rasanya bila ada yang percaya. "Aku tidak gila. Sungguh. Semua itu benar-benar terjadi. Aku tidak tahu kenapa atau bagaimana. Pokoknya benar-benar terjadi."
"Kau harus bisa mengenyahkan dia dari rumahmu," desak Dave dengan suara rendah.
"Bagaimana caranya?" tanya Amanda tak berdaya.
"Well"itu yang harus kita pikirkan." Dave menyisir rambutnya yang ikal dengan jari-jarinya. "Aku sudah menanyai beberapa orang. Tidak ada yang kenal Lorraine, Eloise, atau Chrissy Minor."
Amanda mengeluarkan resume Chrissy dari saku celana pendeknya. "Katanya ia tinggal di Old Sea Road nomor tiga."
"Mana mungkin ia tinggal di sana, kecuali bibinya itu hantu," sergah David sambil memandangi resume itu. "Soalnya, rumah tua itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang menempati. Dengar-dengar, banyak yang terbunuh di sana. Pokoknya ceritanya aneh. Anak pengurus rumah itu temanku. Ayolah," ajak Dave. "Kau butuh penyegaran. Ada waktu tidak?"
"Tentu saja," jawab Amanda sambil menggandeng tangan Dave.
Cowok itu menaikkan sepeda Amanda ke kursi belakang mobil Mustang biru keluaran tahun 1978 miliknya. Lalu mereka berangkat, melaju ke arah kota.
Lambat-lambat mobil mendaki jalanan terjal di sepanjang tepi pantai, naik tinggi sekali. Amanda menunjuk belokan jalan yang menuju ke rumah peristirahatan keluarganya.
Sambil menyetir mobil, Dave menuding sebuah gerbang besar. "Di ujung jalan sana ada sebuah rumah besar. Sudah bertahun-tahun tidak dihuni," katanya.
"Wow, suasananya menyeramkan, persis seperti di Fear Street," komentar Amanda.
"Fear Street?" Dave tampak bingung.
"Ceritanya panjang," jawab Amanda sambil mengembuskan napas.
Mereka meneruskan perjalanan hingga ke puncak bukit. Dave menghentikan mobilnya di lapangan parkir yang berbentuk bulan sabit. Tidak ada apa-apa di sana, kecuali bilik telepon umum. "Tebing ini bernama Channings Bluff. Obyek wisata resmi kota ini," kata Dave menjelaskan. "Mau melihat-lihat?"
"Tentu," sambut Amanda sambil tersenyum. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pagar kayu yang memagari tebing. Sambil melindungi matanya dari terik matahari, Amanda memandang ke luar pagar pembatas.
Tebingnya curam dan berbatu-batu. Tiga batu besar menjorok dari pinggirnya. Di bawahnya, laut bergelora. Sejumlah batu besar mencuat dari dalam air.
"Kau lihat tiga batu besar yang menjorok dari pinggir tebing itu?" tanya Dave. "Sekitar empat tahun lalu, kakakku dan teman-temannya menggambar wajah konyol kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan wali kelas di sana. Kami menjulukinya Mount Rushmore versi Seahaven."
"Aku kok tidak bisa melihatnya," kata Amanda sambil menjulurkan badannya di pagar, menaungi matanya dengan tangan.
"Memang tidak. Tapi kapal-kapal yang sedang berlayar bisa melihatnya," kata Dave sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Kakakku itu benar-benar ngaco!"
"Bagaimana mereka bisa sampai ke sana?" tanya Amanda.
"Mereka mengikatkan kaleng cat dan kuas-kuasnya di ikat pinggang, lalu mengikatkan tali ke pagar ini dan turun ke bawah. Benar-benar sinting."
Beberapa menit kemudian, Amanda dan Dave meninggalkan Channings Bluff dan meluncur ke Beachside Inn. Mobil diparkir di depan.
"Kau bawa baju renang?" tanya Dave setelah mereka turun dari mobil.
"Ya," jawab Amanda. "Sudah aku pakai sekalian."
Dave mengajaknya ke pantai yang ada di belakang hotel. "Kakakku, Mike, bekerja di sini," kata Dave menjelaskan. Tangannya menuding sebuah kios penyewaan.
"Kakakmu yang melukis batu itu?" tanya Amanda.
"Bukan. Kakakku yang itu bernama Ed."
Sesampainya di kios, Dave menyapa seorang cowok berambut merah ikal yang sedang berdiri di balik counter. "Mike, pinjam jet ski, dong."
"Boleh saja," jawab Mike. "Sepanjang minggu ini belum satu pun yang disewa orang. Kurasa tidak mungkin bila hari ini mendadak banyak orang datang menyewa."
"Betul," timpal Dave sependapat. "Bagaimana kalau yang biru itu" Yang berkursi dua."
"Oke, ambil saja."
Amanda berjalan mengikuti Dave menghampiri satu dari tiga jet ski yang berjajar di tepi pantai, bersebelahan dengan kapal-kapal layar. "Berpeganganlah padaku," kata Dave sewaktu Amanda naik ke kursi di belakangnya.
"Oke," jawab Amanda. Malu-malu ia duduk merapat dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Dave.
"Pegangan yang kuat!" seru Dave.
Amanda mempererat pelukannya. Ia menyukai bau badan Dave yang wangi dan hangat. Aman dan bahagia rasanya memeluknya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah melaju kencang di laut lepas. Percikan-percikan lembut air laut menerpa pipi Amanda. Rambutnya beterbangan. Rasanya seperti naik sepeda motor di laut yang berombak.
Tak lama kemudian, tampak sebuah pulau kecil. Dave mengarahkan jet skinya ke sana. Kecepatannya dikurangi. Jet ski itu diparkir di pantai yang berbatu-batu. "Ayo, aku mau menunjukkan tempat persembunyian rahasiaku," ajak Dave sambil menggandengnya.
Amanda mengikuti cowok itu berjalan menerobos semak-semak dan pepohonan. Akhirnya mereka sampai di sebuah gubuk kayu bobrok. "Itu dia!" seru Dave sambil menuding gubuk itu.
"Ini tempat persembunyianmu?" tanya Amanda.
"Tunggu sampai kau lihat bagian dalamnya," jawab Dave.
Amanda mengikutinya masuk ke gubuk. "Wah!" serunya terkejut. Di dalamnya ada kursi, kasur lipat, dan meja. Amanda juga melihat tumpukan selimut, dua peti, lentera, senter, dan sekop. "Apa-apaan ini?" tanyanya.
"Mike dan aku menemukan gubuk ini tiga tahun yang lalu," cerita Dave. "Dulunya digunakan oleh para pemburu. Mereka memburu angsa, bebek, bahkan rakun. Padahal di sini dilarang berburu. Gara-gara itu, mereka jadi dikejar-kejar penjaga. Mula-mula para pemburu itu hanya menyembunyikan perlengkapan mereka di sini, tapi ketika para penjaga itu mengancam hendak menangkap mereka, mereka akhirnya menyerah. Untuk mengambil perlengkapan mereka kembali pun tidak berani."
"Banyak benar barang-barangnya," komentar Amanda.
"Yeah, keren-keren lagi," kata Dave sependapat. "Mike dan aku menjuluki tempat ini Tumpah Darah."
Amanda mengernyitkan hidung karena tidak suka. "Aku tidak mengerti. Kenapa namanya Tumpah Darah?"
"Lihat ke bawah," kata Dave.
"Oh!" Amanda melompat mundur. Lantai di bawah kakinya berbercak-bercak merah kecokelatan. "Menurutmu itu benar-benar bekas darah?"
"Ya," Dave mengangguk dengan sungguh- sungguh.
"Darah binatang, kan?" tanya Amanda, ingat kalau tempat ini merupakan pondok pemburu.
"Mungkin," jawab Dave. "Aku jadi punya ide bagus. Aku tahu bagaimana caranya menyingkirkan Chrissy."
Mata cowok itu bersinar-sinar. Dengan penuh semangat ia merogoh-rogoh peti yang sudah dibukanya.
Amanda bergidik ngeri waktu melihat Dave mengeluarkan sebilah pisau panjang yang berkilat-kilat dari dalam peti. Cowok itu memegang pisaunya tinggi-tinggi di atas kepala dengan sikap menang. "Ini dia!" Matanya menari-nari liar. "Kau bisa memakainya."
Hah" Gilakah dia" pikir Amanda dalam hati sambil mundur selangkah.
Dave maju, mendekatinya, matanya melebar penuh semangat. Ia mengacungkan pisau yang panjang itu di depan wajah Amanda.
"Kalau kau tidak mau," kata Dave sambil merendahkan suaranya, "aku yang akan melakukannya."
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Senjata Makan Tuan AMANDA terkesiap. "Kau bercanda, kan?"
Dave menggeleng. Seulas senyum aneh tersungging di wajahnya yang penuh semangat.
"Tapi, Dave, aku tidak mau membunuhnya!" protes Amanda dengan suara melengking.
"Bukan, bukan membunuhnya," sergah Dave dengan napas terengah-engah. "Itu sih konyol. Rencanaku jauh lebih bagus daripada itu."
"Rencana apa?" tanya Amanda sambil memelototi mata pisau yang berkilau-kilauan.
"Letakkan pisau ini di kamarnya. Ngerti kan, di laci atau di tempat lain. Lalu usahakan orangtuamu menemukannya. Kalau mereka lihat Chrissy menyembunyikan pisau seperti ini, sudah pasti ia akan langsung didepak!"
Amanda mengembuskan napas panjang, lega.
Dave mengulurkan pisau itu.
Ragu-ragu Amanda menerimanya. Bulu kuduknya meremang saat melihat tujuh takikan di pegangannya yang terbuat dari gading. "Apakah takikan-takikan ini menunjukkan jumlah binatang yang pernah dikuliti dengan pisau ini?"
"Bisa jadi," jawab Dave. "Mungkin malah dikuliti langsung di sini. Makanya banyak bercak darah."
"Tadi aku sempat mengira kau edan!" kata Amanda mengakui.
"Tidak apa-apa," sahut Dave sambil menyeringai. "Aku dan kakak-kakakku memang sering melakukan hal-hal gila. Tapi itu bukan berarti kami gila, lho."
Mereka tertawa berbarengan.
"Tapi menurutku rencana menjebak Chrissy ini bisa benar-benar membuahkan hasil," ucap Dave yakin.
Amanda melirik pisau di tangannya. "Rasanya agak"entahlah. Sedikit keterlaluan. Bukan begitu?"
"Menurutku Chrissy memang benar-benar keterlaluan," sergah Dave. "Kupikir kau harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyingkirkannya."
Dave membuka sebuah kotak putih dan mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. "Mau apel yang dikeringkan?" ia menawarkan sambil mengulurkan bungkusan itu. "Tempat ini penuh dengan berbagai jenis makanan yang dikeringkan. Hamburger, susu bubuk, pokoknya lengkap. Mike dan aku dulu sering berkhayal sedang bertualang. Ngerti, kan. Ceritanya bumi diserang oleh makhluk angkasa luar sehingga kami terpaksa bersembunyi di sini."


Fear Street - Musim Panas Berdarah One Evil Summer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dave nyengir. "Mestinya aku tidak usah cerita-cerita. Barusan tadi kau mengira aku edan."
"Fantasi-fantasi semacam itu mengasyikkan, kok. Menurutku itu tidak edan," tukas Amanda menenangkan Dave.
"Baguslah," timpal Dave. "Mike dan aku berkhayal selama berjam-jam, mengarang cerita yang seru-seru. Kedengarannya memang sinting, tapi menurutku, kita toh tidak tahu apa yang mungkin terjadi."
"Tepat sekali," ujar Amanda, pikirannya melayang kepada Chrissy.
"Jangan khawatir," hibur Dave. "Semuanya pasti beres."
Amanda memandang mata Dave yang lembut dan menyorotkan simpati itu. Tahu-tahu mereka sudah berciuman. Perlahan-lahan. Lembut.
Dave membelai rambutnya. "Jangan khawatir. Kau tidak sendirian," bisiknya. "Aku akan membantumu."
"Seperti dalam pelajaran aljabar?" tanya Amanda.
"Yeah, seperti itu," jawab Dave sambil tersenyum. "Saat ini kita memang belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi nanti kita akan tahu."
Amanda tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, rasa takutnya sedikit berkurang. Paling tidak ia kini punya teman.
"Aku harus pulang," kata Amanda. "Orang-tuaku pasti sudah menunggu-nunggu."
"Pisaunya mau kaubawa atau tidak?" tanya Dave.
Amanda memandangi pisau yang tergeletak di atas meja kayu pendek itu.
Akan berhasilkah rencana Dave"
Bisakah pisau itu menyingkirkan Chrissy dari rumah mereka selamanya"
Tanpa berpikir lagi, Amanda menyambar pisau itu.
"Oke," katanya sambil menatap mata pisau itu lekat-lekat. "Oke. Akan kulakukan."
*********************************************
Dalam perjalanan pulang, Amanda merasa riang, tanpa beban. Bermobil bersama Dave membuatnya merasa gembira dan aman. Mereka tertawa dan menyanyi mengikuti lagu-lagu di radio.
Tapi begitu mobil berhenti di halaman rumahnya, kegembiraan Amanda langsung lenyap tanpa bekas. Lagi-lagi sampai di rumah, pikirnya muram. Rumah yang ditempati Chrissy dan keluarga yang menyanjung-nyanjungnya. Keluargaku.
Dave dan Amanda berjalan ke pintu depan sambil bergandengan tangan. Amanda membuka pintu. Chrissy sedang berdiri di ruang tamu. Ia kelihatan cantik sekali dalam balutan celana pendek putih dan blus abu-abu ngatung.
"Hai," sapa Chrissy ceria. Amanda tidak suka melihat mata biru Chrissy melebar dengan penuh kekaguman begitu melihat Dave.
Chrissy menyibakkan rambutnya yang sehalus sutra itu ke balik bahu. "Amanda, kau kok tidak bercerita padaku kalau punya teman cowok secakep itu."
"Dia dari Seahaven," tukas Amanda tajam. "Kusangka semua penduduk Seahaven saling mengenal."
"Aku bukan dari Seahaven," kata Chrissy datar.
"Tapi alamatmu di Old Sea Road nomor tiga," tukas Amanda ngotot.
"Oh, Bibi Lorraine membeli rumah tua itu. Tapi kami belum pindah ke sana. Aku menuliskan alamat itu di resumeku karena kukira kami akan sudah pindah ke sana sekarang. Tapi ternyata belum."
"Kalian tinggal di mana?" tanya Dave ramah.
"Di Seaport," jawab Chrissy.
"Kota itu bertetangga dengan Seahaven," Dave menjelaskan pada Amanda.
"Kau yakin bukan di Harrison County?" tanya Amanda, teringat pada guntingan koran Harrison County Gazette itu.
Senyum genit Chrissy pada Dave tidak berubah sedikit pun.
Amanda kecewa melihat Chrissy tenang-tenang saja mendengar nama Harrison County disebut-sebut.
"Bukan, bukan Harrison County," jawab Chrissy. "Seaport." Ia mengalihkan perhatiannya pada Dave. "Aku tadi mendengar suara mobil. Apa merknya?"
"Mustang tahun 1978," jawab Dave.
"Itu kan mobil klasik!" seru Chrissy sambil mendekati Dave. "Boleh aku melihatnya?"
Dave melirik tas Amanda sekilas untuk mengingatkannya pada pisau itu.
Amanda mengerti maksudnya. Kalau Dave mengajak Chrissy keluar, ia bisa ke kamarnya dan menyembunyikan pisau itu di sana.
"Kau tertarik pada mobil-mobil tua?" tanya Dave pada Chrissy.
"Sangat," jawab Chrissy.
"Ayolah. Akan kutunjukkan."
Amanda memelototi tengkuk Chrissy dengan sebal sewaktu gadis itu berjalan mengikuti Dave ke pintu.
Begitu pintu depan ditutup, Amanda bergegas ke kamar Chrissy. Tanpa membuang waktu sedikit pun, ia berjalan melintasi kamar itu dan menarik laci lemari paling atas. Baju-baju dalam Chrissy terlipat rapi di dalamnya.
Dengan tangan gemetar, Amanda mengeluarkan pisau itu dari dalam tas. Mata pisaunya berkilauan ditimpa cahaya matahari.
Sekujur tubuhnya terasa dingin. Ia tidak suka memegang pisau itu.
Tanpa peringatan sama sekali, sekonyong- konyong terjadi peristiwa aneh. Setitik warna merah muncul di ujung mata pisau.
Amanda mengamatinya dengan sikap ingin tahu.
Apa yang terjadi" tanyanya dalam hati.
Ia mengangkat pisau itu sedekat mungkin supaya bisa lebih jelas melihatnya.
Kemudian, saat ia sedang ternganga takut bercampur terkejut, sepercik cairan merah muncrat dari mata pisau itu.
Amanda tersentak. Darah! Darah muncrat dari mata pisau itu! Membasahi sekujur tubuhku!
Bulu-bulu yang Terkulai AMANDA berteriak ketakutan dan melempar pisau itu ke lemari.
Sambil memuncratkan darah segar, pisau itu menghantam bagian atas lemari, dan jatuh ke laci yang terbuka.
Dengan perasaan tak keruan dan tubuh membeku ketakutan, Amanda melihat baju-baju dalam Chrissy dibanjiri warna merah.
"Tidak mungkin!" jeritnya keras-keras. Suaranya lemah dan tercekat.
"Ini tidak mungkin terjadi!"
Tahu-tahu ia sudah lari menuruni tangga, ke ruang tamu yang kosong melompong.
Mana orangtuanya" Kenapa mereka tidak datang menolongnya"
"Ohhhh." Amanda terkesiap ngeri melihat sangkar burung.
Ia berjalan mendekat. Lalu maju satu langkah lagi. Dan berhenti.
"Tidaaakk!" Jeritannya membahana. Garam dan Merica tergeletak di sangkarnya, mati.
"Leher mereka?" bisik Amanda sambil mencengkeram lehernya sendiri dengan tangan yang terasa dingin. "Leher mereka digorok!"
Mendengar jeritan Amanda, Mrs. Conklin berlari-lari dari dek. "Amanda"ada apa?" teriaknya dengan napas terengah-engah. "Bajumu kena darah. Kau?"
Amanda menuding ke arah sangkar, sementara tangan yang satu masih memegangi leher, seolah-olah hendak melindunginya.
Ibunya terkesiap. "Oh, tidak?"
Tak ada yang bergerak. Ruangan itu berubah sunyi senyap.
Samar-samar Amanda mendengar pintu depan dibuka dan ditutup. Ada yang masuk ke dalam rumah dan bergegas naik ke lantai atas. Tapi Amanda sudah tidak sanggup mengira-ngira siapa yang datang itu. Sekujur tubuhnya seolah mati rasa, terlalu ngeri sehingga tidak merasakan apa-apa.
Mrs. Conklin yang pertama membuka mulut. "Amanda, aku tidak mengerti. Kenapa kau tega melakukannya?"
Amanda memandangi ibunya dengan tatapan kosong. Apa maksudnya"
Chrissy menghambur masuk. Di tangannya teracung pisau yang penuh darah itu. Mata pisaunya berbercak-bercak merah.
"Mrs. Conklin!" jerit Chrissy megap-megap. "Aku menemukan pisau ini di laci lemariku. Darah berceceran di mana-mana! Semua baju dalamku kotor! Semuanya kotor!"
Mendadak Chrissy terdiam waktu melihat baju Amanda yang berbercak darah. Lalu matanya beralih ke burung-burung yang tergeletak mati itu.
"Oh, tidak!" pekik Chrissy sambil memegang kedua pipinya. "Burung-burung itu! Mereka"mereka?" Ditatapnya Amanda dengan mata menyipit. "Darah di laci itu"adalah darah burung-burung ini?"
"Jangan sok lugu!" teriak Amanda sambil mengepalkan tinjunya. "Jangan pura-pura, Chrissy! Ini semua ulahmu! Kau! Entah bagaimana caranya"tapi semuanya gara-gara kau!"
Chrissy memekik dan menutup mulutnya dengan satu tangan. Matanya membelalak bingung. "Bagaimana kau bisa berkata begitu, Amanda" Bagaimana kau bisa memfitnahku seperti itu" Kenapa kau benci sekali padaku?"
Lagi-lagi Amanda merasa kehilangan kendali. Tapi ia tidak bisa berhenti. "Dasar jahanam!" jeritnya. "Kau jahanam, dan aku mau kau angkat kaki dari sini! Keluar dari sini sekarang!"
Ayah Amanda menghambur masuk. "Tenang, Amanda," bentaknya marah. "Tarik napas panjang! Jangan berkata apa-apa lagi!"
Ia berpaling pada istrinya. "Apakah ia mencoba menyakiti Chrissy lagi?"
"Tidak!" jerit Amanda putus asa. "Tidak"tolong dengarkan aku! Tidak! Jangan musuhi aku! Percayalah padaku! Please! Percayalah padaku!"
Amanda memandangi keduanya. Mereka orangtuanya. Mereka pasti percaya padanya.
Benarkah demikian" "Garam dan Merica mati,"' jawab Mrs. Conklin dengan suara lirih. "Chrissy menemukan pisau itu di laci lemarinya."
"Ini sudah keterlaluan," tukas Mr. Conklin, menghela napas. "Kita harus membawa Amanda ke dokter jiwa"sekarang juga."
Kabar Buruk ESOK paginya, Amanda berada di ruang periksa Dr. Elmont, seorang psikiater. Umur dokter itu kira-kira enam puluh tahun. Rambutnya sudah beruban, dan matanya gelap serta tajam menusuk.
Dr. Elmont tidak banyak bicara. Ia hanya duduk bersandar di kursinya yang besar dan berlapis kulit warna cokelat, melipat tangan, dan mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Amanda.
Mulanya Amanda enggan berbicara. Tapi begitu mulai, ia merasa lega bisa menceritakan semuanya. Lambat-lambat, sambil berusaha agar tetap tenang, ia menceritakan semua yang terjadi semenjak kedatangan Chrissy.
Selesai menumpahkan segala unek-uneknya, Amanda menunggu komentar dokter itu.
"Banyak sekali yang telah kaualami," kata Dr. Elmont sambil bergerak-gerak di kursinya dan meluruskan kedua tangannya di atas kepala.
"Kalau begitu Anda percaya pada saya?" tanya Amanda dengan perasaan lega.
"Aku percaya bahwa kau percaya pada apa yang kauceritakan," jawab Dr. Elmont.
Amanda merasa seperti ditonjok.
Dokter itu tidak menganggapnya sebagai tukang bohong, tapi sebagai orang yang tidak waras.
"Apakah karena tidak lulus aljabar, kau merasa telah mengecewakan orangtuamu?" tanya dokter itu.
Air mata Amanda menggenang. "Ini tidak ada hubungannya dengan aljabar. Tidak ada sama sekali," katanya ngotot.
"Aku akan mengajukan beberapa kemungkinan, siapa tahu ada yang mengena," kata Dr. Elmont. "Mungkin jauh di lubuk hatimu, kau merasa tidak pantas lagi mendapatkan kasih sayang orangtuamu karena kau tidak lulus aljabar. Mungkin kau merasa Chrissy telah merebut kasih sayang mereka, jadi kau benci padanya."
Setetes air mata mengalir di pipinya. Amanda menundukkan kepala dengan perasaan merana. "Anda salah besar," bisiknya. "Itu sama sekali tidak benar."
Dr. Elmont mengitari meja. Ia mendekati Amanda dan menepuk-nepuk bahunya. "Jangan menangis. Semuanya akan beres nanti. Sekarang, aku ingin bicara dengan kedua orangtuamu sebentar."
Sambil menyeka pipinya, Amanda pergi ke ruang tunggu. Ayah-ibunya mendongak begitu melihatnya keluar. Mereka berdua tampak pucat dan suram. "Dr. Elmont ingin bicara," gumam Amanda.
"Kelihatannya kau belum merasa lebih tenang," komentar ibunya sambil mengamati.
"Memang belum," jawab Amanda pendek.
Dr. Elmont muncul di ambang pintu. "Tunggu sebentar ya, Sayang," kata Mrs. Conklin.
Amanda duduk dan menunggu, menerka-nerka apa yang dikatakan Dr. Elmont pada kedua orangtuanya. Apakah ia akan meminta mereka mengirimnya ke rumah sakit jiwa"
Amanda mengeluh dan menggeleng-gelengkan kepala, berusaha keras menahan tangis.
Waktu pun berlalu. Rasanya seperti sudah seabad orangtuanya di dalam sana.
Ketika akhirnya mereka keluar juga, ekspresi keduanya tampak muram. Dr. Elmont menyusul di belakang.
"Nah, Amanda, lima hari lagi kau harus kembali ke sini," kata dokter itu padanya. "Kalau sebelum itu kau merasa perlu bicara denganku, telepon saja. Mintalah kartu namaku di meja resepsionis. Yang paling penting, kau harus berusaha rileks dan melupakan semuanya."
Amanda mengangguk sekenanya dan mengambil kartu nama yang dimaksud di meja resepsionis. Dalam hati ia berharap, semoga orangtuanya tidak membayar biaya konsultasi yang terlalu tinggi untuk nasihat seperti itu. Rileks dan lupakanlah. Trims deh, Dok!
"Apa katanya mengenai aku?" tanya Amanda saat mereka berjalan melintasi lapangan parkir menuju mobil sewaan yang menggantikan mobil station wagon mereka yang sedang diperbaiki.
"Menurutnya kau tertekan karena tidak lulus aljabar," jawab ayahnya. "Kegagalan itu lantas menimbulkan perasaan takut ditolak, dan dalam alam bawah sadarmu, kau takut kalau-kalau kami ingin menggantikanmu dengan Chrissy."
"Persis seperti yang ia katakan padaku. Tapi itu tidak benar," tandas Amanda.
"Semua ini berlangsung di alam bawah sadarmu, Amanda," kata Mrs. Conklin. "Kau tidak bisa mengendalikannya. Itulah sebabnya mengapa Dr. Elmont menyarankan agar kau rileks, untuk mengurangi stres."
Amanda masuk ke kursi belakang dan membaringkan badannya. Kemarin malam ia tidak bisa tidur. Dipejamkannya mata. Waktu kecil dulu, aku bisa tidur di mobil. Mungkin sekarang juga bisa.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara ibunya berbisik, "Amanda, kau sudah tidur?"
Amanda tidak berniat menyahut. Ia benar-benar tidak ingin diganggu. Jadi ia sengaja membiarkan orangtuanya mengira ia sudah tidur.
"Ia tidur," bisik Mrs. Conklin pada suaminya. "John, apakah menurutmu sebaiknya kita memberhentikan Chrissy?"
"Tidak bisa," jawab Mr. Conklin dengan suara pelan. "Kau dengar sendiri apa kata Dr. Elmont."
"Aku tahu," ujar Mrs. Conklin sambil mengeluh. "Kalau kita memberhentikan Chrissy, itu berarti kita membenarkan ketakutan Amanda yang tidak beralasan itu. Padahal kita tidak menghendaki hal semacam itu, kan" Kita tidak mau membuat Amanda mengira dirinya benar. Mengira Chrissy itu ancaman baginya."
"Yang dikatakan dokter itu memang masuk akal," bisik Mr. Conklin. "Kalau ia menganggap Chrissy sebagai ancaman, pada akhirnya ia akan menganggap orang lain juga sebagai ancaman. Dan ia akan mengulangi semua kegilaan seperti ini lagi."
"Iya deh, iya deh," ucap Mrs. Conklin dengan raut sedih bercampur pasrah. "Lebih baik kita mempertahankan Chrissy dan meminta Amanda mengatasi perasaannya."
"Jadi Chrissy akan tetap kita pertahankan," tegas Mr. Conklin.
Jantung Amanda berdebar-debar mendengarkan percakapan itu.
Chrissy itu jahanam! ia ingin berteriak.
Kenapa Mom dan Dad percaya pada omong kosong Dr. Elmont"
Chrissy itu jahanam! Tidak diragukan lagi!
Sepanjang perjalanan, Amanda memutar otak.
Jadi aku harus bagaimana" Sekarang aku harus bagaimana"
Ketika mobil berhenti di jalan masuk yang berkerikil, sebuah ide muncul di benaknya. Ia akan membuat mereka semua mengira ia menerima teori Dr. Elmont. Dengan begitu, ayah-ibunya akan lega. Dan Chrissy menjadi lengah.
Amanda pura-pura baru bangun tidur. Ia menguap dan menggeliat sambil berjalan mengikuti orangtuanya masuk ke rumah. Di dalam, Chrissy sedang duduk bersimpuh di lantai, asyik bermain monopoli bersama Kyle, sementara Merry nonton film Sesame Street di televisi.
Chrissy tampak cantik dengan baju terusan dari katun putih dan rambut diikat pita merah jambu. Heran juga Amanda menyadari betapa gemarnya Chrissy memakai baju warna putih.
Soalnya dia murni, sih, pikir Amanda sinis. Jahanam murni.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Chrissy manis.
"Sangat bagus," jawab Amanda. "Boleh aku bicara denganmu di dek, Chrissy?"
"Tentu," jawab Chrissy. "Sebentar ya, Kyle."
"No problem," sahut Kyle. Ia mendongak dan memandang Amanda dengan raut sedih. Kasihan Kyle, pikir Amanda. Dikiranya kakaknya benar-benar sudah gila.
Semilir angin laut berembus di dek. Hari yang benar-benar indah. "Begini, Chrissy," Amanda memulai. "Menurut Dr. Elmont, semuanya ini hanyalah"ngerti, kan"khayalanku belaka. Katanya, aku merasa terancam oleh kehadiranmu di sini. Jadi, aku ingin minta maaf. Sungguh. Aku menyesali sikapku selama ini. Maafkan semua perbuatanku padamu."
Amanda mengembuskan napas panjang. Nah, sudah. Langkah pertama untuk memperbaiki keadaan sudah selesai kulakukan"atau lebih tepatnya, aku sudah pura-pura melakukannya.
"Aku mengerti," sahut Chrissy sungguh-sungguh. "Aku harap kita bisa berteman."
Mendadak Amanda merasa ada sesuatu yang lembut mengelus kakinya. "Anak kucing!" pekiknya senang.
Tampak seekor anak kucing mungil berbulu belang tiga. Amanda berlutut dan menggendongnya. "Kau muncul dari mana, Manis?" tanyanya, ingat kalau kucing yang bulunya belang tiga biasanya berjenis kelamin betina.
Anak kucing itu mendengkur seperti mesin motor kecil. Tapi sekonyong-konyong dengkurannya berhenti. Hewan mungil itu mengeluarkan cakar-cakarnya dan mendesis pada Chrissy.
"Sebaiknya jangan kau pelihara kucing itu," Chrissy memperingatkan dengan ekspresi tegang. "Siapa tahu banyak penyakitnya. Mestinya kau tidak memegang hewan nyasar sembarangan. Lihat saja, ia ganas."
Alarm peringatan berdering di dalam kepala Amanda. Ia teringat pada Mr. Jinx. Ditatapnya Chrissy dengan tajam.
Kenapa binatang-binatang benci padanya"
Amanda meletakkan anak kucing itu di dek dan memperhatikannya lari menjauh.
"Bagus. Biarkan ia kembali ke tempat asalnya," komentar Chrissy dengan wajah berubah cerah. "Kau mau ikut main monopoli bersama kami?"
"Tidak, terima kasih," jawab Amanda. "Aku mau jalan-jalan saja di pantai."
"Baiklah. Aku senang kita bisa berbaikan, Amanda."
"Aku juga," sahut Amanda sependapat.
Chrissy menghilang ke dalam, sedangkan Amanda turun ke kolam. Sesampainya di gudang, ia mendengar suara kucing mengeong. Dilihatnya anak kucing tadi di bayang-bayang gudang, seolah bersembunyi.
"Ada apa, Manis?" tanya Amanda sambil membungkuk. "Kau kesasar, ya" Atau dibuang di hutan?"
Anak kucing itu menjawabnya dengan menyundul tangan Amanda.
"Ayo," ucap Amanda lembut sambil menggendong anak kucing itu. "Aku akan menyelundupkanmu ke kamar. Jangan sampai Chrissy marah, soalnya kami sekarang harus berteman."
Amanda membawa anak kucing itu ke kolam renang. Dibungkusnya makhluk mungil itu dengan selembar handuk pantai, dan dibawanya ke depan rumah.
Chrissy dan Kyle sedang berkonsentrasi penuh pada permainan monopoli mereka. Jadi Amanda bisa dengan gampang menyelundupkan anak kucing itu ke kamar. Tanpa suara ia pergi ke dapur dan mengeluarkan sebungkus makanan kucing yang dulu dibeli untuk Mr. Jinx.
Sekembalinya di kamar, Amanda melumat makanan kering itu dengan pensil dan meletakkannya di atas majalah, lalu menyodorkannya pada anak kucing itu. Sambil memperhatikan hewan itu melahap makanannya, Amanda berbaring di atas tempat tidur.
Ketukan di pintu membuatnya terkejut.
Ia terduduk, bingung. Seberkas sinar abu-abu menerobos masuk melalui jendela.
Amanda sadar, ia pasti sudah hampir seharian tidur.
"Amanda, kau sudah bangun" Ada telepon," terdengar suara ibunya memanggil-manggil di balik pintu.
Suzi! pikir Amanda. "Kau tunggu di sini dan jangan ribut, ya," bisiknya pada si anak kucing, lalu keluar dari kamar.
Gagang telepon tergeletak di atas meja dapur. Amanda mengangkatnya dengan penuh semangat. "Hai. Suzi?"
"Ini bukan Suzi," terdengar suara cewek yang sudah amat dikenal Amanda. "Ini aku."
"Carter?" seru Amanda terkejut. Ternyata Carter Phillips, teman Suzi. Ia juga anak Shadyside High, tapi Amanda tak begitu akrab dengannya. "Ada apa?"
"Kau sudah mendengar kabar tentang Suzi?" tanya Carter, suaranya terdengar tegang.
"Belum. Kabar apa?" tanya Amanda.
"Ya, tentu saja kau belum tahu. Bagaimana kau bisa tahu?" balas Carter. Lalu suaranya berubah serak, dan sambil terisak ia berkata, "Ada"ada kabar buruk, Amanda. Buruk sekali."
"Hah?" Amanda terkesiap. "Kabar buruk apa, Carter" Apa maksudmu?"
Keluar Sekarang Juga! "Suzi masuk rumah sakit," kata Carter dengan suara gemetar.
"Apa?" Amanda mengira ia salah dengar. "Kenapa?"
"Kemarin ia pergi ke perpustakaan, mencari keterangan mengenai sesuatu," lanjut Carter. "Kejadiannya"kejadiannya aneh sekali, Amanda. Tiba-tiba saja ia roboh di depan proyektor mikrofilm. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah."
"Mengerikan!" pekik Amanda, tangannya mencengkeram gagang telepon. "Kenapa bisa begitu?"
"Dokter-dokter bingung semua," jawab Carter. "Mereka sama sekali tidak tahu penyebabnya. Ia tetap dirawat di rumah sakit untuk menjalani serangkaian tes."
Amanda merasa perutnya mulas ketakutan. Ini perbuatan Chrissy! Ia yakin sekali. Waktu ia sedang berbicara dengan Suzi melalui telepon, mendadak Chrissy ikut nimbrung. Entah bagaimana, Chrissy pasti telah mengguna-gunai Suzi dengan kekuatannya.
"Amanda, kau masih di sana?" tanya Carter.
"Eh"masih. Maaf. Aku sedang memikirkan hal lain. Kabar ini benar-benar menyedihkan!"
"Memang. Hari ini aku mengambilkan barang-barang Suzi yang ketinggalan di perpustakaan. Mrs. Banton minta tolong padaku. Petugas perpustakaan itu memberitahu, ketika peristiwa itu terjadi, Suzi sedang melihat-lihat koran Harrison County Gazette terbitan lama melalui mikrofilm. Mrs. Banton tidak tahu kenapa ia melakukan hal itu. Suzi kan bukan tipe orang yang suka melakukan riset kalau tidak benar-benar terpaksa."
"Dari mana kau tahu nomor teleponku?" tanya Amanda, pikirannya masih tertuju pada Chrissy.
"Ada catatan nomor telepon rumah peristirahatanmu di buku Suzi. Jadi aku lantas memutuskan untuk meneleponmu, kalau-kalau kau tahu sesuatu yang bisa membantu. Dia tidak kecanduan obat-obatan atau sebangsanya, kan?"
"Hah" Suzi" Tentu saja tidak!" jawab Amanda dengan suara gemetar. Tangannya bergetar hebat sampai-sampai ia tidak bisa memegang telepon dengan benar di telinganya.
"Tahukah kau kenapa ia melihat-lihat koran-koran lama itu?" tanya Carter.
"Tidak, tidak tahu." Bagaimana ia bisa menjelaskan masalah ini pada Carter" "Carter, sudah dulu, ya. Telepon aku besok dan beritahukan keadaan Suzi. Oke?"
"Baiklah," jawab Carter menyanggupi. "Ia tidak boleh ditengok, tapi aku akan menelepon Mrs. Banton untuk menanyakan keadaannya."
"Terima kasih," kata Amanda sambil menutup telepon. Ia memandangi alat itu sambil berusaha menghentikan badannya yang gemetar dan memeras otak.
Satu hal sudah pasti, ia memutuskan. Aku harus masuk ke kamar Chrissy dan melihat guntingan-guntingan koran itu. Dari sanalah aku akan mendapat jawaban mengenai siapa Chrissy sesungguhnya dan apa maksudnya yang sebenarnya.
Mrs. Conklin masuk ke dapur. "Amanda, kau pucat pasi. Ada apa?"
"Suzi Banton masuk rumah sakit," jawabnya.
Wajah Mrs. Conklin menunjukkan keprihatinan. "Kenapa?"
"Aku belum tahu pasti. Para dokter juga belum ada yang tahu pasti." Hanya itu yang akan ia katakan. Kalau ia mengutarakan kecurigaannya terhadap Chrissy, besok ia pasti akan langsung dibawa ke Dr. Elmont.
"Bagaimana hasil pembicaraanmu dengan Chrissy?" tanya Mrs. Conklin.
Sejenak mata Amanda bergerak-gerak gelisah. Bagaimana menjawabnya" Akhirnya ia memutuskan untuk tetap bersandiwara, seolah ia sudah benar-benar berbaikan dengan Chrissy. "Bagus. Apa yang dikatakan oleh Dr. Elmont benar-benar masuk akal. Mulai sekarang, aku akan berteman dengan Chrissy."
Mrs. Conklin mengamati Amanda. "Kuharap juga begitu, Sayang."
"Yeah, Mom tidak usah khawatir."
"Baiklah kalau begitu. Begini, tadi keluarga Baker menelepon dan mengundang kami datang. Malam ini Chrissy bebas tugas. Apakah kau sudah merasa cukup sehat untuk menjaga adik-adikmu?"
Amanda menoleh ke ambang pintu. Tepat pada saat itu, Chrissy muncul. "Aku tidak akan pergi bila memang dibutuhkan," katanya menawarkan.
"Tidak, tidak apa-apa. Kau pergi saja, Chrissy," kata Amanda sambil menyunggingkan seulas senyum hangat.
Kalau Chrissy pergi, berarti aku punya kesempatan untuk mencari guntingan-guntingan koran itu dan menelepon referensi yang ada di resume Chrissy, pikir Amanda. "Sungguh. Toh sudah hampir waktunya Kyle dan Merry tidur. Tidak banyak yang harus dikerjakan."
"Aku juga tidak, punya rencana apa-apa," timpal Chrissy. "Sedangkan kau baru mengalami masa-masa sulit. Aku tidak keberatan menemani mereka."
"Kalian bisa mengaturnya sendiri." Mrs. Conklin tertawa. "Asal salah seorang dari kalian tidak pergi, kami bisa pergi."
"Aku yang akan menemani mereka," tegas Amanda.
"Kalau begitu, paling tidak aku akan mengantarkan Kyle dan Merry tidur, dan mengucapkan selamat malam," kata Chrissy. "Mereka marah kalau aku tidak melakukannya."
Chrissy bergegas pergi. Mrs. Conklin mengecup dahi Amanda. "Mom rasa, kalian berdua benar-benar bisa berteman baik. Mom senang sekali. Terima kasih karena kau mau menemani mereka."
"Tidak apa-apa."
Tak lama kemudian, Mr. dan Mrs. Conklin berangkat. Amanda kembali ke kamarnya. Ia melewati kamar yang ditempati Kyle dan Merry. Chrissy duduk di atas tempat tidur sambil membacakan cerita Kucing Ngumpet di Topi Datang Kembali untuk Merry.
Di kamarnya, Amanda menemukan salinan resume Chrissy. "Kau diam saja di sini," kata Amanda pada si anak kucing. "Kalau kau ingin selamat, Chrissy tidak boleh melihatmu."
Amanda cepat-cepat kembali ke dapur. Saat melewati kamar adik-adiknya, didengarnya Chrissy sedang membacakan buku yang lain untuk Merry. Amanda menutup pintu dapur dan berjalan menghampiri pesawat telepon. Ia menghubungi nomor telepon yang kedua, yang tak pernah diangkat.
Satu kali deringan. Dua. Tiga. Empat. Amanda menyerah pada deringan yang ketujuh.
Memang payah, pikir Amanda. Diliriknya pintu dapur, lalu dihubunginya nomor telepon yang pertama, yang nadanya selalu sibuk itu.
Kali ini teleponnya langsung diangkat. "Halo?"
"Oh, halo," balas Amanda terkejut. "Saya menelepon mengenai Chrissy Minor. Ia memberikan nomor telepon ini dalam referensinya." Amanda memeriksa nama yang tertera di atas nomor telepon itu. Elaine Harriman. "Katanya saya harus menghubungi Mrs. Harriman."
"Yah?" Cewek yang menjawab teleponnya terdengar ragu-ragu. "Aku cuma tetangga. Ibu dan aku"kami datang ke rumah Pak Hakim. Kami heran mengapa sudah lama sekali tidak melihat keluarga Harriman. Kau tidak akan percaya bila melihat apa yang baru kami temukan. Aku"maafkan aku. Aku kepingin muntah. Soalnya benar-benar?"
Saat itu Amanda mendengar suara seorang wanita berseru, "Siapa yang menelepon, Rachel?"
"Seseorang yang ingin bertanya mengenai Chrissy."
"Tutup teleponnya sekarang juga," Amanda mendengar wanita itu memerintahkan.
"Jangan"please," Amanda memohon. "Jangan ditutup."
"Aku tidak bisa bicara sekarang," kata cewek itu. Lalu dengan suara direndahkan, cewek itu bertanya, "Kau tadi bilang ini soal referensi" Kau tahu di mana Chrissy sekarang?"
"Ya, dia ada di sini."
"Chrissy ada di rumahmu!?" terdengar cewek itu terkesiap ngeri. "Oh, tidak! Cepat keluar dari sana"sekarang juga!"
"Kenapa?" tanya Amanda. "Kenapa?"
Hubungan pun terputus. Foto yang Mengejutkan AMANDA memandangi telepon yang terputus itu dengan shock.
Ia mendongak dan melihat Chrissy berdiri di ambang pintu, kedua tangan terlipat di dadanya yang terbungkus gaun putih. "Teleponnya rusak?" tanya Chrissy, senyum aneh menghiasi wajahnya.
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Amanda sambil cepat-cepat mengembalikan gagang telepon itu ke tempatnya. "Aku sedang mencoba mengingat-ingat nomor telepon seseorang."
"Nomor telepon Suzi Banton?" tanya Chrissy.
Jantung Amanda berdebar. "Bukan." Apakah Chrissy bermaksud mengakui perbuatannya terhadap Suzi"
Chrissy menghampiri kulkas. "Ibumu bercerita tentang temanmu, Suzi. Kasihan."
Amanda menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi Chrissy malah membuka lemari dan mengambil gelas.
Cepat-cepat Amanda keluar, otaknya berputar. Gadis yang mengangkat teleponnya tadi menyuruhnya segera menyingkir dari rumah. Apa yang ia temukan di rumah keluarga Harriman" Apa pun itu, menurut cewek tadi, keadaannya bikin mual.
Apa yang telah dilakukan Chrissy"
Bayangan-bayangan mengerikan bermunculan di benak Amanda. Ia harus menyingkirkan semuanya. Kalau pikirannya dibiarkan merajalela, bisa-bisa ia panik nanti.
Amanda memperlambat langkahnya begitu mendekati kamar Kyle dan Merry. "Semua beres?" serunya ke dalam kamar.
"Yeah, tapi Chrissy bilang akan membawakan segelas susu untukku. Mana dia?" tanya Kyle dari atas tempat tidur. Ia sedang membaca-baca buku komik. Sementara Merry tidur lelap.
"Oke. Sebentar lagi pasti datang," kata Amanda sambil berjalan kembali ke dapur.
Haruskah ia mempercayai cewek yang mengangkat teleponnya itu"
Haruskah ia membawa adik-adiknya keluar dari sini"
Tapi mereka akan pergi ke mana"
Selain itu, ayah-ibunya pasti akan langsung membawa mereka pulang. Dan mereka pasti menyangka gilanya kumat lagi.
Tidak, Amanda memutuskan dalam hati. Lebih baik menyuruh Chrissy keluar malam ini. Dengan begitu ia bisa mencari guntingan-guntingan koran itu, menunjukkan apa saja yang bisa ia temukan pada kedua orangtuanya, dan berharap semoga temuannya itu cukup untuk meyakinkan mereka bahwa Chrissy memang benar-benar jahat.
Amanda berhenti di depan pintu dapur. Pintu itu ditutup.
Kenapa" Amanda membukanya sedikit dan mengintip.
Di tangan Chrissy ada bungkusan kecil. Ia menuangkan semacam bubuk berwarna kecokelat-cokelatan ke dalam gelas susu.
Dengan jantung berdebar-debar, Amanda menyandarkan dirinya ke dinding. Bungkusan itu berisi apa"


Fear Street - Musim Panas Berdarah One Evil Summer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Racun" Jangan sampai Kyle minum susu itu, pikir Amanda.
Sambil menghela napas dalam-dalam, Amanda mendorong pintu dapur. Ia menyandarkan badan ke counter dengan lagak biasa- biasa saja. "Apa rencanamu malam ini?"
"Sudah kubilang"tidak ada rencana apa-apa," jawab Chrissy. "Mungkin aku akan di kamar saja dan menulis surat."
"Kedengarannya kok membosankan," komentar Amanda, berusaha agar nada suaranya tidak terdengar putus asa. "Kenapa tidak nonton film saja" Di kota sedang diputar film horor baru, judulnya Peselancar Darah. Dengar-dengar, filmnya sangat mengerikan, jadi pasti bagus."
"Tidak, terima kasih," tolak Chrissy sambil tersenyum. "Aku tidak suka film-film horor." Diangkatnya gelas susu itu.
Amanda memegang gelas itu. "Biar aku yang membawakannya ke Kyle," ia menawarkan. "Malam ini kau kan bebas tugas."
"Yah, boleh saja," kata Chrissy. "Tentu."
Tentu, Amanda menirukan dalam hati dengan sinis. Tentu saja kau senang kalau aku dituduh membunuh adikku sendiri, bukan" Toh semua orang menganggapku sinting"gara-gara kau, Chrissy.
"Aku bersih-bersih dulu di sini," kata Chrissy ramah.
Amanda keluar sambil membawa gelas susu itu, bingung hendak melakukan apa. Kalau ia tidak memberikannya pada Kyle, bocah itu pasti ngamuk. Dan Chrissy akan membuatkan susu beracun lagi untuknya.
Amanda sengaja berlama-lama, menunggu sampai Chrissy naik ke kamarnya atau pergi. Lalu ia akan membuang susu ini.
Ketika ia sedang berdiri sambil berpikir-pikir, bel pintu berbunyi. Masih dengan gelas susu di tangan, Amanda membukakan pintu. Ternyata Dave.
"Hai," sapa cowok itu sambil tersenyum. "Tadi pagi kau tidak ke sekolah, jadi aku datang untuk membawakan PR. Kau sakit, ya?"
Cepat tapi tanpa suara, Amanda menarik cowok itu masuk. "Tidak, aku tidak sakit. Tapi aku senang kau datang," bisiknya. "Aku yakin Chrissy telah meracuni susu ini. Ia ingin aku memberikan susu ini pada Kyle dan?"
"Tunggu!" sela Dave. "Ia meracuni susu ini" Bagaimana dengan pisau itu?"
Amanda meremas lengan cowok itu, "Kau tidak bakal percaya. Pokoknya mengerikan sekali. Aku?"
Tiba-tiba saja tangan Dave terayun, menghantam gelas di tangan Amanda. Gelas itu jatuh dan pecah berantakan di lantai kayu. "Ya ampun! Goblok benar aku!" teriaknya.
Lirikan matanya membuat Amanda menoleh. Chrissy baru saja keluar dari dapur. Lalu gadis itu melihat apa yang terjadi. "Tidak apa-apa," Chrissy buru-buru berkata. "Kuambilkan lap pel sebentar."
"Terima kasih," bisik Amanda pada Dave begitu Chrissy menghilang ke dapur. "Cepat juga kau dapat ide. Nanti saja aku ceritakan soal pisau itu. Apakah kau bisa mengajaknya melakukan sesuatu sementara aku memeriksa isi kamarnya" Menunjukkan mobilmu atau apalah" Semakin lama, semakin?"
"Ini dia lapnya," seru Chrissy, muncul dari dapur. Ia membungkuk dan mengeringkan tumpahan susu itu dengan kain pel. "Selesai sudah," katanya sambil memandang Dave dengan mata lebar. "Sekarang aku akan mengambilkan susu lagi untuk Kyle. Masalahnya, bubuk cokelatnya sudah habis. Menurutmu Kyle mau tidak minum susu putih?"
"Hah?" Amanda tercengang. "Cokelat?" Jadi isi bungkusan itu cuma bubuk cokelat" Apa aku sudah mulai paranoid sekarang" tanya Amanda dalam hati. Atau sudah benar-benar sinting"
Dilihatnya Dave menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya.
"Eh"biar aku yang mengambilkan," kata Amanda menawarkan diri dengan penuh semangat.
"Nah, Dave, apa kabar" Wah, kulitmu gosong! Aku suka sekali!" puji Chrissy, sementara Amanda beranjak ke dapur.
Genit benar kau, Chrissy! Kenapa tidak sekalian kauterkam saja dia" pikir Amanda sebal sambil membuka pintu lemari es.
"Film Peselancar Darah sedang diputar di kota," Amanda mendengar Dave berkata. "Tadinya aku ingin mengajak Amanda nonton, tapi ia bilang mau belajar aljabar. Bagaimana kalau aku mengajakmu" Mau, kan?"
"Mau sekali," jawab Chrissy. "Aku senang film-film horor. Katanya, film itu sangat mengerikan, jadi pasti bagus. Kebetulan malam ini aku bebas tugas. Apakah menurutmu Amanda tidak akan keberatan?"
"Tidak, kenapa harus keberatan" Nanti aku yang bilang padanya," kata Dave.
Tak apalah bila Dave mengajak Chrissy nonton, asal dia bisa keluar sebentar dari rumah ini, pikir Amanda sambil menuangkan susu. Konyol kalau aku sampai cemburu.
"Aku mau mengambil baju hangat dulu di kamar," terdengar Chrissy berkata.
Amanda cepat-cepat keluar dari dapur. "Kok pakai kencan segala, sih?" bisik Amanda.
"Soalnya dengan begitu paling tidak kau punya waktu dua jam," Dave balas berbisik.
"Pokoknya hati-hati sajalah," ujar Amanda memperingatkan.
"Yeah, tentu saja," goda Dave. "Aku tidak akan mau dikasih susu cokelat olehnya!"
Chrissy muncul di tangga. "Dave sudah bilang padamu, Amanda" Kami mau nonton film yang kauusulkan tadi. Tidak apa-apa, kan?"
"Selamat bersenang-senang," jawab Amanda datar.
Begitu didengarnya suara mobil Dave menjauh, Amanda cepat-cepat ke atas. "Ini susumu," katanya pada Kyle sambil melangkah masuk ke kamar adik-adiknya. "Oh, sudah tidur."
Diambilnya buku komik dari tangan Kyle. Lalu diselimutinya Merry dan dimatikannya lampu kamar.
Ia turun lagi ke dapur dan menghubungi nomor telepon keluarga Harriman. Siapa tahu cewek yang tadi menutup teleponnya akan mau bicara dengannya sekarang.
Tapi telepon berdering dan berdering terus tanpa ada yang mengangkat. Cewek itu pasti sudah kembali ke rumahnya sendiri.
Sambil mengeluh, Amanda menyerah. "Kita cari saja guntingan-guntingan koran itu," gumamnya dengan suara keras.
Dengan jantung berdebar kencang, Amanda bergegas masuk ke kamar Chrissy. Noda darah masih tampak di karpet kamar yang berwarna biru.
Ketika membuka laci lemari paling atas, Amanda merasa lega ketika melihat barang-barang Chrissy yang terkena darah sudah disingkirkan semua. Namun masih tampak bekas cipratan darah di bagian dalam laci. Merinding Amanda mengingat peristiwa itu.
Guntingan-guntingan koran itu tidak ada di sini, pikir Amanda sambil menutup laci yang paling atas. Lalu satu per satu, laci yang ada di lemari itu dibuka dan diperiksanya isinya.
Tapi yang ia temukan hanya baju-baju.
Tidak ada sehelai pun guntingan koran.
Amanda membuka rak dinding yang berukuran kecil. Sambil berjinjit, dikeluarkannya setumpuk kotak sepatu dari rak paling atas. Tiap kotak dibuka dan dilihat isinya"hanya ada sepatu.
Kotak yang terakhir berisi sepasang sepatu bot dari kulit. Amanda terdorong untuk melihatnya. Diangkatnya sepatu itu dari dalam kertas tisu yang melapisi kotak. Setidaknya selera Chrissy lumayan bagus, pikirnya.
Saat mengembalikan sepatu itu ke dalam kotaknya, Amanda melihat sebundel guntingan koran yang sudah menguning mengintip dari sudut kotak, di bawah lapisan kertas tisu.
Amanda kegirangan. Diangkatnya lapisan kertas tisu itu. "Yes!" bisiknya lirih. "Akhirnya ketemu juga!"
Amanda mengangkat guntingan koran yang pertama. Ia menutup mulut dengan tangan, kaget bukan kepalang ketika melihat foto yang terpampang di samping artikel itu.
Itu foto ayahnya! Lilith SAMBIL berusaha keras menenangkan tangannya yang gemetaran, Amanda cepat-cepat membaca isi artikel itu.
Pengacara Publik John Conklin dari Shadyside akan membela Arthur Lawrence, tertuduh dalam kasus pembakaran gedung. Mr. Lawrence, seorang tunawisma, selama ini tinggal di kolong jembatan kereta api yang terletak di perbatasan Peachton, Harrison County.
Lembah Tiga Malaikat 11 Suro Bodong 01 Pedang Jitu Sakti Darah Pembangkit Mayat 2

Cari Blog Ini