Ceritasilat Novel Online

Hati Seorang Pemburu 1

Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter Bagian 1


DI BALIK JERUJI BESI TERKURUNG! Terjebak di balik jeruji besi.
Ia berusaha menyelinap keluar dari sela-selanya. Tapi jeruji itu
terlalu rapat satu sama lain.
Ia mencoba membengkokkannya. Tapi sekeras apa pun ia
mendorong, logam dingin dan kokoh itu tetap bertahan. Tidak
tergoyahkan. Aku ingin lari, pikirnya. Cepat. Seperti angin sewaktu badai.
Aku ingin berlari diam-diam. Seperti bayangan di tanah.
Ia mondar-mandir dalam kungkungan penjaranya yang
menyesakkan. Lari! Lari! Kata-kata itu menggema dalam benaknya di setiap langkahnya.
Ia mengitari sel itu hingga merasa pusing. Ruangan itu begitu sempit.
Otot-otot kakinya terasa sakit karena dorongan hati untuk berlari.
Ia terhuyung-huyung berhenti. Mata biru-keperakannya
menatap ke balik jeruji besi. Ia memelototi bulan Purnama dan
bercahaya. Lingkaran kemilau yang sempurna di langit yang hitam.
Dulu bulan memanduku dalam kegelapan, pikirnya. Tapi
malam ini bulan mengkhianatiku.
Ia mulai moniiar-mandir lagi. Lebih cepat. Lebih cepat.
Berpikir, teringat. Ia menggeleng. Aku tidak ingin mengingat. Aku tidak ingin
memikirkan perjalanan yang membawaku kemari.
Tapi kenangan-kenangan itu sama kuatnya dengan jeruji
besinya. Ia meringkuk di sudut. Ia menutupi telinganya, tapi ia masih
bisa mendengar jeritan panjang melolong dari masa lalunya.
Ia menekankan wajahnya ke jeruji besi, tapi ia masih tetap
mencium bau darahnya. Begitu banyak darah. Hangat, kental...
menggiurkan. Ia memejamkan mata rapat-rapat. Tapi bayangan-bayangan
mengerikan itu masih bermain-main di depannya.
Aku masih muda dan polos. Pengetahuanku tidak cukup untuk
membuatku merasa takut. Seharusnya aku merasa ketakutan setengah
mati. Kenangan itu membawanya kembali ke masa lain, ke tempat
lain. Sebelum ia menjadi narapidana.
Sebelum jeruji besi mengurung dirinya.
Sebelum ia mengetahui apa artinya takut.
Bab 1 Alam Bebas Kentucky, 1792 JAMIE FIER menggeser punggungnya pada bangku kayu yang
keras itu. Keretanya bergoyang-goyang. Roda-rodanya menggemuruh
di jalan berbatu-batu. Wilderness Road, begitu orang menyebutnya. Daniel Boone dan
yang lainnya mengukir jalan ini melewati Celah Cumberland hanya
dua tahun yang lalu. Tidak lama lagi Virginia akan tertinggal jauh di
belakang kita, pikirnya. Tapi tidak cukup cepat.
Ia melecutkan kekang ke punggung kedua kuda itu. Ia berusia
tujuh belas tahun. Cukup tua untuk mengemudikan kereta itu
menggantikan ayahnya. Kuda-kudanya melangkah di sepanjang jalan sempit yang
membentang melintasi Pegunungan Appalachian. Jamie kembali
menggerakkan pergelangannya. Derakan kekang menggema di
sekitarnya. "Sabar, Jamie," kata ayahnya. Ayahnya duduk di sampingnya.
"Kita tidak bisa lebih cepat daripada kereta yang ada di depan kita."
Tapi aku ingin lebih cepat, pikir Jamie. Jalan sempit itu
membelah pegunungan bagai lidah yang kehitaman. Ia merasa seakan
tengah berkereta menuju mulut seekor binatang buas. Pepohonan
pinus tinggi tampak seperti gigi-gigi yang panjang dan tajam.
Jamie tahu alam bebas yang lapar bisa menelan mereka semua.
Dan mereka takkan pernah bisa menemukan jalan keluar.
Kanopi tebal dari cabang-cabang pohon di atas kepala
menghalangi sebagian besar cahaya matahari. Hewan-hewan liar bisa
bersembunyi dalam keremangannya, pikir Jamie. Mengawasi.
Menunggu untuk menerkam kuda-kuda, menerkam diriku, menerkam
Ayah. Dengan cakar-cakar yang tajam. Gigi-gigi yang besar.
Jamie menggigil. Cuaca hangat, tapi ia merasa kedinginan. Ia
merapatkan jaket flanel yang dikenakannya.
Dua bulan yang lalu, ia begitu bersemangat saat ayahnya
mengumumkan bahwa mereka akan pindah ke Kentucky. Benar-benar
petualangan, pikir Jamie. Tanah baru. Perbatasan yang belum dihuni.
Mereka bisa berhasil dan menjadi kaya di sana, melebihi impian
mereka yang paling gila sekalipun, kata ayahnya waktu itu.
"Aku tidak mau pergi, John. Aku tidak mau!" kata ibu Jamie
waktu itu. "Di sana terlalu liar. Terlalu berbahaya."
Tapi ibunya mengemasi panci-panci, ketel, dan selimut-selimut
mereka ke dalam kereta. Ia naik ke bagian belakang dan memulai
perjalanan panjang bersama mereka.
Dan dia menyesal telah melakukannya, pikir Jamie.
Salah satu roda mereka menghantam tonjolan akar yang besar
di jalan. Keretanya tersentak. Jamie mendengar ibunya menjerit
melengking. "Apa itu?" serunya. "John, ada apa?"
Ayahnya memiringkan wajahnya yang kurus dan mengintip ke
balik celah di kanvas yang menutupi kereta. "Hanya jalan yang agak
bergelombang, Dora Mae. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"John, please, kita kembali saja ke Virginia," pinta ibu Jamie.
Jamie mengerutkan kening. Setiap hari, ibunya mengajukan
permintaan yang sama. Dan setiap kali, ayahnya memberi jawaban
yang sama. "Kita kelaparan di Virginia," kata ayahnya. Lalu ia mengalihkan
perhatiannya ke jalan yang kasar.
Jamie melirik ayahnya. Mata ayahnya yang biru-keperakan"
sama seperti mata Jamie"terpicing menjadi dua garis. Jamie melihat
otot pipi ayahnya yang cekung menonjol, tepat di atas janggutnya
yang mulai beruban. Jamie tahu pikiran ayahnya sebelum diucapkan.
"Karena kutukan keluarga Fier," gumam ayahnya. "Aku petani
yang baik, tapi kutukan itu seperti wabah. Karena kutukan itu
tembakau kita tidak bisa tumbuh. Kita tidak punya apa pun untuk
dijual"jadi tidak ada uang untuk membeli makanan."
Ayahnya mencengkeram lutut Jamie dengan jemarinya yang
kurus. "Kau akan melihatnya, Nak. Situasinya akan berbeda sekarang.
Kita sudah meninggalkan kutukannya."
Jamie tumbuh dewasa dengan mendengar tentang kutukan itu.
Bagaimana kutukan itu menghancurkan seluruh keluarga Fier.
Bagaimana tidak ada satu pun yang bisa meloloskan diri darinya.
Atau begitulah kata ayahnya dulu. Tapi sekarang dia berjanji
bahwa mereka telah berhasil melarikan diri darinya. Jamie tidak tahu
apakah kata-kata ayahnya benar.
Aku tidak percaya pada kutukan itu, putus Jamie. Aku tidak
percaya pada kutukan. Tanah yang buruk. Tidak ada hujan. Matahari
yang panas. Itulah alasan kegagalan panen kami yang sebenarnya.
Bukan karena kutukan keluarga yang dimulai beratus-ratus tahun yang
lalu. Ia kembali melecutkan kekangnya, mencondongkan tubuh ke
depan, dan menumpukan siku ke pahanya. Ayah hanya memikirkan
kutukan bodoh itu. Kalau dia menghabiskan waktu dengan bekerja di
ladang sama banyaknya dengan waktu untuk khawatir, panen kami
akan baik-baik saja. Jamie menatap kereta di depannya. Ia menyadari ada lubang
kecil di tutup kanvas bagian belakang. Ia menatap lubang itu, berharap
melihat Laura Goode mengintip keluar.
Sekilas, Jamie melihat rambut pirang muncul di lubang itu. Ia
menegakkan tubuhnya, membasahi ujung jemarinya, dan merapikan
rambut hitamnya. Laura gadis tercantik yang pernah Jamie temui. Setiap hari ia
berusaha menempatkan kereta mereka di belakang kereta keluarga
Goode agar bisa melihat gadis itu walau hanya sekilas. Laura
memiliki rambut pirang panjang yang menjuntai di punggungnya.
Matanya sehijau dedaunan di cabang-cabang di atas kepala.
Seorang gadis mengintip dari lubang itu. Gadis itu adik Laura,
Amanda. Amanda berusia lima belas tahun, setahun lebih muda
daripada Laura. Rambut pirangnya dibelah tengah dan dikepang di
kedua sisinya. Pita-pita merah cerah mengikat ujung-ujungnya. Mata
cokelatnya mengingatkan Jamie akan lumpur.
Amanda melambai kepadanya, tangannya terayun-ayun liar di
udara. Jamie tidak membalas. Benar-benar pengacau, pikirnya. Selalu
mengikutiku ke mana-mana di perkemahan, mengatakan dia sangat
menyukai diriku. Amanda menempelkan jemari ke bibirnya. Lalu ia mengulurkan
telapaknya dan meniupnya. Meniupkan ciuman kepadanya.
Jamie memutar bola matanya. Dia begitu kekanak-kanakan.
Begitu bodoh. Kuharap Laura tidak menduga aku menyukai Amanda,
pikirnya. Tapi Jamie tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Laura.
Ayah Laura dan ayahnya tampaknya saling membenci. Mereka jarang
sekali bertukar kata-kata yang sopan.
Jamie belum pernah tahu ayahnya bisa membenci orang sehebat
dia membenci Lucien Goode. Tapi kebencian Ayah terhadap pria itu
bukan tanpa alasan, pikir Jamie.
Sejak awal, Goode telah menunjukkan dirinya egois, pemalas,
dan cenderung pembohong. Dia tidur saat giliran jaga malam, dan
lebih dari sekali dia menempatkan keretanya di depan kereta Fier saat
giliran keluarga Goode untuk berada di akhir barisan hari itu. Kereta
terakhir merupakan kereta yang paling mudah diserang.
Dan sekali sewaktu seorang pemandu kembali membawa
daging segar, keluarga Fier kehilangan ransum mereka. Tapi Lucien
Goode mendapat dua kali jatahnya. Ayah Jamie mengkonfrontasi pria
itu, dan keduanya hampir-hampir berkelahi. Ya, ada alasan bagus
kenapa ayahnya membenci Lucien Goode.
Uuuuuu! Lolongan panjang melengking itu menyebabkan bulu-bulu di
belakang leher Jamie meremang. Apakah itu suara serigala" pikirnya
penasaran. Ia menegang, menunggu suara itu terdengar kembali.
Uuuuuu! Apa memang sedekat kedengarannya" pikir Jamie penasaran.
Uuuuuu! Dekat. Terlalu dekat. Hewan itu mengamati kami, pikirnya.
Pandangannya melesat ke pepohonan, dan jemarinya mencengkeram
tali kekang kulitnya lebih erat lagi.
Ia memandang Amanda. Mata Amanda telah membulat bagai
bulan purnama. Mungkin bukan hewan sama sekali. Mungkin para Indian yang
saling memanggil. Jamie tahu bahwa mereka mampu menirukan
jeritan hewan. Apakah Indian tinggal di Kentucky bagian yang ini" pikirnya.
Ia telah mendengar cerita-cerita tentang Indian menangkap para
pendatang, menawannya, menggunakan mereka sebagai budak. Ia
tahu bahwa suku Shawnee tidak ingin ada orang luar yang masuk ke
Kentucky. Bum. Jamie tersentak di kursinya dan berjuang untuk
mempertahankan keseimbangan. Ada yang menabrak kereta.
Apa itu" tanyanya pada diri sendiri. Ia membungkuk dan
memeriksa sisi kereta yang terdekat dengannya.
Tidak ada apa-apa di sana.
Apakah kereta menghantam cabang pohon"
Atau perbuatan para Indian" Apakah mereka menyelinap
hendak menyerang" Kami bergerak terlalu lambat, pikir Jamie. Siapa pun"apa
pun"bisa naik ke bagian belakang kereta tanpa kami pernah
mengetahuinya. Tidak pernah mengetahuinya hingga terlambat!
Ia melecutkan kekangnya. Tapi kuda-kudanya tidak menambah
kecepatan. Keretanya terus bergulir perlahan-lahan.
Bum. Brak. Suara itu berasal dari dalam kereta, pikir Jamie tersadar.
Jantungnya menggemuruh. "Ayah, apakah kau dengar..."
"Jamie, awas!" jerit Amanda, sambil menunjuk. "Di
belakangmu!" Jamie berbalik. Dan menatap moncong senapan yang hitam.
Senapan yang diarahkan tepat ke jantungnya.
Bab 2 JAMIE ternganga menatap ibunya. Ibunya berdiri di
belakangnya, memegang senapan berpeluru itu dengan tangan
gemetar. Mengarahkan larasnya lurus ke dada Jamie.
Senapan itu berkilauan memantulkan matahari sore. Jamie tidak
berani bernapas. Ia tidak berani mengedipkan mata.
"Dora Mae! Apa-apaan kau?" seru ayah Jamie. Ia merampas
senapan itu dari tangan istrinya.
Jamie mengembuskan napas lega. Ibunya menodongkan
senapan kepadanya. Putranya sendiri!
"Aku mendengar suara hewan liar," kata ibunya.
Jamie melihat ibunya menangis. Ibunya mencengkeram lengan
Jamie dengan gemetar. "Jamie, suruh ayahmu mengajak kita pulang."
Jamie berdeham, berusaha agar suaranya terdengar tegas. "Aku
ingin menetap di Kentucky."
Air mata mengalir di pipi ibunya. Ia berpaling kepada ayah
Jamie. "Kita tidak akan mendapatkan apa pun kecuali kesengsaraan di
sini. Kau tidak bisa melarikan diri dari kutukannya, John. Kutukan itu
ada dalam darahmu. Ada dalam darah Jamie." Ia kembali ke bagian
belakang kereta. Ayah Jamie meletakkan senapan itu di belakang kaki mereka.
"Mungkin bagus juga menyimpan senapan tidak terlalu jauh,"
bisiknya. "Kedengarannya serigala-serigala itu cukup dekat."
"Apa mungkin orang Indian?" tanya Jamie pelan, agar ibunya
tidak mendengar. Ayahnya mendengus. "Indian takkan menyerang orang
sebanyak ini. Kita aman."
Kuharap begitu, pikir Jamie.
"Kita sudah keluar dari jalan setapak sekarang," kata ayahnya.
"Jangan jauh-jauh dari kereta Goode. Aku tidak mempercayai
mereka." Jamie tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak ingin mendorong
ayahnya untuk membicarakan Lucien Goode. Tapi ayahnya tetap saja
berceloteh. "Lucien Goode itu," kata ayahnya. "Benar-benar tidak tahu
aturan. Pembohong, penipu. Babi serakah. Tidak tahu bagaimana
caranya tidak menipu. Sekarang persediaan airnya menipis dan aku
sudah melihatnya mengincar persediaan kita."
Ayah Jamie mengulurkan tangan ke bawah dan menepuk-nepuk


Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senapannya. "Kupikir ibumu bijaksana untuk menyiapkan ini."
Mereka tiba di sebuah lapangan kecil. Jamie tahu rutinitasnya.
Kereta-kereta itu terus beriringan hingga membentuk sebuah lingkaran
kecil. Dengan begitu mereka agak terlindungi di malam hari.
Jamie mengatur keretanya hingga posisinya sesuai. Lalu ia
turun dan bergegas mengitar ke belakang. Ia memandang ke dalam.
Ibunya tengah meringkuk di sudut, gemetaran.
"Kenapa kita berhenti?" tanya ibunya.
"Sekarang sudah malam. Kita beristirahat dulu." Ia
mengulurkan tangan. "Ayo, Ibu, kau harus menyiapkan makan
malam." "Makan malam," ulang ibunya. Ia merangkak mendekati Jamie.
"Ya, ya, aku harus menyiapkan makan malam."
Jamie membantunya turun dari kereta.
Ibunya meremas tangannya, matanya memancarkan
kekhawatiran. "Aku tidak menyukai tanah baru ini," bisiknya serak.
"Terlalu banyak tempat yang remang-remang."
"Begitu tiba di lembah, keremangannya akan menghilang," kata
Jamie, berusaha untuk meyakinkan ibunya.
Ibunya tersenyum. "Kau benar-benar anak baik, Jamie." Dengan
lembut, ia menyentuh rambut Jamie.
Jamie ingin mengingatkan bahwa dirinya sudah hampir dewasa,
tapi ibunya telah berlalu sebelum ia sempat membuka mulut.
Terkadang kurasa dia tidak menyadari bahwa aku sudah tumbuh
dewasa, pikirnya. "Kue kering saja untuk malam ini," kata ayahnya.
Ayah menjatah makanan kami terlalu ketat. Jamie memandang
keluarga-keluarga yang lainnya. Tidak seorang pun yang makan
sesedikit itu. Berat badanku turun drastis hingga aku terkejut celanaku
tidak sampai merosot terus.
Ia mengawasi ayahnya menanggalkan kekang kuda-kuda dan
mengikat mereka di sesemakan dekat kereta. Jamie meraih dua
kantong gandum dari bagian belakang kereta dan membawanya ke
kuda-kuda. Tidak peduli sesedikit apa pun aku makan, kuda-kuda harus
tetap diberi makan, pikirnya. Jamie menyelipkan kantong makanan di
kepala masing-masing kuda, mengaitkannya di belakang telinga
mereka. Mereka mengunyah gandum itu dengan rakus.
"Jamie! Jamie Fier!"
Ia bergegas berbalik ketika mendengar suara yang penuh
semangat itu. Amanda Goode bergegas mendekatinya.
"Jamie, kenapa kau tidak membalasku saat aku melambai
padamu tadi siang?" tanya Amanda sambil cemberut.
"Maaf, Amanda. Kukira kau sedang mengusir lalat," kata Jamie.
Amanda tertawa geli. "Oh, Jamie. Kau sungguh lucu." Ia
meraih lengan Jamie. "Aku begitu ketakutan saat melihat senapannya
dari dalam keretamu. Kukira kau akan tewas di sana saat itu juga. Ada
apa dengan ibumu" Kau hanya perlu melewati tonjolan di jalan dan
dor! Jamie Fier tidak ada lagi!"
Jamie menyentakkan lengannya untuk membebaskan diri.
"Ibuku mengira mendengar suara serigala."
Mata cokelat Amanda membelalak. "Kurasa itu Indian,"
bisiknya. "Kami pernah memiliki pelayan keturunan Indian. Dia
menceritakan kisah-kisah yang menarik. Begitu banyak hal yang tidak
bisa dipercaya","
Amanda terus berceloteh mengenai Indian, menceritakan segala
sesuatu yang diketahuinya kepada Jamie. Jamie berhenti
mendengarkan. Aku benar-benar tidak peduli, Amanda, pikirnya.
Ia melangkah menjauhinya. "Maafkan aku, ada pekerjaan yang
harus kuselesaikan."
"Aku bisa membantumu, Jamie. Aku bebas malam ini."
Jamie mendesah berat. "Amanda, aku benar-benar ingin
sendirian." Amanda mengabaikannya dan terus berceloteh. "Papa khawatir
kita takkan pernah tiba di tempat baru. Kita hampir kehabisan bahan
makanan. Kalau pemandunya tidak segera kembali membawa berita
bagus, Papa tidak tahu apa yang harus kita lakukan."
"Aku yakin pemandunya akan segera kembali," kata Jamie.
"Kentucky penuh hewan liar."
"Semua orang juga mengatakan begitu. Tapi di mana
hewannya" Kita belum melihat rusa seekor pun. Bahkan kelinci pun
tidak!" Amanda membentangkan lengannya membentuk lingkaran.
"Kata Papa perjalanan ini terkutuk. Bagaimana kalau dia benar?"
"Dia keliru," kata Jamie dengan marah. Kalau kudengar kata
kutuk sekali lagi, kurasa aku akan muntah, pikir Jamie.
"Tapi bagaimana kalau pemandunya tidak kembali" Atau
bagaimana kalau dia tidak menemukan apa pun?" tanya Amanda. Ia
meraih lengan Jamie dan mengguncangnya seakan-akan dengan
begitu ia bisa memaksa Jamie memahami kata-katanya. "Jamie, kita
semua akan mati kelaparan!"
"Kita takkan kelaparan," kata Jamie. "Kita masih punya banyak
persediaan makanan."
"Kau punya," jawab Amanda. "Tapi kami tidak. Persediaan
kami hampir habis. Kurasa Laura mungkin terpaksa merebus kaus
kaki kotor untuk membuat setup malam ini."
"Amanda!" Mereka berdua berputar balik mendengar suara yang tajam itu.
Laura berdiri tidak jauh dari mereka. Ia berkacak pinggang dan
mengerutkan kening menatap adiknya.
Laura begitu cantik, pikir Jamie. Kenapa aku tak pernah bisa
memikirkan apa yang harus kukatakan kepadanya"
"Papa dan aku kelaparan, Amanda. Berhentilah main-main dan
siapkan makan malam," kata Laura.
"Sekarang giliranmu memasak," jawab Amanda. "Aku mau
membantu Jamie menyelesaikan tugasnya."
Laura mengusap keningnya. "Tapi aku merasa pusing. Aku
harus berbaring. Bangunkan aku kalau makan malam sudah siap." Ia
berbalik dan melangkah ke kereta Goode.
"Apa dia benar-benar sakit?" tanya Jamie. Ia ingin membantu
Laura kembali ke keretanya. Tapi ia merasa terlalu malu untuk
menawarkan diri. "Dia rapuh dan mudah kelelahan," kata Amanda menjelaskan.
Ia tersenyum cerah. "Dia pernah jatuh pingsan saat makan malam.
Wajahnya masuk ke semangkuk sup. Lucu sekali."
Jamie mendengar seruan penuh semangat dari kumpulan kereta.
"Pemandunya pasti sudah kembali," katanya kepada Amanda.
Ia melesat ke perkemahan; diikuti Amanda tepat di
belakangnya. Sebuah api unggun besar tengah berkobar di tengahtengah lingkaran kereta. Api yang menggeliat-geliat itu menyiramkan
cahaya yang aneh ke orang-orang yang berkumpul di sekitarnya. Tapi
pemandu mereka tidak terlihat.
"Kita harus bertindak!" teriak Lucien Goode. "Pemandunya
belum kembali. Anak-anakku kelaparan!"
"Beri dia waktu satu hari lagi," kata Kepala Rombongan
Thomas. "Kita tidak mungkin terlalu jauh dari air dan hewan liar. Dia
pasti kembali besok dengan membawa berita bagus."
"Dia sudah mati!" jerit Lucien. "Dia sudah pergi selama empat
hari! Dia pasti sudah mati."
Jamie melihat beberapa orang mengangguk setuju. Para wanita
tampak ketakutan. Anak-anak kecil bersembunyi di belakang rok ibu
mereka. "Perjalanan ini terkutuk!" teriak Lucien. "Kita seharusnya sudah
tiba di tujuan sekarang, tapi kereta-keretanya justru macet. Kita jarang
menemukan hewan liar. Kalau ingin tiba di tempat tujuan dalam
keadaan hidup, kita harus mengambil tindakan drastis."
"Tindakan apa?" tanya seseorang.
Lucien berputar balik dan menunjuk kepada ayah Jamie.
"Keluarga Fier terkutuk. Aku mendengar dia sendiri berkata begitu.
Kutukan mereka sudah mengenai kita. Kita semua!"
Lucien melangkah dengan sikap mengancam mendekati John
Fier. Matanya berkilau-kilau memandang ayah Jamie. Jamie bisa
melihat nyala api memantul di sana.
"Menurutku sebaiknya kita ambil makanan keluarga Fier dan
meninggalkan mereka bersama kutukannya!" teriak Lucien.
"Menurutku kita tinggalkan mereka agar mati di sini!"
Bab 3 "TIDAAAK!" Jamie mendengar jerit ketakutan ibunya. Jantungnya sendiri
berdetak begitu kencang hingga tulang rusuknya terasa sakit.
"Kalian tidak bisa meninggalkan kami agar mati di sini!" teriak
Jamie. Tak seorang pun memperhatikannya.
"Kita harus meninggalkan mereka!" kata seorang wanita.
"Mereka tidak mau membagi makanannya," gumam seorang
pria berambut ubanan. Semua orang yang berkumpul di sekitar api unggun mulai
berbicara bersama-sama. Suara-suara mereka semakin lama semakin
keras. "Tidak mau membagikan makanan sedikit pun. Sepotong pun
tidak!" teriak seseorang.
"Kudengar John Fier mengeluh pada istrinya bahwa
keluarganya terkutuk," kata seorang wanita kepada orang-orang
lainnya. "Katanya keluarganya sudah terkutuk dari generasi ke
generasi." "Kami tidak terkutuk!" kata Jamie memprotes. "Kami mengatur
jatah makanan kami. Itu sebabnya persediaan kami masih lebih
banyak. Kalau kalian menjatah..."
Ia mendengar suara logam menggeser pada kayu. Ia berputar
balik dan melihat ayahnya mencabut senapan dari kereta.
Ayah Jamie menyandarkan popor senapannya ke lekuk bahunya
dan mengarahkan larasnya yang panjang ke Lucien Goode.
"Cobalah mengambil makananku," kata ayahnya menantang.
"Coba saja dan akan kutunjukkan kutukan sebutir peluru."
Mengancam mereka bukanlah jawaban, pikir Jamie tersadar.
"Ayah?" serunya.
Ayahnya berpaling memandang dirinya. Matanya berkilau buas.
Napas Jamie tertahan di tenggorokannya.
Jamie menelan ludah dengan susah payah. Ia mendekati
ayahnya. "Ayah, aku percaya Kepala Rombongan Thomas benar.
Kupikir pemandu akan segera kembali. Jelas kita bisa membagi
makanan kita dengan yang lainnya untuk malam ini."
"Tidak!" kata ayahnya. "Ini makanan kita, air kita."
Jamie mendengar suara ranting patah. Ia memandang
sekitarnya. Orang-orang telah mengepung mereka, semakin rapat.
Pandangan mereka terpaku pada ayahnya.
"Berikan separo makananmu," kata Lucien, matanya menyalanyala murka. "Dan akan kami izinkan kau melanjutkan perjalanan
bersama kami." Katakan ya, pikir Jamie. Aku tidak ingin melanjutkan
perjalanan seorang diri. Tidak di alam bebas. Kami takkan bisa
bertahan. Kalau bukan hewan liar yang menghabisi kami, para Indian
pasti akan melakukannya. "Please, Ayah, kita bagi saja," desaknya.
"Tidak!" jerit ayahnya. Ia mengangkat senapannya setinggi
mata. Tapi terlambat. Orang-orang itu telah dekat. Begitu dekat.
"Kalau begitu kami akan merampasnya," teriak Lucien.
Orang-orang menyerbu ayah Jamie.
"Tidak!" jerit Jamie. Ia menerkam Lucien Goode.
Pria itu melemparnya ke samping. Diiringi debuman keras,
Jamie terempas ke tanah. Kepalanya membentur roda kereta. Rasa
sakit bagai menyembur dalam kepalanya. Bintik-bintik merah
meledak di depan matanya.
Dunia bagai berputar-putar. Dari kejauhan, ia mendengar suara
seorang wanita tersentak.
"Jamie, kau baik-baik saja?" tanya seseorang.
Jamie berjuang memusatkan pandangannya. Ia melihat Amanda
berlutut di sampingnya dan merasakan jemari gadis itu meraba
kepalanya. "Aku baik-baik saja," kata Jamie sambil mengerang. Ia
menyingkirkan tangan Amanda. Lalu beranjak bangkit berdiri, tapi
kakinya lemas. Ia kembali jatuh ke tanah.
Ia melihat bahwa orang-orang telah menangkap ayahnya dan
tengah berusaha untuk merampas senapannya.
Ayahnya menggeliat ke satu arah, lalu ke arah lain, sambil terus
mencengkeram senapannya. Ia berjuang untuk melepaskan diri dari
cengkeraman Lucien dan yang lainnya. Ia masih menggenggam
senapannya erat-erat.ebukulawas.blogspot.com
Lucien mengayun-ayunkan ayah Jamie. Jamie melihat ayahnya
menyeringai menakutkan. Ia melihat ayahnya berusaha membidikan
senapannya ke dada Lucien Goode. Tapi Lucien memegangi larasnya
erat-erat dengan kedua tangannya yang gemuk.
Terdengar ledakan membahana.
Dan seorang wanita menjerit melengking.
Bab 4 IBU Jamie mencengkeram dadanya dan merosot ke tanah.
Senapan ayahnya meletus. Ia tanpa sengaja telah menembak Ibu!
Jamie bergegas bangkit berdiri dan mendekati ibunya. Lalu ia berlutut
di samping ibunya. Darah kemerahan telah membasahi bagian depan gaun ibunya.
Genangan mengilat itu semakin lama semakin lebar.
"Apa yang sudah mereka lakukan" Apa yang sudah mereka
lakukan padamu?" jerit Jamie.
Ia menekan luka kehitaman yang menganga di gaun ibunya.
Darah ibunya mengalir melalui sela-sela jemarinya.
Ibunya mencengkeram kemeja Jamie dan menariknya lebih
dekat. Jamie melihatnya berjuang untuk menarik napas. Ibunya
berusaha keras untuk bicara. Mulutnya membuka dan menutup. Darah
merah segar menggelembung keluar dari bibirnya.
"Apa" Apa, Ibu?" jerit Jamie.
Ibunya tercekik dan tersentak. Tubuhnya tersentak-sentak
dalam pelukan Jamie. Sekali. Dua kali.
Lalu diam tidak bergerak. Darah terus mengalir dari sudut
mulutnya, tapi ibunya tidak lagi berusaha untuk bicara. Matanya
berkaca-kaca. Jemarinya melepaskan cengkeramannya pada Jamie.
"Tidaaaak!" Ayah Jamie meneriakkan jeritan kemarahan.
Jamie menengadah secepat kilat. Lucien Goode memegangi
bahu ayahnya. Ayahnya membebaskan diri dari Lucien dan bergegas
mendekati Dora Mae. Ia menyingkirkan Jamie, berlutut, dan meraih istrinya ke dalam
pelukannya. Ia mulai bergoyang-goyang. Bergoyang-goyang.
"Tidak apa-apa, Dora Mae," bisiknya. Air mata mengalir
menuruni pipinya. "Tidak apa-apa."
Tapi Jamie tahu bahwa ayahnya berbohong. Sudah terlambat.
Situasinya takkan pernah pulih.
Mata ibunya tetap memandang ke atas, tapi ia tidak melihat apa
pun. Mulutnya ternganga, tapi ia tidak berbicara. Seperti sebuah
boneka kain anak-anak, kaki dan tangannya menjuntai lemas dan tidak
bergerak. Ia telah tewas.

Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jamie mendengar teriakan-teriakan penuh semangat dan suara
derap kaki kuda. Pemandu melaju memasuki perkemahan. "Aku
menemukan air!" jeritnya sambil menarik kekang kudanya. "Sumber
air pegunungan. Kurang dari setengah hari perjalanan!"
Jamie kembali memandang ibunya. Ia menyentuh pipi ibunya,
yang telah dingin. Ibu tidak memerlukan air atau makanan lagi,
pikirnya dengan sedih. Sekarang dia hanya memerlukan sebuah
makam. *********** Hari-hari setelah kematian ibunya bergulir selambat keretakereta itu. Jamie mulai penasaran apakah mereka akan bisa tiba di
tempat tujuan. "Kita akan membangun pondok balok, Dora Mae. Dengan tiga
kamar." Jamie menegang mendengar kata-kata ayahnya. Ia menahan
napas saat ayahnya berputar di bangku kereta dan memandang ke
bagian belakang kereta. "Kau suka begitu, Dora Mae?" tanya ayahnya. Lalu diam
sejenak. Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi seakan-akan
mendengarkan jawaban. "Aku tahu kau akan menyukainya," katanya.
Ia kembali memandang ke depan dan mencengkeram lengan
Jamie dengan jemarinya yang kurus. Ia mencondongkan tubuh ke arah
Jamie. "Ibumu benar-benar mudah untuk disenangkan," bisiknya.
Karena dia sudah meninggal! Jamie menjerit dalam kepalanya.
Dia sudah meninggal! Tapi ayahnya seakan telah melupakan hal itu. Sepanjang hari,
sepanjang malam, dia berbicara kepada ibu Jamie seakan-akan ibunya
masih ada di kereta bersama mereka.
Dia sudah sinting, pikir Jamie. Dia tahu bahwa senapannya
yang telah membunuh Ibu. Dia tahu bahwa Ibu tak pernah ingin
meninggalkan Virginia. "Perabotan macam apa yang harus kita buat untuk ibumu?"
tanya ayahnya. Jamie memejamkan mata dan menelan ludah dengan susah
payah. Ibu tidak memerlukan perabotan, pikirnya.
Ayahnya menggambarkan lemari yang akan dibuatnya. Ia terus
bercakap-cakap dengan ibu Jamie sewaktu mereka berhenti untuk
beristirahat di malam harinya. Ia berbicara kepada istrinya selama
makan malam. Saat Jamie dan ayahnya tidur di kereta, ayahnya memaksa
Jamie untuk mengucapkan selamat malam kepada ibunya. Jamie
sangat benci saat ayahnya memaksa dirinya berbicara kepada ibunya.
Ia ingin mengguncang ayahnya dan berteriak kepadanya. Ibu sudah
meninggal. Tapi seorang putra harus menghormati dan menghargai
ayahnya. Jamie menarik selimutnya lebih tinggi di sekitar bahunya
dan berusaha untuk tidur. Tapi tidak mampu.
Api unggun besar di tengah-tengah perkemahan menyebabkan
bayang-bayang menari-nari di luar kanvas. Jamie mengawasinya.
Penasaran. Khawatir. Apa yang harus kulakukan" Sudah cukup buruk bahwa Ayah
berbicara kepadaku seakan-akan Ibu masih hidup. Tapi, akhir-akhir
ini, dia juga bersikap sama terhadap rekan-rekan seperjalanan mereka.
Aku tidak sengaja mendengarnya memberitahu kepala rombongan
bahwa Ibu kelelahan karena perjalanan ini.
Dia mengundang Lucien dan kedua putrinya untuk makan
bersama kami kalau Ibu merasa lebih enak. Lucien Goode. Orang
yang dibenci dan tidak disukai Ayah.
Apa Lucien akan memberitahu yang lain tentang undangan
Ayah" Apa dia sudah membicarakan kami dengan diam-diam"
Memancing orang-orang agar mencurigai kami" Membisikkan tentang
kutukannya" Menceritakan kepada semua orang bahwa Ayah telah
sinting" Jamie menyadari bahwa orang-orang mulai menjaga jarak
dengan dirinya dan ayahnya. Beberapa malah mengisyaratkan bahwa
keluarga Fier seharusnya tidak disertakan dalam rombongan.
Padahal kami jauh lebih aman kalau berada dalam kelompok,
pikirnya. Ayah Jamie mulai merintih pelan dalam tidurnya. Jamie dengan
diam-diam menyingkap selimutnya dan merangkak melintasi kereta.
Ia turun. Ia bisa melihat dengan jelas lapangan kecil tempat mereka
berkemah. Bulan sabit menggantung di langit yang hitam. Bintangbintang berkilau-kilau di atas.
Perkemahan sunyi. Ia melihat dua pria berjalan menyusuri batas
luar perkemahan. Mengawasi dan menunggu kedatangan orang
Indian, pikir Jamie. Semakin dalam mereka memasuki Kentucky,
semakin takut mereka terhadap serangan.
Jamie merayap ke hutan. Ia ingin sendirian. Apa yang bisa
kulakukan terhadap Lucien Goode" Pengaruhnya terhadap yang lain
sangat besar. Kalau dia ingin mengusir kami, yang lain pasti akan
mendengarkan. Lucien Goode. Jamie membenci pria itu. Ia mengawasi Lucien
saat tidak ada orang lain yang memperhatikan. Mengawasi dan
merencanakan pembalasannya.
Lucien ingin meninggalkan kami agar tewas, pikir Jamie. Dia
sudah membunuh ibuku. Jamie terhuyung-huyung berhenti. Ia tidak memperhatikan
langkahnya. Sekarang ia mendapati dirinya jauh di dalam hutan.
Bayang-bayang malam mengepungnya.
Berkas-berkas cahaya bulan menerobos dedaunan lebat di atas
kepala dan berkilauan di tanah.
Wuus! Seekor burung hantu menukik dari pucuk-pucuk pepohonan,
sayap-sayapnya terbentang lebar. Jamie menunduk. Ia merasakan
embusan angin saat hewan itu terbang melewatinya.
Ia mendengar lolongan tunggal yang panjang dari balik
pepohonan. Serigala" pikirnya penasaran. Atau hanya angin"
Hawa dingin merayapi tulang punggungnya. Ia menggosokgosok lengannya untuk mencari kehangatan. Ia mendengar angin
mengadu dedaunan pepohonan. Kata-kata ibunya, sepelan apa pun,
menggema kepadanya dari dalam angin.
Kutukannya ada dalam darahmu. Kau tidak bisa melarikan diri
darinya! Tapi ia akan melarikan diri. Entah bagaimana ia akan
melakukannya. Jamie penasaran seberapa cepat, seberapa jauh ia
harus melarikan diri untuk bisa terlepas dari kutukan itu.
Apa itu" Jamie menahan napas dan mendengarkan. Ada suara
gemeresik dari balik semak-semak. Lalu sunyi.
Jamie menggigil. Aku tidak sendirian, pikirnya tersadar. Apa
yang ada di luar sana" Apakah seekor hewan" Atau suku Shawnee"
Kenapa ia tidak terpikir untuk membawa senapan tadi" Aku
tidak bisa melindungi diri sekarang.
Ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan suara
pelan. "Jamie! Jaaamieee!"
Ia berputar balik. Sesosok berpakaian putih melayang
mendekatinya. "Jaamieeee..." Seorang wanita. Bercahaya tertimpa sinar bulan. Dengan mantel
putih yang menjuntai. Rambut panjangnya tergerai di bahu.
"Ibu!" jerit Jamie.
Bab 5 DARAH Jamie menggemuruh di keningnya. Ia terhuyunghuyung mundur.
"Ibu?" panggilnya lagi. Ia tidak berani mengalihkan pandangan
dari sosok putih itu. Ia mengawasi sosok itu tersandung dan jatuh, lalu
bangkit berdiri lagi. Terjatuh" Hantu tidak mungkin jatuh, bukan"
Ia berusaha memandang ke sana. Amanda! Amanda telah
mengikutiku. Cahaya bulan memantul di gaun tidur putihnya yang
panjang. "Aku melihatmu meninggalkan perkemahan," bisiknya seakanakan takut ada yang mendengarkan mereka. "Aku ingat sewaktu ibuku
meninggal, aku tidak bisa tidur selama berbulan-bulan."
"Ibuku tidak meninggal," kata Jamie kepadanya. "Ayahmu yang
membunuhnya." "Ayahmu yang menembaknya," jawab Amanda. "Seharusnya ia
tidak perlu mengambil senapan." Ia mengangkat tangannya.
"Bukannya aku menyalahkan dirinya. Kau seharusnya juga tidak
menyalahkan dirinya. Itu terjadi begitu saja."
"Ayahmu mencoba mencuri persediaan kami," kata Jamie
mengingatkannya. "Oh, Jamie, lebih baik kita berhenti membicarakannya," seru
Amanda. "Aku datang untuk memperingatkan dirimu."
Jamie memicingkan mata. "Memperingatkanku tentang apa?"
Amanda melangkah mendekat. Ia memandang ke sekitarnya
sebelum menjawab. "Apa menurutmu kita aman di sini?" bisiknya.
"Aku merasa seperti ada mata di pepohonan yang mengawasi kita."
"Kalau orang-orang Indian yang mengawasi, mereka pasti
sudah menyerang sekarang," katanya. "Kau mau memperingatkan
diriku tentang apa?"
Amanda memandangnya dengan tidak yakin. Lalu maju
selangkah lebih dekat lagi. "Aku tidak sengaja mendengar orangorang berbicara," katanya, suaranya pelan. "Ada yang percaya isu
bahwa ayahmu terkutuk. Mereka takut kutukannya akan mengenai
mereka juga." Jamie mendengus. "Kutukan. Satu-satunya kutukan yang ada
hanyalah akibat keserakahan mereka sendiri," katanya. Tapi ia merasa
perutnya melilit. "Beberapa orang mendengar ayahmu bercakap-cakap dengan
ibumu." Amanda meraih tangannya. "Jamie, mereka mau
meninggalkan kalian!"
Kemarahan merekah dalam diri Jamie. "Mereka mengira itu
jawabannya" Meninggalkan kami dalam tangan para Indian dan
binatang buas?" "Para Indian tidak buas, Jamie. Sudah kuceritakan keluargaku
pernah mempekerjakan seorang wanita keturunan Indian sebagai
pelayan. Dia sangat ramah. Dia mengajarkan banyak hal-hal yang luar
biasa. Kalau suku Shawnee menemukan ayahmu, mereka akan
memperlakukannya dengan hormat karena usianya," katanya. "Dan
mereka takkan menyakitimu. Aku yakin akan hal itu."
"Berani taruhan ayahmu yang ingin meninggalkan kami," kata
Jamie, menuduh. "Berani taruhan dia yang berusaha membujuk yang
lain untuk menerima gagasannya."
Amanda menunduk. "Aku malu untuk mengakuinya, tapi ya,
dia mendesak yang lainnya agar meninggalkan kalian," katanya
dengan suara serak. "Semua pembicaraan itu membuatku takut. Aku
tak ingin mereka meninggalkan kalian."
Ia menengadah menatap Jamie, dan jemarinya mencengkeram
lengan Jamie semakin erat. "Menikahlah denganku, Jamie. Kalau kau
suamiku, dia terpaksa mengajak kalian."
"Menikah denganmu?" Jamie menahan tawanya. "Kau gadis
terakhir di dunia ini yang ingin kunikahi, Amanda," jawabnya kasar.
Ia mendengar Amanda tersentak. Amanda tidak mengatakan
apa-apa dalam waktu yang cukup lama.
Mungkin dia akhirnya menyadari bahwa aku tidak
menginginkan apa pun dari dirinya, pikir Jamie.
"Kau kira aku tidak mengetahui perasaanmu terhadapku,
Jamie?" jawab Amanda. "Aku tidak bodoh, kau tahu."
"Aku tidak pernah mengatakan..."
"Aku tahu kau tidak mencintaiku," sela Amanda, "tapi mungkin
seharusnya kau tidak perlu memikirkan cinta sekarang ini, Jamie. Ini
masalah hidup atau mati. Menikahlah denganku dan kau akan selamat.
Kurasa pilihanmu cukup jelas," tambahnya.
Nada bicara Amanda menyebabkan Jamie merasa muak. "Dan
bagaimana dengan ayahku?"
Amanda kembali menunduk. "Maaf, tapi kita tidak bisa
membantunya. Kalau dia memang terkutuk..."
Jamie menyentakkan lengannya hingga terlepas. "Well, aku
tidak ingin menjadi suamimu. Aku membencimu. Aku membenci
ayahmu. Aku membenci seluruh keluargamu." Ia melangkah pergi.
"Aku mencintaimu, Jamie! Menikahlah denganku!" jerit
Amanda. Jamie berbalik menghadapinya. "Tidak akan pernah!" katanya.
"Ayahmu adalah alasan kematian ibuku. Dia alasan ayahku perlahanlahan berubah sinting. Dia menghancurkan setiap harapan yang
pernah dimiliki keluargaku untuk memulai kehidupan baru. Suatu hari
nanti akan kubalas perbuatan Lucien Goode!"
Bab 6 JAMIE menunduk memandang ke bawah pegunungan. Lembah
di bawahnya begitu lebat dan hijau. Bagai surga.
Kami memerlukan waktu dua hari hanya untuk menempuh
sejauh ini, pikirnya. Dan lembahnya masih begitu jauh.
Kereta-kereta itu mulai menuruni pegunungan. Jamie
menunggu hingga kereta Goode telah berjalan cukup jauh di
depannya, lalu ia memerintahkan kuda-kudanya untuk maju.
Kuda-kuda itu meringkik dan melangkah. Lalu keretanya mulai
bergulir. Jamie bisa melihat otot-otot kudanya mengendur.
Menuruni pegunungan seharusnya lebih mudah daripada naik,
pikirnya. Kereta mulai bergemuruh. Roda-rodanya berputar cepat,
lebih cepat. Ia bisa melihat kuda-kudanya mulai gelisah. Gugup.
"Pelan-pelan!" teriak ayahnya.
Kereta ini akan bergulir lebih cepat daripada kecepatan lari
kuda-kudanya, pikir Jamie tersadar. Kami akan menabrak kereta
Goode, pikirnya. Kami semua akan tewas!
Jamie meraih tangkai rem dan menariknya, berusaha untuk
memperlambat kereta sebelum melindas kuda-kudanya.
Krak! Apakah itu porosnya" pikirnya penasaran. Atau rodanya"
Kuda-kudanya meringkik. Keretanya mulai miring. "Lompat, Jamie!" teriak ayahnya. "Lompat, Dora Mae!"
Jamie melompat keluar. Ia menghantam tanah keras dengan
suara berdebum. Ayahnya mendarat beberapa meter jauhnya.
Jamie mendengar deritan hebat dan derakan yang lain. Sebuah
roda menggelinding menjauhi kereta. Kereta itu terbalik dan berhenti.
Rodanya terus bergulir dan memantul-mantul di sepanjang tepi jalan.
"Porosnya," gumam ayah Jamie. "Kutukannya masih bersama
kita. Dora Mae benar. Kita tidak bisa melarikan diri darinya. Kita
hancur!" Jamie terhuyung-huyung bangkit berdiri. Ia mengulurkan
tangan kepada ayahnya dan menariknya berdiri.
"Sebaiknya kuperiksa ibumu. Dia tidak melompat sewaktu
kuperintahkan," gumam ayahnya sambil melangkah ke kereta.
Jamie memejamkan matanya rapat-rapat. Oh, Ayah, apa yang
seharusnya kulakukan padamu" Bagaimana aku bisa membuatmu
sadar bahwa Ibu sudah meninggal"
Kereta-kereta yang lain berhenti dan Jamie mendengar celoteh
ribut. Ia membuka matanya. Orang-orang mendekati kereta mereka.
Perlahan-lahan, ia melangkah mendekati mereka.
"Apa yang terjadi?" tanya Lucien Goode.
"Kurasa poros kami patah," kata Jamie dengan nada lelah.
Kepala rombongan berlutut dan memeriksa ke bawah kereta.
"Patah tepat di tengah-tengahnya. Kalian takkan bisa memperbaikinya
dengan cepat," katanya kepada Jamie.


Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu kita harus meninggalkan mereka," kata Lucien
Goode. Kepala rombongan bangkit berdiri. "Aku tidak suka
meninggalkan siapa pun. Terutama di sisi pegunungan ini. Suku
Shawnee berburu di sini."
"Itu juga merupakan alasan kenapa kita tidak perlu menunggu
mereka," kata Lucien.
"Aku setuju bahwa kita tidak bisa menunggu," kata kepala
rombongan. "Harus ada yang menerima keluarga Fier di kereta
mereka." Jamie memandang orang-orang yang berkerumun di sekitarnya.
Ia mengamati setiap wajah mereka, menatap lurus ke mata mereka.
Satu per satu, tatapan kosong mereka tertunduk. Tidak seorang pun
menawarkan keretanya bagi dirinya maupun ayahnya.
"Well?" tanya kepala rombongan.
Jamie menunggu. "Keluarga Fier terkutuk," kata salah seorang pada akhirnya.
"Aku tak ingin mereka berada dalam keretaku."
"Aku juga tidak," kata seseorang yang lain.
Yang lainnya hanya bergumam tidak jelas, tapi Jamie sangat
memahami apa yang mereka pikirkan. Apa yang mereka rasakan.
Lucien Goode telah meyakinkan mereka bahwa keluargaku terkutuk,
pikirnya. Dia berhasil meyakinkan mereka semua!
"Kami memang tidak memerlukan kalian!" kata ayahnya.
Jamie tersentak mendengar suara ayahnya. Ayahnya menunjuk
ke udara. "Pergi. Tinggalkan kami! Tidak satu pun dari kalian yang
mau bicara dengan Dora Mae."
Jamie merasakan ada tangan yang hangat meraih tangannya. Ia
berpaling dan memelototi Amanda.
"Ikutlah dengan kami, Jamie," pinta Amanda. "Ayahmu sudah
kehilangan kewarasannya. Tinggalkan dia, dan ikutlah dengan kami."
"Tidak akan!" kata Jamie. "Ayahmulah kutukan kami!"
"Jangan ganggu dia, Amanda," kata Laura Goode. Ia
mengangkat kepalanya. "Ayah takkan mengizinkan dia melanjutkan
perjalanan bersama kita."
Jamie menatap Laura. Kenapa aku pernah menganggapnya
cantik" pikirnya penasaran. Paling tidak Amanda mengkhawatirkan
diriku kalau sendirian. Laura hanya memikirkan dirinya sendiri.
Orang-orang melangkah pergi. Kepala rombongan berpaling
kepada Jamie. Jamie melihat ekspresi campuran antara simpati dan
takut di wajahnya. "Akan kuperlambat mereka sebisa mungkin. Mungkin kau bisa
memperbaiki keretanya secepat mungkin dan menyusul. Ikuti saja
jalan ini. Jangan mengambil jalan pintas," katanya memperingatkan.
Jamie mengawasinya berlalu. Mereka membuang kami seakanakan kami menderita wabah, pikirnya.
Melupakan kami. Meninggalkan kami. "Baguslah!" teriak ayahnya. "Kalian hanya memperlambat
kami." Jamie mengawasi kereta-kereta itu bergulir sepanjang jalan.
Bergulir menjauhi dirinya. Menjauhi dirinya, ayahnya yang sinting,
dan kereta mereka yang rusak.
********** Malamnya Jamie meringkuk di samping api unggun kecil.
Sebatang cabang pohon yang panjang melintang di pangkuannya. Ia
mengulitinya dengan menggunakan pisau.
Aku pasti bisa menggunakan ini untuk mengganti porosnya,
pikirnya. Kalau kami hanya kehilangan sehari, kami mungkin bisa
mengejar yang lainnya. Kuda-kudanya kuat. Aku bisa memperingan
keretanya. Meninggalkan barang-barang Ibu di sini agar kami bisa
berjalan lebih cepat. Seekor serigala melolong dalam kegelapan.
Jamie membeku. Ayahnya melirik pun tidak. Ia terus menatap
perapian. Apa Ayah mendengar lolongan serigala itu" pikir Jamie
penasaran. Tiba-tiba ayahnya bangkit berdiri. "Dora Mae" Ya, Sayang, aku
datang." Jamie melompat bangkit dan menyambar lengan ayahnya.
"Ayah, jangan masuk ke dalam hutan. Aku mendengar suara serigala."
"Ibumu memanggilku," kata ayahnya berkeras. "Aku harus ke
sana. Ibumu memerlukan diriku," gumamnya sambil berlari ke dalam
hutan. Jamie melesat memburunya. Ia tersandung sebuah batu dan
jatuh. Ia bergegas bangkit berdiri dan memandang sekitarnya dengan
panik. Ia tidak lagi bisa melihat sosok ayahnya dalam kegelapan. Ia
hanya bisa mendengar suara langkah kaki ayahnya di kejauhan,
menginjak dedaunan dan sesemakan.
"Ayah, berhenti!" serunya. Ia menangkupkan tangan ke
mulutnya dan berteriak lebih keras. "Kembali! Please, aku tidak bisa
melihatmu lagi, Ayah. Kau harus kembali!"
Dia tidak datang, pikir Jamie tersadar. Ia berdiri tanpa bersuara,
mendengarkan langkah-langkah kaki ayahnya. Ia tidak mendengarkan
apa pun. Udara malam yang lembap membasahi pakaiannya,
membuatnya kedinginan hingga ke tulang. Jamie menggigil. Ia
bersedekap rapat-rapat untuk mendapatkan kehangatan.
Mungkin dia tidak akan berkeliaran terlalu jauh, pikir Jamie.
Mungkin dia tidak akan tinggal di sana terlalu lama saat menyadari
bahwa Ibu tidak bersembunyi di balik pepohonan.
Jamie kembali ke tempatnya di samping api unggun. Ia melihat
kantong yang berisi amunisi dan mengikatkannya ke sabuknya. Ia
meraih tanduk berisi bubuk mesiu dan menyandangnya di bahu. Ia
meletakkan senapan di dekat kakinya.
Lalu ia mengambil pisau dan terus menguliti poros barunya.
Pisaunya mengupas kulit kayu yang kasar. Skreet. Skreet. Skreet.
Api berderak-derak. Letupan keras menghamburkan bunga api
ke kegelapan. Jamie tersentak.
Ia mendengar jeritan panjang melengking dalam kegelapan.
Ayahnya. Apa yang telah membuat ayahnya menjerit seperti
itu" Bab 7 "AYAH!" jerit Jamie.
Tidak ada jawaban. Ia meletakkan cabangnya dan menyelipkan pisau ke sarungnya
di sisi tubuhnya. Ia menyambar senapan dan lentera, lalu melesat ke
dalam hutan. Kabut tebal melayang di sela-sela pepohonan. Jamie hampirhampir tak mampu melihat satu langkah di depannya.
"Ayah?" bisiknya dengan suara serak. "Ayah?"
Tidak ada jawaban. Ke mana dia" Jamie menurunkan lenteranya ke tanah. Ia bisa
melihat dedaunan jarum pinus dan ranting-ranting yang melesak
terinjak. Ayah pasti sudah melewati jalan ini.
Ia mengikuti jejak itu. Dengan hati-hati. Mendengarkan dengan
susah payah. Lenteranya terayun-ayun. Cahayanya melompat-lompat di
hutan di sekelilingnya. Memantul pada pepohonan. Di tanah.
Di tubuh ayahnya yang tertekuk.
Jantung Jamie berdebar-debar. Perlahan-lahan, ia mendekat.
Api lentera menyiramkan cahaya kekuningan ke wajah ayahnya. Mata
ayahnya tidak berkedip. Hanya menatap. Mulutnya ternganga seakanakan masih terus menjerit.
Tenggorokannya tercabik sehingga menampilkan tulang putih
mengilat yang berlumuran darah.
Jamie merasa ingin muntah. Ia menelan ludah dengan susah
payah. Apa yang melakukannya" pikirnya dengan panik.
Pandangannya terasa kabur karena air mata. Ia menghapusnya dengan
lengan kemeja. Apa yang sudah membunuh ayahku"
Serigala" Beruang" Indian" Ia mendengar lolongan panjang melengking. Mungkin seekor
serigala atau Indian. Mereka menggunakan suara-suara hewan untuk
saling memanggil. Jamie mengedarkan pandangan ke dalam hutan. Napasnya
pendek tersentak-sentak. Ia menghirup bau darah ayahnya. Kalau aku
bisa menciumnya, hewan-hewan jelas bisa menciumnya juga, pikirnya
panik. Aku tidak bisa berdiam di sini.
Ia berlari kembali ke perkemahan. Cabang-cabang pohon
menarik-narik pakaiannya. Ranting-ranting berpatahan terinjak
kakinya. Kakinya terayun mati-matian. Napasnya terdengar semakin
keras. Aku harus menjauhi tempat ini. Lari! Lari!
Ia melihat api yang bergoyang-goyang di sela-sela pepohonan.
Perkemahannya. Ia akan aman di sana, tapi untuk berapa lama"
Tidak cukup lama, pikirnya. Aku sendirian. Sendirian sekarang.
Ia tiba di perkemahan, dan jatuh berlutut sambil terengah-engah
meredakan napas. Segalanya tampak sama.
Tapi ada yang tidak beres.
Ia bisa merasakannya. Apa yang salah" pikirnya penasaran. Apa yang berbeda"
Perlahan-lahan, ia memandang ke sekeliling perkemahan.
Cabang yang tengah dikulitinya masih berada di tempat ia tadi
meninggalkannya. Apinya masih berkobar-kobar. Keretanya masih
terbalik. Kuda-kudanya! Ia bangkit berdiri, mengamati sekitarnya. Kuda-kudanya! Kudakudanya lenyap.
Ia meletakkan lentera di tanah. Dengan tangan gemetar, ia
menarik penyodok dari senapannya dan menusukkannya ke larasnya.
Lalu ia menuangkan bubuk mesiu dari tanduk ke laras. Ia tahu bahwa
terlalu banyak bubuk mesiu akan menyebabkan senapannya meledak
di depan wajahnya saat ia menarik picunya, tapi ia tidak sempat
mengukurnya. "Jangan sampai terlalu banyak," bisiknya sendiri. "Jangan
terlalu banyak bubuk mesiu."
Ia membuka kantongnya, mengeluarkan sebutir bola logam
kecil, membungkusnya dengan sepotong katun, dan memasukkannya
ke dalam mulutnya. Sesudah membasahinya dengan ludah, ia
menjejalkan peluru itu ke dalam laras.
Ia memandang sekitarnya. Ia tidak bisa mendengar apa pun
kecuali suara napasnya sendiri, detak jantungnya yang menggemuruh.
Ia tidak bisa melihat apa pun kecuali bayang-bayang yang menari-nari
akibat api unggunnya. Ia menuangkan sedikit bubuk mesiu ke tempat peledak di
senapan dan menarik pelatuknya, menguncinya. Sekarang ia hanya
perlu menarik picunya. Perlahan-lahan ia berputar, mengamati pepohonan. Aku bodoh
sekali, pikirnya tiba-tiba. Mereka bisa melihatku di dekat api unggun,
tapi aku tidak bisa melihat mereka.
Ia bergegas ke bayang-bayang dan berjongkok di samping
sebatang pohon. Mungkin kuda-kudanya berhasil membebaskan diri.
Mungkin tidak ada yang mengambil mereka, pikirnya. Ayah yang
mengikat mereka. Mungkin dia lupa menyimpulkan talinya.
Ya, ya, pikirnya, sambil berusaha meredakan napasnya yang
memburu. Itu yang terjadi. Mereka membebaskan diri. Dan seekor
serigala telah membunuh Ayah. Dengan sebutir peluru, aku bisa
membunuh seekor serigala. Lalu aku bisa mengisi kembali senapanku.
Selalu menyimpan senapan dalam keadaan berpeluru, katanya
sendiri. Selalu siap untuk menembakkannya.
Ia melirik ke balik bahunya. Ia bisa melihat jalan dalam
keremangan cahaya bulan. Kalau ia berjalan dengan cepat, ia bisa
menyusul yang lainnya. Kalau tidak ada yang mau berbagi kereta
denganku, aku akan berjalan kaki sepanjang sisa perjalanan, putus
Jamie. Aku tidak ingin sendirian.
Ia berdiri dan memandang kegelapan hingga matanya terasa
sakit. Ia tidak melihat apa pun yang bergerak.
Aku takkan melalui jalan, pikirnya. Cahaya bulan merupakan
musuhku di jalan. Aku akan mudah terlihat. Akan kuterobos hutan
yang menjajari jalan itu. Aku akan aman dalam keremangan.
Ia melesat ke sela-sela pepohonan dan mulai berjalan. Cepat.
Dengan diam-diam. Ia mendengar suara dan berhenti untuk mendengarkan. Apa itu"
pikirnya penasaran. Langkah kaki"
Ia mendengar cabang-cabang bergemeresik ditiup angin. Tidak
ada apa-apa lagi. Ia mulai berjalan dengan langkah-langkah panjang.
Sekali lagi ia mendengar sesuatu"bisikan di antara pepohonan.
Uuuuuu! Bulu-bulu di belakang lehernya meremang.
Uuuuuu! Apakah itu suara serigala yang telah membunuh ayahku"
Apakah sekarang hewan itu memburuku"
Ia berjalan lebih cepat lagi.
Sesuatu melompat dari pohon di depannya dan mendarat
dengan suara lembut. Indian! Bab 8 JAMIE terhuyung-huyung mundur. Ia tersandung batu, dan
jatuh. Senapannya meletus. Pelurunya melesat ke langit malam.
Ia bergegas bangkit berdiri. Aku tidak sempat mengisi peluru,
pikirnya dengan panik. Aku tidak tahu apakah bisa mengisi peluru
dalam kegelapan. Ia meraih laras senapannya dan mengacungkannya seperti gada.
Menunggu. Menunggu Indian itu menyerang. Mulutnya terasa kering.
Ia belum pernah bertemu Indian.
Garis-garis biru melintang di kening Indian itu dan terus turun
ke pipinya. Sisi-sisi kepalanya dicukur gundul. Segaris rambut pendek
memanjang di tengah-tengah kepalanya. Ada bulu-bulu yang
diikatkan ke sana. Ia mengenakan seuntai kalung bermedalion gigi
yang runcing. Prajurit Indian itu menengadah. "Uuuuuu!"
Suaranya mirip sekali dengan serigala, Jamie tersadar. Indian
yang memperdengarkan suara-suara hewan itu. Mereka sudah
mengikuti kami selama berhari-hari.
Apa sebaiknya aku berbalik dan lari kembali ke kereta" Atau
sebaiknya aku lari ke arah lain" Ke kiri" Ke kanan"
Prajurit itu kembali melolong. Jamie mendengar debuman di
belakangnya. Ia berbalik.
Indian lain lagi! Ia mendengar suara di sebelah kirinya. Lalu sebelah kanannya.
Lebih banyak orang Indian lagi. Mereka mengepungnya.
Kakinya bagai membeku di tempat. Lututnya terasa seperti
lumpur licin yang membatasi sungai. Jantungnya bagai berlomba,
kencang dan keras. Ia hampir-hampir bisa mendengarnya dalam
kesunyian yang memenuhi hutan.
Ia mulai berkeringat. Senapannya terasa licin dalam
cengkeramannya, merosot di tangannya.
Prajurit itu mengerutkan bibirnya, memamerkan senyum


Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemenangan. Gigi-giginya yang putih berkilauan tertimpa cahaya
bulan. Dengan ketakutan, Jamie menjerit dan mengayunkan
senapannya kepada Indian yang ada di depannya.
Indian yang lain bergerak dengan cepat. Dengan diam-diam.
Seutas tali mengait kaki Jamie. Ia jatuh ke tanah.
Seorang Indian menyambar senapan dari tangannya. Indian
yang lain menyambar kakinya. Yang lain lagi menyambar tangannya.
Jamie melawan sekuat tenaga, tapi tidak lama kemudian ia menyadari
bahwa dirinya telah terikat tali kulit yang mengiris pergelangannya.
Ia bergulingan ke sana kemari, menendang-nendang. "Tidak!
Pergi!" jeritnya. Ia mendengar suaranya yang putus asa menggema
dalam kegelapan. Tidak ada gunanya, pikir Jamie. Siapa yang bisa
mendengarnya" Siapa yang akan membantunya"
Seutas tali kulit yang dingin melingkari lehernya. Ia merasakan
lilitannya mengerat dengan sekali sentak.
Ia merasakan tali itu kembali disentakkan. Lebih erat. Ia
berhenti melawan. Ia berbaring tidak bergerak sama sekali.
Menunggu. Tawa menggema dari sela-sela pepohonan. Sentakan lain
mengeratkan lilitan pada lehernya hingga menancap ke
tenggorokannya, menghalangi napasnya, mencekiknya.
Ia tersentak. Tenggorokannya bagai terbakar. Dadanya terasa
sakit. Ia mengangkat tangannya yang terikat. Ia mencakar-cakar
lehernya, berusaha untuk mengendurkan lilitan kulitnya.
Tapi lilitan itu justru semakin erat. Ia menendang-nendang
dengan panik, merasakan dirinya semakin lemah.
Tangannya terkulai lemas dari tenggorokannya. Tubuhnya
tersentak lalu tidak bergerak.
Kabut kemerahan memenuhi pandangannya dan kebenaran
bagai menghantam dirinya. Aku akan mati!
Bab 9 LILITAN tali kulitnya mengendur dan udara memasuki
mulutnya. Jamie berguling ke samping, tercekik dan terbatuk-batuk. Ia
menghirup udara malam yang hangat, mengisi paru-parunya yang
terasa sakit. Jamie merasakan seseorang mencengkeram bahunya dan
menariknya bangkit berdiri. Ia menatap penangkapnya. Indian itu
menyeringai, menampilkan gigi-gigi yang besar. Bagian putih dari
mata hitamnya yang besar seakan-akan memancarkan cahaya yang
kontras dengan garis-garis biru di wajahnya. Otot-otot lengan dan
bahunya yang telanjang tampak kencang dan kuat.
Tatapannya terpaku pada mata Jamie. Indian itu menarik seutas
kulit yang mengikat tangan Jamie. Tubuhnya tersentak maju dan
jatuh. Jamie mendengar Indian-Indian yang lain di sekitarnya tertawa.
Jamie bangkit berdiri dan menarik tali kulit itu. Ekspresi Indian
itu berubah suram. Dengan cepat ia menjulurkan tangan dan
mendorong Jamie. Jamie terjatuh ke belakang.
"Apa maumu?" tanyanya sambil bangkit berdiri.
Indian itu mulai berjalan, menarik tali kulit yang meliliti leher
Jamie, tidak memberinya pilihan selain mengikuti"seperti seekor
anjing yang terikat rantai.
Mereka berjalan ke lapangan tempat kuda-kuda Indian
ditambatkan. Indian itu menaiki salah satunya dan mengarahkan
kudanya memasuki hutan, dengan Jamie berlari-lari kecil di
belakangnya. Mereka berjalan sepanjang malam. Saat cahaya pertama subuh
menerobos sela-sela pepohonan, mata Jamie mulai terpejam. Ia jatuh
ke tanah untuk yang paling tidak kesepuluh kalinya sejak
kesengsaraan ini dimulai. Tapi ia tidak ingin bangkit kembali.
Tubuhnya sangat membutuhkan tidur.
Ia merasakan Indian itu menarik-narik tali kulitnya, tapi mata
Jamie tetap terpejam. Ia tidak bergerak sedikit pun. Ia mendengar
penangkapnya berjalan mendekatinya dan merasakan ibu jari kaki
penangkapnya yang terbungkus kulit menghunjam rusuknya.
Jamie mengerang dan berguling. Beberapa saat kemudian, air
menyembur ke wajahnya. Ia duduk tegak dan Indian itu memberikan
kantong kulit berisi air. Jamie meminumnya dengan rakus.
Namun dengan cepat kantong itu diambil kembali. Indian itu
memberinya sepotong daging kering. Jamie mengendusnya dan
merasa mual. Daging itu berbau busuk.
Indian itu berteriak kepadanya. Jamie menggeleng. Ia tidak
mengerti. Indian itu mencengkeram rambut Jamie dengan satu tangan dan
mendorong dagingnya ke wajah Jamie dengan tangan yang lain. Jamie
menahan napas dan memaksa diri menggigitnya.
Daging itu menempel di lidahnya dan dalam sekejap ia
merasakan perutnya bergolak. Daging itu rasanya seperti ikan busuk.
Ia meludahkannya. Potongan daging yang separo dikunyah itu mendarat di kaki
penangkapnya. Jamie mendengar Indian-Indian lain terbahak-bahak
dan mengawasi wajah penangkapnya berubah gelap karena murka.
Indian itu mempererat cengkeramannya pada rambut Jamie dan
menariknya bangkit berdiri. Jamie mengertakkan giginya. Ia merasa
rambutnya tercabut hingga ke akar-akarnya.
Akhirnya, Indian itu melepaskan cengkeramannya. Kepala
Jamie menjuntai ke depan. Ia melihat Indian itu mengambil sebuah
kantong kulit besar dari punggung kudanya.
Indian itu menekankan kantongnya ke dada Jamie, lalu dengan
cepat mengikatnya dengan menggunakan tali kulit yang panjang,
jamie menghirup bau busuk yang tidak mungkin keliru lagi.
Dagingnya. Kantong itu penuh berisi daging yang memuakkan.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Jamie merasa tercekik oleh bau yang menjijikkan itu. Ia
mencoba menahan napasnya. Akhirnya, ia terengah-engah menghirup
udara, hidung dan mulutnya dipenuhi bau busuk yang menjijikkan itu.
Setiap kali langkah Jamie melambat, penangkapnya menariknya
maju. Kantong yang terikat di dadanya terasa semakin lama semakin
berat. Di dalam sepatu botnya yang berat, kakinya terasa seperti dua
potong daging yang membengkak.
Saat malam turun, Indian-Indian itu berhenti sekali. Mereka
memberinya air. Mereka tertawa-tawa sambil mengambil potonganpotongan daging kering dari kantong dan melambai-lambaikannya di
depan wajah Jamie. Tidak lama kemudian mereka telah kembali melanjutkan
perjalanan. Setiap otot di tubuh Jamie rasanya seperti terbakar. Ia
merasa tak mampu untuk maju selangkah lagi. Tapi ia tidak memiliki
pilihan lain. Subuh kembali merekah. Benak Jamie yang telah kelelahan
dipenuhi berbagai pemikiran dan bayangan campur aduk. Pertanyaan
yang sama terus-menerus menggema dalam kepalanya. Apa yang akan
mereka lakukan kepadaku" Apakah mereka akan menjadikanku budak
atau membunuhku" Ia menengadah menatap matahari yang panas di langit biru
yang bersih. Gelombang pusing menghantam dirinya. Lalu kegelapan
menyelimutinya. Saat membuka mata lagi, ia melihat tanah berlalu di bawahnya.
Dan mendengar suara detak-detak kaki kuda yang lamban. Ia
mengangkat kepala dan menyadari bahwa dirinya melintang di
punggung kuda. Ia melihat Indian yang telah menangkapnya.
Salah satu Indian itu berlari lebih dulu ke arah sebuah lapangan
di hutan. Jamie mendengar teriakan Indian itu, lalu mendengar
teriakan lain sebagai jawabannya.
Kudanya berhenti dan penangkapnya menurunkan Jamie. Kakikakinya gemetar saat ia memaksa diri untuk bangkit berdiri. Ia
memandang lapangan itu. Ia melihat asap mengepul dari sebuah
perapian terbuka dan pondok-pondok rendah yang terbuat dari kulit
dan kulit pohon. Perkemahan Indian, pikir Jamie. Saat mereka memasuki
perkemahan itu, sekelompok anak kecil berlari ke arahnya. Mereka
menertawainya dan menyodoknya dengan tongkat. Orang-orang
dewasa berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, menatapnya dan
bercakap-cakap. Aku tidak mengerti bahasa mereka, tapi aku yakin mereka
sedang membicarakan diriku, pikir Jamie.
Penangkapnya mengajaknya ke sebuah pondok berdinding kulit
pohon. Di dalamnya, seorang wanita tua berbalik dari api unggun.
Rambutnya bergaris-garis antara hitam dan uban. Wajahnya berkerut
bagai anggur kering. Indian itu menarik tali kulit yang melilit leher Jamie dan
mengatakan sesuatu kepada wanita itu. Wanita itu terhuyung-huyung
melintasi pondok dan menatap tajam ke mata Jamie. Lalu ia mengelus
pipi Jamie dengan jarinya yang keriput. Jamie menggigil.
"Kau memiliki mata serigala," katanya dengan suara serak.
Jamie menatapnya. "Kau bisa berbahasa Inggris?"
"Ayahku pedagang kulit. Dia bisa bahasa Inggris," jawab
wanita itu. "Ibuku suku Shawnee. Aku dipanggil Withering Woman."
"Kenapa mereka memanggilmu begitu?"
"Karena aku selalu tampak tua," katanya kepada Jamie. "Dan
aku bijaksana. Suku ini merupakan suku Shawnee yang hilang. Kami
terpisah dari suku utama. Kami berjalan sendiri."
Ia mengatakan sesuatu kepada pria yang memegang talinya.
Indian itu mencabut sebilah pisau besar. Jamie menahan napas,
penasaran akan apa yang telah dikatakan wanita tua itu, apa yang akan
dilakukan prajurit Indian itu kepadanya.
Indian itu memotong tali kulit yang mengikat tangannya. Lalu
ia menanggalkan tali yang melilit di leher Jamie. Jamie menghela
napas panjang. "Ini Running Elk. Dia kepala suku kami," kata Withering
Woman. Jamie mengangguk kepada pria itu. Running Elk menyipitkan
matanya yang hitam. Withering Woman menekuk sebuah jari. "Ayo. Duduklah di
dekat api unggunku." Ia duduk di tanah, kakinya terlipat di bawahnya.
Jamie duduk di sampingnya.
Ia melirik ke belakangnya. Mereka yang telah menangkapnya
berdiri di dekat pintu, dengan lengan terlipat di dada.
"Mereka belum pernah melihat mata seperti matamu," kata
wanita tua itu menjelaskan.
Ia meraih tangan Jamie. Sebelum Jamie sempat menahannya,
wanita tua itu meraih sebatang pisau dan mengiris telapaknya.
Jamie menjerit dan berusaha menarik tangannya, tapi jemari
kurus wanita tua itu mencengkeram pergelangannya erat-erat.
Running Elk memegangi bahunya sehingga ia tidak bisa bergerakgerak.
Withering Woman mengulurkan tangan Jamie ke atas sebuah
mangkuk. Darah kemerahan perlahan-lahan menetes ke sana. Tes.
Tes. Tes. Mengisi mangkuk kecil itu.
Saat mangkuk itu telah penuh, Withering Woman melepaskan
tangan Jamie. Jamie mencengkeram tangannya di dada. Apa yang
diinginkannya dengan darahku" pikirnya.
Wanita tua itu mendecakkan lidahnya. Ia mendekatkan
mangkuk itu ke mulutnya dan memiringkan kepalanya ke belakang.
Tidak, pikir Jamie. Dia takkan meminumnya. Tidak mungkin.
Jamie merasa perutnya melilit.
Withering Woman menenggak darah itu hingga habis. Sebagian
kecil darah Jamie mengalir dari sudut-sudut mulutnya ke dagu.
Wanita itu menyingkirkan mangkuknya dan tersenyum, gigigiginya ternoda darah Jamie. "Kaulah orangnya," katanya dengan
suara serak. "Orang yang kami tunggu-tunggu."
Bab 10 "KAULAH orangnya!" ulang wanita itu dengan yakin.
Jamie menatap wanita tua itu, kata-katanya menggema di
sekitarnya. Aku orang yang sudah mereka tunggu-tunggu" Ia
menggeleng. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Dulu kami tidak pernah kelaparan," katanya. "Bison
berkeliaran bebas di tanah ini. Tapi sekarang orang-orang kami tak
bisa menemukannya. Kami kelaparan."
Apa hubungannya denganku" pikir Jamie. Tapi ia tetap diam.
"Suatu malam aku memandang ke api dan mendapat
penglihatan," lanjut Withering Woman. "Aku melihat seorang bocah
dengan mata seperti matamu. Aku tahu dia akan membawa kami
kepada bison-bison itu. Kau orang yang sudah kami tunggu-tunggu."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang melacak bison," kata Jamie
padanya. "Tidak penting. Kaulah orangnya." Ia meraih lengan Jamie dan
menariknya bangkit berdiri. "Ayo. Kau harus membuktikan
kelayakanmu." Jamie menyadari bahwa semua prajurit Indian telah
meninggalkan pondok itu. Mereka benar-benar tidak bersuara,
pikirnya. Begitu lincah. Ia mengikuti wanita tua itu keluar. Ia langsung melihat seorang
gadis Indian yang kurang-lebih sebaya dengannya. Rambut hitam
mengilatnya dijalin menjadi dua kepang panjang. Gaun kulit rusa
cokelat menutupi tubuhnya yang langsing. Butir-butir merah dan
hitam yang mengilat melingkari lehernya. Ia memalingkan kepalanya
sedikit. Tatapan mereka bertemu.
Napas Jamie tertahan di tenggorokannya. Kulit gadis itu begitu
halus dan gelap. Matanya hitam dan dalam. Dan dia begitu cantik dan
anggun. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Gadis itu membuat Jamie lupa bahwa dulu ia pernah
menganggap Laura Goode cantik. Ia tidak mampu mengalihkan
pandangannya dari gadis itu.
"Siapa itu?" tanyanya.
"Whispering Wind," kata wanita tua itu. Ia mengguncang
lengan Jamie. "Kau harus membuktikan diri."
Jamie berpaling dan menatapnya. "Apa?"
"Kau harus menjalani ujian pejuang." Wanita tua itu menunjuk
dengan jarinya yang terlipat dan keriput.
Jamie berpaling... dan membeku.
Para pria Shawnee telah membentuk dua deretan panjang,
terpisah sekitar dua meter. Mereka telah mengoleskan cat perang yang
baru di wajah. Bulu-bulu menjuntai dari kepala mereka. Dada mereka
telanjang. Otot-otot mereka tampak sekeras karang.
Para prajurit itu mengentakkan kakinya. Kepala mereka
terangkat dan mereka melolong. Mereka mengayunkan gada yang
terbuat dari cabang pohon... dan tomahawk"kapak perang.
Tomahawk-tomahawk itu berkilau-kilau memantulkan cahaya
matahari saat mengiris udara. Matanya yang tajam pasti akan mengiris
daging dengan sama mudahnya.
"Kau harus berlari melewati ujian pejuang," kata wanita tua itu.
"Atau mereka akan membunuhmu!"
Jamie melangkah mundur. "Menurutmu senjata-senjata itu bisa
membunuhku?" "Tidak kalau kau memang orangnya." Dengan dua jari, ia
menunjuk mata Jamie. "Awasi mereka dengan mata serigalamu.
Berlarilah yang lincah."
Jantung Jamie bergemuruh. Ia berpaling melirik Whispering
Wind. Gadis itu tidak lagi memandangnya. Dia memandang para
prajurit itu, tersenyum kepada mereka.


Fear Street - Sagas Ix Hati Seorang Pemburu Heart Of The Hunter di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jamie ingin gadis itu memandangnya. Ia berpaling kepada
Withering Woman. "Apa yang harus kulakukan?"
"Tanggalkan kemeja dan sepatu botmu. Berpura-puralah kau
seekor serigala. Larilah yang cepat," katanya. "Sangat cepat."
Seekor serigala, pikir Jamie. Bagaimana caranya"
Ia menarik kemejanya ke atas kepalanya. Ia membuangnya ke
tanah dan menanggalkan sepatunya. Ia mendengar tawa pelan.
Ia berpaling secepat kilat. Whispering Wind menunjuk
sepatunya dan tertawa pelan. Gadis itu mengenakan sepatu dari kulit
hewan yang lunak. Sepatu Jamie keras.
Kalau aku berhasil selamat melewati hambatan ini, Whispering
Wind akan berhenti tertawa. Akan kubuat dia memandangku dengan
hormat. Jamie berdiri. Tambur mulai dipukul bertalu-talu.
Bum. Bum. Bum, bum, bum. Bum. Bum.
Jamie merasakan tetes-tetes keringat mengalir ke tubuhnya.
Mulutnya terasa kering. Jantungnya berdebar-debar dalam dadanya,
menyesuaikan diri dengan irama pukulan tambur tradisional itu.
"Seperti serigala," kata Withering Woman mengingatkan
dirinya. "Larilah yang cepat."
Larilah yang cepat, ulang Jamie sendiri. Larilah yang cepat.
Tambur-tamburnya dipukul semakin keras.
Dentumannya memenuhi kepalanya.
Para prajurit itu menengadah dan menjerit.
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 4 Pendekar Bloon 19 Nagari Batas Ajal Ilmu Silat Pengejar Angin 2

Cari Blog Ini