Ceritasilat Novel Online

Perkemahan Hantu 1

Goosebumps - Perkemahan Hantu Bagian 1


CHAPTER 1 "KAU kan tahu aku selalu mabuk kalau naik bus, Harry," Alex mengeluh.
"Aduh, Alex, jangan macam-macam." Kudorong adikku ke
jendela. "Kita sudah hampir sampai. Masa sudah dekat begini kau masih mau mabuk
juga?" Bus kami menyusuri jalan yang sempit. Aku berpegangan pada
sandaran kursi di depanku dan memandang keluar jendela.
Di mana-mana hanya ada pohon pinus. Semuanya serba hijau. Sinar
matahari menerobos jendela bus yang berdebu.
Wow, sebentar lagi kami sampai di Camp Spirit Moon, pikirku
dengan gembira. Aku sudah tak sabar untuk turun dari bus. Penumpangnya cuma
dua - adikku Alex dan aku. Terus terang, rasanya agak seram juga.
Sopir bus tersembunyi di balik tirai berwarna hijau. Aku cuma
sepintas melihatnya ketika kami naik. Senyumnya sih ramah. Kulitnya kecokelatan
karena matahari. Rambutnya pirang berombak. Dan ia
memakai anting perak di salah satu telinganya.
"Selamat datang, dudes!" ia menyapa kami.
Setelah bus berangkat dan perjalanan panjang dimulai, ia tidak
kelihatan atau kedengaran lagi. Ihhh, seram.
Untung saja Alex dan aku lumayan akur. Ia setahun lebih muda
dariku. Umurnya sebelas. Tapi ia sudah setinggi aku. Kami biasa
dijuluki si kembar Altman, padahal kami bukan anak kembar.
Rambut kami sama-sama hitam lurus, mata kami sama-sama cokelat
tua, dan wajah kami pun sama-sama berkesan serius.
Orangtua kami selalu mengingatkan agar kami harus lebih
ceria - bahkan pada saat kami sedang bergembira ria!
"Rasanya aku mulai mabuk, Harry," Alex mengeluh.
Aku berpaling dari jendela. Muka adikku tiba-tiba kelihatan
kuning. Dagunya gemetaran. Wah, ini pertanda buruk.
"Alex, anggap saja kau tidak lagi naik bus," kataku padanya.
"Anggap saja kau lagi naik mobil."
"Tapi aku juga mabuk kalau naik mobil," ia mengerang.
"Kalau begitu bayangkan yang lain saja," ujarku. Alex bahkan bisa mabuk kalau
Mom mengeluarkan mobil dari garasi!
Mabuk darat, laut, dan udara memang kebiasaan buruk adikku.
Pertama-tama mukanya jadi kuning. Lalu ia mulai gemetaran. Dan
habis itu - ah, pokok-nya jorok, deh!
"Tahan sebentar lagi," kataku padanya. "Kita sudah hampir sampai di perkemahan."
"Tapi aku mual sekali," Alex mengerang.
"Aku tahu!" seruku. "Cobalah bernyanyi. Itu kan selalu membantu. Bernyanyilah,
Alex. Bernyanyilah keras-keras. Takkan
ada yang mendengarnya. Cuma ada kita berdua di bus ini."
Alex senang bernyanyi. Suaranya memang merdu.
Guru musik di sekolah kami bilang bahwa Alex dikaruniai perfect
pitch. Aku tidak tahu persis apa maksudnya. Tapi sepertinya sih itu pujian untuk
adikku. Kalau menyangkut soal menyanyi, Alex serius sekali. Ia ikut
paduan suara di sekolah. Dad bilang ia akan mencarikan pelatih suara untuk Alex
pada musim gugur tahun ini.
Aku menatap adikku ketika bus kami kembali terguncangguncang. Mukanya sudah sekuning kulit pisang. Benar-benar alamat
buruk. "Ayo - bernyanyilah," aku mendesaknya.
Dagu Alex gemetaran. Ia berdeham. Kemudian ia mulai
menyanyikan lagu Beatles kesukaan kami berdua.
Suaranya bergetar setiap kali bus terguncang. Tapi tampangnya
mendingan setelah ia menyanyi.
Ide bagus, Harry, aku memuji diriku sendiri.
Aku memperhatikan pohon-pohon pinus di luar sambil
mendengarkan suara Alex. Suaranya memang benar-benar bagus lho.
Apakah aku iri" Sedikit, mungkin. Tapi ia tidak bisa memukul bola tenis sekeras aku. Dan aku
selalu menang kalau kami adu cepat berenang. Jadi kedudukannya
kurang-lebih seimbang. Alex berhenti menyanyi. Ia menggeleng-gelengkan kepala
dengan lesu. "Coba Dad dan Mom mendaftarkanku di perkemahan
musik." Ia menghela napas.
"Alex, musim panas sudah hampir berakhir," aku
mengingatkannya. "Berapa kali sih urusan ini harus kita bahas" Dad dan Mom
menunggu terlalu lama. Mereka terlambat
mendaftarkanmu." "Aku tahu," ujar Alex sambil mengerutkan kening. "Cuma kupikir..."
"Camp Spirit Moon satu-satunya perkemahan yang masih
membuka pendaftaran," kataku. "Hei, lihat tuh!"
Kulihat dua ekor rusa di luar - satu sudah dewasa, satu lagi
masih bayi. Keduanya berdiri di tepi hutan sambil memandang ke arah bus yang
melaju kencang. "Yeah. Bagus. Rusa," Alex bergumam kesal.
"Hei - semangat sedikit, dong," seruku. Adikku memang suka mengomel. Kadang-kadang
aku ingin mengguncang-guncang
tubuhnya. Biar tahu rasa! "Siapa tahu Camp Spirit Moon ternyata perkemahan
paling seru di dunia," ujarku.
"Atau paling payah," sahut Alex. Ia mengorek-ngorek karet busa yang menyembul
dari lubang di jok kursi.
"Perkemahan musik itu pasti asyik sekali." Ia menghela napas.
"Bayangkan saja, setiap musim panas ada dua sandiwara musik. Itu baru seru!"
"Sudahlah, Alex," kataku. "Kita nikmati saja Camp Spirit Moon. Liburan kita
tinggal beberapa minggu."
Sekonyong-konyong bus kami berhenti.
Aku tersentak ke depan, lalu ke belakang. Aku cepat-cepat
menoleh ke jendela, berharap melihat perkemahan di luar. Tapi yang kelihatan
cuma pohon-pohon pinus. Tumbuh bertebaran di mana-mana.
"Camp Spirit Moon! Semuanya turun!" teriak si sopir.
Semuanya" Kan cuma ada Alex dan aku!
Si sopir mengintip dari balik tirai hijau sambil cengar-cengir.
"Bagaimana perjalanannya, dudes?" ia bertanya.
"Lumayan," sahutku sambil berdiri. Alex diam saja.
Si sopir turun. Kami menyusulnya dan berdiri di sisi bus.
Rumput yang tinggi di sekeliling kami tampak berkilau-kilau karena sinar
matahari. Sopir bus itu membuka tempat bagasi dan mengeluarkan ransel dan
kantong tidur kami. Semua barang bawaan kami diletakkannya di
rumput. "Ehm... mana perkemahannya?" tanya Alex.
Aku melindungi mata dengan sebelah tangan dan memandang
berkeliling. Jalan yang sempit tampak membelok dan menembus
hutan pinus. "Lewat situ, dudes," si sopir memberitahu. Ia menunjuk jalan setapak yang
menerobos di antara pohon-pohon. "Tidak jauh, kok.
Pasti ketemu, deh." Ia menutup tempat bagasi, lalu kembali naik ke bus.
"Nikmatilah kunjungan kalian!" serunya.
Pintu bus menutup, dan bus itu langsung berangkat lagi.
Alex dan aku memandang ke arah jalan setapak. Aku
memanggul ranselku sedangkan kantong tidur kukepit di bawah
lengan. "Bukankah semestinya ada orang yang menyambut kita?" tanya Alex.
Aku angkat bahu. "Si sopir kan sudah bilang bahwa jaraknya
tidak jauh dari sini."
"Tapi tetap saja," balas Alex. "Seharusnya ada pembina yang menjemput kita."
"Perkemahannya kan sudah mulai," aku mengingatkannya.
"Sekarang sudah pertengahan musim panas. Jangan mengeluh terus, dong. Ayo, kita
jalan saja. Angkat barang-barangmu. Aku kepanasan
di sini!" Kadang-kadang aku memang harus bersikap sebagai kakak dan
mengatur adikku. Kalau tidak begitu, ia bisa terus mengomel dan
menggerutu tak keruan. Ia meraih barang-barangnya, kemudian mengikutiku menyusuri
jalan setapak. Tanah merah yang kering kerontang bekersak-kersak
ketika diinjak. Si sopir ternyata tidak bohong. Setelah berjalan dua atau tiga
menit, kami sudah sampai di sebuah lapangan berumput. Sebuah tanda bertulisan
huruf-huruf merah menyambut kami: CAMP SPIRIT
MOON. Di bawah tulisan itu ada anak panah yang menunjuk ke
kanan. "Nah, betul kan" Kita sudah sampai!" kataku dengan gembira Kami mengikuti jalan
setapak menaiki bukit yang landai. Dua kelinci berbulu cokelat melintas di
hadapan kami. Bunga-bunga liar berwarna merah dan kuning tampak berayun-ayun di
lereng bukit. Begitu kami tiba di puncak bukit, perkemahan itu langsung
terlihat. "Hei, kelihatannya bagus sekali!" aku berseru.
Aku melihat pondok-pondok mungil bercat putih di pinggir
danau berair biru. Beberapa perahu dayung ditambatkan ke dermaga
kayu yang menjorok ke danau.
Sebuah bangunan besar dari batu terletak agak terpisah.
Bangunan itu pasti gedung asrama atau sebangsanya. Di tepi hutan
terdapat lapangan tanah merah dengan sejumlah bangku kayu.
Kelihatannya seperti tempat untuk membuat api unggun.
"Hei, Harry - di sini ada lapangan bisbol dan lapangan sepak
bola," kata Alex sambil menunjuk.
"Asyik!" seruku.
Aku melihat sederet papan bulat dengan lingkaran-lingkaran
berwarna merah-putih. "Wow! Lapangan panahan juga ada," aku berseru. Aku suka
panahan, dan aku lumayan jago.
Kupindahkan ranselku dari bahu kiri ke bahu kanan. Kemudian kami
menuruni bukit dan berjalan menuju perkemahan itu.
Di tengah jalan kami sama-sama berhenti. Lalu kami
berpandangan. "Rasanya ada yang aneh di sini," ujar Alex.
Aku mengangguk. "Yeah, aku juga merasa begitu." Aku
menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat aneh. Sesuatu yang
menyebabkan tenggorokanku seperti tercekik dan perutku serasa
diaduk-aduk. Tak seorang pun kelihatan.
Perkemahan itu sunyi dan lengang.
Chapter 2 "KOK tidak ada siapa-siapa?" aku bertanya. Pandanganku beralih dari pondok ke
pondok. Tak seorang pun kelihatan.
Aku memandang ke danau di balik pondok-pondok. Dua burung kecil
berwarna gelap sedang terbang rendah di atas permukaan danau yang
berkilau. Tapi tak ada yang berenang di situ.
Aku berpaling ke hutan yang mengelilingi perkemahan.
Matahari sore sudah mulai condong ke barat. Tak ada tanda-tanda
bahwa ada orang di hutan.
"Barangkali kita salah tempat," ujar Alex perlahan.
"Hah" Salah tempat?" Aku menunjuk tanda yang kami lewati tadi. "Mana mungkin
kita salah tempat" Tulisannya jelas-jelas Camp Spirit Moon - ya, kan?"
"Barangkali sedang ada acara kunjungan ke tempat lain," Alex menduga-duga.
Aku geleng-geleng kepala seraya menghardik, "Kau memang
tidak tahu apa-apa tentang perkemahan! "Di sini tidak ada tempat lain untuk
dikunjungi!" "Jangan marah-marah, dong!" Alex menggerutu.
"Habis, omonganmu tidak masuk akal, sih!" sahutku dengan gusar. "Kita sendirian
di perkemahan di tengah hutan. Kita tidak boleh panik."
"Barangkali semua orang sedang berkumpul di gedung batu
yang besar itu," ujar Alex. "Coba kita ke situ."
Aku tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Tak ada yang
bergerak. Seluruh perkemahan tampak diam bagaikan dalam foto.
"Oke, kita ke sana," kataku setuju. "Tak ada salahnya kita periksa dulu."
Kami masih menyusuri jalan setapak berliku-liku yang
menuruni lereng bukit - ketika sebuah seruan lantang membuat kami
tersentak kaget. "Yo! Hei! Tunggu!"
Seorang pemuda berambut merah muncul di samping kami. Ia
memakai celana tenis dan kaus berwarna putih. Umurnya sekitar enam belas atau
tujuh belas tahun. "Hei - aku tidak melihatmu tadi!" seruku. Aku betul-betul
kaget. Sesaat Alex dan aku cuma berdua saja, tapi tahu-tahu pemuda itu sudah
berdiri di samping kami - sambil cengar-cengir lagi.
Ia menunjuk ke hutan. "Aku sedang mencari kayu bakar," ia menjelaskan. "Dan aku
lupa waktu." "Kau pembina di sini?" tanyaku.
Ia menggunakan bagian depan kausnya untuk menyeka keringat
di kening. "Ya. Namaku Chris. Kalian pasti Harry dan Alex."
Alex dan aku mengangguk. "Sori aku telat menjemput kalian," Chris minta maaf. "Tapi kalian tidak kuatir,
kan?" "Tentu saja tidak," sahutku cepat-cepat.
"Harry agak ngeri. Tapi aku tidak," ujar Alex. Kadang-kadang ia benar-benar
menyebalkan. Untuk apa ia bilang begitu"
"Mana yang lainnya?" aku bertanya kepada Chris. "Kami tidak melihat siapa-siapa
sejak tadi." "Semuanya pergi," Chris menyahut sambil menggelengkan
kepala dengan sedih. Ketika ia kembali berpaling ke arah kami, aku segera
melihat raut mukanya yang ketakutan.
"Kita - kita cuma bertiga di sini," ia berkata dengan suara gemetar.
Chapter 3 "HAH" Semuanya pergi?" Alex memekik. "Tapi - tapi - ke mana mereka?"
"Masa sih kita sendirian!" seruku. "Hutan ini..."
Chris mengembangkan senyum. Kemudian ia tertawa terbahakbahak. "Sori, tapi aku tidak tahan lagi." Ia merangkul Alex dan aku, dan
menggiring kami ke perkemahan. "Aku cuma bercanda, kok."
"Apa" Bercanda?" tanyaku. Aku benar-benar bingung.
"Ini lelucon khas Camp Spirit Moon," Chris menjelaskan
sambil cengar-cengir. "Anak-anak yang baru tiba dipelonco dulu.
Semua peserta dan pembina bersembunyi di hutan kalau ada
pendatang baru. Lalu salah satu pembina keluar dan bercerita bahwa para peserta
yang lain sudah kabur. Bahwa tidak ada siapa-siapa lagi di sini."
"Ha-ha. Lucu sekali," aku berkomentar dengan sinis.
"Kalian selalu menakut-nakuti pendatang baru?" tanya Alex.
Chris mengangguk. "Yeah. Itu sudah tradisi di Camp Spirit
Moon. Di sini banyak tradisi seru. Lihat saja nanti. Pada waktu api unggun nanti
malam..." Ia terdiam karena seorang pria besar berambut hitam yang juga
berpakaian serba putih - berjalan menghampiri kami. "Yo!" orang itu berseru dengan
suara berat yang menggelegar.
"Ini Paman Marv," bisik Chris. "Dia pengelola perkemahan ini.
"Yo!" Paman Marv kembali berseru ketika tiba di hadapan
kami. "Apa kabar, Harry?" Ia mengajakku ber-high five. Aku nyaris terpental ke
pepohonan. Paman Marv menatap Alex dan aku sambil tersenyum lebar.
Orangnya begitu besar - aku jadi teringat pada beruang grizzly di
kebun binatang di kota kami.
Rambutnya yang hitam panjang dan berminyak dibiarkannya
acak-acakan tanpa disisir. Matanya yang kecil berwarna biru,
menyerupai sepasang kelereng di bawah alisnya yang tebal.


Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengannya kekar, bagaikan lengan pegulat. Dan lehernya
sebesar batang pohon! Ia mengulurkan tangan, lalu bersalaman dengan Alex. Aku
mendengar bunyi krak dan melihat adikku meringis kesakitan.
"Jabat tangan yang mantap, Nak," kata Paman Marv kepada
Alex. Kemudian ia berpaling padaku. "Apakah Chris sudah
memperkenalkan tradisi kami untuk menyambut pendatang baru?"
Suaranya yang begitu keras membuatku ingin menutup telinga.
Apakah suara Paman Marv selalu sekeras ini" aku bertanya
dalam hati. "Yeah. Kami sempat tertipu," aku mengakui. "Aku benar-benar percaya bahwa tidak
ada siapa-siapa di sini."
Kedua mata Paman Marv tampak berbinar-binar. "Itu salah satu
tradisi kami yang paling kuno," katanya sambil nyengir lebar sekali.
Sepertinya ia punya enam deret gigi!
"Sebelum kuantar ke pondok kalian, aku ingin mengajarkan
kalian salam Camp Spirit Moon dulu," ujar Paman Marv. "Chris dan aku akan
memperagakannya." Mereka berdiri berhadapan.
"Yohhhhhh, Spirits!" Paman Marv berseru.
"Yohhhhhh, Spirits!" Chris menyahut.
Kemudian mereka saling memberi hormat dengan tangan kiri,
menempelkan tangan ke hidung, lalu mengayunkannya ke samping.
"Begitulah cara peserta Camp Spirit Moon saling memberi
salam," Paman Marv memberitahu kami. Ia menarik Alex dan aku.
"Ayo, sekarang giliran kalian."
Aku tidak tahu bagaimana denganmu, tapi aku sih agak kikuk
kalau disuruh mengerjakan hal-hal seperti ini. Aku tidak suka cara salam yang
konyol. Rasanya terlalu kekanak-kanakan.
Tapi aku baru tiba di perkemahan ini. Dan aku tidak ingin
Paman Marv mendapat kesan buruk tentangku. Aku berdiri di hadapan
adikku. "Yohhhhhh, Spirits!" aku berseru. Kemudian aku memberi
salam tempel hidung dengan sigap.
"Yohhhhhh, Spirits!!!" Alex jauh lebih bersemangat daripada aku. Ia memang suka
hal-hal konyol seperti ini.
Paman Marv tertawa terbahak-bahak. "Bagus! bagus sekali!
Aku yakin kalian akan betah di Camp Spirit Moon."
Ia mengedipkan mata kepada Chris. "Tapi ujian sebenarnya
baru nanti malam, waktu api unggun."
Chris mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ujian?" tanyaku. "Ujian apa?"
Paman Marv menepuk-nepuk pundakku. "Tenang Harry.
Tenang saja." Entah kenapa, caranya berkata justru membuatku semakin
waswas. "Semua pendatang baru mengikuti acara Api Unggun Selamat
Datang," Chris menjelaskan. "Itulah kesempatan untuk mempelajari tradisi-tradisi
Camp Spirit Moon." "Awas, jangan bilang apa-apa lagi," kata Paman Marv dengan tegas. "Nanti bukan
kejutan lagi, dong!"
"Kejutan...?" tanyaku dengan suara parau.
Kenapa aku mendadak waswas" Kenapa tenggorokanku tibatiba seperti tercekik" Kenapa dadaku berdebar-debar"
"Apakah ada acara menyanyi nanti?" tanya Alex. "Aku suka menyanyi. Di rumah aku
ikut les menyanyi dan..."
"Jangan kuatir. Kau pasti akan mendapat kesempatan untuk
menyanyi. Percayalah," Paman Marv berkata dengan nada yang
membuat bulu kudukku berdiri.
Matanya yang biru menyorot dingin - sedingin es. Aku
langsung merinding. Ah, ia cuma mau menakut-nakuti kami, pikirku. Ini semua
cuma lelucon. Ia cuma berolok-olok. Semua pendatang baru pasti
ditakut-takuti seperti ini. Memang begitu tradisi di Camp Spirit Moon.
"Menurutku kalian akan menikmati acara api unggun nanti
malam", Paman Marv berkata dengan suaranya yang menggelegar.
"Kalau kalian berhasil selamat!"
Ia dan Chris tertawa. "Sampai nanti," ujar Chris. Ia memberi salam tempel hidung pada Alex dan aku,
kemudian menghilang ke dalam hutan.
"Nah, ini tempat tinggal kalian selama di sini," Paman Marv mengumumkan. Ia
membuka pintu kawat nyamuk di salah satu
pondok putih yang mungil. "Astaga!" Pintu itu nyaris copot dari engselnya.
Alex dan aku membawa barang-barang kami ke dalam pondok.
Pada ketiga sisi dinding terdapat ranjang susun. Selain itu ada lemari-lemari
kecil dari kayu untuk menyimpan barang.
Semua dinding dicat putih. Lampu yang tergantung dari langitlangit memancarkan sinar yang terang benderang. Cahaya jingga
matahari yang sedang terbenam masuk melalui jendela kecil di atas
salah satu ranjang susun.
Lumayan juga, pikirku. "Tempat tidur itu masih kosong," Paman Marv berkata sambil menunjuk tempat tidur
di bawah jendela. "Kalian boleh atur sendiri siapa yang tidur di atas dan siapa
yang tidur di bawah."
"Aku di bawah saja," ujar Alex cepat-cepat. "Aku sering bolak-balik kalau sedang
tidur." "Dan dia juga bernyanyi sambil tidur," aku memberitahu Paman Marv. "Alex begitu
gila menyanyi sehingga pada waktu tidur pun ia tidak mau berhenti."
"Kalau begitu kau harus ikut acara unjuk bakat," Paman Marv berkata kepada Alex.
Dan dengan merendahkan suara ia mengulangi,
"Kalau kau berhasil selamat nanti malam." Ia tertawa.
Kenapa ia terus bilang begitu"
Ia cuma bercanda, aku mengingatkan diriku sendiri. Paman
Marv cuma bercanda. "Pondok-pondok untuk para peserta putra ada di sebelah kiri,"
Paman Marv memberitahu kami. "Pondok-pondok untuk para peserta putri ada di
sebelah kanan. Nah, kalian tentu sudah melihat bangunan besar dari batu di tepi
hutan, bukan" Itu gedung pertemuan, yang
digunakan bersama-sama."
"Haruskah kami membongkar ransel sekarang?" tanya Alex.
Paman Marv menyibakkan rambutnya yang berminyak. "Ya.
Pakai saja lemari yang kosong. Tapi jangan lama-lama. Yang lain
akan segera kembali dari hutan dengan membawa kayu bakar.
Sebentar lagi tiba waktunya untuk acara api unggun."
Ia berseru, "Yohhhhhh, Spirits!" dan memberi salam tempel hidung.
Kemudian ia berbalik dan melangkah keluar. Pintu pondok
dibantingnya keras-keras.
"Orangnya ramai," aku bergumam.
"Tapi agak menyeramkan," Alex menimpali.
"Dia cuma bercanda," aku menenangkan adikku. "Pendatang baru di perkemahan musim
panas pasti ditakut-takuti seperti ini."
Kuseret ranselku ke tempat tidur.
"Tapi semuanya cuma main-main. Kau tak perlu takut," ujarku.
Kulemparkan kantong tidurku ke pojok ruangan. Lalu aku
menghampiri salah satu lemari untuk melihat apakah masih ada laci
yang kosong. "Aww...!" aku berseru ketika aku menginjak sesuatu.
Aku memandang ke bawah. Sebuah genangan berwarna biru.
Sepatu ketsku menginjak genangan berwarna biru yang lengket.
"Hei...!" Aku berusaha menarik kakiku. Cairan biru itu kental sekali, dan terus
melekat pada telapak dan pinggiran sepatuku.
Aku memandang berkeliling.
Dan melihat genangan-genangan serupa. Di depan semua
tempat tidur ada genangan berwarna biru yang lengket.
"Ada apa ini" Cairan apa ini?" seruku.
Chapter 4 ALEX telah membuka ransel dan sedang mengeluarkan barangbarangnya ke tempat tidur bawah. "Ada apa sih, Harry?" ia bertanya tanpa
menoleh. "Ada semacam lendir biru," sahutku. "Coba lihat nih. Di mana-mana ada genangan
di lantai." "Memangnya kenapa?" Alex bergumam. Ia menengok dan
mengamati cairan biru yang menempel di sepatuku. "Paling-paling ini cuma tradisi
perkemahan," ia berkelakar.
Aku tidak menganggapnya lucu. "Iiih!" seruku. Aku
membungkuk dan menyentuh genangan itu dengan ujung jari.
Ih, dingin sekali! Lendir biru itu terasa dingin seperti es.
Aku langsung menarik tanganku. Rasa dinginnya menjalar ke
lenganku. Kukibas-kibaskan lenganku. Kemudian kugosok-gosok agar
hangat. "Aneh," gumamku.
Tapi sebenarnya itu belum apa-apa dibandingkan apa yang telah
menantiku. ******** "Api unggun!" Seruan Paman Marv dari balik pintu kawat nyamuk
menggetarkan seluruh pondok.
Alex dan aku langsung berpaling ke arah pintu. Kami baru saja
selesai membongkar ransel masing-masing. Saking sibuknya, aku
tidak sadar bahwa matahari telah terbenam dan di luar sudah gelap.
"Semuanya sudah menunggu," Paman Marv berkata. Ia
tersenyum-senyum. Matanya yang kecil sampai hampir tak kelihatan.
"Api Unggun Selamat datang adalah acara kesukaan kami semua."
Alex dan aku mengikutinya keluar. Aku menarik napas dalamdalam. Udara segar dan berbau daun cemara.
"Wow!" seru Alex.
Api unggun sudah berkobar-kobar. Lidah api berwarna jingga
dan kuning tampak menari-nari.
Kami mengikuti Paman Marv ke lapangan tempat api unggun
dinyalakan. Kemudian kami melihat peserta perkemahan dan para
pembina. Mereka duduk mengelilingi api unggun dan menghadap ke arah
kami. Mengamati kami dengan saksama.
"Hei, semuanya berbaju sama!" seruku.
"Itu seragam kita," ujar Paman Marv. "Kalian akan
memperolehnya seusai acara api unggun."
Ketika Alex dan aku mendekat, semua peserta perkemahan dan
pembina berdiri. Seruan "YOHHHHH, SPIRITS!" yang membahana membuat pohon-pohon
bergetar. Setelah itu kami disambut dengan
seratus salam tempel hidung.
Alex dan aku membalas salam itu.
Chris, si pembina berambut merah, muncul di samping kami.
"Selamat datang," katanya. "Kita akan memanggang sosis dulu sebelum acara
dimulai. Jadi, silakan ambil tusukan dan sosis, dan
bergabunglah dengan yang lain."
Anak-anak lain tampak berbaris di depan meja makan panjang.
Di tengah meja itu aku melihat piring besar yang penuh sosis mentah.
Beberapa anak menegurku dengan ramah ketika aku mulai ikut
mengantre. "Kau tidur di pondokku," ujar anak laki-laki yang jangkung dan berambut pirang.
"Pondok kita paling hebat!"
"Hidup pondok nomor tujuh!" seru seorang anak perempuan.
"Perkemahan ini asyik sekali," ujar anak yang mengantre di depanku sambil
menoleh ke belakang. "Kau pasti akan betah di sini, Harry."
Mereka semua bersikap sangat ramah. Di depan aku melihat
dua anak bermain dorong-dorongan dan saling berusaha
mengeluarkan lawan dari antrean. Anak-anak lain mulai bersoraksorak menyemangati mereka.
Api unggun berderak-derak di belakangku, memancarkan
cahaya jingga. Aku agak kikuk, karena tidak berpakaian serba putih seperti
yang lain. Aku memakai T-shirt hijau dan celana jeans yang pipanya sudah
kupotong. Apakah Alex juga merasa seperti aku"
Aku menoleh dan mencarinya dalam antrean. Ia berada di
belakangku, dan sedang mengobrol dengan anak laki-laki yang
pendek dan berambut pirang. Aku senang ia sudah mendapat teman
baru. Dua pembina membagi-bagikan sosis. Baru sekarang aku sadar
bahwa aku benar-benar kelaparan. Sebenarnya Mom sudah
menyiapkan sandwich untuk Alex dan aku sebagai bekal perjalanan.
Tapi kami terlalu tegang dan gugup untuk makan tadi.
Aku menerima sepotong sosis dan berpaling ke api unggun
yang berderak-derak. Sejumlah anak telah berkumpul di sekeliling api, dan sedang
memanggang sosis yang ditancapkan pada tusukan-tusukan panjang.
Di mana aku bisa mendapatkan tusukan" aku bertanya dalam
hati sambil memandang berkeliling.
"Tusukannya di sebelah sana," seorang anak perempuan berseru dari belakangku seakan-akan pikiranku bisa terbaca olehnya.
Aku membalik dan melihat anak perempuan yang kira-kira
sebaya denganku. Tentu saja ia juga berpakaian serbaputih. Ia cantik sekali,
dengan mata gelap dan rambut hitam berkilau yang dikucir.
Kulitnya begitu pucat, sehingga matanya yang gelap berkesan
menyala. Ia menatapku sambil tersenyum. "Anak baru pasti bingung
mencari tusukan," katanya. Ia mengantarku ke setumpuk tusukan di bawah pohon
pinus yang menjulang tinggi. Ia mengambil dua tusukan
dan menyerahkan satu padaku.
"Namamu Harry, bukan?" tanyanya. Untuk ukuran anak
perempuan, suaranya cukup besar dan agak parau.
"Yeah. Harry Altman," sahutku.
Tiba-tiba saja aku salah tingkah. Aku tidak tahu kenapa. Aku
memalingkan wajah dan menancapkan sosis ke ujung tusukan.
"Namaku Lucy," katanya, lalu ia kembali ke anak-anak lain yang duduk
mengelilingi api unggun. Aku mengikutinya. Wajah semua anak memantulkan cahaya api
yang menari-nari. Aroma sosis yang sedang dipanggang membuatku
semakin lapar. Empat anak perempuan tampak berkerumun sambil
menertawakan sesuatu. Aku melihat salah satu anak laki-laki makan
sosisnya langsung dari tusukan.
"Idih," ujar Lucy. Ia meringis. "Ayo, kita ke sebelah sana saja."
Ia mengajakku ke sisi seberang. Tiba-tiba ada bunyi letusan di
tengah api unggun. Kedengarannya seperti petasan. Kami sama-sama
tersentak kaget. Lucy tertawa.
Kami duduk di rumput, lalu mulai memanggang. Nyala api
telah bertambah besar dan bunyinya menderu-deru. Aku bisa
merasakan pancaran panasnya di wajahku.
"Aku paling suka sosis yang dipanggang sampai gosong." Ia memutar tongkatnya dan
menyorongkannya semakin jauh ke tengah
api. "Aku suka rasanya. Kau sendiri bagaimana?"
Aku hendak menyahut - tapi sekonyong-konyong sosisku
terlepas dari tongkat. "Oh, ya ampun!" seruku ketika sosis itu menghilang di
balik lidah api yang menari-nari.
Aku berpaling ke Lucy. Lalu aku membelalak karena kaget dan ngeri. Ia mencondongkan badan ke depan. Mengulurkan tangan ke
tengah api. Meraih sosisku di tengah bara api, dan mengangkatnya.


Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ebukulawas.blogspot.com Chapter 5 SERTA-MERTA aku berdiri. "Awas tanganmu!" pekikku.
Lidah api berwarna kuning menjilat-jilat tangan Lucy dan merambat
ke lengannya. Ia menyerahkan sosisku. "Nih," katanya seakan-akan tidak ada apa-apa.
"Tapi tanganmu!" seruku. Mataku terbelalak lebar karena ngeri.
Perlahan-lahan kulitnya terbakar. Ia menatap tangannya dengan
bingung. Sepertinya ia heran kenapa aku begitu panik.
"Oh! Hei...!" serunya akhirnya. Matanya yang gelap langsung melebar. "Aduh!
Panasnya!" Ia mengibas-ngibaskan tangan sampai apinya padam.
Kemudian ia tertawa. "Paling tidak aku berhasil menyelamatkan sosismu yang
malang. Moga-moga kau suka rasa gosong!"
"Tapi... tapi... tapi...," aku tergagap-gagap. Sambil terbengong-bengong aku
mengamati tangan dan lengannya. Aku yakin kulitnya
sempat terbakar tadi. Tapi ternyata sama sekali tidak ada bekasnya.
"Rotinya ada di sebelah sana," Lucy berkata. "Kau mau keripik kentang?"
Aku terus menatap tangannya. "Kau harus menemui juru
rawat," ujarku. Ia menggosok-gosok lengan dan pergelangan tangannya. "Tidak
perlu. Aku tidak apa-apa kok." Ia menggerak-gerakkan jarinya. "Nih, lihat."
"'Tapi apinya..."
"Ayo, Harry." Ia menarikku ke meja makan. "Sebentar lagi acara api unggun akan
dimulai." Di meja makan aku bertemu Alex. Ia masih ditemani anak lakilaki pendek berambut pirang tadi.
"Aku sudah dapat teman baru," Alex memberitahuku. Mulutnya penuh keripik
kentang. "Namanya Elvis. Ada-ada saja, ya" Elvis McGraw. Dia satu pondok dengan
kita." "Bagus," gumamku. Aku masih teringat pada api yang
membakar lengan Lucy. "Perkemahan ini asyik sekali," kata Alex. "Elvis dan aku mau ikut seleksi untuk
acara unjuk bakat dan pertunjukan musik."
"Bagus," ujarku sekali lagi.
Aku meraih sepotong roti dan menaruh segenggam keripik
kentang di piringku. Kemudian aku mencari-cari Lucy. Ternyata ia
sedang mengobrol dengan beberapa anak perempuan lainnya di dekat
api unggun. "Yoooh Spirits!" sebuah suara besar membahana. Aku segera
mengenali suara itu. Pasti Paman Mary.
"Semuanya ambil tempat di sekeliling api unggun!" ia memberi perintah. "Cepat cari tempat, semuanya!"
Semuanya bergegas membentuk lingkaran di sekeliling api
unggun sambil membawa piring dan minuman ringan. Anak-anak
cowok dan anak-anak cewek mengelompok sendiri-sendiri. Rupanya
masing-masing pondok sudah mempunyai tempat tertentu.
Paman Marv menggiring Alex dan aku ke tengah-tengah
lingkaran. "Yohhhhh, Spirits!" ia kembali berseru. Saking kerasnya, api unggun itu ikut
bergetar! Semuanya membalas seruan itu dan memberi salam tempel
hidung. "Acara kita mulai dengan menyanyikan lagu kebesaran
perkemahan kita," Paman Marv mengumumkan.
Semuanya bangkit. Paman Marv mulai menyanyi, dan yang lain
segera bergabung. Aku mencoba ikut-ikutan, tapi tidak tahu melodinya. Apalagi
liriknya. Mereka terus mengulangi kata-kata, "We have the spirit - and
the spirit has us" - kita memiliki semangat dan semangat memiliki kita.
Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi kedengarannya cukup
seru. Lagunya ternyata panjang sekali. Bait demi bait terus sambungmenyambung. Dan setiap kali ada kata-kata "We have the spirit - and the spirit has
us". Alex menyanyi keras-keras. Dasar tukang pamer! Sebenarnya ia
juga tidak tahu liriknya, tapi tetap saja menyanyi sekeras mungkin.
Alex bangga sekali punya suara merdu. Dan ia memanfaatkan
setiap kesempatan untuk memamerkan kelebihannya itu.
Aku melirik ke samping adikku. Elvis, teman barunya,
mendongak dan membuka mulut lebar-lebar. Ia juga menyanyi
sekeras-kerasnya. Sepertinya Alex dan Elvis sedang bersaing. Sepertinya mereka
ingin membuktikan suara siapa yang sanggup membuat daun-daun
berguguran dari pepohonan!
Tapi ada satu masalah. Suara Elvis jelek sekali!
Suaranya kecil dan melengking. Dan setiap nada yang keluar
dari mulutnya terdengar sumbang.
Rasanya aku ingin menutup telinga. Tapi aku sedang berusaha
mengikuti lagu kebesaran Camp Spirit Moon.
Terus terang, usaha itu tidak mudah dengan kedua tukang teriak
di sampingku. Alex menyanyi begitu keras, sehingga urat-urat di
lehernya bertonjolan. Dan Elvis berusaha mengalahkan adikku dengan suara
sumbangnya. Wa jahku terasa panas. Mula-mula kusangka penyebabnya adalah pancaran panas dari
api unggun. Tapi kemudian aku sadar bahwa wajahku seperti
membara karena malu. Aku malu karena tingkah laku Alex. Aku tidak mengerti
kenapa ia harus pamer seperti itu pada malam pertama di perkemahan.
Paman Marv tidak memperhatikannya. Ia telah pindah ke sisi
anak-anak perempuan. Sambil berjalan ia terus menyanyi.
Aku mundur diam-diam, menjauhi api unggun.
Aku terlalu salah tingkah untuk tetap di situ. Nanti, begitu
lagunya selesai, aku menyelinap ke sini lagi, aku berkata dalam hati.
Aku tidak tahan melihat adikku bersikap seperti itu.
Lagu itu seakan-akan tak ada habisnya. "We have the spirit and the spirit has us," semuanya bersenandung.
Sampai kapan mereka akan bernyanyi" aku bertanya-tanya. Aku
semakin menjauh, dan menyusup ke antara pepohonan. Udara di sini
jauh lebih sejuk. Suara Alex tetap terdengar lantang.
Dia harus kutegur, aku berkata dalam hati. Dia harus kuberitahu
bahwa pamer seperti itu sama sekali tidak pantas.
"Ohh!" aku memekik kaget ketika pundakku ditepuk.
Seseorang menarikku dari belakang.
"Hei...!" Aku membalik dan menoleh ke arah pepohonan.
Sambil memicingkan mata aku memandang ke kegelapan.
"Lucy! Sedang apa kau di sini?" seruku tertahan. "Tolong aku, Harry," ia memohon
sambil berbisik. "Kau harus menolongku."
Chapter 6 AKU merinding. "Lucy... ada apa?" bisikku.
Ia membuka mulut untuk menyahut. Tapi sebelum Ia sempat
mengatakan sesuatu, suara Paman Marv telah menggelegar.
"Hei, kalian berdua!" si pengelola perkemahan berseru lantang.
"Harry! Lucy! Dilarang diam-diam masuk hutan!"
Para peserta perkemahan yang lain langsung tertawa terbahakbahak. Seketika wajahku terasa panas Aku memang gampang salah
tingkah. Sifatku menyebalkan sekali - tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mengatasinya. Semua orang menatap Lucy dan aku ketika kami kembali ke api
unggun. Alex dan Elvis ber-high Five sambil menertawakan kami
berdua. Paman Marv terus mengawasiku. "Syukurlah kau begitu cepat
mendapat teman baru, Harry," ia berkata dengan suaranya yang
membahana. Lagi-lagi aku menjadi sasaran olok-olok para peserta
perkemahan. Aku malu sekali. Rasanya aku ingin ditelan bumi saja.
Tapi aku juga cemas memikirkan Lucy.
Apakah dia sengaja mengikutiku ke hutan" Dan kalau ya,
kenapa" Kenapa dia minta tolong padaku"
Aku duduk di antara Lucy dan Elvis. "Lucy... ada apa sih?" aku berbisik.
Ia cuma menggeleng. Ia tidak meno leh ke arahku.
"Sekarang aku akan menceritakan dua kisah hantu," Paman
Marv berkata. Di luar dugaanku, beberapa anak memekik kaget. Kemudian
semua orang terdiam. Bunyi api yang meretih-retih seakan-akan bertambah keras.
Sayup-sayup terdengar angin yang bertiup di antara pepohonan.
Bulu kudukku berdiri. Cuma angin, kataku dalam hati.
Kenapa semuanya mendadak begitu serius" Begitu ketakutan"
"Kedua kisah hantu Camp Spirit Moon telah diceritakan dari
generasi ke generasi," Paman Marv mulai bertutur. "Kisah-kisah ini akan terus
diceritakan, selama masih ada legenda-legenda yang
misterius." Aku melihat beberapa anak gemetar di seberang api unggun.
Semuanya menatap lidah api yang menari-nari. Semuanya
pasang tampang kencang. Ketakutan.
Ini kan cuma cerita hantu, ujarku dalam hati. Kenapa semuanya
bersikap begitu aneh"
Mereka pasti sudah sering mendengar cerita-cerita ini. Jadi
kenapa mereka kelihatan begitu ngeri"
Da lam hati aku tertawa. Kok ada orang yang ngeri mendengar cerita hantu"
Aku berpaling ke Lucy. "Ada apa sih dengan mereka?" tanyaku.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Kau tidak takut
hantu?" bisiknya. "Hantu?" Aku tertawa pelan-pelan. "Alex dan aku tidak percaya hantu," sahutku.
"Dan kami tidak pernah ngeri mendengar cerita hantu. Tidak pernah!"
Ia mencondongkan badan ke arahku. Lalu berbisik ke telingaku,
"Barangkali kau akan berubah pikiran - setelah malam ini."
Chapter 7 LIDAH api tampak menjulang tinggi sambil menari-nari,
seolah-olah hendak menjangkau langit yang bertaburan bintang.
Paman Marv mencondongkan badan ke depan. Matanya yang kecil
dan bulat bersinar-sinar.
Suasana mendadak sunyi. Suara angin pun tak terdengar lagi.
Udara malam terasa dingin di punggungku. Aku beringsutingsut mendekati api unggun. Anak-anak lain melakukan hal yang
sama. Tak ada yang bicara. Semua mata tertuju pada Paman Marv
yang mengembangkan senyum.
Kemudian, sambil merendahkan suara, ia mulai menuturkan
cerita hantu yang pertama...
Sekelompok peserta perkemahan pergi ke hutan untuk
menginap di sana. Mereka membawa tenda dan kantong tidur. Mereka
membentuk barisan dan menyusuri jalan setapak sempit yang meliukliuk di antara pohon-pohon.
Pembina mereka bernama John. Ia membawa mereka semakin
jauh ke tengah hutan. Awan-awan hitam melintas di langit dan menutupi bulan.
Rombongan itu langsung diselubungi kegelapan. Mereka terus
beriringan sambil berusaha mengikuti jalan setapak yang berkelokkelok. Kadang-kadang lapisan awan terkuak sedikit, dan mereka
disinari cahaya bulan yang dingin. Pohon-pohon berpendar keperakan, bagaikan
hantu di tengah hutan. Mula-mula mereka masih bernyanyi. Tapi semakin lama
mereka berjalan, suara mereka pun semakin pelan.
Akhirnya semua terdiam. Mereka mendengarkan suara langkah
mereka sendiri. Sesekali terdengar suara binatang kecil yang
menyelinap di semak belukar.
"Kapan kita berhenti dan mendirikan tenda?" seorang anak perempuan bertanya pada
John. "Nanti," balas John. "Kita harus lebih jauh lagi masuk ke hutan."
Mereka terus berjalan. Udara bertambah dingin. Pohon-pohon
di sekeliling mereka meliuk-liuk tertiup angin yang berputar-putar.
"Kita sudah bisa mendirikan tenda, John?" seorang anak laki-laki bertanya.
"Jangan dulu," jawab John. "Kita masih terlalu dekat ke perkemahan."
Jalan setapak berakhir. Rombongan itu harus mencari jalan
sendiri menembus pepohonan, menghindari semak berduri, melewati
lapisan daun kering yang bekersak-kersak saat diinjak.
Dari atas terdengar suara burung hantu. Mereka juga mendengar
kepak sayap kelelawar. Mahkluk-makhluk mungil berlarian dan
melintas di depan kaki mereka.
"Kami capek, John," seorang anak laki-laki mengeluh.
"Tendanya kita dirikan di sini saja, ya?"
"Jangan. Masih kurang jauh," John berkeras. "Apa gunanya menginap di hutan kalau
bukan di tengah-tengahnya?"
Dan mereka pun kembali berjalan. Berjalan sambil
mendengarkan suara binatang-binatang malam. Sambil melihat
pohon-pohon tua di sekeliling mereka berayun-ayun.
Akhirnya mereka tiba di sebuah lapangan terbuka yang luas.
"Di sini saja ya, John?" para anggota rombongan memohon.
"Ya," ujar John. "Sekarang kita sudah cukup jauh. Tempat ini cocok sekali."
Mereka meletakkan barang bawaan masing-masing di tengah
lapangan. Cahaya bulan yang keperakan membuat tanah di sekeliling
mereka berkilau-kilau. Mereka bersiap-siap untuk mendirikan tenda. Tapi suatu bunyi
aneh menyebabkan mereka berhenti.
Dag-dug dag-dug. "Suara apa itu?" seru salah seorang anak.
John menggelengkan kepala. "Paling-paling angin."
Mereka kembali mempersiapkan tenda, menancapkan pasakpasak ke tanah yang gembur dan membuka lipatannya.
Tapi sekali lagi mereka berhenti karena mendengar suara aneh
itu. Dag-dug dag-dug. Mereka merinding karena ngeri.
"Suara apa itu?" mereka bertanya.
"Mungkin ada binatang," sahut John.
Dag-dug dag-dug. "Tapi suaranya dekat sekali!" pekik seorang anak laki-laki.
"Suaranya datang persis dari atas kita," kata anak lain "Atau dari bawah kita."
"Di hutan memang banyak suara aneh," ujar John. "Sudahlah, kalian tak perlu
kuatir." Mereka mendirikan tenda. Dan menggelar kantong tidur
masing-masing. Dag-dug dag-dug. Mereka mencoba mengabaikan suara aneh itu. Tapi suaranya
begitu dekat. Sangat dekat.
Suaranya aneh sekali, tapi sekaligus sangat akrab di telinga
mereka. Suara apa itu" mereka bertanya-tanya. Apa yang membuat suara
seperti itu" Dag-dug dag-dug. Mereka tidak bisa memejamkan mata. Suara itu keras, terlalu
menakutkan - terlalu dekat.


Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dag-dug dag-dug. . Mereka menyelinap ke kantong tidur masing-masing. Menarik
ritsleting sampai rapat dan menutup telinga.
Dag-dug dag-dug. Sia-sia. Suara itu terus menghantui mereka. "John, kami tidak bisa tidur,"
mereka mengeluh. "Aku juga," balas John.
Dag-dug dag-dug. "Apa yang harus kita lakukan?" para anggota rombongan
bertanya. John tidak sempat menjawab.
Mereka kembali mendengar suara Dag-dug dag-dug .
Dan kemudian sebuah suara besar menggeram: "KENAPA
KALIAN BERDIRI DI ATAS JANTUNGKU?"
Bumi bergetar. Para anggota rombongan mendadak sadar suara apa yang telah
mereka dengar. Dan ketika tanah di sekeliling mereka terangkat,
mereka baru tahu bahwa mereka berkemah di kulit licin sesosok
monster yang mengerikan. "Rupanya kita terlalu jauh masuk hutan!" seru John.
Itulah ucapannya yang terakhir.
Dag-dug dag-dug. Detak jantung sang monster.
Dan kemudian monster itu mengangkat kepalanya yang besar
dan penuh bulu. Mulutnya membuka. Dan ia menelan John beserta
rombongannya tanpa dikunyah dulu.
Mereka meluncur di tenggorokan sang monster, dan detak
jantungnya semakin keras.
Dag-dug dag-dug. Dag-dug dag-dug. Dag-DUG!
Dag-dug yang terakhir diserukan keras-keras oleh Paman Marv.
Beberapa peserta perkemahan menjerit. Ada juga yang menatap
Paman Marv sambil membisu, dengan wajah tegang karena ngeri. Di
sampingku, Lucy merangkul lututnya dan menggigit bibir.
Paman Marv mengembangkan senyum. Wajahnya
memantulkan cahaya api unggun yang menari-nari.
Aku tertawa dan berpaling kepada Elvis. "Ini baru cerita lucu!"
ujarku. la menatapku sambil memicingkan mata. "Hah" Lucu?"
"Yeah. Lucu sekali," jawabku sekali lagi.
Elvis mengerutkan kening. "Tapi cerita itu betul-betul terjadi!"
katanya pelan-pelan. Chapter 8 AKU tertawa. "Hah, yang benar saja," ujarku sambil geleng-geleng kepala.
Semula kupikir Elvis bakal ikut tertawa. Tapi ternyata tidak.
Pantulan cahaya api unggun tampak menari-nari di matanya yang biru.
Kemudian ia berpaling dan berbicara pada adikku.
Aku merinding. Kenapa ia bersikap begitu aneh" Apa ia pikir
aku bakal percaya cerita konyol seperti ini" Mustahil!
Aku bukan anak kemarin sore. Umurku sudah dua belas tahun.
Sudah lama aku tidak lagi percaya pada hal-hal seperti Kelinci Paskah dan Peri
Gigi. Aku berpaling kepada Lucy. Ia masih duduk sambil merangkul
lutut dan memandang ke api unggun.
"Ada-ada saja, ya. Kenapa sih dia?" aku bertanya seraya
mengangguk ke arah Elvis. "Anak itu aneh sekali."
Pandangan Lucy tetap terarah lurus ke depan. Tampaknya ia
tidak mendengarku karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Akhirnya ia menoleh dan mengedipkan mata. "Apa?"
"Teman baru adikku," kataku seraya kembali mengangguk ke arah Elvis. "Dia bilang
cerita Paman Marv tadi betul-betul terjadi."
Lucy mengangguk, tapi tidak mengatakan apa pun.
"Menurutku cerita itu lucu," aku menambahkan.
Lucy meraih ranting pohon dan melemparnya ke tengah api
unggun. Aku menunggu ia mengatakan sesuatu. Tapi ia sudah
termenung-menung lagi. Api unggunnya mulai mengecil. Bara api dan potonganpotongan kayu yang telah hangus tampak berserakan di tanah. Chris
dan seorang pembina lainnya mengambil kayu bakar tambahan.
Aku memperhatikan mereka mengurus api unggun. Mereka
melempar ranting-ranting dan daha-dahan ke atas bara. Setelah apinya membesar
lagi, keduanya meletakkan balok-balok kayu ke tanah.
Kemudian mereka mundur, dan Paman Marv mengambil tempat
di depan api unggun. Ia berdiri sambil menyelipkan tangan ke saku
celana pendeknya yang berwarna putih. Bulan purnama tampak
melayang di atas kepalanya, membuat rambutnya yang panjang
berkilauan. Ia tersenyum. "Dan sekarang aku akan menceritakan kisah
tradisional kedua dari Camp Spirit Moon," ia mengumumkan.
Suasana kembali hening. Aku bersandar ke belakang sambil
berusaha menarik perhatian adikku.
Tapi Alex sedang memandang ke arah Paman Marv dari balik
api unggun. Aku yakin Alex juga tidak percaya pada cerita pertama tadi. Ia
paling sebal mendengar cerita hantu. Bahkan lebih dari aku.
Menurutnya, cerita hantu cuma untuk anak kecil. Dan aku sependapat dengannya.
Jadi, kenapa sikap Elvis begitu aneh"
Barangkali ia cuma bercanda. Barangkali ia ingin
mempermainkanku. Ataukah ia berusaha menakut-nakutiku"
Lamunanku buyar akibat suara Paman Marv yang menggelegar.
"Kisah ini diceritakan setiap tahun di Camp Spirit Moon," katanya.
"Ini kisah tentang Kemah Hantu."
Ia merendahkan suaranya, sehingga kami semua terpaksa
mencondongkan badan ke depan supaya bisa mendengarnya. Dan
dengan suara tertahan, ia mulai menuturkan cerita Kemah Hantu.
Kisah itu terjadi di suatu perkemahan yang sangat mirip dengan
Camp Spirit Moon. Pada suatu malam yang hangat di musim panas,
semua peserta perkemahan dan para pembina duduk mengelilingi api
unggun yang berkobar-kobar.
Mereka memanggang sosis dan marshmallow. Mereka
menyanyikan lagu-lagu tentang alam. Salah satu pembina bermain
gitar dan memimpin yang lain menyanyikan lagu demi lagu.
Setelah bosan bernyanyi, para pembina secara bergantian
menceritakan kisah-kisah hantu. Mereka juga menceritakan legendalegenda kuno yang telah disampaikan secara turun-temurun selama
hampir seratus tahun. Malam semakin larut. Nyala api unggun telah meredup. Bulan
purnama yang pucat tampak melayang tinggi di langit malam yang
gelap. Si pengelola perkemahan maju untuk menutup acara api
unggun. Tiba-tiba semua terselubung kegelapan.
Mereka menengadah - dan melihat bahwa bulan telah tertutup
lapisan awan hitam yang tebal.
Kabut datang bergulung-gulung, menyelimuti seluruh
perkemahan. Kabut yang dingin dan lembap. Mula-mula berwarna
kelabu. Tapi semakin lama semakin gelap.
Dan semakin tebal. Sampai akhirnya menyerupai asap hitam.
Kabut itu menyapu api unggun yang sudah nyaris padam.
Menyelubungi para peserta dan pembina. Menutup pondok-pondok
dan danau dan pohon-pohon.
Kabutnya begitu tebal dan gelap, sehingga para peserta tidak
bisa saling melihat. Mereka tidak bisa melihat api unggun. Atau tanah.
Atau bulan di angkasa. Kabut itu terus berputar-putar. Lembap, begitu lembab dan
hening. Kemudian berlalu tanpa suara.
bagaikan asap yang tertiup angin.
Bulan kembali bersinar. Rumput tampak berkilau-kilau,
seakan-akan diselubungi embun.
Api unggun telah padam. Yang tersisa hanyalah beberapa
potong kayu hangus yang membara mengeluarkan desisan.
Kabut itu bergerak perlahan. Melewati pohon-pohon. Dan
lenyap tanpa bekas. Para peserta perkemahan duduk mengelilingi api unggun yang
sudah padam. Mata mereka memandang kosong. Lengan mereka
terkulai lemas. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang
bergerak. Sebab mereka semua sudah tak bernyawa. Kabut itu bergerak
meninggalkan kemah hantu.
Para peserta, para pembina, si pengelola - semuanya telah
menjadi hantu. Hantu. Semuanya. Tanpa kecuali.
Mereka bangkit pelan-pelan. Dan kembali ke pondok masingmasing. Mereka tahu bahwa kemah hantu telah menjadi rumah
mereka - untuk selama-lamanya!
Sambil tersenyum Paman Marv mundur menjauhi api unggun.
Aku memandang berkeliling. Wajah-wajah yang kulihat tampak
begitu serius. Tak ada yang tersenyum, apalagi tertawa.
Ceritanya lumayan juga, pikirku. Cukup menakutkan.
Tapi akhirnya kurang bagus.
Aku menoleh untuk menanyakan pendapat Alex. Dan memekik
tertahan ketika melihat roman mukanya yang berkesan ketakutan.
"Ada apa, Alex?" ku berseru. Suaraku memecahkan keheningan. "Ada apa?"
Ia tidak menyahut. Pandangannya tertuju ke langit. Ia
menunjuk. Aku menengadah - dan langsung memekik karena kaget.
Dengan mataku sendiri aku melihat kabut hitam bergulunggulung dan mulai menyelubungi perkemahan.
Chapter 9 AKU sampai terbengong-bengong ketika kabut itu mendekat.
Segala sesuatu yang dilintasinya menjadi gelap.
Pohon-pohon. Langit. Tidak mungkin! aku berkata dalam hati.
Ini tidak masuk akal! Aku bergegas menghampiri Alex. "Ini cuma kebetulan," kataku padanya.
Tampaknya ia tidak mendengarku. Ia langsung bangkit. Seluruh
tubuhnya gemetaran. Aku berdiri di sampingnya. "Ini cuma kabut," ujarku sambil berusaha agar suaraku
tetap tenang. "Di hutan memang sering ada kabut."
"Masa, sih?" sahut Alex dengan suara pelan. Kabut hitam itu mulai menyelubungi
kami. "Tentu saja," kataku. "Hei - kita kan tidak percaya hantu. Kita tidak pernah
takut kalau mendengar cerita hantu."
"Tapi - tapi..." Alex tergagap-gagap. "Kenapa semua orang memandang ke arah kita?"
ia akhirnya bertanya. Aku berbalik dan memicingkan mata agar dapat melihat lebih
jelas. Alex benar. Semua orang yang duduk mengelilingi api unggun
sedang menatap Alex dan aku. Wajah-wajah mereka tampak samarsamar di balik tirai kabut.
"A-aku juga tidak tahu kenapa," aku berbisik pada adikku.
Kabut terus bergulung-gulung di sekitar kami. Aku menggigil.
Rasanya dingin sekali. "Harry - aku punya firasat buruk," bisik Alex.
Kabutnya kini begitu tebal sehingga aku nyaris tidak bisa
melihatnya, padahal ia berdiri persis di sampingku.
"Aku tahu kita tidak percaya hantu," ujar Alex. "Tapi ini benar-benar aneh.
Benar-benar seram." Suara Paman Marv memecahkan keheningan dari sisi seberang.
"Ah, betapa indahnya kabut ini," ujarnya. "Mari kita semua berdiri dan
menyanyikan lagu kebesaran Camp Spirit Moon."
Alex dan aku sudah berdiri. Para peserta dan pembina lainnya
bangkit dengan patuh. Mereka tampak pucat di balik kabut.
Aku menggosok-gosok lenganku yang dingin dan lembap.
Kemudian aku mengeringkan wajah dengan bagian depan T-shirt-ku.
Kabut semakin tebal dan gelap ketika Paman Marv mulai
bernyanyi. Yang lain segera bergabung. Alex pun ikut. Tapi kali ini suaranya
jauh lebih pelan. Suara-suara kami seakan-akan diredam oleh kabut yang tebal.
Suara Paman Marv yang menggelegar pun terdengar lebih pelan,
seolah-olah datang dari jauh.
Aku mencoba bernyanyi. Tapi aku belum hapal liriknya. Dan
suaraku seperti tersangkut di tenggorokan.
Ketika aku memandang kabut yang bergumpal-gumpal, suarasuara di sekelilingku pun semakin pelan. Semua orang menyanyi, tapi suara mereka
seperti tertelan kabut. Suara para peserta dan pembina berangsur-angsur lenyap.
Semuanya. Kecuali suara Alex.
Agaknya tinggal ia sendiri yang masih bernyanyi. Dan suaranya
terdengar begitu jernih dan lembut di tengah kabut gelap.
Dan kemudian Alex juga berhenti menyanyi. Kabut hitam itu
berlalu. Kegelapan yang menyelubungi kami mulai terkuak.
Cahaya bulan yang keperakan kembali menyinari kami.
Alex dan aku memandang berkeliling - dan memekik kaget.
Selain kami berdua, tidak ada siapa-siapa.
Hanya ada Alex dan aku di depan api unggun yang sudah nyaris
padam. Chapter 10 AKU berkedip. Dan berkedip lagi.
Aku tidak tahu kenapa. Barangkali aku berharap para pembina
dan anak-anak lain akan muncul lagi kalau aku mengedip-ngedipkan
mata. Alex dan aku tercengang. Semua orang lenyap seiring hilangnya kabut. Para peserta
perkemahan. Para pembina. Paman Marv.
Aku merinding. Kulitku terasa lembap dan dingin gara-gara
kabut tebal tadi. "M-mana...?" Alex tergagap-gagap.
Aku menelan ludah. Sebuah balok kayu yang sudah hangus mendadak patah dua.
Bunyi itu mengejutkanku. Aku tersentak kaget. Dan kemudian aku mulai tertawa.
Alex menatapku sambil memicingkan mata. " Harry...?"
"Masa kau belum sadar juga?" tanyaku. "Ini semua cuma lelucon."
Ia mengerutkan kening. "Hah?"
"Lelucon perkemahan," aku menjelaskan. "Semua pendatang baru di Camp Spirit Moon
pasti dipermainkan seperti ini."
Seluruh muka Alex tampak berkerut-kerut. Ia sedang
memikirkan ucapanku. Tapi sepertinya ia tidak percaya.
"Mereka semua kabur ke hutan," aku menjelaskan padanya.
"Mereka memanfaatkan kabut tadi untuk lari. Semuanya sudah
bersekongkol. Aku yakin semua pendatang baru dikerjai seperti ini."
"Tapi - kabutnya..." ujar Alex dengan suara parau.
"Kabutnya pasti cuma tipuan!" aku berseru. "Mereka pasti punya semacam mesin
asap. Supaya lelucon mereka bisa berjalan
lancar."

Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex mengusap-usap dagu. Sorot matanya menunjukkan bahwa
ia masih agak ngeri. "Permainan ini pasti sudah jadi tradisi di Camp Spirit Moon,"
aku berusaha meyakinkannya. "Paman Marv menceritakan sebuah
kisah. Lalu seseorang menghidupkan mesin asap, dan asapnya
bergulung-gulung ke tempat api unggun. Lalu semua orang kabur dan
bersembunyi." Alex menoleh dan memandang ke arah hutan. "Aku tidak
melihat seorang pun yang bersembunyi di sana," ujarnya pelan. "Dan tak ada siapa
pun yang mengintai kita."
"Aku yakin mereka semua sudah kembali ke pondok masingmasing," kataku. "Mereka pasti sudah menunggu kita. Menunggu untuk melihat
tampang kita yang ketakutan."
"Mereka mau menertawakan kita karena kita tertipu lelucon
konyol ini," Alex menambahkan.
"Ayo, kita ke sana!" seruku. Aku menepuk pundaknya.
Kemudian aku mulai berlari ke deretan pondok, melintasi rumput
yang basah. Alex menyusul tepat di belakangku. Rumput itu tampak
berkilau-kilau karena cahaya bulan yang keperakan.
Ternyata benar - ketika kami mendekati barisan pondok, semua
peserta perkemahan menghambur keluar. Mereka tertawa dan
bersorak-sorai sambil saling ber-high five.
Mereka benar-benar menikmati lelucon mereka. Pendatang baru
pasti dipermainkan seperti itu kalau kebetulan ada kabut, mereka
memberitahu kami. Aku melihat Lucy tertawa bersama sekelompok anak
perempuan. Elvis menarik Alex, dan mereka bergulat di tanah sambil
tertawa-tawa. Semua orang menggoda Alex dan aku. Semuanya berkomentar
betapa pucat tampang kami.
"Hah, kami sama sekali tidak ngeri, kok," aku berbohong. "Alex dan aku sudah
tahu ini cuma tipuan."
Tapi tawa dan sorak-sorai mereka malah semakin keras.
"Huhhhhh!" Beberapa anak menempelkan tangan di sekeliling mulut dan
melolong bagaikan hantu. "Huhhhhh!" Semuanya tertawa terbahak-bahak.
Aku tidak keberatan. Silakan saja.
Aku merasa lega sekali. Jantungku masih berdegup kencang.
Dan lututku masih terasa lemas.
Tapi aku begitu gembira bahwa semuanya cuma lelucon.
Semua perkemahan musim panas punya lelucon seperti ini,
kataku dalam hati. Dan lelucon yang ini memang lucu sekali.
Tapi aku tidak tertipu. Atau paling tidak, aku segera sadar
bahwa ini cuma tipuan. "Perhatian, lima menit lagi semua lampu sudah harus mati!"
Perintah Paman Marv itu mengakhiri senda gurau para peserta
perkemahan. "Semuanya bersiap-siap tidur!"
Semua anak berbalik dan bergegas ke pondok masing-masing.
Aku tiba-tiba bingung. Sambil mengerutkan kening aku memandang
deretan pondok itu. Yang mana pondok kami"
"Ikut aku, Harry," ujar Alex. Ia menarikku ke pondok ketiga.
Untuk hal-hal seperti ini, ingatan Alex lebih bagus daripada
ingatanku. Elvis dan dua anak lain sudah ada di dalam ketika Alex dan aku
masuk. Mereka sedang berganti baju. Kedua anak itu
memperkenalkan diri. Mereka Sam dan Joey.
Aku menuju ke tempat tidurku dan mulai membuka baju.
"Huhhhhh!" Bunyi mengerikan itu membuatku tersentak kaget.
Aku segera berbalik dan melihat Joey cengar-cengir.
Semuanya tertawa. Termasuk aku.
Ternyata ramai juga di sini, kataku dalam hati. Anak-anak di
sini memang jail. Tapi juga lucu.
Sekonyong-konyong aku merasakan sesuatu yang kenyal dan
lengket di bawah kakiku yang telanjang. Idih! Aku menoleh ke bawah.
Rupanya aku telah menginjak genangan lendir berwarna biru.
Tepat pada saat itu lampu pondok padam. Tapi sebelumnya aku
masih sempat melihat genangan-genangan biru di seluruh lantai.
Lendir biru yang dingin itu melekat di telapak kakiku. Aku
tersandung-sandung di pondok yang gelap dan menemukan handuk
untuk menyekanya. Genangan apa sih ini" aku bertanya dalam hati sambil naik ke
tempat tidur. Aku melirik ke arah Joey dan Sam yang tidur di seberang
ruangan. Dan hampir saja aku memekik kaget.
Ternyata mereka sedang menatapku, dan mata keduanya
bercahaya bagaikan senter!
Ada apa ini" aku bertanya-tanya.
Kenapa ada genangan lendir biru di mana-mana" Dan kenapa
mata Sam dan Joey bersinar seperti itu dalam gelap"
Aku berbalik dan menghadap ke dinding. Aku berusaha untuk
tidak memikirkan apa pun.
Aku sudah hampir tertidur - ketika aku merasakan sebuah
tangan yang dingin dan lengket menggamit lenganku.
Chapter 11 "HAH?" Aku langsung duduk tegak. Sentuhan yang dingin dan lembap
itu membuatku merinding. Aku menatap adikku. "Alex - kau ini bikin kaget saja!" bisikku.
"Ada apa, sih?"
Ia berdiri di tempat tidur dan menatapku dengan matanya yang
gelap. "Aku tidak bisa tidur," ia mengeluh.
"Berusaha, dong," aku menyahut dengan ketus. "Kenapa tanganmu begitu dingin?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu," katanya. "Mungkin karena di sini memang
dingin." "Nanti kau akan terbiasa," ujarku. "Kau kan selalu susah tidur di tempat baru."
Aku menguap. Aku menunggu agar ia kembali berbaring. Tapi
ia diam saja. "Harry, kau tidak percaya hantu, kan?" bisiknya.
"Tentu saja tidak," jawabku. "Masa sih kau ngeri gara-gara cerita-cerita konyol
tadi?" "Yeah, kau benar," katanya. "Oke, aku coba tidur lagi, deh."
Ia kembali berbaring. Tempat tidurnya berderit-derit karena ia
terus bolak-balik ke kiri dan ke kanan.
Kasihan, pikirku. Ia jadi ketakutan karena lelucon kabut tadi.
Tapi besok pagi ia pasti sudah merasa lebih enak, ujarku dalam
hati. Aku berbalik dan memandang ke arah tempat tidur Joey dan
Sam. Apakah mata mereka masih menyala-nyala"
Ternyata tidak. Semuanya gelap. Aku hendak berpaling - tapi tidak jadi.
Mataku langsung terbelalak.
"Oh, ya ampun!" aku bergumam.
Aku melihat Joey dalam cahaya yang remang-remang.
Terbaring di kasur. Tertidur lelap.
Dan tubuhnya melayang setengah meter di atas
tempat tidur! Chapter 12 SERTA-MERTA aku mencoba turun dari tempat tidur. Tapi
kakiku terlilit selimut, dan hampir saja aku terjerembap!
"Hei - ada apa, sih?" aku mendengar Alex berbisik dari bawah.
Aku tidak menggubrisnya. Aku berbalik dan melompat ke
lantai. "Aduh!" Karena terlalu terburu-buru, aku salah mendarat dan mata kakiku
terkilir. Rasa nyeri langsung menjalar sampai ke pangkal paha. Tapi aku
tidak menghiraukannya. Sambil terpincang-pincang aku menghampiri
pintu. Aku ingat ada sakelar lampu di sekitar situ.
Aku ingin menyalakan lampu.
Aku harus memastikan bahwa aku tidak salah lihat. Bahwa Joey
benar-benar melayang di udara.
"Harry - ada apa?" Alex memanggil.
"Ada apa, sih" Jam berapa sekarang?" aku mendengar Elvis mengerang sambil
terkantuk-kantuk. Aku bergegas ke pintu. Tanganku meraba-raba dinding sampai
menemukan sakelar lampu. Cepat-cepat aku menekannya.
Lampu di langit-langit menyala, dan pondok mungil itu
langsung terang benderang.
Aku menoleh ke tempat tidur Joey.
Ia mengangkat kepala dari bantal dan menatapku sambil
memicingkan mata. "Harry - ada apa, sih?" Joey menggerutu. Ia sedang tengkurap di
atas selimut. Bukan melayang di udara. Ia menopang dagunya, menguap, lalu mengamatiku sambil
mengerutkan kening. "Matikan lampu!" Sam menghardik. "Kalau Paman Marv
melihat lampu kita menyala..."
"Tapi - tapi..." aku tergagap-gagap.
"Matikan!" seru Elvis dan Sam bersamaan.
Aku memadamkan lampu. "Sori," gumamku. "Kupikir aku melihat sesuatu yang aneh."
Aku malu sekali. Bagaimana mungkin aku sampai mengira Joey
melayang-layang di udara"
Rupanya aku sama takutnya dengan Alex, aku mengaku dalam
hati. Bahkan aku sampai melihat yang bukan-bukan!
Aku berusaha menenangkan diri.
Kau cuma gugup karena ini hari pertama di perkemahan,
pikirku. Aku melangkah pelan-pelan ke tempat tidurku. tapi di tengah
jalan, lagi-lagi aku menginjak genangan lendir yang dingin dan
lengket. ******* Ketika kami bangun keesokan pagi, Alex dan aku menemukan
seragam Camp Spirit Moon kami - celana pendek putih dan T-shirt
putih - telah siap di ujung tempat tidur masing-masing.
Sekarang Alex dan aku takkan tampak mencolok lagi di antara
teman-teman yang lain, pikirku dengan gembira.
Kejadian semalam segera kulupakan. Aku sudah tak sabar
untuk mengawali hari baru di perkemahan yang mengasyikkan ini.
Sore itu Alex ikut seleksi untuk acara unjuk bakat Camp Spirit
Moon. Aku sendiri sebenarnya harus ke lapangan sepak bola. Ada
latihan mendirikan tenda yang harus diikuti oleh sekelompok peserta perkemahan.
Menurut rencana, kami akan menjelajah hutan dan
menginap di sana. Tapi aku berhenti di depan panggung di sisi gedung pertemuan
untuk mendengarkan Alex bernyanyi.
Acara seleksi dipimpin oleh pembina bernama Veronica.
Rambutnya panjang sekali, dan berwarna pirang kecokelatan. Aku
bersandar pada sebatang pohon dan menonton acara itu.
Cukup banyak anak yang ambil bagian. Aku melihat dua
pemain gitar, seorang anak laki-laki dengan harmonika, seorang
penari, dan dua mayoret. Veronica bermain piano di bagian depan panggung. Ia
memanggil Alex dan bertanya lagu apa yang hendak dinyanyikannya.
Ia memilih salah satu lagu Beatles. Adikku tidak pernah
mendengarkan band-band baru. Ia suka The Beatles dan The Beach
Boys - pokoknya kelompok-kelompok musik dari tahun enam
puluhan. Setahuku ia satu-satunya anak sebelas tahun yang gemar
mendengarkan radio khusus lagu-lagu lama. Aku agak kasihan
padanya. Sepertinya ia lahir pada zaman yang keliru.
Veronica memainkan beberapa nada pada piano, dan Alex
mulai bernyanyi. Wah, suaranya! Tadinya anak-anak yang lain sibuk bercanda, tertawa dan
mengobrol. Tapi setelah Alex bernyanyi selama beberapa detik,
semuanya langsung terdiam. Mereka berkumpul di depan panggung
dan mendengarkan alunan suara adikku.
Ia seperti penyanyi profesional! kataku dalam hati. Ia sudah
pantas masuk dapur rekaman.
Veronica pun tampak terkesan. Aku melihatnya mengucapkan
kata "Wow!" tanpa bersuara ketika ia mengiringi Alex dengan permainan pianonya.
Begitu Alex selesai, semua anak langsung bertepuk tangan dan
bersorak-sorai. Elvis mengajak Alex ber-high five ketika adikku turun dari
panggung. Setelah itu giliran Elvis. Ia bilang ia ingin membawakan lagu
Elvis Presley, karena namanya memang diambil dari penyanyi
legendaris itu. Ia berdeham-deham sebentar, lalu mulai menyanyikan lagu
berjudul Heartbreak Hotel.
Hmm... penampilan Elvis bisa membuat orang patah
semangat - sebab ia sama sekali tidak bisa bernyanyi. Setiap nada
yang keluar dari mulutnya terdengar sumbang!
Veronica berusaha sebaik mungkin untuk mengiringinya
dengan piano. Tapi kelihatan sekali bahwa ia mengalami kesulitan.
Sepertinya ia ingin berhenti saja agar bisa menutup kedua telinganya!
Suara Elvis melengking tapi parau. Dan semua nada yang
dinyanyikannya benar-benar fals. Anak-anak di sekitar panggung
sampai meringis-ringis karena tidak tahan.
Mereka mulai menggerutu, dan akhirnya pergi satu per satu.
Elvis memejamkan mata. Ia begitu asyik dengan lagunya,
sehingga sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya.
Masa ia tidak sadar betapa parah suaranya" tanyaku dalam hati.
Kenapa ia nekat ikut seleksi unjuk bakat kalau suaranya lebih mirip suara anjing
yang terjepit pintu"
Elvis mulai mengulangi bagian chorus. Aku segera menyingkir
sebelum gendang telingaku pecah.
Aku mengacungkan jempol kepada Alex dan bergegas ke
lapangan sepak bola. Sam, Joey, dan sekelompok anak lain sudah membuka tenda
dan bersiap-siap memulai latihan yang dipimpin oleh Chris.
Ia melambaikan tangan padaku. "Harry - coba buka tenda di
sebelah situ," ia memberi instruksi. "Coba kita lihat seberapa cepat kau bisa
mendirikannya." Aku memungut bungkusan tenda yang ditunjuknya. Tenda itu
dilipat dan diikat begitu kencang sampai kira-kira sebesar ransel. Aku belum
pernah mendirikan tenda. Aku bahkan tidak tahu bagaimana
cara membuka ikatannya. Chris melihat bahwa aku kebingungan, dan segera
menghampiriku. "Ini mudah, kok," ujarnya.
Ia menarik dua utas tali pengikat, dan tenda nilon itu segera
terbuka. "Betul, kan" Ini tiang-tiangnya. Tendanya tinggal digelar, lalu
ditopang dengan tiang-tiang ini."


Goosebumps - Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menyerahkan bungkusan itu padaku.
"Yeah. Mudah," aku mengulangi.
"Hei, suara apa sih itu?" Joey bertanya sambil menoleh.
Aku pasang telinga. "Oh, itu suara Elvis. Dia lagi bernyanyi,"
aku memberitahu mereka. Nada-nada sumbangnya terdengar sampai ke lapangan sepak
bola. "Kedengarannya seperti anjing kejepit pintu," Joey
berkomentar. Semuanya tertawa. Joey dan Sam mencopot sepatu, lalu berjalan dengan kaki
telanjang. Aku mencontoh mereka. Rumput yang hangat terasa
nyaman di telapak kakiku.
Aku menggelar tenda di rumput. Tiang-tiang penyangga
kutaruh di sebelahnya. Sinar matahari terasa menyengat di tengkuk. Aku menepuk
seekor nyamuk yang hinggap di lenganku.
Tiba-tiba aku mendengar teriakan-teriakan. Aku menoleh, dan
melihat Sam dan Joey bergulat di rumput. Tapi mereka tidak
berkelahi, cuma main-main.
Masing-masing meraih tiang tenda dan berlagak adu pedang.
Bentrok Rimba Persilatan 21 Pendekar Rajawali Sakti 207 Kekasih Sang Pendekar Mayat Kiriman Rumah Gadang 3

Cari Blog Ini