Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi Bagian 2
sudah empat ribu tahun tertutup rapat dan tak pernah dibuka."
Selama beberapa menit mereka kembali sibuk dengan cangkul dan pahat. Kemudian
mereka sekali lagi mendorong pintu mahoni yang berat itu.
"Yes!" Paman Ben berseru ketika pintunya bergeser satu inci.
Lalu satu inci lagi. Dan satu lagi.
Semuanya berdesak-desakan agar dapat mengintip ke dalam ruang makam kuno.
Dua pekerja memindahkan lampu-lampu sorot dan mengarahkannya ke celah pintu.
Sari dan aku berdiri di samping Nila ketika Paman Ben mendorong pintu itu dengan
bantuan anak buahnya. "Wah, ini menegangkan sekali!" seru Nila. "Dan aku satusatunya wartawan di sini! Beruntung sekali aku!"
Aku juga beruntung, pikirku. Berapa banyak anak yang memperoleh kesempatan
seperti aku" Berapa banyak anak yang termasuk orang pertama yang memasuki makam
berusia empat ribu tahun di dalam piramida Mesir"
Tiba-tiba terbayang wajah-wajah temanku. Uh!
Rasanya tak sabar lagi aku ingin menceritakan segala pengalamanku ini pada "mereka!
Pintu itu berderak-derak. Satu inci lagi. Dan satu lagi.
Bukaannya sudah hampir cukup lebar untuk dilewati orang.
"Coba lampu-lampu digeser sedikit, Paman Ben menginstruksikan. "Beberapa inci
"lagi, dan kita bisa masuk dan bersalaman dengan sang Pangeran."
Paman Ben, dan para pekerjanya mengerahkan segenap tenaga dan berhasil mendorong
pintu berapa inci lagi. "Yes!" ia berseru dengan riang,
Nila mengambil foto. Semuanya mendesak maju. Paman Ben masuk paling dulu.
Sari mendorongku ke samping, lalu menyelinap menduluiku.
Jantungku berdebar-debar. Tanganku mendadak dingin seperti es.
Aku tidak peduli siapa yang masuk pertama.
Yang penting, aku bisa masuk!
Satu per satu kami menyusup ke ruang makam yang teramat tua itu.
Akhirnya aku mendapat giliran. Setelah menarik napas, aku menerobos masuk, dan
melihat--aku tidak melihat apa-apa.
Selain sarang labah-labah di mana-mana, ruangan itu ternyata kosong.
Kosong melompong. 13 "Aku mendesah perlahan. Kasihan Paman Ben. Semua jerih payahnya ternyata sia"sia. Aku jadi ikut patah semangat. .
Kemudian aku memandang berkeliling. Semua sarang labah-labah tampak mengilap
keperakan karena terkena sorot lampu. Bayangan-bayangan kami tampak membentang
di lantai tanah, menyerupai hantu.
Aku berpaling kepada Paman Ben.
Ia pasti kecewa sekali, aku berkata dalam hati. Tapi di luar dugaanku, Paman Ben
malah tersenyum lebar. "Pindahkan lampu-lampu," ia menyuruh salah satu anak
buahnya. "Dan bawa alat-alat ke dalam. Ada satu segel lagi yang harus kita
bongkar." Ia menunjuk dinding belakang di ruangan yang kosong itu. Samar-samar aku melihat
garis tepi sebuah pintu. Pintu tersebut juga bersegel kepala singa.
"Sudah kuduga bahwa ini bukan ruang makam sesungguhnya!" Sari berseru. Ia
menatapku sambil nyengir lebar.
"Seperti yang kukatakan tadi, orang Mesir kuno sering melakukan hal ini," Paman
Ben menjelaskan. "Mereka membangun beberapa ruangan palsu untuk menyembunyikan
ruang makam sesungguhnya dari para penjarah." Ia melepaskan helmnya dan
menggaruk-garuk kepala. "Bukan tidak mungkin kita harus melewati beberapa
ruangan kosong lainnya sebelum sampai di tempat peristirahatan terakhir Pangeran
Khor-Ru." Nila mengambil foto Paman Ben yang sedang memeriksa pintu yang baru ditemukan,
Kemudian ia menatapku sambil tersenyum. "Sayang kau tidak bisa melihat tampangmu
tadi, Gabe," katanya. "Kau kelihatan begitu kecewa."
"Kupikir-" aku mulai menyahut. Tapi bunyi pahat yang menggores-gores segel pintu
membuatku terdiam lagi. Semuanya menoleh dan memperhatikan Paman Ben bekerja. Aku menebak-nebak apa yang
menanti kami di balik pintu itu.
Ruangan kosong lagi" Atau pangeran Mesir berumur empat ribu tahun, yang
dikelilingi seluruh harta dan miliknya"
Segel yang satu ini ternyata lebih keras dari yang pertama. Kami memutuskan
untuk beristirahat dulu dan kembali setelah makan siang.
Sore itu, Paman Ben dan anak buahnya bekerja beberapa jam lagi. Dengan hati-hati
mereka berusaha membuka segel itu tanpa merusaknya.
Sari dan aku duduk di lantai dan memperhatikan mereka. Udaranya panas dan berbau
agak asam. Mungkin karena udaranya juga sudah tua sekali. Sari dan aku mengobrol
tentang musim panas tahun lalu serta petualangan-petualangan yang kami alami di
Piramida Agung. Nila mengambil foto kami.
"Sudah hampir selesai," Paman Ben mengumumkan.
Seketika semangat kami mulai bangkit lagi. Sari dan aku segera berdiri, lalu
melintasi ruangan agar dapat melihat lebih jelas.
Kepala singa itu copot dari pintu. Dua pekerja menyimpannya di sebuah peti
beralas jerami. Kemudian Paman Ben dan kedua pekerja lain mulai mendorong pintu.
Pintu ini ternyata lebih berat lagi dari yang pertama. "Uh... pintunya...
macet... total," Paman Ben bergumam sambil mendorong. Ia dan para pekerja meraih
peralatan masing-masing dan mulai mengerik-ngerik tanah yang terkumpul di celahcelah pintu selama berabad-abad.
Satu jam kemudian, mereka berhasil menggeser pintu sejauh satu inci. Lalu satu
inci lagi. Dan satu lagi.
Ketika pintunya sudah setengah terbuka, Paman Benmencabut lampu senter dari
helmnya. Ia mengarahkan sinarnya ke ruangan di balik pintu dan mengintip. Tak
sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Sari dan aku maju beringsut-ingsut. Jantungku kembali berdebar-debar.
Apa yang dilihat Paman Ben" aku bertanya dalam hati. Kenapa dia diam saja"
Akhirnya, Paman Ben mengalihkan senternya dan berpaling kepada kami. "Kita telah
membuat kesalahan besar," katanya pelan-pelan.
14 " SUASANA menjadi hening. Semua orang menahan napas. Aku sampai menelan ludah
karena terkejut mendengar ucapan pamanku.
Tapi tiba-tiba dia tersenyum lebar, "Kita keliru menilai temuan kita ini!"
serunya. "Makam ini bahkan lebih mencengangkan dari makam Raja Tut!"
Seketika terdengar sorak-sorai yang memantul-mantul pada dinding-dinding batu.
Para pekerja segera menghampiri Paman Ben untuk memberi selamat padanya.
"Selamat untuk kita semua!" seru Paman Ben dengan riang.
Kami semua tertawa dengan gembira ketika menyusup lewat celah yang sempit, dan
masuk ke ruangan berikut.
Dan dalam cahaya lampu sorot yang menerangi ruangan luas itu, aku melihat
sesuatu yang takkan pernah kulupakan. Lapisan debu yang tebal pun tak sanggup
menyembunyikan harta luar biasa yang mengisi ruangan tersebut.
Aku memandang berkeliling. Ternyata begitu banyak yang harus dilihat! Kepalaku
menjadi pening. Dinding-dinding dipenuhi hieroglif dari lantai sampai ke langit-langit.
Lantainya dipadati perabot dan benda-benda lainnya. Ruangan itu lebih mirip
gudang daripada ruang makam!
Sebuah singgasana tinggi bersandaran lurus menarik perhatianku. Sandaran
punggungnya dihiasi ukiran berbentuk matahari emas yang memancarkan sinar ke
segala arah. Di belakangnya aku melihat sejumlah kursi dan bangku, serta sebuah
sofa panjang. Lusinan bejana batu dan tanah liat ditumpuk di dinding. Ada beberapa yang sudah
retak dan pecah. Tapi sebagian besar masih utuh dan dalam kondisi sempurna.
Sebuah kepala monyet yang terbuat dari emas tergeletak di tengah-tengah ruangan.
Di belakangnya ada peti-peti besar.
Dengan hati-hati Paman Ben dan anak buahnya membuka salah satu peti. Aku melihat
mereka membelalakkan mata ketika menatap ke dalamnya.
"Perhiasan!" seru Paman Ben. "Peti ini penuh perhiasan emas!"
Sari muncul di sampingku. Dia tersenyum lebar.
"Ini benar-benar gila!" bisikku.
Dia mengangguk. "Ya, gila!"
Kami bicara sambil- berbisik-bisik. Selain kami tak ada yang bersuara. Semua
tercengang-cengang karena pemandangan menakjubkan yang terbentang di hadapan
kami. Bunyi paling keras adalah bunyi "klik" dari kamera Nila.
Paman Ben melangkah ke antara Sari dan aku, lalu merangkul kami berdua. "Ini
betul-betul luar biasa ya?" ujarnya dengan semangat berkobar-kobar.
"Semuanya masih utuh. Tak tersentuh selama empat ribu tahun."
Waktu aku menoleh, aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku menyadari, inilah
puncak keberhasilan Paman Ben,
"Kita harus berhati-hati-" Paman Ben mulai berkata, lalu berhenti di tengahtengah kalimat. Raut mukanya berubah.
Ketika ia menggiring aku dan Sari melintasi ruangan, aku melihat apa yang
menarik perhatiannya. Sebuah peti mumi yang terbuat dari batu tampak bersandar di dinding seberang,
setengah tersembunyi dalam keremangan.
"Oh, wow!" aku bergumam waktu kami menghampirinya.
Peti itu terbuat dari batu licin berwarna kelabu. Sebuah retakan tampak
memanjang di tengah-tengah tutupnya.
"Pangerannya ada di dalam situ?" tanya Sari.
Paman Ben tidak segera menyahut. Ia berdiri di antara kami sambil mengamati peti
mumi yang sudah teramat tua itu. "Kita lihat saja," jawab Paman akhirnya.
Sementara Paman Ben dan keempat anak buahnya berusaha membuka tutupnya, Nila
menurunkan kamera dan melangkah maju untuk memperhatikan mereka. Matanya yang
hijau menyorot tajam ketika tutup yang berat itu mulai bergerak.
Isinya ternyata peti mayat yang mengikuti bentuk mumi yang tersimpan di
dalamnya. Peti itu tidak seberapa tinggi. Dan lebih sempit dari yang kuduga
semula. Dengan hati-hati para pekerja mengangkat tutup peti mayat. Aku menahan napas dan
menggenggam tangan Paman Ben ketika mumi di dalamnya mulai terlihat.
Muminya begitu kecil dan rapuh.
"Pangeran Khor-Ru," Paman Ben bergumam.
Tanpa berkedip dia menatap mumi itu.
Sang pangeran terbaring dalam posisi telentang. Tangannya yang kecil bersilang
di dadanya. Tar berwarna hitam telah menembus kain yang membalutnya. Kain di
bagian kepala bahkan sudah hancur, sehingga tengkoraknya yang berlapis tar
kelihatan jelas: Jantungku berdegup-degup ketika aku membungkuk untuk mengamati mumi itu. Matanya
yang hitam karena tar seakan-akan menatapku dengan pandangan tak berdaya.
Yang terbungkus kain itu adalah jasad manusia, pikirku sambil merinding.
Tingginya kira-kira sama denganku. Dan setelah meninggal, ia disiram tar panas
dan dibalut. kain. Dan ia terbaring di sini selama empat ribu tahun.
Bukan sembarang manusia, tapi seorang pangeran.
Aku memperhatikan lapisan tar yang menutup wajahnya, serta kain pembungkusnya,
yang sudah rapuh dan menguning. Aku memperhatikan tubuhnya yang begitu mungil.
Dulu ia pernah hidup, aku berkata dalam hati.
Pernahkah terbayang olehnya bahwa empat ribu tahun kemudian akan ada orang yang
membuka peti mayatnya dan menatapnya dengan takjub"
Aku mundur selangkah dan menarik napas panjang.
Kemudian aku menyadari bahwa mata Nila pun berkaca-kaca. Ia membungkuk. Kedua
tangannya bersandar pada pinggiran peti mayat, dan matanya tak beralih dari
wajah si pangeran. "Rasanya sampai sekarang belum pernah ada mumi dalam kondisi sebaik ini," ujar
Paman Ben. Tentu saja kita harus melakukan serangkaian tes untuk mema"stikan identitas anak muda ini. Tapi kalau melihat segala sesuatu yang ada di
sini, rasanya kita bisa menarik kesimpulan bahwa......:."
Paman mendadak terdiam ketika kami mendengar suara-suara di ruangan pertama.
Suara langkah. Suara orang berbicara.
Aku langsung menoleh ke pintu, dan melihat empat polisi berseragam hitam
menyerbu masuk. "Oke. Semuanya harap mundur satu langkah," salah satu dari mereka memerintahkan,
sementara tangannya meraih pistol yang tergantung di pinggangnya.
15"DISEKELILINGKU terdengar seruan-seruan kaget. Paman Ben membalik sambil
membelalakkan mata dengan bingung. "Ada apa ini?" tanyanya.
Keempat petugas kepolisian Kairo langsung maju ke tengah ruangan. Keempatempatnya pasang tampang kencang.
"Hati-hati!" Paman Ben memperingatkan. Ia berdiri di hadapan peti mumi, seakanakan hendak melindunginya. "Jangan sentuh apa pun. Semuanya sudah rapuh sekali."
Ia melepaskan helm proyeknya, Pandangannya beralih dari petugas yang satu ke
petugas berikutnya. "Kenapa Anda ada di sini?"
"Aku yang minta mereka datang kemari," sebuah suara menggelegar.
Dr. Fielding muncul di pintu. Ia tersenyum puas. Matanya yang kecil tampak
berbinar-binar. "Omar-aku tidak mengerti," ujar Paman Ben sambil menghampiri rekannya itu.
"Menurutku, isi ruangan ini sebaiknya dilindungi pihak berwajib," sahut Dr,
Fielding. Ia menoleh ke kiri- kanan, dan mengagumi harta karun di sekelilingnya.
"Menakjubkan! Sungguh-sungguh menakjubkan!" serunya. Kemudian ia menghampiri
"Paman Ben dan menyalaminya dengan hangat. "Selamat, semuanya!" ia berkata dengan
suaranya yang lantang. "Ini nyaris tidak bisa dipercaya."
Roman muka Paman Ben melunak. "Aku tetap tidak mengerti kenapa mereka ada di
sini," ia berkata sambil menoleh ke arah keempat petugas polisi, yang tetap
bertampang kencang, "Tak seorang pun di dalam ruangan ini akan mencuri sesuatu."
"Tentu saja tidak," sahut Dr. Field ng, masih sambil meremas tangan Paman Ben.
?"Tentu saja tidak. Tapi kabar mengenai temuan ini akan segera tersebar, Ben, Dan
menurutku, semua ini perlu diamankan dengan sebaik-baiknya."
Paman Ben menatap para petugas polisi dengan curiga. Tapi kemudian ia mengangkat
bahunya yang lebar. "Mungkin kau benar," katanya kepada Dr. Fielding. "Mungkin
tindakan ini memang tindakan yang tepat."
''Jangan hiraukan mereka," ujar Dr. Fielding. Ia menepuk punggung pamanku. "Aku
harus minta maaf padamu, Ben. Sebagai ilmuwan, aku sebenarnya tidak boleh
berpandangan sempit. Makam ini memang wajib kita buka-demi kemajuan ilmu
pengetahuan, Ah, sudahlah. Lebih baik kira rayakan keberhasilan ini."
*** ?"Aku tidak percaya padanya," ujar Paman Ben ketika kami meninggalkan tenda
"untuk makan malam, "Aku tidak percaya pada rekanku itu."
Langit tampak cerah, dan udaranya jauh lebih sejuk dibandingkan hari kemarin.
Sejuta bintang bekerlap-kerlip di langit malam. Embusan angin yang cukup kencang
menggoyangkan daun-daun palem di cakrawala. Api unggun di depan kami menarinari. "Apakah Doktor Fielding ikut makan malam bersama kita?" tanya Sari. Ia
mengenakan sweter hijau muda yang panjang dan celana ketat berwarna hitam.
Paman Ben menggelengkan kepala. "Tidak, ia mau menelepon ke Kairo dulu. Ia pasti
mau memberitahukan keberhasilan kita kepada orang-orang yang membiayai
penggalian ini." "Ia kelihatan gembira sekali waktu melihat isi ruang makam," kataku sambil
menatap piramida yang menjulang tinggi ke langit malam.
"Ya, memang," pamanku membenarkan. "Cepat sekali dia berubah pikiran. Tapi aku
akan terus memperhatikan gerak-gerik Omar. Aku yakin dia sedang menunggu-nunggu
kesempatan untuk mengambil alih proyek ini. Dan polisi-polisi itu juga perlu
diawasi." "Aduh, Dad, seharusnya kita bersenang-senang malam ini," ujar Sari sambil
merengut. "Untuk apa sih kita membicarakan Doktor Fielding" Lebih baik kita
bicara tentang Pangeran Khor-Ru dan bagaimana Daddy bakal kaya dan terkenal!"
Paman Ben tertawa. "Oke," katanya.
Nila sudah duduk di dekat api unggun. Paman Ben memang mengundangnya untuk ikut
makan malam bersama kami. Wanita itu memakai sweter putih serta jeans gombrong.
Kalungnya memantulkan cahaya bulan sabit yang baru muncul di atas tenda-tenda.
Dia tampak cantik sekali. Begitu melihat kami mendekat, ia langsung tersenyum
hangat kepada Paman Ben. Dan dari tampang Paman Ben, aku langsung tahu bahwa
pamanku itu juga menyukainya.
"Wah, Sari, kamu lebih tinggi dari Gabe, ya?" Nila berkomentar. .
Sari cengar-cengir. Dia bangga sekali karena lebih tinggi dariku, walaupun aku
sedikit lebih tua. "Kurang dari satu inci," aku segera menambahkan.
"Semakin lama, manusia semakin tinggi," Nila berkata kepada pamanku. "Pangeran
Khor-Ru, misalnya. Ia pendek sekali. Untuk ukuran sekarang, ia termasuk cebol."
"Ya," ujar Paman Ben sambil tersenyum. "Kadang-kadang aku heran sendiri kenapa
orang-orang yang begitu pendek membangun piramida-piramida yang begitu tinggi."
Nila pun tersenyum, lalu menggandeng tangan Paman Ben.
Sari dan aku berpandangan, Aku langsung tahu apa yang dipikirkannya, Ia
Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerutkan kening, seakan-akan hendak bertanya: Ada apa dengan mereka berdua"
Acara makan malam berlangsung dalam suasana riang gembira. Daging hamburger yang
dipanggang paman Ben agak gosong, namun tak ada yang peduli.
Sari melahap dua hamburger. Aku cuma sanggup menghabiskan satu. Dan tentu saja
ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengolok-olokku.
Terus terang, aku sudah mulai muak dengan tingkahnya yang menyebalkan itu. Dan
dalam hati aku mencari-cari akal untuk membalas dendam.
Sementara itu, Nila dan Paman Ben asyik bercanda.
Ruang makam itu mirip tempat pembuatan film, Nila menggoda pamanku. "Semuanya "terlalu sempurna. Emas di mana-mana. Dan mumi mungil itu. Ini pasti cuma tipuan.
Dan itulah yang akan kutulis dalam artikelku."
Paman Ben tertawa. Ia berpaling padaku. "Kau sempat mengamati mumi itu, Gabe"
Apakah ia memakai jam tangan?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, ia tidak pakai jam tangan."
"Nah, bagaimana?" Paman Ben berkata kepada Nila. "Ia tidak pakai jam tangan.
Berarti pasti bukan tipuan."
"Oke, oke. Aku percaya, deh," balas Nila sambil tersenyum manis.
"Dad," Sari angkat bicara. "Dad tahu mantra yang bisa membuat mumi itu hidup
lagi" Maksudnya, kata-kata di ruang makam yang tadi disinggung Doktor Fielding?"
Paman Ben menghabiskan hamburgernya yang tinggal segigitan lagi, lalu menyeka
bibirnya dengan serbet. "Aku tidak mengerti bagaimana ilmuwan seperti Omar bisa
percaya takhayul semacam itu," katanya bergumam.
"Tapi bagaimana bunyi keenam kata yang bisa membuat mumi itu hidup kembali?"
Nila mendesak. "Ayolah, Ben. Kami semua ingin tahu."
Paman Ben berhenti tersenyum. Ia menggoyang-goyangkan telunjuknya ke arah Nila.
"Oh, nanti dulu!" katanya dengan tegas. "Aku tidak percaya padamu. Kalau
mantranya k uberitahu padamu, kau akan menghidupkan mumi itu agar mendapat foto
?"bagus untuk koranmu!"
Semuanya tertawa. Kami duduk mengelilingi api unggun. Pantulan cahayanya yang berwarna jingga
menari-nari di wajah kami. Paman Ben meletakkan piringnya di tanah, lalu
merentangkan tangannya. "Teki Kahru Teki Kahra Teki Kahri!" ia melantunkan dengan suara berat, sambil
menggerak-gerakkan tangan di atas api.
Apinya meretih-retih. Sebuah ranting meletus menyebabkan aku tersentak kaget.
"Itu mantranya?" tanya Sari.
Paman Ben mengangguk. "Begitulah bunyi hieroglif-hieroglif yang tertulis di atas
pintu ruang makam." "Jadi ada kemungkinan si mumi baru saja bangun dan meregangkan otot-ototnya"
"Sari kembali bertanya.
"Kemungkinan besar tidak," balas Paman Ben sambil berdiri. "Jangan lupa, Sarimantra itu harus diucapkan lima kali berturut-turut."
"Oh." Sari termenung-menung dan menatap lidah api yang menari-nari di hadapan
"kami. Aku mengulangi kata-kata itu dalam hati. "Teki Kahru Teki Kahra Teki Kahri!"
Mantra tersebut perlu kuhafalkan, sebab aku sudah punya rencana untuk menakutnakuti Sari. "Mau ke mana, Ben?" Nila bertanya pada pamanku.
"Ke tenda komunikasi," jawabnya. "Aku harus menelepon seseorang," Ia berbalik,
lalu melintasi hamparan pasir ke arah deretan tenda.
Nila tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Ia bahkan tidak bilang selamat malam
dulu." "Dad memang begitu kalau sedang memikirkan sesuatu," Sari menjelaskan.
"Kalau begitu aku juga pulang saja," ujar Nila. Ia bangkit dan menepis pasir
yang menempel di celananya. "Aku harus mulai menulis artikelku."
Ia mengucapkan selamat malam, dan segera pergi.
Sari dan aku tetap duduk sambil menatap api yang meretih-retih. Bulan sabit
sudah tinggi di langit malam. Cahayanya yang pucat terpantul dari puncak
piramida di kejauhan. "Nila benar," aku berkata kepada Sari. "Tempat ini memang seperti tempat
pembuatan film." Sari diam saja. Tanpa berkedip dia memperhatikan lidah api yang menari-nari.
Sepertinya dia sedang berpikir keras.
Tiba-tiba terdengar letusan lagi, dan bunyi itu membuyarkan lamunan sepupuku.
"Aku dapat kesan bahwa Nila suka pada Daddy. Menurutmu bagaimana?" dia bertanya
sambil menatapku dengan matanya yang gelap. ,
"Yeah, kelihatannya begitu," sahutku. "Ia selalu, tersenyum-senyum kalau Paman
ada di sekitarnya. Aku menirukan senyum Nila. "Dan ia selalu menggoda Paman,"
Sari merenungkan jawabanku. "Dan bagaimana dengan Dad" Apakah ia juga suka pada
Nila?" Aku nyengir lebar. "Itu sih sudah jelas." Aku berdiri. Aku ingin segera kembali
ke tenda. Aku ingin menakut-nakuti Sari.
Sambil membisu kami berjalan ke tenda. Sepertinya sepupuku itu masih memikirkan
ayahnya dan Nila. Udara malam terasa dingin, tapi tenda kami tetap agak pengap. Sari menarik
kopernya dari bawah ranjang, lalu berlutut mencari sesuatu.
"Sari," aku berbisik. "Coba tantang aku mengucapkan mantra kuno itu lima kali
berturut-turut." "Hah?" Dia menoleh.
"Aku akan membacakannya lima kali berturut-turut," aku menegaskan, "Aku mau tahu
apa yang bakal terjadi."
Semula aku menduga dia akan memohon-mohon agar aku berubah pikiran. Aku menduga
dia bakal ketakutan dan berusaha mencegahku, "Jangan, Gabe! Jangan! itu terlalu
berbahaya!" Tapi Sari malah kembali berpaling ke kopernya dan berkata, "Oh, coba saja!"
"Benar, nih?" tanyaku.
"Yeah. Kenapa tidak?" dia menyahut, sambil mengeluarkan sebuah celana pendek.
Aku mengamatinya dengan saksama. Rasa takutkah yang terpancar dari matanya" "Mungkinkah dia cuma pura-pura tenang"
Ya. Aku rasa dia sebenarnya ngeri juga. Tapi dia berusaha keras untuk menutupnutupinya. Aku maju beberapa langkah, lalu melantunkan mantra itu sambil merendahkan suara,
persis seperti Paman Ben tadi: "Teki Kahru Teki Kahra Teki Kahri!"
Sari melepaskan celana pendeknya dan berpaling padaku.
Aku mengulangi mantra itu untuk kedua kali.
"Teki Kahru Teki Kahra Teki Kahri!"
Ketiga kali. Keempat kali. Kemudian aku terdiam sejenak. Embusan angin dingin menggelitik tengkukku.
Haruskah mantra itu kuucapkan lagi" Haruskah aku melantunkannya untuk kelima
kali" 16"AKU menoleh ke arah Sari.
Dia telah menutup kopernya, dan sedang menatapku dengan tegang. Kelihatan jelas
bahwa dia takut, soalnya dia terus menggigit-gigit bibir.
Aku sendiri masih bimbang. Haruskah kuulangi mantra itu untuk kelima ka1i"
Sekali lagi tengkukku merinding karena embusan angin dingin.
Ah, itu kan cuma takhayul, aku berkata dalam hati. Takhayul dari empat ribu
tahun yang lalu. Mana mungkin mumi tua itu mendadak hidup lagi, hanya karena aku
mengucapkan enam kata"
Aku bahkan tidak tahu arti kata-kata tersebut.
Mustahil. Tiba-tiba aku teringat semua video mengenai mumi di Mesir kuno yang pernah
kusewa. Dalam film-film itu; para ilmuwan tak pernah menghiraukan kutukan yang
melarang mereka mengganggu sebuah makam mumi. Dan muminya selalu hidup kembali
untuk membalas dendam. Mereka berjalan sambil terhuyung-huyung, lalu mencegat si
ilmuwan dan mencekiknya sampai mati.
Film-film konyol. Tapi aku suka sekali.
Kini aku menatap Sari, dan aku melihat dia benar-benar. ketakutan.
"Aku menarik. napas panjang, Tiba-tiba saja aku sadar bahwa aku pun ngeri.
Tapi sudah terlambat; ,Aku sudah melangkah terlalu jauh. Aku tidak bisa berhenti
sekarang. "Teki Kahru Teki Kahra Teki Kahri!" aku berseru.
Untuk kelirna kali. Aku berdiri kaku seperti patung-dan menunggu.
Entah apa yang kutunggu. Petir menyambar, mungkin.
Sari langsung berdiri. Dengan gelisah dia menarik-narik rambutnya yang gelap.
"Ayo, mengaku saja. Kau ketakutan, kan?" aku berkata tanpa sanggup,menahan
senyum. "Enak saja!" sahutnya dengan sengit. "Ayo, Gabe. Ulangi kata-kata itu sekali
lagi. Biar kauulangi seratus kali, aku tetap tak bakal takut."
Tapi kami sama-sama tersentak kaget ketika sebuah bayangan melintasi dinding
tenda. Dan jantungku seakan-akan berhenti mendadak ketika sebuah suara berbisik parau,
"Kalian ada di dalam situ?"
17 LUTUTKU gemetaran ketika aku melangkah mundur, mendekati Sari, "Aku melihat sepupuku itu membelalakkan mata karena kaget-dan takut.
Dalam sekejap bayangan tadi telah bergeser ke pintu tenda.
Sari dan aku tak sempat menjerit. Kami tak sempat berteriak minta tolong. .
Aku menahan napas ketika kanvas penutup pintu tersingkap, dan sebuah kepala
plontos menyembul ke dalam tenda. .
"Ohhh!'" Aku memekik tertahan ketika sosok gelap itu menghampiri kami.
Si mumi hidup lagi! aku berkata dalam hati. Pikiran mengerikan itu merasuk ke
dalam benakku ketika aku melangkah mundur. Si mumi hidup lagi!
"Doktor Fielding!" seru Sari.
"Hah?" Aku memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas.
Ya. Ternyata memang Dr. Fielding.
Aku berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tenggorokanku serasa tersekat. Jantungku
berdegup begitu keras, sehingga aku tak sanggup berbicara.
Aku menarik napas panjang, lalu menahannya di dadaku.
"Saya mencari ayahmu," Dr. Fielding berkata kepada Sari. Saya harus segera
"bicara dengannya. Ada urusan yang sangat penting."
'''Ia-ia dang menelepon," balas Sari dengan .suara gemetar.
?"Dr. Fielding berbalik, langsung meninggalkan tenda., Kain kanvas penutup pintu
kembali ke tempat semula, dan mengepak-ngepak karena tertiup angin.
Aku berpaling kepada,Sari. Jantungku masih berdebar-debar. Aku kaget setengah
"mati tadi!" aku mengakui. "Kukira dia sudah balik ke Kairo. Waktu kulihat
kepalanya yang kecil dan licin..."
Sari tertawa. "Dia memang mirip mumi, ya?"
Tapi kemudian senyumnya menghilang. "Kenapa dia begitu ngotot ingin menemui
Daddy?" "Ayo, kita buntuti dia, aku mendesak. Ide itu muncul tiba-tiba saja.
?"Ya! Ayo!" Aku tidak menyangka bahwa usulku akan langsung diterima. Aku masih
terbengong-bengong ketika Sari bergegas keluar.
Aku segera menyusulnya. Udara malam telah bertambah dingin. Embusan angin
menyebabkan semua tenda kelihatan seperti gemetaran.
"Ke mana ya dia?" aku bertanya sambil berbisik.
"Kalau tidak salah, tenda komunikasi ada di ujung sana," Sari menyahut sambil
menunjuk. Dia mulai melintasi hamparan pasir sambil berlari kecil.
Samar-samar aku mendengar alunan musik serta senda-gurau di salah satu tenda.
Rupanya para pekerja sedang .merayakan keberhasilan yang mereka capai tadi.
Seberkas sinar bulan menerangi pasir di sekeliling kami, membuatnya terlihat,
bagaikan permadani. Jauh di depan aku melihat sosok Dr. Fielding yang kurus
kering. Ia berjalan sambil membungkuk menuju tenda paling ujung.
Ia menghilang di samping tenda itu. Sari dan aku segera berhenti, Lalu kami
menyelinap ke tempat gelap, di sana kami takkan terlihat.
Aku mendengar suara Dr., Fielding yang menggelegar di tenda komunikasi. Ia
berbicara dengan cepat, berapi-api.
"Dia bilang apa?" bisik Sari.
Aku juga tidak tahu apa yang dikatakan orang itu,
Beberapa detik kemudian ada dua orang yang keluar dari tenda. Sambil membawa
senter yang bersinar terang, mereka bergegas menuju kegelapan malam.
Sepertinya Dr. Fielding sedang menyeret Paman Ben ke arah piramida.
"Ada apa ini?" bisik Sari sambil meraih lenganku. "Sepertinya dia memaksa Daddy
untuk ikut dengannya."
Angin menerbangkan pasir di sekitar kami. Aku merinding.
Kedua laki-laki itu berbicara berbarengan, berseru-seru sambil menggerakgerakkan tangan. Tampaknya mereka sedang berdebat dengan sengit.
Dr, Fielding menggenggam pundak Paman Ben dengan sebelah tangan. Apakah ia yang
mendorong Paman Ben ke piramida" Ataukah Paman Ben sedang menuntunnya"
Aku tidak bisa memastikannya.
"Ayo, jalan lagi," aku berbisik kepada Sari.
Kami keluar dari persembunyian dan kembali membuntuti mereka. Kami berjalan
pelan-pelan, dan terus menjaga jarak.
"Kalau mereka menoleh ke belakang, mereka bakal melihat kita," bisik Sari.
"Mudah-mudahan saja mereka tidak menoleh," sahutku penuh harap.
Kami kembali membisu. Piramida di hadapan kami tampak menjulang tinggi.
Kami melihat Dr. Fielding dan Paman Ben berhenti di pintu masuk. Mereka masih
berbicara dengan nada ketus, namun ucapan mereka tak terdengar karena terbawa
angin yang bertiup kencang. Tapi sepertinya mereka masih berdebat.
Paman Ben lebih dulu masuk ke piramida. Dr. Fielding segera menyusul.
"Apakah ia mendorong Daddy ke dalam?" Sari bertanya dengan waswas. "Kelihatannya
Daddy didorong!" "A-aku tidak tahu," jawabku sambil tergagap-gagap.
Kami menghampiri pintu masuk, kemudian berhenti dan menatap ke lubang yang gelap
itu. Aku tahu pikiran Sari dan aku sama. Aku sadar kami mengajukan pertanyaan yang
sama dalam benak masing-masing:
Haruskah kami mengikuti mereka"
18 "SARI dan aku berpandangan.
"Malam-malam begini piramida itu tampak jauh lebih besar, jauh lebih seram. Angin
kencang menderu-deru, seakan-akan hendak memperingatkan kami.
Kami bersembunyi di balik tumpukan puing yang ditinggalkan para pekerja. "Kita
tunggu di sini saja sampai Dad keluar lagi," bisik Sari.
Aku tidak membantah. Kami tidak membawa senter maupun penerangan lainnya.
Rasanya percuma saja kalau kami nekat menyusuri terowongan-terowongan yang gelap
gulita tanpa membawa lampu.
Aku bersandar pada batu-batu yang licin dan menatap pintu masuk ke piramida.
Sari memandang bulan sabit di langit yang seolah-olah diterkam gumpalan awan.
Keadaan di sekeliling kami bertambah gelap.
"Jangan-jangan Dad dalam kesulitan?" bisik Sari. "Kau dengar sendiri kan waktu
dia bilang dia tidak percaya pada Doktor Fielding-"
"Aku yakin Paman Ben tidak apa-apa," kataku menenangkannya. "Doktor Fielding kan
ilmuwan. Ia bukan penjahat atau sebangsanya."
"Tapi kenapa i a memaksa Daddy masuk ke piramida, di tengah malam buta begini?"
"Sari bertanya dengan nada melengking. "Dan apa yang mereka ributkan tadi"'"
Aku angkat bahu. Belum, pernah kulihat Sari setakut ini. Biasanya sih, aku pasti
akan senang sekali. Habis, dia selalu gembar-gembor bahwa dia begitu berani, tak
kenal takut-apalagi dibandingkan aku.
Tapi kali ini aku tidak bisa menikmati kemenanganku. Soalnya aku sama takutnya
dengan dia. Sepertinya, kedua ilmuwan itu memang bertengkar tadi. Dan sepertinya Dr.
Fielding memang mendorong Paman Ben ke dalam piramida.
Sari menyilangkan kedua tangannya dan menatap lubang gelap di kaki piramida.
Rambutnya melambai-lambai tertiup angin, beberapa helai jatuh menutupi
keningnya. Tapi dia diam aja, tidak menepisnya.
?"Urusan apa yang begitu penting sampai harus ditangani sekarang juga?" dia
bertanya. "Kenapa mereka sampai harus masuk ke piramida di tengah malam buta"
Masa sih ada yang dicuri" Para polisi dari Kairo kan berjaga di dalam?"
"Aku sempat melihat mereka pergi," aku memberitahunya, "naik mobil kecil mereka,
sebelum makan malam tadi. Aku tidak tahu kenapa. Barangkali mereka tiba-tiba
dipanggil kembali ke kota."
"A-aku jadi bingung," Sari mengakui. "Bingung dan cemas. Aku curiga melihat
kelakuan Doktor Fielding tadi. Seenaknya saja ia mengagetkan kita dengan tibatiba muncul di tenda. Bilang selamat malam dulu, kek." .
?"Tenang saja, Sari," ujarku dengan. lembut. "Kita tunggu saja di sini. Semuanya
akan beres. Lihat saja nanti."
Dia mendesah tertahan, namun tidak berkata apa-apa, .
Kami menunggu sambil membisu. Aku tidak tahu berapa lama kami menunggu, tapi
rasanya seperti berjam-jam,
Bulan muncul kembali dari balik awan. Angin masih menderu-deru.
"Kenapa mereka belum keluar juga" Sedang apa mereka di dalam sana?" tanya Sari.
Aku sudah mau menjawab-namun mendadak terdiam ketika melihat cahaya berkerlap
Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerlip di pintu masuk piramida.
Seketika aku meraih lengan Sari. "Eh, kau lihat itu?" aku berbisik.
Cahaya itu bertambah terang, dan sebuah sosok muncul. Dr. Fielding.
Ketika melangkah ke luar, aku melihat bahwa, raut mukanya tampak aneh. Matanya
yang hitam terbelalak lebar dan terus memandang ke segala arah, seakan-akan
kebingungan. Alisnya berkedut-kedut, Mulutnya menganga, dan sepertinya ia
terengah-engah. Dr. Fielding menepis debu yang menempel pada pakaiannya, lalu mulai menjauhi
piramida. Ia setengah berjalan, setengah terhuyung-huyung,
"Tapi-mana Daddy?" tanya Sari. "Aku mengintip dari balik puing-puing. Lubang di kaki piramida. kelihatan jelas.
Namun tak ada kerlip cahaya. Tak ada tanda-tanda bahwa Paman Ben akan segera
"menyusul. "D ia tidak keluar!" Sari tergagap-gagap.
"Dan sebelum aku sempat berkata apa-apa, Sari sudah keluar dari tempat
persembunyian kami di balik puing-puing-dan mencegat Dr. Fielding.
"Doktor Fielding," dia berseru keras-keras. "Di mana ayah saya?"
Aku juga berdiri, lalu mengejar Sari. Aku melihat mata Dr. Fielding berputarputar, seakan-akan tak terkendali. Ia tidak menjawab pertanyaan Sari.
"Di mana ayah saya?" Sari mengulangi sambil setengah berteriak.
Dr. Fielding bersikap seolah-olah tidak melihat Sari. Ia melewatinya dengan
langkah kaku. "Doktor Fielding-?" Sari memanggilnya.
Pria itu menembus kegelapan, menuju ke deretan tenda.
Sari kembali berpaling padaku. Roman mukanya kencang. "Ia telah berbuat sesuatu
pada Daddy!" serunya dengan nada melengking. "Ia pasti telah berbuat sesuatu
pada ayahku!" 19 "AKU berbalik dan menatap ke arah pintu masuk.
"Lubang di kaki piramida itu masih gelap dan sunyi. Satu-satunya suara yang
terdengar adalah suara angin yang menderu-deru.
"Doktor Fielding sama sekali tidak menggubrisku!" Sari berseru dengan sengit.
"Ia melewatiku seakan-akan aku tidak ada. Menengok pun tidak!"
"Ya, aku tahu," ujarku.
"Dan kaulihat tampangnya tadi?" tanya Sari. ''Tampangnya jahat sekali. Betulbetul jahat." "Sari-" aku mulai berkata. "Barangkali-"
"Gabe, kita harus mencari ayahku!" Sari memotong. Dia meraih lenganku dan mulai
menarikku ke pintu masuk piramida. "Ayo, cepat!"
''Jangan, Sari, tunggu!" aku mencegahnya, dan melepaskan lenganku dari
cengkeramannya. "Percuma saja kita masuk piramida tanpa membawa senter. Kita tak
bakal bisa menemukan Paman Ben. Bisa-bisa malah kita yang tersasar nanti!"
"Kalau begitu, kita kembali dulu ke tenda mengambil senter," dia menyahut. "Ayo,
Gabe-" "Kau tunggu di sini saja," kataku padanya. "Kemungkinan besar Paman Ben akan
segera muncul. Biar aku saja yang mengambil senter."
Sari memandang ke pintu masuk yang gelap. Sepertinya dia hendak menolak usulku.
Tapi kemudian dia berubah pikiran.
Aku berlari ke tenda kami. Jantungku berdegup kencang. Ketika sampai di deretan"tenda, aku berhenti sejenak dan memandang ke kiri-kanan untuk mencari Dr.
Fielding. Orang itu tidak kelihatan.
Aku masuk ke tenda dan mengambil dua senter.
Kemudian aku bergegas kembali ke piramida. Moga-moga Paman Ben sudah keluar
kalau aku sampai di sana, pikirku. Moga-moga dia tidak apa-apa.
Namun ketika aku memandang ke depan, aku melihat Sari masih sendirian. Dia
tampak mondar-mandir dengan tegang. Dari jauh pun aku bisa melihat bahwa dia
ketakutan. Paman Ben, ke mana sih Paman" aku bertanya dalam hati. Kenapa Paman belum keluar
juga" Sari dan aku sama-sama membisu. Tak perlu ada yang dikatakan.
Kami segera menyalakan senter, lalu masuk melalui lubang gelap di kaki piramida.
Terowongannya ternyata lebih curam dari yang kuingat. Aku nyaris kehilangan
keseimbangan. Sorot senter kami menerangi lantai terowongan. Kemudian aku mengarahkan senterku
ke langit-langit yang rendah, dan berjalan mendului Sari.
Aku melangkah pelan-pelan sambil meraba-raba dinding. Permukaan dindingnya
terasa empuk dan rapuh. Sari mengikutiku. Sorot senternya menerangi lantai di
depan kami. Ketika terowongan itu membelok ke sebuah ruangan kecil yang kosong, dia tibatiba berhenti. "Kau yakin ini jalan yang benar?" dia bertanya dengan suara
bergetar. Aku angkat bahu. "Kupikir kau tahu jalannya," sahutku sambil bergumam.
"Biasanya aku ikut Daddy," balasnya sambil mengamati ruangan kosong itu.
"Pokoknya, kita akan mencari Paman sampai ketemu," ujarku dengan tegas. Tapi
sebenarnya, aku sendiri juga mulai waswas.
Sari melewatiku dan menyorot dinding-dinding terowongan. "Dad!" dia memanggil.
"Dad" Dad mendengar aku, tidak?"
Suaranya terdengar bergema.
Tanpa berani beranjak kami menanti jawaban.
Hening. "Ayo," aku mengajaknya. Aku terpaksa merunduk agar bisa masuk ke terowongan
sempit berikutnya. Ke mana terowongan itu akan membawa kami" Ke makam Pangeran Khor-Ru" Apakah kami
bakal menemukan Paman Ben di sana"
Pertanyaan demi pertanyaan terlintas dalam benakku. Aku berusaha memusatkan
perhatian untuk mengingat-ingat apakah terowongan berkelok-kelok yang kami
lewati memang jalan yang benar, tapi pertanyaan-pertanyaan tersebut tetap
terngiang-ngiang di telingaku.
"Dad" Dad-di mana kau?" Suara Sari semakin gelisah. "Terowongan itu, membelok dan menanjak, lalu kembali datar. Sari berhenti
mendadak. Aku tak sempat berhenti. Senternya hampir jatuh ketika aku
menabraknya. "Sori," bisikku.
"Gabe, lihat tuh-!" dia berseru tertahan sambil mengarahkan senternya ke lantai.
"Jejak kaki." Aku menatap lingkaran cahaya di bawah, lalu melihat sejumlah jejak kaki di
lantai tanah. Bekas tumit dan tonjolan-tonjolan runcing. "Sepatu pekerja,"
gumamku. Sari menggerak-gerakkan senternya. Kami melihat sejumlah jejak yang berbeda, dan
semuanya menuju ke arah yang sama dengan kami.
"Apakah ini berarti bahwa ini jalan yang benar?" tanya Sari.
"Mungkin," jawabku. Aku mengamati jejak-jejak sepatu itu. Aku tidak tahu apakah
"jejak-jejak ini masih baru, atau sudah lama."
"Dad!" Sari kembali berseru. "Dad bisa mendengarku?"
Tetap tak ada jawaban. Sari mengerutkan kening, lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Jejak kaki
itu telah memberikan harapan baru kepada kami, dan Sari dan aku segera
mempercepat langkah. Kami terus berjalan sambil berpegangan pada dinding untuk
menjaga keseimbangan. Tiba-tiba kami sampai di ruangan depan ruang makam, dan kami sama-sama bersorak
dengan gembira. Sorot senter kami menerangi hieroglif-hieroglif tua yang
memenuhi dinding dan pintu.
"Dad" Dad?" Suara Sari membelah keheningan yang terasa mencekam,
Kami bergegas melewati ruangan kosong itu, lalu menyelinap lewat pintu
berikutnya. Ruang makam sang pangeran tampak gelap dan sunyi.
"Dad" Daddy?" Sari kembali memanggil-manggil.
Aku ikut berseru. "Paman Ben" Paman ada di sini?"
Cahaya senterku menyapu harta karun yang menumpuk di ruangan tersebut, menerangi
peti-peti, kursi-kursi, dan bejana-bejana tanah liat di pojok.
"Ia tak ada di sini," ujar Sari dengan lesu. Sepertinya dia sudah mau menangis.
"Kalau begitu, ke mana Doktor Fielding membawa Paman Ben?" aku bertanya. "Untuk
apa reka masuk ke piramida kalau bukan untuk datang ke sini?"
Sorot senter Sari menerangi peti mumi yang terbuat dari batu. Sari mengamatinya
sambil memicingkan mata. "Paman Ben!" aku berseru. "Paman Ben ada di sini?"
Sari meraih lenganku. Lihat, Gabe!" Sorot senternya masih menerangi peti mumi. "Aku tidak tahu apa yang hendak diperlihatkannya padaku, "Ada apa?" aku bergumam.
"Peti mumi itu," Sari berkata pelan-pelan,
Aku menatap peti mumi yang tertutup rapat.
"Petinya tertutup," Sari melanjutkan. Dia langsung melangkah maju dan
menghampiri peti itu sambil menyorotkan senternya.
"Kenapa memangnya?" Aku masih belum mengerti.
"Waktu kita pulang kemarin sore," Sari menjelaskan, "petinya masih terbuka. Aku
ingat Daddy menyuruh para pekerja membiarkannya terbuka sampai besok pagi."
"Oh, kau benar!" seruku.
'''Bantu aku Gabe" Sari memohon sambil meletakkan senternya di tanah. "Kita
harus membuka peti mumi ini!
"Sejenak aku bimbang. Aku merinding karena ngeri. Tapi kemudian aku menarik napas
panjang dan maju untuk membantu sepupuku itu.
Dia sudah mulai mendorong tutup peti mumi yang terbuat dari batu. Aku melangkah
ke sampingnya dan ikut mendorong. Dengan sekuat tenaga.
Ternyata lempengan batu itu bergeser lebih mudah dari yang kuduga.
Sari dan aku mendorong sambil terengah-engah, sampai berhasil menggeser tutup
peti mumi itu sejauh satu kaki.
Kemudian kami mengintip ke dalamnya dan memekik dengan ngeri.
20 ?"DADDY!" Sari memekik.
"Paman Ben tergeletak dalam posisi telentang. Lututnya tertekuk, lengannya
terjulur lurus ke bawah, kedua matanya terpejam rapat-rapat.
"Apakah ia-apakah ia-?" Sari tergagap-gagap, tanpa berani menyelesaikan
pertanyaan tersebut. Dengan waswas aku menempelkan tanganku ke dada Paman Ben. Detak jantungnya kuat
dan berirama. "Dia masih hidup," aku memberi tahu Sari.
Kemudian aku membungkuk ke peti mumi. "Paman Ben" Paman bisa mendengarku" Paman
Ben?" Ia tidak bergerak. Aku meraih sebelah tangan Paman Ben dan meremasnya. Tangannya terasa hangat,
namun lunglai. "Paman Ben" Bangunlah!" seruku.
Matanya tetap terpejam rapat-rapat. Pelan-pelan aku menurunkan kembali tangannya
ke dasar peti mumi. "Dia pingsan," gumamku.
Sari berdiri di belakangku. Kedua tangan ditempelkannya ke pipi. Dia menatap
Paman Ben sambil membelalakkan mata karena ngeri. "Ini tidak bisa dipercaya!"
dia berseru dengan suara kecil.
"Doktor Fielding menyekap Daddy. Dia menyekapnya di dalam peti mumi. Kalau saja
kita tidak menemukan Daddy...." Suaranya melemah.
Paman Ben mengerang tertahan.
Sari dan aku menatapnya dengan penuh harap.
Tapi ia tetap tidak membuka mata.
"Kita harus panggil polisi," aku berkata kepada Sari. "Kita harus melaporkan
perbuatan Doktor Fielding."
"Tapi kita tidak bisa membiarkan Dad sendiri di sini!" balas Sari.
Aku sudah hendak menjawab-tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan mengerikan timbul
dalam pikiranku. "Sari?" aku berkata pelan-pelan. "Kalau Paman Ben terbaring di
dalam peti mumi... lalu muminya ada di mana?"
Sari langsung melongo. Dia menatapku tanpa sanggup berkata apa-apa.
Tiba-tiba terdengar suara langkah.
Pelan, seperti diseret. Dan kemudian mumi itu muncul sambil terhuyung-huyung.
2.1 "AKu membuka mulut untuk menjerit-tapi suaraku seperti tersangkut di
"tenggorokan. Sambil terhuyung-huyung mumi itu melintasi uang makam, Pandangannya kosong dan
"tertuju lurus ke depan. Tengkoraknya yang berlumuran tar tampak menyeringai.
Srek. Srek. Langkahnya diseret-seret. Perlahan-lahan mumi itu mengangkat kedua tangannya,
diiringi bunyi berderak yang membuat bulu roma berdiri.
Srek. Srek. Aku mulai panik. Seluruh tubuhku gemetar tak terkendali.
Aku mundur pelan-pelan, menjauhi, peti mumi. Sari tidak beranjak dari tempatnya,
Dia terpaku bagaikan patung, sambil menempelkan tangan ke pipi. Aku meraih
lengannya dan menariknya ke belakang. "Sari-mundur! Mundur!" aku berbisik dengan
nada mendesak. Dia menatap mumi itu dengan mata terbelalak.
Aku tidak tahu apakah dia mendengarku atau tidak. Sekali lagi aku menarik
lengannya, Punggungku membentur dinding.
Mumi itu terus menghampiri kami. Semakin dekat. Dia menatap kami dengan matanya
yang kosong, dan tangannya yang berlepotan tar menggapai-gapai.
Sari memekik. "Lari!" teriakku. "Sari-lari!"
Tapi kami tetap terpaku dengan punggung merapat ke dinding. Sedangkan jalan ke
pintu terhalang oleh si mumi.
"Ini salahku!" aku berkata dengan suara bergetar. "Aku nekat mengulang-ulangi
mantra itu sampai lima kali. Gara-gara aku dia jadi hidup lagi!"
"A-apa yang harus kita lakukan?" tanya Sari sambil berbisik.
Aku pun tidak tahu. "Paman Ben!" aku berseru dengan panik. "Paman Ben-tolong
kami!" Tapi Paman Ben tetap tidak bereaksi. Teriakanku pun tidak sanggup
menyadarkannya. Sari dan aku beringsut-ingsut menyusuri dinding. Pandangan kami terpaku pada
mumi yang terus bergerak maju. Kakinya diseret-seret di lantai tanah, sehingga
menerbangkan awan debu yang gelap.
Bau busuk mulai memenuhi ruangan. Bau mumi berumur empat ribu tahun yang tibatiba hidup lagi. Aku semakin merapat ke dinding batu yang dingin. Otakku bekerja keras. Mumi itu
berhenti sejenak ketika sampai di petinya, kemudian membelok dengan kaku dan
kembali menghampiri kami.
"Hei-!" aku berseru, ketika sebuah ide muncul dalam benakku. "Tangan mumi-ku! Si Pemanggil.
Kenapa baru sekarang aku teringat" Musim panas tahun lalu tangan mungil itu
sudah pernah menyelamatkan nyawa kami dengan menghidupkan sejumlah mumi tua.
Barangkali tangan itu juga ampuh untuk menghentikan mumi, untuk membuat mumi
kembali ke alam baka. Kalau aku mengacungkan tangan itu ke hadapan Pangeran Khor-Ru, mungkinkah dia
akan berhenti cukup lama sehingga Sari dan aku sempat kabur"
Kesempatanku tinggal beberapa detik lagi.
Tak ada salahnya dicoba. Aku merogoh kantong belakang jeans-ku untuk meraih tangan kecil itu.
Tapi ternyata Pemanggil-ku sudah hilang.
22 ?"ADUH!" aku berseru kaget, lalu merogoh kantongku yang lain.
"Tangan mumi itu tidak ada.
"Gabe-ada apa?" tanya Sari.
"Tangan mumi-ku-hilang!" aku menyahut dengan suara parau karena panik.
Srek, Srek. Bau busuk tambah menyengat ketika mumi tua itu menghampiri kami.
Aku tahu aku harus menemukan tangan mumiku. Tapi aku sadar bahwa aku tidak punya
waktu untuk mencarinya. "Kita harus kabur," aku berkata kepada Sari. "Gerakan
mumi itu lamban dan kaku. Kalau kita bisa melewati dia..."
"Tapi bagaimana dengan Daddy?" seru Sari. "Kita tidak bisa meninggalkannya
begitu saja di sini."
"Tidak ada pilihan lain," balasku, "Kita panggil bantuan dulu. Setelah itu kita
kembali lagi," Tulang-tulang Pangeran Khor-Ru berderak-derak ketika dia melangkah maju. Aku
langsung tahu bahwa itu suara tulang patah. Meski demikian, dia terus mengejar
kami dengan tangan terjulur ke depan,
"Sari-lari-sekarang!" aku memberi aba-aba.
Aku mendorongnya dengan keras.
Sekali lagi terdengar bunyi berderak. Mumi itu membungkuk, berusaha menangkap
Sari dan aku ketika kami berlari menghindarinya.
Aku berusaha mengelak dengan merundukkan kepala. Tapi tengkukku sempat tergores
tangannya yang dingin dan kaku, bagaikan tangan patung.
Seumur hidup aku takkan pernah melupakan sentuhan itu.
Bulu kudukku berdiri. Aku merunduk semakin rendah lalu menerjang maju.
Aku mendengar napas Sari yang tersengal-sengal.
Jantungku berdegup kencang waktu aku berusaha mengejarnya. Aku memaksakan diri
Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk berlari, tapi kakiku terasa berat sekali, seakan-akan terbuat dari batu.
Kami sudah hampir mencapai lubang pintu ketika melihat cahaya berkerlap-kerlip,
Sari dan aku memekik tertahan dan langsung berhenti ketika seberkas sinar
menyapu ruangan. Di balik cahaya itu, kami melihat sesosok tubuh melangkah
masuk. Aku segera melindungi mata dari cahaya yang terasa menyilaukan, Siapa itu" aku
bertanya dalam hati. "Nila!" setuku, ketika wanita itu mengalihkan sorot senternya ke langit-langit.
"Nila-tolong!" aku tergagap-gagap.
"Dia hidup!" teriak Sari. "Nila-mumi itu hidup lagi!" Dia menunjuk mumi di
belakang kami. "Tolong kami!" aku memekik.
Nila membelalakkan mata dengan heran. "Apa yang harus kulakukan?" tanyanya. "Namun tiba-tiba roman mukanya berubah marah. "Apa yang harus kulakukan pada
kalian berdua" Seharusnya kalian tidak di sini. Kalian mengacaukan semuanya!"
"Bah" aku berseru dengan bingung.
"Nila melangkah maju sambil mengangkat tangan kanannya.
Aku memicingkan mata agar bisa melihat apa yang sedang dipegangnya.
Tangan mumi-ku! Dia mengacungkan tangan mungil itu ke hadapan si mumi. Kemarilah, adikku!" Nila"memanggil.
23 ?"KOK tangan mumi-ku bisa sampai ke tanganmu" Apa yang telah kaulakukan"
"tanyaku. Nila tidak menggubris pertanyaanku. Sebelah tangannya memegang senter, Tangannya
yang satu lagi mengangkat tangan mumi-ku tinggi-tinggi.
"Kemarilah, adikku!" ia memanggil sambil melambai-lambaikan tangan mumi-ku. "Ini
aku Putri Nila!" Dengan patuh mumi itu menghampirinya. Kakinya berderak-derak, tulang-tulangnya
patah dan retak. "Nila-hentikan! Kau mau apa?" Sari memekik.
Tapi Nila terus mengabaikan kami. "Ini aku, kakakmu!" dia berseru kepada mumi
itu. Sebuah senyum kemenangan muncul di wajahnya yang cantik. Matanya yang hijau
tampak bersinar-sinar bagaikan zamrud.
"Sudah begitu lama aku menanti hari ini," ujar Nila. "Berabad-abad aku menunggu
dan berharap bahwa suatu hari makammu akan ditemukan dan kita bisa bersatu
kembali," Wajah Nila berseri-seri. Tangan mumi-ku tampak bergetar di tangannya. "Aku telah
mengembalikan nyawamu, adikku!" dia berseru. "Berabad-abad aku menunggu
kesempatan ini. Tapi penantianku tidak sia-sia, Kita akan berbagi semua harta
yang ada di sini. Dan dengan kekuatan kita, kita akan memimpin negeri Mesirseperti empat ribu tahun lalu!"
Nila menoleh ke arahku. "Terima kasih, Gabe." katanya. "Terima kasih atas
Pemanggil ini! Begitu aku melihatnya, aku langsung tahu bahwa aku harus
memilikinya. Aku langsung tahu tangan mumi ini bisa membuat adikku hidup
kembali. Mantra kuno itu belum cukup! Aku juga memerlukan si Pemanggil!"
"Kembalikan!" aku berseru sambil berusaha merampasnya. "Itu punyaku, Nila.
Kembalikan padaku" Wanita itu tertawa mengejek. "Kau takkan memerlukannya, Gabe," katanya perlahan.
Nila kembali melambaikan tangan mungil itu ke arah si mumi. "Binasakan mereka,
adikku!" perintahnya. "Binasakan mereka! Sekarang juga! Tidak boleh ada saksi!"
''Tidaalkkk!'' Sari memekik. Berdua kami langsung menuju ke pintu. Tapi Nila
keburu mencegat sebelum kami sempat keluar.
Aku berusaha mendorongnya seperti pemain rugby. Tapi ternyata Nila jauh lebih
kuat dari yang kuduga. "Nila-biarkan kami pergi!" Sari menuntut. Napasnya terengah-engah.
Nila tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tak boleh ada saksi," gumamnya.
"Nila-kami cuma mau mengeluarkan Daddy dari sini. Kau boleh berbuat sesuka
hatimu!" Sari mendesaknya dengan panik.
Nila tidak menghiraukan imbauan itu. Dengan tenang dia kembali berpaling kepada
si mumi. "Binasakan kedua-duanya!" serunya. "Mereka tidak boleh meninggalkan
makam ini dalam keadaan hidup!"
Sari dan aku membalik, dan melihat mumi itu menghampiri kami. Tengkoraknya yang
hitam seakan-akan berpendar dalam cahaya yang remang-remang. Aku melihat kain
kuning yang membalutnya telah terbuka sebagian, dan terseret di belakangnya.
Ia semakin dekat. Semakin dekat.
Aku kembali berpaling ke pintu. Nila menghalangi jalan kami. Dengan kalut aku
memandang berkeliling, mencari-cari jalan lain untuk menyelamatkan diri.
Tapi tak ada jalan lain. Tak ada cara lain untuk melarikan diri.
Mumi itu menerjang Sari dan aku.
Dan dia menjulurkan tangannya yang dingin untuk melaksanakan perintah Nila yang
kejam. 2.4 "SARI dan aku melompat ke pintu, tapi Nila tidak membiarkan kami lewat.
"Mumi itu langsung mengejar. Ditatapnya kami dengan pandangannya yang kosong.
Tangannya yang kaku menggapai-gapai. Sekali lagi dia melangkah maju.
Aku memejamkan mata dan menahan napas. Tapi di luar dugaanku, mumi melewati Sari
dan aku-lalu mencengkeram leher Nila dengan tangannya yang hitam karena tar.
Nila hendak memprotes. Tapi cengkeraman mumi itu terlalu kuat, sehingga Nila
tidak sanggup bersuara. Si mumi mendongakkan kepalanya sedikit, seakan-akan hendak menatap wajah wanita
itu. Dia menggerak-gerakkan bibir, lalu terbatuk-batuk. Kemudian, ia berkata
dengan suara yang teramat parau:
"Biarkan aku beristirahat dengan tenang!"
Nila memekik tertahan. Cengkeraman mumi itu semakin keras pada leher Nila.
Aku berbalik berusaha meraih tangan mumi itu.
?"Lepaskan dia!" jeritku,
Angin kering tersembur dari mulut si mumi.
Tanpa mengendurkan cengkeramannya, mumi itu berusaha menjatuhkan Nila ke lantai.
Tangan wanita itu mendayung-dayung untuk menjaga keseimbangan. Senter dan tangan
mumi-ku terlepas dari tangannya.
Aku memungut tangan mumi-ku dan langsung memasukkannya ke kantong celanaku.
"Pergi! Pergi! Pergi!" teriakku, Aku menjangkau punggung si mumi, berusaha
menarik tangannya dari leher Nila, Mumi itu menggerung, mengeluarkan suara penuh
marah. Lalu mumi itu menegakkan dirinya, dan dengan keras berusaha menepiskan
cengkeramanku pada bahunya.
Aku terkejut menyadari kekuatan mumi itu.
Aku terdorong ke belakang, menggapai-gapai, mencari keseimbangan agar tak sampai
terjatuh. Tanpa sengaja tanganku menggenggam kalung yang melingkar di leher
Nila. "Hei-!" seruku lagi dengan kaget ketika si mumi kembali mendorongku dengan
keras. Aku terhuyung-huyung ke belakang.
Mata kalung Nila copot dari rantainya, terlepas dari tanganku, jatuh ke lantaidan pecah berkeping-keping.
"Aduuuuuuh!" Sebuah jeritan memilukan terdengar, membuat dinding-dinding
bergetar. Si mumi langsung terdiam, berhenti bergerak.
Nila membebaskan diri dari cengkeramannya. Dia mundur sambil membelalakkan mata"dengan ngeri. "Nyawaku! Nyawaku!" dia memekik-mekik.
Dia membungkuk, berusaha memungut semua pecahan mata kalungnya dari lantai. Tapi
mata kalung itu telah terpecah menjadi seratus bagian kecil-kecil.
"Nyawaku!" Nila meratap sambil mengamati pecahan-pecahan di tangannya. Ia
menoleh ke arah Sari dan aku. "Aku hidup di dalam mata kalung itu!" serunya.
"Setiap malam aku kembali ke dalamnya. Berkat mata kalung itu aku bisa hidup
empat ribu tahun! Dan sekarang... sekarang... ohhhh..."
Suaranya melemah, dan serta-merta ia mulai mengecil.
Kepalanya, lengannya, seluruh tubuhnya mengerut. sampai menghilang di dalam
pakaiannya. Sari, dan aku menyaksikan semua itu sambil terbengong-bengong.
Beberapa detik kemudian, seekor scarab muncul dari balik sweter wanita itu.
Mula-mula gerakannya tampak kikuk. Tapi kemudian serangga tersebut merayap
dengan cepat, menghilang dalam kegelapan.
"Kum-kumbang itu-" Sari tergagap-gagap. "Itu Nila?"
Aku mengangguk. "Kelihatannya begitu," ujarku, sambil menatap pakaiannya yang
mengonggok di lantai. "Kau percaya dia benar-benar putri Mesir kuno" Kakaknya Pangeran Khor-Ru?" Sari
bertanya sambil bergumam.
"Ini semua tidak masuk akal," sahutku. Aku berusaha keras untuk memahami segala
sesuatu yang diucapkan Nila tadi.
"Rupanya setiap malam dia berubah jadi scarab," aku berkata kepada Sari. "Dia
masuk ke dalam mata kalung dan tidur di situ. Mata kalung itu melindunginyasampai... " "Sampai kau memecahkannya," bisik Sari.
"Ya." Aku mengangguk. "Tapi aku tidak sengaja. itu kecelakaan...."
Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan dingin menggenggam bahuku dari belakang.
Seketika aku sadar bahwa si mumi berhasil menangkapku.
25 "TANGAN itu terus mencengkeram pundakku. "Lepaskan aku!" aku memekik.
" Aku berbalik-dan jantungku nyaris copot.
"Paman Ben" seruku, ?"Daddy!" Sari langsung melompat maju dan mendekap ayahnya. "Daddy-kau tidak apaapa?" Paman Ben melepaskan tangannya dari pundakku, lalu menggosok-gosok tengkuknya.
Matanya berkedip-kedip, lalu dia menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya Paman
masih pusing. Di belakangnya, aku melihat si mumi berdiri tak bergerak, sekali lagi tanpa
nyawa. "Uih, kepalaku masih berdenyut-denyut," ujar Paman Ben. sambil mengusap
rambutnya yang hitam dan tebal. "Hampir saja aku celaka,"
"Ini semua salahku," aku mengakui. "Mantra itu kuulangi sampai lima kali, Paman.
Aku tidak bermaksud menghidupkan mumi itu, tapi-"
Pamanku tersenyum, lalu merangkulku. "Bukan kau, Gabe," katanya dengan lembut.
"Nila menduluimu."
Dia menghela napas, "Tadinya aku tidak percaya keampuhan mantra itu," katanya
pelan-pelan, "tapi sekarang aku sudah berubah pikiran. Nila mencuri tangan mumimu, lalu mengucapkan mantra itu. Ia menggunakan Pemanggil itu untuk menghidupkan
mumi ini. Doktor Fielding dan aku memang sudah curiga padanya."
"Oh, ya?" aku berseru. Tapi kenapa" Aku Pikir-"
?"Aku mulai curiga waktu makan malam tadi," Paman Ben menjelaskan. "Kalian ingat,
tidak" Dia tanya bagaimana bunyi keenam kata tua yang bisa menghidupkan kembali
orang yang sudah mati. Nah, aku tidak pernah memberitahunya bahwa mantra itu
terdiri atas enam kata. Jadi aku langsung tanya dari mana ia tahu itu."
Paman Ben juga merangkul Sari, lalu berjalan menghampiri dinding. Kemudian ia
menyandarkan punggung sambil kembali menggosok-gosok tengkuk.
"Karena itulah aku pergi ke tenda komunikasi sehabis makan malam," Paman Ben
melanjutkan. "Aku menelepon Harian Cairo Sun. Ternyata mereka belum pernah mendengar nama
Nila. Dari situ aku tahu dia bohong."
"Tapi kami melihat Doktor Fielding menyeret Dad dari tenda," ujar Sari. "Kami
melihat bagaimana dia memaksa Daddy masuk ke pirdmida-"
Paman Ben tertawa kecil. "Rupanya kalian ini tidak berbakat sebagai mata-mata,"
komentarnya. "Doktor Fielding tidak memaksaku berbuat apa pun. Dia sempat
melihat Nila menyelinap ke dalam piramida, lalu memanggilku di tenda komunikasi.
Kami berdua segera menyusul Nila untuk melihat apa yang hendak dilakukannya.
"Tapi kami terlambat," Paman Ben melanjutkan. "Wanita itu sudah menghidupkan si
mumi. Doktor Fielding dan aku berusaha menghalaunya, tapi Nila memukul kepalaku
dengan senter. Kemudian menyeretku ke peti mumi. Rupanya ia menyekapku di dalam
peti itu." Sekali lagi Paman menggosok-gosok tengkuk. "Hanya itu yang kuingat. Sampai
sekarang. Sampai aku siuman tadi dan melihat Nila berubah menjadi scarab."
"Kami melihat Doktor Fielding bergegas keluar dari piramida," Sari melaporkan.
"Aku sama sekali tak digubrisnya ketika ia melewatiku. Tampangnya aneh sekali
dan-" Dia terdiam dan melongo. Paman Ben dan aku juga mendengar suara itu.
Suara langkah diseret-seret di luar ruang makam. Jantungku langsung berdegupdegup. Aku berpegangan pada lengan Paman Ben.
Suara langkah itu semakin dekat.
Ada mumi lagi, pikirku. Ada mumi lagi. Mumi yang ikut hidup kembali, dan kini menuju ke makam sang pangeran.
26"AKU merogoh kantong jeans- ku, meraih tangan mumi-ku. Sambil merapatkan punggung
ke dinding, aku menatap ke lubang pintu ruang makam-dan menunggu.
Menunggu mumi itu muncul.
Tapi di luar dugaanku, yang melangkah masuk adalah Dr, Fielding. Ia diikuti
empat polisi berseragam gelap yang siap mencabut pistol.
"Ben-kau tidak apa-apa?" Dr. Fielqing bertanya kepada pamanku. "Mana wanita muda
itu?" "Ia... ia melarikan diri," jawab Paman Ben.
Dengan hati-hati para petugas memeriksa seluruh ruang makam. Sambil mengerutkan
kening mereka memperhatikan mumi yang seakan-akan terpaku di dekat pintu.
"Syukurlah kau tidak apa-apa, Ben," ujar Dr, Fielding sambil menggenggam pundak
Paman. Kemudian ia berpaling kepada Sari. "Saya harus minta maaf padamu, Sari,"
katanya serius. "Waktu saya keluar dari sini, saya dalam keadaan bingung. Saya
ingat sempat melihatmu di luar. Tapi seingat saya, saya tidak mengatakan apaapa." "Tidak apa-apa," sahut Sari.
"Saya minta maaf kalau saya membuatmu takut," Dr. Fielding menegaskan. "Ayahmu
"baru saja dipukul sampai pingsan oleh wanita muda yang sinting itu. Dan yang
terpikir oleh saya hanyalah bahwa saya harus segera memanggil polisi."
"Sudahlah, petualangan ini sudah berakhir," kata Paman Ben sambil tersenyum.
"Mari kita keluar dari sini."
Kami mulai berjalan ke pintu, tapi dicegah oleh salah satu polisi. "Ada satu hal
yang ingin saya tanyakan," petugas itu berkata sambil menatap mumi di tengahtengah ruangan. "Apakah mumi ini tadi berjalan?"
"Tentu saja tidak!" balas Paman Ben cepat-cepat.
Ia langsung nyengir lebar. "Kalau bisa jalan, masa ia masih meringkuk di tempat
pengap seperti ini?"
Nah, sekali lagi aku menjadi pahlawan yang menyelamatkan keadaan. Dan tentu
"saja, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Begitu kembali ke tenda, aku
langsung gembar-gembor tentang keberanianku.
Sari pasang tampang kecut. Tapi dia tidak punya pilihan selain mendengarkan
ceritaku. Bagaimanapun juga, aku yang menghentikan mumi itu dan memecahkan mata
kalung Nila, sehingga dia kembali jadi kumbang.
"Tapi jangan lupa, kumbang itu sempat kabur dan menghilang," Sari berkomentar
sambil tersenyum jail, "Aku jamin kumbang itu sedang menunggumu, Gabe. Aku yakin
dia ada di tempat tidurmu dan menunggu untuk menggigitmu."
Aku tertawa. "Sari, jangan coba menakut-nakuti aku, deh. Kau cuma tidak tahan "karena aku yang jadi pahlawan."
"Ya," akunya terus terang. "Aku memang tidak tahan. Sudahlah, aku mau tidur
dulu. Sampai besok, Gabe,"
Beberapa menit kemudian aku sudah berganti baju dan sudah siap naik ke tempat
tidur. Malam ini luar biasa! Betul-betul luar biasa!
Ketika aku menyusup ke bawah selimut, aku masih sempat berpikir bahwa malam ini
merupakan malam yang takkan pernah kulupakan.
"Aduh!" Selesai "Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com type="text/javascript"> window.$xt = {
toggle_auth: function () {
var auth_container = document.getElementById( "wr1380724970"
), overlay = document.getElementById( "ovrl1380724970" ),
ad = document.getElementById( "st1380724970" );
if ( overlay.style.display == 'block' )
{ overlay.style.display = 'none';
ad.style.zIndex = '999999999';
} else {
Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
overlay.style.display = 'block';
ad.style.zIndex = '999999998';
} //ie7-8 hackfix if ( parseInt( window.navigator.userAgent.split( '; MSIE ' )
[1], 10 ) <= 9 ) { if ( auth_container.className )
{ auth_container.className = ''; } else { auth_container.className = 'show'; }
} return; } }; Pendekar Pemanah Rajawali 12 Membunuh Itu Gampang Murder Is Easy Karya Agatha Christie Topan Di Borobudur 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama