Ceritasilat Novel Online

Horor Di Camp Jellyjam 1

Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam Bagian 1


PENUH semangat Mom menunjuk melalui jendela mobil. "Lihat itu!
Ada sapi!" Adikku, Elliot, dan aku sama-sama mengerang. Sudah empat jam
kami melintasi daerah pertanian, dan Mom menunjuk setiap sapi dan
kuda yang kami lewati. "Coba lihat ke sebelah sana, Wendy!" Mom berseru dari kursi depan.
"Ada domba!" Aku menoleh dan melihat sekitar selusin domba kelabu - semuanya
gemuk dan berbulu tebal - yang sedang merumput di bukit yang hijau.
"Dombanya bagus, Mom," ujarku sambil memutar-mutar bola mata.
"Hei, ada sapi lagi!" seru Elliot.
Sekarang dia juga ikut-ikutan!
Langsung saja kusodok rusuknya keras-keras. "Mom, biasa tidak
orang meledak karena bosan?" aku berkeluh kesah.
"DOOOR!" seru Elliot. Konyol sekali, ya"
"Apa kubilang," Dad bergumam pada Mom.
"Anak umur dua belas sudah terlalu besar untuk diajak bepergian naik mobil."
"Anak umur sebelas juga!" Elliot memprotes. Aku dua belas. Elliot sebelas.
"Bagaimana mungkin kalian bosan?" tanya Mom. "Lihat - ada kuda!"
Dad menambah kecepatan untuk menyusul truk besar berwarna
kuning. Jalanan yang kami lewati berkelok-kelok di antara bukit-bukit yang
tinggi. Di kejauhan aku melihat gunung-gunung terselubung
kabut tebal. "Begitu banyak pemandangan indah yang bisa kita kagumi," komentar Mom takjub.
"Tapi lama-lama semuanya jadi mirip sekumpulan foto di kalender,"
aku menggerutu. Elliot menunjuk ke luar jendela. "Lihat, tuh. Tidak ada kuda!"
Ia ketawa sampai terbungkuk-bungkuk, seakan-akan itu lelucon paling lucu yang
pernah dilontarkan orang.
Mom menoleh ke belakang, menatap adikku sambil memicingkan
mata. "Kau mengolok-olok Mom, ya?"
"Ya!" sahut Elliot.
"Tentu saja tidak," aku menimpali. "Mana ada yang berani mengolok-olok Mom?"
"Kenapa sih kalian tidak bisa serius sedikit?" kata Mom jengkel.
"Kita sudah hampir meninggalkan Idaho," Dad mengumumkan. "Di depan sana sudah
Wyoming. Sebentar lagi kita sampai di gunung-gunung itu."
"Siapa tahu ada sapi gunung di situ," seruku. Elliot ketawa.
Mom menghela napas. "Silakan. Silakan rusak liburan keluarga kita.
Liburan pertama dalam tiga tahun."
Mobil kami terguncang karena melewati lubang di jalan. Karavan di
belakang terdengar melonjak-lonjak. Karavan tua model kuno itu
sudah kami tarik melintasi seluruh daerah Barat.
Sebenarnya sih, karavan itu cukup asyik. Di dalamnya ada tempat
tidur tingkat yang terpasang berhadapan di dua dinding. Selain itu
juga ada meja untuk makan atau bermain kartu. Malahan ada dapur
kecil segala. Setiap malam kami mampir di tempat pemberhentian karavan. Dad
lalu menyambungkan karavan kami ke saluran air dan listrik, dan
kami bermalam di dalamnya, di dalam rumah kecil yang bisa dibawa
ke mana-mana. Kami kembali terguncang. Karavan di belakang juga melonjak-lonjak
lagi. Jalanan mulai menanjak ketika kami memasuki daerah
pegunungan. "Mom, bagaimana aku bisa tahu apakah aku mabuk darat atau tidak?"
tanya Elliot. Mom membalik dan menatapnya sambil mengerutkan kening. "Elliot, kau tidak pernah
mabuk darat," katanya. pelan-pelan. "Kau lupa, ya?"
"Oh, benar juga," sahut Elliot. "Habis, aku pikir lumayan untuk isi waktu."
"Elliot!" Mom menghardiknya. "Kalau kau memang begitu bosan, kenapa tidak tidur
saja?" "Huh, bosan," adikku menggerutu.
Wajah Mom merah padam. Tampang Mom tidak seperti Dad, Elliot,
dan aku. Ia berambut pirang dan bermata biru, dan kulitnya yang putih gampang
sekali jadi merah. Ia juga agak gendut.
Dad, adikku, dan aku sama-sama kurus dan berkulit kecokelatan.
Kami bertiga berambut dan bermata cokelat.
"Kalian tidak sadar betapa beruntungnya kalian," Dad berkata pada Elliot dan
aku. "Kalian bisa melihat pemandangan yang
menakjubkan." "Bobby Harrison pergi ke camp baseball," Elliot mengomel. "Dan Jay Thurman pergi
ke camp sleep-away selama delapan minggu!"
"Padahal aku juga mau ke sana!" aku memprotes.
"Musim panas nanti kau bisa ke sana," balas Mom ketus.
"Kesempatan seperti ini hanya ada satu kali seumur hidup!"
"Tapi aku bosan!" keluh Elliot.
"Wendy, ajak adikmu bermain," Dad menyuruhku.
"Hah?" seruku. "Main apa?"
"Main Geografi Mobil, misalnya," Mom mengusulkan.
"Aduh, kok itu lagi?" Elliot menggerung.
"Ayo, Mom yang mulai," ujar Mom. "Atlanta."
Huruf terakhir Atlanta adalah A. Jadi aku harus mencari nama kota
yang dimulai dengan A. "Albany," kataku. "Giliran kau, Elliot."
"Hmm, kota yang dimulai dengan Y..." Adikku berpikir sejenak. Lalu ia
mengerutkan kening. "Ah, aku tidak mau ikut main!"
Adikku memang payah. Setiap permainan dianggapnya serius, dan ia
benar-benar kesal kalau sampai kalah. Kadang-kadang ia begitu
ngotot kalau main bola atau softball, hingga aku cemas melihatnya .
Kadang-kadang kalau merasa tidak bisa menang, ia langsung berhenti.
Seperti sekarang. "Bagaimana dengan Youngstown?" tanya Mom.
"Ada apa dengan Youngstown?" Elliot menggerutu.
"Aku punya ide!" seruku. "Bagaimana kalau Elliot dan aku pindah ke karavan?"
"Yeah! Itu Baru asyik!" Elliot menimpali.
"Lebih baik jangan," ujar Mom. Ia berpaling pada Dad. "Menumpang karavan yang
sedang ditarik melanggar hukum, bukan?"
"Entahlah," kata Dad sambil mengurangi kecepatan. Kami sedang melewati hutan
cemara yang lebat. Udara terasa begitu segar dan
harum. "Boleh, dong!" Elliot merengek. "Boleh, dong!"
"Kurasa tak ada salahnya kalau kita biarkan mereka di sana sebentar,"
Dad berkata pada Mom. "Asal mereka hati-hati."
"Kami akan berhati-hati sekali!" Elliot cepat-cepat berjanji.
"Kau yakin tidak apa-apa?" tanya Mom.
Dad mengangguk. "Apa yang perlu dikuatirkan?"
Dad menepikan mobil. Elliot dan aku buru-buru turun. Kami berlari
ke karavan, membuka pintu, dan berebut masuk.
Beberapa detik kemudian kami berangkat lagi. Aku dan adikku
terguncang-guncang di dalam karavan yang besar.
"Wah, ini baru asyik!" seru Elliot, berjalan menuju ke jendela belakang.
"Ide siapa dulu, dong!" tanyaku sambil mengikutinya. Ia langsung mengajakku berhigh five. Kami memandang ke luar jendela belakang. Jalanan seakan-akan
menukik ke bawah ketika kami menanjak ke pegunungan.
Karavannya terguncang-guncang dan terayun-ayun.
Jalanan semakin menanjak. Semakin terjal. Dan itulah awal dari
kesulitan kami. "AKU menang!" teriak Elliot. Ia langsung berdiri dan mengacungkan kedua kepalan
tinjunya. "Tiga dari lima!" aku menuntut sambil mengurutu-urut pergelangan.
"Ayo - tiga dari lima. Kecuali kalau kau tidak berani."
Aku tahu Elliot tak bakal bisa menolak kalau ditantang begitu. Ia
paling sebal dituduh takut. Langsung saja ia duduk lagi di kursinya.
Kami sama-sama mengambil posisi di meja dan saling mencengkeram
tangan. Sudah sekitar sepuluh menit kami adu panco. Asyik juga, lho, sebab
mejanya ikut terguncang setiap kali karavannya melewati
lubang di jalan. Aku dan Elliot sama kuat. Tapi ia lebih ngotot. Jauh lebih ngotot.
Belum pernah aku melihat orang yang begitu ngotot kalau adu panco!
Bagiku, permainan ya cuma permainan. Tapi bagi Elliot setiap
permainan adalah urusan hidup atau mati.
Sudah sekitar lima kali ia memenangkan dua dari tiga pertandingan.
Pergelanganku pegal dan jemariku nyeri. Tapi aku benar-benar ingin
mengalahkannya dalam pertandingan yang terakhir ini.
Aku membungkuk sedikit dan meremas tangannya. Sambil
mengertakkan gigi, kutatap matanya yang cokelat tanpa berkedip.
"Ayo!" serunya.
Kami sama-sama mengerahkan segenap tenaga.
Aku mendorong keras-keras. Tangan Elliot mulai terdesak mundur.
Kudorong tangannya lebih keras lagi. Sedikit lagi aku akan menang.
Sedikit lagi. Ia mengerang dan memejamkan mata. Wajahnya jadi merah padam.
Urat-urat di sisi lehernya menegang.
Adikku paling tidak tahan kalau kalah. GUBRAK!
Punggung tanganku menghantam permukaan meja.
Elliot menang lagi. Sebenarnya sih, aku sengaja membiarkannya menang. Aku tidak mau
kepalanya sampai meledak cuma gara-gara adu panco ini.
Ia berdiri dan mengacung-acungkan tangan merayakan
kemenangannya. "Hei - !" tiba-tiba Elliot berseru karena karavan berayun keras, lalu tubuhnya
terempas ke dinding samping.
Karavan berayun sekali lagi. Aku berpegangan pada tepi meja agar
tidak terlempar dari kursi. "Ada apa ini?"
"Kita berubah arah. Sekarang kita menuju ke bawah," jawab Elliot.
Dengan hati-hati ia kembali ke meja.
Tapi kami kembali terguncang keras, dan kali ini Elliot terempas ke lantai. "Hei
- kita mundur!" "Pasti Mom yang nyetir," ujarku sambil berpegangan pada tepi meja dengan kedua
tangan. Mom selalu menyetir seperti orang gila. Kalau kami memperingatkan
bahwa kecepatannya sudah delapan puluh, ia selalu bilang, "Masa, sih" Rasanya
seperti tiga lima!" Karavan melonjak-lonjak dan terguncang-guncang menggelinding ke
bawah. Elliot dan aku ikut terguncang-guncang di dalam.
"Ada apa sih dengan Mom dan Dad?" Elliot berseru. Ia berpegangan pada salah satu
tempat tidur sambil berusaha menjaga keseimbangan.
"Mau ke mana kita" Kenapa kita mundur?"
Karavan itu meluncur ke bawah. Dengan susah payah aku berdiri dan
maju terhuyung-huyung untuk melihat mobil. Aku menyingkirkan
tirai merah bermotif kotak-kotak dan mengintip lewat jendela yang
kecil. "Oh... Elliot..." aku berkata dengan suara parau. "Kita punya masalah."
"Hah" Masalah" Masalah apa?" tanyanya, sementara karavan kami melaju semakin
kencang. "Kita tidak lagi ditarik Mom dan Dad," aku memberitahunya. "Mobil kita sudah tak
ada." ELLIOT langsung bengong. Sepertinya ia tidak me-ngerti apa yang
kukatakan. Atau mungkin juga tidak percaya!
"Karavannya lepas!" aku menjerit sambil memandang ke luar jendela.
"Kita menggelinding ke bawah!"
"A-a-a-aduh!" pekik Elliot. Ia bukannya tergagap-gagap. Ia terguncang begitu
keras sehingga nyaris tidak bisa bicara. Sepintas lalu ia kelihatan seperti
sedang menari. "ADUH!" aku memekik ketika kepalaku membentur langit-langit.
Kami berdua terhuyung-huyung ke belakang. Sambil berpegangan
pada ambang jendela, aku memandang ke luar untuk melihat ke mana
kami meluncur. Jalanan menurun curam, melewati hutan cemara yang lebat di kedua
sisi. Kami meluncur semakin kencang.
Semakin kencang. Semakin kencang. Roda-roda bergemuruh. Karavan melonjak-lonjak dan meluncur
miring. Aku kehilangan keseimbangan hingga tubuhku membentur lantai
dengan keras. Kuulurkan tangan untuk menarikku ke atas, tapi
karavannya terayun, dan aku malah jatuh telentang.
Setengah mati aku berusaha berlutut. Kumelihat Elliot menggelinding ke sana
kemari bagaikan bola sepak. Aku melompat ke jendela
belakang dan kembali memandang ke luar.
Karavan terguncang keras. Jalanan menikung tajam - tapi kami tidak
ikut membelok! Kami tetap melaju lurus, keluar dari jalan. Meluncur ke arah
pepohonan. "Elliot!" aku memekik. "Karavan kita bakal nabrak!"
KARAVAN kembali terguncang keras. Kudengar bunyi berderak.
Aduh, karavan ini bakal terbelah dua! pikirku.
Kutempelkan kedua tanganku ke dinding depan dan memandang ke
luar jendela. Pohon-pohon gelap seakan-akan melesat melewati kami.
Guncangan yang keras membuatku terempas ke lantai.
Kudengar Elliot memanggil-manggil namaku. "Wendy! Wendy!
Wendy!" Kupejamkan mata dan kuregang setiap otot. Dan menunggu tabrakan
yang tak terelakkan. Menunggu...
Menunggu... Hening. Kubuka mataku. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa kami
tak lagi bergerak. Kutarik napas dalam-dalam. Lalu aku berdiri.
"Wendy?" kudengar Elliot memanggil lemah dari bagian belakang karavan.
Kakiku gemetaran ketika berpaling. Seluruh badanku terasa aneh.
Seakan-akan masih terguncang-guncang. "Elliot - kau tidak apa-apa?"
Ia terlempar ke salah satu tempat tidur. "Kayaknya sih aku tidak apa-apa,"
sahutnya. Ia menurunkan kakinya ke lantai dan menggelenggelengkan kepala. "Tapi
aku agak pusing." "Aku juga," ujarku. "Wah, rasanya seperti naik roller coaster."
"Lebih seru dari Space Mountain!" seru Elliot. Ia berdiri. "Ayo, kita keluar
dari sini!" Kami menuju pintu di depan. Tapi untuk mencapainya, kami terpaksa
mendaki. Karavannya miring ke belakang.
Aku yang lebih dulu sampai di pintu. Kuraih gagangnya.
Tahu-tahu pintunya diketok dari luar, dan aku langsung melompat
mundur. "Hei - !" seruku. Pintu diketuk tiga kali lagi.
"Itu Mom dan Dad!" seru Elliot. "Mereka sudah menemukan kita!
Cepat, buka pintunya!"
Ia tidak perlu menyuruhku untuk bergegas. Jantungku berdegupdegup. Aku begitu lega bisa melihat mereka.
Aku menekan gagang pintu, mendorong pintu karavan sampai
membuka - - dan memekik tertahan. Ebukulawas.blogspot.com Aku menatap wajah pria berambut pirang. Matanya yang biru
bersinar-sinar dalam cahaya matahari yang cerah.
Pakaiannya serba putih. Ia mengenakan t-shirt putih yang disetrika
rapi dan celana putih gombrong. Pada t-shirt-nya tersemat lencana
kecil bundar bertulisan HANYA YANG TERBAIK dengan hurufhuruf besar berwarna hitam.
"Ehm...hai," aku akhimya berkata.
Ia menampilkan senyum berkilau. Sepertinya ia punya sekitar dua ribu gigi. "Hei kalian tidak apa-apa?" tanyanya. Matanya yang biru semakin cerah.


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeah, kami baik-baik saja," sahutku. "Agak kaget, tapi - "
"Kau siapa?" seru Elliot sambil menyembulkan kepala dari pintu.
Senyum orang itu tidak memudar sedikit pun. "Namaku Buddy."
"Aku Wendy Ini Elliot. Kami pikir kau orangtua kami," aku menjelaskan, lalu
melompat turun dari karavan.
Elliot menyusul. "Mana Mom dan Dad?" ia bertanya sambil
mengerutkan kening. "Sejak tadi aku tidak melihat siapa-siapa," jawab Buddy. Ia mengamati karavan
kami. "Apa yang terjadi" Karavan kalian
terlepas?" Aku mengangguk sambil menepis rambutku yang gelap dari wajahku.
"Sungguh berbahaya," Buddy bergumam. "Kalian pasti ketakutan sekali tadi."
"Aku tidak!" ujar Elliot.
Huh, dasar. Tadi ia gemetar ketakutan dan memanggil-manggil
namaku. Sekarang mendadak ia jadi Mister Macho.
"Seumur hidup aku belum pernah setakut tadi," kataku terus terang.
Aku berjalan beberapa langkah dari karavan, mengamati hutan di
sekitar kami. Pohon-pohon berayun pelan karena tiupan angin yang
lembut. Matahari bersinar cerah. Aku memandang berkeliling sambil
melindungi mata dengan sebelah tangan.
Mom dan Dad tidak kelihatan. Jalan raya pun tidak tampak karena
tertutup pepohonan yang lebat.
Aku cuma melihat jejak ban yang ditinggalkan karavan kami di tanah.
Entah bagaimana caranya, tapi rupanya karavan kami melewati jalur
terbuka di antara pohon-pohon, lalu berhenti di kaki bukit yang terjal.
"Wow. Kami beruntung," aku bergumam.
"Kalian beruntung sekali," Buddy menegaskan dengan riang. Ia menghampiriku,
meletakkan kedua tangannya pada pundakku, lalu
membalikkan tubuhku. "Coba lihat itu. Lihat, di mana kalian
sekarang!" Aku memandang ke puncak bukit dan melihat lapangan terbuka di
antara pohon-pohon. Dan kemudian kulihat spanduk besar berwarna
merah-putih, terentang di antara dua tiang. Aku harus memicingkan
mata agar bisa membaca kata-kata yang tertulis pada spanduk itu.
Elliot membaca keras-keras: "Camp olahraga King Jellyjam."
"Lokasinya di balik bukit ini," Buddy memberitahu kami sambil tersenyum ramah.
"Ayo, ikut aku!"
"Tapi - tapi - " adikku tergagap-gagap. "Kami harus mencari orangtua kami!"
"Hei - tenang saja. Kalian bisa menunggu mereka di camp," Buddy mencoba meyakinkan
dia. "Tapi, bagaimana mereka tahu kami ada di sana?" protesku. "Mungkin ada baiknya
kami tinggalkan pesan untuk mereka."
Buddy kembali tersenyum. "Tidak perlu. Biar aku yang urus,"
katanya. "Pokoknya, jangan kuatir, deh."
Ia melewati karavan dan mulai menaiki bukit. T-shirt dan celananya
yang putih tampak menyilaukan dalam cahaya matahari. Kulihat kaus
kaki dan sepatu ketsnya juga berwarna sama.
Itu seragamnya. Dia pasti bekerja di camp itu, ujarku dalam hati.
Buddy menoleh. "Kalian jadi ikut, tidak?" tanyanya sambil melambaikan tangan.
"Ayo, kalian pasti suka."
Elliot dan aku bergegas mengikutinya. Kakiku gemetaran. Rasanya
seperti masih berada di dalam karavan yang terguncang-guncang.
Semakin tinggi kami menaiki bukit berumput itu, spanduk berwarna
merah-putih tadi pun semakin jelas terlihat di hadapan kami. "Camp Olah-raga
King Jellyjam," aku membacanya sekali lagi.
Di samping kata-kata tersebut terdapat gambar tokoh kartun yang lucu berwarna
ungu. Dia mirip gumpalan permen karet rasa anggur.
Wajahnya dihiasi senyum lebar, dan kepalanya bermahkota emas.
"Siapa itu?" aku bertanya pada Buddy
Buddy melirik ke spanduk. "Itu King Jellyjam," sahutnya. "Maskot kami."
"Rasanya kurang cocok untuk maskot camp olah-raga," komentarku sambil mengamati
raja bertubuh bulat ungu itu.
Buddy diam saja. "Kau bekerja di camp?" tanya Elliot.
Buddy mengangguk. "Aku senang sekali bekerja di situ. Aku pembina kepala. Jadi selamat datang!" "Tapi kami tidak bisa ikut," protesku. "Elliot dan aku harus mencari orangtua
kami. Kami harus..."
Buddy menaruh tangan di bahuku dan bahu Elliot. Ia menggiring kami
ke atas bukit. "Kalian hampir saja celaka. Jadi tak ada salahnya kalian mampir
sebentar dan bersenang-senang. Nikmatilah suasana di camp.
Sampai aku bisa menghubungi orangtua kalian."
Kami sudah hampir tiba di puncak bukit ketika aku mendengar suarasuara. Suara anak-anak. Mereka sedang bersorak-sorai dan tertawatawa. "Camp olahraga apa ini?" Elliot bertanya pada Buddy.
"Segala macam olahraga ada di sini," sahut Buddy. "Dari pingpong sampai
football. Dari croquet sampai sepak bola. Ada renang, tenis, panahan. Malah ada
turnamen gundu!" "Kedengarannya asyik juga!" komentar adikku. Ia menatapku sambil nyengir.
"Hanya yang terbaik!" Buddy berseru sambil menepuk pundak Elliot.
Aku yang pertama tiba di puncak. Begitu sampai di atas, aku langsung memandang
ke arah camp yang tampak di balik pohon-pohon.
Sepertinya camp itu membentang sampai bermil-mil!
Aku melihat gedung putih bertingkat dua yang memanjang di kedua
sisi. Di antara kedua gedung itu ada beberapa lapangan bermain,
lapangan baseball, sederetan lapangan tenis, dan dua kolam renang
yang besar sekali. "Gedung-gedung putih yang panjang itu gedung asrama," Buddy menjelaskan sambil
menunjuk. "Itu asrama anak perempuan, dan itu asrama anak laki-laki. Kalian bisa
tidur di situ selama kalian tinggal di sini."
"Wow, keren!" Elliot berseru penuh semangat. "Dua kolam renang."
"Ukuran olimpiade," Buddy memberitahunya. "Kami juga punya kompetisi loncat
indah. Kalian suka loncat indah?"
"Hanya di tempat tidur," aku berkelakar.
"Wendy suka berenang," Elliot berkata kepada Buddy.
"Kalau tidak salah, nanti sore ada pertandingan renang empat lap,"
Buddy memberitahuku. "Nanti akan kulihat jadwalnya."
Matahari bersinar cerah ketika kami menuruni jalan setapak di lereng bukit.
Tengkukku mulai gatal-gatal. Rasanya asyik juga kalau aku bisa terjun ke kolam
renang itu. "Apakah aku bisa mendaftar untuk ikut baseball?" Elliot bertanya kepada Buddy.
"Atau aku harus ikut tim dulu?"
"Kau bebas memilih olahraga yang kau suka," jawab Buddy. "Satu-satunya peraturan
di camp ini adalah berusaha dengan sekuat tenaga."
Buddy menunjuk lencana di t-shirt-nya. "Hanya yang terbaik,"
katanya. Embusan angin meniupkan rambut ke wajahku. Huh, seharusnya
kupotong dulu sebelum kami berangkat berlibur. Aku memutuskan
mencari sesuatu untuk mengikatnya begitu aku sampai di asrama.
Di lapangan yang terdekat sedang berlangsung pertandingan sepak
bola. Bunyi peluit terdengar nyaring. Para pemain bersorak-sorak. Di ujung
lapangan bola ada deretan sasaran untuk panahan.
Buddy mulai berlari kecil menuju ke lapangan. Elliot menghampiriku.
"Hei - kita memang ingin berlibur di camp seperti ini, kan?" ujarnya sambil
nyengir lebar. "Nah, ternyata berhasil juga."
Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah menyusul Buddy.
Kusibakkan rambutku sekali lagi, lalu mengikuti mereka. Tapi
kemudian aku berhenti karena melihat gadis cilik menyembulkan
kepala dari balik batang pohon besar.
Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun. Rambutnya merah, dan
wajahnya penuh bintik-bintik. Dia memakai t-shirt biru pucat dan
celana ketat hitam. "Hei - " panggilnya setengah berbisik. "Hei - !" Aku segera menoleh.
"Jangan ke sini!" serunya dengan suara tertahan. "Cepat lari! Jangan ke sini!"
BUDDY langsung menoleh ke belakang. "Ada apa, Wendy?" serunya padaku.
Ketika aku memandang kembali ke pohon, gadis cilik berambut merah
itu sudah lenyap. Aku mengedip-ngedipkan mata. Tapi ia menghilang
tanpa jejak. Kenapa anak itu ada di sini" tanyaku dalam hati. Apakah ia sengaja
bersembunyi di balik pohon untuk menakut-nakuti orang yang lewat"
"Ehm... tidak ada apa-apa," seruku kepada Buddy. Kuikuti dia dan Elliot ke camp.
Aku sudah melupakan gadis cilik tadi ketika kami berjalan mengitari lapangan
bola lalu melewati deretan lapangan tenis yang dibatasi
pagar kawat. Bunyi bola tenis dipukul terus mengikuti ketika kami
membelok ke jalan setapak utama yang membelah camp itu.
Begitu banyak olahraga! Begitu banyak kegiatan!
Kami berpapasan dengan anak-anak dari segala umur yang bergegas
ke kolam renang, ke lapangan baseball, atau ke lintasan boling!
"Keren!" Elliot terus mengulangi. "Benar-benar keren!"
Kali ini ia benar. Kami bertemu beberapa pembina lain. Semuanya, pria atau wanita
muda, berpakaian serba putih. Tampang mereka ramah dan selalu
tersenyum cerah. Kami juga melewati lusinan tanda berbentuk segitiga yang
menampilkan wajah King Jellyjam yang bulat berwarna ungu. Ia pun
tersenyum di bawah mahkota emasnya yang berkilauan. Dan di bawah
setiap wajah tertulis slogan camp: Hanya Yang Terbaik.
Sebenarnya ia lucu juga, kataku dalam hati. Aku sadar aku mulai
menyukai segala sesuatu di camp yang luar biasa ini.
Dan terus terang, dalam hati aku berharap Mom dan Dad
membutuhkan waktu paling tidak satu atau dua hari untuk
menemukan Elliot dan aku.
Keterlaluan, ya" Aku benar-benar merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi" Suasana di
sini begitu meriah, begitu semarak. Terutama bagi seseorang yang
sudah berhari-hari duduk di bangku jok mobil sambil memandang
sapi-sapi! Pertama-tama Elliot kami antar ke asrama cowok. Pembina lain, anak
muda yang jangkung dan berambut gelap bernama Scooter,
menyambut adikku dan segera mengajaknya mencari kamar di
asrama. Kemudian giliranku diantar Buddy ke asrama cewek di seberang
camp. Kami melewati pertandingan senam yang diadakan di arena
terbuka. Di balik arena itu, salah satu kolam renang dipenuhi anak-anak yang menonton
pertandingan loncat indah.
Buddy dan aku mengobrol sambil berjalan. Aku bercerita tentang
sekolahku dan bahwa olahraga kegemaranku adalah berenang dan
bersepeda. Kami berhenti di depan pintu asrama yang dicat putih. "Kau berasal dari mana?"
tanyaku pada Buddy. Ia membalas tatapanku. Wajahnya kelihatan bingung sekali. Sekilas
aku menyangka ia tidak mengerti pertanyaanku.
"Kau dari sekitar sini?" tanyaku sekali lagi.
Ia menelan ludah dan memicingkan matanya yang biru. "Aneh...,"
akhirnya ia bergumam. "Apanya yang aneh?" tanyaku.
"Aku... aku tidak ingat," ia tergagap-gagap. "Aku tidak ingat dari mana aku
berasal. Aneh, bukan?" Ia menempelkan tangan ke mulut dan menggigit-gigit kuku
telunjuknya. "Hei, aku juga sering lupa," ujarku, karena melihat betapa gelisahnya ia.
Aku tidak sempat berkata apa-apa lagi. Pembina cewek berambut
lurus, hitam, dan sangat pendek, dengan lipstik ungu di bibir
menghampiri kami. "Halo, aku Holly. Sudah siap berolahraga?"
"Ehm, ya," jawabku ragu-ragu.
"Ini Wendy," Buddy memperkenalkanku. Roman mukanya masih
berkerut-kerut. "Dia perlu kamar."
"Itu sih gampang!" balas Holly dengan ceria. "Hanya Yang Terbaik!"
"Hanya Yang Terbaik," Buddy menyahut pelan-pelan. Senyumnya mengembang. Tapi aku
tahu ia masih berusaha mengingat-ingat di
mana rumahnya. Aneh, ya"
Holly mengajakku memasuki asrama. Aku mengikutinya dan kami
melewati koridor panjang berubin putih. Beberapa cewek berpapasan
dengan kami. Mereka akan mengikuti olahraga yang berbeda-beda.
Semua gembira dan tertawa riang.
Aku mengintip ke beberapa kamar yang kami lewati. Wow! pikirku.
Tempat ini begitu modern dan mewah! Ini bukan seperti camp yang
pernah kulihat. "Di sini kita jarang mendekam di dalam kamar," kata Holly. "Semua orang selalu
berada di luar, saling bersaing."
Ia membuka sebuah pintu putih dan mengajakku masuk. Sinar
matahari menerangi ruangan itu dari jendela lebar di seberang pintu.
Aku melihat dua tempat tidur tingkat berwarna biru cerah di kirikanan. Di antara keduanya ada meja rias berwarna putih. Selain itu
masih ada dua kursi kulit berlengan.
Semua dinding dicat putih. Tak ada hiasan apa pun selain gambar
King Jellyjam di atas meja rias.
"Kamarnya bagus sekali!" seruku sambil memicingkan mata agar tidak silau.
Holly tersenyum. Bibirnya yang ungu menarik segenap perhatianku,
sehingga bagian-bagian wajahnya yang lain seakan-akan tidak ada.
"Syukurlah kalau kau suka, Wendy. Kau bisa menempati tempat tidur sebelah bawah
di sana," tunjuknya. Ternyata cat kukunya sewarna dengan lipstiknya.
"Apa ada orang lain yang tidur di sini selain aku?" tanyaku.
Holly mengangguk. "Sebentar lagi kau akan ketemu mereka. Mereka yang akan
mengajakmu melakukan berbagai kegiatan. Sekarang
mereka mungkin sedang bermain sepak bola di lapangan bawah. Aku
tak tahu pasti." Ia sudah hendak meninggalkan ruangan, tapi berbalik ketika sampai di ambang
pintu. "Kau pasti suka Dierdre. Kalau tidak salah, kalian berdua sebaya.
"Thanks," ujarku sambil memandang berkeliling.
"Sampai nanti," sahut Holly. Ia keluar ke koridor.
Aku berdiri di tengah-tengah kamar yang terang benderang sambil
memeras otak. Dari mana aku dapat baju" tanyaku dalam hati.
Bagaimana dengan baju renang" Dan baju olahraga"
Pakaianku hanya celana pendek jeans dan t-shirt bergaris-garis pink dan biru
yang sedang kukenakan. Dan kenapa Holly tidak bilang apa yang harus kulakukan setelah ini"
aku bertanya-tanya. Kenapa dia meninggalkanku begitu saja di kamar
kosong ini" Aku tidak sempat bingung lama-lama.
Aku hendak menghampiri ke jendela ketika aku mendengar sesuatu.
Suara-suara yang berbisik-bisik di koridor.
Aku berpaling ke pintu. Barangkali itu teman-teman sekamarku yang
baru kembali. Aku mendengarkan mereka berbisik-bisik.
Kemudian ada satu anak yang memberi perintah kepada yang lainnya.
"Ayo. Dia terperangkap di sini. Kita serang dia!"
AKU menahan napas. Kalang-kabut aku mencari tempat bersembunyi.
Tak ada waktu. Tiga cewek menyerbu masuk. Ketiga-tiganya menyeringai sambil
memicingkan mata. Mereka membentuk barisan dan langsung
menghampiriku. "Hei! Tunggu dulu!" seruku. Kuangkat kedua tanganku seakan hendak melindungi
diri dari serangan mereka.
Gadis jangkung berambut pirang yang pertama ketawa. Lalu disusul
kedua temannya. "Kena kau!" cewek pirang itu berseru sambil menyibakkan rambutnya yang panjang.
Aku menatapnya sambil melongo.
"Kaupikir kami benar-benar mau menyerangmu?" tanya salah satu temannya. Ia


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurus. Rambutnya yang hitam dipotong sangat pendek.
Ia memakai celana training abu-abu dan t-shirt berwarna sama.
"Ehm...," aku bergumam. Wajahku mendadak terasa panas. Aku benar-benar tertipu
oleh lelucon mereka. Aku malu sekali.
"Bukan aku, kok," gadis yang satu lagi berkata sambil menggelengkan kepala.
Rambutnya yang pirang menyembul dari balik topi Chicago
Cubs yang berwarna merah-biru. "Ini ide Dierdre." Ia menunjuk temannya yang
berambut panjang. "Kau tak perlu malu," ujar Dierdre sambil nyengir lebar. "Kau korban ketiga
minggu ini." Kedua temannya cekikikan.
"Dan yang lain juga menyangka mau diserang?" tanyaku.
Dierdre mengangguk. Ia tampak puas sekali. "Memang agak jahat, tapi lucu.".
Kali ini aku ikut ketawa.
"Aku punya adik laki-laki. Jadi ku sudah biasa dengan lelucon-lelucon konyol,"
kataku pada Dierdre. Ia kembali menyibakkan rambut. Lalu membongkar laci paling atas
dan mengambil karet untuk mengikat rambutnya. "Ini Jan, dan ini Ivy," ia
memperkenalkan kedua temannya.
Jan yang berambut hitam pendek. Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur.
"Huh, aku capek sekali," keluhnya. "Latihan tadi benar-benar berat.
Lihat, nih. Sampai sekarang aku masih keringatan."
"Ya, dan baunya ke mana-mana," Ivy menimpali sambil ketawa.
Jan langsung menjulurkan lidah.
"Kalian ganti baju dulu," Dierdre menyuruh mereka. "Waktu kita cuma sepuluh
menit." "Memangnya ada apa, sih?" tanya Jan. Ia membungkuk, mengurut-urut betisnya.
"Kau lupa, ya?" sahut Dierdre. "Kan ada pertandingan renang empat lap."
"Oh, ya ampun!" Jan berseru sambil berdiri. "Aku benar-benar lupa."
Ia bergegas ke lemari pakaian. "Mana baju renangku?"
Ivy mengikutinya. Kedua-duanya sibuk menggeledah laci.
Dierdre berpaling padaku. "Kau mau ikut bertanding?" tanyanya.
"A-Aku tidak bawa baju renang," ujarku.
Ia angkat bahu. "Itu sih gampang. Aku punya sekitar selusin." Ia mengamatiku.
"Ukuran baju kita kira-kira sama. Cuma aku sedikit lebih tinggi."
"Ehm, kebetulan aku memang lagi kepingin berenang," kataku.
"Barangkali aku ikut ke kolam renang dan main-main sebentar."
"Hah" Kau tidak ikut bertanding?" tanya Dierdre heran.
Ketiga teman baruku itu berpaling ke arahku, dan ketiga-tiganya
tampak heran. "Kapan-kapan saja," jawabku. "Sekarang ini aku cuma mau nyebur dan berenang
sebentar. Supaya segar."
"Tapi - tidak bisa, dong!" seru Jan. Ia menatapku seakan-akan kepalaku mendadak
ada dua. "Kau harus ikut bertanding," Dierdre menambahkan. "Kau tidak boleh bersantai."
"Hanya Yang Terbaik," Ivy berkomentar,
"Yeah. Hanya Yang Terbaik," Jan menimpali.
Sekarang giliran aku yang kebingungan. "Apa sih maksud kalian?"
tanyaku. "Kenapa kalian terus bilang begitu."
Dierdre menyerahkan baju renang berwarna biru. "Nih, kau pakai yang ini saja.
Cepat, nanti kita terlambat."
"Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap.
Mereka cepat-cepat memakai baju renang.
Kelihatannya aku tidak punya pilihan. Aku masuk ke kamar mandi
dan berganti baju. Tapi pertanyaan-pertanyaan tadi masih saja berkecamuk dalam
benakku. Dan aku ingin memperoleh jawaban.
Kenapa aku harus ikut bertanding" Kenapa aku tidak boleh berenang
santai saja" Dan kenapa semua orang terus bilang "Hanya Yang Terbaik?"
Apa maksud mereka" KOLAM renang yang besar itu tampak berkilauan. Matahari bersinar
cerah. Lantai semen di sekeliling kolam seakan membakar telapak
kakiku. Aku benar-benar sudah tak sabar ingin menyebur.
Sambil melindungi mata dengan sebelah tangan, aku memandang
berkeliling untuk mencari Elliot. Tapi aku tidak berhasil
menemukannya di tengah kerumunan anak-anak yang sudah
menunggu untuk menonton pertandingan.
Elliot pasti sudah ikut tiga macam olahraga, kataku dalam hati. Camp ini memang
cocok sekali untuknya! Diam-diam aku mengamati para peserta yang telah berbaris. Kami
semua berdiri di tepi kolam renang, menunggu pertandingan dimulai.
Aku berhitung dalam hati. Paling tidak ada dua lusin peserta. Dan
kolamnya cukup lebar, sehingga semua memperoleh lintasan sendiri.
"Hei, kau pantas sekali memakai baju renangku," ujar Dierdre. Ia menatapku
dengan matanya yang hijau. "Mestinya rambutmu diikat saja, Wendy. Kau bisa
berenang lebih cepat kalau rambutmu diikat."
Wow, pikirku. Dierdre tidak main-main soal pertandingan ini.
"Kau jago renang, ya?" tanyaku padanya.
Ia menepuk lalat yang hinggap di betisnya. "Aku yang terbaik,"
jawabnya sambil nyengir. "Kau bagaimana?"
"Aku belum pernah ikut pertandingan."
Para pembina yang bertugas di kolam renang semuanya wanita muda.
Dan semuanya mengenakan baju renang berwarna putih. Di seberang
kolam, aku melihat Holly duduk di pinggir papan loncat indah. Ia
sedang bicara dengan pembina lain.
Seorang pembina jangkung berambut merah menghampiri tepi kolam
dan meniup peluit. "Semuanya siap?" ia berseru.
Kami semua menyahut "Ya!" secara serempak. Kemudian suasana jadi hening. Kami
berpaling ke kolam renang, membungkuk, dan
bersiap-siap melakukan start.
Permukaan air tampak berkilauan. Matahari membakar punggung dan
pundakku. Rasanya aku sudah mau meleleh. Aku sudah tak sabar
ingin terjun. Peluit kembali berbunyi. Aku melompat ke depan lalu nyebur ke air.
Air yang dingin sempat membuatku terkejut ketika mengenai kulitku
yang panas. Lenganku berayun kencang ketika aku mulai melesat
maju. Suara tangan dan kaki yang membelah air menyerupai gemuruh air
terjun. Kubenamkan wajah dalam air, merasakan dinginnya air yang
menyegarkan. Ketika menoleh, kulihat Dierdre beberapa meter di belakangku. Ia
berenang dengan irama yang mantap. Tangan dan kakinya bergerak
anggun. Aku paling depan, aku menyadari sambil melirik para peserta lain.
Aku bakal menang! Dengan satu tendangan kuat aku sampai di ujung kolam. Cepat-cepat
aku berbalik dan kembali mengayunkan tangan. Para peserta lain
belum sampai di ujung, dan aku berpapasan dengan mereka.
Kepalaku mulai berdenyut-denyut.
Aku yakin lap pertama bakal kumenangkan dengan mudah. Tapi
setelah itu masih ada tiga lap lagi.
Tiga lap... Tiba-tiba aku sadar betapa bodohnya aku. Para peserta yang lain
sengaja berenang agak pelan. Mereka sengaja menyimpan tenaga
karena tahu pertandingan ini menempuh jarak empat lap.
Kalau aku terus berenang sekencang ini, dua lap pun aku takkan
sanggup! Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan pelan-pelan.
Pelan-pelan... pelan-pelan...
Itu kata kuncinya. Kuperlambat tendangan kakiku. Kuperlambat ayunan tanganku. Dan
aku menarik napas dalam-dalam. Dalam-dalam dan pelan-pelan.
Ketika aku membalik dan mulai menempuh lap kedua, beberapa
perenang lain sudah berada di sampingku. Aku sempat bertatapan
dengan Dierdre ketika ia berenang melewatiku.
Ia terus mengayunkan tangan dan kaki dengan irama yang mantap.
Ayun. Ayun. Napas. Ayun. Di sebelah Dierdre, kulihat Jan meluncur dengan ringan, seakan-akan tanpa
mengerahkan tenaga. Jan begitu kecil dan enteng. Ia seperti
mengambang di atas air. Memasuki lap ketiga, aku tertinggal beberapa meter di belakang
Dierdre. Aku berkonsentrasi penuh untuk mengatur kecepatan. Aku
berlagak jadi robot yang sudah diprogram untuk berenang pelanpelan. Memasuki lap keempat, Dierdre berada beberapa detik di depanku.
Kulihat roman mukanya berubah ketika ia berbalik. Ia memicingkan
mata. Wajahnya kelihatan kencang dan tegang.
Dierdre benar-benar kepingin menang, aku menyadari.
Sanggupkah aku mengejamya" Hmm, aku jadi penasaran. Siapa tahu
aku malah mampu mengalahkan dia.
Aku berbalik dan menambah kecepatan.
Rasa pegal di kedua lenganku tak kugubris. Kaki kiriku yang kram tak kuhiraukan.
Aku melaju dengan kencang sambil menendang-nendang dengan
sekuat tenaga. Lenganku membelah-belah air.
Semakin kencang. Aku mulai mengejar Jan. Aku melihat kekecewaan di wajahnya ketika
ia kususul. Aku melesat bagaikan ikan hiu yang mengejar mangsa. Tangan dan
kakiku menimbulkan bunyi gemuruh yang mengalahkan sorak-sorai
para penonton di sekeliling kolam.
Jantungku berdegup begitu keras sampai aku takut dadaku bakal
meledak. Tanganku terasa berat sekali, seakan-akan membawa beban lima ratus
kilo. Tambah kencang... Kini aku sudah hampir sejajar dengan Dierdre. Sedikit lagi. Aku
begitu dekat sehingga bisa mendengar suara napasnya.
Aku melirik wajahnya yang tampak tegang karena berkonsentrasi.
Persis seperti Elliot, kataku dalam hati. Ia benar-benar ngotot.
Sering kali aku membiarkan Elliot memenangkan suatu permainan.
Soalnya ia jauh lebih kepingin menang daripada aku. Sama seperti
Dierdre. Ketika kami mendekati ujung kolam, aku membiarkan Dierdre
menduluiku. Habis, ia begitu ngotot untuk menang. Ia begitu ngotot untuk jadi
juara. Ya sudah, pikirku. Juara dua juga lumayan. Sorak-sorai membahana
ketika Dierdre memenangkan pertandingan.
Aku menyentuh dinding kolam lalu menyelam ke bawah permukaan.
Kemudian aku muncul lagi dan meraih tepi kolam.
Seluruh badanku terasa pegal. Napasku terengah-engah. Kupejamkan
mata dan kutarik rambutku ke belakang dengan kedua tangan,
sekaligus memerasnya. Saking pegalnya tanganku, aku nyaris tak sanggup memanjat keluar.
Aku salah satu yang terakhir naik dari kolam.
Yang lain sudah berkerumun di sekeliling Dierdre. Aku menerobos
kerumunan itu untuk melihat ada apa.
Mataku perih sekali, sehingga beberapa kali kuusap. Lalu aku melihat pembina
berambut merah tadi menyerahkan sesuatu kepada Dierdre.
Sesuatu yang berwarna emas dan berkilau-kilau.
Semuanya bersorak-sorai. Kemudian mereka bubar dan pergi ke
segala arah. Aku menghampiri Dierdre. "Selamat, ya!" seruku. "Aku sudah hampir menyusulmu.
Tapi kau melesat kencang sekali."
"Aku ikut tim renang di sekolahku," sahutnya. Ia memamerkan benda emas yang
diserahkan pembina tadi. Baru sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Ternyata sebuah
keping emas yang mengilap. Pada satu sisinya terukir wajah King
Jellyjam yang tersenyum lebar. Kata-kata di sekeliling tepi keping itu tak
terbaca olehku, tapi aku sudah bisa membayangkan apa tulisannya.
"Ini King Coin kelima yang berhasil kuraih!" Dierdre berkata dengan bangga.
Kenapa sih ia begitu senang" aku bertanya dalam hati. Keping itu
bukan keping sungguhan. Dan kurasa emasnya juga bukan emas asli.
"Apa itu King Coin?" tanyaku. Keping itu berkilau-kilau
memantulkan sinar matahari.
"Kalau aku dapat satu King Coin lagi, aku bisa ikut Upacara Juara,"
Dierdre menjelaskan. Sebenarnya aku masih mau bertanya apa itu Upacara Juara, tapi Jan
dan Ivy keburu menghampiri Dierdre untuk memberi selamat
padanya. Ketiga-tiganya berbicara berbarengan.
Tiba-tiba aku teringat adikku. Mana sih Elliot" aku bertanya-tanya.
Apa saja yang dikerjakannya selama ini.
Aku berpaling dari Dierdre dan yang lain, dan berjalan ke arah pintu keluar
kolam renang. Tapi baru beberapa langkah, aku mendengar
seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh dan melihat Holly berlari kecil ke arahku. Ia merengut, seakan-akan
ada yang membuatnya tidak senang. "Wendy, sebaiknya kau ikut aku sebentar,"
katanya padaku. Aku langsung deg-degan. "Hah" Ada apa?"
"Kelihatannya ada sedikit masalah," sahut Holly pelan-pelan.
PASTI telah terjadi sesuatu atas Mom dan Dad!
Itulah yang pertama terlintas dalam benakku. "Ada apa?" aku berseru.
"Orangtuaku! Mereka tidak apa-apa" Apakah mereka...?"
"Kami belum berhasil menemukan orangtua kalian," ujar Holly. Ia membungkus
pundakku yang gemetaran dengan handuk. Kemudian ia
menggiringku ke bangku di sisi kolam renang.
"Atau ada sesuatu dengan Elliot?" tanyaku lagi sambil duduk di sebelahnya. "Ada
apa sebenarnya?" Holly terus merangkulku dan menunduk sedikit. Matanya yang
cokelat menatap mataku. "Wendy, masalahnya adalah kau tidak berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan
pertandingan," katanya.
Aku menelan ludah. "Apa?"
"Aku memperhatikanmu tadi," ia melanjutkan. "Aku tahu kau mengurangi kecepatan
pada lap terakhir. Rasanya kau tidak berusaha
mati-matian." "Tapi - tapi - aku - " aku tergagap-gagap. Holly menatapku tanpa berkedip. "Benar,
tidak?" ia bertanya pelan-pelan.
"A-aku tidak biasa berenang sejauh itu," aku berdalih. "Ini pertama kali aku
ikut pertandingan. Aku pikir - "
"Aku tahu kau masih baru di sini," Holly memotong sambil mengusir lalat dari
kakiku. "Tapi kau tahu slogan camp ini, bukan?"
"Tentu saja," jawabku. "Slogannya ada di mana-mana. Tapi apa sih artinya" 'Hanya
Yang Terbaik'?" "Kurasa itu semacam peringatan," Holly berkata dengan serius.
"Karena itulah aku memutuskan untuk mengajakmu bicara, Wendy."
"Peringatan?" aku berseru. Aku semakin bingung saja. "Peringatan untuk apa?"
Holly tidak menjawab. Ia memaksakan senyum, lalu berdiri tanpa
berkata apa-apa lagi. "Sampai nanti, oke?"
Ia berbalik dan bergegas pergi.
Kukencangkan handuk pada pundakku dan berjalan menuju asrama untuk berganti
baju. Aku melewati deretan lapangan tenis sambil
memikirkan peringatan Holly.
Sebegitu pentingnyakah bahwa aku harus memenangkan pertandingan
renang tadi" Supaya aku bisa mendapat keping emas dengan gambar si raja gendut
yang berwarna ungu" Apa perlunya aku memenangkan keping-keping itu" Kenapa aku tidak
boleh sekadar bersantai, mencari teman baru, dan bersenang-senang"


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenapa Holly bicara soal peringatan segala" Apa maksud dia
sebenarnya" Aku menggelengkan kepala untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan
yang membingungkan itu. Aku sudah pernah mendengar cerita
mengenai camp olahraga dari teman-teman di rumah. Menurut mereka beberapa camp benar-benar keras. Anak-anak yang ada di situ
semuanya cuma ingin menang dan menang dan menang.
Kelihatannya camp ini juga seperti itu.
Ya, apa boleh buat, pikirku sambil mendesah. Untung saja aku tidak
perlu berlama-lama di sini. Sebentar lagi Mom dan Dad akan datang
untuk menjemput Elliot dan aku.
Aku menoleh - dan melihat Elliot.
Ia tergeletak di tanah dengan wajah menghadap ke bawah. Tangan dan
kakinya terentang lebar. Matanya terpejam.
Ia pingsan. "OHHHHHH!" aku memekik ketakutan.
"Elliot! Elliot!" Aku berlutut di sampingnya.
Ia langsung duduk dan menatapku sambil nyengir. "Berapa kali sih kau bisa kutipu
dengan cara ini?" tanyanya. Lalu ia ketawa terbahak-bahak.
Kutonjok pundaknya sekeras mungkin. "Dasar brengsek!"
Tapi ia malah ketawa lebih keras lagi. Ia senang sekali kalau bisa
mengecohku seperti itu. Kenapa aku selalu ketipu" Aku sudah lupa berapa kali Elliot
menggunakan siasat itu. Tapi setiap kali aku masih saja percaya
bahwa ia pingsan. "Habis ini aku tidak bakal ketipu lagi. Tidak bakal!" seruku dengan gusar.
Elliot berdiri. "Ayo, kau harus nonton aku main pingpong," katanya sambil
menarik-narik tanganku. "Aku ikut turnamen. Lawanku
namanya Jeff. Ia pi kir dirinya hebat, soalnya bisa bikin bola melintir kalau
lagi servis. Tapi sebenarnya ia tidak ada apa-apanya."
"Aku tidak bisa," sahutku. Kutarik tanganku dari genggamannya.
"Aku basah kuyup. Aku harus ganti baju."
"Ayo, dong! Kau harus nonton," desaknya. "Pertandingannya tidak lama. Aku bisa
mengalahkannya dalam sekejap, oke?"
"Elliot - " Ia kelihatan bersemangat sekali.
"Kalau aku bisa mengalahkan Jeff, aku bakal dapat King Coin," ia memberitahuku.
"Habis itu aku harus menang lima kali lagi. Aku harus dapat enam keping, supaya
aku bisa ikut Upacara Juara sebelum kita dijemput Mom dan Dad."
"Mudah-mudahan berhasil," aku bergumam sambil mengusap-usap rambutku yang basah
dengan handuk. "Kau ikut pertandingan renang, ya" Menang, tidak?" tanya Elliot. Ia kembali
menarik-narik tanganku. "Tidak, aku juara dua," ujarku.
Ia ketawa mengejek. "Kau memang payah. Ayo, coba lihat bagaimana aku menyikat
anak itu." Aku geleng-geleng kepala. "Oke, oke."
Elliot mengajakku ke sederetan meja pingpong di luar ruangan.
Supaya terlindung dari matahari, meja-meja itu dinaungi kain terpal putih yang
dibentangkan di antara empat tiang.
Adikku bergegas ke meja ujung. Jeff sudah menunggu. Ia sedang
memantul-mantulkan bola dengan betnya.
Tadinya kupikir Elliot akan melawan anak kecil kurus yang bisa ia
kalahkan dengan mudah. Tapi Jeff ternyata berbadan besar, dengan
wajah merah rambut pirang. Paling tidak ia dua kali lebih besar dari adikku!
Aku duduk di bangku kayu di seberang deretan meja. Elliot tak
mungkin menang lawan anak itu, pikirku. Adikku yang malang bakal
kalah telak. Ketika mereka mulai main, Buddy muncul dan d uduk di sampingku.
Seperti biasa, ia tersenyum lebar. "Belum ada kabar dari orangtuamu,"
katanya. "Tapi kami masih terus berusaha menghubungi mereka."
Kami menonton pertandingan pingpong. Jeff melancarkan servis
dengan bola pelintir. Elliot langsung menghajarnya.
Di luar dugaanku, pertandingannya lumayan imbang. Sepertinya Jeff
juga terkejut. Semakin lama pukulan balasannya semakin tidak
terarah. Dan sering kali servisnya yang khusus malah tidak mengenai meja!
Mereka sudah bermain dua game, Buddy memberitahuku. Game
pertama dimenangkan Jef? game kedua oleh Elliot. Ini game ketiga
yang menentukan. Kedudukannya seri enam belas sama, lalu tujuh belas sama, dan
delapan belas sama. Aku melihat Elliot semakin gelisah. Ia kepingin sekali menang. Ia
membungkuk dengan tegang dan menggenggam betnya begitu erat
sehingga tangannya tampak memutih.
Butir-butir keringat membasahi keningnya. Ia mulai melompatlompat, dan melenguh setiap kali memukul. Setiap bola hendak
dismesnya. Sementara Elliot semakin gelisah dan tegang, Jeff malah kelihatan
semakin tenang. Kedudukannya sembilan belas sama.
Bola kembalian Elliot keluar, dan dengan geram ia membanting
betnya ke meja. Aku sudah melihat gelagatnya. Elliot mulai kehilangan kendali diri.
Ini sudah sering terjadi dengan adikku. Ia tidak bakal menang kalau tetap tegang
seperti ini. Ketika ia mengangkat bola untuk melancarkan servis, aku
menempelkan dua jari ke sudut mulut dan bersuit keras-keras. Elliot langsung
menurunkan bet ketika mendengarnya.
Itulah isyaratku. Isyarat yang sudah kugunakan berkali-kali
sebelumnya. Artinya, "Tenang, Elliot. Jangan emosi."
Elliot menoleh dan mengacungkan jempol ke arahku.
Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam. Sekali, lalu sekali lagi.
Isyaratku itu selalu mujarab.
Ia melemparkan bola dan melancarkan servis ke arah Jeff. Jeff
mengembalikannya dengan pukulan tanggung. Elliot langsung
memanfaatkan kesempatan itu dan menghajar bola ke sudut kanan.
Jeff mati langkah. Angka untuk Elliot.
Kemudian giliran Jeff melakukan servis. Elliot mengembalikannya
dengan pukulan backhand. Pelan saja.
Bolanya bergulir di net, lalu jatuh ke sisi Jeff, dan memantul beberapa kali.
Elliot menang! Ia langsung bersorak gembira dan mengangkat kedua tangan untuk
merayakan kemenangannya. Jeff kelihatan kesal sekali. Ia mencampakkan bet-nya ke lantai, lalu segera
melangkah pergi. "Adikmu jago juga," Buddy memuji sambil berdiri. "Aku suka gayanya. Ia
bersemangat sekali."
"Soal itu sih pasti," aku bergumam.
Buddy cepat-cepat menghampiri Elliot untuk menyerahkan King Coin
yang dimenangkannya. "Hei - tinggal lima lagi," kata Buddy. Mereka ber-high five
lalu ber-low five. "Keciiil," Elliot berkoar. Ia mengangkat kepingnya tinggi-tinggi, supaya aku
bisa melihatnya. Wajah King Jellyjam pada keping itu
menatapku sambil tersenyum.
Kenapa camp ini memilih gambar yang begitu konyol sebagai
maskot" aku kembali bertanya-tanya. Ia kelihatan seperti gumpalan
agar-agar yang memakai mahkota.
"Aku ganti baju dulu," ujarku kepada Elliot.
Ia menyelipkan keping emas itu ke saku celana pendeknya. "Aku mau ikut olahraga
lain lagi!" serunya padaku. "Aku harus dapat satu King Coin lagi sebelum gelap!"
Aku melambaikan tangan, kemudian mulai menuju ke gedung asrama
cewek. Tapi aku baru berjalan beberapa langkah ketika mendengar bunyi
gemuruh. Lalu tanah mulai bergetar.
Aku terdiam bagaikan patung. Setiap otot di tubuhku menegang ketika gemuruh itu
bertambah keras. "Gempa bumi!" teriakku.
TANAH di bawah kakiku berguncang keras. Kain terpal di atas
deretan meja pingpong bergoyang-goyang. Dan semua meja bergetar.
Lututku gemetaran. Dengan susah payah aku berjuang agar tetap
berdiri tegak. "Gempa bumi!" aku memekik sekali lagi. "Jangan takut! Tidak ada apa-apa," seru
Buddy sambil bergegas menghampiriku.
Ia benar. Bunyi gemuruh itu segera mereda. Tanah pun berhenti
bergetar. "Kadang-kadang memang begitu," Buddy menjelaskan. "Tapi kau tak perlu kuatir."
Jantungku masih berdegup-degup. Kakiku terasa lemas, seakan-akan
terbuat dari karet. "Tak perlu kuatir" Bagaimana aku tidak kuatir?"
"Lihat saja," Buddy berkata sambil memandang berkeliling. "Yang lain juga tidak
memperhatikannya. Ini cuma berlangsung beberapa
detik, kok." Aku ikut memandang berkeliling. Ternyata Buddy benar. Anak-anak
yang sedang ikut turnamen catur di depan asrama sama sekali tidak
menoleh dari papan catur masing-masing. Pertandingan sepak bola di
lapangan di seberang kolam juga berlanjut tanpa terhenti.
"Ini biasa terjadi satu atau dua kali sehari," Buddy memberitahuku.
"Tapi apa penyebabnya?" tanyaku.
Ia angkat bahu. "Entahlah."
"Tapi - semuanya ikut bergetar! Bukankah itu berbahaya?" aku bertanya sekali lagi.
Buddy tidak mendengar kata-kataku. Ia sudah berlari kecil ke arah
lapangan bola. Aku berbalik, berjalan menuju asrama. Tubuhku masih agak
gemetaran. Bunyi gemuruh yang aneh tadi masih terngiang-ngiang di
telingaku. Ketika aku membuka pintu masuk, aku ketemu Jan dan Ivy. Mereka
sudah memakai baju tenis berwarna putih, dan keduanya menyandang
raket di pundak. "Olahraga apa saja yang sudah kau ikuti?"
"Sudah dapat King Coin?"
"Pertandingan renang tadi asyik sekali, ya?"
"Kau senang di sini, Wendy?"
"Kau suka main tenis?"
Mereka bicara berbarengan dan memberondongku dengan setengah
lusin pertanyaan. Keduanya bersemangat sekali dan tidak memberi
kesempatan padaku untuk menjawab.
"Kami perlu orang lagi untuk turnamen tenis," ujar Ivy. "Kami sedang mengadakan
turnamen dua hari. Habis makan siang nanti kau
menyusul ke lapangan, ya?"
"Oke," sahutku. "Aku tidak terlalu pandai main tenis, tapi - "
"Sampai nanti!" seru Jan. Kemudian mereka bergegas
meninggalkanku. Sebenarnya sih, aku lumayan jago main tenis. Servisku cukup
kencang. Dan pukulan backhand dua tanganku juga tidak bisa
dianggap enteng. Tapi aku tidak hebat. Kalau di rumah, aku sering main tenis dengan temanku, Allison. Tapi sekadar
untuk bersenang-senang. Kami tak berusaha saling
mengalahkan. Kadang-kadang kami malah cuma memukul bola
mondar-mandir tanpa menghitung angka.
Akhirnya aku memutuskan ikut turnamen tenis. Dan kalau aku kalah
di putaran pertama, ya sudah.
Lagi pula, aku menambahkan, sebentar lagi Mom dan Dad pasti sudah
datang. Dan Elliot dan aku harus ikut mereka.
Mom dan Dad... wajah mereka terbayang-bayang di depan mataku.
Aku sadar mereka pasti kalang kabut. Dan bingung sekali. Mogamoga mereka tidak apa-apa. Tiba-tiba aku mendapat ide.
Aduh, kenapa aku tidak telepon ke rumah saja, kataku dalam hati.
Kenapa baru sekarang terpikir olehku" Aku kan bisa menelepon ke
rumah dan meninggalkan pesan pada mesin penerima telepon. Dengan
cara itu Mom dan Dad bisa tahu di mana Elliot dan aku berada.
Ke mana pun Dad pergi, satu jam sekali ia memeriksa pesan telepon
di rumah. Mom suka mengolok-oloknya karena dia begitu kuatir ada
pesan yang terlewat olehnya.
Tapi kali ini mereka berdua pasti bersyukur atas pesan dariku! kataku dalam
hati. Ini ide bagus! aku memuji diriku sendiri. Sekarang aku tinggal
mencari telepon. Di asrama pasti ada, pikirku. Aku memandang berkeliling lobi yang
kecil. Tapi ternyata tidak ada telepon umum.
Di meja resepsionis juga tidak ada orang. Jadi tak ada yang bisa
kutanyai. Aku menyusuri koridor satunya. Di situ pun tidak ada telepon umum.
Karena sudah tak sabar ingin menelepon, aku berbalik dan bergegas
keluar lagi. Aku menarik napas lega ketika menemukan dua telepon
umum di sisi gedung asrama.
Dengan jantung berdegup-degup aku berlari ke sana.
Kuangkat gagang telepon yang paling dekat. Lalu kutempelkan
gagangnya ke telinga - tapi tiba-tiba sepasang tangan yang kuat
mencengkeramku dari belakang.
"Letakkan gagang itu!" seseorang memerintahkan.
"OHHH!" Aku memekik kaget dan melepaskan gagang telepon.
Gagang itu berputar-putar pada talinya.
Aku berbalik. "Dierdre! Kau bikin aku kaget setengah mati!" seruku.
Matanya yang hijau tampak berbinar-binar. "Sori Wendy. Tapi aku sudah tidak
sabar untuk menceritakan kabar baik ini! Lihat, nih!"
Ia mengulurkan tangan. Aku melihat setumpuk King Coin berwarna
emas. "Aku baru dapat keping keenam!" Dierdre berkata dengan berapi-api.
"Asyik, ya?" "Ehm - ya," sahutku ragu. Aku tetap tidak mengerti kenapa orang-orang di sini
begitu ngotot mendapatkan keping-keping itu.
"Nanti malam aku ikut Upacara Juara!" seru Dierdre. "Akhirnya berhasil juga!"
"Wah, selamat ya," ujarku.
"Kau sudah dapat King Coin?"
"Ehm... belum," sahutku.
"Ayo, dong!" Dierdre mendesakku. "Tunjukkan kehebatanmu, Wendy. Hanya Yang
Terbaik!" Ia mengacungkan jempol sambil
tersenyum. "Yeah. Hanya Yang Terbaik," aku mengulangi.
"Nanti malam kita bikin pesta," Dierdre melanjutkan. "Di kamar kita.
Sehabis Upacara Juara, oke" Kita bikin perayaan."
"Oke," sahutku. "Barangkali kita bisa pesan piza dari kantin."
"Tolong kasih tahu Jan dan Ivy," Dierdre menyuruhku: "Atau biar aku saja. Atau
siapa yang duluan ketemu mereka, deh! Sampai nanti!"
Ia bergegas pergi sambil menggenggam erat keenam keping emasnya.
Baru sekarang aku sadar bahwa aku sedang tersenyum. Saking berapiapinya Dierdre, aku jadi ikut-ikutan bersemangat. Aku jadi begitu bersemangat
sampai lupa bahwa aku sebenamya mau menelepon ke
rumah. Aku harus mencoba menikmati suasana persaingan di sini, kataku
dalam hati. Hanya Yang Terbaik. Turnamen tenis ini harus
kumenangkan! Kami makan malam di meja-meja kayu yang panjang di ruang makan yang luas di
gedung utama. Ruangan yang panjang dan berlangit-langit tinggi itu seakan-akan
tak berujung. Sorak-sorai dan canda tawa bergema dari dinding-dinding,
mengalahkansuara piring dan sendok yang berdenting-denting. Semua
orang asyik bercerita. Semuanya ingin bercerita tentang pertandingan yang sudah
diikuti. Seusai makan malam, para pembina mengajak kami ke lapangan


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atletik. Aku mencari-cari adikku. aku tidak berhasil menemukannya di tengah
kerumunan orang. Udara senja terasa hangat. Tak ada segumpal awan pun di langit.
Bulan sabit seakan-akan melayang di atas pepohonan yang gelap.
Ketika matahari terbenam, langit berubah warna dari merah muda ke
ungu lalu kelabu. Kegelapan malam mulai menyelubungi lapangan atletik. Di ujung
lapangan aku melihat dua titik cahaya yang berkerlap-kerlip menuju
ke arahku. Sesaat kemudian aku menyadari kedua titik cahaya itu
sebenarnya sepasang obor yang dibawa oleh dua pembina.
Suara terompet yang nyaring membuat kami terdiam.
Aku merapat pada Jan, yang berdiri di sebelahku. "Rasanya urusan ini terlalu
dibesar-besarkan, ya?" aku berbisik padanya.
"Acara ini memang penting!" balas Jan. Pandangannya lurus ke depan ketika kedua
obor itu mendekat. "Kita sudah punya makanan untuk pesta nanti?" aku berbisik lagi.
Jan menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst!" Beberapa obor lain dinyalakan. Bolabola cahaya itu bersinar bagaikan matahari kecil.
Aku mendengar suara genderang. Kemudian lagu mars membahana
dari semua pengeras suara.
Kami berdiri sambil membisu ketika iring-iringan obor itu lewat di
hadapan kami. Lalu, dalam cahaya kuning yang berkerlap-kerlip, aku
melihat wajah-wajah. Wajah-wajah penuh senyum dari anak-anak
yang memperoleh King Coin keenam hari itu.
Semuanya ada delapan orang. Lima cowok dan tiga cewek.
Keping-keping emas mereka dikalungkan bagaikan medali pada leher
masing-masing. Keping-keping itu memantulkan cahaya obor dan
membuat wajah para peserta seakan-akan bersinar.
Dierdre berada di urutan kedua dari depan. Ia kelihatan begitu
gembira dan bersemangat! Keping-kepingnya tergantung di leher. Ia
terus mengembangkan senyum.
Jan dan aku melambaikan tangan dan memanggil-manggilnya, tapi ia
lewat begitu saja. Tiba-tiba suara seorang pembina berkumandang dari pengeras suara,
"Berikan tepuk tangan yang meriah untuk para juara yang mengikuti Upacara Juara
malam ini!" Sorak-sorai anak-anak yang menonton upacara terasa memekakkan
telinga. Kami bertepuk tangan, berseru-seru, dan bersuit-suit sampai semua juara
melewati kami dan obor terakhir menghilang dari
pandangan. "Hanya Yang Terbaik!" suara tadi berkata melalui pengeras suara.
"Hanya Yang Terbaik!" kami semua menyahut. "Hanya Yang Terbaik!"
Itulah akhir dari Upacara Juara. Lampu-lampu dinyalakan kembali.
Kami semua bergegas ke asrama. Anak-anak cowok berlari ke kanan,
anak-anak cewek ke kiri. "Iring-iringan obor tadi keren juga, ya?" ujarku kepada Jan ketika kami
mengikuti kerumunan anak cewek yang menyusuri jalan setapak
ke asrama. "Aku cuma membutuhkan dua King Coin lagi," balas Jan. "Barangkali bisa kudapat
besok. Kau juga ikut tumamen softball?"
"Tidak. Aku ikut turnamen tenis," kataku.
"Di sini terlalu banyak pemain tenis yang jago," ujar Jan. "Pasti sulit sekali
untuk memenangkan King Coin di situ. Lebih baik kau ikut
softball saja." "Ehm... lihat besok, deh," sahutku.
Ivy sudah menunggu di kamar. "Mana Dierdre?" tanyanya ketika Jan dan aku masuk.
"Kami juga tidak melihat dia," jawab Jan. "Kemungkinan sih dia masih berkumpul
dengan para juara lainnya," aku menambahkan.
"Aku menemukan dua kantong tortilla chips, tapi salsa-nya tidak ada,"
Ivy melaporkan sambil memperlihatkan kedua kantong itu.
"Terus, minumannya apa?" tanyaku.
Ivy mengangkat dua kaleng Diet Coke.
"Wah, ini bakal jadi pesta yang asyik!" seru Jan tertawa.
"Bagaimana kalau kita undang beberapa anak dari kamar-kamar lain?"
aku mengusulkan. "Jangan! Nanti Coke-nya harus kita bagi-bagi dengan mereka," Jan memprotes.
Kami langsung ketawa. Kami bercanda dan tertawa sekitar setengah jam sambil menunggu
Dierdre. Kami duduk di lantai dan membuka satu kantong tortilla
chips. Kami mengobrol ke sana kemari, dan tahu-tahu,tanpa terasa, isi
kantong itu sudah kami sikat habis. Lalu kami membuka satu kaleng
Coke. "Aduh, mana sih dia?" tanya Jan, sambil melirik jam tangannya.
"Sudah hampir waktunya lampu dimatikan," ujar Ivy sambil menghela napas dengan
kecewa. "Waktu kita tinggal sedikit untuk berpesta."
"Barangkali Dierdre lupa bahwa kita mau bikin pesta," aku menduga-duga. Kuremasremas kantong tortilla chips yang sudah kosong itu,
lalu kulempar ke arah keranjang sampah.
Lemparanku meleset. Aku memang kurang berbakat main bola basket.
"Tapi kan dia sendiri yang punya ide untuk bikin pesta!" balas Ivy. Ia berdiri
dan mulai berjalan mondar-mandir. "Ke mana ya dia" Jam segini semua orang
seharusnya sudah di kamar masing-masing."
"Ayo, kita cari dia," ujarku. Kata-kataku itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Kadang-kadang aku memang begitu. Kadang-kadang aku
dapat ide cemerlang sebelum aku sadar apa yang kukatakan.
"Ya! Kita cari dia!" Ivy mendukungku.
"Hei, tunggu dulu," ujar Jan. Ia melangkah ke depan kami dan menghalangi jalan
ke pintu. "Ini tidak boleh. Kau kan tahu
peraturannya, Ivy. Kita tidak boleh keluar asrama sesudah jam
sepuluh." "Kita keluar diam-diam, mencari Dierdre, lalu menyusup masuk lagi,"
balas Ivy. "Ayo, Jan. Kenapa sih harus takut?"
"Yeah, kenapa harus takut?" aku menimpali.
Jan kalah suara. "Oke, oke. Mudah-mudahan saja kita tidak
kepergok," gumamnya. Ia mengikuti Ivy dan aku ke pintu.
"Kenapa harus takut?" aku bertanya pada diriku sendiri ketika aku keluar ke
koridor yang sepi. "Kenapa harus takut?" aku mengulangi ketika kami menyelinap keluar dari asrama
dan memasuki kegelapan malam.
"Kenapa harus takut?"
Aku tidak tahu. Tapi sebenarnya jawaban terhadap pertanyaan itu
adalah: KARENA MEMANG ADA YANG MENAKUTKAN!
UDARA malam terasa lebih panas daripada waktu Upacara Juara tadi.
Dan lebih lembap. Ketika melangkah keluar dari asrama, rasanya
seperti memasuki ruang mandi uap.
Seekor nyamuk berdengung-dengung di sekitar kepalaku. Aku
mencoba menepuknya dengan kedua tangan, tapi gagal.
Jan, Ivy, dan aku mengendap-endap menyusuri sisi gedung asrama.
Sepatuku tergelincir terus pada rumput yang basah karena embun.
Lampu-lampu yang terang menyorot dari pohon-pohon, menerangi
jalan setapak. Kami menyelinap di tempat-tempat gelap.
"Dari mana kita harus mulai mencari?" bisik Ivy. "Dari gedung utama saja,"
sahutku. "Barangkali para juara masih berpesta di sana."
"Aku tidak mendengar suara pesta," bisik Jan. "Di sini sepi sekali!"
Ia benar. Bunyi yang terdengar di sekitar kami hanyalah suara
jangkrik dan bunyi daun-daun berdesir karena tertiup angin malamyang hangat. Kami menyusuri jalan setapak ke arah gedung utama.
Kami melewati kolam renang, yang kini kosong dan sunyi. Airnya
mengilap bagaikan perak di bawah lampu-lampu sorot yang terangbenderang. Saking panas dan lembapnya, aku membayangkan diriku mencebur ke
kolam dengan pakaian lengkap.
Tapi kami sedang melaksanakan misi: mencari Dierdre. Tak ada
waktu untuk memikirkan soal nikmatnya berenang malam-malam.
Kami melewati deretan meja pingpong sambil bergerombol rapatrapat. Aku jadi teringat Elliot. Dalam hati aku bertanya sedang apa dia
sekarang" Kemungkinan besar sih, ia sudah tertidur pulas.
Dan seharusnya begitu. Kami sedang menghampiri lapangan tenis pertama ketika Ivy tiba-tiba berseru,
"Awas!" Serta-merta dia menarikku dan mendorongku ke pagar.
Aku mendengar suara langkah di jalan setapak. Seseorang sedang
bersenandung. Kami bertiga menahan napas ketika seorang pembina melewati
persembunyian kami. Ia berambut hitam ikal dan mengenakan
kacamata hitam, walaupun hari sudah malam. Ia memakai seragam
para pembina di camp ini t-shirt putih dan celana pendek putih.
Kami merapatkan punggung ke pagar lapangan tenis. "Itu Billy," bisik Jan. "Dia
keren juga, lho. Dan selalu ceria."
"Tapi dia takkan senang kalau memergoki kita di sini," sahut Ivy, juga berbisik.
"Kita bakal dapat kesulitan besar."
Sambil bersenandung dan menjentik-jentikkan jari, Billy berjalan
melewati kami, menyusuri jalan setapak mengelilingi lapangan tenis.
Aku memperhatikannya sampai ia menghilang dari pandangan.
Kutarik napas dalam-dalam. Rupanya sejak tadi aku terus menahan
napas! "Mau ke mana dia?" tanya Ivy dengan heran. "Ehm, barangkali dia mau ke pesta di
gedung utama," aku menebak.
"Kenapa kita tidak tanya dia saja?" Jan berkelakar.
"Boleh, tapi kau saja yang tanya," jawabku.
Kami menoleh ke kiri-kanan. Setelah yakin keadaan sudah aman,
kami kembali bergerak. Kami melewati deretan lapangan tenis. Lampu-lampu sorot di
pepohonan menghasilkan bayang-bayang panjang. Bayanganbayangan itu bergerak-gerak karena dahan-dahan pohon tertiup angin.
Sepintas lalu mirip makhluk-makhluk gelap yang menggeliat-geliut di tanah.
Aku merinding, padahal udaranya gerah sekali.
Rasanya aneh juga berjalan melintasi bayang-bayang yang bergerakgerak itu. Aku agak waswas, takut salah satunya tiba-tiba meraih ke atas,
mencengkeram kakiku, lalu menarikku ke bawah.
Ada-ada saja, ya" Aku berbalik dan melihat jendela-jendela di asrama menjadi gelap.
Rupanya sudah waktunya lampu-lampu dimatikan.
Kutepuk pundak Jan. Ia berpaling ikut memandangi gedung asrama.
Ketika lampu-lampu padam satu per satu, gedung itu seakan-akan
menghilang di depan mata kami. Bangunannya seperti ditelan
kegelapan malam. "B-barangkali lebih baik kita kembali saja," aku berbisik.
Ivy tidak menyahut. Ia menggigit bibir. Dengan mata terbelalak ia
memandang kegelapan yang menyelubungi kami.
Jan ketawa. "Huh, dasar penakut semua!" ejeknya. "Ayo, dong! Sudah tanggung,
nih. Kita sudah hampir sampai di gedung utama."
Kami mengambil jalan pintas lewat lapangan sepak bola. Gedung
utama berada di atas bukit rendah yang landai, tersembunyi di balik pohon-pohon
tua. Dari kaki bukit pun sudah kelihatan bahwa gedung utama sama
gelapnya dengan gedung asrama. "Tak ada pesta di situ," bisikku.
Ivy mendengus karena kecewa. "Huh, kalau begitu, dimana dong
Diedre?" "Coba kita cari di asrama cowok!" aku bergurau. Jan dan Ivy ketawa.
Tapi kami segera terdiam karena mendengar bunyi kepak-kepak,
dekat sekali. "Iiih, apa itu?" tanya Ivy
"Ohhh!" aku memekik tertahan ketika mendongak dan melihat sumber suara itu.
Langit tertutup kelelawar. Lusinan kelelawar hitam.
Kawanan kelelawar itu terbang di atas lampu-lampu sorot di
pepohonan. Lalu - menukik untuk menyambar kami!
AKU tak sanggup mengendalikan diri. Serta-merta aku menjerit. Lalu
aku melindungi wajahku dengan kedua tangan.
Aku mendengar Jan dan Ivy memekik tertahan. Suara kepak-kepak itu
semakin keras. Semakin dekat.
Aku bisa merasakan embusan napas kelelawar pada tengkukku.
Kemudian aku merasakan binatang-binatang itu menarik-narik
rambutku dan mencakar-cakar wajahku.
Daya khayalku langsung bekerja keras kalau di sekitarku ada
kelelawar. "Tenang, Wendy, tenang," bisik Jan. Ia menarik tanganku dari wajahku. Lalu
menunjuk. "Lihat, tuh."
Aku menoleh ke arah sayap-sayap hitam yang berkepak-kepak.
Kelelawar-kelelawar itu memang terbang menukik. Tapi bukan kami
yang jadi sasaran. Mereka menukik dan mengarah ke kolam renang di
kaki bukit. Dalam cahaya lampu sorot yang terang-benderang, aku melihat
kawanan kelelawar nyemplung ke dalam air - kurang dari sedetik.
Setelah itu mereka segera kembali terbang tinggi.
"A-aku tidak suka kelelawar," bisikku.
"Aku juga tidak suka," Ivy mengakui. "Kata orang sih, kelelawar tidak berbahaya.
Makanannya serangga dan sebagainya. Tapi aku tetap
merinding kalau melihat kelelawar."
"Hmm, mereka takkan mengganggu kita," ujar Jan. "Mereka cuma mau minum." Ia
mendorong Ivy dan aku agar kami menuruni bukit.
Kami beruntung. Tak ada yang mendengar jeritanku. Tapi baru
berjalan beberapa langkah, kami melihat pembina lain menuju ke arah kami di
jalan setapak. Aku segera mengenalinya. Wanita muda itu
berambut pirang menjurus putih, dan ia memakai topi baseball
berwama biru. Tanpa bersuara kami bertiga menyelinap ke balik semak-semak dan
jongkok di situ. Apakah ia melihat kami"
Aku kembali menahan napas.
Ia tidak berhenti. "Mau ke mana sih dia?" bisik Ivy. "Kenapa para pembina berkeliaran di luar
malam-malam begini?"
"Ayo, kita ikuti," aku mengajak.
"Tapi jaga jarak," Jan mewanti-wanti. Perlahan-lahan kami berdiri lagi. Dan
melangkah keluar dari balik semak.
Lalu berhenti seketika ketika kami mendengar bunyi gemuruh itu.
Bunyi itu bertambah keras, dan tanah tempat kami berpijak pun mulai bergetar.
Kedua temanku tampak ketakutan. Ternyata Ivy dan Jan sama
ngerinya seperti aku. Guncangannya bertambah keras, begitu keras sehingga kami jatuh
berlutut. Aku sampai harus merangkak sambil mencengkeram rumput.
Tanah berguncang dan bergetar. Gemuruh yang menyelubungi kami
terasa memekakkan telinga.
Aku memejamkan mata. Perlahan-lahan bunyi itu mereda.
Tanah di bawah kami bergetar sekali lagi, lalu kembali diam seakanakan tak terjadi apa-apa. Aku membuka mata dan berpaling kepada
Ivy dan Jan. Mereka mulai bangkit. Pelan-pelan sekali.
"Aku selalu panik kalau ada kejadian seperti ini!" Jan bergumam.
"Kenapa sih bisa begini?" bisikku. Lututku masih gemetaran ketika aku mencoba
berdiri. "Tak ada yang tahu," jawab Jan, sambil menepis rumput yang menempel di lututnya.
"Tapi kadang-kadang guncangan seperti tadi bisa terjadi beberapa kali dalam
sehari." "Sebaiknya kita berhenti mencari Dierdre," ujar Ivy pelan-pelan. "Aku mau balik
saja. Kembali ke asrama."
"Yeah. Aku juga," kataku lesu. "Besok saja kita bikin pesta bersama Dierdre."


Goosebumps - Horor Di Camp Jellyjam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekalian dia bisa cerita ke mana dia malam ini, dan apa saja yang
dikerjakannya," Jan menimpali.
"Ini memang rencana gila," aku bergumam.
"Hei, ini kan rencanamu!" seru Jan.
"Kebanyakan rencanaku memang tidak masuk akal!" sahutku.
Sambil berlindung dalam bayang-bayang pepohonan, kami kembali
menyusuri jalan setapak. Aku melirik ke arah kolam renang. Kawanan
kelelawar tadi sudah tidak kelihatan. Barangkali mereka kabur garagara bunyi gemuruh tadi. Jangkrik-jangkrik pun tak terdengar lagi. Udara masih panas, tapi
suasananya sunyi dan hening.
Bunyi yang terdengar cuma bunyi sepatu kets kami.
Tiba-tiba - sebelum sempat atau bersembunyi - kami mendengar
suara langkah orang lain. Langkahnya cepat sekali. Seseorang sedang berlari.
Berlari ke arah kami. Aku langsung berhenti ketika mendengar jeritan anak cewek.
"Tolong! Tolong aku! Tolong!"
EMBUSAN angin panas mengguncangkan pepohonan. Bayanganbayangan gelap di tanah langsung ikut menari-nari.
Aku melompat mundur karena kaget mendengar jeritan itu.
"Tolong! Tolong aku - !"
Ia muncul dari balik lapangan tenis. Ia mengenakan celana pendek
biru dan kaus tanpa lengan berwarna merah muda.
Tangannya melambai-lambai. Rambutnya yang panjang berkibarkibar di belakangnya. Aku langsung mengenalinya.
Ia adalah gadis cilik berambut merah dengan muka penuh bintikbintik. Gadis cilik yang bersembunyi di hutan dan memperingatkan
aku agar tidak masuk ke camp.
"Tolong aku!" Ia langsung menabrakku, lalu menangis terisak-isak. Aku merangkul
pundaknya dan memeluknya erat-erat. "Ssst, jangan menangis,"
bisikku. "Kau lak perlu takut."
Serta-merta ia meronta dan membebaskan diri dari pelukanku.
"Ada apa sih?" tanya Jan. "Kenapa kau ada di luar sini?"
"Kenapa kau belum tidur?" Ivy menambahkan sambil melangkah ke sampingku.
Gadis cilik itu tidak menyahut. Seluruh badannya gemetar.
Ia meraih tanganku dan menarikku ke balik semak-semak di sisi jalan setapak. Jan
dan Ivy menyusul. "A-aku takut," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya. "A-aku - "
"Siapa namamu?" Jan bertanya pelan-pelan.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ivy lagi.
Kepak sayap kelelawar terdengar lagi di atas kami. Tapi bunyi itu tak kugubris.
Aku terus menatap gadis cilik yang berdiri di hadapan kami.
"Aku - namaku Alicia," sahutnya sambil berusaha menahan tangis.
"Kita harus lari. Cepat!"
"Hah?" aku berseru. "Coba tarik nafas dalam-dalam dulu, Alicia. Kau tidak perlu
takut. Sungguh." "Kalian tidak tahu, sih," dia memekik sambil menggelengkan kepala.
"Kau sudah aman sekarang. Kau bersama kami," aku berkeras.
"Kita tidak aman," balasnya. "Tak ada yang aman di sini. Aku sudah coba kasih
tahu semua orang. Aku sudah kasih tahu kalian..."
Suaranya kembali terputus karena dia menangis lagi.
"Sebenarnya ada apa sih?" ujar Ivy.
"Apa yang mau kauberitahukan kepada kami?" Jan bertanya sambil jongkok di depan
gadis cilik itu. "A-aku melihat sesuatu yang mengerikan," Alicia tergagap-gagap.
"Aku - " "Apa yang kaulihat?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku diam-diam mengikuti mereka," jawab Alicia. "Dan aku melihatnya. Mengerikan
sekali. A-aku tidak bisa cerita. Pokoknya kita harus lari. Kita harus kasih tahu
yang lain. Semuanya. Kita harus lari.
Kita harus kabur dari sini!"
Ia mengembuskan napas panjang. Seluruh tubuhnya kembali
gemetaran. "Tapi kenapa kita harus lari?" tanyaku. Dengan lembut kupegang kedua pundaknya.
Aku kasihan sekali pada Alicia. Aku ingin menenangkannya. Aku
ingin meyakinkan dia bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Tapi aku
tidak tahu bagaimana caranya.
Apa yang ia lihat" Apa yang membuatnya begitu ketakutan"
Apakah ia baru saja bermimpi buruk"
"Kita harus kabur! Sekarang!" ia mengulangi dengan nada
melengking. Rambutnya yang merah menempel di wajahnya yang
Prahara Hutan Bandan 1 Gento Guyon 25 Gelombang Naga Naga Pembunuh 2

Cari Blog Ini