Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil Bagian 1
Bab 1 Boston, 1858 "BAGAIMANA dengan cerita hantu?"
Timothy Fier menggigil. Aku kedinginan itu saja, pikirnya. Kita
sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di Boston Common"
meluncur, perang bola salju, membangun manusia-manusia salju.
"Cerita hantu di sekitar api unggun! Sempurna sekali!" seru
Betsy Thornton. Pipinya memerah cerah karena kedinginan.
"Ya! Ya! Harus ada yang menceritakannya sekarang juga!" seru
Edwina Weston dari seberang perpustakaan keluarga Fier.
Mungkin sekarang waktunya untuk bercerita, pikir Timothy.
Mungkin kalau kuceritakan, akhirnya aku mampu melupakannya.
"Aku tahu satu cerita," kata Timothy. Ia memaksa dirinya untuk
tersenyum kepada teman-teman yang berkumpul di sekitarnya.
Koki keluarga yang tua dan kurus memandang Timothy dengan
terkejut. Cangkir-cangkir berisi cider di atas baki yang dipegangnya
bergetar, dan ia menggeleng.
Dia tak ingin aku menceritakannya, pikir Timothy sadar. Tapi
sekarang waktunya. Sekaranglah waktunya.
Di balik jendela perpustakaan, matahari mulai terbenam.
Bayang-bayang di dalam ruangan memanjang. Seperti jemari yang
ingin menjangkau diriku, pikir Timothy.
"Aku tahu cerita hantu tentang seorang anak yang jahat," kata
Timothy kepada teman-temannya. "Tapi kalian tidak ingin
mendengarnya." "Tentu saja kami ingin!" kata Clyde Lorring dari kursi di dekat
jendela. "Kau harus menceritakannya," Edwina menyetujui.
Timothy menghirup cider panasnya cukup banyak. Ia menatap
teman-teman di sekitarnya. Mata berkilauan memantulkan cahaya api
dari perapian marmer besar.
"Jangan terlalu cepat menjawab," katanya memberi saran. "Ini
kisah nyata. Dan begitu mengerikan sampai bisa membuat orang mati
ketakutan." "Ooooohh!" Clyde mengerang. Ia mencondongkan tubuh ke
depan dan menyambar leher Martha Bradley dengan kedua tangan.
Gadis itu menjerit melengking, dan semua tertawa.
Kalian tidak akan tertawa terlalu lama, pikir Timothy.
"Kau harus menceritakannya," jerit Betsy. "Kami semua
bersedia menanggung risikonya. Setuju?"
"Setuju," seru beberapa orang lain.
Timothy kembali menghirup cider-nya. "Baiklah, akan
kuceritakan dengan satu syarat." Ia menatap teman-temannya satu per
satu. "Tidak boleh ada yang menyela... dan tidak boleh ada yang pergi
sebelum ceritanya selesai."
Martha meletakkan bordirannya di sofa. "Kau mencoba
menakut-nakuti kami sebelum ceritamu mulai," katanya memarahi. Ia
menggoyang-goyangkan jari ke arah Timothy dengan sikap mainmain.
"Dan berhasil," tambah Edwina sambil tertawa gugup. "Berani
taruhan kuku jariku sudah tidak tersisa lagi saat kau selesai
menceritakannya." Timothy mengangkat bahu. "Kalau kau sudah mulai ketakutan,
mungkin sebaiknya kau pergi sebelum aku mulai bercerita."
"Tidak akan," seru Ethan Chase dari tempatnya duduk di lengan
sofa. Tapi suaranya pecah.
Koor tawa memenuhi perpustakaan. Pipi Ethan memerah.
Lalu semua mulai menatap Timothy.
Menunggu. "Tentu saja aku harus mengganti beberapa nama," katanya
menjelaskan, "untuk melindungi mereka yang selamat dari kisah ini.
Yang lainnya akan kusampaikan tepat seperti yang kudengar. Dan
sepanjang pengetahuanku, semuanya benar."
Ruangan menjadi sunyi. Sekalipun berdiri di depan perapian, dengan panas
memanggang punggung dan kedua kakinya, Timothy kembali merasa
kedinginan. Jangan biarkan ketakutan menghentikanmu, kata Timothy
sendiri. Ceritakan pada mereka. Ceritakan semuanya pada mereka.
"Cerita ini dimulai di New York," katanya, akhirnya mulai
bercerita. "Lebih dari sepuluh tahun yang lalu..."
Bab 2 New York, 1847 "KENAPA kami harus bertengkar semalam" Kenapa kami
harus bertengkar pada malam dia meninggal?" Air mata membakar
mata Maggie Alston. Ia menghela napas panjang, berjuang untuk
menenangkan diri. Kakak perempuannya, Henrietta, dengan lembut mengelus
rambut merah Maggie yang panjang. "Oh, Maggie, aku tidak akan
pernah memaafkan diriku karena menghadiri resital bodoh itu di
Garfields! Tidak akan pernah! Pasti sangat tidak enak bagimu untuk
seorang diri bersama Ayah sewaktu dia..."
Maggie mendengar kakaknya menahan isakannya. Kau tidak
akan pernah mengetahui seberapa sengsaranya, Henrietta, pikirnya.
Kejadian mengerikan kemarin membanjiri benak Maggie.
Ia mendengar ayahnya yang malang menjerit dengan suara
menggelegak. Lalu ia melesat menyusuri lorong dengan mengenakan gaun
tidurnya. Ia mendapati ayahnya berlutut di ruang tamu depan. Darah
mengotori janggut kambing ubanannya dan juga bagian depan baju
tidur putihnya. Mata tuanya yang kelabu memancarkan kengerian saat
terbatuk-batuk dan tercekik, memuntahkan lebih banyak darah.
Maggie menjerit minta tolong. Menjerit dan menjerit. Tapi tidak
ada gunanya. Tidak ada orang di rumah yang bisa mendengar
jeritannya. Dan saat dr. Marston tiba....
Maggie menggeleng. Ia tidak tahan untuk memikirkannya.
"Kau tahu apa yang paling menyakitkan?" tanyanya kepada
Henrietta. "Kami bertengkar. Baru kemarin. Oh, Hen, kenapa aku
selalu bertengkar dengannya" Kenapa?"
"Kau mewarisi temperamen Ayah," jawab Henrietta sambil
tersenyum sedih. Ia merapikan seuntai rambut cokelat pudarnya ke
ikatannya kembali. "Ya," kata Maggie menyetujui. "Kami begitu sering bertengkar
untuk masalah yang tidak ada gunanya. Dan semalam aku
memperlakukannya dengan sangat kasar. Bagaimana kalau dia
meninggal dengan pikiran aku... aku tidak mencintainya..." Maggie
menutupi wajahnya dengan tangan.
Henrietta memeluk Maggie dan menggoyangnya ke depan dan
ke belakang. "Dia tahu bahwa kau mencintainya, tentu saja dia tahu,"
bisiknya. Paling tidak aku masih memiliki Henrietta, pikir Maggie.
Ibu mereka telah meninggal sewaktu Maggie berusia 6 tahun.
Henrietta baru berusia 9 tahun pada saat itu"tapi ia mengambil alih
tugas ibu bagi Maggie. Ia menghibur Maggie sewaktu terjaga akibat
mimpi buruk. Mendengarkan masalah-masalahnya.
Hen tersayang. Maggie menengadah memandang kakaknya sambil tersenyum
tipis. "Kalau bukan karena kau, kurasa aku takkan tahan menghadapi
kejadian ini." "Kita harus kuat," kata Henrietta menyetujui. "Kita harus sangat
kuat." Terdengar ada yang mengetuk pintu.
Henrietta berdeham. "Masuk," katanya, suaranya berat.
Colleen, pelayan, masuk dan membungkuk memberi hormat.
Pipinya yang bulat tampak merah segar.
"Ya?" tanya Henrietta.
"Dua polisi ingin menemui Anda, Miss," kata pelayan itu.
Maggie perlahan-lahan bangkit berdiri. "Polisi?"
"Sudah kukatakan Anda sedang tidak bersedia menerima tamu,
Miss, tapi mereka bersikeras rmtuk berbicara dengan Anda berdua."
Colleen meremas-remas tangannya di balik celemek.
"Apa mereka tahu bahwa kami sedang berduka?" tanya
Henrietta. Maggie mendengar suara kakaknya gemetar. Hen yang malang,
pikirnya. Tidak adil selama ini selalu dia yang menjaga diriku. Aku
juga harus menjaganya. "Ya, Miss. Sudah kuberitahukan," jawab Colleen.
"Suruh mereka masuk sekarang!" kata Maggie, merasakan
amarahnya mulai memuncak. "Aku ingin memberitahu mereka bahwa
seharusnya mereka menunjukkan sedikit penghormatan pada keluarga
seseorang yang baru meninggal."
"Baik, Miss." Pelayan itu. kembali sesaat kemudian bersama dua polisi.
Keduanya mengenakan jas biru berhiaskan lencana yang mengilat.
Maggie menyadari di sabuk mereka terselip pistol dan tongkat kayu
keras. Ia menggigil. Apa yang mereka inginkan di sini"
Kedua polisi itu menanggalkan topinya. Yang satu tua dan
botak. Rekannya masih muda, dengan rambut merah hampir seterang
rambut Maggie. "Kalian kakak-beradik Alston?" tanya petugas yang botak,
memandang Maggie dan Henrietta bergantian.
Henrietta meraih tangan Maggie dan meremasnya. Ia tidak
ingin aku kehilangan kendali, pikir Magie. Ia mengatupkan mulutnya
rapat-rapat dan membiarkan kakaknya yang menjawab.
"Ya, ini Margaret Alston," kata Henrietta. "Aku Henrietta
Alston." "Kami menyesal harus mengganggu pada saat seperti ini,"
lanjut petugas yang lebih tua.
"Sangat menyesal," kata petugas berambut merah menyetujui.
Wajahnya memerah begitu hebat hingga bintik-bintiknya berubah
menghitam. "Ada masalah apa?" sergah Maggie. "Kalian mengatakan tidak
ingin mengganggu, tapi kalian ada di sini sekarang! Jenazah
almarhum Ayah kami belum lagi dingin di makamnya."
"Maggie," kata Henrietta memperingatkan.
"Kami menerima laporan yang mengejutkan dari dr. Marston,
dokter keluarga ayah kalian," kata petugas yang botak menjelaskan. Ia
ragu-ragu, menatap tajam ke arah Maggie dan Henrietta.
"Tampaknya..." "Tampaknya?" potong Maggie tak sabar.
"Tampaknya ayah kalian bukan meninggal karena alasan yang
wajar. Tampaknya ada yang meracuninya."
Maggie merasa ruangan tiba-tiba berubah gelap. Satu-satunya
suara yang didengarnya adalah detak jam. Setiap detakan jauh lebih
keras daripada biasanya. Kepalanya terasa berputar. Aku akan
pingsan! pikirnya. "Dia dibunuh?" tanyanya dengan napas tersentak.
"Dr. Marston pasti melakukan kesalahan," kata Henrietta
mantap dan tenang. Tapi wajahnya pucat pasi.
"Tidak ada kesalahan," kata polisi yang lebih tua.
"Tapi"tapi siapa yang tega berbuat begitu?" jerit Maggie. Ia
mengepalkan kedua tangannya. Kalau ada yang membunuh ayahnya,
mereka akan membayarnya. Maggie akan memaksa mereka
membayarnya. "Itulah yang ingin kami tanyakan kepada kalian berdua," jawab
petugas yang lebih muda, dengan gugup memutar-mutar topi di
tangannya. "Kami penasaran apakah ayahmu memiliki musuh yang
kalian tahu..." "Musuh?" ulang Henrietta. "Wah, menurutku tidak ada."
"Tidak ada sama sekali," kata Maggie menyetujui. "Kenapa
kalian tega bertanya seperti itu?"
"Kemarin kedua pelayan kami libur serta koki kami pulang,"
tambah Henrietta. "Maggie dan Ayah menghabiskan sore itu berdua
saja, jadi tidak ada yang memiliki kesempatan untuk..."
Henrietta seketika berhenti bicara. Mulutnya agak terbuka.
Maggie merasakan bulu-bulu di tubuhnya meremang saat
mengalihkan pandangannya dari Henrietta kepada para polisi itu.
Keduanya memandangnya dengan tatapan curiga.
Mereka tidak mungkin menganggapnya... Mereka tidak
mungkin percaya bahwa Maggie akan menyakiti ayahnya sendiri,
bukan" "Apa benar, Miss?" tanya petugas yang lebih tua perlahanlahan. "Apa kau dan ayahmu berdua saja sepanjang malam?"
"Wah, ya," kata Maggie, "tapi..."
"Tapi itu sama sekali tidak masuk akal," seru Henrietta,
suaranya makin lama makin keras. "Kalian tidak mungkin berpikir
bahwa hanya karena mereka bertengkar kemarin Maggie akan
memiliki alasan untuk..." Ia kembali tidak menyelesaikan katakatanya.
"Bertengkar tentang apa?" tanya petugas yang botak.
Henrietta menatap Maggie dengan ketakutan. Tangannya
bergerak-gerak gelisah di sisi tubuhnya.
Maggie berpaling memandang kedua polisi itu. "Bukan urusan
kalian, tapi Ayah melarangku menemui pemuda mana pun selama
seminggu. Dia tahu bahwa aku melakukan coaching."
"Coaching?" tanya petugas yang lebih tua.
"Berkeliling taman dengan kereta kuda dan... berciuman,"
gumam petugas yang lebih muda, pandangannya terarah ke lantai.
"Ya, dan kau mengatakan..." Henrietta hendak bicara kembali.
Ia berhenti dengan tiba-tiba, pipinya memerah. Lalu ia menatap kedua
petugas itu dengan pandangan bersalah.
"Dia mengatakan apa?" tanya petugas yang botak dengan kaku.
Henrietta menatap Maggie dengan pandangan meminta maaf.
"Dia mengatakan apa?" ulang petugas botak itu, suaranya
meninggi. "Oh, dear," gumam Henrietta. "Dia mengatakan"well, katanya
dia sudah terlalu tua untuk diatur Ayah. Maggie bersumpah tidak akan
mau mematuhi Ayah lagi." Bibir Henrietta mulai gemetar.
Oh, Hen, pikir Maggie. Sekarang kau sudah melakukannya. Ia
hampir-hampir tertawa. Rasanya aneh sekali ada yang percaya bahwa
ia mampu membunuh ayahnya.
"Kurasa kami harus minta izin untuk menggeledah rumah ini,"
kata petugas yang botak. "Seluruh rumah," tambahnya, sambil
menatap lurus ke arah Maggie, "termasuk kamar tidur Miss Alston."
"Tidak bisa!" seru Henrietta. "Kalian tahu keluarga siapa yang
sedang kalian hadapi" Ini rumah Alston, Sir. Harap diingat di mana
kalian berada." Maggie belum pernah melihat Hen semarah ini. Luar biasa
sekali melihat Henrietta membelanya begitu kuat! Terutama karena
kakaknya tidak suka berdebat.
"Maaf, Miss," kata petugas yang botak kepadanya, "tapi kami
harus menggeledah." Henrietta memandu kedua petugas itu meninggalkan ruang
tamu. Gaun hitamnya yang kaku bergemerisik keras seiring setiap
langkahnya. Maggie tidak beranjak dari tempatnya. Biarkan mereka
menggeledah kamarnya. Tentu saja mereka tidak akan menemukan
apa pun. Mereka pasti menemukan bahwa ia tidak bersalah.
Tapi bagaimana kalau dr. Marston benar" Bagaimana kalau
Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang ada yang membunuh ayahnya" Mungkinkah ada yang
menyelinap masuk ke dalam rumah malam itu tanpa
sepengetahuannya" Mustahil! Ia bisa mendengar suara Henrietta berdebat dengan para polisi
yang tengah menaiki tangga depan. Ia menjatuhkan diri di sofa.
Tubuhnya terasa berat, seakan-akan ada timah yang mengisinya.
Colleen menghambur masuk. Ia tampak akan menangis. "Anda
harus ikut, Miss. Mereka mengatakan hal-hal yang sangat
menakutkan." "Ini kesalahan," kata Maggie kepada Colleen. "Tidak perlu
khawatir. Ini kesalahan besar."
"Please," pinta Colleen. "Bicaralah pada mereka."
Maggie memaksa diri untuk bangkit. Ia berjalan keluar dari
ruang tamu, Colleen merapat di belakangnya. Lalu ia menaiki tangga
yang lebar, sambil mencengkeram pagar berukirnya erat-erat.
"Adikku tidak bersalah!" ia mendengar Henrietta menjerit.
"Beraninya kalian! Hentikan! Hentikan sekarang juga! Kalian tidak
boleh menyentuh barang-barangnya! Hentikan!"
Di puncak tangga Maggie berbelok memasuki lorong panjang.
Kamarnya terasa begitu jauh. Ia tidak tahu apakah ia punya kekuatan
untuk mencapainya atau tidak.
Ia ingin berbaring. Ia ingin beristirahat hingga para polisi itu
pergi. Hingga mereka menyadari bahwa tidak mungkin ada yang ingin
membunuh ayahnya yang malang.
Pintu kamarnya terbuka, dan Maggie menyelinap masuk.
Petugas yang botak memegang lilin sementara yang lebih muda
dengan hati-hati menggeledah barang-barang Maggie. Ia membuka
tutup meja Maggie dan mengaduk-aduk isinya yang tidak seberapa.
"Dia tidak bersalah!" jerit Henrietta lagi dan lagi. Ia
mencengkeram petugas yang lebih muda, berusaha untuk
menghentikannya. Dengan wajah memerah, petugas itu mengibaskan lengannya.
"Henrietta," seru Maggie. Suaranya terdengar pelan dan jauh.
"Tidak apa-apa. Kalau orang-orang tolol ini ingin melihat-lihat kamar
tidurku, biarkan saja..."
Henrietta tersentak saat petugas yang lebih muda mengeluarkan
sesuatu dari laci meja kedua.
Sebuah tabung kaca. Ia mencabut tutup kecilnya dan dengan hati-hati mengendus
cairan di dalamnya. "Racun," katanya.
"Kalau begitu kita sudah menemukan pembunuhnya," kata
petugas yang botak. "Maggie Alston."
Bab 3 MAGGIE merasa wajahnya memucat.
Racun" Di kamarnya" Bagaimana mungkin" Maggie menatap kakaknya"dan melihat ekspresi ngeri
terpancar di wajah Henrietta. Henrietta menggeleng-geleng, dan
menggeleng. Pandangannya terpaku kepada Maggie.
"Henrietta!" seru Maggie. Ia terhuyung-huyung mendekati
kakaknya. "Aku tidak tahu bagaimana tabung itu bisa berada di
kamarku. Tapi kau harus tahu bahwa aku tidak akan pernah menyakiti
Ayah. Tidak pernah, tidak pernah, tidak pernah!"
Bercak-bercak merah muncul di pipi Henrietta yang pucat
seakan-akan ada yang telah menamparnya. "Ya, ya, tentu saja,"
katanya cepat. "Tentu saja aku tahu, Maggie."
Ia menjejalkan beberapa helai rambut cokelatnya kembali ke
ikatannya yang erat. Lalu ia menegakkan tubuh dan berbalik
menghadapi para petugas. "Pasti ada yang sudah meletakkan racun itu
di laci Maggie. Orang yang ingin agar adikku tampak bersalah."
Para polisi itu tidak memperhatikan sama sekali. Mereka berdua
menatap Maggie. "Kau harus ikut dengan kami, Miss," kata petugas yang lebih
tua kepadanya. "Ikut dengan kalian?" Maggie merasa pusing. Ia tidak mampu
untuk berpikir. "Tidak!" teriak Henrietta, sambil memeluk leher Maggie.
Maggie berdiri dengan kepala tertunduk. Tidak mampu
bergerak. Tidak mampu bicara.
Para polisi itu menarik kakaknya. Maggie bisa mendengar
Henrietta menangis, tapi tidak mampu menatapnya.
Ada yang mengatur sehingga seolah dirinyalah yang membunuh
ayahnya. Pikiran itu menggema berulang-ulang dalam benaknya.
"Kita pergi sekarang," kata petugas yang lebih tua. Ia meraih
siku Maggie dengan kasar.
Maggie menyentakkan lengannya. Ia menggeleng, berusaha
untuk menjernihkan kepalanya. "Tidak perlu menyentuhku,"
sergahnya. "Aku akan ikut kalian. Tapi aku tidak bersalah. Itu akan
terbukti dan kalian berdua akan tampak bodoh.
"Henrietta, tolong hubungi Hamilton," kata Maggie tegas.
"Oh, Maggie, aku..." Henrietta terisak-isak, tidak mampu
melanjutkan kata-katanya.
"Lakukan saja permintaanku," kata Maggie bersikeras.
"Hamilton sudah bertahun-tahun menjadi pengacara keluarga kita. Dia
tidak akan mengecewakan kita."
"Tentu saja," kata Henrietta pelan, ketakutan. "Akan kutemui
dia sekarang juga." Maggie berpaling memandang kedua petugas itu. Ia
mengangkat dagunya dan menatap mereka dengan pandangan dingin.
"Well" Aku siap."
Ya, aku siap, katanya pada diri sendiri saat menuruni tangga
bersama kedua polisi itu.
Aku siap. Tapi bagaimana ia bisa siap menghadapi apa yang akan terjadi
selanjutnya" Para petugas itu mengurungnya dalam salah satu Maria
Hitam"kereta yang digunakan untuk membawa narapidana ke
penjara. Orang-orang menatap dan menunjuk-nunjuk saat mereka melaju
lewat. Tolong jangan sampai ada orang yang mengenalku, pikir
Maggie. Kalau ada satu saja yang melihatnya, beritanya akan
menyebar ke seluruh kota malam nanti.
Tidak penting apakah ada yang melihatku atau tidak, pikir
Maggie tersadar. Skandal seperti ini tidak akan pernah bisa
disembunyikan. Maggie Alston"seorang pembunuh.
Teman-teman sejatimu pasti tahu bahwa tuduhan itu tidak
mungkin benar, katanya sendiri. Dan masih ada Henrietta. Tapi
pikiran bahwa ada yang bisa mempercayai bahwa dirinya telah
membunuh ayahnya membuat Maggie muak.
Saat para polisi itu mengantarnya menemui sipir wanita,
Maggie merasakan tubuhnya mati rasa. Ia mengikuti setiap instruksi
penjaga barunya tanpa berpikir. Ia mandi dengan air yang berminyak
dan bau, lalu mengenakan seragamnya. Sehelai gaun kasar berwarna
cokelat. Sebuah topi putih. Dan kaus kaki biru bergaris-garis merah
dari bahan kasar. Sipir lalu menyerahkannya kepada dua wanita penjaga penjara,
yang satu pendek dan rekannya jangkung. Maggie membiarkan
dirinya dibimbing menuruni tangga putar dan melewati lorong-lorong
sempit tanpa memprotes. Aku harus berusaha menganggap semua ini sebagai petualangan
yang paling mengagumkan dan menakutkan, kata Maggie sendiri.
Sesuatu yang bisa kuceritakan kepada teman-temanku bertahun-tahun
yang akan datang! Bagaimana kalau aku tidak pernah dibebaskan dari tempat ini"
Bagaimana kalau aku terpaksa menjalani sepanjang sisa hidupku di
sini" Kedua penjaga itu mengajaknya melewati pintu kayu tebal dan
memasuki halaman yang berudara sedingin es dan basah.
Maggie seketika berhenti. Lututnya mulai gemetar.
Di depannya terdapat penyangga kayu tempat penjara
melakukan hukuman gantung di depan umum.
Panggung kayu besar itu menjulang tertimpa cahaya keperakan
bulan bagaikan monster tengah menanti kesempatan untuk menikmati
dirinya. Kengerian mencengkeramnya kuat-kuat saat Maggie berpaling
memandang para penjaga. "Kalian membawaku ke mana?"
Penjaga yang pendek itu menjawab, "Tentu saja ke tiang
gantung." "Tiang gantung?" Maggie hampir-hampir tidak mampu
mengucapkannya. "Tapi aku tidak bersalah! Semuanya hanya
kekeliruan! Aku..." Kedua penjaga itu memelototinya.
Lalu senyuman kejam merekah di wajah penjaga yang pendek.
Penjaga yang jangkung mulai terbahak-bahak.
Saat menatap kedua wanita itu bergantian, Maggie menyadari
bahwa mereka hanya menggodanya.
"Kau tidak perlu khawatir," kata penjaga yang jangkung
kepadanya. "Mereka baru menggantungmu sesudah pengadilan."
Kedua penjaga itu tertawa terbahak-bahak. "Ayo," perintah
yang pendek sesaat kemudian.
Mereka bergegas melewati pintu terbuka di sisi seberang
halaman, lalu kembali menuruni tangga putar yang lain. Mereka tiba
di sebuah lorong bawah tanah yang panjang dan gelap, diapit sel-sel di
kedua sisinya. Maggie bisa melihat para narapidana wanita
menatapnya dari balik jeruji pintu kayu yang tebal.
Aku sangat jauh dari Alston Manor, pikir Maggie sambil
ketakutan. "Lihat si cantik," kata seorang narapidana sambil mencibir.
"Pasti anak orang kaya kalau melihat kulitnya yang halus," kata
narapidana yang lain. "Diam!" teriak penjaga yang jangkung. "Kecuali kalian ingin
dihajar sampai tidak bisa melupakannya sepanjang sisa hidup kalian
yang menyedihkan." Para penjaga berhenti di depan pintu sebuah sel. Tidak ada
wajah yang ditempelkan ke jerujinya. Penjaga yang pendek
mengambil sebatang kunci besi dari cincinnya yang besar dan
memasukkannya ke lubang kunci. Keduanya membuka pintu dan
mendorong Maggie ke dalam kegelapan.
Pintunya dibanting menutup. Maggie mendengar suara kunci
besinya berdentang saat pintu dikunci di belakangnya.
Sekarang mimpi burukku benar-benar dimulai, pikir Maggie
sambil mengamati selnya. Berlantai batu, dengan dinding miring yang cukup untuk
menampung dua buah ranjang. Ranjangnya terbuat dari papan-papan
sederhana yang ditutupi selimut yang sudah compang-camping.
Dan baunya! Sebuah ember berisi kotoran ada di salah satu
sudut. Berapa sering ember itu dibersihkan, pikir Maggie. Ia duduk
kelelahan di salah satu ranjang.
"Itu ranjangku. Ranjangmu yang di sebelah kiri."
Maggie melompat bangkit. Seorang wanita tua bertubuh besar
tengah bersandar ke dinding sel, dekat pintu. Dalam kegelapan ruang
yang sempit ini, Maggie berjalan melewatinya tanpa menyadari
keberadaannya! Sekalipun tua, wanita itu tampaknya cukup kuat untuk
mencabik-cabik Maggie. Wanita itu maju perlahan-lahan.
Maggie mundur. "Tidak perlu takut," kata wanita besar itu ramah. "Aku tidak
akan menyakitimu, Gadis kecil."
Maggie tidak mampu bicara.
Wanita tua itu tersenyum, dan senyumnya hangat, lembut, baik.
"Selamat datang di rumahku," katanya kepada Maggie. "Tampaknya
kita akan menghabiskan waktu bersama unluk beberapa lama."
"Tampaknya begitu," jawab Maggie menyetujui.
"Namaku Elizabeth," kata wanita yang lebih tua itu. "Elizabeth
Samuels." "Maggie Alston," jawab Maggie.
Wanita bertubuh besar itu memandangnya dengan sangat teliti.
"Wah, Nak, apa yang kaulakukan di tempat terkutuk ini" Kau tidak
melakukan kejahatan apa pun."
"Y-ya, aku tidak bersalah," kata Magie. "Tapi ba"
bagaimana?"" "Aku bisa melihatnya di wajahmu," kata Elizabeth menjelaskan.
"Anak malang," gumamnya.
"Oh, terima kasih!" seru Maggie. "Aku tidak bisa mengatakan
betapa berartinya keramahanmu padaku di waktu seperti ini...."
Maggie tidak mampu menahan diri. Ia mulai menangis. Seluruh
kedukaan dan kekagetan yang dirasakannya... keramahan wanita tua
itu... Seluruh air mata yang telah ditahannya sejak para polisi
membawanya ke Maria Hitam tumpah.
Dari balik air matanya, Maggie melihat Elizabeth tengah
mengamati tangannya yang kering dan berurat, membalik-baliknya.
Ekspresi wanita tua itu mengeras.
"Di mana cincinku?" tanyanya kepada Maggie dengan dingin.
"Apamu?" "Jangan berpura-pura padaku, kau pencuri! Jadi rupanya kau
memang penjahat kotor yang busuk. Kau mencuri cincinku!"
"Aku tidak mengerti apa maksudmu," kata Maggie bersikeras.
"Sungguh!" "Kau mengambilnya! Kau mengambilnya!"
Elizabeth menerjang ke arahnya. Maggie melompat menjauh.
Kakinya terkait ember kotoran. Isinya tumpah mengotori lantai.
"Mundur!" jeritnya kepada Elizabeth. "Atau akan ku..."
Akan, kuapakan" pikir Maggie panik. Apa yang bisa
dilakukannya" Siapa yang melindunginya sekarang"
Tidak ada tempat untuk melarikan diri, tidak ada tempat untuk
bersembunyi. Wanita bertubuh besar itu menyambar rambutnya dan
mendorongnya ke dinding sekeras-kerasnya.
Maggie mencoba menjerit, tapi lengan wanita itu melilit
lehernya, membuatnya sulit bernapas.
Sambil menekan Maggie ke dinding, wanita tua itu merogohrogoh saku-saku Maggie. "Di mana" Di mana kau
menyembunyikannya?" "Sudah kukatakan, aku tidak mengambil cincinmu!" Maggie
tersentak, berusaha mendorong menjauhkan wanita tua itu. "Kau
dengar" Aku belum pernah melihat cincinmu!"
Elizabeth melepaskan Maggie. Ia kembali ke ranjangnya dan
mengempaskan tubuhnya ke sana. Matanya menyipit memancarkan
kemurkaan. "Kau menelannya, eh" Well, itu tidak akan bisa
menghalangiku mendapatkannya kembali. Akan kurobek kau seperti
ikan. Begitu kau tidur, akan kucincang tubuhmu menjadi ribuan
potong! Kau meragukanku" Aku punya pisau yang kusembunyikan di
sel ini." Pandangan Maggie berkeliaran ke seluruh sel, mencari-cari
senjata wanita itu. Elizabeth tergelak.
"Kau tidak akan menemukannya. Sampai kau merasakannya di
perutmu, berputar-putar! Oh, aku akan sangat menikmati mengukir
Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirimu!" Henrietta akan menemui pengacara kami hari ini, pikir Maggie.
Aku akan dibebaskan besok. Aku hanya perlu menghabiskan satu
malam di tempat yang menjijikkan ini.
Saat wanita tua itu terus berceloteh, Maggie mengulangi dua
kata itu terus-menerus. Seperti doa.
Hanya semalam. Hanya semalam. Hanya semalam.... Bab 4 Empat bulan Kemudian SEBATANG tongkat kayu menghantam jeruji besi pintu selnya.
"Maggie Alston, kau mendapat tamu."
Tamu! Semangat Maggie menjulang.
Ia bergegas ke pintu dan menempelkan wajahnya ke jeruji.
"Hen!" Ia tersentak, tersenyum tidak keruan saat melihat wajah
pucat di bawah topi biru cerah yang dikenalinya. "Hen-ku tersayang!
Akhirnya kau datang juga! Aku tahu kau akan datang! Aku tahu!
Rasanya mengerikan sekali melihatmu di persidangan dan tidak
mampu bercakap-cakap denganmu. Aku sangat rindu padamu!"
Maggie mencoba untuk menjulurkan jemarinya dari balik jeruji
untuk menyentuh wajah kakaknya, tapi tidak mampu menjangkau
cukup jauh. Akhirnya aku bisa bercakap-cakap dengannya tanpa
kehadiran Elizabeth yang mengerikan di dekatku, pikir Maggie.
Teman satu selnya itu telah dibawa pergi beberapa hari sebelumnya.
"Aku aman bersamanya," bisik Henrietta kepada penjaga.
Maggie bisa melihat kakaknya baru saja menangis.
Penjaga bertubuh kekar itu menatap Maggie dengan pandangan
keras. "Baiklah," katanya kemudian. Ia melangkah menyusuri lorong.
"Oh, Hen," desah Maggie, "rasanya aku sudah gila. Aku akan
digantung subuh besok! Katakan! Kau membawa berita" Apa kau
sudah berbicara dengan pengacara kita" Apa dia memiliki petunjuk,
prospek, apa...?" Henrietta perlahan-lahan menggeleng. Ia menghapus air mata
dari sudut matanya. Maggie mencengkeram jeruji besi dengan kedua tangan.
"Henrietta! Kau harus bertindak! Mintalah belas kasihan dari hakim!
Apa tidak ada teman lama Ayah yang bisa mempengaruhinya"
Bahkan penundaan sehari sudah membantu. Kita perlu waktu, Hen.
Kita perlu waktu untuk menemukan pembunuh yang sebenarnya!"
Sambil menangis lebih keras, Henrietta mengangkat bahu
dengan sikap tidak berdaya.
"Henrietta! Dengarkan aku!" teriak Maggie. "Sekarang bukan
waktunya untuk patah semangat! Kau sadar betapa seriusnya
situasiku" Sadar" Aku akan mati besok kalau kau tidak bertindak!
Kenapa kau hanya berdiri di sana dan menangis" Kenapa kau tidak
menjawabku" Kau harus bertindak cepat."
Saat Maggie menatap wajah kakaknya yang pucat dan serius,
seluruh harapan menguap dari dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya sejak hakim menjatuhkan vonis, Maggie
benar-benar mempercayai hukumannya. Besok pagi ia akan
digantung. Ia akan menapaki tangga kayu ke tiang gantung. Ia akan
merasakan lilitan tali yang kasar di lehernya. Ia akan melihat
kerumunan bersorak"melolong menuntut kematiannya.
Lalu"blang!"kakinya akan kehilangan pijakan. Ia...
"Kau tampak kacau," kata Henrietta kepada adiknya, menyela
lamunan Maggie yang mengerikan.
Magie mengernyit. "Aku tahu. Aku sendiri sulit mengenali
diriku. Mereka memotong habis rambutku begitu aku dibawa kembali
dari persidangan. Penjaga Tessie yang melakukannya dengan gunting
besar. Dia gembira melakukannya. Terus-menerus mengatakan bahwa
aku gadis kaya yang sok. Bahwa aku takkan sok lagi sewaktu..."
Maggie tidak mampu melanjutkannya.
Ia mulai menangis. "Penjaga itu benar. Kau memang sok," kata Henrietta pelan.
"Selalu menganggap dirimu istimewa. Kesayangan Ayah."
Maggie menatap kakaknya dengan mulut ternganga.
"Apa kau tidak bisa menebak kenapa aku belum pernah
mengunjungimu selama ini" Apa kau belum bisa menebaknya
sekarang?" tanya Henrietta berbisik. Ia mencondongkan tubuh
mendekati jeruji. "Apa kau belum bisa menebak kebenarannya?"
Maggie merasa kedinginan. Ia menangkupkan tangannya rapatrapat agar tidak gemetar.
Henrietta berbalik dan memandang ke lorong untuk memastikan
bahwa tidak ada narapidana atau penjaga yang bisa mendengarnya.
"Aku yang membunuh Ayah!"
Maggie mencoba bicara, tapi tidak terdengar suara apa pun. Ia
menelan ludah dengan susah payah. "Kau?"
"Tentu saja. Banyak pemuda yang mengemis-ngemis agar bisa
berkencan denganmu. Tapi aku tidak secantik kau. Bagaimana aku
bisa mendapat kesempatan untuk mendapatkan pemuda tampan tanpa
warisan Ayah" Dan Ayah tersayang tidak menunjukkan tanda-tanda
akan mewariskannya."
"Oh, Henrietta, tidak," kata Maggie. "Apa kau tidak tahu bahwa
Ayah akan memberikan apa pun yang kauinginkan" Aku yakin dia
sudah menyiapkan mas kawin yang cukup besar untukmu."
"Tidak, Maggie. Ayah akan memberikan apa pun yang
kauinginkan. Dia hanya menyayangi dirimu," kata Henrietta
bersikeras. "Jadi aku menyelinap kembali ke dalam rumah. Kau dan
Ayah sedang bertengkar hebat, jadi tentu saja kau tidak mendengar
kedatanganku. Kucampurkan racun ke gelas anggurnya dan
meletakkan sisanya di kamarmu. Sederhana."
Sejenak Maggie tidak merasakan apa-apa sama sekali. Lalu
kemarahannya meledak. Ia menyambar jeruji besinya dan mengguncangnya sekuat
tenaga. "Akan kubunuh kau!" teriaknya kepada Henrietta. "Kau
dengar" Akan kubunuh kau!"
"Ck, ck," kata Henrietta menggodanya. "Kurasa kau sudah
cukup banyak membunuh." Ia tersenyum dan melambai sedikit sambil
berbalik pergi. Maggie menjerit. Ia bisa mendengar suara para penjaga
berlarian mendekat.ebukulawas.blogspot.com
Henrietta berbalik dan menempelkan wajahnya di jeruji. "Oh,
omong-omong, Maggie," bisik Henrietta sambil tersenyum kecil, "aku
memang menemui pengacara kita. Malahan baru tadi pagi aku
menemuinya. Maaf, kau takkan bisa mendapatkan bagian dari warisan
kita." Senyumnya melebar. "Apa yang akan kulakukan dengan semua
uang itu?" Bab 5 APA kau belum bisa menebaknya sekarang"
Maggie mendengar suara kakaknya mengucapkan kata-kata itu
berulang-ulang saat ia berbaring menunggu datangnya pagi. Pagi saat
ia dieksekusi. Apa kau belum bisa menebak kebenarannya"
Bagaimana aku bisa hidup bersama Henrietta seumur hidupku
dan tidak pernah menduga bahwa dia begitu membenciku" pikir
Maggie. Kelopak matanya terasa berat. Pasti mudah sekali untuk tidur.
Untuk melupakannya. Jangan tidur, Maggie, katanya sendiri.
Kau tidak boleh tidur! Ia tidak ingin menghabiskan beberapa jam terakhir hidupnya
dengan sia-sia. Tapi ia merasakan dirinya terlelap.
*************** Seseorang mengguncang bahunya.
Maggie tersentak duduk sambil menjerit kaget.
Seseorang berpakaian hitam-hitam berdiri di samping
ranjangnya. Kerudung hitam menutupi wajahnya.
"Tidak!" jerit Maggie, sambil menyurut menjauh. "Siapa kau?"
"Algojomu." Algojo itu mengulurkan tangan. "Sudah waktunya."
"Tapi sekarang tidak mungkin sudah subuh," jerit Maggie.
"Aku diberitahu waktunya subuh!"
"Sudah waktunya!" ulang algojo itu, suaranya semakin kasar.
Maggie mulai gemetar. "Kau tidak bisa berbuat begini! Aku
tidak bersalah! Tidak bersalah!"
Algojo itu mencengkeramnya dengan kasar. Ia meremas lengan
Maggie yang kurus begitu kuat hingga Maggie merasa yakin
tulangnya akan patah. "Ayo! Sekarang!"
Algojo itu menyeretnya keluar dari sel.
Menyeretnya menuju kematian.
"Tidak! Please! Lepaskan aku!"
Algojo berkerudung itu mendorongnya di sepanjang lorong
yang sempit. Para narapidana bersorak-sorak dan tertawa.
"Hati-hati dengan tali yang kaupilih, Sayang. Kudengar ada
yang sangat erat!" "Kuharap kau mati dengan cepat, Miss. Wanita gendut itu
terayun dan berputar selama berjam-jam."
Lutut Maggie melemas. Ia jatuh ke lantai. Algojonya
menyentakkannya bangkit berdiri.
Well, kalau memang harus mati, pikir Maggie, aku akan mati
sebagai wanita yang punya harga diri dan tidak bersalah. Aku akan
meninggalkan dunia dengan hormat.
Ia menegakkan tubuhnya. "Kau tidak perlu memegangi
lenganku lagi," katanya kepada algojo, suaranya gemetar. "Aku bisa
jalan sendiri." Saat berjalan melewati deretan sel yang seakan tak berujung,
Maggie berusaha mempertahankan ekspresinya agar tidak
menunjukkan emosi apa pun.
"Lihat wanita kaya itu!" jerit salah seorang narapidana. "Dia
mengira dirinya sedang berjalan-jalan di Astor Place."
"Pembunuh Ayah! Kau layak mati, sampah!"
Algojo menendang sebuah pintu dan mendorong Maggie
melewatinya. "Terus jalan," katanya pada Maggie. "Kita tidak ingin
membiarkan masyarakat menunggu. Ada kerumunan besar yang
menanti dirimu terayun-ayun. Lewat sini!"
Di depan terdapat sebuah tangga putar yang sempit.
Maggie memaksa dirinya menapaki tangga pertama, kedua...
"Tunggu!" kata algojonya.
Ia menurunkan kerudungnya.
Maggie tersentak. "Kau!"
Wajah merah. Bintik-bintik. Algojonya ternyata salah satu
polisi yang membawanya ke penjara.
"Aku tidak menger..."
"Dengarkan baik-baik, Miss Alston," bisik polisi itu.
Maggie bisa mendengar ketakutan dalam suaranya"dan
seketika ia tahu bahwa pria ini mempertaruhkan keselamatannya
sendiri untuk dirinya. "Di puncak tangga ini ada pintu. Aku sudah membuka
kuncinya. Pergilah melalui pintu itu. Ada kereta yang menunggumu.
Ini, kenakan ini." Polisi itu mengulurkan sehelai gaun hitam kebesaran, yang
disembunyikannya di balik mantelnya sendiri. "Dengan begitu
seragam penjaramu akan tertutupi. Jangan buang-buang waktu. Cepat.
Kenakan! Sekarang, Maggie!"
Maggie mematuhinya, mengenakan garm itu dengan jari
gemetar. Lalu petugas polisi muda itu mendorongnya. "Pergi!"
Maggie menaiki tangga, lalu berhenti dan berpaling. "Kenapa
kau melakukan ini?" Petugas muda itu memerah wajahnya. "Kau tidak ingat padaku,
bukan" Aku Thomas Dobbs. Kau sudah menolong keluargaku
sewaktu rumah kami terbakar habis. Aku percaya kau tidak bersalah,
Maggie Alston. Aku percaya sejak awal."
"Tuhan memberkatimu!"
"Pergi!" Maggie bergegas menaiki tangga batu, hampir-hampir jatuh
karena gaun hitamnya yang panjang.
Ia tiba di depan sebuah pintu yang berat. Ia mendorongnya
sekuat tenaga. Pintu itu berderit terbuka.
Ia melangkah keluar ke udara yang dingin dan berkabut.
Kata Thomas ada kereta yang menunggu. Ia bergegas
menyusuri dinding batu. Di mana" Di mana keretanya" Ia berbelok di
tikungan" dan langsung berhadapan dengan seorang polisi bertubuh
besar. Polisi itu menggenggam pistolnya.
"Sudah cukup!" katanya.
Bab 6 MAGGIE menjerit kaget. Ia mundur. Mencari jalan untuk lari. Jalan untuk meloloskan diri.
Keretanya! Di mana keretanya"
Oh, ia begitu dekat dengan kebebasan!
"Lewat sini!" kata petugas itu, sambil menyentakkan lengan
Maggie. "Di sana. Lewat tikungan itu. Lari! Keretanya sudah
menunggu." Maggie merasa ingin pingsan.
Pria ini bekerja sama dengan Thomas! Masih ada harapan!
Ia mencengkeram tangan pria itu. "Terima kasih! Terima
kasih!" "Lari!" perintah pria itu.
Maggie melesat melewati ambang pintu yang melengkung,
jantungnya berdetak begitu kencang. Sebuah kereta telah menanti
tidak jauh dari situ. Kuda-kudanya meringkik saat ia berlari mendekat.
Pintu keretanya membuka. Dua tangan yang kuat membantunya
masuk ke dalam. Dalam kereta yang gelap itu ada seorang pria yang lebih tua
mengenakan jas hitam, tubuhnya bulat bagaikan tong, dan ia memiliki
kumis cokelat yang menyentak-nyentak di bawah hidungnya yang
besar. "Tiarap!" katanya kepada Maggie.
Maggie bergegas berjongkok agar tidak terlihat dari luar. Pria
berkumis itu mengetuk sisi kereta dengan payungnya, dan kusirnya
segera melecutkan tali kekangnya.
Mereka pun melaju. Maggie hanya berani menghela napas pelan. Ia masih takut
tertangkap. Diseret kembali ke penjara. Digantung.
Ia mendengar suara gerbang besi menderit dibuka.
"Sudah mau pergi?" tanya seorang pria. "Ada yang digantung
pagi ini, tahu kan."
Maggie memejamkan matanya rapat-rapat dan menempelkan
wajahnya ke lantai kereta. Apa penjaga akan mengintip ke dalam dan
menemukan dirinya bersembunyi di sini"
"Oh?" tanya kusir tua itu.
"Aye. Kau harus kembali melihatnya. Pasti bagus. Gadis cantik
kaya yang meracun ayahnya. Jelas penontonnya akan banyak. Pasti
menyenangkan melihat gadis kaya seperti itu menangis dan
Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengemis-ngemis minta pengampunan."
Maggie merasa perutnya mulas. Ia menekankan dirinya lebih
rapat lagi ke lantai kereta.
"Aku tidak boleh melewatkan penggantungan seperti itu
walaupun untuk seluruh teh di China," kata kusir tua itu bergurau.
"Giddyap!" Kekangnya kembali dilecut.
Akhirnya"mereka meninggalkan penjara.
Maggie tidak beranjak duduk. Ia tidak merasa aman sebelum
berada sangat jauh dari penjara. Dan tali gantungan.
Beberapa kilometer kemudian, kereta itu berhenti. Pria
berkumis itu membuka pintu dan membantu Maggie turun tanpa
mengatakan apa-apa. Ia bergegas mengajak Maggie memasuki sebuah
bangunan kayu reyot. Seorang wanita pendek gemuk telah menanti mereka. "Dia
milikmu, Priscilla," kata pria itu, kumis walrusnya bergerak-gerak.
"Aku harus minum sebelum jantungku meledak. Benar-benar urusan
yang merepotkan!" "Rasanya kau selalu punya alasan untuk minum, Otto," gumam
Priscilla. Ia berpaling kepada Maggie. "Lewat sini, Miss," katanya.
Wanita gemuk itu meraih tangan Maggie dan mengajaknya ke
ruang tamu yang suram. Ia menutup pintu geser di belakang Maggie.
"Kenakan saputangan ini. Dengan begitu rambutmu yang
terpotong tidak akan terlihat. Benar-benar kejam, memotong rambut
wanita seperti itu. Well, nanti juga tumbuh. Dan tidak akan ada yang
menyakitimu lagi, Miss, tidak kalau kami bisa menghalanginya."
Sudah lama sekali Maggie tidak mendengar orang berbicara
seramah itu padanya. "Tuhan memberkatimu," gumamnya sambil
menutupi rambutnya dengan saputangan. Ia menyimpulnya erat-erat di
bawah dagunya. "Sekarang aku akan berbalik, Miss," kata Priscilla, "sementara
kau berganti dengan pakaian ini." Ia mengulurkan setumpuk pakaian.
"Ini bukan pakaian terbaik yang biasa kaukenakan, tapi sayangnya ini
yang terbaik yang bisa kutawarkan. Lagi pula, menurut suamiku
pakaian orang miskin seperti ini baik untuk penyamaranmu.
Bagaimanapun juga, semua orang mencari seorang wanita kaya."
"Kalau saja aku bisa membalas..."
"Jangan mengkhawatirkan hal itu. Apa putraku Thomas tidak
menjelaskan kenapa kami berbuat begini" Sekarang bergegaslah.
Aku sudah mengemasi beberapa potong roti jagung untukmu di
tas ini. Dan semua uang yang bisa kami cadangkan untuk
membantumu selama di perjalanan."
Perjalanan" pikir Maggie. Aku mau ke mana"
Tapi ia mematuhi perintah wanita gemuk itu. Setelah itu yang ia
ketahui adalah Mr. dan Mrs. Dobbs telah mengajaknya keluar dan
naik kereta lagi. "Ke mana?" tanya Maggie. Dalam kebingungannya, ia merasa
tidak mampu menyusun pertanyaan lebih jelas dari itu.
"Ke luar kota, Miss," kata Priscilla. "Dan akan lebih baik kalau
kau tidak pernah kembali."
Maggie membayangkan Henrietta tersenyum kepadanya dari
balik jeruji sel. Kemarahan membakar dalam dada Maggie. Aku tidak
bisa membiarkannya lolos begitu saja. Aku tidak bisa membiarkannya
lolos sesudah membunuh ayahku.
Ia mencoba untuk turun kembali dari kereta, tapi Mr. Dobbs
menghalangi jalannya. "Kau tidak mengerti, Sir," kata Maggie kepadanya. "Aku sudah
menemukan pembunuh ayahku yang sebenarnya. Aku harus
menangkapnya sekarang juga!"
Wajah Mr. Dobbs memucat. "Kalau kau tetap berada di kota ini,
kau hanya akan digantung. Dan semua orang yang sudah
membantumu melarikan diri juga akan digantung bersamamu."
Maggie tidak berpikir begitu. Mr. Dobbs benar. Ia harus
meninggalkan kehidupannya yang ini untuk selama-lamanya.
Paling tidak ia tidak akan pernah menghadapi apa pun yang
lebih buruk daripada beberapa bulan di penjara. Atau paling tidak
begitulah pikirnya. Bab 7 Boston, 1858 "MAGGIE harus memulai kehidupan baru," kata Timothy
kepada teman-temannya yang duduk di sekitar perapian. "Kehidupan
yang baru itu dimulai sebagai pengasuh anak di sebuah keluarga
bernama Malbourne di Boston ini. Tanggung jawabnya adalah dua
anak laki-laki kecil yang ibunya baru-baru saja meninggal karena
influenza. "Maggie menggunakan nama baru"Maggie Thomas. Dia yakin
masa-masa terburuk dalam kehidupannya telah berakhir. Tapi dia
keliru." Pintu perpustakaan terbuka.
Semua orang berpaling dengan terkejut.
Pasti karena ceritanya, pikir Timothy. Mereka sudah mulai
terpengaruh. "Maafkan mengganggu, Master Timothy," kata Lucy, pelayan
kecil keluarga Fier yang lincah. Ia membungkuk. "Ibu tirimu merasa
kau memerlukan tambahan penerangan."
Di balik jendela perpustakaan, kegelapan telah turun. Angin
musim dingin yang sebeku es melolong.
Dengan diam, Lucy berkeliaran di dalam ruangan untuk
menyalakan lampu-lampu gas di dinding. Tidak satu pun teman
Timothy yang bicara. Mereka hanya mengawasi api-api kecil itu
menyala, satu per satu. Bahkan sesudah semua lampu dinyalakan, sebagian besar
ruangan masih tertutup bayang-bayang.
Lucy memberi hormat dan berlalu dari ruangan itu, menutup
pintu di belakangnya. Semua mata kembali memandang Timothy.
Ia diam sejenak untuk menghirup cider-nya. Cairan panas dan
kehitaman itu membakar tenggorokannya. Ia masih merasa setengah
membeku akibat sepanjang hari bermain salju di luar.
Atau ceritanya sendiri telah membuatnya ketakutan setengah
mati" "Menurutku, Timothy, karena kebetulan kau berhenti, aku harus
memprotes," kata Henry Clinton. "Kau menjanjikan cerita hantu. Dan
sejauh ini kau hanya menceritakan pembunuhan berdarah dingin."
Semua anak lainnya tertawa. Tapi tidak sebebas saat sebelum
Timothy menceritakan kisahnya.
"Aku baru saja tiba di bagian yang ada hantunya," jawab
Timothy. "Percayalah, kalian seharusnya tidak setergesa-gesa itu
untuk mendengarnya. Ini urusan yang menjijikkan. Dan kau sudah
melanggar janjimu, Henry. Tidak ada yang menyela kataku tadi.
Sekarang kalau kau ingin aku berhenti..."
"Apa?" jerit Henry. "Tidak bisa!"
"Oh, please, lanjutkan!" desak Betsy.
"Ya, Timothy, please!" kata Phillip Eastwick sambil tersenyum.
"Kami tidak akan melanggar janji lagi."
"Baiklah," kata Timothy.
Di luar, terdengar suara ladam kuda berdetak-detak
menghantam jalan dari batu-batu bulat. Hewan itu meringkik seakanakan ketakutan.
Timothy memperhatikan salah satu pendengarnya yang
setengah tersembunyi di balik bayang-bayang.
Menceritakan kisah ini kepada satu orang akan lebih mudah,
pikir Timothy. Dengan memusatkan pandangannya ke sosok samar
itu, ia memaksa diri untuk melanjutkan....
Bab 7 Boston, 1847 MAGGIE mengintip suasana yang muram dan berawan dari
balik jendela kereta. Ia melihat seekor burung robin berdada merah
tengah menarik-narik seekor cacing dari dalam tanah dengan paruhnya
yang panjang dan tajam. Lalu ia melihat sebuah papan kayu bertuliskan Tanglewood.
Ukir-ukiran buah beri dan sesemakan berdaun jarum mengelilingi kata
itu. Akhirnya tiba, pikir Maggie. Akhirnya kami tiba di tanah
keluarga Malbourne"dan hari ini aku memulai pekerjaanku sebagai
pengasuh anak. Kegugupan membuat Maggie merasa mulas.
Kau pernah memiliki beberapa pengasuh, kata Maggie pada
dirinya sendiri. Seharusnya tidak sulit untuk menjadi pengasuh dua
anak lelaki. Jalannya menikung tajam dan bangunannya terlihat begitu tibatiba sehingga Maggie hampir tersentak. Begitu besar. Ada dua menara
kembar menjulang dari dinding-dindingnya yang tertutup tanaman
ivy. Maggie menggigil. Ia tidak mampu menahan kenangan akan
gedung lain yang juga bermenara seperti benteng.
Penjara. Perasaan muram menguasai Maggie. Ia menggeleng. Bukan
begini caranya memulai kehidupan baru.
Tanglewood rumah duka, ia mengingatkan sendiri. Tentu saja
suasananya sedih. Tapi kau akan membantu mengubahnya.
Kereta itu berhenti di depan sebuah jalan setapak dari batu-batu
pipih yang menuju ke pintu depan. Kusirnya membuka pintu kereta,
dan Maggie turun. Kusir menurunkan tasnya dari atap. Bum! Ia
menjatuhkan tas itu di dekat kaki Maggie.
"Terima kasih," kata Maggie, sambil tersenyum hangat. "Ya
ampun. Rumah ini sangat besar dan mengagumkan, bukan?"
Pelayan itu hanya mengangguk muram.
Benar-benar pria yang sulit! pikir Maggie. "Di mana aku bisa
bertemu dengan Mr. Malbourne?" tanyanya.
"Kau tidak akan bertemu dengannya," kata pria itu kepadanya.
"Dia sedang tidak berada di rumah." Setelah menyampaikan berita itu,
ia kembali naik ke kursinya. "Git!" serunya kepada kuda-kuda
kelabunya yang besar. Ia melecutkan tali kekang ke punggung hewanhewan itu.
Maggie mengawasi hingga kereta itu berbelok di tikungan. Ia
pasti kembali ke istal. Maggie meraih tasnya. Ringan, pikirnya. Salah
satu keuntungan hanya memiliki sedikit barang.
Ia menyusuri jalan setapak lebar ke pintu depan yang besar itu.
Sebuah pengetuk berbentuk kepala singa dari kuningan menyeringai
ke arahnya. Ia mengulurkan tangan dan mengetukkannya dua kali.
Klang! Klang! Ia mengetuk lagi beberapa kali. Lalu ia mencoba pintunya.
Terbuka. Ia melangkah masuk ke dalam ruang depan yang luas. Angin
dingin mengembus lehernya.
"Halo, ada orang di dalam?" Suaranya menggema di ruang yang
luas itu. Ia maju lagi beberapa langkah"dan sebuah tangan sedingin
es mencengkeram tangannya.
Maggie menjerit dan menyentakkan tangannya. Siapa yang
melakukannya" Ia menunduk"dan memandang seorang anak yang paling tidak
berusia 7 tahun. "Ya ampun!" serunya. "Kau membuatku ketakutan!
Dari mana kau muncul?"
Anak itu tertawa. "Aku pandai menyelinap mendekati orangorang," katanya mengakui. "Koki!" serunya. "Pengasuh baru sudah
tiba! Kemarilah! Dia cantik!"
"Kau siapa?" tanya Maggie. "Andrew atau Garret?"
Anak itu tersenyum. "Dari mana kau tahu nama kami?"
"Karena ayahmu menulis surat padaku dan menceritakan
tentang kalian, mengatakan betapa kalian putra yang baik. Sekarang,
kau yang mana?" "Andrew," kata anak itu.
Minta ampun, pikir Maggie. Aku sangat ketakutan memulai
pekerjaan baru ini, dan coba lihat anak ini. Dia manis, ramah, dan
tampak sangat menarik dengan rambut keriting pirang dan jas biru
kecilnya. Merawat anak-anak seperti ini pasti menyenangkan.
"Namamu siapa?" tanya anak itu riang.
"Kau boleh memanggilku Miss Thomas," kata Maggie.
"Miss Thomas," ulang anak itu patuh.
Sekarang apa" pikir Maggie. Ia hanya punya sedikit
pengalaman bercakap-cakap dengan anak-anak. Ia menyadari ada
cincin di salah satu jari Andrew. Huruf-huruf A.M. diukir dengan
rumit di batu mirahnya yang mengilat.
"Cincin yang indah, Andrew," kata Maggie. "Apa itu..."
Sebelum Maggie sempat menyelesaikan pertanyaannya, seorang
wanita kurus berseragam hitam bergegas memasuki ruang depan,
sambil mengeringkan tangan menggemakan celemek putihnya.
"Maafkan aku," katanya kepada Maggie. "Aku sedang berada di
ruang penyimpanan dan tidak mendengar kedatanganmu. Selamat
datang di Tanglewood. Aku Koki, atau begitu-lah mereka di sini
memanggilku. Kau sudah bertemu dengan Master Andrew." Koki
menepuk-nepuk kepala anak itu.
"Benar," kata Maggie.
"Semoga perjalananmu tidak terlalu sulit," kata Koki. "Kau
pasti kelelahan dan kelaparan setengah mati."
Justru Koki yang tampaknya kelaparan, pikir Maggie. Dia
begitu kurus kering. Rasanya tidak mungkin dia menyantap cukup
banyak hasil masakannya sendiri!
"Akan kusiapkan makan siang untukmu," lanjut Koki. "Mary!
Kemarilah, temui pengasuh baru kita!"
Seorang pelayan muda bergegas masuk dan menyapa Maggie
dengan tergagap-gagap. "Dia masih baru, dan cukup pemalu," bisik Koki.
"Halo, Mary," kata Maggie.
Wajah pelayan itu memerah.
Maggie merasa iri sewaktu menyadari rambut Mary yang lebat
dan diikat ekor kuda. Rambut Mary sama merah dengan rambutnya
sendiri. Dalam beberapa bulan sejak melarikan diri, rambut Maggie
telah tumbuh cukup panjang untuk tidak lagi mengenakan saputangan.
Tapi masih butuh waktu lama sebelum rambutnya menjadi seindah
dulu. "Bawa tas Miss Thomas ke kamarnya, Mary, sementara itu aku
akan memberinya makan. Kita sudah membiarkan makhluk malang
yang kelaparan ini seorang diri di ruang tamu dan menimbulkan kesan
pertama yang buruk mengenai Tanglewood."
"Oh, sama sekali tidak," kata Maggie berusaha untuk
meyakinkannya. Pelayan itu membungkuk memberi hormat. Lalu ia meraih tas
Maggie. Ia bergegas menaiki tangga putar yang meliuk di salah satu
sisi ruang tamu. "Tapi harus kuakui, pria yang membawaku kemari tampaknya
memang agak tidak bersemangat," lanjut Maggie.
Koki menyeberang ke jendela dan memandang keluar. "Itu
pelayan pribadi Mr. Malbourne, George Squires. Dia orang paling
masam yang bisa kautemui. Tapi kurasa dia punya alasan untuk
bersikap begitu." Koki menurunkan volume suaranya dan menutupi mulut dengan
tangannya agar Master Andrew yang masih muda tidak
mendengarnya. "Istrinya lari meninggalkannya," katanya.
"Oh, aku mengerti," jawab Maggie.
"Andrew, tolong ajak adikmu makan siang," kata Koki.
Andrew tidak bergerak.
Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cepatlah," kata Koki dengan nada lebih tajam.
Andrew menyambar tangan Koki dan menariknya menjauhi
Maggie. Koki tersenyum dengan sikap meminta maaf, lalu
membungkuk untuk mendengarkan kata-kata Andrew.
Maggie hanya bisa menangkap sepotong-sepotong. "Bagaimana
kalau dia... buruk... seperti yang lainnya..."
Maggie berkeliaran mengelilingi ruang depan itu karena malu
untuk terus berdiri dan mendengarkan. Ia mengagumi lukisan-lukisan
yang tergantung di dinding. Keluarga Malbourne tampaknya lebih
kaya daripada keluarganya dulu.
Maggie berhenti di depan foto seorang wanita pirang yang
cantik. Mungkin ibu anak-anak itu, pikirnya. Ia menggigil bagai
kedinginan. Aku pasti berdiri di jalur angin.
Tapi ia tidak bergerak. Lukisan itu memesonanya"sekalipun ia
merasa agak ketakutan sewaktu menatapnya.
Ini hanya lukisan seorang wanita malang yang meninggal di
sini, kata Maggie sendiri.
Ia mendengar suara pelan di belakangnya. Ada yang
mengawasiku! pikirnya. Bulu kuduknya berdiri tegak. Tepat di tempat
gunting penjaga penjara membabat rambutnya.
Ia berbalik. Tidak ada orang di sana. Lalu ia menengadah. Seorang anak menatapnya dari tepi
balkon. "Kau pasti Garret," kata Maggie.
Anak itu tidak menjawab. Wajahnya cemberut. Ia membungkuk
lebih jauh melewati pagar dan melemparkan sesuatu ke arah Maggie.
Benda itu meluncur ke kepala Maggie!
Bab 9 MAGGIE melompat mundur. Sebuah vas berat hancur berkeping-keping di lantai dekat
kakinya. Sejenak, Maggie berdiri membeku di tempatnya. Lalu ia
menengadah memandang balkon. Wajah kecil yang cemberut itu telah
menghilang. Koki dan Andrew bergegas berlari mendekatinya. "Oh, ya
ampun, oh, ya ampun," gumam Koki. "Kau baik-baik saja?"
"A"aku baik-baik saja," kata Maggie. Ia menunduk menatap
vas yang berantakan dan lututnya mulai gemetar. Nyaris sekali, dekat
sekali. Benar-benar perubahan nasib yang luar biasa! pikirnya. Bisa
meloloskan diri dari tali gantungan, hanya untuk terbunuh oleh sebuah
vas jatuh! Koki melotot ke arah balkon, wajahnya yang panjang dan kurus
memerah. "Garret," gumamnya dengan gigi terkatup.
Andrew menarik-narik tangan Maggie. Ia tampak ketakutan.
"Apakah kau baik-baik saja, Miss Thomas?"
"Ya, Andrew, aku baik-baik. Terima kasih."
"Apakah Garret yang melakukannya?" tanya Andrew. Suaranya
gemetar. Maggie menggeleng. "Aku yakin itu hanya kecelakaan,"
katanya kepada Andrew. Ia berpaling kepada Koki untuk
Tusuk Kondai Pusaka 5 Tokoh Besar Karya Khu Lung Rahasia Mawar Beracun 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama