Ceritasilat Novel Online

Masalah Besar 1

Goosebumps - Masalah Besar Bagian 1


ENAM puluh meter di bawah permukaan laut - di situlah aku kini
berada. Aku tengah terlibat dalam perburuan terbesar seumur hidupku.
Perburuan Pari Putih Raksasa.
Begitulah orang-orang di Markas Penjaga Pantai menjulukinya. Tapi
aku memanggilnya "Joe".
Ikan pari rakasa itu telah menyengat sepuluh orang saat mereka
sedang berenang di laut. Orang-orang sampai tak berani masuk ke air.
Seluruh kawasan pesisir dilanda ketakutan.
Karena itulah aku dipanggil.
William Deep, Jr., dari Baltimore, Maryland.
Ya, William Deep, Jr., penjelajah dunia bawah air yang di usia kedua belas sudah
tersohor di seantero dunia. Orang yang telah berhasil
memecahkan masalah-masalah mengerikan di samudera.
Akulah yang menangkap Hiu Putih Raksasa yang meneror Pantai
Myrtle. Dan aku membuktikan bahwa dia tidak sehebat yang disangka
orang! Akulah yang bertarung melawan gurita raksasa yang memangsa
seluruh anggota Regu Kejuaraan Selancar California.
Aku pula yang menggulung belut listrik yang membuat pantai-pantai
di Miami jadi tidak aman.
Tapi kini aku tengah mengejar lawan paling berat yang pernah
kuhadapi. Joe, si Pari Putih Raksasa.
Di suatu tempat, jauh di bawah permukaan laut, dia telah menanti
kedatanganku. Aku telah melengkapi diriku dengan segala sesuatu yang kubutuhkan:
baju selam, sepatu katak, masker selam, tabung, oksigen, serta
pelontar panah beracun. Tunggu dulu... rasanya ada yang bergerak di belakang sana. Di balik kerang
raksasa itu. Aku membidikkan senjataku dan bersiap-siap menghadapi serangan
dadakan. Lalu, tiba-tiba saja, masker selamku mulai berembun. Aku tak bisa
bernapas. Aku berjuang keras untuk menarik napas. Namun tak ada udara yang
mengisi paru-paruku. Tabung oksigenku! Seseorang telah mengotakatik tabung oksigenku! Aku tak boleh membuang-buang waktu Enam puluh meter di bawah
permukaan laut - tanpa oksigen! Aku harus segera naik - secepatnya!
Aku mengayunkan kaki dan berusaha mati-matian untuk mencapai
permukaan. Aku terus menahan napas, sampai paru-paruku serasa mau pecah.
Ayunan kakiku semakin lemah, dan pandanganku mulai berkunangkunang. Mungkinkah aku berhasil" Ataukah aku akan bernasib nahas dan
tewas di sini, jauh di bawah permukaan laut, lalu menjadi santapan
Joe si Pari" Panik melanda diriku bagaikan gelombang pasang. Dengan kalangkabut aku mencari-cari rekan selamku melalui maskerku yang
berembun. Kenapa dia tak pernah kelihatan kalau aku
membutuhkannya" Akhirnya aku melihatnya berenang di permukaan, di dekat perahu
kami. Tolong! Selamatkan aku! Aku kehabisan udara!
Aku berusaha memberi isyarat dengan melambai-lambaikan tangan
seperti orang gila. Akhirnya dia melihatku. Dia berenang ke arahku dan menarik tubuhku
yang lemas ke permukaan. Aku langsung merenggut masker selam dari wajahku dan menghirup
udara sambil megap-megap.
"Hei, Aqua Man, kau kenapa sih?" dia bertanya. "Kau diuber ubur-ubur, ya?"
Rekan selamku sangat berani, meskipun dia perempuan. Dia selalu
tertawa jika menghadapi bahaya.
Aku masih terengah-engah. "Tak ada udara. Tabung... oksigen...
rusak...." Kemudian semuanya menjadi gelap.
REKAN selamku membenamkan kepalaku kembali ke bawah air.
Seketika aku membuka mata, lalu muncul di permukaan sambil
menyembur-nyembur. "Jangan konyol, Billy," dia berkata. "Kenapa sih kau tidak bisa berenang seperti
orang biasa?" Aku mendesah perlahan. Dia memang tidak bisa melihat orang
senang. "Rekan selamku" sebenarnya adikku yang menyebalkan, Sheena. Aku cuma berpurapura menjadi William Deep, Jr., penjelajah dunia
bawah air yang tersohor. Tapi seberapa susahnya sih bagi Sheena untuk sekali-sekali ikut
bersandiwara" Sebenarnya namaku memang William Deep, Jr,
tapi semua orang memanggilku Billy. Umurku dua belas tahun rasanya sudah kusebutkan tadi.
Sheena dua tahun lebih muda. Dia dan aku mirip sekali. Kami samasama berambut hitam lurus, tapi rambutku pendek sedangkan
rambutnya panjang sampai ke bahu. Kami sama-sama kurus dan
berkaki panjang. Kami juga sama-sama bermata biru tua dan
mempunyai alis yang tebal dan berwarna gelap.
Selain itu, tak ada persamaan di antara kami.
Sheena sama sekali tidak punya daya khayal. Waktu kecil, dia tak
pernah takut pada monster-monster yang bersembunyi di lemari
pakaian. Dia juga tidak percaya pada Sinterklas maupun Peri Gigi. Dia selalu
berdalih, "Ah, itu kan cuma dongeng pengantar tidur untuk anak kecil."
Aku menyelam lagi dan mencubit kaki Sheena. Serangan Manusia
Udang! "Jangan macam-macam dong!" dia memekik, lalu menendang bahuku dengan keras. Aku
terpaksa muncul di permukaan untuk menghirup
udara. "Hei, kalian berdua," pamanku berkata. "Hati-hati kalau berenang di laut."
Pamanku berdiri di geladak Cassandra, kapalnya yang sekaligus
berfungsi sebagai laboratorium terapung. Dia sedang memperhatikan
aku dan Sheena berenang-renang di sekitar kapal.
Nama pamanku George Deep, tapi dia dipanggil Dr. D. oleh semua
orang - bahkan oleh ayahku, padahal mereka kakak-adik. Mungkin
karena penampilannya yang persis seperti bayangan orang mengenai
ilmuwan. Dr. D. pendek dan kurus. Dia pakai kacamata, dan roman mukanya
selalu serius. Rambutnya keriting berwarna cokelat, dan sebagian
belakang kepalanya sudah botak. Setiap orang yang melihatnya
bilang, "Saya yakin Anda pasti ilmuwan."
Sheena dan aku sedang mengunjungi Dr. D. di Cassandra. Setiap
tahun orangtua kami mengizinkan kami menghabiskan liburan musim
panas bersama Dr. D. Dan percayalah, itu jauh lebih mengasyikkan
daripada duduk-duduk di rumah. Kali ini kami membuang sauh di
lepas pantai sebuah pulau kecil bernama Ilandra, yang terletak di Laut Karibia.
Dr. D. ahli biologi kelautan. Dia mengkhususkan diri pada kehidupan laut tropis.
Dia mempelajari kebiasaan ikan tropis dan mencari jenis-jenis tumbuhan dan ikan
baru yang selama ini belum dikenal.
Cassandra termasuk kapal yang cukup besar dan kokoh. Panjangnya
sekitar lima belas meter. Sebagian besar ruangan digunakan Dr. D.
sebagai laboratorium dan ruang riset. Di atas geladak terdapat ruang kemudi,
tempat dia mengemudikan kapalnya. Di sisi kanan ada
sekoci, sedangkan di sisi kiri ada tangki kaca yang besar. Kadangkadang Dr. D. menangkap ikan besar dan memasukkannya ke dalam
tangki untuk beberapa waktu - biasanya lama juga, dan diberi tanda:
untuk penelitian lebih lanjut, atau untuk dirawat kalau kebetulan ikan itu
sedang sakit atau terluka.
Sisa geladaknya kosong, dan bisa dipakai untuk berlari-lari atau
berjemur. Riset yang dilakukan Dr. D. membawanya ke seluruh dunia. Dia tidak
menikah dan tidak punya anak. Dr. D. bilang dia terlalu sibuk
mengamati ikan. Tapi dia suka anak-anak. Karena itulah Dr. D. mengundangku dan
Sheena untuk mengunjunginya setiap musim panas.
"Hati-hati kalau berenang di laut, anak-anak," Dr. D. mengulangi.
"Jangan sembrono. Dan jangan berenang terlalu jauh dari kapal.
Terutama kau, Billy."
Dia menatapku sambil memicingkan mata. Itu artinya "Aku tidak
main-main". Sheena tak pernah ditatap seperti itu.
"Paman mendapat laporan bahwa para nelayan di sini sudah beberapa kali melihat
hiu di daerah ini," katanya.
"Hiu! Wow!" aku langsung berseru.
Dr. D. mengerutkan kening. "Billy," ujarnya, "ini serius. Jangan jauh-jauh dari
kapal. Dan jangan berenang ke gosong karang."
Dari pertama aku sudah tahu dia akan berkata begitu.
Clamshell Reef adalah gosong karang merah yang memanjang
beberapa ratus meter dari tempat kami membuang sauh. Sejak kami
tiba, aku sudah tak sabar untuk menyelidiki gosong karang itu.
"Jangan kuatir, Dr. D.," aku menyahut. "Aku takkan bikin masalah."
"Yeah," Sheena bergumam perlahan.
Aku meluruskan tangan untuk mencubitnya lagi, tapi dia keburu
menyelam. "Baiklah," kata Dr. D. "Jangan lupa... kalau kalian melihat sirip ikan hiu,
usahakan agar kalian tidak panik. Gerakan-gerakan liar justru
menarik perhatian hiu. Berenanglah pelan-pelan dan kembali ke
kapal." "Kami takkan lupa," kata Sheena, yang mendekatiku dari belakang sambil menepuknepuk air sampai bercipratan ke segala arah.
Aku merasa agak tegang. Dari dulu aku sudah ingin melihat ikan hiu
yang hidup. Aku sudah pernah melihat hiu di akuarium. Tapi di situ mereka
terjebak dalam tangki kaca dan hanya berputar-putar dengan gelisah.
Itu kurang seru. Yang kuinginkan adalah melihat sirip ikan hiu di kejauhan, melesat
membelah air, mendekat, mendekat, menuju ke arah kami...
Dengan kata lain, yang kuinginkan adalah petualangan.
Cassandra membuang sauh di lepas pantai, beberapa ratus meter dari
Clamshell Reef. Guguskarang itu mengelilingi seluruh pulau. Dan
diantara gosong karang dan pantai terdapat laguna yang indah sekali.
Tak ada yang mampu mencegahku menyelidiki laguna itu - apa pun
kata Dr. D. "Ayo, Billy," Sheena berseru sambil memasang maskernya. "Ada kawanan ikan!"
Ia menunjuk riak-riak di dekat haluan perahu.
Kemudian ia langsung menggigit snorkel dan membenamkan
kepalanya ke dalam air. Aku ikut berenang menuju riak kecil tersebut.
Dalam sekejap, Sheena dan aku telah dikelilingi ratusan ikan kecil
berwarna biru manyala. Setiap kali berada di bawah air, aku merasa seperti berada di dunia lain yang
jauh. Aku bernapas melalui snorkel, dan rasanya aku bisa
hidup di sini bersama ikan-ikan dan lumba-lumba. Siapa tahu kalau
aku cukup lama di bawah air, tangan dan kakiku bakal berubah jadi
sirip dan ekor. Ikan-ikan biru itu mulai berenang menjauh, dan aku mengikuti
mereka. Semuanya begitu indah! Aku tidak rela ditinggalkan begitu
saja. Sekonyong-konyong semua ikan melesat dan menghilang dari
pandangan. Aku berusaha mengikuti mereka, tapi mereka terlalu
cepat. Semuanya lenyap! Jangan-jangan ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan"
Aku memandang berkeliling. Gumpalan-gumpalan rumput laut
mengambang di dekat permukaan. Kemudian aku melihat sesuatu
berwarna merah. Aku mendekat sambil memandang melalui maskerku. Beberapa meter
di depanku aku melihat tonjolan-tonjolan berwarna merah. Karang
merah. Oh-oh, aku berkata dalam hati. Clamshell Reef. Padahal Dr. D. sudah melarangku
untuk berenang sejauh ini.
Aku mulai berbalik. Aku sadar bahwa aku harus kembali ke kapal.
Di pihak lain, aku juga tergoda untuk menyelidiki gosong karang itu.
Habis, sudah tanggung sih. Aku toh sudah sampai di situ.
Gosong karang itu menyerupai istana pasir berwarna merah. Di manamana tampak gua dan terowongan bawah air. Ikan-ikan kecil berenang
kian kemari. Warnanya biru dan kuning cerah.
Barangkali aku bisa menyelidiki salah satu terowongan, aku berkata
dalam hati. Ya, apa salahnya" Rasanya tidak ada bahaya apa-apa.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik kakiku.
Seekor ikankah" Aku menoleh, tapi tidak melihat apa-apa. Kemudian aku
merasakannya sekali lagi.
Kakiku kembali seperti digelitik.
Lalu dicengkeram. Sekali lagi aku menoleh, dan sekali lagi aku tidak melihat apa-apa.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aku yakin aku tidak terancam
bahaya. Tapi aku akan merasa lebih tenang seandainya aku bisa
melihat apa yang menggelitik kakiku.
Aku berbalik dan mulai berenang ke kapal. Namun sesuatu
mencengkeram kakiku... dan tidak mau melepaskannya!
Seketika aku dicekam ketakutan. Kemudian aku menendang sekeras
mungkin. Lepaskan! Lepaskan aku! Aku tidak bisa melihatnya - dan aku tidak sanggup membebaskan
diri! Airnya bergolak dan bercipratan ke segala arah ketika aku
menendang-nendang dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Dengan ngeri aku mengangkat kepala dan berteriak, "Tolong!" Tapi teriakanku
tidak sekencang yang kuharapkan.
Dan ternyata percuma saja.
Aku tetap ditarik ke bawah. Semakin dalam.
Ke dasar laut. "TOLONG!" aku berteriak. "Sheena! Dr. D.!"
Aku kembali ditarik ke bawah air. Aku merasakan tentakel yang licin melilit mata
kakiku. Ketika kepalaku terbenam, aku berbalik... dan
melihatnya. Bayangan besar dan gelap.
Monster laut! Melalui air yang bergolak, makhluk itu menatapku dengan satu mata
raksasanya yang berwarna cokelat. Monster tersebut mengambang di
bawah air bagaikan balon hijau tua berukuran sangat besar. Mulutnya menganga,
dan aku melihat dua deret giginya yang tajam-tajam.
Seekor gurita raksasa! Tentakel-tentakelnya paling tidak ada dua
belas! Dua belas tentakel yang panjang dan licin. Salah satunya melilit mata kakiku.
Satu lagi mengarah ke pinggangku.
JANGAN! Aku mengayun-ayunkan kedua lenganku. Aku megap-megap untuk
menghirup udara. Aku berjuang mati-matian untuk naik ke permukaan, tapi makhluk
raksasa itu menarikku ke bawah lagi.
Aku betul-betul putus asa. Sambil tenggelam, adegan-adegan dalam
hidupku seakan-akan melintas di depan mata.


Goosebumps - Masalah Besar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku melihat orangtuaku. Mereka melambaikan tangan ketika aku naik
bus sekolah berwarna kuning pada hari pertama aku masuk sekolah
dulu. Mom dan Dad! Aku takkan pernah lagi bertemu mereka!
Sial betul nasibku, aku berkata dalam hati. Tewas dibunuh monster
laut! Takkan ada yang percaya. Semuanya mulai kelihatan merah. Aku merasa pusing dan tenagaku
telah terkuras habis. Tapi lalu ada sesuatu yang menarikku, menarikku ke atas.
Naik, ke permukaan. Menjauhi monster berlengan banyak itu.
Aku membuka mata sambil menyembur-nyemburkan air.
Dan kemudian aku melihat Dr. D.!
"Billy! Kamu tak apa-apa?" pamanku bertanya.
Dia menatapku dengan cemas.
Aku mengangguk sambil terbatuk-batuk, lalu kugerakkan kaki kiriku.
Tentakel licin itu ternyata sudah terlepas.
Makhluk mengerikan itu sudah lenyap.
"Paman mendengar kau berteriak-teriak dan melihat kau mengayun-ayunkan tangan,"
ujar Dr. D. "Paman berenang secepat mungkin ke sini. Apa yang terjadi?"
Dr. D. mengenakan jaket pelampung berwarna kuning. Dia
menyuruhku memakai ban karet yang dibawanya, sehingga aku bisa
mengapung tanpa mengeluarkan tenaga.
Sepatu katakku terlepas dalam pertarungan tadi.
Masker dan snorkelku pun menggantung di leherku. Sheena menyusul
dan berenang di sampingku.
"Kakiku ditarik ke bawah!" aku berseru sambil terengah. "Kakiku dicengkeramnya
dan aku ditarik ke bawah!"
"Apa yang mencengkeram kakimu, Billy?" tanya Dr. D. "Paman tidak melihat apa-apa
di sekitar sini..." "Monster laut raksasa," aku memberitahunya. "Monster laut yang besar sekali! Dia
menangkap kakiku dengan salah satu tentakelnya...
Aduh!" Jari kakiku seperti dicubit.
"Dia kembali lagi!" aku memekik dengan ngeri. Sheena muncul di permukaan dan
menggelengkan kepala sambil tertawa.
"Itu aku, bodoh!" dia berseru.
"Billy, Billy," Dr. D. bergumam. "Kau memang terlalu banyak berkhayal." Dia pun
menggelengkan kepala. "Paman sudah takut kau kenapa-kenapa. Tolong... jangan
ulangi lagi. Paling-paling kakimu
terlilit sepotong rumput laut."
"Tapi... tapi...!" aku tergagap-gagap.
Dr. D. meraih ke dalam air dan menarik segenggam sulur hijau yang
licin. "Rumput laut ada dimana-mana di daerah sini."
"Tapi aku melihatnya!" protesku. "Aku melihat tentakelnya, dan giginya yang
tajam dan runcing!" "Monster laut cuma ada dalam dongeng pengantar tidur," Sheena memberi komentar.
Huh, dasar sok tahu! "Kita bicarakan di kapal saja," ujar pamanku,sambil membuang rumput laut di
tangannya ke air. "Ayo, kita kembali ke kapal. Dan jangan berenang di dekat gosong karang. Ambil
jalan memutar." Dia berbalik dan mulai berenang ke Cassandra.
Baru sekarang aku sadar bahwa monster laut tadi telah menarikku ke
dalam laguna. Gosong karang merah memisahkan kami dari kapal.
Tapi ada celah yang bisa dilewati dengan berenang.
Dengan hati dongkol kuikuti Dr. D. dan Sheena.
Kenapa mereka tidak percaya padaku"
Aku melihat makhluk itu menangkapku. Bukan rumput laut yang
melilit kakiku. Dan aku tidak berkhayal.
Aku bertekad untuk membuktikan bahwa mereka keliru. Aku akan
mencari makhluk itu dan memperlihatkannya kepada mereka. Tapi
kapan-kapan saja - bukan hari ini.
Satu-satunya pikiran yang ada dalam benakku sekarang adalah
kembali ke kapal yang aman.
Aku berenang ke sisi Sheena dan berseru, "Ayo, kita balapan ke kapal."
"Oke!" dia menyahut. "Yang kalah adalah ubur-ubur berlapis cokelat!"
Sheena tak pernah bisa menolak kalau diajak balapan. Dia mulai
melaju ke arah kapal, tapi aku cepat-cepat menangkap lengannya.
"Tunggu," kataku. "Ini tidak adil. Kau pakai sepatu katak. Ayo, lepaskan."
"Salah sendiri!" dia berseru sambil membebaskan diri dari genggamanku. "Sampai
ketemu di kapal!" Aku hanya bisa mengumpat dalam hati ketika dia melesat dan
meninggalkanku jauh di belakang.
Dia takkan kubiarkan menang, aku berkata dalam hati.
Aku menatap gosong karang di hadapanku.
Aku pasti menang kalau aku mengambil jalan pintas lewat gosong
karang itu. Aku berbalik dan mulai berenang ke arah gugus karang merah
tersebut. Billy! Kembali ke sini!" Dr. D. memanggil. Aku berlagak tidak
mendenganya. Gosong karang itu sudah berada di depan mata. Sebentar lagi aku
sudah sampai. Aku melihat Sheena berenang di depan, dan kuayunkan kaki dengan
lebih keras lagi. Aku yakin Sheena takkan berani berenang melewati
gosong karang. Dia pasti akan mengambil jalan memutar mengelilingi
gosong karang. Aku pasti bisa mengalahkannya.
Tapi sekonyong-konyong lenganku mulai pegal. Aku tidak biasa
berenang begitu jauh. Barangkali aku bisa berhenti di gosong karang dan beristirahat
sebentar, pikirku. Aku sampai di gosong karang, lalu berbalik. Sheena berenang ke
sebelah kiri, mengelilingi gosong karang. Berarti aku punya waktu
beberapa detik untuk melepas lelah.
Aku menjejakkan kaki di atas karang merah itu... ...dan langsung
menjerit kesakitan! KAKIKU seperti terbakar, seakan-akan menginjak bara api. Rasa
nyeri yang berdenyut-denyut menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku menjerit dan langsung terjun ke dalam air. Waktu kepalaku
muncul di permukaan, aku mendengar Sheena berteriak, "Dr. D.!
Cepat!" Walaupun sudah terendam dalam air laut yang dingin, kakiku tetap saja
seperti terbakar. Dr. D. berenang menghampiriku. "Billy, ada apa lagi sekarang?" dia bertanya.
"Aku melihatnya melakukan sesuatu yang benar-benar tolol," ujar Sheena sambil
nyengir. Kalau saja kakiku tidak begitu nyeri, aku pasti sudah menonjok
adikku yang sok tahu itu. "Kakiku!" aku mengerang-erang. "Aku menginjak
karang... dan... dan..."
Dr. D berpegangan pada ban pelampung yang melingkar pada
pinggangku. "Oh. Itu memang menyakitkan", dia berkomentar sambil
menepuk-nepuk pundakku, tapi tidak berbahaya kok. Sebentar lagi
nyerinya akan hilang sendiri."
Dia menunjuk gosong karang. "Karang merah itu disebut koral api."
"Hah" Koral api?" Aku ikut menoleh ke gosong karang itu.
"Ya ampun, aku saja tahu itu!" kata Sheena. "Koral itu dilapisi zat beracun,"
pamanku melanjutkan. "Kalau kena kulit, rasanya seperti terbakar." Kenapa dia
baru bilang sekarang" aku bertanya dalam hati.
"Masa sih kamu tak tahu?" tanya Sheena dengan nada mengejek.
Dia memang cari gara-gara. Sebentar lagi kesabaranku sudah habis.
"Kau masih beruntung karena kakimu hanya serasa terbakar," kata Dr.
D. "Koral sering kali tajam sekali. Kalau kakimu terluka, racun itu bisa masuk
ke aliran darahmu. Nah, kalau sudah begitu, akibatnya
bisa betul-betul gawat."
"Wow! Seperti apa sih akibatnya?" tanya Sheena. Sepertinya dia ingin sekali
mengetahui segala hal buruk yang bisa menimpa diriku.
Roman muka Dr. D. menjadi serius. "Kau bisa lumpuh akibat racun itu," katanya.
"Oh!" "Jadi, mulai sekarang jauhilah gosong karang itu," Dr. D. mewanti-wanti. "Dan
jangan main-main di laguna."
"Tapi monster lautnya kan tinggal di situ!" aku memrotes. "Kita harus kembali ke
situ. Aku harus memperlihatkannya kepada Paman!"
Sheena mengapung-apung di air yang biru-kehijauan. "Mana ada,
mana ada," dia bersenandung. Ungkapan kegemarannya. "Monster laut cuma ada dalam
dongeng... ya, kan, Dr. D.?"
"Hmm, kita tidak bisa memastikannya," balas Dr. D. "Masih banyak penghuni
samudra yang belum kita ketahui, Sheena. Untuk sementara
saya hanya bisa mengatakan bahwa para ilmuwan belum pernah
melihat monster laut."
"Nah, apa kubilang, She-Ra," kataku.
Sheena menyemburkan air ke arahku. Dia paling benci dipanggil SheRa olehku. "Anak-anak... saya serius. Saya minta kalian menjauhi tempat ini,"
ujar Dr. D. "Kemungkinan besar memang tidak ada monster laut di laguna, tapi
mungkin ada hiu, ikan beracun, atau belut listrik. Laguna seperti ini merupakan
tempat tinggal bagi berbagai macam makhluk
berbahaya. Jadi jangan berenang ke sana."
Dia lalu diam menatapku, seakan-akan ingin memastikan bahwa aku
memperhatikan ucapannya. "Bagaimana kakimu sekarang, Billy?" tanyanya kemudian.
"Sudah mendingan," jawabku.
"Bagus. Nah, rasanya petualangan kita sudah cukup untuk pagi ini.
Ayo, kita kembali ke kapal. Sudah hampir waktunya makan siang."
Kami semua berenang menuju Cassandra. Tiba-tiba kakiku seperti
digelitik lagi. Rumput laut" Bukan. Rasanya seperti... jari. "Jangan macam-macam, Sheena!" aku berseru dengan kesal. Aku berbalik untuk
mencipratkan air ke wajahnya.
Tapi dia tidak kelihatan. Dia tidak berada di helakangku.
Dia berenang di depan, di samping Dr. D. Berarti bukan dia yang
menggelitik kakiku. Tapi aku yakin kakiku barusan terkena sesuatu.
Aku menatap ke bawah. Tiba-tiba saja aku kembali dicekam
ketakutan. Apa yang ada di bawah sana" Apa yang menjailiku seperti itu"
Apa yang sedang bersiap-siap untuk mencengkeramku dan menarikku
ke bawah untukselama-lamanya"
ALEXANDER DUBROW, seorang mahasiswa yang bertugas sebagai
asisten Dr. D., membantu kami naik ke kapal.
"Hei, aku mendengar orang teriak-teriak tadi,"katanya. "Semuanya baik-baik
saja?" "Tidak ada apa-apa, Alexander, jawab Dr. D."Billy sempat menginjak koral api,
tapi dia tidak apa-apa."
Ketika aku memanjat tangga, Alexander meraih tanganku dan
menarikku ke atas. "Wow, Billy," ujarnya. "Koral api. Aku sendiri sempat menyenggol koral api waktu
hari pertama datang ke sini. Mataku langsung
berkunang-kunang. Sungguh, Man. Kau yakin kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk dan memperlihatkan kakiku.
"Rasanya sudah lebih baik sekarang. Tapi ini belum apa-apa. Aku hampir dimangsa
monster laut tadi." "Mana ada, mana ada," Sheena bersenandung.
"Tapi aku melihatnya," aku berkeras. "Mereka tidak mau percaya.
Monster itu ada di sana. Di laguna. Badannya besar, hijau, dan..."
Alexander tersenyum. "Aku percaya, Billy," katanya. Kemudian dia mengedipkan
mata pada Sheena. Rasanya aku juga ingin menonjok dia.
Dia cuma mahasiswa biologi. Tahu apa dia"
Alexander masih muda. Umurnya sekitar awal dua puluhan. Tapi
berbeda dengan Dr. D., penampilannya sama sekali tidak seperti
ilmuwan. Dia lebih pantas jadi pemain football. Orangnya jangkung sekali, kira-kira 190
sentimeter, dan badannya pun kekar. Rambutnya tebal,
pirang, dan berombak. Dan matanya berwarna biru. Bahunya lebar,
tangannya besar dan amat bertenaga. Karena sering bekerja di bawah
terik matahari, kulitnya tampak kecokelatan.
"Moga-moga semuanya lapar," ujar Alexander. "Aku bikin chicken salad sandwich
untuk makan siang." "Oh, sedap," Sheena bergumam perlahan sambil memutar-mutar bola mata.
Memasak memang salah satu tugas Alexander. Dia menganggap
dirinya cukup hebat sebagai juru masak. Sayangnya, yang lain tidak
sependapat. Aku turun ke kabinku di bawah geladak untuk berganti baju. Kabin itu sebenarnya
hanya berupa tempat tidur ditambah lemari untuk
menyimpan barang-barangku. Kabin Sheena sama saja. Dr. D. Dan
Alexander masing-masing menempati kabin yang lebih luas, sehingga
orang bisa berjalan mondar-mandir.
Kami makan di galley, sebutan Dr. D. untuk dapur kapalnya. Di situ
ada meja dan bangku built-in, serta tempat sempit untuk memasak.
Waktu aku masuk, Sheena sudah duduk di meja makan. Di
hadapannya ada piring berisi sandwich besar, begitu pula di tempat
dudukku. Kami sama-sama enggan mencicipi chicken salad buatan Alexander.
Malam sebelumnya kami makan kol panggang. Waktu sarapan tadi
pagi, dia menghidangkan panekuk gandum yang mengganjal bagaikan
batu di dalam perut. "Kau duluan," aku berbisik kepada adikku.
Sheena menggelengkan kepala. "Kau duluan. Kau kan lebih tua."
Perutku sudah keroncongan. Aku mengeluh. Tak ada pilihan selain
mencicipi masakan Alexander.
Kugigit sandwich itu dan mulai mengunyah. Hmm, lumayan juga,
pikirku. Ada ayamnya, ada mayonesnya. Rasanya seperti chicken
salad sandwich biasa. Kemudian, tiba-tiba saja, lidahku serasa terbakar.
Seluruh mulutku seperti terbakar!
Aku memekik dan menyambar es teh di hadapanku, yang langsung
kutenggak habis. "Koral api!" aku berseru. "Kau memasukkan koral api ke chicken salad ini, ya?"
Alexander tertawa. "Aku pakai sedikit bubuk cabai. Biar ada rasa. Kau suka?"
"Kayaknya aku makan sereal saja untuk makan siang, ujar Sheena sambil meletakkan
sandwich-nya di piring. "Kalau kau tidak
keberatan." "Masa setiap kali makan, kau mau makan sereal?" balas Alexander sambil
mengerutkan kening. "Pantas saja kau begitu kurus, Sheena. Kau cuma makan sereal. Hei, mana jiwa
petualanganmu?" "Rasanya aku juga mau makan sereal saja," kataku dengan malu-malu.
"Biar ada variasi."
Dr. D. muncul di galley. "Kita makan apa siang ini?" dia bertanya.
"Chicken salad sandwich," jawab Alexander. "Kubuat agak pedas."
"Sangat pedas," aku memperingatkan pamanku.
Dr. D. melirik ke arahku sambil mengangkat alis. "Oh, ya?" katanya.
"Hmm, sebenarnya Paman tidak seberapa lapar. Rasanya Paman juga mau makan sereal
saja." "Bagaimana kalau Billy dan aku menyiapkan makan malam nanti?"
Sheena menawarkan. Ia menuangkan sereal ke dalam mangkuk, lalu
menambahkan susu. "Kasihan kan kalau Alexander harus masak
terus." "Itu ide bagus, Sheena," Dr. D. menanggapinya. "Kalian bisa masak apa?"
"Aku bisa bikin biskuit," kataku.
"Dan aku pintar bikin saus cokelat," ujar Sheena. "Hmm," Dr. D.


Goosebumps - Masalah Besar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergumam. "Mungkin lebih baik kalau Paman saja yang memasak
nanti malam. Bagaimana kalau kita makan ikan panggang?"
"Asyik!" aku langsung berseru.
Sehabis makan siang, Dr. D. masuk ke ruang kerjanya untuk
mempelajari beberapa catatan. Alexander mengajak Sheena dan aku
ke lab utama untuk menjelaskan semuanya.
Lab ini benar-benar asyik. Ada tiga tangki kaca besar di dinding yang berisi
berbagai macam makhluk yang aneh dan menakjubkan.
Tangki paling kecil berisi dua ekor kuda laut berwarna kuning cerah serta seekor
trompet bawah air. Trompet bawah air ini sebenarnya
ikan panjang berwarna merah-putih yang berbentuk tabung.
Selain itu masih ada sekelompok ikan guppy yang berenang kian
kemari. Tangki lain berisi beberapa ekor ikan flame angel-fish, yang berwarna merahjingga seperti api, serta seekor harlequin tuskfish, yang
memiliki loreng berwarna jingga dan biru muda.
Tangki paling besar berisi makhluk panjang seperti ular yang
berwarna kuning-hitam, dengan mulut penuh gigi tajam.
"Ih!" ujar Sheena sambil menatap ikan panjang ini. "Yang ini mengerikan benar!"
"Ini belut black ribbon," Alexander menjelaskan.
"Ikan ini suka menggigit, tapi gigitannya tidak mematikan. Kami menjulukinya
Biff." Aku meringis kepada Biff melalui kaca, tapi dia tidak menggubrisku.
Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau aku ketemu
makhluk seperti Biff di tengah laut. Giginya memang menyeramkan,
tapi besarnya kalah jauh dibandingkan monster laut
tadi. William Deep, Jr., si penjelajah dunia bawah air yang tersohor, pasti bisa
mengatasinya. Aku berpaling dari tangki-tangki berisi ikan dan beralih ke panelpanel kontrol. Penuh rasa ingin tahu aku memperhatikan deretan
tombol-tombol dan piringan-piringan jarum penunjuk di hadapanku.
"Yang ini untuk apa, sih?" aku bertanya sambil memencet salah satu tombol.
Seketika terdengar suara klakson kapal yang keras sekali.
Kami semua tersentak kaget.
"Itu tombol klakson," ujar Alexander sambil tertawa.
"Dr. D. sudah melarang Billy menyentuh apa pun tanpa tanya dulu,"
kata Sheena. "Sudah jutaan kali dia melarangnya. Tapi Billy memang tidak punya
telinga." "Diam, She-Ra!" aku berkata dengan ketus.
"Kau yang diam!"
"Hei, tidak apa-apa, kok," Alexander cepat-cepat melerai kami. Ia mengangkat
kedua tangan agar kami diam. "Tidak apa-apa."
Aku kembali berpaling ke panel kontrol. Sebagian besar tombol
diterangi lampu, dan jarum-jarum penunjuk tampak bergerak-gerak.
Kemudian aku melihat satu piringan yang gelap. Jarum penunjuknya
pun diam saja. "Kalau yang ini untuk apa?" aku bertanya sambil menunjuk.
"Sepertinya kau lupa menyalakannya." "Oh, itu pengendali untuk botol Nansen,"
ujar Alexander. "Itu memang lagi rusak."
"Botol Nansen" Apa itu?" tanya Sheena.
"Alat itu digunakan untuk mengambil sampel air laut dari tempat yang dalam
sekali," kata Alexander.
"Kenapa tidak diperbaiki saja?" tanyaku.
"Dananya tidak ada," jawab Alexander.
"Masa, sih?" tanya Sheena. "Dr. D. kan dapat uang dari universitas."
Sheena dan aku tahu bahwa riset Dr. D. dibiayai oleh sebuah
universitas di Ohio. "Mereka memang memberikan uang untuk riset," Alexander
menjelaskan. "Tapi uangnya sudah hampir habis. Kami masih
menunggu apakah ada tambahan dana. Untuk sementara, kami tidak
punya uang untuk memperbaiki peralatan yang rusak."
"Tapi bagaimana kalau Cassandra rusak?" tanyaku.
"Kalau begitu kapal kami terpaksa naik ke dok untuk beberapa
waktu," ujar Alexander. "Atau kami harus cari cara lain untuk mendapatkan uang.
"Oh," kata Sheena, "kalau begitu kami tidak bisa lagi menghabiskan liburan musim
panas bersama Dr. D., dong."
Aku tidak tega membayangkan Cassandra menganggur di dok. Dan
yang lebih parah lagi adalah membayangkan Dr. D. di darat tanpa ada ikan yang
bisa dipelajarinya. Pamanku itu memang tidak betah di darat. Dia hanya bisa merasa
nyaman kalau berada di atas kapal. Aku tahu itu, sebab suatu kali dia pernah
berkunjung ke rumah kami pada waktu Natal. Biasanya Dr. D.
sangat menyenangkan. Tapi kunjungannya waktu itu benar-benar
seperti mimpi buruk. Dr. D. tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir di rumah kami. Dia menyerukan
perintah-perintah seperti kapten kapal perang.
"Billy, duduk tegak!" dia menghardikku. "Sheena, bersihkan geladak!"
Dia seperti orang bingung. Akhirnya, pada Malam Natal, ayahku tidak tahan lagi.
Dia menyuruh Dr. D. menahan diri atau kembali ke
kapalnya. Dr. D. menghabiskan sebagian besar Hari Natal di dalam bak mandi
sambil bermain dengan kapal-kapalan milikku waktu aku masih kecil.
Asal dia berada di dalam air, dia bisa bersikap seperti biasa.
Pokoknya, aku tak mau melihat Dr. D. terdampar di darat lagi. Sekali itu sudah
cukup. "Kalian tak perlu kuatir," Alexander berusaha meyakinkan kami. "Dr.
D. selalu bisa menemukan ja lan keluar."
Aku hanya bisa berharap bahwa Alexander benar. Aku mengamati
piringan lain, yang ditandai SONAR PROBES.
"Eh, Alexander," kataku. "Tolong tunjukkan, dong, bagaimana kerjanya?"
"Beres," jawab Alexander. "Tapi sebelumnya ada beberapa tugas yang harus
kuselesaikan dulu." Dia menghampiri tangki ikan pertama. Kemudian dia menangkap
beberapa ikan guppy dengan jaring kecil.
"Siapa yang mau memberi makan Biff hari ini?" dia bertanya.
"Bukan aku!" balas Sheena. "Ih!"
Aku juga tidak mau!" kataku. Aku menghampiri jendela bulat dan memandang ke
luar. Rasanya aku mendengar bunyi mesin kapal di luar. Selama ini kami
jarang melihat kapal lain.
Hanya sedikit yang berlayar melewati Ilandra. Sebuah kapal putih
merapat di sisi Cassandra.
Kapal itu lebih kecil, tapi lebih baru dibandingkan kapal kami. Logo pada
haluannya bertulisan MARINA ZOO.
Aku melihat seorang pria dan seorang wanita berdiri di geladak kapal itu. Keduaduanya berpakaian rapi dengan celana khaki dan kemeja.
Si pria berambut pendek, sedangkan rambut rekan wanitanya dikucir.
Dia membawa sebuah tas kerja kecil berwarna hitam.
Si pria melambaikan tangan kepada seseorang yang berdiri di geladak Cassandra.
Aku rasa dia melambai kepada Dr. D.
Kini Sheena dan Alexander sudah berdiri di sampingku. Mereka ikut
mengintip ke luar. "Siapa mereka itu?" tanya Sheena.
Alexander berdeham. "Coba kulihat dulu ada apa ini," dia berkata.
Dia langsung menyerahkan jaring berisi ikan ikan guppy kepada
Sheena. "Nih," katanya. "Tolong beri makan Biff. Nanti aku ke sini lagi."
Dia bergegas meninggalkan laboratorium.
Sheena menatap ikan-ikan kecil yang menggeliat-geliut di dalam
jaring, lalu meringis. "Aku tidak mau melihat bagaimana Biff melahap ikan-ikan malang ini." Dia
menyerahkan jaringnya kepadaku, lalu lari meninggalkan lab.
Aku juga tidak berminat melihat Biff makan. Tapi aku tidak tahu
harus berbuat apa. Langsung saja kumasukkan ikan-ikan guppy itu ke tangki Biff. Kepala belut itu
melesat maju. Giginya mencengkeram seekor ikan. Sekejap
saja ikan kecil itu hilang ditelan, dan Biff mulai mengincar yang
berikut. Dia makan dengan lahap. Aku menaruh jaring di meja lalu menyusul Sheena.
Kususuri gang sempit. Rasanya aku mau naik ke geladak saja untuk
menghirup udara segar. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Dr. D. bakal mengizinkan aku
berenang lagi nanti sore. Kalau boleh, mungkin aku bisa berenang ke laguna untuk
mencari monster laut. Apakah aku takut" Ya. Tapi aku telah bertekad untuk membuktikan kepada paman dan
adikku bahwa aku tidak gila. Bahwa aku tidak mengada-ada.
Aku sedang lewat di depan ruang kerja Dr. D. ketika aku mendengar
suara-suara. Aku menyimpulkan bahwa Dr. D. dan Alexander sedang
berbicara dengan kedua orang dari kebun binatang.
Aku berhenti sejenak. Sumpah, aku tidak bermaksud menguping. Tapi
suara pria dari kebun binatang itu keras sekali, dan setiap kata yang
diucapkannya terdengar jelas sekali.
Dan dia membicarakan masalah paling menakjubkan yang pernah
kudengar seumur hidupku. "Saya tidak peduli bagaimana caranya, Dr. Deep," dia bersungut-sungut. "Pokoknya
saya ingin anda menangkap putri duyung itu!"
PUTRI duyung! Apakah dia serius" Mula-mula aku sendiri juga tidak percaya. Masa sih dia meminta
pamanku menangkap putri duyung"
Kalau Sheena sempat mendengarnya, dia pasti langsung
bersenandung, "Mana ada, mana ada." Tapi orang yang berbicara dengan pamanku
adalah orang dewasa, seorang pria yang bekerja
untuk sebuah kebun binatang, dan dia bicara soal putri duyung. Berarti dia
memang serius! Jantungku mulai berdegup-degup. Kemungkinan aku akan termasuk
orang pertama di bumi yang melihat putri duyung! aku berkata dalam
hati. Dan kemudian sebuah pikiran yang lebih mengasyikkan lagi terlintas
dalam benakku, Wah, bagaimana kalau aku yang menemukannya"
Aku bakal terkenal! Aku bakal masuk TV! William Deep, Jr., si
penjelajah dunia bawah air yang tersohor!
Nah, setelah mendengar percakapan itu, aku tidak bisa berlalu begitu saja. Aku
harus mendengar kelanjutannya.
Sambil menahan napas aku menempelkan telingaku ke daun pintu.
"Mr. Showalter, Miss Wickman, saya harap Anda mengerti," aku mendengar Dr. D.
berkata. "Saya ilmuwan, bukan pelatih sirkus.
Pekerjaan saya bersifat ilmiah. Saya tidak bisa membuang-buang
waktu dengan mengejar makhluk dongeng."
"Kami sangat serius, Dr. Deep," ujar Miss Wickman. "Di perairan ini memang ada
putri duyung. Dan kalau ada yang bisa menemukannya,
Andalah orangnya." Aku mendengar Alexander bertanya, "Dari mana Anda tahu bahwa
ada putri duyung di sini?"
"Seorang nelayan dari salah satu pulau di dekat sini melihatnya,"
jawab pria dari kebun binatang. "Dia mengaku sempat mendekati putri duyung itu dan dia yakin dia tidak salah lihat. Dia melihatnya di
dekat gosong karang... gosong karang ini, di lepas pantai Ilandra."
Gosong karang! Barangkali putri duyung itu hidup di dalam laguna!
Aku semakin merapat ke pintu. Aku harus mendengar setiap kata yang
diucapkannya. "Nelayan-nelayan ini sangat percaya takhayul, Mr. Showalter," kata pamanku.
"Sudah bertahun-tahun saya mendengar cerita semacam
ini....tapi takk pernah ada alasan kuat untuk mempercayai
kebenarannya." "Pertama-tama kami juga tidak percaya," ujar Miss Wickman. "Tapi kemudian kami
menanyakan hal ini kepada beberapa nelayan lain, dan
mereka pun mengaku pernah melihat putri duyung tersebut. Dan saya
pikir mereka bicara apa adanya. Ciri-ciri yang mereka sebutkan cocok satu sama
lainnya - sampai ke detail yang paling kecil."
Aku mendengar kursi kerja pamanku berderak-derak. Aku
membayangkan dia membungkuk ke depan ketika bertanya, "Dan
bagaimana tepatnya ciri-ciri yang mereka sebutkan?"
"Mereka bilang putri duyung itu menyerupai gadis muda," Mr.
Showalter memberitahunya. "Kecuali...," ia berdeham, "...ekor ikannya. Dia
kecil, berbadan langsing, dengan rambut pirang yang
panjang." "Mereka bilang bahwa ekornya mengilap dan berwarna hijau cerah,"
Miss Wickman menambahkan. "Saya tahu ini kedengarannya tidak
masuk akal, Dr. Deep. Tapi setelah bicara dengan para nelayan, kami jadi yakin
bahwa mereka benar-benar melihat putri duyung!"
Suasana hening sejenak. Jangan-jangan ada ucapan yang tak terdengar olehku. Aku merapatkan
telingaku ke daun pintu. Pamanku berkata, "Dan kenapa Anda ingin menangkap putri
duyung itu?" "Anda tentu mengerti bahwa putri duyung itu akan menjadi atraksi spektakuler di
kebun binatang kami," Miss Wickman menjelaskan.
"Orang orang akan berdatangan dari seluruh dunia untuk melihatnya.
Marina Zoo akan meraih keuntunga jutaan dolar."
"Kami bersedia membayar mahal untuk jasa-jasa Anda, Dr. Deep,"
Mr. Showalter angkat bicar. "Saya dengar Anda mulai kehabisan
uang. Bagaimana kalau pihak universitas menolak untuk memberikan
dana tambahan" Rasanya sayang kalau pekerjaan Anda yang demikian
penting terpaksa berhenti karena hal sepele seperti itu."
"Marina Zoo akan memberikan satu juta dolar kepada Anda," ujar Miss Wickman.
"Kalau Anda bisa menangkap putri duyung itu. Saya percaya uang sebanyak itu bisa
menopang riset Anda untuk waktu
yang lama." Satu juta dolar! aku berkata dalam hati. Mana mungkin Dr. D.
menolak uang sebanyak itu"
Jantungku berdebar-debar. Aku menempelkan telinga ke pintu untuk
mendengar jawaban pamanku.
SAMBIL bersandar pada pintu, aku mendengar Dr.D. bersiul
perlahan. "Uih, itu cukup banyak, Miss Wickman," aku mendengarnya berkata.
Suasana kembali hening. Kemudian dia melanjutkan, "Tapi kalau
memang ada putri duyung, saya akan merasa berdosa sekali kalau
saya menangkapnya untuk dipamerkan di sebuah kebun binatang."
"Saya jamin kami akan merawatnya dengan baik," balas Mr.
Showalter. "Lumba-lumba dan paus-paus piaraan kami diurus dengan sebaik mungkin.
Tapi putri duyung itu tentu saja akan memperoleh
perlakuan istimewa."
"Dan jangan lupa, Dr. Deep," Miss Wickman menimpali, "kalau bukan Anda yang
menangkap putri duyung itu, maka orang lain akan
melakukannya. Dan tak ada jaminan bahwa mereka akan
memperlakukannya sebaik kami."
"Hmm, benar juga," aku mendengar pamanku bergumam. "Riset saya akan maju pesat
kalau saya bisa menemukannya."
Kalau begitu Anda setujur Mr. Showalter bertanya dengan berapi-api.
Jawab ya, Dr. D.! aku berkata dalam hati. Terima saja tawaran
mereka! Kutempelkan seluruh tubuhku ke daun pintu. "Ya," jawab pamanku.
"Kalau memang ada putri duyung di sini, saya akan menemukannya."
Bagus! pikirku. "Bagus," kata Miss Wickman.
"Keputusan yang tepat," Mr. Showalter menambahkan penuh
semangat. "Dari pertama saya sudah tahu bahwa kami mendatangi
orang yang tepat untuk pekerjaan ini."
"Kami akan kembali dalam beberapa hari untuk melihat bagaimana kemajuan yang


Goosebumps - Masalah Besar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anda capai. Saya harap saat itu Anda sudah bisa
memberikan kabar gembira kepada kami," kata Miss Wickman.
"Waktunya singkat sekali," aku mendengar Alexander berkomentar.
"Kami tahu," balas Miss Wickman. "Tapi semakin cepat dia ditemukan, semakin
baik." "Dan tolong," Mr. Showalter menambahkan, "tolong Anda rahasiakan urusan ini. Tak
seorang pun boleh tahu tentang putri duyung ini. Anda tentu bisa membayangkan
apa yang terjadi seandainya..."
GEDUBRAK! Aku kehilangan keseimbangan dan menabrak pintu.
Di luar dugaanku, pintunya membuka... dan aku terjerembap di tengah ruangan.
Ebukulawas.blogspot.com AKU jatuh ke lantai kabin.
Dr. D., Mr. Showalter, Miss Wickman, dan Alexander menatapku
sambil melongo. Rupanya mereka tidak menduga bahwa aku akan
mampir. "Ehm... halo, semuanya," aku bergumam. Wajahku terasa panas, dan aku tahu bahwa
aku tersipu-sipu. "Hari yang bagus untuk berburu putri duyung."
Mr. Showalter langsung berdiri dan mendelik ke arah pamanku.
"Bagaimana ini"!" dia berseru dengan gusar. "Urusan ini seharusnya
dirahasiakan." Alexander melintasi ruangan dan membantuku berdiri. "Jangan kuatir tentang
Billy," katanya sambil merangkul pundakku. "Dia bisa dipercaya."
"Maafkan kejadian ini, Dr. D. berkata kepada kedua tamunya. "Ini keponakan saya,
Billy Deep. Dia dan adiknya berlibur di sini selama beberapa minggu."
"Apakah mereka bisa menjaga rahasia kita?" tanya Miss Wickman.
Dr. D. melirik kepada Alexander. Alexander mengangguk.
"Ya, saya yakin rahasia kita tetap aman," ujar Dr.D. "Billy takkan mengatakan
apa pun kepada siapa pun. Ya, kan, Billy?"
Ia menatapku sambil memicingkan mata. Aku benci kalau dia
menatapku seperti itu. Tapi kali ini aku tidak bisa menyalahkannya.
Aku menggelengkan kepala. "Aku takkan menceritakan apa pun.
Sungguh." "Sekadar untuk berjaga-jaga, Billy," kata Dr. D., "Jangan singgung urusan putri
duyung ini di depan Sheena. Dia masih terlalu kecil untuk menyimpan rahasia
besar seperti ini." "Aku berjanji," ujarku dengan serius. Aku mengangkat tanganku seakan-akan
mengucapkan sumpah. "Aku takkan menceritakan apa
pun kepada Sheena." Wah, ini benar-benar asyik!
Aku tahu rahasia terbesar di seluruh dunia - dan Sheena tidak tahu
apa-apa! Tapi pria dari wanita dari kebun binatang itu bertukar pandangan. Aku langsung
tahu bahwa mereka masih kuatir.
Alexander berkata, "Billy bisa dipercaya. Dia serius sekali untuk anak
seumurnya." Tentu saja aku serius, aku berkata dalam hati. Aku William Deep, Jr., penangkap
putri duyung yang tersohor di seluruh dunia.
Mr. Showalter dan Miss Wickman tampak lebih tenang.
"Oke," ujar Miss Wickman. Dia bersalaman dengan Dr. D.,
Alexander, dan aku. Mr. Showalter mengumpulkan beberapa berkas Dan memasukkan
semuanya ke dalam tas kerja.
"Kalau begitu, sampai ketemu dalam beberapa hari," kata Miss Wickman. "Mudahmudahan kita beruntung."
Aku tidak butuh keberuntungan, pikirku, ketika aku memperhatikan
mereka melaju menjauh dengan kapal mereka.
Aku tidak butuh keberuntungan, sebab aku punya keahlian. Dan
keberanian. Kepalaku serasa berputar-putar karena kelewat gembira.
Apakah aku akan mengajak Sheena tampil di TV setelah aku
menangkap putri duyung itu seorang diri"
Kemungkinan besar tidak. Malam itu aku menyelinap dari kabinku dan masuk ke air yang gelap.
Tanpa bersuara aku berenang ke arah laguna.
Aku menoleh dan memperhatikan Cassandra. Kapal itu mengapung
dengan tenang. Semua jendela kabin tampak gelap.
Bagus, aku berkata dalam hati. Semuanya sedang tidur. Tak ada yang
tahu aku pergi. Tak ada yang tahu aku ada di luar sini. Tak ada yang tahu aku
berenang di laut, sendirian, di tengah malam buta Dengan
mantap aku mengayunkan tangan dan kaki di bawah cahaya bulan
yang keperakan. Aku mengitari gosong karang, lalu masuk ke laguna
yang gelap. Begitu melewati gosong karang, aku mengurangi kecepatan.
Aku memandang berkeliling. Ombak-ombak beralun pelan di
sekitarku. Air laut tampak berkilau,seolah-olah jutaan berlian kecil mengambang
di permukaannya. Di mana si putri duyung"
Aku tahu dia ada. Aku tahu aku akan menemukannya di sini.
Jauh di bawahku, aku mendengar bunyi bergemuruh.
Aku memasang telinga. Mula-mula bunyi itu terdengar perlahan, tapi
makin lama makin keras. Ombak pun bertambah besar.
Sepertinya ada gempa. Gempa di dasar laut.
Laut mulai bergolak. Aku harus berjuang keras agar tidak terbenam.
Ada apa ini" Sekonyong-konyong sebuah gelombang raksasa muncul di tengahtengah laguna. Gelombang itu menjulang tinggi, bagaikan disembur
dari perut bumi. Tinggi, semakin tinggi. Menjulang di atas kepalaku. Setinggi
bangunan! Gelombang pasang" Bukan.
Gelombang itu pecah. Makhluk berwarna gelap muncul dari bawahnya.
Air membasahi tubuhnya yang berbentuk aneh.
Mata tunggalnya menatapku dengan pandangan mengancam.
Tentakel-tentakelnya menjulur-julur. Aku menjerit.
Monster itu mengedipkan matanya yang cokelat.
Aku berbalik dan berusaha berenang menjauh. Tapi monster itu terlalu gesit.
Tentakelnya bergerak dengan cepat... dan menangkap diriku. Tentakel itu
mencengkeram pinggangku dengan erat.
Kemudian tentakel lain yang licin dan dingin melingkar pada leherku dan mulai
mencekik. "AKU... aku tidak bisa napas!" aku berkata dengan susah payah.
Dengan sekuat tenaga aku menarik-narik tentakel yang melilit
leherku. "Tolong! Toloong!"
Aku membuka mata... dan menatap langit-langit. Aku berada di
tempat tidur. Di kabinku. Tubuhku terlilit seprai. Aku menarik napas panjang dan menunggu sampai detak jantungku kembali normal.
Rupanya aku berrmimpi. Cuma bermimpi. Aku menggosok-gosok mata, turun dari tempat tidur, lalu memandang
ke luar lewat jendela kabin. Matahari baru muncul di cakrawala.
Langit masih tampak merah, sedangkan permukaan laut terlihat
kengu-unguan. Sambil memicingkan mata aku memandang ke arah laguna. Semuanya
serba tenang. Tak ada monster laut.
Dengan lengan piama aku menyeka keringat yang membasahi
keningku. Tak perlu takut, aku berkata dalam hati. Itu cuma mimpi. Mimpi
buruk. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir monster laut itu dari
pikiranku. Aku tidak boleh takut. Aku tidak boleh membiarkan apa pun
menghalangi pencarian putri duyung.
Apakah yang lain sudah bangun" Jangan-jangan aku sempat memekik
keras-keras waktu bermimpi tadi.
Aku pasang telinga. Yang terdengar hanya bunyi berderak dari kapal, serta suara
ombak yang menerpa lambung kapal.
Sinar matahari pagi membangkitkan semangatku.
Air yang gelap tampak mengundang sekali.
Aku cepat-cepat mengenakan celana renang dan menyelinap keluar
dari kabin. Aku bergerak dengan hati-hati, supaya tidak ada yang
mendengarku. Di galley aku melihat cangkir kopi yang sudah setengah kosong di
atas alat penghangat. Itu menandakan bahwa Dr. D. sudah bangun.
Aku mengendap-endap menyusuri gang dan pasang telinga. Aku
mendengar Dr. D. kasak-kusuk di lab utama.
Tanpa bersuara aku meraih snorkel, sepatu katak, dan masker selam.
Kemudian aku naik ke geladak. Tak ada siapa-siapa.
Semuanya aman. Perlahan-lahan aku turun lewat tangga, masuk dalam air, lalu
berenang ke laguna. Aku tahu aku seharusnya tidak pergi diam-diam seperti itu. Tapi
semangatku yang menggebu-gebu tidak bisa diredam lagi. Biarpun
aku sering membayangkan diriku sebagai William Deep, Jr., si
penjelajah dunia bawah air, aku tak pernah bermimpi bakal melihat
putri duyung! Sambil berenang ke laguna, aku berusaha mengira-ngira seperti apa
dia. Mr. Showalter bilang bahwa putri duyung itu menyerupai gadis muda
dengan rambut pirang yang panjang dan ekor ikan berwarna hijau.
Ajaib juga, pikirku. Setengah manusia, setengah ikan.
Aku berusaha membayangkan bagaimana rasanya kalau kakiku
diganti dengan ekor ikan.
Wah, aku bakal jadi perenang paling jago di seluruh dunia kalau aku punya ekor
ikan, aku meyimpulkan. Aku bisa memenangkan medali
emas di Olimpiade tanpa perlu berlatih.
Apakah dia cantik" aku bertanya dalam hati. Dan, apakah dia bisa
bicara" Mudah-mudahan saja bisa. Kalau begitu kan dia bisa
menceritakan segala rahasia samudra padaku.
Hmmm bagaimana caranya dia bernapas di dalam air"
Apakah dia berpikir seperti manusia, atau seperti ikan"
Begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan Jawaban.
Ini bakal jadi petualangan terbesar dalam hidupku, aku berkata dalam hati.
Setelah aku jadi orang terkenal, aku akan menulis buku untuk
menceritakan semua petualanganku di bawah air. Aku bahkan sudah
tahu judulnya, Courage of the Deep, oleh William Deep, jr, Dan siapa tahu kelak
ada produser yang berminat untuk mengangkatnya ke layar
perak. Aku memandang ke depan dan menyadari bahwa aku sudah berada di
dekat gosong karang. Kali ini aku sengaja menjaga jarak. Satu kali
terkena koral api sudah lebih dari cukup.
Aku sudah tidak sabar untuk menyelidiki laguna itu. Aku begitu
bersemangat, sehingga aku lupa soal mimpi buruk yang menghantuiku
semalam. Kugerakkan kakiku dengan hati-hati, sambil berjaga-jaga agar aku
tidak menyentuh koral merah.
Aku sudah hampir melewati gosong karang ketika aku merasakan
sesuatu mengenai kakiku. "Oh!" aku langsung berseru, dan tahu-tahu aku sudah menelan seteguk air laut.
Seketika aku terbatuk-batuk.
Tapi kemudian aku merasakan sesuatu menggenggam mata kakiku.
Aku merasakan kulitku tergores sesuatu yang tajam.
Kali ini aku yakin bahwa itu bukan rumput laut. Soalnya rumput laut tidak punya
cakar! TANPA menggubris perasaan panik yang nyaris melumpuhkanku, aku
menendang-nendang dengan sekuat tenaga.
"Hei! Jangan main tendang, dong!" sebuah suara berteriak.
Si putri duyung" Ternyata bukan. "Kau...!" aku berseru marah ketika kepala Sheena muncul di sampingku.
Dia menaikkan masker selamnya. "Aku kan tidak kelewat keras
mencakarmu!" dia membentak. "Jangan mengamuk begitu, dong!"
"Kenapa kau ada di sini?" aku bertanya dengan ketus.
"Kenapa kau ada di sini?" dia membalas sambil tersenyum jail. "Kau kan tahu
bahwa Dr. D. melarang kita berenang ke sini."
"Kalau begitu kau seharusnya tidak ada di sini... ya, kan?" aku berseru.
"Aku tahu kau merencanakan sesuatu, jadi aku menguntitmu ke sini,"
sahut Sheena sambil memasang maskernya kembali.
"Aku tidak merencanakan apa-apa," aku berbohong. "Aku cuma mau berenang."
"Tentu, Billy. Sekarang jam setengah tujuh pagi, dan kamu cuma mau berenang di
tempat yang tidak boleh kau datangi... dan di tempat
kakimu terbakar kena koral api kemarin. Mana mungkin aku
percaya!" Kau merencanakan sesuatu, atau kau sudah gila!" Dia
menatapku sambil memicingkan mata, dan menunggu jawaban.
Wah, pilihan yang sulit. Aku merencanakan sesuatu atau aku sudah
gila. Mana yang harus kupilih"
Kalau aku mengakui bahwa aku merencanakan sesuatu, aku terpaksa
bercerita soal putri duyung itu - dan itu tidak mungkin.
"Oke," kataku sambil angkat bahu dengan sikap masa bodoh.
"Kelihatannya aku sudah gila."
"Huh, kalau itu sih aku sudah tahu dari dulu," Sheena bergumam dengan sinis.
"Ayo, kita balik ke kapal, Billy. Dr. D. pasti sudah mencari kita."
"Kau duluan saja. Nanti aku menyusul."
"Billy," Sheena mendesak. "Dr. D. pasti marah besar. Bagaimana kalau dia sudah
menurunkan sekoci untuk mencari kita?"
Aku sudah hampir menyerah dan mengikuti Sheena. Tapi tiba-tiba,
dari sudut mata, aku melihat sesuatu melompat dari air di seberang
gosong karang. Si putri duyung! aku berkata dalam hati. Itu pasti dia! Kalau aku tidak
mengejarnya sekarang, aku mungkin tak pernah lagi dapat
kesempatan! Aku berbalik, menjauhi Sheena. Aku berenang dengan cepat langsung
menuju gosong karang. Aku mendengar Sheena berteriak, "Billy! Kembali! Billy!"
Rasanya suaranya bernada panik, tapi aku tidak ambil pusing. Aku
yakin Sheena cuma mau menakut-nakuti aku.
"Billy!" dia kembali menjerit. "Billy!" Aku terus saja berenang.
Tak ada yang bisa menghentikanku.
Tapi kemudian aku sadar bahwa aku seharusnya mendengarkannya.
SAMBIL berenang dengan cepat, aku mengangkat kepala untuk
mencari tempat yang aman untuk melewati gosong karang api.
Sekali lagi aku melihat sesuatu melompat dari air. Kali ini di seberang laguna.
Di dekat pantai. Itu pasti si putri duyung! pikirku dengan
semangat menggebu-gebu. Aku sampai melotot agar bisa melihat lebih jelas.
Sepertinya aku melihat sebuah sirip.
Kini aku telah memasuki perairan laguna yang dalam dan tenang. Aku
memandang berkeliling. Tapi masker selamku ternyata kemasukan air, sehingga aku tidak bisa melihat apaapa. Brengsek! aku mengumpat. Kenapa harus sekarang"
Aku berhenti untuk menghirup udara, lalu melepas maskerku. Aku
hanya bisa berharap bahwa aku tidak kehilangan jejak si putri duyung gara-gara
ini. Aku menyeka air dari mataku. Lalu, sambil membiarkan maskerku


Goosebumps - Masalah Besar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelantung pada pergelangan tanganku, aku memandang ke
laguna. Saat itulah aku melihatnya. Beberapa ratus meter dari tempatku
berada. Bukan ekor ikan berwarna hijau si putri duyung. Sirip yang kulihat
berbentuk segitiga berwarna putih-kelabu yang menyembul tegak
lurus dari permukaan air.
Sirip punggung seekor hiu martil.
Sementara aku membelalakkan mata, sirip itu berbalik, lalu melesat ke arahku...
kencang dan lurus bagaikan torpedo.
DI mana Sheena" Apakah dia masih di belakangku"
Aku menengok ke belakang. Aku melihatnya di kejauhan, berenang
ke arah kapal. Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan Sheena, soalnya sirip
kelabu tadi sudah semakin dekat.
Aku mengayun-ayunkan tangan. Dengan kalang kabut aku mencoba
berenang menjauh. Tapi waktu ikan hiu itu melewatiku, aku langsung berhenti.
Barangkali dia akan pergi kalau aku diam saja.
Barangkali dia takkan menggangguku.
Dengan jantung berdebar-debar aku mulai berenang ke arah lain, yaitu ke arah
gosong karang. Menjauhi hiu itu. Pandanganku terus melekat pada siripnya.
Ikan itu mulai berputar dan akhirnya kembali menuju ke arahku.
"Ohhh!" aku mendesah ketika menyadari bahwa hiu itu berenang mengelilingiku.
Aku jadi bingung ke arah mana aku harus berenang. Hiu itu berenang
di antara aku dan kapal Dr. D. Mungkin akan lebih aman kalau aku
berbalik dan memanjat ke gosong karang.
Sirip itu kembali mendekat.
Aku melesat ke arah gosong karang. Aku tahu hahwa aku harus
mempertahankan jarak antara aku dan hiu itu.
Tiba-tiba siripnya muncul di hadapanku... di antara aku dan gosong
karang. Hiu itu terus mengelilingiku dalam lingkaran yang semakin kecil.
Semakin lama, kecepatannya pun terus bertambah.
Aku terjebak. Tapi aku tidak bisa diam saja. Aku tidak bisa
mengapung sambil menunggu sampai hiu itu memangsaku.
Aku harus melawan. Dengan panik aku menendang-nendang sewaktu
mendekati gosong karang. Aku sudah hampir sampai. Tapi hiu itu pun berenang dalam lingkaran
yang semakin kecil. Napasku terengah-engah. Aku tidak sanggup berpikir dengan tenang.
Aku terlalu ketakutan. Dua kata terus mengiang-ngiang di telingaku, Ikan hiu.
Ikan hiu. Terus-menerus. Ikan hiu. Ikan hiu.
Hiu itu tetap mengelilingiku. Ekornya menyambar dan membasahi
kepalaku dengan percikan air. ikan hiu. Ikan hiu.
Dengan mata terbelalak aku menatap monster itu. Dia begitu dekat,
sehingga aku bisa melihat dengan jelas. Dia besar... panjang badannya paling
tidak tiga meter. Kepalanya lebar dan mengerikan,seperti
kepala martil, dengan satu mata pada masing-masing ujungnya.
Aku mendengar suaraku sendiri, merintih-rintih, "Jangan... jangan..."
Tiba-tiba kakiku terbentur sesuatu.
Ikan hiu. Ikan hiu. Perutku serasa diaduk-aduk. Aku mendongakkan kepala dan menjerit
sejadi-jadinya. "Aaaauuu!" Rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhku.
Hiu itu telah menabrakku dengan moncongnya. Badanku terangkat
dari air, lalu jatuh berdebam. Air bercipratan ke segala arah.
Aku diam seperti patung. Hiu itu lapar. Dia mencari mangsa. Dia kembali berenang mengelilingiku, lalu meluncur tepat ke arahku.
Mulutnya menganga lebar. Aku melihat giginya tajam dan runcing...
deretan demi deretan. Suaraku terdengar parau ketika aku berteriak, "JANGAN!" Dengan panik aku
memukul-mukul permukaan air. Aku menendang-nendang
dengan sekuat tenaga. Gigi-gigi tajam itu lewat di samping kakiku. Jaraknya hanya beberapa senti.
Gosong karang. Aku harus naik ke gosong karang. Itu satu-satunya
kesempatan yang kumiliki.
Tanpa membuang-buang waktu aku berenang ke gosong karang. Hiu
itu langsung mengejar. Tapi sekali lagi aku berhasil mengelak dari
sambaran giginya. Aku meraih tonjolan koral merah di hadapanku. Seketika tanganku
seperti terbakar. Koral api!
Aku tidak peduli. Puncak gosong karang berada tepat di atas permukaan air. Aku
berusaha menarik diriku ke atasnya. Seluruh tubuhku terasa perih.
Aku sudah hampir berhasil. Sedikit lagi. Dalam beberapa detik aku
sudah aman. Aku mengerahkan seluruh tenaga untuk naik ke gosong karang... tapi
sekonyong-konyong aku kembali ke dalam air.
Perutku membentur gosong karang. Kakiku nyeri seperti ditusuktusuk. Aku berusaha membebaskan kakiku. Tapi sia-sia. Kakiku
dicengkeram oleh gigi hiu itu.
Pikiranku berteriak-teriak dengan ngeri.
Ikan hiu. Ikan hiu. Dia berhasil menangkapku!
Ebukulawas.blogspot.com SELURUH tubuhku seperti terbakar. Aku tak sanggup mencegah
tubuhku merosot kembali ke dalam air. Hiu itu tahu bahwa aku tak
mungkin lolos. Aku tak punya tenaga lagi untuk melawannya.
Tiba-tiba ada cipratan air di dekatku.
Hiu itu lalu melepaskan kakiku dan melesat ke arah cipratan itu.
Tapi aku tak sempat menarik napas lega. Hiu itu segera kembali
menerjang ke arahku. Aku memejamkan mata dan memekik dengan suara melengking.
Satu detik berlalu. Kemudian satu detik lagi.
Tidak terjadi apa-apa. Aku mendengar suara benturan.
Dengan waswas aku membuka mata.
Ternyata di antara aku dan hiu itu ada sesuatu beberapa meter di
hadapanku. Aku membelalakkan mata. Air di sekitarku bergolak hebat. Sebuah
ekor panjang berwarna hijau mengilap muncul dari air, lalu
menghilang lagi. Hiu itu diserang ikan lain!
Hiu itu berputar, lalu balik menyerang. Ekor hijau tadi menghantam
kepalanya dengan keras, dan hiu itu lenyap di bawah air.
Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi. Aku hanya melihat
gelombang-gelombang berbuih putih di sekelilingku.
Di mana-mana air tampak bergolak, bercipratan,dan berbuih. Di
tengah kekacauan itu aku mendengar pekikan binatang bernada
melengking. Lho, hiu kan tidak bersuara" aku brkata dalam hati. Dari mana suara
itu berasal" Hiu itu muncul di permukaan. Mulutnya yang penuh gigi menganga
lebar. Dia menggigit sesuatu, satu kali, dua kali. Tapi gigitannya
selalu luput dari sasaran.
Ekor ikan yang panjang dan hijau tadi naik dari air, lalu menghunjam dengan
keras, menghantam si hiu tepat di kepalanya.
Hiu itu langsung mengatupkan mulut dan kembali menghilang dari
pandangan. Kemudian aku mendengar bunyi benturan yang keras. Seketika airnya
berhenti bergolak. Sedetik kemudian sebuah sirip kelabu menyembul beberapa meter di
hadapanku, segera melesat ke arah berlawanan.
Hiu itu kabur! Sambil melongo aku menatap ekor ikan berwarna hijau yang tampak
melengkung di atas permukaan air.
Setelah air di sekelilingku kembali tenang, aku mendengar suara
merdu - indah, tapi sekaligus agak sedih. Seperti suara orang bersiul, sekaligus
berdengung. Kedengarannya seperti suara paus. Tapi makhluk ini jauh lebih kecil dibandingkan
paus. Ekor hijau itu berputar. Kemudian kepala makhluk tersebut muncul
dari bawah air. Sebuah kepala dengan rambut panjang berwarna pirang.
Si putri duyung! AKU terapung-apung di air, tanpa menggubris rasa nyeri di seluruh
tubuhku. Segenap perhatianku tertuju pada makhluk ajaib yang kini
berada di hadapanku. Di luar dugaanku, ciri-ciri putri duyung itu persis yang digambarkan orang-orang
dari kebun binatang. Kepala dan pundaknya lebih kecil daripada kepala dan pundakku, tapi ekornya yang
berwarna hijau mengilap kelihatan panjang dan kuat
sekali. Matanya yang besar dan berwarna hijau laut tampak berbinarbinar. Kulitnya seakan-akan berpendar dengan warna merah muda.
Aku hanya bisa menatapnya sambil membisu. Dia benar-benar ada!
aku berkata dalam hati. Dan dia cantik sekali!
Akhirnya suaraku muncul lagi. "Kau... kau menyelamatkan aku!"
ujarku sambil tergagap-gagap. "Kau menyelamatkan nyawaku. Terima
kasih!" Dia menundukkan kepala dengan malu, lalu mendekut dengan lembut
melalui bibirnya yang berwarna kemerah-merahan. Apa yang hendak
dikatakannya" "Bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu?" aku bertanya padanya.
Aku mau melakukan apa saja yang bisa kulakukan.
Dia tersenyum, lalu mengeluarkan suara berdengung. Dia berusaha
bicara denganku. Coba kalau aku bisa memahaminya.
Kemudian dia meraih tanganku dan memeriksanya. Sambil
mengerutkan kening dia mengamati bercak-bercak merah yang
ditimbulkan oleh koral api tadi. Tangannya terasa sejuk sekali. Dia mengusapusapkannya pada tanganku, dan seketika perihnya mulai
berkurang. "Wow!" aku berseru. Kedengarannya pasti konyol sekali, tapi aku tidak tahu apa
lagi yang mesti kukatakan. Sentuhannya seakan-akan
berkekuatan gaib. Selama dia memegang tanganku, aku bisa
mengambang tanpa perlu menggerakkan kaki. Persis seperti dia.
Jangan-jangan aku cuma bermimpi"
Aku memejamkan mata, lalu membukanya kembali.
Aku masih terapung-apung di laut sambil berhadapan dengan putri
duyung berambut pirang. Ternyata tidak. Aku tidak bermimpi.
Dia kembali tersenyum dan menggelengkan kepala sambil bersuara
merdu. Rasanya sukar dipercaya bahwa baru beberapa menit yang lalu aku
masih berjuang mati-matian untuk mengusir ikan hiu yang kelaparan.
Aku mendongakkan kepala dan memandang berkeliling. Hiu itu sudah
menghilang. Air di sekitarku sudah kembali tenang, dan kini berkilau keemasan
karena memantulkan cahaya matahari pagi. Dan aku
mengapung di lepas pantai sebuah pulau bersama putri duyung.
Sheena takkan percaya, aku berkata dalam hati.
kapan pun, dia takkan pernah percaya.
Tiba-tiba putri duyung itu mengibaskan ekornya dan menghilang di
bawah air. Aku tersentak kaget, dan langsung mencarinya. Tapi dia lenyap tanpa bekas... tak
ada riak gelembung udara.
Ke mana dia" aku bertanya-tanya. Kenapa dia tiba-tiba pergi" Jangan-jangan aku
takkan pernah lagi bertemu dengannya.
Aku menggosok-gosok mata dan kembali mencari-cari. Tak ada
petunjuk apa pun. Sejumlah ikan berenang melewatiku.
Dia menghilang begitu mendadak, sehingga aku curiga bahwa aku
cuma berkhayal. Tapi tahu-tahu kakiku seperti dicubit.
"Aduh!" aku berseru sambil menarik kakiku. Aku panik lagi. Hiu tadi telah
kembali! Lalu, di belakangku, aku mendengar suara air bercipratan, disusul
suara tawa yang mirip siulan. Aku segera berbalik.
Si putri duyung menatapku sambil tersenyum nakal. Dia menjentikkan
jarinya dengan gerakan mencubit.
"Ternyata kau!" aku berseru. Aku tertawa lega. "Kau lebih jail dibandingkan
adikku." Dia kembali bersiul, kemudian memukul permukaan air dengan
ekornya. Tiba-tiba sebuah bayangan melintas di wajahnya. Aku cepatcepat menoleh. Tapi terlambat. Sebuah jaring yang berat menimpa kami. Dengan kalang kabut aku
mengayunkan kaki dan tanganku. Tapi itu justru membuatku semakin
terjerat. Jaringnya ditarik ke atas, dan kami saling berdesakan di dalamnya.
Kami tak berdaya ketika jaringnya diangkat.
Si putri duyung membelalakkan mata dan bersuara dengan ngeri.
"EEEEE!" dia memekik.
Kami diangkat dari air. EEEEE! Pekikan ketakutan si putri duyung terdengar seperti sirene,
mengalahkan teriakanku untuk minta tolong.
"BILLY... Astaga!"
Aku mengintip lewat lubang-lubang jaring dan mengenali Sheena dan
Manusia Halilintar 1 Wiro Sableng 170 Kupu Kupu Mata Dewa Kitab Pusaka 3

Cari Blog Ini