Kampung Halaman Karya Unknown Bagian 1
Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Tembang Kampung Halaman Gola Gong - Gola Gong Di Stasiun Kereta Api Matahari merangkak ke sore hari di kota kecil itu. Sinarnya terang-benderang menyelimuti
permukaan kota. Mulut langit mengembuskan angin dari sebuah kereta ekonomi yang memasuki
stasiun. Dari roda-roda lokomotif tampak asap bergulung-gulung dan bunyi rem berderit,
menandakan betapa tuanya umur lokomotif ini. Debu pun beterbangan ke seluruh penjuru, tapi itu
tidak mengganggu orang-orang yang berkumpul di stasiun. Buat mereka, kedatangan kereta adalah
rezeki; sesuatu yang harus disambut dengan penuh sukacita.
Pedagang asongan yang mengais rezeki dari setiap gerbong dan harus turun-naik di stasiun, yang
sudah berjaga-jaga sejak peluit kereta dibunyikan, mulai menggeliat-geliat bagai ular terjaga dari
tidurnya. Ada gula ada semut. Sebagian pedagang asongan yang datang dari stasiun sebelumnya
dengan tubuh berkeringat turun dari gerbong dan diganti dengan yang baru. Orang-orang kecil itu
tak pernah rakus dalam memburu rezeki. Mereka saling berbagi; memberi kesempatan yang sama
untuk sesuap nasi. Begitu terus silih berganti di setiap stasiun. Mereka meneriakkan jenis dagangan
dan mimpi serta harapan-harapan yang sama. Hidup bagi mereka memang nyata. Apa yang
mereka dapatkan hari ini, keuntungan dari dagangannya, itulah hidup.
Beberapa penumpang berlompatan turun. Walaupun tubuh kotor dan bau segala rupa, tapi mereka
tampak gembira karena sudah sampai di tempat tujuan, kampung halaman tercinta. Tempat mereka
lahir, menangis, besar, gembira, dan bermimpi. Mereka saling melemparkan tawa dan senyum. Lalu
beberapa penumpang baru naik, tapi tidak untuk pergi ke kota yang jauh. Mereka cuma
menumpang ke beberapa stasiun kecil saja sambil bersahabat dengan kondektur kereta plus salam
tempel ala kadarnya. Seorang pemuda memisahkan diri. Dia berusaha untuk tidak menarik perhatian atau
beramah-tamah dengan orang-orang. Paling-paling dia tersenyum, atau hanya mengangguk pada
yang menyapanya. Itu sekadar tradisi penduduk pada kaum pendatang yang dianggap sebagai
tamu. 1 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dia menyeret ransel hijaunya seperti sedang berusaha menyeret kembali sepenggal hidupnya yang
tertinggal di sini. Dia melihat ke sekeliling stasiun seperti melihat sesuatu yang sudah teramat lama
diidam-idamkan. Tak ada yang berubah dengan tempat ini, bisiknya gembira. Bangku-bangku dari
kayu jati, yang kini sudah kehitam-hitaman, masih tetap jadi bagian stasiun. Aku sering tidur di
bangku itu jika hari sedang panas, dia tertawa mengingatnya. Tiang-tiang penyangganya masih
kokoh. Tapi kios kecil di ujung barat stasiun itu kini jadi sebuah toko kecil. Dagangannya bertambah
banyak. Koran dan majalahnya pun berjejer dan bergantungan.
Dia berjalan ke toko kecil itu. Berusaha melihat penjaganya dengan hati-hati. Tampaknya, dia tidak
ingin kehadirannya diketahui. Seorang lelaki bertopi sedang melayani pembeli. Dia tidak
mengenalnya. Dia membeli tisu penyegar badan.
"Ke mana Pak Kumis, Mas?" tanyanya, merasa harus tahu nasib orang tua pemilik kios kecil ini
dulu, yang tidak pernah berhasil memergokinya jika mencuri roti. Pak Kumis yang selalu
mengusirnya tiap kali ia mondar-mandir di depan kiosnya, daripada nanti ada roti atau kuenya yang
hilang. Pak Kumis sudah mati," si penjual enteng saja bicara.
"Kapan, Mas?" Pemuda ini tersentak.
Sambil membereskan tumpukan rokok, si penjual meneliti pemuda di depannya. "Lima tahun yang
lalu, " .katanya. Tadinya dia berharap bisa bernostalgia dengan Pak Kumis, sambil meminta maaf atas kelakuannya
sepuluh tahun yang lewat. Beliau pasti akan pangling melihatku, pikirnya. Tapi keinginannya cuma
tertinggal di hatinya. Selamat jalan, Pak Kumis, batinnya penuh sesal.
"Meninggal karena apa Pak Kurnis, Mas" Sakit tua?"
"Mati karena duit!" Pemilik baru kios itu tertawa.
2 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pemuda ini mengerutkan keningnya. "Jangan main-main dengan orang yang sudah meninggal,
Mas," katanya mengingatkan.
Tawa si pemilik baru terhenti. "Dia memang mati karena duit. Kiosnya ludes buat main judi."
Mimiknya berubah serius. "Kenapa kamu tanyakan itu" Kamu siapa?" pengganti Pak Kumis ini
menyelidik. "Oh, nggak apa-apa," jawab pemuda ini agak gugup. "Saya cuma pembeli setianya." Dia tersenyum
kikuk dan balik meninggalkan toko kecil itu.
Dia membawa kenangannya tentang Pak Kumis, yang kue-kue dagangannya sering dicurinya untuk
mengganjal lapar dengan perasaan berduka. Pak Kumis mati karena duit. Karena judi. Kalimat itu
membekas di pikirannya. Sepengetahuannya, Pak Kumis tidak pernah berjudi.
Dia mengitari stasiun lagi. Pengemis buta itu masih menadahkan tangannya ke setiap gerbong
dengan doa-doa. Wajahnya semakin berkeriput dan jalannya mulai tertatih-tatih dimakan waktu.
Malah ada dua pengemis baru, dengan kondisi tubuh yang sebetulnya masih sehat. Mungkin cuma
manusia pemalas. Juga anak kecil tanpa pendidikan, yang semakin banyak berkeliaran tanpa arah
hidup yang jelas, membawa kotak semir yang cuma jadi hiasan kalung raksasa saja daripada
berfungsi sebagai penjaring rezeki. Tak berbeda dengan aku dulu, hatinya mengenang.
Menurut penilaiannya, stasiun ini tidak berubah. Kehidupan yang sederhana sejak dulu tidak
tampak lebih maju, walaupun roda ekonomi menggelinding cepat dengan pabrik-pabrik yang
melahap tanah produktif di timur-barat kota dan menyerap banyak tenaga kerja. Kota kecil yang
cuma disinggahi kereta ekonomi. Kota yang berpanorama indah dan pernah jaya dengan pabrik
gulanya dalam buku sejarah. Kota yang lebih banyak ditinggalkan pemudanya ke kota lain untuk
mencari penghidupan yang lebih layak.
Artikel Lain Jumat, 15/04/2005 16:48 Si Pemaki Tuhan Saya dan Winnetou sedang berada di lingkungan suku Navajo, yang juga mengakuinya sebagai
pemimpin mereka, karena suku Navajo sebetulnya termasuk dalam suku Apache.
Selasa, 05/04/2005 13:01 Epilogi 3 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Selasa, 05/04/2005 12:18 Epilogi Minggu, 03/04/2005 17:59 Kupu - Kupu Pelangi Minggu, 03/04/2005 17:11 Tembang Kampung Halaman Cuma wama tembok stasiun ini saja yang agak bersinar menyegarkan sepasang matanya yang
cerdik. Mungkin baru dicat. Dia ingat, setiap peringatan Hari Kemerdekaan, tembok dan pagar
stasiun ini dipercantik lagi dengan warna cat baru. Bahkan dihiasi dengan umbul-umbul dan hiasan
kertas warna merah dan putih, lambang kebanggaan tanah air bumi kita.
Padahal keadaan kota kecil ini dua tahun terakhir berubah drastis, begitu yang sering dibacanya di
koran-koran. Tadi saja di gerbong kereta api, sebelum memasuki kota, dia bisa melihat di
tanah-tanah subur di luar kota, pabrik-pabrik yang menggantikan batang-batang padi dan tebu yang
dulu pada musim panen seperti sebuah lukisan surgawi dan menyebarkan aroma wewangian. Juga
nasib generasi mudanya, yang praktis saja memilih jadi buruh di pabrik selepas sekolah rendah dan
lanjutan, karena sebagian orangtua mereka pun berpikiran sama, lebih enak menjual tanah
garapannya daripada berkubang lumpur, berpeluh keringat menanaminya dengan padi atau tebu!
Yang lebih tragis lagi dia baca tentang kota ini, adalah munculnya orang kaya baru. Pergeseran nilai
dari pola pikir agraris ke industri. Pola pikir tradisional kaum mudanya ke kejutan budaya baru. Kini
gaya bidup kota-kota besar, yang notabene diimpor dari Barat, dilahap habis oleb mereka. 3F
Revolutions-film, food, dan fashion bagai musim penghujan terjadi di sini.
Mereka merengek-rengek minta dibelikan ini-itu pada orangtuanya, selama persediaan uang dari
hasil penjualan tanah itu masih ada. Dan mereka tidak segan-segan melancong ke kota-kota besar
cuma untuk terperangkap kenikmatan sesaat. Dan para orangtuanya itu pun tak jauh berbeda.
Mereka berpiknik ke kota-kota atau pulau wisata. Bahkan ada bapak-bapak yang kawin lagi dengan
gadis muda belia, yang dicomot dari kampung-kampung, sehingga banyak keluarga yang tadinya
bagai permukaan kolam perawan, kini penuh riak gelombang. Lantas warung-warung pojok pun
menjamur di kiri-kanan jalan di luar kota, di sepanjang jalan ke arah pabrik, menawarkan alkohol
4 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan wanita bergincu tebal.
Kemudian ketika bencana itu datang, saat persediaan uang menyusut dan habis, mulailah mereka
kebingungan dan panik. Untuk kembali menggarap tanah, jelas tidak mungkin. Untuk membuka
usaha, sejak mereka dilahirkan, bahkan sejak zaman nenek moyang, mereka tak pernah diajarkan
bagaimana caranya berdagang. Sehingga jalan pintas yang terbaik adalah menjual apa saja yang
tersisa untuk menyuap yang punya kuasa agar anak-anak mereka bisa bekerja di pabrik-pabrik,
walaupun dengan gaji di bawah kebutuhan fisik minimum.
Itulah yang dibacanya tentang kota ini di koran-koran, dua tahun terakhir.
Dia duduk di bangku panjang kayu jati itu. Berusaha merasakan getaran-getarannya yang telah lalu.
Ada keinginan untuk menyusuri jejak-jejak masa kecilnya di sini. Dia yakin dengan penampilannya
kali ini, sebagai anak muda produk kota besar, tidak akan ada yang mengenalinya. Siapa akan
menyangka kalau sebenamya dia adalah bocah hitam nakal yang pernah malang melintang di kota
ini" Sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu dia berumur sepuluh tahun. Dia adalah anak rembulan dan
matahari, yang lahir ke dunia tanpa dikehendaki. Kabur dari sebuah panti asuhan dan cuma
berkeliaran tanpa arah yang jelas. Tanpa memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Dia tidak pernah tahu
sejak kapan hidupnya mulai di kota ini. Yang bisa diingatnya, pada mulanya dengan isak tangis
kesedihan dan rasa lapar, dia cuma terbawa dari satu kereta ke kereta lainnya. Dari satu kota ke
kota lainnya. Lalu terdampar dan memilih tinggal lebih lama di kota ini, karena merasa sudah aman
bisa mendapatkan apa-apa untuk sekadar hidup.
Kota kecil ini, yang kemudian disebutkannya pada orang-orang sebagai kampung halaman,
tempatnya berasal dan datang, sangat berarti bagi kelangsungan hidupnya. Tempat tinggalnya
sering berpindah-pindah. Kala malam menurunkan jubahnya, dia bisa berada di lorong-lorong pasar
Inpres, terminal bis, di stasiun kereta api, atau di perkampungan kumuh di seberang sungai
bersama Mbok Kasiyem-janda tua tak beranak.
Dia menyambung hidup dari apa yang diperolehnya hari itu. Kalau tidak mencuri roti dan kue di
warung-warung, dia mendapat sekadar uang lelah setelah mencuci mobil, atau uang semir sepatu
yang tidak seberapa. Tapi dia lebih banyak bertahan hidup dari mencuri ketimbang dua rezeki yang
terakhir, karena penduduk kota ini tidak banyak yang menggunakan sepatu bagus, dan mobil-mobil
jarang berhenti untuk istirahat di sini. Tapi baginya, itu lebih bagus ketimbang jadi pengemis,
manusia yang malas. 5 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Semuanya berujung ketika anak Pak Haji dari daerah perumahan, yang berseberangan dengan
perkampungan kumuh di seberang sungai, Agus, mengajaknya bersahabat. Tiba-tiba dia merasa
sebuah tangan membalikkan seluruh hidupnya ke sisi yang lain, sisi yang lebih terang.
Siang itu hari sedang panas. Dia baru saja mandi di sungai, ketika dua kawan kecilnya
tergopoh-gopoh mendatanginya.
"Anak -anak pada ribut, Pul!" Ramli gusar sekali.
"Sama anak perumahan lagi?" Ipul kontan bangkit.
"Ya!" timpat Sunar.
"Masalahnya apa?" Ipul minta penjelasan dengan kesal.
Ramli dan Sunar saling berebut menceritakan, bahwa perkelahian berawal dari anak-anak
perumahan yang menggodai Maisaroh, anak terminal yang cantik. Jangankan anak perumahan, di
antara mereka sendiri, anak sungai, Maisaroh sering jadi biang perkelahian. Sebabnya, semua
orang ingin menjadi kawan dekat atau membantu apa saja, demi Maisaroh.
Ipul langsung lari dengan perasaan kacau. Walaupun kali ini berawal dari Maisaroh, gadis terminal
yang selalu jadi pusat perhatiannya, sebetulnya dia sudah merasa muak dengan perkelahian ini.
Kapan perselisihan yang cuma berpangkal pada kecemburuan sosial, masalah klasik tentang si
kaya dan si miskin, ini akan selesai"
Konon menurut cerita dari mulut ke mulut, perumahan di pinggir kota itu, beberapa belas tahun
yang lalu adalah perkampungan kumuh. Setelah ada penggusuran tanah, berubah bentuklah
kawasan kumuh itu jadi perumahan. Lantas penduduk liar yang mendiami kawasan itu mengungsi
ke seberang sungai dan membuat pemukiman kumuh lagi. Sebuah pemukiman dari kardus, papan,
seng atau apa saja, yang diperuntukkan buat orang yang tak punya apa-apa dan siapa-siapa.
6 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jika sudah bosan berkeliaran di stasiun, pasar Inpres, dan terminal, biasanya Ipul tinggal di
perkampungan kumuh di seberang sungai ini. Mandi di sungai yang airnya masih jernih atau
membantu menjualkan kaleng-kaleng bekas yang dikumpulkan Mbok Kasiyem yang sudah tua.
Mbok Kasiyem yang jadi "nenek"nya. Yang selalu merawatnya jika sedang rindu pada orangtuanya
yang entah ada di mana. Anak perumahan dan anak sungai, tumbuh beriringan. Dari tahun ke tahun selalu timbul
perselisihan, sebagaimana layaknya anak-anak yang nakal dan lucu. Tapi semakin dewasa malah
semakin berkembang luas. Anak sungai teryata selalu lebih berkuasa ketimbang anak perumahan.
Mereka merajai sektor informal. Daerah sibuk dan produktif adalah wilayah mereka. Stasiun,
terminal, pertokoan, bioskop, atau tempat keramaian lainnya. Mereka jadi tukang parkir, calo bis
dan bioskop, tukang catut, atau preman.
Ipul melihat di jembatan kecil, yang menghubungkan dua dunia berbeda di antara mereka, anak
pernmahan dan anak sungai yang terlibat baku hantam. Tapi dengan perasaan heran campur
girang, dia melihat di ujung sana ada yang berteriak-teriak, sedang berusaha menghentikan
kekacauan. Lalu tanpa pikir panjang lagi dia pun tergerak untuk melakukan hal yang sama. Dan dia
tidak menduga kalau perkelahian memalukan itu berhenti.
Ipul mendekati anak perumahan itu. Mereka berhadap-hadapan. Orang-orang di kedua belah pihak
berjaga-jaga, menunggu aba-aba selanjutnya dari pemimpin mereka. Pemimpin anak perumahan
tersenyum kikuk dan Ipul tergetar dibuatnya.
"Kenapa berkelahi terus, sih?" kata Agus, pimpinan anak perumahan memulai.
"Saya nggak tahu!" Ipul menyambutnya.
"Saya bosan melihatnya. Kamu, apa nggak bosan?"
"Saya juga bosan."
"Bagaimana kalau kita damai?"
7 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul mengiyakan dengan gembira, walaupun beberapa kawannya tidak setuju. Tapi setelah
gencatan senjata hari itu, Agus datang kepadanya. Dia bilang, bapaknya membutuhkan beberapa
tenaga untuk jadi loper koran. Setelah didorong-dorong oleh Mbok Kasiyem, Ipul tidak
menyia-nyiakan tawaran bagus itu.
"Saya ingin kita ini hidup berdampingan," kata Agus berharap. "Kata bapak saya, kita harus
menghapus sebutan 'anak perumahan' dan 'anak sungai'. Saya suka sedih mendengar sebutan itu.
"Bapak bilang, di hadapan Tuhan kita ini sama. Tak ada anak-anak dengan sebutan itu," kata Agus
lagi, yang ayahnya memang seorang haji budiman, pemilik sebuah toko jamu dan agen koran.
Ipul jadi ingat orang tua bijaksana yang menawarinya untuk jadi loper koran itu. Lalu kedua
anaknya, Agus dan Imas, yang selalu mengajarinya membaca sehingga dia jadi keranjingan
membaca koran. Dan sesudah mengenal Pak Haji budiman itu, dia merasa dunia ini sangat luas.
Sangat indah untuk diarungi. Betapa menantang untuk digali sisi-sisi kehidupannya.
"Saya ingin sekolah, Pak Haji," kata Ipul menggebu-gebu wakti itu. "Di kota besar."
"Betul itu, Ipul?"
"Tapi, kenapa tidak di sini saja?" tanya Agus dan Imas. Pertanyaan ini pun terlontar dari semua
kawannya. Kepada mereka, Ipul mengatakan ingin merantau. Ingin menikmati petualangan yang
lebih seru lagi. Tapi yang membuatnya sedih, Mbok Kasiyem memeluknya erat sekali.
"Pergilah, Ipul. Nasibmu ada di sana, Nak." Inilah kalimat terakhir dari Mbok Kasiyem. Dua tahun
setelah itu, Agus mengabarkan tentang kematiannya.
Tapi alasan yang dikemukakan pada Pak Haji lain lahi. "Saya ingin jadi wartawan, Pak Haji," Ipul
melontarkan mimpinya. "Kayaknya enak ya jadi wartawan itu, Pak Haji. Bisa bepergian ke
mana-mana," tambahnya sambil menatap koran-koran yang dipeluk.
Lalu Pak Haji pun memberikan alamat seseorang di kota besar, yang nanti bisa di mintai
8 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pertolongannya. Dan dalam umur sepuluh tahun hampir sebelas, Ipul meninggalkan Maisaroh,
kawan-kawannya dari perkampungan di seberang sungai, dan kedua kerabat barunya-Agus dan
Imas-untuk melakukan petualangan hebat. Pergi sendirian dengan kereta api ke kota besar untuk
mengubah nasib dan perjalanan hidupnya; mewujudkan mimpi kanak-kanaknya untuk menjadi
seorang wartawan. Dalam beberapa hari dia menggelandang dulu di kota besar sebelum menemukan alamat yang
dicari. Tidur di mana saja, bersahabat dengan siapa saja, dan bertanya pada siapa saja tentang
alamat yang diberikan Pak Haji Arsyad. Dan pada hari ke tujuh, dia sampai di tujuan, yang ternyata
juga seorang pak haji dan agen koran!
Dengan secarik surat dan Pak Haji Arsyad, Ipul pun diterima sebagai bagian dari keluarga Pak Haji
Burhan. Menggelindinglah dia bersama hari-hari yang keras dan penuh disiplin di kota besar. Sejak
selepas salat subuh, dia terlibat bersama loper koran lainnya, mengantar koran-koran ke para
langganan dengan sepeda, lalu ke sekolah, terus mengantarkan koran sore, dan sisa malamnya
diisi dengan mempelajari agama. Begitu dia menghabiskan hari. Bangku SD, SMP, dan SMA
dilaluinya dengan mulus. Ternyata mimpi masa kanak-kanaknya bukan sekedar mimpi di siang bolong. Menjadi loper kroan
itu lambat laun membuat dirinya cerdik dan pandai. Wawasannya bertambah luas. Dia jadi lebih
berani dalam bertindak. Nasib majalah dinding disekolahnya selalu berkibar ditangannya. Bahkan
tak kapok-kapoknya dia mengirimkan tulisannya ke media cetak, sampai tulisannya berhasil di
muat. Begitulah dia menjalani hidupnya sebagai pelajar, diselingi dengan menjadi loper koran, dan penulis
lepas di beberapa najalah remaja. Dan dia jadi kebanggan induk semangnya, Pak Haji Burhan,
serta kawan-kawannya sesama loper koran.
Setelah Ipul lulus SMA, jerih payahnya membuahkan hasil lain. Dia diterima di jurusan jurnalistik
Kampung Halaman Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah perguruan tinggi negeri di kota besar yang lain.
Mengembaralah lagi dia ke sana; mengarungi lautan yang baru. Untuk pengembaraannya kali itu,
dia tidak begitu kuatir karena sudah bisa menyiasati bagaimana cara termudah untuk mendapatkan
uang. Jurnalistik adalah sebuah jawaban yang cemerlang. Ya, dengan menulislah dia bisa
membiayai hidupnya; membayar kamar kos sederhana, biaya kuliah, dan keperluan sehari-hari. Kini
dia di tahun kedua jurnalistik di sebuah perguruan tinggi negeri! Impian kanak-kanaknya hampir
sepenuhnya berada dalam genggaman tangannya! Sebentar lagi dia yakin akan menggenggamnya.
9 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Selama Ipul menjalani pengembaraan di samudera hidup yang penuh gelombang, tak pernah doa
meluangkan waktu untuk pulang ke kampung halamannya. Dia sudah terbawa arus hidup kota
besar yang bergelombang dahsyat. Berkelahi di dalamnya. Bercucuran keringat dipanggang
mataharinya. Dan dia menikmatinya. Tapi dalam setiap suratnya pada Agus, Imas, dan Pak Haji
Arsyad, yang sudah dianggapnya sebagai keluarga, dia selalu menulis "Ipul akan pulang setelah
punya gelar dan jadi wartawan sungguhan." Dan ketika telegram dari kampung halaman itu datang
tiga hari yang lalu, rencana kepulangannya jadi berantakan.....
Ipul cuma bisa berdiri mematung di jendela kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Telegram itu
dibacanya sekali lagi. Masih saja dia tidak percaya akan berita duka itu. Dia melihat ke luar jendela,
memandangi gedung-gedung bertingkat yang semakin menghalangi sinar matahari. Wajah pak haji
budiman itu terbayang jelas dengan senyumnya yang tulus ikhlas. Akhirnya aku harus pulang ke
kampung halaman sekarang, sebelum janjiku terlaksana, suara batinnya melagu pilu.
Suasana stasiun kembali hening. Kereta api sudah pergi. Kereta ekonomi berikutnya datang nanti
tengah malam. Kereta mewah cuma berkekebat menyilaukan mata dan meninggalkan gemuruh
mesinnya di stasiun kecil ini. Orang-orang kembali duduk berangin-angin. Ada yang tidur-tiduran di
bangku, main domino, atau tertawa-tawa membicarakan sesuatu.
"Mau kemana, Mas?" Seorang anak mendakatinya, dekil, au dan kausnya sudabh robek di
sana-sini. "Mau nengok saudara." Ipul tersenyum ramah. Dia jadi ingat masa lalunya lewat anak dekil ini. Anak
sungai, hatinya mengeja sebutan bagi anak dekil ini. Sebutan yang juga pernah di sandangnya
dulu, tapi, di mana mereka sekarang tinggal setelah perkampungan kumuh di seberang sungai itu
digusur untuk dijadikan pabrik"
Anak itu ngeloyor tidak peduli, mendekati toko kecil di ujung barat stasiun. Mondar-mandir seperti
menunggu kesempatan bagus. Ipul memperhatikannya. Dia merasa dadanya berdebar-debar
menunggu saat itu tiba. Darahnya terasa panas. Dia seperti melihat dirinya sepuluh tahun yang lalu
pada anak dekul itu. Dia menghela napas lega begitu melihat anak dekil itu menyambar dengan
secepat kilat sebungkus roti tanpa di ketahui pemiliknya. Seandainya orang-orang di stasiun ini ada
yang memergoki bocah kecil itu mencuri roti tadi, mereka akan memilih tersenyum dan mengelus
dada daripada berteriak "maling" dan menghakimi sendiri, seperti yang biasa terjadi di kota-kota
besar. Di Kios Kecil Di Sudut Pasar
10 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul bangkit. Dia berjalan ke luar stasiun kereta api. Beberapa tukang becak menyerbu memburu
rezeki padanya. Mereka berebut menawarkan jasa untuk mengantar. Begitulah nasib mereka, yang
di kota besar sudah tidak bisa mengadu nasib lagi. Kota besar memang sudah bersikap tidak adil
dengan melarang becak beroperasi di sana.
Alasannya tidak manusiawi. Padahal kejahatan berkerah putih, penggusuran tanah dengan alasan
pembangunan, penganiayaan pembantu rumah tangga, dan upah buruh yang rendah lebih tidak
manusiawi ketimbang mengayuh becak. Akibatnya, becak-becak menyerbu kota kecil dan bikin
semrawut jalan-jalan di sana. Boleh jadi nanti, jika ingin naik becak, kita harus pergi ke sebuah
tempat wisata dan membayar mahal.
Ipul menyebutkan nama sebuah penginapan murah di dekat pasar. Dia sengaja memilih tinggal di
penginapan karena belum tahu di mana rumah Pak Haji Arsyad setelah penggusuran untuk
perluasan industri itu. Tapi rencananya memang cuma untuk bertamu saja ke rumah Pak Haji; ikut
berdukacita sambil bersilaturahmi. Rasanya tidak enak kalau harus merepotkan soal makan dan
tidur segala. Itulah anehnya pola hidup di sini. Keluarga yang sudah ditinggal mati, harus pula
mengadakan hajatan tahlilan, menjamu tamu-tamu dengan makanan dan minuman enak sambil
mendoakan orang yang meninggal. Sudah kehilangan orang yang dicintai, mereka harus pula
kehilangan uang yang tidak sedikit. Padahal orang yang meninggal itu sudah putus hubungan
dengan keduniawian kecuali tiga perkara, yaitu beramal untuk kepentingan umum,
mengembangkan ilmu yang bermanfaat, dan mempunyai anak yang berbakti.
Matahari bertambah ramah. Cahaya senjanya yang berwarna keemasan memantul di permukaan
kota. Becak yang terseok-seok tampak seperti keong emas diselimuti cahaya. Ipul dengan leluasa
menghirup aroma bumi kampung halamannya, yang sudah sekian lama tidak dirasakannya.
Apakah Imas sudah kembali ke kota besar" Ipul teringat pada putri bungsu Pak Haji, yang kini
kuliah di kota besar yang berbeda. Imas merasa tersiksa menghabiskan masa remajanya di kota ini,
karena bapaknya tidak mengizinkannya pergi ke kota besar dengan alasan dia seorang perempuan.
Tapi setahun yang lalu, Imas mengabarkan lewat surat padanya, bahwa dia sudah kuliah ekonomi
di perguruan tinggi swasta di kota besar terdekat. "Biar gampang pulang nengok Bapak," Imas
menulis disuratnya. Ibunya memang sudah meninggal ketika dia berumur dua tahun.
"Saya mau kawin, Ipul!" Ini kabar dari Agus, kakak Imas. Agus, selepas SMA, memilih menikahi
anak pak haji lainnya daripada meninggalkan bapaknya yang sudah tua dan adiknya. Dialah yang
meneruskan usaha bapaknya, menjalankan kelangsungan toko jamu warisan dari neneknya dan
usaha agen korannya. 11 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Setelah Agus, Ipul mengenal Imas setelah jadi loper koran. Imas suka berbaik hati meminjamkan
buku cerita Enid Blyton, HC Andersen, atau Bung Smas. Setelah Ipul tinggal di kota besar, suka
menceritakan tentang kemegahan kota besar, suka duka jadi pengasuh majalah dinding di sekolah,
dan berbagai wartawan lepas.
Setelah surat terakhir dari Imas, yang mengabarkan tentang kuliahnya di ekonomi, mereka tidak
pernah lagi berkirim surat. Mereka tenggelam dengan kesibukan di kampus. Mereka seperti
berusaha untuk sejenak melupakan, bahwa mereka punya hari-hari yang idah di kampung halaman.
Dan buat Ipul, semuanya tergambar lagi dengan nyata ketika telegram dari kampung halaman itu
datang. Telegram duka tentang Pak Haji Arsyad, ayah Imas kecil yang suka membantu
mengajarinya membaca. Kalau dia mengingat tentang tak pernah pulang ke kampung halamannya,
perasaan berdosa selalu muncul menyiksanya.
Hati Ipul berdebar-debar ketika becak berhenti di depan penginapan sederhana, yang termurah
ongkos sewa kamar per malamnya dibandingkan dengan penginapan lainnya di kota ini. Tak ada
perubahan berarti dengan gedung tua ini. Malah beberapa eternit di bagian sampingnya sudah
mengelupas. Burung gereja tampak keluar-masuk dari lubang itu.
Ipul teringat pada saat suka berburu rezeki di penginapan ini. Dia suka nongkrong di tempat parkir,
membersihkan mobil pengunjung yang cuma mampir sebentar dengan wanita penghibur sambil
berharap dapat tip beberapa ratus perak. Malah kadang kala dia suka dimintakan jasanya oleh
Mardi, resepsionis hotel, untuk menghubungi wanita pinggir jalan di terminal, stasiun, atau pasar
Inpres. Itu sebabnya kenapa Ipul memilih penginapan ini ketimbang yang lainnya. Dia ingin
merasakan lagi jejak-jejak hidupnya yang tertinggal di sini.
Ipul gemetar menuliskan namanya di buku ketika check-in. Resepsionisnya adalah lelaki di masa
lalu, Mardi, yang suka menyuruhnya memanggil Mbak Sri, kembang terminal, Mbak Ningsih,
primadona pasar Inpres, dan Mbak Yati, mawar stasiun, untuk menemani tamu-tamu yang
kesepian. Lelaki yang pernah merajalela di sekitar terminal; memintai uang pada sopir dan
kondektur bis. Sekarang dia agak kalem, walau sorot matanya masih liar seperti dulu.
"Ipul?" Mardi menatapnya. "Saya seperti pernah mengenal nama ini?" Ditelitinya pasfoto di kartu
pengenal. Ipul pura-pura tidak mendengar. Dia memandang ke arah lain. Tak ada yang berubah dengan
ruangan tengah ini, hatinya menggeleng. Kursi tamu yang kulit luarnya kini jebol sehingga busanya
12 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berhamburan, lukisan ombak pantai Selatan di dinding sebelah barat, dan kolam hias yang airnya
kotor. Sama persis dengan suasana dulu.
Mardi menyodorkan kunci kamar. "Nomor sembilan!" Ekor matanya terus memperhatikan pemuda
tinggi besar itu. Ipul menyambar kunci dan tergesa-gesa menuju tangga ke lantai atas. Sebetulnya ingin dia
memeluk Mardi dan menanyakan kabarnya. Dia pasti sudah menikah dan punya anak. Tapi,
nantilah itu, senyum hatinya.
Lorong kamar masih tetap kotor. Puntung rokok dan sobekan kertas berserakan. Dibukanya pintu
kamar nomor sembilan. Agak susah. Dia harus mendorong pintu itu, sehingga terbuka menimbulkan
bunyi aneh. Hawa kurang sedap langsung menyambar hidungnya. Dilemparkannya ransel ke
tempat tidur dan buru-buru dibukanya jendela kamar.
Ipul menghirup udara segar yang dihemburkan angin. Dia melihat kegelapan baru saja menurunkan
sayap-sayapnya. Lampu-lampu di jalanan sudah menyala dan menerangi dada kota. Sisi kehidupan
yang lain akan bergerak pelan kini, menghabiskan malam. Sisi yang sulit dijangkau oleh
orang-orang yang sudah terbiasa dengan status dan kehormatan.
"Baru tiba?" Seorang pelayan masuk ke dalam kamar. Dia hendak membereskan seprai tempat
tidur dan menyapu lantai.
Ipul hampir saja berteriak begitu melihat luka jahitan di dahi pelayan hotel ini, tapi dia langsung
mengunci mulutnya. Dia ingat masa lalu, siang yang panas, ketika bersama anak sungai lainnya
yang mengejar layangan putus. Di perempatan jalan pasar, sebuah mobil sedan menabrak salah
satu di antara mereka. Jadi luka jahitan di dahi pelayan ini tidak akan membuatnya lupa pada
kejadian di perempatan jalan itu.
"Sendirian?" pelayan itu mengajaknya bercakap-cakap, merasa tidak enak diperhatikan terus.
Ipul mengangguk dan duduk di kusen jendela.
13 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Setelah merapikan seprai, pelayan itu mendekati Ipul. Tersenyum penuh arti. "Butuh temen" Nanti
bisa saya carikan." Ipul mengulum senyum. Kawan masa lalunya ini ternyata sudah menekuni bagian dari satu sisi
kegelapan. Demi komisi beberapa ribu perak, batinnya. Hal yang dulu pernah dia lakukan juga.
"Orangnya masih muda, cantik, dan dijamin bebas dari AIDS."
"Anak mana" Kembang terminal" Primadona pasar Inpres" Atau mawar stasiun?"
Pelayan itu tampak terkejut. Istilah-istilah itu cuma beredar di kalangan tertentu saja. Jika Mardi
memanggil dan menyuruhnya menghubungi "kembang", berarti dia akan menuju ke terminal. Kalau
"primadona", ya sudah tentu wanita cantik dari pasar Inpres. Begitu juga "mawar", dia akan
mengambilnya di stasiun. Ipul mesem-mesem saja. "Anak terminal," katanya, berusaha menebak siapa tamu yang sok tahu ini.
"Namanya siapa?"
"Tapi, jadi nggak?"
Lihat dulu orangnya, dong. Siapa nama kembang itu" Jangan-jangan masih si Sri, yang dioperasi
plastik biar kelihatan awet muda!" Ipul tertawa menyebut kembang terminak ketika dia masih jadi
kurir dulu. "Dia sudah jadi nenek peot sekarang! Sudah saya bilang tadi, yang ini masih muda. Cantik lagi!
Namanya Meisye!" 14 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Siap" Meisye?" Ipul mengerutkan keningnya. "Anak pindahan, ya" Wah, sudah apkiran, tuh!"
"Asli dari sini. Nama bekennya memang Meisye, tapi nama nenek moyangnya Maisaroh." Pelayan
itu tertawa lucu. "Maisaroh?" Ipul tercenung. Hatinya merasa terpukul. Dia betul-betul tidak percaya. Ini seperti
mendengar gemuruh petir saja.
Sebuah wajah cantiok seorang gadis kecil berkelebat di benaknya. Gadis terminal yang suka
merengek-rengek padanya minta dicurikan boneka mainan. Gadis kecil yang tidak pernah tahu
siapa bapaknya, karena ibunya selalu berdiri di pinggir jalan selepas jam sembilan malam dengan
parfum dan gincu murahan, menawarkan penderitaan hidupnya pada lelaki hidung belang.
Maisaroh, hatinya menyebut nama itu lagi. Gadis kecil bernasib malang. Di suatu malam yang
dingin Ipul memergokinya sedang menangis di sudut pasar. Rambutnya kusut masai dan
pakaiannya acak-acakan, sehingga kesannya setengah telanjang.
"Kenapa, Maisaroh?" Ipul merasa iba.
Tangis Maisaroh semakin menjadi-jadi.
"Lapar, ya?" Ipul merogoh tas kainnya yang entah berwarna apa saking kucelnya. Disodorkannya
ebungkus roti, yang sorenya dicurinya di warung Pak Kumis.
Maisaroh ketakutan. Tapi sorot matanya liar; penuh marah. Dia mundur dan menjerit-jerit di tembok.
Ketika Ipul berusaha meredakan tangisnya, tanpa di duga Maisaroh berontak dan mendorong
tubuhnya. Dan dia berlari ketakutan. Ipul cuma memanggilnya dengan perasaan heran. Dia tidak
mengerti apa sebetulnya yang sudah menimpa Maisaroh.
Tapi sekarang, jika mengingat Maisaroh yang menangis ketakutan waktu itu, Ipul bisa mengambil
kesimpulan, bahwa gadis kecil yang cantik itu korban perkosaan lelaki-lelaki pasar. Kalau saja dulu
dia tahu, lelaki-lelaki pasar itu pasti akan dihajarnya bersama-sama anak sungai lainnya.
15 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Maisaroh memang cantik, dan sering dia mendengar wanita pinggir jalan menyebutnya kembang
kecil yang liar, yang suatu saat nanti akan mengambil alih posisi Sri, kembang terminal waktu itu.
Jadi tak heran jika dia jadi korban keganasan lelaki. Di antara mereka, hukum rimba seperti
disahkan tanpa perlu ditulis di buku undang-undang. Bergulir begitu saja. Siapa perkasa, dialah
yang jadi sang raja. Baginya Maisaroh adalah "adik", tempatnya menumpahkan rasa sayangnya yang selalu muncul.
Rasa sayang yang sebelumnya entah mesti diberikan pada siapa. Kadang kala dia iri bila melihat
Sanur atau Ramli, yang bisa memberikan sesuatu pada adik-adiknya. Kalau Mbok Kasiyem
dianggapnya "nenek", dia pun memutuskan sendiri, bahwa Maisaroh adalah "adiknya", yang harus
diberi perlindungan dan kasih sayang.
"Heh, kamu asli dari sini, ya?" pelayan itu meminta jawaban.
Ipul menatapnya. "Saya mau istirahat dulu. Nanti deh kita bicara lagi," katanya, mempersilakan
pelayan itu pergi. "Tapi, jadi nggak metik kembang itu?"
"Nanti saya hubungi, deh!" Ipul menutup pintu. Dia merasakan keanehan dan kelucuan yang sangat
pada dirinya. Sudah dua orang datang dari masa lalunya. Lelaki resepsionis, Mardi, dan pelayan
hotel tadi, Ramli. Tapi mereka tidak mengenalinya. Ternyata waktu telah banyak mengubahnya.
Ipul merebahkan tubuhnya yang letih setelah sehari penuh dalam perjalanan. Matanya terpejam.
Untuk mencapai kota ini harus dua kali berganti kendaraan. Dari kota besar yang satu ke kota besar
lainnya bisa menggunakan angkutan kereta atau bus. Setelah itu menyambunug dengan kereta
ekonomi. Sebetulnya dengan bus pun bisa, tapi ternyata perjalanan lebih terasa asik dinikmati
dengan kereta ekonomi, karena bisa menghirup hawa segar pegunungan dan mensyukuri lukisan
agung sang Pencipta. Detak-detak kehidupan mengikuti malam. Ikut tertawa getir bersama bintang-gemintang dan
melamun bersama cahaya perak sang rembulan....
Terdengar pintu diketuk. Dengan malas dia menggeliat. Teriaknya kesal, "Siapa?"
16 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Saya!" terdengar suara pelayan.
Ipul melihat arlojinya. Dia langsung bangkit. Jam sembilan! pekiknya. Bergegsa dia membuka pintu.
"Ada apa, Ram....." Ternyata dia kelepasan juga.
Ramli mendelik. "Kamu.... kamu memanggil nama saya?" Dia kebingungan. "Siapa kamu?"
Ipul tersenyum serba salah. Sekarang belum waktunya. Nantilah, Ramli, hatinya menggerutu.
"Saya.... saya tadi di kasih tahu sama yang di bawah. Di resepsionis," alasannya sekenanya saja.
"Ada apa, Mas?"
"Jadi, nggak?" "Apanya yang jadi?" Ipul pura-pura bego.
"Metik kembang."
Ipul mengangguk. Dia mengiyakan setalah pelayan hotel itu menyebutkan soal harga. Melonjak dua
kali lipat dari harga ketika Ipul jadi kurir dulu. Rupiah dari tahun ke tahun memang payah. Merosot
terus. Pemerintah selalu menaikkan harga bahan bakar minya, listrik, atau gaji pegawai negeri,
sehingga harga-harga kebutuhan pokok jadi mencekik orang kebanyakan. Sudah kodrat memang,
orang kecil selalu jadi yang terinjak. Kehidupan sesungguhnya memang bergulir di antara mereka,
bukan berada pada orang-orang kaya. Justru golongan kayalah yang jadi penonton. Jika seru, tentu
mereka bertepuk tangan. Kalau sedih, mereka akan sesumbar merasa prihatin. Mereka seperti
sedang nonton pawai kehidupan di cineplex saja.
"Jam berapa?" Pelayan hotel itu sudah membayangkan uang komisi yang bakal di dapat.
"Jam dua belas!" kata Ipul mengambil handuk, mengunci pintu kamar, dan berlari ke kamar mandi
yang berada di ujung lorong.
17 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Suara air berhamburan dari gayung ke tubuh Ipul. Dia membasuh rasa lelah seharian. Malam ini dia
punya rencana, yang akan membuat kawan-kawan kecilnya terkejut.
Sekarang Ipul sudah menyusuri kehidupan malam di kotanya seperti dulu. Untuk bertamu ke rumah
Pak Haji; bertemu Agus dan Imas, sudah malam. Ada hal lain yang lebih penting baginya, yaitu
jejak-jejak hidupnya dari sisi yang hitam, yang begitu ingin dirasakannya lagi.
Tujuan pertamanya adalah terminal.
"Di mana saya bisa bisa ketemu Maisaroh?" tanya Ipul pad aseorang pedagang rokok di dalam
terminal. "Maisaroh?" Pedagang rokok itu menggeleng.
"Maksud saya.... Meisye."
"Oh, si Meisye." Pedagang rokok itu tertawa. "Tuh, di deket lampu merah! Cepetan, nanti keburu di
ambil orang!" katanya dengan tawa lebih keras.
Ipul cuma tersenyum. Dia bergegas ke lampu merah. Beberapa wanita pinggir jalan mencegatnya.
Ada yang menggelayut manja sambil tertawa dibuat-buat, atau meminta sebatang rokok.
Ipul terus berlalu sambil mengumbar senyum. Tak ada seorangpun dari mereka yang berasal dari
masa lalunya. Dia melihat ada tiga orang wanita berdiri di dekat lampu merah. Diaturnya napasnya.
Ada sebuah motor berhenti di depan mereka. Yang di bonceng turun dari sadel dan pengemudinya
masih di atas sadel motor. Mereka langsung dikerubuti oleh ketiga wanita itu.
Salah seorang dari mereka pasti Maisaroh! Hati Ipul cemas. Dia mempercepat langkahnya.
Kampung Halaman Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maisaroh, sini!" dia memanggil sekenanya saja. Dia berlagak sok akrab seperti sudah kenal lama,
agar kedua lelaki itu tidak bermaksud lebih jauh pada Maisaroh.
Ketiga wanita itu saling pandang. Seorang dari mereka memisah. Dengan perasaan heran dia
18 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menyongsong kedatangan lelaki aneh ini.
Dalam keremangan lampu merkuri, Ipul melihat seraut wajah yang tidak dipolesi bedak dan gincu,
tapi dibiarkan alamiah. Mungkin pemiliknya sadar, bahwa dengan begitu ia justru kelihatan cantik.
Tubuhnya yang tinggi semampai cuma dibalut celana blue jeans dan kaus oblong putih. Dia lebih
kelihatan seperti anak sekolahan daripada wanita pinggir jalan. Dia memang sangat berbeda
dengan yang lainnya. seharusnya julukan yang pantas baginya bukan lagi "kembang", melainkan
"anggrek liar".
"Kamu memanggil Maisaroh?" Nada kalimatnya terjaga sekali, mengesankan dia bukan terlahir dari
rahim wanita pinggir jalan.
Ipul tersenyum dan mengangguk. Ingin sekali saat itu juga dia memeluk Maisaroh.
"Nggak ada yang bernama Maisaroh di sini." Dia meneliti pemuda gagah di depannya.
"Kalau Meisye, di mana saya bisa ketemu dia?"
"Di sini. Kamu siapa?"
Ipul meneliti lagi wanita cantik ini. Berusaha mengumpulkan gambar-gambar masa lalunya. Dia
merasa yakin kalau yang berdiri di depannya ini adalah Maisaroh. Dia hafal betul dengan sorot
matanya yang tajam dan rambutnya yang ikal kecoklat-coklatan.
"Kamu?" Tapi Ipul merasa kurang yakin.
"Saya Meisye, orang yang kamu cari."
"Meisye?" Ipul mengulum senyum. "Tapi saya tetap mengenalnya sebagai Maisaroh," katanya
sambil tertawa kecil. 19 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Meisye tampak gelisah. "Tunggu sebentar!" Dia lalu pergi menemui kedua temannya, yang sedang
sibuk merayu pengendara motor. Berbicara dengan mereka. Lalu kembali pada Ipul.
"Bagaimana?" Ipul tersenyum penuh arti.
"Saya belum pernah melihat kamu," Meisye menyelidik.
"Kita ngobrol sambil jalan, ya!"
"Saya cuma punya waktu dua jam."
"Itu lebih dari cukup. Saya cuma ingin jalan-jalan menyusuri kota saja."
"Tapi, saya belum tahu siapa kamu."
Nanti juga akan tahu."
Meisye mulai bertanya-tanya dan merasa aneh sekaligus takut ketika tahu lelaki yang belum
dikenalnya ini mengajaknya ke arah pasar Inpres. Dia sendiri mengikuti kedunguannya, kenapa
menurut saja pada lelaki yang dengan berani menyebut nama Maisaroh, sebuah nama yang berarti
mengingatkan pada penderitaannya yang lalu.
Mereka sudah berada di mulut gerbang pasar Inpres. Berhenti. Suara gonggongan anjing tak
bertuan membuat bulu kuduk Maisaroh berdiri. Ipul tak bereaksi. Pemuda ini seperti sedang
menunggu sesuatu yang akan diledakkan.
"Kenapa kamu ke sini?" Wajah Meisye langsung berubah tegang.
"Supaya kamu tahu siapa saya, Maisaroh." Ipul menatapnya dengan serius.
20 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Saya bukan Maisaroh. Saya Meisye!" katanya. Dia tampak panik sekali.
"Bagi saya kamu tetap Maisaroh, gadis kecil yang cantik. Yang selalu minta dicurikan boneka." Ipul
berusaha memegang lengannya. "Ayolah, kita masuk ke dalam." Dia menuntunnya.
Maisaroh menatapnya seperti sedang melihat sesuatu yang aneh dan menakutkan. Dia semakin
panik. "Cepat katakan, siapa sebenarnya kamu!" Dia hampir menangis.
"Percayalah, saya nggak akan menyakiti kamu, Maisaroh." Ipul membimbingnya. Mengalirkan
perasaan sayangnya. "Justru saya akan menolong kamu." Dia meyakinkan gadis itu dengan
mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Maisaroh meronta-ronta. Pikirannya kalut.
"Malam ini segalanya harus berakhir, Maisaroh," kata Ipul yang berhasil menuntunnya ke dalam
pasar. "Berapa tahun kamu pendam sendirian penderitaan ini, Maisaroh" Kamu harus membaginya
dengan orang lain. Dengan saya!"
Maisaroh tiba-tiba berubah liar. Memandangi sekeliling pasar. Gambar-gambar menyakitkan itu
seperti menyebu ingatannya. Kepalanya terasa seperti ditusuki jarum. Sakit sekali.
"Kamu aman bersama saya, Maisaroh." Ipul merangkul bahunya. Mencoba meredakan lautan
emosinya. Maisaroh terisak-isak dan tanpa sadar menurut saja dituntun Ipul ke dalam pasar. Dia beringsut dan
menggenggam erat-erat tangan Ipul, yang masih belum dikenalnya. Ketika mulai melewati
lorong-lorong pasar yang sempit, dia merasa ada magnet yang menariknya untuk masuk ke dalam.
Dadanya terasa sesak dan ingin meledak.
Pukul sepuluh malam ketika itu. Sehabis hujan. Dia kedinginan dan merasa mengantuk sekali. Dia
tidak ingin pulang ke rumahnya, karena baru saja bertengkar dengan ibunya. Dia masih ingin
21 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bermain-main dulu dengan mimpi gadis kecilnya, walaupun dia sudah merasakan perubahan besar
dalam tubuhnya. Kadang kala dia suka memergoki orang-orang berasyik masyuk di bale-bale di
kios pasar jika malam tiba. Bahkan ibunya pun sudah tidak segan-segan menerima tamu di rumah,
sebuah ruangan dua kali dua meter dari tempelan tripleks, yang menempel di tembok pembatas
terminal, dengan disaksikan olehnya.
Lalu dia terlelap berselimutkan koran bersama mimpi dan harapannya menjadi putri cantik yang
pergi ke sekolah dan jadi rebutan lelaki. Sampai tiba-tiba dia merasakan beberapa tangan kekar
menggerayangi tubuhnya. Dia sadar dalam keadaan terancam. Dia meronta-ronta untuk
melawandan berusaha untuk menjerit. Tapi mulutnya tersumbat. Dia merasakan ketakutan yang
amat sangat. Dia tidak mampu berbuat apa-apa melawan tiga orang lelaki, yang biasa nongkrong di
pasar memunguti uang dari pedagang. Dia cuma ingin menangis, berteriak, dan ketakutan setelah
menyadari kehilangan miliknya yang berharga.
Tak ada orang yang tahu kejadian itu, kecuali pemimpin anak sungai seusianya, yang
memergokinya menangis, yang waktu itu menyangka dia lapar lalu memberinya roti. Anak yang
berusaha mencurikan boneka, walaupun belum pernah berhasil.
Kini Maisaroh meledak dan menjerit-jerit dalam tangisnya, ketika berhenti di depan sebuah kios di
sudut pasar. Dia terguncang-guncang di dada Ipul, yang berusaha menenangkannya. Dia merasa
gambar-gambar menakutkan itu kembali menyerangnya. Menghantamnya.
Maisaroh merasa dunia berubah semakin gelap dan Ipul membaringkannya di bale-bale kios kecil di
sudut pasar yang remang-remang. Dia merasa kejadian itu pun seperti berulang.
Di Kamar Nomor Sembilan Ipul tergopoh-gopoh turun dari becak sambil membopong tubuh perempuan. Dia di samgut oleh
Mardi dan Ramli dengan beribu pertanyaan. Antara keheranan dan menyudutkan. Tanpa menjawab
dulu Ipul langsung membawa Maisaroh ke kamarnya, kamar nomor sembilan.
"Cepat ambil air hangat!" Mardi memerintah pada Ramli. "Kamu apakan dia, heh?" bentaknya gusar
pada Ipul. "Nanti saya cerita, Mas." Ipul tenang-tenang saja membaringkan Maisaroh di tempat tidur. Dia
mengambil obat gosok dan mengusapkannya di hidung dan kening Maisaroh.
22 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ramli datang terengah-engah dengan sebaskom air hangat dan handuk kecil. Dengan cemas,
dicelupkannya handuk kecil itu, diperasnya airnya, dan mengusapkannya ke wajah Meisye
pelan-pelan. Pikirnya, uang komisi itu tak akan jadi di dapatnya.
"Ayo, ceritakan kenapa sampai begini!" Mardi sudah tidak sabar. Baginya, Maisaroh adalah
penantiannya. Harapan dari ujung perjalanan hidupnya.
Kadang di malam-malam sepi, Mardi selalu memimpikan Maisaroh menimang bayinya. Maisaroh
jadi ibu bagi anak-anaknya. Keinginan itu, memang, bersemi pelan-pelan, walaupun dia selalu
menawarkan Maisaroh pada tamu-tamu di penginapannya. Tapi dia yakin, suatu hari nanti, dia akan
mengutarakan mimpi-mimpinya pada Maisaroh tentang hidup yang lebih baik; sebuah keluarga
dengan rumah kecil. Lalu Ipul menceritakan semuanya dari awal dengan perasaan tertekan. Tentang gadis kecil yang
diperkosa di kios di sudut pasar Inpres. Dadanya berguncang hebat setiap mengingat kejadian yang
menimpa Maisaroh itu. Tapi dia mencoba menahan letupan emosinya.
"Kenapa mesti kaubawa dia ke pasar segala?" Mardi merasa bingung.
"Karena gadis kecil itu dia, Mas." Ipul menunjuk ke tubuh yang tergolek di pembaringan.
"Apa"!" Mardi terbelalak.
Ramli mengerutkan keningnya.
"Orang-orang pasar kurang ajar! Mereka harus dikasih pelajaran!" Mardi berubah geram. Dia tidak
menyangka kalau putri idamannya mempunyai kisah panjang yang suram.
Ipul mengiyakan. "Sudah sepuluh tahun mereka bebas berkeliaran, Mas, sementara Maisaroh
dikejar-kejar oleh peristiwa menakutkan itu sepanjang hidupnya.
23 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Itulah sebabnya, kenapa saya membawanya kepasar, Mas. Saya ingin membantunya
rnenghapuskan kenangan buruk itu dari ingatannya."
"Kita harus hajar mereka, Mas!" Ramli ikut geram.
Mereka saling tatap, mencoba merasakan getaran dahsyat yang sama.
Kemudian Mardi menatapnya dengan tajam. Meneliti seluruh yang ada pada Ipul. Tak sekejap pun
dia melewatkan bagian terkecilnya. Lalu, "Siapa kamu?" katanya tajam.
Ipul tak bisa menyembunyikan lagi siapa dirinya. Dia mencoba mengumpulkan kekuatannya. Segala
kenangannya. Dan, "Ya, saya Ipul, Mas." Matanya berkaca-kaca.
Mardi dali Ramli terperangah. Mereka saling pandang. Tadi mereka sudah membicarakan tamu
aneh yang sok tahu ini. Mereka beruhaha keras menebak, siapa kira-kira tamu misterius ini, yang
dengan tiba-tiba muncul membopong kembang terminal dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Apa kamu bilang?" Mardi minta diulangi.
"Saya Ipul." Suaranya tertahan di tenggorokan.
Mardi menatapnya. Matanya hampir saja melompat. Dia berusaha meyakinkan dirinya, bahwa ini
bukan mimpi. Ramli terlebih-lebih lagi. Dia merasa seperti orang bodoh, karena sejak bertemu tamu
ini tadi, rasa aneh dan penasaran selalu menguasainya.
Apa saya bilang, Ramli! Dia pasti Ipul! Percaya nggak!" katanya dengan perasaan campur aduk.
Lalu dia menarik Ipul ke pelukannya. "Akhimya kamu pulang juga, Ipul." Suaranya masih
kedengaran tidak yakin, antara kegembiraan, kebingungan, dan keharuan.
Ipul lalu memeluk Ramli, sahabatnya di segala cuaca. "Apa kabarnya anak sungai?" dia berseloroh.
24 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ramli meringis. "Sebutan seperti itu sudah nggak ada lagi. Anak sungai dan anak perumahan,
kedua tempat itu sudah jadi pabrik, Pul." Ramli tertawa getir mengingatnya.
Ipul juga tertawa getir sambil meninju bahunya.
Lalu mereka terlempar ke peristiwa yang terlewat. Ipul bercerita dari awal tentang pengembaraan
hidupnya di kota besar pada mereka. Tak ada yang terlewat dan membuat mereka berdecak-decak
tak henti. Dan dari Ramli-lah Ipul jadi tahu tentang Pak Kumis. Temyata untuk mengatasi kerugian
dagangannya, Pak Kumis selalu menggantungkan mimpi dan harapannya lewat judi buntut. Tadinya
berharap untung, malah jadi buntung. Bangkrutlah dia. Berutanglah dia ke lintah darat. Dan habislah
segala mimpi dan harapannya di liang kubur.
"Saya jadi ikut ngerasa bersalah," Ipul mengenang. "Mungkin karena rotinya sering kita curi, ya,
dagangan Pak Kumis jadi merugi terus," dia menyesali perbuatannya.
"Kamu yang sering nyuri rotinya, Pul!" Ramli tertawa lucu.
Mardi juga terbahak-bahak mendengarnya. Hatinya tiba-tiba merasa bahagia sekali, karena dia
seperti sedang berhadapan dengan bocah-bocah hitam dekil dari masa silam.
Dari mereka juga Ipul paham tentang pulangnya Maisaroh ke kota ini delapan tahun kemudian,
yang di mata mereka seperti bukan Maisaroh yang mereka kenal. Maisaroh yang kemudian cuma
mau dipanggil dengan Meisye. Maisaroh yang dalam sekejap akhirnya jadi kembang terminal.
Julukan yang bagaimanapun sangat mereka sesali, karena disematkan pada seseorang dari bagian
masa lalu mereka. Ipul sekejap bisa melihat lukisan keprihatinan dari wajah Mardi, bujangan tua yang tampaknya
menaruh perhatian lebih pada Maisaroh.
"Mas mencintai dia?" bisik Ipul hati-hati.
25 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mardi cuma melirik tajam.
Ipul tidak meneruskan pertanyaannya.
Wanita cantik yang terbaring lemah itu menggeliat ketika mendengar suara-suara. Dia melihat ada
tiga orang sedang asyik larut dalam cerita masa lalu. Dia merasakan bahwa mereka begitu akrab
dan seperti kenalan lama. Dua orang di antara mereka, bagi dia sudah tak begitu asing.
Resepsionis dan pelayan hotel, yang selalu memberinya kesempatan untuk memperoleh rezeki.
Tapi yang seorang lagi, yang tadi membawanya ke pasar Inpres, belum bisa diingatnya
Mardi membantu gadis itu bangkit. Dia meletakkan bantal agar Maisaroh bisa duduk sambil
bersandar ke tembok. Dia mengambil segelas the panas. Menyerahkannya pada Maisaroh. Dia
membantu memegangi terus lengan Maisaroh. Berusaha mengalirkan kehangatan darahnya pada
tubuhnya. "Gimana, masih pusing?" Mardi menyarankan pula untuk tidak banyak bergerak dulu.
"Oh, maafkan saya sudah merepotkan Mas." Maisaroh merasa tidak enak.
Mardi cuma tersenyum. "Saya yang seharusnya minta maaf, Maisaroh, karena sudah membuat kamu jadi menderita." Ipul
mengusap kening gadis itu dengan handuk kecil yang sudah direndam air hangat.
Maisaroh merasa malu diperlakukan begitu. Oleh lelaki yang tidak dikenalnya pula. Tapi dia
merasakan getaran pada tatapan mata lelaki itu, tatapan yang seperti sudah sangat dikenalnya
dulu. Kini, tatapan itu datang lagi mendinginkan jiwanya.
"Terima kasih sudah membawa saya kemari," suara Maisaroh terdengar tulus.
Ipul merasa tergetar hatinya.
Mardi memijitj pergelangan kakinya. "Kenapa kamu nggak cerita sama Mas, Meisye" Siapa tahu
Mas bisa ngebantu meringankan penderitaan kamu," katanya lembut penuh kebapakan.
26 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Maisaroh terharu mendengarnya. Dia lantas berbicara pada Ramli, "Kamu harus membatalkan
pesanan tadi, Ramli." Ramli melirik pada Ipul.
"Kamu sedang berada di kamarnya sekarang." Ipul tertawa kecil.
Maisaroh meminta penjelasan pada Ramli.
Ramli mengiyakan sambil mengulum senyum.
"Kamu ikut-ikutan sinting, Ramli! Seperti dia! Ada apa sebenernya ini?" Maisaroh menatapnya
marah. Ramli jadi tertawa. "Ramli!" Maisaroh gusar.
"Ramli nggak bohong, Meisye," Mardi meyakinkannya.
"Kamu belum bisa mengenal saya, Maisaroh?" Ipul tersenyum gemas.
"Jangan sebut nama itu lagi!" Maisaroh menjerit menutup kedua telinganya
Oh, sorry, Meisye." Ipul terus tertawa.
Ramli juga semakin keras tawanya.
27 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kalian memang gila!" Maisaroh betul-betul kesal. "Heh, siapa kamu, lelaki sombong"!" hardiknya.
Ipul mengerem tawanya. Dia menatap dan memegang lengannya. "Pandanglah saya, Maisaroh,"
katanya serius. "Ingatlah kejadian di malam yang menyakitkan di pasar Inpres itu, Maisaroh.
Ingatlah pada bocah lelaki kecil yang waktu itu mengira kamu lapar.
"Ayo, ingatlah semuanya, Maisaroh."
Suara detak jam melagu pilu, merayapi malam.
"Oh!" Maisaroh terpekik. "Kamu..." Jiwanya merasa terguncang. Dia tidak yakin dengan apa yang
didengarnya tadi. "Saya berada di sana saat kamu menangis, Maisaroh. Saat kamu lari ketakutan. Saat..."
"Nggak mungkin!" Kepalanya serasa kosong dan membesar.
"Ya, Maisaroh! Sayalah bocah kecil itu! Saya, Ipul!"
Maisaroh tertawa getir dan tidak percaya, "Ipul?" Maisaroh memegangi lengan Ramli. "Katanya dia
Ipul, Ramli?" Suaranya tertahan. "Mas, betulkah ini semua?" Dia meminta bantuan pada Mardi.
Mardi mengangguk. "Dia memang Ipul, Meisye," jawabnya sambil tersenyum membelai rambut
Maisaroh. "Kamu Ipul?" Kini Maisaroh menatapnya. Dia seperti melihat hantu saja. Kelopak matanya
berkilauan seperti air kolam. Lalu dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Menangis terisak-isak. 28 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul meraih kepala Maisaroh. Menyediakan dadanya untuk tumpahan segala penderitaan gadis
cantik dari masa lalunya. Melindunginya. "Menangislah dengan puas malam ini, Maisaroh." Ipul juga
merasa kedua matanya hangat.
Mardi dan Ramli cuma terpaku melihat mereka saling menumpahkan segala sesuatu yang hilang
sepuluh tahun. Mereka yang pernah hadir pada masa kanak-kanak. Terutama tamu penginapan itu,
yang pada mulanya sama sekali tidak dikenal, yang ternyata betul-betul pernah jadi bagian kota ini.
Setelah kejadian di malam celaka itu, Ipul memang tidak pernah melihat Maisaroh lagi. Dia bertanya
pada semua orang di terminal, pasar, dan stasiun. Tapi tak seorang pun tahu. Bersama dengan
anak sungai dan anak perumahan, setiap sudut kota dan kampung-kampung sekeliling
dibongkarnya. Bahkan ke kota-kota kecil terdekat.
Maisaroh tetap hilang ditelan bumi. Yang membuatnya kesal, ibu Maisaroh sama sekali tidak
mempedulikan nasib Maisaroh. Berkali-kali ibunya cuma bilang, bahwa Maisaroh adalah anak yang
susah diatur. Anak yang tidak tahu diuntung. Anak yang membawa sial. Kesannya seperti tidak mau
peduli, apakah Maisaroh masih hidup atau tidak.
Maisaroh membubung entah ke mana! Mungkin ditelan matahari atau duduk di setiap malam bulan
purnama! Sampai Ipul pergi menuntut ilmu untuk mewujudkan impian masa kanak-kanaknya, Maisaroh tetap
tidak pernah ketahuan rimbanya. Dan tiba-tiba semuanya menyeruak begitu saja dan hadir nyata
setelah Ramli, si pelayan hotel, itu menawarkan jasa untuk mencarikan wanita penghibur.
Kampung Halaman Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ditawarkannya kembang terminal, yang bernama Meisye...
Sekarang dia merasa akan melewati hari-hari panjang di kampung halamannya. Setelah Mardi,
yang ternyata masih belum merasa perlu menikah dan Ramli yang menikah di usia muda dan sudah
menggendong bayi empat bulan, Maisaroh menyodorkan kisah hidupnya. Dan dia yakin akan
berderet lagi nanti setelah Pak Haji Arsyad, Agus, Imas, Mbok Kasiyem, dan... dia tidak sanggup
untuk mengumpulkan gambar-gambar kehidupannya yang lalu.
"Saya cuma ingin lari meninggalkan kota ini. Meninggalkan kenangan malam terkutuk itu," Maisaroh
menerawang jauh. 29 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul, Mardi, dan Ramli mendengarkan dengan serius.
"Setelah saya terlunta-lunta tak tentu arah di kota besar, sebuah keluarga menemukan saya. Lalu
mereka membawa saya ke kota lain, yang jauh dari sini.
"Saya dijadikan pembantu dan disekolahkan oleh mereka." Maisaroh berbinar-binar wajahnya.
"Kamu makan sekolahan rupanya!" Mardi berseru kagum.
"Ya, ternyata keinginan saya untuk sekolah kesampaian juga. Walaupun waktu itu saya sudah
sepuluh tahun, tapi belum lancar membaca." Maisaroh tertawa kecil mengingatnya.
Mereka juga ikut tertawa.
"Keluarga baik hati itu mengajari saya membaca, menulis, dan berhitung. Pokoknya tidak ada hari
selain belajar. Saya cuma tiga bulan di kelas satu. Terus empat bulan di kelas dua. Enam bulan di
kelas tiga. Dan begitu terus melompat-lompat kelas." Sorot mata Maisaroh penuh
kebanggaan."Saya ternyata bukan anak bodoh," katanya tersenyum lebar.
"Hebat, hebat, Maisaroh!" Ramli terkagum-kagum.
Tapi..." Tiba-tiba Maisaroh tertunduk pilu.
"Kenapa, Maisaroh?" Ipul merasa cemas.
Mardi kelihatan menahan napas.
30 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Saya kabur dari rumah mereka." Maisaroh menarik napas dengan berat. Dadanya terasa sesak
lagi seperti diimpit beban masa lalu.
"Lho?" Ramli terperangah.
"Pasti ada sesuatu yang buruk menimpa kamu!" Mardi berubah marah lagi.
Sorot mata Maisaroh tampak kosong entah ke mana.
Ipul gelisah. "Saya... oh!" Maisaroh menutup wajahnya sebentar. Lalu dengan perasaan tertekan, "Saya nggak
tahan lagi tinggal bersama mereka. Pada mulanya anak lelaki mereka cuma merayu, lalu masuk ke
kamar di saat tidak ada orang di rumah; memberikan janji-janji akan bertanggung jawab kalau saya
melayani nafsunya. "Lama-lama saya terbujuk juga oleh rayuannya.
"Tapi ternyata dia lelaki yang tidak bertanggung jawab.
"Lelaki pengecut!" Maisaroh menahan amarah dengan menggigit bibirnya.
"Bedebah!" Mardi merah wajahnya. Gerahamnya terkatup dan kedua lengannya terkepal.
"Keterlaluan!" sambar Ramli tidak percaya.
Ipul merasa dadanya sesak. Nasib orang-orang seperti mereka selalu saja harus berada di bawah
telapak kaki orang lain. Diinjak-injak, walaupun sudah tidak berdaya. Dia muak melihat orang-orang
terpandang dan terhormat di mata masyarakat, yang selalu haus akan pelayanan dan
penghormatan dari orang lain, tapi tingkah laku mereka sendiri tidak pantas dihormati. Orang-orang
kaya, yang takut hartanya tidak mencukupi sampai ke tujuh generasi anak-cucunya, yang
melakukan apa saja untuk menumpuk hartanya. Dan orang-orang pintar, yang dengan
31 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kepandaiannya membodohi masyarakat banyak agar bisa selamat dan sentosa dalam mengarungi
hidup yang serba kompetitif ini.
Kelopak mata Maisaroh tampak berkaca-kaca. "Saya hamil dan kabur ke kota lain dengan
membawa beberapa perhiasan mereka. Saya jual satu-satu perhiasan curian itu. Saya hidup dari
satu penginapan ke penginapan lainnya sampai saya melahirkan di sana."
"Kamu punya anak, Maisaroh?" Ipul mencekal bahunya.
"Sekarang bayinya di mana?" Mardi ingin tahu.
Ipul semakin merasa tersudut. Dia mencoba menguatkan hatinya. Ditatapnya Imas.
"Bagaimanapun, saya tidak pernah merasa punya tempat tinggal di sini. Kamu pun tahu, Imas,
kalau sejak dulu saya terbiasa tidur di mana saja," katanya sambil meminta pengertian.
Angin berkesiur lagi menerbangkan daun-daun kering dari pangkalnya yang rontok ke pangkuan
bumi. Imas mendekati makam bapaknya. Menaburkan bunga di atasnya. Katanya hampir berbisik, "Bapak
sangat bangga padamu, Ipul. Setiap tulisanmu dimuat di majalah, Bapaklah orang yang pertama
mengabari kami, tetangga, dan juga menunjukkan pada semua loper korannya agar mereka kelak
mencontoh kamu." Ipul tergetar mendengamya. Darahnya terasa hangat dan tengkuknya merinding. Dia merasa bulu
kuduknya berdiri. Tubuhnya tiba-tiba menggigil.
"Di saat Lebaran, Bapak selalu mengharapkan kamu pulang. Jika tidak, Bapak bilang, Lebaran
tahun depan kamu pasti pulang. Tapi, kenyataan itu tidak pernah kesampaian, sampai Bapak
dipanggil Tuhan." Napas Ipul terasa berat. "Saya memang anak yang tidak tahu berterima kasih. Anak yang tidak tahu
diri. Saya memang Malin Kundang abad sekarang," Ipul menyalahkan dirinya sendiri.
32 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Bapak betul-betul mengharapkan kamu pulang, Ipul," Imas terus saja bicara tentang bapaknya.
"Saya memang bersalah, Imas." Dadanya semakin terimpit.
Imas membalik. Berjalan meninggalkan makam. Ipul seakan tersadar, bahwa seorang wanita
haruslah dilindungi. Dikasihi. Diberi perhatian lebih. Dalam keadaan suka, terlebih-lebih dalam duka.
Dia jadi teringat petuah Pak Haji, "Kita harus menjunjung tinggi, melindungi, dan menghormati
wanita. Karena dari wanitalah kita bisa menghirup udara bumi. Sembilan bulan mereka menyabung
nyawa untuk melindungi kita yang masih dalam kandungan." Itulah sebabnya kenapa dia peduli
pada Mbok Kasiyem, Maisaroh, atau Imas, karena dia tidak pernah merasa memiliki seorang wanita
yang pernah mengandungnya.
Ipul menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar tanah merah yang masih menempel
berjatuhan. Dia mengejar Imas. Dijajari langkahnya. Suara langkah kaki mereka bergema di sudut
hati mereka. "Maafkan saya, Imas." Kalimat ini seperti sudah ribuan kali diucapkan Ipul.
Imas menatapnya sekejap. "Saya bingung, harus mengatakan apa, Imas." Ipul merasa pasrah.
Tanah pemakainan tertinggal di belakang mereka, tapi tetap seperti melambai-lambai, menunggu
kedatangan mereka pada saat yang lain.
Kapan kembali ke kota, Ipul?" Imas menunduk, seperti menghitung hari-hari selanjutnya, yang
kemudian juga harus dilaluinya.
"Mungkin saya akan tinggal sampai lusa."
"Mau mencari masa lalu?"
33 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul melontarkan napasnya. Dia tidak mengiyakan pertanyaan Imas, yang kedengarannya seperti
melecehkan. Tapi dalam hatinya dia membenarkan. Bagaimanapun, masa lalu akan jadi bagian
hidup dari seseorang. Kadang kala masa lalu bisa jadi panutan, karena di dalamnya ada perjalanan
panjang sebuah sukses. Bagi Ipul sendiri, masa lalunya adalah "keringat" atau "perkelahian". Masa lalu yang kadang ingin
dibuangnya ke jurang bumi. Tapi di sisi lain, dia ingin mengumpulkan masa lalunya yang berceceran
untuk diberi bingkai dan digantungnya di dinding kamar kontrakannya yang sempit. Untuknya jika
berkaca nanti. "Kalau betul ingin mencari masa lalu, Ipul, itu tak akan pernah kamu temukan. Kota ini sudah
berubah." Imas memandang ke depan.
"Ya, kota ini memang berubah, Imas. Tapi, masa lalu tetap tidak berubah. Kenangannya tetap
abadi," Ipul mengatakan pendapatnya. "Tak akan mati dimakan zaman."
Sinar matahari pagi menerobos lewat sela-sela batang-batang dan dedaunan mahoni yang masih
dibiarkan tumbuh di jalan-jalan kota. Cahayanya menyentuh permukaan kulit Imas yang kuning
langsat. Menghangatkan hatinya yang nelangsa.
"Kamu akan kecewa, Ipul." Imas berhenti di dekat persimpangan. Menunggu angkutan kota lewat.
Imas berkata sesungguhnya. Wajah lama kota ini memang sudah tidak ada. Daerah perumahan
dan perkampungan kumuh di seberang sungai dan lahan-lahan produktif sudah dari awal
menandakan perubahan kota, sehingga untuk perluasan kota dan mengantisipasi laju kaum
pendatang yang menyerbu kawasan industri, pasar Inpres diremajakan di tempat lain. Terminal bus
diperbesar supaya daya tampung kendaraan memadai. Dan angkutan kota berbentuk mini bus pun
sudah berkeliaran di ruas jalan kota yang masih sedikit. Becak jadi pilihan kedua. Apalagi setelah
beberapa jalan utama kota terlarang bagi yang namanya becak, komplet sudah penderitaan si
abang becak setelah nasibnya terpuruk di beberapa kota-kota besar.
Imas naik ke angkutan kota, yang trayeknya bisa diatur sesuai dengan keinginan penumpang.
Sehingga jangan heran jika ada penumpang yang tujuannya dekat dibawa keliling kota dulu karena
si sopir harus mengantar penumpang yang lain. "Kamu mau berdiri terus di situ, Ipul?" berkata Imas
dengan tenang. 34 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul pun serba salah ikut naik ke angkutan kota.
"Kaum!" Imas menyebutkan tujuannya.
Tapi ke Pajagalan dulu, ya!" kata si sopir.
Imas menggerutu, tapi tidak menolak. Berarti harus melambung dulu ke utara kota.
"Kamu tinggal di Kaum sekarang?" Ipul berusaha mengingat-ingat daerah agamais itu. Kampung
yang tak pernah melepaskan setiap detak harinya dengan kehidupan religius.
"Agus yang kepingin menetap di situ. Ada rumah kecil yang kebetulan sesuai dengan seleranya."
"Kabar Agus, bagaimana?"
"Tadi pagi dia ke puskesmas. Anaknya demam."
"Agen koran majalahnya, masih, kan?"
Imas mengangguk. "Tapi nggak seperti dulu. Sekarang daripada baca koran, Ipul, mereka lebih
asyik nonton televisi swasta! Pemudanya juga lebih rela menghabiskan uangnya di warung-warung
pojok di sekitar pabrik daripada dibeliin koran atau majalah! Apalagi setelah ada agen-agen lain."
Dengan tenang dia membeberkan perkembangan usaha warisan ayahnya, yang kini diteruskan
oleh Agus. Ipul cuma menyimpan keprihatinannya di dalam hati. Tapi dia tak bisa melakukan apa-apa dengan
perubahan yang terjadi di kampung halamannya; pada Agus dan Imas. Mungkin juga pada Mardi,
Ramli, Maisaroh, dan pada semua yang pernah hadir di masa lalunya.
35 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul mungkin merasa ini adalah saat yang penting dalam hidupnya; merasakan lagi yang pernah
terjadi pada satu sisi hidupnya. Dan dia yakin, sampai kapan pun kota yang disebutkannya pada
orang-orang sebagai "kampung halaman", tempat asalnya, besar, menangis, dan bermimpi, akan
selalu tersimpan di hatinya. Seperti sebuah tembang lama yang merdu.....
Di Atas Kereta Api Ekonomi
Ipul masih berdiri di pintu gerbong ketika kereta api ekonorni yang ditumpanginya mulai bergerak
perlahan. Wajah-wajah yang mengantarnya pergi; Mardi, Maisaroh, Ramli, Sunar, Ikis, Asep, dan
Ipeng dirundung kelabu. Muram semuram-muramnya. Dia mencoba memandangi mereka lagi
sambil berharap Imas akan datang. Tapi Imas tetap tidak datang, seperti pada pesta pernikahan
Mardi dan Maisaroh di penginapan kemarin malam.
Ipul menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya. Dia masih bisa merasakan jari-jari lengannya
lengket dan basah bekas air mata. Air mata kesedihan dari mata air yang jernih. Matanya. Dari
jiwanya, yang kini tidak mempunyai siapa-siapa lagi di bumi ini.
Kereta api rakyat kecil ini semakin laju. Stasiun sudah jauh tertinggal. Ipul menyentuh kaca jendela
kereta api. Pepohonan dan rumah-rumah berlarian. Pesawahan dan ladang-ladang tebu yang
terselip di antara pabrik-pabrik masih menyisakan sedikit wewangian bagi hidungnya. Dia mencoba
untuk terus menghirup bau harum kampung halamannya, karena merasa yakin tak akan pernah
datang ke sini lagi. Ke kota, Nak?" sapa seorang lelaki tua di sebelahnya.
Ipul tersenyum dan mengangguk.
"Sangat berat, memang, meninggalkan kampung halaman. Apalagi untuk yang pertama kali.
Seolah-olah kita seperti akan pergi jauh dan tidak kembali lagi."
Ipul cuma tersenyum dalam hati mendengar omongan pak tua tadi. Dia meraba-raba kaca jendela
kereta api. "Tapi kenapa harus pergi ke kota, Nak" Kampung halaman kan masih tetap lebih baik daripada jadi
36 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
gelandangan di kota besar. Apalagi Bapak lihat pabrik-pabrik sudah dibangun. Kamu kan bisa kerja
di pabrik. Cari kerja di kota itu susah. Nggak seperti yang diomongkan orang."
Ipul menepis saja ocehan pak tua itu lagi. Dia terus saja menatap ke luar jendela. Segala panorama
di luar jendela kereta api dinikmatinya dengan perasaan bergetar. Kampung halamannya kini tinggal
sebuah tembang, yang akan melagu rindu jika dikenang. Segala yang ada tentang kampung
halamannya sudah dikemas rapi. Disimpan dalam benaknya. Tak akan aku datang ke sini lagi,
batinnya melagu pilu. Kereta kelas kebanyakan ini berguncang. Ipul terlonjak. Dia merasakan perih di bagian bibir. Diajilati
bibirnya. Ada darah mengering di bibir bagian bawah. Itu bekas perkelahian dengan para Jagoan
pasar. Ipul melihat lagi ke luar jendela.....
"Ada berapa orang, Mas?" Ipul mencoba menghitung bayangan di kegelapan.
"Sembilan!" Mardi memastikan.
"Mereka anak sungai, Pul!" Ramli membisikinya.
Ipul tercengang. "Ada yang kukenal?"
"Beberapa saja!" Ramli menarik Ipul. Mereka menuju bayangan-bayangan yang bergerak ke sana
kemari dengan gelisah. Ramli mencoba mengingatkan beberapa orang di antara mereka pada Ipul.
"Ipul?" Sunar menyalami ragu-ragu.
"Siapa, ya?" Ipul mengingat-ingat.
37 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sunar tertawa. "Tukang lotre!"
"Heh, kamu!" Ipul meninju bahunya. "Jadi apa kamu sekarang" Jadi bandar, hah!" ledeknya sambil
tertawa ketika ingat kawan kecilnya, yang suka keliling kampung jualan lotre. Dengan lima puluh
perak kita bisa membeli sebungkus kacang yang di dalamnya berisi nomor. Jika kita beruntung,
bermacam hadiah bisa diperoleh. Ada rokok buatan luar negeri, minuman kaleng, sandal jepit,
pulpen, dan lain sebagainya.
Si penjaga Maisaroh rupanya! Pangling aku!" Sunar mencoba mengenali wajah sobat lamanya
dalam cahaya remang-remang. "Kayaknya hidupkamu makmur juga ya, Pul!" Tawanya terdengar
lagi. "Aku sekarang jadi kondektur bus!" Dia menyebutkan nama bus antar kota. "Katanya kamu jadi
wartawan sekarang!" Ipul mengangguk dan tertawa keras. Kegembiraan masa kanak-kanak pun muncul lagi begitu
beberapa orang merubungnya. Ada Ikis, Asep, dan Ipeng. Mereka saling berangkulan dan melepas
rasa kehilangan. Suasana persaudaraan dan kebersamaan pun menyelimuti lagi, seperti ketika
masih sama-sama dipanggil anak sungai.
"Pada mulanya aku nggak percaya ketika Ramli cerita kamu pulang." Sunar bangga sekali melihat
sobat kecilnya. "Aku berdiri di belakangmu, Pul," Ikis, yang kini jadi buruh pabrik menyambung. "Derita Maisaroh
atau kamu, adalah derita kita juga, anak sungai!"
"Malang nian nasib Maisaroh!" Asep, kini penjaga bioskop, mengepalkan tangannya. "Malam ini
semuanya harus terbalaskan. Anak sungai boleh saja cerai-berai, tapi persatuannya tetap abadi!"
katanya bergelora. "Kalau saja kita tahu dari dulu," Ipeng, kini penjaga toko, menggerutu, "masalah ini nggak akan
berlarut-larut!" Rencana untuk membalas dendam kepada para jagoan pasar, pemerkosa Maisaroh, sudah
mengeras bagai letupan gunung. Mereka tidak punya pertimbangan apa-apa lagi selain
menyalurkan keangkaramurkaan yang terpendam bertahun-tahun. Segala rasa ketertekanan oleh
38 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kekerasan hidup; kemiskinan dan suramnya masa depan, seperti mendapat penyaluran yang
sempurna malam ini. "Mereka biasanya ngumpul di warung pojok," kata Mardi mulai mengatur siasat. "Kamu, Ipul,"
perintahnya, "ditemani Sunar, Ramli, Ipeng, Asep, dan Ikis, periksa bagian timur. Yang lainnya ikut
aku!" Mardi menambahkan, "Ingat! Kalau bajingan-bajingan itu ketemu, kita pancing mereka ke Astana!"
Mardi menyebutkan tempat pemakaman kota. "Awas, jangan nyari keributan di sana!"
Sang dewi malam tampaknya harus bersedih, karena kegelapan akan berubah jadi panas dan
membara. Ipul merasakan getaran yang hebat di dadanya, ketika melihat lampu kerlap-kerlip di
warung-warung di sepanjang jalan menuju lokasi pabrik. Petualangan seperti malam ini sudah tidak
pernah dilakukannya lagi. Apalagi bersama anak sungai. Telinganya kontan terasa panas ketika
terdengar gelak tawa pengunjung, yang menggodai wanita-wanita pelayan, bercampur dengan asap
rokok dan alkohol. Irama disko dangdut pun saling bersahutan dari setiap warung. Semua saling
berlomba; bising membubung ke angkasa. Ini dunia yang tak beraturan.
Ramli menunjuk ke sebuah warung yang tidak begitu banyak pengunjungnya. Ada dua-tiga lelaki
mabuk berjoget ditemani wanita dengan rok mini ketat di tengah ruangan. Di meja sudut ada tiga
orang sedang asyik memeluk pasangannya. Beberapa botol bir sudah bergeletakan di meja. Di
sudut yang lain tersisa dua wanita ber-make up tebal, duduk gelisah menanti tamu yang lain.
Ipul merasa dadanya berdebur tidak keruan. Dia betul-betul tidak percaya kalau kampung
halamannya sudah berubah seperti ini. Daerah ini dulu pinggiran kota dengan irigasi yang jernih
mengaliri pesawahan. Jika ada waktu di sore hari, Ipul menjala ikan bersama Agus di saluran irigasi
ini. Tapi setelah cerobong pabrik menyemburkan asap hitamnya; saluran ini berubah mengalirkan
sampah, sumpah, dan serapah. Malahan nilai-nilai moral manusia pun hanyut di sana....
Ramli mendekatkan bibirnya ke telinga Ipul. "Merekalah babi-babi itu!" Matanya tertuju ke meja di
Kampung Halaman Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudut ruangan. Ipul menatap ketiga orang di sudut ruangan itu. Darahnya langsung terbakar; menjalar sampai ke
ubun-ubunnya. Bertahun-tahun dia menanti saat seperti ini tiba. Pembalasan. Hukum rimba akan
39 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berlaku malam ini, batinnya geram.
"Ingat, Pul, jangan di sini," Ramli memperingatkan begitu melihat Ipul gelisah.
"Aku nggak janji!" Ipul meremas-remas jemari lengannya.
Sunar dan Ikis sudah menggandeng dua wanita yang tersisa tadi. Mereka berjoget pula. Sedangkan
Ipeng dan Asep mengambil meja persis berseberangan dengan tiga jagoan pasar itu. Salah
seorang jagoan pasar, memakai ikat pinggang besar dengan gesper berbentuk tengkorak, berdiri
menggandeng pasangannya. Pasangan yang sudah bergelora itu masuk ke ruangan belakang
sambil tertawa-tawa. Ipeng sengaja berteriak-teriak ketika memesan bir. Asep pun menimpali. Mereka membikin gaduh.
Malah menjaili pelayannya dengan kasar.
"Heh, berisik!" hardik jagoan pasar yang berkumis. "Emangnya warung ini punya pantatmu!" Ipeng
tertawa keras. "Anak sungai, bertingkah!" Si Kumis berdiri geram, tapi dicegah oleh pasangannya dengan manja.
"Heh, tikus pasar ngajak ribut, ya!" giliran Asep menantang.
Ipeng berdiri. Ulahnya semakin menjadi. Berjoget mengelilingi meja jagoan pasar sambil
memukul-mukul botol bir dengan sendok. Bunyi dentingannya cukup mengganggu juga.
Ramli menahan ketawanya. Ipul cuma duduk dengan gelisah. Dia sedang menunggu kelanjutannya.
Si Kumis semakin geram dipermainkan begitu oleh anak sungai, yang menurut mereka masih tetap
saja anak-anak kencur. Dia bersungut-sungut pada kawannya, yang memakai cincin batu. Tapi
mereka mencoba menahan diri. Mereka berbicara pelan. Mungkin kalau terlibat perkelahian dengan
40 Karl May Puri Rodriganda m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"anak bawang", reputasi mereka sebagai jagoan pasar a
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
41Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
kan tercoreng. Padahal waktu berjalan terus. Anak sungai itu pun sekarang bukan anak kemarin
sore lagi. Sudah sama beringas dan liarnya seperti mereka, para seniornya.
"Minum dulu, Pul." Ramli menuangkan minuman.
Ipul meneguknya setengah. "Aku nunggu di luar. Di sini hawanya bikin panas!" Dia berdiri.
Saat itu pula si Kumis berdiri menggandeng pasangannya, hendak meniti anak tangga ke surga di
ruangan belakang. Mereka bertabrakan. Ramli tahu kalau sebetulnya Ipul sengaja memanfaatkan
situasi itu untuk membuat gara-gara. Karena terlalu banyak minum, si Kumis terhuyung-huyung
kena dorong Ipul. "Anak bawang, bangsat!" si Kumis memaki.
Ipul malah menyerobot. Mencekal kerah bajunya. Memepetnya ke tembok. "Heh, koboi tua! Sekali
lagi memaki kayak tadi, rasain nih!" Kedua lengannya mencekik leher dan langsung menghujamkan
bogemnya ke wajah si Kumis.
Si Kumis mengerang. Melihat kawannya terdesak, si Cincin Batu bermaksud membokong Ipul, tapi
kaki kanan Ipeng mengaitnya hingga jatuh tersungkur. Tanpa mempedulikan aturan Mardi, Ipul
mendaratkan kepalannya lagi ke si Kumis. Para wanita penghibur menjerit-jerit. Ikis dan Sunar
sudah siap-siap menjaga kemungkinan yang lain di pintu depan. Beberapa lelaki di dalam ruangan
dan dua orang petugas keamanan muncul melerai mereka.
"Kurang ajar!" sungut si Cincin Batu sambil mencoba membalas, tapi ditahan oleh seorang petugas.
Si Kumis mengusap darah yang mengucur di hidungnya. Matanya berubah liar. Dia mencoba
menghilangkan pengaruh alkohol yang menggerayangi kepalanya. Bentaknya, "Heh, Anak bawang!
Nyalimu besar juga!"
1 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ipul balas menatapnya dengan geram.
"Aku kenal mereka-mereka ini. Kecoak semuanya!" Si Kumis membebaskan diri dari pegangan
petugas keamanan sambil menunjuk Ramli, Ipeng, Ikis, Asep, dan Sunar. "Tapi, kamu! Siapa, heh!
Anak baru, ya! Awas, jangan coba-coba nyari perkara di sini!"
Tanpa diduga si Gesper Tengkorak keluar dari pestanya dengan terburu-buru. Seseorang
mengusiknya tadi dengan berita perkelahian di ruangan depan. Sambil bersungut-sungut dia
menyerobot dan berhasil menghajar wajah Ipul.
"Aduh, sudah, dong!" jerit seorang wanita. "Kasihan sama kita-lah yaa!"
Kalau mau ribut, di luar sana!" pekik yang lain.
"Wah, kita nggak kebagian tamu, deh!"
"Aduh, kayaknya malam kelabu, nih!"
"Apes deh rejeki kita!"
Ipul meraba bibirnya yang sobek. Darah segar terasa lengket di jarinya. Dadanya turun-naik
menahan gejolak liarnya. "Aku tunggu di Astana, heh, koboi tua!" tantang Ipul sambil meninggalkan
warung. Sunar membayar beberapa botol bir.
"Di Astana, jangan lupa!" teriak Asep mengulangi.
Ipeng dan Ikis bernyanyi-nyanyi sambil berjoget.
2 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kita mau bikin perhitungan!" Ramli tersenyum sambil mengepalkan lengannya.
Si Kumis memaki-maki karena hidungnya berdarah. Si Gesper menuntunnya untuk duduk. Para
jagoan pasar itu pun berembuk dengan berang. Si Kumis beberapa kali menggebrak-gebrak meja.
Bahkan satu botol bir dibantingnya ke lantai.
"Heran aku!" Si Kumis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Setan mana yang bikin mereka
bertingkah begitu!" "Mereka cari penyakit!" si Cincin Batu menyambung.
"Katanya mereka mau bikin perhitungan!" Si Gesper menenggak minuman.
"Perhitungan apa?"
"Kita nggak pernah bikin perkara sama anak sungai!"
"Heh, bukankah anak sungai sudah nggak ada?"
"Buktinya malam ini mereka ada!"
"Mungkin mereka reuni!"
"Ngapain reuni " Setiap saat mereka bisa reuni di sini!"
"Nggak bakal tanpa si anak dekil itu!"
3 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Anak dekil yang mana?"
"Yang suka ngejagain si Maisaroh!"
Tiba-tiba wajah mereka berubah tegang. Dada mereka berguncang hebat. Serempak mereka
mengisi lagi gelas-gelas dengan minuman. Bahkan meminta beberapa botol lagi. Lalu dengan kasar
mengusir para pelayan agar tidak mengusik acara mereka.
"Apa betul kita nggak pernah bikin perkara sama anak sungai?" Si Gesper Tengkorak menatap si
Kumis. "Kamu yakin?" Kini ia melirik ke si Cincin Batu.
"Maisaroh?" si Cincin hati-hati bicara.
"Ah, itu lagu lama. Mereka masih ingusan waktu itu!" Si Kumis membanting gelasnya ke meja.
"Lantas kenapa mereka nyari penyakit tadi?"
"Siapa tadi kecoa yang menghajarmu"! Anak setan?"
Si Kumis berdiri. Kedua lengannya bertumpu pada meja. "Kita cari jawabannya di Astana!"
"Ah, ngapain sih ribut sama anak kecil!" Si Cincin ciut nyalinya.
"Kenapa kamu!" hardik si Kumis. Dia menatap si Gesper lekat-lekat. "Kamu juga!" Lengannya
menggebrak meja. Si Cincin dengan berat hati mengikuti keinginan si Kumis. Hatinya merasa tidak enak. Sesuatu pasti
4 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
akan terjadi malam ini. Lalu dia teringat pada keberanian anak gondrong yang menghajar si Kumis
tadi. Siapa anak itu" Tak pernah dia melihatnya berkeliaran di jalan-jalan kota, seperti juga anak
dekil pemimpin anak sungai, selama sekian belas tahun belakangan ini, yang menurut kabar pergi
merantau ke kota. Apakah anak dekil itu ada hubungannya dengan lelaki gondrong tadi" Ah,
mustahil! Hati si Cincin semakin berdebar waswas ketika sesampainya di Astana ada beberapa bayangan
orang melebihi jumlah yang tadi dilihatnya di warung. Dia menghitungnya. Dua belas orang. Berarti
satu lawan empat. Lututnya gemetar.
Sang dewi malam begitu sedih. Dia hendak menangis melihat wajah buminya yang centang
perentang. Untung awan melindunginya, sehingga dewi malam yang jelita tak sempat menyaksikan
ulah anak -anaknya. Pekuburan kota ini betul-betul akan bergolak. .t
"Hmm, rupanya sudah direncanakan, ya!" Si Kumis pantang digertak. "Mana pemimpinnya!"
teriaknya. "Aku!" Mardi maju beberapa langkah. Dia menyuruh yang lainnya untuk melingkar.
"Rupanya kamu, Mardi!" Si Kumis bisa mengenali lelaki di depannya dalam suasana temaram.
"Sebetulnya ada apa, Mardi?" Si Cincin maju.
Kita nggak pernah bikin masalah sama kamu!" Si Gesper mencoba untuk tenang. "Tapi sekarang
kamu bikin masalah! Terutama sama anak sungai!"
Si Cincin meminta pendapat kawannya. Katanya ketakutan, "Ini malam pembalasan dari mereka. "
"Maisaroh?" Si Gesper kini semakin ciut.
5 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ya, Maisaroh! " Mardi mendengarnya tadi.
"Tapi itu kerjaan Endul!" Si Gesper menunjuk si Kumis.
"Apa" Aku" Ihim!" Si Kumis mencekal leher si Gesper.
"Ya, Endul! Aku cuma ikut-ikutan!" giliran si Cincin yang minta diampuni.
"Bedebah kamu, Engkos!" Si Kumis hilang kesabarannya. "Kalian semua bedebah!" Dia menyerang
Mardi. Akhirnya pembalasan itu pun tiba. Tiga jagoan pasar pun mengerang, merintih, dan bersimbah
darah dihukum oleh anak sungai atas perbuatannya terhadap Maisaroh. Bagi mereka hukum rimba
lebih efektif ketimbang hukum yang tertulis di buku tebal. Itu semua untuk yang makan sekolahan.
Tidak untuk mereka, anak sungai, yang milik semesta.
Mardi jadi sang algojo malam ini. Dia membeset satu telinga Endul untuk cendera mata. Menggores
wajah Ihim dan Engkos dengan pisau sehingga meninggalkan garis melintang di sepanjang pipi.
Bekas-bekas seperti itu tentu sebagai tanda, bahwa mereka pernah menjadi orang taklukan.
"Kalau masih ingin bikin perhitungan, kalian tau harus datang ke mana nyari aku!" Mardi menantang
mereka. "Atau kuundang saja kalian ke pernikahanku dengan Maisaroh. Besok malam. Di
penginapan!" Mardi menendang perut Endul untuk yang terakhir kali.
Ipul mendekati tubuh-tubuh yang menggeliat kesakitan itu. "Kalian masih ingat aku?" Wajah Endul
diangkatnya. "Aku, si penjaga Maisaroh!" bentaknya, dan diempaskannya tubuh itu ke tanah lagi.
"Kalau masih kudengar kalian mengganggu Maisaroh, anak sungai nggak akan tinggal diam!"
Mereka melangkahi para jagoan pasar yang teronggok bagai karung pasir. Tak berdaya, termakan
oleh perbuatannya sendiri. Rasa dendam lunas sudah malam ini.
6 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sang dewi malam menggeliat. Dia masih bisa mengintip di balik jubah awan. Lalu betul-betul
menangis melihat anak-anaknya yang selalu berselisih paham. Kapan anak-anakku hidup dalam
damai, bisiknya pada sahabatnya, bintang-bintang.
Malam yang membara kembali tertidur nyenyak.
Kereta api ekonomi berguncang lagi. Bunyi remnya berderit. Kini laju kereta mulai perlahan.
"Bapak turun di depan," pak tua itu mengambil sekeranjang buah-buahan. "Mau nengok cucu,"
katanya tersenyum bahagia.
Ipul tersentak. Dia merasa malu, karena selama ini tidak mempedulikan pak tua di sebelahnya.
"Ingat, cepat-cepat pulang ke kampung halaman daripada jadi gelandangan di kota!" Pak tua itu
tersenyum lagi. Ipul mengangguk dan balas tersenyum.
Kereta api yang sudah bobrok ini berjalan lagi. Ipul masih bisa melihat pak tua itu tersenyum dan
melambaikan tangan padanya. Ipul juga melakukan hal yang sama.
Laju kereta murah ini semakin cepat.
Kini seorang ibu tua duduk di sebelahnya, menggantikan tempat pak tua tadi. "Baru nengok
kampung halaman, Nak?" sapa ibu tua itu.
Ipul mengangguk. "Kerja di kota" Atau sekolah?"
7 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sekolah." "Hati-hati, ya, Nak, sekolah di kota itu," si ibu langsung menasihati seolah-olah ia anak lelakinya
yang nakal. "Suka banyak godaan. Terutama pergaulan bebas, perkelahian, dan narkotikanya.
Kalau Anak salah bergaul, wah, sanak saudara di kampung halaman akan kecewa sekali.
"Kasihan kan orangtua Anak, yang sudah susah-susah menjual sawah dan kerbaunya. Betul begitu
kan, Nak?" Ipul tidak mendengarnya. Dia terus saja melihat ke rumah-rumah dan tiang listrik yang berlarian
"Bulan madu ke mana, nih?" Ipul menyalami Mardi begitu akad nikah sederhana selesai.
Mardi tersenyum ke arah Maisaroh.
"Kami akan pindah ke desa, Pul," kata Maisaroh. Matanya berkaca-kaca. "Pulang ke kampung Mas
Mardi. Di sana kan Mas Mardi masih punya sawah warisan."
Mardi mengangguk -angguk.
Ipul memeluk bahu Maisaroh. "Aku bahagia sekali mendengarnya, Maisaroh."
Kamu akan terus ke mana?"
"Kembali ke kota."
"Nerusin kuliah?"
8 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Masih jadi wartawan, kan!"
"Bibirmu kenapa, Pul" Berkelahi sama siapa?"
"Sama musuh lama. Nostalgia-lah!"
Tawa pun meledak. "Imas datang, nggak?" Maisaroh mencari-cari.
"Aku sudah mengundangnya," Ipul kecewa sekali.
"Besok pulang naik kereta, kan, Pul?"
"Mungkin Imas ke stasiun besok!"
"Boyong aja Imas ke kota, Pul! Jadiin bini!"
"Husss!" Orang-orang tertawa lagi.
"Cinta kamu ditolak, kali, ya!"
"Heh, kamu!" 9 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mana mau Imas sama wartawan! Wartawan kan..."
"Heh, wartawan apa" Ayo, bilang!"
Ipul sudah pasrah kalau Imas akan melupakannya. Imas memang berhak menghukumnya. Dia tidak
bisa melakukan pembelaan apa-apa untuk hal ini. Mungkin yang terbaik adalah melupakan segala
sesuatu yang "dimiliki" dan "memiliki"-nya di kampung halaman.
Di stasiun pun pada saat menjelang keberangkatannya, Ipul sudah tidak berharap banyak Imas
akan datang. Walaupun dia berharap kejadian seperti sepuluh tahun yang lalu berulang. Saat itu
semua orang-anak sungai dan anak perumahan-mengantarnya ke stasiun. Kecuali Maisaroh, yang
raib entah ke mana. Sekarang, malah Maisaroh yang melepasnya pergi. Tak ada Agus dan Imas.
Ipul menyenderkan wajahnya ke kaca jendela kereta api. Dia begitu nelangsa. Tanpa diduga air
mata menelusuri pipinya. "Kenapa, Nak?" Ibu tua itu merasa prihatin.
Ipul menatapnya. Dia mengusap matanya yang basah. Dia berkata, atau mungkin cuma bergumam,
pada entah siapa, "Saya tidak punya siapa-siapa lagi sekarang."
Kereta terus melaju. Ipul kini merasa hidupnya sedang bermula di atas sebuah kereta api ekonomi.
*** tamat 10 Misteri Kamar Tersembunyi m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
11 Sengatan Satu Titik 5 2060 When The World Is Yours Section 2 Karya Yuli Pritania Kuncup Sebelum Berbunga 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama