Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning Bagian 3
memberi hormat. "Aku sudah mengusiri kereta ini di Shadyside
Village lebih lama dari umurmu, Nak. Dan kau tamu pertama yang
akan kuantarkan ke mansion Fear."
"Aneh," kata Daniel ragu.
"Memang aneh," kata McGuire sambil menggeleng-geleng.
"Rumah itu selalu gelap dan tertutup sejak kedua putri mereka mati.
Kejadiannya kira-kira 35 tahun lalu."
"Putri-putri Simon?" tanya Daniel, kaget. "Maksudmu, aku
punya bibi?" Si sais mengangguk. "Siapa ayahmu, Nak?"
"Joseph Fear," sahut Daniel.
"Ah, ya, Joseph." McGuire melepas topinya dan menggarukgaruk kepalanya. "Aku ingat sekali. Dia anak yang tampan. Aku ingat,
mereka mengirimnya ke sekolah yang jauh. Dua tahun setelah... eh...
setelah tragedi yang menimpa kedua gadis itu. Joseph tak pernah
pulang." "Ya. Sekarang kami tinggal di Boston," kata Daniel. "Kami tak
pernah pulang ke Shadyside. Ayahku sangat pendiam, sangat tertutup.
Pada kami, dia tak pernah cerita banyak tentang keluarganya. Aku
bahkan tak tahu punya kakek-nenek di sini sampai ada yang
membicarakan ulang tahun Kakek yang ke-75."
"Jadi Simon Fear akan berumur 75," gumam McGuire sambil
menggaruk-garuk dagunya. "Ya," sahut Daniel. "Kakekku menulis surat dan menyatakan
ingin melihatku. Jadi... di sinilah aku sekarang."
Sais tua itu menggumamkan sesuatu yang tak dapat ditangkap
Daniel. Kemudian dia berbalik, lalu sambil mengerang keras dia naik
ke keretanya dan duduk di bangku sais. Daniel memperhatikan
McGuire memegang kendali. Setelah itu dia sendiri naik ke dalam
kereta kecil itu dan menutup pintu di sampingnya.
Daniel memandang ke luar jendela yang berdebu, melihat kota
kecil yang dilewatinya itu. Pusat kota dengan bangunan kantor dan
toko yang berderet-deret sampai ke pondok-pondok kecil, tanah
pertanian, dan hutan yang lebat. Langit mendung membuat semuanya
tampak gelap dan murung. Tiba-tiba Daniel mendengar McGuire meneriakkan "whoa" dan
kereta tiba-tiba berhenti. Daniel mengintip ke luar dan melihat
gerbang tinggi dari kuningan. Gerbang itu kelihatan terawat.
"Kita sudah sampai, Nak," kata McGuire. "Inilah mansion
Fear." Daniel membuka pintu kereta lalu melongok ke luar. "Tak
bisakah kau mengantarku sampai ke depan pintu rumah?"
Pertanyaannya disambut dengan sikap diam yang lama.
Akhirnya lelaki tua itu berkata dengan parau, "Aku hanya bisa
mengantarmu sampai di sini. Tak banyak orang yang berani
mendekati mansion Simon Fear sampai sedekat ini."
Daniel turun dan mengambil kopernya. Dia mengulurkan dua
keping uang kepada sais itu, yang terus memandang lurus ke depan,
tak mau memandang ke arah mansion itu. Kemudian dengan
mengucapkan, "Semoga kau selamat, Nak," secara singkat, McGuire
mencambuk kudanya. Kereta itu melaju menjauh.
Daniel mendorong pintu gerbang yang berat hingga membuka.
Dia melangkah ke jalur masuk yang menghubungkan gerbang dengan
pintu utama rumah itu. "Oh!" Mansion besar itu tampak remangremang berlatarkan langit gelap. Pemandangan itu membuat Daniel
tersentak dan berseru tertahan.
Rumput liar memenuhi halaman. Semak belukar tumbuh bebas.
Batang pohon tumbang tergeletak di atas petak bunga yang kering,
kosong, tak terurus. Rumah itu, yang tampak reyot dan gelap, tegak di balik
pepohonan yang rapat. Semua jendelanya tertutup. Tak ada cahaya
yang menyambut ketika Daniel menyusuri jalur masuk. Dari arah
rumah, tak ada cahaya setitik pun.
Jadi di sinilah Ayah dibesarkan! pikirnya takjub. Rumah tua
yang suram dan seram. Pantas Ayah tak pernah cerita tentang masa
kecilnya. Hamparan daun-daun kering gemeresak diinjak Daniel. Pemuda
itu menaiki undakan, menuju pintu utama yang rangkap, kemudian
mengangkat pengetuk pintu yang berat dan terbuat dari kuningan. Dia
bisa mendengar gema pengetuk itu memenuhi rumah.
Dia menunggu, menyimak. Dia mengetuk lagi.
Akhirnya pintu berat itu terbuka sedikit.
Seorang perempuan tua berambut putih dan bungkuk
melongokkan kepalanya ke luar dan. memandanginya dengan curiga.
Dia mengenakan celemek putih yang kotor di luar pakaian hitamnya.
Salah satu matanya telah mengeras, warnanya abu-abu. Mata yang
satunya mengawasinya dengan tajam.
Dengan dahi berkerut, perempuan itu menggumamkan sesuatu
yang tak dimengerti Daniel.
"Maaf?" tanya Daniel sambil mencondongkan badan ke depan.
"Pergilah!" kata perempuan tua itu parau. "Pergilah dari sini!"
Bab 23 DENGAN kaget Daniel menatap perempuan tua itu. "Aku
Daniel Fear," katanya akhirnya. "Aku yakin kakekku sudah
menunggu-nungguku." Perempuan tua itu mendesah tetapi tidak menjawab. Matanya
yang masih sehat menyipit dan memandang pemuda itu lama sekali.
Kemudian jari-jarinya yang kurus dan bertonjolan memberi tanda agar
Daniel masuk. "Aku Mrs. MacKenzie, pengurus rumah tangga," katanya. Dia
mendului Daniel menyusuri lorong panjang dan gelap, ditopang
tongkat putihnya. "Aku pengurus rumah tangga, pelayan, pelayan
untuk Tuan, dan kepala pelayan," tambahnya pahit. "Aku satu-satunya
pelayan yang masih bertahan."
Daniel mengikutinya tanpa bicara sambil menenteng kopernya.
Dia menyusuri lorong-lorong sempit dan gelap. Sesekali dia mencoba
mengintip ke dalam ruangan-ruangan yang dilewatinya. Semuanya
tampak gelap, tak satu pun jendela dibuka. Perabotan terselubung
kain. "Ayahku tak memberitahuku rumah ini besar sekali," suara
Daniel menggema di lorong kosong.
"Ayahmu melarikan diri...," tukas Mrs. MacKenzie misterius.
Mereka terus menyusuri rumah gelap dan suram itu tanpa
bicara. Satu-satunya suara yang didengar Daniel adalah bunyi
sepatunya menginjak karpet yang sudah gundul dan ketukan tongkat si
pengurus rumah tangga. Di ujung lorong yang berkelok-kelok Daniel melihat berkas
cahaya oranye dari ruangan di pojok. "Kakekmu ada di dalam sana,"
kata Mrs. MacKenzie lirih sambil menunjuk. Dia berbalik,
meninggalkan Daniel di lorong itu, lalu menghilang di kelokan.
Tongkatnya mengetuk-ngetuk dengan irama teratur.
Apakah perempuan tua itu gila" pikir Daniel. Atau dia cuma tak
ramah" Dia mengambil napas panjang lalu dengan ragu-ragu mendekati
pintu. Dia melihat api menyala berkeretak di perapian batu yang lebar.
Daniel meletakkan kopernya lalu masuk ke ruangan itu.
Neneknya yang pertama-tama melihatnya. Angelica berbaring
di kursi panjang berlapis beledu merah tua di samping perapian.
Wanita itu mengenakan gaun hitam yang anggun berkerah renda
putih. Dia tersenyum kepada Daniel ketika pemuda itu mendekat,
tetapi tidak berusaha beranjak berdiri. Ketika Angelica tersenyum,
Daniel melihat kulitnya halus, transparan, dan melekat erat pada
tulangnya, membuatnya terlihat seperti tengkorak menyeringai.
Rambutnya terjurai di punggungnya, seputih salju.
"Nenek Angelica," kata Daniel sambil membungkuk sedikit.
Dia meraih tangan wanita itu, tetapi Angelica tidak mengulurkan
tangannya. "Masukkan kayu ke api, Nak," perintah Angelica.
"Maaf, apa kata Nenek?" Daniel berharap mendapat sambutan
yang lebih hangat dari neneknya.
"Jangan malas. Lakukan perintahku," tukas Angelica dingin
sambil melambaikan tangannya yang putih ke arah api. "Masukkan
kayu ke api, Nak." Daniel ragu-ragu, kemudian berjalan cepat ke perapian untuk
melaksanakan perintah neneknya. Dia tak bisa menemukan batang
kayu di keranjang kayu, jadi dimasukkannya beberapa ranting ke
dalam api. Kemudian, sambil menggosok-gosokkan tangannya, dia
kembali kepada neneknya. "Aku senang bertemu Nenek." Ia
tersenyum tulus. "Kau boleh pergi sekarang," sahut Angelica ketus. Sebelum
Daniel yang kaget bisa menjawab, dia mulai menjerit-jerit, "Kau tak
dengar aku" Pergi! Pergi! Pergi!"
Daniel ternganga memandangnya, mencoba memutuskan apa
yang akan dikatakannya atau dilakukannya.
"Jangan pedulikan dia," desis suara tinggi dari belakangnya.
Daniel berbalik dan melihat seorang lelaki tua yang nyaris
botak duduk merosot di kursi roda dari kayu. Kakinya tertutup selimut
tipis cokelat. Wajahnya kuning dan tampak tidak sehat dalam cahaya
api. Matanya yang kelam, mirip dua kancing kecil hitam, memandangi
Daniel dari balik kacamata persegi.
"Kakek!" seru Daniel.
Simon Fear meluncur mendekat di atas kursi rodanya, kedua
tangannya memutar roda kayu kursinya yang besar. "Jangan pedulikan
Angelica. Dia gila! Dia gila!" Simon terkekeh-kekeh seakan baru saja
membuat lelucon. Daniel berpaling ke belakang, melihat Angelica yang berbaring
sambil memandangi api. "Kakek Simon, aku senang bertemu Kakek," kata Daniel sambil
menghadap lelaki tua renta itu.
Simon mengulurkan tangannya yang kurus dan berbintik-bintik
hitam kepada cucunya. Daniel meraih dan menjabat tangan itu. Dan...
dia nyaris menjerit. Tangan Simon dingin sekali, dingin seperti mayat!
"Anak Joseph," gumam Simon, tak mau melepaskan tangan
Daniel. Di balik kacamatanya, sepasang mata hitam kecil mirip mata
burung gereja mengamati wajah Daniel, seakan hendak mengingatingat setiap detailnya. "Ya, ya. Kulihat wajah Joseph di wajahmu,"
katanya, kemudian terbatuk-batuk beberapa saat. Daniel menggunakan
kesempatan itu untuk menarik tangannya dari genggaman yang
sedingin es. "Ayah mengirimkan salam cinta," kata Daniel kaku.
"Cinta" Apa itu cinta?" Angelica menyela dari belakangnya.
"Apa itu cinta" Aku sungguh ingin tahu."
"Joseph tak mencintai kita," kata Simon sengit, punggung
tangannya menyeka lelehan liur dari bibir pucatnya.
"Maaf?" seru Daniel.
"Putraku Joseph meninggalkan kami. Kucoba membuatnya
mengerti bahwa kita, keturunan Fear, tak punya pilihan kecuali hidup
saling bergantung, bersatu, bersembunyi dari musuh kita. Tapi Joseph
memilih untuk tak mematuhiku"
Cahaya seakan lenyap dari mata Simon. Dia menunduk. Sesaat
Daniel mengira kakeknya tertidur.
"Masukkan kayu ke api!" kata Angelica tak sabar. "Masukkan
kayu, tolong! Mengapa di sini selalu dingin?"
"Kayu sudah habis," kata Daniel.
Tangan sedingin es mencengkeram pergelangannya. Simon
mencengkeramnya dengan kekuatan yang mengejutkan. "Sudah
kubilang, jangan pedulikan dia!" bentaknya.
Daniel mencoba membebaskan diri. Arus dingin dari tangan
Simon sepertinya merambat ke tubuhnya dan merasukinya. "Kakek..."
"Kau tak bisa mengingkari darah keturunanmu!" lengking
Simon sambil mendongak memandang Daniel dan mengeratkan
cengkeramannya pada pergelangan tangan cucunya. "Aku sudah
bilang begitu pada Joseph ketika dia masih anak-anak. Kau tak bisa
mengingkari darah keturunanmu dan melarikan diri dari garis
nasibmu." "Ya, Kakek," Daniel tergagap, mencoba bersikap sopan.
"Kedua kakaknya, Robert dan Brandon tetap tinggal di sini,"
kata Simon. "Tapi sekarang mereka juga sudah pergi."
"Aku belum pernah bertemu paman-pamanku," jawab Daniel
lirih. "Sekarang kau di sini, Daniel." Simon tersenyum kepada
cucunya, senyum yang mengerikan hingga Daniel bergidik. "Sekarang
kau ada di sini untuk meneruskan tugasku."
Daniel menelan ludah dengan susah payah. "Tugas Kakek"
Aku... aku datang untuk merayakan ulang tahun Kakek. Aku..."
Simon tidak memedulikannya. Kedua tangannya menggapai ke
balik kerah bajunya, mencoba melepas sesuatu dari lehernya.
Akhirnya dia berhasil. Lagi-lagi dia menyeringai seram, lalu
meletakkan benda itu ke dalam tangan Daniel.
Daniel mundur selangkah ke arah perapian dan mengamatamati hadiah dari kakeknya. Dia heran melihat perhiasan perak itu.
Bentuknya seperti cakram, dicengkeram tiga cakar perak, seperti cakar
burung. Pada cakram itu ada empat permata biru yang berkilau-kilau
memantulkan cahaya api. Hadiah yang aneh sekali, pikir Daniel. Dia membalik bandul
kalung itu. Di baliknya terukir kata-kata Latin: DOMINATIO PER
MALUM. "Apa arti kata-kata ini, Kakek?" tanya Daniel, mengamati
bandul kalung perak yang aneh itu.
"Kekuasaan melalui kejahatan!" seru Simon keras sampai
terbatuk-batuk. Daniel terus mengamati bandul aneh itu, menimang-nimangnya.
"Pakailah," perintah Simon. "Kenakan selalu. Itu sudah jadi
milik keluarga Fear sejak nenek moyang kita masih tinggal di Negeri
Lama." Dengan patuh Daniel mengalungkan rantai perak itu ke
lehernya. Lalu memasukkan bandulnya ke balik kemejanya.
Ketika bandul itu menyentuh dadanya, dia merasakan aliran
arus panas merasukinya"dan ruangan di sekelilingnya tiba-tiba
ditelan kobaran api! Bab 24 DANIEL melihat api di sekelilingnya"ilusi lidah-lidah api itu
menjulang tinggi ke langit kelam. Ilusi sesaat, penampakan, hanya
berlangsung satu-dua menit.
Dalam lidah api itu dia melihat seorang gadis muda, cantik,
berambut pirang, menggeliat-geliat kesakitan dalam kobaran api.
Ilusi itu lenyap. Gadis dan api itu lenyap seketika.
Bandul kalung itu masih terasa hangat di dadanya.
Simon tersenyum maklum kepada cucunya.
Bandul kalung bercakar tiga ini mempunyai kekuatan, Daniel
menyimpulkan. Dia takut sekaligus penasaran.
Daniel mendengar ketukan di belakangnya. Dia berpaling dan
melihat Mrs. Mackenzie masuk ke ruangan itu, membungkuk
bertelekan pada tongkatnya. Wajah perempuan itu mengerinyut tidak
senang. "Aku akan mengantarkan Tuan Muda ke kamarnya," katanya
dingin, matanya yang masih sehat menatap Simon tajam-tajam.
Simon tidak menanggapi. Dia mengangguk. Matanya terpejam.
Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masukkan kayu ke api, Nak," perintah Angelica. "Aku
kedinginan... sangat kedinginan!"
Mrs. MacKenzie menggumam kesal ke arah majikan
perempuannya. Merasa canggung dan bingung, Daniel mengambil
kopernya lalu mengikuti pengurus rumah tangga itu keluar ruangan.
Perempuan itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya pada karpet,
mendului menyusuri lorong-lorong rumah yang gelap dan
membingungkan. Kemudian mereka menaiki tangga yang berderitderit ke kamar tidur luas di lantai dua.
Daniel mengikutinya masuk ke kamar. Kamar itu dingin. Api
kecil di perapian tak mampu menghangatkannya. Mrs. MacKenzie
berjalan ke jendela. Dia berusaha membukanya agar cahaya bisa
masuk, tetapi jendela itu macet.
Dia mengangkat bahu sambil memandang Daniel, kemudian
cepat-cepat keluar kamar. Tongkatnya berdetak-detak.
Daniel menjatuhkan diri di tempat tidur, kulitnya merinding.
"Mengapa aku datang ke sini?" tanyanya keras-keras kepada diri
sendiri. Sambil menggeleng-geleng kesal dia mengeluarkan jam
sakunya lalu mengamatinya. Masih beberapa jam sebelum waktu
makan malam. Dan... pesta ulang tahun Simon masih beberapa
minggu lagi. Apa yang akan kulakukan di sini" Bagaimana aku akan mengisi
waktuku di sini" Daniel memandangi perapian kecil yang tak berguna itu dan
menyesali kedatangannya. ******************** Daniel makan malam sendirian di ruang makan yang senyap.
Simon dan Angelica tidak muncul. Mrs. MacKenzie menghidangkan
makan malam untuknya di ujung meja makan yang panjang. Dia tak
bernafsu tetapi dipaksanya dirinya mengunyah makanan itu.
Esok harinya dia pergi ke kota, lalu berjalan-jalan di seputar
Shadyside Village. Dia lega bisa terbebas dari suasana murung dan
pengap di mansion Fear. Ternyata alun-alun kota itu indah dan menyenangkan. Orangorang tersenyum ketika berpapasan dengannya. Daniel sangat tampan
dan ramah. Satu-dua orang yang tak dikenalnya tersenyum kepadanya.
Sekerumunan orang berkumpul di pinggir alun-alun,
mengagumi kendaraan bermotor baru yang mengilap, satu dari sedikit
"kereta tak berkuda" yang sudah dilihat Daniel di Boston. Dengan
langkah cepat dia mendekati kerumunan itu. Sebuah kendaraan roda
empat yang aneh, terbuat dari kaca dan logam yang dicat.
Seorang pria berwajah merah, mengenakan kemeja tanpa
lengan, sedang mengerahkan tenaganya memutar sebatang logam
bengkok di depan mesin dan mencoba menghidupkan mesin itu.
Tetapi, meskipun orang-orang yang mengerumuninya bersorak-sorak
menyemangatinya, mesin itu tak mau menyala.
Sambil tertawa geli, Daniel berjalan menjauh. Tiba-tiba dia
haus, mungkin gara-gara debu di jalanan Shadyside yang tidak
diaspal. Sebuah toko kecil bercat putih di pojokan" yang tampaknya
menjual apa saja"menarik perhatiannya. Dia berbelok ke sana,
membayangkan segelas minuman dingin.
Ketika dia membuka pintu toko itu, aroma kopi panas yang baru
diseduh menyambutnya. Daniel menutup pintu di belakangnya.
Kemudian, setelah melewati tong kayu berisi sari buah dan beberapa
karung terigu dan gula, dia berhenti di depan meja layan panjang di
belakang toko. Seorang gadis muda, mengenakan blus sutra kuning berkerah
tinggi dan rok panjang merah marun, berdiri memunggunginya. Gadis
itu sedang menata wadah-wadah di rak yang menempel ke dinding.
Daniel berdeham tidak sabar.
Gadis itu berpaling sambil tersenyum, dan terkejut melihat
orang asing masuk ke tokonya.
Daniel langsung jatuh cinta.
Gadis paling cantik yang pernah kulihat, batin Daniel takjub.
Gadis itu tampaknya sebaya dengannya. Rambutnya yang hitam
panjang terjurai sampai ke punggungnya, kulitnya putih halus,
matanya hijau berkilau karena cahaya yang masuk lewat jendela toko.
Senyumnya, senyum termanis yang pernah dilihat Daniel,
langsung lenyap. "Jangan memelototiku," katanya. Suaranya lebih
rendah daripada dugaan Daniel.
"Ya," jawab Daniel. Dia tak bisa memikirkan jawaban lainnya.
Tak bisa bicara. Aku kehilangan kata-kata, pikirnya. Ah...
ternyata datang ke Shadyside bukan gagasan jelek.
Tiba-tiba dia sadar gadis itu memandanginya dengan penuh
perhatian, dahinya berkerut di atas matanya yang hijau indah.
Daniel mengedip. Dia merasa pipinya memerah.
"Kau baik-baik saja?" tanya gadis itu. Dia berdiri menjauhi
meja layan. "Aku... aku... maaf," Daniel tergagap-gagap. "Aku... aku haus.
Jadi..." "Kau mau kopi" Atau sari apel?" gadis itu menawarinya sambil
tersenyum lagi. "Sari apel rasanya segar sekali."
Daniel merapikan kerah kemejanya yang dikanji. Kerah itu tibatiba membuatnya serasa tercekik. "Ya. Terima kasih. Sari apel pasti
menakjubkan." "Hmm, sari apel memang enak. Tapi aku tak tahu apakah
rasanya menakjubkan," sahut gadis itu agak ketus. Dia berjalan cepat
memutari meja layan, roknya menyapu lantai. Sambil membawa gelas
kaleng dia melangkah ke tong sari apel di seberang ruangan.
Cara jalannya anggun, pikir Daniel sambil mengikuti dengan
matanya. Seperti puisi. Tiba- tiba dia menyesal karena tak tahu apaapa tentang puisi.
Si gadis mengulurkan gelas yang sudah diisi penuh dengan sari.
apel. Daniel menyesapnya. "Enak sekali." Dijilatnya bibirnya.
Matanya terangkat memandang gadis itu dan dia menyadari sekarang
gadis itu yang asyik memandanginya.
Dengan malu gadis itu mengalihkan pandangannya. "Kau orang
baru di kota ini?" Daniel mengiyakan. "Bisakah kausebutkan beberapa tempat
menarik yang sebaiknya kulihat?"
Gadis itu tertawa. "Menarik" Di Shadyside?"
Daniel ikut-ikutan tertawa. Dia menyukai selera humor gadis
itu. Dia menyukai bagaimana dagu gadis itu bergetar bila tertawa. Dia
menyukai suaranya yang rendah dan agak parau.
"Pasti ada yang menarik dan pantas dilihat di sini," protes
Daniel. Gadis itu menyipitkan matanya yang hijau sambil berpikir-pikir.
"Maaf. Tak banyak yang benar-benar menarik di sini... kecuali
mungkin mansion Fear."
Jawabannya mengagetkan Daniel. Daniel memutuskan purapura tidak tahu. "Mansion Fear" Apa yang menarik tentang rumah
itu?" Wajah gadis itu berubah menjadi serius. Dia merendahkan
suaranya, menjadi bisikan. "Tempat itu sangat mengerikan. Banyak
cerita mengerikan tentang rumah itu. Aku tak tahu apakah ceritacerita itu benar atau tidak. Kata orang, keluarga Fear itu terkutuk
seumur hidup. Kutukan yang mengerikan. Rumah mereka juga
terkutuk. Kata orang, siapa pun yang masuk ke sana..."
"Di setiap kota pasti ada rumah seperti itu!" potong Daniel
sambil menggeleng-geleng.
Rumah kakekku memang kelihatan seperti rumah terkutuk,
pikir Daniel. Aku heran mengapa penduduk di sini menyebarkan
cerita-cerita seperti itu.
"Aku tak berani mendekati rumah itu, bahkan untuk melihatlihat pun tidak," lanjut gadis itu dengan dahi berkerut.
"Aku akan memperhatikan nasihatmu," kata Daniel. "Maukah
kau mengantarku melihat-lihat kota ini?"
Wajah gadis itu memerah. Senyum menggoda menghiasi
bibirnya yang menawan. "Wah, Tuan, aku bahkan belum tahu
namamu." "Namaku Daniel," sahutnya cepat. Dia hendak mengucapkan
nama keluarganya, tetapi mengurungkannya. Daniel sadar dia tak
ingin gadis itu tahu dia seorang Fear.
"Daniel" Aku suka nama itu." Mata gadis itu berbinar-binar.
"Aku pernah ingin menamai anjingku Daniel."
Kedua muda-mudi itu tertawa.
"Dan bolehkah aku tahu namamu?" tanya Daniel.
"Nora," sahutnya, lingkaran-lingkaran merah jambu pucat
tampak di pipinya. "Nora Goode."
Bab 25 "CEPAT"ada orang datang!" bisik Nora. Dia meraih lengan
Daniel dan menariknya dari jalan, masuk ke balik pepohonan.
Daniel tertawa. "Hanya kelinci. Lihat." Dia menunjuk kelinci
besar berbulu cokelat yang lari menginjak hamparan daun kering di
pinggir hutan. Nora tertawa dan menekankan dahinya ke lengan baju Daniel.
Aku suka tawanya, kata Daniel dalam hati.
Aku suka semuanya tentang dia.
Mereka berjalan bergandengan menuju sungai. Daniel tak
percaya mereka baru berkenalan lima hari lalu. Belum pernah dia
merasa seperti itu terhadap seseorang.
Setiap sore dia menunggu di kelokan jalan, tak jauh dari toko
ayah Nora, menunggu gadis itu selesai bekerja. Kemudian sambil
berusaha agar tidak tampak seperti sedang berjalan-jalan berdua,
mereka menuju jalan Park Drive yang lebar, ke arah Conononka River
yang mengalir menembus hutan di utara kota.
Di sana mereka duduk-duduk berdampingan di bawah pohon
rindang sambil berpegangan tangan. Sementara matahari turun di
balik karang-karang di seberang sungai, mereka berbincang-bincang,
saling mengenal dan membicarakan apa saja yang terlintas di kepala.
Daniel sudah mengatakan kepada Nora bahwa dia datang ke
kota itu untuk mengunjungi kakek-neneknya. Tetapi dia belum punya
keberanian untuk mengatakan kakek-neneknya adalah Simon dan
Angelica Fear. "Apakah kakek-nenekmu tak pernah bertanya ke mana kau
pergi setiap sore?" tanya Nora. Rambutnya yang hitam berkilau
tertimpa cahaya matahari sore yang tersaring dedaunan pohon-pohon
di atas mereka. "Kakek-nenekku tak terlalu suka kutemani," jawab Daniel.
"Mereka jarang sekali keluar kamar. Kalau kebetulan kami ketemu,
mereka tak banyak bertanya-tanya padaku. Terns terang, mereka
jarang sekali bicara denganku."
"Aneh sekali," gumam Nora sambil merenung.
"Nenekku hidup dalam dunianya sendiri," kata Daniel sedih.
"Aku tak yakin apakah dia tahu aku cucunya. Dan kakekku... dia
menghabiskan hari-harinya dengan duduk di kursi roda di depan
perapian, menggumamkan atau melamunkan sesuatu."
"Kau pasti kesepian," Nora menanggapi sambil meremas tangan
pemuda itu. "Tidak kalau sedang bersamamu," sahut Daniel mantap.
Gadis itu tersenyum, mata hijaunya berkilauan dalam cahaya
matahari yang hampir tenggelam. Daniel tahu, Nora pasti juga
kesepian. Ibunya meninggal ketika melahirkannya. Nora anak tunggal.
Dia menghabiskan hari-harinya dengan bekerja di toko ayahnya.
Malamnya dia memasak dan merawat ayahnya. Mereka tinggal di atas
toko itu. "Impianku adalah bisa pindah dari kota ini," dia berterus terang
kepada Daniel. "Aku ingin pindah ke kota yang punya jalan-jalan
lebar beraspal; yang punya gedung-gedung setinggi pohon, yang
penduduknya tak kenal aku."
Ketika matahari tinggal segaris merah tipis di atas karang,
Daniel mengerahkan keberaniannya, mencondongkan badannya ke
depan, lalu mengecup Nora.
Dia mengira gadis itu akan menolak. Ketika Nora membalas
ciumannya dengan hangat, Daniel menyimpulkan bahwa mungkin
Nora telah jatuh cinta kepadanya seperti dia jatuh cinta kepada gadis
itu. Aku harus berterus terang padanya aku seorang Fear, dia
membatin sambil memeluk gadis itu dan mengecupnya lagi. Tapi...
apakah Nora akan ketakutan" Apakah gadis itu mempercayai kisahkisah mengerikan tentang keluargaku" Kalau dia tahu aku seorang
Fear, apakah dia akan menjauhiku"
Pikiran itu membuatnya ngeri. Daniel tahu dia tak sanggup
kehilangan Nora. Ketika mereka berjalan bergandengan kefnbali ke toko ayah
Nora, Daniel memutuskan berterus terang. Sebelum mengatakan
identitasnya kepada Nora, dia harus tahu apakah keluarganya benarbenar terkutuk, apakah kisah-kisah mengerikan tentang keluarga Fear
itu benar. Kalau aku sudah tahu semua itu tak benar, semua itu hanya
cerita konyol, aku akan berani mengatakan padanya aku seorang Fear.
Aku akan lega, katanya dalam hati.
Dia mengucapkan selamat malam di batas kota, enggan
melepaskan tangan Nora yang hangat dan lembut. Mata gadis itu
berbinar bahagia ketika dia mengucapkan selamat malam. Kemudian
dia berbalik dan lari menuju tokonya. Rambutnya bagai sutra
melambai-lambai di belakangnya.
***************** Dengan jantung berdebar-debar dan bibir masih merasakan
kecupan Daniel, Nora masuk ke toko yang gelap itu sambil
bersenandung. Dengan bahagia dia membayangkan Daniel sambil
menaiki tangga sempit ke deretan kamar yang ia tinggali bersama
ayahnya. Nora berseru tertahan melihat ayahnya menunggunya di puncak
tangga, wajahnya penuh amarah.
James Goode, ayah Nora, bertubuh pendek; kulitnya berbulu,
rambutnya hitam lurus, kumisnya hitam tipis seperti pensil, hidungnya
panjang dan mancung. James sabar dan pendiam. Tetapi bila sedang
marah, dia sering kehilangan kendali dan mengamuk, membuat Nora
ketakutan. Nora berhenti di pertengahan tangga. Dia mengangkat
wajahnya, memandang ayahnya yang mengerutkan dahi dan
menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Ke mana saja kau?" tuntutnya sambil berusaha menjaga agar
suaranya tidak meninggi dan tidak bergetar.
"Keluar... jalan-jalan," jawab Nora berani.
Ayahnya memelototinya, wajahnya berkerut penuh amarah.
Diisyaratkannya agar putrinya meneruskan langkahnya menaiki
tangga. Kemudian diikutinya Nora masuk ke ruang duduk kecil.
"Keluar jalan-jalan dengan siapa?" tuntut James, tangannya
yang kurus terlipat di depan dadanya yang terbungkus kaus dalam.
"Dengan seorang kawan," jawab Nora dengan perasaan tak
enak. "Bukan kawan," kata James Goode sambil mengertakkan gigi.
"Pemuda yang diam-diam berkencan denganmu itu sama sekali bukan
kawan"dia seorang Fear!"
Nora tersentak. Dia terduduk di kursi kayu bersandaran tegak di
depan perapian. "Dia tak pernah cerita soal itu, Ayah."
"Tentu saja tidak!" bentak Mr. Goode. "Dia tahu, tak ada gadis
baik-baik yang mau terlihat berjalan berduaan dengan seorang Fear di
kota ini!" "Tapi, Ayah..." Nora kebingungan. Mengapa Daniel tak
berterus terang padanya" Takutkah dia"
"Ayah, Daniel pemuda yang baik," katanya akhirnya. "Dia
ramah dan lembut. Dia cerdas dan penuh perhatian dan..."
Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia seorang Fear," sela ayahnya sambil mendengus. James
berdiri di depan Nora, lengannya tergantung kaku. "Kularang kau
bertemu dengan seorang Fear. Kau tahu riwayat keluarga terkutuk itu.
Semua orang di Shadyside tahu."
"Aku tak peduli!" teriak Nora. "Itu hanya cerita isapan jempol."
"Cerita isapan jempol?" seru James Goode. "Cerita isapan
jempol" Dengar, kedua anak perempuan Simon Fear mati dibunuh
ketika mereka seumurmu. Dibunuh!"
"Ayah, itu sudah lama sekali!" teriak Nora. "Tak seorang pun
tahu apa yang sebenarnya terjadi..."
"Kedua gadis itu ditemukan di hutan, mayatnya tak bertulang!"
teriak James. "Orang-orang hanya menemukan kulit mereka. Tulangtulangnya tak ada! Lenyap!"
"Ayah kan tahu itu hanya cerita usang," pekik Nora. "Tak
seorang pun kecuali bocah-bocah tolol yang mempercayainya, Ayah!"
"Mungkin kau benar, tapi Angelica istri Simon itu gila, Nora.
Dia punya ilmu sihir. Orang-orang menghilang di hutan di belakang
mansion Fear. Mereka jadi korban Angelica. Mereka..."
"Ayah, hentikan! Semua cerita itu tak berdasar! Hanya gosip
dan isu! Ayah tak pantas mempercayai cerita-cerita gila macam itu!"
James menggeram kesal, kedua tangannya mengusap-usap
rambutnya yang licin. Dia mengomeli putrinya. "Aku sungguh
percaya cerita-cerita itu," suaranya bergetar. "Aku percaya semuanya.
Itu sebabnya kau kularang menemui pemuda Fear itu lagi, Nora."
"Tidak!" jerit Nora .sambil bangkit berdiri, matanya terbelalak
liar. "Aku mencintai Daniel, Ayah! Aku cinta dia! Ayah tak berhak
melarangku menemuinya!"
"Nora, dengar kata Ayah," kata James tegas, kumisnya yang
mirip pensil bergerak-gerak, wajah tirusnya memerah. "Dengar
kataku! Demi kebaikanmu sendiri, jangan menemuinya lagi! Jangan!"
"Tidak!" Nora menjerit, amarahnya menggelegak seperti
amarah ayahnya. "Tidak! Tidak! Tidak!"
Mata James Goode menyipit, dia marah sekali. Dia berkata
pelan-pelan, kata-kata diucapkannya satu demi satu, dengan penuh
kesadaran dan sambil mengertakkan gigi, "Kalau begitu, Nora, kau tak
memberiku pilihan...."
Bab 26 MALAM itu Daniel menunggu sampai rumah gelap dan sepi.
Kemudian, sambil membawa sebatang lilin, dia berjingkat-jingkat
masuk ke ruang perpustakaan Simon. Dia bertekad hendak
mengetahui riwayat keluarganya yang sebenarnya
Sambil mengacungkan lilin itu tinggi-tinggi, Daniel melihat
keempat dinding ruangan itu tertutup buku, dari lantai sampai langitlangit. Udara lembap, pengap, dan menyesakkan napas karena
tebalnya debu yang menempel pada buku-buku tua.
Lantai papan berkeriut di bawah kakinya ketika dia melintasi
ruangan untuk melihat buku-buku itu dari dekat. Daniel heran, pada
rak pertama ada buku-buku tentang ilmu sihir, buku-buku ilmiah yang
aneh, dan banyak buku lain tentang astrologi dan ramal-meramal.
Aneh! Mengapa Simon memiliki buku-buku seperti ini" pikir
Daniel sambil menyinari rak itu dengan lilinnya. Apakah dia dan
Angelica memiliki minat ilmiah tentang hal-hal seperti ini"
Daniel memeriksa rak-rak di ruang perpustakaan itu selama dua
puluh menit tetapi tidak menemukan sesuatu yang menarik, yang
dapat mengungkapkan riwayat keluarganya.
Tiba-tiba dia lapar dan haus. Dia pergi ke dapur sambil
membawa lilinnya. Rumah tua itu berkeriut dan berderik-derik ketika
dia berjalan menembus kegelapan. Rumah ini seperti
memperingatkanku agar jangan usil, pikirnya merinding.
Segelas air melenyapkan hausnya. Kemudian, sambil
memegangi lilin di depannya, Daniel pergi ke pantri di belakang
dapur. "Di mana biskuit rasa jahe yang dihidangkan waktu makan
malam tadi?" bisiknya kepada diri sendiri.
Dia mendengar bunyi pelan kaki yang empuk. Kucing dapur
sedang mengejar tikus. Dia mengalihkan lilinnya ke rak tempat menyimpan kaleng dan
wadah kaca. Tak ada kue kering.
Ada yang menarik perhatiannya pada dinding pantri di belakang
rak. Sebuah celah di dinding membuat bayang-bayang dalam cahaya
lilin yang bergoyang-goyang.
Penasaran, Daniel menekan celah itu, dan... dinding itu
bergerak mundur. Pintu rahasia! Daniel menyimpulkan.
Dia berdebar-debar. Didorongnya pintu sampai terbuka lebih
lebar lalu menyelinap ke baliknya. Dia berada di dalam ruangan
sempit berlangit-langit rendah. Diangkatnya lilinnya tinggi-tinggi. Dia
melihat dua bantal yang sudah jamuran di lantai, satu selimut yang
digulung, dan sebuah boneka.
Aneh sekali, pikir Daniel sambil membungkuk dan mengambil
boneka itu. Pakaian boneka itu berlapis debu. Matanya yang biru bulat
menatapnya dalam cahaya lilin.
Boneka siapa ini" Daniel menebak-nebak lalu meletakkannya di
atas salah satu bantal. Siapa yang menggunakan kamar rahasia ini"
Melihat jamur dan debunya, kamar ini pasti sudah bertahun-tahun
tidak digunakan. Dia menendang selimut itu. Debu tebal beterbangan. Sepatunya
menyentuh sesuatu yang keras di dalam gulungan selimut itu. "Aneh
sekali. Aneh sekali," gumamnya berkali-kali.
Ditariknya gulungan selimut itu hingga membuka, lalu
didekatkannya lilinnya. Cahaya lilin menimpa buku besar bersampul
gelap. Daniel membungkuk memeriksanya dan melihat itu sebuah
Alkitab tua. Punggungnya sudah rusak. Halaman-halamannya sudah
berjamur dan berbau apak.
Alkitab ini rupanya sudah jadi milik keluarga selama sekian
generasi, pikir Daniel. Mengapa disembunyikan dalam selimut di
kamar rahasia ini" Dia berlutut di lantai yang berdebu, lalu membuka-buka
halaman kitab itu dengan tangannya yang bebas. Di bagian belakang
Alkitab dia menemukan apa yang dicarinya... riwayat keluarga.
Halaman-halaman yang sudah usang dan cokelat ditulisi oleh
nenek moyangnya. Mata Daniel membaca nama-nama dan tanggaltanggal, kelahiran dan kematian.
Dia melihat tahun 1692 dan membaca nama Matthew dan
Benjamin Fier. Wickham, Koloni Massachusetts.
Waktu itu nama kami lain ejaannya, Daniel menyimpulkan.
Aku ingin tahu kapan perubahan itu dibuat"dan mengapa.
Matanya dengan rakus melahap isi halaman itu, membaca
tentang anggota keluarga Fier lainnya. Banyak sekali kematian di usia
muda. Daniel menyipitkan mata dan mendekatkan lilinnya untuk
menyimak tanggal-tanggal itu. Terlalu banyak kematian, kadangkadang dua atau tiga sekaligus.
Sambil membungkuk di atas buku tua itu, dia membalik
halaman itu dengan penuh semangat, matanya terus menelusuri namanama dan tanggal-tanggal. Tiba-tiba nyala lilinnya bergoyang.
Aneh, pikir Daniel. Tak ada angin di kamar kecil ini.
Nyala lilin bergoyang lagi.
Apakah ada orang lain di kamar ini"
Daniel hendak berpaling, tiba-tiba sebuah tangan dingin
membekap mulutnya rapat-rapat.
Bab 27 DANIEL mencoba berteriak, tetapi bekapan itu semakin erat.
"Ssssttt. Jangan berisik," bisik sebuah suara.
Tangan yang dingin itu dilepaskan. Daniel berpaling dan
melihat Mrs. Mackenzie memandangnya, matanya yang sudah
mengeras dan kabur memantulkan cahaya lilin yang bergetar.
Perempuan itu tersenyum ganjil.
"Kau mencari riwayat keluargamu?" bisiknya sambil
memandang Alkitab yang tergeletakdii lantai. "Kau tak perlu bukubuku, Tuan Muda. Akan kuceritakan semuanya."
"K-k-kamar apa ini" Mengapa Alkitab keluarga disembunyikan
di sini?" Daniel tergagap-gagap, beranjak berdiri dengan lutut lemas.
"Kupikir di sini aman," jawab pengurus rumah tangga yang tua
itu. "Ini kamar rahasia. Bibi-bibimu, kedua putri Simon yang malang,
Hannah dan Julia"semoga mereka beristirahat dalam damai"suka
sembunyi dan main-main di sini. Mereka berbisik-bisik dan tertawatawa cekikikan di sini. Mereka kira aku tak tahu kamar ini."
"Kenapa... kenapa mereka meninggal?" tanya Daniel,
Perempuan tua itu menempelkan telunjuk ke bibirnya.
"Kutukan atas keluarga Fear menimpa mereka."
"Jadi benar keluargaku terkutuk?" seru Daniel. Suaranya yang
bergetar menunjukkan kengeriannya.
"Ikuti aku," bisik Mrs. MacKenzie. "Akan kuceritakan
semuanya padamu malam ini."
Daniel mengikuti perempuan tua itu menyusuri lorong-lorong
gelap dan bercabang-cabang ke bagian rumah yang dulu ditinggali
para pelayan. Di sana, dalam kamarnya yang nyaris kosong, Mrs.
MacKenzie memberi isyarat dengan tongkatnya. "Duduklah," bisiknya
sambil mendorong Daniel ke kursi bersandaran tinggi. "Aku akan
menceritakan riwayat keluarga Fear padamu. Lebih banyak daripada
yang ingin kauketahui."
"Keluarga ini benar-benar terkutuk?" tanya Daniel lagi sambil
dengan patuh menjatuhkan diri di kursi itu dan memandang
perempuan tua itu lekat-lekat dalam cahaya lilin yang bergoyanggoyang. "Apakah cerita-cerita itu benar?"
Mrs. MacKenzie mengangguk. Dia menumpukan badannya
pada tongkatnya. "Kutukan itu ditimpakan karena perbuatan keturunan
pertama keluargamu yang datang ke Dunia Baru. Nama mereka
Matthew dan Benjamin Fier."
"Kulihat nama mereka di Alkitab itu," kata Daniel.
"Mereka orang-orang serakah. Ambisius. Mereka tak peduli
siapa yang mereka khianati," suara perempuan tua itu parau dan
bernada menghina. "Lalu kutukan itu" Kutukan itu ditimpakan karena perbuatan
mereka?" "Mereka membakar seorang gadis muda di tiang pembakaran.
Kakak-beradik Fier membakar gadis malang itu." Mrs. MacKenzie
mengetuk-ngetukkan tongkatnya pada karpet, seirama dengan katakatanya. "Mereka membakar gadis yang tak bersalah itu. Ayahnya
yang sedih dan sakit hati mengutuk keluargamu."
"Sejak hari itu," Mrs. MacKenzie melanjutkan, "kedua keluarga
itu saling mendendam dan melancarkan pembalasan. Selama
berpuluh-puluh tahun, dari satu generasi ke generasi berikutnya, kedua
keluarga itu menggunakan kekuatan jahat yang ada dalam kekuasaan
mereka. Mereka saling menakuti, saling mengkhianati, dan saling
membunuh." Perempuan itu melanjutkan dengan menceritakan kisah yang
penuh pengkhianatan dan balas dendam. Daniel mendengarkan
dengan tubuh serasa dialiri arus dingin. Suara parau Mrs. MacKenzie
menggoreskan kisah mengerikan itu dalam-dalam di ingatannya.
"Dan kakekku...?" tanya Daniel akhirnya, terpaku mendengar
kisah itu. "Simon Fear mengira bisa menghindari kutukan itu dengan
mengubah nama keluarganya. Tapi kutukan itu terus memburunya.
Dan menemukannya. Kedua putrinya yang masih muda menemui ajal
dengan cara yang sangat mengerikan... karena kutukan itu."
Lilin di tangan Daniel bergetar. Dia meletakkannya di lengan
kursinya. "Joseph, ayahmu, melihat kakaknya Hannah menemui ajal. Saat
itulah dia sadar dia harus melarikan diri dari rumah ini, dari kota ini.
Kakaknya, Robert, tidak melarikan diri. Dia mati terserang demam
aneh. Orang bilang sakitnya karena kekuatan jahat menantunya, Sarah
Fear. Kakaknya yang lain, Brandon, dan Ben anaknya"pergi
berjalan-jalan di hutan lalu lenyap begitu saja. Kutukan itu...
"Kutukan dan dendam kesumat di antara dua keluarga itu terus
berlanjut sampai hari ini," kata perempuan tua itu sambil menggelenggeleng.
"Keluarga yang satunya," bisik Daniel. "Siapa nama mereka?"
Mrs. MacKenzie ragu-ragu. Dia batuk-batuk sambil bertelekan
pada tongkatnya. "Mrs. MacKenczie, tolong katakan padaku," desak Daniel.
"Siapa nama keluarga yang satunya, keluarga yang mengutuk
keluargaku?" "Nama mereka Goode," sahut perempuan tua itu akhirnya.
Daniel tersentak kaget. "Goode" Tapi... tak mungkin!"
semburnya. "Mrs. MacKenzie, aku... aku jatuh cinta pada seorang
Goode! Nora Goode! Tak mungkin dia punya hubungan dengan
keluarga jahat yang..."
"Dia seorang Goode," sela pengurus rumah tangga itu dengan
sungguh-sungguh sambil memandang Daniel lekat-lekat dan
mencondongkan wajahnya ke cahaya lilin.
"Tidak!" teriak Daniel sambil melompat berdiri. "Tidak! Aku
tak bisa menerima ini! Nora manis dan lembut hati. Dia tak bersalah.
Aku yakin dia tak tahu apa-apa tentang kutukan ini!"
"Mungkin dia memang tak tahu," sahut Mrs. MacKenzie sambil
bertelekan pada tongkatnya. "Mungkin kau dan dia yang akan bisa
menghentikan kutukan itu."
"Menghentikan kutukan itu?" tanya Daniel penuh harap. Dia
mencengkeram lengan perempuan tua itu. "Menghentikan kutukan
itu" Bagaimana caranya?"
"Kalau seorang Fear menikah dengan seorang Goode...," ucap
Mrs. MacKenzie sambil merenung.
"Ya!" seru Daniel, suaranya membelah udara yang berat,
pengap dan lembap. "Ya! Terima kasih, Mrs. MacKenzie! Itulah yang
akan kulakukan! Lalu... kutukan itu akan lenyap... selamanya!"
******************** Pagi hari berikutnya berlalu dengan lambat. Daniel merasa
waktu seakan berhenti. Dia mondar-mandir di kamarnya, berkali-kali
memeriksa jam sakunya, menunggu saat Nora selesai bekerja.
Di bawah, persiapan untuk ulang tahun Simon mulai dikerjakan.
Pesta akan diadakan malam itu. Simon dan Angelica belum keluar
dari kamar mereka. Namun sederet kereta pengangkat antre di depan
pintu belakang, mengantarkan makanan, minuman, dan bunga untuk
pesta. Pukul tiga lewat sedikit, Daniel berjalan ke kota. Jalan yang
dilewatinya cukup jauh, menyusuri jalan setapak yang menembus
hutan, menyeberangi padang-padang, melewati deretan rumah-rumah
kecil sebelum sampai ke alun-alun kota. Tetapi Daniel menikmati
perjalanan itu. Perjalanan yang memberinya kesempatan untuk
memikirkan Nora dan mengulang-ulang apa yang akan dikatakannya
kepada gadis itu. Hari itu hari di musim gugur yang cerah. Udara hampir
sehangat udara di musim panas. Sambil berjalan Daniel membuka
kancing mantelnya. Beberapa menit kemudian dia melepas mantelnya
dan menyampirkannya di bahu.
Ketika bangunan-bangunan rendah berdinding bata yang
mengelilingi alun-alun kota tampak di kejauhan, jantung Daniel mulai
berdebar-debar. Dia sudah berlatih mengucapkan lamarannya berkalikali, mengulang-ulangnya dalam hati.
Tapi bagaimana reaksi Nora nanti" dia menduga-duga.
Daniel tahu Nora cinta dan sayang kepadanya. Tapi apa yang
akan terjadi waktu dia mengatakan kepada gadis itu bahwa dia
seorang Fear" Apa yang akan terjadi waktu dia menceritakan riwayat
keluarga mereka yang tragis" Waktu dia mengatakan pernikahan
mereka akan mengakhiri kutukan yang sudah sekian abad menghantui
keluarga mereka" Apakah Nora akan ketakutan... atau justru bahagia"
Sambil menghela napas panjang, dia memindahkan mantelnya
ke bahu satunya dan menyeberangi jalan yang tidak beraspal.
Langkahnya panjang-panjang.
Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Toko berdinding kayu bercat putih itu kini terlihat olehnya.
Daniel merasa jantungnya nyaris meletus!
Dia naik ke trotoar"dan langkahnya terhenti.
Jendela toko dipalang dengan kayu cemara.
Pintunya, yang biasanya terbuka, sekarang tertutup. Di balik
Jendela kecil pada pintu itu, bagian dalam toko kelihatan gelap
segelap malam. Dan kosong.
Nora sudah pergi, Daniel menyimpulkan.
Bab 28 DANIEL terhuyung-huyung mundur, nyaris terjerembap. "Di
mana dia?" teriaknya sambil memandang pintu toko yang dipalang itu
dengan bingung. "Ke mana dia pergi?"
Dia berdiri, mencoba menenangkan pikirannya yang bingung
dan kacau, mencoba memutuskan apa yang akan dilakukannya
sekarang. Bagaimana mungkin dalam semalam Nora menghilang begitu
saja" Lenyap seperti asap"
Ketika dia berdiri mematung karena merasa terpukul dan sangat
kecewa, sebuah suara melayang-layang ke arahnya, memanggilmanggilnya, "Daniel! Daniel!" Suara Nora.
Daniel menjerit lirih karena kaget, kemudian menahan napas
dan memasang telinga baik-baik.
Lagi-lagi dia mendengar suara Nora. Lagi-lagi dia mendengar
gadis itu memanggil-manggilnya dari kejauhan, dari tempat yang
sangat jauh. Suaranya begitu samar dan jauh hingga mungkin saja itu
sebenarnya desir angin. Atau imajinasinya.
"Daniel! Daniel!"
"Nora, aku mendengarmu!" teriak Daniel kebingungan. "Di
mana kau" Di mana?"
Dia menyimak lagi. Itu tadi hanya imajinasiku, dia
menyimpulkan dengan sedih.
Bahunya terkulai. Langit semakin gelap. Dia merasa akan
pingsan dan terpuruk di tanah.
"Daniel! Daniel!"
Panggilan samar dari kejauhan itu serasa membuatnya gila.
"Daniel! Daniel!"
****************** Dengan putus asa Nora memanggil-manggil pemuda itu sambil
menggedor-gedor jendela kamar tidurnya di atas toko sampai
tangannya gemetar kesakitan.
"Lihat ke atas! Kenapa kau tak mau melihat ke atas?" Nora
memohon dan melihat bagaimana wajah Daniel mengeruh karena
terpukul dan sedih sekali.
"Daniel! Daniel! Di atas sini!" Nora menjerit.
Akhirnya Daniel memandang ke atas. Akhirnya pemuda itu
melihatnya. "Nora!" Gadis itu bisa mendengar teriakannya yang lega
bercampur gembira dari balik kaca.
Sambil mengusap air mata, Nora menunjuk-nunjuk balkon
sempit di luar jendela kamarnya di lantai dua. Sesaat kemudian Daniel
mengerti, Nora menyuruhnya memanjat pipa air ke balkon.
Gadis itu melihat bagaimana Daniel melemparkan mantelnya
yang berat ke tanah, memegang pipa itu dengan kedua tangannya, lalu
memanjat naik. Di belakangnya dia melihat alun-alun kota kosong. Hanya ada
anjing kuning besar sedang tidur di tengah jalan. "Cepat! Oh,
cepatlah!" Nora memohon, tangannya menekan kaca jen- dela tebal.
Tak lama kemudian Daniel sudah berdiri di depan jendela
kamar Nora, napasnya terengah-engah. Dia memandang wajah Nora
yang berbekas air mata. "Nora, apa yang terjadi?" tanyanya. "Buka
jendelanya!" "Aku tak bisa!" teriak gadis. "Ayahku memasak jendela ini!
Aku terkurung di kamarku!"
Daniel memegang bingkai jendela dan mendorongnya ke atas
dengan sekuat tenaga. Gagal. Jendela itu macet. Tak bisa dibuka.
Sambil menggeram keras, Daniel membenturkan bahunya ke
kaca jendela. Nora menjerit ketika kaca jendela jatuh ke dalam
kamarnya, dekat kakinya, tanpa pecah.
Sambil berteriak senang Daniel menerjang masuk lewat lubang
jendela lalu memeluk Nora.
"Daniel! Daniel, kukira aku takkan melihatmu lagi!" tangis
Nora sambil menempelkan pipinya yang basah ke pipi pemuda itu.
Daniel memeluknya erat-erat. "Nora, apa yang terjadi"
Mengapa ayahmu mengurungmu di sini?"
Sesaat Nora memeluk Daniel, meyakinkan diri bahwa pemuda
itu benar-benar ada dan nyata. "Ayah mengurungku agar tak bisa
menemuimu lagi. Dia pergi ke kota lain untuk mengurus sesuatu. Dia
akan membawaku pindah ke tempat yang jauh, Daniel. Jauh sekali."
Daniel berseru kaget. "Kenapa, Nora?"
"Dia tahu kau seorang Fear," jawab Nora, tubuhnya gemetar, air
matanya membasahi pipinya.
"Jadi kau sudah tahu!" kata Daniel. Dia merasa pelipisnya
berdenyut-denyut. "Kau tahu aku anggota keluarga yang terkutuk!"
"Aku tahu, dan aku tak peduli!" cetus Nora. "Aku mencintaimu,
Daniel! Aku tak peduli siapa keluargamu dan bagaimana masa lalu
keluargamu!" "Aku juga mencintaimu, Nora!" seru Daniel. Mereka
berpelukan lagi. "Tapi kau harus tahu kisah keluarga kami. Kau harus
tahu semua tentang kutukan itu."
"Tidak! Bawa aku pergi dari sini!" Nora memohon, suaranya
bergetar. "Ayah takkan mengizinkan kita menikah. Dia akan pulang
satu-dua jam lagi. Dan sesudah itu..."
"Ada cukup waktu untuk menceritakan kisah itu," Daniel
berkeras. "Sesudah itu kita akan menikah!"
"Ya!" Nora sependapat. Dia meremas tangan pemuda itu. "Oh,
Daniel!" Mereka berciuman.
Sambil menggenggam tangan Nora erat-erat, Daniel
mengisahkan riwayat tragis keluarga Fear dan keluarga Goode. Gadis
itu mendengarkan tanpa berkata-kata. Dia ngeri sekali.
Disandarkannya kepalanya pada bahu Daniel.
"Banyak sekali kematian, banyak sekali pembunuhan dan
pengkhianatan," gumam Nora ketika Daniel selesai bercerita.
"Apakah itu berarti kau takkan mau menikah denganku?" tanya
Daniel, ditatapnya Nora lekat-lekat.
"Kita harus segera menikah," jawab Nora sambil menahan
napas. "Kita harus menghentikan kutukan itu untuk selamanya
Daniel berseru senang. "Aku melewati kantor hakim kota waktu
ke sini. Dia pasti mau menikahkan kita sekarang juga!"
Senyum Nora menghilang. Dia memandang Daniel dengan tak
yakin. "Tapi, Daniel, kita tak punya cincin sebagai tanda ikatan."
Daniel melepaskan tangan gadis itu. Ekspresinya wajahnya
menjadi serius. "Tak ada cincin..." gumamnya, dahinya berkerut. "Oh.
Tunggu!" Dia merogoh ke balik kemejanya dan menarik keluar bandul
perak bercakar tiga. "Ini untuk pengganti cincin, Nora!" serunya
penuh semangat. "Aneh sekali benda ini!" seru Nora sambil memandang benda
itu. "Kaudapat dari mana?"
"Tak jadi soal," jawab Daniel dengan kegembiraan meluapluap. "Benda ini sebagai pengganti cincin." Dia mengangkat bandul
perak itu dan mengalungkannya rantainya ke sekeliling leher Nora.
Ketika membetulkan letak bandul itu, Nora merasakan arus
yang kuat dan panas tiba-tiba menusuk dadanya. Dia juga merasa
melihat api menyala berkobar-kobar di dalam kamar itu. Ilusi aneh itu
hanya berlangsung beberapa detik. Ketika semua itu lenyap, Daniel
sedang menariknya ke jendela untuk melarikan diri.
"Malam ini kakekku Simon merayakan ulang tahunnya yang
ke-75," kata Daniel sambil membantu Nora keluar ke balkon. "Kita
akan mengumumkan pernikahan kita di pesta itu!"
"Oh, Daniel!" seru Nora sambil berdiri di ambang jendela. "Apa
kata kakekmu nanti" Bagaimana kalau pengumuman kita membuatnya
marah dan sedih?" "Dia pasti akan senang kalau kutukan yang sudah sekian ratus
tahun menghantui keluarganya bisa dilenyapkan," jawab Daniel
sambil tersenyum. Matanya yang hitam berbinar-binar penuh
semangat. "Ayo, Nora. Cepat! Malam ini akan jadi malam yang tak
terlupakan bagi kita!"
Bab 29 MALAM itu Daniel dan mempelai barunya menyusuri loronglorong gelap mansion Fear.
"Daniel, rumah ini... membuatku takut," bisik Nora.
"Kita takkan tinggal lama di sini, istriku sayang," kata Daniel
sambil meremas tangan Nora. "Kita akan pergi setelah pesta selesai.
Aku berjanji. Kita takkan menginap di sini malam ini."
Nora berjalan merapat padanya. Daniel membimbingnya
menyusuri lorong-lorong gelap di rumah Simon Fear. "Rumah ini
sangat gelap dan sangat dingin," bisik Nora.
"Jangan pikirkan yang seram-seram," kata Daniel ketika mereka
sampai ke dekat pantri. "Bagaimanapun kita sudah menikah. Beberapa
jam dari sekarang, kita akan pergi dan tak perlu kembali lagi ke rumah
ini." Mrs. MacKenzie sedang sibuk di dapur bersama lebih dari
selusin pelayan yang disewa dari kota lain untuk acara malam itu.
Mereka menyiapkan makanan dan minuman untuk pesta ulang tahun
Simon. Pengurus rumah tangga yang sudah tua itu menghentikan
kerjanya ketika melihat Daniel dan Nora masuk ke dapur.
"Mrs. MacKenzie, ini istriku, Nora," Daniel memberitahu.
Wajahnya tersenyum lebar. Dia tampak sangat bahagia.
"Nora Goode," gumam perempuan tua itu sambil mengamati
gadis itu. Kemudian dia tersenyum. "Kudoakan semoga kalian
bahagia." "Tolong jagakan Nora. Aku akan menemui Kakek dan Nenek
sekarang," pinta Daniel sambil memegang tangan mempelainya. "Jika
waktunya sudah tepat, aku akan mengumumkan pernikahan kami."
Dia berbalik sebelum pengurus rumah tangga itu sempat
bereaksi. Daniel melangkah cepat-cepat untuk menemui Simon dan
Angelica di ruang dansa. ********************** Daniel berhenti dengan terkejut di depan pintu masuk ke ruang
dansa. Mana tamu-tamunya" tanyanya dalam hati.
Ruangan luas itu kosong. Ratusan lilin memancarkan cahaya
pucat di sepanjang dinding yang dihiasi bunga-bunga putih dan
kuning. Langkah Daniel berdetak-detak dan menggema di ruangan luas
yang kosong itu ketika dia melintasinya untuk menemui kakekneneknya.
Dia ingat, menurut rencana pesta dimulai lebih dari sejam yang
lalu. Mungkinkah tak seorang tamu pun datang"
Sejauh yang diketahuinya selama beberapa minggu tinggal di
rumah ini, kakek-neneknya tidak punya kawan. Mansion Fear tertutup
untuk tamu selama 35 tahun.
Apakah Simon dan Angelica berharap akan ada tamu yang
datang" Apakah mereka mengundang seseorang" Orang lain selain
Daniel" Daniel bergidik. Apakah hanya aku satu-satunya tamu di pesta yang ganjil dan
seram ini" "Halo!" serunya, berusaha agar suaranya terdengar riang. Tetapi
suaranya menggema dalam ruangan luas yang kosong itu.
Kakek dan neneknya berada dekat pintu.
Angelica mengenakan gaun hitam yang lebih cocok untuk
menghadiri pemakaman daripada pesta. Rambutnya yang putih
panjang diikat ke belakang dengan sehelai pita hitam.
Daniel ragu-ragu. Dia ternganga memandang neneknya.
Tangan Angelica bergerak dan mulutnya komat-kamit seakan
menyambut tamu-tamu yang datang. "Senang sekali kau datang,"
ulangnya sambil tersenyum dan mengangguk-angguk ke udara
kosong. "Baik benar kau mau datang."
Daniel menelan ludah dengan susah payah. Nenek benar-benar
gila! katanya dalam hati. Diperhatikannya wanita itu tersenyum dan
berbicara tidak kepada siapa-siapa.
Simon, dengan mata kelam berbinar-binar di balik
kacamatanya, dengan wajah memerah diterangi cahaya lilin,
memandang pintu yang terbuka itu dengan penuh harap. Dia
mencondongkan badannya di atas kursi roda, senyum penuh harap
membeku pada wajahnya, seakan bersiap menyambut tamu
berikutnya. Daniel mengambil napas panjang. Sebaiknya aku ikut-ikutan
gila, batinnya. Kuduknya meremang. "Selamat ulang tahun, Kakek,"
katanya dengan hangat sambil bergegas menghampiri kursi roda dan
menyalami tangan Simon. Tangan Simon sedingin es. "Terima kasih, Nak," jawab Simon.
"Aku senang karena setidak-tidaknya satu anggota keluargaku
menyempatkan datang," tambahnya dengan pahit.
Daniel bergeser untuk menyapa Angelica. "Apakah kau datang
bersama keluarga Bridger?" tanya neneknya. Wanita itu
memandangnya, se?kan belum pernah melihatnya.
"Nenek... eh... Nenek cantik malam ini," Daniel tergagap.
"Jangan hanya berdiri di situ. Berbaurlah dengan tamu-tamu
kami," Angelica menyuruh. Dia mengalihkan perhatiannya dari Daniel
lalu mengulurkan tangannya yang terbungkus sarung tangan. "Baik
benar kau mau datang," katanya tidak kepada siapa-siapa. "Bagaimana
kabar putri-putrimu yang cantik?"
Simon terus menatap ambang pintu, senyum penuh harap
membeku di wajahnya. Daniel cepat-cepat berjalan ke dinding seberang, detak
sepatunya terdengar bagai bunyi guntur di ruangan dansa yang luas
dan kosong itu. Apa yang harus kulakukan" pikirnya. Mereka gila, benar-benar
gila"dua-duanya! Apakah sebaiknya kuajak Nora ke sini dan memperkenalkannya
sekarang" Apakah sebaiknya kukatakan pada mereka bahwa Nora dan
aku sudah menikah" Atau sebaiknya kuajak saja Nora lari meninggalkan tempat
yang mengerikan ini"
Tidak. Aku tak pantas pergi begitu saja. Aku harus
mengabarkan perkawinanku pada mereka.
Sambil memandang Simon dari seberang ruangan, Daniel
menduga-duga bagaimana reaksi lelaki tua itu nanti. Seorang Fear
telah menikah dengan seorang Goode. Hari ini, pada hari ulang tahun
Simon, perseteruan lama antara kedua keluarga itu telah berakhir.
Ratusan tahun penuh kepahitan, penuh dendam kesumat, penuh
kejahatan... semuanya sudah berakhir. Keluarga Fear dan keluarga
Goode akan menjadi satu keluarga sekarang.
Apakah kakekku akan bahagia seperti aku" Daniel mendugaduga.
**************** Daniel mendengar suara-suara dari ujung ruang dansa. Dia
mengangkat wajahnya dan melihat kue ulang tahun didorong di atas
meja beroda. Kue itu bundar dan besar sekali, bersusun tiga, dilapisi adonan
gula warna putih dan kuning. Di atasnya menyala 75 batang lilin.
Cahaya kuningnya menyinari kue itu.
Ini absurd! pikir Daniel. Kue yang besar sekali untuk pesta
Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ulang tahun yang tak dihadiri siapa-siapa.
Siapa yang akan membawa kue seperti itu ke dalam liang
kubur! Liang kubur!ebukulawas.blogspot.com
Aku harus menjemput Nora sekarang, dia memutuskan. Aku
akan menyampaikan kabar gembiraku pada Kakek dan Nenek. Setelah
itu aku dan Nora akan kabur dari sini dan tak pernah kembali lagi!
Ketika pelayan-pelayan sewaan pelan-pelan mendorong kue
besar itu ke arah Simon dan Angelica, Daniel bergegas ke pantri
menjemput Nora. Sambil memegang tangan mempelainya erat-erat, ia
menariknya ke ruang dansa.
Dalam ruangan yang muram dan sunyi menyeramkan, Simon
sedang bersiap-siap meniup lilin. Wajahnya berkilau diterpa cahaya
75 lilin. Nora enggan masuk, tetapi Daniel menariknya melintasi
ruangan dansa. Sambil meremas tangan Nora, Daniel tersenyum
meyakinkannya. Nora sangat cantik, kata Daniel dalam hati.
Istrinya mengenakan gaun biru bermodel sederhana dengan
kerah berenda putih. Bandul perak bercakar tiga itu berkilau di lekuk
lehernya. "Kakek, Nenek, aku akan mengumumkan sesuatu," suara
Daniel menggema. Nora berdiri tepat di belakangnya.
Daniel melihat mata Simon menyipit. Kakeknya memandangi
bandul kalung di lekuk leher Nora. "A-ap-apa ini?" gagapnya.
Sambil menggenggam tangan Nora erat-erat, Daniel menghela
napas panjang. "Kakek, pada kesempatan yang berbahagia ini, aku"
aku ingin memperkenalkan istriku. Aku sudah menikah dengan Nora
Goode!" Bab 30 "TIDAAAAAAK!" Jerit ketakutan dan teriakan putus asa memenuhi ruang dansa
itu. Tiba-tiba lidah-lidah api lilin bergoyang-goyang, lalu
membungkuk rendah. Beberapa lama kemudian baru Nora sadar bahwa teriakan itu
berasal dari Simon Fear. Dengan ngeri dia melangkah mundur ketika Simon bangkit dari
kursi rodanya. Mata lelaki tua itu terbelalak ketakutan. Telunjuknya
yang gemetar menunjuk-nunjuk bandul bercakar tiga di lekuk leher
Nora. "Tidaaaaaak!" jeritan seperti binatang terlontar lagi dari bibir
Simon. Sambil terus menunjuk-nunjuk, dia berjalan terhuyung-huyung
ke arah gadis itu. Tetapi kakinya tak kuat menyangga tubuhnya. Dia terjungkal.
Simon mencoba menegakkan badannya dengan bersandar pada meja
dorong, membuat kue ulang tahunnya terdorong jatuh.
Angelica menjerit-jerit ketika kue yang besar itu jatuh ke lantai.
"Daniel, apa yang harus kita lakukan?" teriak Nora. Tetapi katakatanya tenggelam dalam te riakan Simon dan jeritan Angelica.
"Daniel, apa yang terjadi?"
Sepetak karpet mulai terbakar. Lalu... seisi ruangan menyala"
seolah-olah semua lilin di ruang dansa itu serentak jatuh, membakar
apa saja, menimbulkan lidah-lidah api yang menyala-nyala.
"Daniel, tolong! Daniel!"
Nora tak bisa melihat suaminya. Daniel tersembunyi di balik
dinding api, hanya beberapa langkah darinya.
Lidah api menjilat-jilat dari lantai, menyambar keempat dinding
ruang dansa. Bagaimana mungkin ruangan ini bisa terbakar begitu cepat"
Nora terheran-heran. Lehernya tercekik asap tebal. Perasaannya kelu
oleh kengerian yang tak terkatakan. "Daniel" Daniel?"
Sekelilingnya terang benderang. Terang menyilaukan dan
membutakan mata. Ketika Nora bergerak ke arah api, di sekelilingnya terdengar
pekik jerit kesakitan. Nora melihat ada sosok berusaha keluar dari
kobaran api oranye terang.
"Daniel" Di mana kau?"
Sosok itu mendekat, menjadi semakin jelas.
Nora mengangkat tangan ke mulutnya ketika menyadari sedang
memandang gadis yang sebaya dengannya. Gadis itu berusaha
melepaskan diri dari tiang pembakaran di tengah kobaran api. Gadis
itu dibakar, dibakar, dibakar. Dia menjerit-jerit kesakitan sementara
tubuhnya dilalap api. Susannah Goode dibakar di tiang pembakaran di
samping ibunya. Nora ternganga penuh kengerian. Sosok-sosok lain
bermunculan di ruangan itu, bangkit dari lantai yang menyala-nyala di
tengah gemeretak kayu terbakar.
Nora melihat Rebecca Fier. Lehernya patah terjerat, tubuhnya
tergantung dari balok penyangga atap yang gelap. Benjamin Fier yang
sudah tua bangkit berdiri, masuk ke ruangan, terlompat-lompat seperti
orang-orangan pengusir burung. Sepotong kayu bulat kecil ditusukkan
pada belakang tengkoraknya.
Nora menjerit dan mencoba memejamkan mata. Tetapi dia
harus melihat, dia harus menjadi saksi atas semua korban kutukan
yang bermunculan dan berseliweran di dalam ruang dansa yang
terbakar itu. Ketika terus memandang dengan ngeri dan lidah kelu, Nora
melihat Matthew dan Constance Fier, dua kerangka terkurung di balik
dinding. Kemudian muncul William Goode. Kepalanya meletus,
tengkoraknya terbuka, dan dagingnya membusuk.
Hantu Abigail Fier melayang-layang di atas ruangan. Ibu
Abigail, Jane, terhuyung-huyung mengikuti putrinya, wajahnya
menggembung karena dia mati tenggelam. Kate Fier bangkit di depan
mereka, menusukkan jarum rajut ke dadanya. Berikutnya muncul
Hannah Fear, dadanya tertusuk pedang.
Kemudian Nora melihat Julia Fear, menggaruk-garuk udara,
menggaruk kehampaan, kuku-kukunya patah dan berdarah. Julia yang
malang, terkubur hidup-hidup. Sekarang gadis itu bergabung dengan
korban-korban lain yang berjatuhan selama sekian ratus tahun.
Korban-korban itu, hantu-hantu masa lalu, keluarga Goode dan
keluarga Fear, berteriak-teriak. Pekik jerit mereka lebih keras dari
gemuruh api. Mereka berputar-putar di dalam ruangan, berputar cepat
dan semakin cepat, sampai menyatu menjadi pusaran yang
melengkingkan pekik jerit kesakitan luar biasa yang disusul dengan
kematian yang kejam. "Daniel, di mana kau" Daniel?"
Nora memandang nanar ke arah api yang berpusar-pusar.
"Daniel, oh, Daniel!"
Tak bisa menemukan Daniel, tak sanggup mendengar pekik
jerit sosok-sosok yang sudah mati itu, tak sanggup mendengar lolong
kesakitan mereka yang memenuhi ruangan, Nora menutupi matanya
lalu kabur dari situ. Beberapa saat kemudian dia berada dalam malam yang gelap
dan dingin, memandangi api yang berkobar-kobar. Dia berdiri di
halaman depan. Tubuhnya gemetar karena terpaan udara dingin yang
tiba-tiba berembus. Dia memegangi bandul perak itu dengan kedua
tangannya ketika penduduk kota berdatangan dan mengerumuninya.
Mereka menggumam, menyebut-nyebut kejahatan keluarga Fear,
menyebut-nyebut ratusan tahun penuh kejahatan yang memuncak
pada malam ini dan terbakar oleh api pembakaran yang terakhir.
"Daniel! Oh, keluarlah, Daniel!"
Nora memanggil-manggil kekasihnya. Dia terus memanggilmanggil.
Api semakin membesar dan menelan mansion Fear dengan
lidah-lidahnya yang seram. Pekik jerit mengerikan memenuhi udara
malam bagaikan simfoni ganjil. Nora sadar... dia takkan pernah
melihat Daniel lagi. Epilog NORA mencelupkan pena, tetapi wadah tinta itu sudah kering.
Sambil menguap, dia meletakkan pena dan memandang tumpukan
kertas yang sudah ditulisinya.
Pernikahan kami mengakhiri perseteruan keluarga Fear dengan
keluarga Goode, pikirnya sedih. Tapi tak seperti yang kami harapkan,
Tak ada yang selamat dari amukan api. Daniel tak selamat. Tak
seorang pun selamat. Rumah itu terbakar selama berhari-hari sampai apinya padam
sendiri. Yang tersisa hanyalah reruntuhan yang hangus. Mansion Fear
dan riwayat kejahatannya masih tersisa di sana"kejahatan yang akan
menghantui kota itu. Itu sebabnya aku menulis riwayat ini, pikir Nora sambil
meregangkan jari-jarinya yang kaku. Itu sebabnya aku menghabiskan
malam ini dengan menulis semua yang kuketahui tentang keluarga
Goode dan keluarga Fear. Mungkin seseorang yang membaca kisah ini akan bisa
menghentikan kejahatan itu sebelum kejahatan itu bangkit kembali.
Mereka menganggapku gila, pikirnya. Mereka mengira api dan
apa yang kulihat di sana membuatku gila. Itu sebabnya mereka
membawaku ke rumah perawatan ini. Itu sebabnya mereka
mengurungku di kamar ini.
Tapi aku tak gila. Kisah ini harus diungkapkan. Kisah ini harus
ditulis. Aku harus menghentikan kekuatan jahat itu. Harus.
Nora memandang cahaya matahari yang masuk lewat jendela.
Dia mendengar langkah-langkah kaki. Suara-suara di lorong.
Pintu kamarnya dibuka. Dua perawat berseragam masuk. Wajah
mereka tanpa senyum, mata mereka menyorot dingin. "Dokter-dokter
akan memeriksamu, Nora," kata salah satu perawat dengan lembut.
"Ya. Baiklah," sahut Nora sambil beranjak dari kursi keras yang
telah didudukinya sepanjang malam. Dia mengangkat tumpukan
kertas dari atas meja kecil itu. "Ini. Mereka harus membaca ini,"
katanya kepada perawat itu. "Mereka harus membaca riwayat ini
selengkapnya. Mereka harus tahu tentang kekuatan jahat itu. Kekuatan
jahat yang menghancurkan kami. Mereka harus tahu..."
Sambil menyipitkan mata dan mengamati wajah Nora, perawat
itu merebut kertas-kertas itu dan melemparkannya ke dalam api.
"Tidak!" jerit Nora. Gadis itu mencoba menyelamatkan kertaskertasnya, tetapi kedua perawat itu memeganginya kuat-kuat.
"Ini semua demi kebaikanmu sendiri, Nora," kata salah satu dari
mereka dengan lembut. "Kalau dokter-dokter tahu kau semalaman
duduk menulis, mereka akan mengurungmu dan membuang
kuncinya." Nora memandangi kertas-kertasnya disambar api dan terbakar,
menimbulkan asap putih yang membubung ke dalam cerobong.
"Kalian tak mengerti!" dia memprotes, air mata menggenang di
matanya yang letih. "Kekuatan jahat itu masih hidup. Kekuatan jahat
itu masih ada di Sana! Riwayat ini harus diketahui orang! Orang harus
tahu..." "Ikut kami, Nora." Suara perawat itu lembut tetapi tangannya
mencengkeram lengan Nora kuat-kuat. "Ikut kami sekarang. Cobalah
melupakan cerita konyol itu."
"Apakah kau tak mendengar berita?" tanya perawat lain dengan
riang. "Berita itu pasti akan membuatmu gembira, Nora. Mansion Fear
sudah lenyap, tapi penduduk kota akan membangun jalan melewati
tanah itu." "Apa" Jalan?" tanya Nora kebingungan. "Tapi kejadian
mengerikan itu..." "Tak ada lagi kejadian mengerikan, Nora. Takkan ada lagi.
Jalan itu akan jadi jalan yang indah. Di kanan-kirinya akan dibangun
rumah-rumah indah," kata perawat itu sambil berjalan ke pintu.
"Tahukah kau akan mereka namakan apa jalan itu?"
"Apa?" tanya Nora lemas.
"Mereka akan menamakannya Fear Street." END
Misteri Rumah Berdarah 7 Wiro Sableng 089 Geger Di Pangandaran Suramnya Bayang Bayang 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama