Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss Bagian 3
"Apa kau menangis juga?" tanyanya ketika mereka mulai
berjalan bersama melintasi pasir, lengan Matt masih melingkari
bahunya. Dia hangat sekali dan... rapuh, pikirnya.
"Ya," Matt mengakui. "Aku agak ngamuk waktu
menemukannya. Maksudku, aku seperti kehilangan jejak tak tahu apa
yang terjadi. Beberapa nelayan menemukanku bersamanya. Kupikir
aku agak kehilangan akal."
"Aku belum berhenti menangis," katanya pelan, memejamkan
mata, dan mencondongkan badan pada Matt. "Kau orang pertama
yang bisa kuajak bicara."
Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Matt sesaat. Matt
merasakan rambutnya yang halus menyapu pipinya dan merasakan
getar kegembiraan meliputi seluruh tubuhnya.
Aku penasaran apa yang akan dilakukannya jika dia kucium,
pikir Matt. Gelombang perasaan bersalah meliputinya. Di sini kami
berbicara tentang Todd. Di sini dia berbagi kesedihannya denganku,
membuka rahasianya padaku, percaya padaku"dan yang ada dalam
pikiranku cuma menciumnya.
Jessica tersenyum padanya, kesedihan memudar dari wajahnya
yang pucat. Matt terkejut, karena senyumnya penuh rasa tahu, seakan ia
tahu apa yang sedang dipikirkannya, seakan ia berbagi pikiran
dengannya. "Apa sebaiknya aku... uh... mengantarmu pulang?" tanyanya,
lengannya meluncur turun ke pinggang ramping Jessica.
Kembali rambutnya menyapu wajah Matt saat cewek itu
menoleh untuk menatap matanya. "Jangan. Ayo kita jalan-jalan saja,"
usulnya berbisik, begitu lirih hingga Matt harus condong mendekat
agar mendengarnya. Ia menunjuk ke arah bebatuan yang menuju ke
jurang karang yang curam dan hitam. "Ayo kita terus jalan-jalan,
Matt," bisiknya. "Kau membuat perasaanku membaik. Sungguh."
"Aku senang," sahut Matt.
Tiba-tiba Jessica menjauh darinya dan mulai berlari kecil
menuju ke karang, langkahnya panjang dan mantap.
Terkejut, Matt tiba-tiba kehilangan sentuhannya, kehilangan
kehangatannya, kehilangan pegangannya pada lengannya. "Hei"
tunggu!" seru Matt. Tanpa memperlambat langkahnya, Jessica menoleh padanya, di
wajahnya tersungging senyum misterius.
"Jessica"tunggu!" ulangnya, dan mulai berlari melewati
pantai, mengikuti Jessica mendaki menuju ke langkan karang itu, air
mengempas-empas di bawah, empasan itu seperti degup jantungnya,
makin keras, makin cepat, makin liar.
"Ayo"berhentilah!" teriaknya, sekarang ia berlari dengan
kecepatan penuh, memandangi rambut Jessica yang berkibar-kibar di
belakangnya seperti umbul-umbul.
Tawa cewek itu sampai ke telinganya terbawa pusaran angin.
Sekarang mereka berdua tinggi di atas pantai, berlari melintasi
langkan karang yang rata dan licin.
"Hei"pelan-pelan!" Matt memperingatkan, napasnya
tersengal-sengal. Ia melihat ekspresi Jessica berubah saat ia mendekati tepi
karang, melihat mulutnya ternganga lebar ketakutan dan terkejut.
Ia mencoba berhenti. Tapi sepatu ketsnya tergelincir pada permukaan batu yang licin
itu. Kedua tangannya terangkat seolah berusaha meraih sesuatu.
Tapi tidak ada apa pun yang bisa diraihnya.
"Jessica"tidak!" teriak Matt.
Tapi seruannya tidak dapat menghentikan Jessica.
Jessica tergelincir jatuh di tepi karang.
Matt mendengar jeritan ketakutannya saat ia terlempar jatuh.
Melihat lengannya menggapai-gapai udara saat ia meluncur ke
bawah. Lalu sunyi. Lalu Matt sendirian di atas sana.
Benar-benar sendirian. Bab 19 CIUMAN DALAM CAHAYA BULAN
TANPA sadar, Matt juga berada di tepi karang terjal itu,
merangkak, mengintip ke bawah ke dalam kegelapan yang berpusar.
Napasnya sesak terimpit rasa takut. Sambil menahan napas, ia
memandangi air yang bergulung-gulung, berputar-putar.
Dia juga mati, pikirnya. Dia terjatuh dan mati. Membeku karena rasa ngeri, karena tahu apa yang akan
ditemukannya, Matt menunduk menatap ke dalam air, yang
mengempas-empas ke dinding batu.
Dan ia melihat Jessica sedang tersenyum padanya, berdiri di
tepi laut, berendam hingga ke pinggangnya, rambutnya disinari cahaya
bulan. "Hah" Jessica?" Ia berusaha bicara, tapi terkejut karena tidak
ada suara yang keluar. Jessica melambai padanya, menyibakkan rambutnya ke
belakang. Lalu ia memberi isyarat padanya agar turun, bergabung
dengannya. "Kau tak apa-apa?" seru Matt.
Jessica tidak dapat mendengarnya di sana. Ia kembali memberi
isyarat padanya agar turun.
Tapi Matt tak henti-hentinya tercengang padanya.
Bagaimana dia dapat selamat sesudah jatuh seperti itu" Ia heran.
Degup jantungnya terasa kembali normal. Kengeriannya telah
tersingkir. Bagaimana dia bisa menghindari tumbukan dengan batu-batu
itu" Bagaimana dia melakukannya"
Sekarang Matt berdiri, balas melambai pada Jessica.
Ia sangat gembira karena Jessica masih hidup. Ia sangat
gembira hingga rasanya ingin merentangkan kedua lengannya dan
tinggal landas, meluncur dari tepi karang itu, dan melayang turun ke
cewek itu. Tapi ia berbalik dan dengan hati-hati berjalan melintasi langkan
batu rata itu. Jalan setapak turun yang berbatu itu curam dan licin, tapi
ia berlari penuh semangat, terantuk-antuk, batu-batu berlontaran dan
berlongsoran. "Jessica"kau tak apa-apa!"
Jessica masih tidak dapat mendengarnya karena deru angin dan
ombak. Sambil berdiri di tepi pantai yang berkerikil sekarang, ia
tersenyum, rambutnya berkilauan dalam cahaya bulan, kedua
lengannya lurus di samping seakan menunggu Matt dengan sabar.
"Hei"kau membuatku takut!" teriaknya, sepatu ketsnya
memercikkan air yang menggenangi batu-batu retak yang bertebaran
di pantai. "Kau benar-benar membuatku takut!"
Jessica tidak menjawab. Ia mengulurkan lengan ke sekeliling bahu Matt dan menarik
wajahnya mendekat. Parfum itu seolah melayang di sekelilingnya, menahannya,
menariknya mendekat. Ia terasa hangat dan sekaligus dingin, basah karena air laut, tapi
bibirnya sangat kering, panas dan kering.
Sebelum Matt bisa menghela napas, bahkan sebelum ia
menyadari apa yang terjadi, Jessica mencium bibirnya, mencium
matanya, mencium dagunya.
Menciuminya dengan gairah yang begitu mengejutkan.
Sangat panas dan sekaligus sangat dingin.
Parfum yang menyengat itu, bibir yang panas kering itu,
rambutnya, kehangatan wajahnya"semuanya memabukkan Matt.
Ciumannya. Ciumannya. Matt berusaha menanggapi.
Tapi dirinya tenggelam"dengan sukarela, tanpa dipaksa"ke
dalam kegelapan yang berputar memusingkan.
Bab 20 TAM U MALAM HARI PERLAHAN-LAHAN Gabri bangun dari peti matinya, di
malam yang sunyi. Dengan lesu ia menepis tanah yang menempel
pada pakaiannya, tanah yang menjadi alas tidurnya, tanah subur asli
yang berharga, satu-satunya peninggalan dari negara asalnya, dari
zamannya. Karena baru terbangun, wajahnya menampakkan umurnya yang
sudah berabad-abad. Dibutuhkan usaha untuk mengatur dirinya,
menyamarkan kerusakan akibat waktu; usaha untuk membuatnya
tampak muda lagi, memperlembut sosoknya, memberi binar
kehidupan pada matanya, mengatasi rasa sakit yang menyerangnya
sejak dulu kala setiap ia terlelap dalam tidurnya yang tak alami.
Ia mengerang dan mengusap rambutnya ke belakang, melatih
gerakan-gerakan, sangat sulit karena tidak ada cermin.
Sangat sulit menampilkan kembali wajah mudanya tanpa
cermin. Tapi bagaimanapun, jauh lebih mudah melanjutkan perjalanan
vampir yang jahat dan tanpa akhir tanpa melihat pada diri sendiri,
tanpa melihat diri seseorang menjadi apa.
"Yah, yah. Hari ini kau sangat filosofis, Gabri," ucapnya keraskeras, berbicara pada bayang-bayang yang bergerak di dinding rumah
pantai itu. Bunyi pelan sepatu kets membuatnya membalikkan badan.
Seruan terkejut meluncur dari bibirnya. "Jessica!"
Warna biru jumpsuit Jessica serasi dengan malam itu. Ia berdiri
di samping jendela, rambutnya yang bergelombang disinari cahaya
pucat bulan yang sedang muncul.
Mula-mula ia tampak seperti bagian dari malam itu, kegelapan
yang keluar dari kegelapan. Tapi saat matanya bersinar-sinar, bagian
lain dari dirinya mulai berbentuk, menjadi hidup. Tawanya membuat
bulu kuduk Gabri meremang.
"Siapa yang mengundangmu?" bentak Gabri.
"Aku ada di sekitar sini," ia bergurau.
"Apa yang kauinginkan?" tanya Gabri tak sabar, ekspresi
wajahnya menunjukkan kekesalannya, karena gangguan Jessica yang
tak diharapkan, karena terjaga setelah sekian abad berlalu, sekali lagi
terbangun untuk terbang dan berburu mangsa.
"Kau judes sekali malam ini," kata Jessica, menghampirinya
pelan-pelan, senyum mengejek menghiasi wajahnya. "Ada apa, Gabri"
Rencanamu terhadap si pirang mungil itu gagal?"
"Aku lebih berhasil daripada kau," sahutnya dingin.
Bayangan April, nektar, rasa manis nektar, menghangatkan
dirinya. "Setidaknya aku tak membunuh siapa pun."
"Itu bukan masalah," tukas Jessica sambil mengangkat bahu
kurusnya tak peduli. "Sama sekali bukan masalah. Menurutmu aku
takkan membiarkan hal kecil seperti itu menghalangi langkahku untuk
memenangkan taruhan kita, kan?"
Gabri mengumpat tak menyenangkan. "Kau tak bisa menang.
April dengan sukarela jadi korban."
"Ha!" teriak Jessica menyebalkan, sambil menyilangkan lengan.
"Apa yang kaulakukan" Mengendap-endap dari belakangnya dan
menggigit punggungnya?"
"Tak perlu mengendap-endap," sahut Gabri. "Dia sayang
padaku. Dia sudah putus dari pacarnya."
"Apa?" Sejenak mata Jessica tampak terkejut.
"Dia sudah tak pacaran dengan Matt lagi. Sekarang dia pacaran
denganku." Senyum kemenangan dan mengejek menghiasi wajahnya.
"Itu kemenangan bagiku"bukan bagimu," kata Jessica, segera
pulih dari kekagetannya. "Apa maksudmu?"
"Dengan memisahkan April dan Matt, kau melancarkan jalanku
dalam menundukkan Matt."
Gabri menggeleng-geleng, menyisir rambutnya ke belakang
sekali lagi, kedua tangannya mengusap garis-garis di wajahnya.
"Bermimpilah terus, Jessica," katanya ketus. "Kau boleh saja
membual tentang apa yang akan kaulakukan selama sisa keabadian
ini, tapi April akan menjadi Makhluk Abadi akhir minggu ini."
"Bukan aku yang membual?" Jessica mulai berkata.
Gabri mendesak melewatinya menuju ke kegelapan di dekat
jendela. Dan ketika Jessica berbalik menghadapnya, kegelapan itu
mulai berputar, menjadi sebuah badai debu hitam.
Debu itu menghilang. Gabri muncul dalam wujud kelelawar.
"Sekarang aku harus terbang ke sana!" geramnya, dan ia lepas landas
lewat jendela yang terbentang, terbang hingga lenyap ke dalam langit
gelap. "Dasar idiot," umpat Jessica keras-keras. Ia mengulurkan
tangan ke dalam peti mati Gabri, meraup segenggam tanah, tanah
berharga yang membuat Gabri tetap bertahan, dan melemparkannya
ke lantai dengan geram. ********************* Courtney meloncat ke atas bahu Gabri. Whitney meraih
pinggangnya. Sambil tertawa cekikikan, mereka menariknya ke teras
dan menungganginya. "Jangan! Jangan!" serunya tak berdaya, sambil tertawa dan
menggeliat-geliat, mencoba menurunkan mereka, tapi mereka
malahan semakin erat memeganginya.
"Anak-anak"jangan ganggu Gabri!" seru Mrs. Blair, sambil
menggeleng-geleng. "Tak apa-apa. Saya bisa menangani mereka," Gabri membual.
"Owww!" Ucapannya membuat kedua anak perempuan itu semakin keras
memukuli punggungnya. "Turun, kalian," perintah Mrs. Blair dari atas surat kabar yang
sedang dibacanya. "Gabri bukan wahana di taman hiburan, tahu."
"Memang," sahut Whitney.
"Dia kan roller coaster," kata Courtney. "Wuiiiii!"
"Ow!" seru Gabri, tertawa sambil pura-pura kesakitan, kakinya
mengentak-entak papan lantai teras seperti pegulat.
Akhirnya April menampakkan diri. Ia memakai celana ketat
putih, dan kaus hitam di balik kemeja kuning cerah yang ujungnya
disimpulkan pada pinggangnya. "Ada apa sih?" tanyanya.
"Kau manis sekali," puji ibunya berteriak untuk mengatasi
jeritan-jeritan si kembar.
"Tapi Courtney dan Whitney lagi ngapain?" ulang April.
"Mereka lagi ngerjain Gabri," sahut ibunya berbisik diam-diam.
"Itu karena dia membiarkan apa saja yang mereka lakukan!"
sahut April, senang melihat pemandangan seorang cowok remaja
kewalahan menghadapi tingkah dua anak perempuan kecil.
"Tolooooong!" Gabri mengerang.
April datang menolongnya, memegang lengan kedua anak itu
dan menarik mereka. Si kembar berteriak-teriak protes. "Gabri dan
aku harus pergi," katanya,
"Tapi mainnya belum selesai," Whitney menggerutu, kembali
menghampiri Gabri, yang sedang berusaha berdiri. Whitney
memegangi lututnya. Gabri meraih pagar teras agar tidak terjatuh.
"Sudah! Cukup!" kata Mrs. Blair tegas. "Aku sungguh-sungguh,
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Whitney." Tentu saja Whitney tidak memedulikannya, dan terus mencoba
menundukkan Gabri, yang tetap berpegangan pada pagar kayu untuk
bertahan. Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk melepaskan kedua
anak itu dari Gabri dan menyuruh mereka menjauh. Ibu April
meminta maaf berkali-kali, tetapi Gabri mengatakan ia malahan
senang. "Lain kali, aku akan bergulat dengan kalian berdua!" katanya
pada si kembar. Lalu ia mengucapkan selamat malam kepada
semuanya. Ia dan April melangkah meninggalkan teras dan menyusuri
jalan setapak berpasir yang melewati rumah-rumah pantai lainnya
menuju ke kota. "Adik-adikku sangat menyukaimu," kata April.
"Karena bisa memukuliku," kata Gabri.
"Orangtuaku juga berpendapat kau sangat baik." Mendadak
April berhenti. "Ada apa?" "Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun dari ayahku,"
sahutnya, tangannya menyusup ke balik kausnya dan meraba mencaricari. "Padahal ulang tahunku baru bulan depan, tapi Dad tak pernah
bisa menunggu." Kemeja kuningnya tampak berkilauan dalam cahaya bulan.
Gabri memandangi tangannya yang mencari-cari di balik kaus hingga
menemukan rantai kalung yang melingkari lehernya.
"Lihat," katanya, diangkatnya bandul kalung yang kecil
berkilauan agar Gabri melihatnya. "Salib perak. Bagus sekali, ya?"
Sinar bulan menyinari salib itu hingga berkilauan. Kengerian
muncul di wajah Gabri. Gabri melangkah mundur dan mencoba memperlembut
ekspresinya sebelum April memperhatikannya.
Pikirannya kacau. Cahaya salib itu membakarnya bagai lidah
api yang menghanguskan. "Indah sekali," katanya.
Apa yang harus kuperbuat" pikirnya, tiba-tiba ia panik. Aku tak
berani mendekat, aku tak berani menggigit lehernya, aku tak bisa
menikmati nektar kalau dia memakai salib itu.
Apa yang harus kulakukan" Apa"
Kekuatan salib itu dapat membuatnya buta selama-lamanya,
cahayanya dapat membakar dagingnya yang sudah kering; salib itu
dapat membakarnya hingga musnah.
Apa yang harus kulakukan" Apa"
Lalu, ketika April memindahkannya, mencoba menyelipkannya
kembali ke balik kemejanya, salib itu meluncur dari tangannya. "Oh!"
Gabri melihat salib itu terjatuh di pasir.
April membungkuk cepat-cepat, memungut salib itu. Sambil
menegakkan badan kembali, ia mengerutkan kening. "Kaitnya agak
longgar," katanya, mengusap-usap salib di tangannya. Ia memandang
Gabri. "Tolong pasangkan kembali, ya?"
"Oke." Gabri melangkah ke belakangnya sehingga April tidak
akan melihat tangannya yang gemetar.
Dengan salib di lehernya, April mengangkat ujung rantai kalung
di belakang lehernya. "Tolong pasangkan kaitnya."
"Gampang saja," kata Gabri pelan, berhati-hati agar matanya
tidak tertuju pada salib itu. Dipegangnya kedua ujung rantai yang tipis
itu dan dipertemukannya. Ia pura-pura menemui kesulitan, lalu pura-pura berhasil
memasang kait rantai itu.
"Sebaiknya dipegangi," katanya.
Tetapi dengan sengaja ia membiarkan rantai itu tidak terkait.
"Terima kasih," kata April, berpaling untuk melemparkan
senyum terima kasih pada Gabri.
Gabri balas tersenyum, berhati-hati agar tidak memandang salib
itu, yang berkilauan di bawah leher April. "Cantik sekali," katanya,
rasa dingin mencekam terasa mengaliri punggungnya karena pikiran
itu. Mereka melewati jajaran rumah pantai yang jendela-jendelanya
berkilauan dengan sinar oranye dan kuning.
Ketika mereka berbelok ke padang rumput tinggi, Gabri melihat
salib itu meluncur jatuh ke tanah tanpa bunyi.
Mereka tetap berjalan terus.
April tidak tahu. Gabri tersenyum, tidak dapat menyembunyikan kegembiraan
dan kelegaannya. Dengan bahagia, sangat bahagia, tak sabar menunggu apa yang
akan terjadi, ia memeluk bahu April dan menariknya mendekat.
********************* Larut malam, di malam yang sama itu, Matt baru pulang dari
berkencan dengan Jessica. Ia berhenti di balik pintu, memejamkan
mata, dan menekankan keningnya yang panas ke kaca yang dingin.
Aku capek sekali, pikirnya.
Capek sekali, sehingga rasanya ia tidak mungkin sanggup
membuka pintu dan masuk ke kamarnya.
Tak mungkin selarut ini, pikirnya, ia membuka matanya dan
berusaha keras memaksa diri beranjak dari pintu itu. Bulan masih
tinggi di langit. Udara dingin dan berat karena embun.
Ia terbatuk. Lehernya sakit. Moga-moga aku tak jatuh sakit.
Herannya, malam yang dilaluinya bersama Jessica sudah samarsamar dalam ingatannya.
Ke mana mereka pergi" Apa yang mereka lakukan"
Ia ingat pada pantai yang gelap itu. Ia ingat pada mulut Jessica,
bibirnya, ciumannya. Ia ingat pada rasa sakit itu. Rasa sakit yang manis.
Sakit" Tidak. Tak mungkin sakit. Aku terlalu capek untuk mengingatnya, katanya pada diri
sendiri. Aku cuma... sangat... lelah.
Akhirnya ia berhasil membuka pintu. Diam-diam ia melintasi
lantai papan yang berkeretak menuju ke dapur yang gelap, melewati
lorong pendek yang sempit, melewati kamar orangtuanya.
Sunyi. Ke kamarnya. Lelah sekali. Capek sekali. Butuh usaha keras untuk mendorong
pintu hingga membuka. Tubuhnya terasa berat sekali. Pakaiannya terasa berat sekali.
Rambutnya terasa berat sekali di kepalanya.
Napasnya menderu-deru karena mengerahkan tenaga untuk
berjalan. Ia harus melepaskan pakaiannya, sebelum pakaian yang berat
itu menindihnya. Ia harus ke tempat tidur, untuk tidur.
Harus tidur untuk menghilangkan rasa lelah ini.
Untuk menghilangkan rasa sakit di tenggorokannya.
Tapi ia ada di mana"
Mengapa semuanya miring dan berayun-ayun"
Cuma lelah. Cuma... lelah... sekali.
Jessica, batinnya, membayangkan wajahnya yang pucat
dramatis; membayangkan rambut merah yang melayang-layang, mata
yang membakar. Jessica, kenapa aku sangat lelah"
Apa yang kita lakukan tadi, Jessica" Apa yang kita lakukan"
Ia memaksa diri untuk tidak memikirkan cewek itu. Jika mulai
memikirkan Jessica, ia takkan pernah bisa tertidur.
Pertama-tama, pakaianku harus kulepaskan, putusnya, berjuang
menjernihkan pikirannya. Perabotan di dalam kamarnya tampak hanya bagai bayangbayang buram.
Buram. Buram di antara keburaman-keburaman.
Tapi tiba-tiba, salah satu di antara keburaman itu menjadi
semakin jelas. Matt mengedipkan mata. Sekali. Dua kali.
Seseorang sedang duduk di tempat tidurnya, sedang duduk di
kamar yang gelap, membelakangi Matt.
Matt mengedip lagi, ingin menyingkirkan pemandangan itu.
Tapi ternyata tidak berhasil.
Yang dilihatnya itu memang benar-benar ada di sana.
Seseorang berada di ranjangnya.
Tercekam rasa takut, Matt memandangi sosok yang tidak
bergerak itu. Siapa itu" Siapa yang berada di kamarnya pada jam begini"
Bagaimana caranya masuk"
"Hei?" bisik Matt. "Hei?"
Sambil menahan napas, mengumpulkan segenap keberaniannya,
berjuang menjernihkan pikirannya, ia mengulurkan tangan dan
menepuk punggung orang itu.
Begitu Matt menyentuhnya, sosok gelap itu pelan-pelan
berbalik. Wajahnya mulai kelihatan.
Dan Matt mulai menjerit. Bab 21 "TAPI"KAU SUDAH MATI!"
SAMBIL membekap mulut dengan kedua tangannya untuk
meredam jeritannya, Matt mundur menjauhi ranjang.
Ia menabrak lemari rendahnya, rasa nyeri menusuk
punggungnya. Tanpa memedulikannya, ia ternganga ngeri menatap sosok
berwajah gelap, membungkuk di atas ranjangnya, balas menatapnya di
seberang kamar. Pelan-pelan Matt menurunkan kedua tangannya, untuk
menghirup udara. "Todd?" serunya, yang terdengar hanya bisikan serak.
"Todd"kau sudah mati!"
Dengan kedua tangan tertumpang di atas lutut celana hitamnya,
sosok itu membungkuk ke depan pelan-pelan, wajahnya keluar dari
kegelapan dan masuk ke sorot cahaya bulan yang pucat yang
menembus lewat jendela. "Todd?" ulang Matt, punggungnya menekan keras lemari
rendah itu. Wajah Todd tampak jelas dalam terang, hijau dan bengkak.
Matanya terbuka tetapi kembali melesak ke dalam kepalanya.
Pupilnya putih sekali, dilingkari nanah.
Salah satu pipinya tercabik dan kulitnya menggelantung seperti
kantong. Ketika akhirnya Todd membuka mulut untuk bicara,
rahangnya berderit seperti bunyi engsel pintu yang sudah berkarat,
Matt melihat beberapa giginya telah lenyap.
"Hai, Matt." Suaranya seperti angin, embusan udara.
"Tidak!" Gelombang rasa takut melemaskan lutut Matt hingga
ia nyaris terjatuh. Ia berbalik dan mencengkeram tepi lemari untuk
menopang tubuhnya agar tetap berdiri.
"Tidak!" "Yaaaaaaaa," desis makhluk di tempat tidur itu.
Gorden jendela tersingkap seakan menanggapi.
"Yaaaaaa," ulang Todd seolah mencoba suaranya yang
mengerikan itu. Dan gorden-gorden kembali terkepak-kepak
menjawabnya. Ini bukan mimpi, pikir Matt. Kenop laci lemari terasa menusuk
punggungnya. Sudah berapa kali ia bermimpi tentang Todd sejak pagi yang
mengerikan itu ketika ia menemukan Todd terapung-apung di air,
tercabik-cabik dan tak bernyawa"
Sudah berapa kali Todd kembali untuk mengacaukan mimpimimpi Matt"
Tapi ini bukan mimpi. Todd"almarhum Todd"duduk di ranjang Matt, matanya yang
melesak putih kekuningan mengawasi Matt, wajahnya yang tercabikcabik dan kulitnya yang bergelantungan membuktikan kematiannya.
"Todd"kau sudah mati," ulang Matt.
Gagasan itu menyumbat otaknya untuk menemukan kata-kata
lainnya. Ia tidak dapat menjernihkan pikirannya.
"Kau sudah mati."
"Malam hari aku tak mati," bisik Todd, membungkuk mendekat
agar suaranya terdengar. Gorden-gorden tertiup ke luar jendela, seolah terisap ke luar
oleh kekuatan yang tak kasatmata.
"Malam hari aku tak mati," ulang Todd dengan mengerikan.
"Malam hari aku berada di antara hidup dan mati."
Kepala Todd miring ke satu sisi, hampir terjatuh ke bahunya,
seolah terikat dengan tali.
"Tidak!" teriak Matt. Ia memejamkan mata, tidak sanggup
terus-menerus memandangi wujud sahabatnya yang rusak dan
menyeramkan ini. Saat membuka mata lagi, ia tersentak ketakutan.
Todd telah beranjak berdiri dari tempat tidurnya.
"Tidak"jangan!" Matt berteriak, mencoba mundur menjauh,
tapi terperangkap lemari itu.
Todd maju dengan cepat, seolah melayang melintasi kamar.
Tangannya terulur dan menyambar bahu Matt.
Cengkeramannya keras seperti tulang.
Mata yang putih kosong, tertanam di dalam cekung mata yang
merah dan bernanah itu, memandangi Matt seakan menuduhnya.
"Todd"tidak!"
Tapi cengkeraman Todd semakin kuat.
Bau busuk menusuk indra penciuman Matt.
Ia mencoba menahan napas, tetapi dadanya kembang-kempis.
Bau memuakkan melingkupinya, menyesakkan napasnya,
mencekiknya hingga ia menjerit. Ia nyaris mati lemas karena sengatan
bau busuk itu. Todd masih mencengkeram bahunya, mata putihnya menatap
mata Matt, tubuhnya membungkuk di atas Matt, melayang-layang di
atasnya di dalam kamar yang gelap, menahan Matt, menyudutkannya,
menghukumnya dengan bau busuk, bau kematian.
"Todd"apa yang kaulakukan?" Matt menjerit-jerit dengan
suara ngeri yang tak dikenalinya sendiri. "Apa yang kaulakukan?"
Bab 22 PERINGATAN DARI KUBUR "AKU"aku datang untuk memperingatkanmu," Todd berbisik,
kata-kata itu meluncur tersendat-sendat dari antara napasnya yang
bau. "Hah?" Matt memejamkan matanya, berusaha menahan rasa mual agar
tidak muntah. Todd melepaskan cengkeramannya tetapi tidak menjauh.
"Aku datang untuk memperingatkanmu," ulangnya, kepalanya
meneleng hingga menumpang pada bahunya. Matt membuka mata dan
melihat daging leher Todd yang tercabik-cabik.
"Vampir," bisik Todd.
"Ya," sahut Matt, mengangguk dengan prihatin. Segalanya
berputar, berputar cepat sekali. Ia harus memejamkan matanya lagi.
Jika saja ia dapat membebaskan diri dari bau itu, sangat busuk,
sangat asam, sangat menjijikkan, sangat memuakkan.
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka vampir, Matt," Todd memperingatkan, mengulurkan
tangan kepada Matt sambil melayang ke belakang.
"Aku tahu," Matt berbisik, matanya terpejam. "Aku tahu,
Todd." "Dengaaaaaaarkan," desis Todd, tiba-tiba suaranya terdengar
jauh. "Dengaaaaarkan, Matt. Aku datang untuk memperingatkanmu.
Mereka vampir." "Aku tahu, Todd. Aku tahu!" jerit Matt dengan isakan keras.
Matanya terpejam erat. Ia berusaha tidak menarik napas. Bau itu
sangat kuat, sangat tak tertahankan.
"Aku tahu, Todd," ulangnya lemah. "Tapi aku capek sekali."
Sunyi. Mata Matt tetap terpejam.
"Aku capek sekali, Todd. Sungguh. Aku cuma sangat"capek."
Sunyi. "Sori, Todd. Aku sungguh menyesal. Tapi aku amat sangat
capek sekarang. Aku cuma... sangat... capek."
************************ Pelan-pelan kesadaran Matt kembali, dan sebelah matanya
mengintip ke jendela. Cahaya pagi yang kelabu memasuki kamar itu.
Ia mengerang dan mencoba membuka mata yang sebelah lagi,
lalu menyerah dan memejamkan keduanya lagi.
Ia tidak ingat jatuh tertidur. Ia tidak ingat tidur.
Ia hanya ingat mimpi itu.
Apakah mimpi-mimpiku tentang Todd akan berhenti" tanyanya
dalam hati. Ia menguap, meregangkan kakinya.
"Hei?" Ia beranjak bangun dan melihat ke bawah sambil mengerjapngerjapkan mata.
Ia masih berpakaian. Masih mengenakan celana pendek jins dan
kemeja polo berlengan panjang yang sama dengan ketika ia bersama
Jessica. "Ohh," lenguhnya, melihat sepatu ketsnya yang lembap dan
berlumuran pasir masih membungkus kakinya.
Pasir bertebaran di seprai. Ia pasti langsung ambruk ke ranjang,
tanpa sadar. Ia meraih wekernya, Walkman-nya terdorong dan terjatuh ke
lantai diiringi bunyi berisik. Sekarang baru pukul tujuh seperempat.
Masih terlalu pagi. Bau apa yang memenuhi hidungnya itu"
Bau asam itu" Ada di dalam lehernya juga. Seakan menempel di kulitnya.
Apakah ia telah muntah tanpa sadar"
Masih sambil mengerjap-ngerjapkan mata dan berjuang bangun,
Matt menghela tubuhnya berdiri sempoyongan dan mengedarkan
pandang. Potongan-potongan mimpi berkelebatan dalam benaknya.
Mimpi yang mengerikan. Sangat nyata.
Sangat nyata hingga aromanya yang memuakkan masih
tercium. Ia terhuyung-huyung ke cermin di atas lemari dan berpegangan
pada puncak lemari itu agar tidak terjatuh.
Meskipun sudah tidur berjam-jam, ia sama sekali tidak merasa
sudah beristirahat dan tidak merasa segar.
Belum pernah ia merasa selelah ini seumur hidupnya.
Pasti aku sakit, pikirnya, bau memuakkan menyerang
hidungnya. Ia menyenggol kotak tisu hingga jatuh ke Iantai. Tanpa
berusaha memungutnya, ia mengamati cermin.
Dan melihat luka-luka memar berlubang gelap di lehernya.
Dan tahu ini bukan mimpi.
"Todd memang ada di sini," katanya keras-keras, suaranya
serak dan tersumbat. "Todd kembali untuk memperingatkanku."
Ia mencondongkan badan ke depan, menekan lemari kayu
rendah itu agar bisa melihat dengan lebih jelas.
Lubang-lubang kecil dan bundar. Warnanya merah tua.
Luka memar kecil. Tempat Jessica mengisapnya.
Jessica. Dia vampir. Todd datang untuk memperingatkannya supaya waspada
terhadap Jessica. Jessica telah melukai lehernya"luka yang sama dengan luka di
leher April. Sambil mengawasi cermin, Matt tahu ia benar. Gabri juga
vampir. Todd datang untuk memperingatkannya.
Ia mengangkat dua jari ke lehernya, lalu dengan perlahan-lahan
dan ragu-ragu menyentuh luka memar itu.
Terasa dingin menyenangkan ketika luka itu disentuh.
Ciuman-ciuman itu. Bibir-bibir itu. Terasa begitu basah di
lehernya, begitu hangat. Ia kembali menekan luka itu dengan ringan dan merasa dingin
lagi. Bukan mimpi. Todd ada di sini.
Dan sekarang apa yang bisa kulakukan" Apa yang sebaiknya
kulakukan" Ia menyadari kakinya gemetar. Ia merasa sangat lemah, tidak
bertenaga sama sekali. Kepalanya pusing sekali, ia berjalan kembali ke tempat tidur. Ia
duduk di ranjang dan mencoba melepaskan sepatu ketsnya.
Tapi usaha itu terlalu berat baginya.
Aku harus melakukan sesuatu"harus memperingatkan April.
Sambil mendesah ia menjatuhkan tubuhnya menelentang, kedua
lengannya bergelantungan dengan lemas di sisi ranjang.
"Aku harus memperingatkan April," bisiknya, berusaha keras
membuka matanya. "Harus menyelamatkan kami...
Lalu ia tertidur lagi. Bukan tidur yang wajar, tapi
ketidaksadaran yang dalam. Kegelapan tanpa mimpi.
Beberapa waktu kemudian ia terjaga oleh tangan-tangan yang
mengguncang-guncangnya dengan kasar.
"Todd?" serunya, sambil duduk tegak. "Todd" Kau kembali?"
Bab 23 ADU PANDANG "HAH" Todd?" gumam Matt, berusaha keras untuk sadar. Ia
merasa seakan berada di dasar lautan, mencoba mendorong dirinya ke
atas, menembus gelombang yang berpusar berat.
Bukan Todd yang mengguncang-guncangnya. Ternyata
ayahnya. "Hei"bangun! Dasar gelandangan malas!" panggil Mr.
Daniels, pura-pura marah.
"Hah" Jam berapa sekarang?" Matt melihat sinar matahari yang
terang keemasan membanjiri kamarnya lewat tirai-tirai yang terbuka.
"Kau kami biarkan tidur sampai jam sepuluh," kata ayahnya,
sambil menunjuk weker. "Tapi kita semua harus pergi. Ayo.
Berpakaianlah. Kau bisa sarapan dalam perjalanan ke dermaga."
"Whoa." Matt mencoba menurunkan kakinya ke lantai. "Apa
aku melupakan sesuatu?" Ia mengerjap-ngerjapkan matanya pada
ayahnya, masih tidak dapat membukanya bersamaan.
"Kita akan mancing, ingat" Dengan perahu Dr. Miller?" Mr.
Daniels mendorong bahu Matt dengan bergurau. "Cepat, pemalas." Ia
mulai beranjak ke pintu. "Aku tak bisa," kata Matt, ambruk kembali ke bantalnya.
Ayahnya membalik di ambang pintu, ekspresi prihatin
terbayang di wajah tampannya. "Ada apa" Kau sakit?"
"Ya," sahut Matt cepat-cepat. "Nggak. Maksudku, aku nggak
tahu." "Kau kenapa sih, Matt?" Mr. Daniels melangkah kembali ke
dalam kamar, menarik turun lengan sweter berleher V putihnya.
"Aku cuma capek sekali, Dad," sahut Matt, tanpa mengangkat
kepalanya dari bantal. "Mungkin aku akan turun makan nanti."
"Kau tampak pucat sekali," kata ayahnya, sambil mengerjapngerjapkan mata. "Mungkin kau perlu pergi berjemur di atas perahu."
"Aku"lelah sekali," kilah Matt. "Kupikir aku akan tinggal di
rumah saja dan mencoba mengatasi ini."
Mr. Daniels melihat jam sekilas. "Yah, oke," katanya ragu-ragu.
"Aku dan ibumu sudah benar-benar terlambat. Yakin kau tak apaapa?"
Matt mengangguk mengiyakan. "Tolong sampaikan maafku
pada keluarga Miller."
Ayahnya berbalik dan mulai berjalan pergi. Ia berhenti lagi di
pintu dan mengendus-endus udara. "Bau aneh apa itu?" tanyanya
sambil mengerutkan kening.
Hanya almarhum temanku, pikir Matt sedih. Hanya almarhum
temanku yang kembali untuk memperingatkanku bahwa aku sedang
pacaran dengan vampir. Tak ada yang perlu dicemaskan, Dad.
"Aku tak tahu. Mungkin dari luar," sahut Matt sambil menguap.
Masih sambil mengendus-endus, Mr. Daniels melambaikan
tangan sekilas dengan penuh penyesalan dan menghilang keluar pintu.
Beberapa menit kemudian Matt mendengar pintu belakang terempas.
Lalu mendengar mobil dihidupkan dan dijalankan.
Setelah sendirian di rumah, ia memaksa diri beranjak bangun.
Rasa takut yang melandanya malam sebelumnya kembali
muncul, dan ia tahu ia akan muntah. Sambil menahannya, ia
terhuyung-huyung ke kamar mandi dan membungkuk di atas lubang
WC. Ia muntah-muntah hingga perutnya sakit. Kepalanya pusing,
butir-butir keringat dingin bermunculan di dahinya yang pucat. Matt
duduk di lantai yang dingin dan menunggu sampai merasa lebih baik.
Kira-kira semenit kemudian, perutnya tidak terasa melilit lagi
dan dinding-dinding kamar mandi berhenti berdengung.
Jangan buang-buang waktu, katanya pada diri sendiri.
Aku harus memperingatkan April. Harus.
Kali ini dia harus mempercayaiku.
Akan kutunjukkan memar-memar di leher kami. Akan
kuceritakan padanya tentang Todd.
Dia harus percaya padaku. Akan kupaksa dia mempercayaiku!
Ia menyikat giginya, menyiramkan air dingin ke seluruh
wajahnya yang panas, memakai celana renangnya, dan masih sambil
gemetaran berjalan menuju ke pesawat telepon di dapur.
Ia menekan nomor telepon April dan dengan sabar
mendengarkan nada panggil. Sekali. Dua kali.
Dibiarkannya nada panggil berbunyi hingga sepuluh kali.
Tak ada orang di rumah. "April, ayolah!" serunya memohon. "Aku harus bicara
padamu." Ia berdiri di sana lama sekali, bersandar ke meja dapur, nada
panggil tetap berbunyi di telinganya, menunggu, menunggu suara
April. "April"cepatlah."
Tapi tak seorang pun mendengarkan permohonannya.
********************** Setelah sarapan cepat-cepat, Matt kembali mencoba menelepon
April. Tapi masih tidak dijawab.
Merasa sedikit lebih bersemangat, ia berjalan ke kota dan
mencari April di sana. Cuaca lembap, suhu udara sekitar 32 derajat
Celsius, tidak biasanya pantai sepanas ini. Perjalanan ke kota
melelahkan Matt. Ia mencari-cari di Main Street, karena tidak
menemukan April, ia kembali ke pantai.
Juga tak ada tanda-tanda April ada di sana.
Sepanjang siang hingga sore ia habiskan dengan berbaring di
sofa di ruang tamu, bangun setiap beberapa menit untuk menelepon ke
rumah April, mendengarkan nada panggil yang berbunyi terus. Tidak
ada yang menjawab teleponnya.
Malam itu dengan penuh semangat ia pergi ke kota untuk
mengulangi pencariannya. "Yo"Matt!" panggil suara yang tak asing lagi ketika Matt
berjalan di sepanjang Seabreeze Road, jalan berpasir menuju kota.
Ia menoleh dan melihat Ben, yang memakai celana pendek jins
belel dan kaus Def Leppard kusam, sedang berlari-lari mengejarnya.
"Apa kabar?" tanya Ben, napasnya tersengal-sengal.
"Oke," sahut Matt tanpa memperlambat langkahnya.
Matahari rendah di balik pepohonan, tapi udara masih panas
dan lembap. Matt merasa seluruh tubuhnya berbiang keringat dan
berat, seakan bobotnya setengah ton.
"Aku mencarimu di pantai," kata Ben, berjuang mengimbangi
langkah Matt yang panjang-panjang. "Panasnya minta ampun, kukira
kau di sana. Asyik sekali lho selancarnya."
"Aku tak percaya kau meninggalkan tempat main game yang
sejuk dan malahan pergi ke pantai," kata Matt dingin.
"Tempat itu tutup," sahut Ben, berdecak. "Mesin-mesinnya
diperbaiki atau entah diapakan."
"Aku tak enak badan," kata Matt. Ia tidak ingin menjelaskan
segalanya pada Ben. Ia ingin bertemu dengan April dan
memberitahunya tentang bencana yang sedang menimpa mereka, ia
tak ingin bertemu dengan Ben.
"Ya. Tampangmu tak keruan." Ben mengamati wajah Matt.
"Apa maksudmu?" tanya Matt membela diri.
"Mukamu pucat," sahut Ben. Seringai mengejek menggantikan
ekspresi prihatinnya. "Pasti vampir, ya?" godanya, teringat percakapan
mereka sebelumnya ketika Matt menceritakan bagaimana ia telah
mempermalukan diri sendiri di hadapan April.
"Hah?" Matt menghentikan langkahnya dan ternganga.
"Kau pacaran dengan vampir-vampir lagi, ya?" Ben mengulang
gurauannya. "Apakah cewek berambut merah yang cakep sekali itu
sudah mengisap lehermu?"
"Aku cuma terkena virus atau sejenisnya," sahut Matt kasar.
"Hei"kan cuma bercanda," tukas Ben, senyumnya menghilang.
"Kau kenapa sih, Daniels?"
Matt mulai berjalan lagi tanpa menjawab.
Sejenak mereka berjalan di sepanjang jalan setapak itu tanpa
bersuara. Deretan rumah-rumah itu berakhir di lapangan luas
berumput yang menjadi batas kota. Sedikit demi sedikit langit
semakin gelap, seolah ada yang sedang memadamkan lampu.
"Malam ini kau mau pergi ke pasar malam?" tanya Ben.
"Rombongan anak-anak akan menengok tempat game, lalu pergi ke
sana malamnya." "Mungkin," sahut Matt tanpa semangat. Ia berhenti lagi. "Hei"
itu April." Beberapa meter di depan mereka tampak April, kepalanya
menunduk, jalannya pelan-pelan seperti sedang mencari-cari sesuatu.
"Hei"April!" panggil Matt.
"Sampai nanti," kata Ben, lalu sambil menyapa April ia berjalan
melewatinya menuju ke kota.
"April"hai!" panggil Matt, sambil berlari mengejarnya.
April berhenti dan mendongak. Ia tidak tersenyum. "Oh, kau.
Hai." Dingin saja sambutannya, batin Matt. Tapi ia tidak
mengacuhkannya. Ia harus bicara padanya. Ia harus memberitahu
April apa yang sedang terjadi.
April memandangnya dengan tak sabar, mukanya tampak pucat
dalam cahaya lampu yang suram, matanya lelah. Meskipun hari
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin gelap, Matt dapat melihat dua tanda bekas tusukan di
lehernya. "Aku harus bicara padamu," katanya dengan menahan napas.
"Aku sebenarnya?"
April mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Aku
sebenarnya tak punya waktu. Aku janjian ketemu Gabri sebentar lagi.
Tapi aku mencoba?" "Itulah yang ingin kubicarakan padamu," sela Matt. "Lihatlah
dirimu. Lihatlah lehermu. Lihatlah leherku." Ia memiringkan
kepalanya sehingga April bisa melihat lehernya dengan jelas.
"Matt?" Tiba-tiba kemarahan April memuncak. "Jangan
mulai." Ia menoleh, tidak ingin melihat leher Matt.
"Beri aku satu menit saja," Matt memohon, sambil memegang
bahu April. "Satu menit" oke?"
April mempertimbangkannya agak lama. "Oke. Satu menit.
Tapi jika kau mulai dengan masalah vampir itu lagi, waktumu habis."
"Tapi itulah yang ingin kukatakan padamu, April," katanya,
tanpa bermaksud terdengar seakan merengek, tapi ia begitu
bersemangat, begitu menggebu-gebu, begitu putus asa, untuk menjaga
agar suaranya tetap tenang. "Gabri adalah vampir. Aku tahu. Begitu
juga Jessica. Mereka berdua adalah vampir."
"Good-bye, Matt," kata April dingin, memutar bola matanya,
dan menggerakkan kedua tangannya mengusir Matt pergi.
"April"dengarkan."
"Tidak!" teriaknya. "Pergi."
"Tapi Todd memberitahuku?"
April terkejut, dan kepalanya tersentak ke belakang, seakan
telah ditempeleng. "Hah?"
"Tadi malam. Todd memberitahuku?"
"Matt, kau butuh pertolongan," katanya pelan, nadanya menjadi
lebih simpatik. "Kita semua sedih dengan... apa yang menimpa Todd.
Tapi kau jadi benar-benar kacau atau entah kenapa. Kau butuh
pertolongan." "Tidak, aku tak butuh pertolongan," Matt ngotot, tidak dapat
menjaga agar suaranya tidak terdengar frustrasi. "Aku tahu aku betul,
April. Kedengarannya memang gila?"
"Ya, memang," kata April, mengangguk, matanya terpaku pada
Matt seolah mencoba memastikan sudah seberapa gila dirinya.
"Tapi aku tahu aku betul. Kalau saja kau mau
mendengarkanku," Matt memohon.
"Sekarang aku tak bisa," katanya pelan. "Aku sedang mencaricari sesuatu dan?"
"Apa" Apa yang sedang kaucari-cari?" tanya Matt.
April kembali menunduk dan mulai berjalan pelan-pelan,
melangkahkan kakinya yang mengenakan sandal di atas pasir,
matanya menelusuri tanah. "Salib perak. Tadi malam aku jalan-jalan
dengan Gabri, dan kaitan rantai kalung itu longgar. Mungkin terjatuh.
Aku mencoba menelusuri kembali jejak kami."
"Salib perak?" tanya Matt senang. "Dan kautunjukkan pada
Gabri" Apakah dia mengangkat tangan menutupi matanya" Apakah
dia mundur menjauhinya" Itulah bukti bahwa dia vampir! Dia"ya
kan, April! Dia menjauhi salib itu."
Matt berpindah ke depan April, mengamati wajahnya, tak sabar
inendengar jawabannya. Akhirnya ia akan mendapatkan beberapa
bukti untuk mendukung dugaannya tentang Gabri.
"Kenapa sih tingkahmu jadi menyebalkan?" April cemberut.
"Pokoknya, salib itu kutunjukkan pada Gabri"dan dia suka."
"Dia tak mencoba menyembunyikannya darimu?" Matt
bertanya. "Nggak. Dia nggak takut. Malahan, dia membantuku
memasangkan kaitnya."
Sesaat mereka berpandangan, matahari terbenam, langit
semakin gelap menjadi berwarna lembayung.
"Menurutku itulah akhir teorimu," tukas April ketus.
"Bukan," desak Matt, mengikuti di belakang April sementara
cewek itu meneruskan pencariannya. "Apa belakangan ini kau merasa
capek dan lemas?" "Aku tak mau lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan
konyolmu," sahut April tanpa menoleh.
"Pernahkah kau bertemu Gabri siang hari" Pernahkah dia
memberitahumu di mana dia bekerja sepanjang hari" Pernahkah kau
mengunjunginya di sana" Tak herankah kau kenapa dia tak makan
piza malam itu sedangkan kita semua yang lainnya makan?"
April berpaling dengan marah, mengepalkan kedua tangannya
erat-erat di samping tubuhnya. "Matt, kau benar-benar sudah tak
beres." "Jawab pertanyaan-pertanyaan itu, April," desaknya.
"Kau bodoh sekali. Aku ingin kau segera menyingkir dariku."
"Tidak, April. Aku tak mau. Sampai kau mau
mendengarkanku." "Pergi, Matt," ulang April lebih keras, lalu kehilangan
kesabaran dan berteriak, "Pergi! Aku serius! Pergi!"
Matt tak mau menyerah, diraihnya pundak April.
April mengelak. Sesosok bayang-bayang gelap muncul di jalan itu, lebih gelap
daripada langit. "Hei?" seru Matt terkejut saat Gabri melangkah ke samping
April, matanya tertuju kepada Matt. Gabri memakai jins hitam dan
pullover lengan panjang, meskipun malam itu panas.
"Ada apa?" tanyanya pelan kepada April, sambil tetap
mengawasi Matt. "Ada masalah?"
Matt membalas tatapan Gabri. Rasa takut mulai memilin
perutnya, rasa dingin menyergap sekujur tubuhnya.
"Nggak. Nggak ada apa-apa," sahut April ragu.
Matt melangkah mundur, menurunkan lengannya. Ia merasakan
kekuatan mata Gabri, membakar ke dalam matanya, menembus seperti
sinar laser. "Tak apa-apa," ulang April sementara Gabri terus menantang
Matt dengan matanya. "Kami cuma ngobrol."
Gabri mengalihkan tatapannya dari Matt dan berpaling kepada
April, senyum menghiasi wajahnya. "Kalian sedang membicarakanku"
Kupingku terasa panas."
"Terus terang, ya," sahut April, sambil menggandeng Gabri.
Mereka mulai berjalan menjauh, sambil bercakap-cakap dengan
santai. Matt berdiri bergeming, memandangi mereka pergi, masih
merasakan panasnya tatapan Gabri.
April menoleh ke belakang untuk melihat apakah Matt
mengikuti. Gabri tak pernah menoleh.
Aku tahu aku benar, kata Matt pada diri sendiri, sambil
mengawasi sampai mereka menghilang di tikungan jalan.
Aku akan membuktikannya pada April.
Aku harus menyelamatkan hidupnya.
Dan tiba-tiba, sebuah gagasan melintas di benaknya. Ia tahu
caranya. Bab 24 BIDIKAN KAMERA "KAU mau ke mana dengan kamera itu?" tanya Mr. Daniels
dari ruang tamu. Matt berhenti di pintu. "Oh, hai, Dad. Aku tak tahu kalian sudah
pulang." Ia menyampirkan tali kamera ke bahunya dan kembali
melangkah ke ruangan itu. "Boleh aku pinjam ini?"
"Apakah aku punya pilihan?" Mr. Daniels balas bertanya
dengan nada menyindir. Ia memberi isyarat dengan tangannya.
"Sudah, pergi sana. Pakai saja."
"Ada burung-burung bagus di pantai malam hari," Matt
berbohong. "Aku ingin mencoba memotretnya kalau bisa."
Ayahnya menurunkan buku yang sedang dibacanya ke
pangkuannya dan mengamati Matt dengan sinis. "Sejak kapan kau
tertarik pada burung?"
Matt mengangkat bahu. "Yang ini benar-benar bagus. Aku tak
tahu apa namanya. Mereka mengejar-ngejar semua burung camar dan
burung-burung lainnya."
Ia merasa tak enak membohongi ayahnya. Tetapi tak mungkin
ia mengatakan hal yang sebenarnya?"Aku akan memotret cowok
yang sedang pacaran dengan April, dan kalau cowok itu tak muncul
dalam foto, akan terbukti bahwa dia vampir."
Tak mungkin ayahnya akan mempercayainya.
Siapa yang akan percaya"
"Film yang terpasang di situ kecepatannya sangat tinggi," kata
Mr. Daniels, sambil menurunkan buku yang sedang dibacanya ke
pangkuannya dan berjalan menghampiri Matt. "Satu-satunya kesulitan
memotret dengan kamera ini malam hari adalah memfokuskannya.
Sini kutunjukkan caranya."
Matt sudah ingin sekali bergegas ke pasar malam itu, tapi ia
tidak dapat berlari keluar begitu saja. Ia berdiri dengan sabar
sementara ayahnya mengeluarkan kamera itu dari wadahnya dan
menunjukkan padanya cara terbaik untuk memfokuskannya dalam
gelap dan mengatur pencahayaannya.
"Hati-hati memakainya," Mr. Daniels memperingatkan saat
Matt buru-buru membuka pintu, dan menutup wadah kamera sambil
berjalan. "Kamera itu membawa keberuntungan. Senang ada yang
memakainya." Matt mengucapkan selamat malam. "Aku akan memakainya
dengan sebaik mungkin," gumamnya pada diri sendiri. "Aku akan
menjebak vampir dengan ini."
Rencananya ialah akan menghabiskan satu rol film semuanya
untuk menjepret Gabri dan April di pasar malam itu. Kalau Gabri
tidak tampak wujudnya dalam semua foto itu, April baru akan
mempercayai Matt. Akan terbukti bahwa Gabri adalah vampir.
Setengah berlari, setengah berjalan, ia menuju ke lapangan
tempat pasar malam itu diselenggarakan. Begitu melangkah ke dalam
sorot cahaya putih lampu-lampu pijar berkekuatan penuh, matanya
memperhatikan wahana-wahana yang meliuk-liuk, berputar-putar,
berjungkir balik, teriakan dan pekikan menyerbu telinganya. Tiba-tiba
Matt ingat telah berjanji akan bertemu dengan Jessica di pantai.
Sayang sekali, pikirnya pahit.
Mungkin karena aku tak muncul, dia akan tahu rahasia itu.
Mungkin dia akan sadar aku sudah tahu siapa dia sebenarnya dan apa
yang dilakukannya padaku.
Diangkatnya tangannya ke lehernya, dan tiba-tiba lehernya
terasa pedih dan hangat. Jessica sangat cantik, pikirnya. Sangat menyenangkan.
Tiba-tiba ia dapat mencium aroma parfumnya, sangat manis,
sangat tajam. Pasar malam itu tampak melebur dalam kabut cahaya putih. Ia
merasa tertarik menjauh, tertarik ke pantai, tertarik kepada"Jessica.
Kepada rambutnya yang lembut merah. Kepada bibirnya yang
gelap. Tidak! Sambil mencengkeram wadah kamera dengan kedua tangannya,
ia melangkah penuh semangat melalui kincir ria, matanya mencaricari di antara kerumunan. Sekelompok anak kecil berlari cepat
menduluinya, berebut mencapai wahana berikutnya, dan nyaris
menabraknya hingga jatuh.
Ia berpegangan pada sebatang tiang untuk menjaga
keseimbangan tubuhnya. Diperiksanya kamera itu. Tampaknya baikbaik saja.
Setelah mencari-cari lagi sebentar, sekilas ia melihat April dan
Gabri yang sedang bergandengan, antre di tempat kincir ria.
Dengan tangan gemetar karena tegang, cepat-cepat Matt
menarik keluar kamera dari wadahnya, mengalungkan talinya ke
lehernya, dan mengangkat kamera itu ke matanya.
Seseorang melangkah di depannya, menghalangi pemandangan
saat ia menekan tombol pertama kali. "Maaf," kata sebuah suara
wanita setelah beberapa meter darinya.
Sambil tetap berada di samping kios makanan, Matt bergerak
agak mendekat dan membidik lagi. Dan lagi.
Ia memfokus ulang, bergerak agak mendekat, memastikan
lampu kamera menyala, dan menjepret lagi, memastikan April dan
Gabri keduanya masuk dalam bingkai.
April mendongak. Matt kembali merunduk ke samping kios.
Apakah April melihatnya"
Dengan ragu-ragu kepalanya melongok ke luar dari samping
kios, mengamati April. Tidak. April berpaling kepada Gabri.
Matt tidak ingin sampai terlihat. Ia tahu Gabri akan segera
menebak apa maksud Matt. Matt gemetar. Tak ada yang bisa
mengatakan apa yang mungkin akan dilakukan Gabri untuk mencegah
Matt memperoleh bukti tentang dirinya.
Matt menunggu dalam persembunyiannya hingga melihat
mereka naik ke kincir ria. Dengan menggunakan lensa zoom yang
sudah terpasang, ia membidik mereka yang sedang duduk
berdampingan di dalam kereta logam itu.
Ia mengikuti mereka di belakang kincir ria itu ketika mereka
bergerak di sepanjang deretan kios permainan. Sambil mengendapendap membuntuti, tetap berada di sisi lain lorong lebar, Matt
menekan tombol mengambil foto demi foto.
Ia mencoba tidak menghiraukan betapa mereka berdua tampak
begitu dekat, betapa April tampak begitu bahagia bersama Gabri,
betapa mereka tampak serasi satu sama lain. Semuanya itu akan
berubah, segera sesudah foto-fotoku membuktikan siapa Gabri itu
sesungguhnya, ia terus-menerus meyakinkan dirinya sendiri.
Dengan hanya beberapa bidikan lagi yang tersisa, ia melangkah
ke tengah lorong yang ramai ketika April dan Gabri berhenti untuk
mengamati carousel. Tiba-tiba April berpaling dan melihatnya.
Mula-mula, April berpura-pura tidak mengenalinya. Lalu,
begitu tahu Matt sedang memperhatikannya, ia berpaling kepada
Gabri, memeluknya dengan mesra, dan mencium pipinya.
Oke, April, batin Matt sedih, dikembalikannya kamera ke dalam
wadahnya. Perasaanmu akan lain begitu aku mengungkapkan
kebenaran itu padamu. Perasaanmu akan lain sesudah hidupmu kuselamatkan.
Ia tidak menyalahkan April karena marah padanya. Ia tidak
memberinya alasan apa pun agar April mempercayainya.
Tapi sekarang alasan itu sudah ada di dalam tangannya.
Ia harus memproses foto-foto itu secepat mungkin. Ia harus
menunjukkannya pada April secepat mungkin. Melihat April
merapatkan diri pada Gabri, jari-jari mereka bertautan, saling
bersandar sementara carousel berputar di belakang mereka, Matt tahu
ia harus bergegas. Sambil memegang kameranya erat-erat dengan dua tangan, ia
berbalik dan berlari meninggalkan lapangan pasar malam. Seseorang
memanggilnya"Ben, mungkin"tetapi ia tidak berhenti ataupun
menoleh. Ia melintasi tempat parkir, menyelinap di antara deretan mobil,
dan berlari ke Main Street. Studio foto cetak satu jam hanya seblok
jauhnya, di tikungan Dune Lane.
Satu jam, pikir Matt, semangatnya memacunya saat ia berlari
melewati pasangan-pasangan dan kelompok-kelompok kecil orang
yang berjalan-jalan di sepanjang Main Street.
Hanya satu jam dan mimpi buruk ini akan berakhir.
Ia menoleh meminta maaf kepada seorang pria separo baya
yang sedang memegang es krim yang telah ditabraknya tanpa sengaja,
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu membelok menyeberangi Dune Lane tanpa berhenti di tikungan
untuk memeriksa lalu lintas.
Sebuah wagon biru berdedt-decit direm mendadak di tikungan.
Si sopir meneriaki Matt. Satu jam, hanya itu yang didengar Matt.
Satu jam untuk mendapatkan foto-fotoku. Satu jam untuk
mendapatkan buktiku. Ia meraih kenop pintu depan studio foto itu, memutarnya, dan
menariknya kuat-kuat. Beberapa detik kemudian ia baru menyadari studio foto itu
gelap dan tutup. Bab 25 TERLAMBAT WEKER Matt berdering pukul delapan pagi. Begitu ia
terbangun yang pertama melintas di benaknya adalah April. Dan film
itu. Aku harus menyelamatkan April. Aku harus menunjukkan fotofoto itu padanya. Bukti itu.
Ia berganti pakaian, meneguk segelas jus jeruk cepat-cepat, dan
bergegas keluar rumah sebelum orangtuanya bangun. Saat berlari-lari
ke kota, tangannya tetap berada di dalam saku jinsnya, menggenggam
erat tabung plastik berisi gulungan film.
Kabut telah bergulung-gulung meninggalkan pantai semalam.
Perlahan-lahan kabut itu naik ketika Matt tiba di Main Street, tetapi
langit masih mendung, udara dingin, dan potongan-potongan kabut
mengambang di antara bangunan-bangunan rendah.
Seperti sebagian besar toko di Sandy Hollow, studio foto itu
baru akan buka pukul sepuluh. Matt mondar-mandir di sepanjang jalan
yang nyaris sunyi itu, tangannya masih menggenggam erat gulungan
film dalam sakunya. Ia tidak berhenti melihat-lihat isi etalase-etalase
toko. Ia tetap berjalan ke sana kemari dengan tak sabar, memeriksa
jam tangannya setiap lima menit.
Sementara mondar-mandir di sepanjang jalan itu, ia khawatir
kalau-kalau Gabri tiba-tiba muncul, memojokkannya ke belakang
salah satu toko, dan merampas gulungan film itu darinya,
menyingkirkan buktinya. Tapi, tentu saja, itu tak mungkin. Gabri takkan pernah muncul
di saat hari masih terang.
Karena baru pukul setengah sepuluh, Matt duduk di depan meja
layan Seabreeze Coffee Shop dan memesan secangkir kopi. Ia tidak
suka rasa kopi, tetapi harus melakukan sesuatu untuk mengisi waktu
kosong yang masih setengah jam itu. Setelah menuangkan susu ke
cangkirnya hingga penuh, ia meneguknya pelan-pelan, heran mengapa
orang-orang sangat menyukai rasa pahit itu. Matanya terpancang ke
jam dinding bundar berlampu neon di balik meja layan.
Ia kembali ke studio foto itu pukul 09.55, tepat saat sang
manajer, pemuda dengan rambut merah model spiked dan satu antinganting bertatahkan batu sejenis zamrud, sedang membuka pintu.
"Pagi," sapanya ragu-ragu, mengamati Matt sejenak sebelum
mempersilakannya masuk. "Pagi-pagi sekali kau datang ke sini."
Matt mengeluarkan tabung film dari sakunya dan
meletakkannya di meja layan. "Aku" aku punya film ini," gagapnya.
"Maksudku, aku sedang buru-buru."
Manajer itu mengeluarkan sebotol kopi dari tas belanjaan dan
pelan-pelan membuka tutup plastiknya, sambil memperhatikan Matt.
"Mesinnya harus dipanaskan sebentar sebelum bisa dioperasikan,"
katanya, sambil menguap. "Tapi apa sejam lagi sudah bisa dicetak?" tanya Matt penuh
semangat. Pemuda itu menggeleng. "Kembalilah sekitar jam setengah dua
belas." Ia menulis nama Matt dan nomor teleponnya. "Kami punya
penawaran khusus minggu ini untuk cetakan yang kedua. Separo
harga kalau ukurannya 3R."
"Tidak, terima kasih," sahut Matt. "Setengah dua belas" Sudah
jadi?" Pemuda itu mengangguk. "Ini pasti foto-foto yang sangat hot,"
katanya, sambil melirik Matt. "Mungkin akan kucetak satu set buatku
sendiri." Ia tertawa ngakak untuk menunjukkan bahwa ia bergurau.
Tetapi Matt membalikkan badan dan cepat-cepat keluar tanpa
tersenyum sedikit pun. Kembali ke Main Street, ia memikirkan April. Aku harus
meneleponnya, batinnya, dan mencari tahu jam setengah dua belas
nanti dia akan berada di mana.
Ia mulai mencari telepon umum, lalu berubah pikiran.
Lebih baik aku menunggu sampai bukti itu ada di tanganku,
sampai aku punya foto-foto yang memperlihatkan April tapi Gabri tak
ada. Mungkin dia takkan mau bicara padaku lewat telepon.
Karena terlalu gelisah bila harus berkeliaran di kota selama satu
setengah jam, Matt akhirnya memutuskan pergi ke pantai. Kabut
masih rendah, membentuk awan kelabu tebal yang melayang-layang
di atas laut, sehingga pantai gelap dan tidak ada orang yang berjemur.
Ia berjalan di sepanjang bukit-bukit pasir sebentar. Kalau saja ia
bisa mempercepat jalannya waktu.
Ia kembali ke studio foto itu pukul 11.20. Si pemilik studio
menyambutnya dengan senyum minta maaf. "Sori."
"Hah?" Matt tidak menangkap maksudnya. "Sori" Aku terlalu
cepat" Fotoku belum jadi?"
"Keduanya ya," sahut si manajer, sambil menggaruk-garuk
rambut merahnya yang licin. "Mesinnya rusak."
"Apa maksudmu?" tanya Matt panik, debar jantungnya makin
cepat. "Cuma rodanya. Aku menelepon studio lain di Newton's Cove
untuk minta penggantinya."
"Tapi kapan sampainya?" tanya Matt.
Pemuda itu mengangkat bahu. "Aku buka sampai jam tujuh
malam ini. Kembalilah sekitar jam itu, untuk amannya." Ia meraih
koran lokal dari kursi lipat di balik meja layan. "Fotomu akan jadi
pukul tujuh. Tak apa-apa."
*********************** Entah bagaimana Matt akhirnya berhasil melewatkan waktu itu.
Matahari tidak pernah muncul. Langit siang putih menyilaukan, tapi
udara tetap terasa dingin lembap.
Tengah hari ia terlelap sebentar, tidurnya gelisah, bayangan
sosok Jessica melayang-layang dalam benaknya.
Ciuman-ciuman itu. Ciuman-ciuman yang lembut, basah.
Ia terbangun, ketakutan. Ia harus menghindari Jessica, bahkan dalam mimpi-mimpinya.
Sore hari hanya lebih gelap sedikit daripada siang hari. Matt
memakai kausnya yang bersih, menyisir rambutnya, memeriksa isi
dompetnya, dan berangkat keluar rumah.
Hari yang tersia-sia, pikirnya sedih.
Yah, takkan sia-sia jika foto-foto itu jadi sesuai dengan yang
diyakininya. Takkan sia-sia jika akhirnya April percaya padanya, jika
ia dapat meyakinkan April untuk tidak menemui Gabri lagi.
"Hei"kau rupanya," kata si manajer studio foto, nyengir
melihat Matt memasuki studio itu beberapa menit sebelum pukul
tujuh. Matt tidak mau repot-repot berbasa-basi. "Sudah jadi?"
Pemuda itu mengangguk dan melemparkan sebuah amplop tebal
ke atas meja layan. "Kameramu hebat," katanya, sambil bersiul. "jenis
apa?" "Aku tak tahu," sahut Matt, sambil meraih amplop tebal itu.
"Punya ayahku. Foto-fotonya jadi?"
"Ya. Bagus dan jelas. Apalagi mengingat pencahayaannya.
Beberapa agak tak fokus."
Sudah cukup basa-basinya, pikir Matt tak sabar. "Berapa?"
tanyanya, sambil mengambil dompetnya dengan tangan gemetar.
Beberapa saat kemudian ia menerobos keluar pintu dan
membelok di tikungan menuju ke belakang studio foto itu. Sambil
bersandar pada dinding kayu yang dicat, ia menarik keluar segebung
foto-foto mengilap dari amplop itu.
Aku pasti benar, pikirnya, sambil diam-diam berdoa, perutnya
melilit, seluruh tubuhnya tegang menunggu.
Aku pasti benar. Sambil memusatkan perhatiannya dalam cahaya suram, pelanpelan ia memeriksa foto- foto itu lembar demi lembar.
Semuanya seperti yang diharapkannya, beberapa tidak terfokus.
Tapi, ya. Ya, ya, ya! Matt benar. Dalam helai demi helai foto tampak April, sedang tersenyum
pada seseorang yang tak kelihatan, bergandengan tangan dengan
seseorang yang tak kelihatan, berangkulan dengan seseorang yang tak
kelihatan. Duduk di kursi kincir ria berdampingan dengan vampir yang tak
kasatmata. Seketika itu juga Matt terpaku, karena perasaannya terguncang,
ngeri. Ia nyaris menjatuhkan foto-foto itu, punggungnya kembali
bersandar ke dinding, napasnya tersengal-sengal.
Hampir semenit kemudian ia baru pulih. Meskipun baru pukul
tujuh lewat sedikit, awan-awan tebal di atas membuat suasana sudah
segelap tengah malam.Ia tahu, Gabri akan muncul sekali lagi.
April, aku datang, batinnya, dengan hati-hati diselipkannya
amplop berisi foto-foto itu ke dalam saku belakang jinsnya.
Aku datang untuk menyelamatkanmu darinya.
Tunggulah, April. Kali ini kau harus percaya padaku. Jadi tunggulah.
Ia mencoba menelepon ke rumah April lewat telepon umum di
kelokan jalan. Tidak diangkat.
Ia mencari-cari cewek itu di kota, mulai dari gedung bioskop di
ujung selatan, mengamati wajah orang-orang yang sedang antre
membeli tiket pertunjukan pertama, lalu menyeberangi Dune Lane ke
Swanny's. April juga tak ada di kios es krim maupun di toko di
dekatnya. Tunggulah, April. Tunggulah.
Ia berjalan ke ujung jalan, menyeberang, dan bergegas di
sepanjang jalan di sisi lain, melongok ke dalam restoran-restoran dan
toko-toko pakaian, matanya meneliti setiap pasangan, setiap orang,
setiap kelompok orang yang lewat.
April"oh, April. Di mana kau"
Ia mencari-cari di kota selama hampir sejam tanpa hasil. Ia
memeriksa jam tangannya. Hampir pukul 20.15.
Sambil mendorong foto-foto di saku belakang jinsnya lebih
dalam, ia memutuskan akan mencoba mencari di pantai.
Sambil berlari-lari kecil di sepanjang Seabreeze Road, angin
laut bertiup ke mukanya, ia dapat merasakan otot-ototnya semakin
menegang, merasakan kengerian memuntir perutnya. Keringat dingin
bermunculan dan mengalir di pipinya. Kakinya seolah berbobot lima
ratus kuintal. Namun ia belum menemukan April. Ia harus menunjukkan pada
April bahaya yang mengancamnya.
Pantai tampak berkilauan biru keperakan dalam remang-remang
yang semakin gelap. Ombak kecil menggapai saat-saat akhir cahaya
matahari, tampak garis-garis merah pada permukaan laut yang hijau
tua dan bergulung- gulung.
April"muncullah. Ayo.
Pantai berisi orang-orang yang menikmati detik-detik akhir
sinar matahari sore. Ketika Matt melangkah melintasi bukit-bukit
pasir menuju ke air, matahari terbenam, tiba-tiba air menjadi lebih
dingin, langit menggelap seolah ada yang memadamkan lampu.
Ia merasa melihat April dua kali.
Cewek-cewek itu berambut pirang dan kurus serta punya gaya
seperti April. Tapi mereka bukan April. Mereka berbalik menatapnya, terkejut melihat intensitas
tatapannya, pandangan putus asanya, napasnya yang terengah-engah
sementara ia tetap meneruskan pencariannya dengan panik.
Sebelum menyadarinya, Matt hampir sampai di dermaga perahu
dayung di ujung pantai di mana karang tinggi menjorok ke dalam air.
Tiga perahu dayung mengapung-apung di sana, membentur-bentur
dermaga. April"di mana kau" Di mana"
Hanya sedikit sekali orang di sana. Ia tahu sebaiknya ia berbalik
kembali. Ia terengah-engah, berpikir keras, sepatu ketsnya menggilas
pasir yang berkerikil, ia tidak mendengar suara itu hingga namanya
dipanggil untuk ketiga kalinya. "Matt! Hei" Matt! Berhenti!"
"Jessica!" Ia berhenti dan membungkuk, menumpukan kedua tangannya
pada lutut, tersengal-sengal, berjuang meredakan napasnya.
"Matt"kau sedang mencariku?"
Rambut Jessica melambai-lambai di punggungnya, tertiup angin
saat ia berlari ke arah Matt, matanya berkilauan, kulit pucatnya nyaris
tak tampak dalam cahaya bulan yang baru muncul, bibirnya tersenyum
hangat dan mengundang. "Kau sedang mencariku" Aku di sini."
Cara bicaranya sangat lembut, sangat halus, suaranya hampir
seperti bisikan dalam embusan angin.
"Aku merindukanmu kemarin, Sayang."
Tatapannya beradu dengan tatapan Matt. Matt memandangi
bibirnya. Ia teringat ciuman-ciuman itu. Ciuman-ciuman yang indah
sekali. Tatapannya seperti menarik Matt mendekat, menghela Matt
kepadanya. "Aku sangat merindukanmu, Matt. Di mana kau, Sayang?"
Jessica semakin dekat hingga nyaris menyentuhnya. Tatapannya
tetap terarah pada mata Matt, membuatnya terpaku seakan tersihir,
menahannya sementara ia semakin mendekatkan diri.
Dan Matt merindukan satu ciumannya.
Satu kali saja. Matt menegakkan badan, napasnya masih terengah-engah.
Satu ciuman saja, pikirnya.
Dan lalu ia melihat sesuatu melewati bahu Jessica.
Matanya terbebas dari sihir itu"dan ia melihat seseorang.
Seseorang di dermaga kecil itu. Seseorang yang sedang menaiki
salah satu perahu dayung.
Seseorang sedang membantu seseorang naik ke perahu dayung
yang sedang mengapung-apung di atas ombak yang bergulung-gulung.
April! Gabri sedang membantu April naik ke dalam perahu sempit itu.
Tidak! Jessica memeluk bahu Matt. Bau parfumnya menyergap hidung
Matt. Matt menarik napas dalam-dalam, tak sanggup menolaknya.
Sekarang April duduk di dalam perahu dayung itu. Gabri
sedang mengambil dayung. Tidak! Jessica menarik Matt mendekat padanya. Pusing karena
mencium aroma parfum itu, Matt mengintip lewat bahu Jessica saat
Gabri mulai mendayung dan perahu itu meluncur menjauhi dermaga.
"Aku merindukanmu kemarin, Matt," bisik Jessica, sambil
menunduk dan menekankan bibirnya ke lubang telinga Matt.
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perahu itu meninggalkan dermaga dengan mudah, Gabri
mendayung dengan mantap, tanpa bersusah payah.
Satu ciuman saja, pikir Matt, terlena oleh parfum itu.
Satu saja. Perahu itu menghilang ke dalam kegelapan, menuju ke pulau
kecil di lepas pantai. April. April dan Gabri. Pergi berperahu.
Pergi berperahu untuk selamanya.
"Tidak!" Matt menjerit keras, dan mendorong Jessica menjauh,
mendorongnya kuat-kuat. Jessica ternganga kaget, terhuyung-huyung
mundur, dan Matt melarikan diri.
"Matt"kembali!" panggilnya.
Tapi Matt kini lari ke dermaga, meninggalkan tatapannya,
meninggalkan parfumnya, meninggalkan kekuatannya. Lari, lari
sekuat tenaga, sepatu kets Matt meluncur di pasir, napasnya tersengalsengal, matanya tertuju ke arah dermaga di mana masih tersisa dua
perahu dayung yang terapung-apung di air.
Foto-foto berjatuhan dari saku belakang jins-nya saat ia berlari.
Ia ragu-ragu sejenak, lalu meneruskan larinya.
Tak ada waktu untuk foto-foto sekarang. Tak ada waktu untuk
tuduhan dan bukti. Gabri sedang mendayung perahu bersama April, membawa
April ke pulau misterius berhutan lebat yang dihuni semua kelelawar
itu. Tak ada waktu. Tak ada waktu. Tak ada waktu.
Matt berlari di atas dermaga dan tidak berhenti hingga sampai
di ujungnya. "April!" panggilnya, sambil menangkupkan kedua
tangannya ke mulutnya, berusaha berteriak mengatasi deru angin laut.
"April! April!" serunya.
April tidak menengok. April tidak mendengarnya.
Kini perahu itu hanya berupa bayang-bayang gelap, berkelipkelip mirip hantu yang memasuki kegelapan.
"Aku terlambat," bisik Matt pada diri sendiri.
Bab 26 KEPAKAN SAYAP BERDETIK-DETIK. Membutuhkan berdetik-detik yang
berharga untuk melepaskan salah satu perahu dari dermaga.
Lalu berdetik-detik yang berharga lagi untuk meloncat ke dalam
perahu yang terapung-apung, meraih dayungnya.
Tik tik tik. Detik-detik berlalu.
Sekarang ia bisa mendengar Jessica, dekat di belakangnya,
memanggilnya, memintanya kembali. Ia menoleh sesaat dan melihat
Jessica sedang berlari ke arah dermaga, tampak menggelinding di atas
pasir. Tapi dalam detik berikutnya, Matt membungkuk rendah,
menarik dayung-dayung itu, mengayuh meninggalkan pantai, seruan
Jessica terdengar lamat-lamat tertutup deru angin.
Arus pasang lebih kuat daripada yang dibayangkan Matt. Tiap
kali ia mengayuh, membungkuk ke depan dan menarik lengannya ke
belakang dengan segenap kekuatannya, perahu itu tampaknya hanya
meluncur maju sejauh satu kaki, dan mundur lagi dua kaki.
Air yang tergenang di dasar perahu kecil itu merendam
sepatunya, membasahi kaus kakinya. Semburan asin ombak membuat
matanya terpaksa memejam.
Aku terlambat, pikirnya. Terlambat. Terlambat.
Tapi ia tahu ia tak boleh menyerah.
Di mana perahu April"
Mungkin sudah sampai di pulau itu.
Matt mengedip-ngedipkan mata ke arah bayang-bayang hitam
pulau di depannya, tampak di dalam air seperti makhluk laut raksasa
yang menunggu menelannya. Ia tidak bisa melihat perahu April.
Ketika mendongak ke langit, ia melihat kelelawar-kelelawar
melayang-layang di atas pulau itu. Dan waktu ia semakin dekat, bunyi
kepakan sayap mereka mengatasi deru air, angin, dan semua bunyi
lainnya, bahkan napasnya sendiri.
Beratus-ratus kelelawar terbang dengan gaduh, melayang di
antara pepohonan, memenuhi langit, berdengung dan mencicit-cicit,
nyaris setebal kerumunan lebah.
Saat semakin mendekati pulau itu, sekilas Matt melihat
dermaga kecil yang menempel di tepi pantai yang ditumbuhi
pepohonan. Sebuah perahu dayung"perahu April"mengapung di
sampingnya. Kosong. Dikayuhnya perahunya ke dermaga itu, lalu ia meloncat keluar
tanpa mengikat perahunya lebih dulu, dan melihat ke sekeliling.
Sebuah jalan setapak sempit dan berdebu berkelok menembus
pepohonan. Matt mulai menyusuri jalan setapak itu, lalu tiba-tiba sadar
bahwa salah satu dayung terbawa olehnya. Satu-satunya senjataku,
pikirnya saat kengerian menjalari tulang punggungnya. Ia
membungkuk bergegas menerobos pepohonan itu, menghindari sayapsayap yang mengepak-ngepak di atas kepalanya, bunyi cicitan yang
menggema di dalam hutan. Rumah beratap sirap rendah di ujung jalan setapak itu sangat
gelap. Ketika semakin dekat, Matt melihat jendela-jendela rumah itu
berlubang tanpa kaca. Kelelawar-kelelawar beterbangan di atas atap rendah dan
miring itu. Seekor kelelawar melayang rendah di sebelah salah satu
jendela, hanya beberapa inci dari muka Matt, lalu menjauh dengan
mencicit nyaring. Sambil bertumpu pada dayung, memegang erat dayung itu
dengan kedua tangannya, Matt mengintip ke dalam jendela. Di dalam
suasana gelap bagai dalam sumur, lebih gelap daripada malam hari. Ia
tidak dapat melihat apa pun.
Karena tak ada pilihan lain, ia memegang dayung dengan satu
tangan, mengangkat kakinya ke atas ambang jendela, dan merunduk
memasuki rumah itu. Bau di dalam sangat lembap, meskipun semua jendelanya
terbuka. Lembap dan... berbau kematian.
Ia tersentak mencium bau busuk itu, lalu memaksa diri bernapas
dengan normal. Sambil menunggu matanya menyesuaikan diri dengan
kegelapan, ia berdiri diam, kepakan sayap kelelawar-kelelawar dari
luar mengikutinya ke dalam rumah itu.
Sedikit demi sedikit pandangannya terfokus dan dapat melihat
ruangan tempat ia sedang berada. Ruangan yang panjang dan sempit.
Sebuah kamar tidur tanpa ranjang.
Lalu ia melihat April. Di dekat tembok. Meringkuk di kursi berlengan yang besar
sekali. Kepalanya menelungkup di atas lengan kursi yang berbantalan
tebal. Dia sudah mati, pikirnya, sambil bergegas menghampiri,
membungkuk di atas kursi itu.
Gabri sudah membunuhnya. Tapi, tidak. Ia mendengar napas lembut April, berembus pelan,
bibirnya terbuka. Masih hidup. Masih hidup"tapi apa yang telah dilakukan Gabri padanya"
Di luar, kepakan sayap kelelawar terdengar semakin keras,
semakin dekat. Ruangan itu semakin gelap seolah makhluk-makhluk
itu menutupi jendela, menghalangi semua sinar masuk.
Apa yang berada pada dinding seberang, jauh dari jendela itu"
Tempat tidur" Matt berbalik menjauhi April, mengerjap-ngerjapkan mata
dalam kegelapan, bertelekan pada dayung, mencoba berpikir di antara
kepakan sayap kelelawar yang semakin gaduh dan kedap-kedip
cahaya remang-remang"lalu sadar bahwa ia sedang memandangi peti
mati. Tutupnya tertutup rapat, peti mati kayu mengilat itu menempel
ke dinding. "Oh!" Sekujur tubuh Matt gemetaran. Ia mencengkeram dayung itu
kuat-kuat, berpegangan padanya agar tidak terjatuh.
Bunyi kepakan sayap tampaknya mereda, lalu semakin keras. Ia
membayangkan kelelawar-kelelawar melayang-layang di langit di atas
rumah, bersiap-siap menyerbu lewat jendela-jendela tanpa panel itu.
"April, kita harus keluar dari sini," katanya dengan suara
gemetar yang nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.
Ia cepat-cepat melintasi kamar kembali kepada April dan
mengguncang-guncang kedua bahunya. "April" April?"
April bergerak-gerak sebentar tapi matanya tidak membuka.
"April?" Matt mengguncangnya agak lebih keras.
Kembali ia bergerak, namun kepalanya kembali terkulai ke
lengan kursi. Matt mengangkat kepalanya, mencoba membuka matanya,
mengguncang-guncang bahunya lagi.
"April"bangun! Bangun!" Teriakannya tersumbat oleh
ketakutannya. "April"ayo! Kita harus keluar dari sini!"
April bergerak-gerak. Pelan-pelan matanya membuka. Ia memandangi Matt dengan
bingung. "Hah" Matt?" Ia berusaha memfokuskan matanya, tapi
menyerah dengan cepat dan matanya terpejam kembali.
"April?" Matt merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya. Kehadiran
sesuatu yang berat. Ia berputar"dan menjerit saat Gabri bergerak maju.
Taring-taring menjulur ke bawah ke dagunya, mulutnya
menganga lebar, matanya berkilat-kilat merah dengan kemarahan,
Gabri meloncat ke muka menyerang.
Bab 27 MATT MATI "TIDAAAAAAAAAK!"
Matt bahkan tidak menyadari jeritan ngeri yang meraung di
kamar panjang itu keluar dari tenggorokannya.
Sambil menggeram seperti binatang Gabri menyergap Matt,
taring-taringnya terarah ke leher Matt.
Matt meraung-raung ketakutan.
Ia tak punya waktu untuk berpikir. Ia tak punya waktu untuk
menyusun rencana. Secara refleks, ia berbalik, menarik kedua lengannya ke
belakang, dan menyodokkan gagang dayung ke depan ke arah musuh
yang sedang menyerangnya.
Gabri berlari tepat ke arah dayung itu.
Gagang dayung menembus dadanya diiringi dengan bunyi
derak yang menyakitkan. Mata Gabri melotot, sinarnya memudar.
Mulutnya ternganga untuk berteriak, dan seekor ngengat abuabu terbang keluar.
Ngengat itu melayang ke langit-langit, lalu ke luar jendela yang
terbuka. Mata Gabri terpejam. Kepalanya terkulai ke belakang.
Dan sementara Matt terpaku ngeri, tubuh Gabri roboh ke lantai,
terlipat-lipat mirip akordeon. Matanya melotot ke Matt tak bernyawa,
dan muka Gabri mulai retak-retak, kulitnya mengering dan
mengelupas, remuk menjadi serbuk hingga seluruh tengkorak
kepalanya kelihatan. Lalu tengkorak kepala itu pun pecah berantakan dan hancur
lebur. Matt masih tetap tercengang tak percaya hingga pakaian hitam
Gabri teronggok di lantai, kosong, yang ada di bawahnya hanyalah
segundukan kecil abu kelabu. Embusan angin dari jendela meniup abu
itu, menyebabkan sebagian besar gundukan itu bertebaran.
"Oh!" Akhirnya Matt dapat bersuara.
"April?" panggilnya, sambil berlari menghampiri April di
kursi. "April"kau sudah sadar" Ayo pergi! Cepat!"
"Kau mau pergi ke mana?" panggil suara cewek"bukan, suara
April. Matt mengangkat kedua tangannya seolah untuk melindungi
diri ketika Jessica melangkah ke depannya. Rambutnya berkibaran di
atas bahunya. Mukanya mengerut marah.
"Jessica"jangan ganggu kami!" jeritnya dengan kengerian
dalam suaranya yang tak dikenalinya sendiri.
Jessica mengibaskan rambutnya ke belakang dan tertawa, tawa
keras yang mengejek. "Jessica"tolong! Biarkan kami pergi!" Matt memohon.
Tanpa menjawab, Jessica menggeram, memegang ,kuat-kuat
wajah Matt dengan kedua tangannya"tangan yang begitu dingin"
dan menancapkan taring-taringnya ke leher Matt.
Mati aku, pikir Matt, tanpa daya merosot ke bawah, merasa
nyeri akibat gigitan yang mematikan itu.
Sekarang aku mati. Bab 28 KEGAGALAN RASA nyeri mengalir turun dari lehernya dan menyebar ke
sekujur tubuhnya. Matt memejamkan mata, merosot lemas di bawah
tekanan taring-taring Jessica.
Sekarang aku sekarat, pikirnya tanpa daya.
Kau menang, Jessica. Sesuai dengan keinginanmu.
Lalu Matt terkejut, tiba-tiba rasa nyeri itu menghilang.
Ia berteriak, kaget, matanya membuka, berusaha
memfokuskannya ke gerakan samar-samar di depannya.
Jessica tak lagi mencengkeram kepalanya dengan tangannya
yang dingin membekukan; taringnya tak lagi menancap di leher Matt.
Terjadi pertarungan di kamar itu. Terdengar erangan dan
teriakan. Tubuh-tubuh yang sedang saling mendorong, bergumul,
saling mencekik. Akhirnya semuanya tampak jelas.
"April!" serunya. Sambil bersandar pada dinding, ia mencoba
berdiri, mengembalikan keseimbangan tubuhnya.
April telah sadar dan menarik Jessica dari Matt.
Kini mereka berdua sedang bergumul, saling mencakar,
menjambak rambut, menyambar dan memukul, memekik penasaran.
Setelah merasa agak tegak, Matt melangkah meninggalkan
tembok itu. Ia terhuyung-huyung lagi, ruangan itu miring. Bunyi
kepakan sayap kelelawar-kelelawar makin keras, makin keras, hingga
suara itu seakan keluar dari kepalanya sendiri.
"Tidak!" jeritnya, kedua tangannya menutupi telinganya.
Kegaduhan itu mereda. Ia tidak bisa hanya berdiri menyerah di sana. Ia harus menolong
April. Jessica menyergap musuhnya yang lemah, mendorong April
keras-keras ke jendela yang terbuka, memegangi dagu April dengan
satu tangan, menahan kepala April agar menunduk dengan tangannya
yang lain. Jessica membuka mulutnya sambil menyeringai penuh
kemenangan, taring-taringnya yang runcing mencuat ke bawah ke
dagunya. April menjerit saat Jessica menunduk menggigitnya.
Apa yang bisa kulakukan" Matt kebingungan, dengan panik
mengedarkan pandang ke seputar kamar gelap itu.
Apa yang bisa kulakukan"
Aku harus bertindak"sekarang!
Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandangannya berhenti pada dayung itu, yang tergeletak di atas
tumpukan kusut pakaian Gabri. Matt memungutnya, memutarnya
hingga gagangnya mengarah ke Jessica"dan menyodokkannya.
Jessica menghindar dengan merunduk di bawahnya dengan
mudah, mengulurkan tangannya ke atas dan menarik dayung itu dari
cengkeraman Matt dengan kekuatan yang tak manusiawi.
Matt terkejut, jatuh terjengkang ketika Jessica melemparkan
dayung itu ke luar jendela. Lalu Jessica kembali ke April, menekan
punggung April ke bingkai jendela, taring-taringnya turun ke leher
April yang pucat. Matt tersengal-sengal, memandangi dengan ngeri. Otaknya
berputar lebih cepat daripada kamar itu.
Ia harus menyelamatkan April. Tapi bagaimana"
Api, pikirnya. Api membunuh vampir. Sambil memikirkan itu, ia teringat pada pemantik api butana
dalam sakunya. Pemantik Todd.
Terima kasih, Todd, katanya dalam hati. Terima kasih. Terima
kasih. Tangannya gemetaran, menyusup ke dalam saku jinsnya dan
menarik keluar pemantik itu.
Terima kasih, Todd. Terima kasih karena menyelamatkan kami.
"Jessica!" teriaknya. "Jessica!"
Beberapa inci dari leher April, Jessica mengalihkan tatapannya
ke arah Matt. Dengan dada kembang-kempis, tangan gemetaran, Matt
menyerbu maju dan menyodorkan pemantik itu ke wajah Jessica yang
kaget. Jessica berteriak ketakutan ketika Matt menjentikkan pemantik
itu. Tidak menyala. Matt menjentikkannya lagi. Tidak menyala Pemantik itu sudah
rusak. Bab 29 PARA PECUNDANG SAMBIL memandangi pemantik di tangan Matt yang
gemetaran, Jessica mendengus, matanya berkilat-kilat dengan penuh
kemenangan. "Kalian berdua kalah," ejeknya.
Sambil mengibaskan rambutnya ke belakang bahunya, ia
kembali beralih kepada April.
Kalah, ulang Matt pada diri sendiri, sambil meremas-remas
pemantik itu. Dan sekarang nyawa kami akan segera melayang.
Dengan frustrasi, ia kembali menjentikkan pemantik sekali lagi.
Kali ini berhasil. Api kuning terang menyala.
Jessica menjerit saat api itu menjilat rambutnya.
Sambil menepuk-nepuk kepalanya dengan panik saat api itu
menyebar, Jessica meloncat mundur, menjauh dari April, yang
berjuang dan kebingungan di jendela.
"Aaaiiiiiiiii!" Jeritan Jessica menembus udara sementara api
melingkari kepalanya. Jeritan kerasnya mereda hanya ketika wajahnya
mulai meleleh, aliran kulit menetes-netes jatuh seperti lilin yang
dibakar. Udara di dalam ruangan itu penuh dengan asap dan bau asam
belerang. Matt dan April berpandangan dengan ngeri dan tidak percaya
ketika api membakar kepala Jessica, ketika ia pelan-pelan meleleh,
kulitnya merosot, menetes, gumpalan-gumpalan basah berjatuhan di
bawah jilatan api. Ekspresi murka Jessica lenyap ketika wajahnya meluruh.
Tengkorak kepalanya terbakar, meleleh seperti wajahnya, dan api
menyebar ke bahunya, berderak-derak keras.
Tubuh tanpa kepala itu roboh ke lantai dalam gundukan yang
menyala-nyala. Api melalap habis tubuhnya dalam waktu kurang dari
semenit. Lalu lantai itu terbakar.
Dan api menyebar ke dinding-dinding.
Dan peti mati itu terbakar, lidah-lidah api merah dan kuning
semakin besar, menari-nari dengan cepat di atas tutup peti yang
mengilat. Matt menatap kobaran api itu seakan tersihir. Dengan
mengedip-ngedipkan mata, ia dapat melihat April juga sedang terpaku
di sana, matanya terbelalak, memandangi api yang menjilat-jilat dan
meloncat-loncat, mulutnya ternganga ketakutan dan takjub.
Dinding-dinding, langit-langit, perabotan, peti mati"semuanya
itu terbakar api merah yang menjilat-jilat, sangat terang, sangat
menakjubkan, berderak dengan sangat keras; bunyi gaduh itu, bunyi
kepakan sayap ratusan kelelawar di atas kepala, dan akhirnya lenyap.
"April?" Matt memanggil sementara api mengepung mereka.
April memandangi lidah-lidah api yang merah dan kuning itu,
tidak menjawab. "April. Kita harus pergi dari sini!"
Matt meloncati sebaris api yang berkobar rendah di lantai dan
menyambar tangan April. Sentuhannya seperti menyentakkan April
keluar dari pengaruh sihir.
"Hah" Matt" Kita tak apa-apa?"
"Ya, kita tak apa-apa!" seru Matt, sambil menarik April keluar
melewati pintu yang terbuka.
Dan sekarang mereka berada di udara luar yang dingin dan
segar. Kini rumah itu roboh di belakang mereka, musnah terlalap api.
Dan April cepat-cepat menjatuhkan diri ke dalam pelukan Matt,
mendekap Matt erat-erat, menempelkan pipinya yang panas ke pipi
Matt. "Matt," desahnya, sambil memeluknya, "aku takkan pernah
mengejek film-film horormu lagi!"
Bab 30 AKHIRNYA BERBAHAGIA BEBERAPA malam kemudian Matt berjalan sambil memeluk
bahu April di tikungan jalan setapak menuju kota.
"Rasanya aku jauh lebih baik," katanya pelan, sambil
menendang segunduk pasir. "Bagaimana dengan kau?"
"Jauh lebih baik," sahut April, sambil mengulurkan tangan ke
atas bahunya untuk meremas tangan Matt dengan penuh sayang.
"Musim panas yang mengerikan," tambahnya.
"Yang paling buruk," kata Matt, mencoba menyingkirkan
gelombang kenangan yang menyakitkan yang tetap mengusik
pikirannya, terus-menerus kembali seperti arus pasang laut.
"Kupikir kita takkan pernah bisa sama seperti dulu lagi," April
berbisik penuh penyesalan.
"Ya," Matt cepat-cepat menyetujui. "Kukira aku takkan pernah
mengatakannya, tapi aku tak sabar ingin segera kembali ke
Shadyside." "Aku juga," sahut April, sambil memiringkan kepalanya
mendekat. Rambutnya yang lembut keemasan mengusap pipi Matt.
Mereka berjalan lagi dalam keheningan. Lalu, ketika deretan
cottage berakhir dan berganti dengan lapangan luas berumput sebelum
memasuki kota, seekor kelinci besar berwarna kelabu meloncat-loncat
menyeberangi jalan setapak itu.
"Dikiranya dia yang punya jalan," Matt bergurau"lalu
berhenti, melepaskan tangan dan bahu April.
Saat kelinci itu melintas, sekilas Matt melihat sesuatu di tanah.
"Whoa," katanya, sambil membungkuk memungutnya.
"Apa itu?" tanya April penasaran.
"Lihat," kata Matt. Ia mengulurkan salib perak kepada April.
"Ini salibmu yang hilang, kan?"
"Oh, biarkan saja di situ," sahut April tak peduli, sambil
membalikkan badan. "Hah?" Matt tak yakin dengan pendengarannya sendiri. "Tapi,
April?" "Buang saja," tukas April ketus.
Walau bingung mendengar permintaan April, dengan patuh
Matt menjatuhkan kembali kalung salib itu ke lapangan rumput.
Ketika ia melangkah meninggalkan kalung itu, April
menghampirinya, mengulurkan tangan dan memegang bahu Matt
dengan kekuatan yang mengejutkan, lalu memamerkan taringtaringnya, panjang-runcing dan pucat dalam cahaya bulan yang hanya
separo. "Tidak?" protes Matt, berjuang melepaskan diri dari
cengkeraman April tapi gagal.
April berdecak, menatap matanya dalam-dalam.
"Tapi, April?" ia mengiba, rasa panik mencekik lehernya.
"Kau"tak mungkin! Ketika kita di pulau itu, kau"kauselamatkan
nyawaku!" "Aku tahu," kata April pelan, sambil tersenyum di balik taringtaringnya yang putih. "Kenapa mesti Jessica yang mendapatkan semua
nektar ini" Aku menyelamatkanmu untukku sendiri!"
Ia memegangi Matt erat-erat, mendesak kepala Matt ke
belakang, lalu dengan penuh dahaga menancapkan taring-taringnya ke
leher Matt yang lembut dan berdenyut-denyut.END
Si Bungkuk Pendekar Aneh 1 Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat Pendekar Wanita Baju Merah 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama