Ceritasilat Novel Online

Rambut Setan 1

Goosebumps - Rambut Setan Bagian 1


Goosebumps - Rambut Setan
eA_A f?|?x PDF & ePub by FotoSelebriti.Net 1
AKU tidak habis pikir kenapa begitu banyak anjing liar di kotaku.
Dan aku lebih heran lagi kenapa harus aku yang mereka incar"
Jangan-jangan mereka sembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan orangorang yang lewat. Lalu mereka saling berbisik, "Kau lihat anak berambut pirang
itu" Itu Larry Boyd-ayo, kita kejar dia."
Aku berlari sekencang mungkin. Tapi tidak mudah untuk berlari kencang sambil
membawa kotak gitar. Kotak itu membentur-bentur kakiku.
Dan aku juga terpeleset-peleset di salju.
Kawanan anjing itu semakin dekat. Semua melolong dan menyalak menakut-nakutiku.
Hmm, usaha kalian memang berhasil! pikirku. Aku ngeri. Ngeri setengah mati!
Kata orang sih, anjing bisa tahu kalau kita takut. Tapi biasanya aku tidak takut
anjing. Sebenarnya, aku justru senang anjing.
Aku cuma takut kalau ada segerombolan anjing yang berlari mengejarku sambil
meneteskan air liur, seakan-akan hendak menerkam dan mengoyak-ngoyakku. Seperti
sekarang. Tergopoh-gopoh aku berusaha menyelamatkan diri, dan nyaris jatuh ke gundukan
salju setinggi lutut. Aku menengok ke belakang. Anjinganjing itu terus mendekat.
Ini tidak adil! pikirku dengan getir. Mereka berkaki empat, sedangkan aku cuma
punya dua! Seperti biasa gerombolan itu dipimpin anjing hitam besar dengan mata hitam
beringas. Dia menyeringai, dan' giginya yang tajam dan runcing kelihatan jelas.
"Pulang! Ayo pulang! Anjing-anjing nakal! Pulang!"
Percuma saja aku berteriak-teriak. Mau pulang ke mana mereka" Mereka tidak punya
rumah! "Pulang! Ayo pulang!"
Sepatu botku tergelincir di salju, dan gitarku yang berat nyaris membuatku
terjatuh. Tapi entah bagaimana aku berhasil menjaga keseimbangan dan terus
melangkah maju. Jantungku berdegup-degup. Tubuhku serasa terbakar, padahal suhu udara saat itu
beberapa derajat di bawah nol.
Salju di sekelilingku begitu putih sehingga aku terpaksa memicingkan mata supaya
tidak silau. Aku berusaha menambah kecepatan, tapi otot-otot kakiku sudah mulai
kram. ' Tamatlah riwayatku! pikirku pasrah.
"Aduh!" Kotak gitar yang berat membentur pinggangku.
Aku melirik ke belakang. Anjing-anjing itu melompat-lompat seakan-akan tak kenal
lelah. Semua melolong dan menggonggong sambil mengejar.
Semakin dekat. Semakin dekat.
"Pulang! Anjing-anjing nakal! Bandel! Pulang!"
Kenapa harus aku" Aku anak baik. Sungguh. Silakan tanya siapa saja. Mereka pasti akan bilang-Larry
Boyd, anak dua belas tahun paling ramah di kota ini!
Jadi kenapa arus aku yang dikejar-kejar"
Terakhir kali aku menyelamatkan diri dengan melompat ke mobil yang diparkir di,
pinggir jalan dan menutup pintunya, persis waktu mereka menerkam. Tapi kali ini
gerombolan anjing itu sudah terlalu dekat. Dan semua mobil di sepanjang jalan
tertutup salju. Sebelum aku sempat membuka pintu salah satu mobil, aku pasti
sudah jadi santapan mereka!
Jarak ke rumah Lily tinggal setengah blok. Rumahnya sudah kelihatan di pojok di
seberang jalan. Itu satu-satunya kesempatanku.
Kalau saja aku bisa sampai ke rumah Lily aku bisa-"ADUUUH!" '
Kakiku tersandung pada batu kecil yang tersembunyi di bawah salju. Kotak gitarku
terlepas dari tanganku dan terpental.
Aku terjerembab. "Tamatlah riwayatku," aku mengerang. "Kali ini aku takkan lolos."
2 SEMUANYA jadi putih. Dengan susah payah aku berusaha bangkit. Terburu-buru kutepis salju yang
menempel di wajahku.open in browser customize fcrowd.com Anjing-anjing itu
menyalak garang. "Hus! Pergi! Ayo pergi!" Suara lain. Suara yang sangat kukenal. "Pergi,
kubilang! Ayo pergi!"
Suara anjing-anjing itu bertambah pelan.
Kutepis salju lembab yang menutupi mataku.
"Lily!" aku berseru dengan gembira. "Kok kau ada di sini?"
Dia mengayunkan sekop salju yang berat ke arah anjing-anjing itu. "Hus!
Pergi! Ayo!" Anjing-anjing yang semula masih menggeram kini merintih-rintih tertahan.
Satu per satu mereka mulai mundur. Anjing hitam raksasa dengan mata hitam pun
menundukkan kepala dan membalik.
Yang lain mengikutinya. "Lily-mereka tunduk padamu!" aku kembali berseru dengan lega. Pelan-pelan aku
berdiri dan menepis-nepis salju dari jaket biruku.
"Tentu saja," sahut Lily sambil nyengir. "Masa kau tidak tahu kalau aku paling
ditakuti di daerah sini, Larry" Semuanya tunduk padaku."
Sebenarnya penampilan Lily Vonn sama sekali tidak menakutkan.
Umurnya dua belas, sama seperti aku, tapi tampangnya masih seperti anak kecil.
Dia pendek dan kurus dan, ehm... lumayan manis. Rambutnya yang pirang dipotong
sebatas dagu dan dibiarkan menutupi keningnya.
Yang aneh pada Lily adalah matanya. Yang satu biru, yang satu lagi hijau.
Tak ada yang percaya bahwa kedua matanya berbeda warna sampai mereka melihatnya
sendiri. , Kutepis salju yang menempel di mantel dan lutut celana jeans-ku. Lily
mengulurkan kotak gitarku. "Moga-moga tahan air," gumamnya.
Aku menoleh ke jalan. Anjing-anjing itu kembali menyalak-nyalak sambil mengejar
seekor tupai. "Aku melihatmu dari jendela kamarku tadi," Lily berkata ketika kami menuju
rumahnya. "Kenapa sih kau selalu dikejar anjing?"
Aku angkat bahu. "Mana aku tahu?" sahutku. "Aku sendiri heran." Salju yang
menutupi trotoar bekersik-kersik di bawah sepatu bot kami.
Lily berjalan di depan. Aku menapakkan kaki pada jejak yang ditinggalkannya.
Kami menunggu sebuah mobil melintas, lalu menyeberang dan memasuki pekarangan
rumah Lily. "Kenapa kau telat?" tanya Lily.
"Aku disuruh ayahku membersihkan salju di depan garasi," jawabku.
Tudung jaketku rupanya kemasukan salju, yang sekarang terasa mengalir di
tengkukku. Aku menggigil. Aku sudah tidak sabar masuk ke rumah Lily yang hangat.
Yang lain ternyata sudah berkumpul di ruang tamu Lily. Aku melambaikan tangan
kepada Manny, Jared, dan Kristina. Manny sedang berlutut dan mengotak-atik
amplifier gitarnya. Sekonyong-konyong gitarnya mengeluarkan suara melengking
yang membuat kami semua tersentak kaget.
Manny jangkung; - kurus, dan bertampang agak bloon, dengan senyum yang menceng
dan rambut hitam ikal yang lalu berkesan acakacakan.
Jared juga berumur dua belas seperti yang lain, tapi tampangnya seperti anak
delapan tahun. Rasanya kami semua belum pernah melihat dia tanpa topi Raidersnya yang berwarna hitam dan perak.
Kristina agak gendut. Rambutnya keriting dan merah seperti wortel. Dia memakai
kacamata dengan bingkai plastik berwarna biru.
Kubuka mantelku yang basah kemudian kugantungkan pada gantungan di dekat pintu
masuk. Rumah Lily terasa hangat dan nyaman. Kurapikan sweterku lalu bergabung dengan
yang lain. Manny menoleh dan tertawa keras-keras. "Hei, lihat tuh-rambut Larry berantakan!
Cepat, foto dia!" Semua tertawa. Mereka selalu berkomentar tentang rambutku. Padahal bukan salahku kalau rambutku
memang bagus, ya, kan" Rambutku panjang, pirang dan berombak.
"Hairy Larry!" Lily berseru.
Ketiga temanku yang lain tertawa lalu ikut bersenandung. "Hairy Larry!
Hairy Larry! Hairy Larry!"
Aku langsung merengut dan menyibakkan rambut. Mukaku mendadak terasa panas.
Aku paling tidak suka diolok-olok. Aku selalu kesal, dan mukaku selalu memerah
karenanya. Mungkin justru karena itu, Lily dan yang lain begitu getol mengolokolokku. Ada saja ide mereka. Kalau bukan soal rambutku, ya soal telingaku yang
besar, atau soal apa saja yang kebetulan terlintas dalam benak mereka.
Dan aku selalu kesal. Dan mukaku selalu merah. Dan mereka semakin menjadi-jadi.
"Hairy Larry! Hairy Larry! Hairy Larry!"
Huh, dasar! Sebenarnya sih, aku senang berteman dengan mereka. Rasanya kami tidak pernah
bosan kalau sedang bersama-sama. Kami berlima juga membentuk band. Minggu ini
namanya The Geeks. Minggu lalu, kami pakai nama The Spirit. Band kami memang
sering berganti-ganti nama.
Lily punya keping emas yang dipasangnya sebagai liontin pada kalung emas. Keping
itu pemberian kakeknya, dan kakeknya bilang, keping emas itu hasil jarahan bajak
laut. Lily pernah mengusulkan nama Pirate Gold untuk band kami. Tapi menurutku nama
itu kurang keren. Dan Manny, Jared, dan Kristina sependapat denganku.
Nama band kami - The Geeks - jauh lebih keren dibandingkan Howie and the
Shouters. Itu nama band yang bakal jadi lawan kami dalam kontes Battle of the
Bands di sekolah. Sampai sekarang kami masih heran bahwa Howie Hurwin nekat memakai namanya
sendiri untuk bandnya itu! Dia cuma pemain drum.
Penyanyinya adalah Marissa, adik perempuannya yang sok "Kenapa nama band-mu
bukan Marissa and the Shouters?" aku sempat bertanya padanya.
"Soalnya jarang ada kata yang bunyinya mirip Marissa," jawab Howie.
"Hah" Memangnya ada kata yang bunyinya mirip Howie?" tanyaku heran.
"Ada, Zowie!" sahutnya. Lalu dia tertawa dan mengacak-acak rambutku.
Dasar konyol. Howie dan adiknya tidak disukai di sekolah.
Dan The Geeks sudah tidak sabar untuk menyapu the Shouters dari panggung.
"Sayang sekali kita tidak punya pemain bas," Jared mengeluh ketika kami menyetem
alat-alat. "Juga pemain saksofon atau trompet," Kristina menambahkan sambil mengeluarkan
beberapa pick gitar berwarna pink dari kotak gitarnya.
"Ah, begini juga sudah bagus kok," Manny berkomentar. Dia masih berlutut dan
mengotak-atik kabel dari gitar ke amplifier. "Suara tiga gitar benar-benar
mantap. Apalagi kalau kita pakai fuzztone yang disetel sampai mentok"
Kristina, Manny, dan aku sama-sama main gitar. Lily penyanyi. Dan Jared pegang
keyboard. Keyboard-nya dilengkapi drum synthesizer dengan sepuluh irama berbeda.
Jadi bisa dibilang kami Juga punya pemain drum.
Begitu amplifier Manny siap dipakai, kami mencoba membawakan lagu Rolling
Stones. Tapi Jared tidak berhasil menemukan irama drum yang cocok pada
syntheslzer-nya, sehingga kami terpaksa bermain tanpa iringan drum.
Begitu lagunya selesai aku segera berseru "Ayo kita coba lagi!"
Yanglain langsung menggerutu, "Larry, tadi sudah bagus, kok!" Lily berkomentar.
"Kenapa mesti diulang lagi?"
"Gitar pengiringnya belum pas," kataku.
"Kau yang belum pas!" balas Manny sambil mengerutkan muka.
"Larry maunya memang serba sempurna, Manny," ujar Kristina. Masa kau lupa sih?"
"Mana mungkin aku lupa?" Manny menyahut dengan kesal. Mana pernah sih kita bisa
memainkan lagu sampai selesai" Dia selalu menyuruh kita mulai dari awal sebelum
lagunya habis!" Aku tersipu-sipu. "Aku cuma ingin hasil yang terbaik," aku membela diri.
Oke. Oke. Aku memang selalu menuntut kesempurnaan. Tapi apakah itu salah"
"Kontes di sekolah tinggal dua minggu lagi," kataku. "Jangan sampai penampilan
kita memalukan kalau kita sudah di atas panggung."
Aku paling tidak tahan malu. Perasaan itu aku benci lebih dari apa pun juga di
seluruh dunia. Bahkan lebih dari brokoli rebus!
Kami mulai bermain lagi. Jared menekan tombol saksofon pada keyboardnya, dan
seketika kami seakan-akan punya pemain saksofon.
Solo gitar pertama dimainkan oleh Manny, solo kedua olehku. Satu chord yang
kumainkan terasa kurang sreg di telingaku, dan sebenarnya aku ingin mulai dari
awal lagi. Tapi aku tahu mereka akan menggantungku kalau latihannya kuhentikan
lagi. Jadi aku terus bermain.
Suara Lily sempat pecah ketika dia mengambil nada tinggi. Tapi suaranya begitu
merdu dan manis, sehingga kesalahannya tidak terlalu berpengaruh.
Hampir dua jam kami bermain tanpa berhenti.
Permainan kami bagus juga. Dan setiap kali Jared menemukan irama drum yang pas,
lagu yang kami mainkan terdengar benar-benar bagus.
Setelah menyimpan instrumen masing-masing, Lily mengusulkan untuk keluar dan
bermain salju. Matahari sore masih tinggi di langit yang biru cerah. Lapisan
salju yang tebal tampak berkilau-kilau dalam cahaya matahari yang keemasan.
Kami berkejar-kejaran mengelilingi semak-semak di pekarangan depan rumah Lily.
Manny menumbuk topi Raiders di kepala Jared dengan bola salju yang besar dan
basah. Ulahnya itu segera memicu perang bola salju yang berlangsung sampai kami
semua kehabisan napas dan terlalu capek tertawa untuk bisa meneruskannya.
"Kita bikin orang-orangan salju, yuk?" Lily mengusulkan.
"Ya, kita bikin yang mirip dengan Larry," Kristina menambahkan.
Kacamatanya yang berbingkai biru sepenuhnya tertutup embun.
"Mana ada orang-orangan salju berambut pirang?" sahut Lily.
"Jangan macam-macam deh," aku bergumam.
Mereka mulai membuat bola-bola salju besar untuk badan si orangorangan salju.
Jared mendorong Manny hingga terjerembab ke atas salah satu bola salju dan
mencoba menggulungnya. Tapi Manny terlalu berat, dan bola salju itu langsung
remuk. Sementara mereka asyik membuat orang-orangan salju, aku menuju jalanan. Di
trotoar depan rumah sebelah ada sesuatu yang menarik perhatianku, barang-barang
bekas yang menumpuk di samping tong sampah.
Aku melirik ke rumah tetangga Lily. Sepertinya rumah itu sedang direnovasi.
Barang-barang bekas yang kulihat sengaja ditaruh di trotoar supaya diangkut truk
sampah. Aku membungkuk dan mulai mengamati semuanya. Aku memang suka barang-barang
bekas. Setiap kali ada tumpukan barang bekas, mau tak mau aku harus
membongkarnya. Sambil membungkuk aku menggeser beberapa potong keramik dinding serta gumpalan
plastik yang semula merupakan tirai kamar mandi.
Di bawah karpet bulu yang kecil dan berbentuk bundar, aku menemukan lemari obat
berwarna putih. "Wow! Asyik!" gumamku.
Lemari itu langsung kuangkat, lalu kubuka. Di dalamnya ada sejumlah botol dan
tabung plastik. Perhatianku segera tertuju pada sebuah botol berwarna jingga. "Hei!" aku berseru
pada teman-temanku. "Coba lihat apa yang kutemukan!"
3 BOTOL jingga itu segera kubawa ke pekarangan rumah Lily. "Hei-lihat nih!" aku
berseru sambil mengacungkan botol tersebut.
Tak ada yang menghiraukanku. Manny dan Jared sedang sibuk mengangkat bola salju
besar ke atas bola salju yang satu lagi untuk membuat badan orang-orangan salju.
Lily asyik memberi semangat pada mereka. Dan Kristina sedang membersihkan salju
dari kacamatanya. "Hei, Larry-apa itu?" Kristina akhirnya bertanya sambil memasang kembali
kacamatanya. Yang lain menoleh dan melihat botol di tanganku.
Aku membacakan labelnya untuk mereka.
"INSTA-TAN. Kulit cokelat dalam sekejap."
"Asyik juga!" seru Manny. "Ayo, kita coba saja."
"Kau dapat dari mana?" tanya Lily. Pipinya tampak merah karena udara yang
dingin. Butir-butir salju menempel di rambutnya.
Aku menunjuk ke tong sampah di trotoar. "Dari sebelah. Botol ini masih penuh,"
ujarku. "Kita coba saja!" Manny mengulangi sambil mengembangkan senyumnya yang tinggi
sebelah. "Yeah. Dan senin besok kita semua masuk sekolah dengan kulit cokelat seperti
habis berjemur!" Kristina mendukungnya. "Miss shindling pasti terbengongbengong. Kita bilang saja kita habis dari Florida."
"Jangan! Dari Bahama saja!" Lily menimpali. "Kita bilang pada Howie Hurwin bahwa
The Geeks pergi ke Bahama untuk berlatih!"


Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua tertawa. "Memangnya obat ini manjur?" tanya Jared. Dia menatap botol di tanganku sambil
membetulkan letak topinya.
"Pasti dong," ujar Lily. "Takkan ada yang mau beli obat ini kalau tidak manjur!"
Dia merampas botol itu dari tanganku. "Wow, masih penuh.
Kita semua bisa berkulit cokelat. Ayo dong. Tunggu apa lagi. Bakal asyik, nih!"
Kami kembali masuk ke dalam rumah. Salju di tanah bergemerisik ketika diinjak,
sementara napas kami mengepul-ngepul di udara.
Aku membuka jaket dan melemparnya ke tumpukan jaket yang lain. Tapi ketika kami
menuju ke ruang tamu, aku mulai diliputi perasaan ragu. Bagaimana bila obat ini
tidak manjur" aku bertanya dalam hati.
Bagaimana kalau kulit kita bukannya cokelat, tapi malah kuning atau hijau nanti"
Di mana wajahku harus kutaruh kalau aku sampai terpaksa masuk sekolah dengan
kulit berwarna hijau terang" Aku takkan tahan. Aku pasti akan terus bersembunyi
di dalam rumah-di dalam lemari pakaian-kalau perlu berbulan-bulan, sampai warna
itu akhirnya luntur. Tapi sepertinya teman-temanku tenang-tenang saja.
Kami berdesak-desakan di kamar mandi. Botol INSTA-TAN itu masih di tangan Lily.
Dia membukanya dan segera menuangkan cairan kental berwarna putih dari dalam
botol. "Mmmmmm. Baunya enak," ujar Lily sambil mendekatkan tangan ke wajah. "Baunya
manis sekali." Dia mulai menggosokkannya ke tengkuk, lalu ke pipi, lalu ke kening.
Kemudian dia kembali menuangkan cairan itu dan mengusapusapkannya ke punggung
tangan. Setelah itu giliran Manny. Tanpa ragu-ragu dia mengoleskan obat itu ke seluruh
wajahnya. "Rasanya sejuk dan lembut," Kristina melaporkan setelah mencobanya, disusul
Jared, yang nyaris menghabiskan seluruh isi botol untuk wajah dan tengkuknya.
Akhirnya tibalah giliranku. Aku meraih botol itu dan mulai memiringkannya.
Tiba-tiba aku berhenti. Yang lain memperhatikanku sambil -mengerutkan kening.
sepertinya mereka berharap aku segera mengikuti contoh mereka.
Tapi aku malah menegakkan botol itu dan membaca tulisan kecil pada labelnya. G
Dan apa yang kubaca membuatku memekik tertahan.
4 "ADA apa sih, Larry?" Lily bertanya dengan nada tidak sabar. "Tuangkan saja,
lalu gosok-gosokkan ke kulitmu."
"Ta-ta-tapi-" aku tergagap-gagap.
"Eh, kulitku sudah tambah gelap, belum?" tanya Kristina pada Lily.
"Hasilnya sudah mulai kelihatan?"
"Belum," jawab Lily. Dia kembali berpaling padaku. "Ada apa sih, Larry?"
dia. bertanya sekali lagi.
"La-labelnya," ujarku. "Di sini tertulis, 'Jangan digunakan setelah Februari
1991'." Semua tertawa. suara tawa mereka memantul pada dinding-dinding kamar mandi.
"Memangnya kenapa kalau krim ini sudah agak tua?" Lily berkata sambil
menggelengkan kepala. "Tenang saja deh. Kulitmu tak bakal mengelupas!"
"Jangan macam-macam deh," Manny menimpali.
Dia meraih botol itu dan memiringkannya ke telapak tanganku. "Ayo, tuang saja.
Yang lain sudah kebagian semua, Larry. sekarang giliranmu."
"sepertinya kulitku sudah mulai cokelat," Kristina angkat bicara. Dia dan Jared
sedang asyik berkaca pada cermin di atas tempat cuci tangan.
"Ayo dong, Larry," Lily mendesak. "Tanggal di label itu tidak berarti apa-apa."
Dia mendorong lenganku. "Pakai saja. Takut apa sih kau?"
Semua memandang ke arahku. Mukaku mendadak terasa panas, dan aku tahu aku
tersipu-sipu. Aku tidak mau dianggap pengecut. Aku tidak mau jadi satu-satunya
orang yang tidak kompak. Jadi kubalikkan botolnya dan kutuangkan isinya yang kental dan lengket ke
telapak tanganku. Muka, tengkuk, punggung tangan-semuanya kugosok-gosok. Cairan
itu terasa sejuk dan lembut. Dan baunya memang agak manis, persis seperti aftershave ayahku. Teman-temanku langsung bersorak-sorai. "Nah, begitu dong, Larry!"
mereka berseru. Jared menepuk punggungku begitu keras, sehingga botol INSTA-TAN
yang sudah kosong itu nyaris terlepas dari tanganku.
Kami saling mendorong dan mendesak untuk berebut tempat yang pas di depan
cermin. Manny mendorong Jared dengan keras, sehingga Jared terjatuh ke shower.
"Berapa lama sih sampai terlihat hasilnya?" tanya Kristina. Cahaya terang dari
lampu di langit-langit memantul pada kacamatanya ketika dia menatap bayangannya
di cermin. "Huh, belum ada perubahan," Lily mengeluh kecewa.
Aku kembali membaca label pada botol jingga itu. "Hmm, seharusnya kulit kita
jadi cokelat dalam sekejap," aku melaporkan. Aku menggelengkan kepala. "Apa
kubilang" Obat ini sudah kedaluwarsa.
Seharusnya kita jangan-"
Kalimatku terpotong oleh jeritan Manny. Kami menoleh dan melihatnya
membelalakkan mata dengan ngeri.
pdfcrowd.com "Mukaku!" Manny memekik. "Mukaku mengelupas!"
Dia menengadahkan tangan di depan dada. Kedua-duanya gemetaran.
Dan kemudian aku menyadari dia memegang sepotong kulitnya Sendiri!
5 "OHHH," aku mengerang tertahan.
Yang lain pun menatap tangan Manny dengan mata terbelalak ngeri.
"Kulitku!" dia merintih. "Kulitku!"
Tiba-tiba dia nyengir lebar, lalu tertawa terbahak-bahak.
Dia mengangkat tangannya, dan aku sadar bahwa yang dipegangnya ternyata bukan
kulit, melainkan sepotong tisu yang basah.
sambil terpingkal-pingkal Manny membiarkan tisu itu jatuh ke lantai kamar mandi.
"Dasar brengsek!" seru Lily gusar.
Kami semua bersorak-sorai dan mendorong-dorong Manny. Dia kami dorong ke bawah
shower. Lily langsung meraih kenop untuk menyalakan air.
"Hei-jangan dong!" Manny memohon. Sambil tertawa dia meronta-ronta untuk
membebaskan diri. "Tolong! Aku cuma bercanda!"
Lily berubah pikiran dan mundur sambil berbaris meninggalkan kamar mandi, kami
semua melirik ke cermin. Tak ada perubahan. Kulit kami tetap pucat seperti semula. Obat itu ternyata
tidak manjur. Kami meraih mantel masing-masing dan bergegas ke pekarangan untuk menyelesaikan
orang-orangan salju. Botol INSTA-TAN yang sudah kosong kubawa juga, lalu
kulemparkan ke salju ketika Lily dan Kristina mulai membuat bola salju untuk
bagian kepala. Kemudian mereka menaruhnya pada badan si orang-orangan salju.
Aku menemukan dua batu gelap untuk matanya. Manny menyambar topi Raiders milik
Jared dan memasangnya di kepala si orangorangan salju. Kelihatannya cukup bagus,
tapi Jared segera meraih kembali topinya.
"Dia mirip kau, Manny," ujar Jared. "Cuma tampangnya lebih pintar."
Kami semua tertawa. Angin kencang berembus dari sisi rumah dan menjatuhkan kepala si orang-orangan
salju. Kepala itu membentur tanah dan langsung pecah berantakan.
"sekarang benar-benar mirip kau!" Jared berkata kepada Manny.
"Hei, tangkap!" seru Manny. Ia meraih segenggam salju dan melemparkannya ke arah
Jared. Jared berusaha mengelak, namun terlambat. Serta-merta ia membungkuk, meraup
salju lebih banyak lagi, dan menuangkannya ke kepala Manny.
Perbuatannya langsung memicu pertempuran bola salju yang seru di antara kami
berlima. Lily dan aku lawan Manny, Jared, dan Kristina.
open in browser customize pdfcrowd.com
Mula-mula Lily dan aku masih bisa bertahan.
Lily adalah pembuat bola salju tercepat yang pernah kulihat. Aku baru membuat
satu bola salju, dia sudah membuat dan melempar dua buah.
Pertempuran kami berkembang menjadi perang habis-habisan. Kami bahkan tidak mau
repot-repot membuat bola salju. Kami sekadar meraup salju sebanyak-banyaknya
untuk dituang ke kepala lawan.
Kemudian kami mulai berguling-guling di salju. setelah itu kami pindah ke
pekarangan sebelah, di mana saljunya masih banyak-dan mulai dengan pertempuran
berikut. Wah, pokoknya asyik banget deh! Kami tertawa-tawa dan bersorak-sorai.
semua terengah-engah dan kepanasan, padahal anginnya dingin sekali.
Dan kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa mual.
Aku jatuh berlutut sambil menelan ludah. salju di sekelilingku mendadak terang
benderang. Terlalu terang. Tanah di bawahku seakan-akan oleng dan bergoyang.
Aku benar-benar mual. Hei, ada apa ini" aku bertanya dalam hati.
6. DR. MURKIN meraih alat suntik berjarum panjang yang berkilau-kilau. Di ujung
jarumnya ada setetes cairan hijau.
"Tarik napas dalam-dalam lalu tahan, Larry," Dr. Murkin berkata. dengan suaranya
yang pelan. "Ini takkan terasa."
Dia selalu bilang begitu setiap kali aku mengunjunginya. Aku tahu dia bohong.
Yang namanya disuntik, ya pasti sakit. .Aku disuntik dua minggu sekali, dan
selalu kesakitan. Dia meraih lenganku, lalu membungkuk, sehingga aku bisa mencium napasnya yang
berbau peppermint. ' Aku menarik napas dalam-dalam kemudian memalingkan muka. Aku tidak tahan melihat
jarum yang panjang itu masuk ke lenganku.
" Aduh!" aku memekik pelan ketika jarumnya menembus kulitku.
Genggaman Dr. Murkin bertambah kencang. "Nah, tidak apa-apa, kan?"
tanyanya. suaranya begitu pelan sehingga nyaris tak terdengar.
Aku, menggelengkan kepala.
Kemudian aku melirik ke arah ibuku. Dia sedang menggigit bibir, dan wajahnya
berkerut-kerut karena cemas, seakan-akan dia yang disuntik!
Akhirnya kurasakan jarumnya dicabut. Dr. Murkin mengusap-usap kulitku dengan
kapas yang dibasahi alkohol. "Nah, sudah selesai," dia berkata sambil menepuk
punggungku yang telanjang. "silakan pakai baju lagi."
Dia berbalik dan tersenyum menenangkan ibuku. Wajah Dr. Murkin sangat berwibawa.
Aku rasa usianya sekitar lima puluhan. Rambutnya yang putih disisir lurus ke
belakang. Senyumnya hangat, dan matanya yang biru tampak ramah di balik
kacamatanya yang berbingkai persegi.
Walaupun dia berbohong dengan mengatakan suntikannya tidak sakit, bagiku dia
dokter yang baik, dan aku suka sekali padanya. Dia selalu membuatku merasa lebih
enak. "Masalah kelenjar keringat seperti biasa," dia memberi tahu ibuku sambil
mencatat sesuatu dalam fileku. "suhu badannya meningkat terlalu tinggi. Dan kita
tahu itu tidak baik-ya, kan, Larry?"
Aku bergumam tak jelas. Aku memang punya masalah dengan kelenjar keringatku. Kelenjar-kelenjarku tidak
berfungsi dengan baik. Maksudnya, aku tidak bisa berkeringat.
Jadi, kalau suhu badanku meningkat terlalu tinggi, aku langsung mual.
Karena itulah aku harus mengunjungi Dr. Murkin setiap dua minggu. Dia memberiku
suntikan yang membuatku merasa lebih enak.
Perang bola salju memang mengasyikkan. Tapi di tengah salju dan angin yang
dingin, aku sama sekali tidak sadar bahwa suhu badanku naik.
Itulah sebabnya aku jadi tidak enak badan.
"Bagaimana" Sudah lebih enak sekarang?" ibuku bertanya ketika kami meninggalkan
ruang praktek. Aku mengangguk. "Yeah. Aku sudah tidak apa-apa sekarang." Aku berhenti di pintu
dan berbalik menghadapnya. "Mom, apakah aku kelihatan lain?"
"Hah?" Dia memicingkan matanya yang gelap.
"Lain" Lain bagaimana?"
"Barangkali kulitku kelihatan agak kecokelatan?"
Matanya mengamati wajahku. "Mom agak menguatirkanmu, Larry," dia berkata dengan
serius. "Nanti kalau kita sudah sampai di rumah, kau harus tidur siang sebentar.
Oke?" sepertinya itu berarti kulitku belum berubah warna.
Dari pertama aku sudah tahu INSTA-TAN takkan bekerja. Botolnya sudah terlalu
lama. Waktu masih baru pun belum tentu manjur.
"Mom kira sulit mendapatkan kulit kecokelatan di tengah musim dingin seperti
sekarang," lanjutnya ketika kami melintasi pelataran parkir yang tertutup salju
untuk menuju mobil. Yeah, aku tahu, pikirku. Lily menelepon seusai makan malam. "Aku juga agak tidak enak badan tadi," dia
mengakui. "Kau sudah mendingan sekarang?"
"Yeah, aku sudah tidak apa-apa," sahutku. Dengan sebelah tangan kugenggam gagang
telepon tanpa kabel, sementara tanganku yang lain memencet-mencet tombol remote
control TV untuk memindah-mindah saluran
Itu salah satu kebiasaan burukku. Kadang-kadang aku berpindah-pindah saluran
selama berjam-jam tanpa memperhatikan acara yang sedang ditayangkan.
"Howie dan Marissa lewat setelah kau pulang," Lily bercerita.
"Terus" Kalian bantai mereka?" aku bertanya dengan semangat berkobar-kobar.
"Kalian hujani mereka dengan bola salju?"
Lily tertawa. "Tidak. Kami semua sudah basah kuyup dan capek waktu Howie dan
Marissa muncul. Kami cuma berdiri sambil menggigil."
"Howie sempat ngomong soal band mereka?" tanyaku.
"Yeah," ujar Lily. "Dia bilang dia baru beli buku gitar Eric Clapton. Dia bilang
dia lagi belajar lagu-lagu baru yang bakal membuat kita terbengong-bengong."
"Hah, dasar sok jago. Howie sebaiknya tetap main drum saja. Dia pemain gitar
terburuk di dunia," aku bergumam. "Kalau dia main gitar, gitarnya bisa mencicit
seperti tikus! Aku tidak tahu bagaimana bisa begitu.
Bagaimana sih caranya membuat gitar berbunyi begitu?"
Lily tertawa lagi. "Marissa juga mencicit. Tapi dia bilang itu menyanyi."
Kami sama-sama tergelak. Tapi kemudian aku kembali serius. "Menurutmu, bagaimana kemampuan Howie and the
shouters?" "Entahlah," sahut Lily, tak kalah seriusnya. "Howie terlalu banyak membual, jadi
dia tidak bisa dipercaya. Dia bilang sih, mereka cukup bagus untuk membuat CD.
Katanya, mereka disuruh bikin rekaman demo oleh ayahnya, untuk dikirim ke semua
perusahaan rekaman."
"Yeah, pasti," aku bergumam sinis. "Eh, bagaimana kalau kapan-kapan kita ke
rumah Howie untuk mendengarkan latihan mereka," aku mengusulkan. "Kita bisa
menguping dari jendela."
"Marissa sebenarnya cukup bagus sebagai penyanyi," Lily berkomentar.
"suaranya enak didengar."
"Tapi tidak sebagus kau," ujarku.
"Hmm, penampilan kita memang semakin mantap," kata Lily. Kemudian ia
menambahkan, "sayang kita tidak punya pemain drum sungguhan."
Aku sependapat. "Yeah, mesin drum Jared kadang tidak pas dengan lagu yang kita
mainkan!" Lily dan aku masih mengobrol tentang Battle of the Bands. Akhirnya aku
meletakkan gagang telepon, dan duduk di meja belajarku untuk membuat PR.
Baru sekitar pukul sepuluh aku selesai. sambil menguap aku turun untuk
mengucapkan selamat tidur pada orangtuaku. setelah kembali ke atas, aku berganti
baju dan pergi ke kamar mandi untuk gosok gigi.
Dengan saksama kuamati wajahku di cermin di atas wastafel. Belum ada rona
cokelat sedikit pun. Wajah yang membalas tatapanku tetap pucat seperti biasa.
Kuraih sikat gigi, lalu mengoleskan odol.
Aku sudah hendak mulai menggosok gigi-tapi mendadak terhenti.
"Hah-!" seruku kaget.
sikat gigiku sampai terlepas dari genggaman ketika kutatap punggung tanganku.
Mula-mula kukira itu cuma bayangan.
Tapi setelah kuamati dari dekat, aku menyadari bahwa yang kulihat bukan
bayangan. Sambil menelan ludah aku membelalakkan mata.
Punggung tanganku tertutup bulu-bulu tebal berwarna hitam.
7 SAMBIL membelalakkan mata, tanganku kukibaskan berkali-kali.
sepertinya aku berharap bulu-bulu hitam itu bisa copot dengan sendirinya.
Kemudian kuraih bulu-bulu itu dan kutarik keras-keras.


Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh!" Ternyata bulu-bulu itu benar-benar tumbuh dari punggung tanganku.
"Bagaimana mungkin?" teriakku. Dengan susah payah kupaksakan tanganku agar
berhenti bergetar, supaya aku bisa mengamatinya dengan saksama.
Bulu-bulu itu cukup panjang, kira-kira setengah inci. Warnanya hitam mengilap.
Rasanya kasar ketika aku mengusapnya dengan tanganku yang satu lagi.
"Hairy Larry." Julukan konyol yang diberikan Lily sekonyong-konyong muncul kembali dalam
benakku. "Hairy Larry." Wajahku menjadi merah padam. Kalau temanku sampai melihat bulu-bulu di tanganku
ini, pikirku dengan perasaan galau, seumur hidup aku bakal dijuluki Hairy Larry!
Jangan sampai ada yang melihatnya! kataku dalam hati. Dadaku mendadak sesak
karena serangan panik. Jangan sampai! Ini benar-benar memalukan.
Dengan waswas kuamat! tangan kiriku yang ternyata masih tetap halus dan bersih.
"Uh, untung saja cuma sebelah tangan yang kena," gumamku lega.
Kalang kabut aku lalu kembali menarik-narik bulu-bulu hitam itu. Aku menarik dan
menarik, sampai punggung tanganku terasa nyeri. Tapi bulu-bulu itu tetap tidak
mau copot. "Oh, apa yang mesti kulakukan sekarang?" aku mengeluh.
Masa sih aku harus pakai sarung tangan terus" Dan apa jadinya kalau temantemanku sampai tahu soal ini" Aku bakal seumur hidup dijuluki Hairy Larry.
Julukan itu bakal terus melekat pada diriku!
Tenggorokanku serasa tersekat.
Aku tidak boleh panik, aku berkata dalam hati.
Aku harus berpikir dengan jernih.
open in browser customize pdfcrowd.com
Tepi wastafel kugenggam begitu erat, sehingga tanganku terasa sakit.
Kulepaskan tanganku, kemudian kugulung kedua lengan piamaku.
Jangan-jangan lenganku juga tertutup bulu hitam"
Tidak. Aku menarik napas lega. sepertinya cuma punggung tanganku yang mendadak berbulu.
Aku harus bagaimana" Aku harus bagaimana"
Aku mendengar orangtuaku menaiki tangga, menuju kamar mereka.
Cepat-cepat kututup pintu kamar mandi lalu kukunci.
"Larry-kau masih bangun, ya" Katanya sudah mau tidur tadi," kudengar ibuku
berseru dari koridor. "Aku cuma sisiran sebentar!" balasku.
Aku selalu bersisir sebelum tidur.
Aku tahu itu tidak ada gunanya. Aku tahu rambutku bakal berantakan lagi begitu
menempel di bantal. Tapi kebiasaanku itu tidak bisa kuhilangkan.
Aku menatap cermin dan mengamati rambutku. Rambutku yang pirang, begitu lembut
dan berombak. Begitu berbeda dengan bulu-bulu menjijikkan yang tumbuh di
tanganku. Aku langsung mual. Isi perutku mulai naik.
Dengan susah payah kulawan rasa mualku dan membuka lemari obat.
satu per satu kubaca label yang menempel pada semua botol dan tube.
Penghilang Bulu. Aku mencari label bertuliskan Penghilang Bulu.
Rasanya ada obat seperti itu-ya, kan"
Tapi bukan di lemari obat kami. Aku memeriksa setiap botol, namun tak ada
Penghilang Bulu. Kutatap bulu-bulu hitam di punggung tanganku. sepertinya bulu-bulu itu sudah
bertambah panjang. Ataukah itu cuma perasaanku saja"
sekonyong-konyong ide lain melintas dalam benakku.
serta-merta kuambil alat cukur ayahku. Dan di bagian bawah lemari obat kutemukan
sekaleng krim cukur. Kucukur saja semuanya, aku berkata dalam hati. Itu yang paling gampang.
Aku sudah jutaan kali menonton ayahku bercukur. Kelihatannya mudah sekali.
Kubuka keran air panas, lalu kubasuh punggung tanganku.
Kemudian kugosokkan sabun ke bulu-bulu yang kasar itu hingga semuanya tertutup
busa. Tanganku basah dan licin, membuat kaleng krim cukur nyaris terlepas dari
genggamanku. Tapi aku berhasil menekan kaleng sehingga krim cukur menyemprot ke
punggung tanganku. Langsung saja kuratakan. setelah itu kuraih alat cukur dengan tangan kiri, lalu
kubasahi dengan air panas, seperti yang biasa dilakukan ayahku.
selanjutnya aku mulai bercukur. Ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Apalagi
dengan tangan kiri. Pisau cukur yang tajam langsung memangkas bulu-bulu hitam yang kasar itu.
Aku memperhatikannya terbawa air dan masuk ke lubang pembuangan.
Kemudian aku kembali membasuh tanganku sampai bersih dari busa.
Airnya hangat dan menenangkan. Kukeringkan tangan dan memeriksanya dengan
saksama. Licin. Licin dan bersih. Bulu-bulu hitam yang menjijikkan itu tak tersisa sehelai pun.
Aku merasa jauh lebih enak. Dengan lega kukembalikan alat cukur dan krim cukur
ayahku ke tempat semula di lemari obat. Kemudian aku keluar dari kamar mandi,
melintasi koridor, dan masuk ke kamarku.
Punggung tanganku terus kuusap-usap. Rasanya sejuk dan licin.
Kupadamkan lampu kamar lalu naik ke tempat tidur.
Begitu kepalaku menempel di bantal, aku langsung menguap lebar. Tiba-tiba saja
aku mengantuk sekali. Apa yang menyebabkan bulu-bulu tadi mendadak bertumbuhan" sejak pertama melihat
bulu-bulu itu, pertanyaan tersebut terus mengusikku.
Jangan-jangan gara-gara INSTA-TAN" Jangan-jangan gara-gara obat yang sudah
kedaluwarsa itu" Kalau begitu ada kemungkinan teman-temanku mengalami hal yang sama.
Aku membayangkan seluruh tubuh Manny tertutup bulu, seperti gorila, dan mau tak
mau aku tertawa. Tapi sebenarnya itu tidak lucu. Bayangan itu justru mengerikan.
sekali lagi kugosok-gosok punggung tanganku. Ternyata masih licin. Bulu-bulunya
belum tumbuh lagi. Aku kembali menguap, lalu berangsur-angsur terlelap.
Oh, apa ini" Kenapa badanku jadi gatal begini" aku bertanya dalam keadaan
setengah sadar, setengah tertidur. seluruh tubuhku terasa gatal.
Jangan-jangan bulu-bulu itu mulai tumbuh di seluruh tubuhku"
8 "KAU kurang tidur, ya?" ibuku bertanya ketika aku muncul di dapur untuk sarapan
bersama. "Muka kamu kelihatan pucat."
Ayahku menurunkan korannya untuk mengamatiku. Di hadapannya ada secangkir kopi
yang masih mengepul-ngepul. "Ah, dia tidak pucat kok," ayahku bergumam sebelum
kembali membaca koran. "Aku tidur seperti biasa," ujarku sambil duduk di kursiku. Secara sembunyisembunyi kuamati tanganku di bawah meja.
Tak ada bulu. Punggung tanganku tetap licin seperti semalam.
Waktu aku dipanggil untuk sarapan tadi, aku langsung melompat turun dari tempat
tidur. Kunyalakan lampu dan kuamati seluruh tubuhku di depan cermin.
Tak ada bulu hitam. Aku lega sekali. Lega dan gembira. Rasanya aku ingin bernyanyi-nyanyi.
Rasanya aku ingin memeluk ayah dan ibuku dan menari-nari mengelilingi meja
makan. Tapi itu terlalu memalukan.
Jadi kumakan saja Frosted Flakes dan kureguk jus jeruk yang telah disiapkan
ibuku. Ibuku mengambil tempat di samping ayahku dan mulai mengupas telur rebusnya.
setiap pagi dia makan telur rebus. Tapi cuma putihnya saja. Kuningnya dibuang.
Dia bilang dia takut kebanyakan kolesterol.
"Mom, Dad, ada yang ingin kuceritakan. Aku melakukan sesuatu yang bodoh kemarin.
Aku menemukan sebotol krim merek INSTA-TAN di sebuah tong sampah. Krimnya sudah
lama. Tapi aku dan teman-temanku nekat mengoleskannya. Maksudnya, supaya kulit
kami jadi kecokelatan. Padahal krim itu sebenarnya sudah kedaluwarsa. Dan...
ehm... semalam tiba-tiba tumbuh bulu-bulu hitam di punggung tanganku."
Itu yang ingin kukatakan. Aku sudah membuka mulut untuk bercerita. Tapi aku
tidak bisa. Malunya itu lho. Mereka pasti bakal marah-marah dan bertanya kenapa aku begitu bodoh.
setelah itu mereka akan membawaku ke tempat praktek Dr.
Murkin dan menceritakan semuanya. Lalu giliran dia yang bertanya kenapa aku
begitu bodoh. Jadi, akhirnya aku pilih diam saja.
"Kamu pendiam sekali pagi ini," ibuku berkomentar sambil menyendok sesuap putih
telur. "Habis, memang tak ada yang perlu diceritakan," aku bergumam.
Aku ketemu Lily dalam perjalanan ke sekolah. Kerah jaketnya dinaikkan dan
rambutnya yang pirang ditutupi topi rajut berwarna biru-merah.
"Hei, hari ini kan tidak seberapa dingin!" aku berseru sambil berlari kecil
untuk menyusulnya. "Ibuku bilang suhu udara bakal turun sampai di bawah nol," sahut Lily. "Dia yang
menyuruhku pakai baju tebal-tebal."
Matahari pagi seakan-akan melayang di atas atap rumah-rumah, bagaikan bola merah
di langit yang pucat. Embusan angin terasa menusuk. Permukaan salju di jalan
telah mengeras, dan setiap kali kami melangkah terdengar bunyi kerisik-kerisik.
Aku menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk menanyakan pertanyaan yang
menghantuiku sejak semalam. "Lily," aku berkata dengan bimbang. "Apakah...ehm...
maksudku... apakah semalam tumbuh bulu-bulu aneh di punggung tanganmu?"
Dia langsung berhenti dan menatapku dengan mata terbelalak. Kemudian roman
mukanya menjadi serius. "Ya," dia mengakui sambil Berbisik.
9 "Hah?" Aku langsung menahan napas. Denyut jantungku seakan-akan berhenti
sejenak. "Di tanganmu tumbuh bulu?"
Lily mengangguk serius. Ia merapatkan tubuhnya kepadaku. Matanya yang biru dan
hijau menatapku dari bawah topi rajutnya.
"Di tanganku tumbuh bulu," dia berbisik dan napasnya tampak mengembun di udara
yang dingin. "Lalu di lenganku, di kakiku dan di punggungku."
Aku memekik tertahan. "Lalu mukaku berubah menjadi muka serigala," Lily melanjutkan, masih sambil
menatapku dengan tajam. "Dan aku lari ke hutan dan melolong-lolong ke arah
bulan. Seperti ini." Dia mendongakkan kepala dan melolong panjang.
"Habis itu kucegat tiga orang di dalam hutan, dan kumakan semuanya!"
Lily memberitahuku. "Sebab aku manusia serigala!"
Dia menggeram dan mengertak-ngertakkan gigi. Kemudian dia tertawa terbahakbahak. Wajahku mendadak terasa panas.
Lily mendorongku dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh ke
belakang. Tawa Lily bertambah keras. "Kau percaya-ya, kan, Larry?" serunya. "Kau benarbenar percaya cerita konyol itu!"
"Enak saja!" aku menyangkal. Wajahku terasa panas membara. "Mana mungkin aku
percaya cerita seperti itu!.?"
Tapi sebenarnya aku memang percaya sampai ke bagian di mana dia bilang dia makan
tiga orang. Di situ aku baru sadar bahwa dia bercanda, bahwa dia mengolokolokku. "Hairy Larry!" Lily bersenandung. "Hairy Larry!"
"Berhenti!" aku berseru dengan gusar. "Ini tidak lucu, tahu" Sama sekali tidak
lucu!" "Tapi kau lucu sekali!" dia menyahut. "Tampangmu yang lucu!"
"Ha-ha!" Aku tertawa getir. Langsung saja aku berbalik dan menyeberang jalan
dengan langkah-langkah panjang.
"Hairy Larry!" Lily berseru sambil mengejarku. "Hairy Larry!"
Aku tergelincir di atas segunduk lapisan es di jalan. Untung saja aku masih bisa
menjaga keseimbangan, tapi ranselku merosot dan jatuh berdebam.
Lily berhenti di depanku ketika aku membungkuk untuk memungut ransel.
"Memangnya semalam di tubuhmu tumbuh bulu, Larry?" dia bertanya.
"Apa?" Aku berlagak tidak mendengar pertanyaannya.
"Memangnya di punggung tanganmu tumbuh bulu" Itu sebabnya kau tanya aku?" ujar
Lily sambil ikut membungkuk.
"Yang benar saja," aku bergumam. Ranselku kunaikkan ke pundak i dan aku kembali
berjalan. "Yang- benar saja," aku berkata sekali lagi.
Lily tertawa. "Jangan-jangan kau manusia serigala. "
Aku berlagak ikut tertawa. "Bukan. Aku vampir," sahutku.
sebenarnya aku ingin sekali berterus terang kepada Lily. Aku ingin sekali
bercerita tentang bulu-bulu yang tumbuh di punggung tanganku.
Tapi aku tahu dia tak pernah bisa menyimpan rahasia. Aku tahu dia pasti akan
menceritakannya ke seluruh sekolah. Dan setelah itu semua orang yang kukenal
akan memanggilku Hairy Larry!
sebenarnya aku merasa tidak enak karena terpaksa bohong kepada Lily.
Bagaimanapun juga, dia sahabat karibku!
Tapi apa lagi yang bisa kulakukan"
sisa perjalanan ke sekolah kami tempuh tanpa banyak bicara. Berulang kali aku
melirik ke arah Lily. Entah kenapa, dia cengar-cengir terus.
"Kalian sudah siap menyampaikan laporan buku?" Miss shindling bertanya.
Ruang kelas langsung ramai-ada bunyi kursi digeser-geser, ada bunyi ransel
dibuka, kertas-kertas bergemerisik, anak-anak berdehamdeham.
Siapa yang tidak gugup bila harus berdiri di depan kelas dan menyampaikan
laporan buku di luar kepala lagi" Aku sih gugup sekali!
Aku paling tidak senang bila semua mata memandang ke arahku.
Dan kalau aku salah mengucapkan kata atau lupa yang ingin kukatakan selanjutnya,
mukaku langsung merah padam. Dan kalau sudah begitu, semua orang tertawa dan
mengolok-olokku. Semalam aku sempat berlatih di depan cermin. Dan hasilnya cukup baik.
Aku lancar bercerita tentang buku yang telah kubaca, dan hanya sesekali membuat
kesalahan kecil. Di pihak lain, bicara di kamarku sendiri memang tidak membuatku gugup.
Tapi sekarang lututku gemetar nyaris tak terkendali-padahal aku belum disuruh
maju! "Howie, bagaimana kalau kau saja yang mulai?" Miss shindling bertanya sambil
memberi isyarat kepada Howie Hurwin.
"Wah, kasihan yang lain dong, kalau yang terbaik maju paling dulu!" Howie
menyahut sambil, nyengir.
Beberapa anak tertawa. Tapi ada juga yang mendengus kesal.
Aku tahu Howie tidak bercanda. Dia benar-benar percaya dia yang terbaik dalam
segala hal. Penuh percaya diri dia maju dan berdiri di depan papan tulis. Howie
berbadan besar, agak gemuk, dengan rambut tebal berwarna cokelat yang tak pernah
disisir, dan muka bulat yang penuh bintik-bintik di pipi.
Dia selalu menyungging senyum melecehkan. Menyebalkan sekali. seolah dia hendak
berkata, "Aku yang terbaik dan kau bukan apa-apa."
Dia biasa mengenakan celana jeans belel yang lima ukuran terlalu besar serta Tshirt berlengan panjang lengkap dengan rompi hitam mengilap. Dia mengangkat buku
yang telah dibacanya. Salah satu buku baseball karangan Matt Christopher.
Kutarik napas panjang. Aku sudah tahu apa yang akan dikatakan Howie:
"Buku ini wajib dibaca oleh semua penggemar baseball."
Dia selalu memakai kalimat itu untuk mengawali laporan bukunya. Betul-betul
membosankan! Tapi Howie selalu dapat nilai A. Aku tak habis pikir kenapa Miss shindling
menganggapnya begitu hebat.
Howie berdeham, lalu tersenyum kepada Miss Shindling. Kemudian dia berpaling
kepada kami dan mengawali laporan bukunya dengan suara lantang dan tegas. "Buku
ini wajib dibaca oleh semua penggemar baseball," dia berkata.
Nah, apa kubilang" Aku menguap lebar-lebar. Untung tak ada yang memperhatikan.
Howie terus saja mengoceh. "Buku ini seru sekali, dan alur ceritanya sangat
baik," katanya. "Kalau kalian suka ketegangan, maka kalian pasti suka buku ini.
Terutama mereka yang menggemari olahraga baseball."
Setelah itu aku tidak mendengarkannya lagi. Aku terlalu sibuk mengingat-ingat
apa saja yang harus kukatakan.
Beberapa menit kemudian, ketika Miss shindling mengumumkan, "Larry, sekarang


Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

giliranmu," aku nyaris tidak mendengarnya.
Aku berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Tenang saja, Larry, aku berkata
dalam hati. Kau sudah menghafalkan semuanya. Kau tidak perlu gugup.
Sambil berdeham, aku melangkah ke depan kelas. Aku sudah hampir sampai di depan
ketika Howie menjulurkan kakinya.
Senyumnya yang lebar sempat kulihat-tapi kakinya tidak.
"Oh!" aku berseru kaget ketika aku tersandung-dan tersungkur di lantai.
Seketika ruang kelas meledak oleh tawa.
Dengan jantung berdegup-degup aku berusaha bangkit.
Tapi waktu aku melihat tanganku, aku langsung berhenti.
Kedua-duanya tertutup bulu tebal berwarna hitam.
10 "LARRY, kau tidak apa-apa?" aku mendengar Miss Shindling memanggil dari mejanya.
"Ehm...." Aku terlalu kaget untuk menjawab.
"Larry, kau terluka, ya?"
"Ehm... saya..." Aku tak sanggup bicara. Aku tak sanggup bergerak. Aku tak
sanggup berpikir. Sambil merangkak di lantai, kedua tangan yang berbulu kutatap
dengan ngeri. Di sekelilingku, anak-anak masih menertawakanku. Aku menoleh dan melihat Howie
berhigh-Five dengan anak yang duduk di sebelahnya.
Ha-ha. Lucu sekali. Biasanya aku pasti malu sekali. Tapi kali ini aku tidak sempat merasa malu. Aku
terlalu waswas. Bagaimana kalau ada yang sempat melihat tanganku yang berbulu"
Cepat-cepat aku memandang berkeliling, masih dalam posisi merangkak.
Tak ada yang menunjuk atau berseru dengan ngeri.
Barangkali belum ada yang memperhatikan tanganku.
Buru-buru kuselipkan kedua tanganku ke dalam kantong celana jeans-ku.
Aku baru berani berdiri setelah yakin bahwa kedua tanganku sudah sepenuhnya
tersembunyi. "Lihat tuh! Muka Larry jadi merah!" seru seorang anak dari barisan paling
belakang. Dan seruan itu ditanggapi dengan tawa yang lebih keras lagi.
Tentu saja mukaku jadi bertambah merah. Tapi itu bukan masalah terbesar yang
sedang kualami. Aku tidak mungkin berdiri di depan kelas dengan dua tangan yang
tertutup bulu. Daripada begitu, aku mending mati!
Tanpa berpikir panjang aku bergegas ke pintu ruang kelas di belakang.
Tapi asal tahu saja, berjalan cepat dengan kedua tangan di dalam kantong celana
sama sekali tidak mudah. "Larry-ada apa?" Miss shindling memanggil dari balik mejanya. "Mau ke mana kau?"
"Ehm... saya... saya segera kembali," jawabku dengan suara parau.
"Kau yakin baik-baik saja?" guruku bertanya.
"Yeah. saya baik-baik saja," aku bergumam. "saya permisi sebentar."
Aku tahu semua memandang ke arahku. Tapi aku tidak peduli. Aku harus keluar dari
situ. Aku harus mencari akal untuk mengamankan rahasiaku.
Ketika sampai di pintu, aku mendengar Miss shindling memarahi Howie..
"Larry bisa cedera karena ulahmu. Kau tidak boleh menjegal kaki orang, Howie.
sudah berkali-kali kau saya peringatkan."
"Tapi, Miss shindling-saya tidak sengaja," Howie mencoba berkelit.
Aku langsung menyelinap ke luar. Ke koridor yang panjang dan sepi.
Cepat-cepat aku menoleh ke kiri-kanan untuk memastikan bahwa tak ada yang
melihatku. Kemudian kukeluarkan kedua tanganku dari kantong celana.
Dalam hati aku masih berharap bahwa tanganku sudah normal lagi. Tapi harapan itu
langsung pupus ketika aku menatap keduanya.
Bulu-bulu yang hitam dan tebal - dengan panjang hampir satu inci! menutupi kedua tanganku. Bagaimana mungkin bulu-bulu itu tumbuh begitu cepat" aku bertanya dalam hati.
Punggung tanganku tertutup bulu. Begitu pula telapaknya. Bahkan di sela-sela
jari! Kugosok-gosokkan tanganku seakan-akan bulu-bulu yang mengerikan itu bisa hilang
dengan cara begitu. Tapi tentu saja tidak berhasil.
"Jangaaan. Oh-jangaaan!" tanpa sadar aku mengerang.
Apa yang bisa kulakukan"
Aku tidak mungkin kembali ke ruang kelas dengan tangan monster seperti itu.
Orang-orang bisa menjerit kalau mereka sampai melihat tanganku.
Dan aku terpaksa menanggung malu seumur hidup. setiap kali orang melihatku,
mereka akan berkata, "Awas, ada Hairy Larry Boyd.
Masih ingat waktu tangannya tiba-tiba penuh bulu?"
Sebaiknya aku pulang saja, aku berkata dalam hati. Aku harus kabur dari sini.
Tapi tunggu dulu. Bagaimana aku bisa meninggalkan sekolah di tengah jam
pelajaran" Miss shindling sedang menungguku. Aku harus menyampaikan laporan
buku. Aku berdiri mematung. Sambil bersandar ke dinding, aku mengamati kedua tanganku
yang mengerikan. Dan tiba-tiba aku sadar bahwa selain diriku masih ada orang lain di koridor.
Aku menoleh dan menahan napas ketika melihat Mr. Fosburg, kepala sekolah kami.
Dia sedang membawa setumpuk buku pelajaran. Tapi dia berhenti beberapa langkah
di hadapanku. Dengan mata terbelalak dia menatap kedua tanganku yang berbulu.
11 SERTA-MERTA tanganku kupindahkan ke belakang dan kusembunyikan di balik
punggung. Tapi terlambat. Mr. Fosburg telah melihatnya. Mata birunya menyipit sambil
menatapku. Aku ,bergidik. Apa yang akan dikatakannya" Apa yang akan dilakukannya sekarang"
"Kau kedinginan?" dia bertanya.
"Hah?" sahutku. Apa katanya"
Aku bersandar ke belakang, sehingga tanganku terjepit di antara dinding dan
punggungku. Bulu-bulu yang kasar terasa menusuk-nusuk.
"Apakah tungku pemanas perlu disetel lebih besar, Larry?" tanya Mr.
Fosburg. "Di sini terlalu dingin, ya" Itu sebabnya kau memakai sarung tangan di
dalam ruang kelas?" "sa-sarung tangan?" aku tergagap-gagap. Dia pikir aku pakai sarung tangan.
"Ya. saya... ehm... saya memang agak kedinginan," ujarku. Aku sudah mulai lebih
tenang. "Karena itu saya ke locker. Untuk mengambil sarung tangan."
Mr. Fosburg menatapku sambil mengerutkan kening. Kemudian dia berbalik dan
berjalan menjauh sambil membawa tumpukan bukunya.
"Baiklah, saya akan bicara dengan petugas pengelola gedung nanti,"
katanya. Kutarik napas lega ketika dia membelok di ujung koridor. Uih, hampir saja.
Tapi berkat Mr. Fosburg aku mendapat ide bagus sarung tangan.
Aku bergegas ke locker-ku. Rasanya janggal ketika kunci kombinasinya kuputar
dengan jariku yang berbulu, tapi akhirnya berhasil juga.
Cepat-cepat kukeluarkan sarung tangan dari saku jaketku.
Beberapa detik kemudian aku sudah kembali ke ruang kelas. Lily sedang berdiri di
depan. Dia sedang menyampaikan laporan bukunya, dan dia menatapku dengan heran
ketika aku menyelinap ke balik mejaku.
setelah Lily selesai, Miss shindling memanggilku ke depan. "sudah lebih enak
sekarang, Larry?" dia bertanya.
"Ya," aku menyahut. "Ta-tangan saya kedinginan tadi." Aku bangkit dari kursiku
dan berjalan ke depan. Beberapa anak mulai tertawa dan menunjuk-nunjuk sarung
tanganku. Tapi aku tidak peduli.
Paling tidak rahasiaku tetap aman. Tak ada yang bisa melihat tanganku yang penuh
bulu hitam. Kutarik napas panjang, lalu kumulai, bercerita. "Buku yang saya baca ditulis
oleh Bruce Coville," ujarku. "Dan buku ini patut dibaca oleh semua orang yang
suka kisah science fiction yang lucu..."
Seusai sekolah aku bergegas ke locker-ku. Aku berjalan sambil menundukkan
kepala, dan berusaha menghindari semua orang.
Sepanjang hari aku terus pakai sarung tangan. Sebenarnya sih panas juga, dan
sama sekali tidak nyaman. Dan makin lama rasanya makin sempit saja.
Jangan-jangan bulu-bulu di punggung tanganku terus bertambah panjang"
Tapi aku tidak berani melepaskan sarung tanganku untuk memastikannya.
Aku mengenakan jaket, lalu menyandang ranselku. Aku harus pergi dari sini supaya
bisa berpikir, kataku dalam hati.
Aku sudah hampir sampai di pintu utama ketika mendengar Lily memanggil-manggil.
Aku menoleh dan melihatnya mengejarku. Dia memakai sweter kuning yang kebesaran
dengan celana ketat hijau.
Aku terus mengayunkan langkah. "sampai besok!" seruku padanya. "Aku sedang
terburu-buru." Tapi dia berlari mengejar dan berhenti di depanku. "Kau tidak ikut latihan band
nanti?" tanyanya. Aku begitu sibuk memikirkan tanganku yang berbulu sehingga lupa sama sekali pada
latihan band kami. "Latihannya di rumahku lagi," Lily melanjutkan sambil berjalan mundur.
"A-aku tidak bisa ikut," aku tergagap-gagap. "Aku tidak enak badan."
Itu memang benar. Dia menatapku dengan tajam. "Ada apa sih, Larry" Dari tadi pagi tingkahmu aneh
sekali." "Aku cuma tidak enak badan," aku menandaskan. "sori, aku tidak bisa ikut
latihan. Kita tunda sampai besok deh. Oke?"
"Boleh saja," balas Lily. Dia masih menambahkan sesuatu, tapi aku tidak
mendengarnya. Langsung saja kubuka pintu dan bergegas meninggalkan sekolah.
sepanjang perjalanan pulang aku terus berlari. salju tampak berkilau-kilau
bagaikan perak diterpa sinar matahari yang cerah.
Pemandangannya indah sekali, namun aku tak bisa menikmatinya. Aku terlalu sibuk
memikirkan masalahku. Bulu. Bulu-bulu hitam yang kasar.
Aku menyerbu masuk ke rumah dan membiarkan ranselku jatuh ke lantai.
Aku hendak menaiki tangga ke kamarku-tapi terhenti ketika kudengar ibuku
memanggil. Dia ternyata sedang duduk di ruang tamu, di kursi di jendela depan. Dia sedang
menelepon sambil memangku Jasper, kucing kami. Dia mengatakan sesuatu, lalu
menurunkan gagang telepon ketika berpaling ke arahku.
"Kok sudah pulang, Larry" Tidak ada latihan band?"
"Tidak hari ini," aku berbohong. "Aku banyak PR, jadi aku langsung pulang." Aku
bohong lagi. Aku tidak mau menceritakan masalah sebenarnya. Aku tidak mau bercerita bahwa aku
telah menggosokkan INSTA-TAN ke seluruh tubuhku, dan bahwa tanganku kini
ditumbuhi bulu-bulu hitam yang menjijikkan.
Aku tidak mau bercerita. Tapi tiba-tiba semua keluar begitu saja.
semuanya. Aku tidak sanggup menyimpan rahasia ini lebih lama lagi.
"Mom, Mom pasti takkan percaya," aku mulai berkata dengan suara serak.
"Di... di tanganku mulai tumbuh bulu. Bulu-bulu hitam yang menjijikkan. Ehm, aku
dan teman-temanku-kami menemukan botol berisi obat untuk membuat kulit
kecokelatan. sebenarnya obat itu sudah kedaluwarsa. Tapi kami nekat memakainya.
Aku menggosokkannya ke muka, ke tangan, dan ke tengkukku. Dan sekarang tanganku
mulai berbulu, Mom. Aku baru tahu di sekolah tadi. Kedua tanganku tertutup bulu
hitam yang lebat. Aku malu sekali. Dan takut.
Benar-benar takut." Napasku terengah-engah ketika aku mengakhiri ceritaku. Dan semula aku terus
menunduk dan menatap lantai. Tapi kini kepalaku kutegakkan lagi untuk melihat
reaksi ibuku. Apa yang akan dikatakannya" Mungkinkah dia bisa menolongku"
12. AKU mendengarnya bergumam. Tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Lalu kusadari bukan aku yang diajaknya bicara. Dia sudah kembali menempelkan
gagang telepon ke telinga dan asyik mengobrol dengan lawan bicaranya. Dan
sepertinya dia amat berkonsentrasi sehingga tidak mendengar sepatah kata pun
yang kuucapkan! Aku menghela napas. Kemudian aku bergegas menaiki tangga ke kamarku. Cepat-cepat
kututup pintu lalu kubuka sarung' tangan yang terasa panas dan tidak nyaman.
Jasper ikut denganku dan kini duduk di ambang jendela. Sebagian besar waktunya
dihabiskan di tempat itu sambil memandang ke pekarangan depan.
Ketika kulemparkan sarung tangan ke kursi, dia berpaling ke arahku.
Matanya yang kuning terang tampak berbinar-binar.
Aku menghampiri Jasper dan mengangkatnya. Lalu aku duduk di ambang jendela dan
memeluknya. "Jasper, kau satu-satunya teman sejati yang kumiliki," bisikku
sambil membelai-belai punggungnya.
Di luar dugaanku, kucing itu mendesis, lalu melengkungkan punggung dan melompat
ke lantai. Jasper berlari melintasi kamar, lalu berbalik, dan memelototiku
dengan matanya yang kuning.
Baru beberapa detik kemudian aku menyadari apa masalahnya. Aku mengangkat
tangan. "Ini gara-gara tanganku yang berbulu ini, ya, kan, Jasper?" tanyaku
dengan sedih. "Kau takut, ya?"
Jasper memiringkan kepala, seakan-akan berusaha memahamiku. "Ya, aku sendiri
juga takut," ujarku.
Aku berdiri dan bergegas ke kamar mandi. sekali lagi kuambil alat cukur ayahku
dari lemari obat. Kemudian aku mulai mencukur bulu-bulu yang lebat itu.
Ternyata lebih sulit dari yang kubayangkan. Terutama bulu-bulu yang tumbuh di
sela-sela jari. Bulu-bulu itu benar-benar sukar dijangkau.
Bulu-bulu di tanganku sangat kaku dan keras. Bagaikan bulu pada sikat rambut.
Dua kali tanganku tergores, sekali di telapak dan sekali di punggung tangan.
Ketika aku membilas krim cukur, aku menoleh ke bawah dan melihat Jasper
menatapku dari pintu kamar mandi. "Jangan beritahu Mom dan Dad," bisikku.
Dia mengedipkan matanya yang kuning, lalu menguap lebar.
Keesokan pagi aku bangun sebelum kedua orangtuaku terjaga. Biasanya aku baru
bangun kalau Mom sudah berseru-seru memanggilku.
Tapi pagi ini aku langsung melompat turun dari tempat tidur, menyalakan lampu,
dan menghampiri cermin di lemari pakaianku.
Aduh, bagaimana kalau bulu-bulu itu sudah tumbuh lagi"
Kuangkat kedua tangan dan kuamati keduanya dengan saksama. Mataku masih berat
karena baru bangun. Tapi aku bisa melihat dengan jelas bahwa bulu-bulu itu belum
tumbuh lagi. "Ya!" aku bersorak gembira.
Luka gores di tanganku masih terasa nyeri. Tapi aku tidak peduli. Yang penting
kedua tanganku licin dan bersih.
Aku membolak-balik tanganku sambil memperhatikan keduanya. Aku lega sekali bahwa
tanganku kelihatan normal.
semalam aku sempat dihantui mimpi buruk. Mula-mula aku bermimpi tentang spageti.
Dalam mimpiku itu, aku sedang duduk di dapur hendak melahap sepiring spageti.
Tapi begitu aku mulai mengambil dengan garpu, spageti itu berubah jadi rambut
yang hitam dan panjang. Aku mengambil rambut yang hitam dan panjang dengan garpuku. Piringku penuh
rambut yang hitam dan panjang.
Kemudian kuangkat garpu. Kubuka mulut dan garpu yang penuh rambut itu
kudekatkan, semakin dekat, semakin dekat.
Lalu aku terbangun. Huh! Mimpi itu benar-benar mengerikan.
Perutku serasa diaduk-aduk. Dan aku sulit tidur lagi.
Untung saja sekarang sudah pagi. Aku melanjutkan pemeriksaanku. Aku membungkuk
dan mengamati kakiku. Lalu betis, lutut, dan paha.
Tak ada bulu hitam. Tubuhku bebas dari bulu-bulu aneh.
Sepertinya cukup aman untuk pergi ke sekolah, pikirku. Tapi untuk berjaga-jaga,
aku tetap akan membawa sarung tangan.
Sehabis sarapan, kupakai jaketku dan kuambil ranselku. Kemudian aku berangkat ke
sekolah. Cuaca cerah dan hangat. salju yang sudah mulai mencair tampak berkilau-kilau.
Dengan hati-hati aku menyusuri trotoar sambil menghindari genangan-genangan air.
Perasaanku sudah lebih baik. Jauh lebih baik.
Kemudian aku menoleh ke belakang dan melihat gerombolan anjing itu.
Anjing-anjing yang menyeringai. Dan semua berlari ke arahku.
Op en in browser customize pdfcrowd.com
13 JANTUNGKU langsung berdegup-degup. Anjing-anjing itu berlari kencang sekali.
semua memandang ke arahku, dan setiap kali melompat, mereka menyalak dan
menggeram dengan keras. Kakiku mendadak terasa berat sekali. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk
berlari.

Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau sampai tertangkap, aku bakal dikoyak-koyak! aku berkata dalam hati. Mereka
pasti mencium bau Jasper yang melekat pada bajuku!
Pasti itu sebabnya aku selalu dikejar-kejar.
Aku sangat menyayangi kucingku. Tapi kenapa aku mesti dapat kesulitan gara-gara
dia" Uh, siapa sih pemilik anjing-anjing buas ini" Kenapa mereka dibiarkan bebas
berkeliaran seperti ini"
Pertanyaan demi pertanyaan melintas dalam benakku ketika aku berlari untuk
menyelamatkan diri. Melintasi pekarangan orang. Lalu menyeberang jalan.
sebuah klakson berbunyi nyaring. Aku mendengar bunyi rem berdecit-decit.
Sebuah mobil menggelincir ke trotoar seberang.
Aku lupa memeriksa situasi lalu lintas sebelum menyeberang.
"sori!" aku berseru sambil tetap berlari.
Tiba-tiba pinggangku serasa ditusuk-tusuk, dan aku terpaksa mengurangi
kecepatan. Aku menoleh dan melihat anjing-anjing itu terus mendekat. Mereka
menyeberang jalan dan berlari melintasi salju.
Semakin dekat. semakin dekat.
"Hei, Larry!" Dua anak muncul di trotoar di depanku.
"Cepat, lari!" teriakku sambil terengah-engah. "Anjing-anjing itu...."
Tapi Lily dan Jared tidak bergerak.
Aku berhenti di samping mereka, lalu memegang pinggangku. Nyerinya begitu hebat
sehingga aku nyaris tidak bisa menarik napas.
Lily berbalik untuk memelototi anjing-anjing itu, seperti yang sudah pernah
dilakukannya. Jared maju untuk menghalau mereka. Bertiga kami memperhatikan
mereka mendekat. Gerombolan anjing itu segera berhenti. Tak ada lagi yang menyalak maupun
menggeram. Mereka menatap kami dengan ragu. semua tersengal-sengal. Lidah mereka
yang terjulur ke luar hampir menyentuh salju.
"Ayo pulang!" seru Lily. Dengan keras dia menghentakkan kakinya ke trotoar.
Anjing hitam besar yang memimpin gerombolan itu merintih pelan lalu menundukkan
kepala. "Ayo pulang! Ayo pulang!" seru kami bertiga.
Nyeri di pinggangku berangsur-angsur mereda. Aku mulai merasa lebih enak. Aku
menyadari anjing-anjing itu takkan menyerang. Mereka tidak berani melawan tiga
orang sekaligus. satu per satu mereka berbalik dan menyusul anjing hitam besar tadi.
Tiba-tiba Jared tertawa. "Hei, coba lihat yang itu!" serunya. Dia menunjuk
seekor anjing panjang dengan bulu keriting berwarna hitam.
"Memangnya ada apa dengan dia?" tanyaku.
"Dia mirip sekali dengan Manny!" kata Jared.
Lily ikut tertawa. "Kau benar! Dia memang mirip."
Kami bertiga terpingkal-pingkal. Bulu anjing itu persis seperti rambut Manny
yang keriting. Dan matanya sama-sama gelap dan sayu.
"Ayo, nanti kita telat," ujar Lily. Dia menendang segumpal salju keras yang
tergeletak di trotoar. Jared dan aku mengikutinya menuju sekolah.
"Kenapa sih anjing-anjing itu mengejarmu?" tanya Jared.
"Aku rasa mereka mencium bau kucingku," jawabku.
"Anjing-anjing itu berbahaya," Lily berkomentar. Dia berjalan beberapa langkah
di depan kami. "seharusnya mereka tidak dibiarkan bebas berkeliaran."
"Yeah, soal itu aku setuju sekali," aku menimpali.
Angin yang mendadak berembus kencang nyaris membuat kami terjungkal di trotoar
yang licin. Topi Raiders Jared terbang ke jalan, dan hampir terlindas mobil yang
kebetulan lewat. Jared berlari ke jalan, memungut topinya. "Aku sudah tak sabar menunggu musim
dingin berakhir," gumamnya.
Kami bertemu Kristina di muka sekolah. Rambutnya yang merah berkibar-kibar
tertiup angin. "Nani sore kita jadi latihan band?" dia bertanya sambil mengunyah sebatang
cokelat Snickers. "sarapan yang bergizi," komentarku.
"Ibuku tadi tidak sempat menyiapkan sarapan," sahutnya sambil terus mengunyah.
"Yeah, latihannya di rumahku," kata Lily. "Kita harus bekerja keras. Jangan
sampai Howie yang keluar sebagai pemenang kontes."
Kristina berpaling kepadaku. "Ke mana kau kemarin?"
"Aku.. ehm... aku tidak enak badan," ujarku.
Tiba-tiba aku teringat pada krim INSTA-TAN. Barangkali teman-temanku juga mulai
tumbuh bulu gara-gara obat itu" Aku harus mendapat kepastian. Aku harus
menanyakannya. . Tapi kalau ternyata mereka tidak apa-apa-kalau ternyata cuma aku yang tumbuh
bulu-wah, aku bakal malu berat.
"Ehm... masih ingat krim INSTA-TAN waktu itu?" aku memberanikan diri untuk
bertanya. "Yeah, mujarab sekali," kata Jared. "Rasanya kulitku malah tambah pucat."
Kristina tertawa. "Tidak ada hasil sama sekali. Kau benar, Larry. Obat itu
memang sudah sangat kedaluwarsa."
Tapi apakah kalian juga mulai tumbuh bulu-bulu hitam" Itu yang ingin kuketahui.
Tapi tak satu pun dan mereka menyinggung soal bulu. Mungkinkah mereka juga
seperti aku" Mungkinkah mereka juga terlalu malu untuk mengakuinya"
Atau memang cuma aku yang mengalami hal itu"
Kutarik napas panjang. Perlukah aku menanyakannya" Perlukah aku bertanya apakah
di antara mereka ada yang mendadak tumbuh bulu hitam"
Aku membuka mulut untuk bertanya. Tapi aku langsung berubah pikiran ketika
menyadari bahwa topik pembicaraan telah beralih. Mereka sudah asyik bicara
tentang band kami. "Nanti tolong bawa amplifier kamu ke rumahku, ya?" kata Lily pada Kristina.
"Manny juga mau bawa, tapi ampli-nya cuma bisa dipakai untuk dua gitar."
"Bagaimana kalau pakai ampli-ku saja?" aku menawarkan. "Aku..."
Embusan angin yang kencang mendorong tudung jaketku ke belakang.
Aku meraih ke belakang untuk mengembalikan tudungnya ke tempat semula.
Tanganku menyentuh tengkukku-dan aku menahan napas.
Tengkukku tertutup bulu lebat.
14 "ADA apa sih, Larry?" tanya Lily.
"Ehm... ehm..." Aku tidak sanggup berkata apa-apa.
"Ada apa dengan syalmu?" tanya Jared. "Lilitannya terlalu ketat, ya?" Dia
menarik-narik syal wol yang melingkar di leherku.
Ibuku selalu menyuruhku aku memakai syal yang gatal itu karena Nenek Hildy yang
merajutnya. Aku sama sekali lupa bahwa aku pakai syal.
Waktu tanganku menyentuhnya, aku langsung menyangka.
"Mukamu pucat sekali, Larry," ujar Lily. "Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. "Yeah, aku tidak apa-apa," gumamku sementara mukaku jadi merah.
"Aku cuma tercekik syal, itu saja." Alasan itu benar-benar tidak meyakinkan.
Tapi aku harus mengatakan sesuatu. Dan aku tidak mungkin mengaku bahwa aku
menyangka tengkukku mendadak ditumbuhi bulu!
Larry, jangan pikirkan bulu-bulu itu lagi! kutegur diriku sendiri. Kalau begini
caranya, lama-lama kau bisa gila!
Aku menggigil. "Ayo, kita masuk saja," kataku sambil mengencangkan lilitan syal
pada leherku. Aku bergegas ke kamar kecil untuk menyisir rambut sebelum bel berdering. Ketika
menatap rambutku yang pirang dan berombak, sebuah pikiran mengerikan tiba-tiba
melintas dalam benakku. Bagaimana kalau rambutku yang asli tiba-tiba rontok" Dan digantikan oleh bulubulu hitam yang kasar itu"
Bagaimana kalau aku terbangun suatu pagi, dan ternyata seluruh tubuhku sudah
tertutup bulu-bulu hitam yang menjijikkan"
Kuamati bayanganku di cermin. seseorang telah melumurkan air sabun pada kacanya,
sehingga bayanganku seakan-akan terselubung kabut.
"Jangan panik," aku berkata pada diriku.
Lalu kutunjuk bayanganku di cermin. Kutunjuk dengan jari yang licin dan tak
berbulu. "Jangan pikirkan soal rambut terus, Larry," ujarku dengan tegas. "Jangan
pikirkan soal rambut. semuanya akan beres."
Pengaruh INSTA-TAN rupanya sudah habis, aku menyimpulkan.
Memang sudah beberapa hari berlalu sejak aku dan teman-temanku mengoleskan obat
itu. sejak itu aku paling tidak sudah tiga kali mandi dengan shower dan dua kali
mandi berendam. Pengaruh obat itu sudah habis, aku berusaha meyakinkan diriku. Betul-betul sudah
habis. Jadi tak ada lagi yang perlu dikuatirkan.
sekali lagi ku,lirik rambutku yang sudah mulai panjang. Tapi aku justru suka.
Aku paling senang menyisir bagian sampingnya ke belakang telinga.
Mungkin akan kubiarkan tumbuh panjang sekali, pikirku. Kumasukkan sisir ke
ransel, lalu segera menuju ruang kelas.
semua berjalan lancar, sampai Miss shindling mengembalikan kertas ulangan
sejarah. Bukan nilainya yang membuat aku gugup. Aku diberi nilai sembilan puluh empat,
dan itu cukup bagus. Aku tahu Lily pasti akan berkoar bahwa dia dapat sembilan
delapan atau sembilan sembilan. Tapi Lily memang jago mengarang.
Aku sendiri sudah puas dengan nilai sembilan empat.
Aku senang karena memperoleh nilai setinggi itu. Tapi ketika kubalik-balik
halaman sambil membaca komentar Miss shindling tentang tulisanku, kutemukan
sehelai rambut hitam pada halaman tiga.
Apakah itu rambutku" aku bertanya dalam hati. Apakah itu sehelai bulu hitam yang
tumbuh di punggung tanganku"
Ataukah rambut itu rambut Miss shindling" Dia memang berambut hitam pendek. Jadi
bukan tidak mungkin itu memang rambutnya.
Di pihak lain... Kutatap rambut itu tanpa berani menyentuhnya.
Aku sadar bahwa tingkahku mulai aneh-aneh lagi. Aku ingat bahwa aku sudah
bersumpah untuk berhenti memikirkan soal rambut.
Tapi aku tak berdaya. Gara-gara rambut hitam yang melekat pada halaman ketiga kertas ulanganku, aku
langsung mulai senewen lagi. Akhirnya kuangkat kertas ulanganku, kudekatkan ke
wajahku-dan kutiup rambut itu.
setelah itu aku sibuk dengan pikiranku sendiri. segala ucapan Miss shindling
sampai akhir jam pelajaran sama sekali tak kuperhatikan.
Dan ketika bel berbunyi, aku menarik napas dengan lega. Cepat-cepat kubereskan
barang-barangku dan kutinggalkan ruang kelas untuk mengikuti pelajaran olahraga.
"Hari ini kita main basket!" Mr. Rafferty berseru ketika kami memasuki aula
olahraga yang terang benderang. "Kita main basket! Cepat ganti baju! Ayo,
semangat sedikit!" sebenarnya aku kurang suka bermain basket. soalnya kita harus berlari mondarmandir di lapangan. Dari ujung ke ujung, lalu kembali lagi.
selain itu, lemparanku kurang jitu. Dan aku selalu malu sekali kalau bolanya
dioper kepadaku, tapi lemparanku meleset.
Tapi hari ini aku malah senang. siapa tahu dengan berlari kian kemari aku bisa
melupakan kegelisahanku. Aku mengikuti anak-anak lain ke ruang ganti. semua membuka locker masing-masing
dan mengeluarkan celana pendek dan baju olahraga.
Di ujung deretan locker, Howie Hurwin terus berseru, "Makan tuh bola!
Makan tuh bola!" Anak-anak lain melecutnya dengan handuk.
Hah, biar tahu rasa, pikirku. Howie memang menyebalkan sekali.
"Makan tuh bola!" aku mendengar Howie bersenandung. seorang anak menyuruhnya
diam. "Makan tuh bola! Makan tuh bola!"
Aku duduk di bangku, mulai melepas sepatu ketsku. Kemudian aku berdiri lagi
untuk membuka celana jeans-ku.
Tapi ketika celanaku sampai di lutut, aku mendadak berhenti.
Aku berhenti dan memekik tertahan ketika melihat lututku.
Kedua lututku ditumbuhi bulu-bulu lebat berwarna hitam.
15 "KENAPA kau tidak mau pakai celana pendek waktu pelajaran olahraga kemarin?"
Pedang Sakti Tongkat Mustika 11 Pendekar Rajawali Sakti 156 Ratu Wajah Maya Rumah Bisikan 2

Cari Blog Ini