Ceritasilat Novel Online

Salah Sambung Ii 3

Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii Bagian 3


Deena, bertahan di tempatnya. "Bagaimana kalau Farberson?"
"Farberson tidak mungkin datang kemari secepat itu, tidak
dalam badai ini," Jade bersikeras. "Sekarang, ayo kita masuk sebelum
mati beku." Sambil menahan napas, Deena mengikuti Jade masuk ke dapur.
Lampu sorotnya menerangi lantai linoleum yang kotor. "Jade?"
panggil Deena. "Shhh!" desis Jade. "Diam. Coba dengar barangkali ada suara."
Keduanya berdiri membeku di ambang pintu, mendengarkan.
Tapi tidak terdengar apa-apa, kecuali embusan angin dan dentam
butiran es menghantam dinding dan jendela.
"Aku tak mendengar apa-apa," bisik Deena. "Kurasa rumah ini
kosong." "Ayo kita lihat," ajak Jade.
Dengan hati-hati Deena melangkah masuk semakin dalam ke
dapur. Ia mengarahkan senternya ke sekeliling ruangan. "Wow,"
gumamnya. "Tempat ini benar-benar bobrok."
Setahun lalu rumah ini kacau. Tapi sekarang jauh lebih parah.
Kaleng-kaleng, botol-botol, piring-piring kotor, pot-pot, dan pancipanci berserakan di mana-mana. Juga kotak-kotak kosong bekas
sereal, tepung, dan beras yang telah diremukkan. Deena menggigil
saat cahaya senter menyapu jejak-jejak hewan kecil di lantai.
"Kurasa Farberson bukan pengurus rumah yang baik," Jade
bergurau. "Berani taruhan Linda yang melakukannya," jawab Deena.
"Ketika mencari uang itu."
"Kerjanya benar-benar menyeluruh," kata Jade. "Dia
menggeledah semuanya."
Deena mengarahkan senter ke depannya saat mereka melangkah
ke ruang duduk. Ruangan ini bahkan lebih teraduk-aduk daripada
dapur. Perabotannya telah dijungkirbalikkan. Buku-buku dan bantalbantal berserakan di lantai. Sofanya telah dirobek dan isinya
berserakan di mana-mana. Deena melihat noda kecokelatan samar di karpet dekat lorong.
Ia mengalihkan cahaya senternya. Ia teringat di sanalah mereka
menemukan mayat Mrs. Farberson yang tercincang.
"Masih ada ruangan di lantai bawah, kan?" tanya Jade.
Deena berusaha mengingat tata letak rumah ini. "Ada ruang
makan dan kurasa ada lemari pakaian dekat tangga," jawabnya.
Dengan hati-hati ia membuka pintu kayu gelap di sebelah
tangga, tampak pemanas air dan beberapa koper, semuanya telah
terbuka dengan paksa. "Apa Linda juga merobek-robek segalanya di lantai atas?" tanya
Jade setelah mereka selesai menggeledah ruang makan.
"Mungkin," jawab Deena. "Dia bilang sudah mengaduk-aduk
seluruh isi rumah." Deena bernapas sedikit lebih lega setelah mereka selesai
menjelajahi ruangan-ruangan di lantai bawah. Tapi sekarang, saat
mereka mulai menaiki tangga kayu yang berderak-derak, ia kembali
merasakan kepanikannya memuncak. Setiap kali kakinya menapak
anak tangga, ia teringat suara Farberson menaikinya untuk memburu
mereka setahun lalu. Mereka berhenti di tengah-tengah tangga. "Kenapa kita tak
mendengar suara Chuck berkeliaran?" tanya Jade penasaran.
"Mungkin dia sengaja tak mengeluarkan suara. Mungkin dia
mendengar kedatangan kita dan menganggap kita mau
menghentikannya," kata Deena.
"Mungkin," Jade menyetujui. "Chuck!" panggilnya tiba-tiba.
"Chuck, ini kami! Jade dan Deena!"
Tidak ada jawaban. Mereka naik ke tikungan tangga. Deena sama sekali tidak
melihat cahaya dari ruangan-ruangan di lantai atas. Udara di lantai dua
bahkan terasa lebih dingin. "Kurasa aku belum pernah merasakan
sedingin ini!" keluhnya, sambil menggigil.
"Terus bergerak," kata Jade. "Chuck!" panggilnya lagi. "Chuck,
kau di atas sana?" Sunyi. "Tak ada orang di sini," gumam Deena. "Mungkin dia sudah
menemukan uang itu dan pergi."
"Mungkin," kata Jade. "Ayo, kita periksa kamar tidur."
Kamar yang pertama dulu merupakan kantor Stanley Farberson.
Deena merasa perutnya melilit saat mengenali meja yang telah rusak,
lemari-lemari arsip yang jungkir balik, dan lemari pakaian tempat ia
dan Jade pernah bersembunyi.
"Ih. Ini membangkitkan kenangan buruk," bisik Jade.
"Kelihatannya sudah ada orang yang mengaduk-aduk semua
ini," jawab Deena, sambil mengayunkan cahaya senternya ke
sekeliling ruangan. "Sulit memastikan Linda Morrison atau Chuck
yang telah melakukannya."
"Mungkin mereka berdua," kata Jade. "Tapi sekarang tak ada
orang di sini"paling tidak bukan di ruangan ini."
Ruangan berikutnya berisi meja kartu yang telah patah,
bersandar ke satu dinding. Tidak ada perabotan lainnya. Lemari
pakaiannya gelap dan kosong. Ada yang telah mengiris kertas
dindingnya dengan benda tajam.
Mereka melangkah masuk ke kamar yang mungil. Tampaknya
seperti kamar tidur tamu, dengan ranjang tunggal dan meja berlaci
ganda yang rendah. Jade berlutut dan melihat ke kolong ranjang. Tidak ada apa-apa
di sana. "Tak ada ruangan lagi," bisik Deena.
"Satu lagi," kata Jade muram. "Aku yakin kau masih ingat."
Deena mengangguk. Ia tidak pernah bisa melupakan kamar
keempat. Farberson telah menjebak mereka di sana waktu memergoki
mereka bersembunyi di rumahnya.
Ruangan itu benar-benar telah hancur. Isi meja riasnya telah
ditumpahkan ke lantai, dan kasurnya telah dirobek-robek.
Setumpuk sampah yang tinggi telah dijejalkan ke pintu lemari
pakaian. Deena menendangnya untuk menyingkirkannya. Ia
mengayunkan cahaya senternya ke dalam lemari.
Kosong. Kecuali setumpuk pakaian wanita di lantai.
"Chuck tak ada di sini," katanya. "Malahan, kupikir dia tak
pernah kemari sama sekali."
Jade mendesah. "Waktu meninggalkan rumah sakit, dia pasti
memutuskan bahwa cuaca terlalu buruk untuk pergi kemari."
Deena menggeram marah. "Dia mungkin di rumah, aman dan
hangat"sementara kita mati beku di sini. Akan kubunuh Chuck kalau
bertemu dengannya nanti."
Jade tertawa kecil. "Tidak kalau aku yang lebih dulu
membunuhnya!" Deena merasa seperti ada beban yang disingkirkan dari
bahunya. "Aku tak sabar lagi untuk pulang," kata Jade. "Aku mau mandi
air paling panas yang bisa kuterima, dan minum sekitar segalon
cokelat." "Gagasan bagus," kata Deena. "Tunggu apa lagi?"
Ia telah setengah jalan di lorong, bergegas menuju ke tangga,
sewaktu suara Jade menghentikannya. "Deena"kembali. Lihat ini!"
"Hah?" Deena berputar, cahaya senternya bergoyang-goyang di
depannya. "Aku menemukan ini di lantai," kata Jade. "Kelihatannya
seperti"oh, tidak!"
Deena mengarahkan cahaya senter ke tangan Jade. Jade tengah
memegang cincin plastik transparan.
Deena memerlukan waktu beberapa detik untuk mengenalinya.
Ia tersentak saat menyadari sepenuhnya bahwa plastik itu
gelang identitas, seperti yang biasa diberikan rumah sakit kepada para
pasiennya. Dengan gemetar, Deena mengambil gelang itu dan
memeriksanya. Gelombang ketakutan menyapunya. Ia telah tahu apa
arti gelang itu. Tapi tetap saja tubuhnya terguncang hebat saat
membaca tulisan di gelang itu: "Charles B. Martinson."
"Dia di sini!" Jade menahan napas. "Atau paling tidak tadi dia
di sini." "Tapi di mana?" jerit Deena, mencari-cari di ruangan tapi tidak
menemukannya. Tidak ada tanda-tanda Chuck pernah kemari. Tidak ada tandatanda ada orang yang pernah kemari, kecuali...
Cahaya lampu senter Deena berhenti di lantai kosong di depan
lemari pakaian. Dalam cahaya bulat lampu senter yang bergetar, ia
melihat beberapa noda gelap.
Deena ragu-ragu. Tapi Jade bergegas mendekati lemari pakaian
dan berlutut. Ia mengulurkan satu jari, mengusapkannya ke lantai.
Dalam cahaya putih lampu senter, ujung jari Jade tampak
memerah. Ia menengadah menatap Deena, kengerian terpancar di
wajahnya. "Darah," bisik Jade.
BAB 18 ANGIN kencang mengguncang daun jendela. Lalu Deena
mendengar bunyi lain. Gemersik lembut. "Kaudengar itu?" bisiknya pada Jade.
Jade berusaha keras mendengarkan. "Dengar apa?"
"Itu lagi," kata Deena. "Kupikir datangnya dari lemari pakaian."
"Hah" Kita sudah memeriksanya," tukas Jade.
Sambil menghela napas panjang, Deena mengitari Jade dan
menarik pintu lemari pakaian hingga terbentang lebar.
Tidak ada apa-apa di sana.
Hanya setumpuk pakaian wanita. Sweter dan rok.
"Ohhh." Deena mengerang saat pakaian-pakaian itu bergerak.
"Deena"ada apa?" Jade mendekatinya dari belakang.
Keduanya menatap kaget saat rok-rok dan sweter-sweter itu
berdiri. Dua lengan terjulur ke luar dari bawah pakaian-pakaian itu.
Terdengar erangan seseorang. "Deena. Jade. Itu kalian?"
Pakaian-pakaian itu jatuh kembali. Chuck beranjak duduk di
lantai lemari. Ia menengadah, menyipitkan mata karena cahaya senter.
Keningnya memar, dan darah membasahi sisi kanan kepalanya.
"Chuck!" kata Deena dengan suara tercekik.
"Apa yang kaulakukan di dalam situ?" tuntut Jade. "Apa yang
terjadi?" "Mana?" erang Chuck, sambil menggosok luka di sisi
kepalanya. "Mana apa?" tuntut Jade.
"Uangnya! Ada yang mengambil uangnya!" Chuck memaksa
diri bangkit berdiri. Tapi seketika ia kembali duduk, memegangi
kepalanya. "Tak ada uang di sini," Deena bersikeras. "Apa yang
kaubicarakan?" "Aku menemukannya," gumam Chuck.
"Kau menemukan apa?" jerit Jade. "Kau menemukan
uangnya?" Chuck mengangguk, dengan mata masih menyipit, masih tetap
menggosok kepalanya. "Uang itu ada dalam kotak logam di bawah
papan lantai. Tadi kukeluarkan. Tapi lalu kudengar suara."
"Apa yang terjadi?" tanya Jade.
"Itu yang terakhir kuingat," erang Chuck. Ia menyandar ke
dinding lemari pakaian. "Pasti ada yang memukulku dan mengambil
uang itu." "Kita bicarakan nanti saja," desak Deena. "Kita harus pergi dari
sini." Kedua gadis itu berlutut di samping Chuck. Perban rumah sakit
di kepala Chuck setengah terbuka. Di bawahnya, Deena melihat
jahitan luka akibat perkelahian Chuck dengan Teddy. Di samping
jahitan itu ia melihat luka baru yang mengeluarkan darah membasahi
rambutnya. "Kepalamu masih berdarah," kata Jade pada Chuck lembut. Ia
meraih ujung syalnya dan menyentuhkannya ke darah di kepala Chuck
dengan lembut. "Ayo, Chuck," desak Deena. "Bangun. Akan kami bantu."
Sambil bersandar kepada kedua gadis, Chuck berhasil bangkit
berdiri. Ia menghela napas dalam. "Wow! Kepalaku pusing sekali!"
jeritnya. "Tak heran," kata Deena. "Kepalamu terluka lagi."
"Jadi apa yang sudah terjadi?" tanya Jade saat mereka tertatihtatih keluar ke lorong.
"Aku menumpang dari rumah sakit," kata Chuck. "Waktu tiba
di sini, cuaca masih terang benderang. Pintu dapur tak dikunci, jadi
aku masuk. Lalu aku mulai mencari uang itu, tapi semuanya sudah
teraduk-aduk." "Memang," gumam Jade.
"Pokoknya," lanjut Chuck saat mereka membantunya
menyusuri lorong. "Kucoba memikirkan tempat yang paling tak
masuk akal bagi Farberson untuk menyembunyikan uangnya. Tempat
yang tak terpikirkan oleh kekasihnya."
"Di mana itu?" seru Deena. "Linda bahkan sudah merobekrobek kertas dinding di beberapa ruangan."
Setengah jalan di lorong, Deena berhenti.
Bunyi apa itu" Langkah di tangga"
Tidak. Cuma bunyi rumah tua ini berderak-derak ditiup angin.
"Jadi kau mencari di mana?" tanya Jade.
"Kusadari kalau Morrison sudah mencari di mana-mana kecuali
di lantai," jawab Chuck, terdengar lebih kuat. "Jadi aku mulai mencari
dari kamar ke kamar, mencari papan lantai yang kendur, atau tak
cocok dengan yang lainnya."
"Lalu?" tanya Deena penuh semangat.
"Aku butuh waktu cukup lama," lanjut Chuck. "Akhirnya, di
lemari pakaian kamar tidur terakhir, kutemukan dua papan lantai yang
tak cocok. Kayunya tampak lebih baru.
"Di meja dalam kamar yang lain kutemukan pembuka surat.
Kugunakan untuk mengungkit papannya. Dan uang itu ada di sana." Ia
berhenti sejenak dan bersandar ke dinding. "Semuanya lembaran uang
seratus dan lima ratusan dolar. Aku tak pernah melihat uang sebanyak
itu seumur hidup! Benar-benar luar biasa!"
"Dan ada yang memukulmu lalu mengambil uangnya!" seru
Jade. Chuck mengangguk. "Kurasa begitu."
"Farberson," kata Deena mantap. "Farberson sudah tiba di sini."
"Hah" Apa sih yang kauomongkan?" tanya Chuck, matanya
berkedip-kedip memandang Deena.
Mereka menceritakan pembebasan Farberson dari penjara
kepada Chuck. "Itu sebabnya kami kemari," Deena mengakhiri.
"Kami mau memperingatkanmu."
"Sudah berapa lama dia bebas?" tuntut Chuck.
"Kami belum yakin," jawab Deena. "Ayo. Kita harus cepat."
Tapi Jade menahannya, ekspresinya tegang. "Dia bisa saja
masih di sini," gumamnya. "Farberson bisa saja masih di rumah ini."
"Hebat!" jerit Chuck. "Aku bisa membalasnya dan mengambil
uangnya kembali!" "Kau sinting?" lolong Deena. "Chuck, kau bahkan tak bisa
berjalan sendiri. Farberson mungkin membawa pistol. Dia sudah
pernah hampir membunuh kita. Sebaiknya kita pergi saja dari rumah


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini dan pulang!" "Ayo keluar sebelum dia sempat kembali," desak Jade.
"Baik. Baik," kata Chuck agak marah. "Aku masih agak pusing.
Ayo pergi." "Bersandarlah padaku," kata Jade. Ia memeluk pinggang Chuck
dengan satu lengan dan membantunya menuruni tangga.
Deena bergegas mendului ke ruang duduk. Ia menoleh kepada
Chuck dan Jade, rasanya mereka bergerak terlalu lambat.
Bagaimana kalau Farberson masih di rumah ini"
"Ayo, guys"cepat!" pintanya.
"Kami sudah berusaha secepat mungkin," balas Jade. "Kau tak
ingin Chuck tiba-tiba pingsan atau apa."
"Aku sudah merasa lebih baik," kata Chuck. Mereka tiba di
dasar tangga. Deena melihat Chuck melepaskan diri dari Jade. "Aku
bisa jalan sendiri sekarang," katanya.
Mereka melintasi kegelapan menuju ke dapur. Saat melangkahi
sampah-sampah di lantai, Deena berpikir, Semoga aku takkan pernah
melihat rumah mengerikan ini lagi!
Lalu tampak seberkas cahaya. Cahaya kuning. Dari balik pintu
dapur. Berkelap-kelip dari balik jendela kotor.
"Ada orang di luar!" seru Chuck.
Mereka bersembunyi di balik meja saat pintu terbuka.
Angin melolong masuk ke dalam ruangan.
Cahayanya menampakkan bayangan seseorang yang tinggi
besar. Bayangan Stanley Farberson.
BAB 19 KAKI Deena terasa lemas. Seluruh tubuhnya gemetar.
Farberson berdiri di ambang pintu, ekspresinya yang kaku
memantulkan cahaya lampu tenda yang besar.
"Cepat!" bisik Chuck, dan mendorong mereka memasuki pintu
tepat di belakang mereka.
"Hati-hati!" ia memperingatkan setelah menutup pintu diamdiam. "Ini tangga ke ruang bawah tanah."
Sambil meringkuk di tikungan tangga, Deena mendengar
Farberson melangkah masuk ke dalam rumah. Deena berdiri, terjepit
di antara saudaranya dan dinding, ketakutan setengah mati, bahkan
untuk bernapas. Di belakangnya ia bisa merasakan dinginnya udara
ruang bawah tanah. Ia melirik Jade yang ada di balik Chuck. Jade menatap lurus ke
pintu, sekaku patung peraga.
Langkah-langkah berat Farberson terdengar mendekat.
Apakah ia akan membuka pintu ke ruang bawah tanah dan
memergoki mereka berdiri di sini"
Tidak. Langkah kakinya menjauh. Masuk ke ruangan lain.
Mengapa dia kembali" Deena penasaran. Dia sudah
mendapatkan uangnya. Untuk apa dia kembali ke tempat sampah ini"
"Ayo ke bawah," bisik Chuck. "Pasti ada jalan keluar dari sini."
Ia mengambil senter dari tangan Deena dan mengarahkannya ke
tangga. Tangga itu telah tua dan pecah di sana-sini. Beberapa anak
tangganya telah hilang. Perlahan-lahan mereka turun. Deena mengabaikan suara-suara
mencicit, langkah-langkah kaki mungil yang didengarnya.
Tikus-tikus berlarian sesuka hati, pikirnya, sambil menggigil.
Aku akan segera keluar dari tempat ini.
Ruang bawah tanah samar-samar muncul saat Chuck
menyapukan cahaya senter ke sepanjang dinding dan lantai. Sampah
berserakan memenuhi setiap inci"kain, kertas, bagian-bagian mesin,
sekop tanpa tangkai. Di sepanjang dinding, kotak-kotak karton yang
telah lusuh memenuhi hingga ke langit-langit.
"Aku tak melihat adanya jendela," jerit Jade, suaranya gemetar.
"Harus ada!" kata Chuck. "Ikuti aku."
Suara keras dari belakang mereka menyebabkan mereka
berhenti di tempat. Farberson! Deena menyadari.
Suara itu kembali terdengar. Deena mengarahkan
pandangannya ke langit-langit ruang bawah tanah. Farberson tengah
melangkah di atas mereka.
Dia akan segera pergi, kata Deena dalam hati. Dia akan
menemukan apa yang dicarinya"lalu pergi. Dan kami bertiga bisa
segera pergi dari sini. "Ayo," desak Chuck. "Mana jendelanya?"
Dentam langkah kaki berhenti.
"Kurasa dia sudah pergi," bisik Jade, pandangannya terarah ke
langit-langit yang rendah.
"Mungkin ke lantai atas," jawab Chuck, berusaha
mendengarkan. "Jangan pikirkan. Ayo kita cari jalan keluar dari sini."
Sekali lagi ia menyapukan cahaya senter ke ruang bawah tanah yang
dipenuhi sampah berserakan.
"Apa yang di belakang itu bukan jendela?" tanya Jade. Ia
menunjuk ke dinding seberang, tempat terdapat tumpukan kotak
karton tertinggi. Deena mengerjap-ngerjapkan mata dan melihatnya juga"
persegi gelap yang menonjol dari balik tumpukan karton.
Mereka bergegas ke sana. "Ayo," desak Chuck. "Kita
pindahkan kotak-kotaknya."
Kotak teratas terlalu tinggi untuk ditarik.
Chuck menumpuk dua kotak di samping tumpukan yang tinggi
itu. Lalu ia naik ke atasnya.
Saat Deena dan Jade memegangi kakinya, Chuck menggapai"
terus"terus" "Awas!" jeritnya.
Deena dan Jade terjatuh ke belakang saat kotak karton itu
runtuh ke lantai ruang bawah tanah.
"Kalian baik-baik saja?" panggil Chuck sambil melompat turun.
"Kotaknya berat sekali. Aku tak mampu memeganginya terus."
"Bagaimana kalau Farberson mendengarnya?" kata Deena
penasaran. Mereka mendengarkan. Sunyi. Yang terdengar hanya angin yang menghajar rumah.
"Kotaknya sudah jatuh, apa kita bisa ke jendela sekarang?"
tanya Deena. "Kita lihat saja." Chuck mengangkat dirinya sendiri ke
tumpukan kotak dan naik ke jendela. Sesaat kemudian ia melompat
turun ke lantai. "Tak bisa," katanya muram. "Jendelanya dipaku rapat.
Dan juga terlalu kecil bagi kita untuk bisa keluar."
"Tapi cuma itu jendela yang ada!" jerit Jade, wajahnya tampak
pucat di bawah siraman cahaya senter.
"Itu artinya kita terjebak di sini," kata Deena. Seketika ia
merasa tidak berdaya. Kejadian setahun lalu terulang kembali. Mereka
terjebak di sini, di dalam rumah yang menakutkan ini, terjebak
bersama pembunuh. "Tenang, Deena," kata Chuck padanya. "Ruang bawah tanah ini
jalan buntu. Jadi sebaiknya kita kembali ke atas."
"Kau sinting apa?" jerit Deena. "Dia ada di atas sana."
"Rumah ini besar," jawab Chuck. "Farberson mungkin di lantai
atas. Pintu dapur hanya beberapa kaki jauhnya. Kita cuma perlu
memastikan keadaan aman, dan lari keluar."
"Ku"kurasa begitu," kata Deena.
"Cepat," desak Chuck. "Ayo naik lagi."
"Chuck," bisik Jade, menyambar lengan Chuck. "Lebih baik
padamkan senternya. Farberson mungkin melihat cahayanya dari selasela papan lantai."
"Ide bagus," Chuck menyetujui. Ia memadamkan senter.
Deena bergidik memikirkan naik tangga yang telah bobrok itu
ke atas dalam kegelapan. Tapi ia tahu Jade benar.
Perlahan mereka naik, sambil bersandar pada langkan tangga
yang sempit. Mereka hampir tiba di atas saat pintu terayun membuka dan
cahaya terang benderang membanjiri mereka.
"Siapa di situ?" lolong Farberson.
Matanya menyipit mengawasi mereka. Dan senyum yang tidak
menyenangkan merekah di wajahnya yang bulat.
"Pesta penyambutan!" katanya serak, sambil tertawa.
"Seharusnya tak perlu. Sungguh. Seharusnya tak perlu."
BAB 20 DEENA tidak mampu mengalihkan pandangannya dari
Farberson. Farberson telah berubah banyak dalam setahun terakhir.
Farberson mengenakan kemeja biru dan celana longgar kelabu
yang telah lusuh. Wajahnya, tertutup janggut yang mulai tumbuh,
lebih kurus. Lingkaran hitam menghiasi matanya.
"Jangan halangi kami!" tuntut Chuck, melangkah ke depan Jade
dan Deena. "Biarkan kami pergi dari sini."
Farberson bergeming. Ia menggeleng, senyumnya perlahan
memudar. "Kau sungguh-sungguh, Nak?"
"Aku sungguh-sungguh!" desak Chuck. Ia naik selangkah lagi.
"Berhenti di situ," kata Farberson pelan. Deena melihat benda
mengilat di tangan Farberson. Pistol otomatis kecil.
Perlahan Farberson mengangkatnya dan memberi isyarat
dengan pistol itu. "Turun, semuanya," perintahnya. "Cepat."
"Ka"kau mau apa?" tanya Deena.
Apakah ia akan menembak mereka bertiga dan meninggalkan
mayat mereka di ruang bawah tanah" Apakah ia telah memikirkan
semuanya ini selama di penjara, berniat balas dendam"
Farberson tidak menjawab pertanyaan Deena. "Cepat, kalian
semua. Hati-hati jalannya," katanya hampir dengan nada yang riang.
Chuck cemberut dan mulai membantah. Lalu Deena melihat
ekspresinya berubah. Chuck mendesah dan memimpin jalan turun
kembali ke ruang bawah tanah yang gelap dan dipenuhi sampah.
"Bagus," kata Farberson ketika mereka tiba di dasar tangga. Ia
berdiri beberapa anak tangga di atas mereka, menggenggam pistolnya
dengan mantap. "Baik," katanya. "Ini takkan makan waktu lama."
Ia mengangkat pistolnya dan membidik Deena.
BAB 21 PISTOL itu berkilau memantulkan cahaya lentera. Farberson
menggenggamnya dengan mantap di tangan kanan, membidik dada
Deena. Pandangannya berpindah-pindah dari Deena ke Jade lalu ke
Chuck. "Kurasa sekarang kalian akan memperhatikanku," katanya
sambil mencibir. "Kita usahakan agar ini berlangsung singkat dan
mudah, oke?" Ia berdeham. "Katakan saja di mana."
"Katakan apa di mana?" tanya Jade dengan suara gemetar.
"Jangan main-main," jawab Farberson tanpa emosi. "Uang itu.
Katakan saja di mana, dan kalian akan kubebaskan."
"Hah" Uang itu" Tapi kami tak tahu!" Jade bersikeras.
"Kenapa kautanyakan pada kami?" sela Chuck. "Kau yang
mengambilnya!" ebukulawas.blogspot.com
Farberson menatap Chuck sambil berpikir. Ia mengalihkan
pistolnya dan membidik dada Chuck. "Aku sangat kecewa,"
gumamnya. "Aku tak suka main-main. Sungguh. Malam ini sangat
melelahkan, dan aku yakin kalian ingin pulang, kan" Jadi katakan di
mana uangnya." "Tak ada pada kami!" jerit Deena. "Itu yang sebenarnya!"
"Kalau begitu buat apa kalian berada di sini?" tuntut Farberson.
"Apa yang kalian lakukan di rumahku?"
Tidak ada yang menjawab. Deena melirik Jade dan Chuck. Mereka tampak sama takutnya
seperti dirinya. Akhirnya Chuck memecahkan kesunyian de-ngan desah
panjang. "Oke, oke," katanya pada Farberson. "Kami kemari untuk
mencari uang itu. Paling tidak, aku yang kemari untuk mencari
uangnya. Tapi aku tak membawanya. Sungguh. Aku berani
bersumpah." Ia mengangkat tangan kanannya seakan tengah
mengambil sumpah. "Kau pembohong yang payah, Nak," jawab Farberson.
"Aku tak bohong!" protes Chuck.
"Kalau kau tak membawanya, lalu di mana uang itu?" tuntut
Farberson. "Aku tak menemukannya di tempatnya kusembunyikan."
"Mungkin"mungkin ada orang lain yang mengambilnya,"
Deena menyarankan, dengan suara tercekik ketakutan.
"Misalnya?" balas Farberson. "Peri gigi?"
"Tak ada pada kami!" jerit Chuck. "Kami?"
"Sudah kukatakan aku tak suka main-main," kata Farberson,
melangkah turun ke ruang bawah tanah. "Sudah kukatakan kalian akan
kubebaskan begitu memberitahukan yang sebenarnya."
"Tapi"tapi sudah kami beritahukan!" kata Deena.
"Berani taruhan aku bisa membuat kalian mengatakan yang
sejujurnya," kata Farberson muram. Ia mengarahkan pistolnya kepada
Deena. "Kau!" salaknya, mengejutkan Deena dengan mengeraskan
suaranya untuk pertama kali.
"A"aku tak tahu apa-apa!" kata Deena.
"Meja kerjaku," kata Farberson dengan nada memerintah,
memberi isyarat ke meja kecil" tertutup sampah"yang menempel ke
satu dinding. "Ada tali di sana. Bawa kemari."
Deena terus menatapnya. "Sekarang!" sergah Farberson, sambil mengangkat pistol seakan
hendak memukul Deena. Deena berbalik dan melangkah terjatuh-jatuh dalam kegelapan
menuju ke dinding terjauh. Meja kerja itu tertutup peralatan yang telah
karatan, tumpukan kertas, dan kain lap ternoda. Di salah satu ujung
meja ia menemukan seonggok tali.
"Ini," katanya, mengulurkan tali itu kepada Farberson.
"Bagus," sentak Farberson. Ia memegang salah satu ujungnya
dan melontarkan sisanya kepada Deena. "Ikat cowok ini." Ia berkedipkedip memandang Chuck. "Apa yang terjadi dengan kepalamu, Nak"
Ditabrak truk?" "Aku berkelahi," gumam Chuck, meraba lukanya. "Dan ada
yang memukulku." "Kurasa aku bukan satu-satunya yang tak menyukaimu," geram
Farberson. "Apa kau belum cukup terluka" Kau tak mau mengatakan
yang sejujurnya agar aku tak perlu menghajarmu lagi?"
"Sudah kukatakan?" Chuck memulai.
"Ikat kaki dan tangannya," perintah Farberson pada Deena.
"Jangan"tolong!" pinta Deena.
Farberson melambaikan pistolnya. "Di dalam ini ada
pelurunya," katanya datar. "Aku tahu kalau kalian bocah-bocah
menganggap ini semacam cerita petualangan Nancy Drew, tapi tidak.
Semuanya nyata. Dan kalau tak mendapatkan uangku, aku benarbenar akan menyakiti kalian."
Deena menelan ludah dengan susah payah. Ia menyadari tidak
ada pilihan lain. Chuck berbalik dan menyatukan tangan di punggungnya. Deena
melilitkan tali ke sana. Ia menyimpulkan tali itu sekendur mungkin,
sambil berpura-pura menariknya erat-erat.
Setelah selesai mengikat tangan Chuck, ia berbalik kepada
Farberson. "Apa kakinya juga harus kuikat sekarang?"
"Tunggu sebentar," sergah Farberson. Ia meletakkan lentera ke
lantai dan mendekati Deena dan Chuck. Ia menarik-narik tali di
tangan Chuck.

Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terlalu longgar!" ia meledak. "Kaupikir aku bodoh?" Sebelum
Deena sempat melangkah mundur, Farberson menampar wajahnya
dengan punggung tangan. "Lakukan dengan benar sekarang!"
tuntutnya. Deena terhuyung-huyung menghantam dinding. Sambil
mengerjap-ngerjapkan mata untuk menahan air matanya, ia berusaha
mengabaikan rasa sakit yang menyengat dan membuka ikatan Chuck.
Dengan tangan gemetar ia mengikat tangan Chuck sekali lagi, kali ini,
lebih erat. Ia hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk mengikat
Chuck dan Jade. Sekarang mereka duduk berdampingan di lantai yang
dingin, menyandar ke dinding, tidak berdaya, tak mampu
menggerakkan tangan maupun kaki.
"Bagus," kata Farberson dengan khidmat. "Sekarang
giliranmu." Ia menyelipkan pistol ke saku celananya dan menyambar
tangan Deena. Deena mencoba menariknya. Tapi Farberson jauh lebih kuat.
Farberson menyentakkan tangannya begitu keras hingga Deena
merasa lengannya tercabut dari tempatnya. "Aku bisa melakukannya
dengan lebih mudah," ancam Farberson. "Aku bisa membuatmu
pingsan lebih dulu."
Deena tidak lagi memberontak dan berdiri diam sementara
Farberson mengikat kedua tangannya menjadi satu. Ia mendorong
Deena ke lantai kemudian mengikat kakinya. Lalu ia mendorong
Deena ke dinding di sebelah Jade.
Deena berusaha tetap tenang, untuk melawan air mata yang
nyaris membanjir keluar. Talinya menggigit pergelangan tangan dan
kakinya. Farberson menatap mereka dengan pandangan suram. "Aku
benar-benar tak punya waktu buat ini," gumamnya. "Apa tak ada yang
mau mempersingkat waktu" Ada yang mau memberitahuku di mana
uang itu?" "Untuk yang terakhir kalinya," pinta Chuck dengan suara serak
dan ketakutan. "Kami tak tahu!"
"Kita lihat saja," jawab Farberson sambil mengerutkan kening.
"Kurasa kita akan melihat dalam beberapa menit lagi apa yang kalian
tahu dan tak tahu." Sambil menyiulkan lagu tanpa nada, ia menyeberang ke sisi lain
ruang bawah tanah, di mana bertumpuk sebagian besar peralatan.
Dalam keremangan Deena bisa melihatnya mengaduk-aduk tumpukan
sampah. Lalu Farberson menegakkan tubuh dan kembali mendekati
mereka. Ia membawa sesuatu dengan kedua tangannya.
Deena memejamkan mata dan menjerit ketakutan saat melihat
apa yang dibawa Farberson.
Sekaleng bensin. Dan gergaji mesin. BAB 22 SAAT membuka matanya kembali, Deena melihat Jade
menggeliat-geliat, berusaha membebaskan diri. Chuck menatap lurus
ke depan. Tapi Deena melihat ketakutan di wajahnya, melihat
dagunya gemetar saat Farberson membungkuk meletakkan gergaji
mesinnya yang mengerikan.
"Apa masih bekerja, ya?" gumam Farberson lebih kepada diri
sendiri daripada kepada para tawanannya.
Deena bergidik. Ia masih ingat ketakutan yang dirasakannya
setahun lalu, waktu Farberson memburu dirinya dan Jade dengan
gergaji mesin itu. Bagaimana tidak berdayanya mereka, terjebak tinggi
di atas pohon. Bagaimana pohon itu mulai bergetar saat gergaji mesin
memotongnya. "Yang benar saja!" seru Chuck. "Sudah kami beritahukan
semua yang kami ketahui. Aku memang mencari uang itu. Tapi tak
menemukannya!" "Kita lihat saja," tukas Farberson tenang. "Biar kuhidupkan
mesin penguji kebohonganku ini dulu."
"Tolong!" pinta jade. "Biarkan kami pergi! Kami takkan
memberitahu siapa pun kalau sudah bertemu denganmu. Kami"kami
akan membantumu mencari uang itu!" katanya mengajukan diri.
"Ya!" ulang Deena. "Benar. Kami akan membantumu
mencarinya." Tanpa mengacuhkan mereka, Farberson membuka kaleng
bensin. Lalu memiringkannya ke atas tangki bensin gergaji mesin.
Terdengar bunyi gluk, gluk, gluk saat bensin mengalir ke dalam
tangki gergaji mesin. Deena tiba-tiba membayangkan dirinya di rumah. Begitu
hangat. Begitu nyaman. Begitu"aman.
Apa aku akan pernah melihat rumahku lagi, pikirnya. Isakan
keras terdengar dari tenggorokannya.
Farberson menengadah. "Kau mengajukan diri untuk
memulai?" tanyanya pada Deena.
"Tidak. Aku?" Deena mulai berkata. Tapi suaranya pecah. Ia
merasakan air mata panas mengalir di pipinya.
"Oke. Kurasa alat penguji kebohongannya sudah siap," kata
Farberson padanya. "Kau bisa memulai."
Ia menarik talinya. Gergaji mesin itu terbatuk-batuk, tapi tidak
hidup. Jangan hidup! pinta Deena diam-diam. Jangan menyala!
Tapi dengan tarikan kedua, gergaji mesin itu meraung hidup.
Mendengar dengung gergaji, Deena merasa perutnya melilit.
Ketika ia dan Jade ditawan di pohon, raungan mesin yang
memekakkan telinga itu adalah cobaan mereka yang paling berat.
Lolongan gergaji mesin bergema di ruang bawah tanah yang
gelap. Seakan terhipnotis, Deena menatapnya, menatap mata gergaji
yang bergetar, gigi-giginya yang tajam dan berputar.
"Percayalah pada kami!" lolong Deena, air mata membanjiri
pipinya. Tapi ia tahu Farberson tidak bisa mendengar suaranya,
tertutup raungan gergaji mesin.
Ekspresi Farberson menunjukkan kebulatan tekad, matanya
menyipit. Ia memotong udara dengan gergaji mesinnya,
mengayunkannya ke dekat kaki Deena.
Deena menekankan dirinya ke dinding batu di belakangnya.
Seluruh tubuhnya kaku seakan ia telah tewas, seakan telah menjadi
mayat. Farberson kembali mengayunkan gergaji mesin ke bawah.
Deena memejamkan mata. Apa dia benar-benar akan memotong kami"
Kenapa dia tak mempercayai kami"
Farberson membungkuk rendah, wajahnya berada dekat dengan
wajah Deena, begitu dekat hingga Deena bisa mencium bau bawang
putih dalam napasnya. "Sekarang kau mau mengatakannya?" teriak
Farberson. "Mana" Di mana uang itu?"
"Aku tak tahu!" jerit Deena. "Aku benar-benar tak tahu!"
"Pikir lagi!" lolong Farberson. "Apa ini bisa membantumu
berpikir?" Ia mengangkat gergaji mesin ke udara setinggi-tingginya,
lalu menurunkannya. Deena tidak mampu bergerak. Tidak mampu mengerjapkan
mata. Tidak mampu mengalihkan pandangannya dari gigi-gigi mata
gergaji yang berputar. "Katakan!" tuntut Farberson murka. "Katakan di mana uangnya!
Katakan sekarang atau dia kupotong! Dia akan kucincang!"
"Hentikan!" teriak Chuck.
Jade memekik ngeri. Suaranya menyatu dengan denging gergaji
mesin. Perlahan-lahan Farberson menurunkan gergaji mesinnya ke
bahu Deena. BAB 23 DEENA membuka mulutnya untuk berteriak, tapi tidak
terdengar suara yang keluar.
Gergaji itu begitu dekat, ia bisa merasakan panasnya udara
akibat putaran matanya. Ia menekan punggungnya ke dinding sekuat tenaga, berusaha
menghilang ke dalamnya. Raungan memekakkan itu mengiris
benaknya, setajam gigi-gigi mata gergaji yang mendekat.
Farberson terus menurunkan gergajinya. Lebih dekat. Lebih
dekat. Begitu dekat hingga Deena bisa melihat tangan Farberson
hingga sedetail-detailnya, melihat kotoran di bawah kukunya, warna
putih di buku-buku jarinya yang mencengkeram pegangan gergaji
erat-erat. Dia akan memotongku, Deena tahu.
Dia tak pura-pura. Dia akan memotongku sekarang.
Ia memejamkan mata saat raungan mesin menggetarkan seluruh
tubuhnya. "Berhenti!" Chuck berteriak putus asa dari sampingnya.
"Stop!" Deena membuka matanya. Farberson mengangkat gergaji mesinnya satu inci. Dua inci.
"Jangan menyakitinya!" jerit Chuck. "Akan kuberitahukan yang
sebenarnya!" Farberson menegakkan tubuh. Ia mengacungkan gergaji
mesinnya ke atas Deena, tapi pandangannya terarah kepada Chuck.
"Hentikan!" ulang Chuck. "Akan kuberitahukan semua yang
kutahu." "Aku menunggu," teriak Farberson.
"Jauhi dia dulu!" tuntut Chuck.
"Kau tak berhak menawar!" tukas Farberson tajam. "Sekarang,
katakan di mana uang itu!"
"Aku tak tahu," Chuck mulai berkata, "tapi?"
"Tak bagus!" teriak Farberson. Ia berbalik dan menurunkan
gergaji mesinnya ke arah Deena.
Deena menjerit. "Tunggu!" teriak Chuck. "Dengarkan aku!"
Ekspresi Farberson menunjukkan kejengkelan. Ia mematikan
gergaji mesinnya. Kesunyian sama kerasnya seperti raungan gergaji mesin.
Deena menghela napas panjang. Air mata membasahi pipinya.
Dadanya naik-turun. Seluruh tubuhnya gemetar.
Di sampingnya, ia mendengar Jade terisak-isak.
"Baik," kata Farberson. "Katakan cepat."
"Kau benar," kata Chuck. "Aku datang kemari mencari uang itu.
Dan"sebenarnya aku sudah menemukannya."
"Mana?" tuntut Farberson. Senyum merekah di wajahnya.
"Di kamar tidur terakhir di lantai atas," sahut Chuck. "Di lemari
pakaian, di bawah papan lantai yang kendur."
Farberson bergerak sedikit. Seluruh perhatiannya sekarang
terpusat pada Chuck. "Jadi, di mana uangnya sekarang?" tuntutnya.
"Aku tak tahu," jawab Chuck.
Farberson mendengus keras dan menggerakkan gergaji mesin di
tangannya. Mati-matian Chuck menambahkan, "Ada yang memukulku dan
mengambil uang itu! Saat tersadar, aku sudah terbaring di lemari
pakaian. Dan uangnya hilang!"
Sejenak Farberson menatap Chuck. Lalu ia menggeleng. "Kau
sudah menemukan uang itu"dan orang lain mencurinya?" katanya
sinis. "Rumah ini penuh sekali malam ini!"
"Itu yang terjadi!" Chuck bersikeras.
Farberson menggeleng. "Tak mungkin aku akan
mempercayainya," geramnya.
"Itu yang sebenarnya!" jerit Chuck. "Aku sudah
menemukannya. Aku sudah memegangnya. Tapi ada yang
mengambilnya dariku."
"Kurasa kau benar-benar tak memedulikan nasib temantemanmu!" bentak Farberson.
"Aku sudah bicara jujur!" Chuck bersikeras, memohon.
"Kau tahu?" kata Farberson. "Aku tak peduli kalau
kenyataannya memang begitu. Aku tak mendapatkan uangku. Tapi
aku mendapatkan kalian"tepat di mana aku ingin kalian berada."
Ia memindahkan gergaji mesinnya. "Kalian selama ini selalu
menimbulkan masalah bagiku," geramnya. "Segala yang telah terjadi
adalah kesalahan kalian!"
"Tunggu!" jerit Chuck.
Tapi Farberson tidak mendengarkannya. Bola matanya
membesar penuh semangat. Wajahnya tegang. Dengan satu sentakan
keras ia menghidupkan gergaji mesinnya lagi.
Deena menatap ketakutan saat Farberson menjulang di atasnya
lagi. Ia bisa melihat kilau liar dalam pandangan Farberson.
Dia sudah sinting! Deena menyadari.
Dia tak peduli dengan uangnya lagi. Dia tak peduli apa yang
akan dilakukannya terhadap kami.
Dia mau balas dendam. Farberson mendekat. Dan semakin dekat.
Lolongan gergaji mesin membelah benak Deena.
Raungan gigi-gigi mata gergajinya mendekati lehernya.
Kali ini dia takkan berhenti, Deena tahu.
Dia takkan berhenti. BAB 24 DEENA memejamkan mata. Setiap otot tubuhnya menegang.
Gergaji mesin itu meraung semakin keras.
Lalu berhenti. Hah" Apa yang terjadi" ia penasaran.
Ia membuka mata dan melihat Farberson menatap ke atas
tangga. "Hei!" jerit Farberson, terkejut.
Dengan seluruh tubuh gemetar, dada naik-turun, Deena
menengadah menatap ke atas tangga.
Mula-mula yang dilihatnya hanyalah berkas cahaya putih lampu
senter. Saat matanya mulai terbiasa, ia melihat sesosok tubuh di sana.
Sosok yang mengenakan jas hujan gelap. Salah satu lengannya
bergerak. Tangannya terbungkus sarung tangan.
Sepucuk pistol mengilat ada di sana.
Pistolnya terarah ke Farberson.
"Letakkan gergaji itu, Stanley." Deena mengenali suaranya.
Lalu ia melihat wajah kaku Linda Morrison saat wanita itu melangkah
menuruni tangga. Oh, syukurlah! batin Deena.
Farberson mengalihkan perhatiannya dari Deena dan menatap
Linda Morrison. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya, dengan
cepat mengatasi keterkejutannya.
"Siapa itu?" Deena mendengar Chuck berbisik kepada Jade.
"Linda," Jade balas berbisik. "Linda Morrison!"
Linda melangkah turun ke lantai ruang bawah tanah. Ia
memberi isyarat dengan pistolnya. "Buang gergajinya," ulangnya.
"Dan jauhi teman-temanku."
Farberson tetap memegang gergaji mesin setinggi pinggang.
"Teman-temanmu, hah?" gumamnya. Ia menatap pistol di tangan
Linda. "Pistol kecil itu tak menakutkanku, Linda. Kurasa kau takkan


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani menembakku." "Coba saja," tantang Linda.
Farberson berkedip-kedip menatapnya, berpikir keras.
Linda terus mendekat dengan mantap, menendangi karton
kosong dan sampah yang menghalangi jalannya. "Kau takkan
menyakiti teman-temanku," katanya pelan.
Farberson berpaling tidak pasti, lalu mulai mundur ke dinding
seberang. "Linda"ada apa?" tanyanya. "Kupikir kau dan aku?"
Linda maju selangkah mendekatinya.
"Buang gergaji itu, Stanley. Aku takkan memperingatkanmu
lagi." Deena menelan ludah dengan susah payah sambil mengawasi
mereka. Mereka seakan tengah menarikan tarian aneh. Setiap kali
Linda melangkah maju, Farberson melangkah mundur. Farberson
masih memegangi gergaji mesin dengan dua tangan. Tapi kemarahan
telah memudar dari wajahnya, digantikan ketakutan.
Syukurlah Linda datang menyelamatkan kami, pikir Deena.
Kalau saja dia terlambat beberapa detik...
Tapi Deena menyadari bahwa ia dan Jade dan Chuck belum
selamat sepenuhnya. Linda Morrison harus mengambil tindakan
terhadap Farberson lebih dulu.
"Akan kuhitung sampai lima," kata Linda pada Farberson.
"Kalau gergaji itu tak kaubuang, aku akan menembakmu, Stanley."
Farberson mencibir. "Kau bercanda, kan" Ini cuma lelucon. Kau
tak mungkin berteman dengan bocah-bocah ini." Ia kembali
melangkah mundur, pandangannya terpaku pada pistol di tangan
Linda. "Satu," kata Linda.
Farberson kembali mundur, menabrak setumpuk karton. "Yang
serius, oke, Linda" Kau dan aku?"
"Dua," Linda menghitung.
"Linda, sudahlah?" Sekarang Farberson mengemis.
"Tiga," jawab Linda, suaranya keras dan dingin.
Apa dia akan benar-benar menembak Farberson" Deena
penasaran, mengawasi ketegangan di hadapannya tanpa berkedip,
tanpa bernapas. Morrison dulu mencintai Farberson. Apa sekarang dia
akan menembak kekasihnya"
"Biar kujelaskan?" pinta Farberson, sambil kembali
melangkah mundur. "Waktunya semakin sempit, Stanley," jawab Linda tenang.
"Empat." "Linda"beri aku kesempatan," gumam Farberson. "Ini konyol.
Kau dan aku?" "Lima!" teriak Linda. Ia mengangkat pistolnya.
"Baik!" jerit Farberson. "Kau menang! Akan kuletakkan!"
Ia mengayunkan gergajinya.
Tapi bukannya membuangnya ke lantai, Farberson justru
menarik talinya. Dengan raungan memekakkan telinga, gergaji mesin itu hidup.
Morrison menjerit marah. Farberson mengangkat mata gergajinya"dan menerjang Linda.
Deena tersentak saat melihat Farberson jatuh.
Ia tersandung karton. Gergaji terlepas dari tangannya dan berdentang menghantam
lantai beton. Farberson mengulurkan tangan. Pandangannya liar.
Tangannya menggapai-gapai udara.
Dan ia terjatuh ke gergaji yang meraung-raung.
Denging mata gergaji menelan jeritan Farberson.
Mata gergaji mengiris dadanya. Deena berpaling karena jijik.
Lalu kesunyian timbul. Kesunyian yang dingin dan berat.
"Dia tewas," gumam Linda Morrison, sambil berdiri di atas
mayat Farberson yang tertelungkup menutupi gergaji mesin. "Stanley
tewas." Kengerian sudah berlalu, pikir Deena lega. Kami baik-baik saja.
Kami akan baik-baik saja.
"Sulit dipercaya dia telah pergi," kata Morrison, mendesah.
"Itu"itu kecelakaan," kata Deena. "Kami tahu kau tak
bermaksud begini." Morrison melangkah menjauhi mayat dan berpaling kepada
Deena. "Tidak," katanya pelan. "Ini bukan kecelakaan."
"Hah?" Deena melirik Jade, yang masih gemetaran, air mata
membasahi pipinya. "Bukan kecelakaan," ulang Morrison. "Aku sudah
merencanakan membunuh Stanley. Itu sebabnya aku kembali. Dia
mempermudah se-galanya untukku."
Ia mendesah dan memukulkan pistol ke tangannya yang
bersarung. Lalu ia memandang Deena, Jade, dan Chuck. "Sekarang
aku harus memikirkan tindakanku terhadap kalian," katanya.
BAB 25 "AKU khawatir kalian jadi masalah sekarang," kata Linda
Morrison sambil mengerutkan kening.
"Kau tak perlu mengkhawatirkan kami," kata Chuck. "Kami
melihat apa yang telah terjadi. Farberson jatuh. Itu salahnya sendiri.
Ini sepenuhnya kecelakaan."
"Siapa yang akan percaya?" sentak Morrison. "Lagi pula, kalau
dia tak bunuh diri sendiri, aku akan menembaknya"dan dia tahu itu."
"Tapi kau kan takut padanya," jerit Jade. "Kau bilang dia
mengancammu." "Aku tadinya takut padanya," jawab Morrison. "Aku punya
alasan bagus untuk itu. Dia tahu aku menginginkan uangnya. Dan aku
tahu dia akan berusaha dengan segala cara untuk menghalangiku."
Ia mulai mondar-mandir. Deena menatap tajam kepadanya.
Morrison mengenakan jas hujan baru yang bagus. Ia telah merias
wajahnya dengan cermat, dan memotong rambutnya.
"Wow. Aku mengerti," kata Chuck. "Kau yang memukul
kepalaku dan mengambil uang itu."
"Selamat," tukas Morrison sinis. "Benar-benar bocah pandai."
"Maksudmu, uang itu ada padamu?" tanya Jade.
"Ada di sini," kata Morrison, menepuk saku jas hujannya. "Aku
juga punya tiket pesawat ke tempat yang hangat dan sangat jauh."
"Tapi"tapi bagaimana kau tahu aku menemukan uangnya di
lantai atas?" tanya Chuck, suaranya terdengar sangat bingung. "Dari
mana kau tahu aku di sini?"
"Percayalah," Morrison mengakui, "kau orang terakhir yang
kuharapkan muncul di sini. Selama berbulan-bulan aku membongkar
tempat sampah ini. Tapi tak menemukan uang itu. Lalu siang tadi
kudengar Stanley dibebaskan dari penjara. Aku tahu dia akan
langsung kemari untuk mengambil uangnya.
"Jadi aku kemari menunggu kedatangannya," lanjut Morrison.
"Aku berniat sembunyi, menunggu Stanley mengambil uang itu, lalu
merampasnya. Tapi aku justru menemukanmu!" Ia menuding Chuck
dengan pistolnya. "Kau sudah menemukan uang itu." Ia tertawa kecil.
"Kurasa ini hari baikku."
"Kau memukul Chuck dan mengambil uang itu," kata Jade.
"Lalu kenapa kau kembali kemari?"
"Untuk membunuh Stanley, tentu saja," jawab Morrison santai.
"Aku tak mau terus-menerus khawatir dia akan menemukanku."
"Tapi kenapa?" tanya Deena.
"Sudah cukup," sergah Morrison. "Sekarang ada tugas tak
menyenangkan yang harus kulakukan."
Ia berbalik, mengarahkan senternya ke dinding dan lantai.
"Sempurna," gumamnya. Ia menyeberang ke sisi lain ruang bawah
tanah dan mengumpulkan kain-kain kotor yang bertebaran di lantai.
"Kau mau apa?" tanya Deena, merasakan ketakutan menyusuri
punggungnya. "Mengumpulkan sumbu," jawab Morrison santai. "Aku mau api
yang besar dan indah. Dan kain-kain lap ini akan terbakar dengan
baik." Ia menumpuk kain-kain itu di meja kerja, lalu kembali
mengumpulkan kain-kain lebih banyak lagi.
Setelah mendapatkan setumpuk kain yang cukup banyak, ia
mengambil kaleng bensin Farberson. Lalu ia menyirami kain-kain itu
dengan bensin. "Tidak!" jerit Deena. "Biarkan kami pergi! Kami takkan
bercerita pada siapa pun! Kami tidak?"
"Kau bisa mempercayai kami," kata Chuck penuh keyakinan.
"Kami tak punya alasan untuk memberitahu siapa pun. Kau tak perlu
menyalakan api. Pada saat orang menemukan kami, kau sudah pergi
jauh." Sejenak Linda tampak mempertimbangkan pendapat Chuck.
Lalu ia kembali menuangkan bensin ke kain. "Maaf," katanya. "Aku
tak suka mengambil risiko."
Deena mencondongkan tubuh ke Jade. "Ajak dia bicara terus,"
bisiknya. "Mungkin kita bisa menunda niatnya."
"Apa kau tahu tentang uang itu sejak dulu?" tanya Jade.
"Maksudku, tahun lalu, sebelum Farberson membunuh istrinya?"
Linda mencibir. "Apa aku tahu?" serunya. "Ini semua
gagasanku. Ingat, akulah yang mengerjakan pembukuan di restoran
Stanley. Aku yang memberinya kesempatan mencuri uang restoran
dan membunuh istrinya." Ia menggeleng. "Dia benar-benar bodoh. Dia
mematuhi semua perintahku."
Sulit dipercaya, pikir Deena. Linda Morrison ternyata
bertanggung jawab atas seluruh kejadian tahun lalu.
"Maafkan aku, anak-anak," kata Morrison. "Tapi sekarang
sudah saatnya." "Tunggu"tolonglah!" pinta Deena.
"Tak banyak yang bisa ditemukan polisi nanti," kata Morrison,
tidak mengacuhkan permintaan Deena. "Tapi pasti cukup agar terlihat
seakan Stanley sudah mengikat kalian lalu mengalami kecelakaan
dengan gergaji mesinnya."
Ia meraih ke dalam saku jas hujannya"dan mengeluarkan
pemantik. BAB 26 DEENA mengawasi, membeku ketakutan, saat Linda Morrison
mengaduk-aduk meja kerja Farberson, mencari-cari sesuatu.
Apa yang dicarinya" Deena penasaran, tidak mampu
menghentikan tubuhnya agar tidak gemetar.
Morrison menemukan apa yang dicarinya. Ia mengambil
sepotong kecil lilin, sekitar satu inci panjangnya. Ia melangkah
menjauhi kain-kain dan menyulut lilin itu. Lalu perlahan-lahan ia
meletakkan lilin menyala di tengah- tengah meja, di antara kain-kain
yang terendam bensin. "Tolonglah?" pinta Deena. "Jangan lakukan itu!"
Lalu Chuck dan Jade turut memohon. Mereka bertiga matimatian memohon, sambil mengawasi nyala api lilin.
Linda Morrison berpura-pura tidak mendengar permohonan
mereka. "Setelah lilin ini habis terbakar," katanya, "bensinnya akan
menyala. Sampah di ruang bawah tanah ini kurang banyak agar nanti
apinya seperti suluh."
"Tolong! Jangan!" pinta Deena, terisak-isak.
"Kalian takkan menderita terlalu lama," jawab Morrison dingin.
Ia bergegas menaiki tangga dan menutup pintu di belakangnya.
Mereka sekarang sendirian. Sendirian dalam gelap, yang ada
hanya nyala api lilin yang menari-nari.
Deena menatap api itu seakan itulah pusat dunia. Cahayanya
yang berkerlap-kerlip mengakibatkan kain-kain di sekelilingnya
seakan bergerak-gerak. Bau bensin menebar di udara.
"Kita"kita akan tewas terbakar!" isak Jade.
"Hentikan, Jade!" perintah Chuck. "Kita belum mati. Ayo
berpikir!" "Berpikir! Tak ada waktu untuk berpikir!" jerit Deena. "Lilin itu
cuma satu inci panjangnya. Begitu habis terbakar, seluruh tempat ini
akan terbakar habis!"
"Pikir," ulang Chuck. "Pikir. Pikir."
"A"aku ada gagasan," kata Jade. "Mungkin salah satu dari kita
bisa bergerak ke sana, berdiri, dan meniup mati lilin."
Deena mempelajari jarak di ruang bawah tanah. Dengan kaki
terikat dan tangan terikat di belakang punggung, mereka memerlukan
waktu berjam-jam untuk menggeliat ke meja kerja. Pada saat...
"Terlalu berbahaya," kata Chuck tajam. "Kemungkinan kita
malah menjatuhkan lilinnya dan membakar kain-kain itu terlalu
besar." "Apa kita bisa merayap ke tangga?" tanya Deena penasaran.
"Ra"rasanya tak bisa," jawab Jade denga suara bergetar.
"Tangganya terlalu jauh dan?"
"Tunggu!" jerit Chuck. "Aku melihat sesuatu."
Ia berjuang menjauhi dinding, merayap ke tengah-tengah
ruangan. Dengan mengerjap-ngerjapkan mata, Deena melihat apa yang
didekati Chuck"sepotong logam yang terpuntir. Ia merasakan
harapan saat Chuck berputar memunggungi logam itu.
Chuck meraihnya dengan satu tangan dan dengan kikuk
menggunakannya untuk menggergaji tali di pergelangannya.
"Cepat!" desak Deena. "Cepat! Bisakah?"
"Entah," jawab Chuck, sambil bekerja keras.
"Aku tak bisa melihat apa yang kulakukan."
"Mungkin aku bisa membantu," kata Deena.
Ia membungkuk menjauhi dinding dan merayap mendekati
Chuck. "Biar kucoba," katanya. Ia melirik ke logam di tangan Chuck.
Tampaknya engsel pintu tua. "Kurang tajam," katanya.
"Tapi apa bisa memotong talinya?" tanya Chuck.
Deena memeriksa pergelangan tangan Chuck.
"Tidak. Tak bisa," gumamnya, tidak mampu menyembunyikan
kekecewaannya. "Tak berhasil, Chuck."
"Cepat! Cepat!" pinta Jade dari dinding.
"Tak ada gunanya," kata Deena sambil terisak.
"Harus!" jerit Jade. "Lilinnya hampir habis!"
Deena menengadah memandang ke meja kerja.
Jade benar. Sekarang lilin hanya tinggal kurang dari setengah inci.
BAB 27 LILIN yang masih tersisa sangat pendek hingga setengah
tersembunyi tumpukan kain di sekitarnya. Deena tiba-tiba menyadari
dengan ngeri, lilin itu bahkan mungkin akan menyulut kain sebelum
terbakar habis. "Aku menyerah!" jerit Chuck, berguling menjauhi engsel
logam. "Kita harus menemukan cara lain."
Deena mendesah putus asa. Kalau Chuck menyerah, berarti
benar-benar tidak ada harapan lagi.
"Kita coba merayap keluar," saran Chuck. "Mungkin kita bisa
mencapai tangga tepat pada waktunya."
Deena tahu itu harapan kosong. Tidak mungkin mereka bisa
keluar dari ruang bawah tanah tepat pada waktunya.
Ia berpaling dan melihat Jade telah mulai merayap di lantai.
Yang mengejutkan Deena, Jade bukan bergerak ke tangga, ia


Fear Street - Salah Sambung Ii The Wrong Number Ii di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru menuju ke lilin yang menyala.
"Jade"apa-apaan kau?" jerit Chuck terkejut. "Bensinnya bisa
tersulut setiap saat. Jauhi meja itu!"
"Aku tahu apa yang kulakukan," erang Jade. Ia merayap seperti
ulat, mendorong kakinya, lalu menarik bagian atas tubuhnya.
"Jade, berhenti!" jerit Deena. "Terlalu berbahaya!"
Jade tidak mengacuhkannya dan terus merayap. Ia berjuang
melewati mayat Farberson.
"Jade"apa yang kaulakukan?" jerit Deena.
Ia mengawasi Jade gemetar karena ngeri. Lalu Jade meluruskan
kakinya dan mulai mendorong mayat Farberson, mendorongnya
dengan kedua kaki. "Dia terlalu berat," geram Jade. Ia bergeser, dan meletakkan
kakinya di bahu Farberson, mendorongnya sekali lagi.
Mayat Farberson berguling ke satu sisi. Gergaji yang
berlumuran darah terlihat.
Jade berhenti sejenak, menghela napas panjang. Lalu ia
memutar punggungnya"dan mulai menggesek-gesekkan tali di
pergelangannya ke mata gergaji yang tajam.
"Ohhh." Deena merasa mual.
Gergaji itu menghantam Farberson saat Jade menggesekkan
talinya ke sana. Kepala Farberson jatuh berdebum ke lantai.
"Ber"berhasil!" kata Jade. "Aku bisa merasakan talinya"
Aduh!" "Hati-hati!" jerit Chuck, berjuang mendekati Jade.
"Aku bebas!" seru Jade. Ia mengangkat tangannya,
membentangkan keduanya. Talinya terlepas. Ia bergegas
membungkuk untuk membuka ikatan di kakinya.
Lalu Jade bangkit berdiri dengan goyah. "Aduh. Kakiku kaku."
Ia membungkuk ke Chuck dan mati-matian berusaha membuka
talinya. Deena melirik ke lilin. Lilin itu tinggal sangat sedikit hingga ia hanya bisa melihat
pucuk nyala apinya. "Jade"lupakan tali itu. Padamkan lilinnya!" jerit Deena.
Jade menerjang ke meja kerja.
Kurang cepat. Mereka semua mendengar bunyi wus yang keras.
BAB 28 KAIN-KAIN kotor itu menyala kuning terang. Saat Deena
ternganga ngeri, bagian atas meja kerja juga terlalap api.
Jade mati-matian berusaha membebaskan Chuck. Lalu mereka
berdua melesat ke Deena untuk membebaskannya.
Saat mereka berusaha, Deena menatap ke meja kerja. Meja
kerja itu sekarang terlahap api, api yang merayap ke dinding.
Deena bisa merasakan panasnya. Ia tahu setiap saat ruang
bawah tanah ini bisa meledak.
Apa mereka bisa mencapai tangga lebih dulu daripada api"
Chuck menarik-narik tali di pergelangan kaki Deena. Deena
berusaha bangkit berdiri, tapi kakinya juga terasa kaku. Ia meraih
Chuck. "Cepat!" jerit Jade. Ia lari ke tangga.
Sambil berpegangan pada Chuck, Deena mengikuti Jade.
Sebuah kotak karton tersambar api. Kotak di atasnya turut
terbakar. Deena tercekik asap tebal yang menyelimuti ruangan.
Mereka tiba di tangga. Kakinya terasa masih kaku dan lemas.
Saat menaiki tangga, api menjilat-jilat di sekeliling mereka.
Deena mengawasi Jade memutar kenop pintu. Mengawasinya
mendorong pintu. Mencoba lagi. Mendorong.
Lalu Jade berbalik kepada mereka, wajahnya memancarkan
kengerian. "Pintunya"terkunci!" lolongnya. "Wanita itu mengunci
kita di dalam sini. Kita akan mati!"
BAB 29 ASAP hitam tebal membubung naik ke tangga. Air mata Deena
mengalir keluar. Ia terengah-engah menghela napas.
"Kita harus mendobrak pintu. Cuma itu kesempatan kita."
Chuck dan Deena berdiri di samping Jade di depan pintu. "Pada
hitungan ketiga, kita hantam pintu dengan bahu," kata Chuck. "Siap"
Satu, dua, tiga..." Tubuh mereka bertiga menghantam pintu.
Kayu tua itu berderak. Chuck kembali menghantamkan tubuhnya, lebih keras. Pintu itu
pecah berantakan. Chuck menerobos keluar. Lalu membantu menarik Jade dan
Deena keluar. Saat mereka terhuyung-huyung, terbatuk-batuk, dan tercekik,
masuk ke dapur, sebuah ledakan dari ruang bawah tanah
mengguncang rumah. Semburan udara panas melontarkan ketiganya
menyeberangi lantai dapur ke pintu belakang.
Deena dengan lega terjatuh ke hujan es dan angin. Aku keluar,
batinnya. Kami semua akan baik-baik saja.
Sambil merunduk menghindari badai, ia memimpin jalan
mengitari rumah terus melewati jalur masuk. Di jalan mereka
berpaling"tepat pada saat rumah itu terbakar.
Lalu, di sela-sela derak api dan dentam hujan es, mereka
mendengar lengking di kejauhan, lengking sirene"pemadam
kebakaran tengah dalam perjalanan untuk mengakhiri kengerian ini"
selama-lamanya. *********** "Ada yang mau sepotong lagi?" Jade membuka kotak piza dan
mendorongnya ke tengah-tengah meja kopi.
"Aku tidak," Deena mengerang. "Sudah kenyang."
"Masih ada pepperoni?" tanya Steve.
"Hei, diam semua!" perintah Chuck. "Ini bagian film yang
dikatakan instrukturku. Lihat!"
Keempatnya mencondongkan tubuh ke arah TV, di mana
sebuah film lama Alfred Hitchcock tengah ditayangkan. "Lihat waktu
pesawat itu mengejarnya?" kata Chuck. "Adegan itu sudah ditiru
lusinan film lainnya."
"Beberapa film lama memang hebat," kata Jade.
"Apa di Australia kau bisa menyewa film-film Amerika?" tanya
Deena pada Steve. "Tentu saja. Tapi mereka menambahkan kanguru di semua
film!" kata Steve bergurau.
"Perhatikan ini, guys," lanjut Chuck. Ia menatap layar penuh
perhatian, mencondongkan tubuh di sofa.
Deena menyandarkan tubuhnya ke belakang dan mengamati
film itu. Chuck benar-benar meresapi pelajaran film yang diambilnya
di Madison College, pikirnya.
Deena masih sulit percaya bahwa Chuck memutuskan tinggal
sebentar di Shadyside. Tapi sejak mereka berhasil lolos dari rumah
Farberson enam bulan lalu, Chuck menjadi lebih tenang, tidak seliar
dulu. Mungkin peristiwa itu benar-benar membuatnya takut, pikir
Deena. Atau mungkin dia cuma mau tetap dekat dengan Jade.
Setelah pengadilan Linda Morrison, perusahaan asuransi
Farberson memberi Deena, Jade, dan Chuck hadiah. Orangtua Deena
menyimpan bagiannya dan Chuck dalam dana pendidikan, yang
sekarang digunakan untuk membiayai kuliah Chuck di Madison.
"Suatu hari nanti aku akan membuat film tentang pembunuhan
Farberson," kata Chuck setelah film itu selesai.
"Kau bercanda?" jerit Jade. "Tak ada yang mau percaya."
"Kalau aku yang membuatnya, mereka pasti percaya," Chuck
menyombong. "Lihat saja nanti."
"Aku masih tak mengerti apa yang sudah terjadi," kata Steve.
"Deena tak pernah mau bercerita. Apa benar semuanya dimulai dari
telepon?" "Benar," Deena mendesah. "Kami menelepon orang-orang
secara acak. Kau tahu. Sekadar bercanda. Dan Chuck?"
"Ini. Ayo kita coba sekali lagi," kata Chuck. "Kita telepon
orang-orang lagi. Demi masa lalu." Ia meraih telepon dan mengangkat
tangkainya ke telinga. "Tak bisa!" Deena menjerit. Dengan marah ia menyambar
telepon dari tangan Chuck.
"Cuma bercanda!" kata Chuck. "Cuma bercanda, Deena."
Apa benar begitu" Deena penasaran saat membanting tangkai
telepon ke tempatnya. Ia menatap Chuck tajam.
Apa benar dia cuma bergurau" Sulit memastikan, Deena
memutuskan. Tapi ia tidak menyukai seringai jail di wajah Chuck. Ia
tidak menyukainya sama sekali.END
Munculnya Sang Pewaris 1 Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Ratu Pemikat 3

Cari Blog Ini