Goosebumps - Pantai Hantu Bagian 2
Kemudian terdengar bunyi mengepak-ngepak, mengibas-ngibas.
Semakin lama semakin keras.
"Bunyi apa itu?" seru Terri. Suaranya yang melengking
memantul-mantul dari dinding gua.
Sebelum aku sempat menyahut, bunyi itu sudah sedemikian
keras sehingga memekakkan telinga.
"Ahhh!" Teriakanku sama sekali tak terdengar di tengah
gemuruh yang mengerikan itu.
Aku menoleh ke atas dan melihat langit-langit gua yang hitam
runtuh dan menimpa kami. "AAHHHHH!" Aku terus menjerit sambil tiarap di lantai gua yang basah.
Secara naluriah aku melindungi kepalaku dengan kedua belah tangan.
Aku menunggu. Menunggu tubuhku diremukkan berton-ton
batu karang. Bunyi hiruk-piruk di atas kepalaku seakan berputar-putar.
Kemudian terdengar siulan nyaring yang melengking tinggi.
Jantungku berdebar-debar ketika aku memberanikan diri untuk
mengintip. Aku membelalakkan mata. Ribuan kelelawar terbang di
atas kami. Ribuan kelelawar hitam terbang mondar-mandir, mengepakngepakkan sayap, menukik-nukik.
Langit-langit gua ternyata masih utuh.
Rupanya Terri dan aku membangunkan kawanan kelelawar itu
ketika kami memasuki gua tempat tinggal mereka. Kini mereka
mendesis-desis sambil terbang rendah di atas kepala kami.
"Terri! Cepat keluar!" aku berseru sambil membantu adikku
berdiri. "Aku benci kelelawar!"
"Pantas Brad dan Agatha melarang kita masuk ke gua ini!"
Terri berteriak untuk mengalahkan gemuruh ribuan sayap yang
mengepak-ngepak. Tanpa pikir panjang kami berbalik untuk menyelamatkan diri.
Namun kemudian aku berhenti karena melihat cahaya berkelap-kelip
di seberang gua. Tinggal sedikit lagi. Kalau kami maju sedikit lagi, misteri ini
bisa kami pecahkan. Dan setelah itu kami tidak perlu lagi memikirkan gua
mengerikan ini. "Ayo," seruku. Terburu-buru aku meraih tangan Terri dan
menariknya ke depan. Kelelawar-kelelawar itu terbang rendah, seakan-akan hendak
menyambar kepala kami. Terri dan aku terpaksa berlari sambil
merunduk. Kami menuju dinding belakang gua. Lalu memasuki
terowongan sempit lainnya, yang juga meliuk-liuk. Aku merapatkan
punggung ke dinding terowongan, dan maju sambil meraba-raba. Terri
terus menggenggam tanganku yang satu lagi.
Cahaya redup itu bertambah terang.
Kami sudah dekat. Terowongan itu pun berakhir di sebuah ruangan yang kira-kira
sama besarnya dengan ruangan pertama tadi. Terri dan aku harus
melindungi mata dengan tangan, sebab di hadapan kami ada cahaya
terang yang menari-nari. Aku maju beberapa langkah. Perlahan-lahan. Aku mau memberi
kesempatan pada mataku untuk membiasakan diri dengan cahaya yang
terasa menyilaukan itu. Kemudian aku menoleh lagi.
Lilin. Aku melihat lusinan lilin pendek berwarna putih, tersebar
di seluruh gua. Semuanya menyala. Semuanya menari-nari. "Inilah jawaban
misteri kita," bisikku. "Cahaya lilin yang menari-nari."
"Apanya yang terjawab"!" protes Terri. "Siapa yang menaruh lilin-lilin ini di
sini?" Tiba-tiba kami melihat laki-laki itu.
Seorang laki-laki tua dengan rambut putih panjang dan hidung
menyerupai paruh burung. Dia duduk membungkuk di meja yang
terbuat dari sebatang kayu.
Orangnya pucat dan kurus sekali. Kemejanya yang panjang
tampak kebesaran untuknya. Dia seakan-akan ikut berkelap-kelip
bersama cahaya lilin yang menyelubunginya.
Seakan-akan merupakan bagian dari cahaya itu. Bagian dari
cahaya yang menyeramkan. Terri dan aku langsung berhenti. Kami menatapnya sambil
berdiri seperti patung. Apakah dia melihat kami" Apakah dia hidup"
Ataukah kami berhadapan dengan hantu"
Dia menoleh pelan-pelan. Matanya besar, gelap, dan cekung.
Perlahan-lahan dia membengkokkan jari telunjuknya yang
tinggal tulang berbungkus kulit. "Sini, kalian," katanya dengan suara parau.
Dan sebelum kami sempat bergerak, dia sudah berdiri dan mulai
menghampiri kami. Chapter 14 SEBENARNYA aku ingin berbalik dan lari. Tapi kakiku
seakan-akan menempel di tempat.
Seakan-akan ditahan oleh sosok menakutkan itu, supaya aku
tidak bisa kabur. Terri menjerit tertahan. Dia menabrakku dari belakang.
Mungkin dia tersandung. Tapi benturan itu menyebabkan kami
bisa bergerak lagi. Sekali lagi aku menatap sosok pucat di hadapan kami.
Tubuhnya yang kurus seolah-olah berpendar karena memantulkan
cahaya Dia terus mendekati kami. Aku melihat senyumnya yang
mengerikan. Matanya yang gelap menatap kami dengan pandangan
kosong, bagaikan kancing hitam yang dipakai sebagai mata orangorangan salju. Kami tak tahan lagi. Serta-merta kami berbalik dan melarikan
diri. Terri berlari mendahuluiku. Langkahnya terdengar mengentakentak di lantai terowongan yang basah. Sambil terpeleset-peleset dan tersandungsandung, aku berusaha mengimbangi langkah adikku.
Kakiku terasa berat sekali. Pelipisku berdenyut-denyut begitu
keras, sehingga aku khawatir kepalaku akan pecah.
"Lari! Lari! Lari!" teriakku tanpa henti.
Aku menoleh dan memandang ke belakang.
Dia mengejar! "Ahhh!" jeritku.
Seharusnya aku jangan menoleh.
Tiba-tiba kakiku tersandung tonjolan batu - dan aku kehilangan
keseimbangan. Aku terjerembap di batu yang keras.
Napasku terengah-engah. Cepat-cepat aku berbalik.
Aku tak dapat berbuat apa-apa ketika hantu itu menjulurkan
tangannya yang kurus kering, dan berusaha meraih leherku.
Chapter 15 AKU menjerit ketakutan. Tergopoh-gopoh aku berusaha
bangkit dan menjauh dari tangannya yang menggapai-gapai.
Terri menyaks ikan adegan itu dengan mata terbelalak.
Mulutnya menganga lebar. Sepertinya dia ingin berteriak, tapi
suaranya tak kunjung terdengar.
Hantu itu mengerang tertahan ketika menjangkau dengan kedua
tangannya. Aku seakan-akan mendapat suntikan tenaga baru.
Terri dan aku sama-sama berlari menyusuri terowongan yang
sempit dan berkelok-kelok. Menerobos gua kelelawar, yang kini telah
kosong dan sunyi. Sampai ke mulut gua. Kemudian kami merosot lewat batu karang yang basah karena
embun. Turun, terus turun, sampai ke pantai yang bermandikan
cahaya bulan. Aku menoleh ke belakang.
Mulut gua tampak gelap gulita. Lebih gelap ketimbang langit
malam. Kami berlari menyusuri pantai, lalu membelok ke hutan. Terri
dan aku sama-sama terengah-engah ketika kami sampai di rumah Brad
dan Agatha. Aku membuka pintu. Terri masuk lebih dulu. Aku menyusul
sambil terhuyung-huyung, lalu cepat-cepat membanting pintu.
"Terri! Jerry! Kalian sudah pulang?" Agatha memanggil dari dapur. Dia muncul
sambil menyekakan tangan pada lap piring
bermotif kotak-kotak. "Bagaimana?" dia bertanya. "Ketemu?"
"Hah?" Aku sampai melongo. Napasku masih tersengal-sengal.
Apakah kami ketemu hantu di gua"
Itukah yang ditanyakan Agatha"
"Ketemu, tidak?" dia mengulangi. "Mana handuknya?"
Kemudian dia menatap sambil mengerutkan kening dengan
heran ketika Terri dan aku terbahak-bahak karena lega.
**** Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku terus teringat pada hantu
itu. Pada rambutnya yang putih dan kusut. Pada matanya yang cekung.
Pada tangannya yang kurus kering, yang berusaha menjangkauku.
Dalam hati aku terus bertanya-tanya apakah Terri dan aku
seharusnya menceritakan pengalaman kami kepada Brad dan Agatha.
"Tidak usah deh," aku sempat berusaha meyakinkan adikku
sebelum kami beranjak tidur. "Nanti kita malah dimarahi karena nekat masuk ke
gua itu." "Lagi pula, mereka toh takkan percaya," Terri menimpali.
"Ya. Dan untuk apa kita harus membuat mereka kalang kabut?"
aku menambahkan. "Mereka begitu baik terhadap kita. Tapi kita
malah nekat masuk, padahal sudah mereka larang."
Jadi kami tidak bercerita mengenai hantu mengerikan yang
dikelilingi lilin di dalam gua seram itu.
Tapi sekarang, saat aku berbaring di tempat tidur dan bergulingguling ke kiri-kanan, pikiranku jadi tidak tenang. Dan aku menyesal
karena telah merahasiakan pengalaman kami dari Brad dan Agatha.
Meskipun aku masih gerah karena udara malam yang panas,
aku menarik selimut sampai ke dagu. Kemudian aku memandang ke
jendela. Di balik tirai yang melambung karena tertiup angin, aku
melihat bulan bersinar dengan cerah.
Tapi cahaya bulan itu malah membuatku merinding, karena
mengingatkanku pada hantu berkulit pucat itu.
Tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh sebuah bunyi yang
terdengar pelan-pelan. Tap tap. Tap tap tap. Aku langsung duduk tegak.
Bunyi itu terdengar lagi. Tap tap. Tap tap tap.
Dan kemudian aku mendengar bisikan yang membuat bulu
kudukku berdiri, "Sini, kau."
Tap tap tap. "Sini, kau." Seketika aku sadar bahwa hantu itu berhasil me-lacakku
sampai ke rumah. Chapter 16 "SINI, kau.". Aku duduk seperti patung. Seluruh tubuhku terasa kaku karena
dicekam ketakutan. Tak berdaya aku menatap wajah yang muncul di
jendelaku. Mula-mula aku cuma melihat rambut yang pucat. Lalu kening
lebar. Kemudian sepasang mata biru, yang tampak berbinar-binar
karena pantulan cahaya bulan.
Nat! Dia menatapku sambil menyeringai.
"Nat!" aku berseru dengan lega. Serta-merta aku melompat dari tempat tidur dan
bergegas ke jendela yang terbuka.
Nat tertawa cekikikan. Aku mengintip ke luar. Nat berdiri di pundak Sam, yang sedang
berlutut supaya adiknya itu bisa turun. Louisa, dengan celana tenis
putih dan sweter kelabu yang gombrong, berdiri di samping mereka.
"Se - sedang apa kalian di sini?" aku tergagap-gagap. "Kalian membuatku kaget
setengah mati." "Kami tidak bermaksud menakut-nakutimu," balas Sam, yang
berdiri di belakang Nat sambil menggenggam pundak adiknya itu.
"Kami lihat kau dan adikmu berlari di pantai tadi, dan kami ingin tahu apa yang
terjadi." "Kalian pasti tidak percaya!" aku berseru.
Baru kemudian aku sadar bahwa suaraku bisa terdengar di
kamar Brad dan Agatha, padahal aku tidak mau mereka sampai
terbangun. Aku memberi isyarat kepada ketiga tamuku. "Ayo, masuk ke
kamarku. Kita bicara di sini saja."
Sam mengangkat Nat sampai ke ambang jendela, dan aku
menariknya ke dalam. Sam dan Louisa bisa memanjat sendiri.
Mereka duduk di tempat tidurku, sementara aku mondar-mandir
di depan mereka. "Terri dan aku masuk ke gua tadi," ujarku sambil merendahkan suara. "Kami ketemu
hantu itu. Dia duduk di ruangan besar yang
penuh lilin." Ketiganya tampak terkejut.
"Ternyata dia memang sudah tua sekali, dan tampangnya betulbetul seram," aku melanjutkan. "Kalau berjalan, kakinya tidak menginjak tanah.
Dia melayang-layang. Waktu melihat kami, dia
langsung mengejar. Aku jatuh, dan hampir tertangkap. Tapi aku masih
bisa lolos." "Wow," Sam bergumam. Kedua adiknya menatapku sambil
membelalakkan mata. "Terus bagaimana?" tanya Nat.
"Habis itu, Terri dan aku berlari pulang sekencang mungkin,"
ujarku. Beberapa saat mereka menatapku sambil membisu. Aku
berusaha menebak-nebak apa yang sedang mereka pikirkan. Apakah
mereka percaya padaku"
Akhirnya Sam turun dari tempat tidur dan menghampiri jendela.
"Sebenarnya kami tidak mau kalian sampai tahu tentang hantu itu,"
katanya pelan sambil mengusap rambutnya yang cokelat.
"Kenapa?" tanyaku.
Sam berpikir sejenak. "Ehm, kami tidak mau kalian sampai
takut." Aku mendengus. "Huh, dari pertama kalian terus menakutnakuti Terri dan aku."
"Itu cuma main-main," Sam menjelaskan. "Tapi kami tahu, kalau kalian sampai tahu
tentang hantu itu..." Suaranya melemah, sampai akhirnya tak terdengar lagi.
"Kalian juga pernah melihatnya?" aku bertanya sambil
merapatkan baju tidurku. Ketiganya mengangguk. "Makanya kami tidak mau ke sana," ujar Nat sambil
menggaruk-garuk lengannya. "Hantu itu terlalu seram."
"Dia sangat berbahaya," Louisa menimpali. "Sepertinya dia mau membunuh kita
semua." Dia menatapku dengan serius.
"Termasuk kalian. Kau dan Terri."
Aku merinding. "Tapi kenapa" Terri dan aku tidak pernah
mengganggu dia."
Goosebumps - Pantai Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia tidak peduli. Pokoknya, tidak ada yang aman," Sam
berkata pelan-pelan sambil memandang ke luar jendela. "Kau sudah lihat tulangbelulang di hutan, kan" Kau juga bakal bernasib seperti itu kalau dia sampai
menangkapmu." Aku merinding lagi. Sekarang aku benar-benar ngeri.
"Sebenarnya ada satu cara untuk mengusir hantu itu," ujar
Louisa. Dengan gelisah dia meremas-remas tangan di pangkuannya.
"Tapi kami butuh bantuan kalian," dia menambahkan. "Tanpa kau dan Terri, kami
tidak bisa melakukan apa-apa."
Aku menelan ludah. "Bagaimana Terri dan aku bisa
membantu?" tanyaku. Sebelum dia sempat menjawab, kami mendengar bunyi
berderak di atas. Lalu ada suara-suara.
Jangan-jangan Brad dan Agatha terbangun"
Louisa dan kedua saudaranya langsung bergegas ke jendela dan
memanjat keluar. "Besok pagi kita ketemu di pantai," Sam
memberitahuku. Aku berdiri di jendela dan memperhatikan mereka menyelinap
ke tengah hutan. Kamarku kembali hening. Tirai di jendela melambai-lambai.
Aku menatap pohon-pohon cemara yang berayun-ayun.
Bagaimana Terri dan aku bisa membantu mengusir hantu tua
itu" aku bertanya-tanya.
Apa yang bisa kami lakukan"
Chapter 17 SAAT terbangun keesokan paginya, aku disambut suara hujan.
Aku melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke jendela. Hujan
turun deras, dipacu angin kencang. Pohon-pohon diselubungi kabut
tebal. "Cuacanya minta ampun, ya?" tanya Terri, yang baru saja
masuk ke kamarku. Aku segera berbalik. "Eh, Terri - ada berita penting nih."
Cepat-cepat aku menceritakan kunjungan ketiga anak Sadler semalam.
Setelah aku selesai, Terri memandang ke luar jendela. "Jadi
bagaimana sekarang" Bagaimana kita bisa menemui mereka di pantai
di tengah hujan lebat ini?"
"Memang tidak bisa," sahutku. "Kita terpaksa menunggu sampai hujannya berhenti."
"Aduh, aku paling tidak tahan kalau disuruh menunggu begini,"
Terri mengeluh. Dia segera kembali ke kamarnya untuk berganti baju.
Aku mengenakan jins belel yang kedua lututnya telah berlubang
serta sweter abu-abu. Kemudian aku menuju meja makan untuk ikut
sarapan. Agatha membuat bubur gandum yang dibumbui gula merah dan
mentega. Sehabis sarapan, Brad menyalakan api di tempat perapian. Terri
asyik dengan koleksi bunga liarnya.
Sementara Terri sibuk menempelkan bunga-bunga kering pada
lembaran-lembaran kertas karton, aku cuma duduk dan menunggu
hujan berhenti. Hujan brengsek.
Matahari baru muncul setelah makan siang. Begitu ada
kesempatan pergi, Terri dan aku langsung menuju pantai.
Hampir satu jam kami menunggu di sana. Untuk mengisi
waktu, aku melempar-lempar batu ke air, sedang Terri mengais-ngais
pasir untuk mencari kerang. Tapi Sam, Nat, dan Louisa tidak munculmuncul juga. "Bagaimana sekarang?" tanyaku sambil menendang batu
kerikil. Sepertinya waktu kami telah habis dengan percuma.
"Aku bawa perlengkapan untuk menjiplak batu nisan," balas
Terri. "Kita ke pekuburan saja, yuk."
Kami menuju pekuburan kecil itu, memanjat lewat tembok
pendek yang mengitarinya, lalu memandang berkeliling. Kuburankuburan yang ada di situ sudah tua sekali. Banyak batu nisan sudah
roboh, atau patah, atau tertutup alang-alang.
Beberapa pohon besar tumbuh di atas kuburan. Satu pohon
besar telah roboh menimpa tembok, dan menghancurkan sejumlah
batu nisan. "Aku mau cari batu nisan yang menarik di sekitar pohon roboh
itu," ujar Terri. Dia berlari mendahuluiku. Ketika terakhir kali kesini, kami
cuma,mengamati batu-batu nisan di bagian pinggir. Kali ini aku
menuju bagian tengah. Aku mulai membaca nama-nama yang tercantum pada batu
nisan. Batu nisan pertama yang kuhampiri bertulisan: DI SINI
TERBARING JASAD MARTIN SADLER.
Aneh, aku berkata dalam hati. Lagi-lagi nama Sadler. Tapi
kemudian aku teringat bahwa Sam pernah cerita kalau Sadler
merupakan nama yang lazim di daerah ini. Barangkali aku sedang
berada di kuburan keluarga besar Sadler.
Di sebelah kuburan Martin Sadler ada kuburan Mary Sadler,
istrinya. Lalu ada kuburan sepasang anak Sadler, Sarah dan Miles.
Aku beralih ke barisan berikut, dan kembali membaca tulisan
pada batu-batu nisan. Sadler lagi. Yang ini bernama Peter. Di sebelah Peter ada
kuburan Miriam Sadler. Wah! Lama-lama aku mulai ngeri juga. Masa sih yang
meninggal di sini keluarga Sadler melulu"
Aku pindah ke bagian lain. Ternyata Sadler lagi. Hiram,
Margaret, Constance, Charity...
Jangan-jangan seluruh pekuburan ini: berisi jenazah-jenazah
keluarga besar Sadler"
Tiba-tiba jeritan Terri memecahkan keheningan. "Jerry! Cepat
kesini!" Aku menemukannya di dekat pohon roboh tadi. Wajahnya
tampak berkerut-kerut karena bingung. "Coba lihat ini!" katanya sambil menunjuk
sekelompok batu nisan di hadapannya.
Aku mengamati dua batu nisan besar. THOMAS SADLER,
MENINGGAL 18 FEBRUARI 1641, dan PRISCILLA SADLER,
ISTRI THOMAS, MENINGGAL 5 MARET 1641.
"Yeah, aku sudah tahu kok," ujarku. "Tempat ini penuh kuburan keluarga Sadler.
Ngeri juga, ya?" "Bukan, bukan itu. Coba perhatikan kuburan anak-anak
mereka," Terri menyahut dengan nada memaksa.
Aku menatap ketiga batu nisan kecil berbentuk serupa, yang
berderet di sebelah kuburan Thomas dan istrinya. Ketiga batu nisan itu berdiri
tegak. Semuanya bersih dan mudah dibaca. Seakan-akan
dirawat oleh seseorang. Aku membungkuk agar dapat melihat lebih jelas.
"Sam Sadler, putra dari Thomas dan Priscilla." Aku kembali berdiri tegak.
"Memangnya kenapa?"
"Coba baca yang berikut," Terri menyuruhku. Aku
membungkuk lagi. "Louisa Sadler."
"Oh-oh," aku bergumam. "Rasanya aku sudah tahu nama yang terakhir."
"Ya, kau pasti sudah bisa membayangkannya," Terri berbisik dengan suara
bergetar. Pandanganku beralih ke batu nisan terakhir. DI SINI
TERBARING NAT SADLER, YANG MENINGGAL DI USIANYA
YANG KELIMA. Chapter 18 AKU menatap ketiga batu nisan itu sampai pandanganku
menjadi kabur. Tiga batu nisan. Tiga anak.
Sam, Louisa, dan Nat. Semuanya meninggal di awal abad ketujuh belas.
"Aku jadi bingung," aku bergumam. Kepalaku terasa pening
ketika aku menegakkan badan. "Benar-benar bingung."
"Kita harus tanya Brad dan Agatha tentang ini," ujar Terri, "Ini terlalu aneh."
Kami berlari pulang. Sepanjang jalan, ketiga batu nisan tadi
terus terbayang-bayang di depan mataku.
Sam, Louisa, dan Nat. Brad dan Agatha sedang berada di pekarangan belakang.
Mereka duduk di bawah pohon, di kursi goyang masing-masing.
Agatha tertawa ketika kami menghampirinya sambil terengahengah. "Kalian kok lari terus sih" Wah, coba kalau aku masih sekuat kalian."
"Kami habis dari pekuburan," aku langsung berkata. "Ada yang perlu kami
tanyakan." Agatha mengangkat alis. "Oh" Kalian menemukan batu nisan
yang menarik untuk dijiplak?"
"Kami tidak sempat," balas Terri. "Kami membaca tulisan pada batu-batu nisan di
sana. Semuanya bertulisan nama Sadler.
Semuanya." Agatha menggoyang-goyangkan kursinya. Dia mengangguk,
tapi tidak berkata apa-apa.
"Masih ingat anak-anak yang kuceritakan kemarin?" aku angkat bicara. "Nah, kami
juga menemukan batu nisan untuk Sam, Louisa, dan Nat Sadler. Mereka meninggal
sekitar 1640-an. Nama-nama itu
sama dengan nama anak-anak yang kami temui di pantai!"
Kedua kursi goyang Agatha dan Brad bergerak seirama. Majumundur. Maju-mundur. Agatha menatapku sambil tersenyum. "Apa
yang ingin kautanyakan, Jerry?"
"Kenapa begitu banyak batu nisan dengan nama Sadler di
pekuburan itu?" tanyaku. "Dan kenapa nama teman-teman kami juga tercantum di
sana?" "Pertanyaan bagus," Brad bergumam.
Agatha tersenyum. "Rupanya kalian bermata jeli. Duduklah.
Ceritanya agak panjang."
Terri dan aku duduk di rumput. "Bagaimana ceritanya?" aku
mendesak. Agatha menarik napas panjang, lalu mulai bertutur. "Hmm,
ceritanya begini. Di musim dingin tahun 1641, rombongan keluarga
Sadler, hampir seluruh keluarga besar mereka, berlayar dari Inggris
dan menetap di sini. Mereka pindah ke Amerika untuk memulai hidup
baru." Dia melirik kepada Brad, yang tetap bergoyang-goyang sambil
memandang daun-daun yang berkilauan. "Musim dingin tahun itu
termasuk musim dingin paling gawat sepanjang sejarah," Agatha
meneruskan. "Dan malangnya, keluarga besar Sadler tidak siap
menghadapi udara yang dingin membeku. Mereka meninggal, satu per
satu, dan dimakamkan di pekuburan kecil itu. Tahun 1642 hampir
semuanya telah meninggal.
Brad berdecak-decak dan menggeleng-gelengkan kepala.
Agatha meneruskan ceritanya. "Sam, Louisa, dan Nat
sebenarnya masih bersepupu dengan kalian. Sama seperti Brad dan
aku. Nama-nama mereka diambil dari nama-nama leluhur mereka,
anak-anak yang dimakamkan di pekuburan itu. Sama seperti kami.
Kalian juga bisa menemukan batu nisan dengan nama Agatha dan
Bradford Sadler di sana."
"Oh, ya?" seru Terri.
Agatha menganggukkan kepala. "Ya. Tapi Brad dan aku belum
waktunya berbaring di sana. Bukan begitu, Brad?"
Brad menggelengkan kepala. "Belum waktunya," dia
mengulangi sambil tersenyum.
Terri dan aku tertawa. Tertawa dengan lega. Aku senang sekali bahwa ada penjelasan yang masuk akal
untuk apa yang kami lihat. Tiba-tiba saja aku ingin bercerita tentang hantu yang
tinggal di gua. Tapi Terri sudah mulai berceloteh tentang bunga-bunga liar,
jadi aku cuma duduk di rumput dan diam saja.
*** Baru keesokan paginya kami bertemu Sam, Louisa, dan Nat di
pantai. "Ke mana saja sih kalian?" tanyaku sengit. "Terri dan aku menunggu sepanjang
sore kemarin." "Hei, jangan marah-marah begitu dong!" Sam memprotes.
"Kemarin kan hujan. Kami tidak boleh keluar."
"Jerry dan aku pergi ke pekuburan di tepi hutan kemarin," Terri bercerita. "Kami
lihat tiga batu nisan dengan nama kalian di sana."
Louisa dan Sam berpandangan. "Itu leluhur-leluhur kami," Sam menjelaskan. "Namanama kami diambil dari nama-nama mereka."
"Kata Jerry, kalian punya rencana untuk mengusir hantu itu,"
Terri mengalihkan pembicaraan. Seperti yang sudah kukatakan tadi,
dia memang tidak bisa bersabar.
"Ya," ujar Sam. Roman, mukanya tampak serius. "Ayo, ikut aku." Dia mulai
melintasi pantai berbatu dan menuju gua.
Aku terpaksa mempercepat langkahku agar tidak ketinggalan.
"Hei, mau ke mana kita" Pokoknya aku tidak mau masuk lagi ke gua itu. Titik!"
aku berseru. "Aku juga," Terri menimpali. "Aku sudah kapok dikejar-kejar hantu."
Sam menoleh ke arahku. "Kalian tidak perlu masuk lagi.
Sumpah." Dia mengajak kami ke kaki tebing di bawah gua. Aku
memandang ke atas, sambil melindungi mataku dari sinar matahari
yang menyilaukan. Di siang hari, gua itu tidak terlalu menyeramkan. Batu-batu
putih di sekelilingnya tampak berkilau-kilau. Mulut gua yang gelap
pun tidak terlalu menakutkan.
Sam menunjuk ke atas. "Kalian lihat batu-batu besar yang
bertumpuk di atas gua?"
Aku memicingkan mata. "Ada apa dengan batu-batu itu?"
"Kalian tinggal memanjat ke situ dan Mendorong semuanya ke
bawah. Batu-batu itu akan menutup mulut gua, dan si hantu tua akan
terperangkap di dalam untuk selama-lamanya."
Terri dan aku menatap bongkahan-bongkahan batu putih
berukuran raksasa itu. Berat masing-masing paling tidak sekitar
seratus kilogram. "Kalian cuma bercanda, kan?" ujarku.
Louisa menggelengkan kepala. "Kami serius," dia bergumam
pelan. "Mulut gua itu harus ditutup batu?" aku mengulangi sambil
mendongak. Lubang gelap itu seakan-akan membalas tatapanku,
bagaikan mata raksasa berwarna hitam. "Dan kalau sudah tertutup, hantunya tidak
bisa keluar" Bagaimana kalau dia menembus batu-batu
itu" Jangan lupa, dia hantu. Dia bisa saja menerobos keluar."
"Tidak," balas Louisa. "Menurut legenda, gua itu merupakan tempat penyekapan.
Jadi, kalau ada roh jahat yang terperangkap di
dalam, dia tidak bisa keluar lagi. Dia terperangkap untuk selamalamanya." Terri mengerutkan kening. "Kalau begitu, kenapa bukan kalian
saja yang naik ke situ dan mendorong batu-batu itu?"
"Kami terlalu takut," Nat menjawab dengan polos.
"Kalau sampai gagal, kami pasti dikejar-kejar si hantu," ujar Sam. "Kami kan
tinggal di sini. Dia akan menemukan rumah kami dan membalas dendam."
"Justru karena itu kami menunggu orang luar untuk membantu,"
Louisa menambahkan. Dia menatap Terri dan aku dengan pandangan
memohon. "Kami menunggu orang yang bisa kami percaya."
"Tapi apa bedanya?" tanyaku. "Kalau kita coba menjebak hantu itu nanti malam,
dan ternyata gagal, kita tetap saja bakal dikejar-kejar, bukan?"
"Kita takkan gagal," Sam menyahut dengan yakin. "Kita akan bekerja sama. Begitu
hantu itu keluar, Nat, Louisa, dan aku akan
menarik perhatiannya. Dia takkan tahu kalian berada di atas mulut
gua."
Goosebumps - Pantai Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian mau membantu kami, kan?" Louisa memohon. "Kami sudah begitu lama hidup
dalam ketakutan karena hantu itu."
"Semua orang di sini akan senang kalau kalian bersedia
membantu kami menjebak dia," Sam menambahkan.
Aku masih bimbang. Rencana yang paling rapi pun bisa
meleset. Bagaimana kalau kami sampai gagal"
Bagaimana kalau Terri dan aku tidak sanggup mendorong batubatu itu" Bagaimana kalau si hantu keluar dari gua, lalu melihat Terri dan aku
berdiri di puncak tebing" Bagaimana kalau salah satu dari
kami terpeleset dan terempas di depan gua"
Tidak bisa, aku memutuskan dalam hati. Kami tidak bisa
membantu. Risikonya terlalu besar.
Aku berbalik untuk menyampaikan keputusanku kepada Sam
dan kedua adiknya. "Tentu saja kami akan membantu," aku mendengar Terri
berkata. Chapte 19 SORE itu kami ikut mencari buah blueberry bersama Agatha.
Kemudian kami membuat es krim blueberry dengan memakai alat
pengocok mentega model kuno. Rasanya lebih lezat dari es krim mana
pun yang pernah kucicipi. Menurut Agatha, itu karena kami sendiri
yang memetik buah-buah blueberry tersebut.
Semakin dekat ke waktu makan malam, aku semakin ketakutan.
Aku seakan-akan belum bisa percaya bahwa kami benar-benar akan
menjebak hantu. Waktu makan pun tiba. Aku nyaris tidak menyentuh makanan
di piringku. Ketika Agatha menatapku sambil mengerutkan kening,
aku berdalih bahwa aku sudah kenyang makan es krim.
Seusai makan malam, Terri dan aku membantu Agatha
membereskan meja. Kemudian Brad berkeras bahwa aku harus tahu
cara mengikat simpul pelaut. Padahal, saat itu aku sudah tak bisa
duduk tenang. Akhirnya Terri dan aku minta izin pergi ke pantai untuk
menghirup udara segar. Langsung saja kami menghambur keluar
untuk menemui ketiga teman kami.
Langit malam tampak cerah, tak berawan. Ribuan bintang
berkilau-kilau. Cahaya bulan purnama memudahkan kami mencari
jalan tanpa harus menggunakan senter.
Sambil membisu Terri dan aku menyusuri jalan setapak yang
menuju pantai. Kami sama-sama enggan berbicara. Aku teringat pesan
Dad dan Mom agar aku mengawasi tindak-tanduk Terri selama
liburan. Hmm, kali ini kami menghadapi masalah besar, aku berkata
dalam hati. Bukan cuma Terri dan aku, tapi Sam, Louisa, dan Nat juga.
Mereka ternyata sudah menunggu di tepi air. Permukaan laut
tampak berkilau-kilau karena memantulkan cahaya bulan. Suasananya
cukup terang, padahal justru kegelapanlah yang dibutuhkan agar
rencana kami bisa berjalan lancar.
Langkahku seakan-akan bertambah berat ketika aku menyapa
ketiga teman kami. Sam menempelkan telunjuk ke bibir, lalu memberi isyarat agar
kami mengikutinya. Tanpa bersuara kami melintasi pantai dan
menghampiri tebing karang.
"Hei - lihat tuh," aku berbisik sambil memandang ke gua.
Cahaya redup tampak berkelap-kelip di mulut gua itu.
Si hantu ada di rumahnya.
Aku menengadah dan mencari jalur yang paling mudah didaki,
yang ternyata sama dengan jalur yang kami tempuh semalam. Tapi
kali ini kami takkan masuk gua, melainkan terus memanjat sampai ke
puncak tebing. Terri tampak gugup. "Siap?" aku berbisik.
Dia mengangguk. Tampangnya kencang.
"Kami tunggu di bawah sini," bisik Sam. "Kalau hantu itu keluar, kami akan
menarik perhatiannya. Semoga berhasil."
Ketiga anak Sadler berdiri saling merapat. Mereka kelihatan
tegang, dan ketakutan. Nat meraih tangan Louisa. "Bye, Terri," dia berkata
dengan suara kecil. "Sampai nanti," balas Terri. "Jangan kuatir, Nat. Kita akan mengusir hantu itu.
Ayo, Jerry." Kedua lututku gemetaran ketika Terri dan aku mulai memanjat.
Kami mendaki pelan-pelan. Dengan hati-hati.
Aku menoleh ke arah Terri, yang berada kira-kira semeter di
belakangku. Napasnya terengah-engah, dan memicingkan mata karena
berkonsentrasi penuh. Tidak lama kemudian kami sampai di mulut gua. Cahaya di
dalamnya tampak terang. Aku menunjuk ke kanan. Terri mengangguk, dan kami kembali
memanjat. Permukaan tebing basah dan licin karena embun, dan lebih
terjal dari yang kuduga. Aku harus memaksakan diri untuk tidak gemetaran. Aku sadar
bahwa satu langkah keliru bisa menyebabkan batu-batu longsor. Dan
kalau itu sampai terjadi, si hantu pasti langsung curiga.
Kami naik sedikit demi sedikit.
Pelan-pelan. Dengan hati-hati.
Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas dan memandang ke
bawah. Ketiga teman kami belum beranjak dari tempat semula.
Sambil berpegangan pada sebongkah batu, aku melambaikan
tangan kepada mereka. Nat membalas lambaianku. Kedua kakaknya
diam saja. Mereka terus mengawasi Terri dan aku.
Begitu aku sampai di pelataran di atas gua, aku berbalik,
mengulurkan tangan, dan membantu Terri naik.
Kemudian kami mempelajari keadaan di sekitar kami. Batubatu yang harus kami dorong ke bawah ternyata tidak sebesar yang
kami sangka. Semuanya menumpuk sehingga membentuk semacam
dinding. Rasanya tidak terlalu sulit untuk menyusup ke balik dinding itu dan
merobohkannya. Ketika aku mulai menyelinap ke celah sempit tersebut, aku
sempat melirik ketiga teman kami di bawah. Di luar dugaanku, Sam
melambai-lambaikan tangan sambil melompat-lompat. Louisa dan Nat
pun menunjuk-nunjuk dengan kalang kabut.
"Ada apa sih?" bisik Terri. "Kenapa mereka bertingkah seperti orang gila?"
"Mereka mau memberitahukan sesuatu," jawabku. Tiba-tiba
saja aku dicekam ketakutan.
Jangan-jangan si hantu muncul di mulut gua" Jangan-jangan
justru aku dan Terri yang terperangkap"
Aku menarik napas dalam-dalam. Tanpa menggubris rasa takut
yang mencekam, aku menunduk sedikit dan mengintip ke mulut gua.
Tak ada siapa-siapa. "Jerry - jangan begitu!" seru Terri. "Nanti kau jatuh!"
Aku menegakkan badan dan memandang ke arah ketiga teman
kami. "Hei...!" aku berteriak tertahan ketika melihat mereka kabur ke hutan.
Aku mulai bermandikan keringat dingin. "Ada yang tidak beres
nih," ujarku dengan suara parau. "Ayo, kita pergi dari sini!"
Aku berbalik - dan melihat si hantu muncul di belakang kami.
Tubuhnya seakan-akan berpendar. Matanya yang cekung
menyorot tajam. Dia mencengkeram pundakku, lalu mengepit pinggang Terri
dengan tangannya yang satu lagi.
"Ayo, kalian ikut aku," dia berbisik dengan suara yang
membuatku merinding. Ebukulawas.blogspot.com Chapter 20 KAMI diseretnya ke mulut gua.
Dia kuat sekali, aku menyadari. Apalagi untuk seseorang yang
begitu tua dan kelihatan begitu rapuh.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Semuanya tampak kabur.
Segala sesuatu seakan-akan miring dan bergoyang. Bayanganbayangan panjang seolah-olah menggapai-gapai untuk menarikku ke
bawah. Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tersangkut di
tenggorokan. Aku berusaha membebaskan diri dari cengkeraman si hantu,
tapi dia terlalu kuat untukku.
Terri meronta-ronta dan mengayun-ayunkan tangan, namun
hantu itu tetap merangkulnya dengan erat.
Sebelum aku sadar benar, kami sudah menyusuri terowongan
yang gelap dan berkelok-kelok. Cahaya lilin yang berkelap-kelip
bertambah terang. Kami terlalu takut untuk melawan, terlalu takut untuk berusaha
meloloskan diri. Pundakku tergores batu karang yang menonjol dari dinding
terowongan yang sempit. Rasa takut seakan-akan mencekik leherku.
Berteriak kesakitan pun aku tidak sanggup.
Baru setelah sampai di gua yang diterangi kami dilepaskan. Si
hantu lalu memberi isyarat agar kami ikut ke mejanya.
"Ka - kami mau diapakan?" tanya Terri sambil tergagap-gagap.
Hantu itu diam saja. Dia menyibakkan rambut panjangnya yang putih dan kusut.
Kemudian dia menunjuk ke bawah, seakan-akan menyuruh kami
duduk. Aku langsung duduk. Lututku bergetar begitu hebat, sehingga
aku memang tidak mampu berdiri lebih lama.
Aku melirik adikku. Bibirnya tampak gemetaran. Kedua
tangannya terkunci rapat-rapat di pangkuannya.
Si hantu tua berdehem. Kemudian dia bersandar pada mejanya.
"Kalian berdua punya masalah besar," dia berkata dengan suaranya yang parau.
"Ka - kami tidak bermaksud mengganggu," aku langsung
mencoba membela diri. "Berurusan dengan hantu sangat berbahaya," dia berkata, tanpa menghiraukan
ucapanku. "Kami akan pergi," aku cepat-cepat menawarkan. "Dan kami takkan pernah kembali
lagi." "Ya, kami tidak bermaksud mengganggumu," Terri
menambahkan dengan nada melengking.
Si hantu mendadak membelalakkan matanya yang cekung.
"Menggangguku?" dia bertanya dengan heran, lalu tersenyum.
"Kami takkan cerita kami melihatmu di sini," ujarku.
Senyumnya semakin lebar. "Aku?" dia mengulangi. "Bukan aku hantunya, tapi ketiga
teman kalian!" serunya.
Chapter 21 "HAH?" Aku terbengong-bengong.
Senyumnya memudar. "Aku serius," katanya lirih, sambil
menggosok-gosok pipinya yang pucat dengan tangannya yang kurus
kering. "Tidak mungkin! Kau cuma mau menipu kami," balas Terri.
"Anak-anak itu..."
"Mereka bukan anak-anak," orang tua itu menukas dengan
ketus. "Usia mereka sudah lebih dari 350 tahun!"
Terri dan aku berpandangan. Urat nadi di pelipisku berdenyutdenyut begitu keras, sehingga aku tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Oh, maaf, aku belum memperkenalkan diri," orang tua itu
berkata sambil duduk di tepi meja. Kerut-kerut di wajahnya tampak
jelas karena terkena cahaya lilin yang menari-nari. "Namaku Harrison Sadler."
"Lagi-lagi Sadler!" kataku tanpa berpikir dulu. "Kami juga keluarga Sadler!"
seru Terri. "Aku tahu," sahut Harrison Sadler. Kemudian dia terbatukbatuk agak lama. "Aku datang dari Inggris beberapa waktu lalu," dia memberitahu
kami setelah batuknya reda.
"Maksudnya, tahun 1642?" aku spontan bertanya. Ya ampun,
ternyata dia memang hantu! Bulu kudukku langsung berdiri.
Pertanyaanku rupanya dianggap lucu olehnya. "Aku memang
sudah tua, tapi belum setua itu," katanya sambil terkekeh-kekeh.
"Setelah berhasil meraih gelar sarjana, aku melacak jejak leluhurku ke sini. Aku
mempelajari hantu dan ilmu gaib." Dia mendesah. "Ternyata banyak yang bisa
kupelajari di sini."
Aku mengamatinya dengan saksama. Mungkinkah ceritanya
benar" Mungkinkah dia manusia biasa - bukan hantu"
Ataukah ini cuma akal bulus untuk mengelabui kami"
Matanya yang cekung dan gelap tidak mengungkapkan apa-apa.
"Tapi kenapa kau menyeret kami ke sini?" aku bertanya sambil berlutut.
"Untuk memperingatkan kalian," jawab Harrison Sadler.
"Untuk memperingatkan kalian soal hantu-hantu itu. Kalian berada dalam bahaya
besar. Aku telah mempelajari mereka. Aku telah
menyaksikan kejahatan yang mereka lakukan."
Terri memekik tertahan. Aku tidak tahu apakah dia percaya
cerita orang tua itu atau tidak.
Aku sendiri sih sama sekali tidak percaya. Ceritanya tidak
masuk akal. Aku bangkit. "Kalau kau memang ilmuwan yang mempelajari
ilmu gaib," kataku, "kenapa kau mengurung diri di dalam gua yang pengap ini?"
Perlahan-lahan dia mengangkat tangan dan menunjuk langitlangit. "Gua ini merupakan tempat penyekapan," dia bergumam.
Tempat penyekapan" Sam juga memakai istilah yang sama.
"Sekali berada di dalam gua ini," Harrison menjelaskan, "hantu tidak bisa keluar
lagi. Mereka tidak bisa menerobos batu karang."
"Dengan kata lain, mereka akan terperangkap di sini," aku
menyimpulkan. Orang tua itu menatapku sambil memicingkan mata. "Aku ingin
menjebak mereka di sini," dia kembali angkat bicara. "Karena itulah aku menimbun
batu-batu di atas mulut gua. Moga-moga suatu hari
aku bisa memenjarakan mereka untuk selama-lamanya."
Aku berpaling kepada adikku. Dia menatap Harrison sambil
mengerutkan kening. "Tapi kenapa kau harus tinggal di sini?" tanyaku.
"Sebab aku aman di sini," kata Harrison. "Di sini hantu-hantu itu tidak bisa
mengejutkanku dengan menerobos batu karang. Kalian
tidak heran kenapa mereka menyuruh kalian naik ke puncak tebing"
Kalian tidak heran kenapa bukan mereka sendiri yang naik?"
"Mereka menyuruh kami karena mereka takut padamu!" aku
berseru dengan berapi-api. Aku sampai lupa bahwa aku sedang
ketakutan. "Mereka menyuruh kami karena kaulah hantunya!"
Roman muka Harrison mendadak berubah. Dia berdiri dan
menghampiri Terri dan aku. Matanya yang cekung tampak membara.
"Hei - kau mau apa?" aku memekik.
Chapter 22 SAMBIL gemetaran aku menatap Harrison yang terus
menghampiri kami. "Kalian tidak percaya, ya?" dia menuduh.
Terri dan aku terlalu ngeri untuk menjawab. "Ka - kau mau
apa?" aku mengulangi dengan nada melengking tinggi.
Dia memelototi kami sejenak, sementara cahaya lilin menarinari di wajahnya yang pucat. "Kalian kubiarkan pergi," dia akhirnya berkata.
Terri memekik dengan heran.
Aku mundur pelan-pelan, ke arah terowongan.
"Kalian kubiarkan pergi," Harrison Sadler menegaskan.
"Supaya kalian bisa memeriksa pojok timur pekuburan lama." Dia melambaikan
tangannya yang kurus kering. "Pergi. Pergilah. Ke
pekuburan itu." "Ka - kau benar-benar mau membiarkan kami pergi?" aku
tergagap-gagap.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kalian sudah mendatangi pojok timur, kalian pasti akan
kembali ke sini," Harrison menyahut dengan yakin. "Kalian
pasti..akan kembali."
Tidak akan, aku berkata dalam hati. Jantungku berdebar-debar.
Aku tidak akan kembali ke gua yang mengerikan ini.
"Pergilah!" hantu tua itu berseru.
Terri dan aku segera berbalik dan mengambil langkah seribu.
Baik dia maupun aku tidak menoleh ke belakang.
Tergopoh-gopoh kami berlari keluar dan menuruni tebing. Tapi
bayangan wajah Harrison terus menguntitku. Aku terus
membayangkan matanya yang membara, rambutnya yang panjang dan
kusut, giginya yang kuning, yang tampak setiap kali dia
mengembangkan senyumnya yang seram. Sambil merinding aku
teringat tenaganya yang melebihi tenaga manusia biasa ketika dia
menyeret Terri dan aku ke dalam gua.
Aku juga terus memikirkan Sam, Louisa, dan Nat. Aku tidak
percaya bahwa mereka hantu. Mereka teman-teman kami. Mereka
sudah berusaha memberitahu Terri dan aku bahwa si hantu
mengendap-endap di belakang kami.
Mereka bilang, mereka sudah lama hidup dalam ketakutan garagara Harrison. Dan aku teringat tampang Nat yang sedih ketika dia
bercerita betapa takutnya dia terhadap hantu.
Harrison Sadler tukang bohong, pikirku dengan getir.
Dia hantu pembohong berusia 350 tahun.
Setelah sampai di pantai, Terri dan aku berhenti untuk mengatur
napas. "Dia - dia seram sekali!" ujar Terri sambil terengah-engah.
"Aku hampir tidak percaya waktu dia bilang kita boleh pergi,"
aku berkomentar. Sambil membungkuk aku memegang lutut, dan
menunggu sampai rasa nyeri yang menusuk-nusuk pinggangku
mereda. Kemudian aku memandang berkeliling untuk mencari ketiga
teman kami. Tapi mereka tidak kelihatan.
"Bagaimana nih" Kita pergi ke pekuburan?" tanyaku.
"Aku tahu apa yang bakal kita lihat di sana," kata Terri sambil menoleh ke mulut
gua. "Aku tahu kenapa dia menyuruh kita ke pojok timur. Soalnya di sana ada batu
nisan bertulisan nama Louisa, Nat,
dan Sam." "Kenapa memangnya?"
"Harrison cuma mau menakut-nakuti kita. Dia pikir kalau kita
lihat batu-batu nisan tua itu, kita bakal percaya Louisa, Nat, dan Sam memang
hantu." "Tapi kita kan sudah tahu kisah batu-batu nisan itu," sahutku.
Kami masuk ke hutan. Udara di sini terasa lebih sejuk. Cahaya
bulan yang menerobos di sela-sela dedaunan menciptakan bayanganbayangan aneh pada jalan setapak yang kami lalui.
Tidak lama kemudian kami sudah sampai di depan gerbang
pekuburan. "Ayo, mumpung sudah sampai di sini, kita periksa saja
sekalian," Terri bergumam. Dia langsung berjalan lagi. Aku
mengikutinya ke pojok timur, melewati batu-batu dan menerobos
semak-semak. Kuburan ketiga anak Sadler diterangi seberkas cahaya bulan.
"Kaulihat sesuatu yang aneh?" bisik Terri.
Aku memandang berkeliling. "Tidak."
Kami menghampiri kuburan anak-anak Sadler. "Tak ada
perubahan, seperti kemarin," kataku. "Masih rapi, utuh... hei!"
Aku melihat sesuatu yang menarik perhatianku. "Ada apa sih?"
tanya Terri. Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
"Sepertinya ada sesuatu..."
"Apa sih?" desak Terri.
"Tanah basah," jawabku. "Di pojok sana. Di balik pohon tumbang. Kelihatannya
seperti kuburan yang baru digali."
"Tidak mungkin," balas Terri. "Semua batu nisan di sini sudah kuperiksa. Sudah
lima puluh tahun tak ada lagi yang dikubur di sini."
Kami mendekati pohon tumbang itu.
"Oh! Kau benar, Jerry! Memang ada kuburan baru!" bisik Terri.
Kami memanjat lewat pohon tumbang itu. Seberkas sinar bulan
menerangi tanah yang baru digali.
"Ada dua kuburan!" aku berseru tertahan. "Dua kuburan baru dengan dua batu nisan
kecil." Aku berjongkok untuk membaca tulisannya. Terri membungkuk
di belakangku. "Apa tulisannya, Jerry?"
Mulutku terasa kering-kerontang. Lidahku mendadak kaku,
sehingga aku tidak sanggup menjawab.
"Jerry" Kuburan siapa ini?"
"I - ini kuburan kita, Terri," aku tergagap-gagap. "Nama yang tercantum di sini
adalah 'Jerry Sadler dan Terri Sadler'."
Chapter 23 "A - APA-APAAN ini?" ujarku dengan bingung.
"Siapa yang menggali kuburan ini?" tanya Terri. "Dan siapa yang memasang batu
nisannya?" "Ayo, kita pergi saja," kataku sambil menarik lengannya. "Kita harus beritahu
Agatha dan Brad." Terri sepertinya tidak setuju.
"Kita harus memberitahu mereka," aku mendesak.
"Kita harus menceritakan semuanya. Seharusnya dari dulu kita
sudah berterus terang kepada mereka."
"Oke deh," ujar Terri.
Aku berbalik - dan memekik kaget ketika melihat ketiga sosok
gelap yang menatap kami dari bayang-bayang pohon.
Sam segera melangkahi pohon yang tumbang.
"Mau ke mana kalian?" dia bertanya. "Kenapa kalian ada di sini?"
Louisa dan Nat menyusulnya.
"Ka - kami mau pulang," kataku. "Sekarang sudah malam
dan..." "Hantunya sudah mati?" tanya Nat. Dia menatapku dengan
pandangan penuh harap. Aku menepuk-nepuk kepalanya. Ternyata kepalanya bisa
dipegang dan terasa hangat. Bukan seperti kepala hantu, yang hanya
berupa bayangan. Harrison Sadler bohong, pikirku.
"Hantunya sudah mati?" Nat bertanya lagi.
"Belum. Kami tidak berhasil," aku memberitahunya. Nat
mendesah kecewa. "Kalau begitu bagaimana kalian bisa lolos?" Sam bertanya
dengan curiga. "Kami melarikan diri," balas Terri.
"Ke mana sih kalian tadi?" tanyaku.
"Yeah. Katanya kalian mau mengalihkan perhatian si hantu,"
Terri menimpali dengan sengit.
"Ka - kami sudah coba beri peringatan pada kalian," Louisa
menyahut dengan gelisah, sambil menarik-narik rambutnya yang
panjang. "Tapi kami ketakutan. Kami lari ke hutan dan bersembunyi di sana."
"Kami tambah takut karena tidak mendengar suara batu
berjatuhan," Sam menambahkan. "Kami takut kalian tertangkap. Kami takut kalian
jadi korban si hantu."
Nat merintih-rintih ketakutan. Dia meraih tangan Louisa.
"Hantunya harus kita bunuh," si kecil merengek-rengek. "Dia harus mati."
Sam dan Louisa berusaha menenangkan adik mereka. Aku
menatap kedua kuburan yang baru digali. Angin dingin berembus
pelan, menggoyang-goyangkan dahan dan dedaunan.
Aku berpaling kepada Sam untuk menanyakan kedua kuburan
itu. Tapi dia lebih dulu angkat bicara. "Kita harus mencoba sekali lagi," ,dia
berkata sambil menatap Terri dan aku dengan pandangan memohon.
Louisa memegang pundak Nat. "Ya," dia berkata pelan-pelan.
"Kita harus kembali ke gua dan mencoba sekali lagi!"
"Nanti dulu!" aku berseru. "Masih untung Terri dan aku bisa lolos tadi. Aku
tidak mau kembali ke sana dan..."
"Tapi ini kesempatan emas untuk kita!" Louisa berkeras. "Dia takkan menyangka
kalian datang lagi malam ini. Kita bisa
menjebaknya selagi dia lengah."
"Tolonglah!" Nat memohon-mohon.
Aku membuka mulut, namun tak ada suara yang keluar. Aku
terheran-heran karena mereka masih juga mau meminta bantuan kami.
Terri dan aku sudah mempertaruhkan nyawa dengan naik ke
puncak tebing. Kami bisa saja mati terbunuh oleh hantu tua yang suka berbohong
itu. Kami bisa saja mengalami nasib yang sama dengan
anjing malang yang kini tinggal tulang-belulang di tengah hutan.
Dan mereka tetap minta bantuan kami. Permintaan mereka tidak
masuk akal. Maaf saja, tapi aku sudah jera. Aku tidak mau mati
konyol! "Oke," aku mendengar adikku berkata. "Kita coba sekali lagi deh."
Louisa dan kedua saudaranya langsung bersorak-sorai dengan
gembira. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi aku akan
mendapat kesulitan gara-gara ulah Terri.
Chapter 24 TERRI langsung menuju pantai. Aku segera mengejarnya.
Ketiga anak Sadler, yang sedang berbincang-bincang dengan riuh,
menyusul di belakangku. Keadaan di sekeliling kami mendadak lebih gelap, seakan-akan
ada orang yang meredupkan lampu. Aku mendongakkan kepala dan
mencari-cari bulan purnama, tapi bulan ternyata tertutup awan-awan
hitam. Tiba-tiba aku merasakan pundakku terkena tetesan air hujan.
Lalu kepalaku. Embusan angin bertambah kencang saat kami
mendekati laut. "Kau sudah gila, ya?" aku berbisik kepada adikku ketika kami melintasi pantai
yang berbatu-batu dan menghampiri gua. "Kenapa kau setuju membantu mereka?"
"Misteri ini harus kita pecahkan," balas Terri. Dia menatap ke gua di tebing.
Mulut gua itu tampak gelap gulita. Kali ini tak ada
cahaya berkelap-kelip. Dan si hantu tua juga tidak kelihatan.
"Ini bukan cerita misteri yang sering kaubaca dalam buku,"
kataku dengan gusar. "Hantu itu benar-benar ada. Kita mungkin
terancam bahaya besar."
"Sudah kepalang," sahutnya dengan misterius. Dia kembali
mengatakan sesuatu, tapi aku tidak mendengar apa-apa karena
anginnya terlalu kencang.
Hujan bertambah deras. "Tunggu, Terri," seruku. "Lebih baik kita kembali saja. Kita beritahu mereka
bahwa kita berubah pikiran."
Terri menggelengkan kepala.
"Ayo dong!" aku mendesaknya. "Kita pulang saja dan
memberitahu Agatha dan Brad. Besok saja kita tangkap hantu itu.
Kalau sudah terang..."
Terri terus berjalan, dan malah mempercepat langkahnya.
"Misteri ini harus kita pecahkan, Jerry," dia mengulangi. "Kedua kuburan baru
tadi - aku jadi ngeri. Aku harus tahu duduk perkara
sesungguhnya." "Tapi, Terri - kita bisa mati konyol!" aku berseru.
Sepertinya dia tidak mendengarku. Aku menyeka air hujan yang
menempel di alisku. **** Kami berhenti di kaki tebing. Jauh di atas, mulut gua masih
tampak gelap gulita. "Kami tunggu di sini saja," ujar Sam. Berulang kali dia melirik ke gua.
Sepertinya dia sangat ketakutan. "Kali ini kami benar-benar akan mengalihkan
perhatian si hantu kalau dia keluar."
"Mudah-mudahan dia tidak keluar," aku bergumam sambil
menunduk untuk melindungi wajahku dari terpaan hujan.
Petir menyambar, menerangi langit malam yang hitam pekat.
Aku menggigil. "Kalian ikut juga," Terri berkata kepada ketiga anak Sadler.
"Kalian tidak bisa membantu apa-apa dari bawah sini."
Mereka langsung mundur. Wajah mereka tampak ketakutan.
"Ayo, kalian ikut sampai ke mulut gua," desak Terri. "Kalian masih bisa kabur
kalau si hantu tiba-tiba muncul."
Louisa menggelengkan kepala. "Kami takut," dia mengakui.
"Tapi Jerry dan aku butuh bantuan kalian," adikku berkeras.
"Hantu itu tidak boleh tahu kami ada di atas gua. Kalian berdiri saja di depan
mulut gua. Nanti..."
"Aku tidak mau! Kami bakal celaka! Kami bakal dimakan
hidup-hidup!" Nat memekik.
"Jerry dan aku tidak bisa naik ke sana kalau kalian tidak mau
membantu," kata Terri dengan tegas.
Louisa dan Sam berpandangan. Nat gemetaran, dan dia
memeluk Louisa erat-erat. Hujan semakin lebat.
Akhirnya Sam mengangguk. "Oke. Kami akan menunggu di
depan mulut gua." "Sebenarnya kami bukan penakut," ujar Louisa. "Tapi kami sudah begitu lama
diteror hantu itu. Dia... dia..." Suaranya melemah.
Terri dan aku berbalik dan mulai memanjat. Kali ini
pendakiannya jauh lebih sulit. Tanpa cahaya bulan purnama, tangan di depan mata
pun nyaris tak kelihatan. Mataku terus kemasukan air
hujan. Dan permukaan tebing pun basah dan licin.
Dua kali kakiku terpeleset. Berulang kali batu yang kuinjak
mendadak terlepas dari tebing dan jatuh ke pantai.
Petir kembali membelah langit malam. Gua di atas kami tampak
berkilau putih. Kami berhenti di tonjolan di depan mulut gua. Seluruh tubuhku
gemetaran. Karena hujan. Karena dingin. Karena ketakutan.
"Kita berlindung dulu deh, di dalam," Terri mengusulkan.
Ketiga anak Sadler langsung berdesak-desakan. "Jangan, kami
tidak berani. Kami takut," balas Louisa.
"Sebentar saja," Terri berkeras. "Cuma untuk menyeka air dari muka. Lihat tuh!
Hujannya tambah deras."
Setengah memaksa dia menggiring Louisa dan kedua
saudaranya ke dalam gua. Nat mulai menangis. Baju Louisa
digenggamnya erat-erat. Tanpa disangka-sangka guruh menggelegar, dan kami semua
tersentak kaget. Aduh, kenapa aku mau dibujuk untuk naik ke sini" pikirku
sambil merinding. Ini semua gara-gara Terri. Pokoknya, aku takkan pernah
memaafkan dia untuk urusan ini.
Tiba-tiba terlihat cahaya kekuningan tampak di mulut gua. Dan
dalam cahaya kekuningan itu, si hantu tua muncul sambil membawa
obor. Dia menyeringai lebar, dan wajahnya yang pucat berkerut-kerut.
"Hmm, hmm," dia bergumam. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah hujan. "Coba
lihat siapa yang datang."
Chapter 25 "ADUUUH!" Nat memekik dengan ngeri. Serta-merta dia membenamkan mukanya ke kaus
oblong Louisa yang basah kuyup.
Sam dan Louisa berdiri seperti patung. Wajah mereka tampak
ketakutan. Harrison Sadler menghalangi jalan kami di mulut gua, sehingga
kami tidak bisa keluar. Di belakangnya, hujan yang mengguyur pantai sesekali berkilau
karena memantulkan cahaya petir yang terang benderang.
Perhatian Harrison beralih kepada Terri dan aku. "Kalian
berhasil membujuk hantu-hantu itu untuk datang ke sini," dia berkata.
Goosebumps - Pantai Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau hantunya!" seru Sam.
Nat menangis tersedu-sedu sambil mendekap Louisa.
"Kalian sudah terlalu lama menakut-nakuti orang di sini,"
Harrison berkata kepada ketiga anak yang gemetaran itu. "Lebih dari tiga ratus
tahun. Sudah saatnya kalian meninggalkan tempat ini. Sudah saatnya kalian
beristirahat." "Dia tidak waras!" Louisa berseru padaku. "Jangan dengarkan dia!"
"Ya, jangan dengarkan dia!" Sam menimpali dengan sengit.
"Dia cuma mau menipu kalian! Lihat tampangnya! Lihat matanya!
Lihat di mana dia tinggal - di gua yang gelap ini, sendirian! Dia
hantu, dan umurnya sudah tiga ratus tahun. Kalian dibohongi! Kalian
dibohongi mentah-mentah!"
"Aduh, jangan sakiti kami!" Nat meratap sambil mendekap
Louisa. "Jangan sakiti kami!"
Hujan mendadak berhenti, tapi air masih menetes-netes dari
langit-langit gua. Di kejauhan terdengar bunyi gemuruh. Badainya
telah bergeser ke laut lepas.
Aku menoleh dan melihat ekspresi janggal pada wajah adikku.
Aku tidak mengerti apa sebabnya, tapi ternyata Terri sedang
tersenyum. Dia menyadari bahwa aku sedang menatapnya dengan bingung.
"Sekarang tinggal pemecahannya," dia berbisik.
Dan tiba-tiba aku paham kenapa dia mau kembali ke gua seram
ini, dan menghadapi laki-laki tua menakutkan yang menghuninya.
Dia masih penasaran karena belum berhasil memecahkan
misteri itu! Jadi, sebenarnya mana yang hantu, mana yang bukan"
Harrison Sadler-kah" Atau ketiga teman kami"
Terri sudah gila, pikirku sambil geleng-geleng kepala. Dia
mempertaruhkan nyawa kami sekadar karena ingin memecahkan
misteri ini. "Biarkan kami pergi," Sam memohon kepada Harrison.
Ucapannya itu membuyarkan lamunanku. "Biarkan kami pergi. Kami
berjanji takkan cerita bahwa kami ketemu hantu yang tinggal di sini.
Obor di tangan Harrison nyaris padam tertiup angin yang tibatiba menerobos ke dalam gua. Kedua mata orang tua itu seakan-akan
bertambah gelap. "Aku sudah terlalu lama menunggu kalian datang kemari," dia
berkata. Louisa meraih lengan Terri. Kalian harus menolong kami!"
serunya. "Kalian percaya pada kami, bukan?"
"Kalian tahu kami manusia, bukan hantu," ujar Sam padaku.
"Bantu kami keluar dari gua ini. Dia jahat, Jerry. Sudah dari kecil kami melihat
kejahatannya." Aku berpaling kepada ketiga anak itu.
Sebenarnya siapa yang bohong" Siapa yang masih hidup" Dan
siapa yang sebenarnya sudah mati selama lebih dari tiga ratus tahun"
Wajah Harrison memantulkan cahaya obor yang menari-nari.
Dia menepis rambutnya yang panjang dari keningnya. Dan kemudian
dia mengejutkan kami dengan memonyongkan bibir, lalu bersiul
dengan nada melengking tinggi.
Jantungku nyaris copot. Aku menahan napas. Sedang apa dia"
Kenapa dia bersiul seperti itu"
Aku mendengar bunyi langkah, berderap-derap di lantai gua
yang keras. Dan kemudian sebuah sosok hitam muncul dari kegelapan dan
melesat ke arah kami. Chapter 26 ADA monster! aku berteriak dalam hati.
Monster hantu. Makhluk itu menggeram dengan keras seraya menghampiri
kami. Dia menundukkan kepala. Kedua matanya tampak menyala
merah ketika dia masuk ke lingkaran cahaya obor.
"Oh!" seruku setelah sadar bahwa makhluk itu ternyata anjing.
Seekor anjing herder yang besar dan langsing.
Dia berhenti beberapa kaki di depan kami. Ketika melihat
Harrison, anjing itu langsung menyeringai. Geramannya semakin
keras. Anjing bisa mengenali hantu, aku teringat.
Anjing bisa mengenali hantu.
Mata anjing itu memantulkan cahaya obor ketika dia menoleh
ke arah Louisa dan kedua saudaranya.
Dia mundur sedikit - dan mulai menyalak dan melolong.
"Sekarang sudah terbukti, mereka hantunya!" Harrison Sadler berseru kepada Terri
dan aku. Dia menuding-nuding Sam, Louisa, dan
Nat sambil mengembangkan senyum kemenangan.
Anjing herder itu menerjang Sam.
Sam langsung memekik ketakutan dan mengangkat kedua
tangan untuk melindungi wajah.
Dia dan kedua adiknya merapatkan punggung ke dinding gua.
Herder itu terus menyalak dengan garang. Taringnya yang
runcing tampak berkilau-kilau.
"Ka - kalian memang hantu?" aku tergagap-gagap.
Louisa mendesah perlahan. "Kami tak pernah punya
kesempatan untuk hidup!" serunya. "Musim dingin pertama begitu mengerikan!" Air
mata mulai bergulir di pipinya. Nat juga menangis.
Anjing herder itu masih menggeram-geram. Ketiga anak Sadler
membelalakkan mata dengan ngeri.
"Kami berlayar bersama orangtua kami untuk memulai hidup
baru," Sam menjelaskan dengan suara bergetar. "Tapi kami semua mati kedinginan.
Tidak adil! Tidak adil!"
Hujan mulai turun lagi. Angin yang kencang membawa
percikan-percikan air ke dalam gua. Obor di tangan Harrison meredup
dan nyaris padam. "Kami tak pernah dapat kesempatan untuk hidup!"
Louisa merintih. Petir menggelegar. Seluruh gua seperti terguncang. Anjing
herder itu menggeram sambil memperlihatkan giginya.
Aku menatap ketiga anak Sadler dalam cahaya yang menarinari. Dan di depan mataku mereka mulai berubah.
Mula-mula rambut mereka rontok dan jatuh ke lantai.
Dan kemudian kulit mereka mulai mengelupas, sampai tinggal
tengkorak yang menyeringai.
"Ayo, ikut kami, saudara sepupu!" tengkorak Louisa berbisik.
Tangannya menggapai-gapai ke arah Terri dan aku.
"Ikut sssaja!" Sam mendesis. Rahangnya yang tak berdaging
tampak bergerak naik-turun. "Kami sudah menggali kuburan yang
bagus untuk kalian. Persis di sebelah kuburan kami."
"Mainlah denganku," tengkorak Nat memohon. "Mainlah
denganku. Jangan pergi, jangan!"
Ketiga hantu itu menghampiri kami sambil mengulurkan tangan
untuk meraih Terri dan aku.
Aku mundur sambil memekik tertahan.
Harrison pun berusaha mengelak. Matanya tampak terbelalak
karena ngeri. Dan kemudian obor di tangannya diterpa angin kencang.
Chapter 27 OBOR itu berkelap-kelip, lalu padam.
Seketika kami diselubungi kegelapan yang pekat. Aku
merasakan gerakan-gerakan di sekelilingku, dan mendengar suara kaki
diseret-seret di lantai gua yang keras.
Aku mendengar ketiga hantu itu memohon-mohon sambil
berbisik. Semakin dekat. Semakin dekat.
Dan tiba-tiba sebuah tangan dingin meraih tanganku!
Aku menjerit, tapi kemudian aku mendengar suara adikku,
"Jerry - lari!"
Terri! Sebelum sempat menarik napas, aku sudah ditarik adikku
menembus kegelapan. Hujan deras menyambut kami ketika kami keluar dari mulut
gua. "Lari! Lari!" Terri memekik-mekik. Sorot matanya liar.
Tangannya yang dingin masih menggenggam tanganku.
"Lari! Lari!" Tanpa henti dia meneriakkan kata itu.
"Lari! Lari!" Tapi ketika kami menuruni tebing karang, pekikan-pekikan
Terri tenggelam dalam bunyi petir yang menggelegar.
Seluruh tebing terguncang.
Kakiku nyaris terpeleset.
Aku berseru tertahan ketika menyadari bahwa gemuruh yang
memekakkan telingaku bukan disebabkan petir.
Di bawah terpaan hujan yang mendera, Terri dan aku berbalik
dan melihat batu-batu berjatuhan dari atas mulut gua.
Rupanya kedudukan batu-batu itu goyah akibat angin dan
hujan. Dan kini semuanya berjatuhan, tumpang tindih, saling
membentur dan menabrak. Semua batu itu jatuh di depan mulut gua. Sampai mulut gua
sepenuhnya tertimbun. Sambil melindungi mata dari terpaan hujan, aku memandang ke
gua dan menunggu. Aku ingin tahu apakah ada yang keluar dari sana.
Tapi ternyata tak seorang pun terlihat.
Ketiga hantu tidak muncul-muncul.
Begitu pula orang tua berambut putih itu.
Harrison Sadler telah mengorbankan nyawanya untuk
menangkap hantu-hantu tersebut.
Petir menyambar, dan sekilas gua itu tampak terang benderang.
Kini giliran aku menarik Terri pergi. "Ayo, kita pulang saja,"
aku mengajaknya. Tapi dia tidak beranjak dari tempatnya. Dia tetap menatap
mulut gua yang telah tertimbun batu-batu besar.
"Ayo, Terri. Kita pulang saja. Semuanya sudah berakhir,"
kataku sambil menyeretnya. "Misteri ini sudah terpecahkan. Tak ada lagi yang
perlu ditakuti." Chapter 28 BEBERAPA menit kemudian, Agatha membuka pintu rumah
dan bergegas keluar untuk menyambut kami. "Ke mana saja kalian"
Brad dan aku sudah kuatir sekali."
Dia menggiring kami ke dalam sambil berceloteh dan
menggeleng-gelengkan kepala. Dia tampak lega karena Terri dan aku
ternyata tidak apa-apa. Terri dan aku mengeringkan badan serta berganti baju.
Hujan telah berhenti ketika kami bergabung di dapur dengan
Brad dan Agatha untuk menikmati teh panas. Di luar, angin masih
berembus dengan kencang. "Sekarang ceritakan dulu apa yang terjadi," ujar Brad. "Agatha dan aku kuatir
sekali karena kalian di luar di tengah-tengah badai."
"Ceritanya agak panjang," aku berkata kepada mereka, sambil menggenggam cangkir
yang panas untuk menghangatkan tanganku.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana."
"Bagaimana kalau dari awal saja?" Brad mengusulkan.
"Biasanya itu tempat yang paling baik." Terri dan aku bergantian menuturkan
pengalaman kami dengan ketiga anak hantu dan gua
beserta laki-laki tua itu. Aku menyadari bahwa roman muka mereka
berubah saat mendengarkan cerita kami.
Aku tahu mereka mencemaskan keselamatan Terri dan aku.
Dan aku tahu mereka kecewa karena kami tidak menaati larangan
mereka, tapi nekat masuk ke gua.
Suasana di dapur menjadi hening ketika aku mengakhiri
ceritaku. Brad memandang ke luar jendela dan memperhatikan air
yang menetes-netes dari atap. Agatha berdehem, namun tidak berkata
apa-apa. "Kami menyesal sekali," Terri angkat bicara. "Mudah-mudahan kalian tidak marah."
"Yang penting kalian berdua kembali dengan selamat," balas Agatha. Dia
menghampiri Terri dan memeluknya erat-erat.
Kemudian Agatha berpaling padaku. Dia sudah merentangkan
tangan untuk mendekapku - tapi tiba-tiba dia berhenti.
Di luar terdengar suara anjing menyalak dengan keras.
Terri melompat ke pintu belakang dan membukanya. "Jerry!"
serunya. "Itu anjingnya Harrison Sadler. Dia berhasil keluar dari gua.
Sepertinya dia mengikuti kita ke sini."
Aku menuju pintu. Anjing itu tampak basah kuyup. Bulunya
yang kelabu menempel di punggungnya.
Terri dan aku mengulurkan tangan untuk membelainya.
Tapi di luar dugaan kami, anjing itu malah mundur dan
menggeram. "Sini kau," aku berkata dengan lembut. "Kau pasti takut sekali, ya?"
Anjing itu menyeringai dan mulai menggonggong lagi.
Terri membungkuk dan berusaha menenangkannya. Tapi anjing
itu mengelak dan menyalak sejadi-jadinya.
"Hei!" seruku. "Aku temanmu! Aku bukan hantu!"
Terri menatapku dengan heran. "Benar juga. Kita bukan hantu.
Kenapa dia menggonggong seperti ini?"
Aku angkat bahu. "Ssst. Tenang, tenang."
Anjing itu tidak menggubris usahaku. Dia terus menyalak dan
melolong. Aku berbalik dan melihat Brad dan Agatha merapat ke dinding
dapur. Wajah keduanya tampak kencang karena ngeri.
"Itu kan Brad dan Agatha," aku berkata kepada anjing itu.
"Mereka orang baik. Mereka takkan menyakitimu."
Dan kemudian aku menelan ludah. Jantungku mulai berdegupdegup. Tiba-tiba aku sadar kenapa anjing itu menggonggong tanpa
henti. Dia menggonggong karena Brad dan Agatha!
Agatha menghampiri pintu sambil menuding anjing itu. "Anjing
nakal!" serunya. "Anjing nakal. Kamu telah membongkar rahasia kami."
Terri menahan napas. Dia langsung memahami maksud Agatha.
Agatha membanting pintu dapur, lalu berpaling kepada Brad.
"Sayang sekali anjing itu muncul di sini, katanya sambil
menggelengkan kepala seakan-akan menyesal. "Sekarang apa yang
harus kita lakukan dengan kedua anak ini, Brad" Apa yang harus kita
lakukan dengan mereka?" END
Ebukulawas.blogspot.com Terbang Harum Pedang Hujan 14 Wiro Sableng 163 Cinta Tiga Ratu Pangeran Matahari Dari Puncak 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama