Ceritasilat Novel Online

Rahasia Rahasia Kelam 1

Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets Bagian 1


Blackrose Manor MAWAR-MAWAR hitam tengah mekar.
Keharumannya memenuhi udara. Begitu harum, harum yang
menusuk. Wanita tua kurus itu menarik syal hitamnya menutupi bahunya
yang sempit dan bungkuk. Mawar-mawar mengelilinginya saat ia
duduk di tamannya. Kehadiran mawar-mawar tersebut membuatnya menggigil
ketakutan. Aku rindu keharuman magnolia, pikir wanita itu. Ia
mencengkeram syalnya dengan tangan-tangan keriputnya. Aku rindu
rumah masa mudaku. Whispering Oaks. Ia memejamkan mata. Aku sering bermimpi pulang. Tapi tak hanya jarak yang
menahanku. Juga berlalunya waktu. Dan pengkhianatan. Wanita tua itu membuka matanya dan menatap mawar-mawar
hitam tersebut. Ia membayangkan bisa melihat bayangan dirinya pada
tetes-tetes embun di kelopak-kelopak bunga itu.
"Aku sudah menjadi tua di Blackrose Manor ini," gumamnya.
"Aku sudah menjadi tua memimpikan Whispering Oaks."
Terlalu banyak tahun-tahun yang berlalu sejak aku menjadi
orang terakhir di perkebunan keluarga itu, pikirnya. Tapi sekalipun
begitu kenangannya tidak memudar. Kenangannya tetap kuat.
Kenangan yang menghantuiku.
Mungkin sudah waktunya bagiku untuk membicarakan masa
lalu. Mungkin sudah waktunya kuceritakan apa yang terjadi...
menceritakan rahasia-rahasianya. Mungkin kalau kuceritakan aku
akan bisa kembali tidur nyenyak di malam hari.
Tapi pada siapa aku bisa bercerita" Siapa yang cukup peduli
untuk mendengarkan kisah gilaku"
Seharusnya kuceritakan kejadiannya kepada saudariku. Sudah
bertahun-tahun aku tidak berbicara dengannya. Dan dia begitu dekat.
Dekat sekali. Dia tidur di sampingku... jauh dalam makamnya yang gelap.
Mawar-mawar hitam tumbuh di atas tempat peristirahatannya.
Mawar-mawar itu menjadi selimutnya. Pasti ranjangnya dingin"
sedingin hatiku. Saudariku tidak bersedia mendengarkan kisahku sewaktu ia
masih hidup. Mungkin sekarang ia bersedia mendengarkan.
Kisahku dimulai bertahun-tahun yang lalu... sewaktu aku masih
muda. Sebelum tangan-tanganku mulai kaku dan bengkok. Sebelum
kulitku keriput dan rambutku beruban.
Kisahku merupakan kisah dua saudari, Victoria dan Savannah...
dua saudari terkutuk. Kami tumbuh besar bersama-sama di perkebunan ayah kami,
Whispering Oaks. Savannah gadis yang cantik. Semua orang bilang begitu.
Rambutnya sepirang berkas cahaya bulan. Matanya sehijau musim
semi. Sejak saat dilahirkan, dia merupakan anak favorit. Ibu kami
memanjakan dirinya dan ayah kami menuruti semua keinginannya.
Victoria gadis yang cerdas. Semua orang menyebutnya begitu.
Atau kalau orang-orang sedang kurang ramah, dia disebut saudari
yang aneh. Dia tidak secantik Savannah. Rambut dan matanya
secokelat tanah perkebunan kapas.
Kehidupan berjalan damai bagi dua bersaudara tersebut.
Mungkin akan tetap begitu kalau bukan karena kejadian-kejadian yang
berlangsung di musim semi tahun 1861.
Pada musim semi itulah kakak lelaki kami, Zachariah, pulang
dari West Point. Ia membawa seorang teman"seorang kadet muda.
Tyler Fier. Betapa berbedanya kehidupan kami seandainya Zachariah tidak
mengajak temannya ke perkebunan.
Tyler pria paling tampan yang pernah kutemui. Rambutnya
sehitam langit malam sewaktu bulan tidak menampakkan diri. Dan
matanya sebiru danau di musim dingin.
Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.
Begitu pula saudariku. Mungkin kalau saudariku tidak jatuh cinta padanya, kami tidak
akan berada di sini sekarang.
Mungkin kalau aku tidak jatuh cinta padanya, kisahku akan
berakhir lebih bahagia. Aku bisa mendengar suara-suara dari masa lalu berputar-putar
di sekitarku sekarang. Suara-suara tersebut mengelilingiku sama
seperti mawar-mawar itu. Wanita tua tersebut mengelus tepi kelopak mawar hitam yang
bagai sutra dengan jarinya.
Lalu duri mawar itu melukai jarinya.
Darah menetes dari jarinya.
Darah hitam. Tetes demi tetes darah mengalir dari jarinya dan meresap ke
dalam tanah. BAGIAN SATU Whispering Oak Georgia, Musim Semi 1861 Bab 1 SAVANNAH GENTRY berdiri di balkon lebar Whispering
Oaks, rumah perkebunan keluarganya yang mengagumkan.
Ia menatap lahan ayahnya. Di hari lain, ia pasti sudah melihat
budak-budak yang tengah bekerja di kebun-kebun di kejauhan. Kapas
yang mereka tanam dan petik menjadikan ayahnya kaya-raya.
Tapi para budak tidak bekerja di ladang hari ini. Hari ini adalah
hari istimewa, hari perayaan.
Para budak yang lebih tua menyiapkan meja-meja untuk pesta
Savannah. Budak-budak yang lebih muda tengah memutar sapi-sapi
dan babi-babi di atas api unggun.
Para tetangga dari berkilometer-kilometer di sekitar tempat
tersebut telah diundang untuk turut menikmati hari yang bersejarah
ini" sebagaimana ayahnya menyebutnya. Hari ulang tahun Savannah.
Bahkan kakaknya, Zachariah, telah kembali dari West Point
pada waktunya untuk menghadiri pesta ulang tahunnya. Dan kakaknya
mengajak seorang teman. Tyler Fier. Savannah tersenyum sewaktu mengingat Tyler. Aku baru
mengenalnya kurang dari dua minggu, pikirnya menyadari. Tapi aku
sudah merasa ia merupakan bagian dari diriku.
Seharusnya aku tidak membiarkan dirinya jauh dariku pagi ini.
Savannah mengentakkan kakinya.
Akan kumarahi Zachariah sepulangnya berkuda dengan Tyler
nanti, pikirnya mengambil keputusan. Kakakku itu tahu Tyler tidak
lama lagi akan pulang ke rumahnya di Utara. Sungguh egois ia
mengajak Tyler berkuda tanpa diriku.
Ia berjinjit. Berusaha keras melihat tanda-tanda kehadiran kedua
pemuda tersebut. "Sialan!" Ia menurunkan tumitnya ke lantai dan merapikan rok
gaun sutra hijaunya. "Mereka berjanji kembali pada saat piknik."
Savannah mendengar gemuruh roda-roda kereta. Ia melangkah
ke sudut balkon dan mengintip ke arah depan rumah.
Kereta-kereta yang membawa pasangan-pasangan yang tertawatawa, sedang menyusuri jalan tanah. Savannah hampir-hampir tidak
memandang para pemuda yang mengemudikan kereta. Dulu ia pernah
tertarik kepada pemuda-pemuda itu. Dulu ia duduk di bawah
keteduhan sebatang pohon ek dan menghirup limun bersama setiap
pemuda itu. Dan dulu ia pernah berjanji untuk menikah dengan setiap
orang di antara mereka. Sekarang ia hanya peduli tentang Tyler.
"Sialan!" ulangnya. "Aku ingin Tyler di sini dan bertemu
dengan teman-temanku."
Lalu ia mendengar derap kaki-kaki kuda. Ia berputar ke arah
perkebunan. Tyler tengah berderap ke arah rumah perkebunan di atas
kuda hitamnya. Zachariah mengikuti dekat di belakangnya.
Sambil mengangkat gaun hijau panjangnya, Savannah bergegas
masuk ke kamar tidurnya. Ia menyambar payung hijau yang sesuai
dengan gaunnya. Lalu ia melesat keluar dari kamar tidur dan
menuruni tangga putar ke ruang depan yang luas.
"Savannah!" Ia berhenti begitu mendengar suara ibunya.
Ibunya melangkah dengan anggun menyeberangi serambi.
"Wanita terhormat tidak berlari," katanya memarahi Savannah.
"Terutama wanita-wanita muda terhormat yang baru saja berulang
tahun ketujuh belas."
Wajah Savannah memerah. "Aku tahu, Ibu, tapi Tyler sudah
menungguku." Ibunya tersenyum dengan lembut. "Tyler, Tyler, Tyler. Setiap
kalimat yang kauucapkan akhir-akhir ini selalu berisi namanya."
"Aku senang ditemani dirinya," kata Savannah tanpa bernapas.
"Kau sudah bertemu kakakmu?" tanya ibunya. "Kau sudah
bertemu Victoria siang ini?"
"Belum," jawab Savannah. "Tapi aku yakin dia akan hadir pada
saat piknik nanti." Pandangan ibunya berubah, menunjukkan perasaan waswas.
"Kuharap begitu. Kuharap dia tidak berada di tempat para budak lagi."
Ia menggeleng. "Aku tidak menyukai kebiasaan-kebiasaan aneh yang
dilakukannya." Savannah menggigil. Ia juga tidak menyukai perubahan dalam
diri Victoria. Dan ia tahu sesuatu yang tidak diketahui ibunya.
Victoria terpesona oleh ilmu hitam yang dipraktekkan oleh beberapa
wanita budak berkulit hitam.
Victoria ingin memiliki kekuatan aneh mereka. Itulah alasan
sebenarnya dia menghabiskan begitu banyak waktu di tempat para
budak. Aku tidak akan mengkhawatirkan Victoria sekarang, pikir
Savannah. Aku tidak akan membiarkan kakakku merusak ulang
tahunku. Bab 2 "SAMPAI ketemu di piknik, Mama," seru Savannah sambil
bergegas keluar melalui pintu depan yang lebar.
Zachariah dan Tyler berjalan mendekat sewaktu ia tiba di
serambi. "Aku ingin menunjukkan salah satu bunga di taman kepada
adikmu ini. Aku belum pernah melihat bunga itu tumbuh di Utara"
dan kukira dia bisa memberitahuku namanya," kata Tyler.
Please, Zach, pinta Savannah diam-diam. Please, oh, please. Ia
bisa menghitung dengan jari berapa kali ia dan Tyler sempat berduaan
saja. Zachariah mengedipkan mata kepada Savannah, mata hijaunya
berkilauan. "Aku tidak ingin melarangmu mempelajari bunga-bunga
Selatan yang cantik," katanya kepada temannya. "Tapi jangan terlalu
lama"atau aku terpaksa harus mencari kalian."
Savannah merasakan wajahnya memanas saat Tyler
membimbingnya menuruni tangga serambi, menyeberangi tamantaman, dan masuk jauh ke dalam hutan.
"Aku tidak sengaja menemukan tempat ini sewaktu berjalanjalan," kata Tyler sewaktu mereka tiba di sebuah lapangan.
Sekarang Savannah bisa melihat gazebo kecil putih yang berdiri
di samping danau. "Zach biasanya membawa gadis-gadis kemari," kata Savannah
mengakui. Tyler memetik sekuntum magnolia yang mekar di pohon. Ia
mengulurkan bunga tersebut kepada Savannah sewaktu mereka
melangkah memasuki gazebo kayu itu.
"Aku suka aroma magnolia," kata Savannah.
Tyler memeluk pinggangnya dan menariknya mendekat.
Ciuman pertama kami, pikir Savannah saat Tyler mendekatkan bibir
ke bibirnya. Aku tidak bisa bernapas, pikir Savannah panik. Aku tidak bisa
bernapas dan aku tidak peduli. Ia menyukai perasaan yang
ditimbulkan lengan Tyler saat memeluknya, kehangatan bibir Tyler
pada bibirnya. Akhirnya, Savannah menghentikan ciuman tersebut. Sambil
terengah-engah, ia menekankan pipinya ke dada Tyler. Ia mendengar
jantung Tyler berdetak secepat jantungnya sendiri. "Aku tidak akan
bisa hidup kalau kau pergi!"
Tyler memeluknya lebih erat. "Ikutlah denganku."
Savannah menyentakkan kepalanya dan memandang lurus ke
mata Tyler. "Menikahlah denganku, Savannah," Tyler tidak menunggu
jawabannya. Dengan penuh semangat, ia kembali mencium Savannah
Dan seiring dengan ciumannya, Savannah memberikan
jawabannya. Ya! Ya! Ya! Angin dingin yang berembus tiba-tiba menggetarkan dedaunan
di pepohonan dekat tempat itu. Savannah merasakan bulu kuduknya
meremang. Perasaan aneh menyapu dirinya. Ada yang sedang mengawasi
kami, ia menyadarinya dengan perasaan terkejut. Aku bisa merasakan
ada orang yang mengawasi kami.
Ia menjauhkan diri dari Tyler dan bergegas memandang
sekitarnya. Tapi ia tidak melihat seorang pun. "Maaf. Kukira ada yang
sedang mengawasi kita," katanya menjelaskan.
Mata biru Tyler berubah gelap. "Apa yang mereka lihat?"
Savannah tersenyum lembut dan memeluknya. "Dua orang yang
merencanakan untuk menghabiskan sepanjang sisa hidup mereka
bersama-sama." Tyler menyapukan bibirnya ke kening, ujung hidung, dan pipi
Savannah. "Aku ingin mengumumkan pertunangan kita hari ini! Pada
waktu piknik!" Terdengar bunyi ranting patah. Savannah melompat
menjauhkan diri dari Tyler dan berbalik.
"Ada yang mengawasi kita!" jeritnya.
Tyler memeluk dirinya dan mencium bahunya. "Hanya bajing,"
katanya. "Tidak," kata Savannah bersikeras. Ia mengamati tepi lapangan.
Mata hijaunya menyipit. "Di sana!" jeritnya. Ia menunjuk seseorang yang setengah
tersembunyi di balik pepohonan.
Kakaknya! Victoria dengan mata dan rambut cokelatnya.
Victoria, yang warnanya menyatu dengan warna kulit pepohonan.
Kakaknya melesat pergi. "Victoria!" seru Savannah. "Victoria!"
"Biarkan saja," kata Tyler.
Savannah berbalik dan memandangnya. "Tidak bisa. Dia akan
sulit untuk menerima berita pertunangan kita. Victoria berharap kau
akan tertarik padanya..."
"Apa?" seru Tyler.
"Kau memang bertemu dengannya lebih dulu. Dan kau sangat


Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai menyanjung," Savannah mengingatkannya.
"Sopan. Aku bersikap sopan," Tyler memprotes. Ia menarik
Savannah ke dalam pelukannya dan kembali menciumnya.
Savannah menyukai perasaan yang ditimbulkan bibir Tyler
pada bibirnya. Tapi akhirnya ia memaksa diri untuk menjauh. "Aku
tahu kau hanya bermaksud bersikap sopan. Tapi tolong pahamilah.
Aku harus berbicara dengan Victoria sebelum kita mengumumkan
pertunangan kita." Tyler mengecupnya sekilas. "Baiklah. Pergilah. Akan kutunggu
kau di meja." Apa yang akan dilakukan Victoria" Savannah penasaran sambil
bergegas menuju ke tempat para budak. Ia tahu Victoria pasti ke sana.
Dia pasti murka. Aku tahu dia menginginkan Tyler untuk
dirinya sendiri. Aku harus membuatnya mengerti bahwa kami tidak
bermaksud menyakitinya. Tapi bagaimana kalau aku gagal" pikir Savannah. Bagaimana
kalau dia menolak mendengarkan"
Ketakutan yang dingin merayapi tubuh Savannah. Apa yang
akan dilakukan Victoria" Apa yang akan dilakukan Victoria pada
kami berdua" Saat ia semakin dekat dengan tempat para budak, ia mendengar
lolongan mengerikan dari salah satu gubuk tua yang ada di sana.
Ia mempercepat langkahnya. Oh, Victoria, pikir Savannah. Apa
yang sudah kaulakukan"
Lolongan tersebut semakin keras.
Dengan jantung berdebar-debar, Savannah membuka pintu dan
mengintip ke dalam gubuk.
Ia menekankan tangannya ke bibirnya, mencoba meredam
teriakannya. Victoria tengah berdiri di tengah-tengah ruang yang remangremang itu.
Darah merah cerah mengalir turun di wajahnya.
Bab 3 SAVANNAH menatap kakaknya. Ia tidak mampu berbicara.
Victoria tengah memegang seekor anak babi kemerahan di
tengah-tengah meja kayu besar. Lilin-lilin yang bergoyang-goyang
membentuk setengah lingkaran mengelilingi anak babi tersebut.
Apinya menari-nari liar sementara hewan itu menguik-nguik.
Bau daging terbakar dan rambut hangus menusuk cuping
hidung Savannah. Ia bisa melihat api oranye di perapian menjilat-jilat
sisa-sisa anak babi lainnya dengan rakus.
Savannah gemetar hebat sambil mengawasi kakaknya.
Victoria mencelupkan tangannya ke sebuah mangkuk perak.
Sewaktu mengangkat tangannya kembali, darah merah cerah"darah
segar"mengalir dari telapak tangannya yang membentuk mangkuk.
Ia menyiramkan darah itu ke salah satu lilin. Apinya mendesis,
mengerjap-ngerjap, dan mati.
Victoria mengulangi ritual itu hingga seluruh lilin padam. Asap
hitam tipis membubung berputar-putar ke langit-langit. Anak babi itu
menendang-nendangkan kakinya dan menguik-nguik panik.
Bagaimana dia bisa melakukan perbuatan sejahat itu" pikir
Savannah. Victoria mulai bergoyang-goyang. "Dominatio per malum. Api.
Ketakutan. Pengkhianatan. Pembalasan," lantunnya.
Teror membuncah dalam diri Savannah. Apa arti kata-kata itu"
tanyanya sendiri. Apakah Victoria menganggap dirinya telah
mengkhianatinya" Apakah dia merencanakan untuk membalas
dendam" Tidak, Victoria tidak akan pernah menyakiti diriku, kata
Savannah pada diri sendiri. Tapi kenapa dia melakukan semua ini"
Victoria meraih sebilah pisau besar. Ia mengacungkannya
tinggi-tinggi di udara. Ia menyentakkan kepalanya ke belakang. "Aku
melakukan ini untukmu, Savannah!" serunya.
"Victoria, tidak!" jerit Savannah sambil bergegas mendekati
kakaknya. Ia mendorong Victoria menjauhi meja. Pisaunya berdentang di
lantai. Anak babinya bergegas bangkit. Savannah mengangkatnya dari
meja dan hewan itu terbirit-birit meninggalkan gubuk.
Victoria terus bergoyang-goyang, mengulangi kata-katanya
dengan suara serak. "Ketakutan. Pengkhianatan. Pembalasan."
Ia tidak menyadari aku menghentikan tindakannya, pikir
Savannah terkejut. Ia bahkan tidak menyadari kehadiranku di sini!
"Victoria!" jerit Savannah.
Victoria tidak mengacuhkannya. Mata cokelatnya berkaca-kaca.
Ia sedang kerasukan, Savannah tersadar. Jantungnya berdebardebar.
Savannah menyambar Victoria dan tersentak. Tubuh kakakku
sedingin es, pikirnya. Aku bisa merasakan hawa dinginnya meresap
keluar menembus pakaiannya.
Savannah menancapkan jemarinya ke bahu Victoria dan
mengguncang-guncang kakaknya. "Victoria! Victoria, apa yang terjadi
padamu?" Victoria mulai mengerang. Air mata mengalir di pipinya.
"Maafkan aku, Victoria," bisik Savannah. Ia menampar wajah
kakaknya yang berlumuran darah.
Kepala Victoria tersentak ke samping. Tangan Savannah terasa
sakit. Ia kembali mengguncang kakaknya. "Victoria!"
Victoria mengerjapkan mata. Sekali. Dua kali. Lalu ia gemetar.
Kesadaran kembali memancar di matanya. "Savannah!"
Savannah mendesah lega. Ia sudah melihatku, pikir Savannah.
Victoria sudah tersadar dari kerasukannya.
Lalu kemarahan Savannah muncul. "Apa yang kaulakukan di
sini?" tanyanya. Ketakutan terpancar dalam pandangan Victoria sewaktu ia
memandang ke sekitar gubuk. "Mana Tyler?"
"Di pesta. Aku kemari karena ingin berbicara denganmu."
Victoria menyipitkan mata cokelatnya. "Aku tidak
mempercayai Tyler." "Kaukira kau bisa menyakitinya dengan membunuhi babi-babi
kecil itu?" tanya Savannah.
"Kukira aku bisa mengetahui sesuatu tentang dirinya dengan
melakukan ritual ini." Victoria tersenyum penuh kemenangan. "Dan
berhasil." Savannah marah sekali. "Kau tidak berhak..."
"Aku berhak," kata Victoria cepat. "Aku lebih tua darimu. Aku
harus melindungimu."
"Aku tidak memerlukan perlindunganmu dari Tyler." Savannah
berbalik dan mulai berjalan pergi.
Kau keliru!" teriak Victoria. "Tyler Fier berasal dari keluarga
terkutuk." Savannah berbalik dan memelototi kakaknya. "Itu konyol. Aku
mencintai Tyler. Aku mengenal dirinya sebaik diriku sendiri. Ini,?"
ia menunjuk meja yang berlumuran darah" "tidak lebih dari
permainan yang kejam. Aku tidak percaya pada ilmu hitam."
Victoria maju selangkah. "Seharusnya kau percaya, Savannah.
Ilmu hitam mengungkapkan kebenaran padaku. Kejahatan mengintai
keluarga Fier." Savannah mendesah jengkel. "Victoria, aku tahu kau berharap
bisa menikah dengan Tyler. Aku tahu kau tidak sengaja mendengar
Tyler melamarku. Aku tahu kau kecewa. Tapi apa pun yang
kaukatakan tak bisa menghentikanku menikah dengan Tyler."
"Kau tidak mengerti!" lolong Victoria. Ia bersidekap erat-erat
dan merosot ke lantai. Lalu ia bergoyang-goyang terus-menerus. "Kau
tidak mengerti!" Savannah menjatuhkan diri ke samping kakaknya. "Aku
mengerti. Kau kecewa..."
"Tidak!" jerit Victoria melengking. "Kaulah yang akan disakiti.
Aku berusaha melindungimu! Kesintingan. Kematian. Kebencian.
Semuanya mengikuti keluarga Fier. Dan akan mengikutimu kalau kau
tidak memutuskan hubungan kalian..."
Savannah mengacungkan tangan untuk menghentikan celoteh
kakaknya. "Kau cemburu, Victoria. Cemburu karena kau yang lebih
dulu bertemu Tyler"dan dia memilih adikmu."
"Itu tidak benar," kata Victoria bersikeras. Ia menyambar kedua
tangan Savannah. Kuku-kuku jemarinya menancap ke telapak tangan
Savannah. "Aku mengkhawatirkanmu. Kau harus menjauhi Tyler
Fier!" Bab 4 "AKU tidak bisa menjauhi Tyler," kata Savannah pelan sambil
bangkit berdiri. "Aku mencintainya."
"Dia tidak akan memberimu apa-apa kecuali ketidakbahagiaan,"
kata Victoria memperingatkan.
"Satu-satunya yang membuatku tidak bahagia adalah kau," kata
Savannah sedih. Ia meraih tangan Victoria dan membantunya bangkit
berdiri. "Kau kakakku, Victoria, dan aku sangat menyayangimu. Aku
ingin kau juga menikmati hari yang paling membahagiakan seumur
hidupku bersamaku." "Aku tidak ingin kau terluka," gumam Victoria.
"Kalau begitu kembalilah ke piknik bersamaku."
Victoria mengangguk. Savannah membimbing kakaknya ke
ember terdekat. Seandainya Tyler tidak sesopan itu sewaktu pertama kali
bertemu Victoria, pikir Savannah sambil membasuh darah dari wajah
kakaknya. Tapi mana ia tahu Victoria akan jatuh cinta pada pria itu
demikian cepat" Atau kalau Tyler akan jatuh cinta padaku"
Sesudah Victoria bersih, Savannah menyelipkan lengannya di
pinggang kakaknya. Dengan membisu, mereka pergi dari tempat
tinggal para budak. Mereka berjalan melewati taman-taman. Sewaktu
mendekati rumah perkebunan, Savannah melihat Tyler tengah
bersandar pada sebatang pohon, mengawasinya.
Apa dia akan selalu membuat jantungku berdebar secepat ini"
Savannah penasaran. Apa melihat dirinya akan selalu membuatku
menahan napas" Tyler melangkah dengan santai mendekati mereka. "Aku ingin
membahagiakan adikmu," katanya tegas kepada Victoria.
"Kalau begitu tinggalkan dia." Victoria melangkah pergi tanpa
mengatakan apa-apa lagi. Savannah memegang lengan Tyler. "Abaikan saja. Dia
cemburu. Dia menginginkanmu, tapi kau menginginkanku."
Jantung Savannah berdebar-debar hebat saat memandang mata
biru tua Tyler. "Selamanya, Savannah," kata Tyler dengan suara pelan. "Kau
akan menjadi milikku untuk selamanya."
"Selamanya," sumpah Savannah, dan kebahagiaan memenuhi
hatinya. Sebuah teriakan di kejauhan menyebabkan Savannah berbalik.
Ia melihat seekor kuda tengah berderap di sepanjang jalan tanah.
Penunggangnya dengan panik melambai-lambaikan koran di udara.
"Perang!" teriaknya. "Perang pecah!"
Pria tersebut menghentikan kudanya saat orang-orang bergegas
berkumpul di sekitarnya. "Fort Sumter diserang!" teriaknya sehingga
semua orang bisa mendengarnya. "Kita perang!"
"Perang," bisik Savannah dengan suara serak. Perang! jerit
hatinya. Tyler sekarang seorang prajurit, ia menyadari hal itu dengan
ketakutan yang amat sangat. Dan prajurit tewas!
Savannah menekankan pipinya ke dada Tyler. "Jangan pergi,"
bisiknya. Tyler meraih Savannah ke dalam pelukannya. "Aku harus pergi,
Savannah," katanya pelan.
"Bagaimana kalau kau tewas?" tanya Savannah. Suaranya
bergetar. Tyler tertawa. "Aku tidak akan tewas. Tidak kalau kau mau
menungguku." Ia meletakkan tangan di bahu Savannah dan
mendorongnya kembali dengan lembut. Ia menatap lurus ke mata
hijau Savannah. "Kau mau menunggu, bukan?"
"Tentu saja. Dan dengan dirimu bertempur bahu-membahu
bersama Zachariah..."
"Bersama Zachariah?" sela Tyler dengan suara tertegun. "Aku
tidak akan bertempur bersama Zachariah. Aku akan bertempur untuk
pihak Utara." Kebingungan, Savannah berusaha memahami dengan tepat apa
yang dikatakan Tyler kepadanya. "Utara" Kau tidak mungkin
bertempur di pihak Utara!"
"Bisa dan pasti," kata Tyler pelan tapi tegas.
Savannah membebaskan diri dari pelukan Tyler dan melangkah
mundur menjauhinya. Dengan satu kata"perang!"Tyler telah
berubah menjadi musuhku, ia tersadar dengan perasaan sedih. Tyler
akan bertempur untuk menghancurkan Selatan, rumahku, keluargaku.
Savannah gemetar. Air mata panas menyengat matanya.
"Bertempurlah untuk pihak Selatan, Tyler," pintanya putus asa.
"Bertempurlah demi kampung halaman dan keluargaku."
"Aku harus bertempur demi kampung halamanku, Savannah.
Kesetiaanku kepada Utara!"
"Dan apakah kesetiaanmu padaku?" tanya Savannah marah.
Ekspresi wajah Tyler mengeras. "Kita menikah hari ini. Akan
kubawa kau pulang ke rumahku di Massachusetts. Dengan begitu kau
dan rumahku akan ada di Utara. Kesetiaanku tidak akan terbagi."
"Tidak. Aku tidak bisa menikah denganmu," kata Savannah.
"Tidak sekarang."
"Kau akan menikah denganku!" kata Tyler bersikeras.
Savannah bertahan pada pendiriannya. Ia menegakkan bahunya
dan mengangkat dagunya dengan keras kepala. "Kalau aku menikah
denganmu, aku harus melupakan Selatan. Aku tidak bersedia
melakukannya." Wajah Tyler memerah karena marah. "Kuminta kau menikah
denganku, Savannah," bisiknya. "Kau menjawab ya!"
"Itu sebelum aku tahu yang sebenarnya tentang dirimu!" jerit
Savannah. "Itu sebelum aku tahu kau akan bertempur di pihak Utara.
Aku tidak bisa mencintai orang yang akan bertempur untuk
menghancurkan kampung halaman dan keluargaku. Aku tidak akan
mencintaimu!" Tyler mengepalkan tangannya. "Kau tidak punya pilihan. Kau
sudah jadi milikku!"
"Tidak!" jawab Savannah. "Kalau kau bertempur di pihak
Utara, aku tidak akan mencintaimu. Aku tidak akan pernah menikah
denganmu." Kemarahan hebat memancar di mata Tyler. Savannah merasa
sangat ketakutan. "Aku akan berangkat untuk bertempur bersama tentara Utara,"
kata Tyler dengan gigi terkatup. "Ikutlah denganku sekarang."
"Tidak akan!" ulang Savannah, jantungnya berdebar-debar
hebat dalam dadanya. "Kau mengkhianati rumahku, persahabatan
kakakku, dan cinta kita. Aku tidak akan pernah menikah denganmu!"
Dengan air mata membutakannya, Savannah berlari ke dalam
rumah. Ia menabrak salah satu pilar marmer.
Sakit yang ditimbulkan oleh pengkhianatan Tyler merobekrobek dirinya.
Teganya Tyler bertempur di pihak Utara sementara aku tinggal
di Selatan" Bagaimana ia bisa menjadi kekasihku pada satu saat dan
saat berikutnya menjadi musuhku"
Lalu ia mendengar seseorang tertawa. Tawa Victoria yang ceria.


Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Histeris. Bahagia. "Dia pergi, bukan?" tanya Victoria.
Savannah menengadah. Ia melihat Tyler menunggang kuda
hitamnya di jalan tanah, menjauhi Whispering Oaks, meninggalkan
dirinya. Dan hatinya hancur berkeping-keping.
Victoria bertepuk tangan dengan gembira.
Ia bahagia karena Tyler pergi, Savannah menyadarinya. Luar
biasa bahagia. Kecemburuannya begitu mencolok. Ia tidak bisa
mendapatkan Tyler, dan sekarang ia tahu aku juga tidak akan
mendapatkannya. Savannah melihat Tyler tiba-tiba menghentikan kudanya. Ia
memutar kuda jantan tersebut. Ia berderap kembali ke rumah. Debu
mengepul di sekitarnya. Ia kembali, pikir Savannah bahagia. Ia kembali untukku! Ia
akan memelukku dan segalanya akan beres.
Tyler menghentikan kudanya di depannya. Kulit hitam kuda itu
basah dan mengilat. Savannah bisa mencium bau keringat hewan
tersebut, merasakan kehangatan napasnya saat hewan itu terengahengah.
Savannah maju selangkah dan mengarahkan tatapannya ke
Tyler. Mata biru Tyler masih memancarkan kemarahan. Wajahnya
yang tampan berkerut penuh kemurkaan dan kebencian.
Tyler menarik kudanya hingga hewan itu berdiri pada kaki
belakangnya. Savannah terhuyung mundur dan memeluk pilar marmer putih.
"Ingat kata-kataku, Savannah Gentry!" ancam Tyler. "Aku
selalu menepati janji!"
Kaki-kaki kudanya menghunjam ke tanah. Tyler membungkuk
hingga wajahnya sejajar dengan wajah Savannah. Ketakutan
mencengkeram hati Savannah.
"Kau akan menyesal sudah memilih Selatan dan bukan aku!
kata Tyler. "Aku bersumpah kau akan menyesalinya!"
Blackrose Manor WANITA tua itu gemetar mengenangnya.
Begitu jelas. Seakan-akan semuanya baru terjadi kemarin.
Ia masih bisa mendengar kata-kata Tyler bergema di seluruh
perkebunan. Ia masih bisa melihat Tyler berderap menyusuri jalan
tanah, menjauhi Whispering Oaks.
Dengan jari gemetar ia memetik sekuntum mawar dari rumpun
terdekat. Ia mencabik sehelai kelopak hitam dan melemparkannya ke
udara. Ia mengawasi kelopak tersebut melayang-layang perlahan ke
tanah. "Savannah mencintainya," katanya dengan suara serak.
Ia kembali mencabut sehelai kelopak dan membuangnya.
Kelopak itu melayang turun dan mendarat di dekat kakinya.
"Savannah tidak mencintainya."
Ia kembali mencabut sehelai kelopak.
"Savannah mencintainya."
Dan kelopak yang lain. "Savannah tidak mencintainya."
Berulang-ulang wanita tua itu mencabut sehelai kelopak dan
mengulangi kata-katanya. Akhirnya, tinggal sehelai kelopak mawar di tangannya.
Wanita tua tersebut memegang kelopak terakhir dan
mengamatinya. "Savannah mencintainya." Ia tergelak. "Tidak peduli berapa
banyak mawar yang kupetik, tidak peduli berapa banyak kelopak yang
kucabut, kelopak terakhir selalu mengungkapkan kebenarannya"
Savannah mencintai Tyler Fier."
Ia memeluk dirinya sendiri, tapi tidak bisa mengusir dinginnya
udara. Ia tidak bisa melindungi dirinya sendiri dari kebenaran. Ia tidak
bisa menahan diri untuk tidak mengingatnya.
Semua orang tahu Savannah patah hati sewaktu Tyler berderap
pergi untuk bertempur bersama tentara Union.
Tapi selama perang banyak hal hancur, pikir wanita tua itu.
Banyak yang berubah. "Perkebunan kapas orangtua kita menjadi medan pertempuran,"
kata wanita tua itu mengenang. "Budak-budak melarikan diri ke Utara
untuk mendapatkan kebebasan. Orangtua kita tewas."
Sambil tersenyum lelah, wanita tua itu memandang makam
saudarinya. "Tinggal kita berdua," bisiknya dengan suara parau.
"Savannah dan Victoria. Hanya tinggal kita berdua di Whispering
Oaks. "Kau ingat, kakakku sayang, betapa ketakutannya kita" Betapa
kelaparannya" Betapa khawatirnya?"
Air mata membanjiri mata wanita tua itu.
"Tapi kita berhasil bertahan hidup, kau dan aku. Bersama-sama
kita berhasil bertahan. Dan hubungan kita menjadi dekat lagi. Seperti
waktu kita masih anak-anak. Kita mulai saling menceritakan segala
sesuatunya. Ketakutan-ketakutan kita. Harapan-harapan kita. Mimpimimpi kita. Terkadang kau bahkan membicarakan Tyler."
Sambil mendesah, wanita tua itu memejamkan mata, teringat
akan percakapan-percakapan di masa lalunya. Savannah ingin"
butuh"untuk berbicara mengenai Tyler.
Dan Victoria mendengarkan.
Savannah tahu Tyler telah mengkhianati cintanya. Tapi ia masih
mengkhawatirkan pria itu.
Savannah penasaran apakah dia akan bertemu Tyler lagi.
Dia ingin memberitahu Tyler bahwa dia masih mencintainya.
Dia perlu memberitahu Tyler bahwa dia mencintainya.
Seiring dengan berlangsungnya perang dari bulan ke tahun,
keputusasaan Savannah semakin besar.
Bab 5 Whispering Oaks Musim Panas 1863 SAVANNAH berjalan melintasi kebun sayur tua. "Akan kucari
di sebelah sini," katanya kepada Victoria. "Kau mencari di sebelah
sana."ebukulawas.blogspot.com
Kami tidak akan kelaparan malam ini, Savannah berjanji pada
diri sendiri. Tidak akan. Ia berlutut di tanah yang hangat dan mulai
mencari-cari di sela-sela batang jagung yang kurus dan tanaman tomat
yang hangus. Aku harus menemukan makanan untuk kami berdua.
Savannah melirik ke arah Victoria. Gaun kakaknya
menggantung kebesaran di tubuhnya. Kami berdua mirip orangorangan sawah, Savannah menyadarinya. Ia mengelus roknya yang
lusuh. Pakaian kami sudah seperti gombal.
Bagaimana kami bisa bertahan hidup hingga kepulangan
Zachariah" Tanpa budak-budak, kami tidak bisa menanam kapas.
Tanpa kapas, kami tidak bisa mendapatkan uang.
Sebuah meriam menggelegar di kejauhan, menyela lamunan
Savannah. Tanah bergetar di bawahnya. Ia mendengar Victoria
menjerit terkejut. Savannah memandang ke arah kakaknya. Victoria meringkuk di
tanah, matanya membelalak ketakutan. "Tidak apa-apa, Victoria," kata
Savannah lembut. "Pertempurannya jauh dari sini."
"Kau yakin?" tanya Victoria.
"Aku yakin." Victoria yang malang, pikir Savannah. Suara meriam
membuatnya ketakutan. Hari demi hari mereka menggetarkan tanah.
Savannah berjongkok. Ia teringat saat Victoria yang
menghiburnya. Sewaktu Savannah masih kecil, guntur membuatnya
ketakutan. Ia akan menyelinap ke ranjang kakaknya kalau badai
mengamuk. Aneh sekali, pikir Savannah. Sekarang akulah yang menghibur
Victoria. Memberitahunya untuk tidak takut terhadap suara-suara
keras. Savannah menancapkan jemarinya ke tanah. Mencari-cari
sayuran di balik timbunan tanah. Tapi ia tidak menemukan apa pun.
Perutnya berbunyi. Aku tidak akan bisa melindungi Victoria dari kelaparan, pikir
Savannah. Lalu ia menggeleng. Jangan memikirkan kemungkinan
terburuk, katanya memarahi diri sendiri. Kami akan bertahan. Pasti!
"Savannah!" jerit Victoria. "Savannah, cepat kemari!"
Savannah menyentakkan kepalanya. Ia melihat Victoria tengah
menarik-narik sesuatu dari tanah dan mati-matian berusaha mengisi
mangkuk di depannya. Makanan! Savannah tersadar. Akhirnya kami menemukan
makanan! "Cepat!" panggil Victoria.
Savannah bangkit berdiri, dan tergesa-gesa menyeberangi
kebun dan berlutut di tanah di samping kakaknya. Wajah kakaknya
tampak kosong dan melamun. Tapi mata cokelatnya berkilauan penuh
semangat. Savannah memandang mangkuk kayunya. Ia melihat sebuah
kentang busuk dan dua wortel mungil yang telah mengerut.
Dan ia melihat cacing-cacingnya.
Gemuk dan basah, cacing-cacing tersebut merayapi satu sisi
kentang dan bergulir ke sisi yang lain, jatuh membentuk tumpukan
yang menggeliat-geliat. "Kita sisakan wortelnya sebagai pencuci mulut," kata Victoria.
"Pencuci mulut?" tanya Savannah. Tenggorokannya serasa
tersumbat. Aku tidak bisa, pikirnya.
Victoria mengangguk dan mengambil seekor cacing dari
mangkuk. Makhluk licin itu menjuntai di sela jemarinya. Victoria
mengulurkannya ke arah Savannah. "Kau yang makan duluan,"
katanya. Perut Savannah terasa perih karena lapar.
Apa kau lebih suka menyantap cacing daripada kelaparan"
tanyanya pada diri sendiri.
Savannah membuka mulutnya dan menyentakkan kepala ke
belakang. Ia mengawasi saat jemari Victoria semakin dekat. Cacing
yang panjang keunguan menggeliat-geliat.
Lalu jatuh. Jatuh ke mulut Savannah yang telah menanti dan langsung
meluncur masuk ke tenggorokannya.
Bab 6 MALAM itu Savannah meringkuk di balik selimut. Untuk
pertama kalinya selama berminggu-minggu ia tidak merasa lapar.
Victoria dan aku akan selamat, pikir Savannah sambil memejamkan
mata. Kami akan melakukan apa pun yang harus dilakukan,
menyantap apa pun yang harus kami makan, dan kami akan bertahan
hidup. Dengan perasaan puas, ia terlelap.
Bum. Ia terjaga dengan terkejut.
Savannah berusaha membuka matanya. Cahaya bulan yang
pucat menerobos jendela. Suara apa tadi" ia penasaran.
Savannah mendengarnya lagi.
Bum. Buk. Apa itu" Bum. Buk. Jantung Savannah berdebar-debar. Ia mendengar suara langkahlangkah kaki di lorong. Lalu suara sesuatu yang menggeser lantai.
Mulut Savannah terasa kering. Ia bergegas turun dari ranjang.
Kenop pintunya berderak"lalu berputar.
Napas Savannah tertahan di dadanya.
Engsel pintu berderit sewaktu pintu perlahan-lahan terbuka.
Seorang pria jangkung berdiri di lorong yang remang-remang.
"Siapa kau?" tanya Savannah dengan suara gemetar.
Pria tersebut maju selangkah dengan kaki kanannya dan
menyeret kaki kirinya di belakang.
Langkah. Seret. Langkah. Seret.
Ia berpaling ke arah Savannah. Cahaya bulan menerangi
wajahnya. Mata Savannah terbelalak sewaktu mengenalinya. "Zachariah!"
Bubuk mesiu mengotori seragam kelabu kakaknya yang telah
compang-camping, juga wajah dan rambutnya. Baunya bagai
membakar cuping hidung Savannah.
Wajah pucat Zachariah tampak muram. Mata hijaunya yang
dulu ceria tampak gelap dan kosong. Rambut pirangnya kusut karena
keringat dan debu. Dan darah! Pandangan Savannah melayang ke lubang peluru yang
menganga di kepala Zach. Darah hitam mengalir dari lukanya,
berkilauan tertimpa cahaya bulan.
"Oh, Zachariah! Tidak!" jerit Savannah. "Kau terluka!" Ia
mengulurkan tangannya. Tapi Zachariah melangkah mundur.
"Biar kubantu," pinta Savannah.
Zachariah menggeleng. Bibirnya bergetar sewaktu ia berusaha
berbicara. Savannah bisa melihat tenggorokan kakaknya bergerakgerak.
"Ada apa, Zachariah?" tanyanya. "Apa yang ingin kaukatakan
padaku?" Zachariah membuka mulutnya, membuka mulutnya hendak
bicara. Dan darah merah tua meleleh keluar dari sela bibirnya.
Bab 7 "ZACHARIAH!" jerit Savannah ngeri.
Lalu ia terjaga, tubuhnya gemetaran dan basah kuyup oleh
keringat. "Hanya mimpi," bisiknya. "Aku bermimpi."
Pintu kamar tidurnya terbuka dengan tiba-tiba. Savannah
menjerit. Victoria berdiri di ambang pintu, matanya membelalak
ketakutan. "Aku mendengar kau menjerit," katanya dengan suara
bergetar. Savannah mengulurkan lengannya. "Oh, Victoria!"
Victoria bergegas menyeberangi ruangan dan naik ke ranjang.
Savannah memeluk kakaknya.
"Aku bermimpi buruk," kata Savannah kepadanya. Ia menghela
napas panjang. "Aku bermimpi tentang Zachariah. Dia terluka dan
datang kemari untuk memberitahukan sesuatu padaku. Sesuatu yang
penting. Dia membuka mulutnya..." Savannah tidak mampu
melanjutkannya. Ia tidak mampu menceritakan tentang darahnya
kepada Victoria. Mimpi buruk itu begitu nyata, pikir Savannah sendiri. Aku bisa
mencium bau bubuk mesiu dan darahnya. Melihat Zachariah dengan
sangat jelas. Melihat luka yang mengerikan di kepalanya. Savannah
gemetar. "Apa katanya?" tanya Victoria.
Savannah memeluk kakaknya lebih erat. "Dia tidak mengatakan
apa-apa. Hanya menghilang begitu saja. Mimpi bodoh."
"Mungkin sebaiknya kita tidak menyantap cacing untuk makan
malam," kata Victoria dengan nada menggoda.
Savannah tertawa geli, mimpi buruknya memudar. "Kurasa kau
benar." "Boleh aku tidur bersamamu?" tanya Victoria.
"Ya," jawab Savannah, senang karena mendapat teman. Ia
menarik selimut menutupi mereka berdua dan mengawasi bayangbayang bermain di langit-langit.
"Sissy?" bisik Victoria.


Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Savannah tersenyum dalam kegelapan. Sewaktu Savannah
masih kecil, Victoria biasa memanggilnya dengan nama itu. Savannah
telah melupakan betapa ia menyukai nama tersebut.
"Apa?" tanya Savannah.
"Menurutmu apakah perang ini akan berakhir?" tanya Victoria.
"Aku yakin begitu," jawab Savannah, berusaha meyakinkan
kakaknya. "Menurutmu apa Zach akan pulang ke rumah?"
"Ya," bisik Savannah. Tapi suaranya tercekat.
"Aku rindu Zach," kata Victoria.
"Aku juga merindukannya," kata Savannah lembut.
"Selamat malam," gumam Victoria.
Beberapa menit kemudian Savannah mendengar dengkuran
lembut kakaknya. Ia berbalik ke arah kakaknya, dan menyadari ada
sesuatu di lantai. Sesuatu yang mengilat tertimpa cahaya bulan.
Ia menyelinap turun dari ranjang dan berlutut di lantai.
Tangannya gemetar sewaktu menyentuh tetesan-tetesan yang mengilat
dan gelap itu. Rasanya hangat. Savannah mengangkat tangannya. Darah membasahi ujung
jemarinya. Darah merah tua.
Darah hangat... di tempat Zachariah berdiri dalam mimpinya.
Bab 8 SAVANNAH turun dari ranjang begitu fajar menyingsing. Ia
tidak bisa tidur kembali setelah menemukan darah di lantai kamarnya.
Setiap kali ia teringat pada tetesan darah tersebut, ia merasa
mual. Pasti kebetulan yang aneh, katanya sendiri. Mungkin aku sudah
melukai kakiku atau... Ia mendengar suara kuda berderap. Ia berlari keluar ke serambi.
Timmy, seorang bocah dari perkebunan tetangga, berkuda ke arahnya.
Timmy menghentikan kudanya. "Ada surat untuk Anda, Miss
Savannah." Ia mengulurkan sehelai amplop kepada Savannah.
Savannah duduk di tangga serambi. Ia menatap amplop itu
sementara Timmy berlalu. Ia tidak mengenali tulisan tangan di amplop
itu. Ia ketakutan. Begitu banyak surat yang membawa berita buruk
selama perang berlangsung.
Savannah membuka amplopnya dan mengeluarkan surat yang
telah lecek. Surat tersebut bernoda darah. Jantungnya berdebar hebat
sewaktu melihat tanda tangannya.
Tyler! Perlahan-lahan ia membaca kata-kata yang dituliskan di sana:
Juli 1863 Savannah yang baik, Zachariah sudah meninggal. Maaf. Kami berdua bertempur di
Gettysburg. Aku melihatnya jatuh. Kemudian aku mendengar kabar
tentang kematiannya. Saat kusaksikan para prajurit memakamkan kakakmu,
kubayangkan aku sendiri dimakamkan di sampingnya"tewas. Tidak
pernah bertemu denganmu lagi. Tidak pernah memelukmu lagi.
Maafkan aku, Savannah. Semua kematian dalam perang ini
membuatku sadar bahwa manusia lebih penting daripada Utara atau
Selatan. Tunggulah aku. Aku akan kembali padamu.
Aku berjanji. Tyler Savannah mencengkeram surat tersebut ke dadanya. Air mata
menyengat matanya. Zachariah tewas. Dan Tyler...
"Sissy! Sissy! Ada apa?" Victoria bergegas keluar ke serambi.
Savannah menatap wajah Victoria yang memancarkan
kecemasan. Ia membuka mulutnya, tapi tidak mampu mengucapkan
kata-kata yang mengerikan tersebut"Zachariah sudah meninggal.
Victoria menyambar suratnya. Savannah mengawasi kakaknya
membaca. Victoria tersentak dan memucat. Matanya dibanjiri air
mata. "Tidak," bisiknya.
Savannah menarik Victoria agar duduk di sampingnya. Ia
memeluk Victoria sementara air matanya sendiri mengalir turun.
"Oh, Sissy," kata Victoria dengan suara gemetar. "Sulit
dipercaya bahwa Zach sudah meninggal."
"Aku tahu. Aku juga tidak bisa mempercayainya," jawab
Savannah. Ia mulai bergoyang-goyang, mengayun-ayunkan Victoria
bersamanya. Mereka saling berpelukan dan memikirkan Zachariah.
"Kenapa bukan Tyler saja yang mati?" sembur Victoria.
Savannah tersentak menjauhi kakaknya. "Kau tidak serius."
"Aku serius," kata Victoria bersikeras. Ia bangkit berdiri.
"Kalau ada yang harus mati, kenapa bukan Tyler" Kenapa harus
Zach?" Savannah bangkit berdiri dan merampas surat tersebut dari
tangan Victoria. Ia tidak tahan memikirkan akan kehilangan Tyler.
Orangtuanya telah meninggal. Dan sekarang kakak lelakinya. Tyler
tidak akan diambil darinya juga.
Tiba-tiba Savannah teringat pada darah di surat Tyler. Apa itu
darah Tyler" Apa dia terluka"
"Apa ilmu hitammu bisa memberitahuku Tyler terluka atau
tidak?" tanya Savannah.
Victoria mengerutkan kening. "Kau tidak mempercayai ilmu
hitam sewaktu kuberitahu bahwa keluarga Fier terkutuk."
"Aku masih tidak percaya. Tidak benar-benar percaya. Tapi aku
takut. Bagaimana kalau darah di surat ini darah Tyler" Bagaimana
kalau dia sekarat..."
"Bagaimana kau bisa mengkhawatirkannya sesudah dia
memutuskan pertunangan kalian?" tanya Victoria. "Dia sudah sangat
menyakitimu." "Aku juga menyakitinya," kata Savannah. Ia meremas tangan
kakaknya. "Please, Victoria. Bantu aku mengetahui apakah dia baikbaik saja."
Pandangan Victoria mengeras. "Baiklah," katanya. "Datanglah
ke kamarku tengah malam nanti. Dan bawa suratnya."
*************** Bayang-bayang tengah malam menari-nari di sekeliling
Savannah sewaktu ia berjalan menyusuri lorong sambil membawa
sebatang lilin. Ia berdiri di luar pintu kamar Victoria sementara jam
besar di lantai bawah berdentang dua belas kali. Jantungnya berdetak
cepat sewaktu ia mengetuk pintu.
Victoria membuka separo pintunya. "Kau yakin ingin aku
melakukan semua ini?" tanyanya dengan suara pelan.
"Aku yakin," jawab Savannah.
Victoria meniup lilin Savannah. "Kalau begitu masuklah."
Savannah melangkah masuk ke dalam kamar Victoria dan
menutup pintu di belakangnya. Tirai-tirai tebalnya tertutup. Sebatang
lilin menyala di tengah-tengah kamar. Savannah melihat mangkuk di
lantai dan kotak kayu di sampingnya.
Victoria menyeberangi kamar dan duduk di lantai di depan
lilinnya. Savannah tiba-tiba merasa kedinginan. Ia menggigil.
"Duduklah," perintah Victoria.
Savannah duduk bersila di lantai di depan kakaknya. Api lilin
bergoyang-goyang di antara mereka berdua.
"Berikan suratnya," kata Victoria, suaranya pelan dan serius.
Savannah membuka lipatan surat Tyler dan memberikannya
kepada kakaknya. Victoria meletakkan surat itu di lantai. Api lilin
menerangi tulisan di atas kertas itu dengan cahaya kekuningan yang
menakutkan. "Apa yang akan kaulakukan?" bisik Savannah.
"Shh!" Victoria mengambil kotak kayunya. Kotak tersebut
berderit saat ia membuka tutupnya.
Ia mengeluarkan sepasang kaki ayam dari dalam kotak.
"Ciumlah," kata Victoria.
Savannah menatap kaki-kaki ayam yang diacungkan Victoria ke
depannya. Perutnya bergolak. Ia menggeleng. "Aku tidak bisa."
"Harus, kalau kau ingin mengetahui kebenaran tentang Tyler."
Savannah bergegas menempelkan bibirnya ke kaki ayam yang
dingin itu. Ia menggigil.
Victoria menyapukan kaki-kaki ayam tersebut ke surat Tyler.
Lalu ia mencelupkan kaki-kaki ayam itu ke dalam mangkuk dan
melapisinya dengan cairan berwarna gelap. Ia mengayun-ayunkan
kaki-kaki ayam itu di lantai, membentuk tanda-tanda aneh di sekitar
surat Tyler. "Dari mana kau bisa mendapatkan tinta sebanyak itu?" tanya
Savannah. "Bukan tinta," jawab Victoria. "Itu darah."
Savannah menutupi mulutnya. "Kau membuatku takut,
Victoria," katanya dengan suara serak.
"Aku membuatmu takut?" tanya Victoria dengan kasar. Ia
meraih surat Tyler. "Ini yang seharusnya membuatmu takut!"
Dengan hati-hati ia meletakkan kembali surat tersebut di lantai.
Ia mengangkat tangannya ke langit-langit dan mendongak sampai
kepalanya jauh ke belakang. Ia memejamkan mata, berayun dari kiri
ke kanan, dan mulai melantunkan mantra.
Kamar berubah dingin. Savannah memeluk dirinya sendiri.
Seharusnya aku tidak memintanya berbuat begini, pikir Savannah.
Aku bisa merasakan kuasa jahat dalam ruangan ini.
Tirai-tirai mulai berkibar.
Victoria menjerit melengking.
Angin sedingin es menerobos masuk ke dalam kamar. Angin itu
mengangkat surat Tyler dan membawanya ke api lilin yang berkedipkedip.
"Tidak!" jerit Savannah. Ia mengulurkan tangan untuk meraih
surat yang terbakar itu. Victoria mendorong Savannah menjauh. Savannah mengawasi
tanpa daya sewaktu surat Tyler hancur jadi abu.
"Tega sekali kau!" tukas Savannah. "Kenapa kau tega
membiarkan suratku terbakar?"
"Kau seharusnya merasa senang," kata Victoria, suaranya
dingin. "Sesaat tadi aku melihat kebenarannya."
"Kebenarannya" Kau tidak tahu apa-apa tentang kebenaran atau
tentang Tyler. Seharusnya aku tidak pernah mempercayakan surat
Tyler kepadamu. Kau masih menginginkan dirinya untukmu sendiri.
Kau masih cemburu." Victoria mencengkeram lengan Savannah. Matanya yang gelap
berkilauan tertimpa cahaya api lilin. "Kau harus mempercayai ilmu
hitam, Savannah. Ilmu hitam mengungkapkan kebenarannya. Tyler
Fier akan menghancurkan dirimu semudah api ini menghancurkan
surat-nya!" Bab 9 "TYLER FIER itu jahat!" tukas Victoria. "Jahat! Jahat! Jahat!"
"Tidak!" sergah Savannah. Ia menyentakkan tangannya dari
cengkeraman kakaknya. "Aku tidak percaya. Aku mencintai Tyler dan
aku akan menikah dengannya."
"Kesialan mengikuti keluarganya," kata Victoria
memperingatkan. "Kesialannya juga akan mengikuti dirimu."
"Tidak!" jerit Savannah, menutupi kedua telinganya. "Aku tidak
mau mendengar lagi." Ia melarikan diri ke lorong yang gelap.
Victoria tidak mengenal Tyler sebaik diriku, pikir Savannah. Ia
terhuyung-huyung menuruni tangga ke serambi. Ia membuka pintu
depan. Cahaya bulan yang terang benderang menerobos masuk ke
dalam rumah. Savannah bergegas keluar. Ia menghela napas menghirup udara
malam. Kilat menyambar di kejauhan dan angin berembus lebih
kencang. Angin meniup rambut ke sekitar wajah Savannah.
Badai, pikirnya. Badai akan mengamuk.
Di kejauhan ia mendengar suara. Suara kepakan.
Angsa! pikirnya. Kita bisa makan angsa. Ia berlari ke samping
rumah, tapi tidak melihat angsa seekor pun. Hanya seprai-seprai yang
bergantungan di tali jemuran.
Victoria lupa membawa cucian masuk, pikir Savannah. Yang
kudengar hanyalah seprai-seprai berkibar tertiup angin.
Angin melolong, bertiup semakin lama semakin kencang.
Savannah tiba-tiba merasa ada orang yang tengah mengawasinya. Ia
menengadah memandang jendela kamar tidur Victoria. Jendela itu
gelap dan kosong. Savannah mendengar bunyi pop yang keras. Ia membeku.
"Victoria" Apa kau mengikutiku kemari?"
Sunyi. Ia mengira telah melihat seseorang bergerak di balik seprai. Ia
menyambar salah satunya dan menyentakkannya.
Tapi tidak ada orang di sana.
Savannah menggigil. Ritual Victoria tadi membuatku tegang,
pikirnya. Seharusnya aku tidak pernah memintanya mempraktekkan
ilmu hitamnya lagi. Krak! Sehelai seprai melayang bebas dari tali jemuran. Kain
tersebut jatuh di atas kepala Savannah. Kain itu meredam jeritannya
seraya melilitnya. Erat. Begitu erat. Kain tersebut menjepit kedua
lengannya di sisi tubuhnya.
Savannah jatuh ke tanah. Aku tidak bisa bernapas, ia menyadari dengan panik. Aku tidak
bisa bernapas. Ia tercekik. Kain seprai memenuhi mulutnya. Menutupi
hidungnya. Mencekiknya. Bab 10 AKU tidak ingin mati! pikir Savannah. Please, aku tidak ingin
mati! Ia berjuang agar bisa bernapas. Bersusah payah menghirup
udara ke dalam paru-parunya yang terasa sakit.
Savannah berguling-guling di tanah, berjuang untuk
membebaskan diri dari seprai.
Seprai itu terkait sesuatu"dan Savannah mendengarnya robek.
Ia menyentakkan seprai tersebut dari dirinya.
Savannah bangkit berdiri dengan susah payah, sambil
menghirup napas panjang-panjang. Ia menengadah dan melihat
Victoria. Kakaknya berdiri di depan jendela, mengawasinya.
Victoria! Kenapa dia tidak membantuku"
Gagasan yang mengerikan melintas dalam benak Savannah.
Victoria yang melakukannya, pikirnya. Dia menggunakan ilmu
hitamnya untuk menakut-nakuti diriku"untuk meyakinkanku agar
menjauhi Tyler. Angin bertiup lebih kencang. Seprai-seprai lain berkibar liar di
tali jemuran. Kau lihat, kata Savannah memarahi diri sendiri. Ada penjelasan
yang masuk akal untuk apa yang sudah terjadi. Badai mulai mendekat.
Anginnya kericang. Victoria tidak melakukan apa pun. Anginlah yang
meniup seprai hingga membungkus diriku dan aku panik.
Victoria mencintaiku. Dia tidak akan pernah menyakitiku, kata
Savannah pada diri sendiri.
Benarkah begitu" Blackrose Manor WANITA tua itu merenung di tengah-tengah rumpun mawar
yang ada di sekelilingnya. Mawar-mawar hitam. Sehitam abu surat
Tyler yang terbakar.

Fear Street - Sagas Iii Rahasia Rahasia Kelam Forbidden Secrets di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kisahku akan jauh lebih bahagia kalau surat Tyler tidak pernah
tiba," bisiknya dengan suara serak. "Segalanya berubah sesudah
kedatangan surat tersebut. Segalanya berubah sesudah surat itu
terbakar." Ia mengelus kantong flanel hitamnya. Ia telah menjahitkan
kantong tersebut ke roknya bertahun-tahun yang lalu.
Isinya seharusnya mampu mengusir setan, pikirnya. Tapi hanya
kalau kau mempercayainya. Hanya kalau kau benar-benar
mempercayainya. Seekor burung kecil yang cantik mendarat di punggung
kursinya. Wanita tua itu menoleh sedikit dan memandang bulu-bulu biru
mengilat hewan itu. Satu-satunya warna yang ada di kebun ini.
"Kau mau mendengar kisahku selanjutnya?" tanyanya dengan
suara serak. Burung itu mencuit-cuit. Wanita tua itu tertawa pelan. "Baiklah, kalau begitu."
Perang berlanjut. Musim gugur tiba. Dedaunan berubah warna.
Tapi kakak-beradik itu hampir-hampir tidak menyadarinya. Mereka
berdua sering memikirkan Tyler.
Musim dingin datang. Angin dingin mengepung perkebunan.
Mengepung kedua bersaudara itu. Hubungan Victoria dan Savannah
mendingin. Saat musim semi tiba hubungan dua saudari itu telah jauh.
Victoria tidak lagi naik ke ranjang Savannah kalau ia ketakutan.
Savannah sering kali duduk di tangga serambi depan,
mengawasi jalan"menunggu. Menunggu perang berakhir. Menunggu
ke?datangan surat yang lain.
"Kalau saja Tyler tidak menulis surat sama sekali," suara wanita
tua itu tercekat. Ia menatap mawar-mawar dengan pandangan kosong.
Hitam. Sehitam rambut Tyler. Sehitam...
Burung birunya bernyanyi.
Wanita tua itu menyambar burung itu dan mencabut kepalanya
yang mungil. Bab 11 Whispering Oaks Musim Semi 1865 MATAHARI yang terang benderang menghangatkan Savannah
sewaktu ia membajak kebun kecilnya.
Pada saat musim panas nanti kami akan punya jagung segar
untuk dimakan, pikirnya sambil menegakkan punggung. Jagung,
kacang, dan semangka. Kemarin ia menemukan beberapa benih di ruang bawah tanah,
tersembunyi di bawah debu dan peti-peti tua. Ia ingin menanamnya
hari ini. Suatu hari nanti Victoria dan aku akan berpesta, pikir Savannah.
Ia telah meminta Victoria membantunya, tapi Victoria berkata ia
terlalu sibuk. "Terlalu sibuk," ulang Savannah pelan. "Terlalu sibuk
melakukan apa?" Savannah mendesah berat. Sejak kedatangan surat Tyler,
Victoria berubah, pikirnya. Sekarang ia berkeliaran dalam rumah
seperti tikus ketakutan. Ia bersembunyi dalam kamarnya. Kalau
kuketuk pintunya, ia mengusirku.
Savannah menancapkan bajaknya, lalu membalik-balikkan
tanah. Sebuah bayangan panjang jatuh di tanah di depannya.
Dengan terkejut, Savannah menyentakkan kepalanya. Ia tidak
mendengar kedatangan siapa pun.
Seorang pria jangkung dan lusuh berdiri di depannya. Jaket
pendek dan celana panjang kelabunya pudar dan menjuntai kebesaran
di tubuhnya yang kurus kering. Sepatu botnya tipis dan tertutup debu.
Ia pasti desertir, pikir Savannah. Ia mencengkeram bajak lebih
erat dan menunjuk ke arah yang menjauhi rumah. "Tentara berkemah
di sebelah sana." "Tidak," kata pria itu dengan suara serak. "Perang sudah selesai.
Aku mau pulang." Pria tersebut melanjutkan langkahnya, menyeret kakinya di atas
jalur-jalur yang dibuat Savannah di tanah. Savannah meraih lengan
pria itu. "Apa" Apa katamu?"
Pria tersebut mengangguk. "Sudah selesai. Mereka menyuruh
kami pulang. Jenderal Lee sudah menyerah. Aku mau kembali ke
Texas." Savannah melepaskan pria itu, kata-katanya menggema di
telinganya. Perang sudah selesai. "Perang benar-benar sudah selesai?" serunya kepada prajurit
muda tersebut, ingin mendapat kepastian.
"Ya, Ma'am," jawab pria itu tanpa berpaling.
Savannah bergegas mengejarnya. "Kuambilkan minum dulu."
"Tidak, terima kasih, Ma'am. Aku hanya ingin pulang."
Savannah memejamkan mata dan mendengarkan.
Mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tidak ada suara meriam
yang menggelegar di kejauhan. Tidak terdengar suara tembakan
memenuhi udara. Ia bisa mendengar suara burung-burung bernyanyi di
pepohonan! Savannah menari-nari di sana, menggunakan bajak
sebagai teman menarinya. "Perang sudah selesai. Perang sudah
selesai!" Victoria, pikirnya. Aku harus memberi tahu Victoria. Ia
membuang bajak dan berlari ke dalam rumah. "Victoria! Perang sudah
selesai!" Savannah bergegas menaiki tangga putar dan menghambur
Tapak Asmara 3 Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat Pendekar Panji Sakti 13

Cari Blog Ini