Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal Bagian 2
kenal aku. Hubungan kita erat sekali. Kita saling membutuhkan dan
saling mencintai. Bagaimana..." Suaranya tercekat di tenggorokan. Dia
mengambil napas panjang, lalu mencoba lagi. "Bagaimana kau bisa
yakin aku bersalah?"
Edward menatapnya, wajahnya kaku, matanya sedingin katakatanya. "Sudah kubilang, Susannah. Kuceritakan perasaanku padamu
pada ayahku. Kukatakan padanya aku mencintaimu. Kaupikir setelah
tahu itu ayahku akan menyeretmu ke pengadilan kalau kau tak
bersalah?" "Tapi, Edward..."
"Kaupikir ayahku akan tega membuatku menderita begini"
Kaupikir ayahku akan tega menyakitiku seperti ini" Sengaja
menyakitiku dengan mengadili gadis yang tak bersalah?" Edward
menggeleng-geleng, matanya masih menatap mata Susannah dengan
sorot menuduh. "Tidak, Susannah," katanya sedih. "Ayahku mungkin keras dan
tegas, tapi dia selalu bertindak benar. Dia baik. Ayahku sangat
menyayangiku dan sangat memedulikan perasaanku. Dia takkan
memperlakukanku seperti ini. Dia takkan menyeretmu ke pengadilan
kalau tak yakin kau bersalah!"
"Aku bersumpah padamu, Edward...," kata Susannah.
Tetapi pemuda itu tidak membiarkannya menyelesaikan katakatanya. "Padahal aku sudah menentang ayahku demi kau," teriak
Edward. "Padahal aku telah menentang kehendak ayahku agar bisa
bersamamu. Padahal aku telah mengabaikan kebaikan ayahku, orang
yang saleh dan budiman, yang hanya menginginkan yang terbaik
bagiku. Padahal aku telah siap melawannya, demi kau"penyihir!"
"Edward, ayahmu keliru!" teriak Susannah putus asa.
Mata Edward menyipit. Dia merendahkan suaranya, hingga
menjadi bisikan sedingin es. "Jangan bicara seperti itu tentang ayahku,
penyihir. Mantramu sudah tak mempan lagi terhadapku."
"Edward, jangan! Edward, tolong!" pekik Susannah.
Wajah di jendela itu menghilang cepat. Bulan pucat tampak
lagi. Susannah menangis lirih. Di seberang ruangan, ibunya
bergerak-gerak tetapi tidak terbangun.
Sekarang Susannah merasa labah-labah itu merayapi lehernya.
Kulitnya menegang ketika binatang itu merayap ke dagunya.
Ayo terus, labah-labah. Gigit aku, pikirnya sambil mendesah
pahit. Dia sadar, dia sudah kalah.
Ayo, gigit aku. ********************** Di seberang desa, di rumah kecil keluarga Goode, William
Goode duduk terpuruk di kursi bersandaran tinggi.
Api menyala redup, bara ungu kemerahan ineletus-letus lirih.
Ruangan menjadi dingin. William memandang tungku pendiangan
yang gelap dengan tatapan kosong. Dia tidak menyadari sekelilingnya.
Lebih dari sejam dia duduk mematung tenggelam dalam
keputusasaan. Dia tak bisa memusatkan matanya, tak bisa
memusatkan pikirannya. Suara-suara di persidangan, deretan wajahwajah dalam cahaya remang-remang, mata-mata yang menuduh"
semuanya berkelebat dalam pikirannya yang letih dan sedih.
Semua lenyap, pikirnya. Dia membayangkan istri dan putrinya,
membayangkan mereka di rumah sedang berdiang, membayangkan
mereka dalam kedamaian dan ketenangan yang takkan pernah kembali
lagi. Bahkan bayinya pun tak ada lagi"seorang tetangga menjaga si
bayi saat itu. Semua lenyap. Pintu diketuk, tetapi William tidak bergerak.
Dia semakin tenggelam dalam keputusasaannya. Dia tidak
mendengar bunyi itu. Ketukan itu diulangi. Kemudian diulangi lagi dengan lebih
keras, untuk ketiga kalinya.
William bergerak, mengangkat kepalanya dan menyimak.
Ya. Ada yang mengetuk pintu.
Siapa yang datang malam-malam begini" Siapa yang berani
datang ke rumahnya, padahal semua tahu dia pasti sangat menderita
malam ini" Orang itu pasti tahu bahwa seumur hidup dia akan terus
menderita. Malam ini pasti akan terus terbayang-bayang dalam
pikirannya sampai hari kematiannya.
Ketukan keras itu diulangi lagi.
Seseorang memaksa minta dibukakan pintu.
Sambil mengerang William bangkit berdiri. Tubuhnya
terhuyung-huyung. Bara api merah keunguan kini terlihat oleh matanya.
Api mulai padam, pikirnya.
Semua dalam hidupku mulai padam.
Ketukan-ketukan semakin keras.
"Pergi," gumam William.
Tetapi dia melangkah ke pintu dan membukanya.
Cahaya obor yang terang membuat William menudungi
matanya. Pelan-pelan wajah pemegang obor itu terlihat olehnya.
"Matthew Fier! Apa yang kauinginkan dariku?" kata William
dengan suara lemah. "Apakah kau datang untuk menyeretku ke sana?"
Bab 8 CAHAYA obor menyinari wajah Matthew Fier, membuat
bayang-bayang gelap. Matanya yang hitam memandang William,
sepasang lingkaran hitam dalam lingkaran warna hitam sehitam
kuburan. "Aku datang untuk menolongmu, bukan menuduhmu, William,"
kata Matthew lembut. Dia mengangkat obornya tinggi-tinggi. Sekali
lagi wajahnya menghilang di balik bayang-bayang topinya.
"Menolongku?" tanya William lemah, tubuhnya melentuk
lemas di ambang pintu yang sempit.
"Boleh aku masuk?"
William mengangguk sambil mundur selangkah. Matthew Fier
menancapkan obornya di tanah lalu masuk rumah sambil merapikan
mantelnya. Dia melepas topinya. Rambutnya yang cokelat acakacakan. Disangkutkannya topinya pada kaitan di dinding.
Kedua lelaki itu berdiri canggung di depan pintu, berpandangan.
William yang pertama memecah keheningan. "Istri dan putriku
didakwa secara tak adil. Kakakmu membuat kesalahan yang
mengerikan. Martha dan Susannah tak tahu apa-apa tentang ilmu
hitam." Matthew berjalan melewati William, matanya memandang api
yang mulai padam. Tiba-tiba William mencengkeram bagian depan
mantelnya. "Kakakmu salah!" teriaknya. "Dia salah! Salah!"
"Kakakku orang biasa," kata Matthew lirih. Dia melepaskan diri
dan menjauhi jangkauan William. Sambil merapikan mantelnya dia
berjalan ke tungku pendiangan.
William memandanginya dari belakang, kaget mendengar katakatanya.
Matthew mengambil sepotong kayu bakar dari samping
pendiangan lalu memasukkannya ke tungku. "Kau membiarkan apimu
padam, William," katanya sambil memandang tungku pendiangan itu.
"Aku tak peduli bagaimana api itu sekarang," sahut William,
suaranya bergetar penuh luapan perasaan. "Aku hanya peduli dan
menyayangi istri dan putriku. Mana tanggung jawabmu, Matthew..."
Matthew berbalik dan menghadap William. Tangannya
ditangkupkan di depan rompinya. William melihat tangan pria itu
kasar. Tangan petani. "Aku yakin bisa menolongmu, William," Matthew berkata
pelan dan lirih. "Maksudmu...?" "Aku yakin bisa menyelamatkan istri dan putrimu."
William mendesah keras-keras. Dia menunjuk kursi
bersandaran tinggi dan tegak di dekat pendiangan.
Matthew menggeleng. Dia berjalan mondar-mandir di depan
tungku itu, sepatu botnya berdetak-detak di lantai papan. "Kataku,
kakakku manusia biasa."
William menggaruk-garuk rambutnya yang putih. "Aku tak
mengerti. Maksudmu kau mau bilang..." Suaranya lirih lalu
menghilang. "Aku bisa mempengaruhi Benjamin," kata Matthew, matanya
yang hitam menatap mata William.
"Kau bisa bicara padanya?" tanya William penuh harap. "Kau
bisa berdebat dengannya" Kau bisa menjelaskan padanya bahwa dia
telah membuat kesalahan tragis?"
Senyum ganjil terkembang di wajah Matthew. Dia berhenti
mondar-mandir dan mengangguk. "Aku yakin bisa membujuk
kakakku untuk mengubah keputusannya. Istri dan putrimu tak harus
dibakar besok malam."
"Oh, terima kasih! Terima kasih, Matthew!" William berteriak
girang. Dia berlutut lalu menunduk sambil berdoa dalam hati.
Ketika dia mengangkat matanya, dia melihat bibir Matthew
masih menyunggingkan senyum aneh. Keraguan menyergap William
ketika pelan-pelan dia berdiri. "Kau benar-benar dapat mempengaruhi
kakakmu?" dia bertanya penuh harap. "Apakah kakakmu mau
menuruti kata-katamu?"
Matthew mengangguk. Sambil merapatkan mantel ke sekeliling
badannya, dia menjatuhkan diri di kursi kayu bersandaran tinggi itu.
"Aku bisa membujuk Benjamin," ulangnya. Matanya disipitkan. "Tapi
biayanya mahal." "Apa?" William tidak yakin apakah dia tidak salah dengar.
Apakah Matthew Fier minta bayaran" Uang untuk menyogok"
"Ongkosnya mahal, William," ulang Matthew. Senyumnya
sudah lenyap. "Jasaku untuk urusan ini harus dihargai dengan pantas."
William Goode menelan ludah dengan susah payah. "Uangku
hanya sedikit," katanya dengan suara tercekik. "Tapi aku rela
menghabiskan uangku untuk menyelamatkan Martha dan Susannah."
"Bayarannya seratus pound," kata Matthew tanpa perasaan.
Matanya menatap William lekat-lekat.
"Seratus pound!" William berteriak, tak dapat menyembunyikan
kekagetannya. "Tapi, Matthew, tolonglah!"
"Seratus pound adalah jumlah yang kecil untuk urusan ini," kata
Matthew sambil berjalan ke tungku pendiangan. Kayu bakar yang tadi
dimasukkannya mulai terbakar. Matthew mengulurkan tangannya
untuk menghangatkannya. William ternganga, memandangnya tak percaya.
Dia tidak ragu menukar nyawa Martha dan Susannah dengan
uang sogok, pikir William. Aku tahu, kakak-beradik Fier sangat
ambisius. Aku tahu, watak mereka ternoda oleh dosa ketamakan
mereka. Tapi tak pernah kubayangkan mereka benar-benar bejat. Aku
tak pernah membayangkan mereka akan berusaha menambah
kekayaan dengan mengancam nyawa wanita dan gadis yang tak
bersalah. "Matthew, aku hanya punya delapan puluh pound," protes
William. "Delapan puluh pound itulah yang kubawa dari Inggris,
itulah seluruh hartaku di dunia. Kalau kau mengambilnya, aku tak
punya apa-apa lagi."
Mata Matthew berkilat-kilat, memantulkan loncatan-loncatan
lidah api di tungku pendiangan. "Kau masih punya istri dan anakmu,"
katanya datar. William menunduk. Dia tahu, dia harus membayarkan uang
sebanyak itu kepada Matthew Fier. Dia tahu dia harus mengorbankan
apa saja untuk menyelamatkan Martha dan Susannah dari siksa api
pembakaran. Ketika mengangkat wajahnya, William melihat Matthew sedang
mengamat-amati panci bergagang panjang yang tergantung di dinding
di samping tungku pendiangan. "Panci penghangat yang sangat
bagus," katanya sambil mengambil panci itu dari kaitnya lalu
memutar-mutarnya sambil mengaguminya. "Ini kuningan?"
"Ya, kuningan yang terbagus," jawab William. "Buatan
ayahku." "Aku akan mengambil ini sebagai bagian dari cicilan utangmu,"
kata Matthew sambil terus mengamati panci itu. "Karena kau tak
punya uang seratus pound untuk membayarku."
"Ambil saja," William menjawab sambil melambaikan
tangannya. "Ambil semua yang kumiliki, Matthew. Tapi tolong
kembalikan keluargaku padaku dengan selamat."
Matthew menurunkan panci penghangat itu lalu memandang
sekelilingnya. "Bicara tentang keluargamu, mana si George kecil?"
tanyanya. "Mary Halsey, tetangga sebelah, yang mengasuh anakku,"
William menjawab dengan sedih. "George membutuhkan pengasuh.
Aku tak tega melihatnya, melihat wajahnya yang murni dan tahu
bahwa dia akan tumbuh menjadi dewasa tanpa tahu siapa ibu dan
kakaknya." Tangis tercekat di tenggorokan William. Dia menghapus air
matanya. "Aku akan membayarmu, Matthew," dia berkata dengan
suara bergetar karena gejolak perasaannya. "Setelah itu, maukah kau
bicara pada Benjamin malam ini?"
Matthew mengangguk dengan bersungguh-sungguh.
"Keluargamu akan dilepaskan besok waktu matahari tenggelam.
Hatimu yang gelisah akan segera tenang kembali, William."
Kepala William masih pusing sekali. Dengan cepat dia
melangkah ke bagian belakang rumah, ke tempat dia
menyembunyikan uang simpanannya. Ketika tangannya menarik
kantong kain yang berat dari bawah lantai papan yang sudah
renggang, dia merasa jantungnya seakan hendak meledak.
Martha akan pulang besok malam.
Susannah juga akan ada di rumah!
Kami akan berbahagia lagi. Kami pasti akan sangat bahagia.
Dia membawa kantong itu ke ruang depan lalu duduk di depan
meja. Dia menuangkan isinya dan menghitungnya. Matthew Fier,
masih memegangi panci penghangat itu, berjalan ke meja lalu
mengintip dari balik punggung William ke arah tumpukan logam.
"Delapan puluh pound," akhirnya William berkata sambil
menyorongkan tumpukan uang logam itu ke arah Matthew. "Punyaku
hanya tinggal dua shilling perunggu. Tapi aku merasa kaya!"
"Ya, kau orang kaya," Matthew mengiyakan, wajahnya tanpa
ekspresi. Ketika dia membungkuk untuk mengambil uang itu, bandul
kalungnya terjulur di depan mata William.
Tidak seperti biasanya, William tak dapat menahan diri untuk
tidak berkomentar. "Aneh sekali jimat yang kaupakai itu, Matthew,"
katanya. Matthew menegakkan badannya dan meraba-raba jimatnya,
seakan baru sekali itu melihatnya.
Cakram perak itu berkilat karena hiasan permata biru. Permata
itu dicengkeram cakar perak berjari tiga. Matthew memutar-mutar
cakram itu dengan jari-jarinya. Di bagian belakangnya digoreskan tiga
kata dalam bahasa Latin. William mencoba membaca kata-kata itu: "Dominatio per
malum." "Aneh sekali," kata William. "Apa arti kata-kata itu?"
Matthew memasukkan jimatnya ke balik rompinya. "Hanya
pepatah lama," jawabnya. "Jimat ini pemberian nenekku sebelum aku
meninggalkan desaku. Aku mengenakannya hanya untuk mengenang
wanita tua yang mengagumkan itu dan kehidupanku sebelum ini,
kehidupan yang sangat miskin dan penuh perjuangan."
William mengangkat matanya menatap mata Matthew dan
mengamati wajahnya dalam cahaya api yang remang-remang. "Orang
Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bilang, cakar seperti itu disebut cakar setan," katanya kepada tamunya.
"Kata orang, itu mengandung kekuatan gaib."
Beberapa detik mulut Matthew ternganga kaget. Setelah bisa
menguasai airi lagi, dia berkata, "Aku tak tahu apa-apa tentang
kekuatan gaib atau cakar setan. Kau pun seharusnya tak tahu, William
Goode." "Tidak, tentu saja tidak," sahut William cepat-cepat sambil
melihat ke bawah. Matthew Fier mengumpulkan koin yang tersisa. Kemudian,
sambil membawa panci penghangat itu, dia berjalan ke pintu. Dia
memakai topinya, lalu berbalik untuk memandang William.
"Keluargaku...," kata William tergagap.
"Aku akan memastikan semuanya beres," Matthew Fier
berjanji. Dia merapatkan mantelnya, membuka pintu, lalu menghilang
ditelan malam yang gelap.
Bab 9 ESOK sorenya William bergegas menyeberangi alun-alun
menuju penjara. Sekawanan domba berhenti merumput untuk
mengangkat kepala mereka dan mengembik kaget serta memandang
ke arahnya. Matahari turun di balik pepohonan, menebarkan berkas-berkas
cahaya merah jambu di langit sore. Bulan pucat setengah lingkaran
sudah tampak di langit, mengintip dari balik atap sirap rumah
Benjamin Fier yang berlantai dua.
Bagi William hari itu berlalu seperti dalam balutan kabut. Mary
Halsey mengantarkan makan siang untuknya, tetapi makanan itu
nyaris tak disentuhnya. Dia berniat memperbaiki pagar kayu yang
membatasi kebun sayur sempit milik istrinya, tetapi badannya lemas
sekali. Waktu seakan berhenti bergerak, dan William Goode membeku
bersamanya. Ketika matahari mulai tenggelam dan senja datang, barulah
William kembali bersemangat. Sekarang dia berjalan cepat melewati
kerumunan ayam yang berkotek-kotek dan beberapa ekor sapi kurus
yang melenguh keras. Dia sudah tak sabar ingin segera berkumpul
dengan keluarga yang dicintainya.
Tak sabar ingin memeluk mereka, ingin menyentuh mereka.
Tak sabar ingin menangis bersama, tangis bahagia yang akan
melenyapkan kengerian dan menghapus segala mimpi buruk. Tak
sabar ingin membawa pulang Martha dan Susannah.
Ketika bangunan penjara beratap rendah dan berdinding abuabu itu mulai kelihatan, jantung William berdegup kencang. Terlalu
bahagia! Terlalu lega! Jantungnya berdegup kencang penuh semangat.
William melambatkan langkahnya, lalu berhenti untuk mengambil
napas. William mengangkat wajahnya dan melihat orang berkerumun
di depan penjara. Mereka datang untuk ikut merasakan kebahagiaanku, pikirnya.
Wajah-wajah mereka tak tampak olehnya, tersembunyi di
bawah bayang-bayang topi hitam atau penutup kepala. Tetapi dia tahu
mereka para tetangganya, kawan-kawannya, yang bersyukur karena
hukuman yang keliru itu telah dicabut, bersyukur karena nasib baik
keluarga Goode. Ketika semakin dekat dengan mereka, lututnya melemas dan
kakinya gemetar. Ini hari paling bahagia dalam hidupku, pikirnya.
Kemudian pintu terbuka. Seorang petugas muncul.
Seorang petugas lain keluar lalu berdiri di depan orang-orang
yang berkerumun sambil berbisik-bisik.
Susannah muncul, kepalanya tertunduk ketika dia berjalan
melewati ambang pintu. Martha Goode menyusul rapat di
belakangnya, bayang- bayangnya tampak biru di tanah kelabu yang
keras. "Susannah! Martha!" William berteriak memanggil sambil
mendesak maju menembus kerumunan orang yang akan mengucapkan
selamat kepada mereka. Kedua wanita itu mengangkat mata dan mencari-cari dia.
"Aku di sini! Martha! Di sini! Susannah!" William berteriak
bahagia. Dia melangkah maju ke depan kerumunan orang yang
menonton, napasnya tersengal-sengal, wajahnya merah, pandangannya
kabur karena air mata bahagia.
"Martha! Susannah!"
Dia menunggu mereka dilepaskan.
Alangkah kagetnya dia ketika melihat tangan mereka masih
terikat di punggung. William tersentak melihat salah satu petugas mendorong
Martha dari belakang, mendorongnya dengan keras dan membuat
wanita itu nyaris terjungkal.
"Martha!" William berteriak.
Akhirnya Martha melihatnya, wajahnya murung dan sedih
sekali. "Jangan cemas!" teriak William. "Mereka akan melepaskan
kalian sekarang!" "Ayah!" Susannah menjerit nyaring, wajahnya berkerut penuh
kengerian. "Tolong kami, Ayah!"
"Jangan cemas...," William memulai. Tetapi suaranya tercekat
di tenggorokan ketika dia melihat kedua petugas itu memaksa istri dan
anaknya berjalan ke arah tumpukan jerami.
"Ayah...!" Susannah memohon.
"William! William! Tolong kami!" jerit Martha.
"Tunggu!" teriak William.
Seseorang mencoba mencegahnya. "Ini semua sudah takdir
Sang Pencipta," dia mendengar seseorang bergumam. "Mari kita
mendoakan jiwa mereka."
"Tidak!" William menjerit. Dia berontak, melepaskan diri, lalu
berlari ke arah istri dan putrinya. "Hentikan! Hentikan!"
William kaget dan ngeri melihat Susannah dan Martha sudah
dibawa ke tumpukan jerami dan sedang diikatkan ke tiang kayu yang
tinggi. "Jangaaaaaannnn!" Teriakan dan protes William membelah
malam seperti lolongan binatang yang putus asa.
Pandangannya kabur karena air mata kemarahan. Dia
menerjang maju, menggeram marah, dan berteriak-teriak
menyuarakan protesnya. Tiba-tiba dia terdiam ketika melihat
Benjamin Fier di pinggir kerumunan orang, sedang mengawasi
pelaksanaan hukuman itu. Tangannya terjulai di kanan-kiri mantel
hitamnya yang panjang. Wajahnya tersembunyi dalam bayangbayang topinya yang berpinggiran lebar.
"Benjamin...!" William berteriak sambil mencengkeram bahu
hakim itu dari belakang. "Benjamin... kau harus menghentikan ini
sekarang! Bebaskan mereka! Adikmu telah berjanji padaku...!"
Dengan putus asa William memutar badan orang yang
dicengkeramnya... dan memandangl wajah yang sama sekali tak
disangkanya. "Giles!" William berteriak parau, suaranya hanyalah bisikan
orang yang shock. "Giles Roberts!"
"William, lepaskan aku," kata wakil hakim itu lirih.
"Giles" Tapi... tapi..." William tergagap-gagap, nyaris tak bisa
bernapas. Dia terlalu kaget untuk bisa berpikir jernih.
Susannah dan Martha sekarang sudah terikat erat di tiang. Dua
petugas maju ke depan dengan obor menyala.
"Hentikan mereka, Giles!" William berteriak mendesak.
"Hentikan mereka sekarang juga. Mana Benjamin" Mana Benjamin
Fier" Aku harus bicara dengannya sebelum... sebelum..."
Giles Roberts mundur selangkah dan membebaskan diri dari
cengkeraman William. "William, kau belum dengar, ya?" tanyanya sambil menatap
mata William yang penuh air mata. "Benjamin dan adiknya, Matthew,
meninggalkan desa ini tadi pagi sebelum matahari terbit."
Bab 10 "KABUR dari desa?" William berteriak panik, matanya nanar
memandang ke balik punggung Giles Roberts, ke arah tumpukan
jerami tempat istri dan putrinya terikat erat pada tiang kayu. Mereka
menggeliat-geliat penuh kengerian.
"Sebelum matahari terbit," Giles mengulang dengan sungguhsungguh.
"Tapi aku sudah membayar Matthew...!" teriak William. "Aku
membayarnya untuk..."
"Kakak-beradik Fier merampok kita," kata Giles kepadanya.
"Mereka menguras gudang desa. Mereka tak menyisakan bahan
pangan bagi kita untuk menghadapi musim dingin. Mereka
mengambil semua. Semuanya."
"Aku... aku tak mengerti!" William menjerit. Tanah yang
diinjaknya serasa miring dan bergoyang-goyang. Dia memejamkan
mata, mencoba menyeimbangkan dirinya.
"Mereka mengangkut seluruh harta mereka dengan beberapa
gerobak," lanjut Giles. "Dan mereka menghilang membawa semua
persediaan makanan kita."
"Mereka tak bicara denganmu sebelum pergi?" tuntut William
sambil mencengkeram lengan Giles dengan putus asa. "Apakah
Benjamin tak bilang padamu" Matthew tak bilang padamu?"
"Mereka tak bilang padaku, William," jawab Giles lirih.
Kemudian dia menambahkan dengan tegas, "Lepaskan aku."
"Tapi hukuman atas istri dan putriku harus dibatalkan! Mereka
harus dibebaskan, Giles! Benjamin seharusnya bilang padamu.
Seharusnya dia..." "Dia tak bilang apa-apa padaku," kata Giles. Wajah wakil
hakim itu mengeras. "Hukuman harus dilaksanakan."
********************** Tak ada gunanya melawan, Susannah menyadari.
Tangannya terikat erat. Dia tak bisa membebaskan diri dari
tiang pembakaran. Tiang itu menekan punggungnya dan membuatnya
merasa tidak nyaman. Nadinya berdenyut-denyut karena ikatan yang
kencang. Bahunya pegal sekali.
Dia menengadah memandang langit. Matahari telah turun ke
balik pepohonan. Dia senang sekali berjalan-jalan di antara pepohonan
itu. Pohon-pohon yang menebarkan wangi cemara dan telah
memberinya kegembiraan tak terkira. Pohon-pohon tempat dia dan
Edward berkencan secara sembunyi-sembunyi, tempat dia menikmati
masa-masa singkat penuh kebahagiaan.
Ketika mengalihkan pandangannya ke bawah, dia merasa
melihat Edward. Pemuda itu berdiri di batas kerumunan orang, membalas
pandangannya. Mula-mula Susannah melihat matanya seperti terluka.
Kesakitan. Tetapi setelah beberapa lama memandangnya, Susannah
melihat wajah pemuda itu mengeras, dingin, dan memancarkan
kebencian. Susannah menjerit keras-keras. Dia sadar, pemuda itu bukan
Edward. Bukan Edward. Pemuda itu sama sekali tidak mirip Edward.
Dua lingkaran cahaya kuning mendekat dari kekelabuan.
Dua obor. "Ibu"," Susannah menjerit. "Ibu, akan sakitkah nanti?"
Air mata menetes membasahi pipi Martha Goode yang sembap.
Dia memalingkan wajahnya dari putrinya, berusaha menahan isak
tangisnya. "Akan sakitkah nanti, Ibu" Katakan, Ibu... akan sakitkah nanti?"
Bab 11 WILLIAM GOODE menekan samping wajahnya. Tetapi jerit
tangis kesakitan istri dan putrinya terus terngiang-ngiang di
telinganya. Selamanya aku akan mendengar jerit tangis mereka.
Dengan mata terpejam, dia masih bisa membayangkan tubuh
mereka menggeliat-geliat di tiang pembakaran yang menyala, masih
bisa melihat wajah mereka yang meleleh, rambut mereka yang
terbakar. Dia sudah mencoba berlari ke arah mereka.
Tetapi kedua petugas itu menghalanginya, mendorongnya jatuh
dan memaksanya berlutut, sementara asap hitam membubung ke
langit dan pekik kesakitan membubung lebih tinggi daripada lidahlidah api itu.
Martha. Susannah. Keluargaku...
William masih berlutut ketika api telah dipadamkan dan
kerumunan orang berangsur pergi tanpa bicara. Dia tak sadar bahwa
sekarang dia sendirian. Sendiri bersama kesedihannya.
Sendiri bersama bau asap yang menyesakkan.
Sendiri bersama jerit tangis istri dan putrinya yang mengiangngiang di telinganya.
Mereka terbakar dengan nyala yang sangat terang, pikirnya,
sambil menangis. Mereka terbakar terang seterang bintang-bintang.
Tanah di bawahnya basah karena air matanya.
Dia menengadahkan wajahnya ke langit malam yang hitam
sehitam arang, dengan bintik-bintik putih pucat bintang-bintang di
sana-sini. Aku tahu kalian berdua di atas sana, kata William dalam hati
sambil terhuyung-huyung berdiri.
Aku tahu kalian berdua di atas sana, seterang bintang-bintang.
Dia mendesahkan tangis terakhir yang memilukan. Kemudian
kesedihannya berubah cepat menjadi kemarahan.
Dia berjalan pulang menyeberangi alun-alun yang kosong dan
sunyi, matanya menatap lurus ke depan. Api pelan-pelan menghilang
dari mata pikirannya, lenyap ke dalam gelap, lalu muncullah sosok
Benjamin dan Matthew Fier.
Mereka mengkhianatiku dan mencuri hidupku.
"William?" Sebuah suara mengagetkannya di depan pintu
rumahnya. Dia memerlukan waktu beberapa detik untuk menghapus
sosok kakak-beradik Fier yang dibencinya itu dari mata pikirannya
dan memusatkan matanya kepada sosok gelap di ambang pintu
rumahnya. "Mary Halsey!" desisnya.
Wanita itu mengulurkan si bayi kepadanya, terbungkus rapat
dalam selimut wol. "Ambil bayi ini, William. Ambillah si George."
"Tidak." William mengangkat tangannya seakan hendak
menghindari bayi yang diulurkan kepadanya itu.
"Dia satu-satunya keluargamu sekarang," Mary berkata dengan
nada mendesak, sambil mengangsurkan bayi itu kepadanya.
"Ambillah. Peluklah dia, William. Dia akan membantu mengatasi
kesedihanmu." "Tidak," William mengulangi. "Jangan sekarang, Mary Halsey.
Ada yang harus kulakukan lebih dulu."
Dia mengagetkan wanita itu dengan melewatinya dan masuk ke
rumahnya, lalu membanting pintu keras-keras di belakangnya.
Rumah itu gelap, sama gelapnya dengan pikiran William. Api
sudah lama padam. Dengan cepat William berjalan ke bagian belakang rumahnya.
Dia membuka pintu ruangan khususnya, ruang rahasia yang sempit di
balik dinding, yang bahkan Susannah maupun Martha tak pernah
masuk ke sana.
Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ruangan tempat lilin-lilin hitam selalu dinyalakan. 1
Dia melangkah menuju ke lidah api jingga lalu menutup pintu
di belakangnya. Sambil mendesiskan mantra upacara sihir, William mengambil
jubah ungu bertudung yang disembunyikannya di bawah peti-peti
kayu, lalu mengenakannya.
William bisa merasakan kekuatan jubah itu bahkan sebelum dia
menutupi kepalanya dengan tudungnya.
Sambil mengangguk tiga kali, William memandang lingkaran
cahaya lilin. Setelah itu dia berlutut di lantai tanah dan mulai
menyenandungkan kata-kata kuno yang dia hafal luar kepala.
Istri dan putriku tak bersalah, pikir William dengan pahit,
mulutnya terus berkomat-kamit.
Mereka tak bersalah. Tapi aku bersalah. Mereka tak tahu ilmu hitam ini.
Tapi aku sudah mempraktekkannya dengan baik.
Sambil menggumamkan kutukan-kutukan kuno, dia mulai
menggoreskan lambang-lambang setan di lantai tanah. Napasnya
sekarang memburu, jantungnya berdegup kencang.
Di bawah tudung satin ungu, matanya melotot tak berkedip,
menatap simbol-simbol kuno yang digoreskannya di lantai tanah.
Senyum murung tersungging di bibirnya yang gemetar.
Yang tak bersalah mati hari ini, William berpikir sambil
memanggil roh-roh jahat yang sudah sering dipanggilnya sebelum ini.
Yang tak bersalah mati hari ini. Tapi rasa benciku akan hidup
turun-temurun. Keluarga Fier takkan luput dari pembalasanku.
Ke mana pun mereka lari, aku akan mengejar mereka.
Jerit tangis keluargaku akan menjadi jerit tangis keluarga Fier
yang tersiksa. Api yang membakar hari ini takkan padam"sampai dendamku
terbalas, dan keluarga Fier terbakar selamanya dalam api kutukanku!
Desa Shadyside 1900 "BEGITULAH awalnya. Begitulah semua ini berawal lebih dari
dua ratus tahun lalu," kata Nora Goode.
Sambil memandang kuningnya nyala lilin, dia meletakkan
penanya. Jari-jarinya yang lentik terasa kaku karena lama menulis.
Sudah berapa lama aku di sini" dia bertanya dalam hati.
Matanya memandang lelehan lilin yang membeku di pinggir-pinggir
batang lilinnya. Sudah berapa lama aku duduk di depan meja sempit ini,
menuliskan kisah nenek moyangku"
Cahaya lilin bergoyang-goyang, mengingatkannya akan api itu.
Sekali lagi dia melihat mansion yang terbakar itu. Sekali lagi dia
mendengar jerit kesakitan orang-orang yang dicintainya yang
terperangkap di dalam api.
Bagaimana aku bisa menyelamatkan diri" Nora terheran-heran
sendiri, matanya menatap lekat-lekat ke arah lidah api. Aku tak ingat.
Bagaimana aku bisa sampai di sini"
Seseorang membawaku ke sini. Seseorang menemukanku.
Seseorang menemukanku di halaman, sedang memandang api,
memandang mansion yang terbakar.
Seseorang menolongku menjauhi tempat itu dan membawaku
ke kamar ini. Dan sekarang aku harus menuliskan semua ini. Aku harus
menceritakan kisah ini selengkapnya. Aku harus menjelaskan tentang
kedua keluarga itu dan kutukan yang menghantui kami selama
berpuluh-puluh tahun. Nora mengambil pena. Aku harus menyelesaikan kisah ini sebelum malam berakhir,
pikirnya. Waktu tinggal sedikit.
Susannah dan Martha Goode dibakar pada tahun 1692. Ceritaku
dimulai delapan belas tahun kemudian.
Benjamin dan Matthew Fier sekali lagi berhasil menjadi petani
yang sukses. Istri Matthew, Constance, memberinya seorang bayi
perempuan yang mereka namakan Mary.
Putra Benjamin, Edward, sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa.
Dia tidak pernah menikah dengan Anne Ward. Dia menikah dengan
Rebecca, seorang gadis dari desa sekitar situ. Mereka punya seorang
anak laki-laki bernama Ezra.
Banyak sekali yang harus kuceritakan. Banyak sekali...
Sambil menarik napas panjang, Nora membungkuk di atas
meja. Beberapa detik kemudian penanya mulai menggores-gores
kertas. Dia kembali menuliskan kisah yang mengerikan itu.
BAGIAN DUA Daerah Perbatasan Pennsylvania Barat 1710 Bab 12 "KADANG -KADANG aku merasa keluarga ini terkutuk,"
gumam Benjamin sambil mendekatkan kursinya ke meja makan yang
panjang. Dia menggeleng-geleng dengan sikap murung. Rambutnya
yang putih acak-acakan tampak mengilap dalam cahaya senja yang
menembus masuk lewat jendela.
"Ayah seperti lelaki tua yang mulai suka mengeluh dan
mengomel," kata Edward sambil tertawa.
"Aku memang lelaki tua yang suka mengeluh dan mengomel!"
kata Benjamin bangga.ebukulawas.blogspot.com
"Bagaimana kau bisa menyimpulkan kita terkutuk?" tanya adik
Benjamin, Matthew. Dia masuk ke ruang makan sambil mengendus
aroma ayam panggang. "Lihatlah, tanah pertanianmu sangat subur dan
menguntungkan, Benjamin. Lihatlah, bagaimana keluarga kita ini
tumbuh." "Aku bisa melihat kau memang tumbuh," Benjamin menggoda.
Matthew sekarang gemuk sekali. Ketika dia duduk di kursinya,
semua bisa melihat kemeja linennya kesempitan di sekeliling
pinggangnya yang lebar. "Paman Benjamin, Paman mengejek ayahku lagi?" Mary Fier
mengomel. Putri Matthew itu meletakkan sepiring kentang dan kacang
panjang di depan ayahnya.
"Hei, kau sendiri mirip Ratu Anne!" kata Benjamin kepada
Mary sambil tertawa terbahak- bahak.
Pipi Mary memerah. "Aku menyanggul rambutku. Ini kan
biasa." Mary berumur tujuh belas. Rambutnya panjang warna tembaga,
seperti rambut ibunya, Constance Fier. Dia juga mewarisi kulit ibunya
yang pucat halus dan senyumnya yang malu-malu. Matanya seperti
mata ayahnya, hitam dan tajam.
"Mengapa kau menggoda Mary?" tanya Constance kepada
Benjamin. Dia masuk ke ruang makan sambil menating sepinggan
ayam Panggang di depan celemeknya yang putih panjang. "Mary
sudah bekerja sejak tadi siang, mengupas kentang dan memasak
kacang untuk makan malammu."
"Aku juga memetik kacang," tambah Mary sambil menggerutu.
"Ayah hanya menggoda, Cousin Mary," kata Edward. "Ya kan,
Ayah?" Benjamin tidak menjawab. Matanya melamun, seakan tersaput
kabut tipis. Dia menatap nanar ke luar, lewat jendela yang sempit.
"Ayah?" ulang Edward.
Benjamin mengalihkan tatapannya dan memandang putranya
dengan dahi berkerut. "Kau bicara padaku?" dia membentak.
"Bicaralah keras-keras! Aku sudah tua, Edward. Aku tak bisa dengar
kalau kau hanya menggumam."
"Mana Rebecca?" tanya Matthew, matanya menyapu ruang
makan yang panjang dan sempit.
Rebecca, istri Edward yang masih muda dan cantik, selalu yang
terakhir masuk ke ruang makan.
"Dia pasti sedang mengurus Ezra," kata Edward kepada
pamannya. "Anakmu selalu menjadi masalah sejak dia lahir," Benjamin
menggerutu. Suaranya yang dulu keras menggelegar kini lirih dan
parau. "Ezra anak yang sulit," Edward mengakui sambil menerima
pinggan ayam panggang. Dia sependapat dengan ayahnya. "Tapi,
menurutku Ayah keterlaluan."
"Aku kakeknya. Aku bisa berbuat semauku," geram Benjamin
dengan nada menjengkelkan. "Kalau kau tak suka komentarku,
Edward, makanlah di rumahmu sendiri." Dia menunjuk ke luar
jendela, ke rumah Edward di seberang padang rumput.
"Ssssh, Brother," kata Matthew sambil mengangkat tangannya
menengahi. "Mari kita nikmati makanan ini tanpa keluhan-keluhanmu
yang menjengkelkan."
Rebecca masuk sambil menarik Ezra di belakangnya. Kelihatan
jelas dari matanya, Ezra baru saja menangis. Umurnya sudah enam
tahun, tetapi kelakuannya masih seperti bayi. Sambil mendesah kesal,
Rebecca mendudukkannya di kursi dan menyuruhnya diam.
Rambut Rebecca hitam lurus, disisir ke belakang dari dahinya
yang tinggi. Matanya hijau zaitun, bibirnya indah menawan. Dia gadis
yang penuh semangat, periang, dan suka tertawa-tawa ketika menikah
dengan Edward. Tetapi enam tahun menjadi ibu Ezra serta membantubantu di tanah pertanian membuatnya cepat tua. Dahinya sudah
berkerut, suaranya selalu letih dan tidak bersemangat.
"Kau mau makan ayam sekarang, Ezra?" tanyanya.
"Tidak!" bocah itu berteriak sambil menyilangkan tangannya di
dada dengan sikap menantang.
"Kemauannya keras. Dia Fier sejati," kata Benjamin dengan
nada memuji. "Aku bukan Fier!" teriak Ezra sengit. "Aku Ezra. Titik."
Semua tertawa. Rebecca meletakkan sepotong paha ayam di piring Ezra.
"Makanlah," perintahnya lembut.
"Kita keluarga bahagia," Matthew berkata senang sambil
menepuk-nepuk perutnya yang buncit. "Lihatlah di sekeliling meja ini,
Benjamin. Lihatlah anak-anak dan cucu kita. Kita punya tanah
pertanian yang subur dan toko yang menguntungkan. Bagaimana
mungkin kau bilang keluarga ini terkutuk?"
Benjamin mengunyah makanannya lambat-lambat sebelum
menjawab. "Terkutuk," dia menggumam setelah menelan. "Atap sirap
yang baru itu. Edward baru selesai memasangnya minggu lalu.
Semalam badai menerbangkan setengahnya. Apa itu bukan kutukan?"
Edward tertawa. "Hanya beberapa yang diterbangkan angin,
Ayah," katanya sambil meraih karat air minum. "Setelah makan
malam ini, hari masih cukup terang. Aku akan naik ke atap dan
memeriksanya. Aku yakin pasti hanya perlu perbaikan sedikit."
"Cousin Edward, sebentar lagi pasti sudah terlalu gelap," Mary
memperingatkan. "Tak bisakah menunggu sampai besok?"
Hubungan Mary dan Edward lebih seperti saudara kandung,
bukan saudara sepupu. Hubungannya dengan Rebecca, istri Edward,
juga dekat. Tak banyak orang muda di desa itu yang bisa diajaknya
berkawan. Mary hanya punya keluarganya untuk dijadikan teman.
"Langit masih cukup terang, cukup terang untuk memeriksa
atap," Edward meyakinkan sepupunya sambil mengambil kacang
panjang lagi. Dia tersenyum kepada Mary. "Jangan kuatir. Hapuskan
kata-kata pamanmu dari pikiranmu. Tak ada kutukan yang menimpa
keluarga Fier. Satu-satunya kutukan di sini adalah ayahku yang suka
mengeluh dan mengomel."
********************* Canda tawa keluarga itu terdengar dari meja makan yang
panjang. Suara mereka melayang keluar lewat jendela, keluar dari
rumah batu berlantai dua, sampai ke telinga laki-laki bercambang
putih yang mengenakan pakaian compang-camping dan bersembunyi
di balik batang pohon ek besar, tepat di batas kebun bunga Mary yang
tidak seberapa luas. Sambil berhati-hati agar tidak kelihatan, ia mencondongkan
badannya ke arah datangnya tawa, lengan bajunya yang robek-robek
menempel pada batang pohon ek yang kasar. Matanya yang letih
mengamati atap sirap yang miring, yang menudungi rumah pertanian
yang kokoh itu. Kemudian dia menurunkan pandangannya ke arah
jendela, tempat aroma sedap ayam panggang menghambur keluar.
Perut lelaki itu melilit. Sudah lama dia tidak makan.
Tetapi sekarang dia terlalu bersemangat untuk berpikir tentang
makanan. Terlalu bersemangat untuk berpikir tentang perjalanannya yang
panjang. Perjalanan panjang selama bertahun-tahun.
Dia bisa merasakan jantungnya berdegup di balik kemejanya
yang tipis. Napasnya memburu, tersengal-sengal, dan menimbulkan
bunyi keras yang membuat dadanya sakit. Dia mencengkeram batang
pohon itu kuat-kuat sampai jari-jarinya sakit.
"Akhirnya!" bisiknya ke pohon itu. "Akhirnya!" Bisikan itu
penuh kesenangan dan kemenangan.
Lelaki berambut putih itu adalah William Goode.
Hampir dua puluh tahun aku menantikan saat ini, pikirnya,
sambil memandang jendela yang terang dan menyimak tawa riang dari
dalam sana. Dua puluh tahun aku menjelajahi berbagai koloni untuk mencari
jejak keluarga Fier, musuhku.
Akhirnya aku menemukan mereka.
Akhirnya aku bisa melaksanakan kutukanku. Akhirnya aku bisa
membalaskan dendam istri dan putriku.
Aku sudah menemukan keluarga Fier. Dan sekarang mereka
akan menderita seperti aku telah menderita. Mereka semua. Satu demi
satu. Dia mendengar denting piring-gelas, kursi-kursi ditarik.
Kemudian, dia kaget melihat pintu dibuka dan seorang lelaki
muda keluar dari rumah, diikuti beberapa orang.
Sambil menahan napas William menarik kepalanya,
bersembunyi, dan menekankan badannya semakin rapat ke batang
pohon yang bertonjol-tonjol itu. Matahari menggantung rendah di
balik pepohonan. Langit berwarna merah muda bercampur merah
keunguan. Langit akan cepat menggelap.
Dari tempat persembunyiannya, William Goode menyipitkan
matanya, mencoba mengenali wajah-wajah yang sudah diburunya
bertahun-tahun. Entah bagaimana, dia selalu membayangkan penampilan
mereka masih sama. Sekarang dia terkejut melihat wajah-wajah dan
bentuk tubuh yang sudah berubah.
Mungkinkah itu Edward Fier" tanyanya dalam hati sambil
mengawasi lelaki muda itu menyandarkan tangga di samping rumah.
Edward boleh dibilang masih remaja bertubuh kurus ketika dia
melihatnya terakhir kali. Sekarang dia telah menjadi lelaki muda
berbadan tegap. Siapakah lelaki berambut putih yang berjalan terbungkukbungkuk dengan tongkatnya itu" William mengamatinya lekat-lekat.
Mungkinkah dia Benjamin Fier"
Dia cepat menjadi tua, William menyimpulkan. Waktu masih
tinggal di Wickham, Benjamin bertubuh tegap, berbahu lebar, penuh
kuasa, dan suaranya menggelegar. Sekarang bahunya bungkuk dan dia
menyangga badannya dengan tongkat yang dipeganginya dengan
Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan gemetar. Kau memudahkanku untuk mengantarkanmu ke liang kubur,
Benjamin Fier, pikir William Goode tersenyum pahit.
Aku masih memiliki kekuatan, pikir William puas. Dan aku
berniat menggunakannya sekarang.
Ketika mengenali Matthew, adik Benjamin, William nyaris
tertawa keras. Matthew sekarang sama gemuknya dengan sapisapinya! kata William dalam hati. Perutnya buncit menggelambir.
Kau akan kesulitan masuk ke liang kubur, Matthew, William
menyimpulkan. Perasaan pahit menderanya. Kau akan melalui
perjalanan maut yang panjang dan menyakitkan, Matthew. Kau akan
memohon-mohon meminta kematianmu.
Tapi aku akan membuat kematianmu pelan dan menyakitkan.
Karena kau telah mengkhianatiku. Kaulah yang merampok uangku...
dan keluargaku. William tidak mengenali bocah laki-laki yang melompat-lompat
di kebun bunga tanpa memedulikan bunga-bunga yang bermekaran.
Dia juga tidak mengenali gadis berambut tembaga yang sedang
memegangi tangga. Alangkah bagusnya kemeja linen yang dikenakan lelaki-lelaki
itu. Dan gadis itu mengenakan gaun dari kain yang paling mahal.
Siapa nama orang-orang muda itu" Apakah mereka anak-anak
atau cucu-cucu kakak-beradik Fier"
Tak jadi soal, pikirnya, sambil memejamkan mata. Senyum
lebar tersembunyi di batik kumis dan cambangnya yang lebat. Tak
jadi soal siapa nama kalian. Kalian anggota keluarga Fier.
Semua anggota keluarga Fier harus mulai menderita sekarang.
Semua. Bab 13 "MATAHARI hampir tenggelam," kata Mary kepada
sepupunya, sambil memegangi kedua kaki tangga.
"Ah, masih cukup terang," Edward berkeras. "Menjauhlah. Aku
akan naik sebentar saja."
"Tapi atapnya masih basah bekas kehujanan," Mary berkeras.
"Tunggu sampai besok pagi, Edward."
"Sudahlah. Aku tak lama, aku akan cepat turun," kata Edward
keras kepala. "Kenapa kau selalu memperlakukanku seakan aku ini
seumur Ezra, Mary?" "Kenapa kau selalu keras kepala dan tak sabaran?" balas Mary.
"Sepertinya kau ingin pamer pada Paman Benjamin dan ayahku. Kau
tak punya apa-apa untuk dibuktikan pada mereka, Edward."
"Mungkin aku punya sesuatu untuk kubuktikan pada diriku
sendiri," gumam Edward. "Dengar, Cousin"sudahlah, izinkan aku
memeriksa atap sebelum bulan muncul."
Dengan patuh Mary mundur selangkah. "Bolehkah aku
memegangi tangga untukmu?" tanya Mary ketika Edward mulai
menaiki anak tangga. "Kau seharusnya di dapur membantu Rebecca dan ibumu
mencuci piring-gelas bekas makan malam."
Mary mengerang dan memutar-mutar bola matanya. "Umurku
tujuh belas, Cousin Edward," katanya tajam. "Aku bukan gadis
kemarin sore. Aku wanita dewasa."
"Tempatmu tetap saja di dapur," teriak Edward dari atas. Dia
sudah sampai ke atap dan sedang melepaskan pijakan kakinya dari
anak tangga. "Di atas sini rupanya lebih licin daripada yang terlihat
dari bawah," katanya.
Mary mundur beberapa langkah untuk bisa melihat sepupunya
lebih jelas. Matahari sudah tenggelam. Edward tampak sebagai sosok
gelap berlatar belakang langit yang lebih gelap lagi.
"Hati-hati!" teriak Mary. "Kau naik terlalu tinggi, di atas sana
gelap sekali, dan..."
Suaranya tercekat di tenggorokan ketika tangan Edward
terangkat. Dia melihat kaki sepupunya terpeleset dan badannya
miring. Kemudian Mary membuka mulutnya lebar-lebar dan mulai
menjerit ketika menyadari bahwa Edward meluncur jatuh... jatuh
dengan kepala lebih dulu....
Bab 14 EDWARD membentur tanah dengan bunyi berderak yang
mengerikan. Bunyi yang mengerikan itu membelah udara, lebih keras dari
jeritan Mary. Sedetik kemudian jeritan yang lain terdengar dari arah rumah.
Matthew datang tergopoh-gopoh dari gudang perkakas di ujung
kebun, disusul Benjamin yang berjalan terhuyung-huyung bertelekan
tongkatnya, berusaha berjalan secepat mungkin.
Rebecca yang pertama mendekat dari dalam rumah, disusul
Constance tepat di belakangnya.
Sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, Mary
bergegas mendekati Edward lalu bersimpuh di sampingnya di tanah
yang gelap. "Edward...?"
Edward memandangnya dengan tatapan kosong tanpa
kehidupan, ekspresi kaget membeku di wajahnya.
"Edward...?" Edward mengedipkan matanya. Menelan ludah dengan susah
payah. Mengeluarkan dengus napas yang ribut dan berat.
"Tanganku...," bisiknya.
Mary menurunkan pandangannya ke tangan kanan Edward yang
tertindih badannya, tertelikung dengan sudut ganjil. Dia berseru
tertahan. "Aku... aku tak bisa menggerakkannya," bisik Edward.
"Tanganmu patah," kata Mary kepadanya. Dengan lembut dia
meletakkan tangannya di dada sepupunya.
"Apa yang terjadi?" teriak Benjamin terengah-engah, masih
terhuyung-huyung mendekati rumah.
"Apakah Edward terluka?" tanya Matthew tak sabar.
"Edward, kau bisa berdiri?" tanya Constance lirih.
Mary berpaling, memandang ibunya dan Rebecca. "Oh, Ibu!"
jeritnya ngeri, mulutnya ternganga tak percaya.
Bagian depan gaun Constance penuh darah. "Aku... aku..."
Constance menundukkan pandangannya. Dia mengangkat tangannya.
Darah mengalir membasahi lengannya.
"Aku sedang membersihkan pisau daging ketika mendengar kau
menjerit, Mary," dia menjelaskan. "Jeritanmu mengagetkanku. Pisau
itu terlepas, dan..." Dia terhenti, ragu-ragu. "Aku akan baik- baik saja.
Aku hanya..." "Ayo kita ke dalam!" teriak Mary sambil melompat berdiri.
"Perdarahan itu harus segera dihentikan."
Ketika Mary membimbing ibunya kembali ke dapur, Matthew
dan Rebecca mengangkat Edward agar berdiri. Dengan tangannya
yang sehat melingkar di bahu Rebecca, Edward mencoba melangkah
dengan susah payah. "Kurasa aku bisa jalan," kata Edward, mulutnya berkerut
menahan sakit. "Tapi tanganku... tanganku patah."
Sambil bersandar ke tongkatnya, Benjamin memandang mereka
berjalan pelan-pelan. Dia menggeleng-geleng, "Terkutuk," gumamnya
lirih. "Keluarga ini terkutuk."
************************ Suara kokok ayam-ayam jantan membangunkan Mary di waktu
fajar. Cahaya abu-abu menembus masuk lewat jendela kamar tidurnya
yang kecil. Udara di dalam kamar itu terasa panas dan pengap.
Pelan-pelan Mary duduk, tubuhnya letih sekali. Baju dalamnya
yang ketat dan keras menusuk-nusuk punggungnya.
Malam yang sangat mengerikan, pikirnya sambil meregangkan
badan. Bahunya sakit. Sepicing pun aku tak bisa tidur tadi malam.
Aku terus-menerus membayangkan Edward yang terbaring tak
berdaya di tanah. Bunyi berderak ketika tangannya patah terus
terngiang-ngiang di telingaku. Dan darah yang muncrat dari lengan
Ibu selalu terbayang di mataku.
Aku membebat pergelangan tangan Ibu seerat-eratnya. Tapi
rasanya lama sekali baru darahnya berhenti mengucur.
Sementara itu, Edward mengerang-erang kesakitan ketika
Matthew berusaha membetulkan tangannya yang patah. Ezra menjeritjerit dan menangis keras-keras di pojokan. Rebecca yang malang tidak
tahu siapa yang harus dihiburnya... Edward atau Ezra"
Akhirnya tangan Edward dibebat dan digendong dengan kain
linen yang kuat. Rebecca membawa keluarganya pulang ke rumah
mereka, pekik jerit Ezra yang ketakutan membelah malam yang sunyi.
Malam sial. Mary menurunkan kakinya ke lantai, kemudian melangkah ke
meja rias. Matanya menyipit, silau oleh cahaya abu-abu itu.
Kenapa perasaanku tak enak" katanya dalam hati. Kenapa aku
punya perasaan bahwa nasib buruk kami belum akan berakhir"
***************** Setelah sarapan Mary pergi memunguti telur di kandang ayam.
Sebuah keranjang besar penuh telur ayam warna putih dan cokelat
ditekankan di depan celemeknya yang putih panjang.
Matahari baru saja naik di atas pepohonan, tetapi udara sudah
panas dan lengket. Gumpalan-gumpalan awan menggelantung rendah
di langit. Seekor ayam jantan berkokok. Dari arah gudang jerami
terdengar salak anjing, membalas kokok ayam itu.
Mary berjalan dengan kepala tertunduk, rambutnya yang
berwarna tembaga tergerai sampai ke pinggang rok linennya.
Dia nyaris menjatuhkan keranjang telurnya ketika sebuah suara
asing menyapanya dari belakang, "Selamat pagi, Nona!"
Sambil menjerit kaget, Mary memutar badannya dan bertatapan
dengan mata biru seorang pemuda yang sedang tersenyum kepadanya.
Pemuda itu menyeringai, matanya berkilat-kilat. Sepertinya dia
senang melihat Mary kaget.
"Oh. H-halo," Mary tergagap-gagap. "Aku tak melihatmu."
Mary sadar telah memandanginya lekat-lekat. Pemuda itu
tampan, sebaya dengannya, mungkin satu-dua tahun lebih tua. Di atas
sepasang mata birunya yang berkilat cerah, alisnya yang pirang
berlatarkan dahi lebar dengan kulit cokelat sehat. Kulit di samping
matanya berkerut ketika dia tersenyum. Rambutnya ikal warna
mentega, lebat terjurai menyentuh kerah bajunya.
Kemejanya putih model santai, bagian depannya terbuka sampai
ke pinggangnya. Celananya dari kulit rusa, model Indian. Sepatu
botnya kusam dan berdebu.
"Maaf mengganggumu," kata pemuda itu, masih sambil
tersenyum. Matanya menatap mata Mary lekat-lekat. "Aku mencari
pemilik tanah pertanian ini."
"Pemiliknya ayahku," kata Mary sambil menoleh ke arah
rumah. "Matthew Fier."
"Apakah ayahmu ada?" tanya pemuda itu. Cahaya matahari
pagi membuat rambut pirangnya berkilau keemasan.
"Ya, ada. Ikutlah aku," jawab Mary malu-malu.
Pemuda itu mengulurkan tangannya dan mengambil keranjang
telur dari tangan Mary. "Biar kubawakan," katanya sambil tersenyum
ramah kepada gadis itu. "Kelihatannya berat."
"Aku biasa membawanya setiap pagi," protes Mary, tetapi
dibiarkannya pemuda itu membawakan keranjangnya. "Ayam kami
banyak." "Tanah pertanian ini luas sekali," kata pemuda itu sambil
mengacungkan tangannya yang bebas ke arah padang rumput di
kejauhan. Sepatu botnya berdebam menginjak tanah keras. "Ayahku
dan aku belum lama pindah ke sini. Kami tinggal di pondok kecil di
luar desa. Seingatku aku belum pernah melihat tanah pertanian seluas
ini." Mary tersenyum canggung. "Ayahku dan pamanku datang ke
sini sebelum aku lahir. Sejak itu tanah pertanian ini tumbuh,
berkembang, dan semakin luas."
"Siapa namamu, Nona?" tanya pemuda itu dengan berani,
matanya birunya berkilat-kilat.
Sebelum Mary sempat menjawab, Matthew muncul dari pintu
belakang rumah. Kemeja flanel-nya yang longgar menutupi perut
buncitnya. Ada noda di salah satu lutut celananya.
Matthew menguap keras-keras dan merentangkan tangannya di
atas kepalanya. Kemudian dia melihat pemuda yang membawa
keranjang telur dan berdiri di samping Mary.
"Oh," kata Matthew sambil berdeham, alisnya berkerut. "Siapa
kau?" Sikap kasar Matthew tidak membuat pemuda itu tersinggung.
"Selamat pagi," katanya sambil tersenyum penuh percaya diri. "Nama
saya Jeremy Thorne, Sir."
"Apa urusanmu ke sini, Jeremy Thorne?" tanya Matthew.
"Apakah Mary menyewamu jadi pembawa keranjang telur?"
Jeremy tertawa meskipun kata-kata Matthew sama sekali tidak
lucu. "Tidak, Sir," jawabnya riang. "Saya datang ke tanah pertanian
Anda untuk mencari pekerjaan."
Matthew Fier memandang Jeremy Thorne dengan tidak senang.
"Dengan menyesal kukatakan sekarang ini aku sedang tak butuh
tenaga," katanya kepada Jeremy. "Sekarang silakan..."
Kata-kata Matthew disela oleh Edward, yang datang dengan
tubuh berkeringat setelah berjalan menyeberangi padang
penggembalaan dari rumahnya. "Tunggu, Paman Matthew!" teriak
Edward. Dia mengangkat tangannya yang bebas untuk menghentikan
percakapan itu. Kaget, Matthew berbalik dan memandang kemenakannya.
"Selamat pagi, Nak. Apakah tanganmu sakit sekali pagi ini?"
"Lumayan," jawab Edward datar sambil melirik tangannya yang
digendong. "Aku mendengar percakapan Paman dengan pemuda ini.
Kurasa kita perlu tangan ekstra."
Dia menunjuk tangannya yang dibebat dan digendong. "Paman
akan kehilangan tenagaku untuk sementara waktu," lanjut Edward.
"Menurutku, pemuda ini datang pada saat yang tepat. Dia bisa
mengerjakan sebagian tugasku... sampai tanganku sembuh."
Matthew menggaruk-garuk dagunya sambil berpikir-pikir,
matanya mengawasi Jeremy. "Mungkin...," gumamnya enggan. "Dari
mana asalmu, Nak?" "Dari desa," jawab Jeremy sambil memandang tangan Edward
yang digendong. "Ayah dan saya belum lama pindah ke sini. Ayah
saya sakit, Sir. Saya satu-satunya yang bisa mencari nafkah."
"Jangan mengumbar cerita sedih," potong Matthew, masih
sambil menggaruk-garuk dagunya yang berlipat-lipat. Matthew
mengawasi pemuda itu. "Kelihatannya kau cukup kuat."
Jeremy menegakkan badannya setegap-tegapnya. Bahunya yang
bidang dan berotot ditarik ke belakang. "Ya, Sir," katanya tenang.
Mary berdiri kaku, memperhatikan mereka. Dia ingin mendesak
ayahnya agar mempekerjakan Jeremy, tetapi dia tahu sebaiknya tidak
ikut campur. Itu bukan urusannya.
Matthew mengangguk. "Baiklah, Jeremy Thorne. Kau boleh
mulai dengan membersihkan gudang perkakas itu." Dia menunjuk
bangunan beratap rendah di belakang kebun. "Keluarkan semua
perkakas. Kami merencanakan membangun gudang yang lebih besar."
"Terima kasih, Sir!" seru Jeremy gembira. "Saya sangat
berterima kasih. Berapa upahnya?"
"Sepuluh shilling seminggu," jawab Matthew cepat. "Kita lihat
dulu seberapa baik kerjamu sebelum kami mempertimbangkan
mempekerjakanmu lebih lanjut."
"Baik, Sir," kata Jeremy. Dia melirik Mary sekilas.
Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mary merasa tengkuknya merinding.
Dia sangat tampan, pikirnya sambil memandang ke tanah.
Berbagai pikiran berkecamuk di otaknya, pikiran-pikiran yang
mengejutkan dan menggairahkan.
Tapi tentu saja Ayah takkan mengizinkanku menjalin hubungan
istimewa dengan pekerja biasa, katanya dalam hati, sambil
menghentikan pikiran-pikiran liarnya.
Jeremy Thorne. Jeremy. Jeremy. Jeremy. Dia tak bisa menghentikan pikirannya yang terus berulangulang menyebut nama pemuda itu.
Dengan dada berdebar-debar, Mary mengambil keranjang telur
itu dari tangan Jeremy lalu cepat-cepat masuk ke rumah.
***************** Pembicaraan waktu makan siang adalah seputar kejadian
mengerikan malam sebelumnya. Kasihan Edward. Kasihan Rebecca.
Mereka semua menunduk dan berdoa sebelum mulai menyantap
sup. Mary tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Jeremy.
Sepanjang pagi tadi, sambil mengerjakan bermacam-macam
pekerjaan, dari pintu dapur diam-diam dia melihat ke arah Jeremy.
Dilihatnya pemuda itu benar-benar pekerja keras, seperti yang
dikatakannya. Di belakang kebun, Mary melihat tumpukan perkakas dan alatalat berat yang dikeluarkannya dari gudang perkakas. Dia
memperhatikan pemuda itu bekerja sendirian di sana, merunduk
masuk gudang, kemudian muncul lagi dengan tangan penuh
membawa barang-barang. "Mary... apa yang kaulamunkan?" tanya ibunya membuyarkan
lamunannya. Mary sedang mencuci piring-gelas bekas makan sambil
melamun. "Ah, tidak. Sungguh," Mary berbohong. Pipi-nya memerah.
"Waktu makan siang tadi kau diam sekali. Aku
memperhatikanmu," kata Constance. "Supmu tak kauhabiskan."
"Aku tak lapar, Ibu," jawab Mary sambil melamun.
"Jangan menoleh-noleh lagi ke kebun. Bantu aku mencuci ini,"
perintah Constance. "Kau kan tahu, tangan Ibu hanya satu."
"Beristirahatlah, Ibu," kata Mary dengan nada mendesak. "Biar
aku saja yang mencuci ini semua."
Setelah selesai mencuci piring-gelas dan menyimpannya, Mary
mengambil keranjang lalu pergi ke kebun memetik sayuran untuk
hidangan makan malam. Matahari bersinar cerah. Mary bisa melihat gelombang udara
panas naik dari padang penggembalaan dekat rumah.
Ketika dia membungkuk untuk mencabut beberapa lobak,
sebuah gerakan di belakang kebun terlihat olehnya. Jeremy sedang
keluar dari gudang. Dengan tubuh berpeluh dia menarik beberapa
cangkul dan garu besi yang berat.
Tanpa berpikir panjang Mary meletakkan keranjang sayurannya
di tanah, lalu berjalan cepat ke sumur di samping rumah.
Beberapa detik kemudian dia sudah berdiri di depan Jeremy,
tangannya memegang cangkir kaleng besar, berisi air sumur yang
dingin. "Ini," katanya sambil mengulurkan cangkir itu kepada Jeremy.
"Kulihat kau haus."
Jeremy tersenyum kepadanya, napasnya memburu. Rambut
pirangnya melekat pada keningnya. Dia mencopot kemejanya.
Dadanya yang berotot berkilat-kilat basah oleh keringat.
"Kau sangat baik hati, Miss Fier," katanya. Dia mengangkat
cangkir itu ke bibirnya, lalu sambil terus menatap Mary dengan mata
birunya, dia meneguk air itu dengan rakus. Setelah itu
dijungkirkannya cangkir itu di atas kepalanya dan disiramnya
rambutnya dengan air yang tersisa. Air membasahi rambut dan
wajahnya, lalu mengalir ke bahunya.
Mereka tertawa. "Kau boleh memanggilku Mary," kata Mary malu-malu. Dia
merasa pipinya memerah. "Kau pekerja keras," tambahnya cepatcepat.
Pujiannya membuat pemuda itu senang. "Aku berpendirian,
setiap pekerjaan harus dikerjakan sebaik-baiknya," jawabnya
sungguh-sungguh. "Aku dan ayahku orang miskin. Ayahku tak pernah
sehat benar, jadi aku sudah kenal kerja keras nyaris sejak aku lepas
dari popok." Lewat bahu pemuda itu, Mary memandang padang rumput yang
luas menghijau. "Aku juga bekerja keras," katanya murung. "Banyak
yang harus dikerjakan di tanah pertanian seluas ini."
"Tempat ini sungguh mengagumkan," kata Jeremy. Dia
berpaling dan mengikuti arah pandangan Mary.
"Di sini sangat sepi," kata Mary tiba-tiba. Dia tidak
merencanakan berkata begitu. Kata-kata itu terluncur sebelum dia
sempat mencegahnya. Tiba-tiba pipinya terasa panas. Dia
mengalihkan tatapannya ke tanah.
"Kau punya kawan di tanah pertanian lain?" tanya Jeremy lirih.
"Kawan-kawan di kota" Di gereja?"
"Tidak. Aku hanya punya keluargaku. Hanya itu," kata Mary
sedih. Dia berdeham. "Tugasku banyak sekali. Jadi biasanya aku
terlalu sibuk untuk berpikir tentang kawan dan..."
"Kau cantik sekali," sela Jeremy.
Kaget mendengar pujian itu, Mary mengangkat wajahnya dan
melihat mata biru pemuda itu menatapnya lekat-lekat.
"Aku suka rambutmu," kata Jeremy lembut. "Warnanya seperti
matahari sedang tenggelam."
"Terima kasih, Jeremy," jawab Mary canggung.
Pemuda itu maju selangkah, mendekatinya, matanya
menatapnya lekat-lekat. Apa yang dilakukannya" tanya Mary dalam hati. Dia merasa
jantungnya mulai berdegup kencang.
Mengapa dia memandangku seperti itu" Apakah dia mencoba
menakut-nakutiku" Tidak. Dia ingin menciumku, Mary menyadari.
Dia hendak melangkah mundur, menjauh. Tetapi langkahnya
terhenti. Dia ingin menciumku. Dan aku ingin dia melakukannya.
"Mary!" Sebuah suara di belakangnya membuatnya kaget dan menjerit
tertahan. Dia berbalik dan melihat Rebecca berlari menyeberangi kebun
sambil melambai-lambaikan kedua tangannya dengan gugup. Celemek
putihnya melambai-lambai di depan roknya.
Jeremy mengembalikan cangkir itu kepada Mary, kemudian
berbalik dan cepat-cepat kembali ke gudang perkakas.
"Rebecca, ada apa?" tanya Mary sambil memegangi cangkir
kosong itu erat-erat dengan kedua tangannya.
"Apakah kau melihat Matthew" Edward" Di mana mereka?"
teriak Rebecca, wajahnya berkerut ketakutan.
"Rebecca, ada apa?" ulang Mary.
"Cepat, Mary," kata Rebecca dengan nada mendesak sambil
mencengkeram lengan Mary. "Ayo. Cepat. Sesuatu yang mengerikan
telah terjadi!" Bab 15 DENGAN jerit ketakutan Rebecca masih berdenging di
telinganya, Mary berlari menyusulnya menyeberangi kebun ke arah
rumah. "Ke sini!" seru Rebecca terengah-engah. Dia lari melewati
dapur, menuju ke ruang duduk.
Mary membutuhkan waktu beberapa saat untuk membiasakan
matanya dengan kegelapan yang tiba-tiba menyergapnya. Dia menjerit
keras-keras ketika melihat Benjamin tertelentang kaku di lantai.
"Lihat... beginilah aku menemukannya!" jerit Rebecca sambil
menunjuk-nunjuk dengan jari gemetar. Rambutnya yang hitam
tergerai awut-awutan di punggungnya. Bibirnya yang gelap
membentuk huruf O penuh kengerian ketika matanya nanar
memandang pria yang tertelentang itu.
Mary berlutut di samping Benjamin. "Apakah dia... apakah
dia...?" dia tergagap-gagap. "Apakah dia mati, Rebecca?"
Dia mengamati wajah Benjamin. Mata pria itu terbelalak,
ekspresinya membeku. Mulutnya ternganga, memperlihatkan dua
deret gigi yang putih sempurna.
"Kurasa... kurasa ya," jawab Rebecca lirih. Kemudian dia
berbalik ke ambang pintu sambil berteriak-teriak, "Matthew!
Matthew! Edward! Cepat ke sini!"
Mary memegang tangan Benjamin dan menekannya. Tangan itu
sedingin es. Dengan susah payah dia menelan ludah, memandang mata
hitam yang menatapnya tanpa nyala kehidupan.
Aku belum pernah melihat orang mati, pikirnya.
"Ada apa, Rebecca?" Edward muncul di ambang pintu. "Aku
mendengar kau memanggil-manggil, dan..." Matanya memandang ke
lantai. "Ayah?"
"Dia... dia pasti sedang duduk di sana," kata Rebecca tergagapgagap sambil menunjuk kursi bersandaran tinggi di dekat dinding.
"Dia pasti jatuh. Mungkin..."
"Ayah!" teriak Edward lagi lalu berlutut di samping Mary.
"Apakah dia masih bernapas?"
"Kurasa tidak," sahut Mary lirih. "Kurasa..."
Dia dan Edward serentak menjerit keras ketika Benjamin
berkedip. "Ayah!" "Paman Benjamin!"
Mata lelaki tua itu berkedip lagi. Bibirnya bergetar. Mulutnya
pelan-pelan terkatup. "Dia hidup!" kata Mary pada Rebecca dengan lega. Rebecca
mengembuskan napas panjang dan memejamkan mata. Sambil
bersandar ke dinding, dia mulai berdoa.
Benjamin mengangkat kepalanya dengan gemetar.
"Tetaplah berbaring, Ayah. Jangan buru-buru," kata Edward
cepat-cepat, satu tangannya memegang bahu Benjamin.
"Aku bisa bangkit sendiri," Benjamin berkeras dengan suara
parau. "Biarkan aku berdiri."
Edward mengalihkan tangannya ke punggung Benjamin dan
menolongnya duduk. "Paman Benjamin, apa yang terjadi" Bagaimana keadaan
Paman?" tanya Mary. "Aku pasti tertidur," geram Benjamin sambil menggelenggeleng. Beberapa kali dia mengedip-ngedipkan matanya untuk
menjernihkan pikirannya. "Mungkin aku jatuh dari kursi."
Matthew masuk ke ruangan itu dengan napas tersengal-sengal,
wajahnya yang bundar merah padam karena bergegas-gegas. "Ada
yang memanggil aku?" tanyanya dengan napas memburu. Dia
berteriak ketika melihat kakaknya di lantai.
"Aku tidak apa-apa," kata Benjamin kepadanya. "Jangan
histeris begitu." Dia hendak beranjak berdiri, tetapi gerakannya terhenti.
Ekspresi wajahnya berubah menjadi kaget.
"Paman Benjamin, kenapa?" tanya Mary yang masih berlutut di
sampingnya. Yang lain-lain mendekat.
"Kaki kiriku," gumam Benjamin. "Aku tak bisa
menggerakkannya." Dia menggerakkan kaki kanannya,
mengangkatnya, kemudian menggulingkannya ke kanan dan ke kiri.
"Aku tak bisa merasakan apa-apa," kata Benjamin, suaranya
lebih terdengar kaget daripada cemas. "Kaki kiriku mati rasa."
Mary menengadah dan melihat ayahnya mencengkeram medali
aneh berbentuk cakar bga jari yang tergantung di lehernya. "Aneh
sekali!" kata Matthew.
"Edward, bantu aku berdiri," Benjamin memerintah.
Dengan patuh Edward melingkarkan lengannya ke sekeliling
bahu ayahnya lalu menariknya berdiri dengan susah payah.
Benjamin menyipitkan matanya ketika mencoba menumpu
badannya dengan kaki kirinya. Dia pasti akan terjerembap kalau
Edward dan Mary tidak cepat-cepat menyangganya.
"Kaki kiriku mati rasa. Tak bisa merasakan apa-apa," Benjamin
berkata sambil merenung. "Tak sakit. Sama sekali tak sakit. Tapi mati
rasa. Kaki ini seperti sudah dipenggal dari tubuhku."
***************** Gumpalan-gumpalan awan tipis melayang rendah di langit
cerah. Batang-batang pohon beech putih di tepi padang rumput
berkilat dalam cahaya matahari sore.
Mary berjalan menyusuri pinggir hutan sambil mengangkat
roknya menghindari semak-semak dan bebatuan. Di atasnya daundaun bergetar lemah dibuai angin semilir.
Dia berbelok di batas pepohonan dan merasakan pelipisnya
berdenyut-denyut ketika melihat Jeremy. Seperti biasa pemuda itu
bekerja dengan dada telanjang. Membelakanginya, tangannya yang
terbungkus sarung tangan mencabuti semak-semak di dekat kakinya.
Mary berjalan mendekat tanpa suara. Daun-daun di atasnya
bergetar semakin kencang.
Atau... itu hanya imajinasiku" pikir Mary. Apakah aku yang
terlalu bersemangat"
Sudah tiga hari Jeremy bekerja membersihkan semak belukar di
padang yang belum digarap itu. Setiap sore Mary menemuinya di
sana. Dia membawakan air sumur untuk pemuda itu. Jeremy
beristirahat dari pekerjaan yang dilakukannya sendirian. Lalu mereka
duduk-duduk di batang pohon tumbang sambil mengobrol.
Jeremy sangat manis, sangat penuh pengertian, sangat baik.
Mary yakin akan itu. Dia bisa merasakan dirinya semakin dekat
dengan pemuda itu. Dia bisa merasakan dirinya mulai jatuh cinta
kepadanya. Perasaan itu menyelimutinya dengan lembut, rasanya
seperti mengenakan mantel wol kesayangan.
Nyaman. Menenangkan. Hangat.
"Aku merasa seperti sudah lama sekali mengenalmu," kata
Mary setelah Jeremy meminum habis secangkir besar air dingin.
Dengan matanya Mary mengikuti seekor kupu-kupu bersayap hitamemas yang terbang dekat pepohonan.
Sambil duduk di samping Mary di batang pohon yang licin,
Jeremy menendang segumpal tanah dengan tumit sepatu botnya.
"Setiap sore aku kuatir, jangan-jangan kau tak datang," katanya
lembut. "Aku di sini sekarang," kata Mary sambil tersenyum.
"Tapi jika ayahmu tahu...," kata Jeremy sambil menatap mata
Mary seakan menantangnya. Segumpal rambut ikal pirang menutupi
keningnya. Senyum Mary langsung hilang. "Ayahku takkan setuju," dia
mengakui. "Kau hanya buruh miskin yang tak punya uang sepeser
pun. Sedangkan aku..."
"Kau" Kau putri bangsawan!" goda Jeremy. Tetapi di balik
candanya tebersit nada pahit. "Ratu Anne!" Dia bangkit berdiri lalu
membungkuk memberi hormat seperti layaknya pria bangsawan.
Mary tertawa. "Hentikan. Aku yakin setelah beberapa waktu..."
"Waktu," sela Jeremy. Matanya memandang semak belukar
lebat yang tumbuh memenuhi padang berbatu-batu itu. "Bicara soal
waktu, sudah waktunya aku kembali bekerja," katanya. "Ayahmu
menyuruhku membersihkan padang ini sebelum akhir minggu ini."
"Ayahku bukan orang yang paling angkuh di keluargaku," kata
Mary sambil merenung, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Paman
Benjamin akan lebih kaget daripada ayahku kalau dia tahu..."
"Bagaimana keadaaan pamanmu Benjamin?" sela Jeremy,
wajahnya tegang penuh prihatin.
Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak baik," jawab Mary dengan dahi berkerut. "Lengan
kirinya juga mati rasa, sama seperti kaki kirinya."
"Maksudmu...?" "Sekarang dia tak bisa menggerakkan lengan kirinya. Mati rasa.
Betul-betul tak bisa merasakan apa-apa, katanya. Tubuhnya yang
sebelah kiri lumpuh."
"Bagaimana semangat hidupnya?" tanya Jeremy.
"Sulit ditebak," jawab Mary sambil merenung. "Dia tetap sulit
dan rewel seperti dulu. Dia bukan tipe orang yang menyerah begitu
saja pada penyakit atau penderitaan." Mary mengembuskan napas
panjang. "Meskipun semangat hidupnya masih kuat, dia tak berdaya
seperti bayi." "Dia beruntung karena ada kau yang merawatnya," kata Jeremy
dengan mata berbinar. Dan sebelum Mary sempat menjerit atau memprotes, pemuda
itu mencondongkan badannya lalu menekankan bibirnya ke bibir gadis
itu. Sambil memejamkan mata, Mary membalas kecupan itu dengan
penuh nafsu. Ini tak pantas. Ini tak benar.
Tapi aku tak peduli, pikirnya.
****************** "Edward, tunggu aku," Mary memohon. "Jangan jalan terlalu
cepat." Ranting-ranting berpatahan terinjak sepatunya ketika dia
bergegas menyusul sepupunya.
"Maaf," kata Edward sambil menoleh kepadanya. Dia menarik
sebatang ilalang panjang dan lurus dengan tangannya yang sehat lalu
memasukkannya ke sudut mulutnya. "Aku sedang memikirkan
sesuatu." Mary menyusulnya dengan terengah-engah. "Ayahmu?"
Edward mengangguk. Seekor burung memekik nyaring di atas kepala mereka. Mary
menengadah ke langit senja yang merah dan melihat dua ekor gagak
hitam besar hinggap berdampingan di cabang yang rendah.
"Burung gagak hitam... pertanda baik atau buruk?" sambil lalu
dia bertanya kepada sepupunya.
"Menurutku pertanda buruk," jawab Edward sambil merenung.
"Hitam adalah warna kematian, ya kan?"
"Kau tak perlu murung begitu," keluh Mary. "Aku mengajakmu
jalan-jalan untuk membuatmu senang."
"Maaf." Dahi Edward berkerut. "Aku memang murung. Tak
bisa tidak, Mary." "Karena lenganmu itu, Edward" Itu akan sembuh."
"Bukan," jawab Edward sambil memandang penggantung
lengannya yang berat. "Aku mencemaskan ayahku. Dan Rebecca.
Dan..." "Rebecca?" sela Mary sambil melompati tunggul pohon.
Raja Silat 25 Bila Pedang Berbunga Dendam Karya S D Liong Banjir Darah Di Bukit Siluman 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama