Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil Bagian 2
sesuatu jatuh ke lantai di dekat kakinya.
Ia membungkuk. Sehelai amplop telah terjatuh dari mantel
Thomas. Amplop yang dialamatkan kepada Sarah Burns.
Sarah melirik suaminya. Begitu rapuh dan sakit dan menyusut
di ranjang. Thomas pasti sudah memasukkan surat ini ke dalam sakunya
dan lupa memberitahu dirinya.
Sarah kembali ke samping ranjang suaminya, mengamati
prangko surat itu. Ia berharap surat itu dari Eropa. Dari sahabatnya.
Tapi ternyata tidak. Dr. Pierce dan Thomas sama-sama mengawasi dirinya. Mereka
tampak sama penasaran dengan dirinya.
"Surat," kata Sarah menjelaskan. "Kutemukan di mantel tuamu,
Thomas. Kau pasti sudah lupa memberikannya padaku."
"Maafkan aku," gumam suaminya dengan sangat pelan. "Aku
tidak ingat sama sekali."
Sarah tersenyum. "Tidak apa-apa, Thomas. Please. Sudah cukup
banyak yang harus kita khawatirkan."
"Ini," kata Dr. Pierce. Ia meraih pembuka surat dari meja
Thomas dan mengulurkannya kepada Sarah.
"Terima kasih." Dengan hati-hati Sarah merobek amplop itu.
Ia mulai membaca suratnya.
Lalu menjerit. Bab 7 DR . PIERCE bergegas mendekatinya.
Thomas berjuang untuk duduk di ranjangnya. Ia mengulurkan
tangan ke arah Sarah. Isak tangis Sarah meledak. Ia tidak mampu mengendalikan diri.
Tidak! Tidak! Dari balik air matanya, ia bisa melihat Thomas menatapnya
dengan pandangan khawatir.
Sarah terhuyung-huyung ke kursi dan duduk. Ia bergoyanggoyang.
Tidak, tidak mungkin benar!
Tapi memang benar. Thomas dan Dr. Pierce menunggu dirinya menjelaskan. Sarah
memaksa diri untuk duduk tegak.
Sarah mencengkeram surat itu di dadanya, seakan-akan mencari
hiburan. Ia menggigit bibirnya yang gemetar.
"Aku sering bercerita tentang sahabatku... Jane Hardy,"
katanya. "]ane berlayar ke Eropa pada saat yang sama aku datang ke
Shadyside." "Wanita kepada siapa kau menulis surat selama ini," kata
Thomas. "Ya. Dan dari siapa aku tidak pernah mendapat balasan. Well,
surat ini dari adik tirinya," kata Sarah dengan suara yang begitu pelan
hingga hampir-hampir tidak dikenalinya sendiri. "Rupanya temanku,
teman tersayangku..."
Ia kembali menangis. Thomas memegang tangannya.
Sarah mengetahui bahwa harus menguatkan diri. Demi Thomas.
Thomas tengah sakit parah. Thomas membutuhkan dirinya.
Sarah menghapus air mata dengan punggung tangannya. Air
mata baru seketika membasahi pipinya.
"Jane tidak pernah tiba di London," katanya kepada suaminya.
"Kapalnya tenggelam. Semua orang..."
Ia tidak mampu melanjutkan.
"Oh, Thomas. Mengerikan sekali. Semua orang tenggelam."
"Aku turut prihatin," kata Thomas lembut.
Sarah menghapus pipinya dengan punggung tangannya lagi.
"Thomas! Mengerikan sekali. Dan coba pikir. Ini terjadi sewaktu kau
dan aku berbulan madu di Air Terjun Niagara. Sementara kita
bersenang-senang." "Kau tidak boleh berpikir seperti itu," kata Thomas. Lalu ia
mulai terbatuk-batuk. Tapi Sarah tidak mampu menahan perasaan bersalahnya. Air
Terjun Niagara. Ia begitu bahagia di sana. Sementara sahabatnya...
Terdengar seseorang mengetuk pintu.
Sarah memandang Thomas dengan terkejut. Dr. Pierce telah
memerintahkan agar Thomas tidak dikunjungi siapa pun hingga
kondisinya lebih kuat. Para pelayan telah diperintahkan untuk tidak
mendekat kecuali dipanggil oleh Sarah. Siapa yang datang"
Ketukannya terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
Sarah merasa tubuhnya menegang.
"Masuk," kata Dr. Pierce.
Pintunya membuka. Seorang pria melangkah masuk. Jangkung dan berwajah tegas.
Dengan kumis hitam yang dililin begitu kaku hingga terjulur bagai
sayap burung di kedua sisi wajahnya.
Rahang Sarah ternganga. Suratnya terjatuh dari tangannya.
"Kau!" katanya dengan napas tersentak.
Bab 8 PRIA itu menatap Sarah. Matanya membelalak.
"Ini"ini Jason Hardy," kata Sarah. "Aku mempekerjakannya
tadi pagi. Eh, Phillip merasa kurang enak badan, jadi kupikir
sebaiknya kita mempekerjakan kusir lain."
Sarah melirik Thomas. Apakah dia tahu bahwa dirinya
berbohong" Tidak, pikir Sarah mengambil keputusan. Thomas tampaknya
tidak menganggap aneh tindakannya untuk mempekerjakan pelayan
lain tanpa berkonsultasi terlebih dulu dengannya.
Jason terus menatap Sarah. Pandangannya menusuk mata Sarah.
Aku harus menjauhi Jason, pikir Sarah. Ia tidak tahu apa yang
harus dikatakannya kepada pria itu. Ia harus berpikir.
Sarah bergegas bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Tapi ia
tak bisa memikirkan alasan untuk meninggalkan ruangan. Tidak bisa
berpikir sama sekali. "Mrs. Fear baru saja mendapat berita buruk yang sangat
mengejutkan," kata Dr. Pierce menjelaskan. "Tentang seorang teman
dekatnya." "Maaf, tapi aku ingin sendirian dulu sebentar..." gumam Sarah.
Ia bergegas meninggalkan ruangan.
Ia bisa merasakan Jason mengawasinya. Ia bisa merasakan
pandangan pria itu di punggungnya.
Ia telah mencapai tengah-tengah lorong sewaktu Thomas
kembali terbatuk-batuk hebat. Rasanya seperti peluru yang mencabikcabik dirinya.
Sarah melesat menuruni tangga.
Jason! Jason Hardy ada di Shadyside ini! Di rumahnya! Kenapa dia
mengikuti dirinya kemari" Dan justru pada saat ini! Sarah tidak
mampu menanggung perasaan ini.
Ia menerobos pintu belakang. Sambil mencengkeram gaunnya
menggunakan dua tangan, Sarah berlari melintasi halaman. Terus
hingga ke dalam hutan. Ia harus melarikan diri. Melarikan diri dari semua orang.
Sarah berlari di sela-sela pepohonan. Cabang-cabang pohon
menampari wajahnya. Ia tidak menyadarinya sama sekali.
Akhirnya ia menyadari bahwa telah tiba di pemakaman
keluarga. Ia jatuh ke tanah. Sarah bersandar ke salah satu batu nisan. Menghela napas
panjang yang lamban dan dalam. Mencoba untuk menenangkan diri.
Bayang-bayang jatuh ke wajahnya. Ia menengadah.
Jason Hardy berdiri menunduk, menatapnya.
Jason mengikutinya ke dalam hutan.
"Jane," katanya, suaranya tercekat. "Kukira... kukira kau sudah
tewas." Sarah tidak mampu berbicara. Ia hanya mengangkat bahu tanpa
daya. "Oh, Jane," kata Jason. "Kau tidak tahu apa artinya itu bagiku."
Ia berlutut di samping Sarah.
Sarah memeluk lehernya. Tiba-tiba, tidak penting bahwa
kehadiran Jason hanya menambah masalahnya. Yang penting pria itu
berada di sini pada saat dirinya paling membutuhkannya.
Mereka berpelukan erat-erat. "Oh, Jason!" serunya. "Jason
sayang!" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Semua ketakutannya menghilang. Kelegaan dan semangat
menggantikannya. Kakak tirinya tersayang!
"Tapi kepalaku pusing," kata Jason. "Jane, kau harus
memberitahuku apa yang terjadi."
"Jangan memanggilku dengan nama itu lagi," kata Sarah, tibatiba merasa ketakutan. "Aku bukan Jane. Aku Sarah Burns. Tidak,
tidak, aku Sarah Fear."
Ia menggeleng. "Kurasa aku mulai sinting. Kalau belum
sinting." "Katakan apa yang terjadi. Kau harus menceritakan semuanya,"
kata Jason. Jane menghela napas. "Kami bertukar tempat," katanya.
Ia sendiri merasa terkejut, saat mengucapkannya keras-keras.
Rasanya sungguh luar biasa apa yang sudah ia dan Sarah lakukan.
"Kalian kenapa?" seru Jason. Ia tertegun.
Jane mengangguk muram. "Sarah dan aku, kami bertukar
tempat. Kami bertukar kehidupan. Nama. Identitas. Semuanya.
Rasanya seperti kami bertukar jiwa. Dia menjadi Jane. Dan aku
menjadi Sarah." "Kenapa kau"kenapa ada yang mau berbuat seperti itu?" tanya
Jason. "Well, kau tahu Sarah," kata Jane. Suaranya tercekat. Ia
menyadari bahwa tengah membicarakan Sarah seakan-akan temannya
itu masih hidup. Tapi Sarah telah tenggelam dalam perjalanan ke
London. Sahabatnya telah tewas.
Jason mengulurkan tangan dan mencengkeram tangan Jane.
Sesaat kemudian, baru Jane mampu untuk melanjutkan.
"Sarah mirip denganku," lanjut Jane. "Dia tidak pernah suka
diperintah." "Jelas benar," kata Jason menyetujui.
Jason pernah berpacaran dengan Sarah Burns. Tapi mereka
berdua begitu keras kepala hingga hubungan itu hanya berusia
seminggu. Hubungan itu diakhiri dengan pertengkaran hebat di antara
mereka berdua, dan sejak itu mereka tidak lagi saling berbiara.
"Kau ingat sewaktu nenek Sarah mengatur pernikahan Sarah?"
lanjut Jane. "Ya. Dia ingin Sarah hidup tenang," kata Jason.
"Ya. Well, kau bisa membayangkan bagaimana murkanya Sarah
waktu itu. Diperintahkan untuk menikah. Dia mengamuk," kata Jane
kepadanya. "Aku yakin begitu." Jason memuntir-muntir ujung kumisnya.
Tindakan yang dikenalinya itu memicu air mata Jane. "Oh,
Jason, aku sangat merindukanmu. Lebih dari yang kusadari, kalau itu
masuk akal." "Kurasa aku mengerti," kata Jason. "Tapi tolong lanjutkan. Kau
harus menceritakan semuanya."
"Well..." Jane mencabut rerumputan dan membiarkan daundaunnya berguguran dari sela jemarinya. "Aku baru saja akan
berangkat ke London bersama pengawasku."
"Mrs. Manderlay," tambah Jason.
"Ya. Pokoknya, seluruh kejadian ini merupakan gagasanku.
Aku akan ke London untuk mencari suami. Sarah sudah menemukan
suami. Hanya saja dia tidak menginginkannya. Rasanya sangat masuk
akal." "Apa yang masuk akal?" tanya Jason, kedengaran kebingungan.
"Kau mengerti kan, aku sangat iri terhadap Sarah. Karena dia
akan segera menikah. Benar-benar sebuah petualangan! Sewaktu
kuutarakan kecemburuanku, Sarah hanya tertawa, tentu saja. Sarah
merasa iri kepadaku karena aku mendapat kesempatan untuk berjalanjalan. Dia membenci gagasan menikah dengan Thomas."
Jane melirik Jason, lalu menunduk memandang ke tanah. "Jadi
suatu malam kusarankan kami bertukar tempat saja."
"Tapi bagaimana kalian bisa mengira bisa melaksanakan
rencana itu dengan begitu saja?" tanya Jason.
"Tapi kami berhasil," kata Jane dengan bangga. "Kau mengerti,
semuanya begitu sempurna. Nenek Sarah, Althe, terlalu tua untuk ikut
pergi ke Shadyside dan menghadiri pernikahannya. Aku sendiri
hampir tidak selamat. Empat hari di gerbong wanita kereta api sudah
cukup untuk membunuh siapa saja."
"Gerbong pria tidak lebih baik, percayalah," kata Jason.
"Jason sayang," kata Jane.
"Lanjutkan!" kata Jason.
"Well, kurang-lebih begitulah. Tidak seorang pun di Shadyside
pernah bertemu Sarah Burns sebelumnya. Dari mana mereka akan
tahu bahwa aku bukan Sarah?"
"Tapi kehidupanmu di New York, teman-temanmu..."
"Satu-satunya orang yang akan kurindukan hanyalah jane. Tapi
aku pasti akan berpisah dengannya. Dan kau. Tentu saja, aku tahu
bahwa akan merindukanmu juga."
"Kau pembohong, tapi pembohong yang manis. Tapi tunggu
sebentar. Bagaimana dengan Mrs. Manderlay" Jelas dia tidak setua itu
sehingga tidak bisa membedakan antara dirimu dan Sarah?"
"Tentu saja tidak. Tapi Sarah mengirim pesan kepada Mrs.
Manderlay bahwa kapalnya berlayar seminggu sesudah tanggal yang
sesungguhnya," kata Jane menjelaskan.
Jason menggeleng. "Aku terpesona. Aku benar-benar
terpesona." "Tidak mudah untuk melakukannya," kata Jane mengakui.
"Sepanjang perjalanan kemari aku berulang-ulang meyakinkan diri
bahwa aku Sarah. Sarah Burns. Sarah Burns."
"Mengagumkan," kata Jason. "Kau belum berubah. Kau masih
sama seperti waktu berusia tujuh tahun. Aku ingat sewaktu kau datang
untuk tinggal bersama diriku dan Ibu. Kau melanggar semua
peraturan." "Memang benar. Ibumu mungkin mulai menyesal sudah
menerimaku setelah kematian ibuku," kata Jane.
"Mungkin sesekali," kata Jason mengakui.
"Tapi aku senang mendapat adik perempuan seperti dirimu."
Jane membungkuk dan mengecup pipi Jason.
Lalu ia menggigil. Rasanya seperti ada jari sedingin es yang
mengelus tulang punggungnya.
"Ada apa?" "Oh, Jason," gumamnya. "Aku baru saja menyadari."
"Menyadari apa?"
"Apa kau tidak mengerti" Ini terlalu mengerikan."
Jason mengerang. "Kau selalu menimbulkan frustrasi. Mengerti
apa" Apa yang menjijikkan?"
"Pelayaran melintasi lautan itu. Kecelakaannya. Seharusnya aku
yang mengalaminya." "Apa maksudmu?"
"Seharusnya aku yang tewas dalam kapal itu, bukan Sarah."
Jane mencengkeram lengan Jason. "Oh, Jason! Seharusnya sekarang
aku sudah mati." Bab 9 "Kau tidak boleh berpikir begitu," kata Jason tegas. "Jangan
pernah berpikir begitu."
"Kenapa tidak" Itu kebenarannya. Seharusnya aku sudah tewas.
Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seharusnya aku sudah tewas!"
"Jane, hentikan," kata Jason. "Kecelakaan itu bukan salahmu.
Itu bukan salah siapa pun. Ada badai besar. Kapalnya terbalik. Itu
tragedi. Tapi kau tidak perlu memperburuknya dengan merasa
bersalah." Jason benar. Bukan Jane yang sudah menenggelamkan
kapalnya. Tidak mungkin ia bisa tahu bahwa itu akan terjadi. Ia
takkan pernah berniat menyakiti Sarah.
Tapi entah bagaimana pemikiran itu sama sekali tidak
mengurangi penderitaannya. Ia dan Sarah telah bertukar tempat. Dan
lihat apa yang terjadi. Jane memandang Jason. Ia mendapati pemuda itu
mengamatinya dengan ekspresi wajah yang aneh.
"Ada apa?" tanya Jane, seketika merasa gugup.
"Ada sesuatu yang harus kutanyakan," kata Jason. Ia menunduk
menatap tanah, jelas merasa malu. "Aku datang kemari untuk
menemui Sarah karena"Well, terus terang saja, aku tertegun oleh
sikapnya." "Apa maksudmu?"
"Kau tahu Sarah dan aku berbeda pendapat. Tapi aku tidak bisa
percaya bahwa dia menulis surat pun tidak mau sesudah mengetahui
tentang kematianmu." Jason berdeham. "Kenapa kau tidak
menghubungiku sesudah kau tahu bahwa Sarah tenggelam" Apakah
kau tidak menyadari bagaimana perasaanku karena mengira dirimu
yang tewas?" "Aku baru mendapat suratmu"surat yang kau tulis untuk
Sarah"hari ini, tepat sebelum kita bertemu," katanya menjelaskan.
"Thomas memasukkannya ke saku mantelnya dan lupa untuk..."
Jane berhenti dengan tiba-tiba.
Thomas. Kejutan karena melihat Jason menyebabkan ia telah melupakan
suaminya untuk saat ini. Namanya boleh saja palsu, tapi pernikahannya nyata. Dan
Thomas memerlukan dirinya sekarang.
Jane memandang ke rumah. Ia tidak bisa melihatnya dari sini.
Hutannya terlalu lebat. Tiba-tiba ia mendapat perasaan yang paling buruk. Firasat yang
menakutkan. Kondisi Thomas memburuk. Ia tahu. Jane melompat
bangkit. "Sekarang apa?" tanya Jason, waspada.
Jane berlari menyusuri jalan setapak.
"Kau mau ke mana?" seru Jason kepadanya.
"Aku harus mendampingi Thomas!" seru Jane. "Aku tidak
boleh meninggalkannya lagi!"
Ia berlari terus hingga tiba di rumah.
Sewaktu menghambur masuk ke dapur, ia mendapati dua orang
pelayan tengah bercakap-cakap sambil menikmati teh yang masih
mengepulkan uap. Mereka menatapnya, tampak terkejut dan merasa
agak bersalah. "Siapa yang menemani Thomas?" tanya Jane.
"Saya rasa Dr. Pierce masih menemaninya," kata Clara
berusaha untuk meyakinkannya.
"Kau rasa?" jerit Jane.
"Jangan khawatir, Ma'am," tambah Clara. "Kalau Dr. Pierce
sudah pulang, berarti suami Anda sudah tidur. Saya yakin."
"Dia sangat memerlukan istirahat," kata pelayan yang seorang
lagi, Susannah, menyetujui.
Jane tidak mendengarkan. Ia lari meninggalkan ruangan itu.
Menaiki tangga. Di pertengahan tangga, ia berhenti.
Lonceng yang diletakkannya di samping ranjang Thomas.
Lonceng itu berbunyi. Lagi dan lagi. "Thomas!" jeritnya.
Jane bagai terbang melewati anak-anak tangga sisanya.
Menyusuri lorong. Ia menerjang pintu kamar hingga terbuka. Dan
bergegas masuk ke dalam ruangan.
Lonceng emas kecilnya jatuh dari tangan Thomas. Lonceng itu
berdentang di lantai, bergulir berputar-putar membentuk lingkaran
dengan lambat. Tidak! Jane merasa perutnya melilit.
Ia berlari ke ranjang. Mulut Thomas ternganga. Matanya menatap langit-langit.
"Thomas!" jerit Jane. "Thomas!"
Tidak mungkin! Dia tidak mungkin tewas!
"Thomas!" jeritnya. "Aku mencintaimu! Kau dengar" Aku
mencintaimu, Thomas!"
Jane telah lama sekali tidak pernah mengatakan hal itu kepada
suaminya. Tapi kata-kata itu benar.
Thomas berpaling sedikit. Seakan-akan teriakan Jane telah
menariknya kembali dari ambang kematian.
Bola matanya berputar memandang Jane.
Thomas tengah berusaha mengatakan sesuatu.
Bibirnya membentuk satu kata.
Jane tidak bisa merasa yakin. Tapi ia merasa kata yang
diucapkan adalah "bahaya."
Lalu wajah Thomas berubah merah tua.
Mulutnya menyeringai menakutkan saat ia mulai tercekik.
Seluruh tubuhnya terguncang hebat.
Jane memeluknya. Memeluknya erat-erat.
"Tidak, Thomas!" jeritnya. "Tidak, tidak! Jangan tinggalkan
aku! Jangan pernah meninggalkan aku!"
Jane merasakan punggung dan lehernya hangat dan basah. Ia
mendorong Thomas menjauhinya. Kepala Thomas terkulai ke
samping. Darah merah tua menyembur dari mulutnya.
Darah itu menodai mantel sutranya, dan gaun tidur putih di
bawahnya. Thomas jatuh menimpa dirinya.
Jane memejamkan mata. Ia berani bersumpah bahwa merasakannya. Jiwa Thomas.
Ia merasakan jiwa Thomas meninggalkan raganya. Seperti
seekor burung kecil, mengepak-ngepakkan sayapnya dengan lembut
dan berlalu. Dan sesaat kemudian...
Suaminya berbaring tanpa nyawa dalam pelukannya.
Bab 10 "KAU hanya perlu beristirahat."
"Kau akan segera pulih."
"Jangan bangun, Ma'am. Aku hanya ingin mengantarkan bungabunga ini."
"Dia tampak pucat sekali. Sungguh sayang sekali kalau
melihatnya." Suara-suara itu melayang masuk dan keluar. Biasanya Jane
bahkan tidak mengetahui siapa yang tengah berbicara kepadanya. Dan
ia tidak peduli. Wajah-wajah melintas lewat, berenang-renang di depan
matanya bagai makhluk-makhluk yang muncul dari laut yang gelap.
"Thomas," jerit Jane. Di mana Thomas" Di mana suaminya"
Lalu ia teringat. Thomas telah meninggal. Ia menghadiri
upacara pemakamannya. Jane mulai menggigil. Ia memerlukan selimut lagi. Apakah para
perawat tidak bisa melihat bahwa ia memerlukan selimut lagi"
Sebelum Jane sempat memintanya, ia telah terlelap.
Sewaktu ia terjaga, Dr. Pierce tengah berdiri di samping
ranjangnya. Jason berdiri di sampingnya.
Jason. Apa yang dilakukan Jason di sini"
Jane hendak berbicara padanya. Tapi ia merasa begitu lemah.
Begitu lelah. Ia kembali tertidur, dan sewaktu terjaga cuaca telah gelap.
Sudah berapa lama ia jatuh sakit" Ia sama sekali tidak tahu.
Dr. Pierce tiba. Ia memberi Jane cairan untuk diminum.
Rasanya tidak keruan. Perutnya terasa kejang karenanya. Kenapa Dr.
Pierce terus mengganggunya"
Jane kepanasan. Seakan-akan ada perapian yang berkobar-kobar
dalam dirinya. Seakan-akan ia membakar dagingnya sendiri sebagai
ganti kayu api. Jane sangat kehausan. Di mana para perawatnya"
Mereka tidak akan membantu, pikir Jane. Mereka para malaikat
kematian. Ia ingin mereka menjauhi dirinya. Tapi mereka terus saja
datang. Kelopak mata Jane terasa begitu berat. Ia tidak bisa terusmenerus terjaga.
Saat ia terjaga, cuaca masih tetap gelap.
Hari apa sekarang" Jane tidak tahu. Hari-hari berlalu begitu
cepat. "Thomas!" jerit Jane.
Ia tahu suaminya telah meninggal. Tahu bahwa tidak ada
gunanya berteriak memanggilnya. Sekalipun begitu, ia tidak mampu
menahan diri, tidak bisa percaya bahwa suaminya benar-benar telah
meninggal. Oh, kalau saja Thomas bisa mendengarnya. Menjawabnya.
Menemuinya. "Thomas!" teriak Jane sekali lagi, sambil duduk tegak di
ranjang. Jendela kamar tidurnya terbuka lebar, angin dingin mengibarngibarkan tirainya.
Di mana para perawat" Di mana Jason"
Semua orang telah meninggalkan kamarnya.
Angin yang bersiul melalui jendela-jendela yang terbuka terasa
sedingin es di kulit Jane.
Kenapa mereka membiarkan jendela-jendela terbuka di kamar
sakit" Apakah mereka ingin membunuhku"
Angin bertiup semakin keras. Pintu kamar tidur terbuka dengan
suara keras. Jane duduk merapat di ranjangnya.
Angin dingin berembus masuk melalui pintu.
Pria itu masuk diiringi embusan asap.
Ia mengenakan mantel hitam dan topi tinggi yang sama dengan
yang dikenakannya pada hari mereka bertemu pertama kali. Ia
membawa tongkat dengan ukiran ular di tangkainya.
"Thomas!" gumam Jane. "Oh, kukira kau sudah meninggal."
Thomas tersenyum tipis. Ia tampak rapuh dan sakit. Tapi ia
berjalan mendekati Jane. Dengan menggunakan tongkatnya sebagai
bantuan. Tepat sebelum tiba di ranjang, mata Thomas membelalak
ketakutan. Ia mengangkat tongkatnya, seakan-akan hendak mengusir
seorang penyerang. Kepalanya tersentak ke belakang, seakan-akan ada yang
menariknya. Lalu kepalanya terpuntir ke samping diiringi derakan yang
menakutkan. Jane menjerit. Sesuatu telah mematahkan leher Thomas! Suatu kekuatan jahat
yang tidak kelihatan! Thomas meringkuk di lantai.
Jane melompat turun dari ranjang dan memeluk suaminya.
"Thomas!" jeritnya.
Ia menggoyang-goyang suaminya. Suaminya terasa seringan
bulu. "Tidak!" jerit Jane. "Tidak!"
Ia menempelkan pipinya ke pipi suaminya. Tubuh Thomas
terasa dingin luar biasa. Jane memeluknya begitu erat sehingga air
matanya mengalir di pipi Thomas, bukan di pipinya sendiri. Air
matanya berubah menjadi es saat menyentuh kulit Thomas.
Bibir Thomas bergerak. Ia hendak bicara. Jane menempelkan telinga ke mulutnya. "Apa" Apa, Thomas?"
serunya. Apa yang ingin dikatakan Thomas.
Lalu ia mendengar suaranya. Hanya bisikan. Lebih mirip
embusan angin daripada kata-kata.
"Kau... dalam... bahaya... besar!" kata Thomas.
Bab 11 KATA-KATA Thomas membuat Jane menggigil.
"Bahaya apa?" jerit Jane.
Tubuh Thomas mulai memudar dalam pelukannya. Beberapa
saat kemudian Jane hanya memeluk angin.
Ia pasti menjerit-jerit, karena para perawatnya berhamburan
masuk ke dalam kamar. "Apa yang Anda lakukan turun dari ranjang?" jerit perawat
yang gemuk. "Dan membuka jendela-jendela?" kata yang kurus. "Oh, dia
sengaja mau bunuh diri. Dan kita yang menanggung kesalahannya!"
Para perawat itu mengangkatnya kembali ke ranjang. Gigi-gigi
Jane gemeretuk keras. Ia dalam bahaya. Thomas mengatakan begitu. Dan ia
mempercayai suaminya. Tapi bahaya dari siapa" Dari apa"
Jangan tidur, kata Jane pada sendiri. Kau harus tetap waspada.
Kau harus siap untuk melawan.
Tapi ia terlalu lelah, terlalu lemah. Matanya terpejam.
Saat terjaga, cahaya matahari yang terang benderang membanjir
masuk melalui jendela-jendela kamar tidurnya.
Jane merasa bahkan lebih parah lagi. Ia tidak lagi memiliki
kekuatan untuk berbalik di ranjang.
Dr. Pierce menjejalkan sejumlah obat ke dalam tenggorokannya
dan Jane kembali tertidur.
Saat ia membuka mata, cuaca telah gelap. Sekalipun jendelajendelanya tertutup rapat, kamar itu terasa sedingin malam saat
Thomas datang untuk memperingatkannya. Hujan mengetuk-ngetuk
kaca jendela-jendela. Cabang-cabang kurus pohon ceri mengetuk-ngetuk samping
rumah. Suaranya menyebabkan Jane menggigil.
"Jason?" gumamnya penuh harap.
Tidak ada jawaban. Ia seorang diri. Tubuh Jane gemetar hebat. Ia memeluk lututnya erat-erat,
berusaha menghentikan gemetarnya.
Aku harus turun dari ranjang, katanya sendiri. Aku akan
kehilangan kewarasanku kalau tetap berbaring di dalam kamar ini hari
demi hari. Jane mengayunkan kakinya turun dari ranjang. Udara yang
dingin menyengat dagingnya. Ia gemetar semakin hebat.
Tapi ia memaksa diri untuk terus turun.
Jane tersentak saat kakinya yang telanjang menyentuh lantai
yang dingin. Kaki-kakinya terasa sekurus dan selemah tusuk gigi. Ia
tertegun memikirkan bagaimana kakinya mampu mendukung dirinya.
Jane perlahan-lahan menyeberangi ruangan ke mejanya.
Napasnya terengah-engah dan bersuara.
Berhasil! Ia berpegangan pada tepi meja dan duduk di kursi.
Lalu ia menunduk meletakkan kepalanya ke atas meja, kelelahan.
Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesaat kemudian, Jane merasa lebih baik. Ia mengangkat
kepalanya dan memandang bayangannya di cermin.
Jantungnya berdebar. Ia tidak punya wajah!
Lalu sambil tertawa, ia menyadari apa yang telah terjadi. Para
pelayan telah mengambil cerminnya, menyisakan petak persegi
berdebu di dinding tempat cerminnya dulu berada.
Mereka pasti tidak ingin aku melihat bayanganku sendiri, pikir
Jane tersadar. Tampangku pasti sangat buruk.
Jane tertawa lebih keras. Tawanya terdengar aneh di telinganya.
Sudah berapa lama sejak aku terakhir kali tertawa" pikirnya
penasaran. Di mejanya terdapat sebuah kalender. Angka di sana
menunjukkan tanggal 13 Februari.
Itu harinya. Hari menakutkan yang...
"Oh, Thomas," gumam Jane. Tidak ada air mata yang mengalir.
Aku telah menangis hingga air mataku habis, pikirnya. Tapi
kedukaannya tidak berkurang. Rasanya seperti ada batu besar yang
mengganjal di tenggorokannya.
Hari apa sekarang" pikir Jane. Sudah berapa lama sejak Thomas
meninggal" Mustahil untuk mengetahuinya.
Jane berpaling dan mengamati seisi kamar. Di kursi yang sering
diduduki Jason terdapat koran.
Kursi itu tampak sangat jauh, sekalipun jaraknya sebenarnya
hanya sekitar tiga meter. Jane mendorong dirinya bangkit berdiri dan
melangkah ke sana. Perjalanan ini ternyata jauh lebih mudah daripada
yang sebelumnya. Kepercayaan dirinya mulai tumbuh.
Ia meraih koran itu dan melihat tanggalnya.
13 Maret. Peringatan sebulan kematian Thomas.
Betapa egoisnya dirinya untuk berbaring di ranjang! Jane
merasa sangat malu, sangat marah kepada dirinya sendiri.
Well, hanya satu hal yang bisa dilakukannya. Ia akan
mengunjungi makam Thomas dan menyampaikan penghormatannya.
Bukan saja untuk peringatannya. Jane telah meninggalkan
pemakaman saat upacara masih berlangsung separo. Ia harus
menyelesaikan upacara pribadinya.
Ia memerlukan waktu yang lama untuk berganti pakaian.
Jemarinya gemetar, dan napasnya semakin pendek.
Jane merasa kepanasan, tapi memaksa diri untuk mengenakan
pakaian yang hangat. Ia mengenakan mantel merahnya yang tebal dan
mengikat topinya seerat mungkin.
Ia merasa begitu aneh saat membuka pintu kamar tidurnya.
Rasanya sudah lama sekali.
Ia tidak melihat seorang pun di lorong. Ia merasa seakan-akan
melayang saat menuruni tangga yang panjang.
Jangan lakukan, Jane, katanya sendiri saat tiba di pintu
belakang. Ini sinting. Ini kematian. Thomas tidak ingin kau
melakukannya, Jane. Kembalilah ke ranjang.
Kau dalam bahaya besar. Kata-kata Thomas melayang kembali dalam benak Jane. Katakata itu terdengar samar, seakan-akan berasal dari jarak yang sangat
jauh. Tapi Jane tidak mendengarkan. Ia ingin mengunjungi
pemakaman, mengunjungi makam Thomas. Demi Thomas. Tidak
peduli Thomas menginginkannya atau tidak.
Ia membuka pintu. Angin dingin melecut mantelnya di
sekitarnya. Tetes-tetes air hujan setajam jarum menusuk-nusuk
wajahnya. Jane melangkah keluar, dan perlahan-lahan menuruni tangga
serambi depan. Ia terpeleset di rerumputan yang licin dan hampirhampir jatuh.
Tapi ia berhasil mendapatkan keseimbangannya kembali dan
terhuyung-huyung maju. Saat tiba di pertengahan jalan setapak menuju ke pemakaman,
tubuh Jane telah basah kuyup.
Tapi dinginnya boleh dikatakan malah menyegarkan. Rasanya
enak menyentuh kulitnya yang panas.
Awan menutupi bulan, dan Jane hampir tidak bisa melihat. Ia
mengulurkan tangan untuk meraba-raba cabang pepohonan.
Lalu hujan mulai mereda. Awan mendung mulai memisah, dan
cahaya bulan menyirami jalan setapak yang sempit itu. Rasanya
seperti Thomas ada di surga dan mencoba untuk memandu jalannya
dengan berkas-berkas keperakan cahaya bulan.
Di pemakaman, dengan cepat Jane menemukan makam
Thomas. Batu nisannya masih putih mengilat dan belum ditumbuhi
lumut. Seketika ia menyadari kenapa ia datang kemari.
Jane mulai terisak-isak. Ia bukan datang untuk memberikan penghormatan.
Tadinya ia berharap Thomas akan ada di sini. Masih hidup. Dan
mampu bercakap-cakap dengannya, memeluknya dengan lenganlengannya yang kuat.
Thomas memang ada di sini. Tapi terkubur dua meter di bawah
permukaan tanah yang dingin dan basah.
Ia jatuh berlutut di depan makam Thomas.
"Thomas," gumamnya. "Aku tahu ada saatnya aku tidak
mempercayai dirimu. Ada saatnya aku punya pikiran-pikiran buruk
mengenai dirimu. Tapi di hari terakhir itu, hari terakhir kau ada di
dunia ini, aku bersumpah aku mencintaimu!"
Jane merasakan angin dingin berembus mengelus pipinya. Ia
berharap itu Thomas yang menyentuhnya.
Jane meletakkan kepalanya di batu nisan yang dingin dan basah
itu. Ia mencium permukaan batu yang halus, berusaha membayangkan
bahwa ia tengah mencium bibir suaminya.
Ia memejamkan mata. Ia harus menerima kenyataannya.
Thomas telah pergi. Thomas telah meninggal.
Mimpi yang dialaminya beberapa malam yang lalu mungkin
hanya itu"sekadar mimpi.
"Selamat tinggal, Thomas," kata Jane pada akhirnya.
Ia berjuang untuk bangkit berdiri. Tapi saat ia berdiri, ia melihat
sebuah lubang besar dan gelap di tanah di sebelah kirinya.
Jane memandang ke sana. Bentuknya terasa akrab.
Lubang makam. Ada yang akan dimakamkan.
Dan itu berarti... Ada anggota keluarga Fear lain yang meninggal.
Tapi siapa" Sebuah batu nisan baru telah diletakkan di tanah. Ia
mendekatinya, dengan berhati-hati agar tidak jatuh ke makam yang
terbuka itu. Ia harus mendekatkan wajahnya ke batu itu untuk bisa
membaca tulisannya. Ia menyusuri huruf-hurufnya dengan jemarinya.
SARAH FEAR. Bab 12 JANTUNGNYA bagai berhenti berdetak.
Jane menyurut menjauhi batu nisan itu dengan begitu tiba-tiba
sehingga ia hampir-hampir terjatuh ke dalam makam yang baru digali.
Keterlaluan, mereka begitu yakin bahwa ia akan meninggal
sehingga sudah menggali sebuah makam untuknya!
Mereka telah menandai tanggalnya. 1877- 1899. 1899. Tahun
ini. Apa mereka tidak bisa menunggu" Kenapa begitu tergesa-gesa"
Jane bangkit berdiri, merasakan kemarahan mengalir dalam dirinya.
Well, ia akan mengejutkan mereka. Ia akan sembuh. Karena itu
tidak akan ada pemakaman. Tidak dalam waktu dekat.
Jane mundur menjauhi batu nisan itu.
SARAH FEAR. Lagi pula itu bukan namanya. Namanya Jane.
Di sekitarnya, batu-batu nisan bertuliskan nama FEAR mencuat
dari dalam tanah yang kehitaman dan basah.
Seperti gigi yang berantakan.
Menunggu untuk menyambarnya dan melemparkannya ke
dalam lubang gelap itu. "Tidak!" teriak Jane.
Sejak datang ke Shadyside ia telah dikepung. Dikepung oleh
isu-isu tentang keluarga itu. Kisah-kisah tentang kutukan, ilmu hitam,
dan kejahatan. Dan sekarang ia dikepung oleh batu-batu nisan ini.
"Kalian tidak akan mendapatkan diriku!" jerit Jane. "Kalian
dengar?" Ia berlari. Kepalanya berdenyut-denyut. Bintik-bintik merah
meledak di depan matanya. Ia merasa sakit dan meriang. Tapi ia terus
berlari. Akar-akar kurus bagai tulang belulang seakan-akan mencuat
keluar dari tanah untuk menjatuhkannya. Dedaunan basah menampari
wajahnya seperti tangan-tangan mayat.
Jane jatuh. Udara terempas keluar dari paru-parunya dengan
suara keras. Ia menggeliat-geliat kesakitan, tidak mampu bernapas.
Ia sakit terlalu parah, terlalu lemah, terlalu basah, terlalu
kedinginan. Aku takkan pernah bisa kembali ke rumah, pikir Jane, tersadar
dengan tiba-tiba. Benar-benar sinting untuk keluar di malam hari saat hujan turun
dan cuaca dingin, sementara dirinya telah menderita sakit begitu
parah. Mereka akan menemukan dirinya besok pagi. Tergeletak tewas
di hutan. Atau mungkin lebih lama lagi. Berminggu-minggu, berbulanbulan, sebelum mereka menemukan dirinya.
Burung-burung, cacing-cacing, dan makhluk-makhluk lainnya
akan menemukan dirinya terlebih dulu. Mematuki dagingnya hingga
hanya tulang belulangnya yang tersisa.
Lalu mereka bisa memakamkan dirinya.
Tidak! Entah bagaimana Jane berhasil memaksa diri bangkit dan
terhuyung-huyung maju dalam kegelapan.
Ia terhuyung-huyung keluar dari dalam hutan, dan melintasi
halaman rumput yang basah kembali ke dalam rumah.
Ia membuka pintu belakang dan setengah terjatuh ke lorong
yang gelap. Tangan-tangan yang kuat meraih bahunya. "Apa yang
kaulakukan?" kata seseorang dengan suara tegas. "Kau sudah
sinting?" Jason. Orang yang memeganginya. Jason Hardy. Pelayannya.
Atau kakak tirinya" Jane terlalu sakit dan kehabisan tenaga untuk
mengingat dengan benar. Lalu Jason telah memondongnya. Menggendongnya. Jane
merasa dirinya melayang. Menaiki tangga.
"Kau tahu bahwa aku sudah berdoa agar kau pulih?" kata Jason.
"Dan ini yang kaulakukan?"
"Aku harus mengunjungi Thomas," gumam Jane. "Peringatan."
Jason tampak marah. Kumisnya yang kaku bergerak-gerak
sebagaimana bila ia benar-benar jengkel.
Dulu hanya Sarah Burns yang mampu menimbulkan kemarahan
sebesar ini pada diri Jason.
Tapi aku Sarah Burns, pikir Jane. Tawa liar tersembur dari sela
bibirnya. Tidak, aku Jane. Jane Fear.
Clara, pelayan muda itu, muncul di puncak tangga. Ia mengikuti
mereka hingga kc dalam kamar Jane.
"Anda sudah tidak waras lagi, Ma'am," gumam pelayan itu,
sambil membantu Jane menanggalkan pakaiannya yang basah kuyup.
"Keluar di malam hari dalam kondisi seperti ini. Kalau Anda belum
pernah menderita radang paru-paru..."
Ya, Clara benar. Apa yang dipikirkan Jane" Jane yang sangat
bodoh. Tunggu. Kaulah Jane, katanya mengingatkan sendiri.
Clara membantunya naik ke ranjang dan menyelimutinya.
Lalu Jason masuk kembali ke dalam kamar.
"Kuanggap kau akan tetap di sini sampai pagi," katanya.
Jane mengangguk, terlalu lelah untuk bicara.
Matanya terpejam. Rasanya hanya beberapa detik kemudian saat ia kembali
terjaga. Tapi ia bisa merasakan sinar matahari menyirami kelopak
matanya yang terpejam. Ia bisa mendengar suara burung-burung
berkicau. Sekarang pasti sudah berjam-jam sejak aku tertidur, pikir Jane
tersadar. Ia merasa belum bergerak, atau bermimpi, sejak saat mereka
meletakkannya di ranjang.
Jane membuka matanya. Dan menyadari bahwa ia merasa sehat
sepenuhnya! Benar-benar perasaan yang aneh. Ia belum pernah merasa
sesehat ini dalam waktu yang lama hingga ia hampir-hampir tidak
mengenalinya. Tapi demamnya... demamnya telah lenyap!
Jane mengayunkan kakinya turun dari ranjang. Ia berdiri
dengan mudah. Ia tidak merasakan sakit apa pun! Kekuatannya telah
pulih! Bagaimana mungkin"
Tidak penting bagaimana, pikir Jane. Yang penting inilah
kenyataannya! Dan memang! Memang!
Jane menari-nari dalam kamarnya, berteriak-teriak dan bertepuk
tangan. Pintu terayun membuka. Perawat bertubuh kekar itu menjulurkan kepalanya ke dalam. Ia
tampak begitu shock melihat Jane tertawa terbahak-bahak.
Jane menyambar perawat itu dan menari-nari mengelilingi
ruangan bersamanya. "Ma'am, apa tidak sebaiknya Anda kembali ke ranjang?" tanya
perawat yang masih tertegun itu.
"Tidak, aku tidak mau!" jerit Jane. Ia tertawa liar. "Kurasa aku
tidak akan kembali ke sana selamanya. Aku sudah tidur cukup banyak
untuk tidak tidur lagi seumur hidup. Dua kali seumur hidup!"
Ia berlari ke ranjang dan menariki seprainya dan membuangnya
ke lantai. Perawat yang kurus muncul di ambang pintu. Ia tersentak keras.
Jane melemparkan bantal kepadanya. Perawat itu terlalu
tertegun untuk bergerak. Bantal itu mengenai wajahnya dengan telak.
Jane berlari mendekatinya. "Oh, maafkan aku. Aku tidak
bermaksud..." "Tidak apa-apa, Ma'am," kata perawat yang kurus itu dengan
kaku. Jane tidak mampu menahan diri. Ia mulai tertawa lagi, tertawa
begitu keras hingga terasa menyakitkan. "Kuminta kalian berdua
keluar!" teriaknya tiba-tiba. Suaranya terdengar serak dan mirip
bisikan. "Kalian kupecat."
Jane tersenyum memandang ekspresi mereka yang tertegun.
"Benar," katanya kepada mereka. "Aku tidak memerlukan perawatan
kalian lagi. Karena aku sudah sembuh!"
Ia melemparkan sebuah bantal seiring dengan setiap kata.
Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melemparkannya sekuat tenaga.
Ada apa dengan dirinya"
Sikapnya sangat tidak menyenangkan!
Well, mereka akan memaafkan dirimu, bisik seseorang dalam
benaknya. Mereka harusnya mencoba untuk tergeletak di ambang
kematian selama satu bulan penuh, dan lihat seberapa ramah sikap
mereka sesudahnya! Jane bergegas keluar dari kamar. "Jason! Jason!"
Ia berlari menuruni tangga, melompati dua atau tiga anak
tangga setiap kalinya. Clara si pelayan muncul dari dapur dengan membawa baki
perak. Saat melihat Jane, ia menjatuhkan seluruh perabotan perak itu
ke lantai diiringi suara berdentang yang keras.
Jane berlari ke arahnya dan mencium salah satu pipinya, lalu
pipi yang lain. "Ya, memang benar, Clara," jeritnya. "Aku sudah
sembuh! Aku sembuh sama sekali! Lihat diriku! Lihat saja!"
"Sulit dipercaya!" Clara menangis. Yang memicu air mata Jane
juga. "Saya kira pasti..." kata Clara tergagap.
"Ya, aku juga mengira begitu." Jane teringat akan apa yang
dilihatnya semalam. Di pemakaman. Batu nisan bertuliskan namanya.
"Tampaknya semua orang berpikiran begitu," katanya sambil tertawa
pahit. Ia berdeham. Suaranya terdengar begitu dalam dan serak.
Kurasa karena aku jarang berbicara selama beberapa minggu terakhir
ini, pikir Jane. "Benar-benar keajaiban, Ma'am. Warna kulit Anda sudah pulih.
Anda tampak persis seperti dulu. Ini," kata Clara, sambil menarik Jane
ke lorong. "Lihat sendiri di..."
Clara berhenti dengan tiba-tiba. Wajahnya memerah. "Tapi saya
lupa, Ma'am. Kami sudah menyembunyikan cermin-cerminnya."
"Kalian apa?" Lalu Jane teringat pada petak persegi berdebu di dinding kamar
tidurnya. "Anda tampak begitu parah, Ma'am. Kami tidak ingin Anda
memandang bayangan Anda sendiri dan menjadi lebih tidak keruan
lagi. Tapi ini benar-benar keajaiban," kata Clara. "Anda berubah
sekali! Dalam semalam!"
"Memang keajaiban," kata Jane menyetujui.
Mereka saling berpelukan lagi. "Tapi di mana Jason?" tanya
Jane. "Aku harus memberitahu Jason! Dia sudah begitu
mengkhawatirkan diriku."
"Saya rasa dia ada di kamarnya," kata Clara.
Jane hendak kembali menaiki tangga, lalu ragu-ragu. Ia
menyadari bahwa tidak mengetahui di kamar mana Jason tidur.
"Bukan ke sana," kata Clara. Ia terdengar terkejut. "Dia tinggal
di tempat pelayan." Tentu saja. Bodoh sekali dirinya. Kakak tirinya yang malang
harus menyamar sebagai pelayan selama ini. Jane berbalik dan
kembali menuruni tangga. "Oh, tapi dia akan jatuh pingsan karena terkejut," kata Clara
dengan mata berkilauan. "Kukira kau sudah berjanji bahwa tidak akan turun dari
ranjang!" sergah seseorang dengan suara tegas yang dikenali Jane.
Jason. Ia menuruni tangga dari bagian pelayan sambil
mengerutkan kening. Jane berlari mendekatinya dan mencium pipinya.
Jason menatapnya dengan mulut ternganga. "Jane," serunya
terpesona. "Kau tampak luar biasa."
Jason berpaling secepat kilat. Jane mengikuti tatapannya. Clara
berdiri di ambang pintu dapur, mengawasi mereka.
Jane tertawa. Ia mencondongkan tubuh dan berbisik di telinga
Jason. "Jangan khawatir. Dia tidak mendengarmu. Tapi tolong ingat
bahwa namaku sekarang Sarah!"
Wajah Jason memerah dan ia mengangguk. "Maaf!"
Jane meraih tangannya. "Ayo!"
Ia menyentakkan Jason mengikuti dirinya melesat keluar dari
rumah. Ke halaman. Ke bawah matahari.
Jane berputar-putar. Ia menyukai kehangatan yang ditimbulkan
sinar matahari pada kulitnya. Bau rerumputan. Setiap sensasi terasa
baru"dan megah. "Tapi... tapi..." kata Jason dengan tergagap-gagap,
mengawasinya. "Kau tampak begitu..."
"Berbeda?" tanya Jane dengan suara serak.
"Welll, ya. Kau..."
"Aku lebih baik!" Jane berputar.
"Apa mungkin?" gumam Jason. "Apa mungkin?"
Jane membentangkan lengannya ke samping selebar-lebarnya.
"Akulah bukti hidup kalau hal itu mungkin."
"Oh, J..." Jason menahan diri. "Sarah! Sarah!"
Jane tergelak. Lalu menutupi mulutnya karena malu. Suara
tawanya sangat mengerikan. Ia belum pernah tertawa seperti itu.
"Tapi"tapi kita harus merayakannya," kata Jason. "Malam ini!
Kita bisa menyaksikan pertunjukan. Apa ada teater di kota kecil ini?"
Jane tahu ia harus menolaknya. Ia tidak ingin menyinggung
perasaan Jason. Tapi ia masih berduka cita atas kematian Thomas.
Tidak pantas baginya untuk menyetujui tawaran Jason.
Tapi saat ia membuka mulut hendak menolak, kata-kata yang
keluar justru, "Aku senang sekali!"
Jane tersentak dan menutup mulut dengan tangannya. Kenapa ia
mengatakan begitu" "Bagus sekali!" seru Jason. "Kalau begitu beres."
Jason terus berbicara tentang ke mana mereka harus pergi dan
apa yang harus mereka lakukan. Tapi Jane tidak bisa memusatkan
perhatian. Bagaimana mungkin ia bisa menyetujui untuk pergi ke teater
hanya sebulan setelah kematian Thomas"
Jason tampak khawatir. "Aku baru saja memikirkan satu
masalah kecil." Ia tertawa gugup. "Apa kata orang kalau mereka
melihatmu ke kota bersamaku" Bagaimanapun juga, aku seharusnya
hanya pelayanmu!" "Persetan apa kata mereka," kata Jane tajam.
Jason tampak agak shock. Jane sendiri merasa shock. Ia tidak bermaksud untuk berkata
begitu. Tentu saja ia peduli dengan pendapat orang lain.
Semua orang di kota akan menyebar isu bahwa ia dan Jason
menyaksikan pertunjukan drama bersama-sama. Mereka akan
mengatakan hal-hal yang buruk tentang dirinya. Jelas mereka akan
menganggap bahwa ia tidak pernah mencintai Thomas.
Jane tidak mungkin tampil berdua dengan Jason. Ia tidak bisa
melakukan apa pun yang merusak kenangan akan suaminya.
"Maafkan aku, Jason," kata Jane. "Kepulihan yang tiba-tiba ini
sangat membingungkan bagiku. Aku merasa seperti bukan diriku
sendiri." Dengan lembut ia menyentuh lengan Jason. "Seharusnya aku
tidak menerima tawaranmu. Aku masih berduka atas kematian
Thomas." "Tentu saja," kata Jason. "Seharusnya terpikir juga olehku."
"Dan sekarang aku harus melakukan apa yang ingin kulakukan
sejak aku jatuh sakit," kata Sarah kepadanya. "Aku mau mandi!"
"Tapi..." "Aku tidak akan lama!" kata Jane berjanji. Ia berbalik dan
bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
Mungkin ia terlalu cepat pulih. Mungkin itu sebabnya sikapnya
berubah sangat aneh sejak ia turun dari ranjang.
Perlahan-lahan, Jane menaiki tangga. Ia melangkah masuk
kamar tidurnya. Ia tersentak. Seprai berserakan di lantai. Bantal ada di manamana. Apa yang terjadi"
Aku yang melakukannya, pikir Jane tersadar. Ia teringat
bagaimana ia melemparkan selimut dan seprai ke sana kemari.
Lalu kuusir para perawatnya.
Aku pasti sudah pulih terlalu cepat, pikir Jane lagi. Hanya itu
satu-satunya penjelasan untuk sikap impulsifnya.
Ia menutup pintu dan menguncinya. Lalu ia menyandarkan diri
ke pintu dan memejamkan mata.
Paling tidak kalau aku kehilangan kendali lagi, kejadiannya
akan berlangsung saat aku seorang diri di kamar tidurku, pikir Jane.
Takkan ada yang melihatku.
Lalu ia mendengarnya. Suara tawa seorang wanita.
Mula-mula samar. Tapi semakin lama semakin keras....
Jane membuka matanya. Kamar tidurnya kosong. BAB 13 "AKU benar-benar sudah tidak waras," kata Jane. Ia bicara
keras-keras, berharap suaranya sendiri akan mengembalikan
kesadarannya. Sejenak yang terdengar hanyalah kesunyian. Jane merasakan
kelegaan menyapu dirinya.
Lalu wanita itu kembali tertawa. Kali ini bahkan lebih keras
lagi. Keringat Jane mulai mengalir.
Kamar tidurnya kecil. Ada ranjang berkanopi. Beberapa lemari
pakaian. Tidak banyak tempat untuk bersembunyi.
Jane berlutut di lantai dan mencari-cari di bawah ranjang.
Di sana yang ada hanya beberapa gumpal debu.
Ia bangkit berdiri, merasa meriang karena ketakutan.
Wanita itu terus-menerus tertawa.
"Di mana kau?" jerit Jane. "Tunjukkan dirimu!" Dengan sikap
lebih berani daripada yang dirasakannya, Jane menyeberangi kamar
dan membuka pintu lemari pakaian.
Tidak ada seorang pun di dalam.
Wanita itu terus tertawa. Tawa pelan terbahak-bahak.
Jane mengesampingkan semua pakaiannya. Tidak seorang pun
yang bersembunyi di belakang pakaiannya.
Lalu ia memeriksa lemari pakaian yang kedua. Dan yang ketiga.
Tidak ada seorang pun di sana.
Suara tawanya semakin lama terdengar semakin keras. Jane
menutupi telinganya. Ia masih bisa mendengarnya.
Lalu ia membeku. Tawa itu. Rasanya... rasanya seperti berasal dari dalam kepalanya sendiri!
Jane berlari ke cermin di dinding. Ia harus melihat dirinya
sendiri. Harus melihat apakah dirinya baik-baik saja.
Tapi cerminnya tidak ada. Ya, ya, ia teringat sekarang. Clara
mengatakan bahwa mereka takut untuk membiarkan dirinya melihat
bayangannya sendiri. Jane membuka pintunya dan bergegas menyusuri lorong ke
kamar mandi. Mereka juga telah mengambil cermin-cermin yang ada
di sana. Yah, tampangnya pasti begitu buruk hingga para
karyawannya berbuat begitu!
Ia bergegas kembali ke kamarnya. Ia membuka laci demi laci,
mencari-cari cermin. Akhirnya ia menemukan cermin bedak yang
bulat kecil dalam kotak cokelat.
Tangannya gemetar begitu hebat sehingga ia menjatuhkannya.
Ia mendengar derakan cerminnya pecah.
Tawa kasar dan mengejek kembali meraung dalam telinganya.
Ia memungut cermin itu. Cerminnya telah pecah menjadi
beberapa keping, tapi ia masih bisa bercermin di sana. Ia mengamati
pantulannya. Ia tampak sehat. Normal. Rambut merah dan mata cokelat
muda. Pipi kemerahan yang berbintik-bintik.
Tapi tunggu. Matanya tampak agak berbeda dari biasanya,
bukan" Jane mengacungkan cermin pecah itu lebih dekat ke wajahnya,
mengamati matanya dengan teliti.
Sekarang ia tahu apa yang berbeda. Warna matanya tampak
lebih muda. Saat menatap bayangannya sendiri, Jane melihat pupilnya
melebar. Ia menyadari adanya bercak-bercak kehijauan yang berkilauan
di bagian irisnya yang cokelat. Ia belum pernah melihat bercakbercak itu sebelumnya.
Mungkin aku belum pernah mengamati mataku dengan cukup
teliti, pikir Jane. Mungkin selama ini matanya memang agak
kehijauan. Jane mengalihkan pandangannya dari cermin, napasnya
terengah-engah. Mungkin aku keliru tentang bercak-bercak kehijauan itu. Aku
pasti sudah keliru. Jane kembali memandang ke cermin.
Tapi bintik-bintik kehijauan itu masih ada di sana. Malahan,
jumlahnya semakin banyak.
Saat ia mengawasi, bintik-bintik kehijauan itu semakin lama
semakin memanjang. Melebar. Lalu menyatu.
Detak jantung Jane mulai bertalu-talu. Ia bisa merasakannya
menghantami pangkal tenggorokannya.
Matanya. Matanya sekarang berubah hijau sepenuhnya.
Dan warna hijaunya semakin lama semakin kental.
Matanya semakin lama semakin cerah, seakan-akan ada api
yang menyala di sana. Menyala di dalam dirinya.
Jane tidak mampu untuk mengalihkan pandangannya. Tidak
mampu menurunkan cermin dari depan wajahnya.
Saat ia mengawasi, bibirnya merekah membentuk senyuman.
Apa yang terjadi padaku"
"Mencari seseorang?" tanya pantulannya di cermin.
Bab 14 JANE menjerit. Ia menjatuhkan cerminnya.
Suara dalam kepalanya balas menjerit. Menjerit sambil tertawa.
Jane terhuyung-huyung melangkah ke ranjang. Bordiran bungabunga mawar dan tanaman rambat di selimutnya tampak begitu
mengundang. Ia hanya ingin berbaring. Tidur.
Dan saat terjaga, ia akan menyadari bahwa semuanya ini hanya
mimpi. Jane kembali melangkah mendekati ranjang. Ia tidak mampu
melakukannya. Kakinya gemetar begitu hebat. Ia jatuh berlutut di
tengah-tengah kamar. Aku sudah tidak waras lagi, pikirnya.
Tidak, belum, jawab suara dalam kepalanya.
"Ya, aku sudah sinting!" teriak Jane.
Tidak. Kau... belum... sinting!
Suara itu kasar. Dan entah bagaimana terasa sangat akrab di
telinga Jane. Ada sesuatu dalam diriku. Aku sudah kerasukan, pikir Jane
tersadar. Ia menggigil. Benar, Jane. Aku yang memegang kendali sekarang, jawab
suara itu. Kau tidak berdaya.
Aku pernah mendengar suara itu sebelum ini, pikir Jane. Tapi di
mana" Kalau saja ia bisa mengingatnya, mungkin akan membantunya
untuk mengambil keputusan. Bagaimana melawannya.
Jane duduk tanpa bergerak sama sekali. Ia menunggu suara itu
Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul kembali. Sunyi. Apakah sudah hilang"
Siapa yang tahu bagaimana hal-hal seperti ini bisa terjadi, pikir
Jane. Mungkin roh dari dunia lain melintas dengan cepat, seperti awan
mendung di atas kepala. Mungkin pertemuan dengan roh-roh seperti
ini membawa mimpi buruk yang singkat, dan sesudah itu ia bisa
melanjutkan kehidupannya seperti biasa.
Jane bangkit berdiri dan terhuyung-huyung ke ranjang. Ia duduk
dan menatap lantai. Apakah sudah pergi" Apakah benar-benar sudah hilang"
Sejenak, harapan merekah dalam dirinya.
Lalu tubuhnya mulai bergetar.
Ia bisa merasakan sesuatu yang besar dan kuat tengah
mengumpulkan tenaga di dalam dirinya.
Panas menyambar dari dalam dirinya. Butir-butir keringat
bermunculan di kening Jane.
Ranjang mulai bergetar di bawahnya.
Jane mengerang pelan dan dalam.
Dan ranjangnya mulai terangkat ke udara.
Lalu berputar. Semakin lama semakin cepat.
Jane menelungkup di atas selimut. Ia mencengkeram tepi kasur
dengan kedua tangannya. Ia berpegangan begitu erat hingga kedua
tangannya mulai kram. Blang! Ranjangnya terempas kembali ke lantai.
Jane mengembuskan napas panjang, gemetar. Ia berbaring
dengan pipi menempel ke selimut. Ia begitu tertegun sehingga tidak
mampu bergerak. Ini dia, pikirnya. Inilah bahaya yang diperingatkan Thomas
padaku melalui mimpi. Jane merasa ada yang bergerak di bawah pipinya. Apakah
ranjangnya akan berputar-putar lagi"
Ia mengangkat kepala. Dan melihat bordiran tanaman rambat di
selimutnya mulai menggeliat-geliat bagai ular.
Bordiran-bordiran itu berdiri, meliliti dirinya. Jane merasakan
duri-durinya menusuk. Sulur-sulur itu mengangkat Jane ke udara" dan
melemparkannya. Ia menghantam dinding dengan wajah terlebih dulu. Ia
merasakan giginya merobek daging lunak di sisi mulutnya.
Jane merosot kembali ke ranjang. Ia merasakan darah mengalir
dalam mulutnya. Dan meludahkannya.
"Please," katanya sambil terisak. "Jangan ganggu aku!"
Ia merasa ada tangan yang mengelus pipinya.
Ia memalingkan wajah untuk menghindari sentuhan likat tangan
yang tidak kasat mata itu.
Tapi tidak peduli ke mana pun ia berpaling, tangan likat itu
terus mengikutinya. Dengan lembut mengelus wajahnya, rambutnya.
Suara dalam kepalanya mulai berbicara.
Kau takkan pernah bisa melarikan diri dariku. Kau dengar" Jadi
jangan coba-coba. Karena dengan begitu aku akan marah!
Suara itu meneriakkan kata yang terakhir.
Jane menegang, menunggu serangan berikutnya.
Tidak ada. Ia berbaring tanpa bergerak, berusaha memulihkan kekuatan.
Suara menggelegak dan berderak-derak membuatnya
mengangkat kepala. Apa yang terjadi" Apa yang mungkin terjadi sekarang, pikir
Jane. Dinding-dinding tampak seperti mencair.
Lukisan-lukisan, cat, dan semen"semuanya berubah menjadi
cairan cokelat mengepul yang menetes ke lantai.
Cairan cokelat itu mengalir ke tengah-tengah kamar. Di sana
cairan itu menjulang bagai gelombang.
Gelombangnya semakin lama semakin tinggi.
Lalu mengempaskan diri ke Jane, mengelupas kulitnya.
Jane menggeliat-geliat kesakitan.
Please! Please, berhenti, pinta Jane. Kenapa kaulakukan ini"
Apa yang sudah kulakukan hingga layak diperlakukan seperti ini"
Jane bisa mencium bau dagingnya sendiri terbakar. Kulitnya
terkelupas dari tulangnya.
Kalau saja aku mati, pikirnya.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Ia berdoa agar mati.
Oh, tapi aku takkan membiarkan itu terjadi, Jane, jawab suara
itu dengan tenang. Bau daging terbakar menghilang.
Perlahan-lahan, Jane membuka mata. Ia menunduk menatap
dirinya. Kulitnya halus. Tidak ada satu titik pun bekas luka bakar di
tubuhnya. Ia memandang ke sekeliling kamar. Semuanya tampak biasa.
Dinding-dindingnya. Selimutnya. Segalanya telah kembali seperti
semula. Kau tidak bisa mencegah kematianku, pikir Jane.
Aku takkan membiarkan dirimu mati sebelum selesai berurusan
denganmu, kau makhluk menjijikkan, kata suara itu. Kau kira kau bisa
sembuh dengan sendirinya" Kau lebih dari setengah mati semalam
sebelum kupulihkan, Jane.
"Kau memanggilku dengan nama depanku. Kau kenal aku?"
tanya Jane. Ia tidak lagi merasa aneh untuk bercakap-cakap dengan suara di
dalam kepalanya. Ia tahu bahwa keberadaan suara itu memang nyata.
Dan ia tidak meragukan lagi kekuatan apa pun yang ada di
dalam kepalanya. Apakah aku mengenalmu" ulang suara itu.
"Oh, please, please, please," jerit Jane. Ia tidak bisa memikirkan
harus mengatakan apa lagi. Ia hanya bisa memohon.
Oh, please, please, please, ejek suara itu.
Jane tersentak. Suara itu. Ia tahu suara siapa itu sekarang!
"Sarah!" serunya. Jane melompat bangkit berdiri.
Sarah. Roh Sarah Burns telah merasuki dirinya!
Seharusnya kau yang ada di perahu itu, Jane. Kau tahu itu,
bukan" tanya Sarah. "Ya, Sarah. Memang," bisik Jane.
Jane merasakan harapan merekah dalam dirinya.
Ini roh Sarah Burns. Sarah Burns, sahabatnya. Sarah akan segera memaafkan dirinya untuk apa yang telah
terjadi. Bagaimanapun juga, itu bukan kesalahannya.
"Oh, Sarah! Maafkan aku," kata Jane.
Maaf" "Aku mau memberikan apa saja asal kita bisa bertukar tempat
lagi. Kalau aku bisa tenggelam seperti dirimu di perahu itu, seperti
yang seharusnya, aku bersedia, Sarah," kata Jane kepadanya.
Hentikan! jerit Sarah dalam kepala Jane. Hati-hati, Jane. Jangan
membuatku marah lagi. Kuperingatkan kau. Apa yang baru saja
terjadi hanyalah mainan anak-anak dibandingkan dengan apa yang
bisa kulakukan padamu lain kali.
Jane hampir-hampir tidak bisa bernapas. Ia begitu ketakutan.
Kau masih belum mengerti juga, Jane" Kehidupanmu sekarang
seharusnya kehidupanku! Kehidupanku! Kau tahu betapa iri aku
jadinya" tanya Sarah. Kau tahu seberapa besar kebencianku padamu"
"Iri" Suamiku tewas, Sarah. Aku tidak punya kehidupan lagi.
Kalau kau merasa iri terhadapku sembilan bulan yang lalu, aku bisa
paham," kata Jane kepadanya. "Di saat itu aku merasa seakan-akan
tengah menjalani petualangan yang luar biasa. Bersuamikan seorang
pria kaya dan tampan. Pindah ke kota baru."
Jane mendesah. "Tapi sejak itu, yang ada hanyalah satu
kecelakaan ke kecelakaan yang lain. Benar-benar rangkaian nasib
buruk yang menakutkan. Kalau saja kau tahu apa saja yang sudah
kualami, kau takkan iri padaku sesaat pun."
Sarah tertawa geli. Jane menggigil. Kau masih belum menyadarinya juga, bukan, Jane sayang"
Jane merasa ingin pingsan. "Menyadari apa?" tanyanya.
Aku tidak bisa memiliki kehidupan yang seharusnya kumiliki di
Shadyside ini, Jane. Kau mengambilnya dariku untuk selamalamanya. Tapi aku masih bisa menghancurkannya, kata Sarah
menjelaskan. "Kenapa kau berbuat begitu?" jerit Jane. "Kau takkan berbuat
begitu. Sarah yang kukenal tidak akan berbuat begitu. Sahabatku tidak
akan begitu." Aku sudah melakukannya sejak kau kembali dari bulan
madumu, kata Sarah kepadanya.
"Tapi..." Rahang Jane bagai terkunci. Ia tidak mampu membuka atau
menutupnya. Ia menunduk menatap tangan kirinya. Bisakah ia mengangkat
tangan itu sekarang, kalau menginginkannya" Atau ia lumpuh" Sama
seperti saat Thomas jatuh ke dalam sumur.
Jane mencoba untuk menyentakkan tangannya. Tangannya tetap
membeku di sisi tubuhnya.
Kau percaya padaku sekarang" ejek Sarah.
Jane terhuyung-huyung maju. Ia bisa bergerak lagi.
"Kau," kata Jane sambil mengembuskan napas.
Sarah menjerit mengejek. "Kau yang melakukan ini?" tanya Jane.
Ya, Jane, jawab Sarah. Aku sudah berbulan-bulan bersamamu.
Aku yang membuat Thomas melemparkan Michael ke pagar. Aku
yang menahanmu sehingga tidak bisa menarik Thomas keluar dari
sumur. Dan saat kulihat dia akan selamat dari luka bakarnya, dia
kuracuni. "Thomas meninggal karena radang paru-paru," kata Jane. Ia
menggeleng, berusaha untuk menjernihkan pikirannya. Ini terlalu
banyak untuk bisa diterimanya sekaligus.
Tawa liar menggema dalam kepala Jane. Ia merasakan sakit
yang menusuk-nusuk di keningnya.
Arsenikum, kata Sarah menjelaskan.
Kedukaan yang dirasakan Jane atas meninggalnya Sarah telah
lenyap sekarang. Perasaannya membatu.
Sarah telah membunuh Thomas. Dengan darah dingin.
Aku tidak bisa membunuh suamimu tanpa menggunakan
tubuhmu, Jane. Tanganmulah yang menyuapkan racun ke mulutnya.
"Tidak. Oh, tidak," gumam Jane. Ia merasakan air mata
menyengat matanya. Sekarang bergegaslah mengganti pakaian, Jane, kata Sarah.
Jane menunduk menatap gaun tidurnya. Pakaian yang
dikenakannya selama ia sakit.
Ia tidak merasa sakit, tapi merasa lebih kelelahan daripada yang
pernah dirasakannya seumur hidupnya. Ia merasa tidak punya
kekuatan untuk berganti pakaian. Tidak sekarang. Tidak sesudah apa
yang baru saja diketahuinya.
Tiba-tiba, kepalanya tersentak, seakan-akan dirinya hanyalah
wayang dan dalang baru saja menyentakkan dirinya. Sakit menyengat
tubuhnya. Ganti pakaian kataku, sergah Sarah.
Jane bangkit berdiri. Ia tidak mampu menahan diri. Sekarang
Sarah yang mengendalikan gerakannya.
Ia mendapati dirinya menyeberangi kamar menuju lemari
pakaian. Ia menanggalkan gaun tidurnya, boleh dikatakan mencabikcabik pakaian itu dari tubuhnya. Ia mulai mengenakan pakaian dengan
sangat tergesa-gesa, memaki-maki bila tidak bisa segera memasang
kancingnya. Ada banyak yang harus diselesaikan, kata Sarah Kau tahu
bahwa Thomas hanyalah orang pertama yang harus mati, bukan, Jane"
Bab 15 JANE duduk dengan kaku dalam kereta yang terlonjak-lonjak
menyusuri jalan tanah. Matanya terbuka tapi tidak melihat apa pun.
Pangeran Perkasa 2 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pedang Darah Bunga Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama