Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan Bagian 2
Semua anggota timku absen, jadi tidak ada latihan.
Absen gara-gara aku... Aku melangkah pelan ke lemari penyimpananku dan mengambil jaket.
Ketika membanting dan mengunci pintu, aku dapat ide.
Hutan itu. Hutan Jeffers.
Di situlah aku dulu bertemu Clarissa.
Pasti aku bisa menemukan dia lagi di sana. Mungkin itu tempat
pertemuan rahasianya, pikirku.
Mungkin ia menungguku di sana.
Tentu saja! kataku dalam hati, menyemangati diri sendiri. Kenapa
lama sekali aku baru teringat pada hal ini" Rasanya tepat sekali.
Sambil bersenandung sendiri, aku berlari ke pintu. Lorong hampir
kosong. Aku berhenti ketika kulihat ada sosok yang kukenal berdiri di pintu.
"Mom!" "Hai, Sam." Ia melambai padaku, meskipun aku berdiri tepat di depannya. Mom
mengenakan topi wol warna merah putih yang
menutupi rambut pirang pendeknya, dan jaket ski merah robek-robek
yang selalu dipakainya. Sudah bertahun-tahun ia tidak main ski. Tapi ia suka mengenakan
pakaian ski. "Mom - buat apa Mom ke sini?" teriakku, tidak bermaksud seketus kedengarannya. Aku
tidak sabar ingin mengambil sepeda dan pergi ke
Hutan Jeffers. Aku tidak perlu Mom di sini!
"Kau tidak lupa jadwal pertemuanmu dengan Dr. Stone?" tanyanya sambil melambailambaikan kunci mobil yang dipegangnya.
"Dokter gigi itu" Hari ini?" teriakku. "Aku tidak bisa!"
"Harus bisa," jawabnya tegas sambil menarik lengan jaketku. "Kau tahu betapa
sulitnya memperoleh kesempatan berobat dengan Dr.
Stone." "Tapi aku tidak mau pakai kawat gigi!" teriakku, sadar aku kedengaran agak
berlebihan, agak konyol. "Mungkin kau tidak perlu pakai kawat gigi,"kata Mom sambil menarikku ke pintu.
"Mungkin kau cuma harus pakai penahan gigi.
Terserah apa kata Dr. Stone."
"Tapi, Mom - aku - aku - " Aku bingung mencari alasan. "Aku tidak bisa ikut Mom.
Sepedaku ada di sini!" teriakku putus asa.
"Ambillah. Kita taruh di bagasi mobil," jawabnya tanpa berkedip.
Tidak ada pilihan lain. Aku harus ikut Mom. Sambil menarik napas
kuat-kuat, kudorong pintu dan bergegas melewatinya menuju tempat
parkir sepeda. Ternyata aku harus pakai kawat gigi selama paling tidak enam bulan.
Aku harus bertemu Dr. Stone lagi minggu depan untuk
memasangkannya. Kurasa aku mestinya kesal karena harus pakai
kawat gigi. Tapi susah rasanya memikirkan kawat gigi kalau di
pikiranku ada Judith, Anna, dan anak-anak lain.
Aku terus saja terbayang-bayang mereka makin sakit, semakin kurus,
semakin lemah. Aku terus membayangkan hal-hal yang mengerikan
ini. Aku sedang berada di ruang olahraga, mondar-mandir membawa
bola, semakin lama semakin cepat. Judith, Anna, dan anak-anak lain
berbaring terlentang di bangku, berusaha melihat, tapi tidak sanggup mengangkat
kepala. Setelah makan malam, aku merasa begitu bersalah, sehingga
kutelepon Judith untuk menanyakan kabarnya. Kurasa seumur hidup
baru sekali itulah aku pernah meneleponnya.
Mrs. Bellwood yang mengangkat telepon. Ia kedengaran lelah dan
tegang. "Siapa ini?" tanyanya.
Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menutup telepon. Tapi kujawab, "Ini Samantha
Byrd. Saya teman sekolah Judith."
Teman apaan. "Saya rasa Judith tidak bisa bangun," jawabnya. "Ia lemah sekali."
"Apa dokter mengatakan - " tanyaku.
"Saya tanya Judith apa dia mau bicara," potong Mrs. Bellwood. Aku bisa mendengar
adik laki-laki Judith meneriakkan sesuatu di kejauhan.
Dan aku bisa mendengar musik dari film kartun di TV mereka.
"Jangan lama-lama," perintah ibu Judith.
"Halo?" kata Judith dengan suara pelan.
"Oh. Hai, Judith. Ini aku. Sam," kataku, berusaha tidak kedengaran gugup.
"Sam?" Terdengar suara pelan lagi, nyaris berbisik.
"Sam Byrd," aku tergagap. "Aku - aku cuma ingin menanyakan bagaimana keadaanmu?"
Sam, kau memantrai kami, ya?" tanya Judith. Aku terkesiap. Kok dia tahu"
"JUDITH - apa maksudmu?" semburku.
"Semua pemain sakit, kecuali kau," jawab Judith.
"Anna sakit. Arlene juga. Dan Krista."
"Ya, tapi bukan berarti - " kataku.
"Jadi kurasa kau memantrai kami," potong Judith. Apa dia bercanda"
Aku tidak tahu. "Aku cuma berharap kau merasa baikan," gumamku kaku. Aku bisa mendengar Mrs.
Bellwood menyuruh Judith berhenti menelepon.
Jadi kuakhiri saja teleponku dan kututup. Aku merasa bersyukur
percakapan kami cuma sebentar.
Tapi aku tidak tahu Judith bercanda atau tidak soal aku memantrai
mereka. Suaranya benar-benar pelan. Ia kedengaran begitu lelah dan tak
bersemangat. Aku merasa marah karena ia telah menuduhku,bercanda ataupun
tidak. Memang begitulah sifat Judith. Selalu menemukan jalan untuk
membuatku marah bahkan di saat aku baik-baik meneleponnya. Tapi
aku juga merasa bersalah. Entah Judith menebaknya atau tidak, aku
memang telah memantrai dia dan yang lainnya.
Dan sekarang aku harus menemukan cara untuk menghilangkan
mantra itu. Keesokan paginya, dua tempat duduk di kelasku kosong lagi. Judith dan Anna
absen. Saat makan siang, kutanya Cory apa ia mau ikut denganku pergi
mencari wanita aneh itu sepulang sekolah nanti.
"Tidak mau!" teriaknya sambil menggeleng. "Ia bisa mengubah aku jadi kodok atau
entah apa lagi!" "Cory - kau tidak bisa serius, ya?" jeritku. Beberapa anak menoleh.
"Yang benar saja," gumam Cory, wajahnya merah padam di bawah topi Orlando Magicnya. "Oke, maafkan aku," kataku. "Aku benar-benar tegang - tahu kan?"
Ia tetap tidak mau menemaniku. Ia mengarang alasan yang payah dan
mengatakan harus membantu ibunya membersihkan ruang bawah
tanah. Mana ada orang membersihkan ruang bawah tanah pada pertengahan
musim dingin begini"
Cory pura-pura tidak percaya pada ceritaku tentang wanita itu dan
ketiga permintaanku. Tapi aku merasa mungkin ia agak takut.
Aku juga takut. Takut tidak berhasil menemukannya.
Sepulang sekolah, aku melompat naik ke sepeda dan mengayuh ke
arah Hutan Jeffers. Hari itu kelabu dan berangin. Awan-awan besar dan gelap bergulung
cepat di langit, mungkin hujan akan turun, atau salju.
Mirip sekali dengan hari aku bertemu Clarissa, pikirku. Entah kenapa, hal itu
membuatku bersemangat. Beberapa teman sekelasku melambai dan memanggilku. Tapi aku
terus saja, bersandar di setang, semakin kuat mengayuh.
Beberapa menit kemudian, Montrose Avenue membelok
meninggalkan rumah-rumah yang berbaris di kedua sisi jalan, dan
tampaklah pohon-pohon gundul di hutan.
Pepohonan yang tinggi membentuk dinding gelap, lebih gelap dari
langit hitam di atas. "Ia harus ada di sana, harus ada di sana," kataku berulang-ulang seirama dengan
kayuhan kakiku. Harus ada di sana, harus ada di sana.
Jantungku nyaris terlompat ke luar ketika aku melihat wanita itu,
membungkuk di pinggir jalan. Menungguku.
"Hai!" panggilku. "Hai! Ini aku!"
Kenapa ia tidak menjawab"
KETIKA sepeda kukayuh mendekat, dengan jantung berdebar-debar
senang, kulihat ia memunggungi aku.
Pakaiannya sudah ganti. Ia mengenakan topi baret wol ungu, dan
mantel hitam panjang hampir sampai mata kaki.
Kuinjak rem sampai berdecit-decit dan sepedaku berhenti beberapa
senti di belakangnya, roda sepedaku meluncur di jalan yang berbatubatu. "Aku ingin mengajukan permintaan lagi!" seruku dengan napas terengahengah. Ia berbalik, dan aku terkesiap.
Kutatap wajah yang penuh bintik-bintik, wajah yang kelihatan muda
dengan rambut pirang pendek dan keriting.
"Maaf. Apa kau bilang tadi?" tanyanya, disipitkannya matanya menatapku, wajahnya
bingung. "Saya - saya minta maaf," aku tergagap, kurasa wajahku seperti terbakar. "Saya saya kira Anda orang lain."
Wanita ini bukan wanita aneh yang dulu.
Aku ingin mati saja saking malunya!
Di belakangnya kulihat ada dua orang anak berambut pirang sedang
melempar-lemparkan frisbee di pinggir hutan. "Tommy - jangan
lempar kuat-kuat begitu. Saudaramu tidak bisa menangkapnya!"
perintah wanita itu. Lalu ia kembali menatapku. "Apa yang kau bilang soal permintaan tadi" Kau
tersesat?" tanyanya, dengan penuh perhatian diamatinya wajahku.
Aku tahu aku masih merah padam, tapi bagaimana lagi. "Tidak. Saya tadi mengira
Anda - " kataku. "Tommy - kejar sendiri!" teriaknya pada anak laki-lakinya. Kedua anak itu mulai
bertengkar. Ia segera meleraikannya.
"Maaf saya merepotkan Anda," seruku. "Bye." Kuputar sepedaku dan cepat-cepat
kugenjot pulang. Aku malu karena tadi mengucapkan hal konyol seperti itu pada orang
yang sama sekali tidak kukenal. Tapi sebetulnya aku kecewa.
Aku betul-betul mengira wanita aneh itu ada di sana.
Ada di mana lagi dia" pikirku.
Aku ingat dulu aku menunjukkan dia jalan ke Madison Road
kepadanya. Siapa tahu aku beruntung dan bertemu dia di sana,
pikirku. Jauh sekali ke sana. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
Kuputar sepedaku dan menuju Madison. Angin bertiup semakin
kencang, wajahku mulai terasa dingin dan kaku. Aku naik sepeda
melawan arah angin, dan udara dingin yang menusuk membuat
mataku berair. Meskipun mataku kabur, aku bisa melihat wanita itu tidak ada di
Madison, menunggu kedatanganku.
Dua anjing kampung cokelat kudisan berlari menyeberang jalan
bersama-sama, kepala mereka menunduk menentang angin. Cuma
merekalah makhluk hidup yang kulihat.
Aku mondar-mandir naik sepeda beberapa kali, mataku mengamati
rumah-rumah tua bobrok di sekitar situ.
Cuma buang-buang waktu saja.
Badanku terasa kaku semua. Kuping dan hidungku terasa gatal karena
mati rasa. Air mata dingin mengalir di pipi dari mataku yang berair.
"Sudahlah, Sam," perintahku pada diri sendiri keras-keras.
Langit semakin gelap. Awan badai melayang rendah di atas
pepohonan yang bergetar. Dengan perasaan sedih dan kalah, aku berbalik dan pulang. Kukayuh
sepeda sekuat tenaga di sepanjang jalan, berusaha agar sepedaku
jangan sampai terjatuh ditiup angin kencang.
Aku berhenti ketika rumah Judith sudah kelihatan. Rumahnya panjang
dan rendah dari bahan kayu merah, bergaya peternakan, terletak jauh
dari jalan, dengan halaman depan yang luas dan landai.
Mungkin sebaiknya aku berhenti sebentar dan melihat keadaan Judith,
pikirku. Aku juga jadi bisa menghangatkan badan sebentar, kataku dalam hati.
Kuangkat tangan dan kupegang hidungku. Benar-benar mati rasa.
Sambil gemetaran kukayuh sepeda di jalan masuk dan kurebahkan di
tanah. Lalu sambil menggosok-gosok hidung supaya tidak mati rasa,
aku lari ke teras dan membunyikan bel.
Mrs. Bellwood tampak sangat terkejut melihat ada tamu. Kusebutkan
namaku dan kubilang kebetulan aku lewat rumahnya. "Bagaimana
kabar Judith?" tanyaku, badanku gemetaran.
"Yah, begitulah," jawabnya sambil menarik napas cemas. Matanya hijau seperti
mata Judith, tapi rambutnya hampir beruban semua.
Diajaknya aku masuk ke ruang tengah yang terasa hangat. Tercium
bau ayam panggang. Tiba-tiba aku merasa lapar.
"Judith! Ada tamu!" teriak Mrs. Bellwood ke atas tangga.
Kudengar jawaban lemah, tapi aku tidak tahu apa yang dikatakannya.
"Naik saja," kata ibu Judith, dipegangnya bahuku. "Kau kelihatan kedinginan,"
tambahnya sambil menggeleng. "Hati-hati, Sayang. Kau tidak mau sampai sakit
juga, kan?" Aku naik tangga dan melihat kamar Judith ada di ujung lorong. Aku
berdiri ragu-ragu di pintu dan mengintip ke dalam.
Kamarnya remang-remang. Aku bisa melihat Judith berbaring di
tempat tidur, di atas kain pelapis tempat tidur. Kepalanya disangga
beberapa bantal. Buku, majalah, dan dua buku catatan pelajaran
bertebaran. Tapi Judith tidak sedang membaca. Ia cuma menatap lurus
ke depan. "Bangau?" teriaknya ketika melihat aku berdiri di pintu.
Aku masuk ke kamar, tersenyum terpaksa. "Bagaimana keadaanmu?"
tanyaku pelan. "Buat apa kau ke sini?" tanyanya dingin. Suaranya serak.
"Aku - aku sedang naik sepeda, dan - " aku tergagap, tetap berdiri di samping pintu.
Aku terkejut mendengar ia marah begitu.
"Naik sepeda" Dingin-dingin begini?" Ia bersusah payah bangun dan duduk. Sambil
bersandar di kepala tempat tidur, dipandangnya aku
penuh kecurigaan. "Aku cuma ingin tahu bagaimana kabarmu," gumamku.
"Terbang sajalah kau, Byrd!" geramnya kesal. "Hah?"
"Kau tukang sihir - ya kan?" tuduhnya.
Astaga, beraninya ia bicara begitu. Aku terpesona. Terkejut! Ia tidak bercanda.
Aku bisa jelas melihat ia serius!
"Kau memang memantrai kami. Aku tahu!"
"Judith - tolong," teriakku. "Bicara apa, sih, kau ini?"
"Tahun lalu kita belajar tentang tukang sihir pada pelajaran ilmu sosial,"
katanya dengan suara parau. "Kita mempelajari mantra dan hal-hal lain."
"Gila!" kataku.
"Kau iri padaku, Sam. Pada aku, Anna, dan yang lainnya," tuduh Judith.
"Jadi?" teriakku marah.
"Jadi, tiba-tiba semua anak anggota tim merasa lemah dan sakit.
Kecuali kau, Sam. Kau merasa sehat-sehat saja - kan?"
"Kau tukang sihir, Sam!" jeritnya, suaranya yang lemah terdengar melengking. Ia
terbatuk-batuk. "Judith, bicaramu seperti orang gila saja," kataku ngotot. "Aku bukan tukang
sihir. Bagaimana aku bisa jadi tukang sihir" Aku turut sedih
kau sakit. Betul. Tapi - "
"Kau tukang sihir! Kau tukang sihir!" kata Judith, suaranya berbisik melengking.
"Aku sudah bicara dengan anak-anak. Mereka semua
setuju. Kau tukang sihir. Tukang sihir!"
Saking marahnya, aku merasa seperti bisa meledak. Kukepalkan
tanganku kuat-kuat. Kepalaku terasa berdenyut-denyut.
Judith sudah bicara dengan anak-anak lain, menyebarkan cerita bahwa
Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku tukang sihir. Tega sekali ia melakukan perbuatan gila seperti itu.
"Tukang sihir! Kau tukang sihir!" ia terus berceloteh.
Karena kesal sekali, aku jadi lepas kontrol.
"Judith - " jeritku. "Aku - aku tidak akan melakukannya padamu kalau saja kau tidak
jahat padaku!" Aku langsung tersadar aku telah melakukan kesalahan fatal.
Aku baru saja mengaku padanya bertanggung jawab menyebabkan ia
sakit. Aku keterlepasan mengatakan aku memang tukang sihir!
Tapi karena marah sekali aku jadi tidak peduli. "Betul kan!" jerit Judith dengan suaranya yang
parau, matanya yang hijau bersinar
gembira, ditudingnya aku dengan sikap menuduh.
"Ada apa, sih" Kenapa teriak-teriak?" Ibu Judith masuk ke kamar, ditatapnya
Judith dan aku berganti-ganti.
"Dia tukang sihir! Tukang sihir!" jerit Judith. "Judith - tolong.
Tolong, tenanglah. Kau tidak boleh capek dulu," kata Mrs. Bellwood.
"Maafkan saya. Saya pulang saja sekarang," kataku ketus.
Aku segera keluar kamar, lari menuruni tangga, dan pergi dari rumah
itu secepat mungkin. "Tukang sihir! Tukang sihir!" teriakan Judith yang parau terus mengikutiku.
Aku marah, sakit hati, dan terhina sekali, sehingga rasanya sebentar lagi bisa
meledak. "Semoga Judith menghilang!" jeritku. "Semogaaa!"
"Baik. Itu akan jadi permintaan keduamu," kata suara di belakangku.
Aku berputar dan melihat wanita aneh yang dulu sedang berdiri di
samping rumah, rambutnya yang panjang dan hitam berkibar-kibar
ditiup angin. Diangkatnya bola kaca merah yang menyala tinggitinggi. Matanya bersinar merah seperti bola kaca itu.
"Akan kubatalkan permintaan pertamamu," katanya dengan suara gemetar seperti
wanita tua. "Akan kukabulkan permintaan keduamu."
"TIDAK - tunggu!" teriakku.
Wanita itu tersenyum dan ditutupinya kepalanya dengan syal.
"Tunggu! Saya tidak serius!" teriakku sambil berlari mendatanginya.
"Saya tidak tahu Anda ada disini. Tunggu - OW!"
Kakiku tersandung batu di jalanan, aku terjatuh.
Lututku terasa sakit sekali. Rasa sakitnya terasa di sekujur tubuh.
Ketika kulihat lagi, ia sudah tidak ada.
Setelah makan malam, Ron mau diajak main basket di belakang. Tapi
udara terlalu dingin dan berangin. Butir-butir salju mulai berjatuhan.
Kami akhirnya main ping-pong di ruang bawah tanah.
Susah rasanya main ping-pong di ruang bawah tanah rumah kami.
Yah, alasan pertama langit-langitnya terlalu rendah, bola selalu
terpental kesana dan memantul ke mana-mana. Selain itu, Punkin
punya kebiasaan buruk mengejar-ngejar bola dan menggigitinya
sampai bolong. Aku cuma pandai main ping-pong. Aku punya servis yang sangat
menipu, dan aku pintar memukul bola ke arah kerongkongan lawan.
Biasanya aku bisa mengalahkan Ron dua set dari tiga set
pertandingan. Tapi malam ini ia tahu aku tidak main serius.
"Ada apa?" tanyanya ketika kami memukul bola pelan-pelan. Matanya yang kelam
menatapku dari balik kacamata berbingkai hitamnya.
Kuputuskan aku harus menceritakan padanya soal Clarissa, bola
kristal merahnya, dan tiga permintaanku. Aku ingin sekali bercerita
pada seseorang. "Beberapa hari yang lalu aku membantu seorang wanita aneh," kataku.
"Dan ia berjanji akan mengabulkan tiga permintaanku. Kuucapkan
permintaanku, dan sekarang semua pemain tim bola basketku sebentar
lagi mati!" Ron menjatuhkan pemukulnya ke atas meja. Mulutnya ternganga.
"Waduh, kebetulan sekali!" teriaknya.
"Hah?" Aku melongo menatapnya.
"Kemarin aku ketemu peri pelindungku!" seru Ron. "Ia berjanji akan membuatku
jadi orang paling kaya di dunia, dan ia akan memberi aku
mobil Mercedes dari emas dengan kolam renang di belakangnya!"
Ia tertawa terbahak-bahak. Dikiranya ia lucu sekali.
"Aaaaaagh!" Aku menggeram karena marah dan frustrasi. Lalu kulemparkan pemukulku
ke arah Ron dan lari ke kamarku di atas.
Kubanting pintu kamar dan berjalan mondar-mandir di dalam,
tanganku terlipat di dada.
Aku terus menenangkan diri sendiri, tidak bagus kalau sampai kacau
begini. Tapi tentu saja percuma menyuruh diri sendiri tenang. Kau
malah jadi semakin tegang.
Kuputuskan aku harus melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran,
supaya tidak teringat Judith terus, dan Clarissa, dan permintaan baru yang tidak
sengaja kuucapkan. Permintaan keduaku. "Tidak adil!" teriakku kuat-kuat sambil terus berjalan mondar-mandir.
Aku sama sekali tidak sadar waktu mengucapkan permintaan keduaku
itu. Wanita itu menipuku! Ia tiba-tiba muncul - dan menipuku!
Aku berhenti di depan cermin dan bermain-main dengan rambutku.
Rambutku pirang dan sangat indah. Begitu indahnya, sehingga
rasanya tidak perlu diatur dengan gaya macam-macam. Biasanya
kuikat jadi buntut kuda di sebelah kanan kepalaku. Kulihat ada model yang agak
mirip dengan aku di majalah Seventeen menata rambutnya
seperti itu. Supaya ada kerjaan, kucoba-coba gaya rambut yang lain. Sambil
mengamati diriku di cermin, kucoba menyisir rambut ke belakang.
Lalu kucoba membelah rambut di tengah dan kugerai menutupi
telinga. Kelihatan payah sekali.
Percuma. Aku tetap saja teringat Judith terus. Akhirnya kuikat jadi
buntut kuda lagi. Lalu kusisir sebentar, kulempar sisirnya sambil
menarik napas, dan mondar-mandir lagi.
Aku terus bertanya-tanya: Apakah harapanku sudah jadi kenyataan"
Apa aku telah menyebabkan Judith menghilang"
Meskipun benci pada Judith, aku jelas tidak mau bertanggungjawab
karena telah membuatnya menghilang untuk selamanya.
Sambil mengerang keras, aku melompat ke tempat tidur. Apa yang
harus kulakukan" tanyaku dalam hati. Aku harus tahu apa harapanku
telah jadi kenyataan. Kuputuskan akan menelepon rumah Judith.
Aku tidak mau bicara dengan dia. Akan kutelepon saja rumahnya dan
kulihat apa dia masih ada.
Aku tidak mau mengatakan dari siapa teleponnya.
Kucari nomor telepon Judith di buku alamat sekolah. Aku tidak hapal.
Aku cuma pernah meneleponnya sekali.
Tanganku gemetar ketika meraih telepon di atas meja. Kutekan nomor
teleponnya. Aku perlu mengulangi sampai tiga kali. Salah tekan terus.
Aku benar-benar ketakutan. Rasanya perutku melilit dan jantungku
lompat ke tenggorokan. Teleponnya berbunyi. Sekali.
Dua kali. Tiga kali. Apakah ia sudah menghilang"
EMPAT kali. Tidak ada yang mengangkat.
"Dia sudah tidak ada," gumamku keras-keras,punggungku terasa dingin.
Sebelum telepon berdering lima kali, kudengar ada bunyi klik. Ada
orang mengangkat telepon. "Halo?"
Judith! "Halo" Siapa ini?" desaknya.
Kubanting telepon. Jantungku berdebar-debar. Tanganku sedingin es. Aku menarik napas
lega. Judith masih ada. Ia benar-benar masih ada. Ia belum
menghilang dari muka bumi ini.
Dan, kusadari suaranya sudah kembali normal. Ia tidak kedengaran
parau atau lemah. Suaranya kedengaran judes seperti biasanya.
Apa artinya ini" Aku melompat berdiri dan mulai berjalan mondarmandir lagi, berusaha memahami segalanya.
Tentu saja, aku tidak bisa memahaminya.
Aku cuma tahu permintaan keduaku tidak dikabulkan.
Dengan perasaan agak lega, aku naik ke tempat tidur dan segera
tertidur pulas tanpa mimpi.
Kubuka sebelah mataku, lalu yang sebelah lagi. Cahaya matahari pagi
yang pucat bersinar menembus jendela kamar tidurku. Sambil
menggeram mengantuk, kusibak selimut dan duduk.
Kupandang jam di atas meja dan terkesiap. Sudah hampir pukul
delapan lewat sepuluh" Kugosok mataku dan kupandang lagi. Ya.
Pukul delapan lewat sepuluh.
"Hah?" teriakku, berusaha menghilangkan kantuk dari suaraku. Setiap pagi Mom
selalu membangunkan aku pukul tujuh supaya aku bisa
sampai di sekolah pukul setengah sembilan.
Ada apa" Sekarang aku pasti sudah telat.
"Hei - Mom!" teriakku. "Mom!" Aku melompat bangun dari tempat tidur. Kakiku yang
panjang terlilit selimut, aku nyaris jatuh.
Hebat sekali, pagi-pagi sudah kacau begini - memang ciri khas
Samantha! "Hei, Mom - " teriakku dari pintu kamar. "Ada apa" Aku jadi telat, nih!"
Karena tidak mendengar jawaban, kubuka baju tidur dan cepat-cepat
mencari pakaian bersih dari dalam lemari. Hari ini hari Jumat, hari
cuci pakaian. Jadi aku terpaksa mencari sampai ke tumpukan bawah.
"Hei, Mom" Ron" Ada yang sudah bangun?" Setiap pagi Dad
berangkat kerja pukul tujuh.
Biasanya aku mendengarnya berjalan ke sana kemari. Tapi pagi ini
aku tidak mendengar apa-apa. Kupakai celana jins-ku dan baju hangat
warna hijau muda. Lalu kusisir rambutku, kupandang wajahku yang
masih mengantuk di cermin.
"Ada yang sudah bangun?" teriakku. ''Kenapa hari ini tidak ada yang membangunkan
aku" Ini bukan hari libur kan?"
Kudengarkan dengan cermat sambil memakai sepatu Doc Martens-ku.
Tidak terdengar suara radio dari dapur. Aneh sekali, pikirku. Setiap pagi Mom
selalu mendengar siaran berita dari radio itu. Kami selalu
bertengkar soal radio. Mom ingin mendengar berita, dan aku ingin
mendengar musik. Tapi hari ini tidak terdengar suara apa-apa.
Ada apa, sih" "Hei - aku terpaksa tidak sarapan!" teriakku ke bawah tangga. "Aku sudah telat."
Tidak ada jawaban. Kupandang cermin sekali lagi, kusisir rambut dari keningku, dan
segera keluar ke lorong. Kamar abangku di sebelah kamarku. Pintunya tertutup.
O-oh, Ron, pikirku. Kau terlambat bangun juga"
Kugedor pintunya. "Ron" Ron, kau sudah bangun?"
Sepi. "Ron?" kudorong pintunya sampai terbuka. Kamarnya gelap, cuma ada cahaya pudar
dari jendela. Tempat tidurnya rapi.
Apa Ron sudah berangkat" Kenapa ia sudah merapikan tempat tidur"
Biasanya tidak pernah! "Hei, Mom!" Dengan perasaan bingung, aku segera menuruni tangga.
Di tengah jalan, aku tersandung dan nyaris jatuh. Gerakan Kacau
Nomor Dua. Bagus sekali untuk pagi-pagi begini.
"Ada apa, sih, di bawah sini" Apa sekarang sudah akhir pekan" Apa aku tidur
selama hari Jumat?" Dapur kosong. Tidak ada Mom. Tidak ada Ron. Tidak ada sarapan.
Apa mereka harus pergi cepat-cepat ke suatu tempat" Kuperiksa pintu
kulkas kalau-kalau ada pesan tertempel.
Tidak ada. Dengan perasaan bingung, kulirik jam. Hampir pukul setengah
sembilan. Aku sudah terlambat untuk pergi ke sekolah.
Kenapa tidak ada yang membangunkan aku" Kenapa mereka semua
pergi pagi-pagi sekali"
Kucubit diriku. Betul-betul kucubit. Siapa tahu aku mimpi.
Tapi tidak. "Hei - semua?" panggilku. Suaraku bergema di rumahku yang
kosong. Aku lari ke lemari depan untuk mengambil mantel. Aku harus
berangkat ke sekolah. Aku yakin misteri ini akan jelas juga nantinya.
Cepat-cepat kupakai mantel dan lari ke atas untuk mengambil tas
ranselku. Perutku ribut keroncongan. Biasanya aku sarapan paling
tidak segelas sari buah dan semangkuk sereal.
Yah, pikirku, aku nanti beli makan siang yang agak banyak saja.
Beberapa saat kemudian, aku keluar dari pintu depan dan pergi ke
garasi di samping untuk mengambil sepeda. Kutarik pintu garasi - dan
berhenti. Aku berdiri kaku sambil menatap ke dalam garasi.
Mobil ayahku. Masih ada di dalam garasi. Dad belum berangkat kerja.
Kalau begitu, kemana mereka semua"
AKU kembali ke dalam rumah dan menelepon kantor Dad. Telepon
berdering-dering, tapi tidak ada yang mengangkat.
Kucari lagi pesan dari Dad dan Mom di dapur. Tapi tidak ada apa-apa.
Ketika kulirik jam di dapur, kulihat aku sudah terlambat sekolah dua puluh
menit. Aku perlu surat terlambat, tapi tidak ada yang bisa
menuliskannya untukku. Aku cepat-cepat ke luar untuk mengambil sepeda. Lebih baik telat
daripada tidak masuk sekolah sama sekali, pikirku. Sebetulnya aku
tidak takut. Aku cuma bingung.
Kutelepon Dad dan Mom waktu makan siang nanti dan akan
kutanyakan ke mana orang-orang pergi pagi ini, kataku dalam hati.
Sambil mengayuh sepeda ke sekolah, aku mulai merasa agak marah.
Mereka kan bisa bilang padaku kalau hendak berangkat pagi-pagi!
Di jalanan tidak ada mobil, dan tidak ada anak-anak bersepeda.
Kurasa semua orang sudah berada di sekolah atau di tempat kerja atau di mana
saja orang biasanya berada waktu pagi hari. Aku
memecahkan rekor bisa sampai ke sekolah cepat sekali.
Setelah memarkir sepeda, kurapikan ransel di bahuku dan lari ke
sekolah. Lorong-lorong sekolah gelap dan kosong. Suara langkah
kakiku bergema keras di lantai.
Kumasukkan mantel ke lemari penyimpanan. Ketika kubanting
pintunya, suaranya terdengar seperti suara ledakan di lorong yang
kosong. Seram juga lorong-lorong ini kalau kosong begini, pikirku. Aku lari ke kelasku,
yang letaknya tidak jauh dari lemari penyimpananku.
"Ibu saya lupa membangunkan, makanya saya jadi terlambat bangun."
Itulah alasan yang akan kukatakan pada Sharon begitu masuk kelas.
Maksudku, itu kan bukan sekadar alasan. Itulah yang sebenarnya.
Tapi aku tidak pernah mengatakan alasan keterlambatanku itu pada
Sharon. Kudorong pintu kelas - dan terkejut.
Kosong. Kelas kosong. Tidak ada anak-anak. Tidak ada Sharon.
Lampu belum dinyalakan. Dan tulisan kemarin masih ada di papan
tulis. Aneh, pikirku. Tapi waktu itu aku belum tahu betapa anehnya kejadian yang akan
terjadi. Aku berdiri kaku sesaat, menatap ruang kelas yang kosong dan gelap.
Lalu aku teringat mungkin saja semua orang sedang berkumpul di
auditorium. Aku cepat-cepat berbalik dan berlari-lari melewati lorong kosong ke
auditorium di depan sekolah.
Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pintu ruang guru terbuka. Kuintip dan terkejut ketika melihat ruangan itu kosong
juga. Mungkin guru-guru ikut berkumpul juga, pikirku.
Beberapa detik kemudian, kubuka pintu auditorium.
Dan kupandangi ruangan yang gelap itu.
Auditorium sepi dan kosong.
Kututup pintu dan berlari-lari di lorong. Aku berhenti dan memandang ke dalam
semua ruangan yang kosong.
Aku segera sadar cuma aku satu-satunya orang di gedung ini. Tidak
ada anak-anak. Tidak ada guru. Aku bahkan memeriksa kamar
penjaga sekolah di bawah. Kosong.
Apa sekarang hari Minggu" Apa sekarang hari libur" Aku berusaha
menebak-nebak ke mana semua orang pergi, tapi gagal.
Dengan panik, kumasukkan koin ke telepon umum di samping kantor
kepala sekolah dan menelepon ke rumah.
Kubiarkan telepon berdering sampai sepuluh kali. Tetap tidak ada
orang di rumah. "Ke mana sih orang-orang?" teriakku di koridor yang kosong.
Jawabannya cuma gema suaraku.
"Ada yang mendengarkan aku?" teriakku, kubentuk tanganku seperti terompet di
depan mulut. Sepi. Tiba-tiba aku merasa ketakutan sekali. Aku harus keluar dari gedung
sekolah yang mengerikan ini. Kusambar mantel dan segera lari. Aku
bahkan tidak sempat menutup pintu lemari.
Sambil menyandang mantel di bahu, aku lari ke luar, ke tempat
sepeda. Cuma sepedaku yang diparkir di sana. Aku kesal sendiri
karena tidak dari tadi menyadarinya.
Kukenakan mantel, kurapikan ransel, dan mengayuh sepeda ke rumah.
Lagi-lagi kulihat tidak ada mobil di jalan. Tidak ada orang.
"Aneh sekali!" teriakku kuat-kuat.
Kakiku tiba-tiba terasa berat, seakan-akan ada yang membebani. Aku
tahu pasti karena merasa panik. Jantungku berdebar-debar. Aku terus
mencari-cari orang - siapa saja - di jalan.
Di tengah perjalanan pulang, aku berputar dan kukayuh sepeda ke
arah kota. Daerah pertokoan cuma beberapa blok di sebelah utara
sekolah. Aku naik sepeda di tengah jalan. Buat apa di pinggir-pinggir. Tidak
tampak ada mobil atau truk dari arah mana pun.
Bank mulai nampak, lalu toko serba ada. Ketika kukayuh sepeda
sekuat tenaga, kuperhatikan semua toko yang berderet di kedua sisi
Montrose Avenue. Semuanya gelap dan kosong.
Tak ada orang di kota. Tak ada seorang pun di toko.
Tak seorang pun. Kurem sepeda di depan toko Farber's dan melompat turun. Sepedaku
jatuh ke samping. Aku melangkah ke trotoar, dan mendengarkan.
Yang terdengar cuma suara tirai terbanting-banting ditiup angin di
atas tempat tukang potong rambut.
"Halo!" Aku berteriak sekuat tenaga. "Hallllooooo!"
Aku segera berlari panik dari toko ke toko, kutekan wajahku ke
etalase, mengintip ke dalam, setengah mati mencari-cari manusia lain.
Bolak-balik. Aku berlari di kedua sisi jalan, semakin lama aku
semakin merasa takut. "Hallooooo! Halllooooo! Ada yang mendengarkan aku?"
Tapi aku tahu percuma saja berteriak-teriak.
Sambil berdiri di tengah jalan, melotot memandangi toko-toko gelap
dan trotoar sepi, aku tahu aku sendirian.
Sendirian di dunia. Tiba-tiba aku sadar permintaanku telah dikabulkan.
Judith sudah menghilang. Dan semua orang telah menghilang
bersamanya. Semua orang. Mom dan Dad-ku. Abangku, Ron. Semua orang.
Bisakah aku bertemu mereka lagi"
Aku terduduk di teras semen di depan tempat potong rambut dan
memeluk diriku sendiri, berusaha menahan badanku supaya tidak
gemetaran. Sekarang bagaimana" pikirku suram. Sekarang bagaimana"
AKU tidak tahu berapa lama aku duduk di teras itu, memeluk diri
sendiri, kepalaku tertunduk, pikiranku pusing karena panik. Aku bisa saja duduk
di sana terus, mendengarkan suara tirai berdebam-debam,
mendengarkan angin bertiup di jalanan yang sepi - kalau saja perutku
tidak berkeriuk dan keroncongan.
Aku berdiri, tiba-tiba ingat tadi pagi tidak sempat sarapan.
"Sam, kau sendirian di dunia ini. Kok masih ingat makan, sih?"
tanyaku pada diri sendiri keras-keras.
Entah kenapa lega juga rasanya mendengar ada suara manusia,
meskipun itu suaraku sendiri.
"Aku lapaaaaaar!" teriakku.
Aku menunggu, siapa tahu ada jawaban. Meskipun terasa sangat
goblok, aku tetap tidak mau menyerah.
"Ini semua salah Judith," gumamku sambil mengambil sepeda yang tergeletak di
jalan. Aku mengayuh sepeda pulang melewati jalan-jalan yang kosong,
mataku memelototi halaman dan rumah-rumah yang sepi. Ketika
melewati rumah Carter di sudut blok rumahku, aku berharap anjing
terrier putih kecil mereka mengejar-ngejar sepedaku sambil
menggonggong seperti biasanya.
Tapi tak ada seekor anjing pun yang tersisa di duniaku. Punkin-ku
yang malang pun tidak. Cuma ada aku. Samantha Byrd. Manusia terakhir di bumi.
Begitu sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dapur dan membuat
sandwich selai kacang. Sambil menelan, kupandang tempat selai
kacang yang terbuka. Hampir kosong.
"Bagaimana aku mencari makan nanti?" tanyaku keras-keras.
"Bagaimana nasibku kalau makanan sudah habis?"
Kuisi gelasku dengan sari jeruk. Tapi aku ragu-ragu, akhirnya kuisi
cuma setengah. Apa kurampok saja toko serba ada" tanyaku pada diri sendiri. Apa
kuambil saja makanan yang kubutuhkan"
Apa bisa disebut perampokan kalau tidak ada orang" Kalau tidak ada
orang di mana-mana" Apa itu penting" Apa ada yang penting"
"Bagaimana caraku mengurus diri sendiri" Aku baru dua belas tahun!"
teriakku. Untuk pertama kalinya, aku ingin menangis. Tapi kumasukkan
sepotong sandwich selai kacang lagi ke mulutku dan kuusir perasaan
ingin menangis tadi. Aku malah memikirkan Judith. Perasaan sedih dan takutku segera
berubah jadi perasaan marah.
Kalau Judith tidak mengolok-olok aku, berusaha membuatku malu,
kalau Judith tidak terus-terusan mengejek dan berkata, "Terbang sajalah kau,
Byrd!" dan semua perkataan kasarnya ,yang lain, aku takkan meminta macam-macam
soal dirinya, dan aku takkan jadi
sendirian sekarang. "Aku benci kau, Judith!" jeritku.
Kujejalkan potongan terakhir sandwich ke dalam mulut - tapi tidak
kukunyah. Aku berdiri kaku. Dan mendengarkan.
Aku mendengar sesuatu. Suara langkah kaki. Ada orang betjalan di ruang duduk.
KUT'ELAN potongan sandwich bulat-bulat, dan menyerbu ruang
duduk. "Mom" Dad?"
Apa mereka pulang" Apa mereka benar-benar pulang"
Tidak. Aku berhenti di depan pintu ruang duduk ketika melihat Clarissa. Ia
berdiri di tengah ruangan, rambutnya yang hitam memantulkan cahaya
dari jendela depan, ia tersenyum senang.
Syalnya yang berwarna merah cerah tersampir di bahunya. Ia
mengenakan celana hitam panjang dan blus putih berkerah tinggi.
"Anda!" teriakku terengah-engah. "Bagaimana cara Anda masuk?"
Ia mengangkat bahu. Senyumnya semakin lebar.
"Kenapa Anda lakukan ini pada saya?" jeritku, meledak marah. "Tega sekali Anda
melakukan hal ini pada saya!" teriakku sambil menunjuk ruangan yang kosong,
rumah yang kosong. "Bukan aku," jawabnya tenang.
Ia berjalan ke jendela. Diterangi cahaya matahari siang, kulitnya
tampak pucat dan keriput. Ia tampak tua sekali.
"Tapi - tapi - " kataku, tidak bisa bicara karena marah sekali.
"Kau yang melakukannya," katanya, senyumnya hilang. "Kau yang mengucapkan
permintaan. Aku yang mengabulkan."
"Aku tidak minta keluargaku menghilang!" jeritku sambil melangkah masuk,
tanganku terkepal kuat-kuat. "Aku tidak minta semua orang di dunia ini
menghilang! Anda yang melakukannya! Anda!"
"Kau minta Judith Bellwood menghilang," kata Clarissa sambil merapikan syal di
bahunya. "Kukabulkan permintaanmu sebisa yang kutahu."
"Tidak. Anda menjebak saya," kataku ngotot dan marah.
Ia mencibir. "Sihir memang sering sulit ditebak," katanya. "Aku tahu kau takkan
bahagia dengan permintaan terakhirmu. Itulah sebabnya
aku kembali lagi. Kau punya satu permintaan lagi. Kau mau
mengucapkannya sekarang?"
"Ya!" seruku. "Aku ingin keluargaku kembali. Aku ingin semua orang kembali. Aku
- " "Hati-hati," katanya memperingatkan sambil mengeluarkan bola kaca merah dari tas
ungu. "Pikirkan masak-masak sebelum kau
mengucapkan permintaan terakhirmu. Aku berusaha membalas
kebaikanmu padaku. Aku tidak mau kau jadi tidak bahagia karena
permintaanmu." Aku akan bicara, tapi tidak jadi.
Ia betul. Aku harus hati-hati.
Sekali ini aku harus mengucapkan permintaan yang benar. Dan aku
harus mengucapkannya dengan benar.
"Pelan-pelan saja," katanya pelan. "Karena ini permintaan terakhirmu, akan jadi
abadi. Hati-hatilah."
Kupandangi matanya yang berubah dari hitam jadi merah,
memantulkan cahaya merah dari bola di tangannya, dan aku berpikir
keras. Apa yang akan kuminta"
CAHAYA dari jendela ruang duduk memudar ketika matahari tertutup
awan. Ketika cahaya meredup, wajah wanita tua itu menggelap. Di
bawah matanya ada keriput hitam dan dalam. Dahinya berkerut. Ia
kelihatan seperti tenggelam ke dalam bayangan.
"Inilah permintaan saya," kataku dengan suara gemetar. Aku bicara pelan-pelan,
hati-hati. Aku ingin memikirkan setiap perkataanku.
Sekali ini aku tidak ingin salah bicara lagi.
Aku tidak mau ia punya kesempatan untuk menjebakku.
"Aku mendengarkan," bisiknya, wajahnya sekarang sudah tertutup bayangan semua.
Kecuali matanya, yang menyala merah seperti api.
Aku berdeham. Kutarik napas dalam-dalam.
"Inilah permintaan saya," kataku hati-hati. "Saya ingin semua kembali normal.
Saya ingin semua kembali persis seperti dulu - tapi - "
Aku ragu-ragu. Haruskah kuucapkan bagian ini"
Ya! kataku dalam hati. "Saya ingin semua seperti dulu - tapi saya ingin Judith menganggap saya orang
paling hebat sedunia!"
"Aku akan mengabulkan permintaan ketigamu, katanya sambil
menganggap bola kaca tinggi-tinggi. "Permintaan keduamu akan
dibatalkan. Waktu akan kembali lagi pada pagi ini. Selamat tinggal,
Samantha." "Selamat tinggal," kataku.
Aku ditelan oleh cahaya merah yang memancar. Ketika cahaya itu
memudar, Clarissa sudah tidak ada.
"Sam! Sam - ayo bangun!"
Suara ibuku terdengar dari bawah.
Aku duduk tegak di tempat tidur, langsung terbangun. "Mom!"
teriakku bahagia. Aku teringat semuanya. Aku ingat bangun di rumah yang kosong, di
dunia yang kosong. Dan aku ingat permintaan ketigaku.
Tapi waktu sudah kembali ke pagi ini lagi. Kupandang jam. Tujuh.
Mom membangunkan aku pada jam yang biasanya.
"Mom!" Aku melompat dari tempat tidur, lari ke bawah dengan masih mengenakan
baju tidur, dan dengan perasaan senang kupeluk Mom
erat-erat. "Mom!"
"Sam" Kau baik-baik saja?" Mom melangkah mundur, wajahnya
tampak terkejut. "Kau sedang demam, ya?"
"Selamat pagi!" seruku bahagia sambil memeluk Punkin, yang tampak terkejut juga.
"Dad masih di rumah?" Aku tidak sabar ingin bertemu Dad juga, ingin tahu ia
sudah ada lagi. "Dad berangkat beberapa menit yang lalu," kata Mom sambil terus menatapku
curiga. "Oh, Mom!" seruku. Aku tidak bisa menutupi perasaan bahagiaku.
Kupeluk dia lagi. "Wo." Kudengar di belakangku Ron masuk ke dapur.
Aku berbalik dan melihatnya memandangi aku, matanya menyipit
tidak percaya di balik kaca matanya. Aku lari mendekat dan
memeluknya juga. "Mom - Mom kasih apa sari buahnya?" desak Ron sambil berusaha membebaskan diri.
"Hii! Lepaskan aku!"
Mom mengangkat bahu. "Jangan minta aku menjelaskan kelakuan
adikmu," jawabnya datar. Ia berbalik ke lemari dapur. "ganti pakaian, Sam. Kau
tidak mau terlambat, kan?"
"Indah sekali pagi ini!" seruku.
"Yeah. Indah," ulang Ron sambil menguap. "Kau pasti bermimpi hebat, Sam."
Aku tertawa dan bergegas naik untuk berganti pakaian.
Aku tidak sabar ingin segera sampai ke sekolah. Aku tidak sabar ingin melihat
teman-temanku, melihat aula penuh lagi dengan wajah-wajah
yang tertawa dan bicara. Sambil mengayuh sepeda sekuat tenaga, aku tersenyum setiap kali ada
mobil lewat. Aku senang bisa melihat orang-orang lagi. Aku
melambai pada Mrs. Miller di seberang jalan, yang sedang
membungkuk untuk mengambil koran paginya.
Aku bahkan senang-senang saja waktu anjing terrier keluarga Carter
mengejar-ngejarku, menyalak-nyalak dan menggigiti tumitku.
"Anjing bagus!" seruku bersemangat.
Semua kembali normal, kataku dalam hati. Semuanya sudah kembali
normal. Kubuka pintu depan sekolah dan mendengar suara pintu lemari
dibanting dan teriakan anak-anak. "Hebat!" teriakku kuat-kuat.
Seorang anak kelas enam berlari di sudut dan menabrakku, aku
sampai terjatuh. Aku tidak berteriak marah. Aku cuma tersenyum.
Aku bahagia sekali bisa kembali ke sekolah, kembali ke sekolahku
yang ramai dan ribut. Sambil terus tersenyum, kubuka lemari penyimpananku. Dengan
gembira kupanggil beberapa temanku di seberang lorong.
Aku bahkan mengucapkan selamat pagi pada Mrs. Reynolds, kepala
sekolah kami! "Hei - Bangau!" teriak seorang anak kelas tujuh padaku. Diejeknya aku, lalu
menghilang di sudut. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli
pada ejekan orang-orang. Suara yang berisik begini sangat indah!
Ketika akan membuka mantel, kulihat Judith dan Anna datang.
Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka asyik mengobrol, dua-duanya bicara. Tapi Judith diam ketika
melihat aku. "Hai, Judith," panggilku datar. Aku ingin tahu bagaimana kelakuan Judith
sekarang. Apa kelakuannya padaku akan berubah" Apa ia akan
lebih ramah padaku" Apa ia akan ingat betapa kami dulu saling membenci"
Apa ia akan berubah"
Judith melambai pada Anna dan bergegas mendekatiku. "Pagi, Sam,"
katanya, dan tersenyum. Lalu dibukanya topi ski wol-nya - dan aku terkesiap.
"JuDITH - rambutmu!" teriakku terkejut.
"Kau suka?" tanyanya sambil menatapku penuh semangat.
Ia memotong rambutnya seperti rambutku dan diikatnya seperti buntut
kuda di samping - persis seperti aku!
"Ku - kurasa..." aku tergagap.
Ia menarik napas lega dan tersenyum padaku. "Oh, aku senang sekali kau
menyukainya, Sam!" teriaknya berterima kasih. "Persis seperti rambutmu, kan"
Atau jangan-jangan kupotong terlalu pendek" Apa
menurutmu mestinya lebih panjang?" Diamatinya rambutku. "Kurasa rambutmu lebih
panjang." "Tidak. Tidak. Rambutmu... bagus, Judith," kataku sambil mundur.
"Tentu saja tidak sebagus rambutmu," kata Judith lagi sambil menatap buntut
kudaku. "Rambutku tidak seindah rambutmu. Tidak secantik rambutmu, dan warnanya
terlalu gelap." Astaga! pikirku. "Rambutmu kelihatan bagus, kok," kataku pelan.
Kubuka mantel dan kugantung di dalam lemari. Lalu kupungut
ranselku. "Biar kubawakan," kata Judith berkeras. Dirampasnya dari tanganku.
"Betul. Aku tidak keberatan, Sam."
Aku akan protes, tapi Anna memotong. "Apa-apaan kau ini?"
tanyanya pada Judith sambil melirikku dingin. "Ayo masuk kelas."
"Kau masuk saja duluan," jawab Judith. "Aku ingin membawakan ransel Sam."
"Hah?" Anna ternganga. "Kau benar-benar gila ya, Judith?" desaknya.
Judith tidak memedulikannya dan berbalik memandangku. "Aku suka baju kausmu,
Sam. Itu kaus lucu-lucuan, kan. Kau beli di Gap, ya"
Aku beli bajuku di sana. Lihat. Aku pakai baju persis seperti bajumu."
Aku melotot kaget. Astaga, Judith mengenakan baju kaus yang sama
seperti punyaku, tapi bajunya kelabu dan bajuku biru muda.
"Judith - kenapa sih kau ini?" tanya Anna sambil mengoleskan lipstik jingga
menyala untuk kedua puluh kalinya di bibirnya. "Dan
kauapakan rambutmu?" serunya, tiba-tiba ia menyadari gaya rambut Judith yang
baru. "Persis seperti rambut Sam, kan?" tanya Judith sambil mengibas-ngibaskan buntut
kudanya. Anna terbelalak. "Judith, kau ini sudah gila, ya?"
"Cukup, Anna," jawab Judith. "Aku ingin bicara dengan Sam - oke?"
"Hah?" Anna mengetuk kepala Judith, seperti mengetuk pintu. "Ada orang di
rumah?" "Sampai nanti, ya?" kata Judith tidak sabar. Anna menarik napas, lalu pergi
dengan marah. Judith kembali menatapku. "Boleh aku minta tolong?"
"Yeah. Tentu," jawabku. "Minta tolong apa?"
Disandangnya ranselku di bahu kirinya. Ranselnya sendiri tergantung
di bahu kanannya. "Kau mau membantuku memperbaiki tembakan
penaltiku waktu latihan nanti siang?"
Aku tidak yakin pada apa yang kudengar. Kupandangi dia, mulutku
ternganga. "Mau, ya?" pintanya. "Aku ingin sekali mencoba tembakan penalti seperti gayamu.
Tahu, kan. Dari bawah. Pasti aku lebih bisa
mengontrol bola kalau dari bawah, seperti kau."
Ini sudah keterlaluan! Keterlaluan!
Ketika kupandang mata Judith, kulihat ia benar-benar memujaku!
Di tim-ku dia yang paling jago melakukan tembakan penalti. Sekarang
dia malah memohon-mohon padaku untuk menunjukkan padanya cara
menembak yang kaku yang selalu kulakukan!
"Yeah. Oke. Kuusahakan untuk membantumu," kataku.
"Oh, terima kasih, Sam!" teriaknya penuh terima kasih. "Baik sekali kau! Boleh
aku nanti meminjam catatan pelajaran sosialmu" Punyaku
berantakan sekali." "Yah..." kataku bingung. Catatanku benar-benar berantakan, aku sendiri tidak
bisa membacanya. "Biar kusalin dan langsung kukembalikan padamu. Janji," kata Judith terengahengah. Kurasa ia mulai merasa berat karena menyandang dua
tas ransel. "Oke. Kau boleh meminjamnya," kataku.
Kami berjalan ke kelas. Beberapa anak berhenti berjalan dan
memandangi Judith, yang menyandang dua tas ransel di bahunya.
"Di mana kau beli sepatu Doc Martens-mu?" tanya Judith ketika kami masuk ke
kelas. "Aku ingin beli persis seperti punyamu."
Hebat sekali! pikirku, senang bukan main. Ini benar-benar hebat!
Perubahan pada diri Judith benar-benar luar biasa. Susah sekali
rasanya menahan tawa. Aku tidak tahu sebentar lagi tawaku akan berubah jadi kengerian.
LAMA-LAMA jadi memalukan juga. Judith selalu menempel padaku.
Ia ikut ke mana pun aku pergi. Kalau aku bangun untuk meraut pinsil, ia
mengikuti aku dan meraut pinsilnya juga.
Waktu sedang ujian mengeja, tenggorokanku terasa kering, aku minta
izin pada Lisa untuk pergi minum sebentar di luar. Ketika sedang
membungkuk di keran, aku berbalik dan melihat Judith tepat di
belakangku. "Tenggorokanku kering seperti kau," katanya, pura-pura batuk.
Kemudian, ketika sedang pelajaran membaca, Lisa terpaksa
memisahkan Judith dan aku karena Judith terus-terusan mengobrol.
Saat makan siang, aku duduk di hadapan Cory seperti biasanya. Aku
baru saja akan menceritakan kelakuan baru Judith padanya - ketika
Judith datang ke meja kami.
"Kau bisa geser sedikit?" tanyanya pada anak yang duduk di sebelahku. "Aku ingin
duduk di sebelah Sam."
Anak itu bergeser, Judith meletakkan baki makan siangnya di meja
dan duduk. "Kau mau tukar-tukaran makan siang?" tanyanya padaku.
"Punyamu kelihatannya jauh lebih enak daripada punyaku."
Aku sedang memegangi sandwich ikan tuna hancur. "Ini?" tanyaku sambil
menggoyang-goyang rotiku. Setengah ikan tunanya jatuh dari
roti lembek. "Enak!" seru Judith. "Mau pizza-ku, Sam" Ini. Ambillah."
Disorongkannya bakinya ke hadapanku. "Kau membawa makan siang
paling enak. Coba ibuku menyiapkan makan siang seperti punyamu."
Aku bisa melihat Cory memandangiku dari seberang meja, matanya
terbelalak tidak percaya.
Aku juga tidak percaya. Judith benar-benar ingin mirip denganku!
Beberapa meja dari kami, di dekat dinding, Anna duduk sendirian. Ia
kelihatan sangat muram. Kulihat ia melirik-lirik meja kami, keningnya berkerut.
Lalu cepat-cepat ditundukkannya pandangannya dan
menatap makan siangnya. Setelah makan siang, Judith mengikuti aku ke lemari penyimpanan.
Dibantunya aku mengeluarkan buku dan catatan dan bertanya apa ia
boleh membawakan ranselku.
Mula-mula, kuanggap semua ini benar-benar lucu. Dua teman
sekelasku mengikuti kami di lorong sambil mengejek. Kudengar anakanak lain membicarakan Judith dan aku di lorong. Mereka berhenti
bicara ketika Judith dan aku lewat, tapi kulihat wajah mereka
tersenyum senang. Gara-gara Judith, aku jadi kelihatan konyol! pikirku.
Seluruh sekolah menertawakan kami!
"Kau pakai kawat gigi, ya?" tanya Judith ketika kami berjalan kembali ke kelas.
"Ada yang memberitahuku kau pakai kawat gigi."
"Yeah. Memang," gerutuku sambil membelalakkan mata.
"Hebat!" seru Judith. "Kalau begitu aku mau pasang juga!"
Sepulang sekolah aku bergegas ke gedung olah raga, ingin latihan
basket. Karena sibuk memikirkan permintaan-permintaanku, aku jadi
lupa siang ini kami akan bertanding.
Tim anak perempuan dari Sekolah Menengah Edgemont sudah berada
di lapangan, sedang melakukan pemanasan dengan menembak lay-up.
Sebagian besar tembakan mereka masuk. Mereka bertubuh besar dan
kelihatannya mantap. Kami dengar tim mereka benar-benar bagus dan kelihatannya memang begitu.
Aku cepat-cepat berganti pakaian dan segera keluar dari ruang ganti
pakaian. Teman-teman satu tim-ku berkumpul di sekeliling Ellen
untuk menerima pengarahan akhir. Sambil berlari mendekati mereka,
kusilangkan jari di kedua tanganku dan berdoa semoga aku tidak
terlalu memalukan diriku sendiri dalam pertandingan ini.
Judith tersenyum padaku ketika aku bergabung dengan mereka. Lalu
ia benar-benar membuatku malu bukan main dengan berteriak, "Ini dia! Ini dia
bintang kita!" Tentu saja Anna dan anak-anak lain tertawa.
Tapi senyum mereka segera menghilang ketika Judith memotong
perkataan Ellen dan mengumumkan, "Sebelum pertandingan dimulai, kurasa sebaiknya
kita angkat Sam jadi kapten tim."
"Kau bercanda!" teriak Anna.
Beberapa anak tertawa. Ellen menatapku, bingung.
"Pemain terbaik kita seharusnya jadi kapten," kata Judith serius. "Jadi
seharusnya Sam, bukan aku. Yang setuju harap angkat tangan."
Judith segera mengangkat tangan, tapi yang lain tidak.
"Kenapa kau ini?" tanya Anna marah. "Mau apa kau, Judith menghancurkan tim kita?"
Judith dan Anna bertengkar sambil berteriak-teriak, dan Ellen terpaksa
memisahkan mereka. Ellen menatap Judith seolah-olah ia sudah gila. Lalu ia berkata, "Nanti saja
kita pikirkan siapa yang jadi kapten. Sekarang pergi dan
bermainlah, oke?" Pertandingannya benar-benar kacau.
Judith meniru semua yang kulakukan.
Kalau aku berusaha membawa bola, dan tersandung, Judith akan
membawa bola dan tersandung.
Kalau lemparan bolaku jelek sehingga bisa ditangkap pemain lawan,
Judith juga akan melakukan lemparan jelek.
Ketika aku gagal melakukan lay-up yang gampang di bawah ring,
Judith juga melakukan hal yang sama, sengaja gagal melakukannya
ketika ia mendapat bola. Kegagalan terus terjadi - berlipat ganda karena Judith meniru-niru
aku! Dan ia terus-terusan bertepuk tangan dan berteriak, menyemangati
aku. "Bagus, Sam! Usaha yang bagus, Sam! Kau yang paling hebat, Sam!"
Menjengkelkan sekali! Dan aku bisa, melihat pemain-pemain tim Edgemont mengejek kami,
dan tertawa keras ketika Judith jatuh tersungkur ke kursi penonton
hanya karena sebelumnya aku melakukannya.
Anna dan pemain-pemain lain di timku tidak tertawa. Wajah mereka
kesal dan marah. "Kau sengaja mengacau!" Anna menuduh Judith di tengah-tengah pertandingan.
"Tidak!" jawab Judith marah.
"Kenapa kau tiru-tiru lembu kikuk itu?" kudengar Anna marah-marah.
Judith mencengkeram Anna dan meninjunya, dan mereka segera
bergulat seru di lantai sambil menjerit dan mencakar-cakar.
Terpaksa Ellen dan wasit memisahkan mereka. Kedua anak itu
mendapat ceramah panjang-lebar tentang sportivitas dan disuruh
masuk ke ruang ganti pakaian.
Ellen menyuruhku istirahat dan duduk di bangku cadangan. Aku
senang. Aku sudah tidak bersemangat main.
Sambil menonton lanjutan pertandingan, aku tidak bisa lagi
berkonsentrasi. Aku terus teringat pada permintaanku yang ketiga dan yang
terakhir, dan bagaimana aku telah mengacaukannya lagi.
Aku kecewa ketika menyadari ternyata jauh lebih buruk kalau Judith
memujaku dan bukannya membenciku! Kalau ia membenciku, paling
tidak ia tidak akan mengikuti aku terus!
Aku sudah mengucapkan tiga permintaan, dan semuanya berubah jadi
mimpi buruk saking kacaunya. Sekarang aku terpaksa menerima
kenyataan Judith selalu mengikuti aku, meniru-niru, terus memujimuji apa pun yang kulakukan, menempel padaku seperti anak
anjing - dan, terutama, jadi penyakit saja!
Aku benar-benar menginginkan saat-saat ketika ia mempermalukan
aku di depan kelas, ketika ia mengikuti aku sambil berseru, "Byrd, terbang
sajalah kau! Terbang sajalah kau, Byrd!"
Tapi apa dayaku" Sudah kuucapkan tiga permintaanku.
Apa seumur hidup aku harus ditempeli Judith terus"
Kami kalah dengan perbedaan lima belas atau enam belas angka. Aku
tidak terlalu memedulikan skor-nya. Aku cuma ingin keluar dari sana.
Tapi ketika aku berjalan ke ruang ganti pakaian, Judith sudah
menungguku. Diberikannya sehelai handuk. "Pertandingan hebat!"
teriaknya sambil menepuk tanganku.
"Hah?" Aku cuma bisa bengong menatapnya.
"Setelah makan malam kita belajar bersama, ya?" pintanya dengan tatapan memohon.
"Ya" Kau bisa mengajari aku aljabar. Kau jauh
lebih pandai daripada aku. Kalau untuk urusan aljabar, kaulah
jagonya." Untunglah, setelah makan malam aku harus pergi mengunjungi
tanteku bersama orangtuaku. Aku jadi punya alasan tepat supaya tidak belajar
bersama Judith. Tapi apa alasanku untuk malam berikutnya" Dan berikutnya, dan
berikutnya" Tanteku sedang tidak sehat, dan tujuan kunjungan kami untuk
menghiburnya. Kurasa aku tidak terlalu baik melakukannya. Aku
nyaris tidak bicara sepatah kata pun.
Aku terus saja teringat pada Judith.
Harus kuapakan dia" Aku bisa saja marah dan menyuruhnya pergi.
Tapi aku tahu itu percuma saja. Aku telah memintanya menganggap
aku orang paling hebat sedunia. Sekarang Judith tersihir, terpengaruh mantera
Wanita Kristal. Ia tidak akan mau disuruh pergi.
Bisakah aku mengabaikannya saja" Pasti tidak mudah karena ia terus
mengikuti aku, bertanya-tanya, memohon supaya boleh melayaniku.
Apa yang bisa kulakukan" Apa"
Aku terus memikirkannya di sepanjang perjalanan pulang. Orangtuaku
pun jadi tahu aku tidak seperti biasanya.
"Ada apa, Sam?" desak ibuku ketika kami dalam perjalanan pulang.
"Oh, tidak ada apa-apa," kataku berbohong. "Cuma memikirkan tugas sekolah."
Sesampainya di rumah, ada empat pesan untukku di mesin penjawab
telepon, semuanya dari Judith.
Ibu menatapku, curiga. "Lucu. Seingatku kau dulu tidak berteman dengan dia,"
katanya. "Yeah. Ia sekarang sekelas denganku," kataku. Aku tidak mau menerangkannya. Aku
tahu aku tidak bisa. Aku segera ke kamar. Capek sekali rasanya, kurasa karena cemas
terus-terusan. Kuganti pakaianku dengan baju tidur, kumatikan lampu, dan naik ke
tempat tidur. Sesaat, aku berbaring menatap langit-langit, mengamati bayangbayang pohon di luar jendela terayun-ayun. Aku berusaha
mengosongkan pikiran, berusaha membayangkan biri-biri putih
gemuk melompati awan-awan putih.
Aku baru saja akan tertidur ketika kudengar papan lantai berderak.
Goosebumps - Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika kubuka mata lebar-lebar, tampak bayangan hitam bergerak di
dekat lemari pakaianku yang gelap.
Aku berteriak tertahan ketika menyadari ada orang di kamarku.
Sebelum aku sempat bergerak, ada tangan yang panas dan kering
mencengkeram lenganku. AKU mencoba berteriak, tapi tangan itu menutup mulutku.
Aku - aku bisa tercekik! pikirku, kaku karena ketakutan. Aku tidak
bisa bernapas! "Sst - jangan menjerit!" bisik penyerangku. Lampu kamar dinyalakan.
Tangan itu tidak lagi menutup mulutku.
"Judith!" kataku parau, suaraku tercekat di tenggorokan.
Ia tersenyum, matanya yang hijau berkilat-kilat karena bersemangat,
dan ditempelkannya jari ke bibirnya. "Ssttt."
"Judith - ngapain kau di sini?" akhirnya aku bisa berteriak, suaraku sudah
kembali. Jantungku masih berdebar-debar keras sekali, rasanya
aku sampai tidak bisa bernapas. "Bagaimana caramu masuk?"
"Pintu belakangmu tidak terkunci," bisiknya. "Aku bersembunyi di lemari dan
menunggumu. Kurasa aku sempat tertidur sebentar tadi."
"Tapi kenapa?" desakku marah. Aku bangun dan kupijakkan kakiku ke lantai. "Mau
apa kau?" Senyumnya hilang. Mulutnya cemberut. "Katamu kita bisa belajar
bersama," katanya dengan suara seperti anak kecil. "Jadi kutunggu kau, Sam."
Cukup sudah. "Keluar!" teriakku.
Aku akan bicara lagi, tapi aku terdiam ketika pintuku diketuk.
"Sam - kau baik-baik saja?" seru ayahku. "Kau sedang bicara dengan seseorang?"
"Aku baik-baik saja, Dad," kataku.
"Kau tidak sedang menelepon, kan?" tanyanya curiga. "Kau tahu kau tidak boleh
menelepon malam-malam begini."
"Ya. Aku mau tidur sekarang," kataku.
Kutunggu sampai kedengaran suara langkah kakinya di tangga. Lalu
aku berbalik menatap Judith. "Kau harus pulang," bisikku. "Begitu keadaan sepi - "
"Tapi kenapa?" desaknya, sakit hati. "Kau bilang kita akan belajar aljabar."
"Tidak!" teriakku. "Lagipula, sekarang sudah terlalu malam. Kau harus pulang.
Orangtuamu pasti sudah cemas memikirkan kau,
Judith." Ia menggeleng. "Aku pergi diam-diam. Mereka mengira aku sudah
tidur." Ia tersenyum. "Tapi kau baik sekali mau memikirkan orangtuaku, Sam. Kau
memang anak yang paling penuh perhatian."
Pujian konyolnya malah membuatku semakin marah. Aku marah
sekali, rasanya ingin sekali merobeknya.
"Aku suka sekali kamarmu," katanya sambil memandang berkeliling sekilas. "Kau
sendiri yang memilih poster-poster itu?"
Aku menarik napas kesal. "Judith, aku ingin kau pulang - sekarang," bentakku pelan, kata per kata, supaya
ia bisa mendengarkan aku.
"Besok kita bisa belajar bersama?" tanyanya memohon. "Aku betul-betul butuh
bantuanmu, Sam." "Mungkin," jawabku. "Tapi kau tidak boleh menyelinap ke rumahku lagi, dan - "
"Pintar sekali kau," katanya. "Di mana kau beli baju tidurmu" Garis-garisnya
bagus sekali. Coba aku punya baju seperti itu."
Sambil memberi tanda supaya dia diam, aku pelan-pelan keluar
kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Orangtuaku sudah masuk
kamar. Sambil menarik tangan Judith, aku berjalan ke bawah, berjingkatjingkat tanpa suara, melangkah satu-satu. Lalu aku benar-benar
mendorongnya ke luar dari pintu depan dan mengunci pintu begitu ia
keluar. Aku berdiri di ruang tengah yang gelap, terengah-engah, pikiranku
bekerja keras. Apa yang bisa kulakukan" Apa yang bisa kulakukan" Apa yang bisa
kulakukan" Berjam-jam kemudian aku baru bisa tertidur. Dan ketika akhirnya aku
terlelap, aku memimpikan Judith.
"Kau kelihatan lelah, Sayang," kata Mom waktu sarapan.
"Tidurku tidak nyenyak," kataku mengaku. Ketika aku keluar dari pintu depan,
Judith sudah menungguku di jalan masuk.
Ia tersenyum dan melambai penuh semangat. "Kurasa kita bisa
berjalan ke sekolah pagi ini," katanya riang. "Tapi kalau kau mau naik sepeda,
aku akan senang sekali berlari di sampingmu."
"Tidak!" jeritku. "Tidak! Tolong - tidak!"
Aku benar-benar lupa diri! Aku sudah tidak tahan lagi.
Kujatuhkan ranselku dan segera berlari. Entah ke mana aku lari. Aku
tidak peduli. Aku cuma tahu aku harus lari dari dia. "Sam - tunggu! Tunggu!"
Aku menoleh dan melihatnya lari mengejarku. "Jangan - tolong!
Pergi! Pergi!" jeritku.
Tapi kulihat ia lari semakin cepat, sepatunya berdetak-detak di trotoar, semakin
mendekatiku. Aku berbelok ke halaman rumah orang dan lari ke balik pagar
tanaman, berusaha bersembunyi dari dia.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku tidak punya rencana, tidak
punya tujuan. Pokoknya aku harus lari!
Sekarang aku lari di halaman belakang, menyeberangi jalan masuk, di
belakang garasi-garasi. Dan Judith mengikuti, lari sekuat tenaga, buntut kudanya yang pendek bergerakgerak ketika ia lari. "Sam - tunggu! Sam!" panggilnya terengah-engah.
Tiba-tiba aku lari menembus hutan, pohon-pohon dan rumput tinggi
saling berbelit. Aku lari menembusnya, mula-mula jalan sini, lalu ke sana,
melompati dahan-dahan yang jatuh, melewati tumpukan tebal
daun-daun cokelat kering.
Aku harus lari dari dia! kataku dalam hati. Aku harus lari!
Tapi aku lalu tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh,
tersungkur di atas hamparan daun-daun mati.
Dasar kikuk. Dan sedetik kemudian, Judith sudah berdiri di atasku.
AKU mengangkat kepala - dan terkejut ketika melihat ternyata orang
itu bukan Judith. Clarissa membungkuk ke arahku. Syal merahnya melilit bahunya,
matanya yang hitam menatapku tajam.
"Kau!" teriakku marah, dan segera lompat berdiri.
"Kau tidak senang," katanya pelan sambil mengerutkan kening.
"Permintaan Anda telah menghancurkan hidup saya!" teriakku sambil menyingkirkan
daun-daun mati dari bagian depan baju hangatku.
"Aku tidak ingin kau jadi sedih," jawabnya. "Aku berusaha membalas kebaikan
hatimu." "Saya ingin dulu tidak bertemu dengan Anda!" teriakku marah.
"Baik." Dengan satu tangan diangkatnya bola kristal merah. Sambil mengangkat
bola kristal itu, matanya yang kelam menyala, merah
seperti warna kristal itu. "Aku akan membatalkan permintaan
ketigamu. Ucapkanlah satu permintaan terakhir. Karena kau tidak
senang, aku akan mengabulkan satu lagi permintaanmu."
Aku bisa mendengar suara daun-daun bergemerisik di belakangku.
Judith berlari-lari mengejarku.
"Saya - saya tidak ingin bertemu dengan Anda!" teriakku pada Wanita Kristal itu.
"Saya ingin Judith saja yang bertemu dengan Anda!"
Bola kristal itu menyala semakin terang sampai cahaya merahnya
menyelubungiku. Ketika cahaya itu memudar, ternyata aku sedang berdiri di pinggir
hutan. Fiuh! pikirku. Leganya! Untung lolos.
Aku beruntung sekali! Aku bisa melihat Judith dan Clarissa berdiri di bawah pohon besar.
Mereka berdiri berdekatan sambil berbicara serius.
Ini baru balas dendam yang sempurna! kataku dalam hati. Sekarang
Judith yang akan mengucapkan permintaan - dan hidupnya yang akan
hancur total! Sambil tertawa terkekeh-kekeh, aku berusaha mendengar apa yang
sedang mereka bicarakan. Aku ingin tahu apa yang diinginkan Judith.
Aku yakin sekali mendengar Judith berkata, "Byrd, terbang sajalah kau!"
Tapi itu tidak masuk akal.
Aku sangat bahagia! Amat sangat bahagia! Aku bebas, benar-benar
bebas! Tiba-tiba aku merasa sangat berbeda. Lebih ringan. Lebih bahagia.
Biar Judith mengucapkan permintaannya! pikirku girang. Biar dia
tahu seperti apa jadinya!
Sambil memiringkan kepala kulihat seekor cacing tanah gemuk
berwarna cokelat menjulurkan kepalanya dari dalam tanah. Tiba-tiba
aku merasa sangat lapar. Kujulurkan kepalaku dan kutangkap ujung
cacing itu. Lalu kumakan.
Lezat sekali. Kukepakkan sayapku, merasakan angin.
Lalu aku terbang, rendah di atas hutan.
Angin dingin terasa begitu menyegarkan di bulu-buluku.
Sambil mengepakkan sayap lebih kencang, terbang semakin tinggi di
langit, aku memandang ke bawah dan melihat Judith. Ia berdiri di
samping Clarissa. Judith menatapku dari bawah, dan kurasa permintaan pertamanya
telah dikabulkan - karena ia tersenyum lebar sekali. END
Alap Alap Laut Kidul 14 Wiro Sableng 098 Rahasia Cinta Tua Gila Pendekar Cacad 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama