Ceritasilat Novel Online

Adik Tiri The Stepsister 2

Fear Street - Adik Tiri The Stepsister Bagian 2


minyak mandi lilac yang disukai Emily. Kamar mandi hangat, beruap,
dan nyaman. Emily memandang bercak-bercak cokelat noda darah yang telah
mengering di tangan dan lengannya. "Harus dicuci sampai bersih,"
ujarnya pada diri sendiri.
Tapi persis sebelum masuk ke dalam bak, ia terhenti oleh rasa
takut yang membuat hatinya membeku.
Air itu. Apa yang telah Jessie lakukan pada air itu"
Ia telah menuangkan peroksida ke dalam botol sampo. Dengan
licik ia sudah sengaja merusak rambut Emily.
Emily menunduk menatap air di bak yang beruap, tiba-tiba
merasa takut, sangat takut, berdiri membeku oleh kesadarannya bahwa
ada yang salah di sini. Apakah airnya terlalu panas hingga bisa melepuhkan kulit"
Kekejian apa lagi yang direncanakan Jessie malam ini"
Ataukah ia telah menuangkan sesuatu yang mengerikan ke
dalam air" Asam kimia yang akan menghancurkan seluruh tubuh
Emily, yang hanya akan meninggalkan tulang belulangnya terendam
di bak mandi" Air berwarna biru kehijauan bercampur minyak mandi.
Tapi, apa lagi yang ada di dalamnya" Yang tersembunyi di
balik warna biru kehijauan itu"
Emily menatap air di dalam bak, berpikir-pikir, apa yang
disiapkan Jessie baginya.
Bab 9 Tamu Larut Malam Air mandi terlihat sangat biru.
Sangat mematikan. Tidak, aku tidak bisa, pikir Emily.
Ia membasuh darah dari tangan dan lengannya di wastafel,
mengeringkannya cepat-cepat dengan handuk, lalu memakai baju tidur
yang dibawanya ke kamar mandi tadi, dan kembali ke kamarnya.
Jessie menoleh dari majalah People yang sedang dibacanya.
"Kenapa?" "Aku"uh"tidak bisa."
"Hah?" "Aku terlalu letih dan terlalu sedih," kata Emily. "Terima kasih,
kau sudah menyiapkan air, tapi rasanya aku mau tidur saja."
"Oh." Jessie terlihat kecewa. Ia menjatuhkan majalah ke lantai
lalu berdiri. "Sayang kalau tidak dipakai," katanya, lalu bergegas pergi
ke kamar mandi. Beberapa detik kemudian Emily mendengar suara mencebur
ketika Jessie masuk ke dalam bak mandi. Ternyata airnya tidak ada
apa-apanya. Oke, oke, aku salah tebak, pikir Emily, menarik bed cover-nya
dengan lelah. Jessie pasti bersikap manis untuk membuatnya lengah.
Darah dan luka di dada Tiger kembali membayang di depan
matanya. Ia menggigil. Dingin sekali tidur di dekat jendela. Kenapa ia
biarkan Jessie menggertaknya dan mengambil tempat tidurnya di
dekat dinding" Ia tidak pernah tidur nyenyak lagi sejak Jessie pindah
ke rumah ini. Bagaimana ia bisa tidur nyenyak" Jessie seorang pembunuh.
Aku harus berhenti berpikir, kata Emily pada dirinya sendiri,
meraba-raba buku harian di bawah bantalnya. Aku harus menutup
pikiranku. Kalau tidak, aku tak akan bisa tidur, tak akan bisa berpikir
jernih lagi. Dipejamkannya matanya erat-erat, dicobanya mengusir
bayangan-bayangan mengerikan yang melintas di depan matanya.
Dari arah kamar mandi didengarnya tutup lubang bak mandi
dicabut dan suara air menggelegak mengalir keluar.
Lalu ia merasa dirinya mengambang, mengambang berputarputar di kegelapan. Ruangan serasa berpusing, berpusing cepat,
menidurkannya. Ia terbangun tak lama kemudian oleh sebuah tangan yang
menyentuh pundaknya. Diangkatnya kepalanya dan berseru dengan
terkejut, "Apa?"
Suasana gelap, sangat gelap, tak terlihat apa pun. Aneh,
pikirnya, merasa takut. Biasanya ada sedikit cahaya dari celah jendela.
Tangan itu mencengkeram bahunya keras-keras dan
mengguncangnya. "Lepaskan," kata Emily, suaranya agak tertahan oleh rasa
kantuk. "Siapa ini?"
Tangan itu melepaskannya. Ternyata Jessie. Ia duduk di pinggir
tempat tidur Emily. Rambut pirangnya acak-acakan. Matanya, yang
biasanya biru pucat, sekarang gelap dan sangat hidup.
"Bangun Emily. Kau sudah cukup lama tidur," bisik Jessie.
Seringai lebarnya sangat menakutkan.
"Apa" Kenapa?" Emily berjuang untuk bangun, untuk
menjernihkan pikirannya, tapi rasanya seperti berenang di bawah air.
Ia berjuang, berusaha, tapi tidak bisa muncul ke permukaan.
Cahaya lampu kamar seakan berkedip dan meredup.
"Sudah berapa lama aku tidur?" tanya Emily.
"Tidak terlalu lama." Jessie membungkuk, masih menyeringai.
Emily melihat sebuah bayangan lain di belakang Jessie. Ada
orang lain di kamar. "Siapa itu?" tanya Emily.
Lampu seakan menjadi lebih terang. Krysta melangkah ke
bidang pandangnya. "Hai, Emily. Maaf tentang ini," katanya. Ia juga
menyeringai, menyeringai pada Jessie.
Mereka berkomplot, Emily menyadari. Tapi, untuk apa" Apa
yang dilakukan Krysta di kamarnya larut malam seperti ini"
"Aku suka rambutmu," kata Krysta. Dan kedua gadis itu tertawa
terbahak-bahak. Krysta melangkah lebih dekat. Ia masih memakai
baju yang dipakainya di pesta dansa tadi.
Lalu Emily melihat pisau di tangan Jessie.
Pisau dapur besar bergagang hitam.
Mata pisaunya berlumuran darah merah tua.
"Hei!" Emily masih merasa seakan-akan sedang berenang di
bawah air. "Hei"apa yang kalian lakukan?"
"Kau sudah tahu," kata Jessie.
"Aku suka rambutmu," kata Krysta. "Sungguh."
"Jessie"tunggu!" teriak Emily.
Jessie mengangkat pisaunya. Mata pisaunya meneteskan darah
merah. "Jessie"jangan!"
Jessie memegang pisau di atas kepala Emily dengan satu tangan
dan mencengkeram pundak Emily dengan tangan satunya.
"Jangan"tolong!"
Tangannya mencengkeram pundak Emily lebih keras, dan mulai
mengguncang-guncangnya. Emily memejamkan mata dan menunggu jatuhnya mata pisau.
Aku mati, pikirnya. Jessie telah membunuhku. Aku mati. Mati,
mati, mati. Lalu ia terbangun. Itu hanya mimpi. Mimpi mengerikan. Kamar hitam pekat. Dan seseorang mencengkeram pundaknya.
% Bab 10 Mengepak "TIDAK!" Emily mencoba menjerit, tapi tak ada suara yang
keluar. "Ssttt, ini aku," desis suara yang dikenalnya. Tangan itu
melepas cengkeraman di pundaknya.
Emily memicingkan mata di kegelapan, jantungnya berdetak
kencang. "Rich?"
"Ya." Emily berbalik dan duduk. Mimpi buruk itu masih
menggantung bagaikan awan gelap. Rasanya sangat nyata. Ia masih
bisa melihat bekas darah di mata pisau, begitu merah, begitu
mematikan. "Rich, ada apa" Mau apa kau?"
Wajah Rich keluar dari bayangan gelap, tampak kelabu pucat di
bawah cahaya redup dari celah jendela. Ia terlihat sangat gugup.
"Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu."
"Lalu, apa maumu?" desak Emily. Aneh sekali. Rich tidak
pernah masuk ke kamar mereka. Apa yang dilakukannya di sini
sekarang, mengguncang-guncang tubuhnya seperti itu,
membangunkannya di tengah malam"
"Aku tidak membunuh anjingmu," kata Rich berbisik.
"Apa?" "Aku cuma mau bilang itu. Aku tidak membunuh anjingmu." Ia
mendekat. Matanya menatap Emily seakan ingin tahu apakah Emily
percaya padanya atau tidak.
"Rich, sudahlah. Ini sudah malam." Kamar serasa berputarputar. Wajah Rich, begitu dekat dengan wajahnya, ikut berputar.
"Aku tidak membunuh Tiger. Aku suka padanya. Betul.
Percayalah padaku." Mata Rich basah. Kelihatannya sangat penting baginya kalau
Emily percaya padanya. "Aku percaya," kata Emily dengan nada letih.
Emily sendiri tidak tahu apakah ia percaya atau tidak.
Mimpi buruk itu terbayang lagi di matanya. Sekali lagi
dilihatnya Jessie memegang pisau dapur berlumuran darah. "Tidurlah
lagi Rich. Aku percaya padamu."
"Terima kasih," kata Rich, memalingkan kepalanya sehingga
Emily tidak bisa melihat air matanya.
Aneh, pikir Emily. Terima kasih" Rich sangat berterima kasih
karena ia percaya padanya"
"Terima kasih," ulang Rich, lalu lenyap di kegelapan.
Emily menegakkan duduknya, berusaha menghentikan kamar
yang berputar-putar. Lumayan, cukup berhasil. Kenapa dingin sekali
di dalam kamar ini" Ia melihat ke tempat tidur Jessie. Jessie mudah terbangun. Suara
sedikit saja akan membangunkannya. Kenapa ia tidak terbangun
ketika Rich masuk ke kamar"
Hei"sebentar. "Jessie?"
Emily mengira matanya mengecohnya. Ia turun dari tempat
tidur, merasa lebih dingin lagi setelah keluar dari bawah selimut. Ia
berjalan beberapa langkah ke tempat tidur Jessie.
Ternyata yang dilihatnya benar.
Tempat tidur itu kosong. Dirasakannya embusan angin. Emily
berbalik. Jendela terbuka lebar. Pantas dinginnya bukan main.
Jendela terbuka lebar. Dan Jessie tidak ada di kamar.
Jessie telah menyelinap ke luar. Mungkin turun dari pohon
maple besar di luar jendela. Tapi ke mana"
Emily merasa ada yang mengganjal di bawah bantalnya, dan ia
ingat buku harian itu. Diambilnya dan sambil menguap dibawanya ke
meja tulis, lalu dihidupkannya lampu meja.
Ia membutuhkan waktu sebelum matanya yang mengantuk bisa
terfokus pada tulisan kecil dan rapi itu. Ia membalik halaman demi
halaman, tidak menemukan sesuatu yang menarik.
Lalu, satu bagian menarik matanya. Ia langsung tertarik karena
gaya tulisan Jessie tiba-tiba berubah, seakan-akan di halaman ini ia
menulis dengan kesal dan cepat.
Emily mendekatkan lampu meja dan mulai membaca.
Bertengkar dengan Jolie, begitu bunyi tulisan itu. Bertengkar hebat.
Aku hampir tidak percaya. Selama ini aku percaya padanya. Ternyata
ia bukan sahabat. Ia makhluk brengsek. Aku benci padanya!
Jolie. Nama itu pernah didengar Emily. Nama yang disebut
Jessie ketika terjadi insiden dengan sampo.
Emily membuka beberapa halaman lagi, lalu napasnya tertahan
ketika ia membaca lagi. Mereka mengira aku melakukannya. Mereka
mengira aku membunuh Jolie, buku harian itu bercerita.
Membunuh Jolie" Jolie sudah tidak ada lagi. Mereka menemukan kami"hanya
aku berdua dengan Jolie di bawah lereng. Kukatakan pada mereka aku
tidak melakukannya. Jolie jatuh. Itu kecelakaan. Bukan salahku. Tapi
Jolie mati. Tulisan itu semakin jelek dan agak sulit dibaca. Mereka
mengira aku membunuh Jolie. Rasanya aku agak bingung waktu itu.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka ketika
teman-teman menemukanku di dekat tubuhnya. Mungkin jawabanjawabanku kacau. Tapi itu bukan salahku! Berulang-ulang kukatakan.
Kelihatannya tak seorang pun percaya. Tapi aku tahu yang
sebenarnya. Aku tahu semua orang mengira aku membunuhnya. Aku bisa
melihatnya dari cara mereka memandangku, dari cara mereka
berbisik-bisik bila aku lewat.
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli apa yang mereka
pikirkan! Jolie mati"tak ada yang bisa mengubah itu. Aku harus tetap
menjalani kehidupanku. Aku masih hidup!
Emily menutup buku harian itu. Sudah cukup yang dibacanya.
Jadi itu masalah serius yang dihadapi Jessie.
Jolie mati. Pertama, Jolie dan Jessie bertengkar hebat. Lalu Jolie mati.
Dan semua orang percaya bahwa Jessie membunuh Jolie.
Apakah Jessie mengatakan yang sebenarnya pada buku
hariannya" Apakah Jolie memang jatuh" Apakah itu suatu
kecelakaan" Apa yang sebenarnya terjadi"
Apakah Jessie seorang pembunuh"
Kepalanya terasa berputar-putar. Emily menaruh buku harian
itu kembali di tempat ia menemukannya.
Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan!, tulis Jessie.
Jolie mati. Dan Jessie tidak peduli.
Dan di mana Jessie sekarang" Lari ke mana dia"
Emily sadar ia terlalu lelah untuk berpikir jernih. Ia naik
kembali ke tempat tidurnya dan, dibayang-bayangi tulisan tangan
Jessie, langsung tertidur lelap.
********** "Tolong susunya," kata Mr. Wallner, menggeser kursinya.
Seluruh keluarga sarapan setiap pagi di meja dapur, meneguk jus jeruk
dan susu, melahap semangkuk sereal, atau beberapa iris roti bakar
dengan mentega. Tapi pagi ini terasa beda, suasana sepi tanpa bunyi
tik-tik-tik langkah kaki Tiger di lantai.
Emily, merasa seolah belum tidur sekejap pun, teringat pada
Tiger yang malang, yang terbaring tak bergerak di belakang. Berkalikali tanpa sengaja ia menengok ke lantai, setengah berharap melihat
Tiger di situ, mendongak minta sepotong roti. Karena ini hari Sabtu,
semua orang masih pakai piama dan jubah mandi, kecuali Emily, yang
sudah berganti jeans dan T-shirt.
Rich, terlihat sangat mengantuk, sering menoleh ke arah Emily.
Emily tidak tahu arti pandangannya. Ia tidak mengacuhkannya.
Anak aneh, pikirnya. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Em?" tanya Mrs. Wallner,
menggenggam cangkir kopinya erat-erat seakan takut cangkir itu
berontak melepaskan diri.
"Entahlah. Baik-baik saja rasanya," sahut Emily.


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu," kata Mrs. Wallner riang, "Kenapa kita tidak pergi
saja berdua hari ini. Kita bisa belanja, lalu makan siang dan..."
"Maaf, Mom. Aku harus ke rumah Kathy. Terus ke sekolah.
Ada praktek komputer hari ini, dan..."
"Hari Sabtu?" tanya Mr. Wallner.
"Ya. Kami harus mencoba program word-processing baru. Jadi,
Kathy dan aku..." "Selamat pagi semua." Jessie masuk ke dapur dan duduk di
kursi kosong di ujung, dengan senyum manis di wajahnya. "Tolong
jus jeruknya." Kapan ia pulang, pikir Emily. Pagi tadi, pada pukul tujuh ketika
Emily terbangun oleh suara truk sampah di jalanan, Jessie masih
belum kembali ke kamar. Ia keluar sepanjang malam, dan ia tampak begitu riang
sekarang, pikir Emily, memperhatikan Jessie meneguk segelas besar
jus jeruk. Agaknya aku masih terlalu menganggap remeh keahlian
Jessie bersandiwara, pikir Emily.
"Kau kelihatan cantik pagi ini," kata Mrs. Walner pada Jessie.
"Betul" Terima kasih, tidurku tidak nyenyak tadi malam," kata
Jessie. Ia pemain sandiwara yang hebat. Dan pembohong besar, pikir
Emily. Tak seorang pun bicara tentang Tiger, Emily menyadari.
Tak seorang pun ingin bicara tentang kenyataan bahwa suatu
pembunuhan telah terjadi di dapur ini tadi malam.
Mungkin sebaiknya kuceritakan pada semua orang bahwa Jessie
menyelinap pergi sepanjang malam, pikir Emily. Mungkin sebaiknya
kuberitahu semua orang betapa liciknya Jessie.
Tapi ia tidak punya semangat untuk bertengkar dengan
menjerit-jerit histeris pagi ini. Biar kusimpan saja rahasia ini, mungkin
suatu waktu diperlukan. "Mungkin aku bisa membantu Daddy membersihkan garasi pagi
ini," kata Jessie dengan penuh, semangat pada ayahnya.
"Bagus!" sahut ayahnya dengan mulut penuh keripik jagung.
"Sayang, kau harus pergi, Emily," katanya, membungkuk di atas meja
untuk memandang Emily lebih jelas. "Kalau tidak, kita sekeluarga
bisa kerja sama-sama. Aku suka kegiatan keluarga."
Tidak dengan keluarga seperti ini, pikir Emily tanpa semangat.
Suatu pembunuhan telah terjadi di sini tadi malam, dan semua
orang bersandiwara bahwa hari ini adalah hari normal, seperti harihari lain.
Ia melihat jam tangannya. "Oh. Aku hampir telat." Ia berdiri
dan cepat-cepat pergi ke kamarnya untuk mengambil ransel dan jaket.
"Ke mana kau pagi-pagi begini?" tanya Nancy, yang baru turun
untuk sarapan. "Keluar dari sini!" teriak Emily, membanting pintu di
belakangnya. Ketika ia menjemput Kathy, ia masih merasa tidak
bersemangat. "Kenapa" Ada masalah?" tanya Kathy ketika melihat
wajahnya yang mendung. "Kalau kuceritakan, pasti kau tidak percaya," kata Emily.
"Wow," kata Kathy. "Apa yang dilakukan adik tirimu kali ini?"
Ketika mereka sampai di lab komputer di sekolah, Emily sudah
menceritakan seluruhnya pada Kathy. Semula ia enggan. Untuk apa
Kathy harus ikut mendengar cerita mengerikan itu" Tapi rasanya lega
bisa mencurahkan seluruh perasaannya" lagi pula senang rasanya ada
orang yang mau mendengarkan kesusahan kita.
"Kasihan kau," kata Kathy. Mereka mengambil tempat duduk di
meja lab yang panjang. "Kalau aku punya adik tiri kacau seperti itu,
entah apa yang harus kulakukan. Lari barangkali."
"Tapi aku tidak akan lari," kata Emily, melepas jaketnya. "Aku
sudah lebih dulu tinggal di situ."
Ia menarik napas panjang dan duduk di kursi. Ketika instruktur
masuk ke lab, Emily mengambil ransel dan membukanya.
Ia meraih ke dalam ransel"berhenti" dan menjerit.
"Emily"ada apa!" seru Kathy.
Emily tidak mampu menjawab. Dengan tangan gemetar,
dibukanya ransel lebih lebar.
"Oh, tidak," erang Kathy.
Seseorang telah memasukkan bangkai Tiger ke dalam ransel.
Bab 11 Didiamkan "TIDAK. Kami hampir tidak pernah bicara selama tiga hari
ini," kata Emily melalui telepon dengan suara rendah. "Tidak, ini
bukan senda gurau, Josh. Dia gila. Dia benar-benar gila. Dan ia jahat.
Dia bisa melakukan apa pun."
"Dia sedang menuju kemari," bisik Emily, membungkuk di atas
mejanya. "Kau ke sini nanti" Bagus. Daah."
Diletakkannya telepon persis ketika Jessie masuk ke kamar.
Dengan tangan penuh buku dan kertas, tanpa menoleh kirikanan, Jessie langsung pergi ke bagian belakang ruangan dan
menjatuhkan semua bawaannya ke atas mejanya. Ia duduk, bergumam
sendiri, dan mulai memilah-milah kertas-kertas itu.
Emily tidak menoleh. Seperti telah dilakukannya sejak Sabtu
pagi, ia bersikap seakan-akan Jessie tidak ada. Dibukanya bukunya
sendiri, dicari-carinya halaman yang harus dibacanya, lalu mulai
membaca. Ia membaca beberapa menit, lalu berhenti. Tidak bisa
berkonsentrasi. Kesunyian di dalam kamar sangat mengganggu.
Berapa lama kami akan seperti ini" pikirnya, melirik Jessie
yang sedang sibuk menulis di buku catatannya.
Cepat atau lambat, pikir Emily, kesunyian yang menegangkan
ini akan meledak. Dan tentu saja, pikirnya pahit, seperti biasa, semua
orang akan berpihak pada Jessie.
"Gadis-gadis"makan malam sudah siap!" ibu Emily
memanggil, suaranya hampir membuat Emily terloncat dari kursinya.
Tenang, tenang, katanya pada diri sendiri. Kalau tidak, Jessie
yang akan memenangkan perang urat saraf ini tanpa susah payah.
Jessie berjalan melewati Emily dengan wajah menengadah. Bau
kambing panggang, makanan favorit Emily, merayap ke atas. Tapi
Emily tidak peduli. Ia tidak terlalu lapar.
Ketika Emily mengambil tempat duduk di samping Nancy,
dilihatnya ada goresan luka di pipi Rich, dan matanya hitam lebam.
"Kenapa kau?" tanyanya.
Rich berpaling kesamping, malu. "Tidak apa-apa."
"Dia berkelahi seusai sekolah tadi," kata Mr. Wallner sambil
mengertakkan gigi. "Ini tidak apa-apa," ulang Rich.
"Mata biru dan tiga jahitan," gerutu Mr. Wallner.
"Sudahlah, Hugh. Nanti saja kita bicarakan," kata Mrs. Wallner,
memaksakan senyum di wajahnya. "Di meja makan kita harus bicara
yang senang-senang. Apa yang kaulakukan hari ini?" tanyanya,
menoleh ke arah Nancy. "Oh. Seperti biasa."
"Menarik sekali!" keluh Mr. Wallner, mengunyah dengan
semangat. Mereka makan tanpa bicara beberapa lama. "Kubuatkan
masakan-masakan kesukaanmu malam ini," kata Mrs. Wallner,
tersenyum pada Emily yang duduk di seberangnya.
"Semuanya enak," kata Emily, walaupun ia hampir tidak bisa
merasakan rasa masakan itu. Di sebelahnya, Rich dan Jessie sedang
bicara berbisik-bisik. "Hei, Jessie." Mr. Wallner memotong pembicaraan mereka.
"Aku mendengar kau bicara di telepon tengah malam kemarin?"
"Tidak. Bukan aku," kata Jessie, kelihatan heran atas
pertanyaan itu. Emily tahu ia bohong. Jessie hampir tiap malam bicara berbisikbisik di telepon dengan seseorang. Ia selalu menunggu sampai Emily
tertidur, lalu menurunkan telepon ke lantai dan menelepon di pojok
kamar. Ia juga menyelinap keluar lagi di tengah malam dua malam
yang lalu, dan baru kembali menjelang waktu sarapan.
"Perutku sakit, jadi aku bangun tadi malam," kata Mr. Wallner
pada Jessie. "Aku yakin suaramu yang kudengar sedang menelepon."
"Tidak. Mungkin suara tikus," Jessie berbohong.
Mrs. Wallner membuat apel panggang untuk pencuci mulut.
Emily hanya memakan separuh, lalu minta dibolehkan pergi lebih
dulu. "Aku punya berton-ton PR," katanya.
"Oh, apalagi aku," keluh Nancy.
"Josh mau ke sini nanti. Tolong panggil aku kalau aku tidak
dengar suara belnya," kata Emily, lalu pergi ke atas dan mencoba
berkonsentrasi membaca buku pelajarannya.
Tak lama kemudian ia seolah merdengar suara pintu depan
menutup. Apakah itu Josh" Tak ada yang memanggilnya ke bawah,
jadi ia terus membaca. Didengarnya suara-suara. Seperti suara Josh. Ditutupnya bukunya dan berjalan diam-diam ke tangga.
Dilihatnya Josh di bawah. Berdiri dekat sekali dengan Jessie, sebelah
tangannya menyandar ke pintu lemari. Mereka asyik berbicara,
tertawa bersama-sama. Asyik betul, pikir Emily, amarah timbul di dalam dirinya.
Mereka kira apa yang sedang mereka lakukan"
Ia melompat-lompat menuruni tangga, sengaja membuat suarasuara keras agar mereka tahu ia datang. Sampai di bawah, matanya
menatap lurus ke arah Josh.
"Oh, hai, Emily," kata Josh, nadanya seolah ia tidak
mengharapkan kehadiran Emily di sini. Kemarahan pasti terlihat jelas
di wajah Emily, karena wajah Josh berubah merah. Ia mengangkat
tasnya. "Aku sudah bawa bukuku," katanya. "Di mana kau ingin
belajar?" "Kita keluar saja dari sini," kata Emily tanpa menengok ke
Jessie, melainkan melangkah ke depannya dan membuka lemari
mantel. "Rumah ini terlalu sesak untuk belajar."
Jessie berbalik dengan marah dan naik ke tangga. "Sampai
ketemu lagi, Josh." "Ya," sahut Josh, mundur ke belakang, untuk memberi cukup
ruang bagi Emily untuk memakai jaketnya. "Wow," katanya, menarik
segumpal rambut hitamnya yang ikal ketika Emily berjalan
melewatinya dan membuka pintu.
"Apa maksudnya itu?" tanya Emily ketus, masih heran kenapa
tiba-tiba Josh dan Jessie bisa begitu akrab.
"Ya, cuma 'wow'," kata Josh, menutup pintu depan. "Aku
jangan dibawa-bawa. Kalau kau sedang marah pada adik tirimu,
jangan aku yang dijadikan sasaran."
"Aku bukannya marah pada adik tiriku," Emily membetulkan.
"Aku ketakutan padanya. Sudah berapa kali kukatakan padamu"
Menurutku dia betul-betul sudah gila."
Cuaca di luar dingin dan menyesakkan. Tidak ada bulan di
langit. Tampak akan turun salju.
"Dia tidak kelihatan jahat," kata Josh, bergegas mengikuti
langkah-langkah Emily. "Sulit dipercaya kalau dia yang melakukan
semua itu." "Jangan membela Jessie," kata Emily tajam, berhenti
melangkah dan berbalik menghadap Josh. "Kenapa kau selalu
membelanya?" "Aku tidak membelanya," Josh terkejut melihat betapa
marahnya Emily. Emily memandang ke arah rumah. Ada bayangan di jendela
atas, jendela kamar tidurnya. Itu Jessie, pikirnya. Jessie
memperhatikan mereka. "Kenapa dia mengintai kita?" tanya Emily pada dirinya sendiri,
tapi tanpa sadar ia mengucapkannya keras-keras.
Buku harian Jessie terbayang di matanya. Ia sering berpikir
tentang buku itu. Kadang-kadang tulisan tangan Jessie terlihat jelas di
depan matanya: Mereka mengira aku membunuh Jolie, dan Aku tidak peduli apa
yang mereka pikirkan! Diraihnya lengan Josh, disandarkannya tubuhnya.
"Ada apa?" tanya Josh.
Emily tidak bisa menjawab. Bagaimana ia bisa menjelaskan
bahwa melihat Jessie memperhatikan mereka dari jendela kamar tidur,
sebuah bayangan gelap berlatar belakang cahaya lampu kekuningan,
mendadak ia dikuasai rasa takut"takut dibunuh!
Bab 12 Lenyap Bagaikan Asap "APA ini?" Emily mengangkat garpu dan memperhatikannya,
wajahnya mengernyit jijik.
"Aku tidak tahu." Kathy, duduk di seberang meja, mengangkat
bahu. "Aku tidak tahu. Mau dibilang makaroni atau keju, terlalu
kuning." "Belum pernah aku lihat warna seperti ini," kata Emily,
menjatuhkan garpunya ke tumpukan lumpur berwarna kuning cerah di
piringnya. Kathy mendorong baki makan siangnya. "Aku sudah cukup." Ia
mendorong kursinya ke belakang, berdiri, dan meregangkan tubuhnya.
Ruang makan sudah mulai sepi. Semua anak mungkin bergegas
menjauhkan diri dari bubur lumpur kuning cerah itu, siapa tahu
radioaktif! "Sampai nanti," kata Kathy. "Itu ada Lisa Blume, aku mau
bicara dulu dengannya tentang ulangan matematika kita." Ia
melambaikan tangan pada Emily lalu, sambil membawa bakinya, ia
pergi ke seberang ruangan.
Emily mendesah dan mengambil garpunya kembali. Disodoksodoknya makanannya beberapa saat, sambil berpikir tentang Josh,
sampai ia sadar ada seseorang berdiri di sampingnya.
"Oh. Hai." Ia menengadah dan dilihatnya teman Jessie, Krysta.
Emily mengedipkan mata beberapa kali. Krysta mengenakan baju
Day-Glo oranye yang paling menyilaukan yang pernah dilihat Emily.
Dengan celana panjang korduroi cokelat dan baju oranye seperti itu, ia
kelihatan seperti permen loli, pikir Emily.
"Ada yang tumpah tuh," kata Krysta.
"Apa?" "Itu, di bajumu."
Emily memandang ke bawah. "Oh, gawat!" serunya marah. Ia
telah menumpahkan sedikit bubur lumpur kuning cerah itu ke bagian
depan bajunya. Diambilnya kertas tisu, dan dicobanya menghilangkan
lumpur menjijikkan itu, tapi malah jadi lebih lekat.
"Barangkali lebih baik pakai air," kata Krysta. Ia duduk dan
menatap Emily. "Aku cuma ingin... uh... bilang sesuatu padamu.
Maksudku, tanya sesuatu." Wajahnya menjadi serius, tidak seperti
biasa. Oh-oh, pikir Emily. Apa lagi ini"
"Aku harus bersihkan noda ini," kata Emily sambil bergerak
untuk berdiri. "Sebentar saja," kata Krysta, tidak bergerak dari meja. "Aku
cuma ingin tahu kenapa kau begitu jahat pada Jessie."
"Hah?" Emily betul-betul terkejut mendengar pertanyaan
Krysta. "Jessie betul-betul sedih," kata Krysta. "Kenapa kau begitu jahat
padanya?" Emily mencoba mengatakan sesuatu, tapi tak ada suara yang
keluar dari mulutnya. "Aku tahu ini bukan urusanku, tapi Jessie temanku," Krysta


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneruskan. "Dia anak baik, kalau kau sudah kenal dia."
Tahu apa kau tentang dia" tanya Emily dalam hati.
Tahukah kau bahwa ia mungkin telah membunuh teman
baiknya sendiri" Emily menatap Krysta, rasa terkejutnya belum hilang.
Dusta apa lagi yang telah diceritakan Jessie pada Krysta" pikir
Emily. Jessie memang pembohong besar. Ia hanya perlu melebarkan
mata birunya yang sudah sebesar tampah itu, tersenyum sedikit seperti
bidadari, dan semua orang akan percaya pada apa pun yang
dikatakannya. Apa yang diocehkannya tentang Emily" Apa pun kisah
bohong yang diceritakannya, Krysta pasti menyebarkannya ke seluruh
sekolah. Mereka berdua memang pasangan serasi, pikir Emily. Yang
satu pembohong, yang satu lagi penyebar gosip.
Emily berdiri, berbalik, menggelengkan kepalanya pada Krysta
seakan menyatakan bahwa pertanyaan Krysta tak ada gunanya
dijawab, lalu tanpa mengambil bakinya dari meja ia bergegas pergi
menuju pintu ruang makan.
"Hei, Emily...!" Krysta berteriak memanggilnya.
Beberapa anak mengangkat kepala, melihat apa penyebab ributribut itu.
Tapi Emily terus bergegas pergi, tanpa menoleh. Di luar ia
menuju ke toilet di ujung koridor. "Hei, Em...," seseorang
memanggilnya, tapi ia pura-pura tidak mendengar.
Ketika ia hampir sampai ke tempat tujuannya, Nancy muncul
dari pojok, kelihatan seperti bingung, membawa setumpuk buku!
"Sudah bel?" tanyanya pada Emily, tanpa berhenti melangkah.
"Belum," kata Emily. "Kau..."
"Ada noda tuh, di bajumu." Nancy sudah menyusulnya
sekarang, dan mempercepat langkah.
"Aku tahu," kata Emily. "Baru mau kubersihkan."
Nancy bekerja terlalu keras, pikir Emily. Tidak baik untuknya.
Ia terlalu kuatir tentang pekerjaan sekolahnya. Dan tentang kehidupan
sosialnya. Dulu ia tidak pernah mendapat kesulitan menemukan teman
cowok. Kenapa sekarang ia kebingungan kalau tidak ada yang
mengajaknya pergi. Emily membuka pintu toilet, dan tepat saat itu Jessie mau
keluar. Ada apa ini" pikir Emily. Tidak bisakah aku pergi tanpa harus
bertemu seluruh anggota keluargaku"
"Aku sudah tidak tahan," kata Jessie, wajahnya merengut. Ia
berhenti di ambang pintu, menghalangi langkah Emily.
"Apa maksudmu?" tanya Emily dingin.
"Aku tidak tahan lagi didiamkan seperti ini, seolah-olah aku
tidak ada." "Jessie, haruskah kita bicarakan itu sekarang" Tidak bisakah
aku pergi ke toilet tanpa perang lebih dulu?" Emily melihat jam
tangannya. "Dua menit lagi bel berbunyi."
"Kenapa kau begitu jahat padaku?" tanya Jessie. Wajahnya
keras dan dingin bagaikan batu. Tapi matanya merah, seperti hampir
menangis. Ia memang pintar main sandiwara, pikir Emily.
Tidakkah ia tahu, aku bisa menembus kedoknya"
"Aku tidak melakukan apa-apa padamu," kata Emily. "Minggir,
aku mau lewat." "Jawab pertanyaanku. Mengapa kau berbuat begitu?" kata
Jessie, bergeming. Suaranya bergetar. Tubuhnya mulai gemetar.
"Kenapa kau mau menghancurkan hidupku?"
"Aku tidak melakukan hal itu. Kau yang melakukannya
padaku!" kata Emily, mulai kehilangan kesabaran. "Berani-beraninya
kau memutar balik kenyataan! Kau kira aku tidak tahu apa saja yang
telah kaulakukan padaku" Kau kira aku tidak tahu bahwa semua itu
ulahmu?" "Aku!" Apa yang kauocehkan"!" Jessie menjerit keras. "Kau
gila!" "Kurasa tidak pantas kau mengatakan orang lain gila!" seru
Emily marah. "Bukan aku yang harus dirawat psikiater dua kali
seminggu!" Begitu terucap, ia langsung menyesalinya. Kata-kata itu
meluncur begitu saja tanpa disadarinya.
Ya sudah, mau apa lagi"
Lagi pula kenapa ia harus hati-hati dengan kata-katanya pada
Jessie" Mata Jessie membelalak. Air mata mengalir di pipinya yang
pucat. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi berubah
pikiran, lalu ia menyelinap di samping Emily, berlari cepat. Sepatunya
berbunyi klik-klak-klik-klak di lantai.
Emily menarik napas lega dan cepat-cepat masuk ke toilet, lega
karena tidak ada anggota keluarganya yang lain di dalam. Ia cepatcepat menebarkan pandang, meneliti ruang besar berlantai hitam-putih
itu, barisan wastafel di sebelah kiri, jendela dengan kacanya yang
dicat di sebelah kanan. Tak ada seorang pun di sini.
Seseorang telah membiarkan air mengalir dari keran di wastafel
nomer satu. Emily memutar keran, menutup aliran air itu. Seperti
biasa, toilet itu berantakan. Wastafel penuh dengan tisu. Begitu juga
lantainya, bertaburan tisu bekas.
Emily berjalan ke wastafel berikutnya, memutar keran air
dingin, dan menutul-nutul noda di bajunya dengan tisu bersih.
Napasnya masih memburu, hatinya masih terganggu oleh pertemuan
dengan adik tirinya tadi.
Pertama Krysta. Lalu Jessie.
Apa tujuan kampanye yang sedang mereka jalankan itu"
Apa yang sedang direncanakan Jessie dan Krysta" Sebetulnya
apa yang ingin mereka buktikan"
Apakah Jessie sedang berusaha membuktikan bahwa Emily
jahat" Untuk apa" Apakah itu cara Jessie mengingkari kenyataan
bahwa ia gila, bahwa ialah sebetulnya yang jahat dan mengerikan"
Emily menutul-nutul noda di bajunya. Ia tidak tahu apakah
nodanya sudah hilang atau belum. Sekarang yang terlihat hanya
lingkaran basah gelap di dadanya.
Oh, gawat, pikirnya. Ini akan terlihat hebat sekali di kelas
bahasa Inggris nanti. Sambil menyesali dirinya sendiri, Emily masuk ke bilik tengah,
dan mengunci pintunya. Ia duduk, pikirannya melayang-layang. Dicobanya memikirkan
hal-hal yang menyenangkan, yang menggembirakan, agar bisa
melupakan Jessie. Ia mulai berpikir tentang Josh, tapi yang terbayang
justru Josh tengah berdiri membungkuk di dekat Jessie, asyik bicara
dan tertawa. "Uh!" serunya keras-keras.
Didengarnya seseorang masuk ke toilet. Suara sepatu di lantai.
Suara air mengalir dari keran.
Suara air berhenti. Seseorang terbatuk. Lalu suara sepatu di
lantai lagi. Pintu terbuka dan tertutup. Toilet sepi lagi.
Beberapa saat kemudian Emily mencium bau asap.
Ia cepat-cepat berdiri dan keluar dari bilik. Jantungnya berdebar
keras. Toilet penuh asap. Dari mana datangnya"
Emily menahan napas. Tempat sampah. Lidah api menjilat-jilat
dari tempat sampah. Tempat sampah itu begitu kecil, tapi asapnya tebal sekali"
Emily terbatuk-batuk, matanya mulai berair. Ia lari mendekati
tempat sampah untuk mematikan api itu. Tapi apinya melonjak tinggi,
membesar, tak mungkin bagi Emily untuk mendekat dan
memindahkan tempat sampah itu.
Dan mendadak tisu yang berhamburan di lantai terjilat api. Dan
sekarang api mulai menjilati lapisan kayu di dinding.
Aku harus keluar dari sini, pikir Emily, terkejut merasakan
betapa takutnya dia. Aku harus membunyikan alarm tanda bahaya
kebakaran. Api mulai membakar pintu kayu bilik-bilik kamar kecil.
Emily lari ke pintu yang menuju ke luar dan mendorong
pintunya. "Hei"kenapa ini?"
Pintu itu tampak macet. "Hei!" Ia mendorong sekali lagi, keras-keras, dengan bahunya.
Pintunya bergeming. Tampaknya bukan macet. Apakah ada orang yang menahan pintu itu dari luar supaya
tidak bisa dibuka" Jangan membayangkan yang tidak-tidak, Emily, ia memaki
dirinya sendiri. Ia terbatuk lagi. Asap serasa membakar tenggorokannya.
Jangan membayangkan yang tidak-tidak" Waktu ia di dalam
bilik tadi, seseorang masuk dan sengaja membakar tempat sampah!
Jessie" Dicobanya mendorong pintu sekali lagi. Tetap tidak bergerak.
Dengan menahan napas sebisanya, ia membungkukkan
kepalanya dan lari melewati lidah-lidah api, ke jendela kecil di bagian
belakang toilet. Dengan mata terpejam, direnggutnya bingkai jendela
dan ditariknya keras-keras.
Tidak bisa. Ayo. Ayo, bergerak. Tidak bisa. Ia merenggut lebih keras lagi. Jendela tidak juga terbuka.
Terbatuk dan tercekik oleh asap, ia membuka matanya dan
melihat mengapa jendela itu tidak mau terbuka. Bingkai jendela belum
lama dicat. Catnya membuat daun jendela merekat keras ke
bingkainya. "Tolong! Tolong!"
Asap semakin hitam pekat. Menyebar memenuhi ruangan.
Ia lari lagi, menembus api, ke pintu di bagian depan dan
menubrukkan tubuh sekeras-kerasnya ke pintu.
Pintu tetap bergeming. "Aku akan mati di sini," teriaknya keras-keras.
Bab 13 Buktikan! KERONGKONGANNYA serasa terbakar. Matanya panas.
Sulit bernapas. Ia lari ke wastafel terdekat dan menghidupkan kedua kerannya,
memercik-mercikkan air ke wajahnya.
Tidak membantu. Sama sekali tak akan membantu, ia menyadari.
Tapi, bagaimana kalau ia mengisi tempat sampah dengan air
lalu memakainya untuk memadamkan api"
Ya. Itu mungkin bisa. Tapi, di mana tempat sampahnya" Asap
sudah sangat tebal, bagaikan tirai, bergulung-gulung. Ia tak bisa
melihat tempat sampah. Aku"aku tidak bisa bernapas, pikirnya.
Aku akan kehabisan napas.
Sambil terisak-isak keras, ia menggedor-gedor pintu dengan
tinjunya. "Tolong! Tolonglah aku!"
Tak ada jawaban. Bel pasti telah berbunyi. Semua anak telah pergi ke atas, ke
kelas masing-masing. Koridor di bawah pasti sudah sepi.
"Tolong! Tolong aku!"
Ia menggedor-gedor pintu lagi, tapi tenaganya semakin lemah.
Lengannya terasa berat, hampir-hampir tak bisa diangkat.
Ia megap-megap, berusaha bernapas.
Kalau saja aku bisa bernapas....
Ia tak bisa melihat apa-apa.
Api terasa semakin panas. Begitu tinggi... begitu dekat....
Lalu didengarnya seseorang mencoba membuka pintu dari luar.
"Itu cuma khayalanku." Apakah ia mengatakan itu dengan keras, atau
hanya di dalam hati"
Otaknya berkabut, gelap, dan bergulung-gulung seperti asap itu.
Ia merasa badannya ringan, seringan api.
Pintu ditarik terbuka dari luar.
Ia ingin berlari keluar, tapi ia merasa melayang-layang
sekarang, melayang di tengah kegelapan.
"Ada yang di dalam" Oh, Tuhan... Emily!"
Emily melayang, hangat, hangat sekali, tak tertahankan.
"Kalau saja aku bisa bernapas...."
Tangan-tangan kuat menariknya keluar. Ia melayang menembus
tirai asap yang gelap. Ia melayang ke pintu.
"Emily... kau tidak apa-apa?"
Dengan tercekik dan terbatuk-batuk, Emily terseok-seok ke
koridor yang sejuk. Ia mencoba menarik napas dalam, tapi jantungnya
berdetak keras. "Emily, duduk dulu di lantai." Mrs. Hoffler, gurunya, terlihat
cemas. "Aku bunyikan alarm dulu."
Emily bersandar ke tiang, menekankan wajahnya ke beton yang
sejuk. Aku tidak apa-apa. Aku akan bisa bernapas lagi. Dan aku akan
baik-baik saja. Dilihatnya Mrs. Hoffler membuka pintu kaca kotak alarm dan
menekan tombolnya. Sebuah bel berbunyi di suatu tempat di atas
kepalanya. Aku akan segera baik lagi.
"Mrs. Hoffler," Emily memanggil. Guru itu bertubuh tinggi
kurus. Anak-anak menjulukinya Bu Bangau.
"Mrs. Hoffler! Saya akan baik-baik saja!"
Mrs. Hoffler cepat-cepat mendekatinya. "Ya. Ya, kau akan
baik-baik saja," katanya, terlihat lega.
Lidah api menjulur-julur di bawah pintu kamar mandi.
"Kita harus pergi dari sini," kata Mrs. Hoffler, berteriak
mengatasi suara alarm. "Kau bisa jalan?"
"Tentu," jawab Emily. Ia berjalan selangkah, lalu selangkah
lagi. Kepalanya berputar-putar. Ringan.
Ia jatuh berlutut. "Ouh."
"Mari kubantu," kata Mrs. Hoffler. "Pasti banyak asap yang
kauhirup." Ditariknya Emily berdiri, lalu, dengan melingkarkan
lengan ke pinggang Emily, dituntunnya Emily ke pintu. "Ganjal pintu
ini dipasang di bawah pintu," katanya, menunjuk sebuah segi tiga
kayu, lalu membuangnya. "Biasanya ganjal pintu ini dipakai
mengganjal pintu koridor. Bagaimana bisa pindah ke pintu toilet?"
Mereka sampai ke tangga yang menuju tingkat pertama.
"Emily, bagaimana mulainya api itu?" tanya Mrs. Hoffler.
"Saya tidak tahu," kata Emily, masih megap-megap.
Aku berani bertaruh Jessie tahu, pikir
Emily marah. Jessie satu-satunya yang tahu aku ada di dalam
toilet. Kakinya terasa berat sekali, ia hampir tak sanggup melangkah
menaiki tangga. Mrs. Hoffler harus menariknya.
Emily berhenti di anak tangga paling atas, bersandar ke bahu
Mrs. Hoffler, satu tangannya tidak mau melepas pagar tangga. "Aku"
aku tidak bisa bernapas!" serunya tiba-tiba, suaranya penuh rasa takut.
Ia bahkan tidak bisa mengenali suaranya sendiri.
"Kau akan merasa lebih nyaman di udara dingin," kata Mrs.
Hoffler, membuka pintu yang berat dan menuntun Emily ke luar.


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Udara dingin terasa menyengat. Emily menarik napas dalam.
Tubuhnya gemetar, tapi tidak apa-apa, biar sajalah.
Aku masih hidup, pikirnya. Aku bernapas.
Tirai gelap serasa terangkat dari matanya. Dunia terlihat jelas
lagi. Warna-warna telah kembali.
Suara apa itu yang terdengar semakin lama semakin keras"
Itu suara tawa dan teriakan murid-murid sekolah Shadyside.
Sambil bersandar pada Mrs. Hoffler, Emily baru sadar mereka tidak
sendirian di luar sini, di tepi jalan di bawah langit kelabu sore hari
yang dingin ini. Semua ada di sini. Semua murid telah diungsikan dari
dalam gedung. Semua sekarang berdiri di sini, tanpa mantel, mereka
melompat-lompat dan mengentak-entakkan kaki agar tetap hangat.
Emily mendengar suara sirene di kejauhan. Pemadam
kebakaran pasti sedang menuju ke sini, pikirnya.
Lalu tiba-tiba Nancy sudah berdiri di hadapannya. "Oh,
Nancy!" Emily menangis penuh emosi dan, yang membuat dirinya
heran, menjatuhkan diri ke dalam pelukan Nancy.
"Em"kenapa kau?" seru Nancy, menangkap Emily sebelum ia
jatuh. "Dia terperangkap di toilet, tempat api itu berasal," Mrs. Hoffler
cepat-cepat menjelaskan. "Oh, tidak!" Wajah Nancy yang biasa pucat menjadi semakin
putih, bagaikan tepung. "Kau tidak apa-apa?"
"Kurasa begitu," sahut Emily.
"Apakah dia shock atau semacam itu?" Nancy bertanya pada
Mrs. Hoffler. "Kenapa tidak langsung kau tanya aku saja?" tuntut Emily,
entah mengapa amarahnya meledak. "Kenapa tanya dia?"
"Tidak, kelihatannya tidak," kata Nancy, pipinya mulai
memerah. "Adat jeleknya sudah kembali lagi." Ia menyeringai lega.
Semua bersorak ketika mobil pemadam kebakaran membelok
masuk ke halaman rumput sekolah, dan anggota-anggota pemadam
kebakaran berwajah serius berlompatan turun, mulai menarik selang
besar berwarna kelabu. "Mengerikan sekali tadi," kata Emily pada kakaknya sambil
memeluk dirinya sendiri agar tetap hangat.
"Saya mau membawa Emily pulang," kata Nancy pada Mrs.
Hoffler. "Kecuali kalau menurut Ibu dia harus ke rumah sakit dulu."
"Tidak," kata Emily. "Maksudku, aku tidak apa-apa, aku baikbaik saja. Sungguh." Ia mendengar suara kaca pecah. Para anggota
pemadam kebakaran pasti menggunakan kapak, pikirnya. Semua
tampak jelas sekarang, jelas dan terang. Ia memandang anak-anak
yang berwajah cerah, tersenyum dan tertawa, gembira karena ada
alasan untuk tidak belajar.
Mereka tidak tahu bagaimana rasanya, pikirnya. Mereka tidak
tahu betapa mengerikannya api itu. "Antar aku pulang, yuk," katanya
pada Nancy. "Boleh," kata Mrs. Hoffler. Seseorang memanggilnya.
"Pulanglah." Ia berbalik dan melangkah menuju suara yang terus
memanggilnya. "Terima kasih, Mrs. Hoffler!" seru Emily. Ia tidak tahu apakah
guru itu mendengarnya. Lagi pula, ia sadar, kurang pada tempatnya
mengucapkan terima kasih dengan cara itu. Ia memutuskan untuk
membawa sesuatu bagi Mrs. Hoffler besok. Mungkin bunga.
Beberapa menit kemudian Emily masuk ke dalam mobil
Corsica kecil yang dipakai Nancy sekolah. Nancy menghidupkan
mesinnya. Emily menutup pintu dan menyandarkan kepala ke
belakang sambil memejamkan mata.
"Kau betul tidak apa-apa?" tanya Nancy. Mesin mobil hidup.
"Ya. Kalau tidak salah."
"Ada ambulans di sini. Datang bersama mobil pemadam
kebakaran. Mungkin sebaiknya kau diperiksa dulu."
"Tidak, Nancy. Aku tidak apa-apa. Kita pulang saja. Aku akan
tidur sebentar di rumah. Oke?"
Nancy memundurkan mobil dan dengan hati-hati keluar dari
tempat parkir, menuju Park Drive. Di belakang mereka, entah
mengapa, anak-anak bersorak. Mungkin api telah menyebar ke seluruh
bangunan. Emily tidak ingin menengok ke belakang untuk melihat apa
yang terjadi. "Kau di mana tadi" Di toilet?" tanya Nancy.
"Ya. Di bawah. Kau tahu, di seberang aula."
"Lalu tiba-tiba ada api?" tanya Nancy bingung.
"Bukan tiba-tiba. Ada yang sengaja membakar," kata Emily,
membuka matanya dan duduk tegak.
"Hah?" "Nancy, awas!" Nancy terus melaju padahal lampu lalu lintas menyala merah.
Hampir saja ia menabrak sebuah mobil lain. Pengemudinya berteriak
sambil mengayun-ayunkan tinjunya.
"Maaf," kata Nancy, merasa bersalah. Ia menoleh ke Emily.
"Apa katamu tadi" Kenapa kau tidak keluar saja dari toilet" Kenapa
kau tidak loncat dari jendela, misalnya?"
"Jendelanya dicat rapat," Emily menjelaskan. "Lagi pula, itu
jendela ruang bawah tanah. Aku harus memanjat naik untuk..."
"Tapi kenapa tidak keluar dari pintu saja?" tanya Nancy,
memegang kemudi dengan kedua belah tangannya, mencoba
berkonsentrasi walaupun ia lebih tertarik mendengar cerita Emily.
"Macet. Ada yang mengganjalnya dengan ganjal pintu koridor."
"Sulit dipercaya!" seru Nancy sambil menggelengkan kepala.
"Percayalah," kata Emily pahit.
Mereka membelok ke Fear Street. Beberapa blok lagi, dan
mereka akan sampai di rumah.
"Ada yang masuk ke toilet. Aku tidak tahu siapa, aku tidak
melihat orangnya. Tapi pasti orang itu yang menyalakan api," kata
Emily. "Maksudmu seseorang sengaja..."
"Seseorang sengaja menyalakan api. Lalu mengganjal pintu.
Aku tahu," kata Emily. Ia sendiri heran betapa tenangnya ia
mengucapkan kata-kata itu.
"Kadang-kadang anak-anak membakar lempat sampah tanpa
alasan. Cuma iseng, kau tahu kan. Dan mungkin ganjal pintu itu cuma
kebetulan, tidak sengaja."
"Menurutku itu bukan ketidaksengajaan," kata Emily, suaranya
tetap tenang. "Menurutku Jessie yang melakukannya. Dan dia tahu
benar apa yang dia lakukan."
Nancy membelok masuk ke halaman rumah dan menginjak
rem. Kedua gadis itu tidak bergerak keluar dari mobil.
Nancy memutar tubuh dan menghadap Emily. "Itu tuduhan
serius," katanya. "Itu kebakaran serius," Emily menimpali, melipat tangannya di
depan dada, menatap lurus ke depan. "Jessie mencoba membunuhku.
Aku tahu." "Tapi, dari mana dia tahu kau ada di toilet?"
"Dia keluar tepat waktu aku masuk. Dia berteriak-teriak
padaku, menuduhku bersikap jahat padanya."
"Apa?" "Betul. Lalu dia lari, pura-pura menangis. Tapi, dia tidak bisa
menipuku. Tentu saja aku tidak tahu kalau dia punya rencana kembali
lagi dan mencoba membunuhku."
"Mengerikan," kata Nancy, suaranya bergetar, seperti mau
menangis. Diambilnya tangan Emily dengan kedua belah tangannya,
dan diremasnya kuat-kuat. "Dan kau benar-benar menduga Jessie yang
membakar?" "Aku tahu." "Tapi kau tak punya bukti," kata Nancy.
"Bukti?" Emily merenggutkan tangannya dari genggaman
Nancy. "Bukti apa lagi yang kuperlukan" Tubuhku yang sudah jadi
mayat?" Emily sadar tidak seharusnya ia berteriak pada kakaknya.
"Maaf. Aku masih kacau. Maksudku, aku hampir mati di sana tadi,
Nancy. Jessie hampir berhasil membunuhku."
Nancy tidak berkata apa-apa. Ia menatap kemudi, tenggelam
dalam pikirannya sendiri.
"Kau percaya padaku, kan?" tanya Emily. "Bahwa Jessie
jahat?" Nancy berpikir lama. Lalu ia menoleh. "Ya. Ya, aku percaya.
Dari ceritamu tentang buku harian Jessie, dan dari cerita Mom yang
kelepasan bicara tentang dia, rasanya Jessie memang berbahaya. Aku
percaya, Em." "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" lanya Emily.
"Aku akan bantu kau mencari bukti, agar kita bisa meyakinkan
Mom dan Hugh," kata Nancy.
"Maksudmu..." "Mulai sekarang, Jessie akan kuawasi. Aku harus tahu setiap
tindak-tanduknya. Aku akan menempel dia terus, seperti lem. Kau
sendiri tenang saja. Hindari dia sedapat mungkin. Biar aku yang urus
masalah ini." "Tapi, Nancy..."
"Dia sampai sekarang tidak pernah menyusahkanku, kan" Jadi,
dia tak akan curiga bahwa aku yang akan membuka kedoknya. Setelah
kudapatkan bukti yang kita perlukan, kau dan aku akan menceritakan
seluruhnya pada Mom dan Hugh."
Emily menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia masih
gemetar. Tapi juga lega karena Nancy mempercayainya, dan Nancy
akan membantunya. "Ayo, kita masuk." Nancy membuka pintu dan keluar dari
mobil. Ia berjalan berputar dan membukakan pintu Emily.
"Bagaimana perasaanmu?" Ditolongnya Emily keluar dari mobil.
"Lebih enak. Sungguh. Tak usah kau bantu aku berdiri. Aku
cuma masih gemetar sedikit."
Nancy memegang lengan Emily dan menuntunnya ke pintu
depan rumah. "Itu tak akan mudah," kata Emily, heran sendiri
mengapa kepalanya terasa berputar.
"Apa yang tidak mudah?"
"Meyakinkan Mom dan Hugh bahwa anak emas mereka
mencoba membunuhku."
"Biar aku yang memikirkan itu," kata Nancy, membuka kunci
pintu depan dan mengikuti Emily masuk ke dalam. Ia hendak
membuat teh hangat untuk Emily ketika pintu terbuka dengan keras
dan Jessie menghambur masuk.
"Emily"aku dengar apa yang terjadi!" serunya, wajahnya
penuh emosi. Ia menghambur dan memeluk Emily, memeluknya eraterat. "Oh, Emily"kau tidak apa-apa" Kau tidak apa-apa?"
Ditekankannya wajahnya ke wajah Emily. Wajahnya panas.
"Oh, mari kita berteman"ya?" seru Jessie, masih memeluk
Emily erat-erat. "Kita mulai dari awal lagi. Oke" Mau?"
Emily terlalu kaget untuk bicara.
Walaupun tubuh Jessie hangat, pelukan Jessie membuat Emily
merasa dingin. Jauh lebih dingin dari yang pernah dirasakannya.
Sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan emosional Jessie,
Emily menyadari bahwa seumur hidupnya belum pernah dia merasa
ketakutan seperti ini. Bab 14 Bergoyang"dan Berguling
NANCY melepas kakinya dari pedal rem dan menjalankan
mobilnya maju beberapa meter, lalu mengerem lagi. "Kita tidak akan
pernah sampai ke sana," omel Emily. "Waktu konsernya selesai kita
masih cari tempat parkir."
"Aku bahkan tidak bisa lihat Vets Auditorium dari sini!" keluh
Jessie. "Jangan ngomel-ngomel terus," kata Nancy perlahan,
menunggu mobil di depannya bergerak. "Kita masih punya setengah
jam. Masih cukup waktu. Lagi pula biasanya ada band pembukanya
dulu." "Tapi band pembukanya Deltoids," kata Emily, menurunkan
kaca jendelanya untuk mendapat sedikit udara segar, tapi yang
dihirupnya asap knalpot mobil. "Kathy pernah lihat mereka waktu
main di Waynesbridge, dan katanya mereka selangit."
"Selangit?" Jessie tertawa. "Emily, aku tidak tahu kau segitu
remajanya." Emily tidak menimpali komentar itu. Ia juga tidak menoleh ke
adik tirinya yang duduk di belakang.
Sejak kejadian api di toilet itu, Jessie luar biasa manis terhadap
Emily. Terlalu manis, menurut Emily. Ia tak ingin Jessie
membantunya mengerjakan tugas-tugasnya atau menawarkan untuk
melakukan sesuatu baginya.
Ia ingin Jessie tidak mengganggunya.
Emily tahu Jessie telah mencoba membunuhnya. Ia hanya
menunggu sampai Nancy berhasil mendapatkan bukti yang mereka
perlukan. Lalu mereka akan menunjukkan bukti itu pada Mom dan
Hugh. Lalu mereka. akan memastikan bahwa Jessie mendapatkan
perawatan yang diperlukan. Dan memastikan Jessie pergi selamanya
dari kehidupan Emily. Sementara itu Emily berusaha menghindari Jessie sedapat
mungkin. Berada dalam satu mobil seperti sekarang ini membuat
Emily sangat gelisah. Sebetulnya ia tak ingin Jessie ikut nonton konser bersama
mereka. Emily punya tiga karcis untuk norrton di auditorium besar di
Waynesbridge, kota tetangga. Satu untuk ia sendiri, satu untuk Nancy,
dan satunya untuk Josh. Tapi pada saat-saat terakhir, Josh harus
membantu ayahnya di toko.
"Siapa yang harus kita ajak?" tanya Emily pada Nancy waktu
itu. Ia tidak tahu kalau Jessie mendengarkan pembicaraan mereka.
"Aku saja, aku saja," Jessie mulai memohon-mohon. "Ajak aku
saja. Kalau perlu, aku bayar karcis itu."
Emily memandang Nancy seakan berkata, Tolong aku
memecahkan masalah ini. Aku tak ingin memberikan karcis ini pada
Jessie. Nancy hanya mengangkat bahu.
Jessie terus memohon-mohon.
Emily sudah mau mengatakan "tidak bisa" ketika ibu mereka
masuk ke kamar. "Kenapa Jessie sampai berlutut memohon-mohon
seperti itu?" tanyanya.
Emily terpaksa menceritakan masalahnya. "Ya, tentu saja Jessie
boleh ikut," kata Mrs. Wallner, tidak menangkap arti pandangan
Emily. Jessie meloncat-loncat kegirangan.
"Tentu saja," kata Emily, mencoba terdengar murah hati,
walaupun hatinya panas bukan main. Konser itu serasa sudah rusak.
Mungkin lebih baik aku sakit saja dan tidak usah pergi nonton,
pikirnya. Kenapa ibunya ikut campur" Dan kenapa selalu memihak
Jessie" Apakah ia memang buta terhadap semua ulah Jessie"
Jawaban terhadap pertanyaan terakhir itu Emily tahu, "ya".
Dan di sinilah mereka sekarang, di luar tempat parkir Vets
Auditorium pada suatu malam Minggu, merayap maju sentimeter
demi sentimeter, sebentar-sebentar melihat jam tangan mereka dengan
gelisah, bertanya-tanya sendiri apakah akan bisa masuk sebelum
konser dimulai. "Oh, keraskan lagunya. Aku suka lagu ini!" seru Jessie,


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjulurkan tubuhnya ke depan, mencoba mencapai tombol radio.
"Ih." Nancy mengernyit. "Lagu begini kau senang" Suaranya
meringkik. Semua lagu dia nyanyikan pakai suara hidung."
"Menurutku itu seksi," kata Jessie.
Nancy mengeraskan radio sampai jendela mobil bergetar.
Lumayan, bisa menenggelamkan suara klakson-klakson dari luar,
pikir Emily. Sebuah Honda Civic putih melaju melewati mereka, paling
sedikit ada enam cowok di dalamnya, berdesak-desak seperti ikan
sarden di dalam kaleng. "Mau ke mana cowok itu, bukannya antre,"
kata Nancy dengan marah. "Tak akan ada yang mau kasih jalan masuk ke antrean lagi,"
kata Jessie. "Kau lihat yang nyetir" Kece, ya?"
"Nah, siapa sekarang yang seperti re maja?" tanya Emily,
tertawa. "Aku memang remaja," sahut Jessie. "Apa salahnya bersikap
seperti remaja." "Hei"kita bergerak sekarang!" seru Nancy. Mobilnya maju
sepanjang dua mobil. "Dua puluh menit lagi jam delapan," kata Jessie,
melihat jam tangannya untuk yang kedua ribu kalinya.
"Mereka selalu telat mulainya," kata Emily.
Mereka baru mendapat tempat parkir kosong sekitar pukul
delapan lewat lima belas. Cuaca malam itu hangat tak berangin
sehingga mereka melepas jaket dan meninggalkannya di dalam mobil.
Lalu mereka berlari secepat-cepatnya menyeberangi tempat parkir
luas yang hampir penuh mobil itu.
"Aku tidak dengar suara musik apa-apa," kata Jessie ketika
mereka masuk ke dalam lobi luas berdinding marmer, dan berjalan ke
pintu masuk teater. "Paling-paling setengah jam lagi baru mulai," kata Nancy
mengatasi suara-suara bising. "Band-band seperti itu tidak pernah
muncul tepat pada waktunya. Dan begitu datang, mereka perlu
warming-up dulu selama dua jam."
Pemeriksa karcis berbaju seragam, seorang anak muda berwajah
tirus dengan kulit muka yang mengingatkan pada permukaan bulan,
menerima uluran karcis Emily, tapi pandangannya menuju ke tempat
parkir di luar. "Kalian yang terakhir," katanya sambil menggelenggelengkan kepala. Disobeknya karcis mereka, lalu menatap mereka
bertiga. "Tangga di sebelah kiri, paling atas."
"Paling atas?" tanya Emily sambil melihat potongan karcisnya.
"Ya, paling atas. Mudah-mudahan kalian tidak sampai
mimisan!" sahut si penjaga karcis, dan tertawa cekikikan seakan-akan
gurauannya lucu setengah mati.
Emily mengikuti Nancy dan Jessie masuk ke auditorium dan
memandang ke pentas. Lampu-lampu pentas menyala, tapi pentas kosong, kecuali
beberapa orang bercelana jeans dan berbaju T-shirt yang sedang
mengutak-atik mikrofon dan peralatan-peralatan lain.
"Bagus, mereka belum mulai," kata Emily.
"Kan sudah kubilang," kata Nancy. Ia berhenti di bawah tangga
dan memandang ke atas. Jalan ke atas mirip lereng gunung beton yang
curam dan gelap. "Orang itu tidak main-main rupanya tentang mimisan," kata
Jessie. Mereka mulai menaiki tangga. Rasanya enak juga setelah
terkurung di mobil, pikir Emily.
Sebentar kemudian mereka muncul di balkon dan memandang
berkeliling. Gang yang curam itu kosong. Semua orang sudah duduk,
menunggu pertunjukan dimulai. "Kita harus naik lagi," kata Jessie,
menunjuk ke atas. Mereka muncul di tengah balkon paling atas.
Tangga sempit naik menuju ke barisan tempat duduk paling atas.
"Akhirnya!" kata Jessie terengah-engah, setelah mereka
menemukan tempat duduk mereka. "Hei, lihat, aku hampir bisa
melihat pentas dari sini!"
Bisanya cuma ngomel, pikir Emily. Memangnya siapa yang
mengajak dia ke sini" Tak seorang pun.
"Hey kita bukan di baris paling belakang," kata Nancy, menoleh
ke belakang. "Masih ada tiga baris lagi di belakang kita dan"hei
Carla! Carla!" Nancy mengenali salah seorang teman sekolahnya.
"Hei, aku pergi dulu sebentar, ya." Ia berdiri dan pergi untuk bicara
dengan temannya. Beberapa detik kemudian, band pembuka, Deltoids, muncul di
panggung dan mulai menyetem alat musik mereka. Emily mendadak
sadar ia hampir mati kehausan, dan dilihatnya seorang penjual
minuman di balkon sebelah bawah.
"Aku mau beli minum. Kau mau?" tanya Emily pada Jessie.
Jessie menggeleng. Emily berjalan melangkahi Jessie ke gang
yang kosong. Dicari-carinya penjual minuman soda tadi, dan
dilihatnya orang itu jauh di bawah, kira-kira dua mil dari tempatnya.
Ia mulai menuruni tangga gang yang curam dan sempit.
Ia baru berjalan dua-tiga langkah ketika Deltoids, dengan suara
keras memekakkan telinga, mulai beraksi. Lampu panggung
dimatikan dan penonton bersorak-sorak sambil bertepuk tangan.
Emily sedang berpikir-pikir apakah akan terus berjalan ke bawah atau
kembali ke tempat duduknya ketika seseorang mendorongnya"
dorongan keras yang disengaja"dan ia pun jatuh terguling-guling.
Bab 15 Kecelakaan "OH!" Ia mencoba menjaga keseimbangannya, tapi ia terjatuh ke
depan, dan tak ada apa pun yang bisa dijadikan pegangan.
Pundaknya membentur tangga beton, rasa sakit menjalar ke
sekujur tubuhnya seperti kejutan listrik. Ia menjerit lagi, dan tahu
bahwa ia akan berguling-guling terus sampai ke bawah kecuali ada
sesuatu" atau seseorang"menghentikannya.
"Ouw!" kepalanya membentur beton. Didengarnya jeritanjeritan kaget. Tangan-tangan terulur padanya dari tempat-tempat
duduk di kiri-kanan gang. Tapi mereka lerlambat untuk
menangkapnya atau memperlambat jatuhnya.
"Tidak!" Ketika ia melihat ke atas sementara tubuhnya terguling-guling,
dilihatnya Jessie berdiri di puncak gang yang kosong, menatapnya
dengan kedua tangan bertolak pinggang, seakan puas melihat suatu
hasil kerja yang baik. "Tidak! Tidak! Tidak!"
Lututnya terantuk-antuk, terguling lagi" dan akhirnya
seseorang menangkapnya dan menghentikan jatuhnya.
"Kau tidak apa-apa?" seseorang berteriak mengatasi suara
musik yang keras. "Ya. Barangkali." Ia masih bisa menjawab.
Siapa pun orang itu, ia sudah cepat kembali ke kursinya.
Seluruh tubuh Emily terasa sakit.
Ia mencoba berdiri, tapi terpuruk lagi, berlutut di lantai gang
yang keras dan dingin. Dari bawah, dari pentas jauh di bawah, suara
jrang-jreng dan ngik-ngok band seakan memantul-mantul di
kepalanya dan membuatnya merasa lebih pusing lagi.
Dipejamkannya matanya. Jatuhnya mungkin hanya berlangsung dua atau tiga detik.
Ketika ia membuka matanya lagi, Jessie sedang berlari
menuruni tangga, Nancy menyusul di belakangnya, terlihat sangat
ketakutan. "Apa yang terjadi?" seru Nancy. "Aku sedang bicara dengan
Carla. Lalu aku menengok dan kulihat kau jatuh terguling-guling.
Bagaimana kau bisa jatuh seperti itu?"
"Aku bukan jatuh. Ada orang yang mendorongku," kata Emily,
menatap Jessie. Jessie membungkuk dan membantu Emily berdiri. "Pasti
kecelakaan," kata Jessie. "Tak ada orang yang sengaja berbuat seperti
itu." Ia menatap mata Emily dengan pandangan tak bersalah. "Bisabisa kau mati tadi," katanya.
Bab 16 Jessie dan Josh CUACA akhirnya menjadi dingin, dingin basah yang melekat
pada pakaianmu dan membuat telingamu serasa terbakar. Angin
meniup pepohonan, membuat batangnya melengkung, dan
mengguncang sisa-sisa daun yang berwarna cokelat. Bulan purnama
bersembunyi di balik tirai awan tebal. Kelihatannya akan turun salju.
Di sudut jalan Emily berbelok ke Fear Street, melangkah cepat,
mengangkat ujung lengan mantelnya untuk melihat jam. Sepuluh
lewat lima belas. Uap putih napasnya membuat kaca jam tangannya
berkabut. Ditariknya tutup kepalanya yang terbuat dari wol biru dalamdalam ke bawah, dan ia mempercepat langkahnya. Angin
menerbangkan sekumpulan daun cokelat ke sekitar tubuhnya, dan
sesaat ia merasa seakan-akan ikut terbang bersama daun-daun itu,
terbawa angin menelusuri jalan yang sangat dikenalnya ini, yang
baginya masih terasa menakutkan walaupun ia mengenal setiap
rumah, setiap tanah kosong, dan bahkan setiap pohon di situ.
Fear Street. Beberapa temannya suka menggodanya karena tinggal di jalan
ini, jalan yang terkenal memiliki banyak legenda hitam di kota
Shadyside ini. Emily sudah tinggal di Fear Street hampir seluruh
hidupnya, sejak ia berumur tujuh atau delapan tahun, dan belum
pernah menyaksikan kejadian seram yang sering diceritakan temantemannya.
Memang, kadang-kadang di larut malam ia mendengar suarasuara aneh seperti rintihan dan lolongan dari hutan. Tapi pekuburan
Fear Street tidak pernah membuatnya merasa seram ketakutan. Dan ia
tidak pernah betul-betul percaya pada semua kisah mengenai
pembunuhan misterius dan orang hilang di Fear Street, kisah-kisah
yang kadang-kadang sampai masuk ke koran Shadyside.
Walaupun begitu, ia mempercepat langkahnya begitu masuk ke
Fear Street, berlari-lari kecil mengikuti lengkungan jalan menuju ke
rumahnya, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat daripada biasa,
matanya terbuka lebar, menatap tajam kalau-kalau ada sesuatu yang
terlihat bergerak. Ia tadi belajar di rumah Kathy, hanya beberapa blok jauhnya, di
Hawthorne Drive, dan lupa waktu. Sebetulnya ia memang sengaja
melupakan waktu. Karena enak rasanya di rumah Kathy, jauh dari
rumahnya sendiri, jauh dari... Jessie.
Kasihan sekali, pikir Emily, aku merasa tidak nyaman di rumah
sendiri.ebukulawas.blogspot.com
Aku tidak tahan tinggal di rumah sendiri.
Angin berubah arah. Daun-daun cokelat itu beterbangan lagi ke
arahnya. Rumahnya sudah terlihat, tampak gelap dengan latar
belakang langit merah tua. "Kenapa sih tidak ada yang menyalakan
lampu teras?" tanyanya keras-keras pada angin lalu.
Apa orang-orang sudah tidak peduli lagi padaku" pikirnya.
Dan langkahnya terhenti. Sebuah mobil berwarna biru parkir di dekat jalan buntu sebelum
rumahnya. Mobil Toyota Josh.
Aneh, pikir Emily, meneruskan lari kecilnya. Kenapa ia parkir
jauh dari rumah" Biasanya ia masuk ke halaman.
Apa yang dilakukannya di sana"
Rasa herannya berubah menjadi rasa senang. Kejutan
menyenangkan, pikirnya. Josh datang. Biasanya Josh tidak pernah
datang spontan seperti itu. Kalau ia tiba-tiba datang, itu tanda-tanda
baik. Walaupun udara tetap sedingin tadi sehingga hidung dan
pipinya hampir mati rasa, Emily merasa hangat. Aku memang
beruntung, pikirnya, Josh kelihatannya betul-betul memperhatikanku.
Ia berlari-lari melewati mulut jalan buntu, ingin cepat sampai ke
rumah. Langit tiba-tiba kehilangan warna, berubah dari merah tua
langsung menjadi hitam. Gelap sekali, ia hampir tidak bisa melihat
mobil itu, walaupun jaraknya hanya beberapa meter.
Tapi sesuatu tertangkap oleh matanya. Gerakan di dalam mobil.
Kilatan warna di balik jendela berkabut.
Emily berhenti. Ada orang di dalam mobil itu.
"Josh?" Suaranya pelan. Ia masih terengah-engah setelah berlari-lari.
Ia melangkah mendekati mobil itu.
Kenapa Josh duduk sendirian di sini" Kenapa tidak menunggu
di rumah yang lebih hangat"
"Oh." Jendela berkabut, tapi Emily bisa melihat Josh tidak sendirian.
Ia menatap dari pinggir jalan, begitu dekat dengan mobil itu, tapi
serasa jutaan mil jauhnya, seakan-akan melihat melalui teleskop,
Emily melihat ada seseorang di tempat duduk depan bersama Josh.
Sulit untuk melihatnya dengan jelas. Tapi apa yang dilihatnya sudah
cukup. Itu Jessie! Tangan Josh merangkul, dan mereka berciuman, lama sekali.
"Oh." Emily berdiri terpaku menatap jendela berkabut.
Aku tidak berkhayal, kan" Itu memang Jessie, di dalam mobil
dengan Josh"benar"
Ya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya menjadi berat. Begitu berat,
sehingga rasanya ingin menjatuhkan diri. Begitu berat sehingga ia
ingin tenggelam menembus aspal jalanan, tenggelam terus, terus,
sampai ke pusat bumi, lenyap selamanya.
Jessie dan Josh" Ia ingin menjerit. Ia ingin menggedor-gedor kaca jendela mobil. Merenggut
membuka pintu. Menarik mereka keluar ke udara dingin.
Tapi seluruh tubuhnya terasa berat, ia tak mampu bergerak.
Entah bagaimana, akhirnya ia berlari.
Sebelum ia menyadarinya, ia telah berlari menjauhi mobil itu,
menjauhi rumahnya, berlari melawan angin, ke tengah dedaunan yang
beterbangan yang seakan ingin mendorongnya kembali, kembali ke
adegan yang tak ingin dilihatnya.
Jessie dan Josh" Keputusasaannya karena melihat mereka berangkulan dan
berciuman berganti dengan rasa marah tak terhingga.
Jessie telah merusak seluruh hidupnya!
Jessie membunuh anjingnya, mencoba membunuh dirinya"dan
sekarang merebut Josh! "Kenapa dia melakukan semua ini?" tanya Emily pada dirinya
sendiri. "Kenapa dia begitu membenciku?"
Ia terus berlari melawan angin, wajahnya membeku, matanya
pedas. Kepalanya membungkuk, lari tanpa melihat arah, semua gelap
dan kabur, satu-satunya suara hanya suara angin dan gemeresik daundaun kering yang beterbangan ditiup angin.
Aku akan kembali ke sana, pikirnya, jantungnya berdebar
kencang. Aku akan menghadapinya. Tak akan kubiarkan ia menggusurku
dari rumahku sendiri, dari hidupku sendiri.
Itukah yang diinginkan Jessie" Menginginkan kehidupan
Emily" Tapi ia tak akan mendapatkannya dengan begitu mudah tanpa
perlawanan, pikir Emily. Rasa marah menguasai dirinya, memaksanya
berbalik. Aku sudah bosan menjadi korban.
Aku siap menghadapinya sekarang. Aku menginginkan kembali
kehidupanku. Aku tak akan membiarkan Jessie mencuri seluruh
milikku.

Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia berjalan cepat, napasnya membentuk kabut putih, mengikuti
lengkungan jalan ke arah rumahnya. Dan dilihatnya mobil itu sudah
tidak ada. Rasa lega dan kecewa bercampur aduk. Emily lari masuk ke
halaman rumah, melepas sarung tangannya, meraih ke dalam tasnya
dengan tangan yang hampir beku kedinginan sampai ia menemukan
kunci rumahnya, lalu masuk ke dalam.
Nancy sedang berada di ruang depan. Terkejut oleh Emily yang
menghambur masuk, ia hampir menjatuhkan gelas berisi diet soda
yang sedang dipegangnya. "Oh" kau," katanya, cepat mengatasi rasa
terkejutnya. "Tutup pintunya. Udara dingin bisa masuk. Lihat
dirimu"kau hampir beku!" Nancy mengoceh gugup. "Kenapa kau..."
"Mana Josh dan Jessie?" tanya Emily dengan nada menuntut,
napasnya tersengal-sengal.
"Apa?" "Josh dan Jessie"di mana mereka?" Emily bersandar ke
tangga, berusaha mengembalikan napasnya.
"Aku tidak tahu. Aku tidak melihat mereka," kata Nancy, agak
bingung. "Kenapa sih?"
"Jessie di atas?" tanya Emily, mengabaikan pertanyaan Nancy.
"Tidak. Rasanya dia belum pulang. Katanya ia pergi ke rumah
Krysta. Belum pulang."
"Ke rumah Krysta?"
Jessie memang pembohong besar.
Ia bilang ia pergi ke rumah Krysta, padahal pergi bersama Josh.
Berciuman di mobil. Berduaan di dalam mobil bersama pacar Emily.
"Ada apa sih" Mukamu merah," kata Nancy. "Kenapa kau jadi
aneh begini?" Tanpa menjawab, Emily berbalik dan berlari menaiki tangga. Ia
tidak bisa menjelaskannya pada Nancy sekarang. Ia tahu, kalau ia
mencoba bicara, air matanya akan mengucur deras.
Ia ingin menunggu, menunggu sampai Jessie pulang.
Ruang atas gelap. Matanya berusaha keras membiasakan diri
dengan kegelapan itu. Untuk beberapa detik semuanya terlihat merah.
Ia mengedipkan matanya, menunggu sampai matanya terbiasa dengan
kegelapan, lalu berhenti di depan pintu kamarnya.
Pintu kamar itu tertutup. Entah mengapa. Ditempelkannya
telinganya ke pintu. Terdengar suara gerakan-gerakan orang di dalam.
Ada apa ini" pikirnya.
Apakah Josh dan Jessie ada di dalam kamarku"
Ia menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu.
Bab 17 Oh, Saudaraku! "APA yang kaulakukan di sini?" tanya Emily, suaranya gemetar
dan melengking tinggi. Rich, yang tengah berbaring di tempat tidur Emily menengadah,
terkejut. "Oh. Hai." Wajahnya berubah merah padam. Ditutupnya
buku yang sedang dibacanya, lalu bangkit.
Emily melangkah masuk ke dalam kamar. Semua lampu
menyala. Rich berbaring di atas tempat tidurnya"
"Apa yang kaulakukan di sini?" Emily mengulangi
pertanyaannya, menurunkan suaranya, mulai tenang.
"Aku"aku minta maaf," kata Rich terbata-bata. Ia berdiri
dengan canggung, menjatuhkan bukunya ke karpet, lalu membungkuk
mengambilnya. "Aku cuma...membaca."
"Tapi kenapa?" Emily menuntut penjelasan, melangkah lebih
dekat. Dibukanya mantelnya dan dilemparkannya ke kursi.
"Ada... uh... suara-suara, di kamarku. Aku tidak tahu. Aku
takut." Rich terlihat sangat ketakutan sekarang. Apakah ia takut
padaku" pikir Emily. Atau ada sebab-sebab lain yang membuatnya
ketakutan" "Jadi, aku ke sini," katanya, bergeser mendekat ke pintu. "Di
sini tenang. Aku cuma ingin membaca."
Emily tidak tahu apakah ia harus percaya atau tidak pada katakata Rich. Sikap Rich tidak menunjukkan orang yang mengatakan hal
sebenarnya. Tapi Rich memang selalu terlihat seperti orang yang
bersalah. Selalu terlihat seperti orang yang baru saja tertangkap basah
melakukan kesalahan. Anak paling gugup yang pernah ditemui Emily. Rich sudah
tinggal bersamanya selama beberapa minggu, dan Emily menyadari
bahwa tidak banyak yang diketahuinya tentang Rich.
Kecuali bahwa ia pendiam dan suka membaca buku-buku horor.
Dan bahwa ia selalu mendapat masalah di sekolah, dan sekali
tertangkap mencuri di toko.
Selain itu, Rich orang asing baginya.
Dan sekarang ia berada di sini, berdiri bersandar ke dinding,
wajahnya masih merah padam, seperti orang bersalah, sangat...
ketakutan. Emily merasa kasihan padanya. "Kau masih ingin membaca di
sini?" tanyanya. "Tidak. Tidak, terima kasih." Rich tersenyum pada Emily.
Pertama kalinya Emily melihatnya tersenyum. "Kau baik sekali." Rich
terlihat benar-benar tersentuh oleh tawaran Emily.
"Yaa..." Sikap canggung Rich mulai menulari Emily.
"Aku kembali saja ke kamarku. Suara-suara itu mungkin sudah
tidak ada lagi. Seharusnya aku tidak boleh takut. Itu cuma"itu
cuma... Oh, entahlah." Ia mengangkat bahu dan lenyap di balik pintu.
Anak aneh, pikir Emily. Begitu Rich pergi, kemarahan Emily kembali timbul.
Ia menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Terbayang lagi olehnya
mobil Toyota yang jendelanya berkabut itu. Terbayang lagi olehnya
Josh dan Jessie berangkulan di kursi depan.
Di mana mereka sekarang" Ke mana mereka pergi"
Malam itu, ketika Jessie menyelinap keluar rumah"apakah ia
menyelinap keluar untuk menemui Josh"
Emily merasa mual dan pusing.
Aku tidak bisa lagi tinggal sekamar dengan Jessie, pikirnya. Ia
melompat berdiri. Aku tidak bisa lagi menghabiskan satu menit pun bersama
Jessie dalam satu kamar. Aku akan tidur di bawah, pikir Emily.
Jantungnya berdebar-debar. Kepalanya berdenyut-denyut. Ia
tahu ia tak bisa berpikir jernih. Tapi, ia tahu ia harus pergi keluar dari
kamar ini. Tanpa sadar, ia berjalan mondar-mandir, tangannya terlipat erat
di dadanya. Jessie dan Josh. Jessie dan Josh. Jessie dan Josh. "Hei Em..." Nancy menjulurkan kepalanya dari pintu. "Semua
baik-baik saja" Kenapa kau mondar-mandir seperti itu?"
"Aku sedang tidak mau bicara sekarang," kata Emily, tanpa
bermaksud bicara kasar. "Oke, maaaaaaaaaf!" seru Nancy dengan nada marah yang
sengaja dilebih-lebihkan.
"Aku"aku sedang ingin sendirian," kata Emily.
"Selamat malam, Em." Nancy lenyap secepat kemunculannya.
Emily kembali berjalan mondar-mandir sambil berpikir tentang
Jessie dan Josh. Lalu ia pergi ke lemari, mencari baju tidurnya yang
terbuat dari flanel. Di bawah dingin. Baju tidur flanel akan
membantunya mengurangi rasa dingin.
Akan kubawa bantal dan selimutku, pikirnya. Aku akan nyaman
di bawah. Tapi ia tak bisa menemukan baju tidur flanelnya.
Mungkin di salah satu laci Jessie, pikirnya.
Dicari-carinya baju itu di laci Jessie yang paling atas. Tidak
ada. Laci Jessie nomor dua penuh sesak dengan pakaian. Emily
memilah dengan cepat dan menemukan setumpuk syal warna-warni,
semua dilipat rapi. Di bawah tumpukan syal terdapat sebilah pisau.
Sebilah pisau dapur besar.
Mata pisau itu tertutup darah kering. Emily langsung tahu. Itu
pisau yang dipakai membunuh Tiger.
Bab 18 Dalam Kondisi Gawat "BERKEMAH" Aku tidak bisa pergi berkemah!" seru Nancy,
menjatuhkan sendok ke sup tomatnya. Percikan merah mengotori alas
piringnya. Semua orang di meja makan bereaksi terhadap saran Mr.
Wallner untuk berkemah. "Aku benar-benar sibuk akhir minggu ini," kata Jessie.
"PR-ku banyak sekali, aku tidak bisa pergi ke mana-mana!"
seru Nancy. Mr. Wallner tersenyum sabar, seakan sudah menduga reaksireaksi negatif itu. "Cuma akhir pekan saja." Ia menoleh ke istrinya
yang membalasnya dengan senyuman.
"Pasti menyenangkan," kata ibu Emily.
"Tidak, pasti tidak," gumam Rich sedih. "Aku benci berkemah."
"Dari mana kau tahu"!" bentak Mr. Wallner, kehilangan
kesabaran. "Kau belum pernah berkemah. Tempatnya bagus.
Setidaknya waktu aku masih kecil."
"Kita akan pergi ke South Carolina hanya untuk berkemah akhir
pekan?" tanya Emily, masih belum bisa percaya.
"Terlalu dingin berkemah di sini," kata Mr. Wallner, menghirup
supnya. "Hugh dapat bonus istimewa minggu ini," kata Mrs. Wallner
dengan bangga, seakan-akan suaminya baru saja mendapat medali
penghargaan dari pemerintah.
"Tapi, kenapa kita harus berkemah"!" lengking Nancy.
"Karena kita semua hampir gila," kata Mr. Wallner, menghapus
dagunya dengan selembar serbet kertas. "Semua mau saling mencekik
leher yang lain. Kita semua sedang terserang penyakit bosan, padahal
musim dingin pun belum mulai."
"Tapi, kenapa berkemah?" tanya Rich, mengernyitkan wajah.
"Karena akan memberi kita kesempatan untuk bekerja sama, di
alam terbuka, sebagai satu keluarga," kata Mr. Wallner.
"Kita akan terbang jauh-jauh ke South Carolina hanya untuk
itu?" tanya Nancy, caranya menyebut South Carolina seakan-akan
tempat itu berada di bulan.
"Itu menunjukkan betapa inginnya Hugh melihat kita semua
bersatu sebagai satu keluarga," kata ibu Emily, meniup sup di
sendoknya lalu menghirupnya perlahan-lahan.
Bukan main, betapa akan kecewanya ia nanti, pikir Emily. Ia
dan Nancy hanya tinggal menunggu waktu untuk membuka kedok
Jessie di depan seluruh keluarga. Setelah menunjukkan pisau berbekas
darah itu pada Nancy, Emily menyimpannya baik-baik di tempat
tersembunyi. Sekarang ia dan Nancy sedang mengumpulkan semua
bukti-bukti untuk menunjang cerita mereka, sehingga tak seorang pun
akan meragukan kebenarannya.
Tak mungkin mereka bisa bersatu seperti satu keluarga, pikir
Emily. Kecuali kalau adik tiriku yang sinting itu pergi dari sini.
Perdebatan mengenai berkemah berlanjut terus, melewati sup,
melewati tuna casserole, melewati salad, dan masih belum selesai
ketika mereka menyantap banana-cream pie. Saat itu Jessie sudah
berbalik 180 derajat, ia sekarang setuju dengan rencana pergi
berkemah. "Pasti akan sangat menyenangkan. Kita akan seperti
keluarga-keluarga pionir," katanya penuh antusias, sambil menatap
Emily di seberang meja. Oh-oh, pikir Emily. Apa yang sedang dipikirkan oleh otak
liciknya itu" Kenapa ia berbalik setuju pergi berkemah" Dan kenapa ia
memandangku seperti itu, seperti ikan hiu lapar yang hendak
menerkam korbannya" Senyum Jessie membuat Emily merinding.
"Hutan di sana sangat indah," kata Mr. Wallner, suaranya bagai
orang sedang bermimpi indah, belum pernah Emily mendengarnya
seperti itu. "Kalian akan melihat pohon-pohon dan bunga-bunga liar
yang tidak pernah kalian lihat di daerah utara ini."
"Yei." Rich meringis sinis. Ia masih belum menyentuh makanan
pencuci mulutnya. Emily terpikir akan almarhum ayahnya. Ayahnya dulu suka
sekali berkemah. Emily ingat, betapa menyenangkan perjalananperjalanan berkemah dengan ayahnya dulu, gurau dan canda yang
seakan tak habis-habisnya, tawa yang tak henti-hentinya, keberanian
mereka mencoba hal-hal baru, senangnya bangun sampai larut malam
di bawah cahaya bintang, mengobrol dan menyanyi.
Betapa hangatnya dan betapa menyenangkannya seluruh
keluarganya waktu itu. Tanpa sadar air mata Emily meleleh. Cepat-cepat dihapusnya
dengan serbet, dan dipaksanya dirinya untuk memikirkan hal lain.
Suara-suara di sekeliling meja makan datang dan pergi, masuk
dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanannya. "Tapi, aku tidak bisa
pergi," kata Nancy. "Oh, ayolah, Nancy," desak Jessie. "Jangan begitu. Pasti akan
sangat menyenangkan!"
Nancy memutar-mutar bola matanya dengan sebal.
Akhirnya Mr. Wallner berdiri, menandakan waktu makan sudah
selesai, begitu juga dengan perdebatan. "Aku sudah pesan tempat di
pesawat," katanya. "Kita semua pergi. Dan kita semua akan
menikmati perjalanan ini. Itu perintah." Ia tertawa sambil berjalan
mengambil korannya, geli akan leluconnya sendiri.
Pekerjaan bersih-bersih dan cuci-cuci setelah makan malam
berlangsung cepat dan hening. Jessie mencoba bicara mengenai
perjalanan berkemah, tapi Nancy dan Emily tidak menanggapinya.
Akhirnya Jessie menyerah dan pergi meninggalkan ruangan.
"Angka raporku akan jelek karena ini!" Nancy marah-marah.
"Setidak-tidaknya kita akan menjadi satu keluarga sejati," kata
Emily sinis. Nancy menatapnya, mendadak prihatin. "Pahit, pahit," katanya
seakan mengutarakan apa yang sedang dipikirnya.
"Apa?" tanya Emily.
"Tidak. Kau oke?"
"Nancy, bagaimana aku bisa oke" Aku sekamar dengan orang
sinting!" "Tidak akan lama lagi," kata Nancy, menatap mata Emily.
Ibu mereka kembali ke dapur, menyudahi diskusi mereka.
********** "Kenapa harus aku yang membawa tenda?" protes Rich, sengaja
berjalan terbungkuk-bungkuk, seakan-akan ia akan jatuh setiap saat
karena terimpit beban. "Karena itu yang paling enteng," kata Mr. Wallner kehilangan
kesabaran, menatap marah pada Rich. "Tegakkan tubuhmu. Jangan
merengek seperti bayi. Ini akhir pekan tanpa rengekan"ingat?"
"Ada yang bawa obat antinyamuk?" tanya Nancy, membetulkan
tas di punggungnya. "Tidak ada nyamuk di musim ini," kata Mr. Wallner, memimpin
barisan melewati pepohonan. Semula matahari melayang tinggi di
puncak kepala mereka, di langit yang biru dan cerah. Sekarang sudah
rendah di balik pepohonan. Bayangan-bayangan bermain-main di
jalan setapak yang mereka susuri. Rumput, masih disiram cahaya


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matahari, berkilauan bagaikan permata. Senja datang bersamaan
dengan bayang-bayang. "Itu pohon-pohon beech," Mr. Wallner menunjuk. "Dan yang
itu poplar." "Sangat menarik," kata Nancy, nadanya terus-menerus sinis.
Mr. Wallner tidak menanggapinya dan tetap menunjuk,
memberitahu nama jenis-jenis pohon dan semak. Kita semua tampak
seperti pengembara, pikir Emily, dengan pakaian dan sepatu bot
seperti ini. Dipindahkannya tas punggungnya dari satu pundak ke
pundak lain, dan tiba-tiba teringat pada pisau berbekas darah, yang
dimasukkannya ke dalam tas di saat-saat terakhir.
Akankah ia dan Nancy membuka kedok Jessie ketika mereka
berkemah" Bisa saja. Kalau Jessie mencoba melakukan sesuatu. Kalau Jessie
mengancam keselamatannya.
"Hei, lihat...!" seru Rich sambil menunjuk. Untuk pertama
kalinya menunjukkan tanda bahwa ia masih hidup, sejak mereka mulai
berjalan masuk ke hutan. Seekor kelinci diikuti dua bayi kelinci
berlompat-lompatan di jalan setapak. Tapi bukan itu yang ditunjuk
Rich. Ia melihat pekuburan tua tidak jauh dari jalan setapak. Batubatu nisannya yang kecil berujung bundar sudah miring ke sana ke
mari. Sebuah jalan tanah menuju ke pekuburan itu dari arah lain.
Mereka berjalan terus melewati pekuburan tua, lalu sampai ke
pelataran rumput terbuka. "Tempat yang sempurna untuk mendirikan
kemah," kata Mr. Wallner, menyeringai dan menggaruk-garuk
kepalanya. "Rasanya aku ingat tempat ini. Mungkin aku pernah
berkemah di sini waktu aku masih kecil dulu."
"Hebat, bukan main," bisik Nancy mengejek, ke telinga Emily,
lalu ia melepas tas punggungnya dan menjatuhkannya ke tanah.
Emily agak heran melihat Nancy tidak menyembunyikan sikap
menentangnya. Biasanya Nancy selalu menyembunyikan perasaannya
di depan Hugh dan ibu mereka.
Dulu Nancy ahli berkemah, Emily ingat. Yang paling antusias
di antara mereka... ketika Daddy masih hidup.
"Hei, kenapa wajah kalian lesu semua?" tanya Mr. Wallner.
"Ayo, gang. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan agar haremku
riang semua?" Haremnya" Aku bisa muntah, pikir Emily.
"Aku riang kok," kata Jessie, membantu menurunkan tenda dari
punggung Rich. "Aku suka ini, Dad. Betul-betul hebat."
"Aku juga," kata Mrs. Wallner, walaupun ia terlihat lelah, dan
senang bisa menurunkan beban dari pundaknya.
Burung-burung di sekitar mereka mulai berkicau seakan-akan
mengumumkan tibanya senja hari. Matahari tenggelam dengan cepat
di balik pepohonan. Bayang-bayang membuat udara cepat menjadi
dingin. Rumput berbau harum dan segar.
"Kita harus cepat-cepat mencari kayu bakar," kata Mr. Wallner,
matanya mengikuti seekor burung elang bersayap lebar yang
melayang di atas mereka. "Begini saja"kalian gadis-gadis
mengumpulkan kayu. Rich, Mom, dan aku akan mendirikan tenda."
Nancy mengerang. Jessie berseru kegirangan. Emily diam-diam
mengikuti jejak Nancy. Sudah gelap di bawah pepohonan, dan jauh lebih sejuk
dibanding di tempat terbuka tadi. "Dengan apa akan kita bawa
kayunya nanti?" tanya Nancy, menendang semak-semak.
"Kita tumpuk saja dulu di tempat ini," kata Jessie, "lalu kita
bawa sedikit-sedikit ke kemah."
"Rasanya kita perlu banyak sekali kayu," kata Emily,
melangkah ke tempat berlumpur, tergelincir, tapi berhasil menjaga
keseimbangannya. "Malamnya pasti dingin sekali," kata Jessie. "Sekarang saja
sudah dingin." Mereka mulai mengumpulkan ranting-ranting, menaruhnya di
satu tempat menjadi tumpukan besar. Kebanyakan kayu itu basah,
terlalu basah untuk bisa terbakar. Mereka terpaksa masuk lebih dalam
ke tengah hutan untuk mendapatkan kayu-kayu yang lebih kering.
Emily berjalan melangkahi semak-semak, membungkuk
memeriksa cabang pohon yang jatuh ke tanah. Mungkin bisa kupatahpatahkan menjadi ranting-ranting kecil, pikirnya, membolak-balik
cabang pohon itu. Dicobanya mematahkannya, tapi terlalu besar.
Dipatahkannya cabang-cabang yang lebih kecil, tapi terlalu basah.
Ketika ia menegakkan tubuh lagi, Nancy sudah tak ada di
hadapannya. "Hei"Nancy?"
Tak ada jawaban. "Seharusnya kita membawa lampu senter tadi," kata Emily pada
Jessie, yang berdiri beberapa langkah darinya, memeluk rantingranting kelabu.
"Keadaan di sini cepat sekali jadi gelap," kata Jessie berbalik
dan mencari-cari lebih banyak kayu lagi di tanah. Mereka berjalan
bersama di jalan setapak.
"Di mana Nancy?" tanya Emily, tiba-tiba merasa agak kuatir.
Jessie tidak segera menjawab, terus melangkah. "Tidak tahu,"
akhirnya ia menjawab. Dijatuhkannya ranting-ranting kayu yang
dibawanya di pinggir jalan setapak. "Kita buat satu tumpukan lagi di
sini." Emily menjatuhkan kayu-kayunya dan menengok ke sana ke
mari mencari Nancy. Ia tidak terlihat di mana-mana. Mendadak ia
sadar bahwa ia telah kehilangan arah.
Arah mana yang menuju ke kemah" Mereka berjalan ke arah itu
atau malah menjauhi" Emily tidak tahu.
Sesuatu menggigit lengannya. Seekor serangga. Emily
terlompat, terkejut, dan menepuknya. Tiba-tiba ia merasa gelisah.
Jessie ada di sana, beberapa meter darinya, terus mengumpulkan
ranting-ranting. Aku di sini, di tengah hutan, berdua saja dengan dia, pikir
Emily. Ia mencari-cari Nancy dengan matanya. Tapi Nancy tak
terlihat. Jessie pernah mencoba membunuhku, pertama dengan api, lalu
dengan mendorongku dari balkon auditorium. Dan sekarang kami di
sini berdua saja, jauh dari kemah, di tengah hutan gelap. Hanya
berdua. Ia menengok dan melihat Jessie sedang memandangnya dengan
sorot mata aneh. Aku harus cepat pergi menjauhinya, pikir Emily, tiba-tiba
merasa takut. Aku harus menyelinap pergi.
Jessie akan membunuhku. Seperti ia membunuh sahabatnya,
Jolie. Lalu ia akan menceritakan kebohongan. Ia akan kembali ke
kemah dengan mata merah karena menangis. Dan semua orang akan
percaya padanya karena ia juara bohong nomor satu.
Dan ia akan selamat dari tuduhan pembunuhan. Untuk kedua
kalinya. Jessie memalingkan wajah. Emily merasa Jessie bisa membaca
apa yang dipikirkannya. Ia tahu bahwa aku tahu apa yang sedang direncanakannya, pikir
Emily, berusaha berpikir jernih mengatasi rasa takutnya.
Lihat wajahnya, yang menunjukkan keteguhan niatnya. Ia
sedang merencanakan bagaimana caranya. Ia sedang merencanakan
untuk membunuhku. Jessie bergerak lagi, melangkah keluar dari jalan setapak,
mencari kayu. Sambil tetap mengawasi Jessie, Emily menyelinap ke balik
sebatang pohon besar. Kakinya tersandung-sandung akar pohon itu.
Jessie membungkuk mengambil ranting-ranting kayu, dan Emily cepat
menyelinap. Emily mulai berjalan ke arah berlawanan, sebentar-sebentar
menengok ke belakang untuk meyakinkan diri bahwa Jessie tidak
mengikutinya. Tapi, sudah terlalu gelap sehingga ia tidak tahu pasti. Ia
berhenti. Didengarnya langkah-langkah kaki menginjak rantingranting dan daun-daun kering.
Jessie mengikutinya. Jessie telah membaca pikirannya. Jessie tahu ia mencoba
meloloskan diri. Tercekik oleh rasa takut, Emily mencoba lari. Tapi semaksemak terlalu rapat, dan cuaca gelap sekali sehingga ia tak bisa
melihat batu-batu dan batang-batang pohon yang menghalangi
jalannya. Ia tersandung satu kali, lalu melambatkan langkahnya.
Nancy, di mana kau" pikirnya.
Kenapa kautinggalkan aku di tengah hutan dengan pembunuh
gila ini" Ia berjalan cepat, menendang semak-semak. Tiba-tiba ia sadar
ia berjalan ke arah pekuburan tua. Batu-batu nisan yang miring ke
sana ke mari tampak lebih besar ketika dilihat dari jarak lebih dekat.
Ia berjalan di sela-sela kuburan, berpikir mungkin ia bisa
bersembunyi dari Jessie di sini. Di beberapa tempat, tanah terasa
lembek. Sepatu botnya tergelincir di lumpur, dan sesaat ia merasa
seakan-akan tanah yang diinjaknya runtuh dan ia meluncur jatuh, jatuh
ke dalam salah satu kuburan tua itu.
Bau busuk tercium dari bawah, bau busuk yang sangat kuat.
Emily tersentak dan mencoba menahan napas. Jantungnya berdegup
kencang, ia berpegangan ke batu nisan dan menoleh ke belakang
untuk melihat apakah Jessie masih tetap mengikutinya. Batu nisan
yang disandarinya tiba-tiba roboh. Emily menjerit dan hampir ikut
jatuh. "Oh!" Ia melangkah mundur. "Aku harus keluar dari sini."
Ia berbalik, mencoba memutuskan ke arah mana ia harus pergi,
dan hampir jatuh ke lubang kuburan yang terbuka. Dua buah sekop
terlihat di samping lubang kuburan, membentuk huruf X.
Ke arah mana, arah mana, arah mana"
Bulan mulai naik di langit, dikitari awan kelabu bagaikan kapas.
Cahaya yang samar-samar membuat batu-batu nisan yang berserakan
seakan hidup, bayangan-bayangan mereka bergerak dan bergeser.
Emily memicingkan mata, melihat ke depan, mencari di mana
jalan setapak, ketika seseorang mendorongnya dengan keras dari
belakang. Dengan jeritan nyaring, Emily jatuh ke depan, ke dalam lubang
kubur. Bab 19 "Jessie"Keluarkan Aku!"
TANAH di dasar lubang terasa lembek dan basah. Emily jatuh
berlutut dengan keras. Rasa sakit menjalar ke sekujur tubuhnya.
Menyusul kedua tangannya, menjatuhi lumpur dingin itu.
Ia cepat-cepat berdiri, mengusapkan kedua tangannya ke celana
jeans-nya. "Jessie"keluarkan aku!" Anehnya rasa takutnya hilang,
berganti menjadi amarah. "Kau dengar aku" Keluarkan aku!"
Didengarnya Jessie berjalan mengelilingi lubang kubur. Ia
menengadah, mencoba melihat Jessie. Awan tipis tampak seperti tirai
yang menutupi bulan, membuat bulan seperti tanpa bentuk, seperti
bulan dalam mimpi buruk. Jadi benar. Kecurigaannya pada Jessie ternyata benar. Jessie
bertindak sekarang, tindakan terakhir.
Aku tak akan membiarkan ini menjadi tindakan terakhirnya,
pikir Emily. "Jessie"keluarkan aku!"
Emily mengulurkan kedua tangannya, berdiri berjinjit, dan
meraih tepi atas lubang. Ia berusaha menarik dirinya ke atas, tapi
tanah terlalu lembek. Pinggiran lubang runtuh ke bawah.
Dengan sepatunya dikoreknya dinding kuburan, ditumpuknya
hingga membentuk gundukan. Sekarang ia bisa memegang tepi lubang
dengan lebih baik. Ia mengambil napas dalam dan melompat ke atas"
mencengkeram tepi lubang kuburan, berusaha sekuat tenaga menarik
dirinya ke atas. Ya, ya. Dengan kaki menjejak dinding kuburan, perlahan-lahan ia naik
semakin tinggi. Ia hampir berhasil keluar ketika tanah lembek pinggiran lubang
runtuh lagi, dan ia meluncur jatuh lagi ke dasar lubang.
Aku tak akan menyerah, pikirnya. Aku tak akan menyerah.
Tapi, bau busuk apa ini" Seperti daging busuk.
Emily melihat ke bawah. Bangkai seekor kelinci, kulitnya sudah
berlubang-lubang dimakan ulat, terbaring di kakinya. "Uggghh!"
Kelinci itu pasti terjatuh ke dalam lubang kuburan dan mati kelaparan.
Sekarang akulah kelincinya, pikir Emily.
Didengarnya suara-suara di atas, suara sepatu menggeser tanah.
"Jessie"kau dengar aku?"
Aku akan mencoba lagi. Dikumpulkannya lebih banyak tanah
untuk tempat berpijak di dasar lubang. Paling sedikit tingginya tiga
puluh senti sekarang. Emily naik, menggenggam tepi lubang, dan
mulai mengangkat tubuhnya.
Awas, Jessie. Sekali ini aku akan berhasil keluar.
Ia terlambat melihat sekop yang terayun ke arahnya. Ia tidak
menyadari apa yang terjadi bahkan ketika mata sekop dari besi itu
menghantam lengannya. Didengarnya suara berderak keras, dan ia kembali tergelincir
jatuh ke dasar kuburan. Rasa sakit menyengat seluruh tubuhnya,
seakan-akan ia baru saja disambar petir terutama lengannya yang
terkena hantaman sekop. Berdenyut-denyut, berdenyut-denyut.
Sambil berlutut di lumpur di dasar kuburan, ia memegangi
lengannya yang sakit dengan tangan satunya. Tapi rasa sakitnya luar
biasa. Cepat-cepat ia melepaskan pegangannya.
Ia mencoba mengangkat lengannya, tapi tidak bisa. Lengannya
tidak bisa digerakkan. Ia tahu lengannya patah. Jessie mengayunkan sekop dan mematahkan lenganku.
Sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ketakutan yang amat sangat menguasai dirinya, mengalahkan
kemarahannya. Jessie benar-benar merencanakan untuk membunuhku. Dan
meninggalkan aku di liang kubur ini.
Seluruh bagian kanan tubuhnya terasa sakit.
Aku terperangkap sekarang. Aku tidak bisa memanjat ke atas.
Aku tidak bisa meloloskan diri darinya.
Ia memandang ke bawah, ke bangkai kelinci.
"Tidak! Jessie"aku akan keluar!" ia menjerit sekuat tenaga,
menjerit begitu keras sehingga lengannya yang patah berdenyut lebih
sakit lagi. Sekop itu terayun lagi, nyaris menghantam kepalanya.
Emily melemparkan tubuh ke dinding liang kubur dan
memandang ke atas. Kembali sekop itu terayun. Nyaris menghantamnya lagi.
Dan di atas sana, di terangi cahaya bulan yang pucat, sebuah
wajah memandang ke bawah, ke arahnya.
Bukan wajah yang diperkirakan Emily.
Itu wajah Nancy. "Nancy!" Kakaknya menatap padanya, wajahnya menunjukkan niat yang
teguh, matanya liar dengan sinar kebencian.


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nancy"kaukah itu?"
Emily merasa bingung. Ketakutannya sekarang bercampur
dengan sakit hati, sedih, dan heran.
Dengan kedua belah tangannya, Nancy mengangkat sekop
tinggi-tinggi ke atas kepalanya.
"Nancy" Apa yang kaulakukan?"
Nancy berdiri membeku, kulitnya terlihat kelabu kehijauan di
bawah cahaya bulan. "Nancy"jangan!" Emily sangat takut, sampai tidak mengenali
suaranya sendiri. Akhirnya Nancy bicara. "Aku benci padamu, Emily!" serunya,
wajahnya dingin tanpa ekspresi.
"Tapi kenapa, Nancy?"
Nancy, masih memegang sekop tinggi-tinggi di atas kepala
Emily, terlihat bagaikan patung penjaga kuburan.
"Kenapa Nancy?"
"Kau membunuh Daddy!" lengking Nancy.
Ia mengayunkan sekop ke bawah dengan kedua belah
tangannya. Emily melemparkan diri, tiarap ke dasar lubang, sekop besi itu
menyerempet rambutnya dan menghantam tanah.
"Kau membunuh Daddy!" ulang Nancy, suaranya parau dengan
kebencian. "Kau membunuh Daddy! Kau membunuh Daddy! Kau
membunuh Daddy!" "Tapi, Nancy..."
"Seharusnya kau bisa melakukan sesuatu! Seharusnya kau bisa
menyelamatkannya! Tapi kau hanya menyelamatkan dirimu sendiri!"
"Nancy, tunggu dulu!"
Sekop terayun lagi ke bawah.
Emily menyingkir, jatuh dengan lengannya yang patah lebih
dulu, dan ia menjerit kesakitan.
"Nancy"tunggu!"
"Kau seharusnya bisa menyelamatkannya! Kau hidup dan dia
mati!" Nancy mengangkat sekopnya lagi.
"Kau ambil dua pria yang paling kusayangi!"
"Apa" Nancy, tunggu..."
"Daddy dan Josh! Kau ambil mereka, kau ambil keduaduanya!"
"Tapi, Nancy, kau dan Josh..."
"Ya, aku dan Josh yang ada di dalam mobil malam itu!" jerit
Nancy dengan nada pahit. Ia menurunkan sekopnya dan bersandar ke
sekop itu, menatap Emily dengan pandangan penuh kebencian yang
belum pernah dilihat Emily seumur hidupnya. "Aku mencoba
merebutnya lagi. Kulihat kau melihat kami"tapi aku tidak peduli!"
"Dan"dan kau yang membunuh Tiger?" tanya Emily, suaranya
bergetar ketika ia mulai menyadari betapa dalamnya kebencian
Nancy, kebencian yang telah mendorongnya melewati batas ambang
kewarasan. "Tentu saja aku, bodoh." Nancy menyeringai, seakan bangga
akan apa yang telah dilakukannya. "Kenapa harus kau yang memiliki
segalanya" Kenapa semua harus orang mencintaimu?"
"Tapi, Nancy, kau membuat seakan-akan Jessie yang..."
"Jessie adalah tersangka yang sempurna. Sejak awal aku sudah
merencanakannya. Semua ini sangat mudah. Ketika dia tidak sengaja
memutuskan kepala beruang mainanmu yang jelek itu, aku tahu sejak
saat itu kau akan selalu curiga padanya. Gampang sekali. Aku matikan
komputer, lalu kukatakan pada Jessie dia bisa memakainya. Aku yang
mencampur sampo..." "Dan membuat api di toilet sekolah" Dan mendorongku di
balkon?" Nancy tidak menjawab, tapi senyumnya semakin lebar.
Mendadak senyumnya lenyap, digantikan dengan wajah marah yang
mengerikan. "Kau tahu, Emily?"
"Apa?" "Itu saja tidak cukup."
"Apa?" "Itu masih belum cukup. Kau masih belum cukup membayar
dosa-dosamu." "Tidak, Nancy."
"Kau harus mati, Emily. Mati seperti Daddy."
"Tidak, Nancy. Bantu aku keluar. Aku bisa menolongmu. Kita
semua bisa menolongmu."
"Aku tidak perlu pertolongan," kata Nancy lambat-lambat, kata
demi kata. "Kau yang perlu pertolongan."
Ia menyekop tanah ke dalam lubang. "Kau perlu pertolongan,
Em. Aku akan menguburmu sekarang. Seperti caramu menguburku."
"Tidak, tunggu ..."
Tanah berhamburan menjatuhi kepala Emily. Emily melangkah
mundur sampai punggungnya bersandar ke dinding kuburan yang
dingin. Ia memandang ke atas tanpa bisa berbuat apa-apa.
Nancy, di bawah siraman sinar bulan yang kelabu kehijauan,
menyekop tanah dengan cepat, menimbun lubang.
"Akan kukubur kau, Emily! Kukubur kau, kukubur kau...."
Bab 20 Dua Meter di Bawah "NANCY"jangan!"
Tanah dingin dan lembap jatuh menimpa Emily. Dengan
tangannya yang sehat ia melindungi kepalanya sambil menunduk, agar
tanah tidak masuk ke matanya.
"Kukubur kau... kukubur kau... kukubur kau...." Nancy
mengulang-ulang kata-katanya sementara sekopnya tidak berhenti
menghujankan tanah ke dalam lubang kubur.
"Nancy"aku akan menolongmu! Sungguh!"
Sia-sia saja. Nancy terus mengulang-ulang kata-kata yang sama,
tidak mendengar kata-kata Emily.
Dan tiba-tiba hujan tanah berhenti.
Sunyi. Lalu terdengar suara-suara di atas. Teriakan. Suara orang
bergelut. Emily menurunkan lengannya dan dengan ragu-ragu
memandang ke atas. Dilihatnya Jessie, wajahnya ketakutan. Lalu Jessie hilang dari
bidang pandangnya, digantikan Nancy, rambutnya berantakan.
"Aduh!" "Lepaskan!" "Jatuhkan!" Jessie menjerit. "Jatuhkan! Jatuhkan!"
Emily sadar mereka berkelahi, berebut sekop.
"Lepaskan! Pergi dari sini!"
"Jatuhkan, Nancy! Jatuhkan!"
Mereka saling menarik. Lalu tiba-tiba Nancy melemparkan
sekop. Dengan jeritan seperti binatang luka, Nancy menerkam Jessie,
kedua tangannya terbuka seperti cakar harimau.
Emily sempat melihat wajah Jessie yang ketakutan ketika Jessie
melompat menghindar. Nancy mencoba menghentikan terkamannya,
tapi tidak berhasil. Ia melewati Jessie. Jessie meloncat dan mendorong
Nancy dengan keras dari belakang.
"Tidak!" Nancy menjerit ketika ia jatuh ke lubang kubur.
Emily mundur ketika kakaknya jatuh sambil menjerit kesakitan.
Ini kesempatanku untuk lolos, pikir Emily. Ia memegang tepi
lubang dan mencoba memanjat ke atas.
Tapi rasa sakit yang luar biasa menjalar dari lengannya ke atas
dan ke seluruh bagian sisi tubuhnya. Ia jatuh kembali. Sepasang
tangan kuat menarik pinggangnya.
Emily menjerit dan berontak dari sergapan Nancy. Ia mundur ke
dinding kuburan, mengangkat lengannya yang sehat ke depan
wajahnya, berusaha melindungi diri dari kakaknya.
"Kau tak akan ke mana-mana!" teriak Nancy, suaranya tidak
seperti suara Nancy yang dikenal Emily selama bertahun-tahun.
Suaranya seperti binatang liar. "Tidak akan ke mana-mana!"
Diambilnya bangkai kelinci itu dan dilemparkannya ke arah
Emily. Terdengar suara "buk" ketika bangkai kelinci itu menghantam
pundak kanan Emily, menyebabkan gelombang rasa sakit menjalar ke
seluruh lengan kanannya yang patah.
"Sekarang kau mati!" raung Nancy, maju mendekati adiknya.
Emily, dengan punggung bersandar ke dinding, sadar dirinya
terperangkap. Tak ada tempat lari. Dan ia tidak mampu melawan
Nancy. Bab 21 Rahasia Jessie DENGAN wajah dingin Nancy bergerak maju, kedua tangan
terulur bagaikan zombie, seakan bersiap untuk mencekik adiknya.
"Nancy, Nancy! Kau dengar aku?" teriak Emily.
Tapi Nancy tidak menunjukkan tanda-tanda mengenali adiknya.
Ia hanya berjarak beberapa puluh senti dari Emily ketika sekop
terayun menghantam bagian belakang kepala Nancy.
Nancy jatuh berlutut, mengerang kesakitan, tangannya masih
terulur ke depan. Lalu lengannya perlahan-lahan jatuh ke samping tubuhnya, dan
Nancy jatuh terguling ke tanah.
"Emily"kau tidak apa-apa?"
Jessie membungkuk ke lubang kuburan.
"Nancy. Dia"dia..."
"Dia tidak apa-apa"tapi kau sendiri bagaimana?" tanya Jessie
dengan nada prihatin. Air mata mengaliri pipinya.
"Ya. Uh...." Napas Emily masih terasa sesak, ia megap-megap.
"Keluarkan aku dari sini"tolong."
Beberapa detik kemudian Jessie berhasil menolong Emily
keluar dari lubang kubur. Mereka meninggalkan Nancy yang terbaring
tak sadarkan diri di dasar kuburan.
"Kemah kita di balik pohon-pohon itu," kata Jessie sambil
menunjuk. "Aku akan lari ke sana, memanggil Mom dan Dad. Kau
tunggu saja di sini."
Emily duduk di tanah di samping lubang kubur, seluruh
tenaganya serasa terkuras habis. Dilihatnya Jessie berlari ke arah
pepohonan, lalu ia memandang ke bawah. Nancy terlihat tenang,
warna kebencian sudah tidak tampak di wajahnya.
"Sama sekali tidak kusangka," kata Emily pada kakaknya yang
terbaring pingsan, matanya mulai basah. "Sama sekali tidak
kusangka." ********* "Kurasa masalahku yang paling besar adalah Darren," kata
Jessie. Ia melipat kakinya, duduk dengan nyaman di tempat tidur.
"Darren?" Emily membetulkan letak lengannya yang digips,
duduk bersandar ke dinding.
Mereka baru satu hari pulang ke rumah, cukup waktu untuk
mencari dokter yang tepat dan membawa Nancy ke rumah sakit untuk
dirawat. Cukup waktu untuk merawat lengan Emily. Cukup waktu
untuk menceritakan pada orangtua mereka mengenai apa yang terjadi
selama ini. Cukup waktu untuk menyadari betapa menyenangkan
pulang ke rumah sendiri. Tapi tidak cukup waktu untuk betul-betul bicara dari hati ke
hati, seperti yang sedang mereka lakukan sekarang.
"Darren pacarku," Jessie menjelaskan, pipinya bersemu merah.
"Dia sekolah di kota lain. Aku cuma bisa bertemu dengannya waktu
liburan semester." "Kenapa dia belum pernah ke sini?" tanya Emily.
"Daddy tidak begitu suka padanya karena dia lebih tua dariku.
Tiga tahun lebih tua. Padahal, buatku sih tidak masalah."
Ia merengut. "Aku tidak boleh menemuinya. Bicara dengannya
pun tidak boleh." "Itu sebabnya kau menelepon larut malam?"
Jessie mengangguk mengiyakan. "Dan kadang-kadang aku
terpaksa menyelinap keluar malam-malam. Untuk bertemu dengan
Darren." "Uh, repot juga kalau kau harus menyelinap sembunyisembunyi seperti itu," kata Emily. Semakin banyak Jessie bercerita,
semakin besar rasa bersalah di hati Emily. Ia mulai menyadari betapa
tidak adilnya ia menilai adik tirinya selama ini.
"Aku sendiri jadi terpengaruh dengan permainan itu," Jessie
mengakui. "Kucing-kucingan seperti itu membuatku gugup dan
tegang. Sebetulnya aku bukan orang seperti itu. Sebetulnya aku benci
melakukan hal itu. Aku begitu gugup sehingga aku tidak seperti diriku
lagi. Maksudku, aku tidak bisa santai, selalu tegang. Aku takut
sewaktu-waktu aku akan tertangkap dan..."
"Maafkan aku, ya," kata Emily dengan nada simpati.
"Dan aku merasa bingung," Jessie meneruskan.
"Bingung?" "Bingung oleh ulahmu. Aku tidak tahu mengapa kau begitu
membenciku. Mengapa kau selalu menyalahkan diriku setiap kali ada
sesuatu yang buruk terjadi. Aku benar-benar mengira kau sinting atau
gila." "Maafkan aku. Aku sungguh menyesal," kata Emily. "Itu semua
gara-gara Nancy. Selama ini dia mengadu domba kita, membuat
seolah kaulah yang... Aku masih sulit percaya bahwa kakakku
menyalahkan aku, menganggap akulah yang bertanggung jawab atas
kematian ayahku...."
"Aku pernah punya seorang teman," Jessie menukas, tampak
termenung. "Namanya Jolie."
"Aku tahu," tanpa sadar 'kata-kata itu meluncur begitu saja dari
mulut Emily. Ia merasa bersalah mengingat caranya mengetahui
tentang Jolie. Wajah Jessie tampak heran. "Itu kejadian paling buruk dalam
hidupku," katanya lembut, memandang ke luar jendela. "Desas-desus
mengerikan yang disebarkan anak-anak itu, bahwa aku membunuh
Jolie. Kematian Jolie adalah kecelakaan, kecelakaan mengerikan.
Tapi, hanya karena aku yang menemukannya, karena semua orang
melihatku berdiri di samping tubuhnya, mereka bilang aku yang
membunuhnya. Itu sama sekali tidak adil, sangat menyakitkan."
Suaranya tertahan di tenggorokan. Sesaat kemudian baru ia bisa
meneruskan. "Tak seorang pun percaya pada apa yang sesungguhnya
terjadi. Tak seorang pun. Aku memang baru berkelahi dengannya.
Masalah cowok, tapi itu tidak penting. Aku"aku belum sempat minta
maaf padanya...." "Pasti sulit sekali bagimu, menanggung semua itu sendirian
saja," kata Emily. Ia turun dari tempat tidur dengan susah payah, dan
melangkah menyeberangi kamar, mendekati Jessie.
"Sangat menakutkan," kata Jessie. "Dan sekarang, inilah aku,
tinggal di rumah ini denganmu, kakak tiriku yang baru, dan hal yang
sama terjadi lagi padaku. Kau menuduhku melakukan hal-hal
mengerikan itu, kau tidak pernah percaya padaku, tidak pernah
percaya pada kebenaran. Dan ternyata kebenaran itu sangat
menyedihkan, dan sangat berbeda dari apa yang kita kira."
Emily tidak bisa menahan air matanya. Dirangkulkannya
lengannya yang sehat ke pundak Jessie, dipeluknya erat-erat.
Beberapa detik kemudian Jessie membalas rangkulannya.
"Aku"aku berjanji. Kita akan jadi saudara sejati sejak saat ini,"
kata Emily, melangkah mundur untuk menyeka air matanya. "Semua
akan berubah. Aku berjanji."
Jessie hendak mengatakan sesuatu, tapi Rich menghambur


Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk ke kamar, seperti biasa membawa buku.
"Waktunya makan siang," katanya. Ia melihat wajah mereka
yang basah, dan merasa canggung karena telah mengganggu suasana
penuh emosi itu. "Kalian... uh... ditunggu di bawah."
"Bagaimana kau, Rich?" tanya Emily, berniat menjadi kakak
yang lebih baik juga untuk Rich. "Buku apa yang kaubaca itu?"
"Ini?" Rich mengangkat bukunya.
"Paling-paling novel seram Stephen King lagi," kata Jessie,
menggelengkan kepala. "Bukan. Ini buku Hardy Boys," kata Rich, memperlihatkan
sampul buku itu pada mereka. "Bagus lho."
"The Hardy Boys?" Emily tidak bisa menyembunyikan rasa
herannya. "Wow! Memang sudah mulai ada perubahan di sini!" seru
Jessie. Sambil tertawa mereka bertiga bersama-sama turun ke bawah
untuk makan siang.END Lencana Pembunuh Naga 7 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 5

Cari Blog Ini