Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Bagian 3
"Kukatakan padamu, Honey, bukan Eric. Semua yang lainnya!"
kata Becka. "Sekarang apa yang sedang kaubicarakan?" tanya Honey
bingung. "Semua yang lainnya," jawab Becka. "Aku ingin kau menjauhi
rumahku! Menjauhi kamarku! Menjauhi teman-temanku!"
Honey ketakutan, ekspresi terluka membuat wajahnya tampak
mengerut. "Kau, kau tak bisa bilang seperti itu padaku, Becka! Tak
bisa!" Dengan cepat ekspresinya berubah menjadi marah, mata abuabunya menatap mata Becka dengan berapi-api. "Aku sahabat
karibmu! Sahabat karibmul"
Dengan tangis putus asa, Honey meraih ke dalam saku jaketnya.
Setelah berkutat sejenak, ia menarik keluar pistol berwarna perak.
"Honey, jangan! Turunkan!" pekik Becka. Dengan wajah
berkerut marah, Honey mengacungkan pistol itu, mengarahkannya ke
dada Becka, dan menarik pelatuknya.
Bab 17 BECKA menjerit dengan suara melengking.
Air dingin memercik dari pistol ke depan jaket Becka.
Honey tertawa. "Ayolah, Becka," olok Honey, sambil menggeleng-geleng. "Di
mana rasa humormu?" Becka, sambil tersengal-sengal, kembali menatap Honey
dengan membisu. "Kau kena lagi," Honey membanggakan diri. Ia menekan
pelatuk pistol air perak itu, menyemprot ke cermin. Ia menyeringai
kepada Becka. Kenapa kau nyengir" tanya Becka pada diri sendiri dengan
marah. Apakah dia tak mendengar sepatah kata pun yang kuucapkan"
Becka memandangi air menetes menuruni cermin itu.
"Ayolah, Becka," Honey mengulangi kata-katanya. "Tidakkah
kau ingat, kita berdua biasa membawa pistol air sepanjang waktu"
Pistol plastik warna merah itu" Ingat" Kita saling menembak setiap
kali Miss Martin membelakangi kita?"
"Tidak," jawab Becka lirih.
Honey tertawa. "Sorenya sekujur tubuh kita basah kuyup,
ingat?" "Tidak," jawab Becka lebih keras.
"Becka, kau tak ingat?"
"Tidak! Tidak! Tidak!" Sekarang Becka menjerit. "Tidak,
Honey, kita tak pernah melakukannya! Tak pernah! Kita tak pernah
punya pistol air! Kita tak pernah saling semprot!"
"Tentu kita pernah punya pistol," Honey menekankan, masih
tersenyum. "Cuma kau tak ingat."
"Tidak! Tidak!" jerit Becka, tidak bisa mengendalikan diri lagi.
Bel berbunyi. "Tidak!" Becka berbalik dan lari, mendorong pintu dengan bahunya
hingga terbuka, menghambur masuk ke koridor yang ramai, masih
berlari, melewati wajah-wajah yang terkejut, melewati anak-anak
yang memanggil namanya, lari lebih kencang. Tidak, tidak, tidak!
Kata itu berulang-ulang tanpa akhir di kepalanya.
Ia berlari membabi buta melewati kerumunan murid.
Berlari nyaris tanpa bernapas.
Ia berharap bisa lari selamanya.
*********************** "Hai," Bill menyambut Becka di pintu depan rumahnya. Cowok
itu terkejut ketika membuka pintu kaca dan menatap Becka di bawah
cahaya lampu beranda yang kuning. Bill memakai sweter Shadyside
High berwarna merah marun dan abu-abu pudar dengan celana jins. Ia
bertelanjang kaki walaupun udara dingin.
"Hai," kata Becka malu-malu, sambil menggigit bibir
bawahnya. "Boleh aku masuk" Tadi aku akan menelepon dulu, tapi
kupikir ibuku mungkin menguping."
"Ya. Tentu." Bill menggaruk bagian depan rambutnya yang
jarang dan panjang. Sambil membuka jaketnya, Becka melewati Bill masuk ke
koridor sempit. Rumah itu panas, nyaris beruap, dan berbau lemak
goreng. "Ada yang di rumah?" tanya Becka, sambil mengintip ke
ruang tamu yang gelap. "Tidak. Hanya kita para tikus," jawabnya. Bill mengambil jaket
Becka, membawanya masuk ke ruang tamu, dan menjatuhkan jaket itu
di atas kursi. Kemudian ia menyalakan lampu meja dan menyilakan
Becka duduk di sofa korduroi warna biru angkatan laut.
"Ayahku masih bekerja," kata Bill, sambil menjatuhkan dirinya
di samping Becka, menyibakkan rambutnya yang hitam dari
wajahnya. "Ibuku kayaknya sedang belanja kebutuhan sehari-hari."
Becka mengendus-endus. "Bau apa ini?"
"Kami membuat hamburger untuk makan malam," jawab Bill.
"Kau mau?" Becka mengangguk. "Aku lapar sekali."
Bill menyilangkan tungkainya dan merentangkan lengan
kanannya ke sandaran sofa di belakang Becka. "Kau bilang apa pada
ibumu?" "Aku akan pergi ke rumah Trish," jawab Becka. Ia menghela
napas. "Aku harus bicara dengan seseorang. Aku begitu kacau-balau,
aku tak bisa..." Bill menurunkan lengannya dan melingkarkannya di bahu
Becka. Ia menghela Becka mendekat, tapi pelan-pelan Becka
menjauh. "Tidak, aku harus bicara," kata Becka.
Dengan patuh Bill menarik tangannya.
Tanpa menghela napas, Becka menyemburkan serentetan kata.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, Bill. Ini soal Honey. Dia
membuatku jadi gila. Gila betulan. Rasanya aku benar-benar sinting
karena dia. Aku tak bisa berpikir lurus. Aku tak bisa mengerjakan PRku. Aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Apa yang diperbuat Honey sekarang?" tanya Bill, cemberut.
"Semuanya!" seru Becka. "Dia tak membiarkanku sendirian.
Dan ketika kukatakan aku ingin dia pergi, aku ingin dia menyingkir,
dia cuma tertawa. Sepertinya itu gurauan saja. Kelihatannya dia tak
percaya kalau aku bisa serius."
Raut wajah Bill penuh perhatian. Bill menatap Becka dengan
sungguh-sungguh. "Becka, kau harus bersabar," katanya.
"Bagaimana bisa?" teriak Becka dengan suara melengking.
"Kau sudah melihatnya, Bill" Dia memakai pakaianku. Dia meniru
potongan rambutku. Dia pacaran dengan Eric. Dia... dia..."
"Sudahlah," ujar Bill lembut, sambil memegang bahu Becka.
"Lihat, Becka. Kau terguncang. Kaubikin dirimu sendiri jadi gila."
"Aku tidak gila! Honey yang gila!" jerit Becka. "Apa yang
harus kulakukan?" Bill bergeser menjauh ke lengan dipan. Becka tahu Bill tidak
suka jika ia menjerit dan kehilangan kendali. Bill hanya tidak tahu
bagaimana menghadapi Becka yang berperasaan halus.
Tapi Becka tidak tahan. Ia begitu kacau. Ia perlu bercerita kepada Bill sekarang. Ia
membutuhkan pertolongan Bill.
"Aku sungguh-sungguh mencemaskanmu," kata Bill tenang,
matanya memandang karpet usang di bawah. "Aku... aku tak tahu
harus bilang apa." Becka menghela napas dalam-dalam dan menahannya. Ia tidak
ingin mulai menangis. Bill lebih benci tangisan daripada teriakan.
"Kau sudah bicara dengan ibumu tentang Honey?" tanya Bill.
Becka mengangguk. "Ya. Tapi menurut Mom, aku membesarbesarkan masalah. Setiap kali Mom melihat Honey, Honey selalu
bersikap yang terbaik. Dia selalu memuji ibuku dan mengatakan
betapa inginnya dia menjadi bagian keluarga kami. Mom selalu bilang
padaku supaya memberi Honey kesempatan, Honey itu kesepian. Kata
Mom, Honey akan mendapat teman yang lain setelah berada di sini
sebentar saja, dan kemudian dia takkan terlalu sering menggangguku."
"Tapi kau tak mempercayainya?" tanya Bill, sambil berusaha
menyusupkan jempol kakinya yang besar ke lubang kecil pada karpet
di depan sofa. Becka menggeleng. "Tidak. Tentu tidak," jawab Becka gemetar.
"Aku dan Mom bertengkar seru gara-gara Honey. Aku tahu aku
kekanak-kanakan, tapi aku tak tahan Mom memihak Honey."
Bill berkonsentrasi memasukkan jempol kakinya ke lubang itu.
Ia tidak mengatakan apa-apa.
"Kata Trish, aku harus tegas," lanjut Becka. "Kata Trish, aku
harus jahat. Aku harus bilang pada Honey bagaimana yang kurasakan
sesungguhnya. Aku harus memberitahu Honey bahwa aku tak ingin
dia datang ke rumahku lagi, aku tak ingin jadi temannya."
Bill terkekeh. "Trish memang tegas," gumam Bill.
"Yah, waktu makan siang tadi, aku mencoba melakukannya,"
kata Becka. "Aku dan Trish jalan-jalan di dekat lapangan sepak bola.
Dan Honey di tempat parkir dengan Eric. Dia ingin bergabung dengan
aku dan Trish. Tapi kukatakan aku ingin bicara dengan Trish berdua
saja. Kupikir mungkin Honey mengerti, tapi kemudian..."
"Oh, wow," Bill menyela. "Apa kaudengar tentang anak-anak
yang menyerbu sekolah tadi siang?"
"Anak-anak" Anak-anak apa?"
Bill mengangkat bahu. "Beberapa anak. Mereka lari melintasi
koridor-koridor, merusak locker-locker. Kau tahu Gary Brandt"
Mereka merobek semua diktatnya dan mencuri jaket kulitnya. Locker
beberapa anak yang lain juga dirusak. Luar biasa. Kemudian anakanak itu keluar lewat pintu depan dan pergi."
"Oh, tidak!" Becka bersandar di sofa dan menatap langit-langit
di atas. "Apa?" tanya Bill. "Ada yang salah?"
"Locker-ku juga diobrak-abrik," kata Becka dengan lemah.
"Dan aku tak tahu itu akibat huru-hara itu. Aku menuduh Honey."
Bill mengucapkan sesuatu, tapi Becka tidak mendengarnya. Ia
menatap langit-langit, menatap detektor asap abu-abu di dekat
dinding, menatap tanpa melihat, tanpa mendengar.
Aku menuduh Honey. Tak heran dia memandangku seperti itu
di WC cewek tadi. Tak heran dia tak tahu apa yang sedang
kubicarakan. Dan kemudian dia menuduh aku mencari-cari
kesalahannya. Mencari kesalahannya tanpa alasan.
Dan ternyata Honey benar.
Bill sedang bicara, tapi Becka tidak mendengarkan Bill. Bill
tampak jauh, bermil-mil jauhnya, suaranya seperti bisikan dari jauh.
Aku menjerit pada Honey, Becka mengingat-ingat. Aku
menjerit padanya dan menyudutkannya. Honey mencoba bergurau
dalam menanggapi masalah ini. Dia mencoba menenangkanku dengan
pistol airnya. Tapi aku bersikap seperti orang gila betulan!
Seperti orang sinting. "Apakah aku tidak adil terhadap Honey?" tanya Becka keras.
Ia menyipitkan matanya menatap Bill. Ruangan itu tiba-tiba
kembali ke fokus. "Mungkin," jawab Bill bijaksana.
"Kaupikir begitu?"
Becka benar-benar bingung sekarang. Ia telah menyelinap ke
rumah Bill untuk menceritakan rahasianya pada cowok ini, begitu
yakin bahwa ia benar tentang ,Honey. Begitu yakin Honey itu
musuhnya. Honey akan menghancurkan hidupnya.
Tapi sekarang... Pikiran Becka semakin kacau.
Barangkali Honey pikir aku sinting, katanya dalam hati, ia amat
malu. Akulah yang lepas kendali dan menuduhnya melakukan
perbuatan yang tidak dilakukannya.
Akulah yang menjerit-jerit dan menangis.
Sedangkan Honey tenang. Dia berusaha menenangkan aku.
Dia membayangiku karena ingin jadi temanku.
"Mungkin sikapmu agak tak adil terhadap Honey." Kata-kata
Bill menerobos masuk ke pikiran Becka yang sedang bersedih.
"Honey tidak sejahat itu. Ternyata, dia agak manis."
"Hah?" Becka terduduk tegak dan memandang Bill. "Menurutmu dia
manis?" Bill langsung sadar telah membuat kesalahan. "Aku cuma
mengatakan agak," gumam Bill.
"Kau seharusnya tak berpihak padanya," kata Becka, merasa
dirinya kehilangan kendali. Ayo lawan. Lawan.
"Tidak," Bill cepat-cepat menekankan. "Sekarang, dengar,
Becka..." "Kau seharusnya tak memihaknya, walaupun hanya bercanda."
"Aku tak membelanya," kilah Bill, sambil memutar-mutar bola
matanya. "Apakah dia pernah mendekatimu?" Becka ingin tahu.
"Hah?" "Kau dengar aku. Apakah Honey pernah mendekatimu?"
Bill menatap karpet lagi. "Mungkin," sahutnya lirih. "Tapi itu
tak penting." ********************** Lima menit kemudian, Becka meninggalkan rumah Bill, merasa
semakin tidak menentu dan kacau dibandingkan dengan ketika ia tiba.
Bill menarik Becka mendekat, memeluknya, mencium pipinya.
Ciuman yang lama. Ciuman yang biasanya dinikmati Becka.
Tapi malam ini tidak. Ketika Becka mencium pipi Bill, matanya terpejam, ia
membayangkan Honey. Ia melihat pistol air itu. Model rambut Honey yang pendek.
Bros burung beo dari enamel itu.
Ia melihat WC cewek. Honey sedang berdiri di dekat bak cuci.
Wajah Honey tampak terkejut ketika Becka mulai melontarkan
tuduhan yang menuduhnya. Enyahlah, Honey, pikir Becka. Ayo, menyingkirlah.
Becka menarik diri dari pelukan Bill, meninggalkan Bill dengan
roman muka terkejut. Bill mengejarnya. Gagal. Becka mengambil
jaketnya dan buru-buru keluar.
Becka mengendarai mobilnya berkeliling-keliling sebentar,
sambil berpikir, dan berpikir.
Tapi ia tidak juga merasa lebih tenang.
Ia ingin mampir ke rumah Trish, tapi memutuskan untuk
melawan keinginan itu. Waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh ketika ia
menghentikan mobilnya di jalan masuk mobil dan memarkir mobil di
garasi. Udara dingin menggigit wajahnya ketika ia berjalan ke pintu
belakang. Ketika membuka pintu itu, ia melihat seseorang sedang duduk
membungkuk di meja dapur, punggungnya membelakangi pintu,
menunggu Becka. "Oh!" pekik Becka.
Bab 18 "MOM!" seru Becka. "Kenapa Mom duduk di situ?"
Mrs. Norwood menoleh pelan-pelan. Ia tidak tersenyum.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mom tak apa-apa, kan?"
"Sudah selesai senang-senangnya?" tanya ibu Becka dingin. Ia
bangkit berdiri. "Tidak," jawab Becka, kebingungan. "Aku... uh..."
"Kau ke rumah Bill?" tanya Mrs. Norwood marah. Ia berkacak
pinggang dan menatap Becka dengan tajam, memperhatikan
wajahnya. "Mom, aku tak mengerti," jawab Becka, rasa takut menghunjam
ulu hatinya. Ia menyibukkan diri sendiri dengan melepaskan jaket,
berpikir keras, mencoba memutuskan haruskah ia mengatakan apa
adanya. "Aku tahu kau pacaran dengan Bill lagi," kata Mrs. Norwood
dengan datar tanpa emosi. "Aku tahu kau pergi diam-diam. Kau pergi
dengannya tadi malam, kan?"
"Ya," Becka mengaku. "Bagaimana Mom tahu" Apakah
Trish...?" "Itu tak jadi soal," sahut Mrs. Norwood tegas.
"Apakah Mom mendengarkan di telepon?" Becka bertanya.
Ibunya mengerutkan kening. "Aku tak memata-mataimu,"
jawabnya, seperti bisikan penuh kemarahan. Dan kemudian
kesabarannya habis. "Aku... aku hanya begitu kecewa padamu,
Becka," katanya, dagunya bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Mom. Sungguh. Aku..."
"Pergi diam-diam seperti itu," kata Mrs. Norwood, sambil
memejamkan matanya. "Menyelinap keluar tanpa setahuku."
"Aku harus menyelinap!" kata Becka keras. "Andai kukatakan
aku akan pergi ke rumah Bill, toh Mom takkan mengizinkan!"
Mrs. Norwood menggeleng-geleng sedih. "Becka, Becka. Kau
sudah pernah patah hati karena anak itu."
"Mom, itu tidak adil!" jerit Becka maju mendekati ibunya.
Mrs. Norwood, terkejut melihat sikap Becka yang berapi-api,
mundur sampai punggungnya menabrak meja dapur. "Sori, aku tak
bermaksud..." "Semuanya sudah lain!" jerit Becka, tidak bisa menahan
kemarahannya, ia kembali frustrasi. "Bill berubah. Dia berbeda dari
yang dulu. Tapi aku tahu Mom dan Daddy takkan pernah
mempercayai itu. Mom takkan pernah memberinya kesempatan."
"Jadi kau harus menyelinap tanpa setahu kami?" Mrs. Norwood
mendesak, meninggikan suaranya hingga sama dengan suara Becka.
"Apa yang akan Mom lakukan?" tanya Becka berteriak.
"Patuhi peraturan," jawab ibunya, merendahkan suaranya,
setelah kembali tenang. "Itu yang kulakukan. Kita punya peraturan di
rumah ini, Becka. Peraturan penting tentang kejujuran. Dan kau sudah
melanggarnya." Ia menatap Becka dengan tajam, tangannya berkacak pinggang,
sepatu kanannya mengetuk-ngetuk lantai linoleum dengan cepat.
"Aku... aku ingin bilang pada Mom mengenai Bill," kata Becka
gagap. "Tapi..."
"Tapi kau tak mengatakannya," kata ibunya.
Becka merasa kewalahan. Tidak mungkin ia akan memenangkan perdebatan itu. Tidak
mungkin ibunya mau melihat alasannya dalam perdebatan ini.
Aku takkan pernah menang berdebat melawan Mom, Becka
menyadari dengan sedih. Karena Mom selalu bersikap semakin dingin
begitu debat berlanjut. Dan aku selalu kewalahan, emosional, dan
kehilangan kendali. Dan itu baru saja terjadi.
"Mom, beri aku kesempatan," Becka memohon. Ia
menyilangkan kedua lengannya di depan tubuhnya, menekan dadanya
keras-keras, mencoba menghentikan gemetarnya.
"Kesempatan?" "Ya. Sulit menjelaskannya," Becka memulai.
"Kalau begitu jangan melanggar," kata ibunya tajam. Ia
menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan, sambil
menatap Becka lekat-lekat.
"Mom, tolong..."
"Sudah terlambat," kata Mrs. Norwood pendek. "Kau tak boleh
keluar." "Hah?" "Kau tak boleh keluar. Selamanya."
"Tapi, tunggu. Mom tak bisa begitu!" teriak Becka.
"Oh, ya, bisa saja," sahut Mrs. Norwood tegas. "Aku bisa dan
aku akan melakukannya. Kau tak boleh memakai mobil.. Kau tak
boleh menemui teman-temanmu. Kau tak boleh keluar malam"
sampai ada pemberitahuan lebih lanjut."
"Tapi, Mom, ini liburan Natal," Becka merengek. "Bagaimana
dengan pesta Trish Sabtu malam nanti?"
"Kau tak boleh pergi," sahut Mrs. Norwood. Ia meninggalkan
meja dapur dan cepat-cepat keluar.
Bab 9 BECKA berlari ke lantai atas, lalu melemparkan tubuhnya
menelungkup di ranjang. Ia siap menangis. Ia ingin bisa menangis tersedu-sedu untuk
mengguncangkan dadanya dan air matanya yang panas mengalir di
wajahnya. Namun air mata itu tidak muncul. Ia berbaring di sana,
wajahnya terbenam di seprai. Ia terlalu marah sehingga tidak bisa
menangis. Marah kepada ibunya. Marah kepada dirinya sendiri.
Marah kepada Bill. Ia telah mengambil risiko dengan pergi menemui
cowok itu. Dan Bill tidak membantu sama sekali.
Bill tidak membuatnya merasa lebih baik. Kenyataannya, Bill
makin membuat Becka marah dengan menyatakan bahwa menurutnya
Honey "agak manis" dan bahwa "mungkin" Honey pernah
mendekatinya. Trims, Bill. Terima kasih banyak, pikir Becka pahit.
Sekarang ia juga marah pada Bill.
Marah pada dunia. Tapi masih tidak ada air mata yang mengalir.
Ia berpaling, menekankan sisi wajahnya ke seprai yang lembut,
dan menatap ke kegelapan.
Sekarang apa yang akan kulakukan" pikirnya getir.
Liburan yang asyik akan berlangsung.
Ia telah menyiapkan pakaian untuk pesta Trish. Rok perak
pendek yang dibelinya di toko kecil di Old Village itu. Celana ketat
hitam yang mengilap untuk dipakai di bawahnya.
Semuanya sedang menunggu, siap, dipajang di atas kursi di
depan meja riasnya. Selamat Natal padaku, pikirnya tidak keruan.
Dan pada semuanya, selamat malam.
Air mata itu masih tidak muncul juga.
Ada rasa dingin di kamar itu. Mendadak udara dingin
mengembus. Apakah ada yang membuka jendela kamarnya"
Becka duduk dan menoleh ke jendela. Dan sadar ada seseorang
di kamar itu bersamanya. Bab 20 PINTU lemari pakaian terbuka sedikit.
Sesosok bayangan gelap bergerak menuju ranjangnya.
Tanpa suara. Pelan. Seakan melayang.
Aku sedang berkhayal, pikir Becka, sambil menatap ke
kegelapan itu. Ia bangkit dan mulai menggapai ke seberang ranjang untuk
menyalakan lampu. Tetapi sebuah tangan terulur dan menghentikan lengan Becka.
"Hei!" seru Becka.
"Ssstttt. Ini aku," ada suara berbisik.
Suara yang tidak asing lagi.
Becka berjingkat dan tangannya meraba-raba mencari lampu.
Akhirnya lampu berkedip menyala.
"Honey!" teriak Becka.
Keluar dari bayangan, Honey nyengir jail kepadanya,
mengangkat telunjuknya ke bibirnya, sebagai isyarat untuk diam.
"Honey, bagaimana kau bisa masuk" Ngapain kau di sini?"
tanya Becka dengan keras.
Ini tak boleh terjadi, pikir Becka. Honey sudah pindah"
Betulkah" Apakah dia sudah pindah ke kamarku" Apakah dia
mengambil alih seluruh hidupku"
"Sssstttt," Honey mengulangi.
Becka bergeser di ranjang sampai punggungnya menekan papan
kepala ranjang. Honey melangkah maju sampai beberapa inci dari
ranjang. Mata abu-abunya berkilauan tertimpa cahaya lampu yang
terang. Mukanya berkerut-kerut kegirangan. Napasnya bernapas berat.
"Bagaimana caramu masuk?" Becka mengulangi
pertanyaannya. Ia menatap mata Honey yang bersinar-sinar itu dengan
hati-hati, tidak bisa memutuskan apakah ia harus marah atau takut.
"Aku datang menemuimu lebih awal," bisik Honey. "Kata
ibumu, kau keluar." Senyumnya melebar.
Becka menunggu kelanjutan penjelasan Honey dengan tidak
sabar. "Pikir ibumu aku sudah pulang," Honey menceritakan
rahasianya. "Pintu belakang kuempaskan, jadi dikira ibumu aku sudah
pergi. Kemudian aku naik ke sini untuk menunggumu."
"Tapi, Honey," Becka mulai.
"Seperti ketika kita masih anak-anak," potong Honey. "Ingat
waktu itu orangtua kita sedang mencari-cari dan mencari-cari kita"
Mereka pikir kita ada di luar, tapi sepanjang hari kita bersembunyi di
dalam lemari lotengmu?"
"Aku tak punya lemari loteng," bisik Becka dengan capek.
Tampaknya Honey tidak mendengar ucapannya. "Sudah lama
sekali aku menunggumu pulang," katanya, nadanya seperti mengomeli
Becka. "Tapi kenapa?" desak Becka. "Kenapa kau di sini?"
"Aku ingin minta maaf secara pribadi," kata Honey, matanya
terpaku menatap mata Becka, senyumnya menghilang.
"Hah" Minta maaf?"
"Ya." Honey menggangguk, rambut pirangnya yang pendek
tertimpa cahaya. "Aku merasa tak enak. Hanya karena kelepasan
bicara, Becka. Aku sungguh-sungguh minta maaf."
"Kelepasan bicara?"
"Tentang Bill," sahut Honey, sambil menatap wajah Becka
dengan sungguh-sungguh, tanpa berkedip.
Becka mengerang. "Aku tahu. Sekarang aku tahu." Becka
menepuk seprainya dengan kedua tangannya.
"Becka, aku sungguh..."
"Kau memberitahu ibuku tentang Bill," kata Becka, lupa
berbisik. "Kaulah orangnya."
Honey menelan ludah dengan susah payah. "Itu cuma gara-gara
kelepasan bicara." Sekarang aku tahu, pikir Becka gusar, sambil berpaling ke
jendela. Sekarang aku mengerti. Inilah cara Honey membalasku.
Inilah caranya membalasku karena kejadian di WC cewek tadi siang.
Ia memberitahu ibuku tentang Bill.
"Aku tahu," gumam Becka sambil tetap memandang jendela.
"Sungguh," Honey menekankan. "Ini tak sengaja. Ibumu dan
aku ngobrol, dan kata-kata itu terlepas begitu saja."
Ya. Tentu, pikir Becka, kemarahannya terasa mencekik
lehernya. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Becka. Sungguh. Aku
sungguh-sungguh minta maaf." Honey mengulurkan tangannya dan
berusaha memeluk Becka. Tetapi Becka mengelak.
Honey berdiri tegak dengan kaku, menghela napas berat.
"Tolong katakan kau mau memaafkanku," pintanya. "Ayolah."
Becka masih diam, menghindari mata Honey.
"Ayolah," Honey memohon dengan semakin putus asa.
"Maafkan aku. Kau bisa memaafkan sahabat karibmu, kan?"
Becka menoleh kepada Honey, raut wajahnya keras dan dingin.
"Kau bukan temanku, Honey," jawabnya dengan rahang terkatup.
Honey terlonjak mundur seakan-akan tertampar. "Hah?"
"Kau bukan sahabat karibku," kata Becka, suaranya bergetar
penuh kemarahan. "Kau bukan sahabat karibku dan kau bukan
temanku. Trish dan Lilah-lah sahabatku. Trish dan Lilah-lah sahabat
karibku. Cuma merekalah sahabatku."
Honey menatap Becka dengan saksama, seolah-olah sedang
mempertimbangkan ucapan Becka dengan hati-hati.
Namun wajahnya tampak tanpa emosi sama sekali.
Dan akhirnya ketika ia bicara, nadanya ceria dan riang, seakan
tidak mendengar kata-kata Becka yang menyakitkan.
"Oh. Omong-omong," kata Honey, sambil mengedipkan
matanya. "Aku putus dari Eric hari ini. Persis seperti yang
kaulakukan." Bab 21 "BECKA, kau ke sini!"
Trish bergegas melintasi ruang tamu yang penuh sesak itu,
menerobos kerumunan anak yang sedang mengobrol dan tertawatawa.
"Hai, tempat ini kelihatan hebat!" Becka memandang ke
sekeliling ruangan. Api yang berkobar-kobar di pendiangan
membiaskan cahaya oranye lembut. Beberapa kaus kaki besar penuh
permen berbentuk tongkat tergantung pada rak di atas pendiangan, di
bawah rangkaian ranting dan buah pohon cemara yang indah.
Pohon Natal yang amat besar, menyentuh langit-langit,
gemerlap di pojok ruangan. Cahaya lampunya yang merah dan putih
berkelap-kelip hidup-mati. Berlusin-lusin simpul pita merah diikatkan
di sepanjang cabangnya. Kertas perak membuat pohon itu gemerlapan
seakan dihiasi beribu-ribu berlian yang berkilauan.
Becka memandang sekilas ke sekeliling ruangan dan mengenali
wajah-wajah yang sedang mengobrol dan tersenyum itu. Penuh sesak!
Trish benar-benar mengundang separo murid di sekolah!
"Aku benar-benar mengira kau tak bisa datang," kata Trish,
berteriak mengalahkan suara keras orang mengobrol dan dentuman
musik dari stereo, musik Natal yang berirama heavy metal.
"Ayahku menyerah pada saat terakhir," kata Becka, nyengir.
"Dia membujuk ibuku supaya mengizinkan aku pergi kemari. Kau
kelihatan cantik!" Trish memakai sweter wol hijau berleher bulat rendah dan
celana ketat hitam dari beludru.
"Sweter yang cakep," puji Becka.
"Kau sudah menyelesaikan rajutanmu?" tanya Trish. "Itu lho.
Sweter yang kaurajut untuk saudara sepupumu."
"Oh, tentu," sahut Becka, mencibir. "Aku punya banyak waktu
untuk merajut sejak dilarang pergi ke mana-mana."
Becka melepas jaketnya. Trish mengambil jaket itu dari tangan
Becka, dan mengagumi pakaiannya. Becka memakai rok pendek perak
di atas celana ketat hitam.
"Kau tampak memesona," seru Trish.
Becka tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Aku mencoba-coba semua mantel orangtuaku!" teriak Trish.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Musik apa sih ini?" teriak Becka kembali. "Berisik sekali!"
"Kurasa album Natal Guns 'n Roses," jawab Trish, tertawa.
"Gary Brandt yang membawanya. Bukan punyaku."
Becka menghela napas dalam-dalam. "Mmmmm. Bau apa ini,
enak sekali?" "Sari apel panas," kata Trish. "Ayo, ambillah." Ia menunjuk ke
meja di dekat ruang makan. "Malam ini dingin dan cuacanya buruk."
"Di sini nyaman dan hangat," ujar Becka, sambil memandang
ke sekeliling ruangan. "Bill sudah datang?"
"Ya. Kurasa aku melihatnya di ruang baca. Dengan David
Metcalf dan beberapa cowok lain."
Trish tergesa-gesa berlalu dengan membawa jaket Becka.
Becka melintasi ruangan. Ia menuang secangkir sari apel panas
untuk dirinya sendiri, kemudian berhenti untuk mengobrol dengan
Lisa Blume, yang bergelayut mesra pada cowok berambut merah yang
tidak dikenal Becka. Seseorang mengganti CD di stereo. Mendadak Bruce
Springsteen mengumandangkan Santa Claus is Coming to Town.
Becka mendengar Ricky Schorr mengeluh kepada Trish karena
tidak ada bir. "Pesta Natal apaan nih tanpa bir?" keluhnya terusmenerus.
Seseorang bertanya kepada Trish di mana daun mistletoe
digantung. Trish menunjuk ke atas kusen pintu ruang makan. Ricky
menceritakan gurauan norak tentang ciuman yang membuat semua
orang mengerang. Karena ingin sekali menemui Bill, Becka pergi ke ruang baca.
Deena Martinson menghentikannya tepat di depan pintu. "Aku suka
rok itu, Becka," katanya, sambil memegang bahu Becka dan memutar
tubuh Becka. "Seksi amat. Aku tak pernah melihat rok yang seperti
itu." Becka mengucapkan terima kasih kepada Deena.
"Hampir seperti kertas kado. Kau sudah bertemu Jade?" tanya
Deena, sambil memandang ke belakang lewat bahu Becka. Jade
sahabat karib Deena. "Aku membawa kuncinya."
"Kayaknya aku belum melihat dia di sini," jawab Becka.
"Kau kelihatan cantik," Deena mengulangi pujiannya.
"Kudengar kau... uh, sakit."
"Tidak. Aku sehat-sehat saja kok," jawab Becka.
Bill menjulurkan kepalanya dari ruang baca.
"Nanti kita ngobrol lagi," kata Becka kepada Deena.
Ia bergegas menghampiri Bill. "Mencariku?"
"Tidak. Mencari sari apel lagi," goda Bill. "Tapi kau juga nggak
apa-apa." Becka berjinjit dan mencium pipi Bill sekilas. "Ini malam yang
kita tunggu-tunggu," katanya. "Satu-satunya malam kita bisa bertemu.
Jadi jangan kaurusak."
Raut wajah Bill berubah menjadi serius. "Sori, Becka. Tapi aku
datang dengan cewek lain."
Sedetik Becka mempercayai ucapan Bill.
Tapi Bill tidak pintar berbohong. Ia tertawa.
Becka mendorong Bill kuat-kuat. Bill roboh ke belakang
menimpa David Metcalf, yang akan meninggalkan ruang baca.
David, yang pegulat Shadyside High, dengan main-main
memiting Bill. Mereka bergulat sebentar sampai Bill berteriak "ampun" dan
David melepaskannya. "Kau cantik," kata David kepada Becka,
menatap Becka dari atas ke bawah, sebelum bersalto ke meja tempat
makanan dan minuman. "Well, setidaknya ada David yang mengagumiku," sindir Becka
kepada Bill. "David mengagumi segala hal," jawab Bill, menyeringai.
"Sandwich sosis pun dikaguminya!"
"Lucu sekali," Becka menggerutu. Ia berjalan mendului untuk
mengambil sari apel. Tiba-tiba Bill memeluknya dari belakang, memutar tubuhnya,
dan menciumnya. Karena kaget, Becka menjauh.
Bill tersenyum dan menunjuk seikat daun mistletoe di atas
kepala mereka. Anak-anak Shadyside terus berdatangan. Pesta semakin meriah.
Seseorang mengeraskan bunyi musik.
Becka dan Bill berdansa, walaupun tidak banyak tempat untuk
bergerak di ruang tamu yang penuh sesak itu.
Becka bahagia. "Ini pesta yang paling asyik!" kata Becka
kepada Trish. Trish setuju.
Beberapa saat kemudian, Becka dan Bill terpisah. Ke mana dia
menghilang" tanya Becka dalam hati.
Becka sedang berjalan menuju ruang baca ketika berpapasan
dengan Honey. "Honey?" Becka tidak bisa menyembunyikan keheranannya.
Ngapain dia di sini" tanya Becka dalam hati. Honey pasti
datang ke pesta ini tanpa diundang. Trish tak mungkin
mengundangnya. Honey memeluk Becka, kemudian mundur selangkah. "Lihat,"
perintahnya, ia tersenyum dan menunjuk pakaiannya.
Becka ternganga. Honey tidak hanya meniru model rambut Becka. Ia memakai
rok perak yang sama seperti milik Becka, dengan celana ketat hitam
yang mirip. Senyum Honey bertambah lebar. "Halo, kembaran!" serunya
dengan gembira sekali. Bab 22 "AKU menemukan toko itu di Old Village!" Honey berteriak
untuk mengatasi bunyi musik. "Aku menemukan rok yang sama. Aku
tak bisa percaya mereka punya yang lain!" Dia memandang Becka
dengan wajah berseri-seri gembira.
Becka balas menatap wajah Honey, tak bisa bicara.
Kenapa dia di sini" tanya Becka kepada diri sendiri, merasa
kemarahannya memuncak. Kenapa dia memakai pakaianku" Kenapa
dia melakukan ini padaku"
"Apa komentarmu, kembaran?" desak Honey. "Kau tak bilang
apa-apa." Aku tak tahan, pikir Becka. Aku tak tahan lagi.
Cukup! "Honey, enyahlah," katanya dengan rahang dikatupkan.
"Apa?" Senyum Honey memudar. Ia maju lebih dekat ke Becka
sampai hidung mereka hampir menempel. "Aku tak mendengarmu,
Becka. Suara di sini keras sekali."
"Enyahlah!" Becka mengulangi kata-katanya dengan lebih
keras. "Apa?" Becka mendengar orang tertawa. Sekilas ia melirik dua cewek
yang tidak dikenalnya sedang menunjuk ke arahnya. Jelas mereka
sedang saling berkomentar tentang pakaian Becka dan Honey yang
persis. Seharusnya malam ini indah, pikir Becka sedih. Tapi, aku
malahan sedang ditunjuk- tunjuk. Ditertawakan. Semua ini gara-gara
ulah Honey. Kesedihannya segera berubah menjadi kemarahan. Becka bisa
merasa dirinya kehilangan kendali, tapi tidak peduli.
"Honey, tinggalkan aku sendiri!" jeritnya.
Beberapa pasangan berhenti berdansa dan menoleh untuk
melihat percekcokan mengenai apa itu.
"Becka, ayolah! Tenanglah," kata Honey.
"Pergilah! Tinggalkan aku sendiri!" jerit Becka. "Kau bukan
sahabat karibku, Honey. Kau bahkan bukan temanku!"
"Becka, ayolah!" Honey memohon, malu.
Tapi Becka tidak bisa menghentikan dirinya.
"Kau bukan temanku! Bukan! Trish dan Lilah-lah temanku,
bukan kau!" "Becka, hentikan!"
"Kau tampak menggelikan!" jerit Becka, menuding-nuding
pakaian Honey. "Kau kelihatan norak! Kau kelihatan... menyedihkan!"
"Tenanglah, Becka. Semua orang memandangi kita!" pinta
Honey. "Pergilah dan aku akan diam. Pergilah, Honey! Tinggalkan aku
sendiri! Aku tak ingin melihatmu lagi!"
Mulut Honey ternganga lebar. Wajahnya memucat.
Ia akan mengatakan sesuatu. Tidak jadi. Menangis tersedu-sedu.
Kemudian raut wajahnya berubah marah. Wajahnya merah
padam. Ia berputar, rok peraknya mengembang, dan berlari ke tangga,
mendorong orang-orang yang dilaluinya.
Sambil menarik napas berat, Becka memperhatikan Honey
berlari menaiki tangga. Kemudian Honey menoleh, raut wajahnya
masih marah, kedua tangannya masih dikepalkan membentuk tinju.
Suasana semakin ramai di ruangan itu. Tawa meresahkan.
Pertanyaan-pertanyaan. "Ada apa?" tanya cewek di dekatnya.
"Kedengarannya dia kena gangguan saraf," sahut yang lain
dengan keras. "Kenapa pakaian mereka kembar?" Becka mendengar seseorang
bertanya. Seseorang lagi menjawab, hanya saja tidak tertangkap
pendengaran Becka. Jawaban itu diikuti tawa parau.
Aku jadi bahan lelucon, pikir Becka tidak keruan, wajahnya
memanas. Honey telah menjadikanku bahan lelucon. Semua orang
membicarakanku. Semua orang membuatku jadi bahan hiburan
sekarang. "Siapa cewek yang satunya itu?" tanya seseorang.
"Aneh," Becka mendengar orang lain menyahut.
Becka mencari Trish. Ia ingin minta maaf karena mengganggu
pesta itu. Tapi Trish tidak kelihatan di mana-mana.
Musik dimulai lagi, lagu Natal berirama rap. Anak-anak mulai
berdansa. Becka bergerak mencari jalan keluar.
Matanya memperhatikan ruangan itu untuk mencari Bill. Ke
mana dia pergi" Becka bertanya-tanya. Apa dia tak mendengarku
berteriak-teriak pada Honey" Apakah dia masih ada di ruang baca"
Ketika ia sedang mencari-cari Bill, dilihatnya Trish di puncak
tangga. Apa itu yang sedang dipegang Trish"
Becka melayangkan pandangannya ke puncak tangga. Ia
melihat Trish sedang membawa kue Natal yang besar berbentuk balok
kayu di atas baki perak. Trish melangkah. Kemudian Becka melihat Honey ada di puncak tangga juga.
Tepat di belakang Trish. Trish melangkah lagi. Dan kemudian kue yang besar sekali itu melayang dari baki.
Becka langsung tersadar bahwa Trish sedang jatuh, terjungkal
dengan kepala di bawah dari tangga yang curam.
Jeritan yang menyayat keluar dari mulut Trish. Suara yang
mengerikan mengikutinya selama Trish meluncur ke bawah.
Mula-mula baki itu menghantam lantai kayu yang keras,
disertai bunyi gaduh. Dan kemudian Trish mendarat diiringi bunyi krak yang
menyakitkan. Bab 23 KEHENINGAN mencekam. Semua orang tampak mematung seolah akan dipotret. Potret
ketakutan. Api meletup-letup dengan berisik di pendiangan.
Seseorang menjerit. Ruangan itu kembali hidup.
Becka-lah yang pertama tergopoh-gopoh melintasi ruangan itu
menghampiri Trish. Trish tersungkur dengan wajah di bawah, dadanya di atas kue.
Lapisan gula yang gelap dan krim berhamburan di lantai.
Trish tidak bergerak. Matanya tertutup. Kepalanya miring ke
sudut yang aneh. Becka mengangkat kedua tangannya ke wajahnya, berusaha
menahan jeritannya. Suara-suara mendadak gaduh sekali. Suara-suara ketakutan.
"Apa dia masih bernapas?"
"Jangan pindah dia!"
"Apakah dia sadar?"
"Bagaimana jatuhnya?"
"Hubungi 911!" "Di mana teleponnya?"
"Dave sudah menelepon!"
"Panggil orangtuanya!"
"Jangan pindahkan dia!"
Jantung Becka berdetak kencang, ia membungkuk di atas tubuh
temannya yang tidak bergerak. "Trish?" panggilnya, suaranya
bergetar. "Trish, kau bisa mendengarku?"
Hening. Becka sadar lututnya berada di atas lapisan putih yang lengket
itu. Tapi ia tidak peduli.
Kepala Trish"kepala itu miring ke arah yang salah.
Seharusnya kepala itu tidak tertekuk seperti itu, seperti yang
dilihatnya. Ia berusaha keras memegang kepala itu dengan kedua
tangannya dan berusaha meluruskannya.
Ia berusaha membalikkan tubuh Trish, mendudukkannya, lalu
memeluknya. "Trish?" Sunyi. Di belakangnya, Becka mendengar anak-anak menangis.
Ruangan itu penuh dengan suara-suara ketakutan dan
kebingungan. "Apakah dia jatuh?"
"Apakah dia sadar kembali?"
"Apakah kau menelepon 911?"
"Apakah orangtuanya di rumah" Di mana mereka?"
Beberapa anak berkerumun di sekeliling tubuh Trish
membentuk lingkaran rapat, membungkuk di atas tubuh Trish,
berbicara dengan suara pelan dan ketakutan.
Api meretih dengan berisik.
Mata Becka memandang ke puncak tangga.
Honey! Honey masih berdiri di puncak tangga, tangan kanannya
mencengkeram pegangan tangga. Ia tidak bergerak. Ia menatap ke
bawah kepada mereka semua, mimik wajahnya aneh.
Honey mendorong Trish. Kata-kata itu berkelebat dalam benak Becka, getaran rasa
dingin merambat ke punggungnya.
Ia menatap Honey dengan tajam.
Ya, Honey mendorong Trish.
Tatapan Becka sejenak menyadarkan Honey bahwa ia sedang
diawasi. Begitu ia melihat Becka sedang menatapnya di atas, Honey
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatur kembali mimik wajahnya dan mulai menuruni tangga.
"Aku berusaha menangkapnya!" teriak Honey, air mata tiba-tiba
berkilauan di sudut matanya. "Aku berusaha. Tapi aku kurang cepat."
Anak-anak lain, yang membungkuk. di atas tubuh Trish,
mengalihkan perhatian mereka kepada Honey ketika cewek itu pelanpelan menuruni tangga, air mata mengalir di kedua pipinya.
"Aku minta dia agar membolehkanku menolongnya
membawakan nampan itu," kata Honey kepada mereka dengan air
mata berlinang-linang. "Kue itu sangat berat. Tapi katanya dia kuat.
Dan kemudian kulihat dia mulai jatuh. Aku menangkapnya. Sungguh.
Andai saja aku lebih cepat. Andai saja..." Suaranya bertambah lirih,
tertimpa sedu-sedannya yang keras.
Tidak, pikir Becka getir. Tidak! Kau mendorongnya, Honey.
Kau mendorong Trish untuk membalasku.
Kau mendorong Trish. Tapi apakah kau telah membunuhnya"
"Napasnya aneh." Suara Deena Martinson memecah lamunan
Becka. Becka berbalik dan melihat Deena sedang membungkuk di
atas Trish, merendahkan telinganya hingga hampir menyentuh wajah
Trish. Ia sedang mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Tapi dia masih bernapas?" tanya seorang cewek dari dekat
pendiangan. "Dia masih bernapas, tapi napasnya keras. Sepertinya dia susah
bernapas," Deena memberi laporan.
"Di mana ambulansnya?" tanya seseorang.
"Kau sudah menelepon?"
"Aku menelepon 911," suara David Metcalf terdengar. "Aku
langsung menelepon. Mereka seharusnya sudah ada di sini."
"Aku tak mendengar bunyi sirene," kata seseorang.
"Di luar turun salju. Mungkin mereka mengalami kesulitan,"
David memberi pendapat. "Apakah kita tahu di mana orangtuanya?" tanya salah satu
cewek. Becka menatap tubuh Trish yang tidak bergerak. Sekali lagi, ia
berusaha membalikkan tubuh Trish, untuk membuat Trish lebih
nyaman. Sekujur tubuh Trish bergetar.
Becka berteriak. Demikian juga beberapa anak yang lain.
Namun Trish tidak membuka matanya.
Napasnya keras dan tidak beraturan sekarang.
Tiba-tiba Becka merasa ada lengan yang melingkari bahunya.
Berharap itu Bill, ia menoleh.
Honey! "Semuanya akan baik-baik saja, Becka," bisik Honey,
mendekatkan wajahnya ke wajah Becka. "Semuanya akan baik-baik
saja. Aku ada di sini."
Honey terisak-isak keras. Wajahnya basah dengan air mata.
Lengannya terasa berat di bahu Becka.
"Kau masih punya teman," bisik Honey. "Aku di sini. Aku
takkan pergi. Aku masih di sini."
"Tidak!" jerit Becka.
Beberapa anak lain berteriak terkejut.
Becka mendorong Honey dan bangkit berdiri.
"Tidak!" Aku harus pergi, pikir Becka. Pergi!
Ia berlari membabi buta ke pintu depan, menarik pintu itu
hingga terbuka, dan menghambur keluar...
Bertubrukan dengan dua petugas polisi yang berseragam hitam.
"Berhenti!" seru salah satu polisi itu, yang lebih terkejut
daripada Becka. "Kau akan ke mana?" tanya polisi yang satunya.
Sambil menahan napas, Becka melangkah mundur selangkah.
"Saya... saya tak tahu...," Becka tergagap. Ia mundur kembali ke
koridor. Semuanya tampak kabur. Berputar-putar mengerikan.
Kedua polisi itu mengibaskan salju di topi mereka, lalu
mengikutinya masuk. "Apa yang terjadi di sini?" tanya salah satu polisi itu.
Mendadak Becka pusing, pusing dan lemah, terlalu pusing
untuk berdiri, terlalu lemah untuk menahan semua ini.
"Dia yang melakukannya!" jerit Becka, sambil menuding
Honey dengan telunjuknya yang gemetar. "Honey mendorongnya!
Honey mendorong Trish!"
Becka melihat kedua mata Honey terbelalak terkejut dan tidak
percaya. Lalu semuanya menjadi putih, seputih salju yang berjatuhan.
Dan, semuanya menjadi hitam seiring dengan robohnya Becka.
Bab 24 BECKA membuka matanya. Ia berkedip beberapa kali, menunggu matanya terbiasa dengan
cahaya terang. Di manakah aku" tanyanya pada diri sendiri.
Ia mencoba duduk. Punggungnya sakit. Kedua lengannya terasa
lemah. Lamakah tidurku" ia bertanya-tanya.
Lemari rias itu tampak jelas. Kemudian meja riasnya, penuh
dengan peralatan makeup dan bermacam-macam barang remeh yang
berantakan. Pakaian-pakaian kotor teronggok di kursi di depannya.
Aku ada di kamarku sendiri, ia menyadari.
Aku di rumah. Tapi bagaimana caranya"
Ia mendengar suara berbisik di dekatnya. Ia mengenali suara
ibunya, bisikan yang keras.
Ia tidak mengenali suara laki-laki itu sampai wajahnya
tertangkap pandangannya. Dokter Klein. Dokter itu dan ibunya berdiri di ambang pintu, sedang berbicara
pelan, sungguh-sungguh, mimik serius tampak di wajah mereka yang
kusut. Mereka berdua menoleh ketika Becka berusaha keras duduk.
"Oh, selamat pagi!" sapa ibunya dengan kegembiraan yang
dibuat-buat. Ia buru-buru mendekati ranjang. Dr. Klein mengikutinya.
"Pagi?" Becka menguap. "Bagaimana kok sudah pagi" Hari apa
ini?" "Minggu," jawab Mrs. Norwood, memaksa tersenyum ketika
menatap Becka, memandangi wajahnya. "Kau tertidur lama sekali."
"Tertidur?" "Aku dan ayahmu membawamu pulang dari pesta itu," sahut
ibunya, sambil menggigit bibir bawahnya.
"Benar. Pesta itu," kata Becka pening.
Tiba-tiba ketakutan kembali menyergapnya, tajam seperti
tikaman pisau. "Trish, apakah dia...?"
"Lehernya patah," sahut Mrs. Norwood, suaranya tercekat.
"Tapi dia masih hidup."
"Oh!" pekik Becka. Langit-langit mulai bengkok-bengkok. Ia
merosot kembali ke bantalnya.
"Kau mengalami shock hebat," kata Dr. Klein, suaranya lembut
profesional. "Shock yang parah."
Becka memejamkan matanya. "Saya ingat polisi itu, tapi lalu..."
"Kau pingsan," kata Dr. Klein, wajahnya yang berkumis pendek
itu tanpa ekspresi. Cahaya langit-langit memantul di kepalanya yang
botak. "Shock itu terlalu hebat, sudah pasti. Kau harus keluar
darinya." "Tapi kau akan sembuh," ibu Becka menambahkan cepat-cepat,
mengangguk untuk menekanannya, seakan mencoba menenangkan
dirinya sendiri. "Kata Dr. Klein, kau akan sembuh."
"Kuharap kau istirahat penuh," kata dokter itu, mengganti
tumpuan kakinya, sambil memainkan kancing-kancing di rompi abuabunya yang bergaris-garis. "Tetaplah berbaring selama beberapa
hari." "Tapi saya tidak sakit," Becka memprotes.
Dr. Klein menatap sebagai jawabannya, tapi telepon di samping
meja Becka berdering. Mrs. Norwood cepat-cepat mengangkat gagang
telepon itu setelah dering yang pertama.
Ia membelakangi Becka dan menggumamkan beberapa
jawaban, terlalu pelan untuk didengar Becka. Kemudian ia meletakkan
gagang telepon itu. "Itu Honey," katanya, sambil berbalik kembali menghadap
Becka. "Dia hanya menanyakan bagaimana keadaanmu. Ia menelepon
sepanjang pagi." "Tidaakkkk!" seru Becka panjang dan menyayat.
Dr. Klein cepat-cepat menghampiri ranjang, wajahnya penuh
perhatian. "Kau baik-baik, kan" Apa ada yang sakit?"
"Jangan biarkan Honey menelepon!" ratap Becka, sambil
mencengkeram seprai dengan kedua tangannya. "Aku tak ingin bicara
dengannya! Aku tak ingin bicara!"
"Aku sudah meletakkannya. Lihat!" bantah Mrs. Norwood,
sambil menunjuk pesawat telepon. Ia mendongak memandang dokter
itu, seakan minta pertolongan.
"Seperti yang kaulihat," Dr. Klein mulai menjelaskan dengan
pelan, "kau masih terganggu peristiwa di pesta itu."
"Jangan biarkan Honey menelepon!" potong Becka.
"Oke, aku akan memberitahunya agar tak menelepon," jawab
ibunya, matanya tertuju pada dokter itu.
"Tidak menerima telepon," Dr. Klein setuju. "Menurutku itu ide
bagus, Becka. Tidak menerima telepon. Istirahat penuh. Kau boleh
turun untuk makan jika lapar. Jadi kau bisa sekalian latihan. Tentu kau
tak ingin tubuhmu jadi terlalu lemah. Tapi jangan keluar. Jangan
temui orang lain. Aku akan menulis resep pil untuk membuatmu
tenang." "Pil?" "Obat penenang ringan," sahut si dokter. Ia mengangkat tasnya.
"Dokter pikir saya gila?" ucapan itu meluncur dari mulut Becka.
"Tentu saja tidak!" Mrs. Norwood langsung menyanggah.
"Kupikir kau telah mengalami kejadian yang sangat
mengerikan," kata Dr. Klein bijaksana. "Terus terang, itulah yang
dapat dilakukan dokter saat ini, kuduga kau mengalami shock. Dengan
istirahat total beberapa hari, barangkali kau akan kembali normal."
Mrs. Norwood mengikuti dokter itu ke pintu.
"Saya akan mengecek kembali besok,"' katanya. "Teleponlah ke
kantor jika Anda memerlukan sesuatu."
Becka mendengar Dr Klein menuruni tangga. Sejenak
kemudian, ibunya kembali, dengan gugup disibakkannya sehelai
rambut dari keningnya ke belakang, senyum terpaksa tersungging di
wajahnya. "Kau akan sembuh," katanya, sambil membelai kening
Becka. "Mau makan" Akan kubawakan dengan nampan ke sini."
Becka menggeleng. "Tidak, terima kasih, Mom. Aku agak
ngantuk, sebenarnya."
Becka tertidur lelap. Selama beberapa hari berikutnya ia tertidur dan jarang
terbangun, hanya terjaga sebentar sekali. Tidurnya nyenyak dan tanpa
mimpi, tetapi ketika bangun ia merasa capek dan sama sekali tidak
segar. Suatu malam ibunya masuk kamar dan melihat Becka sedang
duduk di ranjang. Becka sedang menangisi Trish, air mata mengalir di
pipinya, jatuh ke selimutnya.
"Sudahlah," kata Mrs. Norwood pelan, dengan lembut
tangannya memegang bahu Becka. "Keluarkanlah. Keluarkan semua
perasaanmu, Sayang. Kemudian kau akan merasa lebih baik."
Becka menangis dan menangis. Ia menangis sampai tidak ada
lagi air mata yang tersisa, tapi ia tidak merasa lebih baik.
Siang berikutnya ia merasa lebih kuat.
Nafsu makannya pulih kembali, dan ia makan siang banyak
sekali. Ia telah berbicara dengan Trish dan Lilah lewat telepon. Kedua
temannya dirawat di sayap yang sama di Shadyside Gederal, nyaris
berseberangan ruangan mereka. Lilah sudah bosan, ingin keluar.
Butuh waktu lama untuk memulihkan tungkai Lilah yang remuk. Trish
terdengar masih lemah, dan sangat tertekan. Ia mengatakan tidak ingat
apa yang telah terjadi"sesaat ia ada di puncak tangga, berikutnya ia
sudah di rumah sakit. Ketika Trish bicara, Becka bisa mendengar rasa
sakit dalam suaranya. Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk
menghentikan mimpi buruk ini, pikir Becka, merasa sendirian dan tak
berdaya untuk menolong. Becka berjanji akan menengok mereka begitu ia diizinkan
keluar. Siang itu ia membaca buku di ranjang, radio terdengar samarsamar di latar belakang ketika ibunya masuk, telah siap dengan
pakaian untuk pergi. "Aku akan kembali kurang dari sejam," ujarnya,
sambil sibuk menarik sarung tangannya. "Kau akan baik-baik saja,
kan?" "Tentu," sahut Becka. "Tidak apa-apa."
"Bagaimana rasanya?" tanya Mrs. Norwood. Ia menanyakan
pertanyaan ini dua puluh kali sehari.
"Agak ngantuk," sahut Becka. "Kupikir tak mungkin orang
tidur terus-terusan!"
Becka mengucapkan kalimat itu sambil lalu, namun ekspresi
sibuk ibunya berubah menjadi serius. "Tidur itu baik untukmu,"
katanya. "Aku akan segera kembali, oke" Kau tetap di ranjang saja.
Tidurlah kembali." "Jangan cemaskan aku," kata Becka, sambil menguap.
Ia menutup buku dan membiarkannya jatuh ke lantai. Sambil
menguap, ia mendengarkan langkah ibunya menuruni tangga.
Beberapa detik kemudian pintu depan ditutup. Beberapa menit setelah
itu Becka mendengar mobil dihidupkan dan mundur ke jalan.
Tiba-tiba gelombang sedih menyapu perasaannya.
Pasti akibat pil itu, pikirnya.
Pil itu membuatku tertekan, membuatku sedih.
Tidak, ia berdebat dengan dirinya sendiri. Bukan pil itu. Tapi
aku. Hidupku. Hidupku sangat sedih. Sangat sedih sekali.
"Di mana teman-temanku?" teriaknya, tubuhnya mulai
gemetaran. "Di mana teman-temanku?"
Semuanya celaka. Semuanya ada di rumah sakit.
Semuanya pergi. Ia menarik selimut sampai ke dagunya:
Ia merasa sedih sekali. Mengantuk. Dan berat, seakan dibebani
dua ribu kilo. Dan gemetaran.
Dan sedih. Dan ketika baru saja ia akan kembali terlelap ke alam mimpi,
telepon berbunyi. Bab 25 "JANGAN terima telepon." Ucapan Dr. Klein kembali
terdengar di telinga Becka.
Telepon berdering untuk kedua kalinya.
Jangan jawab, pikirnya. Aku terlalu sedih untuk menjawabnya.
Dering ketiga. Ia bertanya-tanya kenapa ibunya tidak mengangkat telepon.
Kemudian ia ingat ibunya pergi.
Aku tak dapat berpikir jernih, Becka sadar. Aku terlalu sedih
untuk berpikir jernih. Dering keempat, terdengar nyaring di telinga Becka.
Ia mengangkat gagang telepon. "Halo?" Suaranya menghilang,
lirih dan takut- takut.
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai, Becka, kaukah itu" Ini Honey."
"Oh." Becka mengeluarkan kata itu dengan capek, tidak
terkejut. Aku terlalu sedih untuk bicara denganmu, Honey. Aku amat
sedih karena kau. "Aku sedang memikirkanmu," ujar Honey ceria.
Becka tidak menjawab. Gagang telepon itu terasa begitu berat
di tangannya. Kenapa aku mengangkat gagang pesawat ini" tanyanya pada
diri sendiri. Kenapa aku tak meletakkannya kembali"
Aku sama sekali tak bisa berpikir jernih.
"Becka, kau masih di situ?" tanya Honey tidak sabar.
"Ya." "Sikapmu tak baik padaku, Becka. Tak baik sama sekali. Tapi
aku punya kejutan manis untukmu," kata Honey, sambil tertawa
berderai. Kenapa dia gembira sekali" tanya Becka enggan.
Sekujur tubuhnya terasa dingin, dingin dan gemetar. Dan ia
sangat sedih. Kenapa Honey begitu bahagia sementara aku begitu
sedih" "Kau bisa ke sini?" tanya Honey bersemangat.
"Apa?" "Kemarilah," desak Honey. "Sebentar saja. Cuma untuk melihat
kejutan manis yang kupunyai. Kau pasti menyukainya, Becka.
Sungguh." "Tidak," jawab Becka. Kamar itu melengkung dn bergoyang. Ia
memejamkan matanya untuk menghentikan semua itu. "Tidak, aku tak
bisa." "Kau harus bisa," Honey menekankan. "Kau akan menyukai
kejutan ini, Becka. Pakailah mantelmu. Kemarilah sebentar. Kau akan
senang. Sungguh." Tidak. Aku tak bisa. Aku terlalu sedih. Terlalu mengantuk. Terlalu berat.
Aku tak bisa. Waktu Honey meminta Becka datang ke rumahnya, Becka
mendengar suara lain samar-samar. Suara cowok.
Bill" Suara Bill-kah itu yang didengarnya" Bill-kah yang ada di
rumah Honey" Mengapa"
"Ayolah. Cepat," desak Honey.
"Oke," sahut Becka. "Oke. Aku akan ke sana. Kali ini saja.
Hanya semenit." "Oh, bagus!" seru Honey. "Aku punya sesuatu untuk
kutunjukkan padamu. Kejutan besar!"
Seolah tak sadarkan diri, Becka bangkit dari ranjangnya.
Kamar itu melengkung dan bergoyang.
Ia berpegangan pada permukaan lemari riasnya untuk berdiri
tegak. Jantungnya berdebar-debar. "Itu bukan Bill," katanya keras.
"Tak mungkin Bill. Aku cuma membayangkan suara Bill. Bill tak
pernah ke rumah Honey."
Tapi ia harus memastikannya.
Aku cuma sebentar di sana, pikirnya.
Sudah kubilang pada Honey. Cuma sedetik.
Dan kemudian aku takkan pernah bertemu dia lagi. Tak pernah
bicara dengannya lagi. Ia mengenakan jubah mandinya dari kain handuk. Kemudian
menyelipkan kakinya ke sepatu karet.
Tak perlu ganti pakaian, pikirnya.
Aku hanya akan pergi sebentar.
Ia melihat ke luar melalui jendela. Salju menutupi tanah. Langit
senja tampak abu-abu gelap. Awan yang menakutkan melayanglayang rendah di atas bubungan atap. Salju tampak berkilauan dan
keras seperti es. Salju itu sudah lama turun, pikir Becka, sambil memperhatikan
salju di bawah. Aku tak menengok ke luar sepanjang minggu ini.
Bukankah itu aneh" Aku tak melihat langit. Tak melihat salju.
Tak melihat ke luar walaupun sekali saja"
Apa yang tak beres dengan diriku"
Kenapa aku merasa begitu asing"
Kenapa aku tak merasa seperti diriku"
Ia terhuyung-huyung menuruni tangga dan berhenti di depan
lemari untuk mengambil mantelnya. Kemudian, ia menyelubungkan
mantel itu di bahunya, menarik tali jubah mandinya, lalu menuju pintu
belakang. Di luar udara lebih dingin daripada yang disangkanya. Becka
mengancingkan mantelnya dan berjalan terbungkuk-bungkuk
melawan angin, menapaki salju yang keras dan licin.
Ia menyeberangi halaman belakang rumahnya di belakang
garasi, menyelip ke antara celah pagar tanaman yang jarang, dan
masuk ke halaman belakang rumah Honey.
Dengan menggigil, ia buru-buru menuju pintu belakang.
Ia berhenti beberapa meter dari rumah itu ketika dua sosok
tubuh tampak jelas melalui jendela dapur.
"Tidak!" jerit Becka ngeri. "Oh, tidak!"
Bab 26 LAPISAN tipis embun yang membeku menutupi jendela dapur
Honey. Tetapi cahaya lampu yang terang di dapur membuat Becka
bisa melihat jelas dua orang yang duduk di belakang meja formika
kuning. Sambil berdiri di tengah salju, dengan sepatu karet tidak terikat,
serta tangan gemetar dan tanpa sarung, Becka memandang mereka
dengan mulut ternganga. Itu Honey, sedang tersenyum di seberang meja. Model
rambutnya seperti Becka. Setelah melangkah lebih dekat, Becka mengenali sweter hijau
miliknya yang terbagus dipakai Honey, dengan bros burung beo dari
enamel menempel di lehernya.
Dan duduk di seberang Honey, sedang tersenyum hangat,
adalah Bill. Apakah mereka sedang berpegangan tangan"
Becka tidak bisa melihat.
Ada yang meledak di dalam benak Becka.
Semuanya menjadi putih, seputih salju yang mengeras menjadi
es di kakinya. Semuanya jadi dingin, sedingin angin yang mencoba
mendorongnya menjauh dari pintu belakang.
Namun Becka menolak didorong.
"Dia tak boleh memiliki Bill juga!" jeritnya di antara deru
angin. Kata-kata itu menyembur keluar berupa ratapan yang
melengking penuh amarah. Ia merampas semuanya dariku, pikir Becka getir, tercekam
kemarahan. Semuanya. Tapi dia tak boleh mengambil Bill. Tak boleh.
Matanya kabur oleh air mata yang panas, Becka memegang
pegangan pintu belakang, memutar dan mendorongnya.
Dengan terengah-engah, ia menghambur masuk ke dapur yang
terang itu. Terengah-engah. Dengan terengah-engah seperti binatang
mengamuk, ia memandangi mereka.
Mereka berdua sedang duduk bersama. Tersenyum.
Berduaan di dapur yang hangat dan terang itu.
"Tidak!" jerit Becka.
Matanya langsung mencari-cari sesuatu. Ia tidak tahu apa yang
sedang dicarinya. Sesuatu. Itu dia. Tempat pisau dari kayu di atas meja pajang.
Tempat pisau dari kayu dengan pisau-pisau dapur bergagang
hitam yang besar. "Becka, kejutan!" seru Honey dengan riangnya, sambil
menunjuk Bill. Ia akan berdiri dari balik meja, tapi berhenti di tengah jalan
ketika melihat Becka menarik pisau dari tempatnya.
Pisau itu berkilauan tertimpa cahaya lampu dapur yang terang.
Senyum Bill langsung memudar. Matanya terbelalak ketakutan.
Honey diam membeku, separo di kursi, separo keluar.
"Becka, apa...?" Honey tidak menyelesaikan kalimatnya.
Honey menelan ludah keras-keras, kemudian berteriak
ketakutan sebagai protes ketika Becka mengacungkan pisau itu tinggitinggi.
"Jangan, Becka, jangan!"
Tapi Becka sedang menjerit keras sekali sehingga tidak
mendengar teriakan Honey, menjerit mengeluarkan kemarahannya
ketika menerjang ke arah Honey dengan pisau tertuju ke dada Honey.
Bab 27 BUNUH, pikir Becka. Aku akan membunuh Honey. Aku harus membunuhnya. Bunuh dia. Bunuh dia!
Lantas aku akan bahagia lagi. Bahagia sekali.
Namun ketika baru separo menyeberangi dapur itu, Becka
berhenti mendadak. Ruangan yang melengkung dan berputar itu menjadi gelap.
Ia mengerang pelan. Lemah. Aku merasa begitu lemah. Aku merasa begitu lemah
sekali. Bola matanya berputar ke atas, dan ia merosot ke lantai.
Tubuhnya menghantam lantai dengan keras dan tidak bergerak.
Ia tidak melihat pisau itu terpental dari tangannya.
Ia tidak melihat Bill melompat berdiri dari meja. "Kau bilang
padaku Becka tahu aku di sini!" Bill berteriak kepada Honey dengan
berang. "Kau bilang dia akan ke sini menemuiku!"
Bill bergerak cepat untuk melihat apakah ia bisa menolong
Becka, tetapi Honey menariknya ke belakang.
"Menyingkirlah darinya!" teriak Honey, matanya liar dan
berapi-api. "Dia temanku!"
"Apa kau gila?" teriak Bill, berkelit melepaskan diri dari
pegangan Honey. "Dia pingsan. Dia mungkin melukai diri sendiri.
Kita harus melakukan sesuatu!"
"Menyingkirlah!" Honey mengulangi ucapannya, suaranya
rendah penuh ancaman. "Dia temanku. Sahabat karibku."
Becka mengerang tapi tidak terbangun.
Dengan tangan besarnya yang gemetar, Honey memungut pisau
besar itu dari tempatnya terjatuh di lantai di dekat meja. Sambil berdiri
di samping tubuh Becka yang bergeming, ia mengancam Bill dengan
pisau itu. "Kau gila!" teriak Bill, tiba-tiba ketakutan bercampur dengan
kemarahan dalam suaranya. "Taruh pisau itu. Apa yang akan
kaulakukan?" "Menjauhlah dari sahabat karibku," Honey memerintah Bill,
raut wajahnya tertekuk penuh kemarahan.
Secepat kilat Bill merampas pisau itu.
Ia mencengkeram pegangan pisau itu tepat di atas tangan
Honey. "Lepaskan!" jerit Honey.
"Jatuhkan, Honey!"
Mereka bergulat sejenak. Honey mendorong Bill dengan bahunya.
Sambil terhuyung-huyung kembali, Bill nekat merebut pisau
itu. Tapi Honey yang memegang pisau itu sekarang.
Bill menyeimbangkan tubuh, lalu maju, menggapai, meraih
pisau itu"dan jatuh terjerembap ke arah pisau itu.
Pisau itu menghunjam dadanya.
Honey tersentak, menjerit ngeri.
Perlu waktu beberapa detik bagi Honey untuk mencabut pisau
itu. Lingkaran darah segar menyembur dari depan sweter Bill.
"Hei," kata Bill parau, suaranya menjadi bisikan serak. Rintihan
yang menyakitkan dan keras keluar dari mulutnya yang terbuka.
"Aku... tertusuk." Bill membelalak menatap Honey dan pandangannya
menampakkan ketidakpercayaannya, ketakutannya.
Bill mengerang, kemudian roboh dengan wajah tertelungkup di
linoleum di samping Becka. Darah menggenang di sekelilingnya,
menyebar di lantai. Bill mati, Honey menyadari.
Dia mati dan darahnya begitu merah.
Becka bergerak. Ia mengerang. Sekujur tubuhnya gemetaran.
Honey berusaha menghindari melihat darah yang mengalir di
sekitar tubuh Bill. Sekarang apa" pikir Honey, jantungnya berdegup kencang.
Sekarang apa" Sekarang apa" Sekarang apa"
Dengan kalut matanya memandangi tubuh Becka dan Bill
bergantian, kemudian kembali tertuju kepada Becka.
Tiba-tiba ia mendapat ide.
Ia membungkuk di atas tubuh Becka.
Ia meletakkan pisau itu di tangan Becka.
Dengan hati-hati ia merapatkan jari-jari Becka melingkari
pegangan hitam itu. Honey berdiri dan menatap pisau yang berlumuran darah itu
sekarang terpegang erat di tangan Becka.
Beberapa detik kemudian, Becka membuka matanya. Honey
duduk di samping Becka dan membantu Becka duduk.
"Jangan kuatir," bisik Honey di telinga Becka. "Jangan kuatir,
Becka." Ia membuai Becka dalam pelukannya.
Dengan gugup, Becka melirik dan mencoba memusatkan
pandangannya. Namun yang bisa dilihatnya hanyalah cahaya, cahaya
yang terang dan berkilauan.
Ruangan itu menjadi kabur lalu meredup.
Apa yang terjadi" Mengapa ia tidak bisa melihat jelas"
"Jangan kuatir," ulang Honey lembut. "Aku akan menjagamu,
Becka. Aku satu-satunya sahabatmu sekarang. Aku akan menjagamu."
Becka berjuang untuk melihat dengan jelas.
Ia tersentak membisu ketika melihat pisau di tangannya.
Pelan-pelan matanya mulai bisa melihat jelas.
Becka melihat pisau yang berlumuran darah. Merah dan perak.
Merah dan perak. Pisau itu berkilauan seperti hiasan pohon natal yang
bersinar-sinar. Semuanya berkilauan, gemerlap tertimpa cahaya. Pisau yang
merah dan perak itu ada di tangannya. Meja dapur. Cowok yang
berbaring tertelungkup di sampingnya...
"Aku akan menjagamu, Becka," bisik Honey menghibur, sambil
memeluk Becka. "Aku takkan membiarkan polisi tahu apa yang
kaulakukan. Kita akan mengarang cerita, bukankah begitu, Becka"
Kita takkan membiarkan mereka tahu kau yang membunuh Bill."
"Apa?" Becka berjuang bangkit, tapi Honey memeganginya,
melingkarkan lengannya ke bahu Becka, berbisik menenangkan di
telinganya. "Apa yang telah kulakukan?" bisik Becka. "Apa?"
Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Becka menatap pisau merah dan perak di tangannya.
Kemudian ia menatap Bill, sedang berbaring sangat tenang di
tengah genangan darah yang menghitam.
"Apa yang telah kulakukan?" bisik Becka.
"Aku akan bilang pada mereka bahwa kau membunuh Bill
untuk membela diri, Becka," sahut Honey lembut. "Mereka tak harus
tahu yang sebenarnya. Mereka takkan pernah tahu kau menusuk Bill.
Karena aku akan menjagamu. Aku akan menjagamu mulai sekarang.
Karena kaulah sahabat karibku. Bukankah aku sahabat karibmu, dan
aku satu-satunya temanmu" Becka" Ya, kan" Bukankah aku sahabat
karibmu" Ya, kan" Tentu saja. Aku sahabat karibmu yang paling baik.
Dan aku takkan pernah membiarkan mereka tahu apa yang
kaulakukan pada Bill. Tak pernah. Tak pernah tak pernah."
"Terima kasih, Honey," bisik Becka penuh syukur.END
Kupu Kupu Mata Dewa 1 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Kekasih Sang Pendekar 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama