Fear Street - Nilai Akhir Final Grade Bagian 3
kakakku. Tapi kali ini akan lain jadinya. Aku bertekad menemukan
pembunuh saudara sepupuku."
****************************
Saat bersiap-siap naik ke tempat tidur malam itu, Lily kembali
memikirkan kata-kata Julie.
Seandainya Julie benar-benar ingin menyelidiki kematian
Graham, apa yang akan terjadi" Bagaimana bila ia berhasil
menyimpulkan bahwa Scott-lah pelakunya"
Lily sama sekali tidak mau memikirkan apa yang kira-kira akan
dikatakan atau dilakukan oleh Scott bila Julie menuduhnya.
Telepon berdering, membuyarkan pikiran-pikirannya.
"Halo?" katanya waswas.
"Lily, ini aku."
"Hai, Scott." "Kedengarannya kau tidak terlalu gembira menerima
teleponku." "Apa maumu?" "He, begitu ya caramu bicara pada orang yang sangat
menyayangimu?" tanya Scott. "Kukira kau sudah mengerti, Lily.
Kusangka kau sudah mengerti bahwa kita ditakdirkan untuk bersamasama"selamanya."
"Aku mengerti," sahut Lily, berusaha agar suaranya terdengar
tulus. Mungkin, pikir Lily, satu-satunya cara untuk menghadapi Scott
adalah dengan berpura-pura sependapat dengannya. Paling tidak
sampai ia menemukan jalan untuk menyelesaikan kemelut ini. "Tapi
kurasa sebaiknya kita tidak banyak bicara atau terlihat bersama-sama,"
lanjut Lily. "Orang-orang akan curiga. Lagi pula, belum lama sejak
ditemukannya jenazah Graham?"
"Kedengarannya kok seperti alasan yang dibuat-buat," potong
Scott. "Kau mencoba menyingkirkan aku, ya?"
"Aku hanya bersikap hati-hati," bisik Lily ke dalam pesawat
telepon sambil melirik pintu kamar tidurnya. "Lagi pula, bagaimana
dengan Alex" Aku kan tidak bisa begitu saja berhenti pacaran
dengannya." "Kenapa tidak?" sergah Scott.
"Karena"karena kami sudah berpacaran selama enam bulan,"
jawab Lily terbata-bata. "Ia sangat mengenalku, Scott. Kalau
mendadak aku bersikap lain, ia pasti tahu ada sesuatu yang tidak
beres. Ia akan curiga."
"Ia tidak mengerti kau seperti aku," tukas Scott keras kepala.
"Putuskan dia, Lily. Aku ingin kau menjadi pacarku."
"Sebentar lagi," ujar Lily hati-hati. "Tapi sekarang belum."
"Selama ini aku sudah sangat bersabar," kata Scott. "Tapi aku
tak mau menunggu lebih lama lagi."
"Kita harus berhati-hati," ucap Lily lagi. "Ada orang yang sudah
mulai curiga." "Siapa misalnya?"
"Julie," jawab Lily tanpa pikir lagi. "Ia merasa Graham
dibunuh." "Benarkah?" tanya Scott tenang. "Biarkan saja ia berpikir
begitu. Ia tidak akan bisa melakukan apa pun."
"Jangan terlalu yakin," tukas Lily. "Ia pintar. Dan katanya ia
akan menemukan pelaku pembunuhan itu."
"Sungguh?" Scott terdiam sejenak. Waktu ia membuka
mulutnya lagi, suaranya terdengar jahat. "Kalau begitu mungkin aku
harus meneleponnya sendiri."
Lily langsung panik. "Apa maksudmu?" semburnya dengan
suara gemetar. "Maksudku, aku akan meneleponnya dan mencari tahu apa yang
ia pikirkan. Akan kutanyakan siapa yang ia curigai bertanggung jawab
atas kematian Graham."
"Bagaimana jika?" Lily nyaris tak berani bernapas.
"Bagaimana jika ia berkata menurutnya kaulah pelakunya?"
Lama Scott tidak menjawab. Waktu akhirnya ia berbicara,
suaranya hanya berupa bisikan. "Kalau begitu kurasa aku harus
meluruskan dugaannya," jawab pemuda itu. "Akan kuberitahu bahwa
itu gagasanmu." "Jangan!" jerit Lily ketakutan. "Kau tidak boleh melakukan hal
itu!" "Aku harus melakukannya," ulang Scott. Suaranya pelan sekali,
sampai-sampai Lily harus berjuang keras untuk bisa mendengarnya.
"Lagi pula, aku mengambil risiko besar, hanya demi kau. Aku
melakukannya supaya kau sadar bahwa kita memang ditakdirkan
untuk bersama-sama, Lily. Kalau kau tidak mulai menganggapku
serius, aku punya pilihan apa lagi?" "Tapi, Scott?"
"Kita sama-sama terlibat, Lily. Kau dan aku. Terlibat di
dalamnya bersama-sama"selamanya."
17 LILY menyikat rambutnya asal-asalan. Ia tidak terlalu peduli
bagaimana penampilannya. Kok bisa-bisanya aku melakukan hal ini"! pikirnya.
Tapi ia harus bagaimana lagi" Saat itu malam Minggu, dan ia
sudah berjanji pada Scott untuk berkencan dengannya. Mungkin
setelah kencan ini cowok itu takkan mengganggunya lagi untuk
sementara waktu. Bagian tersulit adalah membuat Scott setuju untuk bertemu di
bagian kota yang lain supaya Alex tidak sampai tahu. Rumah Alex
hanya satu blok dari rumahnya, besar kemungkinan ia akan melihat
Scott kalau cowok itu menjemput Lily di rumah.
"Pergi dulu, Dad." Lily melongok ke ruang keluarga sebelum
berangkat. "Baiklah, Lily." Ayahnya tersenyum memandangnya. "Pergi
dengan Alex?" "Eh, tidak," jawab Lily. "Hanya... eh... dengan teman sekolah."
"Well, selamat bersenang-senang. Daddy senang kau mau
bersantai-santai sedikit."
"Trim s," bisiknya.
Aku malah lebih senang belajar, pikir Lily sambil berjalan ke
luar. Ia sudah sampai di dekat pojok Old Mill Road ketika tampak
olehnya sesosok tubuh yang sudah sangat dikenalnya berjalan di
trotoar di depannya. Alex! "Lily"hai!" seru Alex, sama kagetnya dengan Lily.
"Hai, Alex," balas Lily, berusaha menutupi kepanikannya.
"Kau mau keluar" Katamu tadi kau akan belajar malam ini."
"Oh, yah..." Lily berpikir cepat, "memang. Aku mau pergi ke
perpustakaan. Aku harus mencari bahan untuk... ehm... mata pelajaran
IPS." "Aku bisa pinjam mobil Mom nanti. Bagaimana kalau kujemput
kau di sana dan setelah itu kita pergi makan piza atau apa?"
"Sebenarnya aku ingin sekali, Alex," tolak Lily. "Sungguh.
Hanya saja aku sudah janji pada Daddy akan langsung pulang setelah
selesai mencari bahan. Kau kan tahu bagaimana sifat ayahku."
"Yeah," gerutu Alex.
Lily meletakkan tangannya di bahu Alex. "Bagaimanapun juga,
terima kasih." "Yeah, tentu," balas Alex. "Well, sampai nanti." Ia pergi ke arah
rumahnya sambil mengentakkan kaki.
Lily menatap kepergian Alex selama beberapa saat, lalu
menghela napas. Ia tahu Alex marah. Tapi bagaimana lagi"
Diteruskannya langkahnya dengan enggan.
Scott menemuinya di halte bus di depan pusat pertokoan. "Kau
kelihatan cantik," puji pemuda itu ceria.
"Trims," balas Lily, mencoba tersenyum.
"Akhirnya kita benar-benar berkencan," ucap Scott kegirangan.
Diraihnya tangan Lily. Telapak tangannya terasa panas dan lembap
oleh keringat. "Apa yang ingin kaulakukan?" tanya Scott, menariknya
mendekat. "Bagaimana kalau kita nonton film dan sesudah itu
makan?" Idenya benar-benar orisinil, pikir Lily sarkastis.
Scott mengusulkan nonton dua film yang sedang diputar di
Division Street Sixplex. "Aku sudah nonton kedua-duanya," jawab Lily cepat-cepat.
"Aku ingin sekali nonton film Winona Ryder yang baru. Kau tahu
kan, yang romantis sekali itu, lho."
"Hah?" Scott kaget sekali. "Filmnya main di mana?"
"Di Waynesbridge," jawab Lily. "Aku kepengin sekali. Ya,
Scott?" "Tentu," sahut Scott. "Kalau kau memang benar-benar ingin
nonton film itu." Dibukanya pintu Accord perak milik ayahnya.
Sambil menelan ludah dengan susah payah, Lily masuk ke
dalam mobil. Ia memilih menonton film itu karena diputar di
Waynesbridge, dua puluh mil jauhnya dari pusat kota. Jadi, tak ada
yang akan memergokinya bersama Scott.
Di gedung bioskop Scott membeli sekantong besar popcorn.
Mereka berdua menghabiskannya bersama-sama. Begitu kantong itu
kosong, Scott langsung menyambar tangan Lily dan
menggenggamnya terus. Lily berusaha mencurahkan perhatiannya ke film, tapi yang ada
dalam pikirannya hanyalah Scott yang duduk di sampingnya, berlagak
seperti cowoknya. Aku tidak suka sentuhan tangannya, pikir Lily sambil melotot
ke depan. Sentuhannya membuat bulu romaku berdiri.
Lily langsung menarik tangannya begitu deretan nama pemain
dan pendukungnya muncul di layar pada akhir film.
"Film bagus," puji Scott antusias. "Winona Ryder cantik sekali,
mirip kau." Lily menggumamkan ucapan terima kasih.
"Bagaimana kalau kita ke Pete's Pizza?" usul Scott sewaktu
mereka berjalan ke mobil.
"Aku tidak begitu kepengin makan piza," jawab Lily.
"Well, kalau begitu kita pergi ke pujasera saja. Yang di
Division Street Mall itu. Di sana kau bisa makan apa saja yang kau
mau." "Mal itu terlalu jauh dari sini," Lily buru-buru menukas. "Aku
punya ide yang lebih baik. Kenapa kita tidak makan di salah satu
restoran di Fort Morris saja" Aku belum pernah pergi ke sana."
Fort Morris itu kota kecil di luar Waynesbridge. Tempatnya
tidak begitu bagus, tapi paling tidak mereka takkan bertemu dengan
teman-teman sekolah mereka di sana.
"Kau serius?" tanya Scott. "Kau sungguh-sungguh ingin pergi
ke Fort Morris?" "Kenapa tidak?" Lily mengangkat bahu. "Itu petualangan!"
"Yeah. Petualangan," timpal Scott setuju.
Jalan utama di Fort Morris dibatasi oleh deretan pusat-pusat
pertokoan kecil di kedua sisinya dan restoran-restoran fast-food. Lily
menuding sebuah restoran bersuasana remang-remang yang bernama
Burger Buddy. "Ayo kita ke sana," desaknya sambil mengacungkan
telunjuk. Scott membelokkan mobil ayahnya ke lapangan parkir yang
dipenuhi oleh mobil-mobil yang sengaja dipendekkan, mobil-mobil
sport pick-up dan sepeda motor. Sekelompok pemuda bertampang
sangar yang mengenakan jaket kulit nongkrong di pinggir jalan,
mengedarkan sebuah botol minuman keras di bawah lampu neon
bertuliskan OOL HALL yang berkedip-kedip.
"Kau yakin kau mau makan di sana?" tanya Scott.
"Tentu," jawab Lily. "Mungkin sesudahnya kita bisa main ool."
Scott terkekeh-kekeh mendengar gurauan Lily, tapi Lily tahu
cowok itu sebenarnya merasa kikuk.
Ia berjalan mengikuti Scott memasuki restoran yang penuh
sesak dan gelap itu. Bilik-biliknya dijejali cowok dan cewek yang
minum bir sambil mengobrol dan tertawa-tawa dengan suara keras.
Scott dan Lily mengambil tempat di meja dekat jendela, di bawah
lampu yang tidak ada bola lampunya.
"Aku heran, kok kau ingin makan di sini?" kata Scott. "Tempat
ini jelek." "Aku kan sudah bilang, ini petualangan," jawab Lily riang.
Pelayan restoran yang lengannya bertato kuda terbang datang
dan mencatat pesanan mereka, lalu menghilang ke dapur.
Tempat itu amat bising sampai-sampai Lily ingin menutup
kedua telinganya rapat-rapat. Suara berisik dan perasaan tertekan
karena bersama Scott mulai membuat kepalanya berdenyut-denyut.
Diliriknya jam tangan, gembira ketika dilihatnya hari sudah larut
malam. "Jadi kurasa kau sudah berhasil mengatasi rasa shock-mu akibat
kematian Graham," ujar Scott. Ia harus berteriak supaya suaranya
terdengar. Mulut Lily ternganga. Perasaannya yang sebenarnya sepanjang
malam itu muncul untuk pertama kalinya. "Tega-teganya kau berkata
begitu." "Tenang. Maksudku kejadian itu membuat kita bisa bersamasama"seperti seharusnya."
Lily menatap Scott, tak mampu berkata apa-apa. Cowok itu
memang benar-benar sinting, katanya dalam hati. Benar-benar tidak
waras. Tampaknya Scott tidak memperhatikan perasaan Lily yang
sedih. Pemuda itu tersenyum padanya. "Waktu berlalu cepat sekali
malam ini, ya, kan?"
"Yeah. Cepat," jawab Lily tanpa ekspresi.
Sabarlah, perintah Lily pada diri sendiri. Kencan ini sudah
hampir berakhir. Kau tinggal makan. Setelah itu kau bisa pulang dan
menjauhkan diri darinya. Lily tidak mendengarkan saat Scott mengoceh soal film tadi.
Akhirnya pesanan mereka datang. Ia mulai menyendok salad-nya,
sama sekali tidak menggubris Scott.
Mereka sedang beranjak keluar dari restoran itu saat pintu
terbuka dan tiga cowok masuk.
"Lily!" Mendengar namanya dipanggil, tubuh Lily membeku.
"Sedang apa kau di sini?" seru suara itu.
Lily menatap Rick yang nyengir gembira. "Halo, Rick,"
gumamnya. Ia merasa wajahnya memerah.
Terakhir kali bertemu Rick, ia telah menuduh cowok itu sebagai
si penelepon gelap. Itu sebelum ia tahu bahwa Scott-lah pelaku
sebenarnya. Tapi Rick sama sekali tidak kelihatan marah.
"Hei, sejak kapan kau keluyuran ke daerah sini?" tanya Rick,
masih sambil nyengir. Ia melirik Scott, memandangnya dengan
tatapan mengira-ngira. "Jadi, ini pacarmu?"
"Benar," jawab Scott sombong. Ia melingkarkan tangannya di
pinggang Lily dan menariknya.
Rick mengangkat bahu. "Hei, hati-hati," katanya. Ia dan temantemannya meneruskan langkah memasuki restoran.
"Siapa itu tadi?" tanya Scott waktu mereka sudah berada di
dalam mobil. "Teman kerjaku," jawab Lily.
"Oh, ya?" balas Scott. "Kelihatannya ia sangat tertarik padamu."
"Ia pegawai pamanku," tukas Lily. "Aku tidak begitu akrab
dengannya."
Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Well, jaga agar tetap seperti itu," bentak Scott. "Omongomong, kau sudah beritahu Alex, belum" Kau sudah memberitahu
tentang hubungan kita ini padanya?"
"Sekarang masih terlalu dini," bisik Lily.
"Sekarang kita kan sudah berkencan," lanjut Scott, seolah-olah
tidak mendengar kata-kata Lily tadi. "Kau harus memberitahu dia."
"Aku tak ingin menyakiti hatinya," ujar Lily. "Beri aku waktu."
Scott menatapnya dengan pandangan mengejek. "Tidak boleh
ada cowok lain dalam hubungan kita ini, Lily. Hanya aku saja.
Singkirkan Alex." Lily tidak menjawab. Ia malah duduk sejauh mungkin di
kursinya. Tampaknya Scott tidak begitu peduli karena ia terus mengoceh
soal rencana masa depan mereka. "Setelah wisuda kita bisa kuliah
sama-sama," katanya. "Kita akan menikah, dan mungkin pindah ke
kota besar." Begitu ia menghentikan mobilnya di depan rumah Lily, Lily
langsung meraih gagang pintu mobil.
Tapi Scott cepat-cepat menghentikannya, lalu menarik
tubuhnya dengan kasar. "Oh, Lily," bisiknya. "Lily."
Perut Lily terasa mual. Scott membuatnya muak. Ia tidak tahan
berada bersama cowok itu satu detik saja lagi.
"Aku harus masuk!" jeritnya dengan suara melengking,
berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Scott.
"Jangan dulu," Scott berkeras dan memegangnya semakin erat.
"Scott, ayahku mungkin melihat!"
Scott melirik ke luar jendela mobil, ke arah rumah Lily. Di
lantai bawah tampak beberapa lampu menyala. Dengan enggan
dilepaskannya tubuh Lily.
Lily menghambur turun dari mobil. Scott bergegas turun dan
menghampirinya. Diraihnya lengan Lily sambil berjalan menaiki
tangga depan. "Aku senang sekali malam ini," katanya begitu mereka sampai
di teras. "Nanti kita kencan lagi."
"Terima kasih untuk acara nonton tadi, Scott," balas Lily
dingin. Scott mencondongkan badan untuk menciumnya, tapi Lily
cepat-cepat membuka pintu dan merunduk masuk. "Selamat malam,"
serunya melalui celah pintu sebelum menutupnya rapat-rapat. "Sampai
ketemu di sekolah." Lily berdiri bersandar di pintu, bersyukur sudah bisa pulang,
bersyukur bisa menghindar dari Scott, dari matanya yang tajam dan
tangannya yang panas berkeringat.
Apa yang harus kulakukan" tanyanya dalam hati, merasa muak,
takut, bercampur rasa tidak berdaya.
Aku tak boleh membiarkannya mengendalikan hidupku seperti
ini. Tapi bagaimana caranya menyingkirkan dia"
Pasti ada jalan keluar, sesuatu yang bisa kulakukan.
Dan kemudian ia menyadari jawabannya.
Jawaban itu sudah ada sejak dulu.
Akan kubunuh dia, ia memutuskan.
18 PADA hari Senin Lily harus mengikuti tiga ulangan.
Untunglah, ia tidak usah bertemu Scott. Tapi, pada jam pelajaran
terakhir di ruang senam, ia ingat bahwa hari itu ada rapat rutin redaksi
majalah. Oh, tidak, pikirnya. Dari tadi aku sibuk mencemaskan kalaukalau berpapasan dengannya di koridor sekolah sampai-sampai aku
lupa soal rapat itu. Sesaat ia mempertimbangkan untuk tidak datang
saja. Tapi bisa-bisa Scott marah padanya, padahal Lily tak mau
mengambil risiko itu. Sesampainya di kantor redaksi majalah, Lily senang saat
dilihatnya anak-anak lain belum ada yang datang. Ia menemukan
sebuah map di dalam kotaknya, berisi beberapa cerpen kiriman muridmurid Shadyside. Ia bersyukur ada yang bisa dikerjakannya, jadi ia
duduk di meja editing dan mulai membaca cerpen-cerpen itu.
Beberapa menit kemudian pintu kantor terbuka. Julie masuk,
diikuti Alex. Julie menyapanya dengan riang, sementara Alex
menyunggingkan senyum sekilas, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Lily menelan ludah dengan susah payah. Mungkinkah Alex
sudah mendengar tentang kencannya bersama Scott"
Julie menjatuhkan buku-bukunya ke meja. "Semoga rapatnya
tidak lama. Banyak sekali yang harus kukerjakan sepulang sekolah
nanti." "Mana Scott?" Alex memandang berkeliling. "Sudah telat, nih.
Mungkin sebaiknya kita mulai saja rapat tanpa dia."
Lily sudah membuka mulut hendak menjawab, tapi Scott telah
menghambur masuk. "Maaf terlambat." Ia tersenyum pada Lily. "Kau
kelihatan cantik hari ini," katanya tanpa memedulikan yang lain.
"Trims," gumam Lily dengan mata tetap tertuju pada kertaskertas di depannya.
"Orangtuamu tidak marah kan semalam?" lanjut Scott.
"Maksudku, aku tak ingin membuatmu kena marah pada kencan
pertama kita." Jantung Lily mulai berdebar-debar.
Sialan! pikirnya sambil memejamkan mata rapat-rapat. Beraniberaninya ia terang-terangan menanyakannya di depan anak-anak lain.
Saat itu Alex sedang membolak-balik map berisi kiriman puisi.
Dibiarkannya map itu jatuh ke meja saat ia menatap Lily dan Scott
bergantian. "Bicara apa kau ini?" tuntutnya.
"Ia membicarakan soal tugas mengedit yang kami lakukan
semalam," Lily cepat-cepat menjawab. "Kami mengerjakan beberapa
bahan untuk edisi berikut."
"Bukan itu yang kumaksud," tukas Scott.
"Tentu saja itu," Lily berkeras dengan panik. "Masa kau tidak
ingat?" "Tidak, Lily. Aku membicarakan kencan kita." Scott menoleh
pada Alex. "Malam Minggu kemarin, Lily dan aku berkencan."
"Apa?" Alex memelototi Lily. "Kusangka malam Minggu
kemarin kau belajar. Di perpustakaan."
"Aku akan menjelaskannya," Lily memulai.
Serta-merta wajah Alex berubah. Tanpa menunggu Lily selesai
bicara, ia langsung berbalik dan menghambur ke luar ruangan.
"Alex, tunggu!" Lily berlari mengejarnya ke lorong. "Aku akan
menjelaskan?" ulangnya.
"Oh, yeah?" Alex berbalik menghadapnya. "Mau bohong lagi?"
"Itu bukan seperti yang kaukira!" Lily berkeras.
"Kalau begitu bagaimana?" tuntut Alex.
Lily menghela napas panjang. Apa yang bisa ia katakan pada
Alex" Apa" Jelas bukan hal yang sebenarnya"bahwa Scott pembunuh dan
mengendalikan setiap geraknya sekarang.
"Well?" bentak Alex. "Aku menunggu."
Waktu Lily diam saja, Alex mulai berjalan meninggalkannya.
"Aku tidak mengerti, Lily. Kusangka kau dan aku berpacaran. Jadi,
mengapa kau berkencan dengan Scott?"
"Alex, please?" Lily memohon.
"Ada lagi yang ingin kukatakan!" teriak Alex. "Aku sudah
capek dan muak menghadapi suasana hatimu yang naik-turun
belakangan ini. Dan kau yang terus-terusan belajar seperti orang gila
sepanjang waktu." "Itu akan berubah," kata Lily lemah. "Aku tahu aku jarang
menghabiskan waktu bersamamu. Tapi?"
"Lupakan saja!" potong Alex. "Aku tak mau mendengarnya.
Selamat bersenang-senang dengan Scott!"
"Tapi aku tidak tertarik pada Scott!" pekik Lily. "Percayalah
padaku." Lily mengulurkan tangan untuk meraih tangan Alex. Tapi Alex
menepisnya seolah-olah Lily semacam serangga yang merayap di jarijari tangannya.
Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, Alex cabut dari situ.
Lily berdiri memandanginya sampai cowok itu lenyap di
tikungan. Ia memeluk tubuhnya erat-erat dengan tangannya, seakanakan berusaha menegarkan diri.
Selesai sudah, pikirnya. Gara-gara Scott, aku kehilangan Alex
selamanya. **************************
Beberapa hari sesudahnya, kapan pun Lily berpapasan dengan
Alex di lorong-lorong sekolah, cowok itu selalu menatap lurus ke
depan seolah-olah ia tidak ada.
Lily memaksa diri untuk berkonsentrasi pada pelajaran sekolah
dan pekerjaannya supaya tidak usah memikirkan kerinduannya pada
Alex. Untunglah, akhir semester sudah dekat, dan para guru mulai
memberi banyak PR, sehingga Lily cukup sibuk.
Suatu malam waktu Lily sedang bekerja di toko obat pamannya,
telepon berdering. "Bob's Drugstore," sapa Lily. "Bisa saya bantu?"
"Lily" Ini Julie."
"Julie" Hai."
"Maafkan aku karena meneleponmu di tempat kerja," kata Julie
dengan napas terengah-engah. "Tapi aku harus memberitahu
penemuanku padamu. Kau tahu kan selama ini aku berusaha
menyelidiki sebab-sebab kematian Graham?"
Lily merasa punggungnya dingin. "Ya?"
"Well, kurasa aku tahu siapa yang membunuh Graham!"
19 "KAU apa?" Lily nyaris tidak bisa bicara.
"Aku bicara dengan mandor jaga di pabrik," kata Julie. "Ia
memberitahu aku bahwa ia menemukan pesan untuk Graham di mesin
penjawab telepon yang ada di pabrik percetakan. Pesan itu
ditinggalkan pada malam ia meninggal. Polisi menganggap pesan itu
tidak penting karena mereka yakin Graham meninggal akibat
kecelakaan. Tapi dari apa yang dikatakan oleh Mr. Jacobson"kurasa
aku tahu siapa yang meninggalkan pesan itu!"
Jantung Lily terasa memukul-mukul dadanya. Digenggamnya
gagang telepon kuat-kuat sampai tangannya terasa sakit. "Siapa...
siapa menurutmu yang meninggalkan pesan itu?"
"Aku tidak dapat memastikannya sampai kudengar sendiri
rekaman kasetnya," Julie menjelaskan. "Malam ini percetakan tutup,
tapi aku akan pergi ke sana besok. Dan kemudian" mungkin aku
akan mendapatkan informasi yang cukup untuk dibawa ke polisi."
Lily mendengarkan kata-kata sahabatnya itu dengan perasaan
takut yang semakin memuncak. Pesan itu pasti dari Scott.
"Lily" Kau masih mendengarkan?" tanya Julie.
Sesaat Lily diam tidak menjawab. Ia berusaha keras
memikirkan cara untuk membuat Julie mengurungkan niatnya.
"Siapa saja bisa meninggalkan pesan untuk Graham," kata Lily
pada sahabatnya. "Tapi bukan berarti orang itu membunuh Graham."
"Mungkin saja itu bukan merupakan bukti yang kuat," Julie
sependapat. "Tapi itu jelas merupakan petunjuk yang penting"cukup
untuk membuat polisi membuka kembali kasus ini. Selain itu, Mr.
Jacobson, si mandor jaga, juga berpendapat kalau kematian Graham
bukan karena kecelakaan."
"Kenapa bukan?" Jantung Lily berdebar semakin kencang.
"Katanya ia tidak pernah melihat ada orang yang jatuh ke mesin
cetak seperti Graham. Katanya, untuk jatuh seperti itu, orang hampir
pasti harus didorong!" Julie menjelaskan. "Jadi, kupikir?"
Lonceng yang tergantung di atas pintu toko berdenting.
"Ada pembeli datang," potong Lily. "Nanti kutelepon lagi, ya?"
"Tentu," sahut Julie. "Tapi ibuku akan menggunakan telepon.
Salurannya mungkin sibuk."
"Oke. Aku akan mencoba meneleponmu dua menit lagi." Lily
menutup telepon dan memaksa diri untuk tersenyum. "Ada yang bisa
saya bantu?" tanyanya pada si pembeli, seorang pria lanjut usia yang
mengenakan tongkat. "Saya datang untuk mengambil obat," jawab pria itu. Ia berjalan
menghampiri meja kasir dengan langkah-langkah lambat. "Namanya
Lightner." Lily berpaling ke kotak resep di belakang rak dan mulai
mencari-cari bungkusan obat di bagian huruf L.
"Maaf," katanya. "Obatnya tidak ada di sini. Akan saya periksa
dulu di belakang." Diliriknya jam, lalu bergegas ke ruang belakang
tempat pamannya sedang bekerja.
"Lightner?" tanya pamannya. "Oh, ya, kutaruh di sini." Ia
menunjuk tumpukan obat yang ditaruh di atas meja lebar tempatnya
bekerja. Dengan gerakan lamban diaduk-aduknya tumpukan itu untuk
mencari obat yang dimaksud.
Lily menunggu dengan gelisah, berusaha sekuat tenaga untuk
tetap kelihatan sabar. Ia harus mencari tahu apa lagi yang diketahui
Julie. Julie mengira dirinya tahu siapa gerangan pembunuh Graham.
Apakah ia mencurigai Scott" Apakah ia memang sudah curiga pada
pemuda itu sebelum mendengar rekaman pada mesin penjawab
telepon itu" "Lily?" Pamannya mengulurkan bungkusan obat itu padanya.
"Maaf," kata Lily. "Aku sedang memikirkan... memikirkan
pekerjaan rumahku." "Kau terlalu keras bekerja." Pamannya melemparkan senyum
hangat untuknya lalu kembali menekuni resep-resep yang harus
dibuatnya. Lily bergegas pergi ke depan dan menghitung harga obat Mr.
Lightner sementara pria uzur itu mengaduk-aduk isi dompetnya
dengan gerakan lamban. Akhirnya ia pergi juga; Lily langsung mengangkat telepon. Tapi
sebelum ia sempat menelepon Julie, dua gadis remaja masuk dan
bergegas menghampiri rak yang khusus memajang produk-produk
kecantikan. Mereka menghabiskan waktu kira-kira lima belas menit
untuk meneliti berjenis-jenis maskara yang berbeda dan menanyakan
pendapat Lily. Cepatlah pergi! seru Lily dalam hati. Aku harus menelepon!
Penting! Akhirnya gadis-gadis itu membeli produk yang mereka
inginkan dan pergi. Lily menekan nomor telepon Julie, tapi tepat pada
saat itu Rick melenggang mendekatinya. "Apa kabar" Bagaimana
dengan cowokmu?" "Baik-baik saja." Lily meletakkan gagang telepon. Ditatapnya
Rick dengan kening berkerut dan mengeluh tidak sabar.
"Aku benar-benar terkejut ketika bertemu dengan kalian malam
Minggu lalu," lanjut Rick, tidak mengerti isyarat yang ditunjukkan
Lily bahwa ia tidak suka diganggu. "Entah mengapa, ia kelihatannya
bukan tipe cowok yang kubayangkan menjadi pacarmu."
"Rick, tolonglah, aku banyak kerjaan."
"Oke, oke." Rick mengangkat kedua tangannya. "Aku tidak
akan mengganggumu. Lagi pula, aku sudah berjanji pada pamanmu
hendak membantunya mengencangkan rak-rak yang di belakang."
Pemuda itu lenyap melalui pintu yang menuju ruang belakang.
Lily berpaling kembali ke pesawat telepon.
Tapi lonceng di atas pintu berdenting lagi. "Astaga!" serunya. Ia
melirik ke pintu dan melihat Scott datang dengan sekuntum mawar
kuning di tangannya. Cowok itu tersenyum. "Ini untukmu." Diulurkannya mawar itu.
"Oh, Scott," keluh Lily putus asa, tidak menggubris mawar
yang disodorkan itu. "Toko obat sudah hampir tutup. Banyak sekali
yang harus kukerjakan."
Senyum Scott memudar. "Sikapmu sangat tidak ramah. Padahal
Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku sudah jauh-jauh datang ke sini." Diletakkannya mawar itu dan
mencondongkan badan. "Kau pasti capek sekali. Itulah sebabnya nada
bicaramu begitu tertekan."
Lily mundur. "Aku tidak capek"aku sedang bekerja."
"Memangnya kenapa?" tanya Scott. "Itu kan tidak ada bedanya.
Nggak ngerti-ngerti jugakah kau, Lily" Apa pun yang kaulakukan"
kita bersama-sama." "Scott, aku harus?"
"Tidak peduli!" bentaknya. Disambarnya kedua tangan Lily dan
ditariknya tubuh gadis itu sampai menjorok ke luar dari meja kasir dan
wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
"Aku selalu memikirkanmu," kata Scott. "Bilang kau juga
memikirkan aku." Lily ragu. Cengkeraman tangan Scott semakin kuat. Terpikir
oleh Lily untuk berteriak, tapi lalu berubah pikiran.
Rick sedang memalu sesuatu di belakang jadi ia harus berteriak
sekuat tenaga. Di samping itu, siapa yang tahu bagaimana reaksi Scott
kalau ia sampai berteriak"
"Cium aku," perintah Scott.
"Jangan, Scott. Please?"
"Satu kali saja, Lily!" Nada suaranya semakin marah dan
memaksa. Lily memejamkan mata dan memaksa diri mencium pemuda
itu. Scott memegangnya lebih kuat lagi.
"Lepaskan aku!" pekik Lily. Ia berkelit melepaskan diri dari
Scott dan mundur ke rak-rak di belakangnya.
Scott menatapnya dengan napas terengah-engah dan mimik
wajah terkejut. "Lily, itu tadi bukan ciuman. Kenapa sih kau ini" Kau
tidak menginginkan bunga ini, ya?"
Lily menggeleng. Mata Scott menyipit. "Kau tidak dapat melarikan diri dari aku,"
cowok itu memperingatkan sambil merendahkan suaranya hingga
terdengar jahat. "Tidak di tempat kerja, tidak di mana pun. Belum tahu
juga, ya" Kau dan aku akan selalu bersama selamanya, Lily.
Mengerti?" Sesuatu di dalam hati Lily tersentak. Aku tidak bisa diancam
terus! ia menyadari. "Tidak selamanya!" jerit Lily, kata-kata itu menyembur keluar
dari mulutnya. "Tidak selamanya, Scott. Malah, hubungan ini akan
berakhir"sebentar lagi!"
"Omong apa kau ini?" tuntut Scott.
"Aku bicara soal Julie," sembur Lily dengan napas terengahengah.
"Hah" Julie" Ada apa dengan Julie?"
"Ia sudah tahu mengenai hal yang sebenarnya, Scott!" kata Lily,
menghamburkan kata demi kata. Dadanya turun-naik, jantungnya
berdebar-debar. "Kau bohong!" teriak Scott.
"Tidak, aku tidak bohong," balas Lily. "Ia tahu bahwa ada orang
yang meninggalkan pesan di percetakan untuk Graham pada malam ia
terbunuh. Kau kan yang mengirimkan pesan itu untuknya" Kau yang
meninggalkannya, bukan, Scott?"
Sesaat Scott diam tidak menjawab. "Memangnya kenapa kalau
iya?" geramnya. "Itu tidak berarti apa-apa."
"Tidak begitu menurut si mandor. Begitu juga menurut Julie.
Apa yang kaukatakan waktu itu?" ebukulawas.blogspot.com
Scott memalingkan wajah sebentar, berpikir. "Aku minta
Graham menemuiku di percetakan. Aku bilang, soal majalah." Ia
mengangkat bahu. "Bukan masalah. Akan kuhancurkan rekaman itu."
"Terlambat!" jerit Lily. "Mandor sudah tahu mengenai rekaman
itu, dan Julie sudah mendekati kebenaran. Tidak lama lagi ia akan
melaporkanmu ke polisi!"
"Bagaimana kau bisa tahu semua ini?"
"Ia barusan meneleponku. Ia menceritakan semuanya padaku."
Lily menatapnya, menunggu mendengar cowok itu panik.
Tapi waktu Scott membuka mulut, nada suaranya terdengar
tenang dan dingin. "Well, aku menyesal mendengarnya."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku," kata Scott pelan. "Aku tidak bisa membiarkan dia
pergi ke polisi." "Kau tidak dapat menghentikan dia, Scott."
"Ya, bisa saja," sahutnya. "Kalau Julie melaporkan apa yang ia
ketahui pada polisi, ia akan menghancurkan hidup dua orang, Lily"
hidupmu dan hidupku. Kita tidak dapat membiarkan itu terjadi,
bukan?" Lily terkesiap. "Maksudmu?""
"Benar," ujar Scott. "Kita harus membunuhnya."
20 LILY menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia gila, katanya
dalam hati. Ia sinting. Dan berbahaya.
Semuanya menjadi tidak terkendali. Bagaimana aku bisa
membiarkan hal semacam ini telanjur jauh" Aku kehilangan kendali.
Padahal aku tidak boleh kehilangan kendali.
Harus berpikir. Harus berpikir.
Apa yang akan kulakukan sekarang"
Lily menarik napas panjang, memaksa dirinya untuk tenang.
Kau harus pura-pura memihak dia, perintahnya dalam hati. Paling
tidak sampai kau bisa memikirkan jalan keluar.
Diturunkannya kedua tangannya dari wajah, ditatapnya Scott.
"Mungkin kita bisa membujuknya untuk mengurungkan niat itu, Scott.
Kita bisa membuatnya berpikir bahwa ia keliru, bahwa ia membuat
suatu kesalahan?" "Itu tidak akan berhasil," tukas Scott. "Kalau ia benar-benar
mencurigai aku sebagai pembunuh Graham, ia tidak akan mau
menyerah, Lily." "Aku bisa mengubah pikirannya," Lily memohon. "Scott, ia
sahabatku?" "Aku tahu ia sahabatmu. Sayang sekali," kata Scott. "Tapi ia
harus mati. Kau mengerti, kan" Kau tahu kita tidak punya pilihan
lain." "Lily?" Uncle Bob muncul dari ruang belakang.
Lily mengembuskan napas lega. Mungkin ia bisa
mengusahakan agar pamannya tetap berada di sini, membuatnya tetap
berbicara, sampai Scott pulang. Dan setelah itu ia bisa memikirkan
langkah yang harus diambilnya.
"Halo, Scott." Uncle Bob tersenyum sewaktu mengenali Scott.
"Bagaimana kabar ibumu?" Ibu Scott dan istri Uncle Bob berteman
baik. "Mom baik-baik saja," jawab Scott sopan.
"Senang mendengarnya," sahut Uncle Bob. Ia menoleh pada
Lily. "Kau boleh pulang sekarang," katanya. "Aku akan menutup
toko." "Tapi sekarang kan masih sore," protes Lily.
"Tidak juga," timpal pamannya sambil melirik jam tangannya.
"Lagi pula, untuk sementara waktu Rick dan aku akan sibuk
membetulkan rak-rak di belakang."
"Ada lagi yang bisa kubantu?" tanya Lily yang ingin sekali
tetap tinggal di sana, menghindari Scott.
"Kedengarannya kau kok tidak mau punya waktu luang sedikit
pun," tukas Uncle Bob sambil tersenyum. "Kau bekerja terlalu keras,
Lily. Sekali-sekali nikmatilah hidup. Pergilah bersama Scott."
"Ide bagus," seru Scott sambil nyengir.
"Tapi"aku harus mengurutkan resep-resep ini sesuai abjad
untuk besok," Lily berkeras.
"Tidak perlu," tukas Uncle Bob. "Rick dan aku akan
membereskan semuanya. Pergilah bersenang-senang malam ini." Ia
menghilang lagi ke belakang toko. Lily bisa mendengar suara
hantaman palu berbunyi lagi.
Begitu Uncle Bob ke belakang, Scott menoleh ke arah Lily
dengan mata berkilat-kilat. "Aku mau kau menelepon Julie dan
menyuruhnya menemuimu di percetakan."
"Percetakan" Mengapa?" tanya Lily.
"Kali ini kau akan membantuku, Lily. Aku sudah pernah
membunuh orang untukmu. Sekarang giliranmu menolongku."
"Aku"aku tidak mau menolongmu, Scott," tolak Lily terbatabata.
"Oh, ya, kau akan menolongku. Kau tidak punya pilihan."
Cowok itu menggerakkan tangannya ke pesawat telepon. "Sekarang
telepon Julie dan suruh dia ke sana."
"Mana mungkin ia mau?" tanya Lily. "Majalah sekolah kan
sudah dicetak." "Katakan padanya kau sudah menelepon Mr. Jacobson. Bilang
bahwa Mr. Jacobson memperbolehkanmu masuk malam ini. Julie
ingin mendengar rekaman pesan itu, kan?"
"Ya, tapi?" "Pokoknya lakukan saja."
Lily membalas tatapan Scott tapi tidak bergerak. Aku tidak mau
melakukannya, pikirnya. Aku tidak akan menggiring sahabatku ke kematian.
"Kubilang lakukan!" ulang Scott. Disambarnya pergelangan
tangan Lily dan mulai meremasnya. "Telepon dia, Lily, telepon dia
sekarang." "Tidak!" jerit Lily. "Tidak, aku tidak mau! Aku tidak mau!"
Sambil memegangi tangan Lily dengan satu tangan, Scott
menyambar gagang telepon yang ada di dekat Lily. Ia mulai menekan
nomor telepon Julie. "Telepon dia sekarang," geramnya. "Lakukan sesuai
perintahku!" Lily mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Scott
terlalu kuat. "Teleponnya berdering," kata Scott. Ia melepaskan tangan Lily.
"Sekarang bicara padanya!"
Tapi Lily malah membanting gagang telepon ke tempatnya.
Wajah Scott berubah gelap. Ia mengitari meja kasir dengan
napas memburu. Didekatkannya wajahnya ke wajah Lily dengan mata
bersinar-sinar marah. "Kau harus melakukan perintahku, Lily,"
katanya dengan suara lembut. "Kau tidak punya pilihan lain."
Dengan putus asa Lily menarik laci kecil tempat pamannya
menyimpan pistolnya. Kalau ia bisa mengambil pistol itu tepat pada
waktunya... Sambil menjerit marah Scott menyambar pergelangan tangan
Lily. Lalu merogoh ke dalam laci dan merampas pistol itu.
Dengan gerakan cepat dan gesit, ia menodongkan moncong
pistol itu ke dada Lily. "Sekarang telepon dia!" geramnya.
21 DALAM perjalanan ke percetakan bersama Scott, Lily memutar
otak untuk mencari jalan keluar. Tapi tidak ada gagasan apa pun yang
muncul. Ia memandang ke luar jendela, ke kegelapan malam yang
pekat. Seandainya saja ada mobil polisi yang lewat, pikirnya. Tapi
jalanan nyaris kosong melompong.
Waktu Lily menelepon Julie dari toko obat milik pamannya,
suara Julie terdengar penuh semangat. "Tunggu sampai kau
mendengar apa saja yang sudah kutemukan, Lil!" serunya.
"Hebat," sahut Lily lirih tanpa semangat.
Lalu Scott menempelkan laras senjata itu ke kepalanya, dan
Lily melakukan apa yang diinginkan cowok itu. "Aku tadi menelepon
Mr. Jacobson," katanya membohongi Julie. "Katanya ia akan
mengizinkan kita masuk asal kita datang ke sana sekarang juga."
"Oh, wow!" teriak Julie penuh semangat. Ia ingin sekali
mendengar rekaman pesan itu. "Aku akan segera ke sana. Sampai
ketemu di sana, Lil."
Kini Lily dan Scott melaju menembus kegelapan malam,
bergegas ke percetakan untuk menemui Julie. "Bagus juga
sandiwaramu tadi, Lily," ujar Scott, membuyarkan lamunan Lily.
"Bagus sekali."
"Apa?" Lily memalingkan wajah dari jendela dan melirik Scott,
yang membungkuk di depan kemudi.
"Aku bilang bagus juga sandiwaramu tadi," ulang pemuda itu.
"Waktu kau bicara pada Julie tadi. Aku yakin ia tidak curiga sama
sekali." "Scott, please, biarkan aku sendiri yang bicara padanya," Lily
memohon lagi. "Aku akan membuatnya yakin bahwa Graham
meninggal karena kecelakaan. Aku yakin dapat melakukannya."
"Aku kan sudah bilang, tidak bisa," bentak Scott tidak sabar.
"Aku sudah bilang padamu, hanya ada satu jalan keluar. Rupanya kau
tidak mendengarkan kata-kataku, Lily."
"Itu tidak benar. Aku hanya?"
"Kita akan membunuhnya. Apa lagi yang bisa kita lakukan?"
Lily diam saja sepanjang sisa perjalanan. Mereka memasuki
lapangan parkir, dan Lily turun dari mobil. Ia memandang ke
sekeliling lapangan parkir yang gelap itu, sesaat mempertimbangkan
untuk mencoba lari dari situ.
Tapi kalau ia lari, Julie akan sendirian, kesadaran itu menyeruak
di benak Lily. Aku tak boleh meninggalkan Julie begitu saja.
Pintu depan percetakan terkunci. Tapi Scott masih menyimpan
kuncinya. Dibukanya pintu, lalu menyelinap ke dalam, meninggalkan
pintu dalam keadaan sedikit terbuka. Di dalam pabrik, suasananya
gelap gulita bagaikan di kuburan.
"Ayo," perintah Scott sambil mendesakkan pistolnya ke iga
Lily. "Kita ke belakang."
"Scott, jangan lakukan ini," Lily memohon dengan suara
bergetar lirih. "Jalan sini," jawab Scott kasar.
Sinar lampu remang-remang memantul di dinding ruang
percetakan yang besar. Waktu Lily melihat siluet mesin cetak yang
besar itu, ia bergidik dan membuang muka.
Sekali lagi ia melihat Graham di sana, terjepit di bawah silinder
kertas raksasa, tubuhnya remuk dan patah-patah.
Scott mencengkeram siku Lily dan mendorongnya ke sebuah
celah yang ada di antara dinding dan mesin besar itu. "Kita akan
bersembunyi di sini. Julie akan langsung masuk ke dalam perangkap."
"Kita tidak mungkin bisa lolos dari kecurigaan," Lily
memperingatkan Scott. "Tidak akan ada yang percaya kalau orang lain
juga mengalami kecelakaan di sini."
"Jangan khawatir," sergah Scott. "Aku akan mengatur yang satu
ini lain daripada yang lain. Aku akan menjadikannya seolah-olah Julie
memergoki maling"dan maling itu lantas menembaknya."
"Scott, please, jangan?" Lily memohon.
"Pistolnya akan kubuang di hutan Fear Street," sambung Scott,
matanya bersinar-sinar penuh semangat dalam cahaya lampu remangremang. "Tidak ada yang akan menemukannya."
"Aku... aku tidak peduli pada diriku," Lily memulai dengan
nada putus asa. "Aku tidak peduli aku dipenjara. Apa saja masih lebih
baik daripada membiarkanmu membunuh Julie."
Scott tertawa terbahak-bahak. Tawa yang kering dan dingin.
"Sekarang kau bilang begitu," tukasnya. "Tapi coba nanti kalau polisi
sudah mencurigaimu. Ayolah, Lily, tak usahlah berlagak lugu begitu.
Kau tahu kau ingin aku membunuh Graham."
"Tidak! Tidak! Aku tidak?"
"Kau ingin dia mati, Lily! Akui sajalah. Yang kaupedulikan
Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanyalah menjadi lulusan terbaik!"
"Tidak, Scott! Kau keliru!"
"Sekarang kita harus membunuh Julie supaya keadaan tetap
aman. Supaya kita bisa tetap bersama-sama. Tidak susah, kok, Lily.
Lihat saja." Lily sudah mau memprotes. Tapi apa gunanya" Ia tahu Scott
tidak akan mendengarkan kata-katanya. Ia tahu apa pun yang ia
lakukan, Scott tetap akan membunuh Julie, menembaknya begitu anak
itu memasuki ruangan. Saat meringkuk dalam gelap di sebelah Scott, Lily teringat
kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Waktu itu ia benar-benar
terobsesi pada nilai-nilainya, pada hasratnya hendak mengalahkan
Graham supaya bisa menjadi lulusan terbaik. Sekarang semua itu
terasa konyol, bahkan tidak berarti. Lily telah membayar harga yang
sangat mahal untuk impiannya itu"Graham tewas dan ia kehilangan
Alex. Aku tidak dapat membiarkan sahabatku mati juga, pikir Lily.
Aku tidak boleh membiarkan Scott menyakitinya.
Rasanya berjam-jam telah berlalu saat Lily mendengar suara
mobil berhenti di lapangan parkir yang berbatu-batu kerikil di luar.
"Ia datang!" bisik Scott.
Terdengar suara pintu mobil dibanting. Beberapa detik
kemudian, Lily mendengar suara berderit saat pintu depan dibuka.
"Lily?" Samar-samar terdengar suara memanggil. "Lily" Ada
orang di sini" Lily" Halo?"
Badan Lily terasa dingin bagaikan es ketika sahabatnya
melangkah masuk ke dalam ruangan.
Di sampingnya, Scott mengangkat pistolnya.
22 "LILY?" panggil Julie. "Lily, kau ada di sini?"
Lily melihat Julie melangkah ragu-ragu melewati ambang pintu
ruang resepsionis. Ia berjalan beberapa langkah ke arah mesin cetak,
menyeret kakinya yang bersepatu kets di lantai beton.
Lily menghela napas dalam-dalam. Lalu berteriak sekeraskerasnya. "Lari, Julie! Lari!"
Sambil merunduk, Lily menarik tubuhnya dari dinding. Lalu ia
merangkak mengitari sisi mesin cetak.
"Julie"awas! Lari!"
Tapi Julie bergeming sedikit pun dari tempatnya berdiri.
"Ada apa?" tanyanya kebingungan. "Lily, di mana kau?"
Scott membungkukkan badannya serendah mungkin sambil
berlari menghambur ke tengah ruangan. Ia mengarahkan pistolnya
kepada Julie. "Berhenti!" perintahnya.
Julie terkesiap. Mulutnya ternganga lebar karena shock. "Scott"
Kaukah itu?" Scott tidak menjawab. Ia menodongkan pistolnya ke dada Julie.
"Apa-apaan ini?" teriak Julie. Walaupun cahaya di situ remangremang, tapi Lily bisa melihat pancaran ketakutan yang membayang
di mata Julie. "Mau apa kau dengan pistol itu" Mana Lily?"
"Aku di sini!" Lily berteriak dari tempatnya meringkuk di
samping mesin cetak. "Aku mencoba memperingatkanmu, Julie. Aku
mencoba?" "Memperingatkan aku tentang apa?" pekik Julie dengan suara
melengking. "Kau menyuruhku datang menemuimu di sini. Untuk
mendengarkan rekaman itu... rekaman tentang..." Suaranya
menghilang saat otaknya sibuk menyatukan semuanya. "Tentang
kematian Graham," ia mengakhiri dengan suara lirih.
"Benar," sahut Scott. "Ada apa tentang kematian Graham,
Julie?" "Scott" Kaukah pelakunya?" tanya Julie dengan suara gemetar
yang nyaris tidak terdengar ke seberang ruangan. "Kau?"
"Benar," jawab Scott.
Julie terpekik kaget dengan suara serak. "Kusangka aku sudah
hampir berhasil menerkanya. Tapi ternyata belum. Aku tidak pernah
mengira kaulah pelakunya."
"Kau juga bukan Nancy Drew, kan?" balas Scott mencemooh.
"Sayang sekali."
"Apa..." Julie tergagap. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak punya pilihan lain," jawab Scott sambil melambailambaikan pistolnya. "Aku benar-benar tidak dapat membiarkanmu
meninggalkan tempat ini, bukan begitu?"
"Aku tidak akan memberitahu siapa-siapa!" jerit Julie. "Aku
akan menyimpannya?" Scott menggelengkan kepala. "Maaf, Julie. Aku benar-benar
minta maaf." "Lily?" Suara Julie terdengar memohon, gemetar dicekam teror.
"Lily"bilang pada Scott bahwa aku bisa menyimpan rahasia. Bilang
padanya. Lakukan sesuatu."
Lily berdiri. "Ia"ia tidak mau mendengarkan aku," katanya
terbata-bata. Ia mulai beringsut-ingsut mendekati mereka.
Scott mengayunkan senjatanya ke arah Lily. "Mau ke mana?"
Lily langsung berhenti. Scott bisa saja membunuhnya tanpa
keraguan. Lily yakin sekali.
Scott mengarahkan pistolnya kembali kepada Julie. "Lily
membantuku membunuh Graham. Tahukah kau?"
"Hah?" Julie terkesiap.
"Bohong!" jerit Lily.
Scott tidak menggubrisnya. "Ia ingin Graham mati. Aku
melakukannya untuk dia. Lily tahu segala-galanya sejak awal."
Julie menoleh ke arah Lily dengan mimik ngeri. "Benarkah itu"
Tolong katakan kalau itu tidak benar!"
"Itu tidak benar!" tangis Lily. "Aku tidak tahu Scott
membunuhnya sampai sesudah pemakaman. Aku tidak pernah
menginginkan dia melakukannya. Aku tidak pernah menyuruhnya
membunuh Graham. Julie"kau harus percaya padaku!"
Julie menekan kedua pipinya dengan tangan. Matanya
terbelalak penuh kengerian. "Aku tidak tahu harus percaya pada
siapa!" teriaknya. "Dari dulu aku selalu menganggapmu sahabatku?"
"Aku memang sahabatmu," tukas Lily berkeras. "Dan aku akan
selalu menjadi sahabatmu. Scott, aku mohon padamu! Biarkan Julie
pergi. Please!" Scott menggeleng. "Kita sudah buang-buang waktu dengan
mengobrol begini. Julie, kemarilah."
"Tidak." Dengan kedua tangan masih di pipi, Julie berjalan
mundur ke arah ruang resepsionis.
"Kemari kubilang!" teriak Scott marah.
"Tidak!" Julie berbalik dan mulai berlari.
Scott mengejarnya. Sambil berteriak marah disambarnya lengan
Julie. Dipitingnya. Diseretnya kembali ke arah mesin cetak.
"Jangan! Scott, jangan! Lepaskan aku! Please, jangan sakiti
aku!" tangis Julie. "Jalan sini!" Scott mendorongnya ke arah mesin cetak.
Julie tersungkur ke mesin yang besar itu. Tubuhnya gemetar
ketakutan. Dengan napas tersengal-sengal dan menguik tinggi, Scott
mengangkat pistolnya. Jarak antara dia dan Julie kurang dari satu meter.
Tidak mungkin tembakannya meleset, Lily menyadari.
"Jangan," Julie memohon. "Jangan, jangan, jangan!"
Sambil menarik napas dalam-dalam, Lily menerjang Scott.
Dipukulnya keras-keras tangan Scott yang menggenggam
pistol. "Biarkan dia pergi!" jerit Lily. Disambarnya pergelangan tangan
Scott, lalu sekuat tenaga berusaha merebut pistol itu.
"Hentikan!" teriak Scott. Ia berusaha melepaskan tangannya
dari cengkeraman Lily, tapi Lily semakin keras memegangnya,
memaksanya menurunkan tangannya.
"Keluar dari sini, Julie! Pergi!" teriak Lily.
Dengan sekali sentakan kuat, Scott berhasil melepaskan
tangannya. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya!" jerit Lily.
Diterjangnya Scott sekali lagi.
Sambil mengerang Scott mengangkat tangannya tinggi-tinggi,
lalu menghantam bahu Lily keras-keras dengan punggung pistolnya.
Lily berteriak kesakitan. Ia roboh ke sebelah mesin cetak.
Waktu ia sedang berusaha mengembalikan keseimbangannya,
dilihatnya Scott berpaling kembali ke Julie.
Tapi Julie sudah menghilang.
Scott menjerit marah. "Julie di mana kau?" Dengan panik ia
mulai berlari ke satu arah, lalu ke arah lain, mencari-cari cewek itu.
Ia berhasil kabur dari sini, pikir Lily, sedikit bisa bernapas lega.
Diusap-usapnya bahunya yang sakit. Julie berhasil kabur dari sini.
Tapi suara gesekan dari belakang mesin cetak membuat jantung
Lily serasa copot. Ternyata Julie sama sekali belum berhasil keluar
dari situ. Anak itu bersembunyi di sudut antara mesin cetak dan
dinding. Scott memutar badannya menghadap dinding belakang. "Aku
tahu kau ada di belakang sana, Julie!"
"Julie, jangan berisik!" perintah Lily.
Terlambat. Scott berjalan mengitari mesin cetak dan
menemukan Julie yang meringkuk di pojok.
Lily mendengar suara logam berbunyi. Scott sudah mengokang
pistolnya. Lily berdiri. Mungkin ia bisa menghentikannya.
Didengarnya Julie menjerit. "Scott, jangan!"
Lalu Lily mendengar suara dor membahana saat pistol meletus.
23 RUANGAN terasa miring dan berputar. Lantainya seakan
terangkat di depannya waktu Lily menerjang ke balik mesin cetak
untuk mendekati Julie. Terlambat. Terlambat. Terlambat. Julie tergeletak kaku di lantai, kepalanya miring menghadap ke
dinding, dan sebelah kakinya tertekuk di bawah tubuhnya.
"Selesai sudah," kata Scott, nyaris tenang. "Ia tidak akan
mengganggu kita lagi." Cowok itu berdiri sambil memandangi mayat
Julie dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Tangannya yang terjuntai
di samping badannya masih menggenggam pistol.
Lily berjongkok di samping tubuh sahabatnya yang sudah tak
bernyawa itu. Ia tidak akan pernah lagi melihat senyum Julie atau
mendengar suaranya. Mereka berdua tidak akan pernah lagi bermain
bersama di sekolah atau di mal atau di rumah masing-masing.
"Oh, Julie," tangis Lily. "Maafkan aku. Aku sangat, sangat
menyesal." Embusan napas Lily berubah menjadi sedu sedan yang keras.
Sahabatnya tergeletak mati di depannya. Dan itu semua gara-gara dia.
"Lupakan Julie," kata Scott pelan. "Kita harus menutupi
perbuatan ini dan kabur dari sini."
"Peduli apa?" tangis Lily. "Tega-teganya kau berbuat begini,
Scott! Bagaimana mungkin kau tega membunuhnya juga?"
"Kau kan tahu aku tidak punya pilihan lain," sahut Scott.
"Sekarang kita harus memastikan tidak meninggalkan bukti apa pun.
Kau cari mesin penjawab telepon itu dan ambil kasetnya. Akan kulap
semua benda yang kita sentuh supaya tidak ada sidik jari yang
tertinggal." Lily tidak bergerak. Ia tidak yakin dirinya bisa bergerak.
Scott memasukkan pistolnya ke saku celana jins. Ia
membungkuk ke arah Lily. "Cepat. Berdirilah. Bantu aku
membereskan semuanya."
"Tidak!" pekik Lily. "Tidak!" Ia berjuang keras merangkak
jauh-jauh dari Scott. "Kau membunuhnya!" tangis Lily tersedu-sedu.
"Kau membunuh sahabatku."
"Aku melakukannya demi kita berdua! Masa kau tidak
mengerti?" "Tidak!" teriak Lily. Dipukulinya Scott.
Disambarnya pistol itu dari saku celana Scott.
"Kembalikan!" Scott berusaha merebut pistol itu kembali.
Meleset. Lily berusaha keras memegang pistol itu erat-erat dengan kedua
tangan. "Kembalikan! Kembalikan!" Scott mengulurkan tangan untuk
menyambarnya. Lily menggelengkan kepala. "Tidak, Scott. Sudah selesai
sekarang." "Tenanglah, Lily." Scott merapat ke dinding di belakang mesin
cetak. "Berikan pistol itu padaku, Lily. Kau sedang kalut. Kau tidak
mengerti apa yang kaulakukan itu."
"Aku mengerti sekali," tukas Lily dingin. Matanya tertumbuk
pada pesawat telepon yang tergantung di dinding di belakang mesin
cetak. "Akp mau kauangkat telepon itu, Scott. Aku mau kau
menelepon polisi." Mata Scott melotot tidak percaya. "Polisi?" tanyanya. "Kau gila,
ya?" "Sekarang tidak," sahut Lily. "Dulu aku memang gila, waktu
membiarkanmu lolos begitu saja setelah membunuh Graham."
"Tahukah kau apa yang akan terjadi kalau aku menelepon
polisi?" bentak Scott. "Mereka bukan hanya akan menangkapku, Lily.
Mereka akan menangkapmu juga. Akan kukatakan pada mereka
bahwa kau terlibat dalam pembunuhan Graham. Dan akan kukatakan
pada mereka bahwa kaulah yang punya ide untuk membunuh Julie!"
Cowok itu maju selangkah mendekati Lily. "Sidik jarimu ada di
pistol itu sekarang. Hanya sidik jarimu."
"Aku tak peduli!" teriak Lily. "Angkat teleponnya! Angkat
sekarang!" "Polisi tidak akan percaya padamu," sergah Scott ngotot.
"Kenapa kau tidak mau berpikir waras" Kau sama terlibatnya dengan
aku!" "Telepon polisi!" ulang Lily, membelah udara dengan pistolnya.
"Lily?" Lily semakin mempererat cengkeraman pistolnya. Kedua
tangannya bergetar hebat, tapi sasarannya sama sekali tidak tampak
takut. "Lakukan, Scott," perintahnya. "Lakukan sekarang atau
kutembak kau." Scott bergeming. Ia malah balas memandang Lily, matanya
terbuka tanpa berkedip. Dan kemudian, Lily kaget setengah mati
ketika ia malah tertawa. "Telepon polisi!" perintah Lily lagi. "Angkat teleponnya dan
telepon polisi!" "Aku tidak takut padamu." Scott tertawa terbahak-bahak. "Kau
tidak mungkin berani membunuhku!"
"Tentu saja aku berani!" balas Lily penuh emosi. "Dan aku akan
melakukannya"kecuali kaulakukan perintahku."
"Kau tidak mungkin tega menyakiti aku, Lily. Tidak mungkin."
Ia maju lagi selangkah. "Mundur!" jerit Lily. "Aku serius, Scott! Mundur atau
kutembak!" "Tidak. Tidak mau." Ia maju lagi selangkah.
Lily bertekad hendak menarik picu pistolnya dan menembak
Scott. Tapi jarinya tidak mau bereaksi.
Scott benar. Ia tidak sanggup melakukannya.
Lily menjerit ketika Scott menerpanya dan merebut pistol itu
Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tangannya. Scott tertawa, puas pada diri sendiri. Lily mundur. Tapi Scott
memeluk tubuhnya dengan kedua tangan, lalu menariknya mendekat.
Memeluknya erat-erat, erat sekali supaya ia tidak bisa melepaskan
diri. "Kau dan aku," bisik Scott ke rambut Lily.
Lutut Lily terasa goyah saat Scott memeluknya erat-erat seperti
itu. Ia merasa muak. Mengapa aku tidak menembaknya saja tadi" Mengapa aku tidak
dapat menarik picunya"
Suara gemeresik dari lantai membuatnya kaget.
Lily menoleh ke arah dinding"dan tubuhnya membeku
ketakutan. Dengan gerakan lamban, mayat Julie meluruskan diri dengan
mata separo terbuka dan mulut mencang-mencong menahan sakit.
Lalu mayat itu bangkit dari lantai.
24 LILY melihat dengan perasaan terguncang saat mayat itu
mengangkat badannya. Mata Julie melotot ke depan tanpa ekspresi. Ia terhuyunghuyung ke depan, mengangkat kedua tangannya seperti orang yang
berjalan dalam tidur. "Banyak yang harus kita lakukan sekarang," kata Scott. Ia
berdiri membelakangi mayat berjalan itu. Ia tidak melihat
keguncangan yang tergambar di wajah Lily.
Lily melihat mayat Julie memungut batangan logam berat dari
atas mesin cetak. Dengan langkah-langkah yang semakin cepat dan mantap,
mayat itu berhenti di belakang Scott.
Mengangkat batangan logam itu.
Dan menghantamkannya keras-keras ke bagian belakang kepala
Scott. Logam itu memukul sasarannya dengan bunyi krek yang
nyaring. Scott tidak bereaksi selama satu-dua detik.
Lalu terdengar suara berdeguk-deguk dari mulutnya yang
terbuka. Matanya berputar. Lututnya tertekuk, dan ia jatuh tersungkur
ke lantai beton. Lily tidak bergerak. Tidak bersuara.
Akhirnya, ia bisa bersuara kembali, "Julie" kau"kau"sudah
mati!" "Tidak, aku tidak apa-apa, Lily," sergah Julie. "Aku baik-baik
saja." "Scott menembakmu! Aku melihatnya tadi!" Lily berkeras.
"Ia tidak menembakku!" bantah Julie. "Ia sama sekali tidak
mencederai aku." Lily berseru bahagia. Ia menghambur maju, melompati tubuh
Scott yang tergeletak di lantai, dan memeluk Julie dengan perasaan
meluap-luap. "Kau tidak apa-apa... tidak apa-apa...," kata Lily berulangulang.
Akhirnya mereka saling melepaskan diri. "Apa yang terjadi?"
tanya Lily. "Bagaimana?""
"Entahlah," jawab Julie sambil menggelengkan kepala. "Aku
tidak mengerti apa yang terjadi. Mungkin pistolnya macet. Waktu
ditembakkan, aku jatuh ke lantai. Aku sangat ketakutan. Pasti
kepalaku tadi terbentur dan aku pingsan. Tapi waktu aku siuman, aku
sadar bahwa aku tidak apa-apa."
"Tapi kau tidak bergerak sama sekali!" jerit Lily. "Aku tadi
yakin sekali kau sudah mati."
"Aku memang ingin Scott menganggap aku mati."
"Jadi kau mendengar semua omongan kami tadi?"
"Ya," Julie mengangguk. "Sukar dipercaya bahwa Scott-lah
yang membunuh Graham"aku tidak menyangka ia segila itu."
"Julie, aku menyesal atas segala-galanya..."
Julie mengangkat tangan untuk menghentikan Lily. "Semua
sudah selesai sekarang," katanya lirih. Diliriknya Scott. "Sebaiknya
kita menelepon polisi. Dan ambulans. Scott membutuhkan
pertolongan"segera."
Lily jatuh terduduk waktu sahabatnya bergegas lari ke pesawat
telepon. Tiba-tiba saja ia merasa lelah, lelah sekali sampai nyaris tidak
bisa bergerak. Akhirnya selesai juga, katanya dalam hati. Scott tidak akan
dapat lagi menyakitiku atau orang lain.
Julie menutup telepon dan duduk di samping Lily. Lalu,
bersama-sama dalam kegelapan di percetakan yang kosong itu,
mereka menunggu, mendengarkan bunyi lengkingan sirene.
"Kau mendengar sesuatu?" tanya Julie pelan, melirik ke pintu di
seberang ruangan yang luas itu.
"Belum," jawab Lily. "Tapi kurasa"OHHH!"
Ia terpekik ketakutan ketika sebuah tangan menyambar kakinya.
25 LILY melompat berdiri. Dengan lemah tangan Scott merayapi kakinya.
Cowok itu tadi merayap dengan perutnya ke arah Lily,
meninggalkan jejak darah di belakangnya. Sambil mengerang
diangkatnya kepalanya. Rambutnya lengket oleh gumpalan-gumpalan darah. Darah juga
mengaliri wajahnya. "Kau... dan... aku... Lily," katanya dengan suara
bergetar. Darah muncrat dari mulutnya waktu ia berusaha keras untuk
bicara. "Kau... dan... aku..."
Lily dan Julie mundur teratur.
Scott mengangkat tangannya, dengan lemah berusaha meraih
kaki Lily sekali lagi. Lalu roboh ke genangan darahnya sendiri dengan
wajah menghadap ke lantai dan diam tak bergerak.
Polisi dan petugas rumah sakit datang sepuluh detik kemudian.
"Akhirnya semua selesai," gumam Lily waktu ia dan Julie
melangkah ke luar, ke udara malam yang dingin.
"Ya," kata Julie. "Scott tidak akan mengganggumu lagi."
Saat itu sudah hampir tengah malam, dan polisi akhirnya selesai
mengajukan pertanyaan kepada mereka. Lily dan Julie berdiri di
pinggir jalan, memandangi mobil-mobil polisi menghilang di ujung
jalan. Lily menguap. "Aku capek sekali, yang aku inginkan sekarang
cuma tidur sebulan penuh."
"Aku juga," timpal Julie sependapat. "Tapi percaya atau tidak,
kita harus kembali ke dunia nyata. Besok kita harus sekolah."
Dibukanya pintu mobil untuk Lily.
"Daddy menelepon tadi," kata Lily padanya. "Ia tidak bisa
meninggalkan Mom. Tapi ia senang kita baik-baik saja. Ia benar-benar
menangis tadi. Ayahku yang gagah dan macho itu. Percaya, nggak?"
Sebelum Julie sempat menjawab, mobil lain muncul, berhenti di
sebelah Corolla Julie. "Uncle Bob!" jerit Lily kaget.
Kedua pintu mobil itu terbuka. Uncle Bob dan Rick turun.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Uncle Bob cemas sambil
mengintip ke dalam mobil.
"Semuanya sudah beres sekarang," jawab Lily.
"Ayahmu langsung meneleponku begitu ia mendapat kabar dari
polisi," kata Uncle Bob. "Rick dan aku masih bekerja. Kami langsung
buru-buru ke sini?" "Terima kasih, tapi semuanya sudah selesai," kata Lily sambil
menghela napas. "Kami berdua tidak apa-apa."
"Well, ayo, Rick. Kurasa kita terlambat untuk membantu," kata
Uncle Bob sambil menggaruk-garuk kepalanya yang botak. Ia
mengintip ke dalam mobil lalu memandang kedua gadis itu. "Tidak
apa-apa kalian pulang sendirian?"
"Yeah. Kami tidak akan kenapa-kenapa," sahut Lily.
"Omong-omong, Lily," kata Uncle Bob sambil bersandar di
mobil. "Kurasa kau tidak tahu apa-apa soal pistol starter(pistol yang
digunakan untuk memberi aba-aba mulai pada pertandingan olahraga)
yang kusimpan di laci di bawah mesin kas itu ya?"
"Hah" Pistol starter" Maksud Uncle?"
Pamannya itu mendecakkan lidah. "Masa kau mengira itu pistol
sungguhan" Aku tidak mau menyimpan pistol sungguhan. Terlalu
menakutkan." Tawa Lily dan Julie meledak.
"Well, kalau begitu terjawab sudah!" teriak Lily girang. "Itulah
sebabnya Julie masih hidup."
Mereka semua saling mengucapkan selamat malam. Tak berapa
lama kemudian Julie mengarahkan mobilnya ke rumah Lily.
"Cowok yang bernama Rick itu kece juga," kata Julie sambil
melirik Lily. "Ia teman kerjamu?"
Lily mengangguk. "Punya pacar nggak?"
"Oh, ya ampun!" pekik Lily. "Kok bisa-bisanya kau berpikir
tentang cowok setelah"setelah?"
"Ia punya pacar tidak?" desak Julie.
"Tidak," jawab Lily. Lalu tawa keduanya meldak lagi.
"Well, kejadian malam ini benar-benar mengerikan," kata Julie
sambil menghentikan mobilnya di depan rumah Lily. "Kurasa kau
mendapat satu pelajaran penting dari peristiwa ini, heh?"
"Hah" Apa?" tanya Lily.
"Bahwa masih banyak hal lain yang lebih penting daripada
menjadi lulusan terbaik."
"Tidak mungkin!" seru Lily. "Kita masih punya waktu empat
minggu sebelum akhir semester. Aku akan lulus sebagai nomor satu,
Julie. Aku tahu itu!"END
Rahasia Sendang Bangkai 1 Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah Selubung Awan Hitam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama