Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear Bagian 2
tungku. Ia mencengkeram rambut kepala Romawi itu. Ia mencabuti
rambutnya segumpal demi segumpal. Perasaan ingin muntah
mendesak di tenggorokannya. Fieran menelannya kembali.
Ia menancapkan jemarinya ke lubang mata dan menarik bola
matanya. Ia membuangnya ke api.
Aku tidak akan berhenti! pikir Fieran. Tidak bisa. Aku tidak
akan berhenti sebelum kepala ini tidak lebih dari tengkorak putih dan
bersih. Lalu aku akan mendapatkan kekuatan yang kuinginkan. Aku
akan memiliki kekuatan untuk membalas dendam!
Bab 12 KEPALA itu mulai terasa berdenyut di bawah jemari Fieran.
Lubang mata yang kosong itu mulai memancarkan cahaya
merah darah. Fieran gemetar hebat. Kekuatan kepala itu membuatnya
ketakutan. Apa mengelupas dagingnya sudah melepaskan kekuatannya
terlalu cepat" Apa kekuatannya tidak bisa kukendalikan" Apa
sebaiknya aku berhenti"
Tidak! Aku sudah kehilangan segalanya. Sekarang yang tersisa
hanyalah kekuatan untuk membalas dendam.
Asap hitam pedas mengepul dari lubang hidung tengkorak itu.
Fieran menutupi mulut dengan tangannya, terengah-engah dan
terbatuk-batuk. Asap itu menyengat matanya begitu hebat sehingga
terasa menyakitkan untuk tetap membukanya. Baunya lebih buruk
daripada bau mayat di medan pertempuran.
Kekuatannya begitu hebat. Sekarang belum lagi satu hari
berlalu sejak pemimpin Romawi itu tewas, pikir Fieran. Aku sudah
memulai prosesnya terlalu cepat.
Apakah aku akan bisa menggunakan kekuatan itu" Atau
kekuatan itu lebih kuat daripada aku" Apakah kekuatan itu akan
menggunakan diriku" Terlambat untuk menghentikannya, pikir Fieran. Ia menusukkan
jemarinya jauh ke dalam kepala itu. Rasa sakit yang hebat menyengat
tubuh Fieran. Ia merasa seperti tengah dibakar. Ia merasa kedinginan
bagai direndam dalam es. Secara bersamaan.
Fieran menggigil. Lalu mulai bergoyang-goyang. Ia menatap
dirinya sendiri. Ia melihat lengannya tersentak-sentak dan bergetar.
Gigi-giginya mulai bergemeretuk. Fieran mengertakkan giginya
dan merasa lidahnya tergigit. Rasa darah memenuhi mulutnya. Ia
memuntahkan ujung lidahnya ke tungku.
Lubang mata tengkorak itu mulai memancarkan cahaya hijau.
Fieran merasa cahaya itu menatap tajam ke matanya. Lalu mulut
tengkorak itu membuka. Asap mengepul memenuhi ruangan.
Fieran membungkuk. Seluruh tubuhnya terguncang.
Terlalu berlebihan, pikirnya. Aku sudah membebaskan
kekuatan kepala ini terlalu cepat! Terlalu kuat! Kekuatan itu
membunuhku! Kelopak mata Fieran bergetar. Kepalanya bagai berputar-putar.
Kegelapan mengelilingi dirinya.
BAGIAN DUA KEPUTUSASAAN Bab 13 Dunia Baru Massachusetts Bay Colony,
1679 CHRISTINA kembali mendengar jeritan melengking yang lain.
Ia memaksa diri bangkit berdiri"dan melihat seekor kuda yang
sangat besar berderap ke arahnya. Sebelum ia sempat bergerak,
pemuda di atas pelana menjulurkan tangan ke bawah dan mengangkat
Christina ke depannya. Bagaimana kalau dia mengetahui siapa diriku" pikir Christina.
Bagaimana kalau dia membawaku kembali ke bibiku" Bibi akan
membunuhku. Aku tahu pasti.
Pemuda itu menyelimutinya dengan mantel hitam yang tebal.
Seluruh dunia di sekitar Christina berubah gelap gulita. Kegelapan
pekat yang menyesakkan. "Please," kata Christina dengan napas tersentak. "Aku tidak bisa
bernapas. Tolong lepaskan aku."
Christina tiba-tiba merasakan kuda itu mengurangi kecepatan.
Kami berada di hutan sekarang, ia tersadar.
"Whoa!" seru pemuda itu.
Kudanya meringkik melengking.
Christina berhasil menyingkirkan mantel dari wajahnya. Ia
menatap pemuda itu. "Maaf kalau aku mengejutkanmu," kata pemuda itu. "Tapi aku
ingin membawamu keluar dari badai. Pepohonan bisa melindungi
kita." Christina membuka mulut untuk menjawab, tapi tidak terdengar
suara. Begitu banyak yang terjadi padanya hari ini. Ia tidak bisa
meresapi semuanya sekaligus.
"Sebaiknya kubawa kau ke tempat perlindungan," kata pemuda
itu. "Tampaknya kau sudah kelelahan sampai ke tulang."
Kelelahan sampai ke tulang, pikir Christina, saat merasakan
kuda itu bergerak di bawah tubuhnya. Penjabaran yang bagus. Belum
pernah ia merasa selelah ini sebelumnya. Pemakaman ayahnya terasa
seperti telah berlangsung berminggu-minggu yang lalu. Padahal baru
tadi pagi ia memakamkan ayahnya.
"Aku melihat lampu," kata Christina dengan susah payah.
"Lampu-lampu peternakan."
Pemuda yang memeganginya mengangguk. "Memang benar,"
katanya. "Aku boleh dikatakan mengenal keluarga yang memiliki
peternakan itu. Kita ke sana. Kau aman di sana."
Hujan berhenti sama tiba-tibanya seperti kemunculannya, tapi
udara tetap terasa dingin. Pemuda itu kembali melilitkan mantelnya
pada Christina. Kali ini, ia menyisakan ruang agar Christina bisa
bernapas. Christina meringkuk lebih rapat kepadanya.
Bibi Jane pasti tidak menyetujui hal ini, pikirnya. Dia pasti
menyebut Christina memalukan karena duduk begitu dekat dengan
seorang pemuda"terutama pemuda yang belum pernah dikenal
Christina. Tapi rasanya tindakan itu benar. Hangat dan nyaman.
Mungkin dia jodohku, pikir Christina. Ibunya pernah
mengatakan kalau semua orang memiliki jodoh. Seseorang dengan
siapa mereka ditakdirkan untuk menghabiskan sepanjang hidup
bersama. Christina penasaran apa pendapat pemuda ini seandainya
mengetahui pemikirannya. Mungkin dia akan tertawa terbahak-bahak.
Atau menjatuhkan dirinya, memutar kudanya, dan berderap pergi.
Ia melirik ke atas memandang pemuda itu" dan mendapatkan
bahwa pemuda itu tengah menunduk memandang dirinya. Matanya
yang cokelat memancarkan kehangatan dan persahabatan. Dan
Christina menyukai letak rambut cokelat lurus di kening pemuda itu.
Lengan pemuda itu semakin rapat di pinggangnya. "Kita sudah
hampir tiba." Christina menegakkan duduknya dan memandang sekitarnya.
Lalu tersentak. Tidak, pikirnya. Dia tidak mungkin membawaku
kemari. Tidak ke tempat ini.
Ia menatap ke depan ke arah puncak sebuah lumbung yang telah
termakan cuaca. Bentuknya seperti seekor kucing hitam besar yang
siap menerkam mangsanya. "Oh, tidak," serunya. Christina bisa mendengar suaranya
bergetar. "Ini peternakan Peterson!"
Pemuda itu menghentikan kudanya. "Nama mereka memang
Peterson," katanya mengakui. "Kenapa kau takut terhadap mereka?"
Christina menggigit bibirnya dengan gugup. Apa ia harus
memberitahukan pendapat penduduk desa mengenai keluarga
Peterson" Apa pemuda ini akan tersinggung kalau mendengarnya"
Seberapa baik dia mengenal mereka"
"Eh, ada beberapa gadis dari desa yang bekerja sebagai pelayan
di rumah keluarga Peterson," kata Christina kepadanya. "Tidak satu
pun dari gadis-gadis itu yang pernah terlihat lagi. Para penduduk desa
mengatakan... kata mereka keluarga Peterson menggunakan gadisgadis itu untuk tujuan jahat."
Suara Christina merendah menjadi bisikan. "Kata mereka
keluarga Peterson mempraktekkan ilmu hitam."
Alis pemuda itu terangkat. "Ilmu hitam?" ulangnya. Dia
terdengar syok. "Aku tidak pernah melihat tanda-tanda seperti itu. Dan
aku sudah beberapa hari tinggal bersama mereka."
Christina ingin mempercayainya. Tapi ia tidak merasa yakin.
Beberapa hari tidak cukup lama untuk menyimpan rahasia.
"Kudaku kelelahan," kata pemuda itu menjelaskan. "Mistress
Peterson dan putrinya membantuku. Mereka memberiku tempat
tinggal. Dan makanan."
Ia ragu-ragu sejenak, mempertimbangkan. "Memang benar
mereka sangat miskin," katanya pada akhirnya. "Kehidupan mereka
sulit. Mungkin terlalu sulit untuk gadis-gadis yang lain. Mungkin
mereka melarikan diri. Mereka tidak mungkin kembali ke desa kalau
begitu. Mereka mungkin akan dikirim kembali ke peternakan."
"Mungkin itu hanya isu yang kejam," kata Christina. Para
penduduk desa selalu bergosip mengenai kesalahan penduduk yang
lain. Satu alasan lagi mengapa Christina tidak suka tinggal di sana.
"Ya," kata pemuda itu, sambil mendesak kudanya untuk maju.
"Isu. Pasti begitu." Pemuda itu tersenyum kepada Christina. Seluruh
wajahnya bagai bersinar saat ia tersenyum.
Christina merasa dadanya bagai diaduk-aduk.
"Itu dia," kata pemuda itu. Ia menunjuk seorang wanita yang
membawa lentera di dekat pintu depan. "Mistress Peterson sudah
keluar untuk menyambut kedatangan kita. Tidak ada yang
menakutkan tentang dirinya, bukan?"
"Why, Matthew," seru wanita itu, sambil mengangkat
lenteranya. "Kenapa kau kembali kemari?"
Mendengar suara wanita itu, Christina seketika merasa
ketakutan. Ia mengenali suara itu.
Mistress Peterson-lah yang kudengar bercakap-cakap dengan
Bibi Jane hari ini, pikir Christina.
Bibi Jane membayarnya untuk membunuhku!
Bab 14 KEPANIKAN Christina meningkat. Ia berhasil melarikan diri
dari bibinya, tapi tidak ada gunanya. Ia telah melarikan diri langsung
ke pelukan musuhnya. Ia mengayunkan kakinya ke samping kuda. Aku masih bisa
melarikan diri ke hutan, pikirnya.
Tapi lengan kuat pemuda itu menahan dirinya. Ia tidak bisa
melarikan diri. "Ada apa?" kata pemuda itu. "Ada masalah apa?"
"Wah, Christina Davis rupanya," seru Mistress Peterson. Setiap
kali wanita itu berbicara, Christina merasa ketakutan.
Ia mengawasi Mistress Peterson mendekati kuda. Sewaktu ia
menyentuh sisi tubuhnya, hewan itu mundur menjauh.
"Whoa, Thunder. Tenang. Whoa," kata Matthew tajam.
Bahkan kuda pun mengetahui kalau Mistress Peterson jahat,
pikir Christina. Aku harus pergi dari sini!
Mistress Peterson mengangkat lenteranya tinggi-tinggi.
Cahayanya menerangi wajah Christina. Christina mengangkat lengan
untuk melindungi matanya.
"Jadi kau mengenal Christina, Matthew," kata Mistress
Peterson. "Aku tidak menyadarinya."
Suaranya terdengar manis, terlalu manis, seperti sirop gula.
Christina merasakan perutnya bergolak.
"Sebenarnya tidak juga," kata Matthew. "Aku kebetulan
bertemu dengannya di jalan dan menyelamatkannya dari badai."
"Tindakan yang berani," kata Mistress Peterson. "Untung sekali.
Dan untung sekali kau membawanya kemari. Dengan begitu aku tidak
perlu bersusah payah menjemputnya nanti."
"Apa maumu dariku?" tanya Christina.
"Apakah bibimu tidak memberitahumu?" tanya Mistress
Peterson, suaranya terdengar bahkan semakin manis. "Kau akan
bekerja padaku. Ini akan menjadi rumahmu mulai sekarang."
Tidak! pikir Christina. Ini tidak mungkin. Itu berarti aku
menjadi budak. Sekarang nasibku sama seperti gadis-gadis desa yang
lainnya. Gadis-gadis yang tidak pernah kembali.
Christina kembali teringat pada percakapan antara Mistress
Peterson dan Bibi Jane. Ia teringat dentingan pelan koin yang berarti
uang berpindah tangan. Ia mengira Bibi Jane telah membayar Mistress Peterson untuk
membunuhnya. Tapi Mistress Peterson yang membayar Bibi Jane!
Bibinya telah menjual dirinya seakan-akan ia seekor sapi atau domba.
Pandai sekali Bibi Jane, pikir Christina. Ia berhasil
menyingkirkan diriku"dan mendapatkan uang pada saat yang sama.
"Turunlah dari kudamu, sekarang, Christina," kata Mistress
Peterson. Suaranya terdengar hangat dan menerima. "Perjalananmu
melelahkan." Christina tidak tertipu. Ia mengetahui kalau semuanya hanyalah
pura-pura untuk menipu Matthew. Begitulah cara Bibi Jane berbicara
kepada Christina di depan ayahnya. Ia harus waspada.
"Masuklah ke dalam," lanjut Mistress Peterson. "Akan
kupanggilkan putriku, Emily." Ia melangkah ke dalam rumah,
lenteranya menimbulkan bayangan yang bergerak-gerak liar.
"Kau juga masuklah, Matthew," kata Mrs. Peterson. "Aku yakin
Emily pasti tidak senang harus berpisah denganmu." Lalu ia
menghilang ke dalam. Ketakutan membanjiri Christina. Aku tidak ingin turun. Aku
tidak ingin tinggal di sini, pikirnya. Aku tidak ingin berada di bawah
kekuasaan Mistress Peterson.
Tapi Christina mengetahui bahwa ia tidak memiliki pilihan lain.
Bibinya telah menjualnya. Ia milik Mistress Peterson. Dan tidak ada
satu pun yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Paling tidak untuk
saat ini. Matthew merosot dari kudanya. Ia meraih pinggang Christina
dan menurunkannya. Ia tidak segera melepas pelukannya.
"Jangan khawatir," katanya. Ia menyingkirkan rambut yang
keriting karena basah dari pipi Christina. "Mistress Peterson akan
merawatmu dengan baik. Segalanya akan beres."
Tidak ada yang beres, pikir Christina. Bagaimana mungkin"
Tapi ia tidak mengungkapkan ketakutannya. Ia melakukan satusatunya tindakan yang bisa dilakukannya. Dengan langkah-langkah
diseret, Christina mengikuti Matthew masuk ke dalam rumah.
Tempat itu muram. Sebuah lentera ada di atas meja dekat
jendela depan, cahayanya suram. Dinding-dinding ruangan itu kotor.
Hitam dan ternoda jelaga.
Bagaimana ada yang bisa tahan" Christina penasaran. Aku akan
mati kalau harus tinggal di sini.
Mati di sini. Mati di sini. Aku akan mati di sini!
Kata-kata itu bergema dalam kepala Christina. Ia berjuang
menekan kepanikannya. Matthew meraih tangannya dan membimbingnya ke sebuah
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kursi kayu. "Kau kelelahan," katanya. "Sebaiknya kau duduk."
Matthew sendiri duduk di kursi di sampingnya. "Kau tidak
perlu khawatir," kata Matthew sekali lagi.
Christina menunduk menatap tangannya. Ia berharap jika
Matthew mengulangnya cukup sering ia akan mempercayainya.
Pemuda ini sungguh baik berusaha untuk meyakinkan diriku.
"Aku tahu sekarang situasinya tampak buruk," lanjut Matthew.
"Tapi aku yakin keluarga Peterson orang-orang yang baik. Sewaktu
aku mendapat masalah, mereka membantuku."
Christina menengadah memandangnya. "Mereka membeliku,"
katanya pahit. "Aku tahu itu sulit," kata Matthew. "Tapi praktek seperti itu
bukannya tidak pernah terdengar. Banyak orang yang memulai
kehidupan mereka di Dunia Baru ini dengan cara begitu. Lagi pula, itu
tidak akan selamanya."
"Kau tidak tahu pasti," kata Christina.
Matthew bangkit berdiri dan mondar-mandir. Christina
mengawasinya. Meresapkan segala sesuatu tentang dirinya.
Pemuda itu jangkung, dengan wajah tampan. Pakaiannya tidak
sesuai mode. Tapi semuanya bagus buatannya. Dan matanya.
Christina menyukai warna cokelat matanya.
"Kau jangan menyerah," kata Matthew pada akhirnya. Matanya
yang gelap penuh semangat. "Tidak peduli apa yang terjadi. Tidak
peduli apa yang akan datang."
Ia berhenti mondar-mandir dan berlutut di depan Christina. Ia
mengulurkan tangan dan meraih tangan Christina. "Aku tahu
bagaimana rasanya menghadapi masalah yang mustahil, Christina,"
kata Matthew pelan. "Tapi aku tidak kehilangan keyakinan akan
misiku. Aku masih terus melanjutkannya."
"Apa misimu?" tanya Christina, tergelitik oleh kata-kata
Matthew. Sejenak, ia melupakan masalahnya sendiri.
"Aku salah satu dari dua bersaudara," jawab Matthew. Ia
bangkit berdiri dan kembali duduk di samping Christina. Tapi ia tidak
melepaskan pegangannya. "Baru-baru ini kami tiba di Dunia Baru. Tapi tidak lama
sesudah mendarat, seseorang mencuri warisan keluarga kami yang
berharga. Sekarang kakakku dan aku sedang mencarinya. Sekalipun
memerlukan waktu selamanya, kami akan mendapatkannya kembali."
"Di mana kakakmu?" tanya Christina.
Matthew mendesah. "Aku tidak benar-benar mengetahuinya,"
katanya. "Sesudah warisan itu dicuri, aku mencari di kota-kota tepi
pantai. Benjamin mencari di kota-kota pedalaman. Aku tidak tahu di
mana dia berada atau apakah kami akan bertemu lagi."
"Malang sekali nasibmu!" seru Christina. "Aku tahu bagaimana
rasanya menjadi sebatangkara di dunia. Aku turut simpati padamu,
Matthew." Christina tidak mengetahui apa yang harus dikatakannya
selanjutnya. Tiba-tiba ia merasa malu.
Tidak satu pun yang berbicara untuk waktu yang lama. Lalu
Christina mendengar suara Mistress Peterson dan putrinya.
Waktuku bersama Matthew hampir berakhir. Mistress Peterson
dan putrinya akan muncul setiap saat sebentar lagi.
"Aku tidak bisa menghentikan pencarianku, Christina," sembur
Matthew, kata-katanya saling tumpang tindih. "Aku harus
mendapatkan warisan keluargaku kembali. Aku yakin bahwa benda
itu sangat dekat. Tapi sesudah menemukannya, aku akan kembali
padamu. Aku berjanji. Asalkan kau menungguku."
Tubuh Christina mulai merasa tergelitik. Ia kembali merasakan
dadanya diaduk-aduk. "Aku tahu kalau kita baru saja bertemu," lanjut Matthew. "Tapi
aku juga mengetahui perasaanku padamu. Tidak mungkin keliru.
Perasaanku terlalu kuat. Terlalu tiba-tiba." Dengan lembut, ia menarik
Christina ke dalam pelukannya.
Christina tertawa dan tubuhnya agak terguncang di dada
Matthew. "Aku bahkan tidak mengetahui nama lengkapmu."
"Namaku Matthew Fier."
Matthew Fier, pikir Christina. Nama penyelamatku. Nama
kekasihku. "Aku tidak bisa berbuat apa-apa sebelum menemukan warisan
itu, tapi sesudahnya..." Ia ragu-ragu.
"Kau akan kutunggu, Matthew," kata Christina.
Matthew memeluknya erat-erat. Christina menengadah
memandangnya, harapannya merekah.
Dia pasti jodohku, pikirnya. Jodoh yang dulu sering diceritakan
ibuku. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan mencintaimu,
Matthew Fier, pikirnya. Aku akan mencintaimu hingga hari
kematianku. Bab 15 "WAH, Matthew," seru seseorang dengan riang dari ambang
pintu. "Kenapa kau kembali kemari?"
Christina dan Matthew tersentak memisahkan diri. Seorang
wanita muda kurang-lebih sebaya dengan Christina masuk ke dalam
ruangan. Rambut pirangnya yang panjang membingkai wajahnya.
Matanya yang biru cemerlang berkilauan. Dia gadis tercantik yang
pernah kutemui, pikir Christina.
Dan seluruh perhatian gadis itu terpusat kepada Matthew Fier.
Matthew bangkit berdiri, sebagaimana sopan santun
mengharuskan bila seorang wanita masuk ke dalam ruangan. "Selamat
malam, Miss Peterson," katanya.
Emily tertawa. "Kau sopan sekali malam ini, Matthew,"
katanya. Ia melenggang mendekati pria itu, dan memegang lengan
Matthew. "Kau tidak begitu menjaga jarak terakhir kali kau
berkunjung kemari." Christina merasakan detak jantungnya kacau. Wajah Matthew
memerah. "Dan kau mengantarkan pelayan kami," lanjut Emily, mata
birunya mengamati Christina dan lalu mengabaikannya.
Aku tidak akan pernah bisa dibandingkan dengannya. Apa
pendapat Matthew sekarang sesudah melihat kami berdua
berdampingan seperti ini" Christina ingin tahu.
"Ibuku akan kemari sebentar lagi untuk memberimu perintah,"
kata Emily kepada Christina. "Kau boleh menunggu di sini. Tapi
pindahlah ke sebelah sana, jangan mengganggu kami."
Air mata menyengat di balik kelopak matanya, Christina
bangkit berdiri dan melangkah ke sisi seberang ruangan. Ia tidak
berhak untuk memperlakukanku seperti ini! pikirnya. Tapi ia tahu
bahwa ia keliru. Emily Peterson bisa memperlakukannya sesuka hati.
Christina tidak lebih dari seorang budak di rumah keluarga Peterson.
"Sekarang, Matthew," kata Emily, sambil mendesak pemuda itu
untuk duduk kembali. "Kau harus menceritakan tentang perjalananmu.
Apa yang sudah kaulakukan sejak meninggalkan rumah kami?"
Diiringi gemeresik roknya, Emily duduk di samping Matthew"
mencondongkan tubuhnya begitu dekat hingga menyapu lengan
Matthew. Christina menatap mereka berdua, begitu dekat. Menjauhlah
darinya, pikirnya. Matthew menginginkanku. Dia tidak
menginginkanmu. "Christina!" seru Mistress Peterson keras-keras. "Kemarilah.
Akan kutunjukkan kamarmu."
Christina bisa merasakan pandangan Matthew mengikuti
dirinya saat ia berjalan mengikuti Mistress Peterson. Tapi ia tidak
berani membalas tatapannya. Kalau ia melakukannya, ia khawatir
tidak mampu menahan diri. Dan ia tidak ingin memberi kepuasan
kepada Emily Peterson dengan melihatnya patah semangat.
Mrs. Peterson mengajak Christina menaiki tangga. Lantai dua
tampak bahkan lebih muram daripada lantai pertama. Padahal
Christina mengira tidak mungkin ada tempat yang lebih muram
daripada lantai pertama rumah keluarga Peterson.
"Ini kamarku," kata Mistress Peterson, saat mereka melewati
pintu pertama. "Dan ini kamar Emily. Kau tidak boleh masuk ke
dalamnya kecuali dengan seizin kami."
Di ujung seberang lorong Mistress Peterson membuka sebuah
pintu. "Ini akan menjadi kamarmu."
Dengan enggan, Christina melangkah masuk. Pintunya begitu
rendah sehingga ia harus menunduk untuk bisa melewatinya.
Kamar itu kecil dan sempit. Hanya ada sedikit perabot di
dalamnya. Hanya sebuah ranjang sempit dengan sehelai selimut tipis
dan sebuah baskom serta guci di lantai. Sebatang lilin merupakan
satu-satunya sumber cahaya di sana.
"Bersihkan dirimu," kata Mistress Peterson tidak lama
kemudian. "Aku tersinggung melihatmu seberantakan ini. Sesudah
selesai, turunlah." Ia kembali ke lorong dan membanting pintunya. Christina
kembali memandang sekitarnya. Ini bukan kamar, pikir Christina. Ini
sel penjara. Tapi kamar ini akan menjadi satu-satunya tempat pelariannya.
Sampai tiba hari saat Matthew Fier menyelesaikan misinya. Sampai
dia datang kembali untuk menyelamatkannya.
Isak tangisnya muncul. Christina menekankan tangannya ke
tenggorokan untuk menahannya. Kalau aku menyerah sekarang, aku
tidak akan pernah pulih. Aku tidak akan berbuat apa-apa kecuali
duduk di ruangan ini dan menangis terisak-isak.
Aku harus belajar untuk kuat. Matthew kuat"dan aku juga bisa
kuat. Dengan tekad baru, Christina mendekati baskom dan berlutut di
sampingnya. Ia meraih gucinya dan menuangkan air ke dalam
baskom. Lalu ia mencelupkan tangannya ke sana. Airnya terasa
sedingin es. Christina menyiramkan air dingin itu ke wajahnya. Lalu
mengeringkan dirinya dengan sehelai handuk yang kasar. Ia membuka
jepitan rambutnya lalu menjepitnya kembali.
Aku merasa lebih baik, pikirnya sambil bangkit berdiri. Tapi
aku tidak tampak segar dan cantik. Tidak seperti Emily Peterson.
Emily Peterson tertawa. Christina berbalik. Ia menyambar gucinya dan mencengkeram
benda itu di depan dadanya.
Tidak ada orang di sana. Suaranya berasal dari lantai bawah, ia
menyadari hal itu. Di ruangan tempat Emily tengah menghibur
Matthew. Christina berdiri tidak bergerak, mendengarkan. Emily kembali
tertawa. Suara itu bagai mengiris-iris Christina. Bagai mengiris-iris
jantungnya. Apa yang terjadi di ruang duduk di lantai bawah" ia penasaran.
Ribuan bayangan yang menyakitkan menjejali benaknya.
Matthew dan Emily duduk rapat satu sama lain. Matthew
memegang tangan Emily seerat memegang tangannya tadi.
Tangan Christina mencengkeram gucinya semakin erat. Otototot kebiruan mencuat di sepanjang punggung tangannya.
Bagaimana kalau Matthew tidak kembali untukku" pikirnya.
Bagaimana kalau dia kembali untuk Emily"
Gucinya pecah berantakan. Christina menjerit saat kepingan
yang tajam melukai tangannya. Darah merah cerah menyembur dari
lukanya. Begitu banyak darah.
Christina bergegas ke pintu. Tapi tangannya terlalu licin untuk
membuka pintunya. Licin karena darahnya sendiri.
Christina membungkus tangannya dengan roknya dan membuka
selot di pintu. Ia melesat di sepanjang lorong, dengan darah menetesnetes dari jarinya. Ia merasa pusing dan melayang saat memaksa
kakinya untuk melangkah menuruni tangga.
Ia menghambur ke ruang duduk, dengan tangan yang
berlumuran darah terjulur di depannya. "Matthew! Tolong aku!"
jeritnya. Matthew, Emily, dan Mistress Peterson melompat bangkit.
Matthew bergerak maju. Tapi Emily mendorongnya ke samping. Ia
melesat mendekati Christina dan meraih tangannya yang berlumuran
darah. Christina menjerit. Emily meremas tangannya, kuku-kuku
jemarinya yang panjang menancap ke dalam telapak tangan Christina
yang berlumuran darah. "Jangan bergerak!" teriak Emily, mata birunya tampak liar.
"Jangan bergerak atau kau akan merusak segalanya."
Darah mengalir dari luka Christina. Emily menangkupkan salah
satu tangannya, sehingga ia bisa menampung setiap tetesnya. Telinga
Christina mulai berdering. Bintik-bintik bermunculan dan menari-nari
di depan matanya. Emily kembali meremas tangannya.
Christina tersentak kesakitan. Ia sengaja mengeluarkan darahku,
pikirnya. Ia sengaja agar aku mati kehabisan darah.
"Darah," kata Emily dengan terengah-engah. Ia menunduk
menatap cairan merah yang ada di tangannya. Ia mendekatkan
tangannya ke hidung dan menghirupnya dalam-dalam. "Darah segar."
Sambil masih terengah-engah, Emily berlari meninggalkan
ruangan. Bab 16 LUTUT Christina lemas. Dunia bagai berputar-putar di
sekitarnya. Matthew menangkapnya sebelum ia menghantam lantai.
"Kau melihatnya, Matthew?" kata Christina dengan napas
tersentak. "Dia menginginkan darahku. Dia mengambil darahku."
"Omong kosong!" sergah Mistress Peterson tajam. Ia bergegas
mendekat untuk memeriksa luka di tangan Christina. "Kau keliru
memahami tindakannya, hanya itu. Emily hanya berusaha untuk
membersihkan lukamu. Kau akan sembuh lebih cepat kalau lukamu
mengeluarkan darah dengan lancar."
"Christina, apa yang terjadi?" tanya Matthew. Ia membantu
Christina duduk di salah satu kursi. Sentuhannya terasa lembut dan
nyaman bagi Christina. "Aku memecahkan guci," kata Christina. Telinganya masih
berdenging sedikit. Kepalanya terasa aneh. Ia tidak bisa berpikir
dengan jernih. "Aku tidak bermaksud memecahkannya. Guci itu
meledak begitu saja di tanganku."
"Tenang," kata Mistress Peterson. "Guci tidak penting. Tapi kita
harus merawat luka itu. Akan kuambilkan perban." Ia bergegas
meninggalkan ruangan. Matthew meraih salah satu tangan Christina dan
menggenggamnya. Dengan hati-hati ia mencabut serpihan yang masih
tersisa di lukanya. "Kami akan merawatmu," katanya.
Darah segar kembali mengucur. Melihatnya, Christina mulai
gemetar tidak terkendali. Seluruh ketakutannya mengenai keluarga
Peterson kembali muncul. Aku tidak keliru, pikirnya. Aku tahu kalau Emily Peterson
menginginkan darahku. Tapi kenapa" Kenapa dia melakukan tindakan
semengerikan itu" Christina menggigil. Pasti untuk semacam upacara aneh yang
tidak wajar! Isu-isu di desa pasti benar. Emily pasti mempraktekkan
ilmu hitam! Kengerian mencengkeram Christina. "Matthew, aku tidak bisa
tinggal..." Mistress Peterson kembali masuk ke dalam ruangan. Ia
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melontarkan pandangan tajam ke arah Christina. Ia mendengarku,
pikir Christina. "Bersihkan tangannya dengan air ini, Matthew," kata Mistress
Peterson. Ia meletakkan sebuah baskom di samping Matthew bersama
beberapa helai linen bersih. "Lalu perban dengan ini."
Matthew dengan hati-hati mencuci tangan Christina. Air di
baskom berubah merah. "Nah," kata Matthew kepada Christina, sesudah ia selesai. "Kau
akan lebih cepat sembuh sekarang."
"Terima kasih, Matthew," gumam Christina. Ia ingin
menghambur ke dalam pelukan Matthew. Tapi Mistress Peterson
tengah mengawasi mereka dengan ketat.
Matthew bangkit berdiri. "Aku harus melanjutkan perjalanan ke
desa," katanya kepada Christina dan Mistress Peterson. "Aku sudah
mengatur tempat tinggal sementara di sana."
Ia menatap Christina, pandangannya hangat. "Aku akan kembali
secepat mungkin." Sambil membisu, Christina dan Mistress Peterson mengantar
kepergian Matthew. Mereka berdiri di serambi depan yang dingin dan
mengawasi pemuda itu menaiki kudanya.
Christina menegakkan bahu dan meluruskan punggungnya. Aku
sendirian sekarang, pikirnya. Tidak ada yang melindungiku. Aku
harus kuat dan menjaga diri... hingga Matthew bisa kembali kepadaku.
Mistress Peterson memeluk bahu Christina dengan satu tangan.
"Jangan mengkhawatirkan Christina, Matthew," serunya. "Kami akan
menjaganya dengan baik."
"Terima kasih," jawab Matthew. "Aku tahu kalian pasti akan
menjaganya." Lalu ia menendang perut Thunder dan berderap pergi.
Begitu Matthew menghilang dari pandangan, Mistress Peterson
menyambar rambut Christina. Ia mengguncang-guncang kepala
Christina. "Kau memecahkan guciku, kau gadis tolol! Tidak ada yang
bisa lolos begitu saja sesudah memecahkan barangku. Malam ini kau
tidur di ruang bawah tanah!"
Mistress Peterson menyeretnya. Christina berjuang, menggeliatgeliat dan berputar-putar. Tapi ia tidak mampu melepaskan diri dari
cengkeraman Mistress Peterson.
Selangkah demi selangkah, Mistress Peterson menyeret
Christina ke pintu ruang bawah tanah yang gelap. Ia membuka
pintunya, dan mendorong Christina ke dalam. Christina terhuyunghuyung menuruni tangga kayu yang sempit.
Mrs. Peterson membanting pintu hingga tertutup. Sepotong
tanah terlepas dari dinding dan mendarat di dekat Christina.
"Tidak!" jerit Christina. Ia menghambur ke pintu. "Kau tidak
bisa berbuat begini! Ini tidak adil! Aku tidak bermaksud
memecahkannya!" Mistress Peterson menyelipkan selot ke tempatnya.
Bab 17 DINDING ruang bawah tanah menyebabkan Christina merasa
seperti telah dikubur hidup-hidup. Napasnya pendek-pendek dan
tersentak-sentak. Matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan. Ia menyadari
lusinan bintik-bintik merah di lantai dan di dinding.
Mata! Bukan bintik"lusinan mata merah kecil!
Christina menekankan punggungnya ke pintu ruang bawah
tanah. Aku hanya membayangkan saja, pikirnya. Tidak ada apa pun di
bawah sini selain aku. Tapi ke mana pun ia memandang, ia bisa melihat mata-mata itu.
Bintik-bintik mungil yang membelah kegelapan. Mata-mata merah
mungil. Ia mendengar suara gemeresik. Mata-mata itu bergerak menaiki
tangga ke arah dirinya. Sesuatu melintas di kakinya. Christina
bergegas menendangnya. Cicitan melengking memenuhi ruang bawah tanah. Ribuan kaki
bergegas mendekati dirinya. Merobek-robeknya dengan cakar yang
tajam. Sebuah hidung yang dingin menempel di pipinya. Hidung yang
lain menghunjam ke rambutnya.
Christina menjerit. Dan menjerit lagi. Tikus! Lusinan tikus!
Ia menjangkau rambutnya dan mencengkeram seekor tikus yang
menggeliat-geliat dan hangat. Ia melemparkannya ke tangga ruang
bawah tanah. Buk! Ia mencoba untuk menyambar tikus yang lain. Tikus-tikus itu
pun berhamburan, berlarian menjauh.
Christina duduk di puncak anak tangga. Ia bergoyang-goyang
dengan punggung menempel ke pintu. Bagaimana kalau tadi itu bukan
tikus" Kalau keluarga Peterson mempraktekkan ilmu hitam, tadi itu
bisa jadi... Hentikan, perintah Christina pada diri sendiri. Situasinya sudah
cukup buruk tanpa membayangkan kehadiran monster. Aku harus
menjadi seperti Matthew. Aku harus kuat.
Ia berharap Matthew ada di sana bersamanya. Memeluknya.
Christina merasa lebih baik hanya dengan memikirkan pemuda itu.
Christina memeluk dirinya, mencoba agar tetap hangat. Ia
merasakan sesuatu yang keras menekan dadanya. Amulet peraknya. Ia
hampir melupakan benda itu.
Ia menarik rantainya dan mengeluarkan amulet itu. Ia
menangkupnya. Amulet itu terasa hangat.
Memegang amulet itu menyebabkan ia merasa nyaman. Sama
seperti memikirkan Matthew.
********* "Bangun, gadis pemalas! Aku tidak membayar agar kau bisa
tidur sepanjang hari!"
Mistress Peterson membuka pintu ruang bawah tanah dengan
sekali sentak. Christina jatuh ke belakang dan kepalanya menghantam
dasar tangga ruang bawah tanah.
"Keledai bodoh," gumam Mistress Peterson. Kalau kau tidak
berada di halaman dalam sepuluh detik, kau tidak akan mendapat
makanan hari ini." Christina bergegas bangkit berdiri. Kepalanya terasa melayang,
tapi ia memaksa kakinya untuk melangkah menaiki tangga ruang
bawah tanah mengikuti Mistress Peterson.
Ia menjejalkan kembali amulet peraknya ke balik baju. Ia tidak
ingin Mistress Peterson melihatnya"dan mengambilnya.
"Bagus sekali," kata Mistress Peterson sewaktu Christina
berjalan keluar ke halaman.
Subuh belum lagi merekah, Christina sadar. Ia merasa
kelelahan. Pergelangannya yang sakit terasa berdenyut-denyut dan
setiap ototnya menjerit-jerit.
"Kau bisa segera mulai melakukan pekerjaanmu," kata Mistress
Peterson. "Sesudah kau menyelesaikan pekerjaan pertamamu hingga
aku merasa puas, kau bisa makan. Mulailah dengan membersihkan
kekacauan yang kaubuat di kamarmu kemarin. Cepat, sekarang! Aku
tidak akan mentolerir kemalasan. Ambil seember air dari sumur."
Dengan langkah diseret, Christina mengambil ember dan
mengisinya dengan air. Perlahan-lahan ia membawanya ke kamar,
berhati-hati agar tidak menumpahkan setetes pun. Kalau tumpah, ia
khawatir Mistress Peterson akan menguncinya di ruang bawah tanah
lagi. Christina berlutut, dan mulai menggosok lantainya. Rasanya
memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membersihkan noda
darahnya. Ia berusaha untuk tidak mengingat darimana asal noda itu.
Berusaha untuk tidak mengingat suara tawa Emily Peterson maupun
caranya tersenyum kepada Matthew Fier.
Sesudah ia selesai, kamarnya yang mungil bagai bercahaya.
Seharusnya ini sudah memuaskan Mistress Peterson, pikir Christina.
Perutnya menggemuruh karena lapar. Ia mengangkat ember berisi air
yang telah bercampur darah itu dan melangkah menuju ke tangga.
Ia mendengar suara gemeresik dari dalam kamar Emily.
Christina bergegas melewati pintunya, tidak ingin bertemu dengan
gadis berambut pirang itu.
Dan ia mendengar ada yang mengerang.
Christina menjatuhkan embernya. Air berhamburan membasahi
lantai lorong. Erangan itu kembali terdengar, kali ini lebih keras.
Apa Emily sakit" Dengan jantung berdebar-debar, Christina
mendekati pintu kamar Emily. Ia tidak ingin melakukan apa pun yang
ada kaitannya dengan Emily. Tapi ia tidak bisa mengabaikan gadis itu.
Bagaimana kalau Emily sudah melukai dirinya sendiri"
Christina meletakkan tangannya di pintu. Aku tidak bisa
berpura-pura tidak mendengar apa pun. Aku harus mengetahui apa
yang sudah terjadi! "Jangan masuk ke sana!" jerit seseorang dari belakangnya.
Christina berbalik. Emily memelototinya dari arah tangga.
Christina kembali mendengar erangan itu.
Kalau Emily ada di luar sini"siapa yang sedang mengerang di
kamarnya" Bab 18 EMILY bergegas menyusuri lorong mendekati Christina. "Pergi
dari situ!" jeritnya. "Itu kamarku. Kau tidak boleh masuk ke sana.
Sama sekali." Apa yang ada di dalam sana" Christina penasaran. Apa ada
orang yang terkurung di sana" Siapa yang mengerang"
Emily mendorong Christina menjauh. Ia membuka pintunya
sedikit dan bergegas menyelinap masuk. Christina tidak sempat
melihat apa pun sebelum Emily membanting pintu di belakangnya.
Erangan itu berhenti. Christina berdiri membeku di lorong. Ia
tidak tahu harus berbuat apa.
Apa yang sebenarnya ada di dalam sana" ia penasaran. Apa
yang dilakukan Emily Peterson" Dengan jantung berdebar kencang
karena ketakutan, Christina teringat pada isu-isu mengerikan yang
didengarnya di desa. Isu-isu bahwa keluarga Peterson mempraktekkan ilmu hitam.
Bahwa mereka menangkap orang-orang dan menyiksanya. Apakah
Emily sedang menyiksa seseorang sekarang" Apakah itu yang
dilakukannya di kamarnya"
Christine teringat pada percakapan yang pernah didengarnya
sewaktu ia berbelanja untuk Bibi Jane.
"Kudengar mereka menyantap orang hidup-hidup," kata
Mistress Tucker. "Kudengar mereka merebusnya dan lalu menyantapnya," jawab
Mistress Brown. "Dan kudengar," Mistress Dennison turut berbicara, suaranya
tidak lebih dari bisikan, "mereka mengisap darah korbannya dan
meminumnya saat masih hangat."
Aku tidak bisa pergi begitu saja, pikir Christina. Tidak jika
Emily menahan seseorang di dalam sana. Aku harus mengetahui apa
yang sedang terjadi. Ia mengulurkan tangan ke pintu kamar tidur Emily.
"Jangan mendekat," kata seseorang dari balik pintu. "Christina
Davis, pergilah! Atau akan kubuat kau sangat menyesal."
Christina berbalik dan mengambil embernya. Lalu ia berlari
menuruni tangga secepat mungkin. Ia bahkan tidak berhenti untuk
mengepel air yang ditumpahkannya di lorong. Mistress Peterson
mungkin tidak akan memberinya sarapan. Tapi Christina tidak peduli
lagi. Ia hanya ingin melarikan diri sejauh mungkin dari kamar Emily
dan rahasianya yang mengerikan.
Mistress Peterson mengamati Christina dari ujung kaki hingga
ujung rambut saat ia meletakkan ember di dapur. Lalu ia mengangguk
seakan-akan merasa puas. Ia menyukai ketakutanku, pikir Christina. Ia ingin aku merasa
takut. "Kau bisa membuang air kotor itu di halaman," kata Mistress
Peterson. "Dan kamar di lantai atas sebaiknya bersih sama sekali kalau
nanti kuperiksa." Christina mengangguk. "Ya, Ma'am," katanya sambil berjalan
ke pintu dapur. Diam-diam, ia bersumpah untuk membersihkan air yang
ditumpahkannya begitu selesai sarapan. Sewaktu ia kembali ke dapur,
Mistress Peterson memberinya sarapan berupa seiris tipis daging dan
kentang dingin. Lalu ia kembali menyuruh Christina bekerja.
Bekerja. Bekerja. Bekerja. Hari-hari Christina berlalu dalam pola yang menyedihkan. Ia
bangun seiring dengan merekahnya subuh. Ia bekerja sepanjang hari.
Ia jatuh ke ranjangnya dengan kelelahan setiap malam. Sesudah apa
yang rasanya seperti sesaat, Mistress Peterson membangunkan
dirinya. Memaksanya untuk memulai hari yang lain.
Terkadang sewaktu Christina tengah membersihkan sesuatu, ia
membiarkan pikirannya melayang kepada Matthew. Memikirkan hari
saat pemuda itu akan kembali menjemputnya.
Emily tidak bekerja sama sekali, sepanjang yang bisa diketahui
Christina. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di kamar tidurnya di
lantai atas. Kecuali saat dia pergi ke dalam hutan.
Setiap hari Emily pergi ke hutan membawa keranjang. Sewaktu
kembali, benda-benda di dalam keranjang menjerit-jerit dan
menggeliat-geliat. Christina tidak pernah mengetahui apa yang dibawa pulang
Emily dari dalam hutan. Emily selalu langsung membawa keranjang
itu ke kamarnya. Dan Christina menjauhi kamar tidur Emily. Ia terlalu takut
untuk mendekatinya. Tapi ia masih bisa mendengar erangan itu setiap
kali berada di lantai atas.
Lalu, suatu hari, Christina terjaga sebelum Mistress Peterson
membangunkannya. Ia tidak bisa memperkirakan kenapa"hingga
menyadari kalau erangan itu telah berhenti. Kesunyian yang tidak
wajar mengisi rumah. Christina bergegas mengenakan pakaian dan berjingkat-jingkat
menuju ke lorong. Ia menekankan telinga ke pintu kamar tidur Emily.
Aku tahu kalau ini dilarang. Tapi aku harus mengetahui apa
yang ada di dalam. Kalau aku mengetahui apa yang dilakukannya
mungkin aku bisa menghentikannya. Dan mungkin aku bisa
menemukan jalan untuk melarikan diri dari sini.
"Christina Davis! Turun kemari sekarang juga!" terdengar suara
Mistress Peterson meraung dari tangga.
Christina terlonjak. Ia menjauh dari kamar tidur Emily. Aku
akan mendapatkan kesempatanku. Suatu hari, janjinya sendiri.
"Kau di sana rupanya!" seru Mistress Peterson saat Christina
bergegas memasuki ruang duduk. "Kau terlambat. Kau tidak akan
mendapat sarapan. Mulai lakukan tugasmu sekarang juga."
Perut Christina menggerung. Aku lapar sekali, pikirnya. Kalau
makanku semakin berkurang, aku akan mati.
"Emily dan aku akan keluar pagi ini," kata Mistress Peterson
kepada Christina. "Kami akan ke desa. Kau tetap di sini dan bersihkan
dinding-dinding ruang duduk."
Ada yang terjadi, pikir Christina. Ada yang tidak beres.
Keluarga Peterson jarang ke kota. Mereka tahu bahwa
kehadiran mereka tidak diterima di sana.
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Christina!" Suara Mistress Peterson yang tajam menerobos
pemikiran Christina. "Kau dengar kataku?"
"Ya, Ma'am," jawab Christina. "Kau menyuruhku
membersihkan dinding-dinding ruang duduk."
Mistress Peterson mendengus puas. "Bagus sekali, Christina.
Aku senang melihatmu belajar bagaimana bersikap. Tidak ada
gunanya terlalu bangga diri, kau tahu. Terutama dalam situasimu."
Emily tertawa kecil dari ambang pintu.
Pipi Christina memerah. Ia bisa merasakan wajahnya panas.
Akan kutemukan rahasiamu, Emily, pikirnya. Kau tidak akan
tertawa sebanyak itu nanti.
"Sayang sekali kau tidak bisa ikut kami ke desa, Christina," kata
Emily. "Sungguh memalukan kau hanya seorang pelayan dan harus
tinggal di rumah. Tapi aku yakin Matthew akan memahami alasan kau
tidak bisa menemuinya."
Matthew! pikir Christina. Mereka akan mengunjungi Matthew"
Emily tersenyum sewaktu melihat ekspresi kebingungan
Christina. Gigi-giginya tajam dan runcing, mirip gigi kucing.
Oh, Matthew, pikir Christina. Jangan tertipu dengan kecantikan
Emily. Ingat janjimu padaku.
"Kuminta ruangan ini sempurna pada saat kami kembali nanti,
Christina," kata Mistress Peterson. Ia mengenakan mantelnya. Dengan
hati-hati, ia memakaikan mantel Emily untuk melindungi gadis itu
dari udara musim semi yang dingin.
"Ya, Ma'am," jawab Christina sekali lagi. Ia mengikuti keluarga
Peterson ke halaman dan mengambil seember air dari sumur.
"Ayo, Emily," kata Mistress Peterson saat naik ke kereta. "Kita
sudah menyia-nyiakan cukup banyak waktu."
Emily berderap melewati Christina, rok biru pucatnya
melambai. Rambut keemasannya tampak berkilau tertimpa cahaya
matahari. Christina menekan dorongan hati untuk menyiramkan
seember air ke kepala Emily.
Mistress Peterson berdecak kepada kudanya. Kereta itu
bergemuruh meninggalkan halaman. Christina kembali ke kamar
duduk. Saat ia tidak lagi mendengar suara keretanya, ia mengambil
ember dan melemparkannya ke dinding ruang duduk.
Ember itu hancur berantakan akibat kekuatan lemparan
Christina. Air kotor membasahi dinding.
Aku benci kalian berdua! pikirnya. Aku akan sangat bahagia di
hari aku meninggalkan rumah ini untuk selamanya!
Christina melesat ke kamar Emily. Melompati dua anak tangga
sekaligus setiap kalinya.
Ia menempelkan telinganya ke pintu. Yang didengarnya
hanyalah kesunyian. Tangannya merayap ke selot pintu.
Seharusnya aku tidak berbuat begini, pikir Christina. Emily
sudah memerintahku untuk menjauhi kamarnya. Ia sudah
memperingatkanku. Tapi tangannya terus bergerak, tidak peduli pada peringatan
Emily. Christina membuka pintu"dan menjulurkan kepalanya ke
dalam. Wajah-wajah raksasa tengah menatap Christina. Mulut mereka
terbuka lebar. Christina menjerit dan terjatuh ke lorong. Ia mengira makhlukmakhluk itu akan mengejarnya. Tapi ternyata tidak. Rumah tetap
sunyi senyap. Perlahan-lahan ia berdiri, lalu dengan hati-hati merayap kembali
ke pintu kamar tidur Emily. Suasana masih tetap sunyi. Christina
mengintip ke dalam. Cermin! Cermin-cermin menutupi seluruh dinding"dan langitlangitnya. Aku ketakutan oleh bayanganku sendiri!
Christina melangkah masuk ke dalam kamar Emily. Mirip kuil,
pikirnya. Kuil untuk kecantikan yang luar biasa.
Pikiran itu membuat Christina merasa muak.
Sambil menahan napas, Christina terus merayap maju. Bayangbayangnya di cermin turut merayap bersamanya. Di tengah-tengah
ruangan ia melihatnya. Sebuah tangan manusia. Christina merasa seperti tercekik dan menutupi mulutnya. Di
sekitarnya, seluruh pantulan dirinya juga melakukan hal yang sama.
Tangan itu ada di rak di atas ranjang Emily.
Pergelangannya dipakukan ke sepotong kayu. Jemarinya
mencuat ke atas. Tangan itu tampak kehitaman dan berkerut.
Tuhan yang baik! pikir Christina. Kejahatan macam apa ini"
pandangannya menyusuri rak. Di sana terdapat sebuah stoples berisi
laba-laba, stoples berisi ekor tikus, stoples berisi bola-bola putih
dengan warna hitam di bagian tengahnya.
Bola mata! pikir Christina.
Lalu erangan itu kembali terdengar.
Christina menutup telinganya untuk menghalangi suara yang
mengerikan itu. Ribuan Christina yang panik juga berbuat begitu di
cermin di sekitarnya. Christina bisa melihat mata mereka yang
memancarkan kengerian. Mulutnya ternganga lebar.
Christina mengikuti suara erangan itu ke sebuah stoples tanah
liat di rak. Tidak ada apa pun yang bisa membuatku melihat isi stoples
itu, pikirnya. Tidak ada. Bahkan jika dengan begitu erangannya akan
berhenti. Erangannya terdengar semakin keras. "Christina.
Christinaaaaaaaa." Benda di dalam stoples itu memanggil namaku!
Benda itu tahu namaku! Christina berbalik hendak melarikan diri.
Aku harus pergi dari sini! Aku harus melarikan diri dan tidak
pernah kembali. Tempat ini jahat dan tidak alami.
Ia terhuyung-huyung ke pintu. Pintunya terbanting menutup di
depan wajahnya. "Tidak!" Christina tersentak. Lututnya terasa lemah. Seluruh
tubuhnya terasa berat untuk digerakkan.
Erangan itu kembali memenuhi kepalanya. Sakit menusuknusuk dari bagian tengah otaknya. Ia tidak bisa berpikir.
"Apa maumu" Apa maumu dariku?" jeritnya.
Lalu ia melihat sebuah rak buku yang tinggi dan sempit. Rak itu
penuh berisi tabung-tabung mungil. Christina maju selangkah
mendekatinya. Erangan itu berhenti dengan tiba-tiba. Christina semakin
mendekati rak buku itu dan menatap tabung-tabung yang ada di sana.
Tabung-tabung itu kosong. Lapisan berwarna merah karat
mengotori sisi-sisinya. Setiap tabung telah diberi label dengan hatihati, label berisi nama-nama.
Christina melihat sebuah tabung yang penuh di belakang
tabung-tabung lainnya"dengan namanya tertulis rapi di labelnya.
Christina menyambar tabung itu. Tabung itu berisi cairan merah
cerah. Christina seketika mengetahui cairan apa itu.
Darah, pikirnya. Darahku!
Bab 19 CHRISTINA melempar tabung itu ke lantai.
Darahnya mengalir keluar membentuk sungai mungil. Darahnya
mengotori lantai kamar tidur Emily.
Tidak, Emily! Kau tidak akan menggunakan darahku untuk
kejahatanmu. Dan kau bisa membersihkannya sendiri. Aku mau pergi
dari tempat yang mengerikan ini.
Lalu ia berbalik dan melesat ke pintu.
Pintunya bergeming. Ia tidak bisa menggerakkannya sama
sekali. Aku harus pergi dari sini! Menjauhi kejahatan ini. Kalau tidak,
jantungku jelas akan meledak!
Panas menebar di dadanya. Kulitnya terasa semakin lama
semakin panas. ebukulawas.blogspot.com
Napas Christina mulai serak di tenggorokannya. Ia menariknarik leher gaunnya.
Erat sekali! Terlalu erat!
Jemarinya menemukan sesuatu yang bulat dan panas. Christina
mencabutnya. Amulet peraknya. Amulet itu berkilau dalam keremangan. Batu-batu birunya
berkerlap-kerlip begitu cerah sehingga Christina hampir-hampir tidak
tahan untuk memandangnya.
Tertegun oleh bebatuan biru itu, Christina membalik amuletnya.
Untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa ada tulisan di bagian
belakang amulet. Kata-katanya dalam bahasa Latin. Christina hampir-hampir
kesulitan untuk membacanya.
Dominatio per malum. Apa artinya" Christina penasaran.
Ayahnya seorang terpelajar. Ia pernah mengajari Christina
bahasa Latin sedikit. Pikir! Kau tahu kata-kata itu! pikir Christina. Kau tahu artinya!
Dominatio. Dominatio berarti kekuasaan.
Malum. Malum berarti setan atau kejahatan.
Dominatio per malum. Kekuasaan melalui setan atau kejahatan.
Sakit yang tajam menusuk merobek-robek Christina. Ia merasa
seperti tersambar kilat langsung di kepalanya.
Api meraung di sekitarnya.
Sejenak, sebuah tengkorak yang menyeringai muncul di api.
Amuletnya, pikirnya. Aku harus meletakkan amuletnya.
Tapi ia tidak bisa melakukannya. Jemarinya terkunci di
sekeliling amulet itu. Christina bergoyang-goyang. Kamar itu berubah gelap.
BAGIAN TIGA Balas Dendam Bab 20 Dunia Lama Inggris, 50 M.
FIERAN tercekik asap hitam yang mengepul dari kepala
pemimpin Romawi itu. Ia menegakkan duduknya, terengah-engah dan
terbatuk-batuk. Aku berhasil! pikirnya. Aku berhasil melepaskan seluruh
kekuatan kepala ini. Dan aku masih hidup!
Ia terhuyung-huyung bangkit berdiri. Asap hitam berputar-putar
di sekitar pergelangan kakinya.
Ia menatap kepala itu. Kepala itu masih tertancap di tongkat di
atas tungku. Tidak ada daging yang tersisa di sana. Tulangnya
mengilat, bersih, dan putih.
Tapi lubang matanya. Lubang matanya memancarkan cahaya kehijauan. Warna hijau
yang tidak wajar. Apa yang sudah kulakukan" tanya Fieran sendiri. Apa aku
sudah menghidupkan setan" Bagaimana kalau aku tidak cukup kuat
untuk mengendalikannya"
Sebuah suara memenuhi kepala Fieran.
Kenapa kau memanggilku"
Fieran menjerit. Ia menekankan tangannya ke keningnya. Suara
itu mengulangi pertanyaannya terus-menerus. Sakit menghunjam
kepala Fieran. Aku harus menahannya, pikirnya. Aku harus menguasai sakit
ini. Ini langkah pertama untuk menguasai kekuatanku. Aku harus bisa
menjawab kalau kepala itu bicara.
Fieran memaksa diri untuk menjauhkan tangan dari kepalanya.
Ia menurunkan tangannya ke samping tubuhnya. Tangannya
mengepal"seakan-akan dengan begitu ia mampu mengendalikan rasa
sakitnya. "Kekuatan," katanya pelan. "Aku menginginkan semua
kekuatan yang kaumiliki."
Kekuatan macam apa" "Kekuatan membalas dendam," jawab Fieran.
Kepala itu tertawa. Suaranya bergetar di seluruh ruangan batu
itu. Asap hitam membubung dari lantai.
Fieran menjerit. Setiap suara yang dikeluarkan kepala itu
menyebabkan ia merasa kesakitan.
Akan kupenuhi permintaanmu. Tapi aku harus mendapat
bayaran. "Apa pun!" jerit Fieran, sambil mengabaikan rasa sakitnya.
Kilat menyambar ke dalam gua.
Sesosok makhluk separo manusia dan separo burung terbang
melalui pintu gua. Makhluk itu menyambar Fieran dengan salah satu
cakarnya yang tajam. Fieran menjerit ketakutan. Bagaimana mungkin makhluk seperti
ini bisa ada" Penglihatan, kata Fieran pada diri sendiri. Kepala Romawi itu
memberiku penglihatan. Makhluk burung itu menjerit melengking sambil terbang keluar
dari gua. Makhluk itu membawa Fieran membubung ke langit malam.
Semakin lama semakin tinggi sehingga ia tidak bisa melihat tanah
lagi. Fieran memaksa diri untuk tetap membuka mata. Ia tidak boleh
kehilangan satu pun petunjuk yang akan diberikan penglihatan ini
kepadanya. Udara dingin terasa seperti membakar wajahnya. Jemarinya
bagai mati rasa. Makhluk burung itu melipat sayap-sayap hitamnya. Lalu
menukik lurus ke bawah. Semakin lama semakin cepat.
Fieran mendengar dirinya mengerang pelan. Penglihatan,
katanya sendiri. Penglihatan.
Makhluk burung itu melepaskan Fieran" dan kembali
membubung ke angkasa. Fieran terjatuh ke dalam kegelapan. Jantungnya berdentumdentum di telinganya, satu-satunya suara yang didengarnya.
Ia mendarat di atas sesuatu yang keras dan merasakan darah
yang hangat menetes di bagian belakang kepalanya.
Perlahan-lahan, Fieran memaksa dirinya bangkit berdiri. Ia
ternyata duduk di atas sebongkah batu kelabu suram yang bulat.
Bebatuan yang lebih kecil ada di bagian atasnya. Bebatuan biru
yang berkilauan. Ini tempat kebaikan atau kejahatan" tanya Fieran pada diri
sendiri. Ia turun. Dan menyadari bahwa batu bulat itu ternyata sebuah
altar. Di batu itu terukir tulisan Dominatio per malum. Ia tahu bahwa
kata-kata itu merupakan bahasa bangsa Romawi, tapi ia merasa
kurang yakin akan artinya.
Kata-kata itu ternoda kemerahan. Darah, ia menyadarinya. Ini
tempat pengorbanan. Fieran menggigil. Tiba-tiba ia teringat pada peringatan ayahnya
mengenai tingginya harga kekuatan.
Ia mengalihkan perhatiannya ke batu-batu biru yang berkilauan
itu. Di depan matanya, masing-masing batu menyembur menjadi tiang
api. "Kekuatan yang luar biasa," bisik Fieran. Ia memaksa diri untuk
melangkah lebih dekat. Dan melihat wajah-wajah dalam api. Wajahwajah yang menjerit-jerit dan menangis. Wajah-wajah yang berkerutkerut karena tersiksa.
Api semakin besar. Tiang-tiang itu menyatu. Membentuk
sebuah dinding di depan Fieran.
Fieran berbalik. Api telah membentuk lingkaran mengepung dirinya. Dan
bergerak mendekatinya. Semakin rapat.
Fieran menjerit saat api melalapnya.
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia kembali menjerit"dan menyadari kalau telah berada di
guanya kembali. Menatap perapiannya sendiri.
Sambil terengah-engah, ia merosot ke tanah. Penglihatan itu
begitu kuat, begitu nyata. Ia menunduk memandang dirinya sendiri
untuk memastikan bahwa dirinya tidak terluka.
Dan melihat sebuah benda asing tergenggam di tangan kirinya.
Sebuah amulet pada seuntai rantai perak.
Tangan Fieran gemetar sewaktu ia memandangi piringan perak
itu. Di bagian depannya terdapat sebuah cakar burung perak yang
menggenggam bebatuan mengilat. Batu-batu biru.
Dan kata-kata dalam bahasa Romawi terukir di bagian
belakangnya. Dominatio per malum.
Kekuasaan melalui kejahatan. Suara dalam kepala Romawi itu
menggaung. Selama keturunanmu masih ada, amulet ini juga akan tetap ada.
Begitu pula dengan kekuatan untuk membalas dendammu.
Fieran ingin membuang amulet itu ke tanah dan melarikan diri.
Lari ke suatu tempat di mana tidak ada yang mengenalnya. Tempat ia
bisa memulai kehidupan baru.
Kekuatan ini jahat. Setan. Mungkinkah ia menggunakannya
tanpa mengubah dirinya menjadi jahat"
Lalu Fieran teringat pada Conn. Ia teringat bagaimana Conn
telah menipunya agar tidak menjadi kepala suku.
Kubiarkan Conn tetap hidup di medan pertempuran, pikir
Fieran. Aku tidak akan mengasihaninya dua kali.
"Pembalasan," bisik Fieran. "Pembalasan," ulangnya, dengan
suara lebih keras. Darah. Untuk pembalasanmu aku harus mendapatkan darah.
Bab 21 PENGORBANAN. Amulet ini menuntut pengorbanan.
Darah... aku harus mendapatkan darah. Suara kepala Romawi
itu berat dan dalam. Apa aku bisa melakukannya" Fieran penasaran.
Ia pernah membunuh dalam peperangan. Tapi pengorbanan
merupakan tindakan yang berbeda. Untuk mengorbankan ia harus
menyusun rencana untuk membunuh. Memutuskan untuk membunuh.
Ia tidak akan membunuh untuk bertahan hidup. Ia tidak akan
membunuh karena teman-teman dan tetangganya terancam bahaya
dari para prajurit Romawi.
Fieran membenci pikiran tentang membunuh di medan
pertempuran. Tapi ia teringat pada penghinaan Conn terhadapnya. Bagaimana
Conn mentertawakannya. "Kau akan mendapatkan darahmu," jawab
Fieran. Kreaaaaak. Rahang tengkorak itu membuka. Gigi-giginya
membentuk senyuman yang mematikan. Lalu lubang matanya berubah
gelap. Padam bagikan dua buah lilin yang ditiup.
Fieran menanggalkan pakaian upacaranya. Ia ragu-ragu sejenak.
Lalu ia menjejalkan pakaian itu ke api. Ia mengawasi saat mantel
panjangnya mengepulkan asap lalu terbakar.
Rakyatnya tidak mempercayai Fieran sewaktu ia memberitahu
mereka bahwa roh kepala suku yang lama telah memasuki tubuhnya.
Sekarang mereka menganggapnya sinting. Atau cemburu. Ia tidak lagi
memiliki tempat di antara mereka.
Fieran membersihkan darah dari wajah dan tangannya. Ia
mengenakan pakaian bersih. Hijau dan cokelat, agar bisa menyatu
dengan pepohonan. Ia mengenakan mantel dan mengeratkannya
dengan pengait yang berat sebagaimana kebiasaan orang-orang Kelt.
Hanya ada satu orang yang layak untuk dikorbankan kepada
kepala, pikir Fieran. Conn.
Korban manusianya harus Conn!
Sekarang, bagaimana cara menangkapnya" Pikir! kata Fieran
sendiri. Pikir! Ia mulai mondar-mandir dalam gua yang gelap itu.
Harus ada cara untuk menangkap Conn. Tidak mudah. Sekarang
Conn pasti akan terlindungi dengan baik karena sudah menyatakan
diri sebagai kepala suku.
Sejenak Fieran berhenti mondar-mandir. Ia menatap kepala itu
seakan-akan bisa memberinya inspirasi.
Conn pasti memiliki kelemahan. Semua orang memiliki
kelemahan. Fieran hanya perlu menemukan kelemahan Conn. Sesudah
mengetahuinya, ia bisa menggunakan kelemahan Conn untuk
menjebaknya. Aku tidak bisa menemukan kelemahan Conn hanya dengan
berdiam diri di guaku, pikirnya. Aku harus mempelajari dirinya.
Mempelajari segala sesuatu mengenai dirinya. Setiap kebiasaan.
Setiap detail kecil. Akan kumulai dari rumahnya. Fieran memang tidak suka harus
berbagi hutan yang sama dengan Conn. Tapi hari ini ia merasa
gembira. Conn akan lebih sulit untuk dilindungi di sini.
Di hutan, akan lebih mudah bagiku untuk menangkapmu. Aku
lebih mengenal kawasan ini daripada dirimu.
Fieran meninggalkan guanya. Sesunyi bayangan, ia berjalan
melewati pepohonan. Pakaian hijau dan cokelatnya menyatu dengan
sekelilingnya. Sewaktu gubuk jerami Conn terlihat, Fieran menyembunyikan
diri di balik pepohonan di dekatnya. Ia bisa melihat satu-satunya pintu
gubuk dengan baik. Ia akan melihat kalau ada yang masuk atau keluar.
Ia akan melihat Conn. Tapi Conn tidak akan melihatnya.
Aku sudah menunggumu, Conn! Pikir Fieran. Tidak lama lagi
kau akan memahami apa artinya kehilangan segalanya.
Beberapa saat kemudian, Conn muncul. Kalau Fieran terlambat
beberapa saat, ia pasti akan bertemu langsung dengan Conn.
Fieran seketika menyadari kalau tidak ada orang yang
mengawal Conn. Conn membiarkan dirinya sama sekali tidak
terlindungi. Semangat Fieran melonjak. Sekarang aku mengetahui
kelemahan Conn. Conn percaya dirinya tidak terkalahkan. Ia mengira
tidak akan ada yang berani menyerangnya, karena ia terlalu kuat.
Tapi akan kutunjukkan padanya kalau kekuatannya adalah
kelemahannya. Akan kugunakan kebanggaannya untuk menundukkan
dirinya. Otot-otot Fieran menegang. Aku bisa membunuhmu dulu,
Conn. Aku bisa membunuhmu sekarang.
Ia mengawasi saat Conn membuka pintu rumahnya. Fieran
merayap maju. "Kau bisa keluar sekarang," seru Conn.
Dia mengetahui kehadiranku! Dia mengetahui aku
mengawasinya. Fieran tersentak mundur. Jantungnya berdebar tidak
keruan. Napasnya pendek-pendek dan tersentak-sentak.
Apa yang akan dilakukan Conn"
Sesosok berkerudung dan bermantel muncul di lapangan. Conn
tidak mengetahui kehadiranku, Fieran tersadar. Dia bukan
memanggilku. Dia berbicara kepada orang itu.
Fieran merasa lega. Detak jantungnya melambat.
Ia menatap orang yang sedang bersama Conn. Ia tidak bisa
melihat wajahnya. Pria itu mengenakan kerudung hingga menutupi
wajahnya. Fieran mendengar Conn tertawa. "Kenapa kau masih
menyembunyikan diri?" tanyanya dengan nada main-main. Ia
mengulurkan tangan dan membuka kerudung orang itu.
Brianna. Bagian belakang tenggorokan Fieran terasa panas dan masam.
Ia menelan ludah dengan susah payah.
Bukan Brianna. Dia mencintai Fieran. Fieran tahu itu.
Conn menarik Brianna ke dalam pelukannya. Ia mencium
Brianna, dalam dan lama. Brianna memeluk leher Conn. Dengan penuh semangat
membalas pelukan Conn. Conn menengadah dan mengelus pipi Brianna. "Kita berhasil!"
kata Conn. "Kita mengalahkan Fieran yang lemah dan bodoh itu. Kita
berhasil menipu semua orang. Dan sekarang tidak ada yang bisa
menghentikan kita." Brianna tersenyum. Ia berjinjit dan mencium rahang Conn.
"Tidak ada yang bisa menghentikan kita," ulangnya.
"Mudah sekali!" seru Conn. Kepalanya tersentak ke belakang
karena tertawa. "Sulit dipercaya betapa mudahnya."
"Sudah kukatakan begitu," jawab Brianna.
"Sudah kaukatakan," kata Conn mengakui. "Kau benar. Dan
aku salah. Sulit bagiku untuk mempercayai betapa bodoh yang
lainnya. Mereka mengira kau korbanku. Mereka tidak pernah
memikirkan kemungkinan bahwa seorang wanita bisa memiliki
mantera sekuat itu. "Tapi kau berhasil," lanjut Conn. "Dan manteramu berhasil
meyakinkan mereka kalau akulah yang terpilih. Sekarang kita akan
mendapatkan semua yang kita inginkan."
Oh, Brianna. Bagaimana dia bisa bertindak seperti itu
terhadapku" Dia tahu bahwa aku selalu memimpikan jabatan kepala
suku. Dia tahu bahwa jabatan itu berarti segalanya bagiku.
Brianna tidak akan menguasai mantera api kalau bukan karena
diriku, pikir Fieran. Dia tidak pernah bereksperimen dengan api
sebelum aku mulai mengajarinya.
Sekarang kekuatannya melebihi kekuatanku. Dan dia
menggunakannya untuk mengalahkanku.
Fieran mengawasi Brianna. Ia merasa muak.
"Bersama-sama kita lebih kuat daripada semua orang
digabungkan," sumpah Brianna. Matanya berkilauan saat menatap
musuh seumur hidup Fieran. "Aku mencintaimu, Conn. Tidak akan
ada yang bisa menghalangi kita. Akan kudampingi kau sampai mati."
Bab 22 PERUT Fieran terasa melilit. Untuk sesaat yang terasa sangat
mengerikan, ia takut akan muntah.
Semuanya benar. Semua yang dikatakan Conn mengenai
Brianna. Semua yang tidak ingin kupercayai.
Semuanya benar. Setiap kata yang ada.
Brianna tidak mencintaiku. Dia sudah mengkhianatiku. Dia
sudah membantu Conn menjadi kepala suku.
Fieran ingin melarikan diri. Pergi ke suatu daerah tempat ia
tidak akan pernah bertemu dengan Brianna lagi. Di suatu daerah
tempat tak ada seorang pun yang mengenalnya.
Terlalu menyakitkan untuk tetap berada di sini, pikir Fieran.
Dan tanpa Brianna, tidak ada apa pun yang kuinginkan di sini.
Tidak, pikir Fieran. Tidak. Ia tidak akan membiarkan sakit
hatinya menghalangi pembalasan dendamnya.
Balas dendam! Brianna harus mengalami nasib yang sama dengan Conn, pikir
Fieran. Pengkhianatannya jauh lebih buruk daripada Conn. Paling
tidak Conn tidak berpura-pura memperhatikanku. Brianna juga harus
mati. Fieran membayangkan ekspresi wajah Brianna saat menyadari
bahwa dirinya berencana untuk membunuhnya. Ia membayangkan
Brianna mengemis-ngemis dan memohon padanya agar tidak dibunuh.
Tapi aku takkan mendengarkan, pikir Fieran. Aku takkan
pernah mendengarkan Brianna lagi. Akan kubuat dia membayar untuk
semua yang sudah dilakukannya.
Fieran membayangkan pisaunya yang tajam terayun ke bawah.
Darah dari jantung Brianna menyembur. Merah cerah dan masih
hangat. Tepat seperti yang diminta kepala itu.
Yang mana yang akan dibunuhnya lebih dulu" Conn atau
Brianna" Musuh paling lamanya, ia mengambil keputusan. Conn.
Akan kutangani kau nanti, Brianna, Fieran berjanji diam-diam.
Akan kubiarkan kau hidup. Untuk saat ini. Hanya untuk saat ini.
Giliranmu akan datang. Fieran merayap keluar dari tempat persembunyiannya. Ia
kembali ke rumahnya. Benaknya telah mulai bekerja menyusun
rencana pembalasan dendamnya.
Jadi Conn mengira dirinya tidak terkalahkan, pikir Fieran. Dia
mengira aku bodoh dan lemah. Dia akan mengetahui betapa kelirunya
pendapat itu tidak lama lagi.
********* Seminggu kemudian, Fieran merasa telah siap untuk
melaksanakan rencananya. Ia mengenakan pakaiannya yang paling
lusuh. Lalu berjalan ke desa Kelt di puncak bukit.
Ada pesan darinya untuk Conn.
Orang-orang berhamburan keluar dari rumah mereka saat
Fieran mendekat. Mereka menatapnya sambil bergumam dan berbisikbisik.
Sewaktu ia tiba di desa tidak ada yang berbicara kepadanya.
Kerumunan itu mengepung dirinya. Mereka menatap Fieran sambil
membisu. Fieran mengetahui apa yang mereka pikirkan. Mereka semua
sudah mendengar kalau ia kehilangan kewarasannya. Mereka semua
mengetahui kalau dirinya sudah diusir.
Dulu, ia pahlawan besar di antara mereka. Sekarang ia
dipermalukan. Mereka tidak mengetahui apa yang harus dikatakan
kepadaku, pikir Fieran. Mereka tidak tahu bagaimana cara
memperlakukan diriku. Fieran merasa terhina untuk muncul di depan rakyatnya
sebagaimana sekarang. Kebanggaannya terluka.
Tapi ia tidak punya pilihan lain. Orang-orang ini harus percaya
kalau dirinya telah menyerah. Ia tidak bisa mengambil risiko. Ia harus
meyakinkan mereka. Kalau tidak, Conn akan curiga. Aku tidak boleh membiarkan
dia melihat kekuatanku. Tiba-tiba kerumunan itu bergerak. Dari sudut matanya, Fieran
melihat sehelai mantel panjang. Bagus, ada yang memanggil dukun.
Rencana Fieran sejauh ini berjalan dengan sempurna.
Fieran menjatuhkan diri ke tanah. Ia mencengkeram tepi mantel
dukun tersebut. "Tolonglah," pintanya. "Aku ingin diterima kembali di
sukuku. Kutarik tuduhanku terhadap Conn. Kebanggaanku sudah
membutakan mataku. Sekarang aku ingin mengakui Conn sebagai
kepala sukuku." Fieran bisa mendengar orang-orang mulai berbisik-bisik.
"Fieran sudah sadar."
"Bangkitlah, Fieran," kata dukun itu kepadanya. "Aku senang
sekali melihatmu pulih kembali. Dengan senang hati akan
kusampaikan pesanmu kepada Conn, kepala suku kita."
Fieran merasakan semangat mengalir dalam dirinya. Tapi ia
baru menyelesaikan bagian pertama dari misinya. Ia belum bisa
merayakannya. Masih banyak yang harus dilakukannya.
Ia membersihkan kerongkongannya. "Tolong katakan kepada
Conn. Katakan aku akan menemuinya di lingkaran batu berdiri. Di
tempat kekuatan para leluhur kita diciptakan, aku akan bersumpah
setia kepadanya. Sudah waktunya perselisihan kami berakhir."
"Akan kusampaikan," jawab dukun itu.
Jantung Fieran berdetak sedikit lebih cepat. Ia melihat
keterkejutan dan ketakutan dalam pandangan orang-orang lainnya.
Lingkaran batu sudah tua. Bahkan lebih tua dari para dukun.
Dan sangat kuat. Kekuatan sihir yang tidak bisa dipahami para dukun.
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya yang paling berani yang memasuki lingkaran tersebut.
Hanya mereka yang merasa yakin dengan kekuatannya sendiri.
Puas dengan apa yang sudah dilakukannya, Fieran berbalik dan
meninggalkan desa. Ia memastikan kepalanya tetap menunduk. Ia
ingin tampak sudah menyerah sepenuhnya.
Sekarang tidak ada jalan kembali, pikirnya. Kami berdua akan
pergi ke lingkaran batu. Tapi hanya satu yang akan keluar dari sana
dalam keadaan hidup. Sesudah mereka melihat aku yang berhasil
selamat, orang-orang akan tahu bahwa mereka sudah melakukan
kekeliruan. Mereka akan terpaksa mengakui akulah kepala suku yang sejati.
********** Fieran bergegas melangkah ke lingkaran batu. Ia ingin tiba di
sana sebelum Conn. Seperti desa Kelt, lingkaran batu berdiri di puncak sebuah bukit.
Lingkaran itu bisa dilihat dari jarak berkilometer-kilometer. Fieran
Pendekar Muka Buruk 8 Candika Dewi Penyebar Maut V I I Pendekar Pengejar Nyawa 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama