Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence Bagian 2
keteduhan sebatang pohon mapel besar sambil berdiri.
Jenna mengejar temannya. Suasana hati Hallie sedang tidak
beres, dan harus ada yang mengawasinya.
Hallie langsung mendekati gadis-gadis itu. "Hai," katanya.
"Namaku Hallie Sheridan. Ini temanku Jenna Hanson."
Gadis-gadis yang lain menatap mereka dengan rasa ingin tahu
sesaat. Lalu mereka semua menyebutkan nama masing-masing. Jenna
tidak mampu lagi mengingatnya. Kate, Melissa, dan Jane, dan ia
merasa yang berambut merah bernama Francie. Mereka tampaknya
ramah. "Jenna dan aku baru saja menjelajahi Shadyside," kata Hallie.
"Sungguh?" tanya salah seorang gadis. "Kau sudah melihat
tempat penggilingan tepung kami yang lama di dekat sungai"
Pemandangan di sana bagus sekali."
"Belum." Hallie tertawa. Ada kilau liar, yang sama sekali tidak
disukai Jenna, di mata Hallie. "Tapi kami sudah mengunjungi
keluarga Fear." Komentar Hallie itu disambut kesunyian total. Jenna mengawasi
wajah gadis-gadis itu berubah pucat pasi.
"Kalian... mengunjungi mereka?" tanya gadis berambut merah
pada akhirnya. "Kalian masuk ke dalam rumah mereka?"
Hallie mengangguk. "Tahu tidak, mereka sangat kaya.
Rumahnya penuh barang-barang mahal, dan mereka bahkan memberi
kami hadiah. Beberapa perhiasan putri mereka."
"Oh, lihat, itu Frank Douglas," seru salah satu gadis sambil
menunjuk seorang pemuda jangkung di dekat lumbung. "Aku harus
berbicara dengannya!"
"Kami ikut," kata gadis berambut merah.
Mereka semua berlalu. Gadis yang berambut merah berpaling
sekali, dan Jenna melihat ketakutan dalam tatapannya. Ketakutan
sejati. Di satu sisi, ia kasihan kepada keluarga Fear. Mereka sudah
kehilangan putri mereka, dan dikucilkan para tetangga. Tapi ternyata
di sisi lain, mendengar nama mereka saja sudah cukup untuk membuat
penduduk kota ketakutan. Kenapa" Apa yang sudah terjadi di sini sehingga para penduduk
kota begitu takut pada Simon dan Angelica"
"Ini semua salahmu!" sergah Hallie.
Jenna berpaling memandang sahabatnya, sama sekali tidak
menduga. "Apa" Apa maksudmu?"
"Kalau kau tidak ikut bersamaku, aku pasti sudah berteman
dengan gadis-gadis itu."
Sejenak Jenna terlalu tertegun untuk bisa menjawab. Hallie
mendekatkan wajahnya. Mata birunya yang biasa memancarkan tawa
tampak keras karena marah.
"Aku bersusah payah untuk mendapatkan teman di sini,"
katanya. "Sulit sekali. Tapi kau datang kemari dan langsung
mendapatkan teman. Lalu begitu aku mendapat kemajuan, kau
merusaknya!" Jenna tidak bisa mempercayainya. Sahabatnya, sahabat
terbaiknya, telah berbalik melawannya. Tanpa alasan! Jenna tak bisa
memahaminya. "Aku tidak melakukan apa-apa!" katanya memprotes. "Aku
bahkan tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Keluarga Fear yang
menyebabkannya. Mereka ketakutan sewaktu kau mengatakan sudah
mengunjungi keluarga Fear."
"Tidak!" Air mata mengalir dari mata Hallie. Tapi tampaknya ia
tidak sadar bahwa ia menangis.
Kemarahan Jenna sirna begitu melihat air mata sahabatnya. Ada
yang tidak beres dengan Hallie, dan bertengkar dengannya saat itu
tidak ada gunanya. "Hallie, sikapmu sepanjang hari ini aneh sekali," bisik Jenna,
sangat ingin menolong temannya. "Mula-mula, kau membuatku
ketakutan setengah mati sewaktu aku menyentuh leontinmu tadi pagi,
lalu kau merayu Rob, dan sekarang ini..."
"Aku tak bisa bicara denganmu sekarang," jerit Hallie sambil
mengangkat tangannya. "Seandainya kau tidak datang kemari.
Seandainya ada kejadian mengerikan yang menimpa orang-orang ini.
Seandainya... seandainya seluruh lumbung tolol ini jatuh menimpa
kepala mereka!" Setelah berbalik, Hallie melangkah pergi. Jenna menatap
kepergiannya, tidak yakin apa yang harus dipikirkan atau dilakukan.
Ia belum pernah melihat kemarahan seperti itu terpancar dari mata
Hallie, kekejaman sehebat itu dalam tatapannya. Seolah sahabatnya itu
sudah berubah menjadi orang lain dalam semalam.
"Aku heran ada apa dengannya," gumam Jenna.
Ia mencari-cari Hallie di antara keramaian, tapi sahabatnya itu
telah menghilang. Dengan frustrasi, ia berpaling ke satu arah, lalu ke
arah lainnya. Ia menatap lumbung. Ia bisa melihat Rob, jauh tinggi di atas
atap. Rob, Frank Douglas, dan dua pria lain tengah sibuk memalu
balok di bagian paling atas.
Sebuah bayangan menimpa lumbung. Bayangan samar. Sangat
samar. Tapi kewaspadaan Jenna terpicu begitu melihatnya. Ia
menengadah ke langit. Tidak ada apa-apa. Tidak ada satu awan pun menghalangi
bentangan langit biru di atas.
Ia kembali memandang lumbungnya. Bayangan itu melilit
kerangka lumbung bagai seekor ular. Tapi tampaknya tidak ada orang
lain yang menyadarinya. Jenna menggeleng, berusaha mengingkari
perasaannya sendiri. Lalu lumbungnya bergetar.
Jenna maju selangkah, lalu berhenti. Matahari bersinar dengan
cerahnya. Semua orang tengah bercakap-cakap dan tertawa-tawa,
termasuk para pria yang bekerja di lumbung. Tak seorang pun melihat
bayang-bayang itu. Tak seorang pun menyadari getaran bangunan itu.
Sejenak, Jenna mengira ia telah kehilangan kewarasannya.
Lalu getaran yang lebih keras mengguncang kerangka lumbung.
Kali ini, beberapa pekerja juga menyadarinya. Beberapa orang yang
bekerja di atap memanggil rekan-rekannya, bertanya apakah mereka
merasakan sesuatu. "Tidak," bisik Jenna. Ia mendapat firasat kuat bahwa akan
terjadi bencana. Lumbung bergetar. Kali tak ragu lagi. Seluruh struktur bergetar
bagai seekor hewan berusaha menanggalkan kulitnya. Orang-orang
berpegangan mati-matian ke balok kayu. Kerangka itu bergoyang ke
satu sisi, lalu ke sisi lain.
Rob kehilangan pegangannya. Ia menggantung dengan satu
tangan, terayun hebat setiap kali lumbung bergetar. Kayu-kayu
berderit dan mengerang saat mendapat tekanan melebihi batasnya.
"Bertahanlah!" seru Jenna. "Rob, bertahanlah!"
Rob tidak mungkin bisa mendengar suaranya dalam keramaian.
Tapi sejenak ia memandang lurus ke arah Jenna, seakan mampu
membaca pikirannya. Lalu Jenna melihat pegangan tangan Rob terlepas.
Dan ia hanya bisa menonton saat pemuda itu jatuh.
BAB 10 "ROB!" seru Jenna. "Oh, tidak!"
Ia berlari ke arah lumbung yang bergoyang-goyang itu dan
mendengar balok-balok kayunya berderit dan berderak-derak. Orangorang menjerit-jerit sambil berpegangan pada struktur yang mulai
runtuh itu. Lalu seluruh kerangka runtuh. Balok-balok kayu patah menjadi
dua bagaikan tusuk gigi. Serpihan kayu beterbangan ke segala arah
saat lumbung menghantam tanah dengan suara keras. Awan debu tebal
mengepul, menghamburkan serpihan kulit gandum ke wajah-wajah
penonton yang ketakutan. Bau pinus menusuk udara.
Jantung Jenna berdetak begitu keras sehingga ia mengira
jantungnya akan keluar dari dadanya. Ia bisa mendengar eranganerangan dari bawah reruntuhan. Seorang pria menjerit, suaranya tajam
melengking mencabik-cabik saraf Jenna hingga ia nyaris ikut menjerit
bersamanya. Ia tidak akan berguna bagi Rob atau yang lainnya kalau panik.
Setelah menghela napas dalam-dalam, ia menenangkan diri.
"Rob?" panggilnya saat tiba di reruntuhan. "Rob, kau bisa
mendengarku?" Pemuda itu tidak menjawab.
Orang-orang lain mulai berdatangan untuk membantu. Jenna
bekerja bersama para penolong, menyingkirkan papan-papan untuk
membebaskan orang-orang yang terjebak. Ada beberapa yang
menderita patah tulang dan lebih banyak lagi yang tergores dan
memar-memar, tapi tampaknya semua cukup beruntung.
Jenna akan lega... kalau sudah menemukan Rob. Tapi ia tidak
melihat pemuda itu di mana pun.
"Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya," gumamnya.
"Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya."
Ia mengatakannya berulang-ulang, seakan-akan dengan begitu
hal tersebut bisa menjadi kenyataan.
"Jenna!" Jenna mengenali suara Hallie dan berpaling. Sahabatnya tengah
menerobos reruntuhan. Wajahnya kotor, dan gaunnya robek.
"Kau baik-baik saja?" tanya Hallie. Sepertinya ia telah kembali
seperti dulu, sekalipun matanya masih bersinar aneh.
Jenna mengangguk. "Kau?"
"Aku baik. Kau sudah menemukan Rob?"
"Belum," jawab Jenna. Entah bagaimana ia berhasil mencegah
suaranya sehingga tidak gemetar. "Kupikir dia ada di bawah sana." Ia
menunjuk ke bagian utama reruntuhan.
"Oh, Jenna." Kedua gadis itu saling pandang sejenak. Lalu mereka mulai
bekerja. Hallie tak pernah berhenti dan mengeluh. Jenna melupakan
semua yang dikatakan temannya tadi. Ia merasa yang terpenting
adalah sahabatnya datang membantunya saat ia paling
membutuhkannya. Lalu Jenna melihat sepotong kain, terpendam di bawah
tumpukan serpihan kayu. Kain biru pucat, seperti kemeja Rob. Ia
menemukan sebuah papan panjang yang terasa stabil dan merayap
sepanjang papan itu agar bisa melihat dengan lebih baik.
Apakah Rob ada di bawah sana" Apa dia masih hidup"
"Hati-hati!" seru Hallie.
Papan di bawahnya bergeser, dan Jenna merasa dirinya jatuh ke
samping, ke atas reruntuhan. Ia berpegangan pada kayunya dan tak
bergerak sama sekali. Jantungnya berdetak liar. Akhirnya, ia
merasakan balok itu kembali mantap. Ia mulai merayap lagi.
Setelah merayap sejauh keberaniannya, ia mengintip ke arah
reruntuhan. Ia melihat kepala berambut hitam dan tepi sehelai kemeja.
Rob! Mata pemuda itu terpejam. Jenna tidak bisa melihat ke
dadanya untuk memastikan pemuda itu masih bernapas atau tidak.
Sebatang balok tebal melintang di atas tubuh pemuda itu,
menjepitnya. "Rob?" seru Jenna.
Ia menatap wajah Rob. Pemuda itu bergeming sedikit pun.
Kelopak matanya pun tidak bergerak. Lalu Rob membuka mata dan
menatap lurus ke arah Jenna.
"Jenna!" serunya dengan suara tertahan. Ia terbatuk dan kembali
memejamkan mata. Jenna tersentak lega. "Kau baik-baik saja" Kau bisa bergerak?"
"Kurasa aku baik-baik saja," kata Rob sambil mengerang. "Tapi
aku tidak bisa bergerak. Balok ini terlalu berat. Lenganku terjepit."
Jenna berpaling memandang Hallie. "Cari bantuan. Cepat!"
Ia berpaling kembali kepada Rob. "Semuanya akan beres,"
katanya berjanji. "Bantuan akan datang. Bertahanlah."
"Kucoba, Jenna," jawab Rob.
Jenna melihat beberapa orang berlari-lari ke arahnya. "Sebelah
sini!" teriaknya sambil melambaikan tangan. "Cepat!"
Sewaktu orang-orang itu tiba di sana, mereka bergegas
menyingkirkan kepingan-kepingan papan yang lebih kecil. Lalu
mereka menyelipkan sebatang balok di bawah balok besar yang
menjepit Rob. "Sewaktu kami angkat baloknya, young lady, kau tarik dia
keluar," kata salah seorang di antaranya. "Kau bisa melakukannya?"
"Tentu saja aku bisa," kata Jenna kepadanya.
Pria itu mengangguk. "Baiklah, man. Bersama-sama
semuanya." jenna mendengar mereka mendengus bersusah payah, berusaha
menekan baloknya. Balok besarnya berderak dan bergetar. Lalu
terangkat. Dua senti. Lima. Lepas dari dada Rob. Rob tersentak
kesakitan. Balok itu terangkat semakin tinggi. Dengan menyelipkan tangan
di bawah ketiaknya, Jenna menarik Rob keluar dari bawah balok.
Begitu pemuda itu terbebas, ia berseru kepada orang-orang yang lain.
Mereka menurunkan baloknya kembali.
"Trims," gumam Rob, sambil memegangi salah satu lengannya
di dada. Jenna berlutut di sampingnya. "Kau terluka!"
"Kurasa hanya beberapa rusuk retak," kata Rob memprotes.
Tatapannya melayang ke balok. "Sekarang ini, aku merasa sangat
beruntung." "Kau memang beruntung," kata salah satu pria yang
menolongnya. "Ayo kita keluarkan kau dari sini agar bisa diperiksa
dokter." Rob mengangguk. Lalu berpaling memandang Jenna dan
meraih tangannya. "Terima kasih. Aku berutang budi padamu karena
sudah menyelamatkan nyawaku, dan aku selalu membayar utangku."
Wajah Jenna memerah. "Aku tidak melakukan apa pun."
"Tidak." Rob tersenyum. Lalu senyumnya menghilang
digantikan seringai kesakitan.
"Pergilah, agar kau bisa dirawat," kata Jenna kepadanya.
Dua pria mengangkat Rob dan membawanya pergi. Jenna
bangkit berdiri dan membersihkan roknya sebisa mungkin. Saat
melakukannya, ia melihat sesuatu di bawah tumpukan kayu.
Tangan. "Lihat!" jeritnya, sambil menunjuk.
Orang-orang kembali beraksi. Seluruh bagian kerangka telah
runtuh menjadi satu dan mereka harus menyingkirkannya. Akhirnya,
mereka berhasil mencapai orang yang terjebak itu.
Dia Frank Douglas. Dia tergeletak menelentang, lenganlengannya terpentang lebar. Matanya menatap kosong ke atas.
Sebatang balok lima kali sepuluh sentimeter telah menembus
dadanya. Serpihan daging dan tulang menciprati balok itu. Genangan
darah mengelilingi mayat Frank. Jenna menatap, terlalu takut untuk
bisa bergerak. Darahnya melebar, membasahi setiap papan yang
dilewatinya. Jenna mencoba untuk mengalihkan pandangannya, tapi tidak
bisa. Genangan darah itu semakin lebar. Ia sulit percaya bahwa tubuh
manusia bisa mengandung darah sebanyak itu. Ia melihat genangan
kemerahan itu semakin lama merayap semakin dekat. Sesaat lagi,
darah itu akan mencapai sepatuku, ia tersadar.
Sambil menjerit tertahan, Jenna melompat mundur. Ia menutupi
mulut dengan kedua tangannya.
"Oh," katanya dengan napas tersentak. "Oh, oh, oh!"
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jenna mendengar seseorang tertawa. Ia langsung mengenali
tawa melengking itu. Seluruh bulu tubuhnya meremang ketakutan saat
ia berpaling memandang Hallie.
Temannya itu berdiri di atas mayat Frank. Darah telah meresap
ke tepi-tepi gaunnya, menodainya dengan warna merah. Air mata
mengalir turun di pipinya. Mata birunya berkilau liar.
Hallie berdiri di atas mayat dan tertawa-tawa.
Kepalanya tersentak ke belakang dan rambut pirangnya terlepas
dari jepitnya, tergerai ke bahunya.
"Aku menginginkannya terjadi, dan berhasil," katanya sambil
terus tertawa. "Berhasil." BAB 11 "HALLIE!" jerit Jenna. "Ada apa denganmu?"
Hallie masih terus tertawa. Sepertinya ia tak bisa berhenti. Ia
jatuh berlutut dan menekankan tangannya ke pipi, tertawa dan terus
tertawa. Kerumunan orang-orang mulai menatapnya seakan-akan ia
sudah gila. Jenna tak tahan lagi. Ia menyambar bahu temannya dan
mengguncangnya sekuat tenaga. Hallie tersentak. Lalu tawanya
berubah menjadi isak tangis. Air mata membanjiri pipinya. Air
matanya mengalir masuk ke mulutnya yang ternganga. Hallie
memalingkan wajahnya dan menekankannya ke gaun Jenna. Jenna
memeluk kepalanya dan mengusap-usap rambutnya.
"Tidak apa-apa, Hallie. Tidak apa-apa," gumamnya. Jenna
memandang ke sekelilingnya, merasa tidak berdaya. Ia tak tahu apa
lagi yang harus dilakukannya.
Mr. Sheridan bergegas mendekati mereka.
"Dia terlalu tegang," katanya kepada Jenna. Ia menarik Hallie
ke dalam pelukannya dan membawanya pergi menjauhi reruntuhan.
"Ayo, Jenna. Kita harus membawanya pulang."
Ibu Hallie menggabungkan diri dengan mereka di kereta dan
memeluk Hallie sepanjang perjalanan pulang. Tidak lama kemudian
Hallie berhenti menangis, tapi ia menatap lurus ke depan dengan
pandangan kosong yang membuat Jenna merasa tidak nyaman.
Begitu mereka tiba di rumah, Mrs. Sheridan membimbing
putrinya ke ranjang. Jenna mengikuti. Ia mengawasi Hallie tertidur
nyenyak begitu menelentang di ranjang.
"Apa dia akan pulih?" bisik Jenna.
Mrs. Sheridan berpaling kepadanya. "Jangan khawatir, Sayang.
Dia akan pulih begitu bisa tidur."
"Anda tak keberatan kalau dia kutemani?" tanya Jenna.
"Itu gagasan yang bagus, Jenna. Aku tahu dia akan senang
kalau melihatmu di sini saat bangun nanti," kata ibu Hallie.
Ia mengelus rambut putrinya dengan lembut, lalu berbalik ke
pintu. "Mrs. Sheridan?" seru Jenna.
Ibu Hallie berputar balik. "Ya, Jenna?"
"Apa Anda kebetulan melihat... bayang-bayang yang menutupi
lumbung sebelum strukturnya runtuh?"
"Bayang-bayang?" ulang Mrs. Sheridan, sambil mengerutkan
kening. "Tidak. Tak seorang pun melihat bayang-bayang. Jenna
sayang... kau tidak apa-apa, bukan?"
"Tidak, Ma'am."
"Mungkin sebaiknya kau berbaring..."
"Aku tidak apa-apa, sungguh," kata Jenna bersikeras.
Mrs. Sheridan ragu-ragu. Lalu ia mengangguk. "Baiklah. Tapi
kalau kau merasa aneh, katakan padaku secepat mungkin."
"Aku baik-baik saja," kata Jenna sekali lagi.
Mrs. Sheridan mengamatinya dengan lebih teliti. Lalu ia
tersenyum lembut dan kembali berbalik. Jenna duduk di ranjangnya
sendiri sambil membawa buku. Kamar terasa sunyi kecuali bunyi
napas lembut Hallie yang teratur.
Jenna membaca paragraf yang sama beberapa kali, lalu
meletakkan bukunya. Ia tidak bisa memusatkan perhatian. Bayangan
akan kecelakaan yang mengerikan itu melintas dalam benaknya
berulang-ulang. Suara Hallie terus menggema dalam benaknya. Aku
menginginkannya terjadi, dan berhasil.
Dan bayang-bayang itu. Kenapa tidak ada orang lain yang
melihatnya" Jenna tidak akan menyinggung tentang bayang-bayang itu lagi.
Tidak sesudah melihat reaksi Mrs. Sheridan. Orang-orang mungkin
akan mulai menganggap ia sinting. Tapi ia telah melihatnya. Dan
bayang-bayang itu berperan dalam keruntuhan lumbung, ia yakin akan
hal itu. Tapi yang lebih penting lagi, ada apa dengan Hallie"
"Ohhhh," Hallie mengerang lembut.
Jenna beranjak bangkit untuk memeriksanya. Hallie kembali
mengerang. Lalu ia mengesampingkan selimutnya dan mengayunkan
kakinya turun dari ranjang. Ia hendak bangkit berdiri, Jenna tersadar.
Tapi mata Hallie tetap terpejam.
"Hallie!" seru Jenna, bergegas mendekati sahabatnya.
Begitu ia menyentuh Hallie, sahabatnya itu merosot kembali ke
ranjang. Jenna mendengar napasnya melambat. Jenna mengawasinya
sejenak. Apakah sebaiknya ia memanggil Mrs. Sheridan" Jenna
memutuskan untuk tidak melakukannya. Mungkin Hallie hanya
bermimpi. Sepenuhnya wajar dalam keadaan seperti itu.
"Ayo masuk ke dalam selimut lagi," gumam Jenna.
Ia mengangkat kaki Hallie kembali ke ranjang dan menarik
selimut tipis hingga menutupi tubuhnya. Saat ia menyelipkan tepi-tepi
selimut di sekeliling bahu Hallie, Jenna menyadari ada bercak hitam
di dada temannya. Jenna membungkuk dan mengamati noda itu.
Ia tersentak. Memar yang mengerikan menandai kulit dada
Hallie, tepat di bawah ceruk tenggorokannya. Memar yang
menakutkan, berwarna ungu tua yang begitu gelap hingga hampirhampir hitam. Leontin emasnya berkilau menimpa memar itu.
Benak Jenna berputar saat ia menatap memar itu.
Berbentuk hati. Berukuran dan berbentuk tepat sama dengan leontin emas
Hannah Fear. BAB 12 JENNA menggigiti bibirnya dengan khawatir. Ia
mengesampingkan kerah berenda gaun Hallie dan menatap memar
yang menjijikkan itu. Kalungnya. Begitu dia mengenakan kalung itu, Hallie mulai bersikap aneh.
Mungkinkah kalung itu memiliki kekuatan tersembunyi" Apakah
kekuatan itu sudah menguasai Hallie dan entah bagaimana
memaksanya bersikap seaneh itu"
"Itu gila," gumam Jenna.
Tapi apa benar" Bagaimana dengan gelang kristalnya" Jenna penasaran.
Bagaimana kalau aku terus mengenakannya, seperti Hallie terus
mengenakan kalungnya"
Ia menuju ke lemari laci dan membuka laci teratas. Butir-butir
kristal jernih gelang itu berkilauan.
Gelang Julia. Jenna tak ingin menyentuhnya. Ia tak ingin mengambilnya. Tapi
tangannya terulur, seakan-akan ia telah kehilangan kendali atas
tubuhnya. Jemarinya meraih gelang itu dan meletakkannya di
telapaknya. Butir-butir kristalnya terasa hangat di kulitnya. Hangat dan
berdenyut, seakan punya kehidupan sendiri.
"Hanya imajinasiku saja," gumam Jenna.
Ia melirik keluar jendela. Matahari bersinar cerah di langit yang
tidak berawan. Jenna merasa belum pernah melihat hari yang lebih
indah lagi. Itu yang nyata, katanya sendiri. Bukan perhiasaan
bermantra atau makam berhantu.
Pemandangan itu menyebabkan ia merasa lebih baik. Lebih
tenang. Lalu Jenna menunduk memandang tangannya. Napasnya
tercekat di tenggorokannya. Entah bagaimana, sewaktu ia menatap
keluar jendela, kedua tangannya sibuk.
Kedua tangannya sendiri. Keduanya telah membuka pengait
emasnya dan telah memasangkan gelang itu di pergelangannya.
Sambil menggigil, ia membuang gelang itu sejauh-jauhnya.
Gelang itu mendarat di lantai kayu diiringi suara berdenting. Gelang
itu berkilau tertimpa cahaya matahari, menggodanya untuk meraihnya
kembali. Jenna tahu ia tak boleh melakukannya.
"Sekarang menyingkirkan masalahmu, Hallie," bisiknya.
Sambil menghela napas dalam-dalam, ia kembali ke ranjang.
Leontin emasnya memantulkan cahaya matahari berwarna kuning
mentega. Saat Jenna menunduk menatap leontin itu, cahaya matahari
bagai bergeser, menyorot ke matanya. Ia mengerjapkan mata,
memaksa diri untuk memalingkan wajahnya.
Jenna tidak ingin menyentuhnya. Tapi terpaksa, demi
keselamatan Hallie. Ia memicingkan mata memandang cahaya yang menyilaukan itu
dan mengulurkan tangan ke arah leontinnya. Saat ujung jemarinya
menyentuh leontin itu, ia tersentak dan menyentakkan tangannya
menjauh. Panas memancar dari logam itu, menyengat ujung
jemarinya. Jenna mengertakkan gigi, mengulurkan tangan sekali lagi, dan
memaksa diri mengabaikan perasaan terbakar saat ia mencengkeram
leontin hati emas itu. Ia menarik-narik leontinnya agar bisa
memindahkan pengait ke bagian depan tempat ia bisa meraihnya.
Akhirnya, Jenna berhasil memegang pengaitnya. Tapi tak
peduli sekeras apa pun ia berusaha, ia tidak bisa membukanya.
Rasanya seperti kedua pengait itu telah menyatu. Ia mencoba
menanggalkan kalung Hallie melalui kepalanya. Tapi rantainya tidak
cukup panjang. Jenna sadar ia harus memutuskan rantainya.
Setelah melilitkannya di jarinya, ia mulai menarik kalung itu.
Semakin lama semakin keras.
Hallie merintih. Jenna mengeratkan cengkeramannya pada rantai. Hallie
mengerang, erangan dalam yang menyebabkan cengkeraman Jenna
mengendur sesaat. Lalu Hallie mengeleng-gelengkan kepalanya dari
sisi ke sisi. Jenna menatap sahabatnya sementara wajah Hallie
berkerut kesakitan. Mustahil, pikir Jenna. Seharusnya tidak sakit. Tidak mungkin
sakit. Dan meskipun sakit, ia tetap harus melepaskan kalung ini dari
leher Hallie. Jenna percaya keselamatan Hallie tergantung padanya.
Jenna menghela napas dalam-dalam dan mencengkeram
rantainya semakin erat. Ia menariknya sekuat tenaga.
Kepala Hallie tidak bergerak di bantalnya. Jenna mengawasinya
dan melihat dua tetes air mata dari sudut mata Hallie. Tapi air mata itu
tampak aneh. Gelap. Merah. Air mata itu mengalir keluar dari mata
Hallie dan menuruni pipinya, menetes ke rambut pirangnya.
Membuatnya berwarna merah.
Sambil tersentak ngeri, Jenna menjatuhkan rantainya dan
terhuyung-huyung mundur. Ia menunduk menatap Hallie. Wajah
Hallie telah kembali normal. Senyum kecil yang damai melengkung di
bibirnya yang tipis. Jenna menatap dua berkas merah di rambut temannya. Tidak, ia
bukan hanya membayangkan saja.
Jenna merasa mulutnya kering. Lututnya gemetar dan ia duduk
di tepi ranjangnya sendiri, menatap Hallie.
Ia terdorong untuk memanggil ibu Hallie. Tapi ia tak bisa
mengeluarkan suara apa pun.
Jenna menghela napas dalam-dalam. Mrs. Sheridan tidak
percaya saat ia menceritakan tentang bayang-bayang itu. Ia juga tidak
akan memahami kejadian ini.
Hanya satu orang di Shadyside yang mungkin mempercayai
ceritanya. Dan berusaha membantunya.
Rob. Ia harus menemukan pemuda itu.
*********** Jenna menyelinap keluar dari pintu depan rumah keluarga
Sheridan dan melesat melintasi halaman rumput sebelum ada yang
melihat kepergiannya. Di jalan, ia melihat awan kelabu tebal yang
mulai berkumpul di langit.
Jenna bergegas melangkah ke rumah keluarga Fear. Angin
sejuk dan basah melecut rambut di sekitar wajahnya. Ia tahu hujan
akan segera turun. "Tepat seperti yang kubutuhkan," gumamnya. Setelah berlarilari, Jenna bergegas tiba di jalan tempat keluarga Fear tinggal.
Ia berjalan hingga tiba di jalur masuk yang meliuk menuju ke
rumah keluarga Fear. Ia berhenti, menunduk menatap dua garis dari
bebatuan yang dihancurkan itu. Jalur masuk itu tampak bahkan lebih
gelap dan lebih menakutkan saat cuaca berawan.
Ia tidak ingin menemui keluarga Fear. Tidak sekarang. Tidak
selamanya. Jadi ia berjalan ke bagian belakang rumah, melewati
rerumputan tinggi di tepi lahan rumah itu. Rob sudah memberitahu
bahwa ia tinggal di rumah tukang kebun. Pasti ada di sekitar sini, kata
Jenna meyakinkan dirinya sendiri.
Ia berbalik dan memandang rumah induk kembali. Sebuah
jendela terbuka di lantai dua memandangnya bagai raksasa bermata
satu. Jendela kamar tidur Julia Fear, pikir Jenna.
Ia terus memandang ke sana, merasa ada yang tengah
memperhatikannya. Perasaan tidak nyaman yang mengganggunya.
Mungkinkah ada orang di jendela itu yang tengah mengawasinya"
Jenna berdiri diam sejenak dan memandang ke sana.
"Halo, Jenna." Jenna membeku. Kakinya melemah, tubuhnya hampir-hampir
merosot. Perlahan-lahan, ia berbalik dan memandang Angelica Fear.
BAB 13 ANGELICA mengenakan gaun putih panjang serta syal yang
berkibar sehingga tampak seakan memancarkan cahaya dalam suasana
yang remang-remang itu. Jenna menyadari adanya dedaunan dan
ranting-ranting yang menempel pada tepian gaunnya dan menebak
Angelica baru saja berjalan-jalan di hutan.
Angelica membawa sebuah keranjang di satu lengan dan Jenna
melihat ada tanaman mirip paku di dalamnya.
"Aku mengumpulkan jamur-jamur liar untuk makan malam,"
gumam Angelica, sambil memindahkan keranjang itu ke tangan yang
lain. "Aku senang kau datang berkunjung, Sayang," tambahnya sambil
tersenyum. "Aku, eh..." "Tapi kenapa kau tidak langsung ke rumah" Apa yang
kaulakukan berkeliaran di belakang sini?"
Jantung Jenna berdetak tak keruan. "Aku... aku mengetuk
pintunya, tapi tidak ada yang membukanya," katanya. "Kukira
mungkin Anda ada di kebun, jadi aku..."
"Di mana saudaramu?"
Jenna mengerjapkan mata. "Maksudmu sahabatku, Hallie?"
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, ya. Tentu saja." Sambil tertawa, Angelica melambaikan
tangannya yang penuh perhiasan. "Ya ampun, kurasa ingatanku mulai
melemah akhir-akhir ini. Tentu saja, maksudku sahabatmu. Ayo
masuk, ikut minum teh bersama kami."
Jenna tidak bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, berusaha
menemukan alasan untuk tidak masuk ke dalam rumah keluarga Fear
yang menakutkan itu sekali lagi. Angelica meraih lengannya dan
membalikkan tubuhnya ke arah rumah. Jenna merasakan jemari
Angelica yang kurus dan dingin menancap ke dalam dagingnya. Jenna
mengumpulkan kemauannya untuk tidak bergerak. Tapi kakinya
bergerak maju, mengalahkan keinginannya untuk bertahan.
Satu langkah yang tersendat.
Lalu langkah berikutnya. "Itu baru gadisku," gumam Angelica. "Hanya beberapa langkah
lagi. Kau tampaknya agak lelah, Sayang. Teh dan kue scone akan
menyegarkanmu," katanya berjanji.
Saat rumah semakin dekat, Jenna merasa perutnya melilit.
Kalau ia bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup, ia takkan pernah
mendekati tempat ini lagi.
"Apa keluarga Sheridan tahu kau kemari?" tanya Angelica.
"Oh, ya," kata Jenna berbohong. "Mereka mengharapkan
kepulanganku tidak lama lagi, jadi aku tidak bisa terlalu lama."
"Sayang sekali," gumam Angelica.
Saat mereka menaiki tangga batu menuju serambi, Simon
keluar dari pintu depan. Matanya yang hitam berkilauan di wajahnya.
Bibirnya yang tipis melengkung membentuk senyuman.
"Wah, tamu kita yang cantik datang lagi," katanya menyapa
Jenna. Ia menunduk memandang Jenna. Jenna menunduk, tidak ingin
membalas tatapannya. "Sahabatnya tidak bisa datang," kata Angelica kepadanya.
"Ah," gumam Simon. "Kenapa tidak?"
"Dia kurang enak badan," kata Jenna menjelaskan. "Dia sangat
jengkel hari ini..."
"Tidak enak badan" Jengkel?" seru Angelica. "Apa yang
terjadi?" Dengan terkejut, Jenna menatapnya. "Apa Rob tidak
memberitahu kalian?"
"Aku tidak tahu kau mengenal Robert," jawab Simon tajam.
Jenna merasa ingin menendang dirinya sendiri. Seharusnya ia
tak usah memberitahu mereka bahwa ia mengenal Rob. Ia
memutuskan untuk memperingan masalah itu.
"Aku bertemu dengannya tadi pagi, di acara pembangunan
lumbung," katanya kepada mereka. "Dia berkata bahwa dia bekerja
pada kalian, jadi kuanggap dia sudah menceritakan apa yang terjadi
kepada kalian." "Pembangunan lumbung apa?" tanya Simon.
Jenna mendengar nada dingin dan keras dalam suaranya.
"Kukira Rob ada di hutan sepanjang pagi. Memotong kayu
bakar." Jenna tiba-tiba merasa mual. Ia tidak bermaksud agar Rob
mendapat kesulitan dengan keluarga Fear. Kekuasaan apa yang
dimiliki mereka terhadap Rob" Rob mengaku bekerja pada mereka.
Apakah dia semacam budak"
"Eh"pembangunan lumbung di tanah pertanian Miller," jawab
Jenna. "Mungkin Rob lupa memberitahu kalian. Ada kecelakaan di
sana. Lumbungnya runtuh menimpa para pekerja."
"Mengerikan sekali," Simon mendesah dan menggeleng.
"Menakutkan," gumam Angelica. "Ayo kita minum teh di
dalam, kau bisa menceritakan kejadiannya."
Dengan jemari masih tetap melilit lengan Jenna, Angelica
melangkah ke ruang duduk. Tirai-tirainya masih tetap tertutup dan
bayang-bayang menggelapi setiap sudut ruangan.
Peralatan minum teh dari perak dan piring-piring keramik berisi
kue ada di atas kereta dorong kayu di samping sofa. Jenna tahu bahwa
ia takkan mampu menyantap apa pun.
Ia tak berani menyantap apa pun.
"Duduklah di sebelahku sini," perintah Angelica lembut. "Akan
kusiapkan sepiring kue untukmu."
Jenna duduk di ujung sofa, sejauh mungkin dari Angelica.
Simon duduk di kursi di hadapannya. Tatapannya terpaku kepada
Jenna. Jenna merasa seakan-akan Simon telah menyentuhnya dengan
jemari yang dingin dan lembap.
"Wah, Jenna, kau tidak mengenakan gelangmu," katanya.
Jenna merasa suara Simon terdengar waspada. Ia sadar bahwa
Angelica tersentak menengadah. Lalu menatap pergelangan tangan
Jenna yang telanjang. Jenna duduk tidak bergerak sama sekali. "Eh... tidak."
"Kau tidak menyukainya?" tanya Simon.
"Aku suka," kata Jenna memprotes. "Cantik sekali. Sungguh."
Angelica memberikan secangkir teh kepada Jenna. Jenna
merasa tangannya gemetar sewaktu ia menerima piring kecilnya. Ia
mendengar cangkir tehnya bergemeretak keras dan ia bergegas
meletakkan cangkir dan piring kecilnya di atas lutut. Ia menatap
Angelica untuk melihat apakah wanita itu menyadarinya.
Mata hijau Angelica berkilau dingin dan keras.
"Aku tersinggung kalau kau tidak menyukai gelang Julia,"
katanya kepada Jenna dengan suara lembut.
"Aku tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Anda,"
kata Jenna. "Gelangnya terlalu besar. Aku khawatir kalau sampai
hilang." Angelica dan Simon bertukar pandang. Mata cokelat yang
membara menatap mata hijau yang sama membaranya, dan Jenna
merasa bahwa mereka tengah berkomunikasi entah dengan cara
bagaimana. "Apa kalian tidak ingin mendengar tentang kecelakaannya?"
tanya Jenna, mati-matian berusaha mengalihkan percakapan.
Tatapan Angelica kembali terarah kepadanya. "Tentu saja,
Sayang," katanya. Jenna bergegas menceritakan kejadiannya. Ia hampir-hampir
menceritakan tentang awan gelap yang bergerak menutupi lumbung
sebelum bangunan itu runtuh. Tapi ia berhasil menahan diri. Ia tidak
yakin alasannya. Tapi ia tak ingin keluarga Fear tahu bahwa ia melihat
bayang-bayang aneh. Angelica dan Simon menatapnya dengan tajam saat ia
berbicara. "Apakah ada yang tewas?" tanya Angelica pelan.
Jenna takut mendengar pertanyaan itu. Bukan kata-katanya, tapi
ekspresi Angelica sewaktu menanyakannya. Seakan-akan ia senang
mendengar kematian orang lain. Simon mencondongkan tubuh untuk
mendengar jawabannya. Jenna menyadari ada kegairahan tertahan
yang sama di wajahnya. "Satu orang tewas," kata Jenna enggan.
"Bagaimana dia tewas?" tanya Simon.
Perut Jenna melilit dan bergolak. "A-apa maksud Anda?"
"Well, kau menggambarkan kejadiannya dengan begitu jelas
sampai sekarang, Sayang," potong Angelica. "Ceritakan tentang jiwa
malang yang sial ini. Apa karena jatuh" Mungkin lehernya patah?"
"Tidak, bukan lehernya," kata Jenna sambil menggeleng. "Eh,
dia... dia..." Ia memejamkan mata agar tidak melihat dua orang yang
tengah menatapnya dengan tajam. "Aku tidak ingin membicarakannya
lagi, kalau kalian tidak keberatan."
"Lihat padaku, Jenna," perintah Simon.
Suaranya lembut, bahkan ramah. Tapi Jenna bagai tertusuk
embusan angin musim dingin. Setelah membuka matanya, ia menatap
lurus ke mata Simon yang hitam. Ia merasa terjebak.
"Sekarang, katakan," kata Simon sekali lagi. "Bagaimana pria
itu tewas?" Jenna berjuang untuk menolak. Tapi rasanya suaranya memiliki
kehidupan sendiri. Dan suaranya ingin mematuhi Simon Fear.
"Dia tertembus papan," bisiknya.
"Di mana?" tanya Angelica.
"Di... di dadanya."
"Darahnya pasti banyak sekali," gumam Angelica.
Jenna merasa muak, teringat bagaimana genangan kemerahan
itu merayap ke arahnya. Ya. Darahnya sangat banyak. Tangannya
gemetar, dan sendoknya berdenting menghantam piring kecilnya.
Simon menatap istrinya. Ekspresi mereka tidak berubah, tapi
Jenna bisa merasakan perubahan di udara. Ketegangan mengisi
ruangan, perasaan penuh harap yang menggelitik saraf.
Mungkin karena badai yang mendekat, pikirnya.
Tapi, mungkin juga bukan.
Aku harus pergi dari sini, kata Jenna sendiri. Aku harus
menemui Rob dan bercerita tentang Hallie. Jenna meletakkan
cangkirnya dan beranjak bangkit dari sofa.
"Jangan pergi dulu," kata Simon tajam.
Sebagian dari diri Jenna ingin patuh, kembali duduk dan
menunggu Simon mengatakan apa pun yang ada dalam pikirannya.
Tapi lalu ia teringat pada Hallie. Ia harus menyelamatkan Hallie.
Ia tidak tahu dari mana asal kekuatannya, tapi ia berhasil
memaksa dirinya tetap berdiri. Ia bahkan membalas tatapan Simon.
"Maaf," katanya dengan sopan. "Aku sudah memberitahu
keluarga Sheridan bahwa aku akan kembali dalam satu jam, dan
sekarang aku sudah terlambat. Aku harus pergi. Aku tidak ingin
mereka merasa khawatir."
Mata Simon menyipit. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa
pun, Angelica telah berdeham.
"Simon sayang, kita jangan menahan tamu kita yang masih
muda dan cantik ini lebih lama lagi," katanya.
"Kau benar," kata Simon sambil bangkit berdiri. "Sayang sekali
kita tidak bisa bercakap-cakap lebih lama lagi, Jenna," tambahnya,
sambil menunduk menatap jenna. "Lain kali kita akan mengobrol
lebih lama lagi. Aku berjanji," tambahnya.
Kengerian tercekat dalam tenggorokan Jenna. Ia tidak berniat
untuk kembali kemari. Selamanya. Tapi Simon Fear terdengar begitu
yakin. Seakan-akan ia bisa memaksa Jenna kembali tidak peduli apa
yang diinginkannya. Jenna bergegas mengucapkan terima kasih untuk tehnya, lalu
beranjak hendak pergi. Ia lega Simon tidak menemaninya. Angelica
mengikutinya, sambil berceloteh tentang cuaca dalam perjalanan ke
pintu depan. "Senang sekali bertemu denganmu lagi, Jenna," kata Angelica,
sambil menahan pintu depan agar tetap terbuka untuk tamunya. "Lain
kali, ajak sahabatmu Hallie kemari."
Jenna bergegas menuruni tangga batu secepat mungkin tanpa
berlari. Kalau Angelica tidak mengawasi, ia pasti sudah melesat
secepat kilat ke jalan. "Datang lagi secepatnya, Julia!" seru Angelica.
Jenna seketika menghentikan langkahnya. Perlahan-lahan, ia
berbalik menghadap Angelica. Tiba-tiba ia merasa kedinginan, seakan
ada yang mengganti darahnya dengan air es.
"Maksud Anda Jenna, bukan, Mrs. Fear?" tanyanya.
"Itu yang kukatakan, Sayang," jawab Angelica.
Jenna mengamatinya sejenak. Lalu ia berbalik dan mulai
berjalan lagi. Kali ini lebih cepat. Ia tak sabar untuk pergi dari tempat
ini. Angelica mungkin saja mengira telah memanggilnya Jenna. Tapi
tidak. Ia menyebut Julia.
Ia sudah keliru menganggap Jenna sebagai Julia Fear.
Almarhumah putrinya. BAB 14 BENAK Jenna berputar liar. Angelica telah memanggilnya
Julia. Tak ada alasan untuk panik, katanya menenangkan diri.
Mungkin keluarga Fear hanya aneh. Mungkin kewarasan mereka
sudah terganggu karena begitu berduka setelah kehilangan kedua putri
mereka. Tapi itu tidak menjelaskan tentang kalungnya.
Dan tidak menjelaskan tentang gelangnya.
Atau tentang Hallie yang malang.
Jenna bergegas melangkah menyusuri jalur masuk rumah
keluarga Fear yang panjang. Air mata mengaburkan pandangannya. Ia
menghapusnya dengan punggung tangan. Ia tak boleh patah semangat
sekarang. Ia tak bisa membiarkan dirinya patah semangat.
Tapi apa yang harus dilakukannya" Kalau ia mencoba
menceritakannya pada keluarga Sheridan, mereka mungkin akan
menyuruhnya berkemas-kemas dan pulang dengan kereta berikut.
Ia aman dari keluarga Fear.
Tapi bagaimana dengan Hallie"
Bagaimana dengan Rob"
Ia harus berbicara dengan Rob. Bahkan kalau pemuda itu tak
bisa membantunya, paling tidak ia bisa memperingatkannya tentang
keluarga Fear. Awan yang tampak marah memenuhi langit, membuat cuaca
jadi segelap malam. Jenna mendengar gemuruh guntur di kejauhan. Ia
mengangkat gaunnya dan berlari sepanjang tepi hutan.
Tetes-tetes pertama air hujan menghunjam dengan suara keras
di antara dedaunan. Jenna merasakan air hujan menghantam wajah
dan rambutnya. Meresap menembus pakaiannya.
Kilat merobek langit. Jenna mengernyit. Ia tak pernah menyukai
badai. Angin mengguncang dahan-dahan, dan hujan mulai turun
dengan deras sehingga ia hanya bisa melihat sejauh beberapa meter ke
depan. Kakinya menginjak genangan yang begitu dalam sehingga air
masuk melalui bagian atas sepatu bot semata kaki yang dikenakannya.
"Oh, tidak," gumam Jenna, sambil mengguncang satu kaki lalu
kaki yang lain. Kilat kembali menyambar. Dalam penerangan yang sekilas itu
ia melihat sosok gelap persegi tepat di depannya. Sebuah bangunan!
"Semoga itu pondok Rob," kata Jenna keras-keras.
Sambil mengangkat gaun dengan kedua tangannya, ia bergegas
melintasi rerumputan basah. Saat semakin dekat dengan bangunan itu,
ia melihat bangunan itu lebih tepat disebut gubuk daripada pondok.
Sebatang pohon ek raksasa tua menaunginya.
"Rob?" panggilnya, sambil mengetuk pintunya. "Rob, kau ada
di dalam" Ini Jenna."
Pintunya terayun membuka. Di dalam, satu-satunya ruangan
yang ada diselimuti keremangan. Jenna bisa melihat bentuk sebuah
meja dan jendela yang ditutup tirai.
Bau busuk melingkupinya. Jenna menutupi mulut dan
hidungnya dengan tangan. Uf, menjijikkan sekali! pikirnya. Bau
busuk tajam rnenyerang hidungnya dan Jenna menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. "Aku harus punya penerangan," katanya sambil tetap menekan
hidung dan mulutnya dengan tangan.
Jenna melangkah maju, menuju ke meja yang samar-samar
terlihat di tengah ruangan. Ia meraba-raba di sana, mencari lampu atau
lilin. Ia merasakan batang halus sebuah lilin, lalu menariknya
mendekat. Dengan meraba-raba, ia berhasil menemukan sekotak
korek. Ia menyalakan korek dan menyulut lilinnya. Cahaya yang
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkelap-kelip menebar saat lidah api lilinnya bergerak dan berkedip.
Jenna menengadah. Lalu menjerit. Sebuah wajah hilang-timbul di sudut ruangan yang remangremang.
Jenna tersentak dan melompat mundur. Dengan syok, ia
menyadari bahwa yang tengah menatapnya itu bukan sebuah wajah
sama sekali. Tapi tengkorak. Tengkorak manusia.
Jenna tiba-tiba merasa lemas. Ruangan mulai berputar dan
pandangannya kabur. Jenna merasa kakinya melemas dan ia
menyambar sandaran sebuah kursi.
Ia harus keluar dari sini. Ia menekan kening dengan tangannya.
Jenna menghela napas, tercekik bau busuk itu. Ia mengangkat
kepala dan menengadah. Tengkorak itu balas menatapnya dengan matanya yang kosong.
Gigi-gigi putih panjang berkilauan di rahang yang tidak
berdaging. Dengan lambat, mati rasa, bagai seseorang yang tengah
bermimpi, Jenna mengambil lilin dari meja dan terhuyung-huyung
menuju pintu. Api lilin yang bergoyang-goyang menerangi lebih banyak
bagian ruangan. Rak-rak berjajar di dinding-dindingnya, dan di setiap
rak terdapat tulang-belulang. Tulang lengan dan kaki, tulang tangan
tergeletak putih dengan latar belakang kayu.
Jenna berpaling ke satu arah, lalu ke arah lain. Lilin meneteskan
cairan panas ke tangannya, tapi ia tidak menyadarinya. Ia tidak
merasakan apa pun kecuali ketakutan.
Tulang-belulang. Tulang-belulang. Tulang-belulang di manamana. Ebukulawas.blogspot.com
Cerita itu! Cerita yang disampaikan Hallie di pemakaman pada
malam pertama. Julia dan Hannah Fear, mayat-mayat mereka
dimakamkan tanpa tulang. Tulang-belulang mereka berjalan-jalan....
"Tidak!" Jenna tersentak.
Ia berputar, lalu menghambur keluar dari gubuk itu. Lilinnya
berkedip-kedip lalu mati terkena air hujan. Ia membuangnya. Ia hanya
ingin menjauhi tempat yang menakutkan ini. Sekarang jelas, memang
tidak ada penjelasan yang masuk akal. Sekarang, ia tahu
kebenarannya. Keluarga Fear jahat. Benar-benar jahat. Ia harus menemui Rob. Untuk meminta bantuannya, ya. Tapi
juga untuk memperingatkan pemuda itu. Rob mungkin juga berada
dalam bahaya. Jenna melesat menyusuri jajaran pepohonan. Hujan
menghantam wajahnya. Semoga aku menemukannya, pikirnya panik.
Please! Akhirnya, ia melihat cahaya samar-samar di sela-sela
pepohonan di depannya. Lampu!
Cahaya kuning yang berkelap-kelip memberinya kekuatan
untuk terus maju sekalipun dengan terhuyung-huyung. Sambil
terengah-engah, Jenna melangkah ke sana. Tak lama kemudian ia
melihat sebuah bangunan lain di bawah cabang-cabang pepohonan
yang tengah diterpa hujan deras. Cahaya kuning itu terpancar dari
satu-satunya jendela yang ada.
Jenna mendekatinya dengan perlahan-lahan, siap untuk
melarikan diri setiap saat. Sambil menahan napas, ia mengintip ke
balik jendela. Lalu ia melihat Rob. Pemuda itu tengah duduk di
ranjang, bersandar ke tumpukan bantal. Dadanya terbungkus perban
putih. Wajahnya tampak agak pucat dan kosong, tapi selain itu, ia
tampak baik-baik saja. "Akhirnya," kata Jenna sambil mengembuskan napas.
Ia bergegas menuju pintu depan. Sewaktu menemukannya
terkunci, Jenna mengetuk keras-keras dengan tinjunya.
"Siapa?" seru Rob.
"Jenna," jawabnya. "Cepat, Rob. Izinkan aku masuk!"
Rasanya lama sekali sebelum pemuda itu membukakan pintu.
Begitu pintunya terayun membuka, Jenna bergegas masuk. Setelah
membanting pintu hingga menutup di belakangnya, ia segera
memasang selotnya. "Turunkan tirainya," katanya.
"Ada apa, Jenna?" tanya Rob.
"Tolong lakukan saja permintaanku."
Rob mematuhinya. Sekarang sesudah ia aman, Jenna mulai
gemetar. Ia malu ketika gigi-giginya mulai beradu. Suaranya terdengar
sangat keras di ruangan yang sunyi itu.
"Duduklah," kata Rob, sambil membimbingnya ke meja.
Jenna mengempaskan diri di kursi yang ditarik Rob untuknya.
Kakinya terasa lemas dan sakit. Rob membawakan secangkir air.
Jenna memegang cangkir itu dengan dua tangan dan menghirup isinya
dengan lega. Beberapa menit kemudian, ia merasa napasnya lebih tenang dan
detak jantungnya mulai mereda.
"Ada apa?" tanya Rob.
"Apa yang akan kukatakan kedengarannya luar biasa," sembur
Jenna. "Tapi aku bersumpah semuanya benar."
Ia menceritakan kisah tentang kematian gadis-gadis Fear
kepada Rob. Ia menceritakan tentang kalung Hannah Fear dan
perubahan sikap Hallie sejak mulai mengenakannya. Ia menceritakan
tentang memarnya, dan bayang-bayang yang menyelimuti lumbung.
"Ada gubuk di dekat sini," lanjut Jenna tanpa bernapas. "Penuh
tulang-belulang." "Tulang-belulang?" Rob mengerutkan kening. "Tapi aku sudah
menjelajahi setiap bangunan yang ada di sini, dan aku belum pernah
menemukan tulang satu pun."
Jenna menghela napas dalam-dalam. "Aku takut. Seumur hidup
belum pernah aku setakut ini."
"Kau sudah menyelamatkan nyawaku hari ini. Kau kira aku
akan membiarkan terjadi apa-apa denganmu?"
"Tapi..." "Aku berjanji," kata Rob. "Aku akan melindungimu, Jenna.
Kalau keluarga Fear memang jahat, mereka harus dihentikan. Besok
pagi-pagi sekali, aku akan mencari tahu. Keluarga Fear sudah jarang
memperhatikan kehadiranku. Akan kucari tahu apa yang sedang
terjadi," katanya berusaha untuk meyakinkan Jenna. "Segalanya
akan..." Suaranya mengambang. Sejenak, pandangannya berubah
kosong sepenuhnya. Kosong menakutkan. Mata Rob terpejam dan
wajahnya memucat. "Rob" Kau baik-baik saja?" tanya Jenna. Mungkin pemuda itu
terluka lebih parah dari yang diakuinya.
Rob mengejapkan matanya. Ia membuka mata dan tidak lagi
tampak pucat pasi. Ia tampak sama seperti Rob yang dikenal Jenna.
Meskipun begitu, suatu pemikiran yang dingin dan menakutkan
terlintas dalam benak Jenna. Ia belum pernah merasakan kesunyian
sehebat ini. "...beres," kata Rob mengakhiri kata-katanya, seakan ia tidak
berhenti sama sekali. Jenna bangkit berdiri. "Aku harus pulang sekarang," katanya
kepada Rob. "Keluarga Sheridan pasti sudah sangat khawatir
sekarang." Rob beranjak bangkit bersamanya. Lalu wajahnya mengernyit
kesakitan, dan ia merosot kembali ke kursinya. Kelelahan
mengaburkan matanya. "Kau bisa menemukan jalan pulang?"
"Tentu saja," kata Jenna berusaha meyakinkannya.
Ia meninggalkan pondok, menutup pintu di belakangnya.
Berbagai pertanyaan terlintas di benaknya saat ia berjalan memasuki
hutan. Angin menderu di sela-sela cabang pepohonan di atas
kepalanya. Lalu jenna mendengar suara yang telah menakut-nakutinya
dalam mimpi. Suara-suara yang dulu hanya dianggapnya imajinasi,
suara yang paling ditakutinya di dunia ini.
Suara sayap-sayap. Jenna menengadah, takut pada apa yang mungkin dilihatnya.
BAB 15 JENNA merapat ke batang pohon terdekat. Ia memicingkan
mata memandang kegelapan. Ia merasakan hujan menghantam
wajahnya dan mendengar irama napasnya sendiri yang kacau balau.
Lalu, ia mendengar suara lain. Sayap-sayap itu. Mengepakngepak. Mengepak-ngepak. Mengepak-ngepak. Semakin lama
semakin dekat seiring dengan detakan jantung Jenna.
Kali ini bukan burung hantu.
Pepohonan menjulang mengancam di atas kepalanya. Bahkan
awan hujan tampak menggantung rendah. Kabut bergulung-gulung
dari permukaan tanah, menyentuh kulit Jenna dengan sentuhannya
yang basah dan lengket. Suara sayap itu terus terdengar. Semakin dekat. Semakin dekat.
"Tidak," Jenna tergagap. "Tidak!"
Ia menghambur maju, melesat membabi buta di sela-seja
pepohonan. Setiap langkah mengguncangkan tulang-tulangnya yang
lelah. Setiap tarikan napas terasa bagai api dalam paru-parunya. Tapi
suara kepakan sayap itu terus mengikutinya. Di suatu tempat di langit
yang gelap. Menukik ke arahnya. Tepat di atas kepala.
Jenna terus herlari dan berlari, tidak berani menoleh ke atas atau
bahkan ke belakangnya. Gaunnya yang basah menempel di kakinya,
terasa berat dan menghalangi langkahnya. Sambil terisak-isak
ketakutan, ia berjuang untuk terus maju. Ia sama sekali tidak tahu ke
mana ia berlari. Menjauh. Itu yang penting.
Jenna melihat cahaya di depan dan berbelok ke sana. Mungkin
ia akan menemukan rumah. Mungkin tanpa sadar ia sudah berlari
langsung ke rumah keluarga Sheridan.
Sayap-sayap mengepak-ngepak di atas kepalanya.
Jenna terus lari maju sambil menjerit tertahan. Ia menerobos
sesemakan dan berguling-guling di lapangan. Makhluk itu akan
menangkapnya sekarang. Jenna memejamkan matanya rapat-rapat. Ia
merasakan ada bayang-bayang hitam raksasa yang menggerakkan
makhluk itu. Ia mendengar suara kepakan sayap-sayap raksasa.
Begitu dekat sekarang, Jenna bisa merasakan udara bergerak
karena kepakan makhluk itu.
Ia meringkuk rapat-rapat hingga menjadi bola kecil, saat
menyiapkan diri menghadapi kemungkinan yang terburuk. Ia sangat
ketakutan. Lalu suara itu berhenti. Jenna tetap tidak bergerak sejenak. Ia menghela napas dalamdalam. Tiba-tiba ia menyadari bahwa dirinya tidak terluka.
Tidak terusik. Tapi makhluk itu tadi telah berhasil menangkapnya! Makhluk
itu bisa menyerangnya setiap saat. Apakah makhluk itu berlalu begitu
saja" Dengan ragu-ragu, perlahan-lahan ia membuka matanya.
Lalu ia menyadari alasan dirinya dibiarkan begitu saja.
Ia tidak berbaring di lapangan. Ia belum tiba di rumah keluarga
Sheridan. Atau di tempat lainnya.
Ia berhenti di pemakaman.
Di depan mausoleum keluarga Fear.
Jenna tidak melarikan diri ke tempat yang aman. Ia berlari
langsung ke dalam bahaya. Tidak, pikirnya saat keputusasaan
meremas hatinya, ia diarahkan kemari.
Detik-detik berlalu dengan begitu lambatnya. Akhirnya, Jenna
memberanikan diri untuk bergerak. Perlahan-lahan, dengan raguragu, ia beranjak bangkit.
Ia melirik ke belakangnya ke arah gerbang pemakaman.
Mungkin ia bisa mencapainya sebelum...
Krak! Jantung Jenna bagai berhenti berdetak. Suara itu!
Kedengarannya seperti batu bergeser menghantam batu lain.
Kengerian mencekam Jenna, lebih gelap dan lebih kuat dari apa pun
yang pernah dirasakannya sebelum ini. Ia merapat kepohon terdekat.
Menempelkan pipinya ke kulit pohon yang kasar dan basah.
Krak! Ia berusaha untuk tidak memandang malaikat batu yang
bertengger di atas mausoleum. Tapi ia tidak mampu menahan diri
untuk tidak memandang ke sana.
Tetes-tetes air berjatuhan dari sayap-sayap malaikat itu. Setiap
tetesnya mengilat bagaikan berlian biru-putih yang memancarkan
cahaya yang tidak alamiah.
Jenna menekankan dirinya semakin erat ke batang pohon. Lalu
ia merasakan perubahan pada kulit pohon yang disentuhnya. Batang
pohon itu lebih dari sekadar basah. Batang pohon itu licin. Jenna
menjauhkan diri dan menggosok tangannya. Saat itulah ia melihat
noda kemerahan di seluruh telapak tangannya. Lalu, tepat di depan
matanya yang membelalak ngeri, cairan licin dan hangat meresap
keluar lebih banyak lagi dari retakan-retakan di kulit pohon itu.
Jenna menunduk, dan melihat ratusan noda kemerahan mungil
di gaunnya. Secara otomatis ia menengadah. Tetes-tetes kemerahan
semakin banyak. Jatuh ke dalam mulutnya, rasanya seperti tembaga
dan menjijikkan. Jenna menggosok mulutnya dengan lengan gaunnya. Lalu tibatiba ia tersadar.
Pohon-pohon itu mengucurkan darah!
BAB 16 JENNA bergegas mundur menjauhi pohon. Darah menciprati
gaunnya, wajahnya, lengannya. Ia ingin menjerit. Tapi sebaliknya, ia
justru menekankan kedua tangan di mulut.
Kalau ia bersuara, seseorang... sesuatu mungkin akan
mendengarnya. Udara terasa berat, kilat bisa menyambar setiap saat.
Tapi kilat tidak pernah mengisi udara dengan energi
semenakutkan ini. Secara naluriah Jenna tahu.
Ada sesuatu yang lain tengah berkumpul di sini. Sesuatu yang
jahat dan buas. Jenna bisa merasakan kekuatan itu mengawasinya. Mengawasi.
Dan menunggu. Getaran kejahatannya berdenyut di udara.
Setiap saat, semakin kuat.
Ia mencoba melarikan diri, tapi kakinya terasa seperti berubah
menjadi kayu. Tidak bernyawa.
Ia tidak mampu bergerak. Ia melihat gerakan samar di dinding depan mausoleum.
Retakan. Saat benaknya berusaha mencari alasan yang logis bagi
semuanya, retakan itu melebar.
Tidak, bukan melebar, Jenna tersadar. Bertambah gelap.
Sesuatu yang pekat dan kemerahan membanjir keluar dari
retakan itu. Retakan-retakan lain bermunculan. Tetes-tetes cairan itu
semakin besar, dan bergabung menjadi aliran. Tak lama kemudian
dinding-dindingnya dibanjiri darah.
Darah. Darah menetes dari pepohonan, darah mengalir dari
mausoleum membentuk genangan hitam mengilat tepat di depan
pintu. Pantulan patung malaikat batunya berkilauan di sana.
Jenna berbalik, dan berlari ke gerbang. Ia melesat berliku-liku
di sela-sela batu nisan, terpeleset, meluncur, mencengkeram apa pun
yang bisa dipegangnya untuk mempertahankan keseimbangannya.
Di belakangnya, sesuatu bergemeresik.
Ia menoleh ke balik bahunya. Kabut telah membubung semakin
tinggi, hampir-hampir menutupi batu-batu nisan. Di bawahnya, di
sepanjang permukaan tanah, ada kabut yang lain.
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kabut hitam. Bayang-bayang.
Bayang-bayang itu memburunya. Jenna bisa melihat sulur-sulur
hitam bergulung-gulung di permukaan tanah, melahap jejak-jejak
kakinya. Gaunnya tersangkut sebatang cabang dan Jenna terjatuh. Ia
menghantam tanah dengan keras, wajah terlebih dulu.
"Tidak," ia tergagap. "Please, tidak!"
Ia bergegas bangkit, bertumpu pada tangan dan lututnya. Ia
melirik sekilas ke belakang dan melihat kabut hitam itu semakin
mendekatinya. Kabut itu mengambang melewati sebuah batu nisan
hanya beberapa meter jauhnya. Bau busuk yang tajam menusuk
menghambur ke arahnya. Jenna tercekik dan terbatuk-batuk, tapi
memaksa diri untuk merangkak maju. Sentimeter demi sentimeter.
Beberapa saat lagi kabut itu akan mencapainya. Menutupinya.
Melahapnya. Jenna terhuyung-huyung bangkit berdiri. Tapi saat ia mencoba
melangkah, ternyata ia masih tertahan cabang itu. Ia membungkuk,
dan berusaha membebaskan diri.
Tapi ujung-ujung jarinya tidak merasakan cabang pohon yang
memegangi gaunnya. Ia menyentuh sesuatu yang dingin dan sangat
halus. Jenna merasakan bulu-bulu kuduknya meremang.
Ia menarik-narik gaunnya dan akhirnya memandang ke bawah.
Dan melihat tulang tangan putih yang mencengkeramnya.
BAB 17 SAMBIL terisak-isak ketakutan, Jenna menyentakkan gaunnya.
Ia bisa melihat kabut hitam itu bergegas melayang mendekatinya.
Kengerian memuncak dalam dirinya. Dalam satu tarikan napas,
ia membebaskan diri dari tulang tangan itu dan menghambur mundur.
Sambil terengah-engah dan mencakari tanah lunak, Jenna
bergegas merangkak pergi. Ia lalu melompat berdiri dan berlari ke
arah gerbang pemakaman. Jenna tak mengetahui alasannya, tapi ia
yakin kalau ia bisa melewati gerbang itu, ia akan aman.
Gerbang pemakaman menjulang menakutkan di kabut. Embun
berkilauan di jerujinya dan menetes dari lengkungannya. Jenna
menghambur ke sana. Dari sudut matanya, ia melihat sebatang sulur
kabut hitam meliuk-liuk ke arahnya.
Untuk menyeretnya kembali.
Dengan putus asa, Jenna menerjang gerbang. Pintunya
terdobrak membuka. Ia melesat keluar, mendarat dengan keras di jalan
di luar pemakaman. Sambil terengah-engah, ia melompat bangkit dan
menutup gerbangnya. Tepat pada waktunya, pikir Jenna, saat kabut hitamnya
menggeliat-geliat tiba di gerbang. Jenna terhuyung mundur karena
tidak tahan bau busuk luar biasa kabut itu.
Bayang-bayang itu melayang dan menggeliat-geliat di gerbang.
Tapi tidak melewatinya. Ada penghalang tidak kasat mata yang
menahan mereka dalam pemakaman.
"Aku berhasil!" kata Jenna dengan napas terengah-engah,
hampir-hampir tidak mempercayai keberuntungannya.
Jenna berbalik, dan melangkah pulang.
Ia harus membantu Hallie.
************** Hujan mulai turun lagi, hujan berkepanjangan yang membuat
Jenna basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kilat
membelah awan. Jenna bergegas menuju ke belakang rumah keluarga
Sheridan, sangat ingin untuk masuk ke dalam sebelum badai kembali
menghantam. Tapi bahkan di tengah-tengah badai, segalanya di sini tampak
damai. Normal. Jenna nyaris tidak percaya bahwa kengerian
merajalela begitu dekat. "Tampaknya tidak ada yang mustahil di Shadyside," gumamnya
pelan. Ia hendak membuka pintu. Apa yang akan dikatakannya kepada
keluarga Sheridan" Jenna bertanya-tanya. Mereka pasti panik,
bertanya-tanya ke mana ia sudah menghilang.
Saat ragu-ragu di ambang pintu, Jenna melihat sesosok pucat,
menyelinap di sela-sela pepohonan di belakang rumah. Jantungnya
seolah berhenti berdetak.
Sejenak ia mengira akan melihat malaikat batu akan datang
dengan sayap terkembang dari hutan, dengan taring, cakar, dan
tatapan mata kosong. Kilat menyambar, dan Jenna melihat rambut pirang keriting
menutupi kepala sosok itu.
Hallie. Dengan hanya mengenakan gaun tidurnya, Hallie terhuyunghuyung melintasi halaman dalam badai.
Jenna berlari mendekatinya. "Hallie!" serunya.
Mungkin ia berjalan dalam tidurnya, pikir Jenna. Tapi
pemikiran yang lebih buruk melintas dalam benaknya: Atau mungkin
keluarga Fear memanggilnya.
Sahabatnya itu menoleh sekilas ke belakang. Lalu mulai berlari.
Dengan hanya mengenakan gaun putih panjang, Hallie tampak seperti
hantu menyelinap di sela-sela pepohonan.
"Hallie!" seru Jenna sekali lagi. "Tunggu aku!"
Hujan turun dengan deras sekarang, hampir-hampir
membutakan Jenna. Ia memaksa diri untuk mengejar Hallie. Ia muak
karena ngeri saat menyadari tujuan Hallie.
Pemakaman. "Tidak, Hallie!" teriak Jenna. "Kau jangan ke sana. Berhenti!
Dengarkan aku. Hallieee!"
Angin meredam kata-kata Jenna. Hallie bagai terbang di
depannya, seakan telah menjadi bagian dari badai.
Jenna mendengar kilat raksasa berderak di atas kepalanya dan
dalam kilasan cahaya yang singkat itu, ia melihat gerbang
pemakaman. Bayang-bayang hitam itu telah hilang. Tapi Jenna tahu
bayang-bayang itu masih menanti. Mengawasi dan menanti, di dalam
pemakaman. Menanti Hallie, dan menanti dirinya.
"Tidak!" jeritnya.
Hallie tiba di gerbang. Setelah membuka selotnya, ia mulai
menarik gerbangnya. Jenna memaksakan diri untuk menyusulnya. Ia
mengempaskan tubuhnya ke gerbang, menutupnya kembali.
Hallie berbalik menghadapinya. Jenna melihat tatapan Hallie
kosong, sahabatnya itu tidak mengenalinya. Tak ada emosi apa pun di
matanya. Jenna menatapnya. "Hallie," katanya sambil terengah-engah.
"Kau bisa mendengarku?"
Hallie menatap Jenna, mata birunya membelalak dan berkacakaca.
"Hallie?" bisik Jenna. Jenna melihatnya mengedipkan mata.
Apakah Hallie mendengarnya" Apa dia sadar kembali"
Lalu Hallie mengangkat lengannya dan menerjang Jenna.
Menancapkan satu tangan di kepala sahabatnya. Jenna berjuang matimatian, menendang dan memberontak.
Tapi kekuatan Hallie mengalahkannya. Hallie terlalu kuat.
Ia menyeret Jenna melewati gerbang pemakaman.
Jenna menjerit dan memanggil-manggil nama sahabatnya.
Hallie tidak mengeluarkan suara apa pun atau mengubah
ekspresinya. Rasanya tidak nyata. Menakutkan. Lebih buruk dari apa
pun yang sudah terjadi, karena ini Hallie. Jenna merasa seperti
melangkah ke dalam mimpi buruk.
Dengan mantap, tanpa lelah, Hallie menyeret Jenna ke arah
mausoleum. Darahnya telah menghilang, tapi makam itu masih
bersinar tidak wajar. Sambil menjerit, Jenna berhasil membebaskan diri. Tapi ia
kehilangan keseimbangan, dan tidak bisa menahan jatuhnya. Ia
mendarat keras pada punggungnya. Ia tertegun, terengah-engah
menghela napas. Hallie membungkuk dan menariknya bangkit berdiri.
"Jangan ganggu aku!" jerit Jenna. Ia menyambar gaun tidur
Hallie dan mendorongnya menjauh.
Gaun Hallie robek. Jenna membeku saat melihat apa yang telah
terjadi pada temannya. Tidak, jeritnya dalam hati, membeku karena perasaan tidak
percaya. Tidak, tidak, tidak, tidaktidaktidaktidaktidak!
Leontinnya telah melesak masuk ke dalam dada Hallie... dan
telah tumbuh kulit baru menutupinya.
Di bawah kulit tipis yang menutupinya, hati emas itu berdenyut
dan memancarkan cahaya yang tidak wajar.
BAB 18 DENGAN gerakan tersentak-sentak yang aneh, Hallie berbalik
dan menatap Jenna dengan mata biru yang kosong.
"Hallie, ini aku, Jenna," teriaknya dengan putus asa, berlari
mundur menjauhi sahabatnya. Kalau saja ia bisa memulihkan Hallie
dari kesurupannya. "Kau mengenalku. Aku sahabatmu."
Pandangan Hallie tetap kosong. Hampa. Dingin dan tidak
bernyawa. "Hallie, tolong dengarkan aku. Apakah kau tidak ingat ibu dan
ayahmu" Apakah kau tidak ingat siapa pun?"
Hallie tetap bagaikan boneka kayu. Tidak, pikir Jenna, bulubulu di tubuhnya meremang ketakutan, bukan boneka kayu tapi
wayang. Lengan dan kakinya dikendalikan kekuatan lain.
Jenna putus asa. "Apa kau ingat pada Sumpah Saudara kita"
Kita masih berusia enam tahun. Kita memanjat ke pohon mapel besar
di halaman belakang rumahku, setinggi mungkin. Kita bersumpah
untuk selalu saling melindungi, untuk saling menjaga. Tolong
ingatlah. Please!" Sejenak, Jenna mengira melihat mata Hallie berkilau.
Tapi kilau itu segera padam. Dan harapan terakhir Jenna turut
padam bersamanya. Hallie menyelinap maju, dengan gerakan yang tidak wajar,
menakutkan. Angin memilin rambutnya yang basah menjadi sulursulur liar di sekitar wajah dan lehernya.
Dan di balik kulitnya, leontinnya berdenyut bagaikan jantung
kedua. Jenna mundur. Kalau Hallie menangkapnya lagi, mereka berdua
akan kalah. Kalau ia ingin menyelamatkan Hallie, ia harus pergi
sekarang. Dengan kecepatan yang menakutkan, Hallie menerjang ke
arahnya. Jenna kehilangan keseimbangan. Hallie menduduki perut
Jenna, mencengkeram tenggorokannya.
Jenna tidak bisa bernapas. Ia memerlukan udara! Ia mencakari
tangan Hallie dengan panik.
Tapi Hallie tidak melepaskan cengkeramannya. Ia terus
meremas dan meremas, dan tidak ada apa pun yang bisa dilakukan
Jenna untuk menghentikannya. Kilat raksasa menyambar membelah
langit dan membuat bagian belakang rambut Hallie yang pucat bagai
memancarkan lingkaran cahaya.
Bintik-bintik hitam menari-nari dalam pandangan Jenna. Ia
merasa paru-parunya akan meledak.
Aku akan mati, pikir Jenna.
Di sini. Sekarang. "Cukup." Terdengar suara menggelegar bagai guntur di malam hari.
Simon Fear. Seketika, Hallie melepaskan Jenna. Ia melompat bangkit dan
berdiri tanpa bergerak. Sambil terbatuk-batuk, Jenna berguling menyamping.
"Halo, Jenna," kata Simon.
Jenna memerlukan seluruh semangatnya untuk bangkit berdiri
dan menghadapi sumber suara itu.
Keluarga Fear. Simon dan Angelica.
Mereka berdiri di depan mausoleum, tersenyum.
Angelica masih mengenakan gaun dan syal putih yang
dikenakannya sore tadi sewaktu menemui Jenna. Ia tampak seperti
malaikat, pikir Jenna. Di samping Angelica, Simon yang jangkung berdiri kaku.
Wajahnya yang panjang dan kurus tampak lebih kasar dan tajam.
Bibirnya menyeringai mirip seringai hewan. Cahaya memantul di
gigi-giginya. Di mata Jenna, Simon tampak seperti hewan yang telah
belajar berjalan seperti manusia.
Saat itu, Jenna mau saja melompat ke dalam jurang kalau
dengan begitu ia bisa menyelamatkan diri dari mereka. Tapi ia hanya
mampu berdiri, mengawasi, dan menunggu.
Ia begitu ingin melarikan diri. Tapi ia membeku di tempatnya
karena ketakutan. "Kalian tidak akan lolos begitu saja!" jerit Jenna.
Senyum Angelica melebar. Matanya berkilauan bagaikan batu
hijau. "Tapi, Sayang, kami sudah melakukannya."
Bayang-bayang melayang keluar dari pintu mausoleum yang
terbuka. Sulur-sulur tebal dan hitam yang melingkar-lingkar di
sekeliling pasangan Fear. Berputar-putar. Mengelus-elus. Sulur-sulur
itu seperti menyatu dengan rambut Angelica yang sehitam bulu
gagak"dan mata Simon yang segelap malam. Sesuatu mengintai di
balik ambang pintu mausoleum. Sesuatu yang mengawasi. Sesuatu
yang menunggu. Sesuatu...
"Kau milik kami."
Simon sebenarnya hanya berbisik, tapi kata-kata itu membuat
tubuh dan jiwa Jenna bergetar.
"Julia." "Aku Jenna!" jeritnya. "Jenna!"
Simon tertawa hingga kepalanya tersentak ke belakang.
Jenna melangkah mundur dan menatap patung malaikat itu.
Sayapnya yang berat bergetar. Lalu terangkat.
Makhluk itu membuka mata dan menatap lurus kepada Jenna.
"Tidak!" Jenna tersentak. Ia terhuyung-huyung mundur,
mengangkat lengannya untuk mengusir tatapan yang menakutkan dan
tidak manusiawi itu. KRAK! Malaikat itu menarik satu lengannya hingga bebas, lalu
lengan yang lain. Kemudian ia menegakkan tubuh. Sekarang, Jenna
bisa melihat bahwa kakinya terlipat ke belakang, seperti kaki
serangga. Sayap-sayap berkepak-kepak di atas kepala Jenna dan ia
menjerit putus asa. Embusan angin membuatnya jatuh berlutut.
Malaikat itu melayang-layang di atasnya, lehernya bersisik dan
melengkung seperti ular. Jenna merasa gemetar saat bayang-bayang dingin dan gelap itu
menyapu dirinya. Jenna memberanikan diri untuk menengadah. Malaikat itu
tersenyum. Senyum Angelica. Dengan keluwesan yang mengerikan,
makhluk itu menukik ke arahnya.
Sayap-sayap gelapnya melingkupi Jenna, menyelimutinya.
Mencekiknya. Kegelapan itu menelannya.
BAB 19 CAHAYA menembus kelopak mata Jenna yang terpejam. Ia
membuka matanya dan melihat ruangan lembap tak berjendela.
Berkas-berkas lumut dan sarang laba-laba kelabu yang tebal
menempel di dinding-dinding dan langit-langit batunya. Lantai batu
kasar di bawahnya terasa lembap. Sebuah lentera menjuntai dari
kaitannya di dinding seberang. Cahayanya yang remang-remang
membuat sudut-sudut ruangan itu tampak gelap.
Ini pasti di rumah keluarga Fear, pikir Jenna. Di ruang bawah
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanah. Jantungnya serasa diremas ketakutan sedingin es.
Perlahan-lahan, Jenna beranjak duduk. Ia mengulurkan
tangannya yang gemetar untuk memijat alisnya.
Suara napas yang lembut membuatnya berpaling. Hallie berdiri
beberapa meter darinya, ekspresinya kosong. Rambut Hallie telah
kering membentuk gumpalan-gumpalan kotor. Gaun tidurnya yang
berlumpur menempel pada tubuhnya, kotor dan robek. Ia nyaris
tampak tidak manusiawi. "Hallie," bisik Jenna.
Tapi temannya itu tetap sekaku dan sediam sepotong kayu.
Kulitnya seperti berlapis lilin, seakan-akan seluruh darahnya telah
terkuras habis. Saat itu Jenna tersadar bahwa temannya telah benarbenar tercengkeram mantera jahat keluarga Fear.
Tapi Jenna tahu ia tak boleh berhenti mencoba.
"Kau harus bangun, Hallie," pintanya. "Please. Aku tahu kau
bisa mendengarku. Cobalah!"
Hallie bahkan tidak mengedipkan matanya. Di bawah kulit
dadanya, leontinnya bersinar. Jenna meraih kalungnya dengan raguragu. Apakah ada cara untuk menanggalkan kalung ini dari leher
Hallie" Hallie seketika bereaksi. Matanya menyipit, dan bibirnya
tertarik membentuk seringai hewan. Ia mengangkat tangan yang
membentuk cakar untuk mengusir Jenna.
"Harus ada jalan," gumam Jenna.
Kalaupun ada, ia tak bisa menemukannya. Air mata menyengat
matanya, ia tak bisa menghentikannya. Jenna merasa benar-benar
kesepian. Kalaupun keluarga Sheridan mencoba untuk mencari Hallie,
mereka tidak akan pernah bisa menemukannya di sini.
Paling tidak, tidak tepat pada waktunya.
Keluarga Fear punya banyak waktu untuk melaksanakan
rencana mereka yang menjijikkan.
Jenna duduk di samping Hallie. Ia menarik lututnya dan ia
memeluknya erat-erat. Hallie berdiri bagai patung, tidak bergerak,
bahkan hampir-hampir tidak bernapas.
"Seandainya kau ada di sini," gumam Jenna, sambil melirik
Hallie. "Benar-benar berada di sini. Aku ingin sahabatku kembali.
Kita bisa melawan mereka!"
Hallie tidak menjawab. Jenna meletakkan keningnya di lutut
dan berusaha untuk tidak berpikir.
Pintunya berderak. Jenna terkejut dan tersentak menegakkan
kepalanya. Ada yang datang!
Dengan sigap, ia menelentang miring, berpura-pura pingsan. Ia
mengawasi pintu dari balik lengannya. Ada yang bergerak di balik
pintu. Napasnya berhenti sewaktu mendengar suara logam beradu
dengan logam. Jenna melihat selotnya bergetar, lalu mulai berputar.
Pintunya terbuka. Tapi bukannya Angelica dan Simon,
melainkan Rob yang melangkah turun ke anak tangga pertama.
"Rob!" kata Jenna kaget.
Rob mengacungkan satu jari di depan bibirnya. Lalu ia
mengulurkan tangan melewati ambang pintu dan mengambil sebilah
sekop. Setelah menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati, ia
berlari menuruni tangga. Jenna duduk tegak. Rob berlutut di
sampingnya, tapi matanya terus terarah ke pintu.
"Apa yang kaulakukan di sini?" bisik Jenna. "Bagaimana
caramu menemukan kami?"
"Aku menyelinap ke dalam rumah untuk melihat-lihat," kata
Rob, suaranya sama pelannya dengan suara Jenna. "Aku melihat
mereka membawamu masuk. Tapi mereka terus berada di sini
beberapa lama, dan aku tak bisa masuk. Akhirnya, mereka keluar dan
aku langsung kemari."
"Kau membahayakan dirimu sendiri..." kata Jenna.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan membiarkan kau
celaka," kata Rob. "Kau kira aku tidak serius?"
Ia meraih tangan Jenna dan menariknya bangkit berdiri. "Ayo.
Kita harus pergi dari sini."
"Tunggu!" desis Jenna, sambil menarik pemuda itu. "Kita tidak
bisa pergi tanpa Hallie."
Ekspresi Rob berubah muram. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa
untuknya, Jenna. Dia sudah hilang."
"Tidak!" kata Jenna bersikeras. "Kita harus membawanya."
"Jenna, kau tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini."
Jenna hendak menggeleng, tapi Rob meraih bahunya. "Sewaktu
bersembunyi di dalam rumah, aku mendengar Simon dan Angelica
bercakap-cakap. Selama bertahun-tahun, Simon dan Angelica
berusaha menemukan cara untuk menghidupkan kembali putri-putri
mereka." "Apa?" Jenna tersentak.
"Dan sekarang mereka sudah menemukan cara."
Jenna merasa terlalu takut untuk menanyakan. Tapi harus.
"Bagaimana, Rob" Bagaimana mereka akan melakukannya?"
"Mereka membutuhkan nyawa lain. Jiwa lain. Mereka
mengambil jiwa seseorang yang masih hidup dan memasukkannya ke
dalam tubuh yang sudah mati. Lalu mayatnya akan hidup dan
bernapas. Itu sebabnya mereka membawa kau dan Hallie kemari."
Jenna menggeleng. Menolak kengerian luar biasa yang
diceritakan pemuda itu. Mereka menginginkan jiwanya. Dan jiwa
Hallie. "Bahkan namanya cocok," erang Jenna. "Jenna... Julia. Hallie...
Hannah. Dan keluarga Fear begitu gembira waktu tahu bahwa Hallie
dan aku begitu dekat seperti saudara."
"Benar," kata Rob menyetujui. "Sekarang, ayo pergi. Hallie
sudah hilang ditelan kejahatan. Kau tidak bisa..."
Tiba-tiba ia berhenti, kepalanya tersentak berputar. "Shh.
Kurasa ada yang datang."
Jenna menutup mulutnya dengan tangan.
Ia begitu ketakutan sehingga khawatir ia akan mulai berteriak
tanpa terkendali. Seakan-akan tahu apa yang tengah dipikirkan Jenna, Rob
berpaling kembali. Dengan lembut, ia meletakkan satu tangan di bahu
gadis itu. Hanya sejenak, tapi sentuhan singkat itu menenangkan
Jenna. Setelah meraih sekopnya, Rob berjongkok di bayang-bayang di
dasar tangga. Pintunya terbuka diiringi deritan yang merobek-robek saraf
Jenna. Simon Fear masuk, membawa sebuah peti. Jenna menduga peti
itu berat melihat cara Simon mendengus-dengus saat membawa peti
itu menuruni tangga. Jenna tak ingin tahu apa isi peti itu.
Tapi ia melihat sebuah gerakan singkat di bayang-bayang
tempat Rob bersembunyi. Jenna menelan ludah dengan susah payah.
Ini kesempatan mereka, satu-satunya kesempatan.
Simon mengerang dengan susah payah, ia membutuhkan waktu
cukup lama untuk menuruni tangga. Sekali, ia bahkan hampir
menjatuhkan petinya. Tapi ia berhasil menangkap dan membawa peti
itu dalam posisi yang lebih aman.
Jenna merasa siap untuk menjerit sewaktu Simon tiba di dasar
tangga. Diam-diam, ia berdoa semoga Angelica tidak mengikuti
suaminya. Simon menatap Jenna, dan Jenna pun menggigil.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya.
Simon tersenyum kepadanya. "Kurasa kau sudah tahu."
"Tidak akan berhasil," kata Jenna kepada Simon tanpa peduli
bahwa suaranya gemetar. "Ini tidak alamiah. Takkan berhasil."
Sambil tertawa, Simon menyentakkan kepalanya ke belakang.
"Oh, Jenna yang malang, kau salah sangka. Apa kau tidak tahu bahwa
sesuatu yang tidak alamiah selalu berhasil... kalau keluarga Fear
menginginkannya?" "Kau jahat!" jerit Jenna.
"Wah, ya," Simon menyetujui. "Memang."
Rob menyelinap keluar dari tempat persembunyiannya.
Menyelinap ke belakang Simon. Ia mengacungkan sekopnya tinggitinggi. Jenna menahan napas. Semoga berhasil. Semoga kami bisa
melarikan diri! Lalu dengan segenap kekuatannya, Rob mengayunkan
sekopnya ke bawah. Langsung ke kepala Simon Fear.
BAB 20 SIMON berbalik menghadapi Rob. "Berhenti," katanya.
Sekop itu berhenti beberapa sentimeter dari kepala Simon. Mata
Rob membelalak tertegun. Ia mengertakkan gigi dan mencoba lagi.
Jenna melihat otot-otot pemuda itu bergetar saat berusaha agar
lengannya mau digerakkan.
Tapi ada kekuatan yang menguasai tubuhnya dan ia tidak
mampu bergerak. Jenna mengepalkan tangannya. "Jangan ganggu dia!" jeritnya.
Dengan hati-hati, Simon meletakkan petinya di lantai. Lalu ia
berpaling memandang Jenna, bibirnya tersenyum menakutkan. "Manis
sekali!" katanya. "Pahlawan datang untuk menolong. Tapi ternyata dia
tak mampu berbuat apa-apa."
Ia berputar balik menghadapi Rob. "Buang sekopnya."
Tangan Rob membuka. Dentangan sekop menghantam lantai
menggema ke seluruh ruangan.
Simon meraih ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah
benda kecil. Benda itu memantulkan cahaya dalam bentuk bungabunga api biru-keputihan. Jenna tersentak. Gelang kristalnya! Entah
bagaimana Simon telah berhasil mengambil gelang itu dari kamarnya.
"Sekarang," perintah Simon. "Kenakan ini di lengan Jenna."
Rob mencoba melawan. Tapi lengannya terangkat, dan ia
mengambil gelang itu dari tangan Simon. Lalu Rob berbalik ke arah
Jenna. Jenna tersentak sewaktu Rob menyambar lengannya dan
mengenakan gelang itu di pergelangannya. Kulitnya seketika terasa
tergelitik. Tapi tidak ada kejadian lainnya.
"Sekarang kembali ke tempatmu," kata Simon kepada Rob.
Rob patuh. Keputusasaan membayang di matanya saat ia
memandang pria yang telah memaksa tubuhnya melawan
keinginannya sendiri. "Apa yang sudah kaulakukan padaku?"
tanyanya. "Kami memberimu kehidupan," kata Angelica.
Sambil tersentak, Jenna menengadah ke ambang pintu.
Angelica berdiri di puncak tangga. Rambutnya tergerai di bahunya
seperti sehelai mantel hitam. Ubannya tampak sangat mencolok.
Di belakangnya, bayang-bayang mengintai di ambang pintu.
Bayang-bayang itu melingkar-lingkar di sekeliling Angelica, menyatu
dengan rambut hitamnya. Wajah Angelica bagai melayang di lautan
hitam. "Apa katamu?" tanya Rob.
Angelica melangkah menuruni tangga, berjalan dengan anggun,
tangannya bertumpu pada pagar besi. Ia tersenyum dan berhenti di
depan Rob. Sambil mengelus pipi pemuda itu dengan ujung jari,
Angelica menatap lurus ke matanya.
"Kataku kami memberimu kehidupan," katanya.
"Tidak," bisik Rob.
Angelica tertawa lembut. "Kau ingat dari mana asalmu?"
Rob menggeleng. Kengerian terpancar di matanya. Lebih dari
sekadar ketakutan. Lebih dari sekadar keputusasaan. Jenna maju
selangkah mendekatinya. Tapi Simon mengalihkan tatapannya kepada
Jenna, dan ketakutan membuat Jenna terpaku di tempatnya.
"Nah, Robert," lanjut Angelica, "ada saat-saat kau mencoba
mengingat masa lalumu, dan tidak mampu melakukannya."
"Aku pingsan," kata Rob mengakui.
"Itu karena kau sudah tewas," kata Angelica kepadanya.
"Tidak," bisik pemuda itu, matanya membelalak ketakutan.
"Ya," kata Simon. Senyumnya kejam, begitu pula tatapannya.
"Kau merupakan percobaan. Kalau kami bisa menghidupkanmu
kembali, dan mempertahankan agar kau tetap hidup, maka kami sudah
menyempurnakan cara untuk mengembalikan putri-putri kami."
Jenna mulai gemetar. Jantungnya berdetak begitu cepat dan
keras sehingga ia yakin semua orang lain mampu mendengarnya.
"Kau membunuhnya," katanya.
Angelica memandangnya. Jenna belum pernah melihat kekejaman sehebat itu pada wajah
seseorang, ia sangat ketakutan.
"Tentu saja kami membunuhnya," kata Angelica.
Rob tampak sama tertegunnya dengan Jenna. "Ti... tidak
mungkin." "Tentu saja mungkin." Senyum Simon memudar. "Tapi kau
tidak mematuhi kami, Rob. Kau melawan kami. Ini bukan rencana
kami. Itu masalah yang tidak kuduga sebelumnya. Tapi masalah itu
tidak lama lagi akan berakhir."
Rob mengerutkan kening, jelas tidak memahami. Tapi Jenna
mengerti. "Apa maksudmu?" tanya Rob.
"Artinya..." Simon diam sejenak, dan Jenna tahu ia sengaja
melakukannya. Simon senang menyiksa orang lain. "Artinya pada
waktu menghidupkan dirimu kembali, kami belum tahu bagaimana
caranya agar proses itu permanen."
Jenna memejamkan mata. Fakta itu terlalu mengerikan untuk
menjadi kenyataan. Ia pasti tengah bermimpi. Tapi sewaktu membuka
matanya lagi, ia masih tetap seorang tawanan.
"Tidak," kata Rob dengan napas tersentak. "Tidak."
"Ya," kata Simon memperbaiki. "Kau yang paling berguna,
Rob. Kau yang bertahan hidup paling lama dari semua percobaan
kami. Dengan apa yang kami pelajari dari dirimu, kami menemukan
cara untuk menghidupkan kedua putri kami secara permanen."
Angelica mengangguk. "Kami memerlukan... donor yang tepat.
Hanya jiwa-jiwa yang sesuai yang bisa mengembalikan kedua putri
kami." Jenna melirik Hallie. Jenna dan Julia, pikirnya. Hallie dan
Hannah. Ia dan Hallie menganggap mereka sendiri seperti saudara.
Oh, ya. Tepat sekali. "Berapa lama waktuku?" tanya Rob. Seluruh harapan sirna dari
matanya. "Tidak lama lagi sekarang," gumam Simon. Ia mengulurkan
tangan dan membuka kemejanya.
Jenna melihat jemarinya yang kurus panjang mencengkeram
sesuatu. Tampaknya seperti amulet perak berantai.
"Sama sekali tidak lama," tambah Simon.
Tepat di depan mata Jenna, kulit Rob mulai berubah. Kulit
pemuda itu semakin gelap dan menyusut, seakan-akan daging, lemak,
dan otot-ototnya mengering.
Rob menunduk memandang tangannya. Kulitnya kering,
menjuntai kendur dari tulang belulangnya. "Tidaaaak," gumamnya.
"Jangan khawatir," kata Angelica kepadanya, seriang seakanakan mereka akan berpesta. "Tidak lama lagi semua akan berakhir."
"Hentikan!" jerit Jenna. "Jangan menyiksanya seperti ini!
Apakah perbuatan kalian kepadanya belum cukup?"
"Angelica sayang, tamu kita yang cantik mengira kita sedang
menyiksa Robert," gumam Simon.
"Ah." Kemenangan memancar dalam pandangan Angelica.
"Jangan khawatir, Sayang. Robert tidak merasa sakit." Senyumnya
melebar. "Kau tahu kan, orang-orang mati tidak merasa sakit."
Jenna memandang temannya. Matanya memancarkan ketakutan
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan keputusasaan. Keluarga Fear telah mengambil nyawanya, masa
lalunya, dan sekarang masa depannya. Kemarahan menyapu Jenna,
kemarahan atas perbuatan mereka. Sejenak, ia melupakan
ketakutannya sendiri. "Lihat ke matanya, Mrs. Fear," sergah Jenna. "Lalu katakan
padaku apakah dia tidak merasa kesakitan."
Angelica melangkah tepat ke hadapan Rob.
Ia menatap lurus ke mata pemuda itu. Lalu ia berpaling,
memandang Jenna dengan tatapan matanya yang hijau dan
memancarkan kesintingan. "Tidak lama lagi kau akan mengerti tentang kesakitan, Jennaku
sayang," katanya. Lalu ia tertawa. BAB 21 JENNA memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak mampu
menyaksikannya. Saat ia memberanikan diri untuk membuka matanya kembali,
Rob tampak seperti mumi kuno. Keriput. Kering. Mati.
Ia bisa melihat tulang rusuknya, lututnya, bentuk tengkoraknya
di balik kulit yang terentang kencang.
Mulut Rob membuka. Debu menghambur keluar, dan Jenna
bisa melihat sepotong lidah kering melambai di dalamnya.
"Jenna," kata pemuda itu dengan suara pecah. "Ma-maaf."
"Oh, Rob," bisik Jenna.
Ia mengulurkan tangan ke arah pemuda itu. Rob tertatih-tatih
mendekatinya, bagai orang-orangan sawah, sampah yang terdiri dari
kulit dan tulang. Jemarinya menyapu jemari Jenna. Sekilas, ia
menengadah menatap Jenna lurus di matanya.
Lalu bola matanya berubah menjadi seputih susu, dan Jenna
tahu Rob tidak bisa melihat lagi.
Pemuda itu merosot ke lantai dengan perlahan-lahan dan
menakutkan. Tangannya yang terulur tersentak-sentak sejenak, lalu
tidak lagi bergerak. Air mata menyengat mata Jenna.
"Rob yang malang," bisiknya. "Rob yang malang."
Rob telah tewas. Tidak lama lagi dirinya juga akan tewas.
Itu yang paling buruk, mengetahui bahwa hal itu akan terjadi.
Dengan kematian Rob, tidak seorang pun yang tahu di mana dirinya
dan Hallie berada. Tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka.
Keluarga Fear akan merampas jiwa mereka untuk menghidupkan
kembali Julia dan Hannah.
Simon membungkuk dan membuka petinya. Tutupnya berderak
keras saat ia mengayunkannya ke atas. Angelica mengulurkan tangan
melewati suaminya dan mengeluarkan sepotong tulang putih yang
panjang. Sepotong tulang kaki. Sepotong tulang kaki manusia.
Terdengar suara seseorang mengerang. Dengan syok, Jenna
tersadar bahwa dirinya yang mengerang. Ia menutup mulutnya dengan
tangan. Tanpa bersuara, ia mundur selangkah. Ia tak tahu bisa lari ke
mana, tapi ia tak mau berdiri diam di sini dan membiarkan mereka
mencuri jiwanya. Sambil menahan napas, ia kembali mundur selangkah.
"Tetap di tempatmu," kata Simon.
Jenna membeku. Ia tak ingin melakukannya, tapi sesuatu
menahan dirinya tetap di tempat. Gelangnya. Gelang itu mulai
mengendalikan dirinya, ia tersadar. Ia mengulurkan tangannya yang
masih bebas ke sana. "Tidak," sergah Simon.
Tangannya terjuntai lemas. Tapi di dalam hati, kemarahan
Jenna membara. Ia ingin hidup! Entah bagaimana, ia akan
menemukan cara untuk mematahkan kekuatan orang-orang jahat ini
atas dirinya. "Seharusnya kaukenakan gelang itu sewaktu kami
memberikannya padamu pertama kali," kata Angelica kepadanya,
"Segalanya akan jauh lebih mudah bagimu kalau begitu. Lihat
sahabatmu. Dia sama sekali tidak ketakutan."
Jenna melirik ke arah Hallie. Sahabatnya itu masih tetap
menatap lurus ke depan, matanya membelalak dan kosong.
Leontinnya berdenyut-denyut dan memancarkan cahaya di balik
kulitnya. Tidak, pikir Jenna. Dia tidak ketakutan. Tapi dia tidak bisa
merasa atau berpikir. Atau bahkan berjuang untuk menyelamatkan
dirinya sendiri. "Kalau itu cara yang mudah, aku lebih suka merasa ketakutan,"
desis Jenna. Angelica tersenyum. "Teman muda kita ini tampaknya punya
semangat yang besar."
"Julia juga," kata Simon. "Kesamaan yang sempurna."
"Sempurna," kata Angelica menyetujui, sambil tersenyum
kepada suaminya. Simon mengambil sebuah tengkorak dari dalam peti. Ia
memeriksanya sejenak, lalu meletakkannya dengan hati-hati di lantai.
Angelica mengambil tengkorak yang lain. Ia meletakkannya di
samping tengkorak pertama, lalu kembali membungkuk di atas peti.
Jenna memandang ke lubang mata kosong yang menatapnya
dan menggigil. Julia dan Hannah. Tengkorak mereka. Tulang-belulang
mereka. Ia teringat pada cerita yang disampaikan Hallie pada malam
pertamanya di sini. Jenna merasa jantungnya seolah telah membeku
dalam dadanya. Menurut cerita itu ada saatnya kerangka gadis-gadis
Fear berjalan-jalan. Berapa kali keluarga Fear mencoba hal ini" pikir Jenna
penasaran. Benaknya berputar ketakutan. Berapa orang yang telah
tewas dalam usaha sinting mereka untuk menghidupkan kembali Julia
dan Hannah" Suami-istri Fear bekerja bersama-sama, memilah-milah tulang
belulang itu menjadi dua tumpukan di lantai. Jenna tidak tahu
bagaimana cara mereka mengetahui yang mana tulang siapa. Dan ia
juga tidak peduli. Ia hanya ingin melarikan diri.
Tidak lama kemudian, peti itu telah kosong. Angelica
mengambil salah satu tengkorak. Ia mengelus-elus bagian kepala
tengkorak yang putih itu. "Tidak Jama lagi," gumamnya. "Tidak lama
lagi, Hannahku. Tidak lama lagi kau akan bersamaku lagi."
Dengan lembut, penuh kasih, Angelica meletakkan tengkorak
itu di puncak tumpukan tulang. Setelah menegakkan tubuh, ia
berpaling ke pintu. "Sudah waktunya," katanya.
Sebatang sulur panjang kabut hitam melingkar-lingkar
memasuki pintu yang terbuka. Sulur itu merayap melintasi puncak
tangga. Di belakangnya, bayang-bayang hitam pekat menyelinap
melalui celah di pintu. Bau busuk yang luar biasa menyengat cuping hidung Jenna.
Sosok-sosok dalam kegelapan itu menggeliat-geliat dan berputarputar, sosok-sosok yang setengah terlihat, setengah berbentuk.
Sekali lagi, Simon mengulurkan tangan dan mencengkeram
amuletnya. Lampunya bergetar. Di tangga, bayang-bayang itu
bertambah pekat seakan-akan mendapat kekuatan dari cahaya yang
memudar. Kabut hitam menuruni tangga. Lalu seluruh bayang-bayang itu
mengikuti, tumpah bagaikan gelombang memasuki ruang bawah
tanah. Ebukulawas.blogspot.com
Bayang-bayang itu mengalir langsung ke tulang-belulang
Hannah dan Julia. Melingkar-lingkar. Mengusap-usap. Sulur-sulur
berasap menggeliat-geliat dalam lubang mata Hannah yang kosong.
Sebuah lingkaran gelap melingkar melayang keluar melalui mulut
Julia. Simon tersenyum ke arah istrinya, lalu mengulurkan tangan dan
meraih tangan Angelica. "Siap, kekasihku?" tanyanya.
"Aku sudah siap sejak hari kematian putri-putri kita yang
malang." Keluarga Fear berjalan mengitari tumpukan tulang-belulang itu,
Angelica ke satu arah, Simon ke arah yang lain. Dalam keremangan
cahaya, wajah Simon mengerut menakutkan bagai topeng. Tapi
Angelica terlihat lebih mengerikan lagi, dengan tatapannya yang
sinting dan kecantikannya yang tidak alamiah dan mencolok.
Mereka berhenti, saling berpegangan tangan, dan mulai
membaca mantra. Jenna tidak mengenali kata-katanya. Tapi suara
yang menakutkan itu membuatnya gemetar ketakutan. Secara naluriah
Jenna tahu bahwa mantra itu untuk memanggil kekuatan. Kekuatan
yang jahat. Kekuatan yang begitu hebat dan buas sehingga seluruh
ruang bawah tanah berbau busuk karenanya.
Lampunya berkelap-kelip lalu padam. Kegelapan mengisi
ruangan. Jenna tercekik bau busuk kejahatan itu. Sekarang ia hanya
bisa melihat cahaya pudar gaun Angelica. Dan pantulan gigi-gigi
Simon saat tersenyum. "Please," bisik Jenna. "Tolong kami. Tolong kami."
Tapi ia tahu tidak ada yang mendengar. Takkan ada yang
menjawab. Ia dan Hallie terjebak di dalam cengkeraman keluarga Fear.
Dan baik Simon maupun Angelica tidak mengerti arti kata belas
kasihan. Api biru-keputihan yang menakutkan menyembur di atas
telapak tangan pasangan Fear yang saling menggenggam. Api itu
memancarkan cahaya yang dingin dan tidak wajar ke seluruh ruangan.
Bayang-bayang hitam itu tampaknya tertarik oleh cahaya
tersebut, melahapnya, bertambah tebal, dan semakin lama bertambah
mengancam. Jenna tidak mampu melihatnya. Tatapannya jatuh ke dua
tumpukan tulang itu. Gemeretak samar terdengar mengiringi suara
mantra pasangan Fear. Kaki Jenna terasa lemah. Napasnya terdengar bagai desahan
panjang, dan ia merosot berlutut di lantai yang dingin.
Tulang-belulang itu bergetar. Bergeser. Bergerak.
"Tidak," bisik Jenna. "Tidak!"
Simon melepaskan tangan Angelica. Mereka berdua melangkah
mundur. Api biru-keputihan itu tetap melayang di udara. Membakar.
Membakar. Pantulan-pantulan kecil mulai menyala di lubang
mata kedua tengkorak itu. Derakannya terdengar semakin keras dan
semakin keras, hingga mengguncangkan seluruh ruangan.
Jenna menutup telinganya dengan tangan. Jerit ketakutannya
tenggelam dalam derakan tulang-belulang yang memekakkan.
Suara Angelica dan Simon semakin keras menjadi teriakanteriakan saat mereka membaca mantra dengan semakin cepat dan kuat.
Suara Angelica melengking, dan suara Simon menjadi berat dan serak.
Kalau Jenna tidak melihatnya sendiri, ia pasti mengira bukan manusia
yang mengeluarkan suara itu.
Di sekitarnya, bayang-bayang menggeliat dan menari.
Tanpa peringatan, derakan itu berhenti. Kesunyian yang tibatiba itu mengejutkan Jenna. Ia tersentak, dan tangannya tiba-tiba
terlepas dari telinganya.
Perlahan-lahan dan menakutkan, tulang-belulang itu melayang
dari lantai. BAB 22 JENNA menatap ngeri saat tulang-belulang itu mulai bergerak.
Tulang-tulang kecil menyatu dengan sempurna, membentuk
tulang kaki dan tangan, serta tulang punggung. Lalu tulang-tulang
yang lebih besar menyatu, satu demi satu.
Jenna tidak berani melihat lebih lama lagi. Ia terlalu ketakutan.
Ia mengalihkan matanya ke tangan kirinya, memusatkan perhatian
untuk menggerakkannya. Kalau saja ia bisa menanggalkan gelang
itu.... Suara Simon dan Angelica yang membaca mantra semakin
keras. Semakin keras. Suara mereka bergaung ke seluruh ruangan,
menggema di dinding-dinding batu. Rasanya seperti ada ribuan suara
lain yang berbunyi bersama suara mereka.
Sambil memejamkan mata, Jenna memusatkan seluruh
perhatian untuk menggerakkan tangannya. Bahkan satu jari pun. Ia
belum pernah berjuang sekeras ini seumur hidupnya!
Denyut nadi meraung-raung di telinganya, membuatnya pusing.
Ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan pernah menyerah!
Irama mantra itu berubah. Jenna merasa bahaya semakin dekat.
Ia menengadah. Simon dan Angelica tidak lagi tampak manusiawi.
Mata mereka berubah menjadi kolam cahaya. Cahaya birukeputihan yang jelek. Cahaya itu menebar, menerangi pipi mereka dan
melontarkan bunga api ke rambut Angelica yang berantakan.
Tengkorak-tengkorak itu berpaling memandang mereka. Bungabunga api kecil masih bercahaya di lubang mata yang menganga itu.
Api-api itu semakin besar dan semakin cerah, melompat-lompat
seirama dengan mantranya. Berkas-berkas cahaya memancar di setiap
lubang pada kedua tengkorak itu, hingga tulang-tulangnya sendiri
hampir-hampir tembus pandang.
Perlahan-lahan, kerangka itu mendarat kembali di lantai.
Sejenak, keduanya jatuh berlutut, seakan-akan telah lupa caranya
berdiri. Tengkorak mereka mulai merosot.
Angelica menjerit. Simon menyentakkan kepalanya ke
belakang, tangannya mencengkeram amulet misterius yang menjuntai
di dadanya. Apa pun benda itu, Jenna merasa yakin itulah sumber
kekuatan mereka. "Julia," kata Simon, suaranya menggelegar bagai gelombang
badai menghantam pantai. "Hannah. Bangkitlah, putri-putriku."
Tulang-belulang itu bangkit. Lalu, diiringi derakan yang bisa
terdengar mengatasi bunyi mantra, tengkorak-tengkorak bercahaya itu
berpaling memandang Jenna dan Hallie.
Kesunyian tiba-tiba menguasai ruangan itu. Semua bulu di kulit
Jenna meremang ketakutan. Cahaya biru-keputihan yang tidak wajar
itu menebar dan membesar, hingga mencapai Jenna.
Tengkorak Julia berpaling memandang ayah-ibunya. Dengan
perlahan-lahan dan menakutkan, ia mengangkat lengannya menunjuk
ke arah Jenna. "Ya, sayangku," kata Angelica. "Dia milikmu."
Suami-istri Fear mulai, bergumam membaca mantra lagi. Dan
kerangka itu maju selangkah. Ragu-ragu. Tertatih-tatih. Tapi mereka
melangkah maju. Lalu maju lagi selangkah. Dan selangkah lagi.
Jenna gemetar. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin! Ia
bisa mendengar tulang-tulang kaki mereka berdentang menghantam
lantai batu. Mereka semakin dekat. Semakin dekat.
Kerangka Hannah langsung melangkah mendekati Hallie. Dan
Julia mendekati Jenna. Satu tangan tulang terulur.
Julia menjepit kepala Jenna dengan kedua tangan tulangnya.
"Menyingkir dariku!" jerit Jenna, berjuang menjauhi sentuhan
yang tidak manusiawi itu.
Tapi tidak peduli seberapa keras ia menggeliat dan
memberontak, kedua tangan tulang itu tetap mencengkeramnya.
Tulang-tulang jemari terlilit rambutnya. Terlilit, bertahan, dan
menarik. Jenna berjuang dan jatuh menyamping.
Ia bisa melihat Hallie sekarang. Temannya tidak berjuang
melawan kerangka Hannah. Jenna mengawasi dengan ngeri saat
tengkorak Hannah menyentuh bahu Hallie dan menatap lurus ke
matanya. Jenna menjerit. Mata Hallie turut memancarkan cahaya birukeputihan itu. Di balik kulit dadanya, cahaya tidak wajar yang sama
berdenyut dari leontin hatinya.
Hallie tidak bergerak. Tidak menjerit, bahkan tidak tahu apa
yang terjadi pada dirinya.
Fear Street - Sagas Vi Putri Putri Kesunyian Daughters Of Silence di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu Jenna merasa ada sesuatu yang aneh. Di pergelangan
tangannya, gelang kristal itu mulai berdenyut dan memancarkan
cahaya biru-keputihan yang sama.
Ia memerlukan seluruh kekuatannya hanya untuk menundukkan
kepala dan melihat. Tapi sewaktu ia melihatnya, sekujur tubuhnya
membeku ketakutan. Dagingnya memancarkan cahaya biru-keputihan. Di balik
kulitnya, ia bisa melihat garis-garis tulang-belulangnya. Dan Julia...
Jenna melolong ketakutan. Selapis cahaya menutupi tulangbelulang Julia. Dan dalam cahaya yang tidak wajar itu bayangan
wajahnya sendiri melayang-layang dalam tengkorak Julia.
Jiwanya. Julia telah mengambilnya.
Keluarga Fear telah menang.
BAB 23 "TIDAK!" jerit Jenna. "Tidak!"
Mulut tengkorak itu membuka dengan mengerikan. "Yaaaa.
Sekarang giliranku... untuk hidup."
Jenna bisa melihat pantulan bayangan mulutnya sendiri
bergerak-gerak sesuai kata-kata yang diucapkan Julia. Hawa dingin
bagai meresap dalam perutnya. Dan kegelapan. Dingin dan gelap.
Kematian. Julia tertawa. Gigi-giginya mengilat pada pantulan bayangan
Jenna. Lalu wajahnya mulai berubah bentuk. Wajah gadis lain mulai
muncul. "Tidak lama lagi," kata tengkorak itu. "Aku akan hidup kembali
tidak lama lagi. Aku bisa merasakannya."
Dengan segenap kekuatannya, Jenna berjuang untuk
mendapatkan kembali tubuh dan jiwanya. Tapi wajah yang bercahaya
itu semakin berbentuk dan berisi.
Lalu mata setan Julia menunduk. Ia melepaskan tangan Jenna,
dan mencengkeram lengannya, tepat di atas pergelangan. Ia
menyentakkannya ke atas, membuat Jenna menjerit kesakitan. Julia
mengamati gelangnya. "Itu... gelangku" jeritnya. "Gelang kesukaanku. Kembalikan!"
Dengan tangannya yang masih bebas, Julia merenggut gelang
itu dari pergelangan tangan Jenna.
Dan Jenna pun bebas. "Menyingkirlah dariku!" jerit Jenna, sambil mendorong
tengkorak itu sekuat tenaga.
Julia terhuyung-huyung mundur, lengannya melambai-lambai.
Lalu ia jatuh menimpa Hannah, menyeret saudaranya jatuh bersama
dirinya. Kedua kerangka itu berdebum ke lantai.
Tulang-tulang lengan dan kaki berhamburan, tulang-tulang
rusuk berdentangan di lantai. Jenna menatap ngeri ke arah tulang
tangan yang berantakan. Tangan itu tersentak-sentak, jemarinya
mencakari lantai. Kedua kerangka itu telah bercampur. Jenna tidak lagi tahu mana
tulang siapa. Tapi ia telah mendapat kesempatan untuk bertahan hidup. Satu
kesempatan. Dan ia tidak berniat untuk menyia-nyiakannya.
Pikiran itu melintas dalam benaknya pada detik pertama. Pada
detik kedua, Angelica menjerit. Suaranya memantul pada dindingdinding hingga ruangan terasa dipenuhi jeritannya.
"Tidaaaaak!" jeritnya. "Hannah! Julia!"
Jenna melesat ke arah Hallie. Setelah meraih bahu temannya, ia
mengguncangnya dengan kasar. "Hallie! Ayo!"
Tapi leontin hati itu masih memancarkan cahaya. Dan Hallie
masih berdiri membeku. "Simon, dia melarikan diri!" jerit Angelica.
"Kita harus pergi," kata Jenna sambil terengah-engah, menariknarik lengan Hallie mati-matian. "Kita harus pergi sekarang!"
Tapi sahabatnya tidak bergerak. Jenna bisa melihat keluarga
Fear dengan jelas sekarang. Simon memegangi amulet di dadanya
erat-erat. Jenna bisa melihat amulet itu dari perak dan berantai
panjang, halus. Jenna bisa merasakan kekuatannya dari seberang ruangan.
Di tangan Simon amulet itu berdenyut bagai jantung.
"Lari!" jerit Jenna, ia sangat ketakutan. "Oh, lari!"
Hallie tak punya semangat maupun kekuatan untuk bergerak,
tidak terdorong untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Leontinnya
berdenyut dengan irama yang sama seperti amulet Simon.
"Beraninya kau merusak mantra kami!" jerit Angelica.
Bayang-bayang melingkar-lingkar di bahu Angelica bagai ularular asap yang jahat. Simon meletakkan tangannya yang bebas pada
Angelica, menyatukan kekuatan mereka.
Perlahan-lahan, Angelica mengangkat tangannya.
Dan menunjuk ke arah Jenna.
Sesosok hitam mencuat dari lantai.
"Rob!" jerit Jenna.
Tubuh Rob yang telah mengerut menerjang Simon. Sejenak,
Simon terhuyung-huyung di tempatnya, lengannya melambai-lambai
liar. Lalu ia jatuh ke lantai. Karena kehilangan keseimbangan,
Angelica juga ikut jatuh.
Jenna berbalik, dan melesat ke tangga. Ia harus berlari melewati
Simon. Simon menyambarnya pada saat ia melintas, menangkap tepi
gaunnya. Jenna jatuh berlutut. Ia menatap mata Simon yang hitam pekat
dan merasakan napasnya sendiri keluar dari tubuhnya.
"Hah!" Simon tertawa, sambil menarik gaun Jenna.
Tiba-tiba Jenna bertindak sesuai instingnya, ia menyambar
amulet perak Simon. Rantainya putus. Simon melepaskan gaun Jenna
saat berusaha meraih kembali amuletnya.
"Itu milikku!" teriaknya.
"Aku akan kembali menolongmu, Hallie!" seru Jenna ke
belakang. "Aku akan mencari bantuan!"
Angelica menjerit melengking, seperti elang tengah berburu.
Simon berteriak, "Hallie, hentikan dia!"
Hallie melompat maju. Lebih cepat dari gerakan sebelumnya.
Lebih cepat dari yang pernah dilihat Jenna sebelumnya.
Jenna belum lagi maju sepuluh langkah sewaktu ia merasakan
tangan Hallie menyambar punggung gaunnya. Tanpa mengatakan apaapa, Hallie mulai menyeretnya kembali ke keluarga Fear. Jenna
berjuang mati-matian. Lalu Angelica tertawa. Jenna mendengar tawa itu bersalut
kemenangan dan kegilaan. Ia tahu apa yang harus dilakukannya
sekarang. Setelah menggeliat berbalik, ia menancapkan kuku-kukunya
ke dada Hallie"di sekitar leontinnya.
Sambil mengertakkan gigi, ia memaksa kukunya masuk ke
dalam kulit. Semakin dalam. Dan semakin dalam.
Darah menyembur dari sekeliling jemarinya. Jenna melihat
darah mengalir menuruni dada Hallie. Ia merasa perutnya bergolak.
Tapi ia tahu ia tak boleh melepaskannya. Ia mengertakkan gigi dan
menancapkan kukunya semakin dalam.
Garis tipis muncul di antara alis mata Hallie. Matanya berkilau
singkat. Jenna menancapkan kukunya semakin dalam, hingga bisa
merasakan leontin itu tersentuh kuku-kukunya.
Darah melumuri jemarinya, menyulitkannya untuk
mencengkeram leontin itu. Ia menusukkan jemarinya semakin dalam.
"Sekarang!" sentaknya.
Dengan segenap kekuatannya, ia mencabut leontin itu dari dada
Hallie. BAB 24 DIIRINGI suara yang mengerikan, leontin itu tercabut lepas.
Leontin itu terasa hangat di tangan Jenna, basah oleh darah Hallie.
Sambil menggigil, Jenna melontarkannya ke dinding batu.
Hallie mengejapkan mata. Lalu mengangkat kepalanya dan
memandang lurus kepada Jenna. Pandangannya tidak lagi kosong.
"Jenna," katanya sambil tersentak. "Apa...?"
"Lari!" jerit Jenna.
Kali ini, Hallie tidak bertanya. Keduanya melesat ke tangga. Di
belakang mereka, suami-istri Fear mulai membaca mantra lagi.
"Aku tidak bisa bergerak," kata Hallie.
"Ya, kau bisa," kata Jenna bersikeras. "Kau harus bergerak."
"Tidak bisa!" lolong Hallie.
"Ayo," jerit Jenna. "Kalau mau hidup, kau harus bangun!"
Hallie berjuang untuk bangun. Jenna menyambar lengannya,
dan bersama-sama mereka menaiki tangga. Angin berembus dan
berputar-putar dalam ruangan.
Kedua gadis itu bergandengan, berbagi kekuatan. Jenna
berjuang naik. Satu langkah. Dua.
Akhirnya mereka tiba di anak tangga teratas. Angin melolong di
telinga Jenna. Ia meraih kenop pintu agar tidak jatuh kembali ke
bawah tangga. Hallie mencengkeram pinggangnya dengan kedua
tangan. Lalu angin berhenti berembus.
Kesunyiannya begitu tiba-tiba, begitu menyeluruh, sehingga
telinga Jenna berdenging karenanya. Kulit di belakang lehernya terasa
tersentak-sentak. Sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang sangat buruk.
Jenna melirik ke belakang. Angelica dan Simon berdiri
berdampingan, membaca mantra, mata mereka terpejam. Api
menggeliat-geliat di udara di atas kedua tangan mereka yang
bergandengan. Api itu berwarna kuning, lalu hijau, lalu semerah
darah. Lalu berubah hitam. Api hitam itu mulai menari-nari. Bayang-bayang tebal yang
melingkar-lingkar menumpuk bagai awan badai di sekitar suami-istri
Fear. Angelica menunjuk kedua gadis itu. "Tangkap mereka,"
perintahnya. Bayang-bayang itu membengkak hingga hampir menyentuh
langit-langit. Lalu, diiringi raungan hebat, awan itu maju. Langsung
ke arah Jenna dan Hallie.
Hallie menyambar tangan Jenna, meremasnya hingga terasa
menyakitkan karena menekan amuletnya. Dalam ketakutannya, Jenna
telah melupakan amulet itu. Tapi rasa sakit itu menyadarkannya
bahwa amulet tersebut satu-satunya harapan mereka. Kekuatan
menghadapi kekuatan. Kejahatan melawan kejahatan.
Awan itu bergerak ke arahnya, menjulang semakin lama
semakin tinggi. Dari balik kegelapan yang berputar-putar itu, Jenna
bisa melihat api hitam tersebut menari-nari.
Dengan segenap kekuatannya, Jenna melontarkan amulet itu.
Langsung ke bayang-bayang tersebut.
Ke dalam apinya. Kilat menyambar dari sana, menebar ke seluruh sudut ruangan.
Jenna bisa melihat bayangannya menipis. Memudar.
"Lari!" jerit Jenna, sambil mendorong Hallie. "Sekarang!"
Sambil menyambar tangan Hallie, ia melesat melintasi rumah
dan menghambur keluar. Mereka berlari melintasi lahan Fear ke jalan
dan tidak berhenti hingga tiba di rumah.
Pasangan Sheridan menemui mereka di pintu. Kedua orang
dewasa itu tampak kelelahan dan khawatir.
"Anak-anak, dari mana saja kalian?" tanya Mrs. Sheridan
sewaktu Jenna dan Hallie menghambur masuk rumah. "Sekarang
sudah lewat tengah malam!"
"Kami hampir saja tewas!" jerit Hallie. "Keluarga Fear
mencoba mencuri jiwa kami dan menghidupkan kembali putri-putri
mereka..." "Cukup, Nona-nona muda," kata ayahnya.
"Please, dengarkan!" pinta Jenna. "Dia mengatakan yang
sebenarnya." Jenna menceritakan seluruh kejadian yang mereka alami dengan
tergesa-gesa, sebelum ayah Hallie sempat memprotes. Suaranya pecah
dari waktu ke waktu, dan ia berusaha keras untuk tidak menangis.
"Itulah sebabnya kita semua harus pergi dari sini," katanya.
"Sekarang, Anak-anak," kata Mr. Sheridan. "Kalian kira kami
akan mempercayai cerita sinting itu?"
Kali ini, Jenna tidak lagi mampu mengendalikan air matanya.
Air matanya menghambur membasahi pipinya, terasa panas
menyengat. Ia harus meyakinkan mereka. Ia harus membuat mereka
percaya! Waktunya semakin sempit"bagi mereka semua.
"Kalau kalian tidak mempercayaiku, percayailah mata kalian
sendiri!" jeritnya, sambil menarik bagian atas gaun tidur Hallie.
Mrs. Sheridan menjerit. Jenna melirik sekali dan mengetahui
alasannya. Lukanya telah sembuh. Menutup. Tapi meninggalkan
tanda. Tanda berbentuk hati hitam yang sempurna.
BAB 25 KELUARGA SHERIDAN menunda waktu hanya secukupnya
untuk mengemasi beberapa koper. Lalu mereka pergi, dengan tekad
bulat untuk meninggalkan Shadyside selama-lamanya.
Jenna berbalik memandang ke kota Shadyside. Tempat ini milik
keluarga Fear. Akan selalu begitu.
Mr. Sheridan menyuruh kuda-kudanya untuk melaju lebih
cepat. Saat mereka berderap, Jenna melirik keluar kereta dengan
perasaan gugup. Tak seorang pun mengejar mereka.
Tapi Jenna tahu keluarga Fear belum kalah. Kekuatan mereka
mungkin melemah untuk sementara waktu, tapi mereka masih sama
jahatnya seperti dulu. Jenna menggigil. Ia telah menghadapi kejahatan yang paling
mengerikan dan bertahan hidup. Tapi ia tahu saat kembali duduk di
kereta bahwa ia telah beruntung. Sangat beruntung.
Gadis-gadis lain mungkin takkan seberuntung itu....END
Istana Yang Suram 18 Dewa Arak 10 Tiga Macan Lembah Neraka Manusia Halilintar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama