Ceritasilat Novel Online

Pengkhianatan The Betrayal 1

Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal Bagian 1


Desa Shadyside 1900 API bergemuruh seperti guruh. Di atas asap tebal hitam yang
menyesakkan, langit malam tampak benderang dengan warna merah
manyala. Lidah api bergerak-gerak dan menyerbu bagaikan gulungan
ombak lautan, menggulung mansion (rumah megah model Eropa abad
kedelapan belas) yang sudah hangus menghitam, menelan semua
jendela, melalap dinding-dinding, terus ke atap sampai rumah itu
hanya tinggal bagaikan sebentuk inti hitam dalam gumpalan api
raksasa yang mengamuk. Memandang ke bawah dari bukit rendah, ke arah api dan
halaman berumput luas itu, Nora Goode menekankan kedua
tangannya ke telinga. Tetapi, di balik gemuruh api yang mengganas,
dia masih bisa mendengar pekik-jerit yang melengking nyaring.
Jeritan mereka yang terperangkap di dalam Fear Mansion yang
sedang terbakar. Jeritan orang-orang yang dikenalnya, orang-orang yang
disayanginya. "Daniel! Keluar!" teriak Nora, suaranya yang kecil tenggelam
di tengah pekik-jerit penuh kengerian, erangan kesakitan, dan
gemuruh api yang terus mengamuk.
"Daniel, aku di sini! Aku masih hidup! Aku lari keluar! Aku
lolos dari api!" teriak Nora. "Di mana kau" Kau juga sudah keluar?"
Api menggemuruh semakin keras, seakan menjawab
pertanyaannya. Tubuh Nora gemetar ketakutan.
Dia menurunkan tangannya, memegang jimat yang tergantung
pada kalung di lehernya. Api sudah berkobar lebih dari sejam yang lalu. Daniel tidak
keluar. Tak seorang pun keluar.
Hanya beberapa menit setelah api mulai membakar, petugas
pemadam kebakaran sukarela dari Shadyside menarik gerobak air
yang ditarik kuda masuk ke halaman berumput di depan mansion itu.
Tapi api sudah telanjur membakar seluruh bangunan itu.
Wajah orang-orang itu menyiratkan ketakjuban sekaligus
kengerian. Para petugas pemadam kebakaran berdiri tanpa daya,
bersama orang-orang desa yang berkerumun di bukit rendah dalam
kelompok-kelompok kecil. Wajah mereka kemerah-merahan karena
panasnya api. "Kau tak keluar, Daniel?" kata Nora. "Aku takkan pernah
melihatmu lagi." Dia memejamkan matanya. Tapi bahkan dengan mata tertutup
dia masih bisa melihat lidah-lidah api berwarna merah-jingga yang
bergerak-gerak di dalam pelupuk matanya.
Sambil mencengkeram bandul kalung berbentuk bulat kecil itu,
Nora mendesah. Jimat perak kecil dengan hiasan permata biru yang
terpasang pada sebentuk cakar perak berkaki tiga"seperti cakar
burung"itu adalah hadiah dari Daniel Fear sebagai tanda cintanya.
"Hanya ini darimu yang masih tersisa, Daniel!" tangis Nora
keras-keras. Suara-suara terdengar lebih keras di sekelilingnya, dekat sekali,
lebih keras dari gemuruh api. Nora membuka matanya, berpaling, dan
melihat wajah-wajah ngeri orang-orang desa. Mereka bergerombol
rapat, seakan mencemaskan nyawa mereka sendiri.
"Api ini akan terus berkobar!" seorang lelaki bercambang
berteriak, wajahnya merah padam dan lidah api terpantul pada
matanya. "Lihat rumah itu," seorang perempuan yang tampak lemah
menjerit sambil menunjuk-nunjuk. Dia berdiri beberapa kaki dari
Nora. "Rumah itu memang ditelan api, tapi tak terbakar!"
"Kelihatannya justru langit yang terbakar!" teriak seorang anak
perempuan kecil, lalu cepat-cepat menyembunyikan wajahnya di balik
rok hitam ibunya. "Dari dulu aku tahu, rumah ini penuh kejahatan," lelaki
bercambang itu berteriak, satu tangannya menudungi matanya. "Dari
dulu aku tahu, keluarga Fear memang bejat."
"Mereka terbakar hidup-hidup di dalam rumah mereka,"
seseorang berkata. "Semoga kejahatan mereka lenyap bersama mereka," seseorang
yang lain menambahkan. "Para petugas pemadam kebakaran malahan tak berusaha
memadamkan api." "Mereka takkan bisa memadamkan api yang ini. Ini bukan api
biasa. Api ini tidak berasal dari dunia ini."
"Kejahatan rumah ini membuat api tak bisa dipadamkan."
"Rumah ini terkutuk! Tanah ini terkutuk!"
"Tidak! Oh... tolong hentikan! Hentikan!" jerit Nora.
Tak kuasa menghentikan omongan mereka, Nora lalu lari ke
arah rumah. Mantelnya melambai-lambai di belakangnya. Ia terjatuhjatuh, menuruni bukit dan menyeberangi halaman.
Dia terpeleset-peleset di rumput yang basah. Wajahnya terasa
panas karena api. Bayang-bayang ganjil bergerak-gerak di halaman
berumput, hitam kelam berlatar cahaya merah keunguan.
"Daniel, mengapa keluargamu sangat terkutuk?" jerit Nora
sambil berlari-lari. "Kejahatan apa yang membuat kau dan keluargamu
menemui ajal dengan cara seperti ini?"
Rambut Nora yang hitam panjang berkibar-kibar di atas
mantelnya yang melambai-lambai di punggungnya. Sambil berlari, dia
mengulurkan tangannya ke depan, seakan hendak menjangkau dan
merengkuh lidah-lidah api itu.
"Siapa dia?" "Mau ke mana dia?"
"Hentikan dia!"
Suara-suara kaget bercampur ngeri terdengar dari kerumunan
orang-orang. Sambil terengah-engah, Nora mengangkat tangannya untuk
melindungi matanya. Dia terus berlari. Dia bisa merasakan jimat yang
berharga itu bergoyang-goyang di lehernya.
"Daniel, kau di dalam" Daniel?"
"Hentikan dia!"
"Apa dia sudah gila"'
"Siapa dia" Apa dia seorang Fear?"
Suara-suara itu akhirnya lenyap, tenggelam dalam gemuruhnya
api dan bunyi gemeretak kayu yang terbakar dalam cahaya merahjingga yang menyilaukan.
Panas sekali. Panas sekali! pikir Nora. Dia membuka mantelnya
dan membiarkannya jatuh ke tanah.
Aku merasa seperti berlari ke arah matahari! Sekarang aku
merasa juga terbakar. Dia berhenti. Napasnya sesak karena menghirup asap panas.
Di mana aku" Dia memandang api dan tiba-tiba sadar sedang berdiri di depan
jendela. Jendela ruang dansa yang luas dan megah.
Lidah-lidah api membuat jendela itu berkilau.
"Ooohhh!" Nora mengerang ngeri ketika melihat wajah-wajah
di dalam sana. Wajah-wajah di sela-sela lidah-lidah api.
Napasnya tercekik. Matanya nanar memandang tubuh-tubuh
hangus yang meliuk-liuk. Apakah mereka sedang berdansa di dalam sana" Berdansa
dengan lidah-lidah api"
Tidak. Wajah-wajah mereka berkerut menahan sakit yang luar biasa.
Tubuh hangus mereka mengerut kesakitan.
Dia melihat wanita-wanita menjerit-jerit, api menggulung
rambut mereka. Dia melihat wajah pemuda-pemuda yang didera kengerian. Di
tempat yang seharusnya ada mata, kini tinggal lubang-lubang hitam.
Pakaian mereka sudah berubah menjadi api.
Siapa orang-orang ini" Nora bertanya-tanya dalam hati, tak
kuasa mengalihkan matanya dari pemandangan mengerikan di dalam
rumah itu. Mengapa mereka berada di ruang dansa" Mengapa mereka
tidak terbakar" Mengapa mereka tidak mati!
Kemudian mata Nora terpusat pada satu sosok di tengah
kerumunan orang yang menjerit-jerit dan menggeliat-geliat itu.
Seorang gadis muda. Mengenakan gaun panjang merah marun dan
tudung kepala model kuno.
Nora menjerit tertahan ketika gadis itu mengangkat wajahnya
dan mata mereka bertatapan.
Mata gadis itu seputih kulit telur. Putih mengilap.
Mulut Nora ternganga ngeri ketika dia melihat mulut gadis itu
terbuka lebar lalu menjerit nyaring. Jeritan kemarahan bercampur
kesakitan yang tak tertahankan.
Kemudian Nora melihat tangan gadis itu terikat di
punggungnya. Diikatkan pada sebatang tiang kayu yang tinggi.
Gadis itu terikat pada sebatang tiang pembakaran.
Sekarang roknya dimakan api. Lidah-lidah api merambat ke
wajahnya, melalap rambutnya yang pirang panjang. Lalu... tudungnya
terbakar menyala. Sambil berusaha melepaskan diri dari tiang, gadis itu menjeritjerit sementara tubuhnya ditelan api.
Kemudian, dengan ledakan yang tidak terlalu keras, api
menelan semuanya, meninggalkan tirai jingga lidah api yang menyalanyala.
Jendela meledak, kaca-kaca remuk dan beterbangan ke luar. Api
menggulung gadis itu. Dan Nora terus berdiri terpaku, memandang ke arah gadis yang
tadi menjerit-jerit itu, memandang dinding api, matanya nanar...
menatap kengerian yang menyala-nyala dan menari-nari di depannya.
BAGIAN SATU Desa Wickham, Koloni Massachusetts 1692 Bab 1 API berkeretak lirih. Sebuah letusan keras menerbangkan
percik-percik api yang merah berkilau-kilau.
Susannah Goode menjerit kaget dan terlompat mundur dari
tungku pendiangan. Percikan api itu padam di kakinya.
Setelah merapikan celemek putih berkanji kaku yang menutupi
rok merah marun gelap dari bahan tebal yang dikenakannya, Susannah
membungkuk di atas ketel pemanggang, membuka tutupnya yang
berat dan mengintip ke dalamnya.
Di belakangnya di kamar bayi yang sempit, si bayi mulai
menangis. Susannah mendengar lantai kayu berderak ketika ibunya
berjalan ke buaian untuk melihat apa yang membuat adiknya
menangis. "Susannah!" Nada bicara Martha Goode menuduh. "Lagi-lagi
kau membungkus George terlalu rapat. Bayi malang ini hampir tak
bisa bernapas!" "Selimutnya terlalu kecil. Susah membungkusnya tadi," keluh
Susannah, masih membungkuk di atas ketel. Beberapa helai rambut
ikal keemasan lepas dari sanggulnya, terjurai di wajahnya.
"Selimut itu cukup lebar," sahut ibunya. "Itu yang terbaik yang
bisa kita miliki." Dia mengangkat bayi yang menjerit-jerit itu dan
mendekatkannya ke wajahnya. "Kasihan, George. Kasihan, George.
Apa yang dilakukan kakakmu padamu?"
Susannah mendesah. "Biskuit ini lama sekali matangnya."
Martha Goode mendekat di belakangnya. Tangis George
mereda ketika dia menempelkan kepalanya di kerah baju ibunya yang
putih dan berkanji kaku. "Apinya terlalu kecil," kata ibunya, sambil menggeleng-geleng
kesal. "Kau tak bisa memanggang biskuit dengan api sekecil itu.
Tambah kayunya, Susannah."
Dengan wajah cemberut Susannah menegakkan badannya dan
memasukkan helai-helai rambutnya yang terjurai ke balik kerah putih
yang menutupi bahunya. "Kayu bakar kita habis."
Susannah bertubuh jangkung dan kurus. Matanya biru cerah,
kulitnya halus pucat, dan kedua pipinya berlesung bila dia tersenyum.
Setiap kali menemukan Susannah sedang melamun memandang
cermin atau mempermainkan rambutnya yang keemasan, Martha
Goode memarahinya dengan kata-kata sama: "Kecantikan sejati
berasal dari perilaku yang baik, bukan dari penampilan, Nak."
Sebagai Puritan, Susannah terus-menerus dicekoki nasihat
tentang pentingnya kesederhanaan. Kepadanya diajarkan bahwa
semua orang yang berwatak baik tampak cantik dan tampan serta
sama di mata Sang Pencipta.
Dia malu setiap kali ibunya memergokinya sedang mengagumi
diri sendiri, seolah-olah ibunya mengintip ke dalam jiwanya dan
menemukan jiwanya kotor dan tidak berharga.
Tetapi pada usia enam belas, Susannah merasakan getar-getar
perasaan yang membuatnya bergairah sekaligus cemas. Dia sering
memikirkan seorang pemuda. Sambil bekerja dia sering melamunkan
pemuda itu. Dia tak dapat menahan diri untuk menebak-nebak apakah
dirinya cukup cantik untuk memikat pemuda itu dan mengalahkan
semua gadis lain di desa Wickham.
Martha Goode menggendong si bayi dan membuainya dengan
lembut sementara matanya memandang api dengan sikap tidak
senang. "Mana ayahmu" Dia ingin biskuit itu matang tepat pada
waktunya, tapi kalau dia tak segera pulang, biskuitnya keburu dingin."
"Aku yakin Ayah sedang di alun-alun, mengurusi sapi," kata
Susannah. "Sapi," dengus ibunya. "Sekarung tulang, maksudmu." Dia
memandang bayi dalam pelukannya dengan sedih. "Heran kita bisa
bertahan hidup, George."
Susannah berjalan ke pintu. "Aku akan mengambil kayu bakar
dan menjemput Ayah. Lagi pula aku memang berniat jalan-jalan
sebentar," katanya mantap.
"Susannah. Dengar," cegah ibunya, matanya memancarkan
ketakutan. "Kau tak boleh jalan-jalan sendirian. Kau tak boleh
melakukan apa pun"apa pun juga"yang akan menarik perhatian
orang kepadamu." Dengan tajam dia memandang putrinya yang cantik itu,
kemudian menambahkan dengan lirih, "Kau tahu bahayanya. Kau tahu
apa yang terjadi di sini."
"Ya, Ibu," tukas Susannah tidak sabar. "Tapi menurutku aku
bisa jalan-jalan tanpa..."
"Mereka mengambil Abigail Hopping dari rumahnya tadi
malam dan menyeretnya ke penjara," kata ibunya lirih. "Pekik-jerit
wanita malang itu membuatku terbangun."
Susannah berseru tertahan. Kaget. "Abigail Hopping si
penyihir?" "Itu kata Benjamin Fier," kata Martha Goode dengan suara
tercekat. "Benjamin menuduh Abigail menyanyikan lagu-lagu Setan
Jahat sambil menyiapkan makan malam."
"Aku tak percaya Abigail Hopping penyihir," kata Susannah
sambil menggeleng-geleng. "Apakah dia sudah mengaku?"
"Dia akan diadili di balai pertemuan malam ini," kata Martha
Goode dengan murung. "Oh, Ibu! Apakah dia akan dibakar seperti yang lain-lain?" seru
Susannah, lehernya tercekat.
Ibunya membuai-buai si bayi tetapi tidak menjawab. "Banyak


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali kejahatan di sekitar sini, Nak," katanya akhirnya. "Tiga penyihir
ditangkap Benjamin Fier sejak awal musim panas. Kuharap kau hatihati, Susannah. Jangan mencolok mata. Jangan membuat orang
mencurigaimu"atau bahkan mengenalimu."
Susannah mengangguk. "Aku hanya akan pergi ke alun-alun
untuk mengambil kayu bakar. Aku akan cepat-cepat." Dia membuka
pintu dan membiarkan cahaya matahari yang cerah menerangi ruangan
gelap itu. "Jangan! Jangan pergi!" seru ibunya.
Di ambang pintu Susannah menoleh, mata birunya berkilatkilat, dahinya berkerut tidak sabar.
"Kau akan keluar tanpa penutup kepala?" tanya Martha Goode
dengan nada mendesak. "Mana akal sehatmu, Sayang?"
"Maaf." Susannah berbalik dan masuk kembali. Dia mengambil
penutup kepala putih yang tergantung pada kait di dinding lalu
menutupkannya ke kepalanya. "Aku akan segera kembali," katanya.
Dia menutup pintu di belakangnya lalu, dengan satu tangan
menudungi matanya dari silaunya cahaya matahari sore, berjalan
melewati kandang ayam dan menyeberangi halaman yang tidak
ditanami apa-apa. Susannah berbelok, masuk ke jalan setapak yang menuju ke
desa. Sambil berjalan bergegas-gegas, dengan rok melambai-lambai
menyapu tanah, dia melewati rumah keluarga Halsey. Dia melihat
kaca jendela yang mereka pesan dari Inggris belum datang. Jendelajendela itu ditutup dengan papan. Mr. Halsey sedang membungkuk di
kebun sayurnya dan tidak mengangkat wajahnya.
Susannah melihat di atap sirap balai pertemuan seseorang
sedang memasang penunjuk arah angin dari kuningan, tepat di atas
cerobong asap. Hakim desa, Benjamin Fier, sedang memasuki bangunan itu
dengan tampang kusut. Susannah langsung berhenti dan menunggu
sampai pria itu menghilang ke dalam. Rasa dingin sedingin es
merayapi punggungnya ketika dia membayangkan Abigail Hopping.
Aku tahu Benjamin Fier pria yang baik dan budiman, pikir
Susannah. Tapi aku takut padanya, seperti semua orang di Wickham.
Sebagai hakim desa, Benjamin Fier adalah orang yang paling
berkuasa di Wickham. Dia juga yang paling kaya.
Rumahnya, yang terbesar di desa itu, terletak di seberang balai
pertemuan. Bau daging sapi panggang menyebar dari arah dapur
ketika Susannah melewati rumah itu.
Keluarga Fier sangat makmur, pikir Susannah tanpa bisa
menekan rasa irinya. Makan malam mereka pasti bukan biskuit yang
dicelupkan ke saus yang diencerkan dengan kaldu. Setiap malam
keluarga Fier menyantap hidangan daging panggang.
Susannah tahu bahwa kakak-beradik Fier, Benjamin dan
Matthew, adalah dua pria termakmur di Wickham karena merekalah
yang terkaya. Sejak masih anak-anak, kepada Susannah selalu
diajarkan bahwa nasib baik selalu menyertai mereka yang paling
budiman. Jadi, Benjamin Fier menjadi hakim desa karena dia yang
terbijak dan tersaleh di desa itu. Dia pula yang memimpin persidangan
atas para penyihir. Dia pula yang menegaskan bahwa mereka yang
bersalah harus dibakar hidup-hidup"bukannya digantung seperti di
tempat-tempat lain di kawasan Massachusetts. Adik Benjamin,
Matthew, memiliki tanah pertanian yang sangat subur dan
menguntungkan karena Matthew Fier lebih budiman dan lebih saleh
dibandingkan petani-petani lain yang tanahnya tidak subur.
Itu pengetahuan yang nyata dan sederhana.
Ketika melewati balai pertemuan dan menoleh ke alun-alun,
Susannah membayangkan putra Benjamin, Edward Fier.
Edward, di mana kau"
Apakah engkau sedang memikirkan aku"
"Oh!" Susannah menjerit ketika menabrak seekor babi gemuk
besar berkulit merah jambu dengan totol-totol hitam. Dia jatuh
terjerembap di tanah yang keras.
Babi itu menguik keras-keras lalu berjalan menjauh.
Susannah cepat-cepat berdiri dan membersihkan debu dari
bagian depan celemek putihnya. Aku tak boleh punya pikiran yang tak
pantas, dia mengomeli dirinya sendiri, sambil membetulkan letak
penutup kepalanya. Tetapi bagaimana mungkin memikirkan Edward dianggap tak
pantas" Susannah melihat ayahnya di ujung sana alun-alun"tanah luas
berbentuk segi empat tempat menggembalakan ternak dan terletak di
tengah desa. Ayahnya sedang sibuk menggaru sepetak tanah dan tidak
melihat Susannah melambai kepadanya.
Mr. Franklin, seorang pandai besi, sedang duduk di depan
bengkelnya. Dia sedang memukul-mukul sekeping seng pada landasan
pemukul ketika Susannah melewatinya cepat-cepat. Gadis itu
tersenyum kepada pembantu Mr. Franklin, anak laki-laki bernama
Arthur Kent, yang sedang menjaga puputan sebesar nyaris dua kali
badannya. Di belakang bengkel itu terbentang hutan hijau yang indah.
Pohon-pohon poplar yang langsing dan pohon-pohon birkin tumbuh
melengkung ke arah desa. Di baliknya, hutan tampak gelap karena
ditumbuhi pohon-pohon cemara, ek, dan mapel.
Tumpukan kayu bakar milik desa terletak di tepi hutan, balokbalok kayu ditumpuk rapi bersusun-susun. Tetapi mata Susannah
mengarah ke hutan. Cahaya matahari tersaring celah-celah dedaunan, menebarkan
titik-titik terang di lantai hutan. Kupu-kupu monarch hitam dan
keemasan terbang ke sana kemari, keluar-masuk berkas cahaya putih
yang menyorot dari atas. Aku akan jalan-jalan sebentar di hutan, Susannah memutuskan.
Rasanya nyaman berada di luar rumahnya yang pengap dan
gelap, jauh dari panasnya tungku pendiangan, jauh dari si bayi yang
cengeng. Jauh dari tugas-tugasnya sehari-hari dan mata ibunya yang
mengawasinya. Jauh dari kengerian yang mencekam seluruh desa akhir-akhir
ini. Susannah melangkah masuk ke hutan, ranting- ranting kering
berkeretak terinjak sepatu hitamnya yang berat. Begitu tersembunyi di
balik pepohonan, dia melepas penutup kepalanya dan menggeraikan
rambutnya yang indah. Dia berjalan pelan sambil menengadahkan wajahnya dalam
sorot sinar matahari yang cerah. Roknya tersangkut semak-semak.
Ditariknya lepas, lalu dia meneruskan berjalan-jalan.
Bunyi gemeretak di dekatnya membuatnya berbalik badan.
Tepat ketika itu dia melihat seekor tupai tanah berbulu cokelat-putih
menyelusup masuk ke balik tumpukan daun kering.
Susannah mengibaskan rambutnya yang panjang dan
mengambil napas dalam-dalam. Udara segar dan wangi bau cemara.
Seharusnya aku tak boleh menikmati hutan ini, pikirnya, dan
pelan-pelan senyumnya lenyap. Kepadanya diajarkan bahwa hutan
adalah sarang kejahatan, sarang setan.
Seakan menanggapi pikirannya, pepohonan semakin lebat dan
rapat, menghalangi sinar matahari. Di sekelilingnya gelap bagaikan
malam. Jauh dari masyarakat, di dalam kegelapan hutan, adalah tempat
tinggal Setan Jahat dan pengikutnya, begitu yang diajarkan
kepadanya. Para penyihir desa datang ke sini untuk menarikan tarian
kejahatan di bawah sinar bulan bersama Setan Jahat dan para
pelayannya. Setan Jahat dan para pelayannya tinggal di lubanglubang yang dalam di tanah. Mulut lubang-lubang itu tersembunyi di
balik semak-semak lebat. Susannah percaya bahwa jika dia berjalan
sendirian dalam kegelapan dan masuk ke daerah kekuasaan mereka,
mereka mungkin akan meraihnya dan menariknya masuk ke dunia
bawah tanah, yang penuh siksaan dan kegelapan abadi.
Udara semakin dingin. Di cabang rendah di atas kepalanya,
seekor burung merpati mendekur dengan suara rendah, dingin, dan
sedih. Susannah bergidik. "Di sini gelap sekali, tiba-tiba jadi dingin sekali," katanya.
Sudah waktunya pulang. Ketika berbalik, dia merasa tangan-tangan kukuh
mencengkeramnya dari belakang.
"Setan!" teriaknya.
Bab 2 "LEPASKAN aku!" jerit Susannah.
Dia kaget ketika tangan-tangan itu dengan patuh
melepaskannya. Susannah berputar, mata birunya terbelalak ketakutan, dan
melihat Edward Fier yang sedang tertawa-tawa. "Apakah menurutmu
tampangku seperti Setan?" tanyanya.
Susannah merasa wajahnya memerah. Dia menatap pemuda itu
dengan marah. "Ya, kau pasti Setan itu," katanya. "Kalau bukan,
mengapa kau ada di hutan ini?"
"Aku membuntutimu," jawab Edward dengan wajah
bersungguh-sungguh. Edward jangkung dan tampan. Dia mengenakan topi hitam
berpinggiran lebar, menutupi rambutnya yang lurus dan cokelat gelap.
Rambut itu menutupi telinganya. Dia mengenakan rompi dari linen
yang terhalus. Bagian pergelangan lengan bajunya putih dan dikanji
kaku. Celananya biru tua, panjangnya tepat di bawah lutut. Stocking
wol abu-abu menutupi kakinya yang mengenakan terompah Belanda
dari kulit hitam. Di desa itu, tak ada pemuda yang pakaiannya semewah pakaian
Edward. Pemuda itu bersungguh-sungguh dalam berpakaian, sama
seperti sikapnya terhadap semua hal lain dalam hidupnya. Secara
sembunyi-sembunyi penduduk desa sering menggunjingkan selera
berpakaiannya yang aneh dan menghujat sikap sombongnya.
Tetapi tak seorang pun berani mengkritiknya di depan umum.
Karena Edward seorang Fier, putra Benjamin Fier. Dan tak seorang
pun berani menentang Hakim Fier atau putranya.
Pohon-pohon di sekeliling mereka tiba-tiba bergetar diembus
angin dingin. Ketika itulah mata Edward yang cokelat gelap menatap
mata Susannah dengan tajam. "Kita tak boleh bercanda tentang
Setan," katanya dengan suara rendah. "Ayahku bilang, budak-budak
Setan telah menguasai desa kita."
"Aku... aku takut sekali akhir-akhir ini," kata Susannah sambil
memandang ke bawah ke tanah yang kehitam-hitaman. "Aku selalu
memimpikan Faith Warburton. Dia... dia kawanku," kata Susannah
tergagap-gagap. "Aku tahu," gumam Edward lirih.
"Mereka menangkapnya dan menuduhnya penyihir... karena dia
mengenakan pita merah di rambutnya. Mme-mereka membakarnya..!"
Kata- kata Susannah terputus isak tangisnya.
Edward meletakkan satu tangannya di bahu Susannah yang
gemetar. "Ayahku pasti punya bukti tentang praktek-praktek sihir
kawanmu. Tampaknya saja dia keras dan kaku, tapi ayahku adil dan
bijak, Susannah." "Kita tak boleh berduaan di sini. Kita harus menghentikan
kencan-kencan rahasia kita. Itu membuatku terancam bahaya besar,"
kata Susannah lirih. "Kau tak terancam bahaya," jawab Edward. "Aku... aku ingin
bicara denganmu, Susannah. Aku ingin..."
Sebelum Susannah sempat melangkah mundur, Edward sudah
melingkarkan lengannya ke pinggangnya. Pemuda itu menunduk dan
menciumnya. Topi Edward terlempar jatuh. Dengan penuh gairah dia
menekankan bibirnya ke bibir Susannah.
Susannah kehabisan napas ketika akhirnya berhasil melepaskan
diri. "Kau... kau membuatku tak bisa bernapas!" serunya sambil
tersenyum kepada pemuda itu. Dia mengangkat satu tangannya ke
bahu Edward. "Bagaimana kalau Setan mengawasi kita?" godanya.
Susannah kaget karena Edward tiba-tiba menjauh. Matanya
yang gelap berkilat marah. "Aku sudah bilang" ancamnya, "jangan
bercanda tentang Setan Jahat."
"Tapi, Edward..." Susannah memulai. Kemarahan Edward
selalu membuatnya kaget. "Dengar, aku tak mau dianggap menghujat Tuhan," tukasnya
dengan suara rendah dan tegas.
Sudah berminggu-minggu mereka berkencan secara rahasia,
mencuri-curi kesempatan di balik lumbung desa atau di balik
pepohonan di pinggir sungai. Susannah kaget melihat sikap Edward
yang bersungguh-sungguh dan kaku, seperti sikapnya dalam
menghadapi apa pun juga. Susannah suka menggoda Edward, tetapi lekas menyadari
bahwa pemuda itu tidak bisa memahami selera humornya.
Mengapa dia sangat peduli kepada Edward" Mengapa dia selalu
memikirkan Edward siang dan malam" Mengapa dia bermimpi selalu
berada bersama Edward"
Karena pemuda itu membutuhkan dirinya. Karena kelihatannya
Edward juga merasakan hal yang sama dengan yang dirasakannya.
Susannah mengangkat wajahnya dan memandang pemuda itu
dengan sikap pura-pura malu. "Menurut adat desa ini, berduaan tanpa
siapa-siapa di hutan, merupakan tindak kriminal," katanya. "Apa kata
ayahmu nanti?" Edward mengambil topinya dari tanah dan mencengkeramnya
erat-erat dengan satu tangan. "Berada bersamamu, Susannah, bukanlah
tindak kriminal." "Mengapa?" goda Susannah.
Edward tampak ragu-ragu. Dia memandang gadis itu lekatlekat, seakan hendak menduga isi kepalanya dan membaca pikirannya.
"Karena kita saling mencintai," katanya akhirnya.
Dan sebelum Susannah sadar, mereka sudah berpelukan lagi.
Aku ingin tetap di sini, pikir Susannah bahagia. Bersama
Edward di hutan yang gelap ini.
Hidup berdua di alam liar, hanya kami berdua, jauh dari desa,
jauh dari orang-orang. Dia menekankan pipinya ke pipi Edward, terheran-heran karena
pipi Edward sama panasnya dengan pipinya.
Tiba-tiba terdengar keributan. Susannah menjerit tertahan
sambil mundur menjauh. Suara-suara! "Edward... ada orang lain di sini!" jeritnya, tangannya
menempel di pipinya, wajahnya ketakutan. "Kita tertangkap basah!"
Bab 3 MATA Edward yang cokelat gelap terbelalak ketakutan. Dia
mencengkeram tangan Susannah kuat-kuat.
Mereka memasang telinga, terpaku membeku dalam gelapnya
hutan. Mereka seperti tiba-tiba berubah menjadi batu.
Suara-suara semakin keras terdengar, terbawa angin.
Suara-suara yang berirama.
"Bakar penyihir itu! Bakar penyihir itu! Bakar penyihir itu!"
"Oh!" jerit Susannah tertahan.
Suara-suara berirama itu tidak datang dari dekat-dekat situ.
Angin menerbangkannya dari alun-alun.
"Tak ada siapa-siapa di sini," kata Edward sambil tersenyum
lega. "Kasihan Abigail Hopping," bisik Susannah.


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau dia penyihir, dia harus menghadapi api pembakaran,"
sahut Edward, masih sambil memegangi tangan Susannah.
Susannah meletakkan kepalanya di bahu pemuda itu. "Kita
harus kembali ke desa. Aku tadi keluar untuk mengambil kayu bakar.
Seharusnya aku sudah pulang. Ibuku akan mengira aku diculik Setan."
"Kau duluan," kata Edward. "Aku akan menunggu sebentar di
sini sebelum pulang."
"Kau akan mengatakan pada ayahmu... tentang kita?" tanya
Susannah penuh harap. "Ya," jawab Edward. "Kalau waktunya sudah tepat."
Susannah mencondongkan badannya dan mencium pemuda itu
sekali lagi. Dia tidak ingin pergi. Dia tidak ingin kembali ke rumahnya
yang sempit dan gelap. Dia tidak ingin kembali ke desa yang dicekam
kemarahan dan ketakutan. Edward mendorongnya dengan lembut, tangannya tertumpang
di bahu gadis itu. "Pergilah."
Susannah memaksa diri tersenyum, kemudian berbalik dan lari
menjauh sambil memasang penutup kepala untuk menutupi
rambutnya. Kami akan menikah, pikirnya. Jantungnya berdegup kencang.
Aku akan menjadi istri Edward Fier.
Dia merasa seakan melayang di sela-sela pepohonan.
Susannah berlari melewati tumpukan kayu bakar, melewati
alun-alun, dan hampir sampai di rumah ketika ingat bahwa tadi dia
pergi untuk mengambil kayu bakar. Dia terpaksa berbalik.
******************** "Wortelnya kecil-kecil tapi manis," kata William Goode. Dia
duduk tegak di kepala meja sambil menyapukan sekeping biskuit ke
sendok yang berlumur saus.
Susannah memandang ayahnya menghabiskan makan
malamnya. Ayahnya kelihatan letih, letih dan tua. Usianya belum
empat puluh, tetapi wajahnya sudah penuh kerut dan rambutnya yang
semula pirang kini sudah putih beruban.
"Susannah yang memanggang biskuit itu," kata Martha Goode.
"Ayah mau saus lagi?" tanya Susannah sambil menunjuk ke
panci saus yang masih terpanggang di atas tungku pendiangan.
"Wortel rebus juga masih ada."
"Aku akan melumat wortel dan memberikannya pada George
kalau dia bangun," kata ibu Susannah.
"Aku tak mengerti, mengapa wortel kita kecil-kecil sekali,"
gerutu Mr. Goode. "Wortel Matthew Fier panjang-panjang seperti
lilin." "Kenapa kau tak menanyakan rahasianya?" usul ibu Susannah.
William Goode menggeram. Dia memandang istrinya dengan
mata abu-abu kehijauan yang disipitkan. "Matthew Fier tak punya
keterampilan bertani yang tak kupunyai. Dia tak punya rahasia yang
ku..." "Keluarga Fier punya banyak rahasia," sela istrinya. "Siapa sih
mereka, kakak-beradik Fier itu" Dari mana asal mereka" Mereka tidak
datang ke Dunia Baru dari Inggris, tak seperti kita."
"Aku tak tahu," Mr. Goode menjawab sambil merenung.
"Mereka datang dari desa pertanian kecil. Hanya itu yang aku tahu.
Mereka miskin waktu baru-baru datang di sini. Baik kakak-beradik
Fier itu maupun istri-istri mereka. Tapi di sini mereka jadi makmur.
Dan itu merupakan bukti bahwa mereka orang-orang berbudi yang
dikasihi Sang Pencipta."
Istrinya mendesah. "Wortel-wortel ini lumayan manis, William.
Aku tak bermaksud menyakiti hatimu."
William Goode mengerutkan dahi. "Lumayan manis," desisnya.
"Bantu Ibu membersihkan meja makan, Susannah," Martha
Goode memerintah. "Mengapa kau duduk melamun seperti itu?"
"Maaf, Bu." Susannah beranjak berdiri, tetapi ayahnya
meletakkan tangannya di lengannya, memaksanya agar tetap duduk.
"Susannah akan membersihkan meja sebentar lagi," katanya
kepada istrinya. "Aku akan bicara dulu dengannya." Dia berdiri,
mengambil pipa tembikar dari rak penyimpan pipa, mengisinya
dengan tembakau dari kantong tembakaunya, lalu pergi ke tungku
untuk menyalakannya. Susannah berputar di kursinya, matanya mengikuti ayahnya,
mencoba membaca raut wajahnya. "Ayah ingin bicara apa denganku?"
"Tentang Edward Fier," jawabnya, dahinya berkerut ketika dia
meniup keras-keras agar tembakau itu tersulut.
Susannah tersentak. Dia tak pernah bicara tentang Edward
dengan salah satu orangtuanya.
Setahu kedua orangtuanya, dia dan Edward hanya kawan biasa.
Sambil menating pipa putih panjang di atas mangkuk, Mr.
Goode kembali ke meja makan. Dia menarik kursi di samping
Susannah, lalu duduk tegak.
"Ke-kenapa dia?" Susannah tergagap-gagap, sambil meremasremas telapak tangannya di pangkuannya.
Ayahnya mencondongkan badannya dekat-dekat kepadanya.
Asap membubung dari pipanya, menyelubungi mereka dengan awan
yang menebarkan bau tembakau. "Kau dan Edward Fier terlihat jalan
bersama," tuduhnya. "Berjalan berdua tanpa pendamping."
Mulut Susannah ternganga. Dia menghela napas dalam-dalam,
lalu membuka mulut hendak bicara, tetapi suaranya tak mau keluar.
"Kau mengingkarinya, Nak?" Alisnya yang putih melengkung
di atas matanya yang abu-abu kehijauan, mata yang menyorotkan
tuduhan ke mata putrinya. "Kau mengingkarinya?"
"Tidak, Ayah," jawab Susannah lirih.
"Kalian terlihat berduaan di hutan," ayahnya melanjutkan
dengan tegas. Dia memegangi pipanya dekat ke wajahnya, tetapi tidak
mengisapnya. "Ya, Ayah," gumam Susannah, jantungnya berdegup keras
memukul-mukul dadanya. Tiba-tiba kata-kata tertumpah dari
mulutnya. Sudah lama dia ingin menceritakannya kepada
orangtuanya. Sekarang dia tidak dapat menyembunyikan rahasia itu
lagi. "Edward dan aku saling mencintai!" katanya. "Dia ingin
menikah denganku! Bukankah itu menakjubkan?"
Ibunya berbalik membelakangi tungku pendiangan, matanya
terbelalak kaget. Wajah William Goode memerah. Dia menurunkan pipanya ke
meja. "Nak, apakah kau sudah kehilangan akal sehat" Apakah kau
hidup dalam dunia mimpi?"
Susannah ternganga memandang ayahnya. "Apakah Ayah tak
mendengar kata-kataku" Edward ingin menikah denganku!"
Ayahnya memejamkan mata. Lalu berdeham keras-keras. Pipa
di tangannya bergetar. "Kau tak bisa menikah dengan Edward Fier,"
katanya lirih. "Apa kata Ayah?" desis Susannah. "Mengapa tak bisa?"
"Karena Edward Fier sudah bertunangan," jawab Mr. Goode
datar. Susannah berseru tertahan, "Apa?"
"Edward Fier sudah bertunangan dan akan menikah," kata
ayahnya. "Edward akan menikah dengan gadis dari Portsmouth.
Ayahnya mengatakan itu padaku tadi pagi."
Bab 4 Api di tungku pendiangan masih menyala. Bayang-bayang
panjang terjulur di lantai. Di ceruk yang merupakan tempat tidurnya,
meringkuk di balik quilt tua"semacam selimut berlapis bulu angsa"
Susannah menghadapkan wajahnya ke dinding.
Bagaimana mungkin Edward sekejam itu" tanyanya kepada diri
sendiri untuk keseribu kalinya.
Bagaimana mungkin dia membuatku percaya bahwa dia
menyukaiku, bahwa dia mencintaikul
Susannah menekankan wajahnya ke bantal untuk meredam isak
tangisnya. Dia tidur sore-sore dan berharap orangtuanya tidak melihat
bahwa dia kecewa dan sedih sekali. Sekian jam telah berlalu. Bulan
pucat setengah lingkaran tergantung tinggi di langit. Malam sudah
larut. Mata Susannah masih nyalang. Dia bergolek-golek gelisah di
ranjangnya yang sempit, menangis diam-diam dan membayangkan
Edward dengan marah dan rasa tak percaya.
Aku percaya pada Edward, pikirnya. Aku percaya semua
perkataannya. Aku mempertaruhkan nama baikku demi dia.
Dan selama ini diam-diam dia bertunangan dengan gadis lain.
Susannah menghela napas panjang. Dia berguling lalu
memandang bara api di perapian di seberang ruangan. Kencan-kencan
rahasianya dengan Edward Fier terbayang lagi di pelupuk matanya.
Dia ingat kata-kata pemuda itu, sentuhannya, kecupannya.
Edward tampak selalu bisa dipercaya, pikirnya dengan sakit
hati. Edward selalu teguh dan jujur.
Selalu baik. Susannah menendang quilt-nya, meraih bantalnya, lalu
meninjunya berulang-ulang.
Aku takkan mempercayai siapa pun lagi, katanya kepada diri
sendiri dengan pahit. Takkan pernah lagi!
******************** Di seberang alun-alun, nyala api membayang di deretan jendela
rumah Benjamin Fier yang berlantai dua. Di ruang makan, Benjamin
sedang berdiri di salah satu ujung meja kayu ek sambil mencengkeram
punggung kursi yang diukir dengan tangan.
Dari ujung meja yang lain, Edward putranya, memandangnya
dengan sikap menantang. Benjamin bertubuh besar, berbahu lebar, dan penuh wibawa.
Penampilannya seperti orang yang siap bertarung dengan bison dan
mengalahkannya. Rambutnya hitam lurus, panjangnya sampai ke
bawah telinga. Alisnya hitam tebal, menudungi sepasang mata hitam
dan kecil, yang sorotnya seakan mampu menembus apa pun.
Wajah Benjamin merah dan dahinya hampir selalu berkerut.
Lagaknya sok kuasa, ekspresinya selalu seperti orang marah, membuat
kebanyakan penduduk Wickham takut kepadanya, kenyataan yang
benar-benar membuatnya senang.
Berdiri membelakangi perapian, Benjamin membuka deretan
kancing kuningan yang menutup rompi hitamnya. Matanya yang
hitam memandang Edward penuh selidik.
"Aku tak mau mematuhi Ayah," Edward berkeras, suaranya
bergetar. Dia tidak pernah menentang ayahnya. Dia tahu itu salah.
Benjamin melotot ke seberang meja, tampangnya kaku. Dia
tidak menanggapi. "Aku tak bisa mematuhi Ayah," kata Edward ketika ayahnya
tidak menanggapi. "Aku tak mau menikah dengan Anne Ward."
Edward mencengkeram punggung kursi. Dia berharap semoga
ayahnya tidak melihat lututnya yang gemetar.
"Kau harus menikah dengan gadis itu musim gugur nanti,"
Benjamin bicara dengan suara baritonnya yang keras. "Aku sudah
mengatur pernikahan kalian dengan ayahnya."
Dia berbalik memunggungi Edward untuk mengisyaratkan
bahwa pembicaraan itu telah selesai. Dia mengambil besi pengungkit
api, lalu menusuk-nusuk kayu bakar di perapian. Serpih-serpih api
bepercikan ke atas cerobong asap yang terbuat dari bata.
Edward menelan ludah susah payah.
Mampukah aku melakukan ini" dia bertanya kepada dirinya
sendiri. Sanggupkah aku menentang ayahku" Apakah aku cukup kuat"
Satu pertanyaan lain mengusik hatinya ketika dia berusaha
keras menemukan kata-kata yang tepat: Apakah dibenarkan berdebat
dengan ayahku" Bukankah tugasku adalah mematuhi setiap keinginan
dan perintahnya" Tidak! Edward menjawab pertanyaannya sendiri. Aku
mencintai Susannah Goode. Aku akan menikah dengan Susannah,
bukan dengan gadis lain. Kali ini aku tak bisa mematuhi perintah dan
keinginan ayah. Aku tak mau!
Edward menarik napas dalam-dalam. "Sir," panggilnya,
membuat Benjamin berbalik dan memunggungi perapian. "Aku tak
bisa menikah dengan Anne Ward. Aku tak kenal dia. Dia orang
asing." "Kau akan mengenal dia setelah kalian menikah," kata
Benjamin tegas. "Perjodohan ini sangat menguntungkan kita."
"Tapi tak menguntungkan aku!" sahut Edward kesal.
"Jangan teriak-teriak padaku, Edward," Benjamin
memperingatkan, wajahnya merah padam. Dia mengangkat besi
pengungkit itu dan mengacung-acungkannya ke arah putranya. "Anne
Ward adalah jodoh yang paling baik untukmu."
"Tapi aku tak kenal dia, Ayah! Aku tak mencintainya!" teriak
Edward dengan nada tinggi.
"Cinta?" Benjamin melemparkan kepalanya ke belakang dan
tertawa. "Edward, kami datang ke koloni ini bukan untuk mencari
cinta. Adikku Matthew dan aku meninggalkan desa kami bukan untuk
mencari cinta. Kami datang ke sini untuk hidup sukses! Kami datang
ke sini untuk meninggalkan kemiskinan kami, meninggalkannya
selamanya!" "Aku tahu, Ayah," sahut Edward sambil mendesah. "Tapi..."
"Tahukah kau seperti apa miskinnya keluarga kita di Dunia
Lama?" tanya Benjamin mendesak, sambil meletakkan besi
pengungkit itu dan kembali ke meja. Matanya menatap mata Edward
dengan tajam, sorotnya panas membakar, lebih panas daripada api di
perapian. "Kau tahu seperti apa miskinnya aku dan Matthew dulu" Kami
makan tikus untuk bertahan hidup, Edward!"
"Aku tahu, Sir..." Edward mencoba menyela. Dia sudah
kenyang mendengar pidato itu.
"Malam-malam kami lewatkan dengan tidur meringkuk
berdekatan agar badan kami tetap hangat," lanjut Benjamin. "Kami tak
punya api, tak punya selimut..."
Edward memandang ke lantai. Dia menahan napas, menunggu
kesempatan bicara. "Kami datang ke Dunia Baru untuk sukses, Edward. Bukan
hanya untuk sukses, tapi untuk jadi makmur."
"Ayah sangat berhasil, " sela Edward. "Ayah hakim desa
Wickham yang sangat dihormati. Dan tanah pertanian Paman
Matthew yang paling..."
"Kami bisa lebih baik lagi!" Benjamin meledak,
dihantamkannya tinjunya ke atas meja. "Perkawinanmu dengan Anne
Ward akan membuat kita semakin kaya, Edward."
"Kenapa, Ayah" Aku tak mengerti?"
"August Ward adalah importir teh untuk Portsmouth," jelas
Benjamin sambil merendahkan nada suaranya. "Bisnis itu
membuatnya menjadi pria kaya raya. Sebagai menantunya, kau juga
akan menjadi importir teh. Kau akan mendapat bagian dari
kekayaannya." "Tidak, Ayah." Edward menggeleng. "Aku tak bisa. Aku tak
mau." "Kau harus mau," potong ayahnya tegas. "Harus. Kau harus
menikah dengan putri August Ward."
"Tak bisa, Ayah! Aku mencintai orang lain!" Kata-kata itu
terluncur dari mulut Edward sebelum dia sadar dan sempat
menariknya. Napasnya tertahan, mulutnya ternganga, sadar dia telah
membongkar rahasianya sendiri.
Sesaat mata Benjamin terbelalak kaget. Kemudian wajahnya


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung berubah cepat, penuh murka. "Mencintai?" tanyanya dengan
suara melengking sinis. "Siapa?" Dia berjalan cepat menyusuri meja
panjang itu, mendekati putranya. "Siapa?" ulangnya menuntut jawab,
sambil mendekatkan wajahnya hingga tinggal beberapa inci dari
wajah Edward. "Susannah Goode," jawab Edward lemas. Dia berdeham sambil
mencoba menghindari tatapan ayahnya yang tajam menusuk.
Benjamin tersentak kaget. Kemudian dia memejamkan mata
dan tertawa... tawa penuh ejekan dan penghinaan.
"Jj-ja"jangan tertawa, Sir," kata Edward tergagap-gagap. "Aku
mencintai Susannah Goode, dan ingin menikah dengannya."
Edward mengambil napas panjang, mencoba menenangkan
jantungnya yang berdegup kencang. Selama tujuh belas tahun dia tak
pernah membantah ayahnya, tak pernah berani menentangnya.
Oh, Tuhan, doanya dalam hati, berilah aku kekuatan untuk
menentang ayahku sekarang. Aku tahu aku benar. Aku tahu aku tak
sanggup mengkhianati Susannah. Tuhan, berilah aku kekuatan.
"Sir," Edward memulai, "Susannah gadis saleh. Dialah gadis
yang akan kunikahi. Aku tak mau menikahi seorang gadis demi
kekayaannya. Aku harus menikah demi cinta."
Benjamin memejamkan matanya. Sepotong kayu meletup keras,
lalu terbakar menyala-nyala. Lantai kayu berderak ketika Benjamin
memindahkan berat tubuhnya. Dia mendesah lesu. "Pertunanganmu
dengan Anne Ward sudah diatur. Kita akan pergi ke Portsmouth di
musim gugur untuk merayakan pernikahanmu. Ah, seandainya
Margaret"ibumu"masih hidup, terberkatilah arwahnya, dia pasti
senang melihat pernikahanmu yang sangat menguntungkan."
"Tidak!" teriak Edward. "Tidak, Ayah!" Dia bisa merasakan
kemarahannya yang menggelegak, dadanya yang menjadi panas, dan
dirinya yang mulai kehilangan kendali"untuk pertama kalinya dalam
hidupnya. "Aku selalu patuh pada Ayah. Aku tahu Ayah bijaksana dan
terpandang. Tapi ini hidupku!" Edward menjerit, tangannya mengepal
kencang di pinggangnya. "Ini hidupku dan aku akan menikah dengan
Susannah Goode! Aku akan menikah dengannya, sekalipun kami akan
terpaksa kawin lari!"
Edward berbalik memunggungi ayahnya lalu lari keluar
ruangan. Aku berhasil, pikirnya. Rasa lega bercampur marah
merasukinya ketika dia kembali ke kamarnya. Aku sudah mengatakan
apa yang harus kukatakan. Aku berani menentang ayahku.
Di ruang makan yang sempit, Benjamin Fier menjatuhkan diri
ke kursi. Jarinya meraba-raba kancing-kancing mengilap pada
rompinya, matanya melamun memandang api.
Tak lama kemudian, senyum jahat membayang di wajahnya
yang kejam. "Maaf, Edward, anakku yang malang," katanya, sambil
menyeringai memandang api yang menyala-nyala. "Kau takkan
pernah menikah dengan Susannah Goode."
Bab 5 "AKU tak suka mengupas kentang!" Susannah mengeluh.
Ibunya yang duduk di depan tungku pendiangan sambil
memangku si bayi, mengangkat mata memandang Susannah.
Wajahnya tegang karena cemas dan prihatin. "Kau tak enak badan,
Nak" Tak biasanya kau mengeluh."
"Badanku sehat-sehat saja," jawab Susannah, lalu menarik
napas panjang. Aku takkan pernah lagi sehat-sehat saja, pikirnya sedih. Takkan
pernah lagi, takkan pernah lagi.
Dia ingin menceritakan semuanya kepada ibunya. Dia ingin
bercerita tentang Edward, tentang bagaimana pemuda itu telah
membohonginya, tentang bagaimana pemuda itu telah
mengkhianatinya. Tetapi Susannah tahu, hatinya yang terluka adalah rahasia yang
harus disembunyikannya baik-baik. Kencan-kencan rahasianya
dengan Edward bertentangan dengan adat dan sopan santun yang
berlaku dalam masyarakatnya.
Susannah sudah berdosa, dan sekarang dia harus menderita
karena dosanya. Menderita karena perasaan hampa yang akan
menggerogoti jiwanya selamanya, menderita karena kepedihan yang
dia tahu takkan pernah bisa dienyahkannya.
Martha Goode bangkit berdiri. Dia membuai-buai bayi yang
tidur dalam pelukannya sambil melangkah ke belakang Susannah yang
duduk menghadapi meja. Satu tangannya menggendong si bayi dan
yang satunya diletakkannya di kening putrinya. "Hmmm. Badanmu
agak panas, Nak. Kau merasa demam?"
Susannah meletakkan pisaunya lalu memandang ibunya. "Aku
tak sakit," katanya tidak sabar. "Aku hanya tak suka mengupas
kentang. Kentang-kentang ini basah dan licin."
Martha Goode mundur selangkah, kaget mendengar jawaban
Susannah yang ketus. "Kita harus bersyukur karena masih bisa makan
kentang," katanya lirih. "Ayahmu bekerja keras sekali, Susannah.
Adalah dosa berkeluh kesah padahal ada makanan di atas meja."
"Ya, Ibu," gumam Susannah sambil menunduk.
Wajah Edward berkelebat di benaknya. Rambutnya yang
cokelat lebat. Matanya yang gelap.
Di mana kau sekarang, Edward" Susannah menduga-duga,
sambil mengambil sebutir kentang untuk dikupas. Apa yang sedang
kaulakukan" Aku tahu kau tak sedang memikirkanku.
Apakah kau memikirkan pengantinmu"
Apakah kau sedang mengemasi pakaianmu" Bersiap-siap untuk
perjalanan jauh ke Portsmouth"
Dia mengembuskan napas panjang lalu menusukkan pisau ke
kentang itu. "Susannah, kau yakin kau tak sakit?" desak ibunya.
"Tidak, aku tak sakit," gumam Susannah, tak bisa
mengenyahkan Edward dari benaknya.
"Kentang-kentang itu bisa menunggu," kata ibunya sambil
duduk lagi di kursi di depan tungku pendiangan dan dengan hati-hati
meletakkan si bayi di pangkuannya. "Sore ini indah. Kenakan tutup
kepalamu dan pergilah keluar. Hirup udara segar. Itu akan
menyegarkan badanmu, Nak."
"Aku sedang tak ingin menghirup udara segar," tukas Susannah
ketus. Mungkin aku akan melihat Edward, pikirnya. Jantungnya
berhenti sesaat membayangkan itu.
Apa yang akan kulakukan kalau aku melihatnya lagi" Apa yang
akan kukatakan" Dia bisa merasakan wajahnya memerah karena merasa terhina.
Tolol benar aku. Sambil berusaha keras menahan air matanya, Susannah
mengambil sebutir kentang lagi.
Tiba-tiba pintu terbuka lebar.
Susannah dan ibunya menjerit kaget ketika dua pria desa masuk
dengan roman muka serius.
"Apa...?" Martha Goode hendak bicara, tetapi suaranya
tersangkut di tenggorokan.
Si bayi membuka matanya dan memandang ibunya. Bayi itu
pun kaget. Kedua pria itu melangkah ke tengah ruangan, dan di ambang
pintu tampaklah Benjamin Fier.
"Suami saya tak ada di rumah," kata Martha Goode kepada
kedua petugas itu. "Dia pasti sedang di alun-alun."
Kedua pria itu berdiri tegak dengan sikap kaku, wajah mereka
tanpa ekspresi. Benjamin Fier melangkah cepat ke dalam ruangan.
Sepatu botnya yang hitam berdetak-detak keras di lantai papan,
wajahnya merah padam di bawah topi hitamnya yang tinggi. "Kami
datang bukan untuk menemui suamimu, Martha Goode," dia berkata
dingin dengan suara baritonnya yang keras.
"Saya tak mengerti...," kata Martha Goode, suaranya penuh
kengerian. Si bayi merengek, hendak menangis. Martha Goode
merapatkannya ke dadanya. "Ada urusan apa Anda dengan saya,
Hakim Fier?" tanyanya sambil berdiri dengan enggan.
Benjamin Fier tidak memedulikan pertanyaannya. "Awasi
mereka," dia memberi perintah kepada kedua pria itu. "Aku akan
mencari bukti." "Bukti" Bukti apa?" jerit Susannah sambil meletakkan pisau di
meja dan melompat berdiri. "Mengapa Anda kemari" Mengapa Anda
tak bisa menunggu sampai ayah saya kembali?"
Benjamin tidak memedulikan Susannah. Dia berjalan cepat ke
tungku pendiangan, mantel hitamnya melambai-lambai di
belakangnya. "Aha!" Dia membungkuk, seakan mengambil sesuatu dari
belakang ketel. Ketika dia memutar badannya dan menghadap mereka,
tangannya memegang kantong kain ungu tua. Bibirnya tersenyum
kejam. "Kita sudah menemukan bukti yang kita perlukan."
"Bukti apa?" tuntut Susannah dengan suara melengking.
Benjamin berjalan cepat ke meja lalu menjungkirkan kantong
itu, menuangkan isinya ke atas meja.
Dengan kaget Susannah melihat sepotong cakar ayam, beberapa
helai bulu, akar-akaran kering, sepotong tulang kecil, sebuah gelas
kecil berisi cairan yang warnanya seperti darah.
"Apa itu?" jerit Susannah.
"Itu bukan milik kami!" teriak ibunya, wajahnya pucat pasi,
matanya yang cemas beralih-alih dari benda-benda di atas meja itu ke
Benjamin Fier. "Kita menemukan bukti yang kita perlukan," kata Benjamin
kepada orang-orangnya sambil mengangkat kantong yang sudah
kosong itu. Dia menunjuk Susannah dan ibunya. "Bawa mereka ke
penjara. Ikat mereka kuat-kuat sementara menunggu diadili."
"Diadili?" Martha Goode memekik sambil memeluk bayinya
erat-erat. "Diadili karena kesalahan apa?"
"Karena kesalahan mempraktekkan sihir!" kata Benjamin Fier
sambil mengawasi Susannah dengan dingin.
Kedua petugas itu bergerak cepat, mencengkeram bahu
Susannah dan ibunya. Benjamin berjalan cepat ke pintu, masih
memegangi kantong ungu yang sudah kosong itu.
"Benjamin Fier... Anda kenal kami!" Martha Goode menangis
putus asa. "Anda tahu, kami orang-orang sederhana yang takut kepada
Tuhan, kami keluarga saleh!"
"Anda tak berhak berbuat begini!" jerit Susannah, kengerian
membuat lehernya serasa tercekik. "Anda tak berhak berbuat begini
pada kami!" Kedua petugas itu menyeret Susannah dan ibunya ke pintu. Si
bayi menjerit-jerit kebingungan dan ketakutan, satu tangannya yang
mungil lepas dari genggaman ibunya dan menggapai-gapai udara
dengan kalut. Ketika Susannah dan ibunya diseret keluar pintu, Benjamin Fier
mundur untuk mengawasi. Matanya menatap Martha Goode dengan
tajam, lalu agak lama memandang Susannah.
Dia tidak tersenyum. Wajahnya dingin dan kaku.
Tetapi Susannah merasa melihat kilat rasa puas dan senang di
kedua matanya yang hitam.
Tepat ketika itu tetangga mereka, Mary Halsey, muncul di pintu
rumah mereka karena mendengar ribut-ribut.
"Tolong, ambil anak ini," Martha memohon sambil
menyerahkan si bayi kepada Mary. "Selamatkan dia."
Rengek si bayi berubah menjadi jerit tangis ketakutan.
Ketika kedua petugas itu menyeret Susannah dan ibunya
menjauh, Benjamin Fier mengikuti rapat di belakang mereka sambil
matanya terus-menerus mengawasi Susannah.
Ini bukan kenyataan, pikir Susannah, jantungnya berdegup
kencang, darah berdenyut-denyut di pelipisnya. Ini tak mungkin
terjadi pada kami. Dia mendengar seruan-seruan kaget ketika mereka melewati
alun-alun. Bisik-bisik pertanyaan. Pekik kaget yang tertahan.
Penjara tampak di depan sana, bangunan papan beratap rendah
di belakang balai pertemuan.
"Kenapa Anda lakukan ini pada kami?" teriak Susannah, katakata seakan meletus dari lehernya. "Mengapa Anda menyeret kami
dari rumah kami?" Benjamin Fier berhenti di jalan. Suaranya rendah dan mantap.
Matanya menatap mata Susannah lekat-lekat.
"Kalian, dua penyihir, akan dibakar sebelum akhir minggu ini,"
katanya. Bab 6 SEJUMLAH obor digantungkan di dinding balai pertemuan.
Lidah apinya menari-nari, siap melompat keluar setiap kali pintu
dibuka dan embusan angin masuk ke ruangan yang panas itu.
Di dalam boks tahanan di depan sidang pengadilan, Susannah
mencengkeram tangan ibunya sambil menatap lidah-lidah api. Tangan
ibunya terasa sangat kecil dan dingin seperti kaki binatang yang
ketakutan. Tanpa sadar Susannah mulai menggigit-gigit bibir bawahnya
dengan gugup. Sekarang dia mencecap pahitnya rasa darahnya.
Mereka membakar penyihir, pikirnya sambil memandang nyala
obor. Mereka sudah membakar tiga.
Tubuhnya mengerut dan tegang karena tiba-tiba diserang
kengerian. Dia meremas tangan ibunya semakin keras. Meskipun para
penyihir di daerah-daerah lain di Koloni Massachusetts dihukum
gantung, Benjamin Fier yakin bahwa satu-satunya cara untuk
menghukum penyihir adalah dengan membakarnya.
Tapi aku bukan penyihir! Kalau saja ada keadilan di Wickham, aku takkan dianggap
bersalah. Ruangan panjang berlangit-langit rendah itu penuh bayangbayang. Wajah-wajah kaku berkilat dalam cahaya obor berwarna
jingga. Mata, lusinan mata, melirik ke arah Susannah dan ibunya.
Deretan bangku kayu ditata sampai ke bagian belakang ruangan
panjang itu. Tanpa bicara orang-orang berdatangan lalu duduk di
bangku. Mereka warga kota yang ketakutan, mereka berbisik-bisik
ketakutan, mereka memandang Susannah dan ibunya dengan sikap
ingin tahu, tak percaya, dan iba.
Bisikan dan dengung orang bicara semakin keras, sampai
Susannah ingin menutupi telinganya. "Ibu, mengapa mereka
memandang kita seperti itu?" bisiknya ketakutan. Badannya
menyandar rapat ke badan ibunya, sampai dia bisa merasakan badan
ibunya yang gemetar. "Mereka kenal kita. Mereka tahu siapa kita."
"Ada di antara mereka yang percaya mereka sedang menatap
wajah-wajah setan," jawab Martha Goode sambil meremas tangan
putrinya. "Tapi mereka kenal kita!" ulang Susannah dengan nada tinggi,
jantungnya berdegup kencang.
"Kita tak bersalah. Kenyataan itu akan segera membebaskan
kita," jawab ibunya lirih. Kata-katanya tegar, tetapi sekujur tubuhnya
gemetar ketakutan. Edward, di mana kau" Susannah bertanya dalam hati.
Apakah kau sudah bicara dengan ayahmu" Apakah kau sudah


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercerita padanya tentang kita"
"Edward takkan membiarkan kita dibakar," kata Susannah
keras-keras tanpa menyadarinya.
Ibunya memandangnya kaget. "Apa katamu?"
Susannah hendak menjawab, tetapi seseorang di bangku depan
berteriak keras-keras. Disusul seruan-seruan kaget.
Susannah mendengar bunyi berkelepak dan merasakan embusan
angin dingin di dekat telinganya.
Suara-suara kaget berteriak-teriak.
Susannah mendengar bunyi berkelepak lagi, seperti kepak
sayap. Sebentuk bayang-bayang meluncur di atas kepala.
"Kelelawar!" seseorang berteriak dari belakang ruangan.
Makhluk itu menukik rendah ke arah nyala obor, kemudian
terbang di atas boks tahanan lagi, sayapnya berkepak-kepak seperti
detak jantung yang ketakutan.
Matthew Fier muncul di depan ruangan. "Buka pintu! Biarkan
dia keluar!" perintahnya.
Kelelawar itu terbang rendah di atas kepala orang-orang.
Susannah melihat beberapa kepala merunduk menghindar. Dia
merasakan embusan udara dingin ketika kelelawar itu terbang lewat di
depan wajahnya. "Pegangi pintu, biarkan terbuka. Binatang itu akan terbang
keluar," kata Matthew Fier dengan suara melengking.
Dengan patuh pintu dibiarkan terbuka. Nyala obor meliuk-liuk
dan meredup disergap angin. Sesaat kemudian kelelawar itu terbang
keluar, menghilang di langit yang tak berbintang. Pintu ditutup
kembali. 1 Matthew Fier berteriak mengatasi dengung suara-suara orang
bicara, menyuruh semua diam. Dia bertindak sebagai petugas
pengadilan yang menjaga ketertiban selama kakaknya memimpin
sidang. Suaranya tidak seperti suara Benjamin yang rendah
menggelegar. Tubuhnya tidak sebesar dan segagah kakaknya, tetapi
matanya yang hitam memancarkan ambisi yang sama kuatnya dengan
ambisi kakaknya. Ruangan menjadi senyap. Kaki-kaki yang menggesek lantai
papan menimbulkan bunyi berderik-derik. Seseorang di dekat pintu
batuk keras-keras. Matthew berpaling kepada para tahanan sambil membetulkan
letak kain putih yang dikenakannya di luar jubahnya. "Kalian boleh
memanggil roh-roh jahat berapa pun banyaknya," katanya kepada
Susannah dan ibunya. Matanya berkilat-kilat seperti bara arang.
"Kalian boleh memanggil kelelawar atau ular, atau bahkan Setan
Jahat. Tapi itu hanya akan membuktikan bahwa kalian bersalah."
"Kami tak memanggil kelelawar itu!" teriak Susannah.
"Diam!" bentak Matthew. "Diam! Makhluk jahat seperti itu
takkan masuk ke ruang pengadilan kalau tak dipanggil!"
Gumam keras berdengung dari deretan bangku-bangku. Matamata yang menuduh dan memantulkan cahaya obor, kini memandang
Susannah dan ibunya dengan marah.
"Diam! Diam!" teriak Matthew sambil menggerak-gerakkan
kedua tangannya. Ketika ruangan sudah tenang, Susannah melihat seorang lakilaki di ujung salah satu bangku bangkit berdiri. "Lepaskan istriku dan
putriku!" tuntutnya.
"Itu Ayah!" teriak Susannah kepada ibunya sambil menjulurkan
badannya ke depan agar bisa melihat ayahnya lebih jelas.
"Lepaskan mereka, Matthew Fier! Kau tahu mereka bukan
penyihir!" teriak Mr. Goode sengit.
Seorang pria jangkung berjubah hitam melangkah cepat ke
depan ruangan dan berdiri di samping Matthew Fier. "Duduklah,
William Goode," Benjamin Fier memerintah. "Kami tak pernah
menyeret wanita-wanita yang tak bersalah ke depan pengadilan."
"Tapi mereka tak bersalah!" teriak William. "Aku bersumpah
demi semua yang suci!"
"Duduk!" perintah Benjamin menggelegar. "Duduklah,
William, atau aku akan mengeluarkanmu dari ruang pengadilan."
Susannah melihat ayahnya membuka mulut untuk memprotes.
Tetapi Mr. Goode hanya mengerang tak berdaya sebelum duduk
terpuruk di bangkunya. Benjamin Fier berbalik menghadap para tertuduh. Rambutnya
yang hitam lurus dan matanya yang hitam nyaris merah mengilat
karena nyala obor. "Martha Goode, apakah kau akan mengakui kesalahanmu?" dia
bertanya sambil mencondongkan badannya ke dekat boks tahanan.
Ibu Susannah berdeham. Suaranya lirih seperti orang tercekik.
"Aku tak punya kesalahan untuk diakui."
Benjamin mendesis lalu mengalihkan pandangan kasarnya
kepada Susannah. "Susannah Goode, apakah kau akan mengakui
kesalahanmu?" Susannah menangkupkan kedua tangannya yang gemetar di
pangkuannya dan menunduk. Beberapa helai rambut pirang ikal
terlepas dari penutup kepalanya dan terjurai di wajahnya. "Aku bukan
penyihir," akhirnya dia bisa bicara lirih.
Edward, di mana kau"
Edward, apakah kau takkan menyelamatkan kami"
Tak adakah orang yang mau menyelamatkan kami"
"Mengakulah sekarang," perintah Benjamin. "Ada saksinya.
Ada saksi di ruangan ini malam ini. Saksi-saksi yang melihat kalian
menari-nari bersama Setan Jahat di tengah hutan dalam cahaya bulan."
"Itu tak benar," jerit Susannah. Sekarang dia berdiri.
"Susannah...!" Dia mendengar peringatan ibunya dan merasa
tangan ibunya menggamit sikunya.
"Itu tak benar!" ulang Susannah. "Kami tak pernah..."
"Diam, penyihir!" Matthew Fier berteriak sambil melangkah
maju menjajari kakaknya. Wajahnya yang tirus menyeringai kejam.
"Kau sudah mencoba mengutuk kami dengan memanggil binatang
malam itu ke dalam ruang pertemuan kita. Jangan menyela pengadilan
lagi!" "Mengakulah sekarang," desak Benjamin. "Protesmu yang tak
berdasar hanya akan menunjukkan kesalahanmu."
"Tapi kami tak bersalah!" jerit Susannah.
"Lepaskan mereka! Lepaskan mereka sekarang!" Susannah
mendengar teriakan ayahnya.
Gumam dan bisik-bisik lirih yang menggema dari deretan
bangku-bangku semakin keras dan berubah menjadi teriakan nyaring.
"Lepaskan istri dan putriku yang tak bersalah!" teriak William
Goode putus asa. "Putraku membutuhkan ibunya!"
Matthew berbalik lalu menuding ayah Susannah yang berdiri
tegak dengan satu tangan mencengkeram topinya. "Keluarkan dia dari
ruangan ini!" dia berteriak marah.
Tiba-tiba John Halsey, suami Mary Halsey, berdiri di belakang
ruang pertemuan. "Biarkan dia bicara, Matthew. Kau sudah kenal keluarga Goode
bertahun-tahun," teriaknya.
"Lepaskan keluargaku!" desak William. "Pengadilan ini suatu
kekeliruan! Ini rekayasa!"
"Singkirkan dia!" Matthew memerintah, membuat John Halsey
terdiam. Dari balik bayang-bayang, dua perwira militer bergerak cepat,
mendesak maju ke arah deretan bangku William, lalu mencengkeram
bahu pria itu. Sambil memandang wajah-wajah kaget orang-orang yang diam
dan hanya melihat, Susannah melihat ayahnya melawan. Dia
mendengar teriakan marah. Gedebak-gedebuk orang berkelahi. Bunyi
pukulan keras, disusul pekik kesakitan ayahnya.
Beberapa saat kemudian dia melihat tubuh ayahnya yang lemas
diseret di antara deretan bangku. Pintu di belakang ruangan dibuka.
Angin yang tiba-tiba mengembus masuk nyaris memadamkan
nyala obor. Lidah-lidah api meredup dan merunduk. Kegelapan
memenuhi ruangan. Kemudian lidah-lidah api itu tegak lagi.
Ruangan kembali sunyi dan tegang.
Ayahnya sudah disingkirkan keluar.
Ayah tak dapat menyelamatkan kami, pikir Susannah.
Kengerian yang dingin membuat lehernya serasa tercekik.
Ayah tak dapat menyelamatkan kami. Lalu siapa yang mau"
Apakah kau, Edward" Apakah kau ada di sini" Apakah kau mau bicara pada ayahmu"
Apakah kau akan menyelamatkan kami dari api pembakaran"
Atau apakah kau akan mengkhianatiku lagi"
"Kita semua menyaksikan kekuatan jahat mereka," Benjamin
Fier berkata kepada orang-orang yang duduk di deretan bangkubangku. "Baru saja kita lihat bagaimana mereka mencoba membuat
ruangan ini jadi gelap. Nyala obor hampir saja padam. Tapi kebajikan
kita mengalahkan kekuatan jahat mereka!"
Dia berbalik menghadap Susannah dan ibunya. "Kekuatan jahat
kalian takkan mampu memadamkan obor-obor kami. Kekuatan jahat
kalian takkan mampu memadamkan nyala kebajikan dan kebenaran di
ruangan ini!" "Embusan angin yang nyaris membuat obor-obor itu padam,"
teriak Susannah. "Diam, penyihir!" Benjamin membentak, suaranya yang
menggelegar menggetarkan dinding kayu yang dicat hitam.
Dia mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi. Susannah melihat
tangan itu memegang kantong ungu tua itu. Kantong itu
menggelembung karena isinya yang aneh-aneh.
"Aku menemukan bukti penghujatanmu!" Benjamin
mengumumkan. "Aku sendiri yang menemukan peralatan sihirmu.
Aku menemukan ini di dekat tungku pendianganmu, tungku yang
menjadi dingin karena kehadiran Setan!"
"Itu bukan milik kami!" jerit Susannah. Dia merasa tangan
ibunya menggamit lengannya lagi.
"Diam!" Benjamin memperingatkan, matanya yang hitam
menyipit memandang Susannah.
"Kami memiliki bukti-bukti praktek kejahatan kalian,"
Benjamin melanjutkan. "Kami mempunyai saksi-saksi yang melihat
kalian berdansa bersama Setan dan pelayan-pelayannya dalam cahaya
bulan. Kami juga melihat usaha kalian untuk menakut-nakuti kami
malam ini, yaitu dengan mendatangkan kelelawar ke dalam ruang
pertemuan kita dan mencoba memadamkan obor."
"Tidak!" pekik Susannah sambil menarik-narik rambutnya
dengan kedua tangannya. "Tidak! Tidak!"
"Kebajikan akan selalu menang," Benjamin melanjutkan tanpa
memedulikan teriakan dan protes Susannah. "Kebajikan akan selalu
menang atas Setan. Di antara kita, mereka yang murni hatinya akan
selalu menang atas orang-orang seperti kalian, Martha dan Susannah
Goode." Ibu Susannah menunduk, tetapi Susannah bisa melihat bahunya
bergetar. Dia tahu ibunya menangis.
Susannah ingin memekikkan protesnya, menyatakan dirinya
tidak bersalah sampai Benjamin Fier mau mendengarkannya. Tetapi
dia sadar bahwa teriakan-teriakannya tak ada gunanya.
Dengan jantung berdegup kencang dan kepala pening
berdenyut-denyut, Susannah tersungkur ke depan. Kepalanya terkulai
di bahu ibunya yang gemetar.
"Kejahatan telah menyelubungi Wickham," Benjamin Fier
sedang bicara. "Sebagai hakim, adalah tugasku untuk melawannya
setiap kali kejahatan itu muncul."
Dia memandang orang-orang di depannya, lalu merendahkan
suaranya ketika bicara lagi. "Bukan keinginanku untuk mengadili para
ibu dan putri mereka yang semuanya warga desa kita. Tapi adalah
tugas suciku untuk melindungi semua yang tak bersalah dari mereka
yang dikuasai Setan Jahat, seperti orang-orang ini." Dia menuding
Susannah dan ibunya. "Tak ada kesempatan lagi bagi kalian kecuali untuk mengaku!"
katanya tegas sambil maju mendekati boks tahanan. "Apakah kau
mengaku, Mistress Goode" Apakah kau mengakui praktek-praktek
sihirmu?" Ibu Susannah masih menangis dan tak bisa menjawab. Bahunya
naik-turun, wajahnya dipalingkannya ke arah bayang-bayang.
"Apakah kau mengaku mempraktekkan ilmu hitam, Susannah
Goode?" Benjamin menuntut jawab.
"Aku tak bersalah," gumam Susannah lirih.
"Penolakanmu untuk mengaku," teriak Benjamin, "dan
keenggananmu untuk mengaku merupakan bukti bahwa kau
bersalah!" Dia berdiri menjulang di atas Susannah dan ibunya,
mencondongkan badannya ke dekat mereka, dekat sekali sampai
Susannah bisa mencium napasnya yang masam. "Kami memutuskan
bahwa kau, Martha Goode, dan kau, Susannah Goode, bersalah karena
mempraktekkan ilmu sihir. Adalah kewajibanku sebagai hakim untuk
menghukum kalian berdua."
"Jangan... oh, jangan!" Susannah memekik sambil mengulurkan
tangannya hendak meraih. pria itu.
Benjamin Fier mundur menjauh, matanya dingin mengawasi
Susannah, wajahnya setengah tersembunyi dalam bayang-bayang.
"Kalian berdua akan dibakar besok malam," katanya tanpa emosi
sedikit pun. *********************** Seiris bulan pucat mengintip dari balik segumpal awan gelap,
meninggalkan berkas cahaya berbentuk segi empat kecil yang
menembus jendela sel tahanan yang kecil. Susannah bersandar pada
dinding yang dingin sambil memandangi sebentuk sinar di lantai
tanah. Tangannya terikat erat di punggungnya, agar dia tidak bisa
mempraktekkan ilmu sihirnya, kata penjaga penjara kepadanya.
Martha Goode berbaring dalam gelap, menempel pada dinding
di seberangnya. Tarikan napasnya sulit, bibirnya mengerang-erang
lirih, memanggil-manggil bayinya. Tidurnya tidak nyenyak dan
terkaget-kaget. Terlalu takut dan marah untuk tidur, Susannah tiba-tiba melihat
sebentuk bayang-bayang merayap menaiki bagian depan roknya.
Seekor labah-labah. Dia membungkuk ke depan, berusaha membebaskan tangannya.
Tetapi ikatannya terlalu kuat. Dia tak bisa menyingkirkan labah-labah
itu. Dia hanya bisa memandanginya tak berdaya, sementara binatang
itu semakin tinggi menaiki roknya.
Di luar, cahaya bulan yang putih menyinari dua tumpukan
jerami yang tinggi dan tampak keemasan.
Apakah kami akan dibakar di atas tumpukan jerami itu" pikir
Susannah ngeri. Labah-labah itu naik sampai ke pinggangnya, kaki-kakinya
bergerak cepat di atas roknya yang terbuat dari kain yang ditenun
serampangan. Ketika memandangi tumpukan jerami dan membayangkan
tumpukan itu menyala-nyala, isak tangis tertahan keluar dari
tenggorokannya. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Aku bukan penyihir, pikirnya pahit. Ibuku bukan penyihir.
Bagaimana dengan tiga orang yang telah dibakar itu" Apakah
mereka juga tak bersalah"
Apakah orang yang tak bersalah yang dibakar di Wickham"
Benarkah ini"

Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba cahaya bulan lenyap.
Sel sempit itu kini gelap gulita.
Kaget, Susannah berpaling dan melihat sebentuk siluet di luar
jendela, menghalangi cahaya bulan.
"Si-si-siapa di luar?" tanyanya tergagap-gagap.
"Susannah," terdengar bisikan parau.
"Edward!" jerit Susannah, arus kegembiraan melegakan
dadanya. "Edward... apakah kau datang untuk menyelamatkan kami?"
Bab 7 EDWARD FIER menatapnya, separo wajahnya tersembunyi
dalam gelap. "Kau datang untuk menyelamatkan kami?" ulang Susannah
dengan bisikan penuh harap.
Edward bimbang. Susannah bisa melihat matanya yang gelap
menatapnya, mengawasinya dengan dingin. "Menyelamatkanmu"
Mengapa aku ingin menyelamatkanmu?" akhirnya dia bertanya
dengan sengit, suaranya sedingin tatapan matanya.
"Edward, kukira..."
"Teganya kau mengkhianatiku seperti ini!" kata Edward. Katakata itu dimuntahkannya dengan penuh amarah.
Susannah tersentak. "Mengkhianatimu" Edward, aku tak
mengkhianatimu. Kau yang mengkhianatiku. Kau mempermainkan
cintaku. Kau sudah bertunangan dan akan menikah, tapi kau terus
saja..." "Aku tak pernah bertunangan!" Edward mendesis lirih. Dia
mundur dari jendela lalu menoleh cepat ke kanan dan ke kiri. Setelah
yakin tak ada orang di sekitar situ, dia mendekatkan wajahnya ke
jendela lagi. "Aku tak pernah bertunangan. Aku bilang pada ayahku bahwa
aku mencintaimu!" kata Edward pahit.
Susannah menelan ludah susah payah. "Kau bilang padanya?"
"Tapi kau mengkhianatiku, Susannah."
"Tidak. Aku tak pernah...," kata Susannah.
"Kau bersama Setan Jahat itu. Kau mengkhianatiku!" potong
Edward dengan nada menuduh, matanya yang hitam berkilat penuh
kemarahan. "Tidak! Aku tak bersalah, Edward!" bisik Susannah sengit.
"Kau harus percaya padaku! Harus!"
"Tak mungkin kau tak bersalah," bisik Edward. "Kau penyihir,
Susannah. Kau mencoba menjerumuskanku. Untunglah kejahatanmu
segera terungkap." "Tidak! Aku tak bersalah!" Susannah berkeras. "Edward, kau
Putri Ular Putih 3 Pendekar Pulau Neraka 38 Iblis Pulau Hitam Siluman Muka Kodok 2

Cari Blog Ini