Ceritasilat Novel Online

Rambut Setan 2

Goosebumps - Rambut Setan Bagian 2


tanya Jared. . Pertanyaannya membuatku tersentak. Kami sedang berjalan di trotoar yang becek
samil membawa alat musik masing-masing untuk latihan band di rumah Lily.
"Kau disuruh ganti celana pendek, tapi kau tidak mau," ujar Jared. Kotak
keyboard yang digenggamnya berayun mengikuti gerakan tangannya.
"Aku... aku cuma kedinginan," sahutku. "Kakiku kedinginan. Itu saja. Aku tidak
mengerti kenapa Mr. Rafferty sampai ngotot begitu."
Jared tertawa. "Peluit Rafferty sampai hampir tertelan waktu kau membuat
lemparan tiga angka dari tengah lapangan!"
Aku ikut tertawa. sebenarnya aku termasuk pemain basket terburuk di sekolah.
Tapi aku begitu bingung karena lututku yang berbulu, sehingga aku bermain
seperti kesetanan. seumur hidup belum pernah aku bermain sebaik kemarin.
"Kalau begitu, sebaiknya kau selalu pakai Jeans kalau bermain basket,"
Coach Rafferty sempat berkelakar.
Seusai sekolah aku langsung berlari pulang. Aku segera mengunci diri di kamar
mandi atas, dan menghabiskan setengah jam untuk mencukur bulu-bulu hitam di
lututku. Waktu aku selesai, kedua lututku merah dan perih. Tapi paling tidak kedua-duanya
sudah licin kembali. Sepanjang sore aku lalu mengurung diri di kamar sambil merenungkan nasib yang
menimpaku. Masalahnya, ada banyak pertanyaan dalam benakku. Lusinan pertanyaan.
Tapi tak ada satu jawaban pun.
Aku telungkup di tempat tidur, dengan lutut berdenyut-denyut, sementara aku
memeras otak. Kenapa di lututku bisa tumbuh bulu" aku bertanya dalam hati. Aku
tidak mengoleskan INSTA-TAN di lutut. Jadi bagaimana mungkin bulu-bulu hitam itu
bisa tumbuh di situ"
Mungkinkah INSTA-TAN itu telah masuk ke seluruh jaringan tubuhku"
Mungkinkah obat itu terserap melalui pori-pori" Lalu menyebar ke seluruh
tubuhku" Apakah aku akan berubah menjadi makhluk berbulu" Apakah aku akan mirip King
Kong" Pertanyaan demi pertanyaan muncul-namun tetap tak terjawab.
Berbagai pertanyaan masih mengusik pikiranku ketika aku melintasi jalan bersama
Jared dan rumah Lily yang berkerangka putih mulai terlihat di pojok jalan.
Sinar matahari membanjiri kedua pohon gundul yang menaungi jalan masuk ke
pekarangan Lily. Udara terasa hangat, hampir seperti di musim semi. salju sudah banyak yang
mencair. Di sana-sini terlihat rumput basah menyembul dan balik permukaan yang
putih. Di pekarangan seberang jalan berdiri orang-orangan salju yang sudah setengah
meleleh. Sepatuku menginjak genangan-genangan air ketika kami berdua menuju
pintu rumah Lily sambil membawa instrumen masing-masing.
Lily membukakan pintu untuk kami. Ia dan Kristina rupanya sudah mulai berlatih.
Lily memakai sweter wol berwarna merah-biru dan celana biru muda, sementara
Kristina mengenakan Jeans belel dan sweter Notre Dame berwarna hijau dan emas.
"Mana Manny?" tanya Lily sambil menutup pintu depan setelah Jared dan aku masuk.
"Aku belum lihat dia hari ini," ujarku sambil membersihkan sepatuku yang basah
pada keset di lantai. "Memangnya dia belum datang?"
"Dia tidak masuk sekolah tadi," Kristina melaporkan.
"Kita harus lebih serius," Lily berkata sambil menggigit bibir "Kalian sempat
bicara dengan Howie hari ini" Dia sudah cerita apa yang dibelikan ayahnya?"
"Synthesizer baru?" sahutku sambil membungkuk untuk membuka kotak gitar. "Yeah.
Dia cerita panjang-lebar. Katanya, alat itu bisa meniru bunyi satu orkestra."
"Apa untungnya?" tanya Jared. sehelai daun basah menempel di sepatunya. Dia
mengambilnya, tapi tidak tahu ke mana harus membuangnya. Akhirnya dia
memasukkannya ke kantong celana jeans-nya.
"Kalau Howie bisa meniru bunyi satu orkestra, sementara kita maju dengan tiga
gitar dan satu keyboard mainan, maka kita benar-benar akan mengalami kesulitan
besar," Lily mewanti-wanti.
"Hei, ini bukan keyboard mainan!" protes Jared.
Aku tertawa. "Masa cuma gara-gara engkol yang harus diputar dulu, kauanggap ini
keyboard mainan sih?"
"Keyboard-ku memang kecil-tapi nadanya lengkap," Jared berkeras. Dia menaruh
keyboardnya di meja, membukanya lalu mencolokkan kabelnya.
"Sudahlah, jangan bercanda terus. Lebih baik kita mulai berlatih saja," ujar
Kristina sambil menggerak-gerakkan jari pada leher gitarnya yang berwarna merah
cerah. "Kita mulai dengan lagu apa nih?"
"Bagaimana kita bisa berlatih tanpa Manny?" tanyaku. "Maksudku, apa gunanya?"
"Aku sudah telepon dia tadi," kata Lily. "Tapi sepertinya teleponnya rusak,
soalnya berdering pun tidak."
"Kalau begitu kita jemput ke rumahnya yuk" aku mengusulkan.
"Yeah, ide bagus!" Kristina menimpali.
Kami berempat menuju pintu depan dan mengambil jaket masing-masing.
Tapi Lily berhenti di pintu. "Larry dan aku saja yang ke sana,"
dia berkata kepada Kristina. "Kau dan Jared tunggu di sini saja sambil berlatih.
Cukup berdua saja yang ke sana."
"Oke," ujar Jared. "Lagi pula memang harus ada yang tunggu di sini, sebab siapa
tahu Manny tiba-tiba muncul."
Lily dan aku mengenakan jaket masing-masing dan keluar lewat pintu depan. Sepatu
Doc Marten Lily menginjak genangan air yang cukup besar ketika kami menyusuri
trotoar. "Aku paling tidak senang kalau salju sudah mulai kelabu dan mencair,"
katanya. "Coba perhatikan. Di mana-mana terdengar suara air menetes. Dari pohonpohon, dari atap-atap rumah, dari mana-mana."
Dia mengulurkan tangan untuk menghalangi jalanku dan memaksaku berhenti. sambil
membisu kami mendengarkan suara air menetes.
"Memekakkan telinga, bukan?" Lily bertanya sambil tersenyum. sinar matahari
terpantul di kedua matanya. Yang satu biru, yang satu hijau.
"Memekakkan " aku membeo. Kadang-kadang Lily memang agak aneh.
Dia pernah bercerita kalau dia suka menulis puisi. Puisi-puisi panjang tentang
alam. Tapi hasil karyanya belum pernah diperlihatkan padaku.
Kami menyusuri trotoar yang becek. Sinar matahari terasa hangat di wajahku.
Ritsleting Jaketku kubiarkan terbuka.
Rumah Manny mulai kelihatan setelah kami melewati belokan jalan.
Rumahnya terletak di puncak sebuah bukit yang cocok sekali untuk main. kereta
luncur salju. Dua anak kecil sedang bermain luncur-luncuran, tapi mereka hanya
bisa bergerak pelan, karena sebagian besar salju telah mencair.
Kami berjalan melewati mereka menuju pintu depan rumah Manny. Lily menekan bel
dan aku mengetuk pintu. "Hei, Manny-buka pintu!"
aku berseru. Tak ada jawaban. Tak ada suara sama sekali. Cuma bunyi "tes tes tes" air yang menetes dari
talang. "Hei, Manny!" aku memanggil. Sekali lagi kami menekan bel dan mengetuk pintu.
"Mungkin semuanya sedang pergi," ujar Lily Dia berbalik dan menghampiri jendela
depan. Sambil berjinjit, dia berusaha mengintip.
"Kau bisa lihat ke dalam?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepala. "Tidak. Mataharinya memantul di kaca. Tapi sepertinya
di dalam gelap." "Mobil mereka juga tidak ada," aku berkomentar.
Aku mengetuk sekali lagi, kali ini sekeras mungkin. Di luar dugaanku, pintu
depan membuka sedikit. "Hei-pintunya terbuka!" aku memberitahu Lily.
Dia segera kembali ke teras. "Halo" Ada siapa di ini?" aku memanggil.
Tak ada jawaban. "Hei-pintunya terbuka!" aku berseru.
Lily mendorong pintu depan hingga terbuka sepenuhnya, dan kami melangkah masuk.
"Manny?" dia memanggil, sambil menempelkan tangan di sekeliling mulut. "Manny?"
Aku masuk ke ruang duduk dan memekik tertahan.
Aku berusaha mengatakan sesuatu, tapi suaraku seakan-akan tersangkut di
tenggorokkan. Aku membelalakkan mata, seolah-olah takut salah lihat.
16 LILY meraih lenganku ketika kami memandang sekeliling ruang duduk.
Ruang itu kosong melompong. Tanpa perabot. Tanpa tirai. Tanpa lukisan maupun
poster di dinding. Karpetnya pun telah diangkat dari lantai kayu yang mengilap.
"K-ke mana mereka?" aku bertanya dengan suara seperti orang tercekik.
Lily melewati koridor dan menuju dapur. Juga kosong. semua telah diangkut,
termasuk lemari es. "Mereka pindah!" seru Lily. "Ya ampun, mereka pindah!"
"Tapi kenapa Manny tidak memberitahu kita?" tanyaku. Pandanganku menyapu ruangan
yang kosong itu. "Kenapa dia tidak pernah cerita bahwa keluarganya mau pindah?"
Lily cuma menggelengkan kepala. seluruh rumah hening. Samar-samar kudengar suara
air menetes dari talang di luar.
"Barangkali mendadak mereka harus pindah," Lily akhirnya berkata.
"Mendadak" Kenapa?" tanyaku.
Kami berdua tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Aku suka berlari. Maksudku berlari untuk kesenangan, bukan berlari karena
dikejar segerombolan anjing buas.
Aku senang kalau jantungku berdegup kencang. Aku suka bunyi debam-debum yang
terdengar saat sepatu kets-ku menginjak tanah. Dan aku juga suka kalau ototototku bekerja sama dengan baik.
Hampir setiap sabtu aku ikut berlari pagi bersama ayahku. Dia selalu memilih
jalan setapak yang menyusuri danau kecil di Miller Woods.
Tempat itu indah sekali. Udaranya selalu segar, dan suasananya sunyi senyap
Ayahku tinggi, langsing, dan cukup atletis. Dulu dia juga berambut pirang
seperti aku, tapi sekarang sebagian besar rambutnya berwarna kelabu, ubunubunnya malah sudah botak.
Setiap hari dia lari pagi sebelum berangkat kerja. Dan menurutku dia lari cukup
kencang. Tapi pada hari Sabtu dia lebih santai, supaya kami bisa lari
berdampingan. Biasanya kami berlari tanpa bicara. Maksudnya, supaya kami bisa lebih menikmati
pemandangan dan udara yang segar.
Tapi pada hari sabtu pagi ini, aku ingin mengobrol. Aku telah memutuskan untuk
bercerita tentang semuanya kepada ayahku. Tentang botol INSTA-TAN yang
kutemukan. Juga tentang bulu-bulu hitam yang mulai tumbuh di tubuhku.
sementara aku bercerita, pandanganku tetap tertuju lurus ke depan. Aku melihat
dua burung gagak besar melayang dari langit yang biru lalu bertengger
berdampingan di sebuah dahan. Kedua burung itu berkaok-kaok dengan keras,
seakan-akan bicara dengan kami.
Aku dan ayahku terus berlari mengitari danau. Permukaannya tampak berkilaukilau. Di sana-sini terlihat kepingan es mengapung di air yang berwarna biru
kehijauan. Aku mulai dari awal dan menceritakan semuanya. Ayahku memperlambat langkahnya
agar dapat mendengar lebih jelas, tapi kami tetap berlari.
Aku bercerita bagaimana kutemukan botol INSTA-TAN dan bagaimana kami
mengoleskannya ke tubuh masing-masing, sekadar iseng saja. Ayahku mengangguk,
namun pandangannya tetap lurus ke depan.
"Kelihatannya obat itu tidak manjur," komentarnya dengan napas agak tersengalsengal. "Rasanya kulitmu tidak bertambah cokelat, Larry."
"Ya, aku tahu," ujarku. "Obat itu sebenarnya sudah kedaluwarsa. Masa berlakunya
sudah lama lewat." Aku menarik napas panjang. Bagian berikut adalah bagian yang paling sulit
kuceritakan. "Kulitku memang tidak bertambah cokelat. Tapi aku mengalami sesuatu
yang benar-benar aneh."
Ayahku terus berlari. Kami melompati dahan mati yang tergeletak di tanah.
Aku sempat tergelincir karena menginjak setumpuk daun basah, tapi masih bisa
menjaga keseimbangan. "Di badanku mulai tumbuh bulu-bulu aneh," aku berkata dengan suara bergetar.
"Mula-mula di punggung tangan kananku. Lalu di kedua tanganku. Lalu di lututku."
Ayahku berhenti. Dia berpaling dan menatapku dengan cemas. "Bulu-bulu?"
Aku mengangguk sambil terengah-engah. "Bulu-bulu hitam. Kasar dan tajam."
Ayahku menelan ludah. Dia membelalakkan mata. Karena kaget" Karena ngeri" Karena
tidak percaya" Aku tidak bisa memastikannya.
Di luar dugaanku, dia meraih lenganku dan mulai menarikku. "Ayo, Larry.
Kita harus pulang." "Tapi-" aku mulai protes.
Genggamannya bertambah erat dan aku ditariknya lebih keras lagi. "Ayo, kita
harus pulang!" dia menegaskan ambil menggertakkan gigi.
"sekarang!" Dia menarik begitu keras, sehingga aku nyaris terjungkal!
"Aduh-ada apa sih?" tanyaku dengan suara melengking tinggi. "Ada apa
sebenarnya?" Dia tidak menyahut. Dia menarikku menyusuri jalan setapak sampai ke jalan raya.
Matanya menyorot liar. Dan dia meringis seakan-akan dicekam ketakutan yang amat
sangat. "Ada apa, Dad?" tanyaku. "Aku mau dibawa ke mana" Ke mana?"
17 DR. MURKIN mengangkat alat suntik dan memeriksanya di bawah cahaya lampu. "Coba
berpaling ke arah lain, Larry," dia berkata dengan suaranya yang pelan. "Saya
tahu kau tidak suka melihat ini. Tenang saja.
Ini takkan terasa." Jarum suntiknya menembus kulitku, dan seketika rasa sakit menjalar ke seluruh
lenganku. Aku memejamkan mata dan menahan napas sampai jarum itu dicabut lagi.
"sebenarnya memang belum waktunya," dia berkata sambil menggosok lenganku dengan
bola kapas yang telah dibasahi alkohol. "Tapi mumpung kau di sini, sekalian saja
saya suntik. Daripada harus bolak-balik."
Ayahku duduk dengan tegang di kursi lipat yang merapat ke dinding kamar periksa
yang kecil. Kedua lengannya disilangkannya di dada.
"Ba-bagaimana dengan bulu-bulu itu?" aku bertanya sambil tergagap-gagap. "Apakah
INSTA- TAN itu-" Dr. Murkin menggelengkan kepala. "saya kira bukan obat itu yang menyebabkan
pertumbuhan bulu. Lotion seperti itu hanya berpengaruh terhadap pigmen-pigmen di
kulit. Dan-" "Tapi obat itu sudah kedaluwarsa!" aku berkeras. "Siapa tahu isinya sudah asam
atau basi!" Dia melambaikan tangan seakan-akan hendak berkata, "Tidak mungkin."
Kemudian dia berbalik dan mulai menambahkan catatan dalam file-ku.
"Maaf, Larry," dia berkata sambil menuliskan huruf-huruf berukuran mungil.
"Penyebabnya bukan obat itu. Percayalah." Dr. Murkin kembali menatapku dengan
saksama. "Kau sudah saya periksa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kau juga
sudah melewati semua tes. Artinya, kau baik-baik saja."
"Uh! saya lega sekali!" ujar ayahku sambil menghela napas.
"Tapi bulu-bulu itu-" aku masih berkeras.
"Kita tunggu saja bagaimana perkembangan selanjutnya," Dr. Murkin menyahut
sambi1 menatap ayahku. "Tunggu saja?" aku berseru. "Saya tidak diberi obat untuk menghentikan
pertumbuhan bulu-bulu itu?"
"Mungkin saja kejadian itu takkan terulang lagi," balas Dr. Murkin. Dia menutup
map berisi dataku, lalu memberi isyarat agar aku turun dari meja periksa.
"Cobalah jangan memikirkan hal itu, Larry," Dr. Murkin berkata sambil
menyerahkan jaketku. "Kau baik-baik saja."
"Terima kasih, Dr. Murkin," ujar ayahku sambil berdiri. Dia mengembangkan
senyum, tapi aku tahu senyumnya terpaksa. Ayahku tetap kelihatan tegang.
Aku mengikutinya ke pelataran parkir. Kami sama-sama membisu sampai kami duduk
di dalam mobil dan melaju ke rumah. "sudah lebih enak?" tanya ayahku. Dia
memandang lurus ke depan sambil memicingkan mata.
"Belum," jawabku gundah.
"Apa lagi sekarang?" ayahku bertanya dengan nada jengkel. "Kau sudah diperiksa
Dr. Murkin,dan katanya kau baik-baik saja."
"Tapi bagaimana dengan bulu-bulu hitam itu?" aku berseru dengan gusar.
"Bagaimana" Kenapa dia tidak melakukan apa-apa" Apakah dia tidak percaya
padaku?" "Ayah yakin dia percaya," ayahku berkata dengan lembut.
"Kalau begitu, kenapa dia tidak berbuat apa-apa untuk menolongku?" aku meratap.
Ayahku membisu lama sekali. Dia menatap lurus ke depan sambil menggigit-gigit
bibir. Lalu, akhirnya, dia berkata pelan-pelan,
"Kadangkadang

Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita memang hanya bisa menunggu."
Sore itu kami berkumpul di rumah Lily untuk latihan band. Permainan kami cukup
baik-tapi tanpa Manny rasanya tetap saja lain.
Kami semua kecewa sekali karena dia pindah tanpa berpamitan. Lily sempat minta
tolong ibunya untuk menelepon beberapa teman yang akrab dengan orangtua Manny.
Dia ingin tahu ke mana Manny dan orangtuanya pindah.
Tapi orang-orang yang dihubungi ternyata sama kagetnya seperti kami.
Ternyata tak seorang pun tahu bahwa keluarga Manny berencana pindah ke tempat
lain. Tetapi di pihak lain, lagu-lagu yang kami bawakan terdengar lebih enak dengan
dua gitar daripada tiga. suara Lily kecil sekali saat dia bernyanyi tidak
bertenaga. Dan dia hampir selalu kewalahan menghadapi tiga gitar.
Tanpa Manny, suara Lily kadang-kadang terdengar jelas.
Aku terus melakukan kesalahan ketika kami berlatih lagu Beatles-I Want to Hold
Your Hand. Berulang kali kumainkan chord yang keliru, dan iramanya juga tidak
pas. Aku tahu apa penyebabnya. Aku terus memikirkan Dr. Murkin dan sikapnya yang
tidak percaya ketika aku menceritakan soal bulu-bulu yang bermunculan di
tubuhku. Dia bilang penyebabnya bukan INSTA-TAN. Tapi mungkin saja dia keliru.
Aku begitu kesal-dan begitu... kesepian.
Kami mulai memainkan I Want to Hold Your Hand untuk kedua puluh kalinya, dan aku
memandang berkeliling, mengamati teman-temanku.
Mungkinkah mereka menghadapi masalah yang sama seperti aku"
Mungkinkah di tubuh mereka juga tumbuh bulu-bulu hitam yang menjijikkan, tapi
tidak berani untuk berterus terang"
Pertama kali aku menanyakannya, aku malah ditertawakan dan dijuluki Hairy Larry
oleh Lily. Tapi aku harus bertanya sekali lagi. Aku harus memperoleh jawaban
untuk pertanyaan yang terus mengusik pikiranku.
Aku menunggu sampai latihan kami selesai. Kristina sedang memasukkan gitarnya ke
dalam kotak. Jared pergi ke dapur untuk mengambil Coca-Cola dari lemari es. Lily
berdiri di samping sofa sambil memegang-megang keping emas pada kalungnya.
"A-aku mau menanyakan sesuatu," ujarku dengan gugup ketika Jared kembali.
Dia membuka kaleng minumannya, dan langsung tersemprot busa Coca-Cola. Semua
tertawa. "Masa buka kaleng Coca-Cola saja kau tidak bisa?" Lily berkelakar.
"Barangkali kau perlu buku panduan untuk itu?"
"Ha-ha," balas Jared sambil mengusap wajah dengan lengan bajunya.
"Kau sengaja mengocok semua kaleng supaya kami kena semprot.
Ayo, akui saja." Kristina tertawa sambil menutup kotak gitarnya. "Lain kali pilih jus kotak saja,
Jared." Jared menjulurkan lidah. Aku berdeham keras-keras. "Ada yang ingin kutanyakan pada kalian," aku
mengulangi dengan suara bergetar.
Mereka semua sedang riang gembira, tertawa dan bercanda. sepertinya mereka
normal-normal saja. Kenapa cuma aku yang cemas dan takut"
"Kalian masih ingat INSTA-TAN yang kutemukan waktu itu?" tanyaku.
"Apakah di antara kalian ada yang tumbuh bulu setelah mengoleskan obat itu?"
Wajahku mendadak terasa panas membara.
"Maksudku, bulu-bulu hitam yang benar-benar jelek?"
Jared mulai tertawa, dan Coca-Cola yang sedang diminumnya menyembur lewat
hidungnya: serta-merta dia terbatuk-batuk. Kristina segera menepuk-nepuk
punggungnya. "Hairy Larry!" seru Jared setelah batuknya mereda. Dia menunjukku dengan kaleng
Coca-Cola-nya dan mulai bersenandung. "Hairy Larry!
Hairy Larry!" "Ayo dong!" aku memohon. "Aku serius nih."
Kristina dan Jared malah tertawa semakin keras. Aku berpaling kepada Lily, yang
masih berdiri di samping sofa. Dia tampak prihatin. Dan yang jelas, dia sama
sekali tidak ikut tertawa. Dia justru menundukkan kepala ketika aku terus
menatapnya. "Larry ternyata manusia serigala!" Seru Jared.
"Moga-moga The Geeks tidak perlu main di saat bulan purnama!" Kristina
menimpali. "siapa tahu lolongan Larry lebih merdu ketimbang permainan gitarnya!"
ujar Jared. Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
"A-aku cuma bercanda!" aku tergagap-gagap.
Aduh, rasanya lebih baik ditelan bumi daripada harus menanggung malu begini.
Kini aku sadar, Aku satu-satunya. Aku satu-satunya yang ditumbuhi bulu-bulu
jelek itu. Karena itulah Jared dan Kristina menganggap hal itu begitu lucu. Karena mereka
tidak mengalaminya. Mereka tidak perlu risau mengenai bulu-bulu itu.
Tapi Lily tidak ikut mengolok-olokku. Dia berpaling dan mulai memungut catatan
not balok yang berserakan di lantai dan merapikan ruangan.
selama ini, Lily tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengolok-olok dan
membuat mukaku jadi merah. Aku mengamatinya sambil bertanya-tanya apakah dia
memiliki rahasia yang sama denganku.
Kuraih gitarku lalu menunggu sampai Jared dan Kristina pulang.
Kemudian aku mengenakan jaket dan topi baseball-ku, lalu mengikuti Lily ke pintu
depan. Di teras, aku berbalik dan menatapnya dengan tajam. "Lily, aku minta kau
berterus terang," aku mendesak. "Apakah di tangan dan lututmu tumbuh bulu-bulu
hitam?" Dia tampak bimbang, dan menggigit-gigit bibir. "Aku... aku tidak mau bicara soal
itu," dia menyahut sambil berbisik.
Kemudian dia membanting pintu.
Aku berdiri seperti patung. Roman mukanya yang cemas masih terbayang-bayang
dalam benakku, dan kalimatnya yang terakhir pun terus terngiang-ngiang di
telingaku. Mungkinkah dia mengalami hal yang sama seperti aku" Tapi kalau memang begitu,
kenapa dia tidak mau berterus terang padaku" Apakah dia terlalu malu" Ataukah
dia malu merasa kasihan padaku"
Bisa jadi dia baik-baik saja, pikirku. Bisa jadi dia cuma menyangka aku sudah
tidak waras. Pasti dia merasa kasihan padaku karena aku bertingkah begitu aneh.
Aku jadi semakin bingung. Perlahan-lahan aku berbalik, keluar ke jalan.
Matahari masih bersinar di langit, tapi udara terasa dingin. Angin kencang
menerpa wajahku ketika aku berjalan pulang.
Sambil mencondongkan badan ke depan untuk melawan angin, kuangkat tanganku untuk
menarik topi baseball-ku agar tidak tertiup angin.
Tapi ternyata topiku tidak bergerak sedikit pun.
Topiku tiba-tiba terasa kencang sekali. Terlalu kencang.
Aku melepaskannya dan mengamatinya dengan saksama. Aduh, siapa sih yang iseng
mengencangkan bagian belakangnya"
Ternyata tak ada yang usil.
Sambil merinding aku meraba keningku. Dan saat itulah aku menyadari kenapa
topiku mendadak kekecilan.
Seluruh keningku tertutup bulu-bulu kasar yang tumbuh lebat.
18 LEWAT pintu belakang aku masuk ke dapur. "Mom, coba lihat ini!" aku berseru.
"Coba lihat kepalaku!"
Kusebarkan pandanganku berkeliling. "Mom?"
Dia tidak di dapur. Aku bergegas melintasi setiap ruangan sambil memanggil-manggil. Aku telah
bertekad memberitahu orangtuaku apa yang sedang terjadi denganku. Sudah waktunya
mereka percaya. Mereka pasti akan kaget setengah mati kalau melihat bulu-bulu di keningku. Dan
setelah itu mereka akhirnya akan percaya bahwa ini masalah serius.
"Mom" Dad?"
Tak ada yang menyahut. Ketika kembali ke dapur, aku menemukan pesan yang menempel di pintu lemari es:
MOM DAN DAD PERGI BELANJA KE BRUNKES
DALE VILLAGE. PULANG MALAM KALAU LAPAR, MAKAN ROTI DULU.
Sambil berteriak kesal, kucampakkan topiku ke lantai. Kemudian kubuka jaketku
dan kubiarkan jatuh begitu saja.
Jantungku berdebar-debar ketika menuju cermin di dekat pintu depan. Aku
kelihatan seperti mutan dalam buku komik!
Kutatap wajahku yang pucat. Tampangku masih seperti biasa. Hanya saja keningku
ditumbuhi bulu lebat berwarna hitam.
Seperti memakai ikat kepala, pikirku gundah. Seperti ikat kepala yang biasa
dipakai para pemain ski. Hanya saja ikat kepala ini terbuat dari bulu-bulu
menjijikkan. Dengan tangan gemetaran kuraba bulu-bulu lebat itu. Aku hampir terisak-isak.
Rasanya aku ingin menangis dan berteriak-teriak sekaligus.
Rasanya aku ingin menjambak bulu-bulu dan mencabut semuanya dari kepalaku.
Aku tidak tahan melihat bayanganku di cermin. Bulu-bulu itu begitu jelek, begitu
menjijikkan. Akhirnya aku memutuskan bahwa aku tidak bisa menunggu sampai
orangtuaku pulang. Bulu-bulu mengerikan itu tidak bisa kubiarkan tumbuh di
wajahku. Serta-merta aku berlari ke atas untuk bercukur.
Kugosok bulu-bulu itu dengan krim cukur kemudian aku mulai menggesek-gesekkan
alat cukur ayahku. "Aduh!" Perihnya minta ampun, tapi aku tidak peduli. Bulu-bulu yang kasar dan
kaku itu harus kubersihkan dari wajahku. Setiap helainya, tidak boleh ada yang
ketinggalan. Ketika melihat bulu-bulu itu berjatuhan ke tempat cuci tangan, aku mendadak tahu
apa yang, harus kulakukan. Aku harus menemukan botol INSTA-TAN itu. Aku harus
menemukannya dan menunjukkannya kepada Dr. Murkin. .
"Kalau botolnya sudah kubawa ke sana, maka dia harus percaya padaku,"
aku berkata pada diriku sendiri. Lalu Dr. Murkin bisa melakukan serangkaian tes
terhadapku. Dan dia akan tahu kenapa INSTA-TAN itu menyebabkan pertumbuhan bulu
yang tak terkendali. Dan kalau dia sudah tahu penyebabnya, Dr. Murkin akan memberikan obat untukku,
kataku dalam hati. Tapi di mana kami membuang botol itu"
Aku memejamkan mata dan berusaha mengingat-ingatnya. setelah kutemukan botol
itu, kami semua bergegas masuk ke rumah Lily untuk mengoleskan obat itu. Sesudah
itu kami kembali ke luar untuk bermain-main di salju.
Apakah botol itu kami buang di tong sampah di rumah sebelah"
Aku harus menyelidikinya.
Kutinggalkan pesan untuk orangtuaku-kutulis bahwa ada barangku yang ketinggalan
di rumah Lily dan bahwa aku akan segera pulang.
Kemudian kusambar jaketku dan menghambur ke luar.
Udara kini jauh lebih dingin. Matahari tertutup awan, sehingga langit sore
tampak kelabu. Kutarik ritsleting jaketku dan kupasang tudungnya sampai menutupi
kepala. Keningku masih perih akibat pisau cukur tadi.
Jarak ke rumah Lily cuma tiga blok, tapi rasanya seperti tiga mil! Ketika aku
membelok di ujung jalan, rumahnya mulai kelihatan.
Jangan sampai dia tahu bahwa aku kemari, pikirku. Kalau dia melihatku membongkar
tong sampah, dia pasti ingin tahu kenapa. Dan aku belum siap untuk menceritakan
semuanya. Dia sendiri juga tidak mau berterus terang, pikirku dengan getir. Dia malah
membanting pintu di depan hidungku. Jadi aku juga tidak mau membeberkan
rahasiaku. Dalam hati aku bersyukur bahwa suasana di luar begitu gelap. Moga-moga Lily tak
melihatku. Mataku terus tertuju pada rumahnya sementara aku mendekat. Lampu di ruang
makannya menyala. Barangkali keluarganya sedang makan malam lebih cepat dari
biasanya. Kebetulan, pikirku. Aku akan membongkar tong sampah, mengambil botol INSTA-TAN,
lalu kabur sebelum mereka selesai makan, sebelum ada yang sempat menengok ke
luar jendela. Tiba-tiba aku berhenti karena menyadari bahwa ada satu masalah kecil.
Tong sampahnya sudah tidak ada di trotoar.
Tong itu pasti sudah dibawa oleh para tukang sampah.
Aku mengembuskan napas dengan kecewa dan nyaris jatuh berlutut di trotoar.
"Bagaimana sekarang?" aku bergumam tanpa sadar.
Bagaimana aku bisa membuktikan kepada Dr. Murkin bahwa bulu-bulu itu tumbuh
gara-gara INSTA-TAN"
Angin dingin menerpaku ketika aku menatap tempat di mana tong sampah itu semula
berdiri. Daun-daun cokelat yang tertiup angin berputar-putar di sekitar kakiku.
Aku menggigil. Sambil membalik untuk pergi, aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Botol INSTA-TAN. Kami tidak membuangnya ke tong sampah. Kami melemparkannya ke
semak-semak di rumah tetangga Lily.
"Ya!" aku berseru dengan gembira. "Ya!"
Kami sempat berkejar-kejaran melintasi pekarangan tetangga Lily-dan kemudian
kulemparkan botol itu ke tengah semak-semak.
Botol itu pasti masih di situ, aku berkata dalam hati. Pasti!
Aku bergegas melewati rumah Lily. sambil berlari, aku melirik ke arah jendela.
Sepertinya tak ada yang memandang ke luar.
Dengan langkah panjang aku melewati rumah tetangganya yang gelap dan kosong.
Pekerjaan renovasi rupanya belum selesai.
Cepat-cepat aku menyelusup ke semak-semak. Daun-daun mati yang kuinjak masih
basah dan licin. Dahan-dahan pohon yang tak berdaun bergoyang dan berderak
karena tiupan angin kencang yang berubah-ubah arah.
Di mana botolnya" aku bertanya dalam hati. Di mana"
Rasanya lemparanku tidak seberapa jauh, aku mengingat-ingat. Botolnya pasti di
dekat sini. Tidak jauh dari tempatku berdiri.
Semak-semak itu terselubung bayang-bayang gelap. Aku menendang setumpuk daun
mati. Sepatuku membentur sesuatu yang keras.
Langsung saja aku membungkuk dan menyingkirkan daun-daun itu dengan kedua
tangan. Ternyata cuma dahan kering.
Aku terus menerobos ke dalam semak-semak lalu berhenti.
Botol itu pasti di sekitar sini. Dengan panik aku memandang berkeliling.
Ah, itu dia. Oh, bukan. Cuma batu yang licin. Kutendang batu itu hingga melayang
jauh. Kemudian aku berputar pelan-pelan, sementara mataku menyapu tanah di
sekitarku. Mana botol itu" Mana"
Tiba-tiba terdengar suara, dan aku langsung menahan napas.
Suara ranting patah. Aku pasang telinga. Aku mendengar gemerisik daun. Lalu suara kaki bergesekan
pada semak-semak yang kering.
Sekali lagi terdengar bunyi ranting patah.
Sambil menelan ludah, aku menyadari bahwa aku tidak send irian.
"Si-siapa itu?" aku berseru.
19 "SlAPA itu?" Tak ada jawaban. Aku berdiri seperti patung dan memasang telinga. Aku mendengar suara langkah dan
bunyi napas tersengal-sengal.
"Hei-siapa itu?" seruku.
Aku menundukkan kepala-dan melihat botol yang kucari. Botolnya tergeletak miring
pada setumpuk daun tepat di hadapanku.
Cepat-cepat aku membungkuk dan mencoba meraih botol itu dengan kedua tanganku.
Tapi aku langsung kembali tegak sambil gemetar ketakutan ketika sebuah sosok
gelap muncul dari bayang-bayang pohon.
Napasnya terengah-engah. Lidahnya yang panjang terjulur dari mulutnya yang
menganga lebar. Seekor anjing besar berbulu cokelat. Dalam cahaya yang remang-remang pun tampak
jelas betapa kasar dan kusut bulunya. Dadanya kembang-kempis seiring tarikan
napasnya. Aku mundur selangkah. "Kau sendirian?" aku bertanya dengan nada ketakutan.
"Anjing manis, kau sendirian?"
Anjing itu menundukkan kepala dan merintih perlahan.
Aku memandang berkeliling untuk mencari anjing-anjing lain. Apakah anjing itu
termasuk gerombolan yang sering mengejar-ngejarku sambil menyalak dan menggeram"
Ternyata tidak ada anjing lain.
"Anjing manis," ujarku sambil memaksakan suaraku untuk tetap tenang.
"Anjing manis."


Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menatapku. Napasnya masih tersengal-sengal. Ekornya yang cokelat mengibas
satu kali, lalu turun. Aku membungkuk pelan-pelan. Tanpa melepaskan pandangan dari anjing itu, kupungut
botol obat yang tergeletak di tanah. Botolnya terasa dingin sekali. Aku segera
memeriksanya untuk melihat apakah masih ada obat yang tersisa di dalamnya.
Tapi keadaannya terlalu gelap.
Seharusnya masih ada sisanya, pikirku. Rasanya aku tidak menghabiskannya sampai
tetes terakhir waktu itu. Mestinya masih cukup untuk dites oleh Dr. Murkin.
Kuguncang-guncangkan botol itu di dekat telingaku. Moga-moga masih ada setetes!
aku memohon-mohon dalam hati.
Angin mendadak bertiup kencang, menggoyang-goyangkan semak-semak dan membuat
daun-daun di sekitar bergemerisik.
Anjing tadi kembali merintih.
Kugenggam botol INSTA- TAN erat-erat, lalu mulai mundur teratur.
"Dadah, anjing manis."
Dia memiringkan kepala dan menatapku.
Aku mundur selangkah lagi. "Dadah, anjing manis," kuulangi pelan-pelan.
"Pulanglah. Ayo, pulanglah."
Tapi dia tidak beranjak dari tempatnya. Dia malah merintih lagi, lalu mulai
mengibas-ngibaskan ekornya.
Aku kembali mundur selangkah. Botol INSTA-TAN tetap kugenggam erat-erat.
Kemudian, ketika aku berpaling dari anjing yang terus menatapku, aku melihat
yang lainnya. Mereka muncul tiba-tiba, tanpa bersuara, dan bayang-bayang gelap. Lima atau enam
anjing besar, masing-masing dengan mata menyorot nyalang. Lalu lima atau enam
ekor lagi. Mereka semakin dekat, dan aku mulai mendengar geraman yang menakutkan. Semua
menyeringai, seakan-akan hendak memperlihatkan gigi dan taring mereka yang
tajam. Aku langsung berhenti. Dengan mata terbelalak ngeri kutatap mata mereka yang
menyorot-nyorot. Lalu aku berbalik dengan kagok. Dan lari untuk menyelamatkan
diri. .' "Aduh!" Aku memekik nyaring ketika kakiku tersandung dahan mati yang tergeletak
di tanah. Botol INSTA-TAN yang kugenggam terlepas dari tanganku.
Sambil jatuh, tanganku menggapai-gapai untuk meraihnya kembali.
sia-sia. Dengan mata terbelalak kulihat botol itu membentur batu tajam-dan pecah
berantakan. Pecahan-pecahannya berhamburan ke segala arah.
Cairan berwarna cokelat membasahi batu yang menyembul dari balik daun-daun.
Aku jatuh berlutut dan menahan badanku dengan tangan. seketika rasa nyeri
menjalar ke seluruh tubuhku. Namun aku tidak memedulikannya. Aku segera bangkit
lagi. Terburu-buru aku berbalik untuk menghadapi anjing-anjing tadi.
Tapi di luar dugaanku, mereka berlari ke arah lain. Di sela-sela pepohonan
kulihat seekor kelinci lari terbirit-birit. Gerombolan anjing itu mengejarnya
sambil menggonggong dan menggeram.
Jantungku masih berdebar-debar dan lututku pun masih gemetaran ketika aku
menghampiri batu tadi dan menatap pecahan-pecahan botol yang berserakan di
sekitarnya. Kupungut salah satu dan kuamati dengan saksama.
"Aduh, bagaimana sekarang?" aku bertanya pada diriku sendiri.
Gonggongan gerombolan anjing masih terdengar di kejauhan. "Bagaimana sekarang?"
Botol itu telah pecah berantakan. Aku kehilangan satu-satunya barang bukti yang
kumiliki. Tak ada lagi yang bisa kuperlihatkan pada Dr. Murkin.
Sambil berteriak kesal, kucampakkan pecahan botol itu ke tengah semak-semak.
Lalu aku pulang dengan lesu.
Sehabis makan malam, Mom dan Dad langsung berangkat lagi untuk mengikuti
pertemuan orangtua murid di sekolah. Aku naik ke kamarku untuk menyelesaikan PR.
Aku sedang butuh teman. Karena itu kupangku Jasper dan kubelai-belai dia untuk
beberapa saat. Tapi dia sedang tidak berminat untuk bermanja-manja. Dia malah memelototiku
dengan matanya yang kuning. Karena tidak berhasil, dia lalu mencakar tanganku,
melompat turun, dan kabur dari kamarku.
Aku mencoba menelepon Lily, tapi tak ada yang menjawab.
Di luar, angin berderu-deru dan mengguncang-guncangkan jendela kamarku.
Aku merinding. Sambil bertopang dagu di meja belajar, aku mulai membuka buku. Tapi aku tidak
bisa berkonsentrasi. Kata-kata pada halaman yang sedang kubaca tampak kabur, dan
semua kelihatan keabu. Aku berdiri dan meraih gitarku. Kemudian aku membungkuk dan menyambungkannya ke
amplifier. Aku sering bermain gitar bila sedang gelisah atau hatiku sedang tidak enak.
Biasanya cara itu cukup ampuh menenangkan hatiku kembali.
Kuputar tombol volume hingga angka 10 dan mulai memainkan melodi blues yang
keras sekali. Tidak ada siapa-siapa di rumah, tak ada yang menyuruhku memelankannya. Aku ingin
bermain sekeras mungkin-sangat keras sehingga aku bisa melupakan persoalan yang
tengah kuhadapi. Tapi setelah bermain selama tiga atau empat menit, aku mulai sadar ada yang
tidak beres. Berulang kali ada not yang berbunyi tidak seperti seharusnya.
Berulang kali aku salah memainkan chord.
Ada apa ini" aku bertanya dalam hati. Lagu ini sudah jutaan kali kumainkan. Aku
bisa memainkannya sambil tidur.
Sambil mengerutkan kening aku menatap jariku, dan segera tahu apa masalahnya.
"Ohh!" aku mengerang tertahan. Bulu-bulu menjijikkan itu telah kembali menutupi
kedua tanganku. Semua jariku tertutup bulu hitam yang tumbuh lebat.
Aku membalikkan tangan. Ternyata telapak tanganku pun tertutup bulu.
Gitarku jatuh ke lantai ketika aku melompat berdiri.
Lenganku mulai gatal. Dengan tangan gemetar, kugulung lengan bajuku. Ternyata lenganku juga ditumbuhi
bulu! Bulu-bulu yang kasar dan kaku itu menutupi kedua lengan dan tanganku.
Aku berdiri sambil menelan ludah, menatap lengan dan tanganku seakan-akan tak
percaya apa yang kulihat. Lututku gemetar nyaris tak terkendali. seluruh tubuhku
mendadak lemas sekali. Mulutku terasa kering kerontang. Tenggorokanku seperti tercekik.
Aku berusaha menelan ludah.
Jangan-jangan bulu-bulu menjijikkan itu juga tumbuh di lidahku"
Sekonyong-konyong aku terserang rasa mual. Serta-merta aku berlari ke kamar
mandi. sambil menyalakan lampu, aku membungkuk di atas tempat cuci tangan.
Kurapatkan wajahku ke cermin dan kujulurkan lidahku.
Oh, untung saja. Lidahku tetap normal. Tapi mukaku-pipiku dan daguku-semua tertutup bulu-bulu hitam.
Bulu-bulu ini menyebar begitu cepat, pikirku.
Bayangan di cermin memperlihatkan kengerian yang meliputi diriku.
Bulu-bulu ini menyebar begitu cepat ke seluruh tubuhku. Apa yang harus kulakukan
sekarang" Masa tak ada sama sekali yang bisa Kulakukan"
20 HARI senin aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, lalu menunggu Lily di
depan locker-nya. Aku telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencukur bersih semua bulu, dan
akhirnya selesai juga. Pagi ini aku mengenakan sweter dengan lengan yang ekstra panjang, dan aku juga
memakai topi baseball yang kutarik sampai menutupi kening, siapa tahu bulu-bulu
itu tumbuh lagi selama aku berada di sekolah.
"Aduh, mana si Lily?" gumamku tidak sabar.
Dengan gelisah aku mondar-mandir di deretan locker yang berwarna hijau.
Lily dan aku harus menghadapi masalah ini bersama-sama, kataku dalam hati. Aku
teringat roman muka Lily yang ketakutan ketika kutanyakan padanya apakah
tubuhnya juga ditumbuhi bulu-bulu aneh.
Aku tahu hal yang sama juga terjadi pada Lily. Aku yakin sekali.
Dan aku tahu Lily pasti juga merasa malu seperti aku. Dia terlalu malu untuk
mengakuinya, terlalu malu untuk membicarakannya.
Tapi kalau berdua, kami pasti bisa menemukan jalan keluar, pikirku.
Kalau kami berdua menemui Dr. Murkin dan memberitahunya soal INSTA-TAN dan bulubulu yang mendadak tumbuh, dia harus percaya pada kami.
Tapi di mana Lily" Lorong sekolah dipenuhi anak-anak yang membanting pintu locker sambil bercanda
dan mengobrol. Kulirik arlojiku. Tinggal tiga menit sebelum bel berdering.
"Hei, Larry! Bagaimana, beres semuanya?" sebuah suara memanggilku.
Aku berbalik dan melihat Howie Hurwin menatapku sambil cengar-cengir.
Adiknya, Marissa, berdiri di sampingnya. Kepangan rambutnya terjepit tali
ransel, dan dia sedang berusaha melepaskannya.
"Hai, Howie," sahutku sambil menghela napas. Terus terang, aku sama sekali tidak
berminat ketemu dia pagi ini!
"Sudah siap untuk besok?" dia bertanya. Kenapa sih dia harus selalu nyengir
kalau bicara dengan orang lain" Rasanya aku kepingin menonjoknya.
"Besok?" Aku memandang berkeliling di lorong, mencari-cari Lily.
Howie tertawa. "Ya ampun! Masa kau lupa soal Battle of the Bands?"
"Aduh!" Marissa memekik. Dia akhirnya berhasil melepaskan kepangannya. "Band
kalian masih jadi main?" tanyanya. "Dengar-dengar, Si Manny pindah ke kota
lain." "Yeah, kami tetap akan tampil," jawabku. "Permainan kami makin bagus setiap
hari." "Kami juga," balas Howie, senyumnya bertambah lebar lagi. "Ada kemungkinan kami
masuk TV. Kenalan pamanku bekerja di Star Search.
Dia mungkin bisa mengusahakan kami tampil di sana."
"Bagus," aku berkomentar sambil lalu.
Mana si Lily" "Kalau kami sempat tampil di acara itu, kemungkinan besar kami akan menang,"
Marissa menambahkan. Dia masih sibuk dengan kepangannya yang panjang. "Dan
setelah itu kami bakal jadi terkenal."
"Kami diminta main di pesta dansa sekolah bulan depan," ujar Howie.
"Band kalian tidak diminta, kan?"
"Tidak," kataku. "Kami tidak diminta."
senyum Howie melebar dari kuping ke kuping.
"sayang sekali," ujarnya.
Bel berdering. "Aku harus masuk," kataku, sambil bergegas ke ruang kelas Miss
Shindling. "sampai ketemu di kontes besok," seru Marissa.
"Kami yang tampil pertama," Howie menimpali. "Yang terbaik memang harus maju
paling dulu!" Kudengar tawa mereka ketika aku memasuki ruang kelas. Aku menuju tempat dudukku
sambil mencari-cari Lily. Mungkinkah dia menyelinap masuk waktu aku sedang
bicara dengan Howie dan Marissa"
Ternyata tidak. Dia tidak kelihatan.
Aku duduk dengan lesu. Bagaimana kalau Lily mendadak sakit" Mudah-mudahan saja
tidak. Dia tidak boleh jatuh sakit sehari sebelum Battle of The Bands, ujarku
dalam hati. Pokoknya, tidak boleh.
"Larry, tolong bagikan kertas ulangan," Miss Shindling berkata sambil
menyerahkan setumpuk kertas padaku.
"Hah" Ulangan?"
Aku lupa sama sekali. Lily tidak masuk sekolah hari itu. Aku mencoba menelepon ke rumahnya pada waktu
makan siang. Pesawat teleponnya berdering dan berdering, tapi tak ada yang
mengangkat. seusai sekolah aku memutuskan ke rumah Lily untuk mengetahui apa yang terjadi.
Tapi ketika keluar dari gedung sekolah, aku ingat bahwa ibuku minta aku langsung
pulang sehabis sekolah. Ada beberapa tugas yang harus kukerjakan di rumah.
Cuaca cerah, namun udaranya dingin. Awan-awan putih tampak melayang-layang di
langit sore. semua salju akhirnya mencair, tapi tanahnya masih empuk dan basah.
Aku menunggu beberapa mobil melintas. Kemudian aku menyeberang dan berjalan
menuju ke rumahku. Aku telah berjalan sekitar satu blok, ketika aku menyadari ada yang mengikutiku.
seekor anjing menyerempet kakiku. Aku tersentak kaget. Langsung saja aku
berhenti dan mengamatinya.
Anjing itu berbulu cokelat muda kemerahan, di lehernya ada bagian yang berbulu
putih. Anjing itu berukuran sedang, sedikit lebih besar ketimbang cocker
spaniel. Kupingnya panjang dan lemas. Ekornya yang panjang dan berbulu lebat
dikibas-kibaskannya sambil menatapku.
"Siapa kau?" tanyaku pada anjing itu. "Rasanya aku belum pernah melihatmu di
sini." Aku memandang berkeliling untuk memastikan bahwa tidak ada anjing-anjing lain
yang bersembunyi di semak-semak sambil bersiap-siap mengejarku.
Lalu aku mulai berjalan lagi.
Tapi anjing itu malah menduluiku. Dia berjalan beberapa langkah di depanku, dan
sebentar-sebentar menengok ke belakang untuk memastikan bahwa aku mengikutinya.
"Kau yang ikut aku-atau aku yang ikut kau?" aku berseru padanya.
Anjing itu mengibaskan ekornya, seakan-akan hendak menjawab.
Dia menyertai sampai ke rumahku.
Ibuku sudah menunggu di teras dapan. Dia memakai sweter hijau dan celana jeans.
"Hari yang indah," katanya sambil menatap langit yang cerah.
"Hai, Mom," aku menyapanya. "Anjing ini mengikutiku sampai ke sini."
Anjing itu mengendus semak-semak yang tumbuh sebagai pembatas pekarangan.
"Dia lucu juga," ujar ibuku. "Warna bulunya bagus sekali. Anjing siapa ini?"
Aku angkat bahu. "Entahlah. Aku belum pernah melihatnya."
Anjing itu menghampiri kami dan menatap ibuku.
"Dia jinak sekali," aku berkata sambil melepaskan ranselku yang berat.
"Barangkali dia bisa tinggal bersama kita di sini?"
"Kita tidak bisa piara anjing di rumah,", jawab ibuku tegas. "Dia tidak mungkin
akur dengan Jasper."
Aku membungkuk dan membelai-belai kepala anjing itu.
"Nah, dia pakai keping nama di kalungnya," Ibuku berkata sambil menunjuk. "Coba
kau periksa, Larry. siapa tahu nama pemiliknya juga tercantum."
Anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika kutepuk-tepuk kepalanya.
"Anjing manis," ujarku pelan-pelan. .' " .
"Ayo, Larry. Coba periksa keping namanya," Ibuku berkeras.
"Oke, oke." Kuraih keping bulat berwarna emas yang tergantung pada kalung anjing
itu. Kemudian aku berlutut dan mendekatkan wajahku, agar bisa melihat lebih
jelas. "Hah?" Aku langsung mengenalinya.
Keping itu bukan keping nama. Keping itu keping emas milik Lily!
21 AKU kaget setengah mati. Rasanya seperti tersambar petir.
"M-Mom," aku tergagap-gagap. Tapi suaraku seakan-akan tercekat di tenggorokkan.
"Larry-ada apa lagi sih"!" ibuku berseru. Dia berdiri di depan garasi, sedang
mencabuti rumput liar yang sudah mati. "Apa yang tertulis pada keping itu?"
"I-ini bukan keping nama," aku akhirnya berkata.
Ibuku menoleh. "Apa?"
"Ini bukan keping nama," aku mengulangi sambil tetap memegang keping itu. "ini
keping emas milik Lily."
Ibuku tertawa. "Masa sih Lily memberikan keping itu kepada seekor anjing"
Bukankah keping itu pemberian kakeknya?"
"A-aku juga tidak tahu kenapa," ujarku sambil tergagap-gagap. "Aku tidak
mengerti, Mom." Embusan napas anjing itu mengenai tanganku. Dia menjauh, lalu duduk dan
menggaruk-garuk kupingnya yang panjang dengan kaki belakangnya.
"Kau yakin itu keping emas, Larry?" tanya ibuku. Dia menghampiriku lalu berdiri
tepat di belakangku. Aku mengangguk dan kembali meraih keping itu. "Yeah Ini memang keping emasnya
Lily, Mom." "Ini pasti keping lain," ibuku berkomentar. "Mom yakin ini bukan keping yang
sama." Ya, Mom pasti benar, kataku dalam hati.
Kulepas keping itu, lalu mengangkat tangan untuk mengelus-elus kepala anjing
itu. Tapi tanganku mendadak berhenti ketika aku melihat mata anjing tersebut.
Sebelah matanya berwarna biru, satunya lagi berwarna hijau.
22 "DIA Lily! Dia Lily!" aku memekik sambil melompat berdiri.


Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teriakanku mengejutkan anjing itu. Dia berbalik lalu kabur sambil berkaingkaing. "Lily-tunggu!" aku memanggilnya. "Jangan lari! Lily!"
"Larry-mau ke mana kau?" seru ibuku. "Larry!"
selanjutnya aku tidak mendengar lagi. Tanpa berpikir panjang kulompati ranselku
dan berlari ke jalan. Tanpa mengurangi kecepatan untuk menoleh ke kiri-kanan
dulu, aku menyeberang, lalu terus berlari ke arah rumah Lily.
Anjing itu memang Lily! aku berkata dalam hati. Sebelah matanya hijau, sebelah
lagi biru. Dan dia memakai keping emas Lily!
Aku yakin dia memang Lily!
Aku mendengar ibuku memanggil-manggil, menyuruhku kembali. Tapi aku tidak
menggubrisnya dan terus saja berlari.
Rumah Lily berjarak tiga blok dari rumahku. sepanjang jalan aku terus berlari
dengan sekuat tenaga. Ketika rumahnya mulai kelihatan, napasku sudah tersengalsengal dan pinggangku serasa ditusuk-tusuk.
Tapi aku tidak peduli. Aku harus ketemu Lily. Aku harus memastikan bahwa anjing tadi bukan Lily.
Tapi ini tidak masuk akal. Ketika aku menyeberang jalan, aku mulai sadar bahwa
semua ini benar-benar tidak masuk akal.
Lily jadi anjing" Aku memperlambat langkahku sambil memijat-mijat pinggang untuk mengusir nyeri.
Ya ampun, Larry. Kau sudah mulai gila, ya" aku bertanya pada diriku sendiri. Mom
pasti menyangka aku sudah tidak waras! tambahku dalam hati.
Kulihat orangtua Lily sedang di depan garasi. Kap bagasi mobil Chevy mereka
terbuka. Mr. Vonn sedang memasukkan koper.
"Halo!" aku menyapanya sambil terengah-engah.
"Hei-halo!" "Halo, Larry," balas Mrs. Vonn ketika aku menghampiri mobil mereka. Aku melihat
dua koper lain serta sejumlah tas yang menunggu dimasukkan ke bagasi mobil.
"Mau bepergian?" tanyaku sambil berusaha mengatur napas. Nyeri di pinggangku
belum juga mereda. Mereka tidak menjawab. Mr. Vonn mengerang ketika mengangkat koper yang berat.
"Mana Lily?" tanyaku. Kuserahkan salah satu tas padanya. "Dia tadi tidak masuk
sekolah." "Kami akan pindah," Mrs. Vonn berkata dari belakangku.
"Lily mana?" aku mengulangi pertanyaanku. "Dia masih di dalam?"
Mr. Bon mengerutkan kening, tapi tidak menyahut.
Aku berpaling kepada istrinya. "Bisa bertemu Lily sebentar?" aku bertanya dengan
nada mendesak. "Dia masih di dalam?"
"Kau mungkin salah alamat," ujar Mrs. Bon.
Aku terbengong-bengong. "Salah alamat" Mrs. Vonn - apa maksud anda?"
"Di sini tidak ada yang bernama Lily," katanya.
23 AKU sendiri tidak mengerti apa sebabnya, tapi aku langsung tertawa.
Tawa kaget. Tawa ngeri. Tapi aku segera terdiam melihat kesedihan yang tergambar pada wajah Mrs. Vonn.
Serta-merta aku merinding.
"Apakah Lily-?" aku mulai berkata.
Mrs Vonn menggenggam pundakku dan meremasnya. Dia membungkuk sedikit, sehingga
wajahnya berdekatan dengan wajahku. "Dengar yang saya katakan padamu, Larry,"
ujarnya sambil menggertakkan gigi.
"Tapi-tapi-," aku tergagap-gagap.
"Tidak ada yang bernama Lily di sini," dia mengulangi sambil meremas pundakku
lebih keras. "Lupakan dia." Matanya berkaca-kaca.
Mr. Vonn menutup kap bagasi. Aku melepaskan diri dari genggaman Mrs.
Vonn. Jantungku berdebar-debar.
"Sebaiknya kau pulang saja," Mr. Vonn berkata dengan tegas sambil menghampiri
istrinya. Aku mundur selangkah. Kakiku lemas dan gemetar.
"Tapi, Lily-"'- ujarku.
"Kau pulang saja," Mr. Vonn berkata sekali lagi.
Di samping garasi kulihat anjing berbulu cokelat kemerahan itu. Dia merintih
dengan sedih sambil menundukkan kepalanya.
Aku berpaling, lalu berlari sekencang mungkin.
Sikap Mom dan Dad aneh sekali waktu kami makan malam. Mereka tidak mau bicara
tentang Lily atau tentang anjing yang kulihat di rumah keluarga Vonn.
Berulang kali kedua orangtuaku saling melirik penuh arti, dan sepertinya mereka
menyangka aku tidak melihatnya.
Mereka pikir aku gila! aku menyadari. Karena itulah mereka tidak mau diajak
bicara. Mereka pikir aku sudah tidak waras. Mereka tidak mau mengatakan apa-apa
sebelum mereka tahu bagaimana mereka harus menanganiku.
"Aku tidak gila!" seruku tiba-tiba. Sendok dan garpuku berjatuhan ke meja.
Makanan di piringku sama sekali belum kusentuh.
Bagaimana aku bisa makan"
"Aku tidak gila! Aku tidak mengada-ada!"
"Bagaimana kalau lain kali saja kita bicara soal ini?" ibuku memohon sambil
melirik ke arah ayahku. "Ya, sekarang kita makan dulu dengan tenang," ayahku menambahkan sambil menatap
piringnya. Sehabis makan malam kutelepon Jared dan Kristina, kuminta mereka datang ke
rumahku supaya aku bisa menyampaikan kabar buruk itu kepada mereka. Aku tidak
mau mereka menyangka aku sudah gila, jadi aku cuma bercerita bahwa Lily pergi.
"Tapi bagaimana perlombaan besok?" seru Jared.
"Yeah. Bagaimana dengan Battle of the Bands," Kristina menimpali. "Kok Lily tega
sih, pergi sehari sebelum kontes?" .
Aku angkat bahu. Kami berada di ruang tamu. Kristina dan aku duduk di sofa.
Jared mengambil tempat di kursi yang berhadapan denganku.
Jasper menggesekkan badannya ke kakiku. Aku membungkuk dan mengangkatnya ke
pangkuanku. Dia menatapku dengan matanya yang kuning. Lalu dia memejamkan mata.
"Pergi ke mana sih dia?" Kristina bertanya dengan gusar sambil mengetukngetukkan jari ke sandaran tangan di sofa. "Berlibur" kenapa dia tidak bilang
dari awal bahwa dia tidak bisa ikut kontes."
"Howie Hurwin bakal bersorak-sorai kegirangan kalau dengar berita ini,"
Jared bergumam dengan prihatin sambil geleng-geleng kepala.
"Aku tidak tahu ke mana Lily pergi," aku memberitahu mereka. "Aku cuma melihat
orangtuanya memasukkan koper-koper ke dalam mobil.
Dan sekarang mereka pergi. Cuma itu yang kutahu. Aku yakin Lily sebenarnya tidak
mau. pergi. Aku tahu dia sebenarnya ingin bersama kita. Tapi rasanya dia tidak
punya pilihan." Hampir saja kuceritakan apa yang terjadi. Tapi aku tidak ingin mereka
menertawakanku. Atau merasa kasihan pada diriku sendiri.
Aku bingung sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku cuma tahu bahwa aku ingin Lily kembali lagi. Dan Manny juga.
Dan aku ingin bulu-bulu jelek itu berhenti tumbuh di seluruh tubuhku.
Kalau saja botol INSTA-TAN itu tak pernah kutemukan. Ini semua salahku.
Semuanya. "Tampaknya The Geeks harus mengundurkan diri dari kontes band besok," ujarku
lesu. "Kelihatannya begitu," Jared membenarkan sambil geleng-geleng kepala.
"Nanti dulu!" seru Kristina. Jared dan aku sama-sama kaget. Kristina langsung
bangkit dan berdiri di antara Jared dan aku. Dia mengepalkan tangannya. "Nanti
dulu!" dia mengulangi.
"Tapi kita tidak punya penyanyi-" protes Jared.
"Aku saja yang nyanyi," Kristina segera menyahut. "Suaraku cukup bagus."
"Tapi kau belum pernah berlatih sebagai penyanyi," kata Jared. "Kau hafal
liriknya?" Kristina mengangguk. "setiap kata."
"Tapi, Kristina-" aku mulai berkata.
"Begini," dia memotong dengan ketus. "Kita harus tampil besok. Biarpun kita cuma
bertiga. Masa sih Howie Hurwin kita biarkan menang begitu saja?"
"Rasanya aku memang ingin membuat Howie berhenti cengar-cengir,"
ujarku perlahan. "Aku juga," Jared mendukungku. "Tapi bagaimana caranya" Dengan dua gitar dan
satu keyboard" Howie punya band lengkap. Kita bakal disikat habis."
"Kita harus main dengan sepenuh hati!" Kristina berseru penuh emosi.
"Kita harus tampil sebaik-baiknya. "
"Demi Lily!" aku menimpali. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, dan
seketika aku menundukkan kepala karena mlu.
Tapi Kristina dan Jared ternyata sependapat.
"Yeah, demi Lily!" mereka bersorak berbarengan. "Kita bisa menang! Kita harus
bisa! Demi Lily!" Keputusan telah diambil. The Geeks tetap akan tampil besok sore.
Mungkinkah kami menang" Mungkinkah kami mengalahkan Howie and the shouters"
Rasanya tidak. Tapi kami akan berusaha dengan sekuat tenaga.
"Ayo, kita latihan sebentar di kamarku," aku mengusulkan.
Jared bergegas menaiki tangga. Tapi Kristina tidak beranjak dari sofa.
Aku berpaling kepadanya. Ternyata dia sedang menatap wajahku dengan ngeri.
"Larry-!" serunya sambil menunjuk. "Apa itu di keningmu?"
24 AKU menahan napas. Tanganku langsung bergerak untuk meraba keningku.
Bulu-bulu hitam itu sudah tumbuh lagi, aku segera menyadari. Kini rahasiaku
sudah diketahui oleh Kristina dan Jared. Akhirnya mereka tahu juga bahwa aku
sedang berubah jadi monster berbulu yang mengerikan.
Kugosok-gosok keningku dengan tangan gemetar.
Licin. Keningku licin! "Di sebelah situ," ujar Kristina sambil menunjuk.
Aku bergegas ke cermin di dekat pintu masuk dan mengamati keningku.
Ternyata di dekat pelipis kananku ada bercak berwarna jingga.
"Oh, ini saus spageti," kataku sambil menghela napas. "Rupanya tak kusadari aku
mengusap muka waktu makan malam tadi."
Cepat-cepat kuseka bercak jingga itu. Seluruh tubuhku gemetaran. Aku sempat
ketakutan setengah mati. Gara-gara bercak saus spageti!
"Larry, kenapa kau?" tanya Kristina. Dia berdiri di belakangku dan menatap
bayanganku di cermin. "Kau kelihatan pucat."
"Aku tidak apa-apa," jawabku sambil berusaha memaksa tubuhku berhenti bergetar.
"Hei-kau tidak boleh sakit," Jared mewanti-wanti. "Kristina dan aku tidak
mungkin tampil berdua saja besok"
"Tenang saja," aku meyakinkan mereka. "Aku pasti ikut."
Keesokan sore seluruh sekolah memadati auditorium untuk menyaksikan Battle of
the Bands. Aku berdiri di belakang panggung dan mengintip dari balik tirai. Aku gugup
sekali. Lampu-lampu di auditorium menyala, dan Mr. Fosburg, kepala sekolah kami,
berdiri di panggung sambil mengangkat kedua tangan menenangkan para hadirin.
Di belakangku, Howie Hurwin dan band-nya sedang menyetem instrumen masing-masing
dan menyetel amplifier untuk memastikan bahwa semuanya beres. Marissa mengenakan
gaun mini berwarna merah terang dan celana ketat berwarna hitam.
Sadar bahwa aku memperhatikannya, dia mengembangkan senyum mencemooh.
Seharusnya the Geeks juga memperhatikan penampilan, aku mendadak sadar ketika
menatap Marissa. Hal itu sama sekali tidak terpikir oleh kami!.
Kristina, Jared, dan aku cuma mengenakan pakaian sekolah biasa, jeans dan Tshirt. Aku menoleh dan memperhatikan synthesizer baru milik Howie.
Panjangnya sekitar satu mil, dengan ribuan tombol. Dibandingkan synthesizer itu,
keyboar Jared jadi kelihatan seperti mainan bayi.
Howie memergoki aku sedang mengamati syntheslzer-nya. "Keren, ya?"
dia berseru sambil menampilkan senyumnya yang menyebalkan.
"Hei, Larry-nanti kalau kami sudah menang, kau boleh minta tanda tanganku!"
Howie tertawa. Begitu juga Marissa dan para anggota the shouters yang lain.
Aku meninggalkan mereka, dan bergabung dengan Jared dan Kristina yang berdiri,
di pinggir panggung. "Kita tidak bakal bisa menang,"
aku mengeluh sambil menggelengkan kepala.
"Jangan putus asa, dong!" Jared berkata dengan ketus.
"Moga-moga saja semua sekring di keyboard Howie mendadak putus,"
aku bergumam. "Itu satu-satunya harapan kita."
Kristina mengerutkan kening. "Peralatan mereka boleh canggih, tapi permainan
mereka belum tentu."
Ternyata permainan Howie and the shouters tak kalah hebat dibandingkan peralatan
mereka. Lampu-lampu auditorium meredup. Tirai penutup panggung bergeser ke samping.
Howie dan the Shouters naik ke panggung yang diterangi lampu merah-biru. Dan
langsung saja mereka mulai memainkan lagu rock-and-roll lama dari Chuck Berry
yaitu Johnny B. Goode. Permainan mereka bagus sekali. Dan penampilan mereka pun patut diberi acungan
jempol. Gaun Marissa tampak berkilau-kilau. Mereka juga telah menyiapkan gaya panggung,
sehingga semua anggota band menari dan bergerak sambil bermain.
Kenapa itu tidak terpikir oleh kami" aku bertanya dalam hati sambil menyaksikan
mereka dari sisi panggung. Kalau kami bermain, kami hanya berdiri seperti
patung! Anak-anak di auditorium langsung bersorak-sorai. semua berdiri dan mulai
bertepuk tangan sambil bergoyang-goyang.
Mereka tetap berdiri selama empat lagu. Lagu-lagu berikutnya dimainkan lebih
keras dan lebih cepat dari lagu sebelumnya. Auditorium tua itu bagaikan
diguncang gempa. Aku sampai kuatir kalau-kalau lantainya bakal ambruk!
Akhirnya Howie, Marissa, dan yang lainnya membungkuk. seketika tepuk tangan
meriah meledak, dan dari mana-mana terdengar teriakan,
"Lagi! Lagiii! Lagiii!"
Howie dan the shouters memainkan dua lagu lagi.
sementara mereka bermain, Jared, Kristina, dan aku saling melirik dengan gugup.
semakin lama, rasa percaya diri kami semakin memudar!
sekali lagi Howie dan Marissa membungkuk. Kemudian mereka berlari meninggalkan
panggung sambil mengacungkan tinju sebagai tanda kemenangan.
"Giliran kalian!" seru Howie ketika melewati kami. Dia nyengir lebar. "Hei,
Larry-mana anggota band-mu yang lain?"
Hampir saja aku tidak tahan untuk membentaknya. Tapi Jared mendorongku dengan
keras, dan bertiga kami naik ke panggung.
Aku membungkuk dan menyambungkan gitarku ke amplifier. Jared mengotak-atik
keyboard-nya yang mungil untuk menyesuaikan suaranya.
Keyboard raksasa milik Howie telah didorong ke bagian belakang panggung.
Keyboard itu seakan-akan memelototi kami, sekaligus mengingatkan kami betapa
hebat-dan keras-penampilan the shouters tadi.
Kristina berdiri tegang di depan mikrofon, dengan tangan bersilang di depan
dada. Aku memainkan beberapa chord untuk mengetahui volume amplifier. Tanganku
dingin dan berkeringat. Berulang kali jariku tergelincir ketika hendak memetik
atau menekan senar. Para penonton asyik mengobrol dan bercanda sambil menunggu.
"Siap?" aku berbisik kepada Jared dan Kristina. "Kita mulai dengan I Want to
Hold Your Hand. Habis itu kita masuk ke lagu Rolling Stones."
Mereka mengangguk. Jared membungkuk di atas keyboard-nya. Kristina menghampiri mikrofon sambil
memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana jeans-nya.
Kami mulai dengan lagu Beatles.
Mula-mula agak kacau. Kami bernyanyi bersamaan, tapi nadanya agak kurang pas.
Gitarku terlalu keras, sehingga mengalahkan suara-suara kami.
sebenarnya aku ingin berhenti dulu dan mengecilkan volume, tapi tentu saja itu
tidak mungkin. Para penonton duduk dengan tenang sambil menyimak penampilan kami.
Tak ada yang bangkit dan mulai menari-nari.
Mereka bertepuk tangan ketika lagu pertama berakhir. Tapi tepuk tangan itu
terkesan basa-basi. Tak ada yang bersorak-sorai. Tak ada yang bersuit-suit
nyaring. Paling tidak lagu pertama sudah selesai! aku berkata dalam hati, sambil menyeka
tanganku yang berkeringat ke celana jeans-ku.
Aku maju selangkah ketika kami mulai memainkan lagu Rolling Stones.
Dalam nomor ini aku kebagian solo gitar yang panjang sekali. Aku hanya bisa
berdoa agar semua berjalan lancar.


Goosebumps - Rambut Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuanggukkan kepala kepada Jared dan Kristina.
Kristina meraih mikrofon dengan kedua tangan. Dan Jared mengawali lagu dengan
keyboard. Aku mulai bersolo. Oh, gawat. Chord-chord di permulaan sudah tidak beres.
Jantungku mulai berdegup-degup. Mulutku mendadak kering kerontang.
Aku memejamkan mata dan berusaha memusatkan pikiran pada jari-jemariku, pada
musik yang kumainkan. sementara aku memetik-metik senar, para penonton mulai bertambah riuh.
Mula-mula ada sorakan-sorakan. Lalu tepuk tangan dari sanasini.
Tapi kemudian tepuk tangannya semakin meriah. Dengan gembira kubuka mata lagi.
Beberapa anak sedang berdiri sambil tertawa dan berseru-seru.
Kutekuk lutut dan membiarkan jari tangan kiriku menari-nari pada fret, sementara
pick di tangan kananku bergerak secara otomatis menyapu senar-senar.
Hatiku berbunga-bunga. sorak-sorai para penonton semakin keras. Kemudian kusadari bahwa beberapa anak
menunjuk-nunjuk ke arahku.
Ada apa ini" aku bertanya dalam hati.
Dan tiba-tiba aku tahu bahwa ada yang tidak beres. sorak-sorai mereka terlalu
keras. Tawa. mereka terlalu keras. Terlalu banyak anak yang bangkit dan
menunJuk-nunJuk diriku. "Special effect-nya keren!" aku mendengar seruan anak cowok di baris pertama.
"Yeah. Special effect-nya keren sekali!"
Hah" pikirku. Special effect apa"
Pertanyaanku itu segera terjawab.
Ketika Kristina mulai bernyanyi, aku mengangkat tangan dan menyeka wajahku.
Aku memekik kaget ketika aku merasakan bulu-bulu yang kasar dan kaku.
Wajahku tertutup ulu. Daguku, pipiku, keningku.
Bulu-bulu hitam Itu telah menyebar ke seluruh wajahku.
Dan seluruh sekolah sedang menatapku. seluruh sekolah telah mengetahui rahasiaku
yang memalukan. 25 "KITA menang! Kita menang!"
Aku mendengar Jared dan Kristina berseru-seru dengan gembira di belakangku.
Tapi aku menaruh gitarku di lantai panggung, berpaling dari mereka, lalu
langsung kabur. Anak-anak di auditorium masih bersorak-sorai.
Kami memenangkan kontes karena bulu-bulu yang tumbuh di wajahku.
"Special effet-nya keren!" anak tadi sempat berkomentar. Kami menang karena
"special effect" itu.
Tapi perasaanku tidak seperti seorang juara.
Aku justru merasa hina dan malu.
Bulu-bulu itu telah menutupi wajahku, lalu menyebar ke tengkuk dan pundakku.
Kedua tanganku tertutup bulu-bulu kasar, dan aku bisa merasakan bulu-bulu yang
tumbuh di lenganku. Dan sekarang punggungku pun mulai gatal-gatal.
"Hei, Larry-Larry!" kudengar Kristina dan Jared memanggil-manggil.
"Pialamu! Kau belum ambil pialamu!"
Tapi aku sudah menghambur ke luar lewat pintu panggung. sorak-sorai para
penonton terngiang-ngiang di telingaku. Tanpa menoleh aku kabur lewat pintu
belakang sekolah. suasana dingin dan kelabu menyambutku. Awan-awan gelap
melayang rendah di atas pepohonan.
Aku berlari. Berlari tunggang-langgang, dengan jantung berdegup kencang.
Aku berlari pulang. Tubuhku tertutup bulu-bulu hitam yang tumbuh lebat.
Aku berlari dengan panik, sambil menahan malu.
Rumah-rumah dan pohon-pohon yang kulewati tak kuperhatikan lagi.
Ketika sampai di rumah, kulihat ayah dan ibuku berdiri di depan garasi. Mereka
menoleh, dan keduanya tampak kaget sekali.
"Lihat aku!" aku memekik. "Lihat!" suaraku terdengar parau dan ketakutan.
"sekarang Mom dan Dad percaya?"
Mereka menatapku sambil terbengong-bengong. Mata mereka terbelalak lebar karena
kaget dan ngeri. Kuangkat tanganku agar mereka bisa melihat lenganku. "Lihat wajahku?"
aku meratap. "Lihat lenganku" Tanganku?"
Mereka menahan napas. Ibuku meraih tangan ayahku.
"sekarang Mom dan Dad percaya?" seruku. "Inilah buktinya bahwa INSTA-TAN membuat
bulu-bulu tumbuh tak terkendali."
Aku berdiri sambil menatap mereka. Jantungku berdebar-debar, napasku tersengalsengal, mataku berkaca-kaca. Aku berdiri sambil menunggu, menunggu mereka
mengatakan sesuatu. Akhirnya ibuku memecahkan keheningan. "Larry, bukan obat itu yang membuatmu
begini," dia berkata pelan-pelan sambil berpegangan pada ayahku. "kami sudah
berusaha menutup-nutupi rahasia ini. Tapi sekarang sudah waktunya untuk berterus
terang." "Hah" Rahasia apa?"
Mereka saling melirik. Ibuku mulai terisak-isak. Ayahku segera merangkulnya.
"Bukan obat itu penyebabnya," ayahku berkata dengan suara bergetar.
"Larry, sudah waktunya kau tahu penyebab sebenarnya. Tubuhmu ditumbuhi bulu
karena kau sesungguhnya bukan manusia. Kau seekor anjing."
26 AKU menundukkan kepala dan menjilat air dari mangkuk plastik yang diletakkan
ayah dan ibuku di teras depan. Ternyata sulit sekali untuk minum dan membasahi
seluruh moncongku. Kemudian aku melompat ke rumput dan menghampiri Lily di semak-semak pembatas
halaman. Beberapa saat kami asyik mengendusendus.
Lalu kami berlari ke pekarangan sebelah untuk melihat apakah ada sesuatu yang
menarik untuk dicium-cium.
Sudah dua minggu berlalu sejak tubuh manusiaku lenyap, dan aku kembali menjadi
anjing. Untung saja, sebelum aku berubah, ayah dan ibuku-maksudku, Mr. dan Mrs.
Boyd-berbaik hati untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Masalahnya begini, mereka ternyata bekerja untuk Dr. Murkin. Bahkan hampir semua
orang di kota ini bekerja untuk Dr. Murkin. Seluruh kota merupakan semacam
laboratorium uji coba. Beberapa tahun yang lalu, Dr. Murkin menemukan cara untuk mengubah anjing
menjadi anak-anak. Dia menemukan serum yang membuat anjing kelihatan seperti
manusia, juga berpikir dan bertindak seperti manusia. Karena itulah aku begitu
sering disuntik. Setiap dua minggu aku diberi serum baru.
Tapi setelah beberapa waktu, serumnya tidak bekerja lagi. Dan anak-anak itu
kembali menjadi anjing. "Dr. Murkin telah memutuskan untuk menghentikan uji coba dengan menggunakan
anjing," ibuku sempat bercerita. "Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dan
keluarga-keluarga yang bersangkutan menjadi terlalu menderita pada waktu anakanak mereka kembali menjadi anjing."
"Dia takkan pernah lagi melakukan uji coba dengan anjing," ayahku menjelaskan.
"Serumnya kurang efektif untuk anjing."
Aku gembira bahwa suami-istri Boyd menyempatkan diri untuk menjelaskan semuanya
padaku. Aku merasa begitu berterima kasih, sehingga tangan mereka kujilat-jilat.
Kemudian aku bergegas mencari Lily, untuk memberitahunya bahwa aku juga seekor
anjing. Lily dan aku selalu bersama-sama. Kadang-kadang Manny ikut bergabung. Begitu
banyak anjing yang berkeliaran di kota ini. Aku rasa semuanya sempat menjadi
manusia untuk beberapa waktu.
Aku senang mengetahui Dr. Murkin berhenti menggunakan anjing sebagai kelinci
percobaan. Aku cuma seekor anjing, tapi menurutku anjing sebaiknya tetap menjadi
anjing. Lily dan aku menemukan tanah basah untuk diendus-endus di kebun bunga tetangga.
Saat ini belum ada bunga yang bisa kami gali. Tapi bau tanahnya enak sekali.
Tak lama setelah itu aku melihat mobil keluarga Boyd berhenti di depan garasi.
Mereka pergi sepanjang sore. Aku langsung berlari menghampiri mereka sambil
mengibas-ngibaskan ekor. Di luar dugaanku, Mrs. Boyd sedang menggendong bayi-bayi mungil, terbungkus
selimut berwarna pink. Mrs. Boyd menggendong bayi itu dengan kedua tangannya ketika berjalan masuk ke
rumah. Dan Mr. Boyd tersenyum lebar waktu menyusul. istrinya.
"Aduh, kau bayi perempuan yang lucu sekali," ujar Mrs. Boyd. "Oh, ya.
Lucu sekali. Selamat datang di rumahmu yang baru, Jasper."
Hah" pikirku. Rasanya Jasper nama yang janggal untuk bayi perempuan, bukan"
Kemudian kutatap bayi itu dan terlihat matanya yang kuning cerah.
- Selesai - PDF & ePub by FotoSelebriti.Net
Jejak Di Balik Kabut 10 Dendam Asmara Karya Okt Pendekar Sakti Im Yang 5

Cari Blog Ini