Goosebumps - Mesin Tik Hantu Bagian 2
"Tapi, Alex...," kataku.
Ia menempelkan telunjuk ke bibir supaya aku diam. "Dan
setelah itu kau mengetik bahwa kita sendirian di rumah yang gelap.
Dan itu juga benar-benar terjadi!"
"Ya, ampun!" aku mengerang. "Maksudmu, ceritaku bisa jadi kenyataan?"
"Sejauh ini sih begitu," ia berkeras. "Kata demi kata."
"Yang benar saja," ujarku. "Tampaknya badai ini membuatmu jadi tidak beres."
"Kau punya penjelasan yang lebih baik untuk semuanya ini?"
balas Alex sengit. "Apa yang perlu dijelaskan" Ini kan cuma badai biasa."
Aku mengambil lilin dari atas perapian. Kini masing-masing
tanganku memegang sebatang Aku hendak kembali ke kamar.
Alex mengikutiku. "Bagaimana dengan ayahmu" Kenapa dia
tiba-tiba lenyap?" Bayangan kami menyusuri dinding, menari-nari dalam cahaya
yang berkedap-kedip. Aku berharap lampu segera menyala lagi.
Aku masuk ke kamar. "Dad tidak lenyap. Dia cuma keluar
sebentar," jawabku. Kemudian aku menarik napas panjang. "Teorimu benar-benar
tidak masuk akal. Mentang-mentang aku menulis ada
badai..." "Kita tes saja," Alex mendesak.
"Hah?" Ia menyeretku ke kursi belajar, lalu memaksaku duduk.
"Awas...!" aku memprotes. "Hampir saja lilinku jatuh."
"Coba tulis sesuatu," Alex menyuruh. "Ayo, Zackie. Tulis apa saja - terus kita
lihat bagaimana hasilnya."
Chapter 17 ANGIN menderu-deru di luar rumah. Jendela rumahku
terguncang-guncang. Aku meletakkan lilin di kiri-kanan mesin tikku yang tua.
Kemudian aku mencondongkan badan ke depan dan membaca
kalimat-kalimat yang telah kutulis. Alex benar.
Semua yang kuketik memang menjadi kenyataan.
Tapi teori Alex tetap tidak masuk akal.
"Ayo, mulailah!" ia memerintahkan sambil memegang
pundakku dari belakang. Aku menoleh. "Alex - apa kau belum pernah mendengar istilah
kebetulan?" "Jangan banyak bicara. Lebih baik kita buktikan saja" ia berkeras. "Ayo, Zackie.
Tulis kalimat berikut, habis itu kita lihat hasilnya."
Alex meremas-remas pundakku. "Atau kau tidak berani?"
Aku menggeliat-geliut untuk membebaskan diri dari
pegangannya. "Oke, oke," ujarku. "Aku akan membuktikan bahwa teorimu salah."
Aku meraih kertas-kertas penuh tulisan tangan, lalu mencari
kalimat selanjutnya. Kemudian aku mulai mengetik:
MEREKA MENDENGAR PINTU DEPAN DIKETUK.
Aku menaruh tangan di pangkuanku, lalu menyandarkan
punggung. "Tuh, kan?" aku berkata sambil mencibir. "Masih mau ngotot?"
Pada saat itu juga aku mendengar pintu depan diketuk!
Aku menahan napas. Alex memekik kaget. "T-tidak mungkin," aku tergagap-gagap. "Aku pasti salah dengar."
"Tapi aku juga mendengarnya," ujar Alex. Matanya terbelalak lebar. "Masa sih
kita sama-sama salah dengar?"
"Tapi mana mungkin!" aku berkeras. Langsung saja aku meraih salah satu lilin.
Lalu aku berdiri dan bergegas ke pintu kamarku.
"Mau ke mana?" tanya Alex sambil mengejarku.
"Buka pintu," sahutku.
"Jangan...!" ia memekik tertahan.
Tapi aku sudah berlari menyusuri koridor yang gelap.
Jantungku berdegup kencang. Lilin di tanganku berkedap-kedip
seakan-akan seirama dengan detak jantungku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Alex mengikutiku.
"Zackie - tunggu! "
Aku tidak berhenti. Aku terus berlari ke pintu depan.
"Jangan! Pintunya jangan dibuka!" Alex memohon.
"Aku harus tahu siapa yang datang," kataku.
"Zackie - jangan!" Alex memohon sekali lagi. Tapi aku tidak menggubrisnya. Tanpa
pikir panjang aku membuka pintu depan.
Chapter 18 ALEX menahan napas. Aku menatap hujan yang turun dengan deras. Tak ada siapasiapa di luar. Tak ada seorang pun. Hujan lebat menerpa tangga teras. Tetes-tetes air memercik ke
segala arah. Aku menutup pintu. Dan menyeka setetes air hujan yang
menempel di keningku. "Aneh," Alex bergumam sambil mengusap rambutnya yang
pirang. Ia membetulkan letak kacamatanya. "Aneh."
"Paling-paling dahan pohon," ujarku. "Dahan pohon yang ditiup angin sampai
mengenai pintu." "Tidak mungkin," Alex membantah. "Mana ada dahan pohon yang mengetuk pintu" Aku
mendengar pintu depan diketuk - dan kau
juga." Kami bertukar pandang. Kemudian kami menatap pintu.
"Aku tahu!" seru Alex. "Aku tahu kenapa tidak ada siapa-siapa di pintu."
"Aku tidak mau dengar!" aku mengerang. "Aku tidak mau dengar teori konyol bahwa
ceritaku jadi kenyataan."
"Aduh, kenapa sih kau belum mengerti juga?" Alex berseru.
"Kita tidak melihat siapa-siapa di pintu karena kau tidak menulis siapa yang
datang!" "AAAAGGH!" teriakku. "Alex - sudahlah. Masa sih kau benar-benar percaya aku bisa
mengatur apa yang terjadi di sekitar kita?"
Alex mengerutkan wajah, seakan-akan berpikir keras.
"Kau benar," ia akhirnya mengakui.
"Syukurlah kalau kau sudah sadar," ujarku lega.
"Bukan kau yang mengatur semuanya, tapi mesin tik itu," ia melanjutkan.
"Alex - kurasa kau sebaiknya tidur dulu deh," kataku. "Aku mau menelepon
orangtuamu supaya mereka datang menjemputmu.
Tampaknya kau sakit."
Komentarku tak digubrisnya. "Mungkin itu sebabnya mesin tik
ini diberikan gratis oleh wanita di toko yang terbakar itu," Alex kembali
berkata. "Mungkin dia tahu mesin tik ini punya kekuatan gaib. Mungkin dia memang
sudah tak sabar untuk menyingkirkannya." "Kau yang harus disingkirkan dari sini," sahutku kesal. "Alex, kau tidak serius,
kan" Omonganmu tidak masuk akal."
"Tapi, Zackie, aku benar. Semua yang kauketik jadi
kenyataan!" Alex meraih lenganku dan menyeretku ke koridor.
Aku menarik tanganku. "Hei - mau ke mana?" tanyaku.
"Kita tes sekali lagi," ia berkeras.
Aku mengikutinya ke kamarku. "Sekali lagi?" tanyaku. "Oke, sekali lagi - tapi
habis itu kau harus tutup mulut!"
Ia mengangkat tangan kanan. "Aku janji." Ia menurunkan
tangannya. "Tapi kau akan melihat bahwa aku benar, Zackie. Aku belum gila. Apa
saja yang kauketik di mesin tik tua itu jadi
kenyataan." Aku duduk di meja belajar, dan menggeser kedua lilin hingga
mendekati mesin tik. "Cepat, dong," Alex mendesak. "Ketiklah bahwa ada orang di teras."
"Oke, oke," aku bergumam. "Tapi ini benar-benar tidak masuk akal. Aku menarik
napas panjang dan mulai mengetik:
ADAM BERDIRI DI TERAS DEPAN. IA BASAH KUYUP
KARENA KEHUJANAN. Aku meletakkan tangan di pangkuanku.
Menunggu pintu depan diketuk.
Tapi yang terdengar cuma suara angin yang menderu dan hujan
yang menerpa atap. Aku menunggu sambil pasang telinga.
Tidak ada apa-apa. Baru sekarang aku sadar bahwa selama itu aku menahan napas.
Kini aku mengembuskannya pelan-pelan.
"Tidak ada yang mengetuk pintu," aku berkata pada Alex. Aku tidak sanggup
menahan senyum. Senyum kemenangan. "Tuh, apa
kubilang?" Alex mengerutkan kening. Ia membungkuk di belakangku dan
membaca kalimat yang telah kutulis. "Ya, jelas saja tidak berhasil,"
ujarnya. "Kau tidak menulis bahwa Adam mengetuk pintu. Kau cuma menulis dia ada
di teras depan. Kau tidak menulis dia mengetuk."
Aku menghela napas. "Oke. Kalau maumu begitu...."
Aku kembali menghadap ke depan, lalu mengetik: ADAM
MENGETUK PINTU DEPAN. Begitu aku selesai mengetik tanda titik, pintu depan diketuk
keras-keras. "Tuh!" seru Alex. Kini gilirannya nyengir lebar.
"Tapi ini tidak mungkin!" aku memekik.
Serta-merta kami berlari ke pintu depan. Saking terburuburunya, kami bahkan tidak bawa lilin.
Alex yang sampai lebih dulu. Ia meraih pegangan pintu dan
segera memutarnya. "Betulkah itu Adam?" tanyaku.
Chapter 19 DENGAN mata terbelalak aku melihat Alex menarik Adam ke
dalam. Adam basah kuyup! Rambutnya yang hitam keriting tampak
melekat di keningnya. Ia hanya memakai T-shirt, tanpa jas hujan
maupun jaket. "Uih!" ia berseru sambil menggigil. Ia memeluk badannya yang gendut, seakan-akan
hendak menghangatkannya. Air mengalir lewat sepatunya dan mulai menggenang di lantai.
"Adam...!" Aku ingin mengatakan sesuatu - tapi aku terlalu bingung untuk bicara.
"T-ternyata berhasil!" Alex tergagap-gagap. "Benar-benar berhasil!"
"Hah?" Adam tampak linglung.
"Kenapa kau ada di sini?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
Adam memandang berkeliling. "Aku juga tidak tahu!" serunya.
"Rasanya ada sesuatu yang kuperlukan. Tapi entah apa aku tidak ingat."
"Zackie memanggilmu kemari!" Alex menegaskan.
Adam menggelengkan kepala, sehingga air bercipratan ke
segala arah. Ia menatap Alex. "Apa maksudmu?"
Alex membalas tatapan Adam. "Apa kau sempat berdiri agak
lama di teras depan tadi, sebelum mengetuk pintu?"
Adam mengangguk. "Ya. Aku tidak tahu kenapa. Aku cuma
berdiri saja di situ. Mungkin aku lagi mengingat-ingat kenapa aku kemari. Dari
mana kau tahu?" Alex berpaling padaku. Ia nyengir lebar. "Tuh, kan" Apa
kubilang?" Aku menelan ludah. Kepalaku serasa berputar-putar. "Ya. Kau
benar," aku bergumam.
Mesin tik tua itu... Apa pun yang kuketik dengan mesin tik itu langsung menjadi
kenyataan. "Ada apa, sih?" tanya Adam. Ia kembali menggelengkan
kepala. "Kenapa rumahmu gelap gulita?"
"Mati lampu. Gara-gara badai ini," aku menjelaskan. "Ayo, ikut aku."
Aku mengajak mereka ke kamar. Ketika kami lewat di depan
kamar mandi, aku masuk sebentar dan mengambil handuk untuk
Adam. Ia lalu mengeringkan rambutnya sambil berjalan ke kamarku.
Aku sudah tak sabar untuk bercerita tentang mesin tik ajaibku.
"Kau pasti tidak percaya!" kataku kepada Adam.
Aku menariknya ke meja belajar. Ia menatap mesin tik tua yang
diterangi cahaya Kemudian Alex dan aku menuturkan semuanya. Begitu kami
usai bercerita, Adam terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Lucu sekali," katanya. Ia menggoyang-goyangkan kepala.
Rambutnya yang keriting masih agak basah.
"Aku tahu kau mau membalas dendam, Zackie," ujarnya. "Aku tahu kau mau membalas
dendam padaku karena aku menaruh tikus di
locker-mu di sekolah. Aku tahu kau pasti sangat malu."
Ia meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Tapi aku tidak
mungkin ketipu oleh cerita konyol seperti itu. Tidak mungkin."
"Zackie bisa membuktikannya," Alex angkat bicara.
Adam mencibir sambil geleng-geleng kepala. "Coba, mana
buktinya?" "Aku tidak main-main, Adam," aku berkeras. "Ini bukan lelucon. Ini sungguhan.
Sini, biar kutunjukkan."
Aku menariknya ke meja. Aku duduk dan mengetikkan barisbaris kalimat cerita seramku:
BADAI TIBA-TIBA REDA. SUASANA MENDADAK
SUNYI. TERLALU SUNYI. Adam dan Alex mengintip dari balik pundakku. Aku berdiri dan
menarik Adam ke jendela. "Ayo, coba lihat keluar," perintahku.
Chapter 20 KAMI mengitari meja belajarku dan merapatkan wajah ke
jendela. "Yes!" aku berseru sambil mengacungkan tangan terkepal.
"Yes!" Hujan telah berhenti. Aku menyelinap ke antara kedua temanku dan membuka
jendela. "Coba dengar," aku berkata pada mereka.
Kami pasang telinga. Tak ada suara yang terdengar. Tak ada bunyi air menetes dari
pohon-pohon. Tak ada bunyi angin, biar cuma bisikan pelan
sekalipun. "Yes!" seru Alex gembira. Ia dan aku langsung ber-high five.
Aku berpaling pada Adam. "Nah, sekarang kau percaya?"
tanyaku. "Ini buktinya!"
"Percaya, kan?" ujar Alex.
Adam mundur dari jendela. "Bukti apa?" ia balik bertanya.
"Oke, sekarang memang sudah tidak hujan. Tapi itu kan cuma
kebetulan." "Tapi... tapi..." Aku menunjuk-nunjuk mesin tikku.
Adam tertawa. "Wah, kalian sudah mulai tidak waras!" serunya.
"Kalian pikir hujannya berhenti gara-gara kalian" Yang benar saja!"
"Tapi memang begitu!" aku ngotot. "Aku kan sudah
membuktikannya." Ia tertawa sambil geleng-geleng kepala.
Rasanya aku ingin menonjok mukanya. Sungguh.
Kami baru saja menyaksikan kejadian paling ajaib dalam
sejarah dunia - dan Adam malah menganggapnya sebagai lelucon!
Aku meraih lengannya. "Ayo," ujarku sambil terengah-engah.
"Biar kubuktikan sekali lagi. Lihat nih!"
Aku menyeretnya ke meja belajarku.
Tanpa duduk dulu, aku langsung mulai mengetik.
Tapi sebelum aku sempat menyelesaikan satu kalimat, Alex
sudah menarikku menjauh dari meja belajar.
"Hei... jangan dong!" aku memprotes. Tapi Alex malah
menggiringku ke luar kamar.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia takkan percaya, Zackie," Alex berbisik padaku. "Biar kau membuktikannya
sepuluh kali, dia tetap takkan percaya."
"Dia harus percaya!" aku berkeras. "Dia..."
"Tak mungkin," Alex menyela. "Ayo! Coba tulis ADAM
BERKEPALA DUA. Dia akan benar-benar berkepala dua dan tetap
tak percaya!" "Aku mau coba sekali lagi," kataku. "Satu kalimat saja.
Barangkali Adam mau berubah pikiran setelah yang kutulis menjadi
kenyataan. Barangkali dia akan sadar bahwa kita tidak main-main."
Alex mengangkat bahu. "Coba saja kalau memang mau coba.
Tapi aku jamin percuma. Dia takkan mau percaya, Zackie. Dia pikir kau mau balas
dendam karena dia memasukkan tikus ke locker-mu."
"Sekali lagi," aku ngotot.
Aku memandang ke kamar. "Hei, jangan...! Adam... jangan!"
jeritku. Adam berdiri membelakangi kami. Dan kulihat ia berdiri
membungkuk di depan mesin tik.
Dia sedang mengetik sesuatu!
"Adam... jangan!" Alex dan aku memekik berbarengan.
Tergopoh-gopoh kami bergegas menghampirinya. Ia membalik
sambil nyengir lebar. "Aku pulang dulu, ya," katanya.
Ia segera melewati kami dan keluar ke koridor. "Sampai
ketemu!" serunya. Dan dalam sekejap ia sudah menghilang.
Aku berlari ke meja belajar. Jantungku berdegup kencang
ketika aku menatap mesin tikku.
Apa yang ditulis Adam"
Chapter 21 AKU mendengar pintu depan dibanting keras-keras. Adam
sudah berlari keluar. Tapi aku tidak memedulikan Adam. Hanya ada satu hal yang
kupikirkan. Apa yang ditulisnya dengan mesin tikku"
Aku meraih lembaran kertas yang terpasang - dan menariknya
dari penggulung. Kemudian aku mendekatkannya ke salah satu lilin
menyala untuk membacanya.
"Awas! Nanti kertasnya terbakar!" Alex mewanti-wanti.
Aku menarik tanganku mundur sedikit. Cahaya jingga menarinari pada permukaan kertas. Ditambah dengan tanganku yang
gemetaran, aku jadi sulit membaca kata-kata yang tertulis.
"Bagaimana" Apa yang diketik Adam?" tanya Alex tidak sabar.
"Dia... dia... dia..." Aku tergagap-gagap.
Alex merebut kertas itu dari tanganku dan membacakan kalimat
yang ditulis Adam: "SI MONSTER GUMPALAN BERSEMBUNYI DI RUANG
BAWAH TANAH DI RUMAH ZACKIE, MENUNGGU-NUNGGU
DAGING SEGAR." "Dasar brengsek!" seruku. "Keterlaluan! Kenapa dia menulis begitu?"
Alex menatap kertas di tangannya sambil mengerutkan kening.
"Dia pikir itu lucu."
"Ha-ha," ujarku seraya merebut kembali kertas itu darinya. "Dia mengacaukan
ceritaku. Sekarang aku harus mulai dari awal lagi."
"Ceritamu tak penting!" seru Alex. "Bagaimana dengan monster itu?"
"Hah?" Aku langsung merinding. Lembaran kertas tadi terlepas dari tanganku dan
jatuh ke lantai. "Ingat, semua yang diketik dengan mesin tik tua itu jadi
kenyataan," Alex bergumam.
Astaga, saking kesalnya pada Adam, aku lupa sama sekali pada
soal itu! "Maksudmu..." Mulutku mendadak kering kerontang.
"Ada monster yang menunggu di ruang bawah tanah," Alex
berbisik. "Menunggu daging segar."
"Daging segar," aku mengulangi, lalu menelan ludah.
Aku dan Alex terdiam sejenak. Kami berpandangan dalam
cahaya lilin yang berkedap-kedip.
"Tapi monster kan sebenarnya tak ada," ujarku. "Itu cuma karanganku. Jadi tak
mungkin ada monster yang bersembunyi di
bawah!" Mata Alex bersinar-sinar. "Kau benar!" serunya.
"Monster tidak ada! Jadi... jadi kita tak perlu takut!"
Ia tersenyum. Tapi senyumnya segera meredup ketika kami mendengar bunyi
aneh. Bunyi berdebam-debam. Aku menahan napas. "Apa itu?"
Kami berpaling ke pintu. Bunyi itu terdengar lagi. BAM BAM.
Berat dan perlahan. Seperti bunyi langkah kaki.
"Suaranya... suaranya dari r-ruang b-b-b...?" Saking ngerinya, aku sampai
tergagap-gagap. Alex mengangguk. "Dari ruang bawah tanah," ia menyambung kalimatku sambil
berbisik. Aku meraih sebatang lilin. Cahayanya menari-nari di dinding.
Tanganku gemetaran tak terkendali.
Aku keluar ke koridor sambil memegang lilin itu di depanku.
Alex menyusul tepat di belakangku.
BAM BAM. Kami berhenti. Bunyi itu semakin dekat. Semakin keras.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri pintu ruang
bawah tanah. Alex menjaga jarak. Kedua tangannya menempel di pipi.
Matanya terbelalak lebar karena ngeri.
BAM BAM. "Dia naik tangga!" pekikku. "Lari!"
Terlambat. Sekali lagi terdengar bunyi BAM - dan kemudian pintu terbuka.
Chapter 22 SOROTAN cahaya putih memaksaku memejamkan mata.
Tanganku bergerak untuk melindungi wajahku. Di balik berkas
cahaya itu, sosok besar yang gelap tampak melangkah melewati pintu.
"Dad!" aku memekik tertahan.
Dad mengarahkan senternya ke bawah.
"Dad! Untuk apa Dad turun ke sana?" tanyaku dengan suara melengking.
"Kenapa kalian?" Dad balik bertanya. Ia menatap kami sambil memicingkan mata.
"Kalian tampak ketakutan sekali."
"Kami... ehm..." Aku tidak tahu bagaimana aku harus
menjelaskannya. Masa aku harus bilang bahwa Alex dan aku
menyangka ia Monster Gumpalan"
Dad mengarahkan senter ke ruang bawah tanah. "Aku baru saja
memeriksa sekering di bawah," ia menerangkan. "Entah kenapa listrik belum
menyala juga." Ia menggaruk-garuk kepala.
"Kami mencari Anda sejak tadi," ujar Alex. "Kami sempat memanggil-manggil ke
ruang bawah tanah." "Oh, sebelumnya aku mencari ibunya Zackie di seberang.
Setelah itu aku ke ruang bawah tanah," sahut Dad. "Aku tidak mendengar kalian
memanggil-manggil." Ia menggelengkan kepala. "Badai ini aneh sekali. Datangnya
tiba-tiba. Berhentinya juga tiba-tiba. Seakan-akan ada yang menekan tombol."
Alex dan aku saling lirik. "Ya, memang aneh," Alex
membenarkan. Aku menarik napas dalam-dalam. "Ehm... Dad?" ujarku.
Sorot senter diarahkannya ke kakiku. "Ya, Zackie?"
"Dad... waktu Dad ada di ruang bawah tanah tadi... apakah ada sesuatu di sana...
selain Dad?" Dad mengerutkan kening.
"Maksudmu?" ia bertanya sambil menatapku dengan tajam.
"Apakah Dad melihat sesuatu yang tidak biasa di bawah" Atau
mendengar suara aneh?"
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Tidak ada yang aneh." Ia menatapku dengan
pandangan bertanya-tanya. "Kau takut, Zackie"
Dad tahu kau tidak suka suasana gelap seperti ini. Apakah kau ingin ditemani?"
"Tidak usah. Aku baik-baik saja, kok. Sungguh," aku menolak tawarannya. "Aku
cuma ingin tahu..." Dad melewati Alex dan aku, dan menuju ke dapur. "Dad mau
menelepon perusahaan listrik dulu," katanya. "Seharusnya lampu sudah menyala
sekarang." Aku mengamatinya berjalan menyusuri koridor.
Cahaya senter yang putih bergerak-gerak di depannya.
Aku mendekatkan lilin ke pintu ruang bawah tanah. "Rupanya
mesin tikku tidak berfungsi kali ini," kataku kepada Alex. "Nyatanya tidak ada
monster tuh." "Ayo, kita turun dan periksa sendiri!" sahutnya.
"Hah?" Aku langsung mundur dari pintu yang terbuka. "Kau sudah gila?"
"Kita harus tahu apakah mesin tik tua itu punya kekuatan gaib atau tidak," ujar
Alex. "Kita tidak punya pilihan, Zackie. Kita harus periksa keadaan di bawah."
"Tapi - tapi..."
Ia segera melewatiku dan menuruni dua anak tangga.
Kemudian ia berpaling padaku. "Mau ikut atau tidak?"
Chapter 23 APAKAH aku punya pilihan"
Tentu tidak. Aku yang pegang lilin. Aku tidak bisa membiarkan Alex turun
sendirian - apalagi dalam keadaan gelap pekat begini.
Tapi aku masih ragu-ragu. Jantungku berdegup kencang.
Mulutku kering kerontang. "Dad bilang dia tidak dengar apa-apa,"
kataku. "Jadi, kita tidak perlu turun ke sana."
"Jangan cari-cari alasan," balas Alex. Ia turun satu anak tangga lagi. "Biar aku
saja yang turun kalau kau tidak mau ikut."
Aku memaksa kakiku melangkah maju. "Jangan. Tunggu. Aku
ikut," ujarku. "Tapi cuma sebentar saja, oke?"
"Pokoknya sampai kita yakin apakah ada monster yang
sembunyi di situ atau tidak," sahut Alex.
Bersembunyi sambil menunggu daging segar, aku
menambahkan dalam hati. Kakiku tersandung ketika hendak melangkah. Tapi aku berhasil
menjaga keseimbangan dengan meraih pegangan tangan.
Api lilinku bergoyang-goyang, tapi tidak sampai padam.
Ruang bawah tanah tampak menganga di hadapan kami,
bagaikan lubang hitam. Alex dan aku berhenti di kaki tangga - dan pasang telinga.
Hening. Lilin di tanganku kuangkat tinggi-tinggi. Di hadapan kami
terlihat beberapa tumpukan kardus. Di balik tumpukan itu tampak dua lemari kayu
yang digunakan Mom dan Dad untuk menyimpan baju
musim dingin. "Monsternya mungkin bersembunyi di balik tumpukan kardus,"
bisik Alex. "Atau di dalam lemari."
Aku menelan ludah. "Jangan macam-macam, Alex," sahutku, juga sambil berbisik.
Kami menghampiri tumpukan kardus. Aku mengangkat lilin
tinggi-tinggi. Kemudian kami mengintip ke balik tumpukan pertama.
Tak ada apa-apa di baliknya.
"Sudah cukup, kan?" tanyaku dengan nada memelas.
Alex geleng-geleng kepala. "Kau tidak berminat membongkar
misteri ini" Kau tidak ingin tahu apakah mesin tikmu punya kekuatan gaib atau
tidak?" "Ehm, tidak," bisikku.
Jawabanku tidak digubrisnya. Alex langsung merebut lilin dari
tanganku dan melangkah ke balik tumpukan kardus berikut.
"Hei - kembalikan!" seruku.
"Kau terlalu lamban," katanya ketus. "Ayo, ikut aku. Pokoknya tenang saja, deh."
"Bagaimana aku bisa tenang?" balasku. "Aku baru tenang kalau kita sudah kembali
ke atas." Alex menyelinap di antara tumpukan kardus. Aku terpaksa
bergegas agar tidak ketinggalan.
Terus terang, aku tidak suka turun ke ruang bawah tanah.
Biarpun di siang hari. Aku tahu tak ada yang perlu ditakuti. Tapi aku tetap
ngeri. "Alex...," bisikku. "Bagaimana kalau kita..."
Aku langsung terdiam ketika mendengar suara itu.
Plop... plop... plop... plop....
Suaranya berirama, bagaikan detak jantung.
Alex melangkah maju lagi. Aku melihatnya bergegas ke ruang
cuci pakaian. "Alex...!" Aku langsung menyusul. Tapi saking terburuburunya, aku menabraknya dari belakang.
"Hei - hati-hati, dong!" ia berseru.
"Alex - dia ada di sini!" aku memekik. "Dia ada di bawah sini!
Coba dengar! Kaudengar itu?"
Chapter 24 KAMI langsung berhenti dan berdiri seperti patung. Suara
berirama itu berasal dari ujung ruang bawah tanah.
Plop... plop... plop... plop....
"Kaudengar itu?" bisikku.
Alex mengangguk. Saking kagetnya, ia sampai melongo. Ia
menggenggam lilinnya dengan kedua tangan.
Plop... plop.... "Kita mesti gimana nih?" bisikku.
"Dia menunggu daging segar," Alex bergumam.
"Aku tahu. Aku tahu!" ujarku dengan suara parau. "Mana mungkin aku lupa?" Aku
menarik tangannya. "Ayo. Kita harus memberitahu Dad."
Aku memandang ke arah tangga. Jaraknya mendadak seperti
berjuta-juta kilometer. "Kita takkan berhasil," aku menyadari. "Kita harus melewati si monster untuk sampai ke tangga." Plop...
plop.... "Pilihan kita cuma dua, Zackie!" balas Alex. "Tetap di sini, atau lari. Silakan
pilih." Tentu saja ia benar. Kami harus berusaha lari. Barangkali kalau
kami lari cukup cepat, si monster tidak sempat bereaksi karena kaget.
Barangkali monster itu terlalu gendut hingga kurang lincah.
Plop... plop... plop... plop....
"Ayo," Alex mendesak. "Aku duluan, soalnya aku yang pegang lilin."
"Ehm... sama-sama saja, deh," ujarku.
Alex mengangguk. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, kami pun
mengambil langkah seribu.
Chapter 25 SEPATU kami berdebam-debam di lantai beton ruang bawah
tanah. Aku harus berusaha keras untuk mengimbangi kecepatan Alex.
Kakiku terasa berat sekali, seakan-akan sedang mendaki gunung
terjal! "Hei!" aku memekik ketika lampu mendadak menyala.
Alex dan aku langsung berhenti.
Aku berkedip-kedip, dan menunggu sampai mataku terbiasa
dengan cahaya terang lampu di langit-langit.
Plop... plop.... Kami berbalik ke ujung ruang bawah tanah untuk melihat
monster itu. Dan sebuah tangan putih menepuk-nepuk dinding di bawah
jendela ruang bawah tanah yang terbuka. Tangan"
Plop... plop.... "T-ternyata cuma sarung tangan!" seru Alex. "Sarung tangan Dad untuk berkebun,"
ujarku dengan suara parau.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dad biasa menaruh sarung tangannya di ambang jendela setelah
berkebun. Dan kini salah satunya tergantung di paku, dan menepuknepuk dinding karena tertiup angin.
Sejenak kami cuma bisa tercengang. Lalu tawa Alex meledak.
Aku juga tak tahan lagi. Rasanya enak bisa tertawa seperti ini. Aku lega sekali karena
ternyata tidak ada monster yang bersembunyi di ruang bawah tanah.
Dengan gembira Alex dan aku menaiki tangga. Kemudian ia
menuju ke pintu depan. "Terima kasih untuk hiburannya!" ia menggodaku. "Ini
lebih seru daripada nonton film. Sampai besok, deh."
Ia melangkah keluar, lalu kembali menoleh. "Gara-gara mesin
tik tua itu, tingkah kita konyol sekali tadi, Zackie."
"Yeah, memang," aku membenarkan. "Mesin tik itu ternyata tidak punya kekuatan
apa-apa. Ternyata tidak ada monster di bawah.
Dan lampu juga menyala lagi tanpa aku harus mengetik dulu."
"Semuanya cuma kebetulan," ujar Alex.
Ia menutup pintu dan pulang ke rumahnya.
**** "Kau lagi sibuk, Zackie?" tanya Mom.
"Tidak juga." Hari itu Sabtu sore, dan aku sedang mengisi waktu dengan tidak
berbuat apa-apa. Sebenarnya ada setumpuk PR yang harus
kuselesaikan. Tapi aku lebih senang tidur-tiduran di sofa sambil
menatap langit-langit dan mencari-cari alasan untuk tidak
mengerjakan PR. "Kau bisa membantu Mom belanja?" ia bertanya. "Keluarga Enderby mau makan malam
di sini nanti, dan ada beberapa barang
yang perlu dibeli." Ia mengangkat secarik kertas berisi catatan. "Tidak banyak,
kok." "Beres," ujarku.
Barangkali bisa kutambah, pikirku sambil meraih daftar belanja
itu. Mungkin kutambah permen atau cokelat. Atau sekotak PopTarts... Aku paling suka makan Pop-Tarts mentah.
"Naik sepeda saja, ya," Mom berpesan. "Supaya cepat. Dan kalau sudah selesai,
langsung pulang - oke?"
"Beres," sahutku. Daftar belanja itu kuselipkan ke kantong belakang celana
jeans-ku. Kemudian aku menuju ke garasi untuk
mengambil sepeda. Matahari sore bersinar cerah. Udara terasa panas dan kering.
Suasananya lebih mirip musim panas daripada musim semi.
Aku melompat ke sepeda dan meluncur ke jalan sambil berdiri.
Lalu aku membelok ke arah kota dan duduk di sadel. Aku mengayuh
sepeda dengan kencang, tanpa memegang setang.
Beberapa menit kemudian aku menyandarkan sepeda ke
dinding batu bata toko Jack's. Jack's sebenarnya toko daging, tapi mereka juga
menjual buah-buahan, sayur-mayur, dan bahan makanan
lainnya. Bel di atas pintu kaca berbunyi ketika aku melangkah masuk.
Mrs. Jack berdiri di tempat biasa, di balik meja layan di samping kassa.
Mrs. Jack seorang wanita besar dengan rambut putih dan dagu
berlipat. Mungkin lipatannya ada dua belas saking gemuknya. Ia
selalu memakai lipstik merah terang dan anting-anting panjang.
Ia ramah sekali terhadap semua orang - kecuali terhadap anakanak. Ia benci anak-anak. Mungkin ia menganggap kami semua
pencuri. Kalau ada anak yang masuk ke tokonya, Mrs. Jack pasti terus mengawasi
dan mengikutinya ke mana-mana.
Aku menutup pintu, dan merogoh kantong celana untuk
mengambil daftar belanja.
Mrs. Jack sedang membaca koran yang digelarnya di meja
layan. Ia menoleh dan menatapku sambil meringis. "Perlu apa?"
gumamnya. Aku melambaikan daftar belanja. "Belanjaan Ibu saya."
Ia merebut daftar itu dari tanganku dan mengamatinya sambil
memicingkan mata. Kemudian ia mengembalikannya sambil
menggerung. "Ikan tuna ada di rak paling bawah di belakang,"
katanya. "Terima kasih." Aku mengambil keranjang dan bergegas ke bagian belakang toko.
AC besar mendengung-dengung di dinding. Kipas angin di
depannya meniup udara dingin ke gang yang sempit.
Aku segera menemukan tempat ikan tuna, dan memasukkan dua
kaleng ke keranjangku. Kemudian aku menyusuri bagian daging. Potongan-potongan
daging merah terjajar rapi di balik panel kaca.
Belahan tubuh sapi yang belum dipotong-potong tergantung
dari langit-langit di samping meja layan. Kelihatannya seperti sapi yang
digantung terbalik setelah dikuliti.
Idih! pikirku. Aku baru hendak berpaling - ketika belahan tubuh sapi itu
mulai bergerak. Belahan itu berayun ke kanan, lalu kembali ke posisi semula.
Aku sampai tercengang. Adegan itu terulang lagi beberapa kali.
Dan kemudian aku mendengar bisikan parau: "Daging segar...
daging segar...." Chapter 26 "HAH." Aku mengerang tertahan ketika menyaksikan potongan sapi itu berayun-ayun
di depan mataku. "Daging segar...," bisikan parau itu terdengar lagi. "Daging segar...."
"Ampun...!" aku memekik.
Keranjang yang kubawa terlepas dari genggamanku.
Aku melangkah mundur. Lalu kembali memekik ketika Adam berdiri dan muncul dari
balik meja layan. Ia menatapku sambil nyengir lebar.
"Daging segar...," bisiknya. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.
Annie dan Emmy keluar dari tempat persembunyian mereka di
balik meja layan. Mereka tertawa cekikikan sambil geleng-geleng
kepala. "Asyik!" seru Annie.
"Hei, Zackie! Mukamu merah, tuh!" ujar saudara kembarnya sambil terus tertawa.
Wajahku memang serasa membara. Aku malu sekali. Kok bisa
ya aku tertipu oleh lelucon konyol seperti itu"
Mereka pasti akan memberitahu semua anak di sekolah bahwa
aku panik gara-gara potongan daging sapi!
"Kenapa kalian ada di sini?" aku memekik.
"Kami melihatmu naik sepeda," jawab Adam. "Dan kami mengikutimu masuk ke toko.
Memangnya kau tidak melihat kami"
Kami persis di belakangmu tadi."
" AAAGH!" seruku gusar sambil mengepalkan tangan.
"Ada apa ini?" Suara Mrs. Jack yang lantang membuat rak-rak bergetar. "Sedang
apa kalian di belakang sana?"
"Tidak ada apa-apa!" aku menyahut. "S-saya sudah menemukan tempat ikan tuna!"
Aku kembali berpaling kepada Adam dan si kembar. "Sudahlah,
jangan macam-macam," aku bergumam.
Entah kenapa, ucapanku itu malah dianggap lucu. Mereka
langsung cekikikan lagi, dan saling ber-high five.
Kemudian Adam mengangkat kedua tangannya lurus ke depan.
Ia maju dengan langkah kaku, seperti orang berjalan dalam keadaan tidur.
"Kau mengendalikanku, Zackie!" katanya, meniru suara robot.
"Aku di bawah kekuasaanmu."
Ia menghampiriku bagaikan Zombie. "Aku dikendalikan mesin
tikmu, Zackie. Mesin tikmu punya kekuatan gaib! Aku budakmu!"
"Adam - ini tidak lucu!" aku berseru.
Si kembar tertawa cekikikan. Mereka memejamkan mata,
mengangkat tangan lurus ke depan, dan ikut-ikutan menghampiriku.
"Kami semua di bawah kekuasaanmu!" ujar Emmy.
"Kau mengendalikan setiap gerakan kami," Annie menimpali.
"Tidak lucu!" seruku gusar. "Lebih baik keluar saja dari sini!
Kalian...!" Aku berbalik dan melihat Mrs. Jack berjalan mendekat.
Wajahnya tampak semerah lipstik di bibirnya. "Sedang apa kalian di belakang
sana?" ia menghardik kami. "Ini toko, bukan taman bermain!"
Adam dan si kembar langsung menurunkan tangan. Annie dan
Emmy merapat ke lemari pajang.
"Kalian mau belanja atau tidak?" Mrs. Jack bertanya dengan napas terengah-engah.
"Silakan keluar kalau kalian tidak mau beli apa-apa. Kalau mau main-main, di
luar saja!" "Oke, oke," Adam bergumam. Tapi ia tidak bisa melewati Mrs.
Jack. Wanita itu menghalangi seluruh gang. Adam terpaksa bergegas ke gang
sebelah. Annie dan Emmy segera menyusul.
"S-saya sudah hampir selesai," aku tergagap-gagap. Aku meraih keranjangku, lalu
mencari daftar belanja. Tapi daftarnya hilang entah ke mana.
Ah, masa bodoh. Aku ingat kok apa yang harus kubeli.
Aku mencari barang-barang lainnya dan memasukkan
semuanya ke keranjang. Mrs. Jack terus mengikutiku.
Aku membayar dan bergegas keluar. Saking kesalnya aku pada
Adam dan si kembar, aku sampai lupa membeli permen dan cokelat.
Mereka selalu mengolok-olokku, aku menggerutu dalam hati.
Mereka selalu iseng, selalu berusaha membuat aku malu.
Selalu. Selalu. Dan aku sudah muak! "Muak muak muak!" aku mengomel sepanjang jalan pulang.
Aku melompat turun dari sepeda dan membiarkan sepeda itu jatuh.
Aku berlari masuk dan melemparkan kantong belanjaan ke meja
dapur. "Muak muak muak."
Aku bisa darah tinggi kalau terus marah-marah seperti ini,
pikirku. Aku berlari ke kamarku dan memasang selembar kertas di
mesin tikku. Aku duduk di kursi dan mulai mengetik. Cerita monster lagi.
Cerita paling seram yang pernah kutulis.
Aku mengetik secepat mungkin. Tanpa berpikir panjang-lebar.
Segala kemarahanku kutumpahkan ke atas kertas.
Aku tidak membuat corat-coret dengan tulisan tangan dulu. Aku
tidak menyusun kerangka cerita. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Aku mengetik seperti kesetanan.
Dalam cerita itu, kotaku diserang monster mengerikan berwarna
pink. Semua orang menjerit-jerit. Berlari pontang-panting ke segala arah untuk
menyelamatkan diri. Dua petugas polisi maju untuk menghalau monster itu. Tapi si
monster malah membuka mulutnya yang besar - dan menelan
keduanya bulat-bulat! Pekik-pekik ketakutan terdengar di mana-mana. Semua orang
dilahap hidup-hidup oleh monster raksasa itu.
"Yes!" seruku. "Yes!"
Aku melampiaskan kemarahanku. Aku membalas dendam pada
seluruh kota. Cerita ini adalah cerita paling seru dan paling menakutkan yang
pernah kutulis. Aku mengetik halaman demi halaman.
"Zackie - ada yang lupa kaubeli!" terdengar suara berseru.
Aku langsung hendak menuliskan kata-kata itu, tapi kemudian
aku mengenali suara Mom. Terengah-engah, aku berpaling dari mesin tikku. Mom berdiri
di ambang pintu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau harus kembali ke toko," katanya. "Kau lupa membeli roti Italia. Kita perlu
roti untuk makan malam nanti."
"Oh, sori," ujarku.
Aku menatap ceritaku dan menghela napas. Padahal aku sedang
lancar-lancarnya mengarang.
Nanti kuteruskan, setelah kembali dari toko, aku berkata dalam
hati. Mom memberikan sejumlah uang padaku. Kuambil sepeda yang
kubiarkan tergeletak di depan garasi tadi.
Aku terus memikirkan cerita monsterku sementara aku
bersepeda ke toko, Inilah cerita paling seru yang pernah kutulis, pikirku.
Aku sudah tak sabar untuk membacakannya pada Alex.
Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki berdebam-debam di
trotoar. Seorang pria bersetelan jas berlari melewatiku. Saking
kencangnya, aku tak sempat melihat wajahnya.
Kenapa dia" aku bertanya-tanya. Pakaiannya terlalu rapi untuk
berolahraga! "Hei!" Aku terpaksa menepi ketika sebuah mobil station wagon berwarna biru
meluncur ke arahku. Wanita di balik kemudi
membunyikan klakson dan melambai-lambaikan tangan. Ban
mobilnya berdecit-decit ketika ia membelok di perempatan.
"Wah, semua orang terburu-buru hari ini," aku bergumam.
Kemudian aku mendengar jeritan. Jeritan laki-laki.
Aku semakin keras menggenjot sepeda. Awning di atas pintu
toko Jack's sudah kelihatan di depan.
Aku melihat dua orang berlari melewati toko. Mereka berlari
kencang sambil melambai-lambaikan tangan.
Sekali lagi terdengar jeritan, dan kali ini aku langsung berhenti.
"Awas!" seseorang berteriak.
"Lari! Panggil polisi!"
Dua anak kecil berlari melewatiku. Salah satunya terisak-isak.
"Hei - ada apa, sih?" aku berseru pada mereka. Tapi mereka terus berlari. Mereka
tidak menyahut. Aku kembali mengayuh sepeda.
Aku bersepeda sambil berdiri untuk mencari tahu kenapa semua orang begitu panik.
Aku melihat orang-orang berlarian di tengah jalan. Klakson
mobil terdengar bersahut-sahutan. Orang-orang menjerit-jerit.
"Hei - ada apa ini?" aku berseru. "Ada kebakaran" Hei - ada apa sebenarnya?"
Dan kemudian aku melihat apa yang menyebabkan kekacauan
ini. Aku membuka mulut untuk menjerit - dan jatuh dari sepeda.
Chapter 27 "ADUH!" Aku terpelanting ke aspal. Dan tertimpa sepeda. Tengkukku
terkena ujung setang. Seorang laki-laki berlari melewatiku. "Cepat lari, Nak!" ia berseru. "Cepat!
Pergi dari sini!" Aku menyingkirkan sepedaku dan bangkit dengan susah payah.
Jantungku berdegup kencang ketika aku melihat monster
gumpalan raksasa berwarna pink yang berdenyut-denyut di pojok
jalan. "Astaga," aku berseru tak percaya.
Persis seperti yang kutulis dalam ceritaku! aku menyadari.
Monster itu berbentuk jantung manusia yang besar dan
berlendir. Pink dan basah. Dengan mata kecil berwarna hitam.
Pembuluh darah berwarna ungu yang tumpang tindih di atas
kepalanya. Dan mulut yang melintang di perutnya.
Ia terus berdenyut-denyut.
"I-ini kan Monster Gumpalanku!" aku memekik. Dua gadis
cilik menatapku sambil mengerutkan kening, sementara ibu mereka
berusaha menarik keduanya menjauh. Aku mengenali Mrs. Willow,
tetangga kami di seberang jalan.
"Zackie - lari!" ia berseru. "Ada monster!"
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya tahu," aku bergumam.
Ia menggiring kedua putrinya menyeberangi jalan. Tapi aku
tidak mengikuti mereka. Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian, perlahan-lahan,
aku menghampiri monster yang berdenyut-denyut itu.
Aku yang menulis ini, ujarku dalam hati.
Aku menulis adegan ini sebelum aku pergi kemari. Aku menulis
bahwa kotaku diserang monster.
Dan aku sudah tahu apa yang akan terjadi sesudah ini.
Ketika aku mendekat, aku melihat jejak lendir yang
ditinggalkan monster itu. Perutnya membelah, dan aku melihat
lidahnya yang ungu bergerak ke kiri-kanan.
Lututku gemetaran ketika aku menghampirinya.
Orang-orang menjerit dan berlari pontang-panting. Mobil-mobil
melesat melewatiku. Bunyi klakson memekakkan telinga.
Aku yang menciptakanmu! ujarku dalam hati. Aku ngeri
bercampur heran dan takjub - semuanya campur baur.
Aku yang menciptakanmu! Aku yang menulis cerita ini!
Sang monster menatapku dengan matanya yang kecil dan hitam.
Apakah ia tahu siapa aku" Apakah ia tahu bahwa aku
penciptanya" Di depan mataku yang terbelalak, mulutnya membuka semakin
lebar. Dari mulutnya keluar bunyi berdecap-decap, dan lidahnya yang ungu
bergerak ke sudut-sudut mulutnya.
Air liur yang kental dan kuning menetes-netes.
Si monster maju ke arahku - setengah menggelinding, setengah
melompat. Lidahnya yang ungu seakan-akan hendak menangkapku.
"Hei...!" aku memekik. Aku mundur dengan terhuyung-huyung.
Lidah yang panas dan lengket itu melilit kakiku. Lalu mulai
menyeretku ke mulut berlendir yang terbuka lebar.
"Lepaskan aku!" Aku menarik-narik lidahnya dengan sekuat tenaga.
Dua petugas polisi berseragam gelap melompat ke depanku.
Keduanya membawa pentungan.
Sambil berseru-seru marah mereka memukuli makhluk yang
berdenyut-denyut itu. PLOP. PLOP. PLOP. Bunyi yang terdengar mirip bunyi kalau kita menggebuk bantal.
Erangan mengerikan keluar dari mulut si monster. Lidahnya
terlepas dari kakiku. "Lari!" teriak salah satu petugas polisi. "Cepat, lari!"
Tapi saking gemetarnya lututku, aku nyaris terjatuh. Kakiku
serasa masih dililit lidahnya yang panas dan berlendir.
Aku mundur dengan susah payah.
Adegan berikutnya benar-benar membuat mataku terbelalak
karena ngeri. Si monster membuka mulut lebar-lebar. Lidahnya yang gemuk dan ungu
langsung menyergap kedua petugas polisi.
Mereka memukulinya dengan pentungan masing-masing.
Mendorongnya dengan sekuat tenaga. Menggeliat-geliut untuk
membebaskan diri. Tapi cengkeraman lidah si monster semakin erat. Kedua
petugas polisi terseret ke dalam mulut menganga di perut monster itu.
Keduanya terseret masuk. Berikutnya mulut sebesar gua itu mengatup, diiringi bunyi
PLOP yang mengerikan. "Jangan! Jangaaan!" aku meratap.
Rasanya aku ingin menghajar monster itu dengan kepalan tinju.
Aku ingin menghajarnya sampai hancur lebur.
"Semua salahku!" aku menjerit.
Aku yang menulis adegan dilahapnya kedua petugas polisi itu.
Semuanya ada dalam cerita yang baru saja kuketik. Aku
menulis bahwa kedua petugas polisi malang itu dimakan monster.
Dan ternyata ceritaku menjadi kenyataan!
Ceritaku yang seram menjadi kenyataan. Semua adegan yang
kutulis kini benar-benar terjadi.
Dengan susah payah si monster menelan makanannya. Lalu
makhluk mengerikan itu menatapku dengan matanya yang kecil dan
hitam. Apa yang akan terjadi selanjutnya"
Bagaimana kelanjutan ceritaku" aku bertanya dalam hati.
Aku berusaha mengingatnya, sementara seluruh tubuhku
gemetar dan jantungku berdegup kencang. Apa yang akan terjadi
setelah ini" Dan kemudian - dengan merinding - aku ingat apa yang telah
kuketik. Si monster mengikutiku ke rumah!
Chapter 28 SI monster kembali menelan. Lalu ia membuka mulut dan
bersendawa keras-keras. Baunya minta ampun. Aku langsung mundur
beberapa langkah. Aku harus cari akal, kataku dalam hati. Aku harus
menghentikan monster ini.
Kalau tidak, aku akan mendapat giliran berikut untuk dimakan.
Si monster mulai meluncur maju.
Aku sadar aku harus segera bergerak. Cepat-cepat aku berbalik
dan memaksa kakiku yang gemetaran untuk berlari.
Aku mengambil sepeda dan langsung melompat naik. Aku
mulai mengayuh sebelum tubuhku seimbang - dan nyaris menabrak
tembok batu bata. Aku panik. Tapi aku berusaha menenangkan diri, agar aku
dapat bersepeda dengan benar. Untung akhirnya berhasil. Aku
menggenjot sekuat tenaga sambil mengerang-erang.
Aku melaju pulang. Setelah merasa aman, aku memberanikan
diri menoleh ke belakang.
Ya. Persis seperti yang kutulis. Si monster terus mengikutiku.
Aku melihat jejak lendir yang ditinggalkannya di jalan.
Jalannya cepat sekali! pikirku. Sama cepatnya dengan aku!
Apa yang terjadi sesudah ini" Bagaimana kelanjutan cerita yang
kuketik" "Oh, gawat!" aku memekik ketika teringat lagi. Dalam kisah karanganku, aku jatuh
dari sepeda. "AAAAH!" Ban depanku menabrak batu - dan aku terbang melewati setang.
Sekali lagi aku terjerembap di aspal. Sekali lagi aku mendorong
sepedaku ke samping dan melompat berdiri.
Jantungku berdegup kencang ketika aku menengok. Si monster
ternyata semakin dekat. Mulutnya menganga lebar, lidahnya terjulur keluar...
berusaha menangkapku. Aku cepat-cepat berbalik - dan bertabrakan dengan Alex dan
Adam. "Lari! Jangan diam saja!" aku menjerit. "Dia - dia datang!"
"Zackie - kenapa kau?" tanya Alex.
"Jangan banyak tanya!" balasku sambil mendorong mereka.
"Lari! Monsterku benar-benar ada! Aku menciptakannya - dan
sekarang dia melakukan segala sesuatu yang kutulis!"
Adam tertawa. Ia berpaling pada monster yang terus bergerak
maju. "Memangnya kaupikir aku tolol, Zackie" Ini cuma lelucon kan" Apa sih itu" Pasti semacam balon, ya?"
"Adam - jangan!" aku memekik.
Aku berusaha menyambarnya. Meleset.
Ia bergegas menghampiri si monster.
"Yeah. Ini cuma balon besar!" kata Adam sambil nyengir.
Lidah ungu si monster segera melilit pinggang Adam.
Adam terseret ke dalam mulut yang menganga.
Lalu si monster menelannya bulat-bulat. Gleg.
Alex dan aku menjerit sejadi-jadinya.
Alex berpaling padaku. "Kau yang menulis ini?" ia bertanya dengan suara
bergetar. Aku mengangguk. "Ya. Ceritaku memang begini," aku
mengakui. Alex mencengkeram bahuku. "Kalau begitu, apa yang terjadi
selanjutnya" Cepat, beritahu aku. Bagaimana kelanjutannya?"
"A-aku tidak tahu," aku tergagap-gagap. "Ceritaku baru sampai di sini!"
Chapter 29 SEUMUR hidup Alex dan aku belum pernah berlari secepat
sekarang. Ketika kami sampai di rumahku, kepalaku berdenyut-denyut dan
pinggangku serasa ditusuk-tusuk.
Napas kami tersengal-sengal ketika aku membuka pintu.
"Halo?" aku memanggil. "Mom" Mom?"
Tak ada jawaban. Mungkin Mom sedang pergi. Aku meno leh
dan melihat si monster menggelinding di pekarangan depan rumah
Alex. "Cepat masuk!" aku berseru pada Alex. "Cepat! Cepat!"
Ia menyelinap ke dalam rumah, dan aku langsung membanting
pintu dan menguncinya. Kemudian aku berlari ke kamar. Kakiku
terasa berat sekali. Aku menyeka, keringat yang membasahi keningku. Lalu aku
duduk di kursi belajar dan bersiap-siap mengetik.
Alex menghampiriku. "Apa yang akan kaulakukan?" ia
bertanya dengan napas terengah-engah.
"Tidak ada waktu. Nanti saja kujelaskan," ujarku. Aku
mendengar bunyi berdebam di pintu depan.
Bunyi itu disusul suara KRAAAAAK yang sangat keras.
Seketika aku sadar si monster telah mendobrak pintu.
"Nanti! Nanti!" seruku. Serta-merta aku mulai mengetik. "Aku mau menulis akhir
cerita ini," aku memberitahu Alex. "Aku akan menulis bahwa, si monster lenyap
begitu saja. Bahwa dia tak pernah ada. Bahwa Adam dan kedua petugas polisi tidak
apa-apa." PLOP...PLOP.... Alex dan aku memekik tertahan. Bunyi itu begitu dekat. Si
monster sudah sampai di atas, dan sedang menuju ke kamarku.
Aku sadar waktu untuk menyelesaikan ceritaku tinggal
beberapa detik. PLOP.... Persis di depan pintu kamarku.
Aku menahan napas, dan kalang kabut mulai mengetik.
Aku mengetik secepat mungkin sampai... "ADUUUH!"
"Ada apa?" seru Alex.
"Mesin tiknya macet!"
Berikutnya kami menjerit keras-keras ketika si monster masuk
ke kamarku. Chapter 30 TUBUH si monster bergerak naik-turun. Makhluk itu terengah-engah, dan seluruh
tubuhnya ikut bergoyang. Lendir putih menetesnetes ke lantai. Mulutnya yang melintang di perut membuka dan menutup,
membuka dan menutup. Lidahnya yang ungu menjilat-jilat bibir.
Matanya yang kecil menatapku dengan tajam.
Alex memekik tertahan dan mundur hingga punggungnya
menabrak dinding. "Cepat, Zackie - tulis akhir ceritamu!" teriaknya.
"Buat makhluk itu lenyap!"
"Aku tidak bisa!" sahutku panik. "Mes in tiknya macet! Tutsnya tidak bisa
kugerakkan!" "Zackie - ayo dong!" Alex memohon.
Aku melihat lidah ungu si monster menjulur keluar.
Lidahnya bergulir dari mulutnya, bagaikan gulungan selang air.
"JANGAAAN!" aku menjerit ketika lidah itu bergerak maju.
Menangkapku.... Menangkapku.... Jangan! Lidah itu melilit mesin tikku. Dan mengangkatnya dengan
mudah. Aku berusaha merebutnya. Tapi meleset. Tanganku malah mengenai lidah si monster. Lidahnya terasa
panas. Seolah-olah membara. Dan begitu lengket.
Sekonyong-konyong lidah itu tertarik ke belakang, bagaikan
terbuat dari karet. Mesin tikku terbawa ke dalam mulut monster yang menganga.
Dengan mata terbelalak aku menyaksikan mesin tikku hilang
ditelan si monster. Serta-merta aku berdiri di samping Alex. Kami merapatkan
punggung ke dinding, sementara tubuh si monster bergetar-getar
karena sedang mencerna mesin tikku.
"Matilah kita," Alex bergumam. "Mesin tikmu - dia
melahapnya. Sekarang kita tidak mungkin menghancurkan monster
itu." "Tunggu!" seruku. "Aku punya ide!"
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 31 AKU kembali ke meja belajar. Dan langsung mencari-cari
sesuatu. "Ada apa, sih?" seru Alex.
Sang monster menggerung-gerung sementara ia mencerna
mesin tikku. Tubuhnya bergoyang-goyang di tengah genangan lendir
di karpet. "Pulpen itu," kataku. "Pulpen itu..."
Aku membuka laci meja belajar dan melihat pulpen tua itu
tergeletak di bagian depan. Terburu-buru aku meraihnya, lalu menutup laci
kembali. Aku berbalik dan memperlihatkan pulpen itu kepada Alex. "Ini pulpen tua yang
kudapat dari wanita di toko barang antik. Barangkali pulpen ini juga punya
kekuatan gaib. Barangkali aku bisa mengakhiri ceritaku dengan pulpen ini - dan
sekaligus melenyapkan si monster!"
"Cepatlah...!" Alex memperingatkan.
Si monster sudah berhenti menggerung. Lidahnya yang ungu
kembali menjulur keluar. Aku menyambar selembar kertas dan membungkuk di atas
meja. Tutup pulpen kulepaskan dan kutempelkan ujungnya ke kertas.
"SI..." Aku menulis satu kata - dan merasakan sesuatu yang panas dan
basah menerpa wajahku. Lidah ungu itu menjilat-jilatku.
"Aduh!" aku memekik. Pulpenku nyaris terjatuh. Aku meraba-raba wajahku, dan
merasakan lendir yang panas dan lengket di pipi.
Perutku langsung serasa diaduk-aduk karena mual.
Lidah itu melilit pulpenku. Dan menariknya ke mulut si
monster. "Jangaaan!" Alex dan aku memekik bersamaan. Makhluk itu mengisap pulpenku, lalu
kembali menggerung-gerung.
"Sekarang bagaimana?" Alex bertanya sambil berbisik. "Apa yang harus kita
lakukan" Setelah ini pasti giliran kita!"
Aku melompat berdiri. Kursi belajarku terbalik dan jatuh
berdebam. Aku menjauhinya sambil memandang ke pintu. "Kita harus
kabur!" seruku. Tapi Alex mencegahku. "Tidak mungkin," katanya sambil
menghela napas. "Monster itu - dia menghalangi jalan. Kita takkan bisa
melewatinya." Ia benar. Si monster tinggal menjulurkan lidah dan menarik
kami ke mulutnya yang lebar.
"Lewat jendela saja!" seruku.
Goosebumps - Mesin Tik Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami berpaling ke jendela.
Tapi percuma. Jendela itu terkunci rapat-rapat karena kamarku
memakai AC. "Celaka," bisik Alex. "Celaka."
Kami kembali berpaling kepada monster pink yang berdenyutdenyut di depan pintu. Lalu aku mendapat ide lagi.
"Alex - kau masih ingat waktu Adam menambahkan kalimat
dalam ceritaku" Dan ternyata tidak terjadi apa-apa?"
Ia mengangguk, tapi matanya tetap terpaku pada si monster.
"Ya, aku masih ingat. Memangnya kenapa?"
"Nah," aku melanjutkan. "Bagaimana kalau ternyata aku yang punya kekuatan gaib"
Bukan mesin tik tua atau pulpen dari toko
barang antik" Mungkin aku tiba-tiba punya kekuatan gaib karena
keseterum waktu itu."
Alex menelan ludah. "Bisa jadi...."
"Barangkali aku penyebab semua ini!" aku berseru dengan berapi-api. "Aku tinggal
memikirkan sesuatu - dan apa yang
kupikirkan benar-benar terjadi. Aku tidak perlu mengetik atau
menulis. Aku cukup memikirkannya saja!"
"Bisa jadi...," ujar Alex sekali lagi.
Sebenarnya ia masih ingin mengatakan sesuatu... tapi si monster
tiba-tiba bergerak maju. Dan menjulurkan lidah ke arah kami.
"Ohhh...." Alex kembali merapat ke dinding. Lidah tebal itu menjilat-jilat
lengan Alex, meninggalkan lendir kental dan lengket di kulitnya.
"Cepat, Zackie! Pikirkan sesuatu!" Alex memekik. Lidah itu menekuk dan mulai
melilit Alex. "Bikin dia lenyap!" Alex memekik. "Cepat, Zackie! Cepat!"
Aku berdiri seperti patung ketika lidah itu melingkar di
sekeliling tubuh Alex. Dan mengangkatnya dari lantai.
Alex menjerit-jerit. Ia menendang-nendang dan mengayunayunkan tangan. Sambil menggeliat-geliut ia meraih lidah si
monster - dan mendorongnya sekuat tenaga.
Tapi sia-sia. Cengkeraman lidah menjijikkan itu malah semakin
erat. Aku memejamkan mata. Pikirkan sesuatu! aku berkata dalam hati. Cepat, pikirkan
sesuatu! Bayangkan monster itu lenyap.
Lenyap... lenyap... lenyap....
Aku menahan napas. Dan memusatkan pikiran. Apakah
usahaku akan berhasil"
Chapter 32 MONSTER itu lenyap. Itu yang kupikirkan. Monster itu lenyap... lenyap... lenyap....
Kata-kata itu terus kuulangi dalam hati. Kemudian aku
membuka mata. Dan ternyata monster itu memang sudah lenyap!
Alex berdiri di tengah ruangan. Ia tampak bingung. "K-kau
berhasil!" ujarnya, suaranya seperti tercekik.
Ternyata memang aku yang punya kekuatan gaib! aku
menyadari. Aku kembali memejamkan mata dan mulai berpikir lagi. Adam
kembali, pikirku. Aku membuka mata - dan melihat Adam berdiri di samping
Alex. Ia berkedip-kedip beberapa kali, lalu menatapku sambil
memicingkan mata. "Apa yang terjadi?" ia bertanya.
"Aku punya kesaktian!" seruku. "Aku yang punya - bukan mesin tik tua itu!"
"Apa maksudmu?" Adam kembali bertanya. "Kesaktian apa?"
Aku menggelengkan kepala. "Kau takkan mengerti," jawabku.
Alex mulai tertawa. Tanpa sadar, aku juga ikut tertawa.
Tawa gembira. Tawa lega. Kami bertiga berdiri di kamarku, tertawa dan tertawa dan
tertawa. Chapter 33 "NAH, bagaimana" Kau suka ceritaku?"
Si monster pink merapikan halaman-halaman yang baru
dibacanya, lalu menaruh semuanya di meja. Kemudian ia berpaling
pada temannya, si monster hijau.
"Kau yang mengarang itu?" tanya si monster hijau.
Si monster pink berdeguk-deguk karena bangga. "Ya. Kau
suka?" "Ya. Terima kasih kau mau membacakannya untukku," sahut temannya. "Ceritanya
seru sekali. Apa sih judulnya?"
"Serangan Manusia," jawab si monster pink. "Kau betul-betul suka?"
"Ya. Manusia-manusia itu benar-benar menjijikkan," balas temannya. "Kau tahu
bagian mana yang paling kusukai?"
"Yang mana?" "Waktu si monster memakan Adam. Itu lucu sekali!" seru
makhluk berkulit hijau itu. "Hanya ada satu kekurangan."
Si monster pink berayun naik-turun. Pembuluh-pembuluh darah
di ubun-ubunnya bertambah ungu. "Kekurangan" Kekurangan apa?"...
"Ehm...," ujar temannya. "Akhir kisahnya kurang bagus.
Kenapa kau menulis bahwa si manusia memejamkan mata, dan si
monster langsung lenyap. Itu kan terlalu sedih."
"Masa, sih?" tanya si monster pink. Sambil manggut-manggut ia lalu mengamati
cerita yang ditulisnya. "Ya," temannya menegaskan. "Seharusnya ceritamu berakhir dengan bahagia."
Si monster pink meraih tumpukan kertas di hadapannya. "Oke.
Kau benar. Akhir kisahnya akan kuubah. Aku akan menulis bahwa
semua manusia dimakan si monster!"
"Nah, begitu dong!" seru temannya. "Itu baru asyik!" END
Ebukulawas.blogspot.com Ksatria Negeri Salju 3 Shugyosa Samurai Pengembara 2 Pendekar Sakti Suling Pualam 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama