orang yang penting. Tak peduli apakah itu merupakan bagian dari sifat mata
keranjangnya, tetapi aku merasa dia tidaklah main-main dengan ucapannya itu.
Artinya, meskipun yang diucapkannya itu sangat berlebihan kalau ditangkap
dengan rasio, tetapi bagi Gatot itulah penilaian subyektifnya, penilaian yang
diambil dari sudut pandangnya sendiri. Dan itulah yang menyentuh
perasaanku. Sentuhan perasaan itu membuatku jadi .agak terlena, sehingga kubiarkan
diriku dipeluk olehnya. Untungnya, sampai kami mencapai lantai dasar, tak ada
orang yang mencegat lift. Jadi, ketika pintunya terbuka barulah Gatot
melepaskan bahuku dari pelukannya. Tetapi tetap saja sebagian orang yang
menunggu di muka pintu lift sempat melihat kemesraan itu. Terus terang, aku
agak malu dipergoki seperti itu. Jangan-jangan mereka mengira aku dan Gatot
baru saja mencuri kesempatan untuk bermesraan di dalam lift tertutup itu.
Beberapa pengalamanku menunjukkan bahwa entah kebetulan entah tidak,
jika seseorang sedang mendapat sial, ada kemungkinan dia akan menerima
kesialan berikutnya. Dan itulah rupanya yang kualami pada siang hari itu. Hari
libur yang sebenarnya merupakan hari santaiku itu, menjadi hari yang tak
menyenangkan. Sebab waktu pintu lift terbuka dan lengan Gatot masih
melingkari bahuku, salah satu dari orang-orang yang menyaksikan adegan itu
tiba-tiba menegur Gatot. Dia wanita muda berwajah manis.
www.ac-zzz.tk "Mas Gatot?" Mendengar sapaan itu, Gatot menghentikan langkahnya. Begitupun aku. Kami
lalu mencari asal suara. Dan kulihat seorang perempuan muda yang
sebaya denganku. Rupanya, begitu melihat Gatot dia tidak jadi masuk ke
dalam lift. Dia menunggu kami keluar, lalu mendekat. Wajahnya bercahaya
oleh senyum manisnya. "Mas Gatot!" dia menyebut nama Gatot lagi. "Rini," kudengar Gatot membalas
sapaannya, namun berbeda dengan wanita itu, tak ada senyum di wajahnya.
. Sedangkan aku begitu mendengar nama itu disebut, perhatianku langsung
tercurah kepada perempuan itu. Aku teringat cerita Tina bahwa Gatot pernah
berpacaran dengan gadis bernama Rini. Inikah gadis yang diceritakannya itu
ataukah hanya namanya saja yang kebetulan sama"
Dalam waktu singkat aku dan Gatot sudah ber?diri berhadapan dengan gadis
itu. Entah dia bekas pacar Gatot entah bukan, tanpa mauku aku mulai
memperhatikan wajah dan keseluruhan dirinya un?tuk kubanclingkan dengan
Tina. Wajahnya memang manis sekali. Lesung pipinya menambah daya tariknya.
Bentuk tubuhnya juga termasuk indah. Tetapi kalau dibanding Tina, gadis itu
masih kalah. Yang menang hanya caranya merias diri dan memantas pakaian.
Dan kelihatannya, apa yang dikenakannya itu merupakan barang?barang
pilihan. Termasuk tas yang di bahunya yang bermerek terkenal buatan
Prancis. Sama seperti sepatunya. Belum Iagi arloji dan perhiasan yang
dipakainya. Aku yakin, dia pasti anak orang kaya.
Tetapi meskipun serba "wah", kulihat apa yang
menempel pada gadis itu tidak tampak berlebihan. Semua serba pas berada di
tempatnya. Dan tampak modis .. Dia tahu betul barang-barang yang berkelas
dan bagaimana mengenakannya dengan tepat.
Sebaliknya Tina, sebagaimana juga dengan diriku, mempunyai selera yang
sama. Tidak pernah memedulikan merek. Tidak pemah memperhatikan mahal
atau murahnya barang yang menempel pada kami. Juga tidak peduli apakah
atribut itu akan menaikkan gengsi atau tidak. Pola pikir seperti itu bukan saja
karena kami terbiasa hidup apa adanya, tetapi juga karena orangtua kami
bukan orang yang berkelebihan. Dan lebih dari itu, mereka tak pernah
memberi contoh apalagi mendidik kami untuk menggarisbawahi harga diri atau
gengsi dengan mengaitkan diri pada materi. Mereka mengajarkan kami hal-hal
yang lebih bernilai, yang tidak bisa dicuri dati kami, yaitu budi pekerti,
pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat substansial.
www.ac-zzz.tk "Dengan siapa, Mas?" Rini menegur Gatot lagi, tetapi pandang matanya
menghunjam ke arahku. Karena tidak ditanya, aku diam saja meskipun keberadaanku di dekat Gatot
disinggungnya. Namun aku sadar, gadis itu dipenuhi oLeh rasa ingin tahu yang
begitu pekat. Matanya menelusuri tubuhku sehingga aku sadar dia merasa
tersaingi olehku. Siang itu aku memang memakai setelan celana panjang dan
blus pendek berwarna oranye muda dengan sepatu dan tas senada yang
membuat kecantikanku tambah menonjol. Memang bukan barang mahal, tetapi
tampak serasi dan pantas membalut tubuhku. Cermin di kamarku tadi telah
mengatakannya padaku. "Dengan ... dengan ... seseorang yang akrab denganku," kudengar Gatot agak
kerepotan menjawab pertanyaan Rini. Aku tahu, Iaki-laki itu takut aku akan
membantah perkataannya di depan Rini, dan membuatnya merasa malu.
"Apakah gadis ini yang kauceritakan padaku waktu itu, Mas?" Rini bertanya
lagi. Pandang matanya menusuk ke arahku.
Entah apa yang pernah dibicarakan oleh kedua orang itu, aku tidak mengerti.
Dan gadis mana yang disinggung oleh Rini, aku juga tak tahu. Tetapi yang
pasti, aku melihat kepala Gatot mengangguk, membenarkan pertanyaan Rini.
Kalau saja aku tidak ingat bahwa kami bertiga berada di tempat umum dan
kalau saja aku tidak mau menenggang perasaan Gatot, sudah pasti aku akan
menuntut penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan "gadis" yang
diceritakan Gatot kepada Rini dan apa pula makna "ya" yang diperlihatkan
olehnya tadi. Sebab tampaknya, aku terkait di dalam pembicaraan mereka.
"Cantik sekali. Dan sangat menawan," kudengar Rini bergumam sambil terus
meneliti wajah dan penampilanku. Namun aku menangkap tatapan tak tulus di
matanya. "Kau jalan dengan siapa, Rin?" kudengar Gatot mengubah pembicaraan
tentang diriku. Tahu diri juga dia, pikirku. "Kaupikir aku akan jalan dengan
siapa?" Rini malah membalikkan pertanyaan kepada Gatot.
"Mana aku tahu, Rin," Gatot menjawab sabar.
"Sudah lama sekali kita tidak bersama-sama."
Mendengar tanya-jawab itu dugaanku semakin kuat. Gadis di hadapanku ini
adalah Rini, bekas pacar Gatot. Maka perasaan sedang sial itu pun melanda
hatiku. Sebab pikiranku 1angsung saja melayang kepada hal-hal yang
semestinya bukan urusanku dan tidak perlu pula kupikirkan. Misalnya, ketika
aku melihat bibir Rini yang mungil, serta?merta aku bertanya-tanya, sudah
berapa puluh kalikah bibir itu dikecupi oleh Gatot dengan cara seperti yang
www.ac-zzz.tk pernah dilakukannya padaku malam itu" Jadi, bukankah hari ini hari yang sial
buatku" "Kaupikir mudah ya mencari kekasih baru yang cocok?" Rini menjawab
pertanyaan Gatot tadi dengan gumaman. Matanya melirik tajam ke arah
Gatot. Mendengar pembicaraan kedua orang, aku 'memilih diam. Caraku bersikap jadi
seperti patung. Tetapi kesadaranku tetap penuh sehingga aku tahu betul
bagaimana Gatot menjadi risi oleh perkataan Rini barusan. Kentara dari
pandangan mata, sikap dan ketidakmampuannya menanggapi perkataan Rini
itu. Barangkali Rini merasa juga bahwa kehadirannya membuat perasaan Gatot
jadi tidak nyaman. Ia melirik arlojinya yang mahal.
"Silakan lho kalau mau melanjutkan belanja," katanya. "Kapan-kapan aku akan
mampir ke kantormu untuk melanjutkan obrolan kita. Boleh kan, Mas?"
"Boleh saja." "Nah, sampai di sini dulu ya," kata Rini lagi.
Kemudian dia menyapaku, sapaan pertama yang ditujukan khusus kepadaku.
"Ayo, Mbak." "Silakan," aku membalas sapaannya. Sampai gadis itu pergi, sepatah kata pun
tidak ada tanda?tanda dari pihak Gatot untuk memperkenalkan aku dengan
Rini, Entah lupa entah disengaja, aku tak tahu. Tetapi ah, untuk apa aku
repot-repot memikirkannya.
"Ayo, Ambar ... ," begitu Rini menghilang di antara orang banyak, kudengar
Gatot berkata di dekat telingaku. Tangannya menggamit lenganku
Sekarang karena tidak ada orang lain, aku bisa melampiaskan apa yang ada di
hatiku dengan lebih leluasa. Lenganku kurenggut dari pegangan Gatot.
"Ayo ke mana?" bentakku kemudian. "Aku masih belum mau pergi dari tempat
ini. Apalagi bersamamu!"
"Lho kok marah?" Gatot memicingkan matanya ke arahku. "Kalau kau belum
mau pulang sekarang atau masih ada keperluan lain, ya silakan saja. Aku akan
menemanimu sampai urusanmu selesai!"
"Aku tidak memintamu untuk menemaniku. Aku juga tidak suka kautemani.
Jadi tolong tinggalkan aku sendiri!" Aku membentak lagi.
"Tetapi, Ambar, rumah kita kan bersebelahan.
Aku membawa mobil dan kau tidak. Aku juga tidak punya acara lain. Jadi,
berjalan-jalan bersamamu begini merupakan sesuatu yang pasti akan
menyenangkan. Sebab mana enak sih jalan-jalan sendirian?" Sekali lagi Gatot
memicingkan matanya, "Lagi pula kalau Bu Joko tahu kita ketemu di sini dan
www.ac-zzz.tk aku tidak mengajakmu pulang bersama, pasti aku akan dianggapnya tak punya
perasaan." Merasa apa yang dikatakannya tidak salah, aku terpaksa mengakhiri acara
jalan-jalan itu dengan membeli sebuah lipstik warna baru yang dijual di salah
satu pojok tempat penjualan kosmetik dan perhiasan imitasi. Aku tidak suka
ada yang orang yang mengekor di belakangku. Membeli sepatu seperti yang
kuinginkan tadi, bisa kulakukan kapan?kapan saja.
"Nah, ke mana lagi?" Gatot bertanya dengan sabar sesudah aku membayar
dan menyimpan benda yang baru saja kubeli itu ke dalam tasku.
"Tidak ke mana-mana lagi," aku menjawab ketus.
" Jadi, sudah ... ?" "Ya."
"Tetapi bagaimana kalau sebelum pulang kita mengisi perut lebih dulu?" usul
laki-laki itu sambil melirik ke arahku. "Perjalanan dari sini ke rumah jauh lho.
Aku tak mau mati kelaparan di jalan."
Karena perutku sudah lapar dan karena memang sudah waktunya makan siang,
aku terpaksa mengiyakan. "Terserah," sahutku menerima ajakannya, Gatot tersenyum manis.
"Enak kan suasananya kalau kau tidak lagi terus-menerus membantah,
membentak-bentak, dan melarikan diri dariku," katanya kemudian. "Apalagi
aku ini 'benar-benar sehat lho, jadi kalau melihatku jangan lari terbirit-birit
lagi seperti melihat orang yang berpenyakit menular menyeramkan!"
Aku tidak menanggapi perkataan Gatot. Tetapi langkah kakinya kuikuti ketika
dia turun ke lantai bawah dengan mempergunakan eskalator. Di basement
banyak kios yang menjajakan pelbagai macam makanan dan minuman,
berjajar-jajar, dengan foto-foto makanan dan minuman yang ditawarkan
berikut harganya. Tetapi karena sedemikian banyaknya tawaran, aku jadi
bingung mau memilih apa. "Mau makan apa?" tanya Gatot.
Aku memilih yang mudah dan cepat tersaji supaya bisa cepat pulang ke rumah.
Maka aku memilih masakan Padang. Nasinya separo saja, tetapi Jauknya
macam-macam. Kupilih rendang hati sapi, gulai otak, sayur daun singkong, dan
dendeng balado yang tipis renyah itu. Kulihat, Gatot juga memilih makanan
Padang. Memang praktis dan cepat tersaji. Tinggal memilih yang sudah
terpajang saja. Tidak usah menunggu dimasak dulu. Dan yang penting, lezat
rasanya. "Karena yang kupilih mahal-mahal, aku akan membayar sendiri apa yang akan
kumakan ini," kataku kepadanya.
www.ac-zzz.tk "Aku yang mengajakmu makan, maka aku yang akan membayar," Gatot
menjawab dengan tegas. "Kau sudah beberapa kali membayariku makan.
Aku tidak enak." "Kalau begitu, kesempatan mendatang kau yang
membayari. Oke?" , "Tidak akan ada lagi kesempatan untuk itu.
Camkanlah!" aku menjawab perkataannya dengan suara tajam.
Aku tidak ingin bersitegang otot leher lagi. Jadi dari situ aku segera
memesan es cincau hijau. Tetapi lagi-lagi Gatot meniru pilihanku. Dan juga
membiarkan aku yang memilih meja. Di atas meja itulah kuletakkan tanda
bertuliskan nomor kios tempat penjualan minuman es cincau hijau tadi.
Tetapi sungguh, kesialanku rupanya belum habis.
Baru saja aku duduk, mataku menangkap Rini yang sedang duduk sendirian di
sudut, menanti pesanannya. Ada nomor di mejanya. Sialnya, dia melihat
kehadiran kami. Dan lebih sial lagi, ia langsung berdiri sambil membawa nomor
pesanannya, dan langsung ia letakkan di atas meja kami.
"Boleh aku ikut bergabung, kan?" katanya sambil duduk. "Tidak enak makan
sendirian!" "Silakan." Karena Gatot diam aja aku terpaksa menjawab pertanyaan Rini
walaupun perasaanku tak suka. Sebab bagaimana mungkin menolak
permintaannya karena dia sudah langsung duduk di tempat kami. Mana
mungkin aku mengatakan "jangan" meskipun hatiku ingin mengusirnya.
Gatot tetap tidak memberi tanggapan apa pun.
Hanya saja dari pandang matanya aku melihat ketidakpedulian dan
ketidaksukaan yang amat kentara. Ah, laki-laki itu memang pandai membuat
orang merasa jengkel. Aku yakin Rini pasti juga merasakan hal yang sama.
Kehadirannya di meja kami ditanggapi oleh Gatot dengan sikap dingin dan
acuh tak acuh. Kalau mata lelaki itu bisa bicara pasti mereka sudah menyuruh
Rini kembali ke tempat duduknya semula.
Suasana menjadi kurang enak sampai akhirnya es cincau pesanan kami datang,
hampir bersamaan dengan datangnya makanan yang dipesan Rini. Untuk
mencairkan suasana, es cincau itu langsung kuminum dan kusendok.
"Mm, ini rasanya lebih enak daripada di tempat lain," komentarku, entah
kutujukan kepada siapa. "Ada wangi daun jeruk."
Belum ada tanggapan sampai akbirnya Gatot yang juga memesan minuman yang
sama memberi komentarnya.
www.ac-zzz.tk "Ya, ini memang lebih enak, Rasa daun jeruk purut ini berasal dari santannya,"
katanya kemudian. Karena Rini memesan minuman di tempat lain, Ia tidak bisa ikut memberi
komentar. Tetapi meskipun demikian suasana tegang yang ada di sekitar kami
jadi mulai terasa agak mencair. Kulihat Rini menyesap es jeruknya pelanpelan. Kemudian dengan sikap wajar yang berhasil ditampilkannya dia mulai
bicara lagi. 'Waktu kita berjumpa tempo hari, kau bilang rumahmu sudah pindah,"
katanya kepada Gatot. "Memang." "Menyewa kamar saja atau mengontrak rumah lagi?"
"Aku membelinya."
"Wah, hebat. Sukses rupanya kan sekarang ya, Mas?"
"Untuk membelinya aku meminjam uang orang?tuaku kok," sabut Gatot tanpa
menoleh barang sekilas pun kepada Rini.
"Belum juga mampu mandiri?"
. "Hampir," Gatot menjawab pelan. "Uang yang kupinjam dari orangtuaku
sudah hampir lunas."
"Jadi benar kan kalau kukatakan tadi bahwa kau sudah sukses sekarang.
Kariermu sudah maju begitu kok."
"Hidup ini perjuangan, kan?" lagi-lagi Gatot menjawab dengan kalem. "Tujuh
tahun bekerja masa iya tidak ada kemajuan."
"Bolehkah kapan-kapan aku main ke rumahmu"
Hari masih tinggalbersamamu?" Rini bertanya lagi.
"Ya, Hari masih tinggal bersamaku," Gatot menjawab tanpa menyinggung
permintaan Rini yang ingin berkunjung ke rumahnya.
Dari Tina, aku pernah 'mendengar bahwa Gatot memutuskan hubungannya
dengan Rini karena gadis itu terlalu banyak menuntut perhatian. Aku tidak
tahu begitu banyak karena Tina pun tidak begitu banyak memberiku
informasi. Yang jelas, kedua insan itu merasa tidak cocok satu sama lainnya.
Tetapi entah kenapa, aku melihat seperti apa yang juga pernah diceritakan
oleb Tina, bahwa Rini tampaknya gagal menjalin bubungan cinta dengan lakilaki lain dan sekarang mulai menyesali putusnya dia dengan Gatot.
"Mas, apakah kau masih suka membaca, berolahraga dan mengikuti kursus iniitu daripada menemani kekasih jalan-jalan?" Rini bertanya lagi. Dan kemudian
tiba-tiba ia mengalihkan pertanyaannya kepadaku, "Dan bagaimana denganmu,
Mbak" Apakah sebagai kekasih Gatot, kau juga sering dinomorduakan
olehnya?" www.ac-zzz.tk
Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tertegun. Rupanya, Rini mengira aku kekasih Gatot. Dan itu baru kusadari
sekarang, karena dari tadi pikiranku terkait kepada Tina sebagai kekasih
lelaki itu. Akibatnya, aku sama sekali tidak siap menjawab pertanyaan Rini
tadi. Lagi pula aku masih belum tahu harus berdiri di mana. Membela Gatot
atau membela Rini. Dan aku juga tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Tina
seandainya dia yang mendapat pertanyaan dad bekas kekasih Gatot itu.
Untungnya Gatot menyadari kesulitanku. Dengan cepat ia mengoper
pembicaraan demi melihatku tertegun-tegun seperti itu.
"Pengalaman lalu telah mengajar aku untuk belajar menjadi orang yang lebih
baik dan lebih peka menangkap kebutuhan orang lain," katanya. "Nah, sebelum
kita melanjutkan acara makan ini ada sesuatu yang telah kita lupakan. Sejak
bertemu tadi kalian berdua belum berkenalan, kan?"
Hm, Gatot mulai lagi melepaskan diri dari percakapan yang menjurus ke
masalah pribadinya. "Ya, kami memang belum berkenalan." Rini menjawab sambil mendorong gelas
es jeruknya ke samping. Kemudian tangannya terulur ke arahku. "Namaku Rini.
Astarini, lengkapnya."
Uluran tangannya kusambut. Mata kami bertemu.
Dan aku pun merinding. Ada sinar kebencian dan bahkan seperti dendam yang
tersiar dari kedua bola matanya. Rupanya apa yang Tina ceritakan padaku ada
benarnya. Sebenarnya Rini masih ingin kembali kepada Gatot
"Aku, Ambar!" Kusingkirkan perasaan tak enak tadi dari hatiku. Aku toh
bukan saingannya. Gatot bukan apa-apaku. "Lengkapnya Niken Ambarwiyati."
"Nama Jawa banget."
"Aku memang orang Jawa meskipun sejak kecil sudah tinggal di Jakarta dan
tidak pernah tinggal lama di Jawa Tengah atau pun di Jawa Timur."
"Aku pernab rnembaca tentang kebudayaan Jawa.
Babwa orang Jawa itu menyukai dan mengusabakan harmoni atau keselarasan
yang dituangkan dalam sikap rukun dan hormat. Kedua sikap ter ebut menjadi
kaidah yang paling menentukan pola per?gaulan dalam masyarakat Jawa.
Selain itu juga mereka rnenekankan rasa isin, atau rasa malu. Jadi jangan
bikin malu keluarga atau kelompok, haru punya rasa tak enak, dan seterusnya.
Nah, apakah juga demikian sikap hidup yang kaupegang, Mbak?"
Sekali lagi aku tertegun. Aku orang Jawa, memang, Tetapi tentang dua kaidah
itu aku tak tahu benar. Kedua orangtuaku dan bahkan kakek-nenekku tak
pernah mengajariku demikian, Namun demikian setiap aku menginap di Solo
tempat kakek-nenekku tinggal, aku selalu memperhatikan cara orang Jawa
bercakap-cakap. Bahasa yang mereka pergunakan mempunyai tingkat
www.ac-zzz.tk kehalusan yang berbeda-beda dengan penggunaan yang berbeda?beda pula,
tergantung kepada lawan bicaranya. Dengan orang yang lebih tuakah, atau
dengan atasankah, dengan orang yang harus dihormatikah, atau dengan orang
yang baru dikenal dan seterusnya. Atau sebaliknya, dengan mereka yang lebih
mudakah, dengan bawahankah, atau pula dengan yang setara, yang sebaya, dan
dengan saudara atau teman akrab. Pendek kata, meskipun aku orang Jawa
tetapi masih saja sering merasa heran menyaksikan bagaimana mereka bisa
mempergunakan tingkat bahasa yang tepat dengan sendirinya. Tetapi
sekarang sesudah Rini mengatakan ada kaidah yang menentukan pola
hubungan antar manusia, yaitu sikap rukun dan hormat, tiba-tiba saja mataku
mulai terbuka. Bahwa karena adanya pemakaian tingkatan bahasa itulah maka
muncul perasaan sungkan, rasa segan, hormat, dan menenggang perasaan
orang lain yang dengan sendirinya membentuk situasi yang harmoni.
Sedangkan nilai kerukunan sudah pasti membawa rasa damai. Dan otomatis
pasti harmonis. Berpikir seperti itulah baru aku bisa menjawab perLanyaan Rini tadi.
"Memang harmoni merupakan sesuatu yang harus dicapai oleh orang Jawa
meskipun itu tidak diucapkan secara jelas atau secara terang-terangan dalam
didikan keluarga. Babkan juga mungkin tanpa yang bersangkutan menyadari.
Misalnya, bagaimana hidup ini harus mengalir seperti air. Menghanyutkan diri
tanpa harus terhanyut, dan semacam itu. Dengan kata lain, hidup ini tidak
untuk dipersoalkan tetapi untuk dijalani. Kalau dalam aliran kehidupan ini kita
tersandung sesuatu, maka dicarilah sikap-sikap kompromis demi menghindari
gesekan-gesekan yang mengganggu harmoni." Begitu aku menjawab sekenaku.
"Sedangkan sikap hormat, sikap rukun, dijabarkan dalam rasa sungkan, tahu
menenggang rasa, menjaga rasa malu, menghindari konflik, termasuk konflik
batin. Meskipun tidak diucapkan secara nyata oleh para pendidik, kami selalu
diarahkan untuk tidak melanggar hal itu."
"Aku akan menambahi apa yang dikatakan oleh Ambar," Gatot menyela
bicaraku sambil memandang ke arah Rini. "Orang Jawa mendidik anak tidak
secara khusus bahwa kami harus begini atau begitu, kecuali kalau memang itu
perlu. Tetapi dengan peragaan konkret yang mereka perlihatkan dalam hidup
keseharian. Nah, kurasa mengenai budaya Jawa itu dicukupkan sampai di sini
saja. Lagi pula kenapa sih kau tiba-tiba saja membahas paham Jawa?"
Rini tersenyum manis. Lesung pipi dan giginya yang sehat tertata rapi itu
tampak menawan. Dan secara tak kusangka-sangka aku merasa tidak nyaman.
Aku ingin sekali Gatot tidak melihat keindahan di hadapannya itu. Entahlah
mengapa timbul perasaan seperti itu. Dan entah pula perasaan itu muncul
www.ac-zzz.tk demi Tina atau demi diriku sendiri, masih baur. Dan yang tidak baur hanyalah
perasaan marah terhadap diriku sendiri. Kenapa aku harus merasa terganggu
hanya karena melihat senyum Rini, yang memesona, yang mungkin pemah
membuat Gatot tergila-gila,
Dengan perasaan tertekan, aku mencoba untuk duduk dengan tenang sambil
tetap berusaha menikmati nasi Padang di hadapanku.
"Belakangan ini aku memang amat tertarik pada segala sesuatu mengenai
Jawa. Mungkin karena kau orang Jawa ya, Mas." kudengar Rini menjawab
pertanyaan Gatot. Dan kulihat dia tersenyum lagi dengan pesona lesung di
pipinya itu. "Sayangnya sudah terlambat. Kenapa itu tidak kupelajari
dulu?dulu sewaktu kita masih bersama. Maaf lho, Ambar. Aku ini suka
berterus terang dan berkata apa adanya."
"Terkadang keterusterangan lebih baik daripada apa-apa yang disembunyikan
walau dengan dalih yang sangat beralasan sekali pun," sahutku mencoba
bersikap bijak sambil meletakkan sendok. lsi piringku sudah nyaris habis.
Cuma tersisa beberapa sendok nasi, tapi perutku sudab tidak muat lagi.
"Tetapi orang Jawa terbiasa diarahkan untuk pandai-pandai menutupi
perasaan sebenarnya demi menjaga keselarasan atau harmoni, Namun
menurutku, di zaman sekarang, di mana kita hidup bersama masyarakat yang
semakin majemuk, untuk kasus-kasus tertentu atau untuk situasi tertentu,
hal itu sudah tidak cocok lagi. Keterusterangan juga mempunyai nilai positif.
terutama kalau itu bertujuan menghindari konflik yang malah bisa
membahayakan keselarasan."
"Syukurlah kalau kau bisa mengerti itu, Ambar."
Rini menganggukkan kepalanya Makanan di dalam piringnya juga sudah babis.
"Itulah mengapa aku selalu bicara secara spontan dan mencetuskan apa saja
yang kurasakan agar orang yang kuajak bicara dapat menentukan sikap karena
sudah mengetahui pijakan atau letak pendirianku."
Gatot yang sudah sejak tadi menghabiskan isi piringnya tampaknya merasa
jemu mendengar percakapan Rini denganku. Dia melihat ke arah arlojinya.
"Sudah siang," katanya. "Sore nanti akan ada acara dengan teman-teman
sekantorku." ,Aku juga sudah ingin pulang," sahutku, ikut?ikutan melirik arloji, Memang
sudah jam dua siang. Setelah menghabiskan minuman masing-masing, aku mulai berdiri. Disusul oleh
Gatot. "Nah, sampai ketemu lagi ya?" kataku kepada Rini.
www.ac-zzz.tk "Ya." Rini meraih tasnya dan menggantungkannya kembali ke bahunya. "Eh,
kalian naik apa?" "Naik mobilku," Gatot yang menjawab.
"Boleh aku ikut sampai di tempat yang paling dekat dengan arah jalan ke
rumahku?" tanya Rini. Kemudian dia menoleh ke arahku. "Boleh kan, Mbak?"
"Tanyakan kepada yang mempunyai mobil.
Jangan kepadaku." "Ayolah," akhirnya Gatot berkata. Kudengar nada terpaksa dalam suaranya.
Mungkin Rini juga merasakannya, tetapi tampaknya gadis itu tidak peduli.
Dengan perasaan tak enak, aku terpaksa jalan beriringan bertiga menuju
tempat parkir. Ah, alangkah enaknya kalau aku bisa pulang dengan bus Patas
seperti ketika berangkat tadi. Lebih bebas dan perasaanku tidak tertekan
seperti saat ini. Sebab sungguh tak enak rasanya berada di antara dua orang
yang dulu pernah menjadi sepasang kekasih itu.
Waktu Rini melihat mobil Gatot yang masih baru dan tampak mengilat itu, dia
mendecakkan mulutnya. "Wah, kau memang benar-benar sudah menunjukkan kemajuan lho, Mas!"
begitu dia memberi komentar sambil mengelus-elus bodi mobil Gatot selama
beberapa saat lamanya. "Selamat ya" Dan kau, Mbak Ambar, sungguh
beruntung mengenal Mas Gatot sudah seperti sekarang. Dulu, dia itu keras
kepala. Orangtuanya kaya tetapi tidak mau memakai fasilitas yang ada. Ke
mana-mana naik motor yang sudah butut, sampai kami berdua dulu pernah
basah kuyup ketika hujan turun tiba-tiba.;'
Aku tak tahu harus memberi sahutan apa atas komentarnya itu. Karenanya
aku hanya tersenyum saja meskipun sebenarnya aku tidak ingin tersenyum.
Tetapi untungnya Gatot segera mengambil alih pembicaraan.
"Berani hidup ya harus berani berjuang," katanya tanpa senyum. "Masa iya
hanya karena punya orangtua kaya lalu mau enak-enakan saja. Kekayaan kan
tidak abadi. Nah, sudahlah, ayo kita segera naik."
Sambil berkata seperti itu, diam-diam aku merasa Gatot mendorong tubuhku
agar aku duduk di depan, di samping pengemudi. Semula aku ingin
mernbantahnya. Tetapi kubatalkan ketika ingatanku lari kepada Tina. Pikirku,
meskipun aku ingin memisahkannya dari Gatot, tetapi itu bukan karena
kehadiran orang ketiga. Apalagi kalau orang ketiga itu bekas pacar Gatot.
Jadi, aku harus duduk di depan, di samping Gatot.
Karena berpikir seperti itu akhirnya aku menuruti keinginan lelaki itu. Tetapi
di sepanjang perjalanan aku tidak lagi banyak bicara karena Gatot juga lebih
banyak berdiam diri. Kelihatan sekali kalau dia tidak menyukai kehadiran Rini,
www.ac-zzz.tk Ketika akhirnya Rini minta diturunkan di suatu tempat, Gatot langsung
menurutinya. Sama sekali tidak ada basa-basi padanya. Misalnya menawari
Rini untuk mengantarkan sampai ke rumahnya. Atau apa ajalah asal tidak
bersikap sekaku itu. Aku jadi merasa kasihan pada gadis itu.
"Dari sini naik apa?" tanyaku untuk menunjukkan perhatianku padanya.
"Akan kuteruskan dengan taksi."
"Mobilmu yang bagus itu di mana?" Gatot menyela. Rupanya ada juga rasa
ingin tahu yang muncul di hatinya.
"Dipakai ibuku."
"Mobil di rumahmu kan banyak. Yang lain dikemanakan ?"
"Sudah dijual untuk tambahan modal usaha ayahku. "
"Kok bisa ... ?"
"Tentu saja bisa. Memangnya orang itu harus sukses terus?" Suara Rini
terdengar kaku. Kemudian dengan terburu-buru dia membuka pintu mobil dan
segera keluar. Kelihatan sekali dia tak mau berbicara tentang keadaan
keluarganya. Tetapi begitu berada di luar dia mendekati jendela di samping
kanan Gatot sehingga laki-laki itu menurunkan kacanya. "Aku minta kartu
namamu dong. " Tanpa berkata apa pun Gatot segera mengeluarkan kartu namanya dari
dompetnya dan mengulurkannya ke arah Rini yang langsung menyimpannya
dengan hati-hati. Kemudian, gadis itu menoleh ke arahku.
"Aku juga minta kartu namamu," katanya kepadaku. "Supaya perkenalan kita
tidak berhenti di sini saja. Kecuali kalau kau tak suka berteman denganku."
Karena kata-kata terakhirnya itu aku terpaksa memberi kartu namaku juga
meskipun tadinya aku ingin berkata tidak membawanya andai dia memintanya.
Tetapi hati nuraniku tak mengizinkan aku berdusta.
"Oke, kutinggal ya Rin!" Gatot menyela tak sabar. "Aku harus cepat tiba di
rumah." "Baiklah. Kapan-kapan kita lanjutkan lagi obrolan kita, Nah, terima kasih ya,
Mas," sahut Rini sambil melambaikan tangannya. Tetapi ketika mobil mulai
bergerak maju, tiba-tiba gadis itu berteriak lagi. "Hei, ternyata rumah kalian
bersebelahan, ya?" Baik aku maupun Gatot tidak mau memberi komentar atas penemuan Rini
sewaktu dia membaca kartu nama kami. Tetapi begitu kecepatan mobil sudah
memasuki kecepatan yang normal, aku menoleh ke arah Gatot.
"Lain kali jangan kauikutsertakan aku ke dalam obrolan kalian," semburku.
"Dan jangan pernah lagi membiarkan kesan pada siapa pun, terutama kepada
www.ac-zzz.tk Rini, seolah aku ini kekasihmu. Lebih?lebih kalau tujuannya untuk
membangkitkan perasaan cemburu kepada bekas kekasihmu tadi!"
"Wah, begitu saja marah," sahut Gatot kalem.
"Kenapa sih kau jadi pemarah begini" Padahal kata Tina, kau bukan seorang
pemarah, bahkan sabar dan penuh pengertian."
"Berada di dekat orang yang tak punya perasaan seperti dirimu siapa pun akan
jadi pemarah!" "Tak punya perasaan bagaimana sih" Aku justru sejak tadi terlalu dipenuhi
oleh perasaan bangga. Tidakkah kau mempunyai sedikit saja kerelaan untuk
membiarkan rasa bangga itu bermegah-megah di hatiku?"
"Bangga apanya?" Kukerutkan dahiku.
"Bangga bahwa Rini dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa sekarang
aku telah mendapatkan banyak kemajuan dalam hidupku. Terutama seorang
kekasih yang lebih baik segalanya," masih saja Gatot berkata dengan kalem.
Seolah sedang membicarakan acara teve yang membosankan. Padahal dia
telah menyangkutkan nama baikku.
Tentu saja aku jadi marah. Apalagi dia memperlakukan diriku sebagai
kekasihnya di hadapan Rini.
"Sudah kukatakan tadi, jangan memperlakukan diriku sebagai kekasih barumu
di hadapan bekas kekasihmu itu!" aku mulai menyemburkan kemarahanku.
"Sejak tadi kau menyinggung tentang bekas kekasihku. Memangnya siapa yang
mengatakan bahwa Rini itu bekas kekasihku?"
Aku tertegun mendengar pertanyaan itu. Bukankah dugaan itu awalnya dari
ingatan tentang percakapanku dengan Tina beberapa waktu yang lalu"
"Tidak ada yang memberitahu aku," sahutku kemudian dengan terburu-buru.
Aku tidak ingin Gatot mengetahui bahwa aku dan Tina pernah membicarakan
dirinya. "Aku hanya menduga-duga saja. Apalagi Rini sendiri telah memberi
kesan seperti itu di dalam pembicaraan tadi. Apakah aku salah?"
"Tidak. Rini memang bekas kekasihku." Gatot melemparkan pandang matanya
ke arahku beberapa detik lamanya.
"Dan kau masih menaruh perhatian khusus terhadapnya, kan?"
"Itu urusanku, Ambar."
"Itu juga urusanku!" aku memberuak, "Kau akan menerima balasan dariku
kalau sampai menyakiti perasaan adikku. Aku memang ingin memisahkan
hubungan kalian berdua. Tetapi dengan caraku. Bukan karena hadirnya orang
ketiga!" "Tina sudah tahu mengenai Rini!"
www.ac-zzz.tk "Tetapi pasti tidak tahu bahwa kau masih memperhatikan bekas
kekasihmu.itu dengan cara membuatnya cemburu!" aku menyembur lagi.
"Kalau memang begitu, seharusnya kau merasa senang, kan?" Gatot
melemparkan lagi lirikan matanya.
"Itu betul. Tetapi seperti sudah kukatakan tadi, aku punya cara lain tanpa
menyakiti perasaannya. Yaitu dengan cara membuka matanya agar dia melihat
seperti apa kau sebenarnya."
"Jadi artinya, kau masih belum menceritakan kepadanya mengenai peristiwa
di Ancol itu, kan?" Sekali lagi Gatot melemparkan lirikan matanya kepadaku.
Ada godaan dalam suaranya.
Aku tak bisa menjawab perkataannya dengan seketika. Tetapi pipiku jadi
panas rasanya begitu mendengar perkataan yang mengandung godaan itu.
Melihat pipiku yang pasti berwarna kemerahan itu, Gatot tersenyum,
"Kenapa peristiwa indah malam itu belum juga kaukatakan kepada Tina agar
adikmu itu tahu bahwa aku ini seorang laki-laki yang mudah tergiur oleh
kecantikan seseorang?" Gatot menggangguku lagi dengan suaranya yang
menggoda itu. "Pasti di suatu ketika nanti aku akan mengatakannya," sahutku jengkel sekali.
"Kenapa tidak sekarang saja" Bukankah semakin cepat Tina mengetahuinya
Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan semakin baik jadinya. Sebab apa yang akan diketahuinya itu bisa
memisahkan dia dariku." Lagi-lagi Gatot memperdengarkan suaranya yang
mengandung godaan, membuat rasa jengkelku semakin menjadi-jadi. "Ataukah
karena kau merasa malu?"
"Kenapa aku hams merasa malu?" aku membentak.
"Ya, . siapa tahu, kan"' Gatot menjinjitkan alis matanya, menampilkan wajah
seperti orang yang tak berdosa. "Sebab kalau kuingat-ingat apa yang kita
alami itu, sebenarnya kau juga ... "
"Cukup!" terburu-buru aku memotong perkataan Gatot. Wajahku seperti
terbakar rasanya. Panas sekali. Aku sudah tahu apa yang kira-kira akan
dikatakan oleh Gatot tadi. Bahwa sebenarnya kesalahan itu tidak seluruhnya
ada pada dirinya. Sebab ketika peristiwa itu terjadi, selama beberapa waktu
lamanya aku telah membiarkannya menciumi dan membelai diriku. Bahkan aku
sempat pula membalas pelukan dan kemesraannya.
Mendengar aku memotong perkataannya, Gatot menggumamkan suara tawa
yang enak didengar dan mengusap alat pendengaranku. Lembut, dalam dan
mes ra, ataukah aku saja yang sudah semakin gila" Sebab mana ada sih suara
tawa yang menguap lembut telinga orang"
www.ac-zzz.tk "Jangan tertawa!" Hanya itu yang masih bisa keluar dad mulutku dengan
wajah yang terasa semakin panas itu. Rasanya aku seperti tersudut, sadar
bahwa Gatot tahu aku telah mcnikmati ciuman dan elusan tangannya. Sungguh
memalukan. "Lho, kok tidak boleh tertawa sih" Aku sedang merasa senang sekali," sahut
Gatot masih dengan tawa yang terdengar empuk.
"Apanya sih yang membuatmu merasa senang?"
Aku mendengus kesal. "Apakah karena aku tidak berani berterus terang
kepada Tina" Kau salah kalau mengira aku masih menyembunyikan itu karena
hal-hal lain seperti yang kausangka. Aku belum menceritakannya karena aku
takut melukai hatinya. Sudah kukatakan tadi, kan" Saat ini aku sedang
mencari kesempatan yang pas untuk mengatakan padanya dan sekaligus juga
menyelamatkannya dari bahaya berdekatan denganmu. Jadi jangan senang
dulu!" "Yang membuatku senang bukan itu kok!" "Lalu apa kalau begitu?"
"Pipimu yang memerah seperti tomat matang itu, lho," sahut Gatot. "Kulihat
wajahmu yang begitu putih dan halus dengan rona merah seperti itu jadi
bertambah cantik. Sekaligus juga membuatku merasa kagum. Di zaman
sekarang ini tidak mudah menemukan pipi seorang gadis yang menjadi
kemerahan karena diingatkan pernah dicium seseorang. Apalagi, gadis itu
sudah pernah berpacaran sebelumnya dan toh pipinya bisa semerah itu oleh
godaanku tadi. ltu tandanya, kau seorang gadis yang masih kuat menyimpan
perasaan malu. Padahal zaman sekarang ini banyak orang yang sudah tidak lagi
punya rasa malu. Nah, hal itulah yang membuatku merasa gembira. Aku
semakin bangga saja terhadapmu."
"Idih, memangnya aku ini apamu, kok hatimu bangga karena diriku!" seruku
dengan perasaan amat kesal. Padahal bentakan itu untuk menutupi perasaanku
yang sebenarnya. Betapapun juga harus kuakui bahwa apa barusan yang
dikatakannya telah menyentuh perasaanku yang terdalam.
Tiba di rumah, sesudah mengganti pakaianku dengan sehelai daster batik yang
enak dipakai, aku langsung mengempaskan tubuhku ke atas tempat tidur.
Hatiku menjadi sedih sekali. Sedih karen a pikiran warasku tidak sejalan lagi
dengan perasaanku. Sedih pula karena keinginanku juga tidak lagi beriringan
dengan kenyataan yang kuhadapi hari ini.
Otakku mengatakan supaya aku bersikap tegas kepada Gatot dan lalu dengan
sekuat tenaga segera menjauhkannya dari Tina. Tetapi perasaanku
membiarkan daya tarik laki-laki itu mempengaruhi diriku dan menghambat
ketegasan yang seharusnya kulakukan.
www.ac-zzz.tk Sementara itu keinginanku untuk menjauhi Gatot agar pikiranku dapat lebih
tertata demi kebaikan diriku sendiri dan juga derni keselamatan Tina, mulai
tampak berlawanan dengan kenyataan yang terjadi. Seperti apa yang terjadi
hari ini, misalnya. Aku ingin menjauhi Gatot, tetapi aku malah bertemu dengan
dia di tempat yang rasanya mustahil bisa bertemu dengan tetanggaku itu. Dan
di sana kami malah berbelanja, makan, dan pulang bersama-sama pula. Seolah
bukan Tina yang kekasih Gatot tetapi aku. Sungguh, memikirkan semua itu
hatiku sangat sedih rasanya.
Dan yang lebih tragis lagi, dalam kesedihan yang begitu mendalam itu aku tak
mampu berbuat apa-apa. Bahkan berpikir saja pun aku tak bisa. Dan
karenanya aku hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi. Semuanya. Mulai
dari pertanyaan batin tentang kenapa rumah kosong di sebelah itu bukannya
dibeli orang lain, dan kenapa pula harus Gatot dan sepupunya yang tinggal di
situ. Dan juga kenapa harus terjalin keakraban di antara mereka dengan
keluargaku ini sampai-sampai hati perawan adikku bisa terkuak oleh lelaki
yang tak pantas untuknya itu"
Masih dengan perasaan sedih yang tak terhingga, mataku menembus tirai
jendela kamarku yang bergerak-gerak tertiup angin menjelang sore had.
KuIihat pucuk-pucuk pohon flamboyan di tepi jalan di muka rumahku itu masih
saja seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Hanya kehijauan saja yang kulihat.
Pohon itu tak pernah berbunga lagi. Sama seperti hatiku yang juga cuma
punya satu warna. Kesepian, dan sekarang ditambah rasa pilu yang mendalam.
http:ebukita.wordpress.comTujuh
DARI jendela ruang kerjaku di tingkat enam, kulihat cahaya petir yang
mengerikan sambar-menyambar mengoyak langit, sementara hujan lebat
tumpah mengguyur Ibukota tercinta ini. Sedemikian derasnya sampai pandang
mataku tak mampu menembus bentuk gedung-gedung bertingkat di lingkungan
ini. Tetapi samar-samar aku masih bisa melihat pohon angsana dan beringin
putih di halaman kantorku meliuk-liuk diterpa angin dan air, Jayaknya dua
penari yang sedang menyajikan atraksi yang rnemukau.
Saat itu hari masih pagi. Bartl jam sepuluh kurang beberapa menit. Tetapi
cuaca buruk di luar sana telah mempengaruhi semangat kerjaku. Kalau saja
aku sedang ada di rumah, sudah pa ti satu?satunya hal yang akan kulakukan
adalah bergelung di atas tempat tidur, berselimut, sambil menonton televisi
di kamarku yang tenang. www.ac-zzz.tk "Hai, apa sih yang sedang kaulamunkan?" Tiwi, teman sekantorku, menyapa.
Entah sejak kapan gadis langsing yang selalu tampak anggun dan keren itu
berdiri di muka meja kerjaku. Tangannya yang memegang kantong plastik
berisi kue itu diulurkannya kepadaku. "Daripada melamun kan lebih enak
mencicipi makanan enak ini. Ayo, Mbar."
Aku mengembalikan perhatian dan pikiranku ke dalam ruangan ini.Kemudian
sambil tersenyum kuraih sepotong kue. Kuperhatikan kue yang sudah pindah
ke tanganku itu dengan cermat. Kue ito berbentuk bintang tetapi membulat.
Tidak pipih. "Ini kue apa?" tanyaku kemudian.
"Mana aku tahu, Non?" Tiwi menyeringai sambil mengangkat bahunya. "Ah, kau
kan tahu aku tak pandai dalam hal perkuean, kok bertanya juga. Tanyakan
saja bagaimana rasanya, itu aku tahu persis!"
"Rasanya bagaimana?" Senyumku berubah menjadi tawa.
"Rasanya, wow. Renyah, gurih, manis, dan ada rasa jahenya. Ayo, gigit. Dan
resapi bagaimana rasanya."
"Mestinya kau tidak bekerja di kantor ini, Wi!"
Aku tertawa lagi. "Kau lebih pantas jadi bintang iklan makanan, Begitu
meyakinkan!" Tiwi juga tertawa. "Sudahlah, jangan menggoda," katanya. "Rasakan, dan berikan komentarmu!"
Kugigit kue yang ada di tanganku itu pelan?pelan. Ra anya memang enak.
Begitu kue itu ber?temu dengan lid ahku , langsung menjadi lembek dan
mencair eli mulut. "Mm, memang enak," komentarku.
"Ambillah lagi." Tiwi mengulurkan lagi bungkusan plastiknya kepadaku. "Makan
kue seperti ini dalarn cuaca buruk sungguh nikmat. Dan jelas sekali ini jauh
bennanfaat daripada melamun. Heh, apa sih yang kaulamunkan tadi?"
Aku mencoba mengukir senyum di bibirku. "Aku tidak melamun," aku berdalih.
"Aku hanya menatap cuaca buruk di 1uar sana. Dan terus te?rang saja,
suasana muram di luar sana telah mem?buat semangat kerjaku jadi luntur!"
Tiwi melemparkan pandangannya ke luar jendela kaca di samping meja
kerjaku. Jendela kaca itu telanjang karena tirainya kusatukan ke tepi. Aku
tidak suka tirai yang menghalangi pandangan rna?taku ke luar sana.
"Deras sekali ya hujannya. Mudah-mudahan ja?ngan terlalu lama. Kasihan
mereka yang tinggal di daerah-daerah rawan banjir," gumam Tiwi kemu?dian.
"Ya, mudah-rnudahan begitu," aku juga bergu?mam. "Jakarta sangat tidak
menyenangkan kalau jalan-jalannya digenangi air."
www.ac-zzz.tk "Ya. Dan mudah-rnudahan pula semangat kerjaku tidak surut sepertimu!"
Sekali lagi Tiwi menyeri?ngai. "Sebab aku sudah telanjur janji bertemu
de?ngan seorang nasabah yang mengajak dua temannya mengambil kredit
untuk usaha mereka."
"Kelas ka ap atau teri?"
"Bandeng. Tetapi bandeng besar." Tiwi menye?ringai lagi untuk ketiga kalinya.
"Nah, aku mau turun. Kue ini kusimpan di lad mejaku. Kalau masih kepingin
ambil aja." "Thanks. " Sepeninggal Tiwi aku mencoba untuk mengembalikan perhatianku kepada
pekerjaan yang terletak di bawah hidungku. Tetapi temyata tidak mudali.
Sama tidak mudahnya bagiku untuk tetap bersikap tenang dan mantap seperti
biasanya. Sebab sudah beberapa hari ini pikiranku sangat resah. Ada
se?suatu yang mengganggu batinku. Sesuatu yang ter?amat sangat berat dan
nyaris tak tertahankan oleh?ku.
Sesuatu itu adalah kesadaran yang memasuki pikiranku tentang beberapa
perubahan yang mulai terjadi pada diriku. Sebab sudah beberapa waktu
belakangan ini aku mulai sadar bahwa setiap kali aku melangkah ke luar rumah,
kepalaku begitu saja menoleh ke arah rumah Gatot. Dan sudah be?berapa
waktu lamanya ini pula, jantung di dadaku
elalu meloncat liar kalau telingaku mendengar uara Gatot di sekitar rumahku.
Aku benar-benar merasa benci kepada diriku
endiri. Aku tahu betul, itu suatu malapetaka besar bagiku. Sebab tanpa
kukehendaki, laki-laki itu telah rna uk begitu saja ke dalam hatiku. Dan tanpa
ku?waspadai sebelumnya, laki-laki itu telah menyerbu masuk ke dalam
pikiranku. Rupanya, kebencian dan kemarahan yang kurasakan padanya selama
ini menyebabkan seluruh pikiranku terserap pada?nya, Dan tanpa kusadari,
besarnya keinginanku untuk memisahkan dia dari Tina telah pula
menye?babkan namanya mera uki pikiran dan hatiku. Ru?panya pula dalam
perjalanan waktu selama berbulan-bulan ini, dengan tidak kusangka-sangka
barang secuil pun, tiba-tiba saja Iaki-laki itu telah mengua-" sai diriku.
Bagaimana aku tidak putus asa karenanya" Sung?guh tak bisa kupahami
kenapa jadi begini akhirnya, Entah ke mana saja perginya pilciran warasku,
menghadapi laki-laki tak berbarga seperti itu saja kok aku bisa kalab.
Demikianlah sesudab datangnya kesadaran itu, acap kali aku duduk tercenung
dan kadang-kadang juga berbicara sendirian seperti orang gila. Sedih sekali
rasanya. Bayangkan saja, usahaku untuk menyelamatkan Tina dari
cengkeraman daya tarik Gatot belum lagi berhasil, sekarang malah aku sendiri
www.ac-zzz.tk tergelincir ke dalam perangkap yang sama. Rasanya seperti si buta menuntun
orang buta dan keduanya jatuh tertelungkup di tepi jurang,
Semestinya, aku lebih merasakan marah kepada diriku sendiri daripada
kepada Gatot atas apa yang kualami belakangan ini. Tetapi kenyataannya, aku
sangat membenci Gatot. Sebab, menurut pikiranku, seandainya dia tidak
terus-menerus menggangguku atau andaikata dia tidak berusaha mengambil
hatiku yang menurutnya adalah calon kakak iparnya, pasti sampai detik ini
hatiku masih dalam keadaan darnai dan tenang. Dan tak akan kurasakan
betapa resab, gelisah, dan kacaunya batinku seperti saat ini.
Merasa sulit untuk mengkonsentrasikan pikiran kepada layar monitor eli
hadapanku, kuhentikan pekerjaanku dan kulayangkan kembali mataku ke luar
jendela. Hujan masih saja lebat. Dan pucuk-pucuk pepohonan di halaman
kantorku masih saja meliuk-liuk genit, bereanda dengan angin dan hujan.
Tetapi di tengah-tengah pemandangan menyedihkan di luar jendela itu, aku
teringat pada apa yang kuobrolkan bersama teman-temanku beberapa waktu
lalu saat jam istirahat makan siang. Ketika itu kami sedang rarnai-ramai
menasihati Hastuti yang sangat membenei atasannya yang masih bu?jangan
tetapi sok mengatur. "Tut, sebaiknya kau Iebih bersikap bijaksana dan tetap berpegang pada
rasiomu. Jangan erno?sional begitu!" salab seorang ternan kami menasi?hati
gadis itu. "Sebab kalau tidak, kau akan ter?jungkal sendiri."
"Bagaimana caranya?" tanya Hastuti. waktu itu. "Cara yang paling penting
adalah jangan terlalu membenci Pak Irwan seperti itu," sabut yang dita?nya.
"Kena batunya kau nanti. Sebab ketabuilah babwa batas antara perasaan
benci dan yang se?baliknya itu sangat tipis. Setipis benang!"
"Itu benar," kata teman kami yang lain sambil tertawa. "Sebab begitulab yang
kerap terjadi pada sebagian orang. Mulanya dia benci kepada sese?orang,
tetapi akhirnya dia terperangkap ke dalam perasaan cinta, dan buntutbuntutnya kalau berpisah sebentar saja dia merasa rindu setengab mati
ke?pada orang itu. Gawat k.an jadinya?"
Aku tertawa mendengar celoteh teman-temanku saat kami sedang makan
siang. Tetapi hari ini aku tertegun-tegun sendiri begitu percakapan yang
pernah kudengar itu memasuki ingatanku. Mengingat
perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, ada rasa cemas luar biasa yang
mulai menggenggam jantung kalbuku. Aku tidak ingin mengalami apa yang
diceritakan oleh teman-temanku sewaktu mereka menasihati Hastuti.
Kebencianku kepada Gatot jangan sampai berubah menjadi rasa rindu
setengah mati. www.ac-zzz.tk Sedang aku tertegun-tegun seperti itu, telepon di ruanganku berbunyi.
Seperti biasanya, ~ Sabat Sitompul yang duduknya tak jauh dari temp at
te?lepon me'tgangkatnya sehingga deringnya yang sempat menyela lamunanku
tadi terhenti. Perhatian?ku kukembalikan ke luar jendela lagi. Tetapi
se?belum aku terseret kembali ke dalam lamunan, Sabat memanggil namaku.
"Telepon untukmu, Ambar!" "Dari .. ?"
"Mana aku tabu, Non. Terimalah sendiri." Aku bangkit dari kursiku.
"Lelaki atau perempuan, Sabat?" tanyaku sambil berjalan ke arahnya.
"Lelaki dengan suara bariton!" Sabat memicingkan sebelah matanya. "Empuk
dan enak didengar!" Aku tertegun sesaat lamanya ketika mendengar jawaban Sabat. Janganjangan Gatot yang meneleponku. Tetapi ah, memangnya suara empuk hanya
milik dia seorang" Aduh, kenapa aku jadi begini" Sedikit-sedikit mengaitkan
sesuatu kepada Gatot. Dengan penuh rasa ingin tahu kuangkat gagang telepon dan kutempelkan eraterat di telingaku.
"Halo ... ?" "Ya halo, kaukah itu, Ambar?"
"Ya," sabutku. Suara empuk diseberang itu membuat jantungku mulai
bergerak tak teratur. Kukenali betul suara itu. Suara Bram. Rasanya sudah
berabad-abad lamanya aku tak pernah lagi mendengar suaranya. Kenapa tibatiba dia meneleponku" Akan mengabariku bahwa dia akan menikab dengan
Nina yang pernah menjadi teman. dekatku itu"
"Masih ingat suaraku?" tanya suara di seberang
sana. "Siapa, ya?" Aku pura-pura tidak ingat. Pertama,
belum tentu telingaku benar. Si penelepon itu bukan Bram. Mungkin saja itu
suara seseorang yang mirip dengan suara Bram. Kedua, aku tidak ingin Bram
jadi besar kepala karena aku masih ingat pada suaranya.
"Masa lupa sih?"
"Maaf, aku benar-benar tidak mengenali suara Anda. Semula kusangka suara
Gatot, tetapi kok agak beda," sabutku. Pikirku, kalau itu memang suara Bram,
aku ingin memberinya kesan bahwa aku sudah mempunyai teman laki-laki.
"Siapa itu Gatot?" Kudengar suara itu lagi. "ini
aku, Ambar, Bram" . "Bram?" Aku masih tetap berpura-pura tak ingat.
"Bram, Bram yang dulu itu?"
www.ac-zzz.tk "Ya, Ambar. Masa kau tak mengenali suaraku?" "Aduh, maaf. Aku pangling,"
sahutku berusaha tenang. "Sudah terlalu lama aku tidak mendengar
- suaramu, mana mungkin. aku bisa segera mengenali?nya?"
"Benar-benar sudah tidak ada lagikah aku dalam kenanganmu, Ambar" Tidak
tersisa sedikit pun?"
Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja masih ada yang kukenang, Mas.
Masa iya kulupakan begitu saja."
"Wah, kejutan kalau begitu. Ak:u tak menyangka kau masih mau mengingat
diriku!" Kudengar nada suara hangat dari seberang sana. "Terima kasih,
Ambar. Tetapi bolehkah aku tabu kenangan mana yang masih ada padamu itu"
Samakah seperti yang kukenang selama ini?"
"Itu Tho, Mas, kenangan sewaktu aku terburu?buru ke temp at kosmu untuk
mengatakan sesuatu, tetapi di sana aku menemukan dirimu sedang
ber?mesraan penuh gairah dengan Nina!" aku menjawab dengan kalem.
"Ah, Ambarl" Suara Bram di seberang sana mulai hilang kegernbiraannya.
Tetapi memang itulah kenangan tentang dia yang masih tersisa padaku.
Sesuatu yang justru memacu dirik:u untuk bersikap lebih waspada dan lebih
arif dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Khususnya yang berkaitan dengan
pergaulan. Kenangan pahit dengan Bram telah kuambil hikmahnya. Bahwa
be?tapapun sakitnya diriku saat itu, pengalaman itu te?lab membuka wawasan
baru dalam diriku. Misal?nya mengenai betapa tipisnya batas an tara cinta dan
nafsu. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa melu?pakan kenangan pahit saat aku
menyaksikan sebuah kesetiaan cinta tercabik hanya oleh nafsu badaniah"
"Kusangka kau masih mengenangku dalam hal lainnya." Kudengar lagi suara
Bram. Ada nada merajuk dalam suaranya.
"Kalau yang Iainnya, terns terang saja aku talc pernah mengingatnya lagi. Lagi
pula semua itu kan gombal belaka, masa harus dikenang?" sa?hutku. Laiu
dengan gesit aku mengalihkan pembi?caraan. "Apa kabar, Mas" Tumben
meneleponku. Jangan-jangan mau menyarnpaikan kabar gembira tentang kau
dan Nina. Kalau ya, jangan lupa kartu undangannya lho, Aku pasti akan datang
untuk mengucapkan selamat pad a kalian berdua."
"Wah, bukan main tangkasnya bicaramu sampai aku tak bisa menyelamu."
"Maaf," aku bergumam pelan. "Nab, kalau begitu katakanlah segera, kapan
hari babagiamu akan di?langsungkan ?"
"Tidak ada kabar gembira seperti yang kau?sangka itu kok, Ambar,
Hubunganku dengan Nina sudah putus sejak kemarin-kemarin."
"Oh, maaf. Aku ikut prihatin mendengarnya."
Aku kaget mendengar berita itu. "Lalu kenapa kau meneleponku'?"
www.ac-zzz.tk . "Tidak boleh, ya?"
"Bukannya tidak boleh. Tetapi untuk apa?" "Kok untuk apa?" Kudengar Bram
menggerutu. "Hubungan cinta di antara kita berdua mernang sudah berakhir. Tetapi itu
kan karena kau yang memutuskannya. Seribu kali aku minta maaf kepa?damu,
tetapi seribu kali pula kautolak permintaan maafku itu. Telepon dari Nina pun
tak pernah kauterima. Tetapi aku ingat betul tentang persetujuanku tatkala
aku memintamu agar kita tetap berteman meskipun sudah tidak menjadi
sepasang kekasih lagi."
"Lalu sekarang apa maumu?"
"Menagih janjimu, yaitukita tetap berteman.
Maka hari ini aku ingin menyaparnu. Sapaan per?tamaku adalah ingin tahu apa
kabarmu." "Kabarku" Aku baik-baik saja. Terima kasih!" Ah, seharusnya kuakhiri saja
pembicaraanku de?ngan Bram itu. Aku agak curiga mengapa dia tiba?tiba
menghubungiku lagi. Jangan-jangan itu dise?babkan karena hubungannya
dengan Nina putus lalu ia mulai merasa kesepian. Aku tak berminat jadi ban
serep baginya. Memangnya aku ini siapa"
"Kedua, aku ingin tahu apakah sesekali aka masih boleh datang berkunjung ke
rumahmu. Sebab menurut janjimu waktu itu, kita kan masih berte?man. Dan
yang namanya berteman, tentunya ada saat di mana saling berkunjung atau
sedikitnya sa?ling berkabar di antara ternan. Bagaimana Ambar, boleh?"
"Terserah. " "Kok terserah?"
"Habis aku harus mengatakan apa" Kalau aku mengatakan tidak seperti yang
ada di dalam hatiku, tentu itu tidak pantas diucapkan oleh seorang te?man.
Mau mengatakan boleh, aku tak bisa menja?min apakah aku ada di rumah atau
tidak saat kau datang berkunjung. Sekarang ini aku sibuk sekali dan sering
bepergian." "Kalau saat aka datang ke rumahmu kau tidak ada di rumah, itu risiko yang
harus kuterima. Yang penting, asal kau memberiku izin berkunjung ke
rumahmu." Aku diam saja sehingga Bram mengisi kediam?anku dengan suaranya lagi.
"Ambar, tidakkah kau ingin tahu kenapa hu?bunganku dengan Nina putus?"
"Terus terang, tidak. Untuk apa sih" Lagi pula itu kan bukan urusankulagi,
Mas Bram." jawabku tegas.
"Tetapi aka ingin menceritakannya padamu, Ambar. Setidaknya aku bisa
mengeluarkan ganjalan perasaanku sebagai seseorang yang pemah dekat
dengarunu!" kala Bram. "Terutama aku ingin me?ngatakan kepadamu betapa
www.ac-zzz.tk pedihnya perasaanku setiap aka teringat bagaimana kau memergoki
peng?khianatanku waktu itu. Apalagi yang mengkhia?natimu itu bukan hanya
kekasihmu saja, tetapi juga sahabatmu .... "
. "Peristiwa itu sudah lama kulupakan. Untuk apa dibicarakan lagi sib, Mas!"
aku memotong perka?taan Bram yang belurn selesai itu,
"Aku cuma mau mengatakan betapa besar pe?nyesalanku karena pernah
menikamkan penderitaan ke jantungmu, dan sekarang ini aku rnengalami hal
yang sarna. Rasanya aku seperti kena kutuk. Nina mengkhianatiku dengan
ternan sekantorku sen?diri dan kemudian ... "
"Aduh, Mas, jangan menyangkut-pautkan apa yang kaualami sekarang ini
dengan peristiwa lama yang sudah terkubur," aku memotong lagi perkataan Brarn dengan perasaan
muak. Rupanya masih saja dia tidak memahami bahwa rasa sakit yang menghunjarn
kalbuku itu lebih ba?nyak disebabkan oleh kekecewaanku atas pengkhia?natan
terhadap kesetiaan, persahabatan, rasa hormat, dan keteguhan memegang
prinsip moral, daripada kehilangan seorang kekasih dan sahabat baik. Dan
bahwa yang tidak bisa kuterima adalah kenapa pengkhianatan yang meneabik
prinsip hidup uta?maku itu justru dilakukan oleh dua orang yang paling dekat
dengan diriku. Sarna sekali dia tidak mengerti di mana sakit yang kurasakan
itu berasal. "Tetapi, Ambar ... "
"Tunggu, aku belum selesai bieara!" selaku lagi.
"Peristiwa lama itu jangan kauungkit-ungkit lagi, Mas. Buat apa" Aku benarbenar sudah melupa?kannya. Kalaupun ada kaitannya, itu adalah hikmab yang
kudapat dari pengalaman pahit itu. Antara lain bahwa dalarn kehidupan
manusia, ada banyak rene ana, cita-cita, keinginan, dan lain sebagainya yang
bisa mengalami kegagalan sebelum kita dapat meraihnya. Tentu saja itu
menimbulkan kekece?waan, ked! maupun besar porsi kekecewaannya. Tetapi
suatu ketika nanti, cepat atau lambat, kita bahkan bisa berterima kasih
kepada Tuhan atas atas kegagalan itu. Sebab kemudian terbukti, ada hal lain
yang jauh lebih baik dari rencana kita. Dan itulah yang kualarni."
"Alangkah bijaknya kau sekarang, Ambar. Men?dengar perkataanmu itu tibatiba saja aku mulai melihat sisi baik dari pengkhianatan Nina dengan temanku
itu. Pertarna, sekarang aku jadi lebih mampu memahami bagaimana perasaan
orangyang dikhianati. Kedua, pengkhianatan itu untungnya terjadi sekarang,
sebelum Nina menjadi istriku. Ketiga, dengan keadaanku yang bebas begini,
aku jadi tidak takut lagi menghubungimu. Sebab se?belum ini Nina sangat
www.ac-zzz.tk eemburu terhadapmu. Men?dengar namainu kusebut saja dia sudah
marah?marah Dan yang keempat, sekarang aku bisa lebih meresapi makna
maafk:u terhadapmn atas perbuatan?ku di masa lalu."
Aku terdiam, berusaha mencema apa yang baru saja diceritakan Brarn. Jadi
begitulah rupanya akhir hubungan cinta mereka berdua. Nina bermain api lagi.
Aku ingat, gadis itu memang agak nakal. Dulu semasa kami masih duduk di
SMA saja pun, dia sering main mata dengan pemuda-pemuda yang barn
dikenal. Pacamya berganti-ganti. Kalau ku?nasihati, dia marah. Katanya,
perbuatannya itu cuma iseng saja. Bukan sesuatu yang serius. Tetapi temyata
di masa dewasanya, keisengan itu masih saja dipertahankannya. Bahkan tanpa
menenggang perasaan orang.
Karena aku tidak memberi komentar apa pun atas perkataannya tadi, Bram
melanjutkan kata?katanya.
"Sungguh, Ambar, aku merasa lega karena akhir?nya keinginanku untuk
menghubungimu kembali terwujud," katanya. Entah apa maksud ueapannya itu.
Tetapi sedikit pun aku tak berrninat untuk mengetahuinya. Sudah terlalu
banyak yang kupikirkan saat ini. Aku tidak ingin menambahinya lagi.
"Maaf, Mas, aku sedang banyak pekerjaan," akbirnya kuputuskan untuk
menghentikan pembica?raan yang tak ada manfaatnya itu. "Kapan-kapan saja
kita mengobrol lagi, ya" Tidak enak melihat teman-temanku bekerja dan kita
mengobrol di te?lepon."
"Tuggu dulu, Ambar. Aku masih beluin selesai mengeluarkan isi hatiku.
Sebentar saja." Ternyata tidak mudah menghindari Bram.
"Baiklah. Tetapi cepat, ya?"
"Oke. Begini, Ambar, setelah kupikir-pikir lagi temyata dikhianati kekasih itu
tidak selalu menye?dihkan ... "
"Mas, hari ini sudah cukup banyak aku mende?ngar kisahmu dengan Nina,"
kataku menyela. Ah, temyata ya cuma itu-itu saja yang ia katakan pa?daku.
Sungguh menyebalkan, "Bicara yang lainnya
ajalah. Saat ini aku benar-benar sedang repot!"
"Oke. Tetapi berikanlah padaku pandangan?pandanganmu yang mungkin bisa
menjadi bahan refleksi buatku."
"Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku ikut prihatin ata gagalnya
hubunganmu dengan Nina. Sudah kukatakan tadi, kan" Tetapi mudah-mudahan
itu menjadi pelajaran bagimu di mas a depan. Kalau kau akan menjalin
hubungan baru dengan gadis lain, sebaiknya kau lebih berhati-bati dan lebih
arif. Jangan biarkan nafsu kotor mernbauri cinta. Sebab pasti tidak akan
bagus akhirnya, Oke?"
www.ac-zzz.tk "Aku ... aku ... mengerti," kudengar suara Bram mengandung rasa malu. "Tetapi
hanya itu sajakah . yang kaukatakan padaku sesudah sekian lamanya kita tidak
pemah saling berkabar?"
"Lho, aku hams mengatakan apa lagi?" sahutku dengan suara agak meninggi.
"Bahwa aku merasa senang karena kau juga mengalami apa yang pemah
kurasakan waktu itu" Wah, kau keliru kalau ber?. pikir seperti itu. Sebab
bagiku, akan lebih menye?nangkan kalau aku mendengar kau sudah menikah
dengan Nina dan hidup berbahagia bersamanya. Sebab dengan demikian, kau
tidak lagi punya ke?sempatan untuk meneleponku. Apalagi pada saat jam
kantor sedang sibuk-sibuknya. Maaf aku ter?paksa mengatakan apa adanya.
Dalam hal yang penting begini aku tak mau berbasa-basi. Ini me?nyangkut
tanggung jawabku sebagai karyawan."
"Tetapi, Ambar, percayalah bahwa aku tidak akan berani meneleponmu
seandainya aku tidak mengetahui banyak hal tentang dirimu. Kata me?reka,
kau ... " "Banyak bal seperti apa dan siapa yang menga?takannya?" aku memotong lagi
perkataan Bram dengan tidak sabar. Ah, apa saja yang orang-orang bicarakan
di belakangku" "Bahwa di kantor dan di antara teman-temanmu di Iuar kantor, kau dijuluki
dengan sebutan 'si gu?nung es'. Ya, kan?"
"Si gunung es?" Kukerutkan dahiku. "Aku belum pernah mendengar julukan
itu, Lagi pula apa alas?annya?"
"Wah, rupanya kau tidak rnenyadari keadaan di?rimu sendiri, Ambar, Orangorang itu bilang bahwa sejak kau putus hubungan denganku, sikapmu ber?ubah
rnenjadi dingin, kaku, dan rnengambil jarak dalam pergaulan. Terutama
terhadap laki-laki. Me?reka juga rnengatakan padaku bahwa sampai saat ini
kau masih belurn rnempunyai seorang kekasih. Karena itulah, Ambar, aku
berani meneleponmu."
Aku tahu ada banyak ternan yang menganggap?ku kapok berpacaran lagi
ketika mereka rnelihat perubahan sikapku setelah putus dengan Bram. Tetapi
aku tidak pemah menyangka diriku telah menjadi bahan pembicaraan mereka
dan bahkan mendapat julukan sebagai gunung es, kaku, meng?ambil jarak, dan
seterusnya. "Hmm, begitu," sabutku kemudian. "Lalu ba?gaimana rnenurutrnu endiri?"
"Terus terang aku merasa edih. Akibat per?buatankulah kau jadi dingin
terhadap laki-laki. Sungguh, aku sangat menyesal."
"Tak perlu sedih begitu. Itu cuma cerita lama.
www.ac-zzz.tk Sekarang aku sudah tidak seperti apa yang dikata?kan orang-orang itu di
belakangku. Kan tadi sudab kukatakan padamu bahwa aku telah mendapat
hik?mahnya," sahutku. "Saar ini aku sedang giat-giatnya menyusun masa
depan yang lebih gemilang. Jadi, Ma , kurasa sudah tidak rel evan lagi kalau
kau rnasih membicarakan hal-hal yang telah lewat. Nah, kita cukupkan
pembicaraan kita sarnpai sekian ... "
"Tunggu dulu Ambar!"
"Sudahlah, Mas, aku tak punya waktu lagi untuk
berlama-lama denganmu. Aka hanya berharap kau bisa segera mendapat
kekasih baru yang lebih baik segalanya. Maaf, aku harus rnengingatkanmu
bahwa saat ini aku masih di kantor."
"Baiklah kalau begitu. Tetapi boleh kan kalau kapan-kapan aku datang untuk
menjurnpaimu di rumah atau mungkin di kantor?"
"Terserah. Sudah kukatakan tadi, kan" Juga de?ngan segala alasannya?"
Kudengar helaan napas Bram di seberang sana. "Baiklah, Ambar, kita sudahi
dulu pernbicaraan kita. Tetapi rasanya ingin sekali aku segera meli?hatmu
kernbali. Seperti apa kau sekarang?"
Perkataan Bram kupotong dengan cepat. "Sela?mat siang, Mas!"
Dan sebelum kudengar apa pun dari seberang sana, kuletakkan kembali gagang
telepon ke tern?patnya. Aku benar-benar merasa kesal ditelepon oleh Brarn.
Sudah begitu bicaranya lama dan ber?tele-tele seperti kantor ini milik ayahku
saja. Ba?giku, dia itu sekarang tak berarti apa-apa lagi. Dan aku sudah tidak
mempunyai perasaan apa pun terhadapnya. Entah itu cinta, entah itu rindu,
entah 'itu benci atau apa pun. Dia hanyalah salah satu perjumpaan dalam
hidupku. Sarna seperti per?jumpaan-perjumpaanku dengan orang lain.
Berpa?pasan sekali atau dua kali, bertegur sapa untuk kemudian terlupakan
seiring dengan jalannya waktu.
Sahat yang duduk tak jauh dari meja telepon melirikku. Aku yakin, ilia cukup
banyak mendengar suaraku dan menarik kesimpulan dari perkataan-perkataan
yang kuucapkan tadi. Ah, apa peduliku" Bukan utusannya. Tempi, seorang
ternan yang ke?betulan lewat di muka meja kerjaku setelah ak:u kembali
duduk di situ, menegurku.
"Hei, kenapa kau seperti orang sedang sakit gigi, sih?"
Kuangkat wajahku. Linda, si burung nuri di kantor kami, sedang menghentikan
langkah kakinya sejenak dan berdiri ke arahku dengan penuh gaya. Ada
beberapa lembar kertas di tangannya.
Bisik-bisik ternan di kantor mengatakan bahwa Linda pernah menjadi model
dan peragawati. Tetapi tidak diteruskan karena kekasibnya tidak menyetujui
www.ac-zzz.tk profesi yang mas a kejayaannya tidak panjang itu. Maka Linda pun
melanjutkan studinya sampai S2 dan berkarier di bidang perbankan. Kini sang
ke?kasih telah menjadi suami yang sangat mencintai?nya. Mereka hidup
berbahagia. Dan gaya Linda yang aduhai bisa ditatap secara langsung di
mana?mana. Tidak perlu melalui foto dan tidak usah di atas cat walk.
"Kenapa kau bilang begitu, Lin?" Aku pura?pura tak tahu. Padahal aku sadar,
sejak Bram me?neleponku tadi, ak:u jadi uring-uringan sendiri.
"Biasanya meskipun tidak banyak bicara, wa?jahmu selalu tampak cerah dan
memancarkan ke?manisan hatimu." Linda tersenyum. "Apakah kau sedang
kedatangan itu tuh, si rembulan?"
Mau tak mau aku tertawa. Linda selalu saja menghubungkan emosi ternanternan perempuannya dengan siklus haid.
"Jangan kaitkan aku ke situ, Nyonya," sahutku kemudian. "Aku tak pemah
terpengaruh o1eh hal?hal semacam itu. Dan kalaupun ada pengaruh semacam
itu, percayalah aku pasti bisa menga?tasinya. Manusia kan dianugerahi akal
budi oleh Tuhan. Dan nianusia mempunyai martabat yang tinggi. Maka kalau
kita menyerah pada hal-hal yang bersifat biologis, lha apa bedanya kita
de?ngan . makhluk lainnya, bukan" Dan ke mana martabat kita sebagai
makhluk tertinggi ciptaan Tuhan ini?"
Linda ganti tertawa. "Kau semestinya tidak bekerja di sini, Ambar.
Tetapi menjadi dosen!" perempuan muda itu ber?komentar. "Nab, kembali ke
soal semula, kenapa bibirmu meruncing begitu sih?"
"Kalan kau memang ingin tabu, katakanlab pa?daku dengari terus terang ten
tang satu hal yang ingin kuketahui."
"Apa itu?"
Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakab benar teman-teman kita pernah menjulukiku si gunung es di belakangku?"
Linda tertawa lagi. "Kok kau tahu sih?" dia rnalah balik bertanya. "Ya tahu dong. Ada yang
bilang!" aku menggerutu. "Sialan. Begini kok dijuluki i gunung es!"
Untuk ketiga kalinya Linda tertawa.
"Makanya, Non, jangan selalu bersikap dingin seperti e dan menganggap
ternan-ternan pria kita seperti angin lalu. Mereka takut mendekatimu,"
katanya kemudian sambil melenggang pergi. "Jadi sebaiknya kauubah sikapmu
dan jangan uring-uringan kalau dijuluki .gunung es lagi."
www.ac-zzz.tk Aku terdiam. Kutatap punggung Linda yang nyaris 1enyap di ba1ik pintu. Harus
kuakui, dia be?nar. Aku memang terlalu banyak mengambil jarak terbadap
teman-ternan pria di kantor ini. Kalau ada di antara rnereka tampak mulai
ramah sedikit saja, aku langsung menutup diri. Memang kupikir?pikir, orangorang itu pasti merasa seperti mem?bentur gunung es yang menju1ang
tinggi .kalau berhadapan denganku.
Mungkin memang aku harus mulai mengubab sikap demi sopan santun
pergaulan, pikirku sambi1 berusaha berkonsentrasi untuk melanjutkan
peker?jaanku kembali. Tetapi menjelang jam dua belas, konsentrasiku
dibuyarkan lagi oleh suara dering telepon. Kali itu telepon dari bawah. Bukan
dari luar kantor. Namun temyata juga untukku.
"Ada yang mencarimu, Ambar, Kusuruh dia du?duk di ruang tunggu," kata
seorang ternan yang bertugas di bawah.
Hatiku berdebar. Bram-kah yang datang" Atau
siapa" "Laki-laki atau perempuan?" tanyaku kemudian. "Perempuan. "
Entah siapa lagi yang mengganggu ketenanganku itu, tanyaku dalam hati,
Kulirik arloji yang me?lingkari tanganku. Jam dua belas kurang enam rnenit.
Sebentar lagi jam istirabat makan siang. Maka kusambar dompet dari dalam
tas yang kugantungkan di punggung kursiku. Aku ingin makan soto mi. Hujanhujan begini pasti enak -makan yang panas-panas tetapi menyegarkan seperti
itu. Tetapi temyata han ini nasibku memang sedang sial. Tamu yang mencariku itu
temyata RinJ., bekas kekasih Gatot. Entah mau apa dia mencariku sam?pai
kemari. Tetapi radar dalam kepalaku memintaku agar aku waspada. Dengan
pikiran itulah kuajak dia masuk ke ruang tamu yang tak terlalu ramai. Aku tak
ingin ada orang yang mendengar pembi?caraan kami.
"Ada yang perlu kubantu?" tanyaku begitu karni
telah duduk berhadapan. "Ya. Bantulah aku!" "Dalam hal?"
"Menyadarkan Mas Gatot, bahwa dia masih mencintaiku !"
Aku nyaris temganga mendengar perkataan tak terduga itu. Rupanya radar di
dalam kepalaku tadi cukup peka menangkap ge1agat yang tak menye?nangkan.
"Kau itu bicara apa sib, Rin?" kataku sesudah mampu mengua ai diri.
"Memangnya Mas Gatot itu anak kecil yang masih bisa didikte dan diarah?kan
begitu saja semau gue?"
"Kalan begitu jauhkanlah dirimu dari dia," Rini meralat.
Wah, bukan main beraninya gadis ini. lnikah yang disebut kemajuan zaman"
www.ac-zzz.tk "Alasannya?" aku bertanya dengan sikap sabar yang berhasil kuperlihatkan.
Aku tak mau jadi perhatian ternan-ternan yang ada dl sekitar tempat kami
duduk. "Alasannya, aku ingin dia kembali kepadaku!"
Rini menjawab langsung. "Sebab putusnya hu?bungan kami waktu itu tidak
disebabkan oleh hal?hal besar. Juga bukan karena orang ketiga. Jadi
Nah, pada saat aku sadar bahwa sikap itu hanya akan memperbesar jurang
yang ada di antara kami dan waktu aku mulai berniat untuk mengalah, temyata
Mas Gatot sudah telanjur menjalin hubung?an denganmu."
Aku tertegun lagi. Ingatanku melayang kepada Tina. Seandainya dia yang
didatangi Rim, entahlah apa yang terjadi. Adikku itu masih sangat rnuda.
Kalau Rini rnenekan dan mernojokkannya, maka kemungkinan besar dia akan
kalah. Jadi, untunglah . Rini tidak tahu bahwa kekasih Gatot yang sebe?narnya bukanlah orang yang
ada di hadapannya ini. "Lalu kau mau apa, RiD?"
"Sudah kukatakan tadi, membuka mata Mas Gatot bahwa sesungguhnya dia
rnasih mencintaiku dan bahwa hubungannya dengan gadis lain, siapa pun dia,
hanyalah pelarian belaka. Dalam hal ini perlu kauketahui, Am bar, bahwa kami
dulu betul?betul saling mencintai. Kekurangan kami, sama?sama belum matang
secara mental. Waktu itu aku terlalu banyak menuntut darinya. Ya waktunya,
ya 214 perhatiannya, ya daya juangnya. Antara lain, aku ingin agar dia bisa seperti
ayahku yang sukses. Tetapi kemudian ... "
"Tunggu dulu, Rin," aku memotong perkataan?nya. "Sebenarnya apa sih
tujuanmu menceritakan semua ini padaku?"
Rini tertegun beberapa saat lamanya. Mungkin dia sadar, dirinya terlalu
banyak bercerita, se?dangkan apa tujuannya menjumpaiku belum
diuta?rakannya secara jelas. Kalaupun dia memintaku agar menjauhinya,
bagaimana caranya dan apakah Gatot bisa semudah itu diatur olehku ataupun
olehnya" "Begini," sahutnya beberapa saat kemudian. "Seperti yang sudah pernah
kukatakan kepada Gatot waktu kita bertiga makan bersama 1tu, dia sekarang
benar-benar sudah maju. Bahkan bolehlah disebut sukses. Tetapi dalam hal ini
mungkin kau tidak tahu, Ambar, bahwa kesuksesan itu berkat diriku . Aku
www.ac-zzz.tk punya andil besar di dalamnya. Akulah yang rnemacu dirinya sebingga bisa
seperti sekarang ini."
"Lalu?" "Lho, tidakkah kau melihat sesuatu di balik itu?"
"Terns terang saja, tidak, Aku tidak mengerti apa ebenarnya yang ingin
kaukatakan!" "Ambar, sebenarnya Mas Gatot masih mencintaiku. Kemajuan yang dicapainya
sekarang itu sebenarnya untuk menunjukkan keberhasilannya padaku. Lalu
berpacaran dengan gadis lain pun sebenarnya
juga untuk pelarian belaka. Bahkan juga untuk membuatku cemburu. Apakah
kau tidak merasakan haI itu kemarin?" sahut Rini sambil menatapku. "Dia
pura-pura bersikap dingin padaku, kau tahu apa sebabnya?"
"Tidak," aku memancing jawaban darinya.
"Itu karena dia ingin menyakiti hatiku, Ambar.
Aku kenal betul siapa Mas Gatot. Keberadaanmu merupakan cara dia
menunjukkan egonya untuk melampiaskan kemarahannya padaku. Baginya, kau
adalah alat untuk membuatku merasa kehilangan dirinya. Padahal di dalam
hati, dia masih sangat mencintaiku. Sekali lagi Ambar, aku kenal siapa Mas
Gatotl" Aku ingin marah kepada Rini sebenarnya. Entah sadar entah tidak, dia telah
menghinaku. Seolah aku hanya semacam mainan sementara saja bagi Gatot.
Jadi yang hendak dikatakannya adalah kaIau tujuan sesunguhnya sudah
tercapai, maka mainan itu akan dicampakkan oleh Gatot. Ingin sekali aku
menampar mulut gadis itu. Tetapi kemudian aku sadar, apa yang dikatakan
oleh Rini itu bukanlah diriku. Melainkan kekasih Gatot yang sekarang. Dan dia
adalah Tina. Di luar hal-hal yang tampak oleh mataku, aku tak pernah menilai Gatot
setinggi itu. Bahkan kuanggap dia itu kurang ajar, hidung belang, mata
keranjang. Dan karenanya, aku ingin menjauhkan dia dari Tina. Semakin cepat
itu terjadi akan semakin selamatlah Tina.
Sekarang, ada seorang gadis yang katanya sangat
mengenal Gatot dan mengatakan bahwa keberadaan gadis lain hanyalah
merupakan pelarian lelaki itu belaka. Bahkan gadis itu dipakai oleh Gatot
sebagai alat untuk memuaskan egonya dan untuk melampiaskan kemarahannya
kepada gadis yang merupakan cinta sejatinya. Dengan kata lain, Gatot tidak
mencintai Tina. Gadis itu cuma ban serep dan untuk membangkitkan
kecemburuan Rini. www.ac-zzz.tk Aku tidak sepenuhnya mempercayai apa yang dikatakan oleh Rini. Tetapi toh
ada sesuatu yang masuk akaI dan bisa kusimpulkan dati perkataannya.
Terutama kalau itu dikaitkan dengan apa yang pernah diperbuat oleh Gatot
terhadapku. Maka sekarang tahulah aku kenapa laki-laki itu tidak kenal
kesetiaan. Sekarang tahu pulalah aku kenapa laki-laki yang katanya kekasih
Tina itu bisa menciumiku dengan penuh gairah dan tidak merasa bersalah
karenanya. Teringat itu, darahku mulai mendidih. Gatot memang sepadan dengan Rini.
Keduanya tidak terlalu memikirkan perasaan. Apalagi menenggang hati orang.
Tetapi aku tak boleh memperlihatkan kemarahanku. Jadi aku berusaha untuk.
tetap tenang dan terkendali. Aku juga ingin tetap bersikap anggun.
"Jadi, Rin, apa yang harus kulakukan?" Hebat juga aku. Suaraku bisa
terdengar begitu tenang dan sabar.
"Lepaskan Mas Gatot, Ambar."
"Jadi singkatnya, kau ingin supaya aku dan Gatot putus hubungan?" tanyaku
kemudian. "Ya." "Kau bicara seolah Gatot itu sebuah benda yang bisa dilepas atau diambil
semau kita. Tetapi kalau itu yang kaukehendaki, silakan saja. Kuserahkan
Gatot ke tanganmu kembali," kataku. Barangkali saja inilah kesempatanku
untuk mengenyahkan Gatot dari kehidupan Tina dan tentu saja juga dari
kehidupanku. Mumpung belum berlarut-larut. .
Rini terpana, tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Dengan sikap yang
tenang pula, bagaikan seseorang yang sedang mengembalikan buku yang
dipinjamnya. "Kau... kau... bersungguh-sungguh, Ambar"' akhirnya gadis itu bertanya
dengan tergagap-gagap. Pasti, sama sekali dia tidak menyangka akan semudah
itu usahanya menjauhkan aku dari Gatot. Aku juga berani memastikan,
sebelum berangkat ke sini tadi di dalam batinnya ada sepasukan tentara yang
sudah bersiap-siap rnenjadi pasukan berani mati untuknya. Dengan pandangan
melecehkan yang sulit kutahan agar jangan memancar di mataku, aku
menjawab pertanyaannya tadi.
"Untuk urusan besar aku tak pernah main-main, Rin. Jadi apa yang kukatakan
tadi itu benar," aku menjawab mantap.
"Tetapi ... kau sendiri bagaimana?" Kelihatannya gadis yang semula datang
dengan genderang perang itu mulai digugat oleh hati nuraninya sendiri.
Bingung tidak tahu harus bagaimana menempatkan pasukan berani matinya
tadi. www.ac-zzz.tk "Rin, aku seorang perempuan mandiri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat.
Aku adalah aku. Dan aku tidak pernah mau menggantungkan diriku baik secara
fisik maupun secara mental kepada siapa pun, termasuk kepada kekasih atau
suami, kelak kalau aku sudah menikah. Jadi kapan dan di mana saja, aku selalu
siap sewaktu-waktu untuk berpisah dengan kekasihku. ltu alasanku yang
pertama. Yang kedua, itu menyangkut keberadaanku sebagai seorang individu
yang kebetulan berjenis kelamin perempuan. Selama ini masyarakat hampir
seluruhnya mempunyai pandangan?pandangan tentang keberadaan perempuan
dengan kacamata buram yang salah kaprah."
"Salah kaprah bagaimana" Jelaskan maksudmu itu, Ambar!" Rini menyela.
Suaranya yang berapi?api tadi terdengar melembut.
"Kesalahkaprahan itu menyangkut suatu sudut pandang, penilaian, anggapan,
dan bahkan juga norma-norma yang diwarnai oleh sistem nilai milik kaum lelaki
akibat budaya patriarkat. Namun dalam hal ini aku memiliki kesadaran untuk
tidak terlarut dalam situasi seperti itu. Aku seorang individu otonom, subyek
utuh yang tahu apa yang kumaui, tahu apa pilihan-pilihan dalam hidupku. Jadi,
aku tak mau dipinggirkan, dinomorduakan atau dijadikan obyek karena jenisku
yang perempuan. Karenanya, Rin, aku juga tak mau melecehkan diriku sendiri,
berebut laki-laki seolah kebahagiaanku hanya bertumpu pada dia. Dilandasi
kedua alasan itulah ku?putuskan uutuk melepaskan Gatot untukmu. Oke?"
Aku tidak bermaksud menyindir Rini, tetapi kata-kataku tadi rupanya
menyentuh perasaannya. Kulihat semburat rona merah melintasi kedua belah
pipinya, "Oke," sahutnya dengan suara pelan.
"Kalau begitu, sudah tidak. ada lagi hal-hal yang perlu kita bicarakan lagi,
kan?" Rini menganggukkan kepalanya sambil melirik arlojinya, kemudian bangkit.
Kuperhatikan wajahnya yang manis dan rambutnya yang agak basah di bagian
depannya itu. Lalu kulayangkan pandang mataku ke luar gedung. Hujan masih
belum juga berhenti meskipun tidak sederas tadi.
"Kau naik apa, Rin?" tanyaku dengan suara lembut. Tak enak juga kalau aku
tidak bersikap ramah kepada tamuku.
"Naik mobil." "Jauh parkirnya?" tanyaku untuk menunjukkan
perhatianku padanya. "Tidak Tetapi aku tidak membawa payung." "Mau kupinjami?"
"Tak usahlah, Ambar. Aku akan lari sebentar.
Tasku yang lebar bisa menjadi tudung kepala."
www.ac-zzz.tk "Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan lho.
Licin." Rini menganggukkan kepalanya. Matanya mengawasiku beberapa saat lamanya.
"Maafkanlah aku ya, Ambar," katanya kemudian. Mendengar itu
kejengkelanku, rasa direndahkan dan semacamnya yang semula mengusik
hatiku, luruh. Sebenarnya, Rini gadis yang baik. Hanya saja egoisme telah
menguasai dirinya. Dan cintanya kepada Gatot, entah itu cinta sejati entah
karena alasan lainnya, telah mengaburkan akal sehatnya, menyingkirkan pula
harga dirinya. Kasihan. "Tak apa, Rin. Barangkali saja Gatot memang bukan jodohku," sahutku. Dan di
dalam hati kutambahi, mudah-mudahan saja juga bukan jodoh Tina.
Rini masih juga belum bergerak. Matanya juga masih mengawasiku.
"Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang ingin kukatakan kepadamu,Ambar!"
ia berkata lagi, Kini dengan sikap agak malu-malu. "Apa yang akan kukatakan
ini mudah-mudahan bisa menambah maafmu kepadaku. Ini hanya untukmu
saja, Ambar. Terus terang saja saat ini usaha ayahku mengalami kemunduran.
Semula, bolehlah keluarga kami disebut kaya-raya, Dan kebetulan pula, kakak
dan adik perempuanku menikah dengan laki-laki kaya yang juga datang dari
keluarga kaya pula. Sedangkan waktu itu, meskipun orangtua Gatot juga cukup
kaya, tetapi dia sendiri termasuk orang yang sederhana. Tidak mau memakai
fasilitas dari orangtuanya. Tentu saja aku sering merasa malu kepada
keluargaku. Maka kudorong dia agar bisa sehebat ipar-iparku. Tetapi rupanya
laki-laki itu keras kepala dan terlalu besar kepercayaau dirinya. Katanya,
harga diri seseorang tidaklah terletak pada harta dan kesuksesan ... "
"Tetapi dia benar, kan?" aku memotong. "Kekayaan, pangkat, kebagusan fisik,
adalah atribut belaka. Bukan sesuatu yang bersifat substansial, bukan
yang hakiki. Semua itu bisa lenyap kalau Tuhan menghendaki. "
"Aku tahu. Tetapi tidak semua orang berpendapat begitu, kan" Nah, kembali
ke soal semula, perbedaan pandangan di antara kami berdua itu pun menjadi
salah satu penyebab retaknya hubungan kami. Maka akhinya kami pun putus.
Tetapi setelah aku berpacaran dengan orang lain, kusadari bahwa Gatot
benar. Aku jadi sering menyesali putusnya hubungan kami. Apalagi sesudah
keadaan ekonomi keluarga kami semakin surut begini. Maka ketika
hubunganku dengan pacar baruku putus, aku selalu mencoba menghubunginya
kembali. Bagiku, sekarang ini dia menjadi satu-satunya harapanku di masa
depan. Dan juga gengsinya dimata keluargaku pasti naik karena kulihat dia
telah berhasil menjadi orang. Rupanya, berkat dorongan-dorongankulah
www.ac-zzz.tk akhirnya Gatot mengalami kemajuan. ltulah kenapa aku yakin, sesungguhnya
dia masih mencintaiku ... "
Kuhentikan perkataan Rini dengan menepuk bahunya.
"Aku mengerti," kataku kemudian. "Semoga kau bisa meraih hati Gatot
kembali, Rin!" "Terima kasih. Tetapi kau tidak marah padaku, kan?"
"Tadi, ya. Sekarang tidak lagi. Sebab sebenarnya aku tidak mencintainya!"
"Jadi apa yang kulihat itu benar rupanya. Sikapmu kepadanya tidak tampak
mesra." Rini menatap mataku.
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakannya lagi." "Oke. Aku akan pergi
Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang. Sekali lagi terima kasih ya, Ambar." Sambil berkata seperti itu Rini
mulai melangkah pergi dari hadapanku.
Aku termangu-mangu sendirian. Meskipun Rini merasa senang mendengar aku
mau melepaskan Gatot . tetapi aku masih menangkap perasaan bimbang di
matanya. Barangkali dia merasa tak yakin apakah Gatot mau kembali padanya.
Tetapi apa pun itu, hatiku tiba-tiba saja menjadi kosong. Seolah aku tak
mempunyai perasaan apa pun lagi. Kalaupun ada yang tersisa, itu berkaitan
dengan Tina adikku. Bagaimana perasaannya kalau dia mengetahui ada gadis
lain yang siap menerima Gatot kembali ke dalam pelukannya"
Ah, kasihan Tina. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.
http:ebukita.wordpress.com
http:ebukita.wordpress.comDelapan
http:ebukita.wordpress.comAKU duduk bergelung di sudut sofa ruang
keluarga, menonton televisi sendirian dan menikmati sejuknya udara di
sekelilingku. Hari itu hari Minggu dan senja baru saja turun. Di luar, gerimis
masih belum berhenti sesudah sebelumnya hujan lebat mengguyur bumi ini
berjam-jam lamanya. Sudah satu minggu ini Jakarta sering hujan bukan dalam musimnya. Ibuku
mengatakan itu sebagai udan salah mongso, hujan salah musim. Namun
meskipun membuat jalan-jalan di Ibukota jadi banjir, datangnya bujan di saat
kemarau sedang berada di puncaknya ini di sambut cukup hangat oleh
sebagian penduduk. Kota yang berdebu, dicuci air hujan. Air sumur yang mulai
kering, terisi kembali. Dan udara yang pengap menjadi sejuk. Sementara itu
jalan di depan rumah kami, sepi. Nyaris tak ada kendaraan yang lewat. Kalau
tidak ada keperluan penting, orang-orang pasti lebih suka berada di dalam
rumahnya yang hangat. Dan di kejauhan aku mendengar suara nyanyian katak
yang membuatku jadi mengantuk.
Dalam cuaca seperti itu aku memilih tinggal di
www.ac-zzz.tk rumah dan menikmati kesendirianku. Bapak, Ibu, dan kedua adikku baru saja
berangkat ke resepsi perkawinan seorang kerabat. Windarti pasti tidak
merasa kehilangan aku. Kemarin dalam upacara siraman, malam midodareni,
dan tadi pagi dalam upacara pernikahan yang sesungguhnya, aku selalu berada
di sampingnya dan membantu apa saja yang bisa kubantu. Sekarang aku ingin
beristirahat. Kakiku yang terus-menerus berpijak pada selop tinggi terasa
pegal semua. "Hai!" Suara Gatot yang khas memasuki lingkup pendengaranku dan
menghilangkan seluruh kenikmatanku untuk menyendiri.
Karena merasa jengkel pada kehadirannya yang tak kuharapkan itu, sapaannya
tak kusahuti. Aku hanya meliriknya sekilas untuk kemudian kulabuhkan
kembali mataku ke layar kaca di depanku, Tetapi sempat kulihat pakaiannya
yang santai dan rambutnya yang agak basah karena gerimis.
"Hai!" Gatot mengulangi sapaannya.
Sapaan itu tetap tak kusahuti. Tetapi tanpa sadar aku meliriknya lagi. Kulihat
ada seringai nakal di wajahnya yang sangat menarik itu. Karenanya cepatcepat aku mengalihkan lagi mataku ke acara televisi.
'Hai," untuk ketiga kalinya laki-laki itu menyapaku. Merasa kesal akhirnya
kujawab juga sapaan itu. "Hai-mu itu untuk Tina, kan" Dia tidak ada di rumah," kataku ketus. "Sedang
pergi dan baru pulang malam nanti. "
"Aku tahu, Tina tidak ada di rumah," Gatot menjawab kalem dan santai. "Aku
juga tahu dia pergi bersama Bapak dan Bu Joko dan Didik. Mereka baru saja
berangkat, kan?" "Nah, sudah tahu begitu kok kemari sih!" aku menggerutu. Tanpa sadar aku
menoleh ke arahnya. Melihatnya begitu santai, rasa jengkelku semakin meningkat, Ia memang
sudah terbiasa keluar-masuk rumah ini lewat pintu mana pun yang ia suka. Dan
juga memilih duduk di mana pun yang ia inginkan. Seperti rumahnya sendiri
saja. Menyebalkan! "Lho, justru karena tahu kau sedang sendirian maka aku sengaja datang
kemari untuk menemanimu," sahutnya sambil tersenyum manis. Tetapi mata
dan lekuk bibirnya mencerminkan godaan yang membuat aku semakin jengkel.
"Apakah kau tidak pernah mengerti bahwa aku merasa jauh lebih senang
berada sendirian saja tanpa teman daripada mengobrol bersamamu dan
melihat tampangmu yang tengil itu. "
www.ac-zzz.tk "Wah, kau memang tak pernah mau bersikap manis terhadap tetangga
dekatmu ini," Gatot menggerutu sambil mengempaskan tubuhnya ke kursi di
dekat sofa yang kududuki ini.
"Itu penting untuk menghindari bibit penyakitl" lagi-lagi aku berkata dengan
ketus. "Berdekatan denganmu membuat orang jadi sial!"
"Lho, kok begitu sih penilaianmu" Memangnya kenapa?" Bukan main kalemnya
lelaki itu, seolah tak pernah berbuat salah. Padahal ... "
"Apakah Rini tidak mengatakan apa-apa kepadamu?"
"Rini?" "Ya, Rini-mu. Masa kau tidak tahu kalau dia datang ke kantorku"'
"Aku tidak tahu," sahutnya masih dengan sikap kalem yang membuatku jadi
yakin bahwa sesungguhnya dia sudah tahu kalau Rini menemuiku. Di kantor
"Iseng betul dia menemuimu. Memberimu oleh-oleh apa, dia?"
Aku tak mau menanggapi godaannya itu.
"Dia memintaku untuk melepaskanmu," kataku.
"Idih, memangnya aku ini apamu kok disuruh melepaskan dirimu, Jangankan
menjadi pacarmu, menjadi temanmu pun aku ogah. Enak saja dia menyuruhku
begitu!" "Tetapi kau tidak bilang begitu kepadanya. Ya, kan"'
Aku menoleh ke arahnya. Keyakinanku semakin bertambah, Gatot pasti sudah
bertemu dengan Rini. "Kau sudah bertemu lagi dengannya?" tanyaku menyelidik,
"Kalaupun ya, itu tidak penting. Dan jangan menilai apa yang terjadi hanya
dari sudut pandangmu saja atau dari apa yang cuma sedikit kauketahui," sahut
Gatot. 'Bisa-bisa kau keliru menentukan langkah nanti. Aku kenal Rini cukup
baik." "Apa maksudmu?"
"Aku tak ingin menjelaskannya padamu. Itu tidak penting. Tetapi ada sedikit
yang ingin kusampaikan kepadamu, bahwa kau terlalu serius menghadapi Rini.
Itu saja." Gatot menyeringai. "Ah, sudahlah. Ada hal yang lebih penting
daripada soal Rini. Kau tadi bilang bahwa kau tak sudi menjadi pacarku,
bahkan menjadi temanku pun tidak. Itu bisa kumengerti. Sebab yang jelas kau
adalah calon kakak iparku!"
Aku melotot ke arahnya begitu mendengar perkataannya. Tetapi aku segera
menyesal telah memelototinya. Sebab dengan mata membesar begitu aku jadi
melihat wajahnya yang ganteng, senyumnya yang menggoda, dan tubuhnya
'yang gagah. Baju kausnya yang ketat mencetak tonjolan otot?otot di bahu
dan dadanya, serta lengannya yang kokoh menjelaskan padaku bahwa Gatot
www.ac-zzz.tk memang benar-benar pecinta olahraga. Sedikitnya setiap pagi dia lari di
sekeliling kompleks perumahan ini. Tetapi aku tak mau terpengaruh oleh apa
yang kusaksikan itu. Jadi lekas-lekas aku membentaknya sambil membuang
pandang ke tempat lain. "Siapa yang sudi menjadi calon kakak iparmu!" "Tetapi itu pasti akan terjadi.
Cepat atau lambat!" Gatot berkata yakin.
"Tidak, Gatot, Tidakl" Aku melotot lagi. Tetapi kali ini daya tariknya tak
sempat masuk ke dalam pikiranku karena aku amat marah melihatnya begitu
yakin pada dirinya itu. "Rasanya itu sudah ratusan kali kukatakan kepadamu.
Tolonglah, jangan kauhancurkan masa depannya. Dia masih polos dan suci.
Sebaiknya kau kembali sajalah kepada Rini. Dia lebih panta untukmu daripada
Tina. Percayalah!" "Menurutku, Tina tidak akan sependapat denganmu," sahut Gatot kalem.
"Kecuali kalau kau sudah menceritakan kepadanya tentang bagaimana panas
dan bergairahnya ciuman kita di malam purnama waktu itu!"
Diingatkan pada peristiwa malam itu, pipiku menjadi panas dengan seketika.
Gatot pasti melihat betapa merahnya pipiku saat itu. Tetapi aku tak mau
menyenangkan hati lelaki kurang ajar itu. Karenanya cepat-cepat aku berkata
lagi. "ilmu pelet apa yang kaupakai untuk memikat Tina sampai-sampai dia belum
juga bisa melihat seperti apa dirimu yang sesungguhnya dan pikiran kotor
macam apa yang ada di kepalamu," kataku kesal sekali. "Mudah-muadahan kau
masih mempunyai sedikit saja hati nurani untuk tidak menciumi Tina seperti...
seperti yang pernah kaulakukan kepadaku."
"Kalau ya, apakah itu menganggu pikiranmu?" "Tentu saja!" seruku marah.
"Pertama, aku tidak rela kalau kauperlakukan gadis sepolos dia dengan cara ...
cara ... sebrutal itu. Kedua, kalau yang seperti itu juga kaulakukan kepada
Tina, aku benar?benar akan semakin membencimu. Sebab berarti kau telah
membenamkan diriku ke lumpur yang busuk. Bayangkan saja, bisa-bisanya aku
kau buat jadi orang yang paling goblok dan tak tahu malu di dunia ini karena
telah memberimu kesempatan untuk menciumiku dengan cara sepanas itu.
Padahal, aku ini kakak kandung Tina .... "
"Tetapi kau tidak akan merasa begitu kalau yang kucium dengan penuh gairah
itu Rini, kan?" Gatot memotong bicaraku. Nada bicaranya mengandung godaan.
"Kau ... kau seperti beruang busuk!" Aku nyaris berteriak. "Mata keranjang,
hidung belang. Aku sangat membencimu, Gatot."
www.ac-zzz.tk "Waduh, reaksimu kok bisa begitu berlebihan sih. Kan aku tadi mengatakan,
kalau .... " Gatot menanggapi sikap marahku dengan kalem sekali. "Lagi pula
aku 'tidak punya niat sedikit pun untuk menciumi Rini."
Aku terdiam. Aku yakin sekarang, Gatot tidak pura-pura dingin terhadap Rini
waktu kami bertemu di pertokoan waktu itu. Baginya Rini hanyalah masa lalu,
sebagaimana sikap yang diperlihatkannya di pertokoan waktu itu. Berarti
usaha Rini untuk mendekatinya lagi sia-sia saja, walaupun aku sudah
mengatakan padanya bahwa dia bebas meraih hati Gatot kembali. Mungkin
itulab yang dimaksud Gatot ketika mengatakan padaku tadi bahwa aku bisa
keliru langkah kalau melihat masalah Rini hanya dari sudut pandangku aja.
Entahlah benar atau tidak dugaanku itu. Tetapi ah, buat apa kupikirkan. Bukan
urusanku. "Kok diam?" Gatot bertanya ambil memicingkan matanya.
"Aku sedang berpikir," dalihku. "Tentang?"
"Cara bagaimana supaya kau itu sadar bahwa Tina bukanlah orang yang tepat
untukmu. Masa semua alasan yang kuberikan kepadamu tidak kau dengar sama
sekali. Padahal kalian berdua betul?betul tidak cocok. Carilah gadis lain yang
lebih pantas untukmu!"
"Bagus juga pikiranmu itu, Ambar. Aku jadi punya pikiran baru."
"Pikiran baru bagaimana?"
"Bahwa kalau Tina memang tidak cocok untukku, maka yang lebih pas untuk
kujadikan istriku adalah kau!" Gatot menjawab pertanyaanku dengan sangat
tenang. "Gombal!" aku berteriak sambil melemparkan bantalan kursi ke wajahnya.
"Siapa yang sudi!"
"Aku yang sudi, Ambar. Jadi kalau aku tidak jadi dengan Tina dan seandainya
aku disuruh memilih antara dirimu atau Rini, maka seribu kali aku akan lebih
memilihmu!" Gatot menangkap bantalan kursi yang kulempar tadi sambil
menjawab perkataanku. Dan dengan sikap yang masih itu-itu juga. Tenang.
Seolah dia sedang berbicara tentang bagaimana memilih burung peliharaan.
Sialan. "Dasar tak punya perasaan, ya begitu itu yang diomongkan!" Aku melotot lagi,
Gatot menanggapi pelototan mataku dengan sikap yang kurang ajar sekali.
Tangannya menopang dagu dan matanya mengawasiku dengan geli sementara
bibirnya tersenyum-senyum. Benar-benar membuatku kalang kabut, Ingin
sekali aku menampar wajab gantengnya yang kurang ajar itu. Tanganku sudah
gatal. www.ac-zzz.tk Dering bel pintu depan yang tiba-tiba memecah suasana yang menegangkan
perasaanku itu menyelamatkanku dari perbuatan tak sopan yang hampir saja
kulakukan. Apalagi bik Imas muncul di ambang pintu, bermaksud untuk
membuka pintu depan .. "Biar aku saja yang membukakan pintu, Bik," kataku kepadanya.
"Kalau begitu, saya buatkan minumnya saja ya, Non."
"Jangan dulu, Bik. Belum tentu itu tamu untukku. Kalau mencari Bapak atau
yang lain, pasti dia akan segera pulang."
"Pak Gatot sajalah, kalau begitu. Mau minum apa?" Bik Imas ganti menoleh ke
arah Gatot. "Nanti saja, Bik Lagi pula aku kan bukan tamu. Cal0n menantu di rumah ini
bisa mengambil apa saja yang kumaui, kan" Betul tidak, Bik?"
Bik Imas tertawa sambil menganggukkan kepalanya. Kemudian dia masuk ke
belakang kembali. Tepat pada saat itu bel pintu berdering lagi. Dengan
perasaan kesal karena tak sempat menumpahkan kejengkelanku kepada Gatot,
aku terpaksa pergi ke depan. Kulihat Gatot mengekor di belakangku. Hatiku
semakin kesal saja jadinya. Memangnya dia yang punya rumah"
Namun tatkala aku melihat siapa yang datang, kedongkolanku kepada Gatot
berubah menjadi rasa syukur. Untunglah dia mengekor di belakangku. Bahkan
kehadirannya telah memberiku kekuatan ekstra. Sebab yang datang adalah
Bram. Laki-laki muda yang tampak gagah dan rapi itu berdiri di muka pintu dengan
sikap percaya diri. Penampilannya sangat menarik, jauh lebih menarik daripada yang bisa kuingat
tentang dirinya. Dan dia tersenyum manis sekali kepadaku, Sedangkan aku
masih berdiri bingung karena sedikit pun tak singgah dalam pikiranku bahwa
dia akan datang petang ini. Di saat cuaca kurang bagus pula. .
"Halo?" ia menyapaku. Tangannya terulur kepadaku.
"Halo ... " Kusambut tangannya. Tetapi karena aku merasakan remasan
tangannya, cepat-cepat aku menariknya kembali. Lalu dengan perasaan masih
bingung kupersilakan dia masuk.
Bram lalu melangkah masuk dan langsung duduk di sudut dekat jendela. Persis
seperti yang dulu sering ia lakukan. Padahal di ruang tamu itu sudah ada
beberapa perubahan barang maupun letak pengaturannya.
"Hm ... rasanya seperti pulang kandang ... ," kata Bram sambil melayangkan
pandangannya ke sekeliling.
www.ac-zzz.tk "Hampir-hampir tak ada yang berubah di tempat ini. 'termasuk flamboyan di
tepi jalan itu, masih tetap pohon yang dulu juga. Kecuali, saat ini sedang tak
berbunga.' Aku tidak ingin memberi komentar apa pun.
Perasaanku tak tenang. Aku belum siap menghadapi Bram kendati waktu itu
kami sudah bercakap?cakap melalui telepon dan sudah sekian tahun lamanya
tak pernah saling berkabar maupun bertemu. Tetapi meskipun demikian aku
masih ingat satu hal. Yaitu jangan sampai lelaki itu menyangka masih ada sela
di hatiku untuk menguakkan kembali pintu-pintu hubungan kami yang lama.
Jam pikiranku bergerak cepat. Kulirik Gatot masih berdiri agak canggung di
belakangku. Bram pasti k?rang memperhatikannya sebab Gatot hanya
mengenakan ce1ana pendek sebatas lutut dan sandal jepit. Mungkin dikiranya,
Gatot termasuk kerabatku.
"Mas, ikut duduk di sini dong!" dengan manis kupanggil Gatot agar ia mau
bergabung. Kulihat Gatot tertegun mendengar sebutan "mas" dari mulutku. Tetapi itu tak
lama. Bibirnya segera membentuk senyum manis. Rupanya, sudah ada lintasan
dugaan di kepalanya bahwa aku membutuhkan kehadirannya untuk menghadapi
tamu tak diundang ini. Dengan cepat ia maju mendekati Bram.
"Tetapi sebelumnya ada baiknya kalau aku berkenalan dengan tamumu ini, Dik
Ambarl" kata lelaki itu. Dalam keadaan biasa, meskipun aku membenci Gatot,
sebutan "dik" yang diucapkannya dengan fasih itu pasti akan membuatku
tertawa. Mendengar pembicaraanku dengan Gatot, barulah Bram memperhatikan
keberadaan lelaki yang belum dikenalnya itu. Apalagi Gatot sudah
mengulurkan tangan lebih dulu.
"Gatot." begitu lelaki itu mengenalkan dirinya. "Bramanto!" Bram berdiri
sebentar, menyambut uluran tangan Gatot, lalu duduk kembali."Masih
keluarga Ambar?" "Hampir, Ya kan, Mas?" aku yang menjawab, menyambar lebih dulu dengan
penekanan pada kata "hampir" itu secara khusus.
Gatot sungguh pandai melihat gelagat. Jawaban?ku yang gesit itu
.diranggapinya dengan baik sekali. . "Ya," ia menjawab sambil memilih duduk di
kursi yang pas untuk dua orang.
Ketika Flamboyan Berbunga Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menyusul duduk. Sengaja kupilih tempat di samping Gatot. Lalu aku
bertanya pada Bram untuk menunjukkan bahwa aku nyonya rumah yang baik,
"Tidak kehujanan tadi" Di luar masih gerimis." "Mobilku kuparkir dekat
teras ... ," jawabnya. Dari pandangan matanya yang sudah kukenal itu, aku
www.ac-zzz.tk melihat keingintahuannya mengenai keberadaan Gatot di rumah ini.
Jawabanku yang mengatakan bahwa Gatot hampir menjadi keluargaku pasti
menimbulkan teka-teki dalam dirinya.
"Wah, aku kok tidak mendengar suara mobil masuk," kataku lagi. "Mungkin
karena kita berdua sibuk mengobrol tadi ya, Mas."
"Ya." Gatot menganggukkan. kepalanya, kemudian tersenyum.
"Dingin-dingin begini kau pasti membatuhkan minuman hangat ya, Mas Bram.
Mau kopi, teh, atau cokelat?"
"Apa sajalah .... "
Aku menoleh kepada Gatot dan tersenyum manis . . "Kau pasti ingin cokelat
susukan seperti biasanya?" tanyaku.
"Tentu!" Gatot juga membalas senyumku. Manis
sekali senyumnya itu. Ah, pandainya dia menanggapi sandiwaraku.
"Kalau begitu akan kubuatkan minuman untuk kalian." Aku berdiri dan langsung
meninggalkan kedua lelaki itu di ruang tamu. Dan kupanggil pembantu kami
untuk membuatkan tiga cangkir minuman hangat.
"Cokelat susu semua sajalah, Bik!" kataku kepadanya. Kemudian dengan
langkah cepat aku berjalan ke ruang tamu kembali.
"Tak jadi bikin sendiri, Dik?" Gatot menatapku dengan pandangan geli. Ia
pasti tabu alasanku cepat kembali ke ruang tamu itu. Dia pasti tahu, aku tidak
ingin dia sendirian saja bersama Bram. Takut keliru bicara.
"Tidak, Mas. Diminta Bibik!" sahutku. Kesal aku karena Gatot merasa geli dan
tampaknya ingin menertawakan kelakuanku. Karenanya cepat-cepat aku
mengalihkan pembicaraan kepada Bram. "Tumben, Mas. Memang sengaja
datang kemari atau karena kebetulan lewat di dekat sini?"
"Keduanya, Maksudku, aku memang bermaksud untuk berkunjung kemari
dalam waktu dekat ini. Dan kebetulan, aku lewat tak jauh dari rumahmu. Jadi
kupikir, apa salahnya aku menjengukmu. Tetapi kalau kau keberatan... atau
kalau aku mengganggumu, aku akan pergi...."
"Lho, jangan berkata begitu, Mas!" Gatot yang mewakili bicaraku. "Dik Ambar
pasti senang dikunjungi teman. Apalagi di luar, hujan belum berhenti. Kan
Iebih enak mengobrol di sini."
"Tidak kesasar tadi. .. ?"tanyaku, berbasa-basi. "Bagaimana mungkin bisa
kesasar?" Bram menatapku dengan dahi agak berkerut. Mungkin pertanyaanku
tadi telah menyinggung perasaannya. Entahlah. "Apakah kau tidak ingat
betapa seringnya aku dulu datang kemari?"
"Oh ya, aku lupa .... " Aku tersipu agak malu.
"Maklum ... sudah lama sekali."
www.ac-zzz.tk "Dulu Mas sering datang kemari?" Gatot menimpali.
"Ya." "Dik Ambar tidak pernah menceritakannya padaku. Padahal hampir semua
teman dekatnya sudah kukenal dan kuketahui ceritanya. Dia itu kalau sudah
bercerita mengenai teman-temannya, wah, bisa. berjilid-jilid kalau dibukukan.
Tetapi mengenai Mas Bram, tidak pernah dia bercerita. Terlalu!" Gatot
tertawa. "Maaf, aku lupa." Aku pura-pura tertawa. Sialan sekali si Gatot ini.
Tampaknya dia sangat menikmati sandiwaraku
"Bisa-bisanya lupa sih?" Gatot mencubit pipiku dengan gemas tanpa malu
dilihat oleh Bram. "Belakangan ini kau sering lupa ini dan itu. Terlalu banyak
pekerjaan di leantor ya" Kasihan."
"Ah, namanya juga manusia. Lupa itu manusiawi kan, Mas!" Aku mengimbangi
caranya bersandiwara dengan tersenyum manis dan sedikit manja. Tetapi
begitu Bram melayangkan matanya ke luar jendela, kucubit kera-keras lengan
Gatot sampai laki-Iaki itu meringis kesakitan. Rasakan, pikirku. Enak saja dia
mencubit-cubit pipi orang di depan tamu.
Tetapi apa pun yang terjadi saat itu, aku lang?sung tabu bahwa perasaan
Bram mulai resah. Rupanya kemesraan yang berhasil kuperlihatkan bersama
Gatot tadi menyadarkan dirinya bahwa laki?laki yang dikiranya masih
keluargaku itu mempunyai hubungan khusus dengan diriku. Dengan kata lain,
keinginannya untuk mengakrabiku kembali sudah tidak mungkin lagi terjadi.
Aku yakin laki-laki itu sudah ingin keluar dari rumah ini. Tetapi demi sopan
santun ia masib mencoba bertahan untuk tetap berada di tempat, Hal seperti
itu juga kurasakan. Sebenarnya aku sudah tidak tahan duduk lebih lama lagi di
dekat kedua lelaki itu. Terhadap Bram aku sudah tidak punya perasaan apa
pun. Dan meskipun waktu baru melihatnya tadi aku sempat memujinya di
dalam hati, itu sama saja seperti kalau aku mengagumi lelaki lain yang gagah.
Berteman dengannya saja pun aku sudah tidak mau.
Bahwa aku bersikap mesra terhadap Gatot di muka Bram, itu adalah caraku
untuk memberitahu bahwa aku sudah mempunyai kekasih. Dan bahwa aku
sudah menutup masa laluku bersama dia. Tak ada niatku membuat dia jadi
cemburu karena memang tidak ada relevansinya dengan perasaanku dan juga
tidak ada gunanya. Untuk apa membuatnya cemburu kalau seujung kuku pun
aku sudah tidak peduli padanya"
Namun sebagai tuan rumah yang tahu sopan santun aku tetap mengajak Bram
mengobrol tentang ini dan itu yang tak ada kaitannya dengan masalah?masalah
pribadi. Gatot juga kuikutsertakan dalam obrolan itu. Padahal aku benarwww.ac-zzz.tk benar sudah ingin mengusirnya pergi. Bukan hanya karena aku sudah tidak
menyukainya saja, tetapi terutama karena kekurangajaran Gatot yang
bersikap seolah aku ini kekasih tersayangnya. Sebentar-sebentar ia
menyebutku "Sayang". Sebentar-sebentar pula ia menggenggam telapak
tanganku atau melingkarkan lengannya ke bahuku. Padahal dua kali aku
mencubit lengannya keras-keras sambil melototkan mata ke arahnya pada
waktu Bram sedang tidak melihatnya.
Untunglah akhirnya Bram minta diri sesudah cokelat susunya babis dan
gerimis di luar berhenti. Dan seperti tadi, untuk menunjukkan diriku sebagai
tuan rumah yang baik, aku terpaksa sedikit berbasa?basi juga agar Bram
tidak terlalu merasa kecewa karena kedatangannya sia-sia saja.
"Terima kasih atas kunjunganmu lho, Mas Bram," kataku setelah kami berada
di teras, sebelum Bram turun ke halaman.
Dan ketika laki-laki itu sudah masuk ke mobilnya aku masih menambahkan
basa-basi pergaulan lainnya,
"Salam ya untuk kedua orangtuamu dan juga saudara-saudaramu. "
"Terima kasih. Ayo, Ambar, Mas Gatot.. .. " Bram menganggukkan kepalanya,
menutup kaca jendeJa mobilnya, dan dalam waktu yang singkat menghiLang
dari pandanganku. Kututup dulu pintu pagar, baru aku masuk ke rumah. Tetapi karena Gatot
masih mengekor di belakangku, niatku untuk mengunci pintu depan kutunda.
"Kau tidak pulang sekalian?" tegurku. Lebih sebagai usulan daripada
pertanyaan. Gatot tidak menjawab pertanyaanku. Tetapi dengan tangannya yang berotot
dan kokoh itu ia mengunci pintu depan rumahku. Sedemikian tenangnya cara
dia melakukan itu sampai aku jadi jengkel sekali.
"Kok malah dikunci?" semburku. "Kau kan masih ada di sini!"
"Memangnya pintu rumah di sini cuma ini satu?satunya?" dia balik bertanya.
"Oke, Jadi kau mau pulang lewat pintu samping"
Ayolah, kalau begitu, Kuantar kau keluar sekarang. Akan kukunci sekalian."
Kuharap Gatot tahu bahwa apa yang kukatakan itu merupakan caraku
mengusir dia dari rumah ini secara halus.
"Aku belum 'mau pulang. Jam delapan belumlah terlalu malam untuk ukuran
kota besar seperti Jakarta," Gatot menanggapi perkataanku sambil
tersenyum manis yang dibuat-buat. "Jadi, aku masih tetap setia pada
tujuanku kemari tadi, yaitu menemanimu sampai keluargamu pulang."
"Aku bukan anak kcil yang masih membutuhkan pengasuh. Jadi, Gatot,
pulanglah. Aku lebih suka sendirian. Mau menonton televisi dengan kaki ke
www.ac-zzz.tk atas meja, atau kepalaku kuletakkan di bawah dan kakiku ke atas, tak ada
yang melihat. Bebas. Sudah begitu ... "
Suaraku terhenti oleh sentakan tangan Gatot pada lenganku. Dan tidak
segera dilepaskannya. "Jangan mengusirku sesudah tadi kaupakai aku
dengan sesuka hatimu!" ia mendesis di samping wajahku.
''Memakaimu untuk apa?"
"Untuk membuat bekas kekasihmu itu cemburu!"
Gatot mendesis lagi. Lenganku yang terjepit tangannya terasa sakit. "Jadi,
Ambar, jangan pernah lagi memperalat diriku untuk memberi kesan bahwa aku
ini kekasihmu. Apalagi dengan tujuan membuatnya gelisah karena cemburu!"
Kalau tidak dalam keadaan seperti itu, aku pasti tertawa. Sebab
perkataannya mengingatkanku pada perkataan senada yang pemah
kulontarkan padanya ketika kami baru saja berpisah dengan Rini sesudah
makan siang bertiga, beberapa waktu yang lalu. Kalau ini sebuah pcrtandingan,
maka hasilnya seri Satu lawan satu.
"ldih," sahutku mengusir rasa geli yang melintasi perasaanku itu. "Buat apa
membuatnya cemburu dan siapa bilang dia itu bekas kekasihku?"
"Dari sikap kalian berdua dan dari pembicaraan kalian, sangat mudah bagiku
untuk menangkap adanya hubungan khusus yang pernah terjalin di antara
dirimu dan dia!" Gatot menatapku dengan bengis. "Jadi jangan
mengikutsertakan aku dalam urusan kalian berdua!"
Lagi-Iagi aku ingin tertawa. Sebab perkataan seperti itu juga pernah
kukatakan kepadanya waktu dia melakukan hal sama kepadaku di hadapan Rini
Tetapi tentu saja rasa geli itu kutindas kuat?kuat.
"Aku tidak bermaksud membuat Bram cemburu,"
sahutku. " Buat apa" 'Sudah tak ada kaitannya dengan kehidupanku sekarang
ini. Apalagi ke masa depan."
"Kalau begitu, kenapa tadi kau begitu bersemangat membuat kesan seolah ada
hubungan cinta yang mesra di antara kita berdua?"
"Aku hanya mau menunjukkan padanya bahwa di antara kami berdua sudah
tidak ada apa-apa lagi yang bisa dilanjutkan kembali. Aku ingin
memperlihatkan padanya babwa saat ini aku sudah mempunyai kekasih ... "
Suaraku terhenti mendadak, sadar bahwa tanpa sengaja aku telah mengakui
sandiwara yang mengikutsertakan Gatot tanpa minta persetujuannya lebih
dulu. Maka tanpa aku mampu menahannya, wajahku langsung saja seperti
terbakar. www.ac-zzz.tk "Teruskan!" Gatot mendesis lagi. Tetapi aku melihat ada rasa geli di bola
matanya yang berkilat?kilat itu.
"Apanya?" Aku tak mau kalah. Kupelototi dia
dengan mataku. "Pengakuanmu tadi?"
"Tetapi, .. lepaskan dulu tanganmu. Sakit, tahu!" "Tidak, sebelum kau
mengakui kesalahanmu." "Oke, Aku tadi memang telah memperalat dirimu
seolah kau kekasihku. Untuk itu, aku minta maaf!" Aku memang mengakui
kesalahanku, tetapi tentu saja air mukaku tidak sejalan dengan apa yang
kuucapkan itu. "Nah, sekarang kau puas kan men?dengar pengakuan itu?"
"Tidak. Sama sekali tidak puas!" Gatot menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan mata menyipit menatapku. "Pengakuanmu itu tidak tulus keluar dari
hatimu. Jadi aku tak mau melepaskan lenganmu!"
"Jangan main-main denganku, Gatot. Apa sih maumu"Apakah aku harus
menyembah kakimu?" Aku mulai jengkel.
"Jangan sebut namaku begitu saja. Aku lima tahun lebih tua darimu. Sebutlah
seperti di hadapan Bram tadi, Mas Gatot. Manis sekali terdengar di telinga.
Maka aku akan menyebutmu Dik Ambar. Nah, manis juga, kan"'
"Tak sudi!" "Harus sudi. Kau telah membangunkan macan tidur dalam diriku. Senang sekali
aku menerima sikap mesramu tadi. Dan kemanjaan yang kauperlihatkan tadi
membuatku mengira apa yang terjadi itu bukan bagian dan sandiwaramu. Aku
sampai terlarut di dalamnya dan ... "
"Membangunkan macan tidur bagaimana?" aku memotong perkataannya
dengan pipi yang semakin terasa panas. "Jangan mengada-ada. Dan cepat,
lepaskan tanganmu dari lenganku!"
Bukannya melepaskan lenganku, Gatot malah menarikku ke arah tubuhnya
sehingga aku yang tidak memperhitungkan perbuatannya itu terjerembap
masuk ke pelukannya. Dan tak diberinya pula aku kesempatan untuk
mendapatkan keseimbangan tubuhku agar bisa tegak kembali. Tangan laki-laki
itu langsung saja mengunci tubuhku dengan cara memelukku crat-erat, Dan
kemudian dengan gesit didorongnya aku ke pintu sehingga aku tersandar di
sana dan terperangkap di dalam kekerasaan pelukannya.
"Lepaskan, Tot." Aku mulai panik. Suaraku mulai bergetar.
Tetapi Gatot tidak mau mendengarkan permintaanku. Dia sibuk dengan
perasaannya sendiri. "Sekarang ini aku masih mabuk: kesenangan karena sikap mesramu kepadaku
tadi," katanya, "Rasanya, aku ini benar-benar seperti kekasihmu."
www.ac-zzz.tk Kemudian didekatkannya wajahnya ke wajabku.
Ketika kurasakan embusan napasnya yang hangat pada dahiku, aku jadi
semakin panik, Tetapi bukan dia, yang kutakuti, melainkan diriku sendiri.
"Lepas ... ," pintaku. Tetapi ucapanku selesai. Sebab tiba-tiba saja bibirku
telah dilumat oleh bibirnya. Seperti yang pernah terjadi di Ancol beberapa
waktu yang lalu, sekarang aku juga tak mampu berpikir apa pun kecuali
merasakan penguasaan bibirnya atas bibirku. Maka kalau berpikir saja pun tak
sanggup, bagaimana pula aku bisa menolaknya" Aku bahkan langsung saja
terseret ke dalam pesonanya. Laki-laki ito menciumiku dengan penuh gairah.
Tubuhnya yang kokoh mengimpit tubuhku. Dadanya yang bidang dan kenyal itu
merapat ke dadaku sehingga paha kami saling menempel. Dan kemudian
tangannya yang semula melingkari lenganku dilepaskannya. Tetapi sebagai
gantinya, dengan tangan itu ia mulai membelaiku. Belum pernah aku
diperlakukan seintim itu. Bahkan oleh Bram sekali pun. Tubuhku dikunci
dengan tangan kirinya dan rambut serta bagian-bagian wajahku dibelai dan
ditelusuri oleh jemari tangan kanannya dengan cara seorang pemilik. Babkan
bagai seorang pemenang. Sementara itu tububnya menekan tubuhku.
Aneh sungguh diriku ini. Dengan Bram, aku selalu mampu menahan gairahnya
dengan ucapan maupun dengan sikapku yang tegas sebingga lelaki itu tak
pernah berani berbuat lebih dari sekadar menciumku. Membelai sedikit turun
saja dari rambutku, aku sudah menegurnya.
Tetapi berada dalam pelukan Gatot, aku kehilangan segalanya. Kesadaranku,
akal sehatku, sikap tegasku, penolakanku. Bahkan tanpa mauku, badanku
menggigil oleh usapan-usapan tangannya pada kuduk, lengan, dan punggungku.
Dan ketika bibir Gatot mulai menciumi sisi leherku dan menggigit lembut
daguku aku merasa kakiku seperti kehilangan tulang penyangga. Seluruh
tubuhku menjadi lemah lunglai. Barangkali Gatot merasakan hal itu. Ia
merengkuh tubuhku yang setengah bergayut pada bahu dan lehernya itu.
Meskipun sudab sedemikian jauhnya kami bercumbu, otak warasku masih saja
belum bisa bekerja secara normal. Yang terjadi justru aku pasrah dan bahkan
menikmati kemesraan yang diselubungkan lelaki itu padaku. Selain itu aku
malah membalas pelukan dan ciumannya dengan sepenuh gelora. Merasakan
balasanku, tubuh Gator juga gemetar.
"Ambar ... ," kudengar lelaki itu membisikkan namaku berulang-ulang dengan
sangat mesra, menyebabkan darahku mengaIir deras dan jantungku berpacu
demikian cepat. Tubuhku terasa panas dan dingin bergantian.
Tiba-tiba Gatot menarik tanganku dari lehernya, lalu menuntunnya dan
meletakkannya, menyusup melalui lubang baju kausnya. Aku menggelinjang dan
www.ac-zzz.tk bergetar tatkala kurasakan kulit dadanya yang hangat dan bulu dadanya yang
halus. Aku mengeluh tanpa sadar, Perbuatan itu sudah terlalu intim untuk dilakukan
oleh insan yang belum terikat sebagai suami-istri. Lebih-lebih bagi kami
berdua. Tak ada hubungan percintaan di antara diriku dan Gatot. Tetapi toh
dalam kemacetan otakku itu aku telah membiarkan kermsraan itu terjadi.
Kalau saja aku tidak mendengar gumaman yang Iebih mirip seperti erangan
Shogun 4 Joko Sableng Istana Lima Bidadari Perawan Lembah Wilis 11