Ceritasilat Novel Online

Selubung Kegelapan 2

Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil Bagian 2


mendapatkan dukungan. Tapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa.
Tentu saja itu hanya kecelakaan, kata Maggie sendiri. Garret
memang tampak seperti sudah melemparkan vasnya. Tapi dia tidak
punya alasan untuk menyakitiku. Aku baru saja tiba di Tanglewood.
Koki mulai menaiki tangga, Andrew merapat di belakangnya.
Maggie mengikuti mereka. Benar-benar awal yang aneh, pikirnya.
Mereka tiba di sebuah lorong yang panjang. Lorong itu pasti
membentang dari satu menara Tanglewood ke menara yang lain, pikir
Maggie. Mereka berbelok ke kanan.
"Garret!" seru Koki. "Master Garret!"
Dengan kaki-kakinya yang kecil, Andrew harus berlari-lari
untuk bisa mengikuti Koki menyusuri lorong.
"Dia sedang jengkel akhir-akhir ini," kata Andrew kepada Koki.
Koki berderap hingga tiba di depan sebuah pintu kayu yang
diapit dua buah pilar kayu.
Ia mencoba memutar kenop kuningannya yang mungil.
Terkunci. Ia menggedor pintu dengan tinjunya. "Buka pintu ini
sekarang juga, kau makhluk kecil terkutuk!"
Tidak terdengar suara apa pun dari dalam ruang yang terkunci
itu. Maggie memejamkan matanya rapat-rapat, teringat pada hariharinya di penjara. Pintu-pintu yang terkunci. Penjaga yang
menghantami jeruji dengan tongkat mereka.
"Buka!" teriak Koki. "Kau dengar?"
Tidak ada jawaban. "Koki?" tanya Andrew. "Mungkin sebaiknya kita tidak
mengganggunya. Kau tahu bagaimana jadinya kalau..." Anak itu
melirik Maggie dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Apa" pikir Maggie. Apa yang ingin dikatakan Andrew"
"Biar kucoba," katanya tiba-tiba.
Maggie mendekati pintu dan meletakkan tangannya pada pintu
yang berpelitur itu. Ia ragu-ragu sejenak, memusatkan perhatiannya.
Lalu ia memanggil nama Garret dengan lembut.
Tidak ada jawaban. "Ini Miss Thomas, Garret. Pengasuh yang baru. Aku sudah
ingin bertemu denganmu sejak..."
Blang! Sesuatu yang berat menghantam pintu. Andrew
melompat mundur, dan Koki mencengkeram tangan Maggie.
Blang! Blang! Blang! Garret, pikir Maggie tersadar. Ia mengempaskan diri ke pintu.
"Garret, hentikan. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri," kata
Maggie. "Pergi!" jerit Garret. Suaranya bergetar marah. "Kalian semua!
Pergi! Itu hanya kecelakaan! Jangan ganggu aku!"
Maggie merasa perutnya mulas. Jeritan Garret
mengingatkannya akan penjara. Pada makhluk sinting yang tinggal di
lubang-lubang kecil yang gelap itu....
Hentikan, kata Maggie pada dirinya sendiri. Kau tidak lagi
berada di penjara. Kau sudah berhasil melewati siksaan itu, dan kau
jelas bisa mengatasi anak 8 tahun. Sudah waktunya untuk
menunjukkan kepada semua orang" termasuk dirimu"bahwa kau
bisa menangani tugas barumu.
"Koki," kata Maggie, berusaha agar terdengar tenang, "kau
punya kunci kamar ini?"
Mata Koki membelalak. "Tentu saja, tapi..."
"Boleh kupinjam?"
"Tentu saja." Koki perlahan-lahan mengeluarkan serangkaian
kunci dari sakunya. Ia menanggalkan salah satunya dan
memberikannya kepada Maggie.
"Tidak!" jerit Garret, sambil mengempaskan diri ke pintu.
"Sebaiknya kau tidak masuk kemari, kuperingatkan kau! Kalau kau
masuk, akan kutusuk matamu!"
Koki menyentuh kalung salib yang dikenakannya. Maggie
mencoba untuk menatapnya lurus di mata"tapi Koki terus menatap
lantai. "Mungkin sebaiknya kita biarkan dia tenang lebih dulu," kata
Andrew sekali lagi. "Terima kasih, Andrew. Tapi aku akan berbicara dengannya
sekarang. Koki, tolong ajak Andrew ke bawah."
"Ya, Miss." Maggie menunggu hingga mereka telah berlalu. Lalu ia
menghela napas panjang dan memasukkan kunci ke lubangnya. Garret
terus menjerit-jerit kepadanya.
Maggie membuka pintunya"dan melihat Garret berlari
menyeberangi kamar. Garret mengempaskan diri ke sebuah kursi
goyang kecil dekat jendela dan menggoyangnya kuat-kuat, tanpa
memandang ke arah Maggie.
Ternyata tidak begitu menakutkan, kata Maggie sendiri.
Hanya seorang anak. Seorang anak yang sedang merajuk.
Maggie menutup pintu di belakangnya.
"Garret, aku Miss Thomas. Aku pengasuhmu yang baru."
Garret menggoyang kursinya semakin kuat, masih tanpa
memandang kepadanya. Rambutnya sama pirang dengan adiknya, tapi
lurus, tidak keriting. Rambutnya mirip jerami kusut yang kasar.
Maggie duduk di ranjang dan berpikir sejenak. Ia memutuskan
untuk tidak menyinggung mengenai vasnya. Vas yang masih
berantakan di ruang depan di lantai bawah. Vas yang hampir saja
menghantam kepalanya. Ia memutuskan untuk tidak menyinggung
ancaman mengerikan yang diteriakkan Garret dari balik pintu.
Maggie tidak ingin memulai hubungan mereka dengan tuduhan.
"Garret," katanya. "Aku tahu bahwa ibumu baru saja
meninggal. Kau pasti sangat merindukannya."
Tidak ada reaksi. "Kehilangan orangtua yang disayangi"sangat menyakitkan.
Aku tahu. Ayahku sendiri..."
Maggie terkejut menyadari bahwa saat mengatakan "Ayah" ia
merasa tercekik. Ia harus diam sejenak.
"Ayahku sendiri juga meninggal baru-baru ini. Malahan, agak
tiba-tiba. Dan"well, aku kehilangan ibuku sewaktu baru berusia 6
tahun. Jadi kupikir aku tahu bagaimana sulitnya kehilangan seseorang
yang sangat kaucintai dan..."
Garret berhenti menggoyang kursinya.
Mungkin aku berhasil menarik perhatiannya, pikir Maggie.
"Well, tidak ada yang bisa mengganti rasa kehilanganmu, Garret,"
katanya cepat. "Tapi kuhargai kenangan-kenangan indah akan kedua
orangtuaku." Maggie menyatukan tangannya. "Aku tahu! Mungkin kau dan
aku bisa memulai buku harian bersama-sama. Kita bisa menuliskan
semua kenangan indah mengenai ibumu tercinta dan..."
Perlahan-lahan Gariet berpaling di kursinya, sehingga akhirnya
ia memandang Maggie. Maggie berhenti bicara di tengah-tengah kalimat dengan
berseru, "Oh!" Garret melotot kepadanya, mengertakkan rahang kecilnya
begitu keras hingga seluruh wajahnya bergetar.
"Kau kira aku mencintai ibuku?" katanya. "Aku tidak mencintai
ibuku! Aku membencinya! Membencinya! Membencinya!"
Bab 10 GARRET meninju lengan kursi goyangnya sekuat tenaga. Lalu
ia melompat turun dari kursi dan mengentak-entakkan kakinya ke
lantai. "Kau dengar" Aku benci ibuku!"
Maggie gemetar. Apa yang bisa menimbulkan racun seperti
ini"terutama dalam diri seorang anak"
Ia mengulurkan tangan ke arah anak itu, tapi Garret
menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan bergerak menjauhi Maggie. Ia
bergoyang-goyang, dan bergoyang-goyang.
Wajahnya berubah merah padam. Maggie bisa mendengar suara
napasnya yang serak. Mata biru Garret tampak berkaca-kaca.
Maggie harus menemukan cara untuk menenangkan anak itu. Ia
melihat ada sebuah buku sketsa besar. Mungkin itu bisa memberi
persamaan antara mereka berdua, sesuatu yang bisa dibicarakannya
dengan Garret. "Ah," kata Maggie sambil meraih buku sketsa itu. Ia memaksa
diri agar suaranya tenang dan menyenangkan. "Kau tahu Garret, aku
juga suka menggambar."
Garret menerjang maju dan menyambar buku sketsa itu sebelum
Maggie sempat menyentuhnya. Lalu anak itu bergegas menjauh
kembali. "Aku tidak menggambar sewaktu masih anak-anak," lanjut
Maggie seakan tidak terjadi apa-apa, "tapi baru-baru ini kusadari
bahwa aku memiliki banyak waktu luang. Aku menggambar dengan
kapur." Tidak benar. Ia menggambar di dinding selnya dengan batubatu kecil.
"Boleh kulihat?" tanyanya, sambil mengulurkan tangan.
Garret mencibir. "Kau tidak tertarik dengan gambar-gambqrku,"
gumamnya. "Kau hanya berpura-pura tertarik, karena kau ditugaskan
untuk merawatku." "Tapi aku memang tertarik, Garret. Sungguh." Maggie tetap
mengulurkan tangan, dengan telapak menghadap ke atas.
Garret menatapnya cukup lama. Apa yang dipikirkannya" pikir
Maggie penasaran. Garret mengangkat bahu dan memberikan buku sketsanya.
Magie membukanya dan tersenyum. Sebuah sketsa terinci dari balon
udara terpampang di halaman itu. Garret menggambar dirinya di
keranjang balon, melayang di antara awan-awan dengan gembira.
"Ini bagus sekali, Garret," kata Maggie kepadanya.
Garret tidak menjawab. Tapi Maggie sadar anak itu beranjak lebih dekat kepadanya. Ia
membalik ke halaman berikutnya dan menemukan sketsa Garret di
sebuah pulau tropis dikelilingi monyet-monyet, zebra-zebra, dan
jerapah-jerapah. Benar-benar luar biasa imajinasinya, pikir Maggie. Melihat
sketsa-sketsa itu membuat Maggie bertekad lebih kuat untuk bisa
menjangkau anak yang marah itu. Mereka akan berteman entah
dengan cara bagaimana, ia berjanji pada dirinya sendiri.
"Seandainya aku bisa menggambar sebaik dirimu, Garret," kata
Maggie kepadanya. "Bagaimana kau bisa memikirkan hal-hal yang
luar biasa seperti ini?"
"Entahlah. Aku hanya menggambarnya begitu saja," kata
Garret, malu-malu mengakui. Ia menggeser mendekat kepada Maggie.
Maggie berpura-pura tidak menyadarinya.
"Ada apa di halaman berikutnya?" tanyanya kepada Garret
sambil tersenyum. "Aku sudah tidak sabar untuk melihatnya!" Maggie
membalik buku itu"dan tersentak.
"Tidak!'' bisiknya. Bagian belakang tenggorokannya terasa
pahit. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Maggie membalik halaman-halamannya semakin lama semakin
cepat. Sketsa demi sketsa menunjukkan seorang wanita dalam sebuah
peti mati. Wajah masing-masing wanita memancarkan ketakutan yang
sangat hebat. Makhluk yang berbeda-beda tengah menyantap tubuh wanita
itu"cacing, kelelawar, singa...
Di gambar terakhir, seorang bayi dengan gigi-gigi tajam
berlumuran darah, tengah tersenyum lebar sambil mencabut jantung
seorang wanita dari dadanya.
"Kau yang menggambar semua ini?" tanya Maggie kepada
Garret. Wajahnya terasa membeku. Tanpa ekspresi.
Garret mengangguk. Ia mengambil kembali buku sketsa itu dan
membalik halamannya hingga gambar wanita dalam peti mati yang
pertama. "Ini beberapa sketsa pertamaku tentang Miss Winston. Dia
datang untuk merawat kami tidak lama sesudah ibu meninggal. Dia
tidak secantik dirimu," tambahnya.
Ia membalik ke halaman berikutnya.
"Ini Mrs. Squires. Istri Mr. Squires. Dia pengasuh kami yang
berikutnya." Ia kembali membalik halamannya.
"Ini Miss Nealson."
"Tapi Garret," kata Maggie, berusaha untuk tidak menunjukkan
ketakutannya, "kenapa kau menggambar mereka semua dalam peti
mati dengan... dengan..."
"Karena mereka semua sudah mati sekarang," jawab Garret
tenang. "Semuanya mati dan membusuk di tanah." Ia menatap
Maggie, matanya membelalak dan tidak berkedip. "Kau juga akan
mati"kalau kau tetap di sini."
Bab 11 "APA maksudmu?" tanya Maggie. "Apa sih yang kaubicarakan
ini" Bagaimana kau bisa mengucapkan kata-kata semengerikan itu?"
Garret tidak menjawab. Kemarahan Maggie meluap.
Kemarahan dan ketakutan. Ia menyambar bahu Garret dan
mengguncang anak itu. "Apa maksudmu?"
Garret mulai tertawa. "Kau tidak tahu" Apa mereka belum
memberitahumu" Aku yang membunuh mereka." Garret tertawa dan
tertawa, sampai terengah-engah.
"Hentikan!" jerit Maggie. "Hentikan sekarang juga, kau
dengar?" Maggie melompat bangkit dan melangkah keluar dari kamar.
Ia membanting pintu di belakangnya, lalu menyandar ke sana. Ia
masih bisa mendengar Garret tertawa di dalam kamar.
Garret berusaha menakut-nakutimu, katanya sendiri. Hanya itu.
Anak mana yang tidak berusaha mempermainkan pengasuh mereka"
Tapi gambar-gambar itu bukan lelucon anak-anak. Gambargambar itu mengerikan. Dari mana anak semuda itu bisa mendapat
pikiran begitu mengerikan"
Bukan anak biasa, pikir Maggie mengingatkan dirinya sendiri.
Seorang anak penuh imajinasi yang ibunya baru meninggal. Alasan
alamiah apa lagi untuk menjelaskan kematian yang dilihatnya di
mana-mana" Terkutuklah jiwaku yang lemah, pikir Maggie. Aku sudah
membiarkan anak itu menakut-nakutiku! Para pengasuh yang dulu
tidak mati. Tidak mungkin!
Salah satu pengasuh anak yang dulu adalah istri pelayan
berwajah masam itu, kata Maggie mengmgatkan dirinya sendiri. Dan
dia melarikan diri. Jadi aku tahu anak itu sudah membohongiku.
Ia bergegas turun ke lantai bawah. Di sana ia menemukan jalan
ke dapur. Koki tengah berdiri di depan wastafel, mencuci piringpiring. Ia menengadah, terkejut.
"Ah, Miss Thomas," kata Koki, wajahnya agak memerah.
"Kuharap kau sudah menghukumnya dengan berat. Kau bisa terluka
parah." "Ya," kata Maggie menyetujui. Dalam benaknya, ia melihat vas
berat itu melayang jatuh. Melihatnya pecah berantakan di lantai dekat
kakinya. Lalu ia melihat vas itu jatuh kembali. Melihatnya menghantam
kepalanya. Melihat darahnya berhamburan mengotori lantai.
"Kuncinya," kata Maggie. Ia memberikan kunci itu kepada
Koki. "Terima kasih." Koki menyelipkan kunci itu ke saku
celemeknya dan berbalik untuk melanjutkan mencuci piring, sambil
bersenandung riang.

Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seakan-akan aku sudah tidak berada di sini, pikir Maggie. Apa
dia sengaja berusaha mengabaikanku"
"Koki..." kata Maggie.
Koki tidak menengadah. "Apa Garret dan Andrew pernah memiliki pengasuh anak
sebelum aku?" Aku penasaran, tidak lebih dari itu, kata Maggie pada
dirinya sendiri. Koki mengacungkan sebuah piring ke arah lampu. Maggie bisa
melihat pantulan wajah Koki yang serius di keramik yang bersih itu.
Koki tidak berani menatapku, Maggie tersadar. "Apa sebaiknya
kuulangi pertanyaanku?"
"Tiga," kata Koki pada akhirnya. "Tiga pengasuh anak sebelum
kau, Miss Thomas. Kalau tidak salah."
Tiga. Gambar-gambar Garret yang mengerikan kembali melintas
dalam benaknya. Miss Winston. Mrs. Squires. Miss Nealson. Semuanya
dimangsa hidup-hidup. "Apa yang terjadi pada mereka?" tanya Maggie.
"Mereka pergi," kata Koki cepat. "Salah satunya istri Mr.
Squires, yang melarikan diri, seperti yang sudah kukatakan tadi." Ia
tergelak. "Siapa yang bisa menyalahkannya" Tak ada yang tahan
hidup bersama pria semuram itu."
"Jadi itu sebabnya dia melarikan diri" Karena tingkah laku dan
sikap Mr. Squires?" "Siapa yang bisa mengetahui jalan pikiran orang lain?" kata
Koki sambil mengangkat bahu dengan sikap gugup.
"Tiga pengasuh anak dalam waktu kurang dari setahun. Cukup
banyak, bukan?" tanya Maggie.
"Aye," jawab Koki. Jemarinya melayang ke kalung salib di
lehernya. Maggie menggigil melihatnya.
*********** Maggie menggigit sepotong kecil daging domba itu dan
mengunyahnya perlahan-lahan. Pandangannya berkeliaran dari, panelpanel hitam di dinding hingga pola-pola hitam pada tirai-tirai.
Aku merasa seperti sedang bersantap di pemakaman, pikir
Maggie. Hanya ia dan Andrew yang berbicara. Koki dan Mary,
pelayan yang membantu menyajikan, sediam mayat. Begitu pula
Garret. Ruangan yang muram ini memerlukan sesuatu yang cerah dan
berkilau, pikir Maggie mengambil keputusan. Sebuah tempat lilin
akan tampak cantik di sini.
"Miss Thomas," kata Andrew. "Apa kau pernah menyaksikan
sirkus?" "Ya," kata Maggie kepada Andrew. Ia mengusap bibirnya
dengan serbet. "Aku malah sudah tiga kali menonton sirkus."
"Tiga!" Mata Andrew membesar dan berbinar-binar. "Apa
hebat?" "Sangat." "Apa singa-singanya menakutkan?" tanya Andrew.
"Ya ampun, memang," jawab Maggie. "Seharusnya kau
mendengar auman mereka."
"Kata Ayah penjinak singa memasukkan kepalanya ke dalam
mulut singa," tambah Andrew.
"Memang benar," kata Maggie kepadanya.
Ia teringat pada singa di salah satu sketsa Garret. Ia melirik ke
arah anak itu dan mendapati pandangan Garret tengah terpaku kepada
dirinya. Wajah Garret tidak menunjukkan emosi apa pun.
Apa yang dipikirkannya" Maggie penasaran.
"Kau kira mungkin singanya bisa mengatupkan mulut dan
menggigit kepala penjinak singa hingga putus?" tanya Andrew.
"Andrew!" seru Koki, begitu syok hingga tidak lagi membisu.
"Aku penasaran," kata Andrew menjelaskan.
"Penasaran itu bagus," kata Maggie. "Tapi ada beberapa macam
penasaran yang tidak layak di meja makan."
"Maaf," gumam Andrew. "Tapi, kau mau menceritakan tentang
sirkus lebih banyak lagi nanti?"
Maggie tersenyum kepadanya. "Kenapa tidak." Ia berpaling
kepada Koki. "Ada yang ingin kutanyakan. Kapan Mr. Malbourne
kembali?" "Mr. Malbourne?" tanya Koki, seakan-akan tidak mengenal pria
itu. "Tunggu sebentar," katanya, sambil bergegas keluar dari ruang
makan. "Aku harus memeriksa pudingnya."
Tak seorang pun yang mengetahui kapan majikan mereka akan
pulang. Padahal Maggie merasa harus berbicara dengannya.
Tanglewood tempat yang bermasalah. Dan anak-anak memerlukan
kehadiran ayah mereka. Kedua-duanya.
"Ayah tidak pernah di rumah," gumam Garret.
"Aku sangat ingin menyaksikan sirkus," kata Andrew penuh
harap. "Suatu hari kelak akan kuajak kalian berdua menyaksikannya,"
janji Maggie. "Kalau ada sirkus yang datang ke Boston. Dan sekarang
kalau kalian berdua tidak keberatan, aku merasa agak lelah karena
perjalananku." "Kau tidak ingin menunggu pencuci mulutnya, Miss Thomas?"
tanya Garret. "Tidak, terima kasih. Malam ini tidak." Maggie beranjak
bangkit. "Kata Koki jam tidur kalian tinggal beberapa menit lagi.
Tolong ganti pakaian kalian dengan piama, cuci muka, dan berdoa.
Koki akan mampir untuk mengucapkan selamat malam agar aku bisa
istirahat lebih dini."
Maggie menaiki tangga ke kamarnya perlahan-lahan. Ia
kelelahan. Dan bukan sekadar akibat perjalanannya.
Maggie menyusuri lorong dengan langkah berat dan membuka
pintu kamar tidurnya. Ia menyeberang ke ranjangnya dan duduk.
Kasurnya sangat empuk. Ia merasa seakan-akan bisa berbaring dan
tidur selama setahun. Setelah tidur pulas semalaman, pekerjaan baru takkan terasa
terlalu berat, Maggie yakin akan hal itu. Ia akan menemukan cara
untuk mendekati Garret, entah bagaimana. Dan ia bisa mengatakan
bahwa dirinya dan Andrew telah bersenang-senang.
Dengan kelelahan ia beranjak bangkit dan melangkah ke lemari
pakaian untuk mengambil gaun tidurnya. Menanggalkan seragam
pengasuh anaknya pasti terasa sangat nyaman. Sepanjang hari kerah
gaun yang kaku itu terasa bagai mencekiknya.
Maggie membuka pintu lemari pakaian.
Dan menjerit melengking, ketakutan.
Bab 12 MAGGIE tersentak memandang sketsa dirinya dalam ukuran
asli. Ia berbaring di dalam sebuah peti mati, dan segerombolan burung
robin berdada merah tengah mematuki biji matanya.
Ia mundur, dengan tangan menutupi mulut. Garret yang
melakukannya, pikirnya. Ia berbalik dan melangkah ke pintu. Ia membukanya"dan
mendapati Andrew tengah berlari-lari di lorong ke arahnya.
"Ada apa?" seru Andrew. "Kudengar kau berteriak. Kau baikbaik saja, Miss Thomas" Ada apa?"
Maggie menunjuk gambar. Andrew menatapnya sejenak. Lalu mencabut gambar itu dan
meremasnya hingga menjadi bola.
Sewaktu menengadah ke arah Maggie, air mata berkilauan di
mata birunya yang besar. "Terulang lagi," katanya.
"Apa" Apa yang terulang lagi?" tanya Maggie. Ia berusaha
untuk mempertahankan ketenangan suaranya. Ia tak ingin semakin
membingungkan Andrew. "Tidak ada," kata Andrew dengan tergesa-gesa. Ia
mencengkeram tangan Maggie. "Oh, tolong jangan pergi," katanya.
"Tolong jangan pergi dan meninggalkan aku bersama..."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan menatap ke pintu.
Wajahnya berubah pucat pasi.
Maggie berbalik dan melihat Garret berdiri di ambang pintu.
"Teruskan," kata Garret menantang Andrew dengan sikap
dingin. Ia tersenyum. "Katakan. Tolong jangan tinggalkan aku
bersama Garret. Dia seorang pembunuh. Katakan!"
Andrew mulai gemetar. Maggie memeluk bahu anak itu untuk melindunginya, Tapi
Garret menjulurkan tangan dan menjewer telinga Andrew kuat-kuat.
Andrew melolong kesakitan. Ia menampar pipi Garret.
"Akan kubalas kau nanti," kata Garret kepada Andrew. "Saat
dia tidak ada di dekatmu untuk melindungimu, bayi." Ia berbalik dan
lari, tangannya mengepal.
"Oh, ya ampun," kata Maggie. Ia duduk di ranjang dan
menepuk tempat di sampingnya.
Andrew bergegas mendekat dan menjatuhkan diri di
sampingnya. "Garret tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang
dikatakannya," kata Andrew kepada Maggie.
"Oh, tidak?" tanya Maggie. Kalau begitu kenapa kau begitu
ketakutan terhadapnya" pikirnya.
"Tidak, Miss Thomas, dia hanya berpura-pura, itu saja. Dia
tidak membunuh para pengasuh di sini."
"Apa katamu?" jerit Maggie.
"Aku yakin dia sudah memberitahumu bahwa dia yang
membunuh mereka semua. Dia ingin menakut-nakutimu. Dia ingin
kau pergi." "Aku tahu memang begitu," kata Maggie kepada Andrew. "Aku
tahu." Ia meremas bahu Andrew. "Kenapa para penjaga anak yang
dulu pergi?" tanyanya.
"Satu pergi karena menikah," kata Andrew. "Mrs. Squires pergi
karena dia marah kepada Mr. Squires. Dan yang satu lagi..." Andrew
tidak menyelesaikan kata-katanya. Ia menunduk memandang lantai.
Maggie merasakan tubuhnya menegang.
"Kau bisa memberitahuku, Andrew," katanya. "Yang satu lagi"
Itu pasti Miss Nealon, bukan?"
"Ya." Maggie meraih dagu Andrew dan dengan lembut
menengadahkannya. Memaksa Andrew membalas tatapannya.
"Kenapa Miss Nealon pergi, Andrew?"
"Well, dia... Dia tidak memahami Garret," kata Andrew pada
akhirnya. Ia mencengkeram tangan Maggie erat-erat dan tersenyum
kecil penuh harap. "Katakan kau akan tetap di sini. Please."
Bagaimana aku bisa meninggalkan anak ini" pikir Maggie. Atau
kakaknya" Garret jelas juga membutuhkanku. Aku jelas tidak bisa
meninggalkan mereka sebelum ayah mereka pulang. Memastikan
bahwa mereka terawat dengan baik adalah pekerjaanku. Aku sudah
setuju akan melakukan hal itu.
Maggie menyadari bahwa Andrew gemetar. Ia memeluknya
erat-erat. "Tentu saja aku tidak akan pergi," katanya kepada Andrew,
tiba-tiba merasakan kehangatan memancar dari dirinya. "Aku akan
tetap di sini! Tetap di sini!"
************* Malam itu Maggie sulit tidur.
Setiap kali memejamkan mata ia mengira mendengar kepakan
lembut sayap-sayap. Ia membayangkan segerombolan robin merah
perlahan-lahan menukik untuk mematuk bola matanya.
Tapi akhirnya ia merasakan dirinya terlelap, melayang dalam
mimpi seperti salah satu robin itu, hanyut dalam tidur yang pulas.
Ia terjaga mendengar suara seseorang menangis pelan.
Maggie mencoba untuk tidak mendengar suara itu, mencoba
untuk tetap tidur, aman dan meringkuk di ranjangnya.
Tapi tangisan itu bertambah keras.
Apa salah satu anak itu yang mendapat mimpi buruk"
Ia duduk. Mendengarkan dengan sekuat tenaga. Dari suatu
tempat dalam rumah terdengar tangisan yang memilukan. Begitu
menderita. Kedengarannya bukan tangisan anak-anak. Boleh dikatakan
malah tidak manusiawi sama sekali.
Maggie merasa jantungnya berdebar hebat. Apa yang
menyebabkan suara semenakutkan itu"
Aku harus mengetahuinya, pikir Maggie. Anak-anak bisa
berada dalam bahaya. Maggie mengayunkan kakinya yang telanjang dari ranjang dan
menginjak lantai yang dingin. Sambil menggigil, ia mengenakan
mantel merah tua yang ditemukannya tergantung dalam lemari
pakaian. Mungkin ditinggalkan salah satu penjaga anak yang dulu,
pikir Maggie. Maggie menemukan sebatang lilin dan korek api di lacinya. Ia
mencoba menyalakan koreknya, tapi jemarinya terlalu gemetar
sehingga apinya padam sebelum ia sempat menyulut lilinnya.
Tenang, perintahnya sendiri. Ia mencoba korek kedua. Kali ini
pun gagal. Tangisan pelan itu kembali menelusup ke telinganya. Aku tak
tahan, pikir Maggie. Suara itu lebih buruk dari tangisan mana pun
yang pernah kudengar di penjara.
Maggie mencoba untuk yang ketiga kalinya"dan berhasil
menyulut lilinnya. Ia meraihnya dan berjalan menyusuri lorong.
Bayang-bayang bagai berlompatan keluar di depannya saat ia
menuju ke kamar Andrew. Jantung Maggie berdetak semakin lama
semakin cepat. Ia merasa lebih aman di kamar tidurnya. Entah
mengapa ia merasa lebih terlindungi di sana. Di lorong ini, ia merasa
seakan-akan ada sesuatu yang bisa menukik dan menyambarnya.
Maggie memaksa diri untuk terus melangkah. Memaksa dirinya
berpikir logis. Ia tiba di kamar tidur Andrew. Ia mendengarkan dari
balik pintu. Kalau Andrew tengah tidur nyenyak, ia tak ingin
membangunkannya. Tidak terdengar suara. Ia bergegas ke depan pintu kamar tidur Garret.
Di sana juga tidak terdengar suara.
Maggie mengembuskan napas lega. Ia berbalik kembali ke
kamarnya. Mungkin ia hanya membayangkan saja. Mungkin ia
memimpikannya. Tunggu. Tangisan itu terdengar lagi. Lolongan pelan panjang,
bagai melayang turun ke arahnya dari ketinggian.
Maggie mempertimbangkan untuk bergegas kembali ke
kamarnya dan mengunci pintu di belakangnya. Tapi ia tidak mampu
melakukannya. Ia mengikuti suara itu melintasi rumah tua yang gelap. Ia
berjalan di sepanjang lorong yang panjang dan lebar, ke menara di
sebelah kiri. Ia membuka pintu menara dan mulai menaiki tangganya
yang gelap dan berliku-liku.
Saat ia semakin tinggi, suara tangisannya juga semakin keras.
Dan semakin keras. Siapa yang menangis" Apa yang akan kutemukan di sana"
Maggie penasaran sekalipun ketakutan.
Kata Koki, ia dan Mary si pelayan tidur di kamar-kamar di
dekat dapur. Tempat tinggal George Squires berada di dekat istal.
Jadi siapa yang menangis" Siapa"
Bab 13

Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

MAGGIE tiba di tikungan tangga yang bulat dan luas di puncak
tangga. Di depannya terdapat sebuah pintu kayu. Tangisan yang
memilukan itu berasal dari baliknya. Maggie mengulurkan tangan ke
kenopnya"dan tangisannya berhenti seketika. Seakan-akan orang di
baliknya merasakan kedatangannya.
Maggie membeku, mendengarkan. Mendengarkan segala suara,
sekecil apa pun. Lalu ia mendengar desahan pelan di belakangnya. Bulu-bulu
lengannya berdiri seketika. Perlahan-lahan ia berbalik.
Sebuah jendela terbuka ke arah halaman. Suara itu tampaknya
berasal dari jendela tersebut sekarang.
Dengan hati-hati, Maggie melangkah ke jendela itu. Jendela itu
sedikit terbuka. Di luar, cabang-cabang pepohonan berderit-derit sedikit
terembus angin. Angin yang meniup di sela-sela dedaunan
menimbulkan suara desahan mirip tangisan.
Tunggu sebentar, pikir Maggie. Apa itu suara yang tadi
kudengar" Angin berembus agak keras di puncak tangga. Lilin Maggie pun
padam. Membuat ia berada dalam kegelapan total.
Maggie memaksa diri untuk tidak bergerak. Mendengarkan
dengan sekuat tenaga. Ia hanya mendengar suara dedaunan. Cabang-cabang pohon.
Angin. Bodohnya aku, pikirnya. Ketakutan oleh angin. Bertingkah
seperti anak-anak. Ia meraba-raba menuju tangga dan turun. Rumah tua yang besar
itu tetap sunyi hingga ia telah berada di ranjangnya kembali, dengan
selimut tertutup rapat hingga dagu.
Lalu suara tangisan itu mulai terdengar lagi. Lebih keras dari
semula. Dan kedengarannya tidak mirip suara angin.
************** "Dan kami menyimpan barang-barang perak di kamar ini," kata
Andrew keesokan paginya. Sesudah sarapan, anak itu bersikeras untuk mengajak Maggie
berkeliling rumah. Garret menolak ikut, sekalipun Maggie telah
mengajaknya dalam tiga kesempatan yang berbeda.
Mungkin sebaiknya memang begitu, pikir Maggie. Mungkin
aku harus mengenali Andrew dan Garret satu per satu.
Tapi ia memang ingin mengenal Garret. Ia merasa Garret lebih
memerlukan teman daripada Andrew.
"Ayo!" jerit Andrew. Ia berlari memasuki sebuah ruangan
tempat lukisan. Ia berhenti di depan foto seorang wanita cantik dengan
rambut pirang panjang membingkai wajahnya yang kurus dan sedih.
Foto lain dari ibu anak-anak ini, pikir Maggie. Sekali lagi ia merasa
tidak nyaman saat menatap foto itu.
"Ini galeri," kata Andrew kepadanya dengan nada biasa.
Maggie merasa melihat mata biru Andrew mengilat, seakanakan berkaca-kaca.
"Andrew" Ini ibumu?" tanyanya dengan lembut, sambil
melangkah mendekati lukisan yang tengah diamati anak itu.
Perlahan-lahan Andrew mengangguk.
"Dia cantik sekali," kata Maggie lembut.
Andrew membuang muka. "Andrew..." Maggie mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku ikut sedih ibumu sudah meninggal. Tapi kau boleh
membicarakannya kapan pun kau mau."
Anak itu menggigit bibirnya. Maggie bisa melihat bahwa dia
berjuang untuk tidak menangis.
Merasakan kehangatan dan rasa kasihan, Maggie memeluk anak
itu. Andrew membiarkannya sejenak, lalu membebaskan diri.
"Kurasa lukisan-lukisan dalam ruangan ini cukup bagus," kata
anak itu keras-keras. Maggie hancur hatinya melihat anak itu berusaha bersikap
tabah. Ia sudah kehilangan ibunya. Ayahnya tidak bisa ditemukan.
Dan tiga pengasuh anak sudah meninggalkannya.
Yang tersisa hanyalah Garret. Dan Garret sangat sedih. Sangat
marah. Andrew memilikiku sekarang, kata Maggie mengingatkan
dirinya sendiri. Mereka berdua memiliki diriku!
"Ada lukisan hampir semua anggota keluarga Malbourne di
dinding-dinding ini," lanjut Andrew, menyela pikiran Maggie.
Andrew berputar di tengah-tengah ruangan, lengannya membentang
lebar. "Hati-hati," kata Maggie, menangkapnya saat Andrew agak
terhuyung-huyung. "Kau bisa pusing."
"Ini kakekku," kata Andrew, sambil menunjuk sebuah lukisan
dengan bingkai yang rumit. "Kupikir dia tampak menakutkan.
Setuju?" "Sangat. Ini, aku juga bisa memamerkan tampang seperti itu."
Maggie menarik bibirnya hingga membentuk garis lurus, menurunkan
alis matanya, dan menatap Andrew dari ujung hidungnya.
Andrew tertawa geli. "Dan ini ayahku, Harrison Malbourne II."
Maggie seketika berhenti. Memandang Harrison Malbourne,
majikannya. Akhirnya kita bertemu, pikirnya. Sekalipun hanya dalam
bentuk lukisan! Pria itu menatapnya dengan mata sebiru dan sejernih putra
bungsunya. Rambutnya hitam. Rahangnya kokoh. Ada belahan di
dagunya. Tampan saja tidak cukup untuk menjabarkan dirinya.
Tapi wajahnya memancarkan ekspresi bermasalah. Dan
rambutnya dihiasi segaris uban"tidak biasa bagi seseorang semuda
dirinya. Kenapa Tanglewood mempengaruhi orang-orang seperti itu"
Maggie penasaran. Kenapa semua orang begitu tidak bahagia di
tempat ini" Ia memaksa diri untuk mengalihkan perhatiannya. "Well,
Andrew, selanjutnya apa?"
Andrew meraih tangannya dan membimbingnya ke ruang biliar.
Lalu keluar ke istal dan melihat kuda-kuda.
Sesudah memberi sebatang wortel untuk setiap kuda, Andrew
melanjutkan perjalanan dengan berkeliling halaman.
"Charcoal!" jeritnya tiba-tiba. Ia berlari menuruni lereng begitu
cepat sehingga hampir jatuh. "Charcoal!"
Sewaktu Maggie tiba di dekatnya, ia mendapati Andrew tengah
berlutut, menepuk-nepuk seekor kucing kelabu besar dengan lembut.
"Ini Charcoal," kata Andrew kepadanya. "Dia senang digaruk di
bawah dagunya. Lihat?"
Maggie berlutut di sampingnya.
"Ya. Dia memang cantik," jawab Maggie.
"Silakan. Kau bisa menepuknya. Dia kucing yang sangat
ramah." Maggie menggaruk bulu kelabu kucing itu dari kepala hingga
ekor. Hewan itu melengkungkan punggungnya dan mendengkur lebih
keras lagi. ebukulawas.blogspot.com
"Koki yang memberinya makan," kata Andrew menjelaskan.
"Dia tinggal di halaman. Dia milik Miss Nealon."
Maggie merasakan dirinya menegang sewaktu mendengar nama
salah satu mantan pengasuh anak itu.
"Dia pasti sangat menyesal meninggalkan kucing sehebat ini,"
kata Maggie. Ia menjaga agar nada suaranya tetap biasa, tapi
mengawasi Andrew dengan hati-hati. "Mungkin dia bisa kembali dan
mengunjungi kita suatu hari nanti. Berani taruhan Charcoal pasti
menyukainya." Andrew menengadah menatap Maggie, mata birunya
memancarkan keseriusan. "Miss Nealon tidak akan pernah bisa
kembali," katanya. "Kenapa tidak?" tanya Maggie.
Andrew meraih Charcoal dan membenamkan wajahnya di bulubulu hewan itu.
"Kenapa tidak, Andrew?" tanya Maggie sekali lagi. Ia
bersidekap, tiba-tiba merasa kedinginan.
"Dia... dia terlalu jauh. Afrika, kalau tidak salah. Ya, dia jadi
misionaris di Afrika sekarang," kata Andrew cepat. Ia meletakkan
Charcoal dan melompat bangkit. Lalu melesat pergi.
"Ayo kutunjukkan tempat yang paling kusukai," serunya kepada
Maggie. Maggie bergegas mengejarnya. Rok panjangnya membuat ia
sulit berlari. Andrew berhenti di depan sederetan sesemakan hijau yang
tinggi. Ada sebuah celah di sesemakan yang tampak bagai sebuah
ambang pintu. "Ayo," katanya. Ia melesat masuk ke celah itu.
Maggie mengikutinya. Sesemakan tumbuh begitu tinggi
sehingga ia tidak bisa melihat ke baliknya. Tempat itu lebih gelap
serta lebih sejuk dibandingkan dengan halaman.
Sesemakan itu berkemerisik"dan Andrew menghilang.
"Andrew! Tunggu!"
Maggie panik. Jangan tinggalkan aku! ia ingin menjerit begitu.
Tapi ia pengasuh anak. Andrew anak asuhannya! "Akan
kutangkap kau!" serunya, berpura-pura bahwa mereka hanya bermainmain. "Akan kutangkap kau!"
Maggie berlari mengejarnya"dan menemukan ambang pintu
yang lain di antara sesemakan. Ia melesat melewatinya"dan tiba-tiba
berhenti. Andrew tidak terlihat di mana pun. Ada dua ambang pintu
yang menantinya. Seekor burung menjerit melengking. Lalu Maggie mendengar
kemerisik pelan di sesemakan. Ia berusaha keras mendengarkan. Dari
mana suara tadi berasal" Ke mana Andrew pergi"
Maggie menghela napas dan memilih pintu di sebelah kiri.
Andrew melompat keluar ke depannya dan tertawa sewaktu Maggie
menjerit. Lalu anak itu melesat pergi. Merunduk ke kiri, lalu ke kanan.
Beberapa kali Maggie mendapati dirinya seorang diri di jalan buntu.
Tapi lalu Andrew akan muncul di belakangnya, tertawa-tawa, dan
memulai pengejarannya lagi. Semakin lama semakin dalam.
Hingga mereka tiba di pusat labirin itu.
Andrew jatuh ke tanah, tertawa-tawa dengan gembira dan
menendang-nendangkan sepatunya ke rumput.
"Andrew! Pakaianmu."
Andrew duduk tegak, terengah-engah dan tersenyum.
"Terkadang kalau Garret sedang meledak, aku kemari dan
bersembunyi di sini," kata anak itu.
"Maksudmu seperti kemarin?" tanya Maggie.
Andrew menengadah menatap langit tanpa menjawab.
Apa mungkin Garret bisa lebih marah daripada kemarin"
Maggie penasaran. Ia menggigil memikirkan hal itu.
"Ini disebut labirin topiary"labirin khusus yang dibuat dengan
seni menggunting dan membentuk tanaman," kata Andrew, mengubah
pokok pembicaraan. "Kakek buyutku yang membangunnya."
Ia bangkit dan mereka berjalan keluar.
Mereka keluar dari labirin itu di sisi lain halaman. Dan sewaktu
mereka berputar kembali ke rumah, Maggie melihat sebuah sumur
batu tua. Begitu menarik sehingga ia melangkah ke sana.
Lalu ia menyadari bahwa Andrew tidak lagi berjalan di
sampingnya. Ia berhenti, dan berbalik.
Andrew menatap sumur itu. Wajahnya pucat.
"Ada apa?" tanya Maggie. "Apa yang tidak beres?"
"Tidak ada," kata Andrew kepadanya. Tapi suaranya gemetar.
"Aku hanya agak kedinginan. Mungkin sebaiknya aku masuk
sekarang?" "Tentu saja." Saat Maggie membawa anak itu masuk ke dalam rumah, ia
melihat gerakan di sebuah jendela di lantai atas.
Garret. Merengut menatap mereka dari jendela kamar tidurnya.
************* Kapan kau kembali" pikir Maggie sambil menatap lukisan
Harrison Malbourne. Kami membutuhkanmu di sini. Aku
memerlukanmu. Aku memerlukan seseorang yang mau menceritakan
kebenaran tentang Tanglewood. Aku memerlukan seseorang untuk
menasihatiku bagaimana cara menangani Garret.
Selama minggu pertamanya di Tanglewood, Maggie seringkali
menyadari bahwa dirinya tengah menatap lukisan itu. Aku harus lebih
mengenalnya, putus Maggie tiba-tiba. Harus.
Suatu pikiran menakutkan melintas dalam benak Maggie. Saat
ini ia sedang libur. Bagaimana kalau ia menyelinap masuk ke kamar
tidur Harrison Malbourne"
Maggie melangkah dengan sikap biasa menyusuri lorong.
Setiap langkahnya terdengar bagai gemuruh guntur di telinganya. Tapi
tampaknya tidak ada yang ingin tahu ke mana tujuannya atau apa yang
dilakukannya. Ia tiba di pintu kamar tidur Mr. Malbourne yang
tertutup. Ia ragu-ragu. Tidak usah merasa mulas pun ia tahu tindakannya
ini salah. Tapi ia sangat tertarik untuk masuk ke dalam.
Kalau ada yang menangkapnya dalam kamar ini, alasan apa
yang bisa ia berikan untuk menjelaskan" Maggie tidak berhenti untuk
mengambil keputusan. Ia memutar kenopnya. Tidak dikunci. Ia
menyelinap masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan pelan.
Rak-rak buku menutupi dua dinding kamar tidur itu. Buku-buku
yang cantik dengan sampul kulit mengisi setiap raknya. Maggie
mengelus sederetan buku. Harrison Malbourne pasti sangat terpelajar
sehingga membaca semua...
Tiba-tiba ia berhenti. Di dinding, di atas ranjang, tergantung sebuah senapan kuno
yang berat. Warisan, pikirnya memutuskan. Tidak mungkin Mr. Malbourne
orang yang menyukai kekerasan. Mr. Malbourne yang ada dalam
lukisan tampak sangat baik.
Maggie mengalihkan perhatiannya ke sebuah meja berlapis
emas, di sana terdapat tumpukan koran New York Herald Tribune.
Maggie membalik-balik beberapa helai koran itu, seketika tertarik
dengan nama-nama yang dikenalinya. Broadway. Fifth Avenue.
Kenangan akan dunia yang telah ditinggalkannya membanjir kembali.
Ia melihat dirinya sendiri menyanyikan "The Children in the
Wood" bersama ayah dan kakaknya di dekat perapian. Menghadiri
kuliah di Lyceum. Melakukan pekerjaan sosial.
Maggie menggeleng. Ia tidak punya waktu untuk membaca
koran"atau bernostalgia"sekarang ini. Ia memandang ke sekeliling
ruangan. Dan melangkah mendekati sebuah lemari berlaci yang tinggi.
Ia membuka-buka beberapa buah lacinya, dengan perasaan sangat
bersalah. Memasuki kamar Harrison Malbourne sudah merupakan
kesalahan besar, membuka-buka lacinya merupakan kesalahan yang
jauh lebih besar. Tapi ia tidak berhenti menjelajah. Ia mengambil sebuah kotak
musik kecil yang ada di atas lemari pendek. Ia mengangkat tutupnya
dan tersenyum saat mendengar lantunan lembut nada-nadanya. Kotak
itu kosong. Maggie menutupnya kembali. Dengan hati-hati ia
mengembalikan kotak musik itu ke tempatnya, mencoba untuk
meletakkannya tepat di tempat semula. Saat ia berbuat begitu, sesuatu
di dalam kotak berbunyi. Aneh! Ia mengira kotak itu kosong...
Ia membalikkan kotak musik itu dan mengelus bagian dasarnya.


Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu ia mendorong sisinya. Panel terakhir yang didorongnya tiba-tiba
bergeser, menampilkan sebuah laci kayu kecil dengan sepotong pita
biru untuk membukanya. Dengan hati-hati ia membuka laci itu menggunakan dua jarinya.
Di dalam laci itu terdapat sebatang kunci perak.
Jelas Mr. Malbourne tidak ingin ada orang yang menggunakan
anak kunci ini, pikir Maggie. Mungkin dia akan murka kalau
mengetahui Maggie telah menemukan tempat persembunyian
rahasianya. "Apa yang kaulakukan dengan itu?"
Maggie berbalik. Garret berdiri di belakangnya dengan sorot
mata membara. "Kataku, apa yang kaulakukan dengan itu?" tanyanya. "Dan apa
yang kaulakukan di kamar tidur ayahku" Kau tidak berhak masuk
kemari. Aku bisa memecatmu, kau dengar?"
Kapan dia masuk" Maggie tidak mendengar suara apa pun.
"A"aku tidak sengaja masuk kemari," kata Maggie, berharap
ia telah menyiapkan alasan yang lebih baik. Ia bergegas menutup laci
rahasia kotak musik itu. Lalu bergegas melewati Garret. "Ayo, kita
keluar dan..." Garret tidak mengikutinya.
Sewaktu Maggie berbalik menghadapinya, Garret telah
bersidekap. "Jangan pernah menyentuh barang-barang ayahku lagi,"
katanya dengan tegas kepada Maggie. "Ibuku akan marah, tahu"
Sangat marah." Maggie merasa wajahnya memucat. Ia pasti salah mendengar
kata-kata anak ini. "Apa katamu?" "Kataku kau akan membuat ibuku sangat marah!" jerit Garret.
"Tapi, Garret," kata Maggie dengan lembut, "ibumu sudah
meninggal." Bab 14 "JANGAN berkata begitu!" jerit Garret. "Jangan pernah berkata
begitu! Ibu bisa mendengarmu! Dia bisa mendengar segalanya!"
Garret bergegas mendekati Maggie dan memukulinya dengan
tinjunya yang kecil. Maggie menangkap lengan Garret, mencoba untuk
memeluknya, untuk menenangkannya. "Garret, please, tenangkan
dirimu..." "Kau harus tahu bahwa dia masih ada di rumah!" jerit Garret.
"Apa kau tidak mendengar suaranya menangis setiap malam?"
Menangis" Maggie merasa seakan-akan ada pedang es yang menusuk
tulang punggungnya. "Kau sudah mendengarnya!" seru Garret dengan nada menuduh.
"Bisa kulihat dari wajahmu. Jadi kau tahu. Dia ingin keluar dari
menara! Sekarang"lepaskan"aku!"
"Tidak, Garret, tunggu! Angin yang menyebabkan suara
melolong di menara." Maggie mencoba untuk menahannya, tapi anak
itu berhasil membebaskan diri dan berlari ke lorong.
************** Malam harinya, Maggie kembali mendengar lolongan pelan itu.
Sama seperti yang selalu didengarnya setiap malam sejak ia tiba
di Tanglewood. Kata-kata Garret terngiang dalam benaknya berulang-ulang.
Maggie berbaring gemetar di ranjang. Apa mungkin benar"
Mungkinkah suara tangisan itu berasal dari almarhumah ibu Garret
dan Andrew" Tidak. Aku tidak percaya hantu, kata Maggie sendiri.
Memang benar. Di siang hari. Di dekat Koki atau Andrew. Tapi
seorang diri di dalam kamarnya, suara itu membuatnya takut.
Terkadang suara itu terdengar begitu tajam sehingga ia merasa
seakan-akan tangisan itu berasal dari dalam otaknya sendiri.
Maggie menyingkap selimut dan mondar-mandir di kamarnya
yang kecil. Tentu saja bukan suara Mrs. Malbourne yang kudengar, katanya
sendiri, sambil memukul pahanya. Garret anak bermasalah yang
mengarang cerita. Kau tahu dia ingin menakut-nakutimu. Ini usahanya yang
terbaru. Tapi suara tangisan itu terus terdengar.
Dan kedengarannya tidak mirip suara angin.
Tidak pernah mirip suara angin... sekalipun Maggie sengaja
membiarkan dirinya percaya bahwa itu suara angin.
Maggie berhenti mondar-mandir. "Kalau bukan angin, ada
penjelasan lain. Penjelasan yang alami," bisiknya.
Ia akan terus mencari sampai menemukan apa yang telah
menimbulkan suara yang menakutkan itu. Ia akan menemukannya.
Ia mengenakan mantelnya dan menaiki tangga putar.
Sekali lagi, tangisan itu terasa semakin keras saat ia tiba di
puncak tangga. "Siapa di sana?" tanya Maggie. "Jawab!"
Segumpal awan putih menjulang dari depan pintu kamar
menara. Bab 15 MAGGIE terhuyung-huyung mundur. Sesaat jantungnya seolah
berhenti berdetak, lalu mulai berdebar lagi dengan keras dan cepat.
"Andrew!" Andrew berdiri di sana dengan bertelanjang kaki dan
mengenakan pakaian tidurnya yang berwarna putih. Air mata
membasahi wajahnya. "Apa yang kaulakukan di sini" Kenapa kau tidak tidur?"
Andrew mengangguk ke arah pintu yang tertutup. "Ini kamar
perawatan ibuku," katanya sambil menangis. Lalu ia mendengus
keras. "Aku kadang-kadang datang kemari, dan duduk di dekat pintu.
Ayahku melarangnya. Tolong jangan beritahukan padanya, Miss
Thomas. Please. Ku"mohon."
Maggie ingin berteriak karena lega atas kebodohannya sendiri.
Jadi Andrew yang didengarnya menangis setiap malam! Andrew yang
malang. Menangisi ibunya yang hilang.
"Tentu saja aku tidak akan memberitahunya," bisik Maggie,
dengan lembut mengelus rambut keriting Andrew. "Ayo, Andrew.
Sekarang sudah lewat waktu tidurmu."
Ia meraih Andrew. Andrew menyandarkan kepalanya di
bahunya. "Terkadang aku mengobrol dengan ibu," kata Andrew. "Dia
ingin mengetahui apa yang terjadi di rumah. Kuceritakan semua
tentang dirimu, Miss Thomas."
Jantung Maggie berdetak sangat keras. Apa Andrew percaya
bahwa roh ibunya masih ada di kamar menara" Apa dia percaya
bahwa ibunya mengetahui segala sesuatu yang terjadi di Tanglewood
seperti yang dipercayai Garret"
Ia harus membicarakan hal ini dengan Andrew. Kepercayaan
seperti itu tidak baik untuk anak-anak ini.
Saat mereka tiba di lantai bawah, Andrew telah tertidur
nyenyak. Maggie membaringkan Andrew di ranjangnya dan
mengecup keningnya. Saat ia melakukannya, Andrew bergerak dan
membuka matanya. "Kau berjanji tidak akan memberitahu?" tanyanya
dengan mengantuk. "Aku berjanji. Aku tidak akan memberitahu. Tapi lain kali
kalau kau merasa sedih seperti ini, kau harus menemuiku. Aku
berjanji akan membuatmu gembira."
Setelah memejamkan matanya kembali, anak itu tersenyum dan
meremas tangan Maggie. Maggie mencium keningnya satu kali lagi, lalu kembali ke
kamarnya. Andrew yang malang, pikir Maggie saat mengembalikan
mantelnya ke lemari. Dan Garret yang malang. Mereka membutuhkan
banyak kasih sayang. Lebih dari yang bisa kuberikan, sayangnya.
Kuharap ayah mereka segera pulang.
Maggie menyelinap naik ke ranjang. Ia akan tidur lebih
nyenyak malam ini daripada...
Kakinya yang telanjang menyentuh sesuatu yang basah... dan
hangat. Ia melompat bangkit dan menyingkap selimutnya.
"Tidak! Oh, tidak!" jeritnya.
Darah segar yang berwarna gelap membasahi seprai.
Darah Charcoal. Kucing kelabu besar itu telah digorok. Maggie
bisa melihat ujung-ujung mungil otot dan sepotong tulang putih. Mata
kuning kucing itu tidak berkedip, menatapnya. Mata yang datar dan
mati. Bau tembaga yang tajam menyerbu hidung Maggie. Ia bisa
merasakannya di lidahnya. Darah. Bau dan rasa darah.
Maggie memejamkan mata dan menutup mulutnya. Beberapa
saat kemudian baru ia mampu memaksa diri untuk menatap hewan
malang yang telah terjagal itu. Saat itu, ia melihat sepotong kertas
yang diikatkan di sekeliling leher kucing itu dengan seutas tali besar.
Maggie dengan hati-hati mengambil kertas yang ternoda darah
itu dan membukanya. "Kucing mati karena penasaran, Miss Thomas," pesan itu
tertulis di kertas dalam tulisan tangan seorang anak.
Bab 16 DENGAN hati-hati Maggie membungkus bangkai Charcoal
dengan seprai. Oh, Garret, pikirnya. Aku tahu kau ingin aku pergi. Tapi aku
tidak percaya kau mampu berbuat begini.
Maggie tidak tahu harus berbuat apa. Menurutnya tidak aman
membiarkan Garret tetap tinggal di Tanglewood. Apalagi dalam
rumah yang sama dengan adiknya. Tapi ia tak bisa mengambil
keputusan untuk memindahkan anak itu ke sebuah institusi.
Oh, Maggie merasa sangat sendirian di sini. Koki takkan pernah
membantunya mengambil keputusan. George Squires boleh dikatakan
tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun kepada yang lainnya.
Dengan begitu kau terpaksa mengambil alih tanggung jawab,
bukan" tanya Maggie pada dirinya sendiri. Ia bergegas mengganti
pakaiannya dan membawa bangkai Charcoal ke kebun di luar.
Ia ingin segera mengubur Charcoal. Maggie tak ingin Andrew
melihatnya. Anak itu sangat menyayangi kucing ini. Sesudah
menguburkannya, ia akan memutuskan tindakan yang selanjutnya.
Maggie menemukan sekop di gubuk peralatan berkebun. Ia
membawanya ke kebun bunga dekat rumah. Sambil berlutut di tanah
yang dingin, ia mulai menggali kubur untuk Charcoal.
''Maggie,'' panggil seorang wanita dengan pelan.
Siapa itu" Koki" Pelayan"
Maggie memandang sekitarnya di halaman rumput yang gelap.
Ia tak melihat seorang pun.
Kejadian malam ini sudah cukup untuk memicu imajinasimu
hingga berkembang liar, pikir Maggie. Ia kembali memandang tanah.
Lalu melanjutkan penggalian.
Akhirnya, ia merasa lubangnya sudah cukup besar. Dengan
hati-hati ia meletakkan buntalan berlumuran darah itu ke dalam. Lalu
ia mulai memasukkan tanahnya kembali.
"Maggie..." Kepala Maggie tersentak. Ia yakin sekarang. Ada yang memanggilnya.
Ia bergegas bangkit berdiri dan berbalik perlahan-lahan.
Mencari. Mencari. Mencari.
"Siapa di sana?" tanya Maggie. Tenggorokannya yang kering
membuat suaranya terdengar pelan dan lemah.
"Tunjukkan dirimu!" jerit Maggie.
Lalu ia menengadah"memandang salah satu kamar menara.
Detak jantung Maggie bagai berpindah ke keningnya. Ia
bergoyang-goyang. "Please, tidak," bisiknya.
Seorang wanita berdiri di jendela, menunduk menatapnya.
Wanita yang seketika dikenali Maggie.
Rambut panjang yang pirang pucat. Wajah kurus yang cantik.
Tidak mungkin, pikir Maggie.
Tapi begitulah. Wanita itu Mrs. Malbourne.
Bab 17 MRS. MALBOURNE membuka jendelanya. Ia menunduk
memandang ke bawah dari menara" menatap lurus kepada Maggie.
Rambut pirang pucatnya yang panjang berkibar-kibar di sekitar
wajahnya yang kurus. Matanya berkilau-kilau kehijauan.
"Bahaya... " kata Mrs. Malbourne.
Maggie merasa gelombang hawa dingin merayap dari kakinya.
Membuatnya membeku, tidak mampu bergerak. Kalau hawa dingin ini
mencapai jantungku, aku akan mati, pikir Maggie. Jantungku akan
membeku, dan aku akan mati.
Cahaya kehijauan di mata Mrs. Malbourne memesona Maggie.
Jangan lihat! perintahnya sendiri. Jangan lihat matanya!
Rasa dingin dalam tubuhnya bergerak semakin tinggi. Melewati
lututnya, melewati pahanya. Perutnya terasa kram saat gelombang
dingin menghantamnya. Meskipun begitu Maggie masih tak mampu mengalihkan
pandangannya dari Mrs. Mal-bourne.
"Bahaya...," kata Mrs. Malbourne, wajahnya memancarkan
kejengkelan. "Pergi...."
Maggie mengalihkan pandangannya dari tatapan Mrs.
Malbourne. Ia berlari, kakinya terasa tersengat dan terbakar.
Tungkainya terkait sewaktu melewati sesemakan tinggi labirin, tapi ia
memaksa diri bangkit dan terus berlari.
Ia harus pergi ke mana" Tidak ada tempat di Tanglewood yang
aman. Tapi tidak mungkin meninggalkan rumah megah ini. Tidak
malam ini. Aku akan lebih aman di dalam, pikir Maggie mengambil
keputusan. Paling tidak aku bisa mengunci diri di kamarku!
Cepat! jeritnya pada diri sendiri. Cepat!
Ia melesat masuk dan membanting pintu. Ia melesat menyusuri
lorong yang gelap"dan dua buah tangan yang kuat
mencengkeramnya dari belakang.
"Tidak! Tolong!" jeritnya. "Lepaskan aku!"
Maggie menggeliat-geliat dan menendang-nendang, tapi
tangan-tangan yang besar itu tidak bersedia melepaskannya.
"Siapa kau?" tanya seorang pria marah. "Apa yang kaulakukan
di sini?" Pria itu memutar Maggie sehingga berhadapan dengannya.
Dengan tubuh gemetar, Maggie menengadah menatap
penangkapnya. Pria itu menjulang di atas dirinya, wajahnya merengut. Segaris
warna putih menghiasi rambut hitamnya.
Maggie seketika mengenali pria jangkung ini. Mr. Malbourne.
"Siapa kau?" ulang Mr. Malbourne.
"A-a-aku pengasuh anak Anda yang baru, Sir."
"Pengasuh anakku?" Mr. Malbourne menatapnya seakan-akan
Maggie sinting. Lalu ia berkata, "Ikuti aku."
Ia mengajak Maggie menyusuri lorong, membuka pintu ke
perpustakaan, dan berjalan masuk.


Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau menggigil," katanya. "Akan kunyalakan api."
Maggie meringkuk di dekat pintu sementara Mr. Malbourne
mengambil sebuah pemantik perak. Sementara Mr. Malbourne
berusaha menyalakan perapian, Maggie menatap tangannya. Dan
lengannya. Seluruhnya tertutup tanah. Dia pasti mengira dia sudah
mempekerjakan seorang wanita sinting, pikir Maggie. Aku akan
dipecat sekarang juga. "Kemarilah," kata Mr. Malbourne kepadanya. "Tubuhmu tidak
akan hangat kalau kau terus berdiri di sana."
Maggie memaksa diri menyeberangi ruangan. Kakinya gemetar,
dan ia merasa tidak yakin akan penyebabnya. Pengalamannya di
kebun" Atau cara Mr. Malbourne mengamatinya sekarang" Ia merasa
wajahnya merah padam. Tenangkan dirimu, Maggie, pikirnya.
"Kurasa kau yang bernama Miss Thomas," kata Mr. Malbourne,
sambil kembali memandang api.
"Memang benar."
Mr. Malbourne berpaling secepat kilat, melontarkan senyuman
yang sangat tipis. Sekalipun begitu, senyuman tipis itu lebih menghangatkan
Maggie daripada desisan api di perapian.
"Miss Thomas, aku harus minta maaf karena sudah
mengejutkanmu dengan cara kasar."
Maggie berdiri hanya beberapa meter jauhnya dari Mr.
Malbourne sekarang. Ia sadar ia menatap lekuk di dagu pria itu. Ia
harus memaksa diri mengalihkan pandangannya ke mata Mr.
Malbourne. "Oh, sama sekali tidak," katanya. "Salahku hingga..."
"Tapi apa yang kaulakukan di luar di tengah malam begini?"
sela Mr. Malbourne. Maggie membuka mulut hendak menjawab, tapi tidak ada kata
yang terlontar. Ia tidak bisa memberitahu Mr. Malbourne bahwa
karyawan barunya telah membiarkan putra-putranya yakin bahwa
almarhumah ibu mereka masih hidup di menara.
Imajinasiku sudah berkeliaran sembarangan bersamaku dalam
kegelapan di luar, pikir Maggie. Tentu saja aku tidak melihat hantu Mrs. Malbourne.
"Aku sedang mengubur kucing, Sir," kata. Maggie akhirnya.
Mr. Malbourne mengerutkan kening. "Mengubur kucing"
Kucing apa?" "Charcoal, kalau tidak salah itu nama yang diberikan anakanak." Aku bicara terlalu cepat, pikir Maggie.
"Oh, ya, ya. Charcoal. Dia mati" Oh, kasihan. Tapi sekarang
bukan waktu yang tepat untuk menguburkan kucing, bukan?"
Maggie memutuskan bahwa saat itu bukan waktunya untuk
menceritakan situasi kematian kucing itu. Ia perlu berbicara panjanglebar dengan pria ini mengenai kedua putranya. Tapi tidak di sini.
Tidak tengah malam begini.
"Memang benar, Sir," kata Maggie. "Tapi aku tidak ingin anakanak melihat bangkainya dan merasa tidak enak. Sesudah apa yang
mereka alami..." Mr. Malbourne mengernyit. "Benar juga."
Oh, kenapa aku berkata begitu" Maggie penasaran. Kenapa
mengingatkan pria ini akan kematian istrinya, akan kehilangannya"
Iblis Sungai Telaga 9 Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Hati Budha Tangan Berbisa 9

Cari Blog Ini