Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Broken Hearts 1

Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts Bagian 1


PROLOG SEPTEMBER KECELAKAAN PADA saat terjadinya kecelakaan itu, hari cerah dan
menyenangkan. Erica McClain menatap deretan rumah dan pekarangan yang
berkelebat di luar jendela belakang mobil. Beberapa helai daun mulai
berubah warna. Di pepohonan maple tampak secercah warna kuning
dan merah tua di antara daun-daunnya yang hijau berdebu. Percikpercik kuning dan merah tua itulah satu-satunya petunjuk yang
menandai akhir musim panas.
Melissa Davis membelokkan mobil memasuki Old Mill Road
dan menekan gas kuat-kuat. Firebird biru itu meraung. "Kenapa sih
kita pergi ke sana?" tanyanya.
"Kenapa tidak?" jawab Josie McClain. Ia duduk di kursi depan
di samping Melissa, memutar-mutar tombol radio.
"Hari yang cerah untuk berkuda," Rachel McClain menimpali.
Rachel, duduk di belakang bersama Erica, mencondongkan tubuh ke
depan. "Berhentilah memutar-mutar radio," ia memarahi Josie. "Bikin
aku pusing saja." "Habis tidak ada yang bagus," keluh Josie.
"Pasang kaset saja," Rachel menyarankan.
"Aku lupa bawa kaset," kata Melissa, sambil menyusul sebuah
van yang berjalan perlahan.
Dengan keras kepala, Josie terus memutar-mutar tombol radio.
Erica tertawa sendiri. Josie dan Rachel, kedua kakaknya,
kadang-kadang bertingkah sangat bodoh.
Josie dan Rachel bersaudara kembar, meskipun keduanya tidak
mirip satu sama lain. Mereka berusia enam belas, dan menjuluki diri
sendiri The Un-Twins"Bukan Kembar"karena keduanya memang
sangat berbeda. Rachel berwajah bulat telur dengan kulit putih pucat dan mata
besar berwarna hijau zaitun. Wajahnya yang cantik dibingkai rambut
panjang warna merah tembaga, yang terurai lurus melewati bahunya
hingga mencapai pinggang.
Meskipun rambutnya berkesan membara, Rachel-lah yang
berperangai tenang di antara mereka berdua. Suaranya lembut
berbisik, tingkah lakunya hati-hati dan penuh percaya diri. Ia gadis
cantik yang terbiasa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Hidup
dijalaninya dengan lancar, seperti rusa yang anggun dan cekatan.
Sementara Josie berambut cokelat tua dan bermnta gelap.
Perangainya lebih mudah berubah, lebih emosional, dan lebih sulit
diduga. Meskipun ia dan Rachel bisa bergaul dengan baik, Josie
berusaha keras tampil beda dari saudara kembarnya.
Rambut Josie selalu dipotong pendek dan ia selalu memakai
anting-anting panjang yang bergemerencing. Sepanjang musim panas
ia berjemur hingga kulitnya kecokelatan, sementara Rachel tetap putih
pucat seperti gading. Rachel senang berbelanja dan suka berpakaian mengikuti mode
paling trendy. Josie hampir selalu mengenakan jeans dan T-shirt.
Menurut Erica, satu-satunya hal yang menunjukkan mereka
bersaudara adalah keduanya selalu bertengkar tanpa pernah sungguhsungguh marah.
Meskipun mempunyai banyak perbedaan, Josie dan Rachel
sangat akrab sehingga membuat Erica iri. Ia juga iri pada kebebasan
mereka. Erica sudah berusia empat belas, tapi mereka
memperlakukannya seolah ia baru enam tahun!
Ia betul-betul heran ketika Rachel mengajaknya ikut berkuda.
Mungkin, Erica berkata pada diri sendiri, kini setelah aku akan ikut
bersekolah di Shadyside High, mereka akan mulai menganggapku
sebagai manusia, bukan lagi anak kecil yang menjengkelkan.
"Tunggu sampai kau lihat cowok di istal itu," kata Josie pada
Melissa. "Kau tahu kan, cowok yang membawakan kuda untukmu.
Wah, ia betul-betul kece."
Melissa menghentikan mobilnya di lampu merah. "Siapa
namanya?" Melissa seorang gadis antik dengan wajah ceria dan
rambut panjang berwarna hitam pekat.
"Chuck, mungkin," jawab Josie. "Aku begitu sibuk menatap
mata birunya sampai tidak mendengar namanya. Kalau ia tersenyum,
lesung pipinya kelihatan. Kau harus melihatnya. Menurutku waktu itu
ia bermaksud mengajakku kencan, tapi ada wanita yang kakinya
tersangkut di sanggurdi, dan ia harus menolongnya."
Rachel tertawa sinis. "Kisah yang sangat romantis. Apa kau
tidak pernah capek mengejar-ngejar cowok?"
"Pertanyaan apaan, tuh," gerutu Josie.
"Erica, kau sudah punya pacar?" tanya Melissa sambil
memandang Erica melalui kaca spion.
Erica merasa wajahnya panas. Ia yakin pipinya pasti merah
padam. "Tidak. Tidak juga," jawabnya pelan, memandang ke luar
jendela. Ia mengunyah permen karetnya keras-keras, meniup balon
kecil, lalu mengisapnya kembali ke dalam mulut.
"Jadi, kau akan masuk high school tahun ini?"
"Yeah, akhirnya," jawab Erica.
"Mudah-mudahan kau tidak dapat Anderson," sambung Melissa
sambil terus menatap kaca spion. "Dia itu payah."
Melissa sebaya dengan Josie dan Rachel. Ia sahabat baik Josie,
tapi sikapnya selalu manis pada Erica. Melissa selalu bicara padanya
seperti layaknya seorang teman, dan bukan sekadar adik seseorang
yang mengganggu. Melissa tinggal di seberang rumah keluarga
McClain di Fear Street. Itulah sebabnya ia dan Josie bisa berteman.
Erica kembali meniup permen karetnya, kali ini membuat balon
pink yang lebih besar. Terlalu besar, hingga akhirnya meletus dan
menempel di dagunya. Rachel tertawa. "Kayak anak kecil," ejeknya, sambil memutar
bola mata. Erica tersenyum sambil berusaha melepaskan permen karetnya.
Tapi ia sakit hati. Apakah Rachel akan terus mengejekku seumur
hidupku" ia bertanya-tanya.
Hutan yang mereka lalui tiba-tiba berubah jadi bentangan
padang rumput yang menghampar di balik pagar kayu. Ada sebuah
papan nama lapuk bertuliskan Shadyside Riding Club di balik pagar
itu. Melissa memperlambat mobilnya dan membelok ke lapangan
parkir, ban mobilnya menghamburkan kepulan debu. Di balik pagar,
Erica bisa melihat beberapa ekor kuda berdiri dengan kepala
tertunduk, menggigit-gigit rumput.
Ada sebuah istal kayu berwarna kelabu di ujung tempat parkir.
Di belakang istal, Erica inelihat jalan setapak membelah padang
rumput menuju hutan di kejauhan.
Ia mendorong kursi Josie ke depan dan keluar melalui pintu
mobil yang terbuka, sambil melindungi matanya dari sinar matahari
yang menyilaukan. "Tunggu aku!" serunya. Melissa dan kedua
kakaknya sudah bergegas menyeberangi lapangan parkir, menuju
pintu istal yang terbuka lebar.
"Hei, Chuck! Chuck!" Josie berteriak dan melambai ketika
seorang cowok berambut pirang yang mengenakan jeans dan kemeja
biru pudar keluar menuntun dua ekor kuda. Cowok itu berhenti untuk
menyambut mereka. Ketika mengikuti yang lain ke istal, mendadak kegembiraan
Erica hilang. Ia menjadi gugup.
Dengan kaget ia menjerit ketika salah seekor kuda mengangkat
kepalanya dan meringkik keras.
Aku tak mau berkuda, pikir Erica.
Kuda-kuda itu tiba-tiba tampak begitu tinggi.
Erica tak suka berolahraga. Josie-lah atlet dalam keluarga
mereka. Ia juara tenis, jago renang, gemar main ski, sepak bola, dan
hampir semua jenis olahraga lainnya.
Kenapa aku mau saja diajak kemari" Erica bertanya pada diri
sendiri. Ia bukan orang yang berani mati. Ia lebih suka tetap
menjejakkan kedua kakinya di atas tanah.
Kalau karnaval keliling datang ke Shadyside setiap musim
panas, Rachel dan Josie dengan bersemangat akan menaiki semua
wahana permainan. Sedang Erica takut pada semuanya" terutama
pada permainan yang berputar makin cepat dan makin cepat hingga
tubuh seakan melayang dan lantai seakan menganga. Apa enaknya
sih" Erica selalu bertanya-tanya. Ia betul-betul tidak mengerti apa
nikmatnya permainan seperti itu, membuat diri sendiri tidak nyaman
dan terancam bahaya. Jadi, sementara kedua kakaknya berteriak kegirangan saat
berputar-putar, terayun, dan terombang-ambing, Erica akan
memejamkan mata, memusatkan pikiran, dan berdoa semoga siksaan
itu segera berakhir. Dan kini, sambil mengintip dari balik tubuh Chuck ke arah
makhluk tinggi yang mendengus dan mengais-ngais tanah dengan
tidak sabar, Erica teringat pada permainan karnaval itu. Dan terpikir
olehnya, menunggang kuda mungkin sama menakutkan dan tidak
menyenangkannya. Ia tak bergerak sementara Melissa, Josie, dan Rachel berjalan
membuntuti Chuck ke istal. Ia melihat mereka mengobrol dan tertawa.
Menurut Erica, Chuck memang sangat kece. Josie memang ahli
memilih cowok. Josie sudah punya pacar"Jerry Jenkman. Semua orang
memanggilnya Jenkman. Josie berniat memutuskan hubungan dengan
cowok itu. Josie berganti pacar sesering berganti kaus kaki, pikir Erica
sambil tertawa kecil. Ia melihat Josie memegang bahu Chuck selagi berbicara
dengannya. "Cowok suka dipegang bahunya," Josie pernah
memberitahu Erica. "Mereka pikir kita tergila-gila pada mereka."
Chuck mengeluarkan empat ekor kuda dari kandang lalu
menambatkannya. Kini ia mengambil selimut pelapis dan sadel dari
tumpukan di dinding istal.
Ketika Erica mengamati dari ambang pintu, rasa takut yang
dingin melilit perutnya. Di sini bau sekali, pikirnya.
Chuck menanyakan apakah gadis-gadis itu tidak keberatan
memasang sendiri sadel mereka. Ia memamerkan lesung pipinya
sambil berjalan meninggalkan istal, untuk melayani para pendatang
baru. "Erica, kau mau yang hitam?" seru Josie. "Kemarilah. Kau
sedang apa sih?" Dengan enggan, Erica melintasi lantai istal yang dipenuhi
jerami. "Aku... aku tidak mau berkuda," katanya, mengarahkan
pandangan pada kuda hitam yang tali kekangnya dipegang Melissa.
Mata kuda itu membesar dan lubang hidungnya kembang-kempis
ketika Erica mendekat. Tampangnya seperti monster, pikir Erica ketakutan. Sesosok
monster hitam. "Hah?" Rachel membuka mulutnya karena terkejut, lalu
mengibaskan seekor lalat dari keningnya yang pucat.
"Kau tidak mau berkuda?" Josie bertanya tidak sabar. "Kau ini
sakit atau apa?" "Perutku sakit," gumam Erica sambil meringis.
"Erica, setiap kali kita bersenang-senang, kau pasti sakit perut,"
keluh Josie. Erica mengunyah permen karetnya keras-keras. Ia merasakan
wajahnya panas. Dan ia yakin pipinya pasti merah padam. Josie benar,
pikir Erica. Aku harus cari alasan lain.
"Itu tidak adil!" protesnya. "Bukan salahku kalau perutku sakit."
"Kami sudah membayar kudamu," kata Melissa tenang. Mata
birunya menatap Erica tajam, berusaha memastikan gadis itu
berbohong atau tidak. "Akan kuminta kembali uangnya. Lalu aku akan menunggu
kalian di sini." Josie sudah hendak memprotes, tapi Rachel menyelanya.
"Baiklah," katanya membela Erica. "Kau tak perlu berkuda kalau
memang tidak mau." "Perutku betul-betul sakit," Erica mengerang sambil
memegangi perutnya agar tampak lebih meyakinkan.
"Kau ingin kutemani" Atau kuantar pulang?" tanya Rachel
kuatir. "Rachel, dia kan cuma pengecut," gerutu Josie, memandang
Erica dengan tatapan menuduh.
"Aku bukan pengecut," Erica berkeras. "Aku betul-betul ingin
berkuda. Sungguh." "Erica, kami sendiri tidak pandai menunggang kuda, jika itu
yang kautakutkan," kata Mellisa, melirik Josie. "Aku dan Josie baru
satu kali berkuda. Tapi jangan beritahu Chuck. Dulu kami
membohonginya dan bilang kami sudah ahli."
"Kita akan pelan-pelan," saran Josie.
"Mungkin sebentar lagi aku sudah sembuh. Nanti kususul
kalian." Uh, benci rasanya ketakutan begini. Tapi mau apa lagi" Lagi
pula aroma tempat ini membuatnya mual.
Josie sudah hendak berdebat lagi, tapi Melissa
menghentikannya. "Kita sudah membuang banyak waktu," keluhnya
sambil melirik jam tangan.
"Kau benar," seru Josie cepat, segera berpaling dari Erica.
"Ayo, pasang sadelnya cepat." Ia menarik kuda hitam itu. "Sampai
nanti, Erica." Berbagai macam perasaan melanda Erica. Ia merasa lega.
Sekaligus kecewa. Juga marah karena tak mampu mengatasi rasa
takutnya. Dan bersyukur kakak-kakaknya tidak memaksa ia ikut. Ia
duduk bersandar di atas bangku yang menempel di dinding istal. Ia
menyilangkan kedua lengannya di dada, dan berusaha tidak mencium
aroma istal yang menyengat.
Kuda Rachel, yang bertubuh besar berwarna cokelat kemerahan
dengan sebelah matanya berwarna cokelat dan yang lain biru,
mengais-ngais lantai tanah dengan gelisah ketika Rachel berusaha
mengencangkan tali sadelnya. "Kau bisa bantu?" Rachel bertanya
pada Josie sambil mundur selangkah. "Aku tak yakin apakah ini sudah
benar." Josie selesai memasang sadel kudanya. Lalu, sambil mengibas
lalat dari lengannya, ia mendorong Rachel ke pinggir untuk
mengencangkan tali sadel kudanya. "Tenang, kawan. Tenang. Ada
apa?" Ia meraba leher kuda itu. "Kau sama takutnya dengan Erica."
"Aku mendengarnya!" seru Erica.
"Kau sudah baikan?" seru Rachel.
"Sedikit. Aku akan menyusul sebentar lagi."
"Yeah. Pasti," ejek Josie. "Apa letak sadel Rachel sudah benar,
Melissa?" Melissa sudah menuntun dan menunggangi kudanya. Binatang
itu jenis Appaloosa bertutul-tutul putih-cokelat dan bertampang letih.
"Dari sini kelihatannya sudah benar," teriaknya. "Cepatlah. Waktu kita
akan habis di istal."
Rachel menuntun kudanya keluar, menempatkan kaki kirinya
pada sanggurdi, menarik tali kekang, dan mulai mengangkat
tubuhnya. Kuda itu gemetar, lalu menyentakkan ekornya keras-keras.
"Whoa!" teriak Rachel kaget, merosot kembali ke tanah. "Kenapa dia
bertingkah begitu?" Josie dan Melissa tertawa.
"Jangan tersinggung," goda Josie.


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin ada lalat yang menggigitnya," kata Melissa.
Rachel meraih tali kekang, meletakkan kakinya di sanggurdi,
dan mencoba lagi. Kali ini ia berhasil mengangkat tubuhnya ke atas
punggung kuda. "Ta-daa!" serunya sambil tersenyum. Ia mengibaskan rambut
merahnya ke belakang bahu.
"Mana helm-mu?" tanya Melissa pada Rachel.
"Stt! Diam-diam saja. Aku benci pakai helm. Aku ingin keluar
dari sini tanpa ada yang melihat."
"Kalau begitu ayo kita pergi!" desak Josie. Ia merendahkan
tumitnya, dan memegang tali kekang erat-erat. Kudanya memimpin
sementara mereka menderap di sepanjang jalan setapak, menuju jalan
di belakang istal. "Aku kasihan pada Erica," ujar Melissa, menoleh ke arah istal.
"Ia masih kekanak-kanakan," Josie mencela seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Beri dia waktu." Tubuh Rachel melonjak-lonjak kaku ketika
kudanya mendahului yang lain. "Dia hanya kadang suka takut. Whoa.
Whoa," ia mengendalikan kudanya. "Kenapa cepat-cepat?"
"Kau benar. Sebaiknya aku tidak terlalu keras padanya," kata
Josie, sambil mengejar Rachel.
"Masuk high school itu sulit," ujar Melissa, tampak lebih kecil
dan lebih kurus daripada biasanya selagi ia terlonjak-lonjak di atas
punggung kuda. "Sekolah baru, teman baru dan sebagainya."
"Yeah. Dia sangat senang bisa satu sekolah dengan kami,"
jawab Josie. "Seakan belum cukup baginya bertemu kami di rumah."
"Whoa!" Rachel berseru pada kudanya. "Siapa nama kuda ini,
Setan Jalanan?" "Bukan. Nenek Tua!" gurau Josie.
Ketiganya tertawa. Rachel menyibakkan rambut panjangnya sementara kudanya
menderap mendahului yang lain.
Jalan setapak yang sempit itu membelah bentangan padang
berumput tinggi, yang bergoyang pelan dibelai angin semilir. Jangkrik
mengerik seperti peluit listrik. Seekor hewan kecil, mungkin tupai,
berlari menyeberang jalan di depan kuda Rachel.
Padang rumput itu berakhir di sebaris pohon pinus tinggi
berdaun hijau tua. Jalan itu menyempit ketika membelok ke arah
hutan. Pohon-pohon tinggi menghalangi sinar matahari.
Nyanyian jangkrik tiba-tiba berhenti. Udara harum beraroma
cemara. Kuda Rachel memperlambat jalannya, mengatur langkahnya
seolah ialah yang memegang kendali. Josie dan Melissa melambatkan
jalan kuda mereka untuk mengimbangi Rachel. "Sungguh indah di
sini," kata Rachel, matanya menjelajahi bayang-bayang pepohonan
yang berkilauan lembut. Melissa menahan tali kekangnya. "Aku tak percaya musim
panas sudah berakhir."
Josie mengerang. "Memang sudah berakhir. Aku ke mall
kemarin, membeli celana jeans baru untuk ke sekolah. Setengah dari
murid-murid Shadyside High ada di sana."
"Apa yang akan kaulakukan nanti malam?" Melissa bertanya
pada Josie, mengubah topik pembicaraan. "Kencan dengan Jenkman?"
Josie mengernyitkan dahi. "Yeah. Mungkin." Seringai nakal
menghiasi wajahnya. "Kecuali kalau Chuck mengajakku."
"Ya ampun! Jangan bilang kau sudah putus dengan Jenkman,"
teriak Melissa. "Mengapa tidak?" sahut Rachel. "Ia sudah hampir satu bulan
pacaran dengannya." "Ha-ha," Josie tertawa sinis. "Kau cuma cemburu, Rachel,
karena aku kenal banyak cowok. Kau dan Luke seperti pasangan
suami-istri tua saja."
"Tidak benar," protes Rachel. Kudanya mulai melangkah cepat
lagi, berderap hampir tanpa suara di tanah yang dipenuhi jarum-jarum
daun cemara. "Sudah berapa lama kau berpacaran dengan Luke" Sejak kau
masih pakai popok?" Melissa menggoda Rachel.
"Sejak kita kelas satu," jawab Rachel, menjulurkan lidahnya.
Josie mengerang, "Membosankan sekali." Ia mempererat
impitan kakinya saat kudanya berpacu cepat menyusul kuda Rachel.
"Luke tidak membosankan!" Rachel berkeras, mempererat
pegangannya pada tali kekang ketika irama tubuhnya tak sesuai
dengan gerakan kudanya yang menderap cepat. "Tarik kata-katamu,
Josie." "Dave juga tidak membosankan," sela Melissa.
"Aku tak percaya kau masih berpacaran dengan Dave Kinley,"
kata Josie kering. "Kenapa kau selalu berkencan dengan bekas
cowokku, Melissa?" Melissa tersenyum. "Bekas cowokmu banyak sekali, Josie.
Mana bisa aku menghindarinya!"
Rachel dan Melissa tertawa. Josie diam saja.
"Kau pasti akan menendang Dave juga," kata Josie serius.
"Persis seperti aku. Lihat saja. Dia itu sangat kekanak-kanakan."
"Bagimu semua orang kekanak-kanakan," jawab Melissa,
senyumnya hilang. "Tapi aku suka Dave. Memang dia agak liar,
tapi..." "Kekanak-kanakan," sela Josie.
"Masih banyak sifat yang lebih buruk daripada kekanakkanakan," Rachel berteriak ke belakang.
"Sebutkan sepuluh," gurau Josie.
"Berhentilah mengobrol," desak Melissa tak sabar. "Nanti kita
putuskan siapa yang kekanak-kanakan, oke?"
Josie dan Rachel setuju. Ketiga gadis itu berkuda tanpa bicara,
berbaris satu per satu di jalan yang berbelok, di antara sinar matahari
dan bayang-bayang di bawah pepohonan besar.
Suara yang terdengar hanyalah bisikan daun-daun yang
bergoyang ditiup angin semilir, meningkahi bunyi lembut kuku kaki
kuda menapak tanah. Melissa terbuai ayunan kuda yang berirama,
bunyi tap-tap-tap yang terus mengiringi, bayangan yang bergerakgerak, juga sinar keemasan yang seperti anak panah menerobos di sela
dedaunan. Ia melamunkan Dave. Josie salah menilai Dave, Melissa
memutuskan. Josie memang kawan yang baik, tapi ia sering kali salah
menilai orang. Melissa tahu kenapa Josie menganggap Dave kekanak-kanakan.
Dave itu agak liar, cepat marah. Melissa menyadari Dave juga bisa
berubah-ubah secara emosional dan sulit diduga seperti Josie.
Dave dan Josie tak cocok karena sifat keduanya hampir sama.
Keduanya juga memiliki sifat kejam, pikir Melissa. Josie
bersikap sangat kejam pada Dave ketika ia memutuskan hubungan
dengannya. Melissa tahu Dave sakit hati.
Ia menatap Josie yang berada beberapa ratus meter di depannya.
Ia mengamati rambut pendek Josie yang berwarna gelap berguncang
turun-naik di bawah helm.
Josie sepertinya tak peduli bahwa ia sering menyakiti hati
cowok. Tapi ia bisa bersikap peka dan penuh perhatian kalau mau. Ia
telah menolong Melissa di saat-saat sulit, dan ia sangat sayang pada
Rachel serta Erica. Tapi, kalau sudah bertekad mencampakkan seorang cowok, ia
langsung melakukannya. Tanpa kompromi. Seolah cowok itu
hanyalah boneka kain yang bisa dibuang begitu saja.
"Lihat, ada hummingbird!" Rachel berteriak dari arah depan,
menunjuk ke semak belukar.
Teriakannya membuyarkan lamunan Melissa. Ia menoleh ke
arah sosok samar burung berwarna hijau-biru yang terbang di atas
belukar, sayapnya mengibas begitu cepat hingga ia tak dapat
melihatnya dengan jelas. "Kecil sekali. Seperti serangga!" seru Josie.
Seolah terhina oleh kata-kata Josie, dengan cepat hummingbird
itu mengangkat tubuhnya dan melesat terbang tanpa bersuara.
Tiba-tiba mereka sudah sampai di ujung hutan. Di bawah
cahaya mentari sore yang menyilaukan, mereka kembali berada di
padang rumput datar. Jalan tanah membentang lurus dan kian melebar
ketika berbelok melingkar, kembali ke arah istal.
Melissa melihat Rachel, jauh di depan, menyentak keras tali
kekangnya. "Whoa!" teriaknya. "Hei, pelan-pelan saja, kuda!"
Rachel menoleh ke arah Melissa dan Josie, wajahnya tampak
cemas, rambut merahnya berkibar-kibar di belakang. "Aku tak bisa
memperlambat langkahnya!" ia berteriak khawatir.
"Tarik terus tali kekangnya!" saran Melissa, berseru mengatasi
suara tapak kaki kudanya.
"Whoa! Whoa!" Entah dari mana, tiba-tiba muncul seekor anjing. Tubuhnya
besar berbulu kelabu, mungkin sejenis anjing gembala. Binatang itu
berlari tepat di depan kuda Rachel.
Melissa tidak melihat anjing itu sampai kuda Rachel
mendompak, lalu terdengar ringkikan nyaring menyeramkan.
Kuda itu berdiri di atas kaki belakang, kemudian dengan cepat
menurunkan kaki depannya, sambil mengempaskan kepala ke depan.
Saat itu, Melissa melihat sadel Rachel terlempar.
Ia dan Josie menjerit ketika sadel melayang di atas kepala kuda.
Rachel, dengan kedua tangannya menggapai-gapai kaget dan panik,
ikut terlempar. Dan ketika kaki depan kuda mendarat, Rachel terempas dengan
keras ke tanah. Terdengar derak mengerikan.
Anjing itu mulai menggonggong buas.
Kuda itu meringkik lagi, matanya melebar ketakutan, lubang
hidungnya kembang-kempis ketika binatang itu melesat ke arah istal.
Rachel tertelungkup di atas tanah. Tidak bergerak sama sekali.
"Kepalanya menghantam tanah!" pekik Josie. "Melissa, kepala
Rachel menghantam tanah!"
"Josie!" Melissa berteriak, terengah-engah, berusaha
mengendalikan kudanya. Jalanan seakan bergelombang di sekitarnya.
"Josie, cari bantuan! Kembali ke istal! Cari bantuan!"
Josie tidak bereaksi. Ia terus menatap tubuh Rachel yang tak
bergeming di tanah. "Josie! Cari bantuan!"
Tapi Josie seolah tak mendengar teriakan Melissa.
"Kepalanya menghantam tanah!" Josie mengulangi, matanya
yang gelap membelalak ngeri. "Kepalanya menghantam tanah!
Kepalanya menghantam tanah!"
BAGIAN SATU FEBRUARI, LIMA BULAN KEMUDIAN 1 KARTU KEJUTAN "WHOA!" Melissa merasakan derap kuda itu di bawah tubuhnya.
Begitu kokoh, begitu besar, begitu kuat. Gemuruh kakinya
menerobos kegelapan. Berderap liar.
Tak terkendali. Ia merasakan otot kuda itu menegang, mendengar tarikan
napasnya yang keras teratur. Ia merasakan kehangatan tubuh binatang
itu, keringatnya yang mengucur deras.
"Whoa! Tolong!"
Menerobos kegelapan. Tak terkendali.
Ia tak bisa menghentikannya.
Berderap makin cepat. Melissa membungkuk, rambutnya yang hitam pekat berkibarkibar di belakang. Lalu ia merangkul leher kuda itu.
"Whoa! Berhenti, whoa!"
Ia berpegangan erat-erat, begitu erat hingga dapat dirasakannya
pembuluh darah kuda itu berdenyut-denyut, merasakan gerakan otot
lehernya ketika binatang itu menerjang kegelapan malam.
"Tolong! Tolonglah aku!" Melissa menjerit.
Ia bersandar di leher hewan kekar itu, sementara tubuhnya
terbanting-banting keras.
"Tolong! Aku akan jatuh!"
Kuda itu terus berlari menembus kegelapan yang pekat.
Dirasakannya setiap helaan napas, setiap degup jantung, setiap
derap kaki kuda itu. "Tolong! Tolong!"
Ia masih dapat merasakan derap dan degup jantung kuda itu
ketika seseorang mengguncang tubuhnya dan memanggil namanya.
"Melissa, bangun!"
Tapi kuda itu tidak juga berhenti.
Bahkan ketika seseorang memanggil nama Melissa dan
mencoba membangunkannya, kuda itu tidak mau berhenti.
Kemudian ia membuka mata, masih terbanting-banting, masih
berpegang erat-erat, masih tak terkendali.
"Melissa, kau bermimpi lagi," kata ibunya lembut, menatapnya
dalam keremangan kamar tidur yang digelapkan. Matanya berkacakaca, tampak prihatin. "Mimpi buruk lagi, Melissa. Bangunlah."
"Kudanya tidak mau berhenti."
Mrs. Davis memeluk putrinya. Baju tidurnya menebarkan
keharuman parfum yang tajam.
Mom terasa begitu dingin, pikir Melissa. Matanya terbelalak
lebar, tapi tak dapat melihat apa pun. Mungkin karena aku sangat
kepanasan. "Kudanya tidak mau berhenti," bisik Melissa. Ia melepaskan
diri dari pelukan ibunya, membaringkan kepala di atas bantalnya yang
lembap. "Aku hampir jatuh."
"Sudah lima bulan sejak kejadian itu, tapi kau masih terus
bermimpi tentang kuda," ujar Mrs. Davis perlahan. Ia menjulurkan
tubuh dan menyalakan lampu di samping tempat tidur.
Melissa menyipitkan mata di bawah cahaya kuning yang tajam
menyilaukan. "Yeah. Lima bulan kemudian," katanya murung,
akhirnya terbangun dari mimpi buruknya.
Kuda itu menghilang dalam sinar terang. Irama derap
langkahnya terbawa angin dingin yang berdesir melalui jendela kamar
yang terbuka. "Mimpi yang sama. Berulang-ulang," desah Melissa. Ia menarik
selimutnya hingga ke dagu. "Bahkan kudanya pun sama."
Ibunya berdiri, menguap. Ia melintasi kamar untuk menutup
jendela, papan lantai yang sudah tua berderak di bawah kakinya yang
telanjang. Melissa bisa melihat bulan sabit tinggi di langit, terbelah dua
oleh gumpalan awan hitam.
Mrs. Davis kembali ke sisi tempat tidur dan menatap Melissa
penuh sayang. "Lama-lama mimpi itu pasti hilang."
"Selalu sama," keluh Melissa, gemetar di balik selimutnya.
"Dan begitu nyata."
Ibunya membungkuk dan perlahan menyibakkan rambut hitam
Melissa yang menempel di keningnya. "Cuma mimpi buruk, Sayang,"
bisiknya. Kata-kata itu terdengar kosong"bagi mereka berdua.
"Kuda yang sama," Melissa menggumam, membayangkan
punggungnya yang hitam dan surainya yang panjang.
"Kau bertemu Rachel dan Josie akhir-akhir ini?" tanya Mrs.
Davis sambil menurunkan gulungan lengan baju tidurnya.
Melissa mengangguk. "Aku mengunjungi Rachel setiap ada
kesempatan," jawabnya terbata-bata. "Kurasa dia senang bertemu
denganku. Tapi aku tak yakin. Dia tak banyak bicara. Biasanya dia
cuma menatapku."

Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibunya berdecak, menggelengkan kepala dengan sedih.
Matanya kembali berkaca-kaca.
"Kadang keadaan Rachel tampak cukup baik," Melissa
melanjutkan dengan mata menerawang. "Kadang kupikir dia mengerti
apa yang kukatakan. Tapi saat lain, aku tidak yakin. Maksudku,
kadang kalau aku mengunjunginya, bicaranya kacau. Tidak masuk
akal sama sekali. Dan kadang... kadang aku merasa dia bahkan tak
mengenaliku." "Menyedihkan sekali," bisik Mrs. David.
Melissa berpaling ke jendela. Bulan telah sepenuhnya ditelan
awan hitam. Ia kembali membayangkan kuda itu, merasakan punggungnya
yang berdegup-degup, mendengar dengusan napasnya yang kasar.
"Dan bagaimana kabar Josie?" tanya ibunya.
Melissa mengembuskan napas panjang. "Entahlah, Mom. Josie
dan aku sudah tidak berteman lagi."
Mrs. Davis terkejut, matanya membesar. Ia duduk di tepi
ranjang dan mendekatkan wajah ke muka Melissa. "Kenapa?"
Dengan susah payah Melissa menjawab, "Josie menyalahkanku.
Menurutnya akulah yang menyebabkan Rachel celaka."
Ibunya terperanjat. Ia meremas tangan Melissa. "Tapi itu tidak
adil!" serunya. Melissa memejamkan mata. "Aku tahu, Mom," bisiknya. "Aku
tahu...." ********************** "Steve, berhenti! Jangan mendekat!" teriak Josie.
Ia melangkah mundur, sepatu botnya tersangkut di permadani
bulu. Dengan waspada ia mengawasi Steve Barron yang terus
melangkah mendekatinya. Senyum aneh menghiasi wajah pemuda itu.
"Berhentilah, Steve!" teriak Josie, punggungnya menabrak
panel kayu dinding. "Apa yang kausembunyikan di balik
punggungmu?" Seringai Steve makin lebar. Mata birunya berkilat-kilat nakal.
"Tak ada," katanya pelan. "Mengapa kaupikir aku menyembunyikan
sesuatu di balik punggungku?"
"Steve..." Josie mulai bicara.
Cowok itu mengayunkan lengannya ke depan, memperlihatkan
segumpal bola salju di tangannya. Sebelum Josie sempat berteriak
memprotes, Steve menangkap bahunya dan menekan bola salju dingin
itu ke wajahnya. "Kubalas kau!" pekik Josie, tertawa dan berusaha meloloskan
diri. Steve tertawa begitu keras hingga Josie dapat merebut bola
salju di tangannya. Ia mencoba memukul Steve dengan bola salju,
namun gumpalan itu hancur, menetes ke atas permadani.
"Tidak lucu!" teriak Josie, menyeka wajah dengan tangannya
yang dingin dan basah. "Mom akan membunuhmu kalau tahu kau
membawa salju ke dalam rumah."
"Dia tak di rumah," balas Steve, masih memegang bahu Josie.
Matanya bersinar-sinar. Seringai nakal menghiasi wajahnya yang
tampan. "Hei, dia tak di rumah!" Steve menegaskan. Ia menundukkan
kepala, mendekatkan wajahnya ke wajah Josie...
Mendadak gonggongan nyaring dari arah pintu mengagetkan
keduanya. Cepat Josie mendorong Steve.
"Muggy, ada apa?" seru Josie ke arah seekor anjing terrier kecil
berbulu putih yang menyalak tanpa henti, ekornya mengibas-mengibas
cepat. "Ini kan Steve."
"Boo!" teriak Steve.
Muggy menyalak dan berlari menghampiri Josie, seolah hendak
melindunginya dari Steve. Namun salju basah di permadani
mengalihkan perhatiannya. Anjing kecil itu berhenti, lalu mengendusendus dan menjilati salju itu.
"Kau kok tahan sih memelihara tikus kecil macam begini?"
goda Steve. "Mengapa tidak kauinjak dan bebaskan dia dari
penderitaannya?" Josie pura-pura sakit hati. "Kau brengsek. Tega kau berkata
begitu pada Muggy!" Ia membungkuk, menggendong, dan memeluk
Muggy erat-erat. "Jangan dengarkan dia, Muggy."
Anjing terrier itu menjilat wajah Josie, kemudian menggeliatgeliat berusaha melepaskan diri.
"Idih." Steve menggelengkan kepala. "Kau mau saja dijilat
binatang pengerat itu" Apa kau tahu apa yang dijilatnya tadi?"
"Dasar jorok," jawab Josie, menurunkan Muggy ke lantai.
Anjing itu kembali mengendus-endus salju di permadani, lalu
bersin sebelum berlari keluar ruangan.
Josie menoleh ke luar jendela ruang baca. Salju sudah berhenti
turun dan kini menutupi halaman depan, berpijar seperti lempengan
perak di bawah cahaya matahari sore.
Di seberang jalan dilihatnya rumah Melissa. Lapisan salju
mengonggok di ambang jendela dan menempel di genteng yang
berwarna abu-abu. Firebird biru Melissa diparkir di jalan masuk.
Josie berpaling dari jendela. "Dingin sekali di sini," keluhnya,
menggosok-gosok lengan sweter biru mudanya. "Aku benci rumah tua
dingin ini." Steve mendekatinya. "Mari kuhangatkan."
Ia mendorong pemuda itu, lalu berubah pikiran dan
membiarkannya mendekat. Josie menatap Steve. Dia memang sangat tampan, pikirnya.
Ketampanan khas cowok Amerika. Rambut pirang berombak. Bola
mata biru terang. Bentuk hidung yang sempurna. Senyum yang
memikat. Dan bahu bidang.
Sudah berapa lama ia kencan dengan Steve" Sejak ia putus
dengan Jenkman. Tepatnya setelah Rachel mengalami kecelakaan.
September tahun lalu. Jadi sudah lima bulan mereka berpacaran.
Wah, sudah lama sekali, pikir Josie. Setidaknya buatku. Dan
sedikit pun aku belum bosan terhadapnya.
Apa sih rahasiamu, Steve" Ia bertanya-tanya selagi mereka
berpelukan. Apa karena kau membawa bola salju ke dalam rumah"
Karena aku tak pernah bisa menebak apa yang akan kaulakukan"
Steve melepaskan pelukannya, kemudian merapikan rambut
pirangnya, serta meluruskan sweter merah tua dan putih Shadyside
High yang dikenakannya. "Kita jadi ke mall atau tidak?"
"Yeah. Tentu." Josie melepaskan anting-antingnya yang
panjang menjuntai. Ia mulai berjalan ke arah pintu. "Aku akan ke atas,
memberitahu Erica bahwa kita akan pergi."
"Apa Erica akan melarang?" tanya Steve.
"Biasanya begitu," kata Josie
Josie berhenti tepat di depan pintu ruang baca. Tumpukan surat
diletakkan di atas meja kecil yang menempel di dinding. Ia meraih
tumpukan itu dan memeriksanya.
"Hei, ada surat untukku," kata Josie, menarik sebuah amplop
bujur sangkar. Ia membiarkan surat-surat yang lain jatuh kembali ke
atas meja. "Dari siapa?" tanya Steve.
Josie mengangkat bahu. "Entahlah."
Ia merobek amplop dan menarik keluar sebuah kartu.
Ia membacanya dalam hati. Tiba-tiba napasnya tertahan,
tangannya gemetar, matanya membelalak ketakutan.
2 HATI UNTUK JOSIE "AKU"aku tak percaya," Josie tergagap. Matanya menatap
kartu lekat-lekat. Steve berpaling dari jendela. "Ada apa?"
"Ini kartu Valentine." Josie memperlihatkan kartu itu pada
Steve. "Dari siapa" Aku tidak mengirim kartu Valentine padamu."
Pemuda itu mendekati Josie.
"Tidak ada nama pengirimnya. Tapi pesannya"ihh
memuakkan." Josie mengulurkan kartu itu ke tangan Steve. "Bacalah."
Steve mengambil dan mengamatinya. Bagian depannya dihiasi
bentuk hati dari satin merah.
Ia membukanya. Kata-kata yang tercetak telah dicoret dengan
spidol hitam. Di bawah coretan itu, dengan tinta biru, tertulis sebuah
sajak pendek. Steve membacanya keras-keras :
"Merah itu mawar Putih itu melati.
Di Hari Valentine Josie akan mati."
Untuk beberapa saat Steve memandangi kartu, membaca
kembali sajak itu dalam hati. Kemudian ia menutupnya dan meringis
pada Josie. "Rimanya cocok," ia berkomentar.
Josie mendorong bahunya dengan keras. "O, ya" Memangnya
kenapa kalau cocok" Serius sedikit dong!"
Senyum Steve memudar. Ia tampak tersinggung. "Kau tidak
menganggap ini serius, kan?" sergahnya. Ia mengusap bahunya. "Ini
terlalu konyol." Josie merebut kartu dari tangan Steve dan kembali menatap
sajak itu. "Entahlah. Maksudku, ini memang konyol, tapi jelas sebuah
ancaman." "Tak mungkin serius," Steve meletakkan tangannya di bahu
Josie. "Ini cuma lelucon."
"Lelucon macam apa?" desak Josie jengkel. "Maksudku, apanya
yang lucu?" "Aku tak tahu. Aku tak mengerti," jawab Steve. Ia mengambil
amplop yang sudah disobek dari atas meja. "Alamat pengirimnya juga
tak ada. Jadi, siapa yang mengirim?"
"Entahlah," Josie terus menatap kartu itu. "Mungkin Jenkman."
"Jenkman?" "Yeah. Mungkin. Ia betul-betul menyebalkan," kata Josie.
Keningnya berkerut. "Kau tahu, dia masih terus meneleponku, terus
menggangguku. Dia masih tak bisa percaya aku meninggalkannya.
Tak percaya aku tak mau berkencan dengannya lagi."
"Jadi, menurutmu dia pengirimnya?" tanya Steve.
"Coba kaulihat cara Jenkman memandangku di sekolah," lanjut
Josie. "Persis anak anjing kelaparan. Dia selalu pasang tampang sedih.
Terus membuntutiku, memelototiku. Seolah aku seharusnya merasa
bersalah. Seolah aku semestinya peduli."
"Tenanglah," ujar Steve lembut.
"Bagaimana aku bisa tenang?" hardik Josie. "Aku putus
dengannya lima bulan lalu. Dan sekarang dia mengirimiku sajak
brengsek ini. Dia itu gila apa?"
"Kau tahu apa yang menurutku harus kaulakukan?" kata Steve
serius. "Menurutku, sebaiknya kauabaikan saja."
"Hah" Kuabaikan?"
"Yeah. Jangan ceritakan pada siapa pun. Pura-pura kau tak
pernah menerimanya. Kalau aku, itulah yang akan kulakukan."
Josie melempar kartu itu ke atas meja. "Mungkin kau benar,"
katanya menghela napas panjang. "Kau sangat bijaksana, Steve."
"Begitulah aku," jawab pemuda itu ceria. "Si Bijak Steve.
Sekarang, ayo kita pergi, dan lupakan masalah kartu Valentine konyol
itu." Josie hendak menjawab. Tapi, sebelum ia sempat berkata
sepatah pun, sepasang tangan putih pucat menjulur dari belakang,
melingkari tenggorokannya, dan mulai mencekiknya.
3 KEBENCIAN JOSIE megap-megap dan meronta melepaskan diri dari
penyerangnya. "Rachel!" teriaknya. "Lepaskan aku!"
Rachel tertawa. Kedua tangannya masih terulur, seolah bersiap
kembali mencekik Josie. Mata zaitunnya berbinar-binar riang.
"Rachel, itu tidak lucu. Hentikan tawamu," perintah Josie tegas.
Seperti sakelar lampu yang dijentikkan, dengan patuh Rachel
menghentikan tawanya. Sambil tetap menatap Josie, ia menurunkan
tangannya, lalu membenamkannya dalam-dalam ke saku celana
overall longgar warna cokelat, yang ia kenakan bersama T-shirt
lengan panjang berwarna kuning pudar.
"Erica, kau di mana?" Josie memanggil kesal. "Kau kan
seharusnya mengawasi Rachel." Ia mengusap bekas cekikan Rachel di
lehernya. "Hai, Rachel," Steve menyapa takut-takut.
Rachel tidak menanggapi. Erica berlari menuruni tangga, wajahnya diliputi kecemasan. Di
belakangnya, Luke Hoskins bergegas mengikuti. "Kau di sini rupanya,
" Erica berkata lembut pada Rachel. "Kau lari dari kami, ya?"
"Kau kan seharusnya menjaga dia," kata Josie jengkel. Ia
menyipitkan matanya, memandang curiga pada Luke.
Luke bertubuh tinggi kurus. Bahunya selalu bungkuk, seakan ia
ingin dirinya tampak lebih pendek. Rambutnya yang kecokelatan
dipotong pendek, dengan belahan rapi di sebelah kiri, dan disisir ke
samping. Kacamata berbingkai perak menghiasi wajahnya yang tirus
dan gelisah. Sebuah giwang emas kecil berkilauan di daun telinga
kanannya. Luke dan Rachel sudah berpacaran lebih dari dua tahun
sebelum kecelakaan itu terjadi. Sejak hari yang mengerikan itu, Luke
menjadi tamu tetap di rumah keluarga McClain. Seperti sebelumnya,
ia tampak tetap setia pada Rachel, meskipun gadis itu tidak lagi
menanggapinya seperti dulu.
"Aku yang salah," Luke mengaku pada Josie. "Aku dan Erica
sedang mengobrol, dan kami tidak sadar Rachel meninggalkan kamar
tidur." "Well, kau kan tahu dia tidak boleh pergi sendirian," Josie
memarahi. Suaranya melengking. Ia kembali mengusap lehernya. "Ia
hampir saja mencekikku."
Rachel tertawa. Ia menyentakkan kepalanya, rambut merahnya
yang panjang berkilauan terkena cahaya lampu dari langit-langit.
"Dia cuma main-main, Josie," Erica menyahut sengit. "Kau kan
bisa memberinya sedikit perhatian." Suara Erica terdengar getir.
Rachel mengambil tumpukan surat di meja, lalu
memandanginya seakan belum pernah melihat surat.
Erica mengambil amplop-amplop dari tangan Rachel. "Berikan
padaku," katanya lembut. "Tak ada surat untukmu hari ini." Dengan
lembut ia memegang bahu Rachel.
"Tak ada surat untukku?" Rachel mengulangi, suaranya hampir
berbisik. Lalu ia berpaling pada Josie. "Sikat rambutku."
"Tidak, Rachel," Erica menjawab sebelum Josie sempat
menyahut. "Aku baru saja menyikat rambutmu. Tadi di atas. Kau
ingat?" "Aku dan Steve akan pergi ke mall," sela Josie tidak sabar.
"Aku akan kembali saat makan malam."
"Tapi kau janji..." Erica memekik marah.
Josie tidak menggubris protes Erica. "Kalau Mom pulang,
katakan aku pergi mencari buku mode yang ia inginkan."
"Tunggu, Josie," Erica tidak mau kalah. Tangannya masih
memegang bahu Rachel. "Kau sudah janji akan menjaga Rachel siang
ini. Kan sudah kubilang aku harus belajar untuk ujian IPS-ku."
"Sori. Lain kali saja," balas Josie dingin.
Erica mengeluh. "Terakhir kali kau juga bilang begitu."
"Sikat rambutku," Rachel memaksa. Ia tampaknya tidak
menyadari perdebatan yang berlangsung di depan matanya.
"Kami baru saja menyikat rambutmu, Sayang," kata Erica
lembut. Lalu kembali membelalak pada Josie. "Kau selalu pergi,
meninggalkan aku bersama Rachel. Kita seharusnya bergiliran. Kau
kan tahu kita tak sanggup membayar perawat."


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan khawatir. Akan kupenuhi giliranku," Josie mencemooh.
"Kapan?" Erica menuntut. Suaranya meninggi.
"Sikat rambutku," Rachel terus merengek, tangannya kembali
dijejalkan ke dalam saku celana.
"Kalau kau mau, kita bisa pergi ke mall besok," Steve memberi
saran pada Josie. "Diam," bentak Josie. "Kita pergi sekarang juga." Ia mendorong
Rachel dan Erica, bergegas menuju lemari di koridor. "Minggir. Aku
mau mengambil mantelku."
"Ini tidak adil!" teriak Erica. "Kau memaksaku terus menjaga
Rachel setiap hari. Aku tidak bisa melakukan hal lain, Josie!"
Josie berbalik marah, matanya berapi-api. Ia meletakkan
telunjuk ke bibirnya. "Ssttt. Hati-hati kalau bicara. Kau kan tahu
Rachel bisa mendengar. Nanti kau menyinggung perasaannya."
Erica mendengus keras. "Jangan mengingatkan aku soal
perasaan Rachel! Sejak kapan kau peduli pada perasaannya" Kau
bahkan tak pernah menemaninya lebih dari sepuluh menit sejak...
sejak..." "Itu tidak benar," Josie balas membentak, suaranya bergetar.
"Erica benar," Luke menyela tenang, berjalan ke sisi Erica.
"Kau belum melakukan tugasmu, Josie."
"Jangan ikut campur!" Josie seolah meledak. "Kau bukan
anggota keluarga kami."
"Aku tahu, tapi aku dapat melihat apa yang terjadi di sini,"
wajah Luke tampak cemas. "Aku bisa lihat bahwa..."
Mendadak Muggy menerobos masuk, gonggongannya
melengking nyaring, cakarnya mengetuk-ngetuk lantai papan ketika ia
berlari menghampiri mereka.
Josie segera menggendongnya dan menempelkan hidungnya ke
hidung hitam Muggy. "Tak apa-apa, Muggy. Teriakan-teriakan tadi
membuatmu kaget, ya" Tak apa-apa kok."
Muggy menjilat hidung Josie.
Josie membelalak pada Erica. "Lihat, kau membuat Muggy
kaget." Erica mendengus lagi. "Jadi, kau lebih memperhatikan anjing
tolol itu daripada saudaramu sendiri," tuduhnya.
"Itu tidak benar! Tarik kata-katamu!"
"Lihat!" seru Rachel sambil mengangkat tumpukan surat yang
kembali diambilnya dari meja. "Ada surat untukku?"
Steve menghampiri Rachel. "Tampaknya dia suka sekali
melihat surat-surat itu."
"Ada surat untukku?" Rachel mengulangi. Ia mengangkat suratsurat itu dengan satu tangan, memperlihatkan pada semua orang.
"Rachel sekarang tidak pernah mendapat surat," Erica berbisik
sedih. "Mungkin ia merindukannya."
Beberapa amplop jatuh dari tangan Rachel dan berserakan di
lantai. Erica berlutut, lalu mulai memungutinya. Ia berhenti ketika
melihat sebentuk hiasan hati dari satin merah. "Apa ini?" Ia bertanya
pada Josie seraya memungut kartu itu. "Kau mendapat kartu Valentine
lima hari sebelumnya?"
"Bacalah. Mungkin kau bisa menebak siapa pengirimnya."
"Hah?" Dengan bingung Erica membuka kartu itu dan membaca
sajaknya keras-keras: "Merah itu mawar Putih itu melati.
Di Hari Valentine Josie akan mati."
Erica menatap Josie, tampangnya lebih bingung lagi sekarang.
Mendadak Rachel tertawa terbahak-bahak, mengejutkan semua
orang. Tawanya begitu keras hingga ia mulai terbatuk-batuk.
"Rachel, ini tidak lucu," kata Erica dengan halus. Ia bangkit
berdiri, matanya masih terpaku pada kartu itu.
Rachel langsung diam, tapi matanya tetap berbinar-binar riang.
Setelah beberapa saat tawanya kembali pecah, cekikikan nyaring, dan
ia segera menutup mulutnya seperti gadis kecil yang malu-malu.
"Ini betul-betul keterlaluan," Erica melambaikan kartu ke arah
Josie. "Memang," sahut Josie, memutar bola matanya.
"Siapa yang mengirimkan sajak mengerikan macam ini?"
"Kurasa salah seorang pengagumku," jawab Josie pahit. Ia
menarik mantelnya dari dalam lemari, lalu meraih jaket Steve dan
melemparkannya pada cowok itu. "Ayo pergi," ajaknya, menghindari
pandangan Erica. Erica masih memegang kartu Valentine yang terbuka. Ia
menatap kakaknya. "Aku betul-betul tidak percaya," katanya sambil
geleng-geleng kepala. "Sampai nanti," seru Josie sambil mengenakan mantelnya.
Steve berjalan mengikuti Josie di koridor. Beberapa saat kemudian
pintu depan menutup di belakang mereka.
Erica mendengar Muggy mendengking dan menguik-nguik di
dekat pintu. Ia selalu bertingkah begitu setiap kali Josie meninggalkan
rumah. Berapa saat kemudian ia menyerah. Cakarnya yang kecil
terdengar mengetuk-ngetuk lantai papan, menuju ke ruang tamu.
"Sikat rambutku," Rachel kembali merengek. Seulas senyum
aneh, yang tak dapat ditebak maknanya, menghiasi wajahnya. Senyum
itu menakutkan, seperti hantu. "Sikat rambutku."
Ia tampak begitu cantik di bawah cahaya suram lampu koridor,
pikir Erica ketika menatap kakaknya. Dengan rambutnya yang indah,
mata zaitunnya yang besar, dan kulit yang pucat, amat pucat itu,
Rachel tampak seperti malaikat. Ia betul-betul mirip malaikat.
Tatapan matanya polos, mirip gadis kecil. Dan senyuman sedih
yang menghantui itu.... Erica terisak keras, namun ia cepat meredamnya dengan tangan.
Tidak, tegasnya dalam hati. Aku sudah berjanji. Aku sudah
berjanji pada diriku sendiri, tak ada lagi air mata. Tak ada lagi tangis.
Tak ada lagi. "Mau menyikat rambutku?" Rachel bertanya, seolah ia tak
pernah meminta sebelumnya.
"Oke," sahut Erica. "Ayo kembalikan surat-surat itu, lalu kita
kembali ke kamarmu."
"Aku heran melihat sikap Josie," Luke menggerutu marah.
Suaranya mengejutkan Erica. Ia hampir lupa Luke masih ada di
sana. Luke menghampirinya, keluar dari bayang-bayang lampu
koridor. Erica terperanjat melihat kemarahan di wajah Luke yang
biasanya tenang itu. "Aku heran," ia mengulangi, matanya berapi-api di balik
kacamata berbingkai perak. "Dia seharusnya membantumu."
"Aku tahu," ujar Erica, menjatuhkan surat-surat ke meja di
ruang baca, kemudian menuntun Rachel.
"Dia seharusnya melakukan tugasnya," Luke melanjutkan.
"Lagi pula dialah yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu."
Erica langsung menghentikan langkahnya. Ia tersentak
mendengar ucapan Luke. Tak pernah didengarnya Luke bicara seperti
itu. Amat marah. Kemarahan yang menakutkan.
Sekonyong-konyong tawa Rachel meledak. Ia menunjuk pada
Luke. "Kau lucu," katanya.
Luke memaksa diri tersenyum, namun Erica dapat melihat
kemarahan masih menguasai dirinya.
"Lucu," kata Rachel lagi, tertawa.
Luke berusaha ikut tertawa, tapi ketika ia mulai tertawa, Rachel
langsung diam. Erica menuntun Rachel ke arah tangga, Luke membuntuti di
belakang. Ketika ia melirik, dilihatnya raut wajah Luke kembali
berang. "Mengapa kau bilang itu kesalahan Josie?"
"Masa kau tidak tahu," hardik Luke. "Sadelnya. Bukankah Josie
yang mengikatkan sadel Rachel" Nyaris saja dia membunuh Rachel.
Dan kini Josie sama sekali tak peduli pada nasibnya."
Mereka menaiki tangga tanpa berkata apa-apa lagi. Erica terlalu
kaget mendengar kata-kata Luke hingga tak mampu menanggapi.
Tak pernah terpikir olehku bahwa ia begitu marah pada Josie,
pikir Erica sambil menuntun Rachel ke kamarnya. Tak pernah.
Tak pernah terpikir bahwa Luke begitu diselimuti kemarahan.
Memang ia kehilangan kekasihnya akibat kecelakaan itu. Ia
kehilangan Rachel. Dan ia menyalahkan Josie.
Tapi, kenapa ia terus-menerus datang kemari" Kenapa ia tidak
mencari pacar baru saja" Kenapa ia selalu mengunjungi Rachel" Erica
bertanya-tanya. Menurut pengamatan Erica, kadang-kadang Rachel tampak
senang melihat Luke. Tapi seringnya ia tak ingat siapa cowok itu.
Erica tiba lebih dulu di kamar Rachel yang gelap. Ia segera
menyalakan lampu di samping tempat tidur. Seperti biasa, Rachel
duduk di tepi tempat tidur, tangannya yang pucat mencengkeram
penutup tempat tidur yang berwarna hijau tua. Ia memejamkan mata,
dengan sabar menunggu Erica menyikat rambutnya yang panjang dan
lurus. Luke duduk di kursi dekat meja belajar Rachel, melipat kedua
lengannya yang panjang di dada.
Mengapa ia datang" Erica bertanya pada diri sendiri sambil
mengambil sikat rambut. Jika ia begitu sedih dan marah, kenapa ia
selalu datang kemari"
Kemudian, ketika ia melirik pada Luke di seberang kamar,
pikiran mengerikan terlintas di benak Erica. Ia datang kemari untuk
membalas dendam pada Josie. Luke-lah yang mengirimkan kartu
Valentine itu. 4 KEJUTAN DI SALJU "KAPAN sih salju berhenti turun?" Josie bertanya pada diri
sendiri. Sekarang hari Rabu sore. Salju turun sepanjang hari, curahan
butiran putih besar dengan deras jatuh, menambah tebal tumpukan
salju yang sudah menyelimuti tanah.
Josie mengangkat ransel ke bahunya yang berbalut jaket biru
pucat, lalu melangkah keluar gedung sekolah. Langit tampak
kehitaman, padahal baru pukul tiga. Awan kelabu yang berat
melayang-layang rendah, mengancam.
Salju yang bertumpuk di jalan masuk belum dibersihkan, dan
sepatu bot Josie terbenam dalam salju yang baru turun ketika ia
berjalan menuju Park Drive.
Ia melilitkan syal wol merah hati ke sekeliling leher, dan
menariknya ke atas hingga menutupi dagu. Pohon-pohon besar di tepi
jalan bergoyang-goyang ditiup angin, diam-diam menaburkan butiran
salju yang baru turun. "Hei, Josie! Tunggu!"
Josie mengenali suara adiknya dan berpaling ke arah sekolah.
Dilihatnya Erica mencoba berlari, tersandung-sandung di jalan
yang licin, mantelnya terbuka dan berkibar-kibar di belakang.
Ia tampak seperti burung besar canggung yang mencoba lepas
landas, pikir Josie jail. Dengan sedikit simpati, Josie sadar Erica tidak
secantik Rachel maupun dirinya. Wajahnya terlalu bulat, rambutnya
cokelat muda kusam. Ia juga agak kegemukan.
"Josie, mau ke mana kau?" teriak Erica terengah-engah ketika
telah menyusul kakaknya. Sambil tersengal-sengal, ia merapatkan
mantel tanpa menutup ritsletingnya.
"Erica, ada apa" Apa kau sudah gila, berteriak-teriak begitu"
Aku mau ketemu Steve."
"Tidak bisa!" seru Erica. Ia mengentakkan kaki, berusaha
membuang salju di sepatu botnya, namun tidak berhasil.
"Tentu saja bisa," sahut Josie santai, matanya memperhatikan
jalanan yang tiba-tiba macet karena beberapa murid Shadyside High
main perang-perangan dengan bola salju. "Aku akan menemuinya di
The Corner." Ia menggerakkan kepala, menunjuk ke tempat mangkal
favoritnya, beberapa blok dari sekolah.
"Tidak bisa!" suara Erica melengking tinggi. Ia sudah hendak
melanjutkan protesnya, tapi sesuatu di belakang Josie menarik
perhatiannya. "Lihat. Itu Jenkman," Erica merendahkan suaranya. "Di
sana, di samping sekolah. Dia mencoba menarik perhatianmu."
"Masa bodoh!" bentak Josie.
"Dia mendekati kita, melambaikan tangannya."
"Sungguh mendebarkan," ujar Josie sinis.
"Hai, Josie!" Jenkman memanggil, beberapa ratus meter di
belakangnya. Josie pura-pura tuli. Jenkman datang mendekat. "Josie, apa kabar?"
Josie tetap tidak peduli.
Erica melihat Jenkman tampak tersinggung.
"Josie, aku hanya ingin bicara!" Jenkman melangkah ke sisinya.
Josie membelakanginya. Erica melihat wajah Jenkman memerah. Lalu cowok itu
memaki-maki dan bergegas melewati mereka menuju jalanan.
"Wow," kata Erica, mengikuti sosok Jenkman dengan matanya.
"Wow. Dia betul-betul marah."
"Dia brengsek. Kau mau apa?" Josie bertanya tidak sabar. "Aku
sudah terlambat nih."
Erica mencengkeram lengan jaket Josie. "Kau harus menjaga
Rachel sore ini. Sudah kubilang tadi pagi, aku harus ikut latihan
Brigadoon di klub drama."
"Kau bisa ikut lain kali," tukas Josie. Ia berusaha melepaskan
diri dari Erica, tapi gadis itu terus bertahan.
"Tidak bisa," kata Erica marah.
Embusan angin membuat serpihan salju berputar-putar di
sekitar mereka. Josie memejamkan mata, menutupi wajah dengan syal
wolnya. Pergilah, kata Josie dalam hati. Ayo pergilah, Erica.
"Kau seharusnya membantu menjaga Rachel setelah dia pulang
sekolah," Erica mengomel. "Kau kan tahu, Josie. Itu bukan tugasku
sepenuhnya." "Aku tahu. Sudahlah," sahut Josie, melangkah menuju jalanan.
"Aku akan menjaganya besok. Janji."
"Tidak bisa. Pokoknya hari ini!" Erica berkeras, terus mengikuti
Josie. "Aku tak mau ketinggalan latihan. Betul-betul tidak adil. Ini
tahun pertamaku di high school. Seharusnya ini menjadi tahun yang
menggembirakan bagiku. Malah sebaliknya..."
"Besok saja," balas Josie sambil mempercepat langkahnya.
"Aku tak bisa membiarkan Steve menungguku di sana."
"Tentu saja bisa. Kau bisa menelepon dan meninggalkan pesan
untuknya." "Aku tak mau," Josie membandel. Ia mulai berlari melintasi
salju. Erica menyusulnya. "Aku tak percaya padamu, Josie. Kau
betul-betul menyebalkan, sama sekali tidak mau bertanggung jawab
atas Rachel. Lagi pula, itu kan salahmu..."
Erica menghentikan kata-katanya.
Dengan mulut ternganga, ia mengangkat kedua tangan ke
wajahnya, seakan mencoba bersembunyi di baliknya.
Ia sadar ucapannya keterlaluan.
Ia tak berhak berkata begitu.
Ia merasakan wajahnya panas. Ia yakin pipinya pasti merah
padam. Ia seharusnya tak boleh bicara seperti itu. Astaga, kata-kata itu


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercetus begitu saja. Perlahan ia menurunkan tangan. Josie sedang
membelalak padanya. "Aku... aku minta maaf," Erica tergagap. "Aku tak
bermaksud..." Ia menunggu Josie bicara.
Suara gedebuk keras mengejutkannya.
Penuh rasa ngeri, Erica melihat mata Josie membelalak lebar,
mulutnya ternganga, lalu menjerit kesakitan. Sekonyong-konyong ia
ambruk ke salju. 5 KEMARAHAN ERICA lama berdiri terpaku. Seluruh dunia seakan berubah
putih, seputih salju yang mengelilinginya. Ketika warna-warni muncul
kembali, ia membungkuk untuk menolong Josie.
"Aku baik-baik saja," kata Josie, mengangkat tangannya yang
terbungkus sarung tangan. "Bantu aku berdiri."
Erica mendengar suara tawa di belakang mereka. Ia berbalik
dan melihat Dave Kinley dengan bola salju di tangannya, Melissa
Davis berdiri di sisinya dengan wajah malu. Beberapa anak lain,
menyebar di halaman depan sekolah dan jalanan, saling melemparkan
bola salju sekeras mungkin.
Josie bangkit. "Ada bola salju menghantam tengkukku. Aku
kaget sekali sampai jatuh." Ia membersihkan salju yang menempel di
jaket dan celana jeans-nya.
Dengan gaya dibuat-buat, Dave mengangkat bahu, sambil
nyengir lebar. "Sori, Josie. Salah sasaran!" Ia terkekeh-kekeh
mendengar alasannya sendiri yang konyol. Beberapa anak lain ikut
tertawa. Melissa membuang muka, menghindari tatapan Josie.
Dengan masih menggenggam bola salju Dave membalas
tatapan Josie, seolah menantang.
Josie hendak mengucapkan sesuatu, namun membatalkannya.
Dengan marah ia berbalik, sambil menyentakkan ujung syal wolnya
ke sekeliling lehernya. "Aku pergi," ia bergumam pada Erica sambil menaikkan ransel
ke bahunya. "Untuk apa melayani cowok brengsek itu?"
"Hei, tunggu!" seru Erica. Ia tergelincir di salju ketika mencoba
mengejar kakaknya. Melalui sudut matanya Erica melihat Jenkman. Cowok itu
bersandar di sebatang pohon, setengah tersembunyi di balik rantingranting yang berselimut salju. Ia sedang menatap Josie, menatapnya
dengan ekspresi sangat aneh.
"Hei, Josie! Berhenti!" Erica berteriak. Ketika ia menoleh ke
belakang, Jenkman sudah lenyap.
Sebuah bola salju melayang melewati kepala Erica dan
mendarat pelan di hadapannya, di trotoar yang diselimuti salju.
"Aku akan menjaga Rachel besok!" teriak Josie, tanpa
menghentikan langkahnya. "Aku sudah terlambat."
Erica menatap. "Tapi bagaimana latihanku!"
Josie pura-pura tidak mendengar, terus menjauh, setengah
berjalan setengah berlari.
Sambil menggeleng sedih, Erica kembali ke sekolah untuk
mengambil ranselnya. Ia melirik jam tangannya dan sadar harus
bergegas. Rachel akan segera pulang.
*************************
"Kau kenapa sih, Dave?" tanya Melissa, setelah Josie dan Erica
menghilang dari pandangan.
"Hah" Apa maksudmu?" Dave nyengir, matanya yang gelap
berbinar-binar. Dengan rambut hitam panjang tergerai kusut mencapai kerah,
mata bulat kecil, serta hidung bengkok, Dave tidak bisa disebut
tampan. Tapi ia selalu ceria, rnudah bergaul, punya senyum hangat
menawan, serta penuh selera humor. Sifatnya yang senang melucu
itulah yang menarik perhatian Melissa. Kini sudah hampir enam bulan
mereka berkencan. "Kenapa kau melempar Josie dengan bola salju?" Melissa
mendesak. Dave nyengir makin lebar. "Sebab ia ada di situ."
"Aku serius," kata Melissa berkeras, menendang salju dengan
sepatu botnya. "Entahlah." Dengan susah payah, karena mengenakan sarung
tangan, Dave menutup ritsleting jaket kulit cokelatnya sampai ke
kerah. "Aku membencinya. Itu saja."
Melissa tertawa pahit. "Kukira tidak begitu. Menurutku kau
masih menyukainya." Ia menatap ke mata Dave seolah menantangnya.
"Hah" Tak usah, ya!"
"Menurutku kau masih peduli padanya. Dan kau melempar bola
salju itu karena ingin menarik perhatiannya."
"Itu konyol," Dave menggerutu seraya membuang muka.
Melissa tak tahu apakah pipi Dave merah karena udara dingin atau
karena malu. "Mengaku sajalah. Kau masih suka padanya," Melissa berkeras.
"No way," sergah Dave kesal. "Setelah apa yang dilakukan si
Josie itu padaku" Kau tahu, akulah satu-satunya cowok yang pernah
mencampakkan dia. Dan sejak itu ia dendam terhadapku."
"Kau mencampakkan dia?" seru Melissa. "Josie tidak bilang
begitu padaku. Dia bilang ke semua orang dialah yang
mencampakkanmw." "Terserah," gumam Dave dengan raut sebal. Ia melempar bola
salju yang digenggamnya ke bawah. "Lagi pula itu sudah lama
berlalu." Ia menyipitkan mata, menatap Melissa. "Kenapa kau
membela Josie" Dia kan mencampakkanmu kau juga?"
Kata-kata Dave menyengat Melissa. Gelombang kesedihan
melandanya. "Dulu dia kan teman baikmu," Dave melanjutkan. Ia
membungkuk untuk mengambil segenggam salju lagi. "Lalu dia
mencampakkanmu, seperti dia lakukan pada orang lain."
"Oke, oke," bentak Melissa. "Kau benar. Lupakan saja Josie."
"Terserah," Dave menurunkan nada suaranya.
Ia membuat bola salju dan melontarkannya ke pohon terdekat.
Terdengar suara benturan keras ketika bola itu pecah menghantam
pohon. "Aku takkan pernah memaafkan Josie," kata Melissa pelan.
"Aku takkan pernah memaafkannya karena telah menyalahkanku
sebagai penyebab kecelakaan Rachel." Melissa tak dapat mengusir
sosok Josie dari pikirannya.
"Sangat tidak adil," lanjut Melissa, matanya mengamati Dave
memadatkan bola salju lagi. "Josie bersikap seolah dia tak terlibat
sama sekali dengan kejadian itu. Padahal dialah yang mengikatkan tali
pelana pada sadel kuda Rachel. Bukan aku. Hanya karena ia
memintaku mengeceknya..."
Dave melontarkan bola saljunya yang terakhir ke batang pohon.
Kali ini meleset. "Tenanglah. Tak usah dipikirkan," ujarnya.
"Kau tahu apa yang dikatakan Luke Hoskins padaku?" Melissa
tidak memedulikan saran Dave. "Dia bilang Josie bersikap jahat pada
Rachel. Dia sama sekali tak mau memberi perhatian ataupun
menemani Rachel." "Apa Luke masih sering berkunjung ke sana?" tanya Dave
heran. Ia menepukkan kedua sarung tangannya untuk membuang salju
yang menempel. Melissa mengangguk. "Yeah. Cowok malang. Dia betul-betul
kacau. Dia tak percaya Rachel takkan pernah seperti dulu lagi. Aku
bertemu dengannya kemarin, sepulang sekolah. Ia dalam perjalanan ke
rumah Rachel. Saat itulah dia cerita soal sikap Josie."
Dave mendesah pahit. "Seharusnya Luke dan aku mendirikan
klub. Klub Anti-Josie. Kita bisa kumpul-kumpul, bertukar cerita. Kau
ingat kejadian saat Natal tahun lalu, ketika ayah Josie memberiku
pekerjaan di salah satu toko besi miliknya. Tiba-tiba, persis sebelum
liburan, dia mengabarkan tidak bisa menerimaku. Begitu saja. Tanpa
alasan apa pun. Akibatnya aku menganggur selama liburan. Padahal
aku betul-betul butuh uang. Aku tahu Josie terlibat dalam hal ini. Pasti
dia meyakinkan ayahnya agar jangan mempekerjakanku."
Wajah Dave kini merah padam. Cepat ia membuat bola salju
lagi dan mengempaskannya ke truk yang sedang lewat. Bola itu
menghantam sisi truk, dan pengemudinya membunyikan klakson
keras-keras. "Kita kan sudah membahasnya ribuan kali," Melissa cemberut.
"Kau benar-benar paranoid. Josie tidak menyebabkan kau kehilangan
pekerjaan. Untuk apa dia berbuat begitu?"
Dave sudah hendak memprotes, tapi Melissa menyelanya.
"Jangan bicarakan Josie lagi," ia berkeras, tiba-tiba cemas melihat
Dave marah. Ia memungut segenggam salju dan memoleskannya ke
wajah Dave. Dave menjerit kaget. Sambil terbahak, ia menerkam Melissa,
memeluk pinggangnya, dan menjatuhkannya ke tanah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Berhenti!" jerit Meiissa, ikut
tertawa. Keduanya sedang bergulat di salju ketika terdengar suara prang
yang nyaring. Tak salah lagi suara kaca pecah.
Melissa berlutut. Ia menoleh ke arah gedung sekolah, dan
dilihatnya Jenkman tengah menatap jendela kelas di lantai dua yang
baru saja pecah berhamburan. Bahkan dari jarak jauh pun Melissa
dapat melihat seringai puas di wajah Jenkman.
Ia pasti sengaja menimpuk kaca jendela itu dengan bola salju,
pikir Melissa. Tiba-tiba sebuah kepala terjulur ke luar lubang besar di jendela.
Melissa mengenali, Mrs. Powers, guru bahasa Spanyol. "Siapa yang
melempar?" Mrs. Powers berteriak marah.
"Bukan aku!" seru Jenkman padanya seraya mengangkat bahu,
wajahnya menyeringai lebar. Ia berbalik lalu melangkah panjangpanjang sambil terkekeh sendiri.
Ia melewati Melissa dan Dave tanpa menghiraukan mereka,
masih menertawakan jendela yang pecah itu.
"Jenkman salah satu calon anggota Klub Anti Josie-mu. Dia itu
aneh," kata Melissa dengan suara rendah, mengawasi Jenkman
berjalan di tengah-tengah perang bola salju yang masih berlangsung di
jalanan. "Seperti bom waktu yang siap meledak."
Paras Dave tampak aneh. "Siapa yang tidak?" tanyanya dengan
kepahitan yang dalam dan mengejutkan.
************************ Josie melirik jam bandul besar di koridor ketika memasuki
rumah. Pukul enam kurang sedikit. Ia membersihkan salju di sepatu
botnya sambil menggigil. Ia menurunkan ransel, melepaskan jaket lalu
melemparkannya ke pegangan tangga.
"Muggy! Kemari!" panggil Josie ketika melihat terrier putih itu
melompat menuruni tangga, menguik-nguik gembira. Josie
menggendongnya dan membiarkan Muggy menjilat-jilat wajahnya
penuh semangat. "Hei, kau membuatku geli!" seru Josie, tertawa.
Lampu-lampu di tingkat atas menyala. Erica dan Rachel pasti
ada di kamar Rachel, pikirnya. "Hei Mom, kau sudah pulang?" Josie
memanggil. Tak ada jawaban. Ibunya sering kerja lembur di perusahaan telepon. Sedangkan
ayahnya selalu berkeliling ke berbagai kota, memeriksa chain stores
toko besinya. Josie menghela napas panjang, ingat sudah empat hari ia
tidak bertemu ayahnya. Dan dengan turunnya hujan salju yang lebat di
mana-mana, mungkin malam ini pun ia tidak pulang.
Josie memeluk dirinya sendiri, tak mampu menghalau dingin
yang dibawanya dari luar. Speaker interkom di dinding koridor
bergemeresik. Josie dapat mendengar suara Rachel di antara bunyi
gemeresik. Kedengarannya ia sedang tertawa karena sesuatu.
Seluruh rumah dipasangi interkom, untuk berjaga-jaga
seandainya Rachel, yang menghabiskan sebagian besar waktu di
kamar, menginginkan atau membutuhkan sesuatu.
Josie mengerti interkom itu berguna. Malah perlu. Tapi benda
itu menakutkan. Bunyi-bunyi gemeresik itu. Suara-suara itu, terdengar
begitu jauh sekaligus begitu dekat. Seakan-akan ada hantu
bergentayangan. Makhluk-makhluk aneh yang hidup di dalam rumah.
Rachel sudah jadi hantu sekarang, pikirnya sambil bergidik.
Sungguh pikiran yang jahat.
Haruskah aku menemuinya"
Ah, nanti saja. Josie membawa ranselnya ke ruang baca. Ia menyalakan lampu
dan melemparkan ransel itu ke meja.
Ruang baca terasa lebih hangat dibanding ruangan lain di dalam
rumah. Pemanas ruangan yang menempel di dinding belakang
berderak-derak mengeluarkan uap. Biasanya Josie menyukai suara itu,
tapi kini derakan itu seperti bunyi tulang beradu dengan dinding.
Sambil berdiri di sisi meja, Josie mulai membuka ranselnya.
Pada saat itulah Luke menerobos masuk, matanya membelalak di
balik kacamatanya, wajahnya yang kurus merah padam karena marah.
"Oh, hai. Kau di sini rupanya," Josie menyapa dingin.
"Ya, aku di sini, sedang kau entah di mana tadi," jawab Luke
tajam, tanpa berusaha menutupi kemarahannya.
"Mulai lagi deh," keluh Josie, perhatiannya kembali tercurah ke
ritsleting ranselnya yang macet. Ia mencoba membukanya dengan
paksa. "Teganya kau berbuat begitu pada Erica?" Luke minta
penjelasan. "Dia sampai harus mengorbankan latihannya. Kau tahu
betapa kecewanya dia?"
"Masa?" kata Josie
Sikap sinis Josie membuat Luke tambah berang. Josie
mendongak, dan dilihatnya wajah Luke memerah, urat-urat di
pelipisnya tampak menonjol.
"Lalu ketika sampai di rumah, kau tidak mau repot-repot
menengok Erica atau Rachel. Kau betul-betul sangat egois..." Suara
Luke tercekat di kerongkongan.
"Dengar, Luke..." Josie mulai bicara.
"Latihan itu sangat berarti bagi Erica," lanjut Luke marah.
"Seharusnya ini menjadi tahun yang menyenangkan baginya. Tapi,
karena ulahmu, dia banyak kehilangan kesempatan. Dia..."
"Sori," potong Josie, tak bisa menahan sabar. "Tapi khotbahmu
sudah cukup, oke?" Ia menggeleng, bibirnya cemberut. "Astaga, Luke.
Kau bukan ayahku. Jadi, apa pun yang terjadi di rumah ini bukan
urusanmu." Luke melangkah menuju ruang baca, jari-jarinya mengepal dan
membuka. Ia melotot pada Josie, terlalu murka hingga tak mampu
bicara. Sudah cukup semua ini, pikir Josie, merasa kemarahannya
sendiri mulai timbul. Aku tak membutuhkan khotbah apa pun dari si
cacing kurus ini. "Apa sih masalahmu?" Ia menjerit. Dibantingnya ransel ke meja
hingga sebuah pembuka surat dari perak terlempar ke lantai.
"Masalahku?" Mimik Luke tetap marah.
"Kenapa kau masih saja datang kemari, Luke" Pikirmu apa
yang kaulakukan di sini dari hari ke hari" Apa kau tidak punya
kehidupan sendiri?" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Sakit hati yang membayang di wajah Luke menyadarkan Josie
ia telah melewati batas. Darah Luke naik ke kepala mendengar ucapan
itu. Ia menghampiri Josie, kedua tangannya mengepal kuat-kuat.
"Tenanglah dong," tangan Josie terangkat, seolah


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengisyaratkan gencatan senjata.
Namun Josie sadar sudah terlambat untuk berdamai. Luke
sudah terlampau murka. "Kau hancurkan hidup Rachel!" Suara Luke melengking tinggi.
"Dan kini kau coba menghancurkan hidup Erica. Kau betul-betul
egois, Josie! Keterlaluan!"
Josie tiba-tiba ikut naik darah. "Aku tidak menghancurkan
hidup siapa pun!" pekiknya. "Tidak pernah! Kau tahu masalahmu,
Luke" Sederhana saja. Kau seorang pecundang. Kau manusia gagal
total. Kau datang kemari setiap hari, bersikap manis, pura-pura tabah,
pura-pura jadi pahlawan, bersikap seakan kau lebih hebat daripada
semua orang. Tapi sebenarnya kau sembunyi. Kau sembunyi di
belakang Rachel, sebab kau terlalu pengecut menghadapi kenyataan."
Rentetan kata-kata itu menyembur begitu saja.
Begitu selesai, napas Josie megap-megap, dadanya terasa berat,
kedua tangannya mencengkeram tepi meja erat-erat seakan takut
jatuh. Dengan satu jeritan marah, Luke menerkam Josie. Dengan cepat
ia membungkuk dan meraih pembuka surat perak di lantai.
"Luke! Jangan!" Josie menjerit.
6 SEMUA GUSAR Josie mundur terhuyung-huyung hingga tubuhnya menabrak
dinding. Luke tiba-tiba berhenti. Matanya membelalak kaget, seolah ia terperanjat oleh
tindakannya sendiri. Josie mengangkat kedua lengannya, melindungi diri dari
kemungkinan serangan. "Luke, please!"
"Tiiidaaak!" teriak Luke.
Dengan pekikan keras, Luke mengayunkan lengannya ke
bawah, menancapkan mata pisau pembuka surat dalam-dalam ke
permukaan meja mahoni. Sambil tersengal-sengal, Luke melepaskan genggamannya pada
pisau dan melangkah mundur. Lama ia menatap pembuka surat yang
tertancap tegak di tengah meja.
"Josie," suaranya parau menyeramkan. "Nyaris saja, Josie".
Ia kembali mundur, masih tersengal-sengal.
Parasnya diliputi kengerian membayangkan apa yang baru saja
diperbuatnya. "Aku harus keluar dan sini," gumam Luke kepada diri sendiri.
Suaranya berbisik gemetar.
Ia menghambur keluar ruangan, bahunya membentur bingkai
pintu, namun ia tidak berhenti. Josie berdiri terpaku, masih bersandar
di dinding. Matanya terpaku menatap pisau pembuka surat, sampai
didengarnya pintu depan berdebam di belakang Luke.
Lalu ia mengembuskan napas keras-keras dan berjalan
mendekati meja. "Wow," katanya, lalu berdeham membasahi kerongkongannya
yang kering. "Wow."
Mendadak interkom di dinding ruang baca bergemeresik.
"Josie, kau sudah pulang?" Erica memanggil dari atas.
Josie meraih pegangan pembuka surat dan menyentakkannya.
Namun gagal. "Yeah. Aku sudah pulang," jawabnya ke arah kotak
kecil itu. "Kau terlambat," kata Erica.
Khotbah lagi, pikir Josie seraya memutar bola matanya.
Kembali ia merenggut gagang pisau yang menancap di meja. Kali ini
berhasil. Ia mendorong beberapa buku untuk menutupi lubang bekas
tancapan pisau itu. "Bisakah kau naik" Rachel mencarimu." tanya Erica.
"Nanti saja," jawab Josie. Ia harus duduk. Tubuhnya gemetar. Ia
harus berpikir. Ia sangat terguncang oleh serangan Luke yang
menakutkan tadi. Betul-betul tak terkendali, pikirnya. Tak pernah kulihat orang
yang tak dapat mengendalikan diri seperti itu.
"Rachel ingin bertemu denganmu," ulang Erica, suaranya
terdengar kecil dan nyaring di speaker.
"Bilang padanya, aku akan segera ke atas," jawab Josie kesal.
Interkom pun mati. Semua orang gusar, pikir Josie. Semua orang gusar padaku.
Dan apa yang telah kulakukan"
Tak ada. Aku hanya tak ingin diganggu.
Masih dengan perasaan terguncang, ia menghampiri sofa kulit.
Namun sesuatu di atas meja dekat dinding menarik perhatiannya.
Kiriman pos hari ini. Josie berpaling dan berjalan menghampiri meja. Dengan tak
sabar ia memilah-milah beberapa majalah dan katalog pesanan barang
lewat pos, lalu menemukan sebuah amplop bujur sangkar yang
ditujukan padanya. Satu lagi kartu Valentine.
Napasnya serasa tercekik.
Tangannya gemetar selagi membuka amplop itu.
Kartu itu berbentuk hati. Warnanya pink cerah. Di bagian depan
kartu tercantum tulisan dengan huruf-huruf berhias, "Hai, Valentine,
ingat aku?" "Ya ampun," Josie bergumam keras.
Dengan enggan, Josie membuka kartu dan melihat pesan
dengan huruf-huruf cetak yang telah dicoret. Sebuah pesan baru
tertulis di bawah coretan itu, kali ini dengan tinta merah :
Valentine kali ini Tiada kenangan tentangmu.
Satu-satunya karangan bunga
Hanya ada di pusaramu. Cepat dilemparnya kartu itu ke atas meja. Kemudian ia
menengadah, memeriksa kalender yang tergantung di dinding di atas
meja. Hari Valentine jatuh pada hari Sabtu.
Ini pasti cuma lelucon, pikir Josie, sambil mencoba
menenangkan diri. Tak ada yang sungguh-sungguh berniat membunuhku. Tidak
mungkin. Benarkah" 7 "AKU BENCI JOSIE"
GEMERESIK interkom membangunkan Josie.
Ia mengerang dan menatap jam radio. Setengah satu malam.
Ia membenamkan wajah di bantal yang hangat dan kembali
memejamkan mata. Gemeresik dari kotak di dinding terus
mengganggu. Kenapa harus ada interkom di setiap ruangan" pikir Josie.
"Josie, kemarilah." Suara Rachel di speaker terdengar nyaring
dan ketakutan. Sambil mengerang kesal Josie menendang selimutnya kemudian
bangkit. "Josie, datanglah ke kamarku," Rachel memohon.
"Kenapa mesti aku," Josie bersungut-sungut keras.
Kenapa sih Rachel bangun malam-malam begini" Dan kenapa
ia memanggilku" Interkom bergemeresik makin keras. "Josie?" Suara Rachel
terdengar tegang dan takut.
Josie menghela napas dan menggeliat. "Oke, oke. Aku datang,"
gerutunya. Ia menapakkan kaki di lantai lalu berdiri. Ruangan terasa
dingin. Jendela yang sudah tua berderak-derak tertiup angin kencang
di luar. Pemanas ruangan tidak bekerja. Di balik jendela hanya terlihat
kegelapan. "Josie" Kau akan datang?" Suara Rachel berubah menjadi
bisikan memohon. Josie hampir tak bisa mendengarnya di balik
gemeresik suara interkom.
Dalam gelap, ia keluar menuju koridor. Papan lantai berderak,
mengiringi setiap langkahnya.
Aku benci rumah tua ini, pikir Josie. Aku benci bunyi-bunyinya
yang seram. Erangannya. Derakannya. Rumah ini merintih seolah
hidup. Tiba-tiba ia bergidik. Teman-temannya di sekolah menceritakan kisah-kisah
mengerikan yang terjadi di Fear Street. Kisah-kisah tentang setan, dan
roh jahat. Tentang kasus pembunuhan dan orang hilang.
Mungkin sebagian besar hanya isapan jempol. Tapi ada juga
yang benar-benar terjadi.
Tinggal di Fear Street betul-betul sial, pikir Josie getir.
Kamar tidur Rachel terletak di ujung koridor. Dalam kegelapan,
Josie meraba-raba sepanjang dinding koridor yang berderak-derak.
Dindingnya dingin. Amat dingin.
Angin dingin mengibarkan gaun tidurnya.
Dari mana datangnya, Josie bertanya-tanya. Tak ada satu pun
jendela di koridor. Itu napas dingin hantu. Kata-kata itu muncul begitu saja
dibenaknya. Kembali ia bergidik.
Jangan berpikir macam-macam, ia memarahi dirinya sendiri.
Lantai yang lianya dialasi karpet tipis terasa dingin. Setengah
berlari ia melewati kamar mandi, ruang tamu. Sementara rumah itu
terus mengerang dan mendesah, seolah memperingatkannya supaya
segera kembali ke kamarnya.
Kamar Rachel gelap dan sunyi. Pintunya setengah terbuka.
Josie mendorongnya hingga terbuka lebar dan menyelinap
masuk. Napasnya tertahan. Ia kedinginan sekaligus ketakutan.
"Rachel?" ia berbisik.
Tak ada jawaban. Kamar itu begitu gelap, ia nyaris tak bisa melihat tempat tidur.
"Rachel" Kau memanggilku?" Josie berbisik ketakutan.
Hening. Pelan-pelan ia maju mendekati tempat tidur. Semakin dekat.
"Auw!" Jari kakinya menabrak kaki tempat tidur.
"Rachel?" Didengarnya suara napas lembut saudara kembarnya. Teratur.
Pelan. Ia mencoba menatap menembus kegelapan.
Rachel sedang tidur lelap. Terbaring miring. Kepalanya beralas
bantal, rambut panjangnya terurai. Senyum menghiasi wajahnya.
"Rachel" Kau memanggilku?" bisik Josie.
Rachel bergeming. Apa yang terjadi" Josie bertanya-tanya. Bulu kuduknya
merinding. Apakah ia memanggilku, kemudian tertidur lagi" Atau aku
cuma bermimpi" Panggilan dan bisikan melalui interkom itu cuma
mimpi" Dengan kedua lengan memeluk tubuh nya sendiri, ia kembali
menatap saudara kembarnya. Rachel tampak begitu tenang. Begitu
bahagia. Begitu normal. Ia bergegas keluar kamar, berjingkat-jingkat tanpa suara.
Setengah berjalan setengah berlari, ia sambil menahan napas
menembus kegelapan yang pekat hingga tiba dengan selamat di
kamarnya. Josie menyusup ke tempat tidur, menarik selimut hingga
menutupi leher, lalu memejamkan mata.
Aku harus tidur, pikirnya. Besok ada dua ujian di sekolah.
Jantungnya berdegup-degup. Ia membuka mata, membelalak
menatap langit-langit. Lampu yang tergantung di atas tempat tidur
seolah menggapai-gapai ke bawah, mencoba meraihnya.
Sekali lagi ia memarahi dirinya karena terlalu banyak
berkhayal. Kenapa pemanasnya tidak menyala" Kenapa kamar ini begitu
dingin" Kenapa aku tak bisa kembali tidur"
Ia baru mulai mengantuk lagi ketika interkom tiba-tiba
bergemeresik. Serentak Josie duduk, mendengarkan suara keras itu.
"Josie, kemarilah." Samar-samar ia mendengar suara Rachel di
antara bunyi gemeresik. "Hah" Ada apa?" Josie berteriak.
"Ayolah, Josie. Cepatlah." Suara Rachel kedengaran aneh.
Tersendat-sendat takut. Josi dengan cepat keluar melewati interkom di dinding, menuju
koridor. Papan lantai mengerang di bawah setiap langkahnya.
Kakinya yang telanjang menjejak di atas karpet tipis selagi ia
berlari menyusuri koridor yang sempit.
"Rachel" Ada apa?" Ia berhenti di depan pintu kamar Rachel.
Jantungnya berdebar keras, dan sambil berpegangan pada bingkai
pintu, ia berusaha menenangkan napasnya yang tersengal-sengal.
"Rachel?" Tak ada jawaban. "Rachel" Kenapa kau memanggilku?"
Sunyi. Josie berjalan tanpa suara ke tempat tidur. Rachel tetap tidak
bergerak. Terlelap, terbaring miring, senyum samar menghiasi
wajahnya. Matanya terpejam, napasnya teratur pelan.
Josie menunduk, mendekati wajah Rachel. "Rachel" " bisiknya.
"Kau main-main denganku, ya ?"
Rachel bergeming. Josie lama menatapnya, mencoba menembus gelap, menanti
tanda-tanda yang menunjukkan Rachel sebenarnya hanya pura-pura
tidur. Tapi gadis itu betul-betul terlelap.
Apa yang terjadi" Josie bertanya-tanya sambil berbalik,
meninggalkan kamar. Apa yang terjadi"
Ia merasa takut dan bingung.
Suara di interkom itu bukan mimpi. Begitu juga bisikan
memohon itu. Suara itu nyata. Betul-betul suara Rachel.
Apakah Rachel mengigau" Selama ini ia tidak pernah begitu.
Ataukah Rachel tengah mempermainkannya" Ia juga belum
pernah berbuat begitu. Apa yang sesungguhnya terjadi"
Terpikir oleh Josie untuk turun ke lantai bawah,
membangunkan ibunya. Tapi ia membatalkannya. Kalau sudah
terlelap, Mrs. McClain sangat sulit dibangunkan. Lagi pula ibunya
besok harus bangun pagi-pagi. Akhirnya Josie memutuskan tidak
mengganggunya. Ia kembali ke kamarnya, bergelung di bawah selimut tempat
tidurnya. Dipejamkannya mata erat-erat, berusaha kembali tidur.
Tapi suara apa itu" Apakah interkom kembali bergemeresik"
Atau itu desah napas seseorang"
Ataukah suara tawa pelan"
******************** "Auw. Kau menyikat terlalu keras."
"Sori," gumam Erica. Ia menyikat rambut Rachel dengan
lembut. "Aku sedang memikirkan. sesuatu."
"Aku senang kalau kau menyikat rambutku." Rachel tersenyum.
Ia duduk di depan cermin meja rias, mengamati bayangan Erica.
Erica berdiri di belakang kakaknya, sebelah tangannya


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegangi rambut, tangan yang lain mengangkat sikat ke puncak
kepala Rachel dan menariknya ke bawah di sepanjang rambut yang
tebal cantik itu, lalu kembali mengangkat sikat ke atas kepala.
Erica cemberut, kesal pada Josie. Josie sudah janji menjaga
Rachel siang ini. Bahkan ia bersumpah takkan lupa atau ingkar janji.
Karena itu Erica meminta Mr. Peters memberinya latihan khusus
sepulang sekolah. Namun setelah jam pelajaran terakhir, Josie sama sekali tak
kelihatan batang hidungnya. Seolah lenyap begitu saja. Erica
menelepon ke rumah melalui telepon umum di depan gedung
olahraga, berharap Josie sudah pulang. Tapi tak ada yang menjawab.
Sekali lagi Josie melupakan Rachel. Ia mungkin pergi ke suatu
tempat bersama Steve. Erica tak bisa berbuat apa-apa selain minta maaf pada Mr.
Peters lalu bergegas pulang. Sudah lima belas menit ia menyikat
rambut Rachel, sementara benaknya mencari-cari kata makian untuk
Josie. Amarahnya semakin bertambah pada setiap usapan sikatnya.
"Apa Josie akan menemuiku?" tanya Rachel tiba-tiba.
Seakan ia bisa membaca pikiranku, pikir Erica kaget. "Tidak,
Josie belum pulang sekarang," jawabnya.
Rachel menatap pantulan Erica dalam cermin persegi. "Sikat
lebih keras." "Oke." Kita harus mengadakan rapat keluarga, pikir Erica
marah. Josie tak bisa dibiarkan begitu saja.
"Hari ini aku sangat pintar di sekolah," kata Rachel,
menyeringai seperti anak kecil.
"Itu bagus," Erica menjawab asal-asalan.
"Guruku bilang aku sangat pintar," kata Rachel.
"Wah, bagus sekali." jawab Erica, sambil menarik sikat di
sepanjang rambut merah lurus itu.
Rachel tampak merenung. "Josie itu saudaraku, kan?" tanyanya,
keningnya berkerut. "Betul," sahut Erica. "Josie saudaramu. Saudara kembarmu."
Rachel merenung beberapa saat. Lalu kata-katanya
mengejutkan Erica, "Josie tidak suka lagi padaku."
"Tidak benar!" protes Erica, sikat rambutnya terjatuh ke atas
karpet. Ia membungkuk untuk memungutnya. "Josie tetap suka
padamu. Kenapa kau berkata begitu?"
"Tidak. Josie tidak suka padaku. Josie tidak mau bicara
denganku." "Itu tidak benar..." bantah Erica, namun Rachel memotongnya.
"Well, aku juga tidak suka lagi pada Josie!" Rachel menjerit,
mata hijaunya membelalak. "Aku benci Josie!"
Erica memegang bahu Rachel yang gemetar. "Rachel,
tenanglah! Tenang. Jangan terlalu tegang."
"Aku benci Josie!" Rachel mengulangi. "Aku benci. Aku benci.
Aku benci." "Jangan bilang begitu," Erica memarahi. "Shhh. Tenanglah.
Ayo kita sikat lagi rambutmu. Oke?"
Telepon berdering. Erica meletakkan sikat di meja rias dan bergegas ke kamarnya.
"Aku benci Josie! Aku benci Josie!" didengarnya Rachel
berceloteh. "Rachel, sudahlah!" teriak Erica seraya mengangkat gagang
telepon. "Halo?"
"Oh, hai. Ini Erica?" tanya seorang anak laki-laki.
"Ya. Hai." "Ini Jenkman." "Oh, hai, Jerry," jawab Erica bersemangat, gembira mendengar
suara pria itu. "Josie ada?" Semangat Erica pudar. Sesaat ia mengira Jenkman menelepon
untuk bicara dengannya. "Tidak. Ia belum pulang," sahut Erica lesu. "Aku tak tahu di
mana dia." "Oh," Jenkman terdengar kecewa. Kemudian Erica terenyak
ketika cowok itu melanjutkan, "Apa Josie sudah menerima kartu
Valentineku?" 8 BENCANA MATEMATIKA "DAVE, tampangmu mengerikan," ujar Melissa, hari Kamis
pagi di sekolah. "Terima kasih atas pujianmu," gumam Dave, geleng-geleng
kepala. Mereka bercakap-cakap di luar pintu kelas Mr. Millen. Dave
bersandar di dinding, rambut hitamnya lebih berantakan daripada
biasanya, matanya memerah dengan lingkaran gelap di bawahnya.
"Aku kurang tidur semalam," kata Dave, menggaruk-garuk
rahang. "Ujian matematika ini, betul-betul membuatku panas-dingin."
Melissa berdecak simpati.
"Hei, kau sudah siap, Kinley?" Donald Metcalf memukul bahu
Dave. "Kau akan melalap habis ujian ini?"
"Yeah. Aku akan dapat bagus kalau tak menyontek darimu!"
jawab Dave, mengusap bahunya. "Metcalf itu seperti keledai,
bodohnya bukan main," bisiknya pada Melissa.
"Sikapmu hebat sekali," kata Melissa sinis. "Metcalf kan
temanmu. Kalian sama-sama anggota tim gulat, ingat?"
"Aku menyesal tidak ikut les matematika semester ini," Dave
tiba-tiba mengubah pokok pembicaraan, "karena kupikir aku akan
mampu menguasai semua soal dengan baik. Sayangnya aku kena flu,
tiga hari tidak bisa masuk sekolah. Dan sejak itu aku tak bisa
mengejar pelajaran." Ia menguap keras dan membetulkan letak ransel
di bahunya. Mendadak bel berbunyi tepat di atas kepala mereka,
mengagetkan keduanya. Josie McClain bergegas melewati mereka, masuk ke dalam
kelas dan langsung duduk di kursinya.
"Kau pasti bisa," Melissa meletakkan tangan di bahu Dave,
mencoba membangkitkan keyakinannya.
"Tidak. Aku betul-betul kacau," ujar Dave sedih. "Matilah aku."
"Mr. Millen tidak pernah memberi soal yang terlalu sulit,"
lanjut Melissa. Penuh sayang ia menarik untaian rambut jabrik yang
jatuh di kening Dave. "Ayo masuk, sebelum Mr. Millen mulai
melolong." Ia mencengkeram lengan sweter Dave, menarik cowok itu ke
dalam kelas. Dave duduk merosot di kursinya, di belakang Josie.
Sementara Melissa menuju barisan depan, menghampiri kursinya di
sudut. Mr. Millen membagikan kertas ujian tanpa berkata sepatah kata
pun. Beberapa saat kemudian ia memberi tanda bahwa ujian bisa
dimulai. Ruangan begitu sunyi, begitu hening hingga Melissa dapat
mendengar dengung lampu neon yang menggantung di langit-langit di
atas kepalanya. Ia membaca seluruh soal terlebih dulu. Tampaknya tak
ada yang terlalu sulit. Ia berkonsentrasi pada soal pertama, mencoretcoret di secarik kertas, lalu kembali menulis di kertas ujian.
Melissa hampir menyelesaikan soal keempat ketika dilihatnya
Josie berjalan menghampiri Mr. Millen yang tengah duduk
membungkuk di mejanya, asyik baca majalah.
Mr. Millen mengangkat kepala, kaget. Josie membisikkan
sesuatu. Dari tempat duduknya di baris depan, Melissa dapat mendengar
bisikan Josie dengan jelas. "Mr. Millen, bolehkan saya pindah tempat
duduk?" tanyanya. "Pindah" Kenapa?" Mr. Millen menatap curiga.
"Yah..." Josie tampak enggan, sekilas memandang ke belakang
ruangan. "Dave Kinley menyontek pekerjaan saya."
Melissa merasakan wajahnya panas.
Dave dalam kesulitan besar sekarang, pikir Melissa sedih. Tak
kusangka Josie tega berbuat begitu.
Josie dan Mr. Millen masih saling berbisik beberapa lama.
Melissa berusaha menguping, tapi tak bisa mendengar apa-apa lagi.
Dilihatnya Josie membereskan kertas-kertasnya kemudian pindah ke
kursi kosong di dekat jendela.
Melissa bertanya-tanya apakah Dave tahu ia sedang berada
dalam kesulitan" Ia kembali mengerjakan soal-soal tes, berusaha
konsentrasi. Kenapa Dave tidak minta tolong padaku"
Pasti karena gengsi, jawabnya dalam hati.
Kadang-kadang Dave memang aneh. Ia tak pernah mau
mengaku kalau sedang punya masalah. Tak pernah mau mengaku
bahwa ia hanya manusia yang pasti punya kelemahan. Ia selalu purapura dirinyalah yang paling hebat, pura-pura segala hal bisa
diatasinya. Setidaknya dia bisa memintaku belajar bersamanya, pikir
Melissa sambil menggelengkan kepala.
Sekarang apa yang akan terjadi"
Ia segera mengetahui jawabannya.
Ketika bel berbunyi, Mr. Millen mengumpulkan kertas ujian
lalu membubarkan kelas. "Oh, Dave, bisa bicara sebentar?" Mr. Millen memanggil,
wajahnya tanpa ekspresi. Melissa melihat Dave ragu-ragu di mejanya. "T-tentu," ia
terbata. Melissa memejamkan mata. Kasihan Dave. Sekarang ia betulbetul tak bisa berkutik lagi, seperti yang diramalkannya tadi.
Ia menatap Dave dengan cemas saat melewati cowok itu lalu
meninggalkan ruangan. Di luar ia menyapa teman-temannya yang
lewat lalu bersandar di dinding, menunggu.
Tak lama kemudian Dave muncul, wajahnya merah, parasnya
muram. "Josie mengadukanku," ia bergumam, lalu memaki-maki.
Melissa menunduk simpati, berjalan menuju locker-nya. Dave
mengikuti, sambil terus mengomel.
"Keterlaluan!" serunya. "Berani betul tikus licik itu berbuat
begitu padaku!" Melissa berhenti di locker-nya, dan menatap langsung mata
Dave. "Tapi benarkah, Dave" Benarkah kau menyontek darinya?"
"Kalau benar, memangnya kenapa?" ia membentak.
Melissa terperangah melihat kemarahan Dave.
"Kau juga mau ikut-ikutan memarahiku?" teriak Dave.
"Aku cuma tanya," jawab Melissa lembut. Ia memutar kunci
kombinasi locker dan membuka pintunya. "Jadi, Millen bilang apa?"
"Si gendut tolol itu" Ia bilang ia akan memberiku nilai nol,"
suara Dave melengking. "Ujian ini nilainya lima puluh persen, jadi
setengah nilaiku semester ini adalah nol." Dengan gusar ia menendang
sebuah locker. "Kau tahu artinya" Itu berarti aku dikeluarkan dari tim
gulat." "Ah yang benar!" teriak Melissa.
"Yeah, aku akan ditendang keluar," ulang Dave getir. Kembali
ia memaki. "Dan itu berarti aku tak bisa mendapat beasiswa atlet.
Berarti aku tak bisa masuk perguruan tinggi. Dan semua itu cuma
karena..." Tepat saat itu Josie lewat.
Cepat Dave mencengkeram lengannya.
"Auw!" jerit Josie. Matanya membelalak. "Lepaskan aku!"
teriaknya kasar. "Kenapa kau berbuat begitu?" Dave menuntut penjelasan. Ia
meremas lengan Josie. "Lepaskan aku!" teriakan Josie melengking nyaring. Ia
menyentakkan lengannya, melepaskan diri dari cengkeraman Dave.
"Kenapa kau mengadu?" Dave mendesak, matanya membelalak
marah. "Aku tak mau membicarakannya," kata Josie dingin, melirik
Melissa. "Maksudku, aku tak punya pilihan. Kau terus-menerus
mengintip, begitu dekat sampai napasmu terasa di leherku."
Dave mendesis marah, tapi tak mengatakan apa pun.
Josie berpaling dan bergegas pergi ke locker-nya di sudut.
Beberapa anak berhenti untuk menyaksikan pertengkaran itu.
Dave berteriak marah dan membanting pintu locker Melissa,
bunyinya menggema di sepanjang koridor.
"Ia menghancurkan hidupku!" Dave berteriak sekeras-kerasnya.
"Aku benci Josie McClain!"
"Dave, sudahlah! Kau tak bisa mengendalikan dirimu!" seru
Melissa. Cowok itu seolah tak mendengarnya. Sambil berteriak marah, ia
menghambur ke arah Josie.
"Dave, jangan!" Melissa menjerit ketakutan melihat kemarahan
Dave. "Kembali! Apa yang akan kaulakukan?"
9 DARAH PERTAMA JOSIE menekuri buku pelajaran IPS-nya. Kata-katanya tampak
kabur, seperti garis-garis hitam di atas hamparan bidang putih.
Hampir setengah jam ia memelototi halaman yang sama.
Pikirannya sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Ia tak mampu
mengenyahkan Dave Kinley dari benaknya.
Tak bisa dipercaya aku pernah pacaran dengannya, katanya
pada diri sendiri. Ia membayangkan pertengkaran mereka di koridor sekolah.
Hanya karena ia mengadu pada Mr. Millen bahwa Dave menyontek.
Ia sebenarnya tak ingin menyulitkan Dave, tapi apa lagi yang bisa
diperbuatnya" Dave terus-menerus mengintip lewat bahunya,
menyalin semua jawaban di kertas ujiannya. Kalau dibiarkan, bisabisa Josie dianggap bersekongkol. Dan tidak adil kalau itu sampai
terjadi. Ia telah belajar keras untuk menghadapi ujian itu.
Aku melakukan hal yang benar, pikir Josie.
Memang Dave marah, tapi masa bodoh. Ia memang sering
marah. Pemuda itu akan segera melupakannya.
Josie kembali menatap bukunya, namun tetap tak mampu
memusatkan pikiran. Dengan kesal, ia mendorong kursinya ke
belakang dan mulai berjalan mondar-mandir.
Jam dinding menunjukkan pukul 19.30, padahal masih banyak
PR yang harus dikerjakannya.
Aku begitu lelah. Aku kurang tidur semalam. Gara-gara
interkom itu. Gara-gara Rachel memanggil-manggilku. Terus-menerus
memanggil sepanjang malam.
Padahal Rachel sedang tidur.
Bulu kuduk Josie meremang.
Ia menatap kotak abu-abu persegi di dinding, dan tiba-tiba
interkom itu bunyi. Didengarnya suara batuk-batuk, disusul suara
Rachel yang lembut memohon. "Josie, bisakah kau datang ke
kamarku?" "Tidak!" teriak Josie, bahkan ia sendiri kaget mendengar
teriakannya. "Tidak! Tidak lagi! Tidak lagi!"
"Josie, ayolah datang ke kamarku," suara lembut Rachel
memohon di speaker. "Tidak! Sudah ada Erica yang menjagamu, Rachel. Dia akan
membantumu," teriak Josie.
Aku harus pergi dari sini, pikir Josie. Aku tak tahan
mendengarnya lagi malam ini. Betul-betul tidak tahan!
Ia meraih jaket birunya dari tempat tidur, lalu bergegas
meninggalkan kamar. Interkom itu tetap mendengung dan
bergemeresik. Suara memohon Rachel seolah mengiringi langkah


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Josie ketika ia menuruni tangga.
Ketika tiba di luar, barulah ia bisa bernapas lega. Dibantingnya
pintu. Akhirnya suara Rachel tidak terdengar lagi.
Tapi, benarkah Rachel memanggilku"
Atau ia cuma mempermainkanku"
Apa aku mulai gila" Josie tidak peduli. Yang harus dilakukannya adalah pergi. Pergi
menjauhi semua kemarahan. Menjauhi semua kepedihan.
Malam itu cerah dan dingin. Salju berdesir di bawah kakinya
saat ia berjalan menuju mobil yang diparkir di jalan masuk. Setiap
embusan napasnya menimbulkan uap kelabu di bawah langit malam
yang hitam. Dari jauh terdengar suara kucing merintih, mirip tangisan bayi.
Steve, pikir Josie. Aku harus menemui Steve. Dialah satusatunya yang bisa memahami diriku.
********************** "Ini ide bagus," kata Josie sambil sekilas tersenyum pada Steve.
"Tadi aku begitu kesal. Tapi sekarang aku merasa tenang." Ia meraih
tangan Steve dan menarik cowok itu di belakangnya.
"Kau pandai main skate," puji Steve, berusaha menyusul Josie.
Josie meluncur di atas permukaan es hampir tanpa suara. Ia
sangat suka main skate. Nikmat rasanya meluncur sangat cepat,
hingga tubuh terasa ringan dan bebas. Ia melepaskan tangan Steve
dan, dengan anggun, mengitari gelanggang es.
Hanya ada beberapa orang lain di Shadyside Indoor Rink. Dua
orang anak tergelincir dan jatuh saling tindih sementara ibu mereka
menyoraki, juga ada sepasang remaja lain, mengenakan sweter
superlonggar dan topi skate dari bahan wol, tapi mereka bukan muridmurid Shadyside High.
Josie menyelesaikan satu putaran, meluncur ringan seolah tanpa
tenaga, menikmati suara mengiris ketika sepatu skate-nya menggores
permukaan es. "Lihat nih," seru Steve, menyeringai. Ia mulai
meluncur, mundur. "Boleh juga," Josie balas menyeringai. Ia menyusul Steve yang
terus mundur mengitari gelanggang, tersenyum padanya.
"Kau bisa?" tanya Steve menantang.
"Rasanya tidak," Josie mengaku. "Kau tahu siapa pemain skate
terbaik dalam keluargaku" Erica. Ia sama sekali tidak suka
berolahraga. Tapi dalam hal skate, dialah jagonya."
"Lain kali aku akan mengajaknya kemari!" gurau Steve.
Nama Erica membuat Josie teringat pada Rachel. Senyumnya
memudar. Ia menggelengkan kepala keras-keras seakan mencoba
mengusir bayangan saudaranya.
"Bisa istirahat sebentar?" teriaknya pada Steve.
Ketika melihat perubahan ekspresi wajah Josie, Steve pun
setuju. Beberapa menit kemudian mereka duduk di sudut kafe kecil di
kompleks gelanggang es itu, asyik menyesap cokelat panas dari
cangkir kertas putih. "Kalau kemari enaknya hari Kamis malam," Steve menjelaskan,
matanya memandang ke seputar gedung besar itu. "Soalnya sepi.
Seluruh arena seolah milik kita sendiri."
Ia hendak mendekatkan bangkunya, tapi tanpa sengaja lututnya
malah membentur meja logam. Akibatnya cokelat panas Josie tumpah
sedikit, membasahi tepi cangkirnya. "Sori," Steve minta maaf. "Aku
benar-benar ceroboh."
"Tidak apa-apa," kata Josie, perhatiannya teralihkan. "Aku
sudah senang bisa datang kemari. Ini betul-betul menyelamatkan
diriku. Yang penting aku bisa keluar dari rumah."
Steve menatap tajam mata Josie. Senyumnya hilang. "Di rumah
banyak masalah?" "Bikin aku tertekan," suara Josie tersekat di kerongkongan.
"Kalau di rumah a... aku selalu merasa tertekan."
Ia menyesap cokelatnya. Panas minuman itu membakar langitlangit mulutnya, namun Josie tak peduli. Kesedihannya terasa
memuncak, siap meledak keluar dari dalam dirinya.
Apakah ia harus menahannya"
Tidak. Ia tak sanggup menahannya lebih lama lagi.
Ia harus bicara dengan seseorang. Steve seorang pendengar
yang baik. Steve meremas tangan Josie. "Kau tertekan karena Rachel?"
Josie mengangguk. "Karena Rachel. Karena Erica. Karena
semua orang." "Apa yang terjadi?" tanya Steve, jari-jarinya dengan gugup
mengetuk-ngetuk permukaan meja logam.
Lalu Josie menceritakan kejadian semalam, tentang interkom
yang terus berbunyi, Rachel yang memanggil-manggil dengan suara
kecil berbisik, tapi ketika didatangi ternyata sedang tidur.
"Aku... aku merasa sangat bersalah pada Rachel," lanjut Josie.
"Setiap kali melihatnya, melihat senyum manisnya yang kekanakkanakan, aku merasa bersalah. Juga saat kusikat rambutnya, atau
bicara padanya. Saat kusadari Rachel takkan pernah tumbuh dewasa.
Takkan punya keluarga sendiri. Takkan bisa menikmati kehidupan
yang sesungguhnya. Kau tahu, dia begitu cantik, namun begitu tak
berdaya. Semua itu membuatku ingin menangis, Steve. Aku merasa
amat bersalah. Juga tak berdaya."
Steve menarik napas panjang, menggelengkan kepala. "Aku tak
tahu harus bilang apa," gumamnya. "Kupikir untuk pulih dari kejadian
seperti itu membutuhkan waktu. Maksudku..."
"Erica malah memperburuk keadaan," sela Josie. "Dia hanya
berusaha membuatku merasa bersalah. Bersalah karena tidak
menemani Rachel. Karena kurang memperhatikannya. Karena tidak
menjaganya. Padahal aku tidak sanggup melakukannya, Steve.
Kenapa Erica tidak mau mengerti" Maksudku, seharusnya dia sadar
aku sudah cukup merasa bersalah tanpa harus menghadapi ulahnya."
"Jangan bikin kesal dirimu sendiri," ujar Steve canggung. "Mau
main skate lagi?" ajaknya.
Josie menggeleng. Ia merasakan air mata muncul di sudut-sudut
matanya, tapi ia tak peduli. Dibiarkannya air mata mengalir turun
membasahi pipinya, tanpa berusaha menghapusnya.
"Aku tetap sayang pada Rachel. Bagaimanapun juga dia saudara
kembarku. Aku sayang padanya, hanya saja aku tak tahan berada di
dekatnya, melihat apa yang dialaminya. Itulah sebabnya aku lebih
banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Dan hanya pulang kalau
terpaksa saja," kata Josie.
"Suasana pasti akan membaik," kata Steve pelan. "Lihat saja
nanti." Ia menghabiskan cokelat panasnya, lalu dengan gugup
mengetuk-ngetuk cangkir di meja. "Sungguh, Josie, lihat saja nanti."
Josie menggeleng dan menyeka pipinya yang basah dengan
kedua tangan. "Erica tak mengerti," lanjutnya, tanpa peduli pada
perasaan canggung Steve. "Dia pikir aku jahat. Tidak bertanggung
jawab. Padahal aku tidak begitu. Hanya saja dia tak mengerti. Tak ada
yang mengerti diriku."
"Josie, sungguh..." Steve mulai bicara.
"Tunggu," sekali lagi Josie menyela. Ia memasukkan tangan ke
kantong belakang celana jeans-nya. "Coba lihat ini."
Ia membuka sehelai kartu. Kartu Valentine lagi. Bagian
depannya bergambar buket bunga mawar merah. Dengan tangan
gemetar ia memberikan kartu itu pada Steve. "Coba kau lihat ini."
Steve membukanya lalu membaca keras-keras sebait sajak yang
ditulis dengan tangan: "Tak perlu kaucari Si pengirim sajak. Nantikan Hari Valentine Saat kau lenyap tanpa jejak."
Ia terpaku menatap sajak yang ditulis dengan tinta hitam itu. Ia
berpikir keras, mata birunya menyipit. "Apa kau masih menduga
Jenkman pengirimnya?" tanyanya.
"Sejak aku meninggalkannya, dia membuntutiku ke manamana, terus mengganggu seperti orang sakit jiwa."
Steve mengembalikan kartu itu pada Josie. "Menurutku semua
ini cuma lelucon konyol."
Josie meremas kartu itu dan menjejalkannya ke dalam
cangkirnya yang hampir kosong. "Menurutmu begitu?"
"Jenkman memang aneh, tapi dia bukan pembunuh!" tukas
Steve. "Ini cuma lelucon konyol. Tak usah ditanggapi serius."
"A... aku tak tahu harus bagaimana," Josie tergagap. "Ini kartu
ketiga yang kuterima. Aku mulai takut. Bagaimana kalau ternyata dia
serius?" "Telepon dia dan suruh menghentikan ulahnya," Steve
menasihati. "Ia hanya ingin balas dendam karena kau tak mau pacaran
dengannya." "Dasar cowok brengsek," kata Josie. "Dia membuntutiku pulang
ke rumah. Dia selalu ada di dekat locker-ku. Kadang-kadang dia
menelepon dan..." Mendadak Josie berhenti bicara. Mulutnya menganga. Jarinya
menunjuk ke belakang bahu Steve. "Steve!"
Steve melihat sorot ketakutan di mata Josie. "Ada apa?" Ia
berpaling, mengikuti pandangan Josie.
"Ada orang di sana," suara gadis itu gemetar takut. "Ada yang
mengawasi kita. Dari belakang kios makanan itu."
Steve mencari-cari. "Aku tak melihat siapa pun."
Josie melompat berdiri, membuat kursinya berdebam terguling
ke lantai. "Di sana!"
"Aku lihat bayangannya, tapi...," kata Steve.
"Apa itu Jenkman?" tanya Josie.
"Entahlah." Steve juga berdiri. Ia melangkah memutari meja
dan memegang lengan Josie. "Kau mau pulang?"
Josie mengangguk. "Ya, ayo kita pergi!"
Mereka mengembalikan sepatu skate kemudian bergegas
meninggalkan tempat itu. Di luar udara terasa dingin menggigit. Steve memeluk Josie
erat-erat dan mencium pipinya.
Josie sadar ia ingin tetap bersama Steve. Selamanya. Di tengah
embusan angin dingin. Di tengah keheningan malam. Hanya bersama
Steve. Ia tak mau memikirkan tentang orang yang mengintainya di
gelanggang es. Juga tentang sajak-sajak mengerikan yang
mengancamnya. Yang terutama, ia tak mau pulang ke rumah.
Namun beberapa saat kemudian ia sudah berada di depan
rumah, sedang mengucapkan selamat malam pada Steve. Di
hadapannya menanti rumah tua itu, bermandikan cahaya kuning pucat
lampu beranda, tampak dingin dan tidak ramah.
Josie menjulurkan tubuhnya untuk mencium pipi Steve. Sambil
menghela napas, ia membuka pintu mobil dan dengan enggan
melangkah menuju beranda depan. Ia melambai pada Steve,
mendorong pintu depan, lalu memasuki koridor yang gelap. Masih
dilihatnya sorot lampu mobil Steve di dinding saat ia memundurkan
kendaraannya ke jalan. "Halo, ada yang belum tidur?" kata Josie setengah berbisik.
Suasana hening. Sekarang belum terlalu larut, pikir Josie. Baru sekitar pukul
sebelas. Ia berjingkat melewati interkom di dinding, seolah takut
membangunkan kotak kecil itu. Seberkas sinar tampak di dapur.
"Siapa itu?" tanyanya, bergegas menghampiri. "Erica" Kau
belum tidur?" Ia berhenti. Dapur itu kosong. Tak ada seorang pun di sana.
Siapa yang membiarkan lampu menyala"
Beberapa mangkuk berserakan di samping bak cuci piring.
Mungkin ada yang mengadakan pesta es krim, pikir Josie.
Ia melangkah masuk. Namun mendadak berhenti.
Ada sesuatu yang lengket di bawah sepatu ketsnya.
Apakah ia menginjak permen karet"
Ia membungkuk, memeriksa sepatunya.
Di lantai tampak bercak merah tua.
Jus cranberry" Ada yang menumpahkan jus cranberry" Dan
tidak menyekanya" Tidak mungkin. Terlalu banyak jus yang tumpah.
Itu ada lagi. Juga di sebelah sana, malah bercaknya lebih lebar.
Mata Josie mengikuti jejak merah tua di lantai linoleum,
menuju pintu yang tembus ke halaman belakang.
Kenapa pintu belakang terbuka"
Sekonyong-konyong gelombang rasa takut menerpanya ketika
ia melihat sesosok tubuh kaku yang tergeletak di ambang pintu. Josie
langsung tahu apa sesungguhnya bercak merah itu.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan mulai menjerit
sekuat tenaga. 10 ADA YANG GEMBIRA JOSIE menjerit. Matanya terpaku pada sosok bersimbah darah
yang tergeletak di lantai, di samping pintu belakang yang terbuka.
Ia memejamkan mata, namun pemandangan mengerikan itu tak
mau enyah dari benaknya. "Muggy!" jeritnya. "Oh, Muggy!"
Setelah membuka mata, dengan ragu-ragu dihampirinya tubuh
bergeming itu. "Muggy. Muggy," ia meratap pilu.
Anjing terrier kecil itu tertelentang, kepalanya terpuntir ke
samping, matanya membelalak kosong.
Angin keras menghantam pintu kaca, mengagetkan Josie. Ia
berpegangan pada tepi meja dapur sementara sekujur tubuhnya
gemetar ketakutan. Josie merasa mual. Ia hendak berpaling, tapi sesuatu menarik
perhatiannya. Benda apa yang ada di perut Muggy"
Sambil menutupi mulut dengan kedua tangan, ia
memperhatikan benda itu. Baru beberapa saat kemudian ia
mengenalinya. Sebuah pembuka surat. Pembuka surat dari perak.
Pembuka surat yang ada di meja ruang baca.
"Siapa yang melakukannya?" ia menjerit keras, air mata
mengalir deras membasahi pipinya.
Seketika kengeriannya berubah menjadi amarah. "Siapa yang
melakukannya?" Bagaimana ini bisa terjadi" Apakah ada yang menerobos pintu
belakang" Lalu Muggy memergokinya"
Josie mencoba mereka-reka. Seseorang menerobos pintu
belakang, masuk ke dapur, dan membunuh anjing kecil malang itu
dengan pembuka surat yang ada di ruang baca.
Tapi siapa yang tega berbuat begitu" Dan mengapa"
"Muggy," Josie meratap, memejamkan matanya lagi, begitu erat
hingga terasa sakit. "Oh, Muggy."
Tiba-tiba Josie sadar ia tidak sendiri di dapur itu.
Dengan kedua tangan masih menekan pipi, ia membuka mata
dan ketika berpaling, dilihatnya Rachel sudah berdiri tepat di
belakangnya. Rachel mengenakan gaun tidur panjang dari bahan flanel biru.
Rambutnya diikat ke belakang dan jatuh tergerai ke depan sebelah
bahunya. Ia tampak sangat pucat di bawah siraman sinar lampu neon
dapur. Mata hijau Rachel bersinar-sinar ketika menatap mayat Muggy,
dan Josie ngeri melihat senyum jahat di wajah saudara kembarnya.
"Rachel!" teriak Josie.
"Anjing kecil," kata Rachel gembira, senyumnya melebar.


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jarinya menunjuk pemandangan mengerikan di depannya. "Ada anjing
kecil." Kenapa ia begitu gembira" Josie bertanya pada dirinya sendiri,
tiba-tiba dicekam ketakutan. Mengapa ia menganggap hal ini lucu"
"Anjing kecil," Rachel mengulangi, suaranya mendayu-dayu.
"Rachel, kau tidak boleh turun ke sini," Josie memarahi,
tangannya masih berpegangan di meja.
"Tapi aku mau lihat anjing kecil," Rachel tersenyum, mata
hijaunya berseri-seri. Tanpa suara, Erica muncul di belakang Rachel. "Jam berapa kau
pulang?" tanyanya pada Josie. Dan kemudian matanya menangkap
sosok mayat Muggy. "Ya Tuhan," Erica menjerit lemah. Mulutnya
ternganga ngeri. "Ada anjing kecil," Rachel menunjuk-nunjuk.
Kata-kata Rachel menyadarkan Erica yang sedang terpaku.
"Oh, tidak," gumamnya. "Oh tidak, tidak, tidak, tidak." Lalu
ekspresi wajahnya berubah. Ia menyentuh bahu Rachel, wajahnya
tampak cemas. "Yuk, Rachel. Ikut aku."
"Tapi aku mau lihat anjing kecil," protes Rachel.
"Jangan marah, Sayang. Tenang. Ayo ke atas." Erica menyeret
Rachel yang masih tersenyum keluar dapur.
Josie kini sendirian lagi. Kembali ia memejamkan mata. Kenapa
Rachel begitu gembira" tanyanya pada diri sendiri, tiba-tiba merasa
lelah dan lemas. Kenapa Rachel begitu gembira"
Dan siapa yang telah masuk ke rumah ini serta membunuh
anjingku" 11 "ADA YANG MEMBENCIMU"
MELISSA menyibak tirai jendela kamar tidurnya dan
memandang kegelapan malam di luar. Langit tampak rendah dan
berwarna ungu, dihiasi kilau putih pucat bintang-bintang. Pepohonan
di halaman depan seolah gemetar kedinginan.
Di seberang jalan, rumah keluarga McClain tampak gelap,
hanya lampu kuning beranda yang menyala. Sebelumnya Melissa
sempat melihat mobil Steve berhenti di depan rumah itu. Ia juga
melihat Josie keluar dari mobil dan berjalan pelan memasuki
rumahnya. Melissa tahu Josie menghabiskan sebagian besar waktunya
bersama Steve. Semakin lama ia semakin jarang tinggal di rumah.
Pasti sangat sulit menghadapi peristiwa tragis itu, pikir Melissa,
heran sendiri karena masih bersimpati pada Josie.
Sore tadi Melissa mengunjungi Erica dan Rachel. Erica senang
bertemu dengannya. Rachel tampak asyik sendiri, bahkan ia tak
menyadari kehadiran Melissa.
Dalam kunjungan sesingkat itu pun Melissa dapat merasakan
kemarahan dan kekesalan Erica. Gadis itu harus terus-menerus
menemani Rachel karena Josie jarang di rumah.
Keluarga McClain hanya mampu mempekerjakan seorang
perawat paro waktu untuk merawat Rachel. Perawat itu datang setiap
akhir pekan. Cuma itu yang bisa mereka usahakan. Dengan sedih
Erica menjelaskan bisnis toko besi ayahnya sedang suram. Ibunya
memang sering bekerja lembur, tapi penghasilannya hanya cukup
untuk membiayai pengeluaran rutin rumah tangga.
Setelah kembali ke rumahnya, Melissa menelepon Dave, namun
ibunya bilang pemuda itu sedang pergi, entah ke mana.
Lalu Melissa belajar sebentar. Tapi sebagian besar sisa waktu
malam itu dihabiskannya dengan bolak-balik menatap ke luar jendela
kamar tidur. Ia menutup tirai, melirik jam radio"hampir pukul 23.30"dan
memutuskan menelepon Dave. Siapa tahu cowok itu sudah pulang.
Dave menjawab pada deringan kedua.
"Kau dari mana saja?" desak Melissa, tanpa sadar suaranya
melengking nyaring. "Hah" Tidak dari mana-mana," jawab Dave, terkejut mendengar
nada marah Melissa. "Tadi aku telepon ke sana. Ibumu bilang kau sedang pergi,"
suara Melissa melunak. Ia berdiri di depan cermin meja rias, menariknarik helai rambutnya yang hitam mengilap dan terkulai di dahi. "Aku
baru saja mengunjungi Rachel. Lalu aku pulang dan meneleponmu.
Aku mencemaskanmu." "Yah, aku sedang kacau" kata Dave murung. "Aku keluyuran
sepanjang malam. Dengan mobilku. Aku bahkan tak ingat lagi tempattempat yang kudatangi. Rasanya aku sudah gila."
"Ah, kau kan memang selalu gila," Melissa menggoda,
mencoba menghiburnya. "Ha-ha," ujar Dave pahit. "Aku dikeluarkan dari tim gulat
sekolah hari ini." Kata-kata Dave begitu pelan hingga Melissa hampir
tak bisa mendengarnya. "Hah?" "Aku dikeluarkan dari tim. Gara-gara Josie."
"Ya ampun!" seru Melissa. "Waktu kau bilang kemarin,
kusangka kau cuma bercanda."
"Hilang sudah beasiswa atletku. Kesempatanku kuliah. Seluruh
hidupku." "Jangan berlebihan," kritik Melissa.
"Semua gara-gara Josie," lanjut Dave getir, tak menghiraukan
ucapan Melissa. "Kau tidak boleh menyalahkan Josie," kata Melissa lembut.
"Kenapa tidak?" Dave menuntut penjelasan. "Kenapa aku tidak
boleh menyalahkan dia?"
"Karena bukan dia yang menyontek waktu ujian matematika."
kata Melissa. Dave mengutuk pelan. "Josie menghancurkan hidupku. Aku
benci padanya. Sangat benci."
"Jangan bicara begitu," ujar Melissa, berpaling dari cermin dan
memejamkan mata. "Aku takut kalau kau bicara seperti itu."
"Aku lagi tak ingin bicara," kata Dave kasar. "Bye." Ia menutup
telepon tanpa memberi Melissa kesempatan menjawab.
"Hei!" Dengan kesal Melissa menatap pesawat telepon. Ia ingin
meneleponnya lagi. Dave tak berhak begitu saja memutuskan
pembicaraan dengannya. Tapi ia malah meletakkan gagang telepon.
Kalau Dave sudah bertingkah konyol begini, lebih baik
didiamkan saja. Nanti juga reda sendiri.
Sambil menghela napas, ia mulai berganti pakaian.
Eh, cahaya merah apa itu yang berkelap-kelip di luar" Piring
terbang" Itulah hal pertama yang muncul di benaknya.
Ia bergegas menghampiri jendela dan langsung melihat cahaya
merah itu berasal dari atap mobil polisi yang diparkir di jalan masuk
rumah keluarga McClain. Pintu depan rumah keluarga itu terbuka. Petugas polisinya pasti
sudah masuk ke dalam. Ada apa" Melissa bertanya-tanya. Kuharap semua baik-baik
saja. Beberapa saat kemudian Melissa, dengan dahi menempel di
kaca jendela yang dingin, melihat dua orang polisi berjalan keluar.
Wajah mereka, di bawah sorotan sinar lampu di beranda rumah,
tampak suram. Salah seorang menggelengkan kepala.
Mereka bicara sejenak dengan Mrs. McClain yang tetap berdiri
di dalam rumah, memegangi pintu depan. Lalu kedua petugas itu
pelan berjalan ke mobil patroli mereka, mematikan lampu sirene dan
melaju pergi. Lampu di beranda rumah keluarga McClain mati, membuat
seantero rumah tua itu diliputi kegelapan.
Melissa menguap. Ia penasaran ingin tahu apa yang terjadi, tapi
sudah terlalu larut untuk menelepon. Ia harus menunggu sampai besok
pagi. Lagi pula, tampaknya tak ada yang aneh.
Ia kembali menguap. Ia menutup tirai lalu menyeberangi kamar,
bersiap tidur. ***************************
"Salah satu polisi itu kelihatan mual," kata Josie pelan. "Itu,
yang rambut merah. Kusangka dia akan muntah ketika melihat mayat
Muggy." "Keduanya memang tampak muram," Erica menimpali.
Dua saudara itu berbaring di tempat tidur Erica, masing-masing
mengenakan piama. Erica meletakkan kepalanya di atas bantal, sedang
Josie telentang di tepi tempat tidur.
Mrs. McClain ada di kamar Rachel. Seluruh rumah hening.
Josie menyusuri seprai yang terbuat dari perca dengan
tangannya. Ia memejamkan mata, membayangkan kembali
pemandangan menyeramkan di lantai dapur. Ibunya berusaha
membersihkan tempat itu setelah polisi pergi, namun darah telah
meresap ke lantai linoleum, meninggalkan noda gelap yang akan
selalu mengingatkan mereka pada peristiwa pembunuhan itu. Polisi
berjanji akan mengadakan penyelidikan dan meminta Mrs. McClain
supaya selalu mengunci pintu.
Josie bergidik. "Kasihan Muggy."
"Aku masih tak percaya," ucap Erica. Ia duduk tegak,
melepaskan kait anting-anting panjangnya, dan meletakkannya di
meja samping tempat tidur.
"Pasti ada yang menyusup lewat pintu belakang," Josie
mengira-ngira. "Tapi untuk apa" Merampok kita?"
"Tak ada barang yang hilang," kata Erica, sambil bergeser.
"Jadi, siapa pun penyusup itu, ia datang khusus untuk
membunuh Muggy. Mereka tahu Muggy adalah anjingku, dan..."
"Itu cuma dugaan," sela Erica. "Kita tak tahu siapa"atau
mengapa." "Apa kau tadi tidak dengar apa-apa?" tanya Josie, hampir
seperti menuduh. Ia duduk tegak. "Kau tidak dengar apa pun" Di
halaman belakang, atau di dapur" Kau tidak dengar Muggy
menyalak?" Sambil berpikir keras Erica menggelengkan kepala, mencoba
mengingat-ingat. "Tidak ada suara apa pun," akhirnya ia menjawab.
"Melissa datang sekitar setengah jam..."
Wajah Josie berubah masam.
"Setelah itu aku mengantar Rachel ke kamarnya," Erica
melanjutkan. "Aku membujuk Rachel untuk menonton televisi, supaya
aku bisa belajar, tapi dia tampak gugup dan gelisah. Jadi aku
membaca sebentar untuknya, dan kemudian..."
"Aku tak butuh seluruh perincian kegiatan malammu yang
mendebarkan," bentak Josie tak sabar.
"Ya, pokoknya aku tak dengar suara apa pun. Mom pergi
berbelanja. Dia pulang pukul setengah sembilan lewat. Aku ingat
mendengarnya bicara pada Muggy ketika menaruh belanjaan di dapur.
Terus dia juga menyuruh Muggy berhenti menggonggong waktu dia
bicara dengan Daddy di telepon. Kurasa saat itu sekitar pukul
setengah sepuluh." "Aku tahu siapa pelakunya." Josie tampak tenggelam dalam
pikirannya sendiri, hampir tidak mendengarkan kata-kata Erica.
Matanya berkaca-kaca. Ia berkedip beberapa kali, lalu mengusap
matanya dengan lengan piama. "Jenkman."
"Hah?" Erica menegakkan duduknya.
"Jenkman," Josie mengulangi, matanya basah. "Si brengsek itu.
Dia ingin membalas dendam. Taruhan pasti dia yang membunuh
Muggy untuk menakut-nakutiku, sekaligus membuktikan bahwa dia
serius dengan ancaman yang dikirimnya padaku."
"Itu bukan perbuatan Jenkman," bantah Erica. Suaranya lembut
namun tegas. Josie berpaling dan memandang Erica dengan tajam, mengamati
wajahnya. "Bukan dia" Dari mana kau tahu?"
N "Pokoknya aku tahu," Erica membela pemuda itu. "Aku yakin
bukan Jenkman yang mengirim kartu-kartu Valentine berisi ancaman
itu." "Kau tahu dari mana?" tanya Josie curiga.
"Dia bilang sendiri padaku," jelas Erica. "Dua kartu Valentine
lucu yang kauterima, yang bertanda tangan 'Pengagum Rahasia', itulah
kartu yang dia kirimkan."
"Kau bicara dengan Jenkman?" Josie membeliak kaget.
"Kapan" Dan apa saja yang kalian bicarakan?"
"Kemarin. Dia menelepon untuk bicara denganmu," papar
Erica. Dan kemudian menambahkan dengan sinis, "Tapi, tentu saja
kau tak ada. Tentu saja kau tidak di rumah."
"Lalu?" Josie bertanya tak sabar.
Erica mendesah. "Aku cerita soal kartu-kartu ancaman itu.
Jenkman bersumpah bukan dia pengirimnya. Yang dia kirim cuma dua
kartu yang lucu itu."
Josie berdiri dan melipat kedua lengannya di dada. Ia melotot
pada Erica. "Dan kau percaya begitu saja?"
"Ya," suara Erica melengking nyaring. "Dia bukan pembohong,
Josie." Josie tertawa getir. "Sejak kapan kau kenal Jenkman?"
desaknya. "Kau tahu, Erica, jangan-jangan kau naksir si konyol itu.
Coba lihat, wajahmu jadi merah."
Erica membuang muka. "Kalau benar, memang kenapa?"
jawabnya marah. Ia menelan dengan susah payah. "Lagi pula percuma
saja. Dia tak pernah peduli padaku. Aku berdiri di depannya pun,
Jenkman takkan tahu. Baginya aku cuma seorang penerima pesan
telepon." ebukulawas.blogspot.com
"Dia itu cowok brengsek," tegas Josie, berjalan menuju jendela
dan mengintip ke luar. Di seberang jalan, kamar Melissa tampak
masih terang benderang. "Brengsek dan berbahaya. Pokoknya aku
benci padanya." Ia merinding dan menjauhi jendela.
"Tapi dia tidak membencimu. Buktinya dia masih mengirimimu
kartu Valentine, masih sering menelepon, juga masih mencoba
menarik perhatianmu," kata Erica.
"Yeah. Menarik perhatianku. Dengan membunuh anjingku,"
suara Josie seolah tercekik. Matanya kembali basah. Kali ini
dibiarkannya air mata jatuh ke pipinya.
"Josie, dengar dulu..." Erica mulai bicara.
"Sebaiknya aku menelepon polisi lagi," Josie menyela. "Akan
kuminta mereka menanyai Jenkman."
"Itu bukan perbuatan Jenkman," Erica mendesak halus.
"Menurutku Luke-lah yang melakukannya."
Tuduhan Erica mencengangkan Josie. Sesaat ia berdiri kaku,
lalu menggeleng. "Tidak, tidak mungkin. Luke memang pemarah.
Tapi pada dasarnya dia penakut."
"Luke sangat marah padamu," ujar Erica.
"Ah, itu sih aku sudah tahu," Josie mencemooh sambil memutar
bola matanya. "Tapi dia pengecut, Erica. Mana sanggup dia
membunuh Muggy." Erica hendak menjawab, tapi Mom mendadak muncul di
ambang pintu, wajahnya tampak khawatir. "Josie, maukah kau
menyikat rambut Rachel sebentar?"
Josie melirik jam di dinding. "Tapi Mom, ini sudah lewat
tengah malam," protesnya.
"Aku tahu," Mrs. McClain mendesah lelah. "Tapi Rachel sangat
gelisah. Mom yakin karena Muggy. Dia sangat tegang, tak bisa
tenang. Dia tak mau tidur. Maukah kau menolongku" Bujuklah dia
dan sikatlah rambutnya sebentar."
"Baik, Mom," jawab Josie sambil menggeleng sedih. Ia


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melewati ibunya dan pergi ke kamar Rachel.
Rachel, dalam gaun tidur, tengah duduk di kursi berbantalan
besar dan tebal di seberang tempat tidurnya. Kedua tangannya terlipat
di pangkuan. Josie berhenti di ambang pintu, menatap saudara
kembarnya. Ia begitu cantik, begitu lugu, pikir Josie. Cahaya lampu di
belakang kursi menyinari Rachel, menciptakan kilau tembaga di
rambutnya. Seperti lingkaran suci, pikir Josie. Rachel mirip bidadari
cantik berwajah pucat. "Hai, Rachel. Mau kusikat rambutmu?" tanya Josie lembut. Ia
melangkah masuk, dan meraih sikat rambut dari meja rias.
Rachel diam saja. Wajahnya tampak serius, dan matanya seolah
menerawang ke kejauhan. "Sudah larut malam," kata Josie. Ia berjalan ke belakang
Rachel, dengan lembut menguraikan rambut panjangnya melewati
sandaran kursi, dan mulai menyikatnya.
Melalui cermin di dinding seberang, tampak seulas senyum
menghiasi wajah Rachel. "Kau senang kalau rambutmu disikat, kan?"
ujar Josie sambil menguap.
Senyum Rachel melebar. "Ada yang membencimu, Josie,"
bisiknya. "Hah?" 'Josie tidak yakin dengan apa yang didengarnya. "Apa
katamu, Rachel?" "Ada yang membencimu," Rachel mengulangi, kali ini lebih
keras. Ia cekikikan. "Ada orang yang sangat membencimu."
Josie menurunkan sikat rambut. Ia mengitari kursi dan
memandang seringai riang di wajah Rachel. "Rachel, adakah sesuatu
yang kausembunyikan?" tanya Josie. "Kau tahu sesuatu?"
Rachel menatap lurus ke depan, senyumnya tampak aneh. Ia
cekikikan lagi. "Ada yang membencimu," ia menggoda, mengalihkan
mata hijaunya pada Josie.
Josie membalas tatapan saudara kembarnya, dan rasa takut yang
dingin serasa menikam tubuhnya.
12 MUNGKIN MEMANG JENKMAN JUMAT sore seusai sekolah, Josie membanting pintu lockernya hingga tertutup. Ia menyibak rambut yang menutupi matanya, lalu
mengeluarkan dompet dari kantong belakang ransel dan mulai
menghitung uangnya. "Kau mau ke mana?"
Erica telah berdiri di sampingnya, siap keluar mengarungi salju,
selendang wolnya dililitkan beberapa kali di sekeliling kerah mantel.
"Aku mau ke toko kartu yang baru buka itu," Josie
memberitahu adiknya. Ia memasukkan dompet ke dalam ransel lalu
mengangkat tas berat itu ke bahunya. "Kau tahu, kan, yang namnya
toko Greetings, di sebelah The Corner. Aku harus beli kartu Valentine
untuk Steve. Besok sudah Hari Valentine, pasti kartu-kartu yang
bagus sudah habis." "Boleh aku ikut?" tanya Erica agak lesu.
"Yeah. Tentu," sahut Josie, menarik ritsleting jaketnya.
"Mom ada di rumah menjaga Rachel," kata Erica, "jadi kita
punya banyak waktu."
"Kau punya uang?" tanya Josie, lebih dulu berjalan ke pintu
depan. "Uangku tinggal tiga dolar."
"Rasanya aku masih punya lima dolar. Kau boleh pinjam. Tapi
kau harus janji akan mengembalikannya," jawab Erica.
"Aku janji." Mereka keluar bangunan sekolah, memasuki langit sore yang
kelabu. Salju telah mengeras dan membeku. Petak-petak tanah hitam
tampak di balik lapisan salju. Angin dingin berembus keras dan
berputar-putar di sekitar mereka, bertiup ke satu arah lalu berganti ke
arah lain. Erica menutupi wajah dengan selendang wol, Josie menarik topi
ski biru-putihnya hingga hampir menutupi mata; berjalan cepat dalam
tiupan angin ke arah Park Drive.
"Ujian matematikaku sudah dikembalikan," Josie memberitahu
Erica. "Aku dapat 92."
"Wah hebat," puji Erica dari balik selendang. "PR-ku banyak
sekali, aku harus begadang nanti malam."
"Kasihan," ejek Josie, pura-pura simpati. Sekonyong-konyong
ia menjerit ketakutan ketika terdengar ledakan keras di belakangnya.
Aku tertembak! pikirnya. Napasnya tertahan di kerongkongan. Jantungnya seakan
berhenti. "Josie, kau tidak apa-apa?" tanya Erica, terperanjat melihat
reaksi kakaknya. "Itu cuma bunyi ledakan knalpot." Ia berpaling dan
menunjuk ke station wagon tua yang lewat dengan suara bergemuruh.
Perlahan Josie mengembuskan napas lega. Ia memaksa diri
tertawa. "Oh. Sori. Aku agak gugup sejak..." Suaranya melemah.
"Wajahmu pucat sekali," seru Erica, menggelengkan kepala.
"Kau pikir itu tembakan pistol,ya?"
Josie mengangguk. "Aku jadi sangat gugup dan sedih sejak
Muggy terbunuh tadi malam. Bunyi pelan saja bisa membuatku
melompat. Yang ada di benakku cuma kartu-kartu ancaman itu dan
Muggy." Erica menjawab, namun kata-katanya tenggelam oleh raungan
sebuah van besar yang ngebut di samping mereka. Setelah mobil itu
lewat, keduanya menyeberang dan memasuki toko.
Josie berhenti sejenak di pintu. Toko itu sempit namun
memanjang ke belakang. Dua buah gang terbentuk di antara rak-rak
baja yang dipenuhi kartu, hingga hampir mencapai langit-langit.
Seorang wanita muda, dengan rambut pirang di potong pendek, duduk
di balik cash register di bagian depan toko, tampangnya yang kurang
menarik tampak jemu. Beberapa pengunjung tampak asyik memilahmilah kartu, terutama di bagian Valentine"menarik kartu satu per
satu, membaca tulisan di bagian dalam, lalu mengembalikan kartu ke
tempatnya. Josie menuju ke rak bagian depan. Ia membuka sarung tangan
wol merahnya, memasukkannya ke saku jaket, dan mulai memilih
kartu. "Di belakang masih ada," wanita di balik cash register berseru
padanya. "Yang didepan tinggal sedikit."
"Terima kasih," tukas Josie, merasa terganggu. Ia sedang
membaca sebuah ucapan Valentine yang sangat kasar, menghina.
Sambil mendengus sebal, ia cepat mengembalikan kartu itu ke rak.
Kenapa sih orang ingin saling menghina pada Hari Valentine"
ia bertanya-tanya. Ini kan Hari Kasih Sayang!
Kenapa orang ingin saling membunuh pada Hari Valentine"
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benaknya.
Sementara itu Erica menerobos gang sempit yang dipenuhi
pengunjung menuju ke bagian belakang toko. Sebuah kartu Valentine
besar, hampir sebesar poster dinding, menarik perhatiannya. Ia
berhenti untuk membaca sajak konyol di dalamnya.
Ketika menengadah, ia terkejut melihat Jenkman ada di ujung
gang. Semula Jenkman tidak melihat Erica. Ia asyik memilih dan
mengamati kartu-kartu. Erica memperhatikannya, menunggu Jenkman
mengenalinya. Cowok itu mengenakan jaket kulit cokelat dan celana
jeans hitam. "Hei, Jenkman!" akhirnya Erica memanggil.
Cowok itu berpaling dan wajahnya tiba-tiba merona merah. Ia
mengembalikan kartu yang sedang dipegangnya ke rak. "Oh, uh, hai,"
sapanya, tersipu-sipu. Lalu ia melangkah cepat menghampiri Erica, matanya
memandang ke belakang bahu gadis itu.
Ia tak mau aku melihat kartu yang sedang dipilihnya, pikir
Erica. Ia sangat malu, seolah aku memergokinya sedang melakukan
kejahatan. "Hai, Erica," kata Jenkman, matanya masih jelalatan. "Aku
hendak beli kartu untuk ibuku."
"Kau baik sekali," Erica melempar seulas senyum hangat. "Aku
sedang..." "Kau bersama Josie?" sela Jenkman. "Oh, yeah. Itu dia."
Dengan dua tangan ia mendorong Erica ke samping, bergegas
melewatinya di gang sempit itu. "Hei, Josie! Josie!" teriaknya.
Ia bahkan tak memandangku, pikir Erica sedih. Ia mengikuti
Jenkman, penasaran ingin melihat reaksi Josie.
Josie pura-pura tak mendengar panggilan Jenkman. Tapi ketika
cowok itu tinggal berjarak beberapa meter darinya, ia berbalik dan
matanya menyorot dingin. "Josie..." Jenkman mulai bicara.
"Apa ibumu melepaskanmu dari kurungan," tukas Josie,
mengernyitkan hidung. "Josie, dengar dulu," Jenkman memohon, dan meraih lengan
Josie. Josie menyentakkan tangannya.
"Aku cuma ingin bicara denganmu," kata Jenkman,
terperangah. "Sedang membeli kartu-kartu jelek lagi untukku, Jenkman?"
tanya Josie. "Untuk kautulisi ancaman-ancaman konyol lagi?"
"Hah?" Wajah Jenkman tampak bingung. Kemudian ia
sepertinya ingat. "Oh ya, Erica pernah cerita tentang kartu-kartu
ancaman itu, Josie. Kau tidak berpikir aku pengirimnya, kan?"
"Pikir saja sendiri," kata Josie dingin. "Dan apa kau mematamataiku kemarin malam" Di gelanggang es?"
"Apa maksudmu?" Jenkman mulai panas. "Untuk apa aku
memata-mataimu?" "Aku tak percaya padamu!" kata Josie. "Apa kau tidak punya
pekerjaan lain?" "Aku tak mengerti," sahut Jenkman.
"Betul. Kau memang takkan mengerti!" bentak Josie. "Bye,
Jenkman." Sebelum Jenkman sempat menanggapi lagi, Josie bergegas
meninggalkan toko. Dengan malu, Erica membelok ke gang lain menuju pintu
keluar. Di ambang pintu, ia menoleh.
Dilihatnya Jenkman telah kembali ke rak di bagian belakang.
Wajahnya merah padam, air mukanya sangat marah. Dengan gusar ia
merengguti kartu dari rak tanpa membacanya, bahkan tanpa
melihatnya lagi. Dalam keadaan marah seperti itu, ia tampaknya sanggup
membunuh, pikir Erica. Mungkin JenkmanAah yang mengirim kartu-kartu ancaman itu.
Mungkin memang Jenkman. 13 HAPPY VALENTINE STEVE membungkuk dan mencium pipi Josie. "Happy... ah
kau kan sudah tahu apa yang hendak kukatakan," katanya sambil
nyengir lebar. "Cuma itu yang kudapat" Satu ciuman" Tak ada kartu" Tak ada
cokelat?" Josie menggoda, mendorong Steve pelan.
"Memangnya apa yang kauharapkan?" sergah Steve.
Josie tertawa. "Masuklah. Dingin sekali di luar. Brrr." Josie
menggigil. Steve mengikutinya masuk ke rumah.
"Aku bosan pada musim dingin," keluh Josie, sibuk
menggosok-gosok tangannya. "Jadi, sebaiknya kau bawa hadiah
Valentine untukku, Mister."
"Sedang kupikirkan," gurau Steve.
Mereka masuk ke ruang tamu. Luke, berbalut mantel kelabu
yang tampak ketinggalan zaman, muncul dari ruang dalam. "Oh, hai,
Steve." "Hai, Luke. Apa kabar?" Steve melepaskan jaket dan
melemparkannya ke sofa. Luke angkat bahu. "Tidak begitu baik. Aku" eh"
membawakan Rachel cokelat Valentine besar berbentuk hati. Tapi
hadiahku cuma dipandangi saja."
"Oh," ujar Steve canggung.
Luke menaikkan kacamata di hidungnya. "Rachel tampak
gelisah malam ini," katanya, berpaling pada Josie. "Ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya. Tentu saja, dia tidak bilang apa-apa." Ia
menarik napas dalam-dalam. "Well, aku harus pergi."
"Yeah. Sampai jumpa," seru Steve.
Josie dan Steve mengamati Luke yang berjalan ke pintu depan.
Ketika pintu itu menutup di belakangnya, Steve menoleh pada Josie.
Ia menggaruk rahangnya. "Aku bingung melihat Luke."
Melalui jendela ruang tamu, Josie melihat Luke naik ke
mobilnya yang diparkir di jalan masuk. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Yah, aku tak tahu apakah dia cowok hebat karena setia pada
Rachel. Atau mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya."
Josie mendesah tidak sabar. "Ayolah. Ini Hari Valentine. Jangan
bicara tentang Rachel, oke?"
"Oke. Hei, bagaimana kalau kita pergi main skate?"
"Entahlah," sahut Josie enggan.
"Kau bilang kau ingin pergi ke sana," protes Steve kecewa.
"Kemarin kita senang di sana."
"Yeah. Sampai aku tiba di rumah dan menemukan anjingku
terbunuh," gumam Josie. Ia menatap Steve. "Aku takut."
"Maksudmu..." "Maksudku, ini kan Hari Valentine, saat aku diramalkan mati.
Coba lihat ini." Josie melangkah cepat ke ruang baca. Ia muncul lagi
dengan sebuah kartu Valentine di tangan.
Ia menjejalkan kartu itu ke tangan Steve. "Ini. Baca ini"yang
terakhir kuterima." Matanya membeliak, menampakkan ketakutannya.
Steve terkesiap melihatnya. Sambil berkernyit ia membuka
kartu itu, dan membacanya keras-keras:
"Harum mawar merebak
Harum melati merasuk Pada Hari Valentine Kau 'kan mulai membusuk."
Steve lama memandangi pesan dalam tulisan tangan itu. "Kau
kenal tulisan ini?" Josie menggelengkan kepala. Direnggutnya kartu itu dan
dilipatnya. "Mungkin sebaiknya kita tidak ke mana-mana," kata Josie
pelan. "Ini cuma lelucon konyol," tukas Steve kesal. "Jangan sampai
suasana malam ini jadi rusak." Steve meraih tangan Josie. Ia kaget
karena tangan itu begitu dingin. "Ayolah, Josie. Aku sudah janji pada
Dave Metcalf dan Cory Brooks, serta beberapa kawan lain, untuk
bertemu di gelanggang es."
Josie menarik tangannya. "Aku serius tak mau ke luar malam
ini," ia berkeras. "Kau boleh saja menganggap ancaman itu cuma
lelucon, tapi bagaimana kalau kau salah" Bagaimana kalau benar ada
orang gila yang..." Suaranya menghilang. Ia melemparkan kartu itu ke
sofa. "Lebih baik kita sewa video saja, dan nonton di sini."
"Tapi kemarin kau suka sekali main skate," protes Steve.
Ia hendak berkata lagi, tapi interkom di dinding berbunyi.
Terdengar suara gemeresik, disusul desah napas seseorang.
Lalu bisikan Rachel yang lembut mengejek, "Ada yang
membencimu, Josie. Seseorang sangat benci padamu."
Josie berteriak marah. Ia merenggut lengan sweter Steve. "Ayo
kita pergi!" serunya dan segera menarik Steve ke pintu depan.
"Ada yang membencimu, Josie," Rachel mengulangi, suaranya


Fear Street - Sakit Hati Broken Hearts di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti berdendang. "Ada yang membencimu."
Steve meraih jaketnya. "Kita pergi main skate?"
"Aku tak peduli ke mana," tukas Josie sambil menyambar jaket
dari lemari. "Pokoknya aku harus pergi dari sinil Sudah beberapa hari
ini Rachel membuatku takut!"
Sambil mengenakan jaket, ia membuka pintu depan. Ketika
berpaling, dilihatnya Steve masih memandangi kartu Valentine yang
terlipat di atas sofa. "Josie, seseorang membencimu setengah mati!" Suara Rachel
kembali berkumandang. "Steve, kita harus pergi!" jerit Josie. "Aku sudah tidak tahan
Pendekar Kidal 11 Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 10

Cari Blog Ini