Ceritasilat Novel Online

Si Raja Cacing 1

Goosebumps - Si Raja Cacing Bagian 1


Chapter1 SEBELUM cacing-cacing itu menjadi beringas, sebelum mereka berkomplot untuk
membalas dendam, Todd Barstow benar-benar
menikmati kehadiran mereka.
Todd punya koleksi cacing tanah. Dia punya peternakan cacing
di ruang bawah tanah di rumahnya. Dia mempelajari mereka,
bermain-main dengan mereka, bereksperimen dengan mereka. Malah
kadang-kadang ada yang dibawanya jalan-jalan.
Dia juga suka menggunakan cacing-cacingnya untuk menakutnakuti orang lain. Terutama adik perempuannya, Regina. Dia sering mengangkat
cacing panjang berwarna ungu dan membiarkannya
bergelantungan di depan muka Regina. Kadang-kadang dia
memasukkan cacing ke dalam baju Regina, atau menjatuhkan seekor
ke rambut adiknya itu. Sahabat karib Regina pun tidak luput dari keisengan Todd.
Namanya Beth Baker, dan dia selalu menjerit-jerit dengan nada
melengking kalau Todd mengagetkannya dengan cacing yang gendut
dan licin. "Kau keterlaluan, Todd!" Beth biasa menggerutu sesudahnya.
Dan Todd selalu nyengir kesenangan.
Sobat kental Todd, Danny Fletcher, tak pernah mengerti kenapa
Todd begitu tertarik pada cacing. Tapi dia tahu persis betapa asyiknya
mengagetkan orang dan membuat mereka menjerit-jerit. Karena itulah dia dan Todd
bisa akrab. Todd dan Danny hampir selalu bersama-sama. Mereka bahkan
duduk bersebelahan pada waktu jam pelajaran Miss Grant. Keduanya asyik berbisikbisik dan merencanakan keisengan berikut.
Sebenarnya, tampang Todd sama sekali tidak seperti anak jail.
Malahan wajahnya justru tampak serius. Matanya berwarna cokelat
tua, begitu pula rambutnya yang berombak. Tapi rambutnya tak
pernah kelihatan, sebab selalu tertutup topi Raiders berwarna perak-hitam yang
dikenakannya siang dan malam.
Dia jangkung dan kurus. Ibunya suka berkomentar bahwa dia
sekurus cacing. Menurut Todd itu sama sekali tidak lucu. Bagi dia cacing
merupakan masalah serius.
Dari segi penampilan, Danny lebih pantas dibilang badut
ketimbang Todd. Mukanya bulat, pipinya gembung, rambutnya
keriting dan merah, dan senyumnya berkesan konyol. Matanya yang
biru selalu berbinar-binar kalau melihat Todd akan menjebak
korbannya dengan cacing yang besar dan basah.
Setiap kali Todd berhasil membuat seseorang menjerit karena
kaget, Danny langsung mendongakkan kepala, ketawa terbahakbahak, lalu menepuk punggung Todd dengan tangannya yang gendut.
Kemudian keduanya terpingkal-pingkal dan berguling-gulingan di
lantai sambil menikmati kemenangan mereka.
Mereka betul-betul menikmati kehadiran cacing-cacing itu.
Tapi setiap kali ada orang bertanya kenapa Todd begitu tertarik pada cacing,
tampang Todd jadi serius, dan dia menjawab, "Sebab aku ingin jadi ilmuwan kalau
sudah besar nanti." "Berapa banyak cacingmu?" Todd sering ditanya begitu.
"Belum cukup banyak," sahutnya selalu.
Dia selalu menggali-gali tanah untuk mencari lebih banyak
cacing lagi. Mencari-cari cacing "juara" - cacing yang panjang, ungu, dan gendut.
Dan berlendir. Lendir ini penting sekali.
***** Sepanjang Senin malam, hujan turun dengan lebat. Tanah masih
basah ketika Todd dan Regina berjalan kaki ke sekolah pada Senin paginya. Todd
tahu persis bahwa cacing-cacing bakal muncul di
permukaan tanah untuk mencari udara.
Todd menemukan Danny di pancuran air minum luar kelas
mereka. Danny menutup lubang pancuran dengan ujung jari, dan
kalau ada anak-anak yang lewat dia langsung mencipratkan air ke arah mereka.
Todd segera menghampiri Danny dan berbisik, "Temui aku di
base kedua di lapangan bermain, begitu bel istirahat berdering."
Danny mengangguk. Dia tak perlu bertanya kenapa. Dia tahu
bahwa tempat favorit Todd untuk mencari cacing adalah di belakang base kedua di
lapangan baseball. Tanah di situ gembur dan memang banyak cacingnya. Dan
setelah hujan lebat, tanpa susah payah mereka berdua bisa
mendapatkan sepuluh sampai lima belas cacing.
Todd menyimpan sekop kecil untuk berkebun serta ember
logam dengan tutup di locker-nya. Karena itu dia selalu siap kalau akan mencari
cacing. Pagi itu semua orang di kelas mereka sibuk membahas Pameran
IPA yang bakal diselenggarakan di gedung olahraga pada hari Sabtu.
Beberapa anak bahkan sudah merampungkan proyek masing-masing.
Debby Brewster berkoar bahwa dialah yang bakal memenangkan
hadiah utama yang berupa komputer, dengan membuat listrik. "Huh, kuno!"
seseorang berseru, dan semuanya tertawa. Seluruh kelas memang sudah muak dengan
tingkah Debby yang tak pernah berhenti
menyombongkan diri. Proyek Todd juga sudah hampir selesai. Dan tentu saja
proyeknya itu melibatkan cacing.
Dia membuat rumah cacing. Sebuah rumah kecil yang dirakitnya
dengan bantuan ayahnya, kira-kira sebesar rumah boneka. Satu sisinya dibuka dan
diberi kaca, sehingga bagian dalamnya kelihatan. Seluruh rumah diisi tanah. Dan
orang bisa melihat cacing-cacing - satu
keluarga cacing - melata dari satu kamar ke kamar lain.
Proyek Danny sama sekali tidak ada istimewanya. Dia membuat tiruan tatasurya
dengan menggunakan balon-balon.
Sebenarnya sih, dia kepingin ikut ambil bagian dalam proyek
Todd. Tapi Todd tidak mengizinkannya. "Aku tidak mau membagi komputer itu dengan
orang lain!" kata Todd.
"Tapi aku kan membantumu mencari cacing!" protes Danny.
"Aku mencari sendiri sebagian besar cacing-cacingku!" bantah Todd.
Karena itu Danny terpaksa membuat proyek sendiri. Dia
meniup balon-balon aneka warna dan menempelkan semuanya pada
selembar karton hitam. Sama sekali tak ada istimewanya.
"Kenapa kau begitu yakin bahwa kau yang bakal dapat hadiah
utamanya?" Danny bertanya pada Todd. Mereka sedang menuju ke lapangan bermain
pada jam istirahat. "Soalnya aku sudah lihat proyek-proyek yang lain," balas Todd.
"Proyekku adalah satu-satunya proyek dengan makhluk hidup.
Kecuali keong-keongnya Heather."
"Tapi Heather sudah lama bereksperimen dengan keongkeongnya," ujar Danny.
"Terus?" tanya Todd dengan nada menantang. "Keong sih untuk bayi. Keong sudah
kita pelajari di kelas satu dulu. Mana ada yang memedulikan keong di kelas enam"
Pokoknya, keong-keongnya Heather tak bakal bisa menyaingi cacing-cacingku."
"Hmm, benar juga," kata Danny sambil menggaruk-garuk
kepala. Setelah sampai di tempat tujuan, mereka jongkok di belakang
base kedua. Todd menyerahkan sekop cadangannya kepada Danny.
Selain mereka tidak ada siapa-siapa di lapangan bermain. Semua
murid sedang makan siang di dalam.
Tanahnya masih basah. Di mana-mana cacing kelihatan
menyembul dari lubang-lubang di tanah. Malah ada yang sudah
melata di permukaan. "Mereka nongol gara-gara hujan," kata Todd. Dia mulai
menggali. "Bagus!"
Dia sama sekali tidak menduga bahwa ada masalah besar yang
telah menunggunya di bawah tanah.
Chapter 2 "AWAS!" Todd berseru. "Hati-hati, dong! Lihat, tuh. Cacingnya jadi kebelah dua."
Danny malah nyengir. "Memangnya kenapa" Sekarang kau
punya dua cacing kecil."
"Tapi aku suka yang besar," balas Todd. Dengan hati-hati dia menggunakan
sekopnya untuk mengangkat seekor cacing yang
panjang dan gendut. "Berapa lagi sih yang kauperlukan" Perutku sudah
keroncongan, nih," Danny mengeluh sambil melirik ke gedung
sekolah di belakang mereka.
"Sebentar lagi, deh," ujar Todd sambil memasukkan cacing itu ke embernya. "Wah,
yang ini menggeliat terus."
Danny mengerang. "Anak-anak lain sedang makan siang, tapi
aku malah main lumpur di sini."
"Ini demi ilmu pengetahuan," Todd berkata dengan serius.
"Wow, coba lihat, nih! Yang ini hampir sebesar ular. Kau tidak kepingin
mengumpulkan ular?" tanya Danny.
"Tidak," Todd langsung menjawab sambil terus menggali.
"Kenapa tidak?"
"Sebab aku suka cacing," kata Todd.
"Oke, tapi apa alasan yang sebenarnya?" desak Danny.
"Orangtuaku tidak mengizinkannya," Todd bergumam.
Mereka terus menggali selama beberapa menit. Tiba-tiba tanah
mulai bergetar. Danny langsung melepas sekopnya.
"Apa itu?" dia bertanya.
"Hmm?" Rupanya Todd belum sadar.
Tanah terguncang lebih keras. Kali ini semuanya ikut
bergoyang. Todd terlempar ke depan dan terpaksa menahan badan dengan
kedua tangannya. Dengan heran dia menatap Danny. "Hei... jangan main dorong,
dong!" "Siapa yang main dorong" Aku tidak mendorong kau!" protes Danny.
"Kalau begitu apa...?" Todd masih sempat berkata. Tapi kemudian tanah kembali
terguncang, kali ini diiringi bunyi berderak-derak.
"A... ada yang tidak beres, nih!" Danny tergagap-gagap.
Tanpa berkata apa-apa lagi mereka mulai berlari. Tapi tanah
kembali bergetar dan bunyi berderak di bawah kaki mereka bertambah keras.
Bertambah dekat. "Gempa bumi!" Todd memekik. "Gempa bumi!"
Chapter 3 TODD dan Danny berlari melintasi lapangan baseball dan lapangan bermain, lalu
bergegas memasuki kantin.
Wajah keduanya tampak merah padam, dan kedua-duanya
tersengal-sengal. "Gempa bumi!" Todd berseru. "Ada gempa humi!"
Seketika suasana menjadi hening. Semua mata menoleh ke arah
mereka. "Cepat, masuk ke kolong meja!" teriak Danny dengan nada melengking. "Cepat!
Tanahnya bergoyang!"
"Gempa bumi! Gempa bumi!"
Tapi anak-anak yang lain cuma tertawa. Tak ada yang bereaksi.
Tak ada yang mau jadi korban lelucon konyol.
Todd melihat Regina dan Beth di salah satu meja di pinggir
jendela. Langsung saja dia dan Danny menghampiri mereka.
"Jangan dekat-dekat ke jendela!" Todd memperingatkan
adiknya. "Tanahnya terbelah!" Danny berseru.
Regina terbengong-bengong. Dia tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Anak itu memang gampang cemas, dan dia percaya
bahwa bencana selalu mengintai.
Tapi semua anak lain di kantin yang luas itu tertawa terbahakbahak. "Di Ohio tak pernah ada gempa bumi," sahut Beth singkat sambil menatap Todd
dengan pandangan melecehkan.
"Tapi... tapi... tapi..." Todd tergagap-gagap.
"Kalian tidak merasakannya?" tanya Danny. Napasnya masih.
terengah-engah dan wajahnya yang bulat masih merah padam. "Kalian tidak
merasakan tanah bergoyang-goyang?"
"Kami tidak merasakan apa-apa," balas Beth.
"Tapi masa kalian tidak mendengar apa-apa?" seru Todd.
"Aku... aku begitu ketakutan sampai kujatuhkan semua cacingku." Dia duduk di
kursi sebelah adiknya. "Tak ada yang percaya padamu. Sudah deh, Todd. Leluconmu
yang konyol ini gagal total," ujar Regina.
"Tapi... tapi..."
Regina berpaling dari kakaknya yang tergagap-gagap dan
kembali mengobrol dengan Beth. "Pokoknya, menurutku kepalanya terlalu besar
untuk badannya." "Ah, menurutku sih sudah pas," balas Beth.
"Belum. Kepalanya terpaksa kita copot lagi," Regina berkeras sambil menatap
mangkuk sup di hadapannya.
"Hah" Dicopot?" seru Beth. "Kau yakin" Kalau kepalanya dicopot lagi, bekasnya
nanti pasti kelihatan. Percaya, deh."
"Tapi bagaimana lagi dong kalau kepalanya terlalu besar?"
Regina memelas. "Kalian ini bicara apa, sih?" Todd bertanya dengan sengit.
"Bagaimana dengan gempa bumi tadi?"
"Todd, Beth dan aku sedang membahas proyek kami untuk
Pameran IPA," sahut Beth kesal.
"Yeah. Jangan ganggu kami. Kami lagi sibuk, nih!" hardik Regina. "Kami ada
masalah dengan Christopher Robin."
Todd tertawa mengejek. "Mana ada burung yang namanya
begitu." Regina menjulurkan lidah, lalu bergerak membelakangi
kakaknya. Dia dan Beth kembali membahas proyek mereka.
Kedua-duanya sependapat bahwa mereka seharusnya memilih proyek
yang lebih mudah. Dan leb ih kecil.
Mereka membuat model burung berukuran raksasa dari bubur
kertas. Semuanya persis aslinya, kecuali ukurannya.
Tapi dalam waktu singkat mereka menyadari bahwa bubur
kertas kurang sesuai untuk membuat tiruan makhluk hidup. Mereka
mengalami kesulitan ketika harus menyambungkan kedua sayap ke
badan burung mereka. Yang lebih sulit lagi adalah mengusahakan agar badannya
yang besar dan bulat bisa berdiri di atas kaki kayunya yang kecil.
Dan sekarang Regina merasa bahwa kepala burung itu terlalu
besar untuk badannya. Mereka telah menghabiskan satu kaleng cat berwarna jingga
untuk mencat dada burung itu. Kalau kepala burungnya terpaksa
dicopot dan dibuat baru itu berarti dadanya juga harus dicat lagi.
"Bagaimana kalau bagian atasnya saja yang dikerik?" Beth mengusulkan. Dia
mengambil keripik kentang terakhir dan meremas-remas bungkusnya dengan kedua
tangan. "Eh, aku boleh minta supmu sedikit?"
"Mau kauhabiskan juga boleh," balas Regina sambil
menyorongkan mangkuknya ke hadapan Beth. "Aku tidak begitu
lapar." "Setelah ini pasti ada gempa susulan," Todd memperingatkan sambil memandang ke
luar jendela. "Yeah. Selalu ada gempa susulan setelah gempa bumi," Danny membenarkan.
"Ya ampun, bagaimana mungkin kalian bisa tenang-tenang
membahas proyek kalian yang konyol"!" seru Todd.
"Proyek kami tidak konyol!" balas Beth gusar.
"Todd, kau makan cacing saja, deh!" ujar Regina. Itu ungkapan kegemarannya jika
sedang berhadapan dengan Todd. Paling tidak dia mengucapkannya sepuluh kali
sehari. "Beth memang lagi makan cacing," kata Todd sambil
mengamati mangkuk sup di hadapan gadis itu.


Goosebumps - Si Raja Cacing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danny tertawa. "Sudah deh, jangan macam-macam," Beth bergumam sambil
memutar-mutar bola mata. "Aku serius, kok," Todd berkeras. "Sup apa itu yang kaumakan?"
"Sup ayam," Beth menjawab ogah-ogahan. Dia mengambil
sesendok dan menghirupnya pelan-pelan.
"Hmm, di supmu ada cacing," ujar Todd sambil pasang
tampang serius. "Todd, ini tidak lucu," kata Beth.
"Berani taruhan?" tantang Todd.
"Taruhan" Apa maksudmu 'taruhan'?" tanya Beth.
"Aku berani bertaruh satu dolar bahwa ada cacing dalam
supmu," Todd menjelaskan. Matanya yang gelap tampak berbinar-binar.
Danny mencondongkan badannya ke depan. Wajahnya yang
bulat dihiasi senyum lebar. "Hmmm," ia bergumam sambil menjilat bibir. "Cacing
gendut berwarna ungu! Boleh kucicipi sedikit?"
"Kalian memang brengsek," Regina menggerutu.
"Taruhan satu dolar?" Todd kembali menantang tanpa
menggubris adiknya. "Oke. Satu dolar," kata Beth.
Dia meraih ke seberang meja dan bersalaman dengan Todd untuk
mensahkan taruhan mereka. Kemudian dia mengaduk-aduk supnya
dengan sendok untuk memperlihatkan bahwa tidak ada cacing.
Todd meraih ke bawah meja. Sambil tersenyum dia lalu
mengangkat tangan... dan menjatuhkan seekor cacing gemuk ke
mangkuk Beth. Cacing itu menggeliat-geliut ketika tercebur ke sup yang panas.
"Ihhh, joroknya!" Beth menjerit.
Danny tertawa terbahak-bahak. Punggung Todd ditepuknya
begitu keras, sehingga Todd nyaris terjungkal dari kursi.
"Ayo, bayar, Beth," tuntut Todd. "Kau kalah taruhan."
"Kalian betul-betul brengsek," Regina bergumam sambil
meringis. Dia segera memalingkan wajahnya agar tidak perlu
memandang ke dalam mangkuk sup.
"Jorok! Jorok!" Beth memekik-mekik.
Cacing itu berenang-renang di tengah sup.
"Tadi kau bilang cacing-cacingmu jatuh di luar," tuduh Regina.
Todd angkat bahu sambil nyengir lebar. "Aku bohong!"
Tawa Danny bertambah keras. Dia sampai menggedor-gedor
meja dengan tangan terkepal, sehingga mangkuk sup di atas meja itu ikut
terguncang-guncang. "Hei!" Senyum Todd tiba-tiba lenyap. Dia memandang keluar jendela, ke arah
lapangan bermain. "Lihat, tuh!" Dia menepuk pundak Danny, lalu menunjuk ke arah base kedua. "Ada
apa itu?" dia berseru.
Chapter 4 TODD menghampiri jendela dan memandang keluar sambil
menempelkan hidungnya ke kaca. "Sedang apa Patrick MacKay di tempatku menggali
cacing?" kalanya gusar.
Danny muncul di samping Todd. Sambil memicingkan mata dia
ikut menatap keluar. "Kau yakin itu Patrick MacKay?"
Langit tertutup awan-awan kelabu. Anak laki-laki di lapangan
bermain itu setengah terselubung bayangan. Tapi Todd tetap
mengenalinya. Si anak orang kaya yang sok dan angkuh. Patrick MacKay.
Dia tampak membungkuk di base kedua dan sepertinya sedang
sibuk bekerja. "Sedang apa dia di sana?" kata Todd lagi. "Itu tempatku menggali cacing!"
"Dia juga mencari cacing!" Regina berseru dari mcjanya.
"Hah?" Todd langsung berbalik. Adiknya tersenyum mengejek padanya.
"Patrick mencari cacing untuk Pameran IPA," Regina
menjelaskan dengan senyum 'hah-biar-tahu-rasa-kau' di bibirnya. "Dia juga bikin
proyek cacing!" "Tidak boleh begitu, dong!" Todd berseru dengan nada
melengking. "Hah! Dasar tukang jiplak!" Danny menimpali.
"Dia tidak boleh bikin proyek cacing! Aku yang bikin proyek itu!" Todd ngotot
sambil kembali memelototi Patrick melalui jendela.
"Boleh-boleh saja," balas Regina. "Ini kan negara bebas." Dia dan Beth tertawa
dan saling ber-high-five. Mereka senang sekali
karena kali ini Todd kena batunya.
"Tapi dia kan tidak suka cacing!" Todd masih terus memprotes.
"Dia tidak mengoleksi cacing! Dia tidak mempelajari cacing! Dia cuma mencuri
ideku!" "Lihat tuh, berani-beraninya dia menggali di tempatmu," Danny bergumam sambil
geleng-geleng kepala. "Patrick anak baik," ujar Beth. "Dia tidak pernah kurang ajar dan menjatuhkan
cacing ke dalam sup orang lain."
"Dia brengsek," Todd membantah dengan gusar. "Dia benar-benar brengsek."
"Dia brengsek dan tukang jiplak!" Danny menambahkan.
"Proyek cacingnya pasti jauh lebih bagus dari proyekmu,"
Regina mengejek kakaknya.
Todd langsung memelototinya. "Memangnya kau tahu apa
proyeknya" Kau tahu proyek Patrick?"
Regina tersenyum simpul. Dia menyibakkan rambutnya yang
cokelat. Kemudian menggerakkan tangan di depan mulutnya, seakanakan menutup ritsleting. "Aku tak bakal cerita," katanya.
"Apa proyeknya?" desak Todd. "Ayo, bilang dong."
Regina menggelengkan kepala.
"Beth!" ujar Todd dengan nada menuntut. "Cepat katakan apa proyek Patrick!" Dia
memicingkan mata untuk menggertak gadis itu.
"Hah, tak usah, ya," balas Beth sambil melirik ke arah Regina.
"Kalau begitu biar kutanya sendiri saja," Todd menggerutu.
"Ayo, Danny." Kedua anak itu mulai berlari melintasi kantin. Mereka sudah
hampir sampai di pintu ketika Todd menabrak guru mereka.
Miss Grant sedang mengangkat bakinya tingi-tingi untuk
melewati sekelompok murid dalam antrean. Todd tidak melihatnya.
Dia menabraknya dari belakang.
Miss Grant memekik kaget dan bakinya terpental dari
tangannya. Baki itu, beserta piring di atasnya jatuh ke lantai. Dan makanannya salad dan semangkuk spageti - jatuh menimpa
sepatunya. "Hati-hati dong!" dia menegur Todd.
"Uh....maaf," Todd bergumam. Itu satu-satunya jawaban yang
terpikir olehnya. Miss Grant membungkuk untuk memeriksa sepatunya yang
semula cokelat tapi kini telah berubah menjadi jingga karena
ketumpahan saus spagheti.
"Saya...saya tidak sengaja," Todd berkata sambil terburu-buru.
"Tentu," gurunya menyahut dengan dingin. "Barangkali ada baiknya kalau seusai
sekolah nanti kita berbicara soal kenapa kita tidak boleh berlari-lari di
kantin?" "Ya, nanti saja," ujar Todd. Kemudian dia melewati gurunya dan melesat ke luar
pintu. Belum pernah dia berlari sekencang itu.
"Makanya, lihat-lihat, dong!" seru Danny, yang berlari di sampingnya.
"Salahnya sendiri," kata Todd. "Kenapa dia tiba-tiba menghalangiku?"
"Eh, sebentar lagi bel berdering," Danny mengingatkan Todd ketika mereka keluar
lewat pintu belakang. "Masa bodoh," balas Todd sambil tersengal-sengal. "Aku harus tahu kenapa si
tukang jiplak itu sibuk menggali cacing."
Patrick masih membungkuk di belakang base kedua. Dia
mengais-ngais tanah dengan sekop kecil berwarna perak yang
sepertinya masih baru, lalu memindahkan cacing-cacing yang
ditemukannya ke dalam kaleng.
Anaknya langsing dan berwajah tampan, dengan mata biru dan
rambut pirang berombak. Baru bulan September yang lalu dia mulai sekolah di
sini. Keluarganya pindah dari Pasadena ke Ohio. Dia selalu bercerita bahwa
California jauh lebih nyaman daripada tempat
tinggalnya yang dulu. Dia tidak pernah menyombongkan harta orangtuanya. Tapi dia
mengenakan jeans dengan label perancang terkenal, dan setiap pagi dia diantar
ibunya naik Lincoln putih yang panjang. Todd dan murid-murid lain di William
Tecumseh Sherman Middle School langsung
menyimpulkan Patrick anak orang kaya.
Patrick teman sekelas Regina. Beberapa minggu setelah
kepindahannya ke William Tecumseh Sherman Middle School, dia
mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran dan mengundang semua
teman sekelasnya. Termasuk Regina.
Sepulang pesta Regina bercerita pada Todd bahwa Patrick
membuat taman hiburan di pekarangan belakang rumahnya, lengkap
dengan berbagai wahana dan atraksi. Todd berlagak tidak peduli
bahwa dia tidak diundang.
Langit semakin gelap ketika Danny dan Todd menghampiri
Patrick. "Hei, Patrick, sedang apa kau?" tanya Todd.
"Aku lagi gali lubang," sahut Patrick sambil menoleh.
"Cari cacing?" Todd bertanya sambil bertolak pinggang.
Patrick mengangguk. Dia mulai menggali lagi. Tak lama
kemudian dia menarik cacing berwarna cokelat yang panjang sekali.
Todd langsung melotot. "Aku sedang mengerjakan proyek cacing," Todd berkata kepada Patrick.
"Aku tahu," balas Patrick. "Aku juga."
"Kau mau bikin proyek apa, sih?" Danny angkat bicara.
Patrick diam saja. Dia menarik seekor cacing yang kecil dan
pucat, mengamatinya sejenak, lalu memparkannya ke rumput.
"Ayo, dong! Apa proyekmu?" desak Todd.
"Mau tahu?" tanya Patrick. Dia menatap Todd dengan matanya yang biru. Rambutnya
yang pirang diacak-acak angin, tapi segera
kembali ke posisi semula.
Todd merasakan bahunya terkena tetesan hujan. Lalu
kepalanya. "Apa proyekmu?" Todd mengulangi pertanyaan Danny.
"Oke, oke," ujar Patrick, sambil menepis tanah yang menempel di tangannya.
"Proyekku adalah..."
Chapter 5 BEL tanda jam pelajaran berikut dimulai pun berdering.
Bunyinya terdengar nyaring di tengah angin yang mulai menderuderu. Semakin banyak tetesan hujan berjatuhan dari langit.
"Ayo, kita masuk saja," ajak Danny sambil menarik-narik lengan baju Todd.
"Tunggu," ujar Todd. Dia menatap Patrick. "Cepat, apa proyekmu?" katanya dengan
nada memaksa. "Nanti kita terlambat!" Danny bersikeras. "Dan kita bakal kehujanan."
Patrick bangkit. "Nah, persediaan cacingku sudah cukup." Dia mengibas-ngibaskan
sekopnya untuk melepaskan tanah basah yang
melekat. "Jadi apa proyekmu?" Todd mengulangi, tanpa menggubris
hujan yang bertambah deras. Ajakan Danny untuk segera kembali ke kelas sama
sekali tak dipedulikannya.
Patrick tersenyum lebar, seakan-akan hendak memamerkan
giginya yang putih bersih. "Aku akan melatih mereka terbang,"
katanya. "Hah?" "Ya, mereka akan kuberi sayap dari karton, lalu semuanya akan kulatih terbang.
Lihat saja nanti. Pasti seru banget, deh!"
Danny mencondongkan badannya mendekati Todd. "Dia
serius?" tanyanya sambil berbisik.
"Dasar bodoh!" balas Todd ketus. "Dia cuma mengolok-olok kita!"
Danny langsung berpaling kepada Patrick. "Hei... jangan
seenaknya mempermainkan orang!" hardiknya.
"Kita sudah telat. Aku duluan, ya," ujar Patrick. Dia berbalik, hendak bergegas
menuju gedung sekolah. Todd cepat-cepat menghalanginya. "Ayo, Patrick, apa
proyekmu sebenarnya?"
Patrick sudah membuka mulut untuk menjawab. Tapi bunyi
gemuruh yang terdengar samar-samar membuatnya melongo.
Ketiga anak itu mendengar bunyi tersebut - bunyi gemuruh
tertahan yang membuat tanah bergetar.
Kaleng berisi cacing terlepas dari tangan Patrick. Matanya yang
biru terbelalak lebar karena kaget... dan ngeri.
Bunyi gemuruh tadi disusul suara berderak yang keras.
Sepertinya seluruh lapangan bermain terbelah dua.
"A... ada apa ini?" Patrick tergagap-gagap.
"Lari!" teriak Todd ketika tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar dan
berguncang. "LARI!"
Chapter 6 "KENAPA kau baru pulang" Ke mana saja sih kau" Ada gempa
bumi lagi, ya?" ejek Regina.
"Ha ha," sahut Todd sambil tersenyum kecut. "Danny dan aku tidak mengada-ada.
Memang ada gempa lagi. Kalau tidak percaya,
tanya Patrick saja. Dia juga merasakannya."
"Tapi kenapa orang-orang lain tidak tahu apa-apa?" tanya Regina. "Aku sempat
mendengarkan radio setelah pulang sekolah tadi, dan pembaca beritanya sama
sekali tidak menyinggung soal gempa."
Saat itu sudah hampir pukul lima sore. Todd dan adiknya
berada di garasi. Regina sedang berdiri di atas tangga aluminium sambil
mengerjakan burung raksasanya. Beberapa gumpalan bubur
kertas melekat di rambut dan bagian depan T-shirtnya.
"Aku tidak mau berdebat tentang gempa bumi tadi," ujar Todd sambil melangkah
maju. "Aku taku aku benar."
Hujan sebenarnya telah berhenti sebelum jam sekolah berakhir,
di sana-sini di depan garasi masih tergenang air. Sepatu kets Todd yang basah
berdecit-decit ketika dia menghampiri tangga Regina.
"Beth mana?" tanyanya.
"Ke dokter gigi. Behelnya perlu disetel," jawab Regina.
Wajahnya tampak berkerut-kerut penuh konsentrasi ketika berusaha melicinkan
paruh burung. "Aduh, susah amat, sih," gerutunya.
Todd menendang ban bekas yang disandarkan pada dinding
garasi. "Awas!" Regina berseru.
Segumpal bubur kertas mendarat di depan kaki Todd. "Hah,
tidak kena!" kata Todd sambil mengelak.
"Jadi, ke mana saja kau tadi?" tanya Regina.
"Aku ditahan Miss Grant di sekolah. Aku diberi ceramah
panjang-lebar." "Tentang apa?" Regina mundur sedikit untuk mengamati hasil karyanya.
"Biasa, soal lari-lari di sekolah," sahut Todd. "Eh, bagaimana kalian mau
membawa burung konyo l ini ke tempat pameran?"
"Digotong saja," balas Regina tanpa ragu sedikitpun.
"Burungnya memang besar, tapi ringan sekali. Barangkali kau mau membantu Beth
dan aku?" "Enak saja," kata Todd. Dia menggenggam sebelah kaki burung yang terbuat dari
gagang sapu dengan kedua tangan.
"Hei... jangan pegang-pegang!" seru Regina. "Nanti rusak!"
Todd langsung melepaskan tangannya.
"Kau cuma iri karena Christopher Robin akan memenangkan
komputer itu untuk kami," ujar Regina.
"Eh, Reggie... kau tahu kan, apa rencana Patrick MacKay
dengan cacing-cacingnya," bujuk Todd. "Kasih tahu aku, dong."
Regina turun dari tangga. Dia melihat cacing besar di tangan
Todd. "Untuk apa itu?" dia bertanya.
"Bukan untuk apa-apa." Todd tersipu-sipu.


Goosebumps - Si Raja Cacing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mau menjaili aku, kan?" tuduh Regina. "Bukan. Cacing ini cuma kuajak jalanjalan saja," kata Todd sambil tertawa.
"Brengsek," jawab Regina. Dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum bosan juga kau mengurusi cacing?"
"Belum," ujar Todd. "Jadi bagaimana, nih" Apa proyek Patrick?"
"Mau tahu?" tanya adiknya.
"Ya." "Aku sendiri juga tidak tahu," kata Regina. "Aku tidak tahu apa proyeknya."
Sejenak Todd menatapnya tajam. ''Kau benar-benar tidak tahu?"
Regina mengangkat sebelah tangannya, seakan-akan
bersumpah. "Aku benar-benar tidak tahu."
Tiba-tiba Todd mendapat ide. "Di mana rumah Patrick?"
tanyanya. Pertanyaan itu membuat Regina terkejut. "Kenapa
memangnya?" "Danny dan aku bisa ke rumahnya nanti malam," Todd
menjelaskan. "Akan kutanyakan padanya."
"Kau mau ke rumah Patrick?" tanya Regina.
"Aku harus tahu apa proyeknya!" Todd berseru. "Aku sudah kerja keras untuk
membuat rumah cacing, Reggie. Aku tidak mau
kalau Patrick si Penjiplak sampai meniru ideku."
Regina mengamati kakaknya sambil berpikir. "Dan apa imbalan untukku, kalau aku
beritahu di mana dia tinggal?"
Todd nyengir lebar. Dia mengangkat cacingnya. "Kalau kau
kasih tahu aku, aku takkan memasukkan cacing ini ke bajumu."
"Ha-ha." Regina menanggapinya dengan memutar-mutar bola mata. "Kalau begitu,
tidak jadi saja, deh."
"Ayo, dong!" Todd mendesak, sambil menggenggam pundak
adiknya. "Oke, oke. Jangan marah, dong. Patrick tinggal di Glen Cove,"
jawab Regina. "Kalau tidak salah, nomor 100. Rumahnya besar sekali.
Di balik pagar tinggi."
"Trims!" kata Todd.
Lalu, ketika Regina membungkuk untuk memungut gumpalangumpulan bubur kertas dari lantai, Todd cepat-cepat memasukkan
cacing yang dipegangnya ke baju adiknya itu.
Chapter 7 "ADUH, kenapa aku mau saja kaubujuk," Danny mengeluh.
"Orangtuaku sebenarnya sudah melarangku pergi. Tapi begitu mereka berangkat ke
toserba, aku langsung menyelinap keluar. Kalau sampai ketahuan..." Suaranya
semakin pelan, sampai akhirnya tak terdengar lagi.
"Tenang saja. Ini cuma makan waktu seperempat jam," ujar Todd, segera mengoper
persneling sepedanya, dan menggenjotnya
semakin cepat. Sepeda tua Danny menerobos genangan air di tepi
trotoar. Awan-awan kelabu telah menyingkir. Tapi angin masih bertiup
kencang, dingin, dan lembap. Matahari sudah satu jam terbenam. Kini bulan sabit
tampak melayang rendah di langit malam.
"Di mana rumahnya" Di Glen Cove?" Danny bertanya sambil tersengal-sengal.
Todd mengangguk. Dia kembali memindahkan persnelingnya.
Sepedanya masih baru, dan dia masih asyik mencoba-coba semua gigi yang ada.
Sebuah mobil mendekat dari arah berlawanan. Sorot lampunya
menyilaukan, sehingga Todd dan Danny terpaksa melindungi mata
mereka dengan sebelah tangan. Sepeda Danny menabrak trotoar dan
nyaris terbalik. "Brengsek!" dia menggerutu. "Kenapa orang itu menyalakan lampu
besar?" "Mana kutahu!?" balas Todd.
Mereka membelok ke Glen Cove, sebuah jalan lebar dengan
rumah-rumah mewah di tengah pekarangan-pekarangan luas. Jarak
antarrumah cukup jauh, dan masing-masing dipisahkan oleh
pepohonan lebat. "Kok tidak ada lampu jalanan?" Danny berkomentar. "Katanya ini daerah orang
kaya, tapi lampu jalanan saja tidak ada."
"Mungkin mereka lebih suka bergelap-gelapan," balas Todd.
"Supaya tidak banyak orang kemari."
"Ih, seram juga ya, di sini," ujar Danny pelan.
"Huh, penakut. Coba cari nomor seratus," Todd berkata dengan ketus. "Itu rumah
Patrick." "Wah, coba lihat rumah itu!" seru Danny. Dia mengurangi kecepatannya. "Persis
istana!" "Aku rasa nomor seratus ada di blok berikut," kata Todd sambil mendului
sahabatnya. "Apa yang akan kita katakan kepada Patrick?" tanya Danny sambil berusaha
mengejar Todd. "Akan kutanya apakah kita boleh melihat proyek cacing dia,"
sahut Todd. "Atau aku pura-pura mau membantu dia. Aku bisa
memberikan beberapa saran tentang cara beternak cacing."
"Bagaimana kalau Patrick menolak?"
Todd diam saja. Kemungkinan itu sama sekali tak terbayang
olehnya. Dia menarik rem, lalu menunjuk rumah besar di balik pagar
besi yang tinggi. "Tuh! Itu rumahnya."
Rem sepeda Danny berdecit-decit. Dia menjejakkan kakinya ke
jalanan yang basah. "Wow!"
Rumah itu berada di tengah-tengah pekarangan luas dan
dikelilingi pohon-pohon. Rumahnya gelap gulita. Tak satu lampu pun menyala.
"Kelihatannya tak ada orang," bisik Danny.
"Malah kebetulan," sahut Todd. "Barangkali kita bisa mengintip lewat jendela
ruang bawah tanah atau jendela kamar Patrick untuk melihat apa yang
dikerjakannya." "Yeah, mungkin," Danny menanggapinya dengan nada penuh kebimbangan.
Todd memandang berkeliling. Rumah Patrick ternyata satusatunya rumah di blok itu.
Todd dan Danny turun dari sepeda dan mulai menuntun sepeda
masing-masing. "Aku tidak menyangka Patrick tinggal di rumah yang
berantakan seperti ini," ujar Todd. Dia melepas topinya lalu menggaruk-garuk
kepala. "Ya ampun, rumahnya benar-benar tidak terpelihara."
"Barangkali orangtuanya suka gaya seperti ini," Danny
menduga-duga ketika mereka memarkir sepeda.
"Mungkin juga," ujar Todd.
"Orang kaya memang suka aneh-aneh," Danny berkomentar.
Dia melangkah ke teras dan menekan bel.
"Sok tahu!" Todd mencibir. Dia mengenakan topinya, menekan bel sekali lagi.
"Hmm, mungkin mereka semua pergi. Ayo, kita ke belakang," katanya sambil
melompat dari teras. "Untuk apa?" tanya Danny.
"Aku mau mengintip lewat jendela," kata Todd. Dia menyusuri bagian samping rumah
itu. "Siapa tahu kita bisa melihat sesuatu."
Keadaan di bagian belakang rumah ternyata lebih gelap lagi.
Satu-satunya sumber cahaya adalah cahaya bulan yang terpantul di salah satu
jendela di lantai atas. "Ini cuma buang-buang waktu," omel Danny. "Kita takkan bisa melihat apa-apa
kalau gelap begini. Lagi pula..."
Dia berhenti. "Apa lagi sekarang?" Todd bertanya dengan jengkel.
"Kau tidak dengar" Tuh, ada lagi," ujar Danny.
"Kedengarannya seperti geraman. Geraman binatang."
Todd tidak mendengar apa-apa.
Tapi dia melihat sosok berukuran raksasa berlari ke arah
mereka. Dia melihat sepasang mata merah yang menyala-nyala sepasang mata yang menatapnya tanpa berkedip.
Dan seketika dia sadar bahwa sudah terlambat untuk melarikan
diri. Chapter 8 "LARI!" teriak Danny.
Tapi Todd seakan-akan terpaku di tempat.
Ketika monster raksasa bermata merah itu berlari mendekati
mereka, Todd merapatkan punggung ke sebuah pintu samping.
Dan dia nyaris terjungkal karena pintunya tiba-tiba membuka.
Makhluk itu menggeram dengan buas. Cakarnya yang besar
berdebam-debam di tanah. "Masuk!" Todd memekik. "Danny... masuk ke rumah!"
Todd cepat-cepat memasuki rumah yang gelap gulita.
Jantungnya berdentum-dentum. Danny menyusul sambil terengahengah. Makhluk itu hendak menerjang mereka, tapi Todd keburu
membanting pintu. Cakar makhluk tersebut menabrak kaca pintu, membuat seluruh
daun pintu bergetar hebat.
"Anjing!" Todd berseru dengan suara parau. "Anjing raksasa yang galak!"
Anjing itu kembali menggeram, dan sekali lagi berusaha
mendobrak pintu. Kaca pintu dicakar-cakarnya.
"Anjing?" Danny memekik dengan nada melengking. "Aku pikir kita dikejar gorila!"
Keduanya berdiri dengan punggung menempel ke pintu,
menahannya agar anjing di luar tidak bisa mendobrak masuk. Dengan ngeri mereka
memperhatikan makhluk raksasa tersebut.
Anjing itu duduk di depan pintu sambil menatap mereka.
Matanya yang merah tampak menyala-nyala. Napasnya tersengalsengal dan lidahnya yang besar terjulur keluar.
"Sepertinya dia kelebihan gizi!" ujar Danny.
"Yeah, dia bisa ditunggangi seperti kuda!" Todd menimpali.
"Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" Danny bertanya sambil menoleh. Dia
memandang sekeliling ruangan yang gelap.
"Lama-lama dia akan pergi sendiri," ujar Todd, sambil menelan ludah. "Mudahmudahan." "Ya ampun, tempat ini berantakan sekali," kata Danny, lalu melangkah maju.
Todd mengikuti sahabatnya. Mereka ternyata berada di dapur.
Cahaya bulan yang pucat masuk melalui jendela. Tapi dalam keadaan remang-remang
pun, Todd langsung sadar bahwa ada yang tidak beres di rumah itu.
Rak-rak di dapur itu kosong dan tertutup debu. Tak ada
peralatan apa pun - tak ada pemanggang roti, tak ada oven
microwave, tak ada lemari es. Todd tak melihat piring, panci, atau wajan. Tempat
cuci piring pun kotor sekali.
"Aneh," gumam Danny.
Kedua anak itu menyusuri selasar pendek ke ruang makan.
"Hei, mana perabotnya?" Danny bertanya sambil memandang ke segala arah.
Ruangan itu kosong melompong.
"Barangkali mereka baru mau ganti perabot atau sebangsanya,"
Todd menduga-duga. "Ini tidak masuk akal," ujar Danny. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Keluarga
Danny kan kaya raya. Kau tahu sendiri kan, si Patrick selalu necis. Kotor
sedikit, dia sudah kalang kabut."
"Ini memang ajaib," kata Todd. "Kira-kira di mana ya, dia menyimpan proyek
cacingnya?" Mereka pindah ke ruang tamu. Sepatu kets mereka berdecitdecit di lantai yang penuh debu.
"Ini aneh," gumam Danny. "Betul-betul aneh."
Kedua-duanya melongo ketika mereka masuk ke ruang tamu
dan melihat sosok yang meringkuk di jendela.
Kulit wajah sosok itu telah terkelupas sebagian. Tulang
rahangnya kelihatan jelas, dan mulutnya tampak menyeringai.
Matanya yang cekung menyorot tajam ke arah mereka.
Chapter 9 JERITAN melengking kedua anak itu memecah keheningan
yang mencekam. "Cepat! Cepat!" Todd berseru. Dia mendorong Danny ke pintu dan mengikutinya
sambil terpontang-panting.
"Cepat! Cepat! Cepat!"
Mereka melewati ruang makan yang kosong. Melintasi dapur
yang penuh debu. "Cepat! Cepat!"
Todd segera meraih gagang pintu dan membuka pintu belakang.
Kedua-duanya segera menghambur keluar.
Anjing tadi sudah pergi"
Ya! "Ayo, lari!" teriak Todd.
Tapi Danny tak perlu disuruh. Dia sudah hampir sampai di
jalan. Kakinya yang pendek berayun kencang. Kedua tangannya
terjulur ke depan. Mereka melewati gerbang dan langsung naik ke sepeda masingmasing. Keduanya menggenjot dengan sekuat tenaga. Lebih cepat.
Secepat-cepatnya. Sampai kaki mereka terasa pegal, dan mereka
megap-megap. Kedua-duanya tak berani menengok ke belakang.
Siapa sosok mengerikan yang mereka lihat di rumah Patrick"
Dan kenapa rumah itu penuh debu dan kosong melompong"
Hampir sepanjang malam Todd berbaring di tempat tidur sambil
memikirkan pengalamannya.
Namun sampai keesokan paginya dia belum juga berhasil
memecahkan misteri tersebut.
Sambil menguap lebar, Todd mengenakan baju yang sama yang
dikenakannya kemarin. Kemudian dia menuju ke dapur untuk sarapan bersama
keluarganya. Dia berhenti di depan kamar Regina karena mendengar adiknya
tertawa. Mula-mula dia menyangka adiknya itu berbicara sendiri.
Tapi kemudian dia menyadari bahwa Regina sedang
menelepon. Pagi-pagi begini" Todd menempelkan telinganya ke daun pintu dan menguping
percakapan adiknya. "Ternyata berhasil juga, ya, Beth?" Todd mendengar Regina berkata. "Mereka
kuberi alamat yang salah." Regina kembali tertawa.
Tawa mengejek. Todd menjadi penasaran. Telinganya semakin rapat ke daun
pintu. "Todd terus mendesak-desak, dan aku tak mau menyia-nyiakan
kesempatan emas," ujar Regina. "Kau tahu ke mana aku menyuruhnya pergi?"
Hening sejenak. Todd menahan napas.
"Dia kusuruh ke rumah tua Fosgate," Regina memberitahu Beth. Dia tertawa. "Yeah.
Betul. Rumah kosong yang pernah dipakai untuk pesta Halloween. Yeah. Anak-anak
meninggalkan boneka dengan topeng seram di jendela."
Hening lagi. Todd mengertakkan gigi ketika adiknya tertawa puas. Dia gusar
sekali. Setiap otot di tubuhnya mengencang.
"Aku belum tahu, Beth. Aku belum ketemu dia pagi ini,"
Regina kembali berkata. "Aku dengar Todd pulang semalam. Dia langsung lari ke
kamarnya dan mengunci pintu. Dia seperti dikejar setan!"
Regina tertawa lagi. Todd menjauhi pintu kamar adiknya. Dengan geram dia
mengepal-ngepalkan tangan. Di ujung tangga dia berhenti. Wajahnya terasa panas
membara. Otaknya bekerja keras.
Hmm, rupanya Danny dan aku dipermainkan Reggie, pikirnya
kesal. Dia memberikan alamat lain, alamat rumah tua yang angker.
Ha-ha. Lucu sekali. Todd begitu kesal, rasanya ingin sekali dia berteriak.
Mulai sekarang Reggie takkan berhenti mengejekku, Todd


Goosebumps - Si Raja Cacing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari. Seumur hidup aku bakal diolok-olok olehnya.
Pintu kamar Regina terbuka dan gadis itu keluar dari kamar.
Dia sedang mengucir rambut cokelatnya.
Dia berhenti ketika melihat Todd berdiri di ujung tangga. "Nah, bagaimana
semalam?" dia bertanya sambil nyengir.
"Biasa saja," sahut Todd tenang. Dia menatap adiknya seakan-akan tidak terjadi
apa-apa. Senyum di wajah Regina berangsur-angsur lenyap. "Kalian jadi pergi ke rumah
Patrick" Kalian sempat menanyakan proyek
cacingnya?" gadis itu berusaha mengorek keterangan.
Todd menggelengkan kepala. "Tidak. Danny dan aku malas
pergi ke sana. Kami cuma nongkrong di rumah Danny," dia
berbohong. Sorot mata Regina mendadak redup. Dia menggigit bibir.
Kelihatan jelas bahwa dia kecewa sekali.
Todd berbalik, mulai menuruni tangga. Perasaannya sudah lebih
enak. Kamu mau main-main, Reggie" dia bertanya dalam hati.
Oke. Boleh saja. Tapi sekarang giliranku. Kali ini kau yang bakal jadi korban.
Todd tersenyum lebar. Dia sudah punya ide yang bagus sekali.
Chapter 10 TODD menggotong kardus itu dengan kedua tangan. Rumah
cacing yang ada di dalam kardus ternyata lebih berat dari dugaannya.
"Proyek saya harus ditaruh di mana?" tanyanya pada Mrs.
Sanger, sambil menahan kardusnya agar tidak terlepas dari tangan.
"Apa" Kau harus bicara lebih keras. Suaramu tidak
kedengaran," guru IPA-nya menyahut.
Suasana di ruang olahraga memang hiruk-piruk ketika para
peserta pameran menyiapkan proyek masing-masing sebelum pameran
dibuka. Suara mereka bercampur baur dengan suara meja dan kursi
yang diseret-seret. Di mana-mana ada orang yang sedang merakit
proyek dengan berbagai macam bentuk dan ukuran.
"Aduh, ribut sekali!" kata Todd.
"Aku tak bisa mendengar suaramu!" Mrs. Sanger berkata lagi.
Dia menunjuk meja panjang yang menempel di salah satu dinding.
"Kalau tidak salah, tempatmu di sebelah sana, Todd."
Todd hendak mengatakan sesuatu. Tapi tahu-tahu terdengar
bunyi kaca pecah serta teriakan nyaring seorang murid cewek.
"Itu bukan zat asam, kan?" Mrs. Sanger berseru dengan
waswas. Matanya terbelalak lebar. "Itu bukan zat asam, kan?" Dia melewati Todd
dan bergegas melintasi ruangan.
Todd memperhatikan anak-anak lain berkumpul di tempat
kejadian. Mrs. Sanger menerobos kerumunan itu dan semua orang
mulai bicara berbarengan.
Orang-orang di bagian lain ruang olahraga yang luas itu tak
sedikit pun menggubris keramaian tersebut, dan tetap sibuk dengan proyek masingmasing. Tribun penonton telah disiapkan. Sejumlah orangtua sudah
duduk sambil menanti pembukaan pameran serta penjurian proyekproyek. Todd mulai melintasi ruang olahraga sambil menggotong
kardusnya yang berat. Dia berhenti sejenak dan terkekeh-kekeh ketika melihat
Regina dan Beth. Mereka sedang mengatur posisi patung burung mereka yang
berukuran raksasa di dekat tribun.
Ukuran kepalanya kini sudah benar. Tapi sebagian bulu ekor
rupanya sempat tersangkut di suatu tempat, dan mereka sedang kalang kabut
berusaha memperbaiki kerusakannya.
Proyek mereka tidak bermutu, pikir Todd sambil nyengir.
Mana mungkin mereka memenangkan hadiah pertama.
Ketika berpaling dia melihat model tatasurya buatan Danny
tergantung pada dinding belakang. Danny menggunakan balon-balon
berwarna untuk mewakili planet-planet. Belum apa-apa, salah
satunya - yang paling dekat ke matahari - sudah kempis.
Menyedihkan, pikir Todd sambil geleng-geleng kepala. Betulbetul menyedihkan. Dia menghela napas. Kasihan si Danny. Seharusnya aku
mengizinkan dia ikut dalam proyekku.
Todd meletakkan kardusnya di atas meja yang telah disediakan
untuknya. "Perhatian, semuanya! Sepuluh menit lagi! Sepuluh menit!"
Mrs. Sanger mengumumkan. Tenang saja, pikir Todd. Dia membuka kardus dan mengeluarkan rumah cacingnya
dengan hati-hati. Ini baru sip! dia berkata dalam hati, seraya
membusungkan dada dengan bangga.
Rumah-rumahan itu memang bagus. Kerangkanya telah dipoles
sampai mengilap. Dan kacanya telah dibersihkan sampai tak satu noda pun tersisa.
Dengan hati-hati dia menaruh rumah-rumahan itu di atas meja,
lalu memutarnya sehingga sisi kaca menghadap ke tribun penonton.
Dia mengintip ke dalam. Cacing-cacing panjang berwarna cokelat dan ungu terlihat
melata dari ruang ke ruang.
Todd sangat berhati-hati ketika mengisi rumah-rumahannya
dengan tanah. Kemudian dia memasukkan lebih dari dua puluh
cacing, dan menutup rumah itu.
Betul-betul sebuah keluarga besar! pikirnya sambil nyengir.
Setelah mengatur posisi rumah cacingnya, Todd mengeluarkan
tanda yang telah dia buat dan menaruhnya di samping rumah itu.
Dia mundur selangkah untuk mengagumi hasil karyanya. Tapi
seseorang mendorongnya ke samping.
"Beri jalan. Beri jalan, Todd." Ternyata Mrs. Sanger. Todd sempat terheran-heran
ketika melihat gurunya itu membantu Patrick MacKay menggotong sebuah kardus
panjang ke mejanya. "Coba geser proyekmu, Todd," gurunya berkata. "Kalian harus berbagi tempat."
"Hah" Berbagi tempat?" Sebenarnya Todd merasa keberatan.
"Ayo, cepat sedikit," Mrs. Sanger mendesak. "Proyek Patrick ini cukup berat."
"Saya harus berbagi meja dengan Patrick?" Todd menggerutu.
Namun dengan patuh dia menggeser rumah cacingnya ke
samping. Kemudian dia berdiri di balik meja dan memperhatikan
Patrick beserta guru mereka menaruh kardus yang tingginya hampir dua meter.
"Itu satu cacing?" Todd berkelakar.
"Dasar konyol," gumam Patrick. Dia harus mengerahkan
segenap tenaga untuk mengangkat proyeknya ke atas meja.
"Ini jadi meja cacing kita," Mrs. Sanger berkata sambil menarik ujung kardus.
Patrick ikut menarik. Todd membelalakkan mata ketika melihat proyek Patrick.
"Sangat mengesankan, Patrick," Mrs. Sanger berkomentar sambil merapikan roknya.
Kemudian dia berpaling untuk membantu
yang lain. Todd terbengong-bengong. Proyek Patrick menjulang tinggi di
atas proyeknya sendiri. Lebih tinggi dari Patrick.
"Oh, ya ampun," Todd mengerang. Dia berpaling kepada
Patrick. "Ti... ti... tidak mungkin!" dia tergagap-gagap.
Patrick memasang papan berisi keterangan mengenai
proyeknya. Lalu dia mundur selangkah untuk memastikan bahwa
semuanya sudah beres. "Ya, inilah proyekku," dia memberitahu Todd.
Wajahnya berseri-seri. "Menara cacing!"
"Wow." Todd sebenarnya tidak sudi mengakui bahwa dia
merasa sangat terpukul. Tapi dia tak berdaya. Lututnya gemetaran.
Mulutnya menganga lebar. Sambil tergagap-gagap lagi, dia berkata,
"Tapi... tapi... tapi..."
Aduh, kacau-balau, deh! pikir Todd lesu.
Aku bekerja setengah mati untuk membuat rumah cacing. Tapi
Patrick ternyata malah membuat pencakar langit!
Ini tidak adil! Tidak adil!
Padahal selama ini Patrick tak pernah tertarik mengurus cacing.
Sambil melongo dia mengamati model yang terbuat dari kayu
dan kaca itu. Puluhan cacing tampak menggeliat-geliut di dalamnya.
Mereka melata dari lantai ke lantai. Bahkan ada beberapa ekor yang naik lift
kayu. "Todd... kenapa kau?" tanya Patrick.
"Ehm, aku... aku tidak apa-apa," balas Todd. Dia berusaha memaksa lututnya
berhenti gemetaran. "Kamu kelihatan agak pucat," ujar Patrick sambil menatap Todd dengan matanya
yang biru. "Ehm... proyekmu bagus juga, Patrick," Todd mengakui sambil mengertakkan gigi.
"Kau bisa memenangkan hadiah pertama."
"Masa, sih?" Patrick menyahut, seakan-akan pikiran itu tak pernah terlintas
dalam benaknya. "Trims, Todd. Idenya kudapat darimu. Tentang cacing, maksudnya."
Kamu mencuri ide itu, dasar maling! pikir Todd geram.
Aku punya satu saran untukmu, Patrick. Sana, makan cacingmu
itu! "Wow! Apa itu?" Suara Danny membuyarkan lamunan Todd.
Danny sedang mengamati hasil karya Patrick sambil terkagum-kagum.
"Ini menara cacing," Patrick menjelaskan dengan bangga.
Wajahnya berseri-seri. Danny mengamati menara itu sejenak, lalu berpaling kepada
Todd. "Kenapa bukan kau yang membuatnya?" dia berbisik pada sahabatnya.
Todd langsung menonjok bahu Danny. "Sudah, deh. Urus saja
balon-balonmu," gumamnya.
Danny berbalik dengan marah. "He! Jangan dorong aku begitu, dong!"
Suara Mrs. Sanger berkumandang melalui pengeras suara.
"Semua peserta dipersilakan mengambil tempat di samping proyek masing-masing.
Pameran sudah dimulai. Tim penilai akan segera
mulai berkeliling." Danny bergegas ke model sistem tatasurya-nya. Todd
memperhatikannya melewati koleksi batu yang diperagakan oleh
pemiliknya. Tangan Danny berayun-ayun, dan hampir saja dia
menyenggol batu-batu itu.
Kemudian Todd melangkah ke balik meja. Dia menepis setitik
debu yang menempel pada atap rumah cacingnya.
Mestinya kubuang saja ke keranjang sampah, dia mengomel
dalam hati. Lalu dia melirik kepada Patrick, yang berdiri di
sampingnya sambil tersenyum lebar. Tangan Patrick berada di kiri-kanan menaranya
yang megah. Si tukang jiplak bakal menang, pikir Todd dengan gusar.
Dia mendesah. Hanya ada satu hal yang dapat sedikit
menghiburnya. Dan ketika memandang ke seberang ruang olahraga,
dia menyadari bahwa hal tersebut sebentar lagi akan terjadi.
Ketiga anggota tim penilai - semuanya guru sekolah lain sedang berjalan ke arah Christopher Robin. Ketika mereka
membungkuk untuk memeriksa kaki patung burung itu, Todd cepatcepat menghampiri proyek adiknya itu.
Dia ingin melihat semuanya.
Salah satu anggota tim penilai, seorang wanita muda berbadan
gemuk dengan rompi kuning cerah, memeriksa bulu-bulu ekor
Christopher Robin. Rekannya, seorang pria dengan kepala botak yang berkilauan,
mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Regina dan
Beth. Anggota tim penilai yang ketiga berdiri membelakangi Todd.
Dia sedang mengelus-elus dada patung burung itu.
Reggie dan Beth tampak gugup sekali, Todd berkata dalam hati.
Dia berjalan melewati peragaan mengenai daur ulang sampah.
Ya, memang sudah seharusnya mereka gugup. Proyek mereka
konyol sekali. Todd berhenti beberapa langkah di depan tribun. Ternyata
banyak sekali orang yang datang untuk menyaksikan pameran itu, dia menyadari.
Dua pertiga tempat duduk di tribun sudah terisi, sebagian besar oleh orangtua
dan adik-adik para peserta.
Anggota tim penilai berkepala botak tadi membuat catatan
sambil mendengarkan jawaban-jawaban Regina dan Beth. Kedua
rekannya menatap paruh burung raksasa di hadapan mereka.
Todd maju selangkah. "Tali ini untuk apa?" tanya wanita berompi kuning kepada Beth.
"Hah" Tali?" Beth tampak kaget. Dia dan Regina menoleh dan mengamati paruh
burung mereka. "Tali yang mana?" tanya Regina.
Terlambat. Anggota tim penilai berompi kuning telah menarik tali itu.
Paruh Christopher Robin membuka, dan memperlihatkan
sesuatu yang sangat mengejutkan. "Ohhhh."
"Iih!" Para penonton di tribun terdengar menggerutu. Regina dan Beth
mulai menjerit. Chapter 11 CACING-CACING gendut menggeliat-geliut di dalam paruh
burung raksasa itu. Beberapa ekor jatuh dan menimpa kepala para anggota tim
penilai. Seekor cacing panjang berwarna ungu mendarat di kepala juri
yang botak. Wajah pria itu langsung merah padam.
Pagi-pagi sebelum pameran, Todd sempat memasukkan sekitar
tiga puluh cacing ke dalam paruh Christopher Robin. Dan dia senang sekali karena
sebagian besar ternyata masih ada di situ.
Orang-orang di tribun menggerutu dan mengomel.
"Menjijikkan!" seseorang berseru.
"Asyik! Asyik!" ujar seorang bocah.
Para anggota tim penilai langsung bertanya pada Regina dan
Beth apakah cacing-cacing itu memang sengaja dimasukkan.
Mrs. Sanger menatap mereka sambil mendelik. Kedua gadis itu
sibuk minta maaf. Rasakan pembalasanku, Todd berkata dalam hati.
Sekitar sepuluh sampai lima belas cacing menggeliat-geliut di
lantai. Todd berbalik untuk kembali ke mejanya.
"Itu dia! Kakak saya!" didengarnya Regina berseru. Todd menoleh dan melihat
Regina menuding-nudingnya. "Ini pasti ulah Todd! Ini pasti ulah Todd!"
Todd angkat bahu seakan-akan tidak bersalah. "Habis,
Christopher Robin kelihatan lapar sekali tadi... jadi dia kuberi makan!"
Sambil mengembangkan senyum lebar pada wajahnya yang
tampan, Patrick ber-high-five dengan Todd. "Wah, sukses juga, ya."
Todd sebenarnya enggan menerima ucapan selamat Patrick. Dia
tak sudi berteman dengan anak itu.
Dia melirik ke arah Danny. Sahabatnya itu sedang sibuk meniup
balon. Gelang-gelang yang mengelilingi Saturnus sudah terlepas. Dan salah satu
peserta tanpa sengaja telah membuat Pluto meledak.
Todd tersenyum. Dia puas. Leluconnya ternyata berhasil. Yeah,
membalas dendam memang nikmat sekali. Lain kali Regina pasti tidak berani macammacam lagi. Tapi senyum Todd mendadak lenyap ketika dia melihat
pencakar langit buatan Patrick, dan teringat kembali bahwa dia takkan
memenangkan hadiah pertama.
Petugas kebersihan sekolah menghabiskan beberapa menit
untuk membersihkan semua cacing. Para penonton di tribun bersorak-sorai ketika
orang itu memunguti cacing-cacing yang menggeliatgeliut, dan memasukkannya ke dalam kaleng kosong.
Setelah peristiwa tersebut acara pameran berlangsung dengan
tenang kembali. Tim penilai berpindah dari meja ke meja, mengajukan pertanyaan
dan membuat catatan. Todd menarik napas panjang ketika mereka menghampiri
mejanya. Jangan berharap terlalu banyak, dia berkata dalam hati.


Goosebumps - Si Raja Cacing di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah cacingku tidak ada apa-apanya dibandingkan menara cacing
buatan Patrick. Tiba-tiba Todd ingin mengguncangkan meja dengan keras.
Siapa tahu menara itu akan terbalik dan hancur, sementara rumahnya tetap utuh.
Barangkali bisa kuatur agar kelihatan seperti kecelakaan, pikir
Todd. Sebuah rencana busuk. Tapi dia tidak melaksanakannya.
Ketiga anggota tim penilai mengamati rumah-rumahan Todd
selama kira-kira sepuluh detik. Tak satu pertanyaan pun diajukan kepada Todd.
Kemudian mereka beralih ke menara Patrick dan
mengaguminya selama paling tidak lima menit. "Bagaimana caranya kau memasukkan
begitu banyak cacing?" tanya si juri berkepala botak.
"Lift-nya sangat menarik."
"Berapa banyak cacing yang ada di sini?"
"Apakah cacing bisa hidup dalam pencakar langit sungguhan?"
"Dan apa yang diperlihatkan proyek ini mengenai gaya tarik
bumi?" Heh, heh, heh, pikir Todd kesal.
Dia memperhatikan tim penilai memuji-muji proyek Patrick.
Hampir saja Todd berseru, "Dia Cuma tukang jiplak! Aku ahli cacing yang
sebenarnya! Aku penggemar cacing sejati!"
Tapi dia hanya berdiri sambil mengertakkan gigi dan mengetukngetukkan jarinya ke meja.
Sambil membuat catatan mengenai proyek Patrick, ketiga juri
pindah ke proyek berikut - Cairan dan Gas.
Patrick berpaling kepada Todd dan memaksanya untuk berhigh-five lagi. "Kapan-kapan kau boleh datang ke rumahku untuk melihat
komputerku yang baru," bisik Patrick. Tampaknya dia yakin sekali bahwa dia akan
keluar sebagai pemenang. Todd memaksakan tawanya. Dia berbalik badan... dan melihat
adiknya sedang melotot dari seberang meja.
"Tega-teganya kau, Todd," Regina mengecamnya sambil
bertolak pinggang. "Tega-teganya kau mengerjai Beth dan aku."
Todd cuma cengar-cengir. "Kau menyabot proyek kami!" Regina berseru.
"Ya, memang," balas Todd, masih sambil nyengir. "Salahmu sendiri. Kenapa kau
harus cari gara-gara?"
Regina hendak membentak kakaknya, tapi sebuah pengumuman
dari pengeras suara di atas kepala mereka menduluinya. "Hadirin yang terhormat,
pemenangnya telah ditetapkan!" ujar Mrs. Sanger.
Suasana menjadi hening. Semua terpaku di tempat masingmasing. "Tim penilai telah menentukan pilihan," Mrs. Sanger
mengulangi, dan suaranya memantul pada dinding-dinding berlapis
keramik. "Pemenang pertama Pameran IPA tahun ini adalah..."
Chapter 12 "PEMENANGNYA adalah..." Mrs. Sanger mengumumkan,
"Danny Fletcher dan model sistem tatasurya-nya!"
Sejenak penonton di tribun tidak bereaksi. Tapi kemudian
semuanya bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Teman-teman sekelas Todd pun ikut
bertepuk tangan. Todd menoleh, dan melihat Danny tersipu-sipu. Beberapa anak
menghampiri Danny untuk memberi selamat padanya. Danny cengarcengir, lalu membungkuk. Ruang olahraga itu seakan-akan meledak ketika setiap orang
mulai berbicara dengan yang lainnya. Para penonton mulai turun dari tribun dan
berjalan menuju meja-meja peragaan.
Ya ampun, yang benar saja! ujar Todd dalam hati. Dia melirik
ke arah Patrick, yang rupanya berpikiran sama.
Danny mengacungkan jempol ke arah Todd. Todd membalas
sambil geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba pundaknya didorong dari belakang. "Hei...," dia berseru dengan gusar,
lalu segera membalik. "Belum pergi juga?"
Regina memelototinya dengan kesal. "Kau harus minta maaf
karena telah merusak proyek kami!"
Todd tertawa. "Enak saja!"
Regina menggeram dan mengepalkan tangan. "Huh, makan
cacingmu itu!" teriaknya.
Masih sambil tertawa, Todd melepaskan dinding belakang
rumah-rumahannya dan mengambil seekor cacing panjang berwarna
cokelat. Cacing itu digoyang-goyangkannya di depan muka Regina.
"Nih, kau duluan, deh."
Regina tak sanggup lagi mengendalikan kemarahannya.
Sambil menjerit, dia menerjang Todd dan mendorongnya ke
belakang. Todd terhuyung-huyung... dan menabrak meja. Beberapa anak
memekik kaget ketika menara cacing mulai miring... dan miring... dan miring...
"Aduh!" teriak Patrick. Dia mengulurkan kedua tangan untuk menahan hasil
karyanya. Tapi meleset. Model raksasa yang terbuat dari kayu dan kaca itu terjungkal,
dan jatuh ke meja sebelah.
"Ya, ampun!" seorang gadis berseru. "Itu proyek Cairan dan Gas! Awas... proyek
Cairan dan Gas tertimpa!"
Tanah dari pencakar langit yang telah terbalik berserakan di
mana-mana. Beberapa cacing terlihat menggeliat-geliut di atas meja.
Todd mendengar seruan-seruan panik ketika dia berusaha
bangkit. "Cairan dan Gas!"
"Asap apa itu?"
"Apa yang pecah" Ada jendela yang pecah?"
"Proyek Cairan dan Gas!"
Asap putih yang tebal tampak bergulung-gulung dari botol kaca
yang tertimpa pencakar langit.
"Semuanya keluar!" seseorang berteriak. "Semuanya keluar!
Sebentar lagi bakal meledak!"
Chapter 13 LEDAKAN itu tak sampai memakan korban.
Hanya ada beberapa macam gas aneh yang terlepas dan selama
beberapa waktu ruang olahraga dikuasai bau-bauan yang membuat
orang mengerutkan hidung mereka.
Puluhan cacing terlempar ke segala arah, dan selain itu masih
ada banyak pecahan kaca yang perlu dibereskan.
Tapi ledakannya tidak seberapa, Todd memberitahu
orangtuanya setelah pulang ke rumah. "Sungguh, cuma ledakan kecil.
Sepuluh atau lima belas tahun dari sekarang takkan ada yang
mengingatnya lagi." ***** Beberapa hari kemudian Todd menuruni tangga ke ruang
bawah tanah sambil membawa kardus putih berukuran kecil. Dari
bawah terdengar bunyi pang-pong, seperti bunyi bola pingpong yang dipukul.
Regina dan Beth sedang bermain pingpong. Mereka menoleh
ketika Todd muncul. "Makanan Cina?" tanya Beth sambil menunjuk kardus yang
dibawa Todd. "Bukan. Cacing," balas Todd. Dia melintasi ruangan dan menghampiri akuarium
berisi tanah yang telah berubah fungsi menjadi tempat tinggal cacing.
"Kau masih juga memelihara cacing?" Beth bertanya sambil memutar-mutar bet
pingpongnya. "Kau sudah lupa kejadian di
Pameran IPA?" "Itu cuma kejadian sepele," balas Todd ketus.
"Huh!" dengus Regina.
Todd menatap adiknya dengan heran. "Hei, kau sudah mau
bicara denganku?" Regina begitu kesal, sehingga sama sekali tak pernah menegur
Todd setelah bencana di Pameran IPA.
"Jangan mimpi," Regina mencibir. "Aku takkan pernah lagi bicara padamu."
"Sudahlah," Todd bergumam. Dia membuka kardus dan
menumpahkan cacing-cacingnya ke dalam akuarium.
Pang-pong. Regina dan Beth melanjutkan permainan mereka.
"Kejadian di Pameran IPA sebenarnya bukan tragedi, tahu?"
Todd berseru kepada mereka. "Ada orang yang menganggapnya lucu."
Dia terkekeh-kekeh. "Yeah, orang yang tidak waras," Beth bergumam.
Regina memukul bola dengan keras. Bolanya tersangkut di net.
"Gara-gara kau semuanya jadi kacau," dia menuduh Todd dengan geram. "Seluruh
pameran jadi kacau-balau."
"Dan kau juga merusak proyek kami," Beth menambahkan
sambil meraih bola. "Gara-gara kau, kami jadi kelihatan seperti orang bodoh."
"Terus?" Todd menyahut sambil tertawa.
Regina dan Beth pasang tampang kencang.
"Kalian sendiri yang cari perkara," Todd berkata kepada mereka. "Kenapa kalian
menyuruh Danny dan aku ke rumah tua yang seram itu?" Todd menggunakan sekop
kecil untuk mengaduk-aduk tanah di dalam akuarium.
"Hah, kau toh takkan bisa menang," ujar Regina dengan nada mengejek. "Rumahrumahanmu tidak ada apa-apanya dibandingkan pencakar langit buatan Patrick."
"Ayo, akui saja, deh... kau iri pada Patrick, kan!" Beth menuduh.
"Iri pada tukang jiplak itu?" seru Todd. "Bah, dia tidak tahu apa-apa tentang
cacing. Dia bahkan tidak bisa membedakan mana
ekor, mana kepala." Regina dan Beth kembali bermain. Pukulan Beth meleset dan
bolanya melayang ke seberang ruangan.
Todd menangkapnya dengan sebelah tangan. "Sini, deh," dia berkata. "Ada yang mau
kuperlihatkan." "Tak usah, ya," sahut Regina sinis.
"Kemarikan saja deh bolanya," ujar Beth, sambil mengulurkan tangan untuk
menangkapnya. "Sini, deh. Ada yang asyik, nih," Todd berkeras sambil nyengir.
Dia menarik cacing panjang dari akuarium dan mengangkatnya
tinggi-tinggi. Cacing itu menggeliat-geliut dan meronta-ronta ingin membebaskan
diri. Regina dan Beth tidak beranjak dari tempat mereka. Tapi Todd
melihat bahwa mereka memperhatikannya.
Todd meletakkan cacing panjang itu di meja dan meraih pisau
lipat. "Lihat, nih!" Dengan suatu gerakan cepat, dia membelah cacingnya menjadi
dua bagian. "Idih!" Beth berseru sambil meringis.
"Kau keterlaluan!" Regina menimpali. "Kau betul-betul keterlaluan, Todd."
"Coba perhatikan dulu!" kata Todd.
Semuanya memandang ke meja ketika kedua belahan cacing itu
mulai merayap ke arah berlawanan.
"Nah, kan!" seru Todd sambil tertawa. "Sekarang cacingnya ada dua."
"Ih, menjijikkan," adiknya bergumam.
"Menjijikkan sekali," Beth sependapat. Dia menggelenggelengkan kepala. "Coba kalau manusia juga bisa begitu," kata Todd. "Bayangkan saja. Bagian bawah
kita pergi ke sekolah, sedangkan bagian atasnya tinggal di rumah dan nonton TV!"
"Hei! Coba lihat, tuh!" seru Regina tiba-tiba. Dia menunjuk ke akuarium.
"Hah" Ada apa?" tanya Todd sambil menoleh.
"Cacing-cacingmu itu... mereka mengawasimu!" ujar Regina.
"Tuh! Semuanya memandang ke arahmu!"
"Yang benar saja," gumam Todd. Tapi dia menyadari bahwa Regina benar. Tiga
cacing tampak menyembulkan kepala dari tanah
dan sepertinya memandang ke arah Todd. "Kau cuma mengada=ada,"
Todd berkomentar. "Sungguh, tadi mereka mengawasimu!" Regina berkeras. "Aku melihat mereka
memandang ke arahmu waktu kau membelah cacing
itu." "Cacing tidak punya mata! Mereka tidak bisa melihat!" Todd menanggapinya. "Tidak
mungkin mereka mengawasiku. Itu omong kosong! Itu..."
"Tapi nyatanya memang begitu, kok!" Regina menegaskan.
"Cacing-cacing itu marah," Beth menimpali sambil melirik kepada Regina. "Mereka
marah karena teman mereka kaubelah dua."
"Sudahlah," kata Todd. "Jangan berkhayal yang bukan-bukan, oke?"
"Mereka mau membalas dendam, Todd," ujar Regina. "Mereka melihat perbuatanmu.
Dan sekarang mereka sedang merencanakan
balas dendam." Todd tertawa mengejek. "Memangnya aku sebodoh kalian!" dia berseru. "Aku tidak
bisa ditipu. Mana mungkin aku percaya omong kosong seperti itu."
Regina dan Beth cekikikan, lalu kembali bermain pingpong.
Todd memasukkan kedua belahan cacing ke dalam akuarium.
Tapi dia sempat terkejut ketika melihat empat cacing lagi menyembul dari tanah.
Dan semuanya menoleh ke arahnya.
Todd memperhatikan cacing-cacing itu. Ucapan Regina dan
Beth masih terngiang-ngiang di telinganya.
Omong kosong, dia berkata dalam hati. Cacing-cacing ini tidak
mungkin memperhatikan aku. Atau begitukah mereka"
Chapter 14 "TODD... bangun!"
Todd mengedip-ngedipkan mata. Perlahan-lahan dia duduk di
tempat tidur dan mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk meregangkan otot.
"Bangun, Todd, bangun! Ayo, cepat sedikit!" ibunya berseru dari kaki tangga.
Kenapa Mom harus menyerukan kata-kata yang sama setiap
pagi" Todd bertanya-tanya. Selalu "Bangun, Todd, bangun!" Sekali-sekali yang
lain, dong. Biar ada variasi.
Sambil menggerutu Todd menurunkan kakinya ke lantai.
Coba kalau aku punya weker merangkap radio seperti Regina,
Petir Di Mahameru Dua 1 Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah Budi Kesatria 9

Cari Blog Ini