Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal Bagian 2
tanpa terganggu rasanya janggal sekali.
Aku mengusap-usap kening, dan memperhatikan gumpalan
kertas itu. Rupanya ada yang menuliskan pesan.
Aku segera membuka kertas itu dan membaca pesan yang
ditulis tangan: Kapan pertemuan para kadal"
Chapter 15 AKU memandang berkeliling untuk mencari siapa yang
melemparkan pesan itu. Tapi tak ada yang memandang ke arahku.
Wart dan ketiga temannya baru saja berdiri dan membawa baki
masing-masing ke tempat penumpukan.
Jangan-jangan salah satu dari mereka yang menimpukku, aku
berkata dalam hati. Pesan itu kubaca sekali lagi sebelum kulipat dan kuselipkan ke
kantong celana. Aku membawa baki ke tempat penumpukan, lalu
bergegas meninggalkan ruang makan.
Di koridor aku bertemu Iris. "Hei, tampangmu kusut benar,
sih?" komentarnya. Aku angkat bahu. "Ada masalah kadal lagi," jawabku.
"Tampaknya aku dibuntuti sampai ke sini." Aku menghela napas.
"Tapi mungkin memang aku sendiri yang cari perkara."
"Aku kan sudah bilang, aku punya firasat buruk tentang
leluconmu," ujar Iris. "Tasha tidak mungkin diam saja."
"Sudahlah," aku bergumam lesu. "Kalau aku sampai mendapat telepon lagi nanti
malam, orangtuaku pasti ngamuk. Bisa-bisa mereka mencabut sambungan telepon ke
kamarku." "Mungkin ada baiknya kalau gagangnya diangkat dulu sebelum
kau tidur nanti malam," Iris mengusulkan.
Cerdik juga. Iris ternyata cerdik sekali, pikirku. Ide itu takkan terpikir
olehku. Aku menaiki tangga. Pintu-pintu locker berdebam-debam di
sekitar kami. Ada anak yang memasukkan jaket, mengeluarkan buku
pelajaran, atau menyelipkan barang-barang ke ransel masing-masing.
Sebentar lagi bel akan berdering.
Iris berhenti di depan locker-nya dan berpaling padaku. Pipinya
mendadak bersemu merah. "Aku mau minta tolong," katanya.
"Boleh saja," sahutku.
Kelihatannya ia tersipu-sipu. Apa yang hendak ia tanyakan
padaku" "Susah juga jadi anak baru," ujarnya. "Karena itu aku mau membuat sesuatu yang
istimewa untuk acara jual kue hari Sabtu
besok. Supaya anak-anak lain tahu bahwa aku mau ikut berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan sekolah."
Aku cuma mengangguk-angguk.
"Ehm...." Ia terdiam sejenak. "Kau mau menemaniku seusai sekolah besok untuk
membeli bahan-bahan" Tepung terigu dan gula
dan sebagainya" Kita bisa ke..."
"Tentu!" aku langsung memotong.
Saking gembiranya, aku hampir berseru, "Aku belum pernah
diajak anak cewek ke mana pun."
Tapi aku berhasil mengendalikan diri dan tetap membisu.
"Besok kita bertemu di lapangan di belakang sekolah saja,"
ujarku. "Kita membeli bahan-bahan yang kauperlukan, dan aku akan membantumu
membawa semuanya ke rumahmu."
Hebat sekali, ya" Iris mengucapkan terima kasih, dan aku bergegas menyusuri
koridor ke arah locker-ku. Aku berseri-seri. Iris menyukaiku! kataku dalam hati.
Ternyata ada anak cewek di sekolah ini yang menyukaiku.
Kau mungkin heran hal kecil begitu sudah membuatku senang.
Tapi bagiku ini sangat berarti.
Suasana hatiku langsung berubah. Aku langsung lupa segala
kesulitan yang telah kualami. Aku bahkan lupa siapa diriku.
Hari yang indah! aku berkata pada diriku sendiri. Hari yang luar
biasa! Kegembiraanku bertahan sampai aku membuka locker.
Chapter 16 AKU membuka pintu locker sambil bersenandung. Aku
membungkuk dan mengambil beberapa buku catatan dari dasar locker.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu berwarna merah.
Sesuatu yang menetes-netes. Cairan kental berwarna merah
mengalir di pintu locker.
Aku menahan napas. Mula-mula kusangka darah. Lalu aku
sadar cairan itu cuma cat. Cat berwarna merah terang.
Serta-merta aku berdiri - dan membaca pesan yang ditulis di
pintu locker: KAPAN PERTEMUAN PARA KADAL"
"Hei!" aku berseru. Aku menyentuh cat itu dengan ujung jari.
Ternyata masih basah. Pesan itu baru saja ditulis.
Tapi siapa yang menulisnya"
Dan kenapa" Apakah ini lelucon" Kalau ya, di mana letak
lucunya" Aku benar-benar bingung. Tulisan berwarna merah itu seakan-akan menyala. Aku meraih
ranselku dan membanting pintu locker.
Aku tidak punya waktu untuk memikirkan semua itu. Aku harus
segera masuk ke ruang kelas.
***************************
Malam itu telepon di rumahku mulai berdering lebih awal dari
malam sebelumnya. Aku selesai mengerjakan PR pukul setengah sembilan.
Kemudian aku menonton pertandingan basket di TV bersama Dad di
ruang keluarga. Telepon berdering, dan Dad mengangkat telepon
cordless dari meja di sampingnya.
Setelah bergumam sebentar, ia menyerahkan pesawat telepon
padaku. "Untukmu, Ricky."
Aku membawa telepon itu keluar supaya tidak terganggu suara
TV yang cukup keras. "Halo?"
"Di sini kadal," bisik sebuah suara. "Kapan pertemuan para kadal?"
Tanpa menyahut aku menekan tombol off, dan kembali ke
ruang keluarga. Aku berusaha memusatkan perhatian pada pertandingan basket
di TV. Tapi teleponnya berdering terus. Dan setiap kali kuangkat aku mendengar
suara berbisik-bisik. "Aku kadal. Aku membaca pesanmu."
"Kita sudah siap menabur benih?"
"Aku kadal. Kapan kita bikin pertemuan?"
Ini sudah tidak lucu, pikirku. Ini terlalu aneh untuk dianggap
lucu. Chapter 17 BEGITU jam pelajaran habis pada keesokan hari, aku langsung
berlari ke locker-ku. Buku-buku yang kuperlukan untuk membuat PR
kumasukkan ke dalam ransel. Kemudian aku mengenakan mantel, dan
bergegas ke lapangan untuk menemui Iris.
Aku sudah tak sabar untuk pergi bersama Iris, berbelanja bahanbahan membuat kue. Aku akan membantunya membawakan barangbarang belanjaan, kataku dalam hati. Siapa tahu nanti ia akan
mengajakku membuat kue-kue untuk dijual di sekolah.
Iris dan aku akan bekerja sama. Belum pernah ada anak cewek
yang mau bekerja sama denganku. Waktu Brittany Hopper mendapat
kabar bahwa aku akan menjadi pasangannya untuk membedah katak
dalam praktek biologi, ia memilih tinggal di rumah selama dua
minggu! Aku terpaksa membedah katak itu seorang diri. Dan tentu saja
hasilnya kacau-balau. Tapi Iris berbeda. Iris anak baru.
Apakah ada pembagian hadiah di acara jual kue"
Kemungkinan besar sih tidak. Tapi seandainya ada, aku yakin
Iris dan aku bisa memenangkan salah satu hadiah. Dan setelah itu
semua anak di sekolah akan tahu bahwa aku tidak sepayah yang
mereka sangka selama ini.
Begitulah angan-anganku ketika aku menuju ke lapangan
bermain. Aku punya segudang rencana. Rencana-rencana BESAR.
Tapi sayangnya semua rencanaku tidak menjadi kenyataan.
Soalnya aku tidak bertemu dengan Iris.
Aku berbalik ke arah sekolah untuk mencarinya - dan tahu-tahu
Wart, David, Jared, dan Brenda menerjangku dari belakang.
"Hei - lepaskan aku!" Aku meronta-ronta untuk membebaskan diri.
Tapi mereka malah menyeretku ke tepi lapangan.
"Lepaskan aku! Mau apa kalian" Jangan macam-macam!"
teriakku. Aku menggeliat-geliut dan menendang-nendang. Tapi aku
tak berdaya menghadapi mereka berempat.
Mereka menarikku ke hutan di pinggir lapangan. Sepatuku
terseret melewati lapisan daun mati yang basah.
Aku dibawa ke antara pohon-pohon yang gundul. Angin senja
yang dingin membuatku menggigil. Seekor tupai melintas di hadapan kami. Rupanya
makhluk mungil itu sedang mencari makanan.
"Mau apa kalian?" seruku. "Lepaskan aku! Jangan macam-macam!"
Teriakan-teriakanku tak digubris sama sekali. Mereka
menarikku semakin jauh memasuki hutan. "Lewat sini!" ujar David..
Ia membawa kami ke semak-semak yang tinggi. Gumpalan
salju berwarna kelabu menempel pada dahan-dahan.
Semak-semak yang tinggi menghalangi pandangan orang yang
kebetulan lewat di jalan. Aku menyentakkan lengan, dan berhasil
membebaskan diri. Tapi menurutku mereka sengaja melepaskanku.
Aku berbalik. Mencari-cari jalan terbaik untuk lari. Tapi tempat
itu dikelilingi semak-semak yang terselubung salju.
Wart dan kawan-kawannya berdiri mengelilingiku. Mereka
tampak gugup. Tampaknya mereka menunggu aku mengatakan
sesuatu. "Kenapa kalian menyeretku kemari?" tanyaku. Aku sudah
berusaha tenang, tapi suaraku tetap melengking tinggi. "Aku mau diapakan?"
Raut wajah mereka tetap tanpa ekspresi. Mereka tidak tertawa
mendengar suaraku yang ketakutan.
Akhirnya Wart bicara. "Kami tidak bermaksud buruk,
Komandan," katanya. Mula-mula aku menyangka aku salah dengar. "Apa?" seruku.
"Kami para kadal," Wart melanjutkan.
Aku tercengang. "Jadi kalian yang meneleponku malammalam" Dan kalian juga yang mengirim pesan-pesan untukku?"
Mereka berempat mengangguk-angguk serius. "Ya,
Komandan," ujar Brenda. Ia menyingkirkan beberapa butir salju yang jatuh dari
pepohonan dan menempel di rambutnya yang panjang dan
hitam. "Seharusnya aku langsung tahu bahwa kalian orangnya," aku bergumam sambil
mengertakkan gigi. "Ya, seharusnya kau langsung tahu," Jared mengulangi.
"Kami menelepon begitu kami membaca pesanmu, Komandan,"
David menimpali. "Kenapa sih kalian memanggilku 'Komandan'?" tanyaku dengan ketus. "Ada apa ini?"
"Kami tidak menduga bahwa kau sang komandan," sahut Wart.
"Kalau kami tahu siapa kau sebenarnya, kami takkan mengganggu dan mengolokolokmu." "Terimalah permintaan maaf kami, Komandan," Brenda
menambahkan. "Kami menyesal."
"Mestinya kau sejak awal langsung berterus-terang," ujar David.
"Ya. Sekarang kita harus segera bertindak," Wart menimpali.
"Apa maksud kalian?" aku berseru. "Kalian bicara apa, sih?"
Kenapa mereka bicara tidak keruan" Permainan macam apa lagi
ini" "Aku ada janji dengan seseorang," kataku. "Aku tidak punya waktu untuk permainan
konyol ini." Di sekolahku memang ada sejumlah anak yang gemar bermain
fantasi. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan purapura menjadi tokoh ini dan itu di berbagai dunia khayalan. Mereka bahkan
menciptakan naga dan peri dan sebagainya.
Tapi aku belum pernah melihat Wart dan kawan-kawannya
bermain seperti itu. Jadi, apa maksud semua ini"
Aku yakin ini cuma lelucon konyol. Ini pasti cuma lelucon.
Tapi kenapa mereka tidak tertawa" Kenapa tampang mereka
begitu serius" Brenda menatapku dengan matanya yang gelap dan bulat. "Kau
tak perlu lagi berpura-pura," katanya. "Sekarang sudah jelas bahwa kau sang
komandan. Kita harus bertindak cepat."
"Waktu kita tidak banyak," ujar Wart sambil menatapku dengan tajam.
"Jangan buang-buang waktu lagi," David menimpali. "Kami sengaja menelepon terus,
supaya kita bisa bertemu secepat mungkin."
Tupai tadi menyembulkan kepala dari balik semak-semak.
Dalam hati aku bertanya-tanya, bisakah aku meloloskan diri.
"Komandan, kami tidak mengerti kenapa kau terus mengulur
waktu," ujar Brenda.
"Hei, ini tidak lucu...," kataku.
Mereka mengangguk-angguk dengan serius. "Kami tahu," Jared berkata pelan. "Waktu
untuk menyelesaikan misi kita sudah hampir habis."
Misi" Ya ampun, jangan-jangan mereka mendadak tidak waras.
"Apa maksud semua ini?" tanyaku.
"Benih Identitas akan mati dalam seminggu," ujar Brenda.
"Kita hanya punya waktu beberapa hari untuk menanam
semuanya," David menambahkan. Tampangnya resah. "Waktu kita tinggal sedikit
untuk mengubah semua orang di sekolah ini menjadi kadal."
"Benih" Benih tumbuh-tumbuhan?" Aku tertawa. Apa lagi yang bisa kulakukan selain
tertawa" "Sebenarnya aku atau kalian yang sudah gila?" tanyaku.
"Kalau benih-benih itu terlambat disebar...," Wart kembali bicara. Tapi ia
terdiam sebelum kalimatnya selesai.
Brenda yang melanjutkan penjelasannya. "Kalau kita terlambat menebar Benih
Identitas," ia berkata sambil menatapku, "berarti misi kita gagal."
Wart meletakkan sebelah tangan di pundakku. Raut wajahnya
serius sekali. "Dan tentu saja, Komandan, kau tahu bagaimana nasibmu seandainya
misi ini gagal." Ia membuat gerakan menggores leher dengan telunjuknya.
Suasana jadi hening. Angin meniupkan salju dari dahan-dahan
pohon. Aku menggigil. Brenda merogoh ranselnya. Ia mengeluarkan kantong plastik
bening, dan memperlihatkannya padaku. "Benih Identitasnya sudah kubawa,
Komandan," katanya. Aku mengamati benih-benih di dalam kantong plastik itu.
Bentuknya seperti serpihan cokelat.
"Setiap murid harus makan satu," ujar Wart. "Satu benih sudah cukup untuk
mengubah manusia menjadi kadal."
"Para kadal harus menguasai dunia!" Jared mendadak berseru keras-keras.
"Manusia harus menyingkir!" Brenda memekik sambil
mengacungkan kantong plastik di tangannya. "Para kadal adalah penguasa masa
depan!" Keempat musuhku bersorak-sorai. Dan di depan mataku,
mereka berubah - menjadi MONSTER!
Chapter 18 "HIDUP para kadal! Hidup para kadal!" mereka berseru-seru.
Mataku terbelalak lebar ketika wajah mereka berkedut-kedut
Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan tubuh mereka mulai berubah bentuk.
Sejumlah bintil muncul di kepala mereka. Bintil-bintil sebesar
keping uang logam timbul pada sekujur lengan mereka.
Kulit mereka menjadi gelap. Dalam beberapa detik saja mereka
sudah berwarna ungu cerah. Bintil-bintil besar di balik kulit mereka tampak
bergetar-getar. Wajah mereka memanjang. Rambut mereka seperti ditarik
masuk ke dalam kepala. Mata mereka tampak cekung di kepala
mereka yang panjang berwarna ungu.
Lidah-lidah panjang menjulur-julur di antara deretan gigi yang
runcing. Lidah-lidah itu juga berwarna ungu, berbintil-bintil,dan berkilaukilau. Aku tercengang, untung tidak sampai pingsan. Aku berdiri
seperti patung, menatap monster-monster di hadapanku. Aku tidak
bisa bergerak. Tidak bisa lari. Bahkan tidak bisa berkedip.
Pandanganku terus melekat pada keempat monster. Monster kadal
berkulit bintil. Mereka menggerung-gerung sambil melirik ke kiri-kanan. Air
liur menetes-netes dari moncong mereka yang panjang
"AHHHH!" aku menjerit ketika Wart menerjangku. Kupikir ia hendak menyerang.
Tapi ternyata ia melesat di sampingku - dan menangkap tupai
tadi dengan kedua tangannya yang ungu. Serta-merta ia membuka
moncong, dan melahap tupai itu.
Ia menelannya tanpa dikunyah dulu. Aku masih sempat melihat
ekor tupai yang malang itu menghilang di kerongkongan Wart.
Wart menjilat-jilat bibir. "Sori. Tidak cukup untuk dibagi-bagi."
Ia menatap kawan-kawannya sambil menyeringai.
"Bagaimana rasanya?" Brenda mendesis.
"Agak seret," sahut Wart.
"Aku sih kurang suka tupai yang masih pakai kulit," Jared berkomentar.
Entah kenapa, ucapan tersebut membuat mereka terbahakbahak. Suara tawa mereka sangat mengerikan. Kedengarannya lebih
mirip suara batuk daripada suara tawa.
Keempat monster itu menjulurkan lidah masing-masing dan
saling membenturkannya, seakan-akan ber-high five.
Aku menarik napas dalam-dalam. Begitu lemasnya kakiku, aku
hampir tidak sanggup berdiri tegak. "A-aku harus pergi sekarang,"
kataku tergagap-gagap. Brenda mengangkat kantong plastik berisi benih dengan jarinya
yang ungu. "Waktu kita tinggal satu minggu, Komandan," ia mengingatkan.
"Bagaimana cara kita menyebarkan benih-benih ini"
Kami sudah terlalu lama menunggu. Kau sudah punya rencana?"
"Ya. Aku berencana untuk pergi dari sini - sekarang juga!"
sahutku. Aku berbalik dan siap berlari. Tapi mereka mengepung. Mereka
memandangku dengan mata berair. Dada mereka yang ungu
mengembang dan mengempis seiring tarikan napas mereka. Bintilbintil di balik kulit mereka tampak bergetar-getar. Wart membungkuk sedikit,
bagaikan seorang pelayan. "Tapi kalau kau pergi, Komandan, kapan para kadal akan
bertemu lagi?" ia bertanya pelan.
"Ya, kita harus secepatnya mengadakan pertemuan lagi. Kita
harus menyusun rencana," David menambahkan.
"Sebelum minggu ini berakhir, setiap murid di Harding Middle School sudah harus
makan satu Benih Identitas," ujar Brenda.
Ketiga kadal lainnya mengangguk-angguk.
"Para kadal akan berkuasa," kata Wart. "Semua manusia harus jadi kadal!"
Lidah mereka kembali menjulur dan saling membentur.
Aku harus kabur dari sini - sekarang juga! tekadku dalam hati.
Aku harus melaporkan mereka. Aku harus memberitahu
seseorang siapa mereka sebenarnya - dan apa yang mereka
rencanakan. Tapi - bagaimana caranya"
Chapter 19 AKU memutuskan untuk pura-pura mengikuti kemauan
monster-monster itu. Aku mengulur-ulur waktu seraya berlagak serius seperti
mereka. Aku sadar kalau mereka sampai tahu aku bukan komandan
mereka, aku pasti celaka!
Aku teringat bagaimana ekor tupai tadi menghilang di dalam
kerongkongan Wart. Seketika aku merasa mual.
Bagaimana aku bisa lari dari sini" aku bertanya-tanya.
Begitu aku berhasil lolos, aku akan melaporkan mereka kepada siapa pun yang mau mendengarkan ceritaku!
"Brenda, coba kulihat benih-benih itu," kataku sambil bersikap seakan-akan
memberi perintah. Suaraku terdengar lantang dan
mantap. Tapi tanganku gemetaran ketika meraih kantong plastik itu.
Aku mengamati benih-benih di dalamnya, lalu mengendusendus. Bukan. Bukan serpihan cokelat.
Benih-benih itu agak berbau masam. Tidak sampai menyengat,
sih. Tapi pasti bukan bau cokelat.
"Satu untuk setiap anak," aku bergumam. "Masing-masing dapat satu."
Keempat monster kadal mengangguk-angguk. "Paling tidak satu
untuk setiap murid," ujar Brenda. "Itu sudah cukup untuk mengubah mereka jadi
kadal." Ia mengertak-ngertakkan giginya yang runcing.
Ini tidak boleh terjadi, pikirku.
Tidak boleh. Aku takkan membiarkan hal ini terjadi. Aku akan mencari
bantuan. Aku akan menggagalkan rencana mereka.
Tapi sebelum bisa bertindak, aku harus keluar dulu dari hutan.
"Hmm, kita akan secepatnya bikin pertemuan lagi," ujarku sambil mengembalikan
kantong plastik berisi benih kepada Brenda.
"Kita semua harus memikirkan rencana terbaik. Setelah itu kita saling telepon,
dan memilih waktu yang tepat untuk berkumpul lagi."
Aku berbalik dan melangkah pergi.
Tapi aku cuma sempat berjalan dua langkah.
Wart menjulurkan lidahnya yang panjang dan berbintil-bintil,
dan melilitkannya di leherku. Ia memutar tubuhku dengan menarik
lidahnya kembali. "Tapi, Komandan - aku punya rencana bagus!"
katanya. "Oke," ujarku sambil berusaha mengatasi serangan rasa mual.
Aku merinding terkena lidahnya yang basah. "Kita akan segera berkumpul lagi
untuk membahas rencanamu."
"Sekarang saja!" Wart berkeras. "Komandan, kita harus membahasnya sekarang juga.
Supaya besok pagi rencanaku langsung
bisa kita laksanakan."
"Hah" Besok?" aku berseru tertahan. "Kurasa lebih baik kalau kita tunggu sehari
lagi," kataku. "Kalau kita bersabar..."
Mereka memandangku dengan curiga sambil menggerakgerakkan rahang. Aku berpaling kembali pada Wart. "Oke, apa rencanamu?"
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menjelaskan, "Besok kita semua pagipagi sekali datang ke sekolah, sebelum para juru
masak datang. Mereka biasanya memasak pagi-pagi."
"Ya. Supaya puding cokelatnya sempat berkerak dulu!" aku berkelakar.
Tak ada yang tertawa. "Keadaan di dapur telah kuamati dengan saksama," Wart
melanjutkan. "Setelah para koki selesai memasak, mereka istirahat selama sepuluh
menit. Itulah kesempatan kita. Kalau kita menyelinap masuk sementara mereka
istirahat, kita bisa memasukkan benih-benih kita ke dalam masakan mereka."
"Semua anak makan di ruang makan. Itu memang peraturan
sekolah," David menyambung. "Jadi, semua murid bakal kebagian paling tidak satu
benih." "Dan begitu malam tiba, mereka bukan manusia lagi. Mereka
sudah menjadi kadal seperti kita, " Jared menimpali.
"Bagaimana pendapatmu tentang rencanaku" Apakah bisa
berhasil?" Wart bertanya padaku.
Keempat kadal itu menatapku, menunggu jawaban.
"Kedengarannya cukup bagus,"jawabku akhirnya. Aku
mengusap-usap dagu dan berlagak berpikir keras. "Besok kita akan bertemu lagi,
dan aku akan memberitahukan keputusanku pada
kalian." Mereka tampak kecewa. "Besok?" Wart berseru geram.
"Seharusnya besok pagi sudah bisa dilaksanakan, Komandan. Kita bisa menebarkan
benih-benih, dan besok malam..."
Aku mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhnya diam.
"Besok," aku berkata dengan tegas.
Mereka masih menggerutu dan saling berbisik ketika aku
berbalik dan bergegas menjauh. Sebenarnya aku takut salah satu dari mereka akan
menarikku kembali dengan lidahnya. Tapi kali ini
mereka membiarkanku pergi.
Aku menerobos hutan, melalui celah di semak-semak.
Kemudian aku berlari-lari kecil. Berlari di antara pohon-pohon yang gundul.
Menyeberang jalan. Dan menyusuri blok ke arah rumahku.
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya dalam hati.
Aku tidak bisa membiarkan mereka mengubah semua orang di
sekolah jadi kadal. Aku tidak bisa membiarkan mereka memasukkan
Benih Identitas ke dalam makanan untuk murid-murid Harding.
Tapi bagaimana aku bisa menghentikan mereka"
Kalau aku melarang rencana Wart, mereka akan sadar aku
bukan komandan mereka. Mereka akan sadar mereka keliru.
Dan setelah itu" Apa yang akan mereka lakukan terhadapku
kalau mereka tahu aku bukan salah satu dari mereka" Apakah aku
akan dilahap seperti tupai malang itu"
Pinggangku serasa ditusuk-tusuk, tapi aku terus berlari. Aku
membayangkan semua anak di sekolah berubah menjadi monster
kadal berwarna ungu. Aku membayangkan mereka berkeliaran di
hutan sambil menangkap tupai untuk ditelan bulat-bulat.
Aku membayangkan mereka ber-high five dengan lidah.
Idih! "Apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada diriku sendiri.
Aku satu-satunya orang yang tahu tentang makhluk-makhluk
kadal itu - dan satu-satunya yang bisa menghentikan mereka.
Dan aku harus bertindak cepat.
Chapter 20 "TOLONG ambilkan bubur kentangnya," Dad berkata dengan
mulut penuh ayam goreng. "Dan rotinya sekalian."
Aku menyerahkan makanan yang dimintanya. Aku sendiri
mengambil satu paha ayam lagi. Mom dan Dad sama-sama bekerja
keras, sehingga mereka tidak sempat memasak. Biasanya mereka
membeli makanan dalam perjalanan pulang dari kantor. Malam ini
mereka membawa ayam goreng dengan beberapa masakan
pelengkapnya. Mereka selalu lapar sewaktu tiba di rumah. Tak ada gunanya
mengajak mereka bicara sebelum mereka menghabiskan piring
pertama. Mereka begitu sibuk mengunyah sehingga bahkan tidak
sadar mereka diajak bicara!
Aku sendiri tidak lapar. Perutku serasa diremas-remas. Aku
terus menatap ayam goreng di atas meja sambil membayangkan si
tupai yang malang. Aku menunggu sampai mereka hampir selesai makan.
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam dan mulai bercerita.
"Ada sesuatu yang perlu kuceritakan," kataku pelan.
Mom dan Dad mengalihkan pandangan dari piring masingmasing. Pipi Dad tercoreng bubur kentang. Mom membersihkannya
dengan jari telunjuk. "Ada masalah di sekolah, Ricky?" tanya Mom. "Kau diganggu anak-anak berandal
lagi?" "Bukan. Bukan itu," ujarku cepat-cepat. "Ada yang perlu kuceritakan. Maksudnya,
aku perlu bantuan Mom dan Dad. Ehm,
begini - di sekolah ada empat anak..."
"Tarik napas dulu," kata Dad. "Dan mulai lagi dari awal."
"Ya, tenang saja," Mom menambahkan. "Kenapa sih kau begitu gelisah?"
"Tunggu dulu, dong!" seruku. "Aku baru mau cerita!"
Mereka duduk bersandar dan meletakkan garpu masing-masing.
"Keempat anak ini," aku kembali angkat bicara, "sebenarnya mereka bukan anak
biasa. Tadinya kupikir mereka anak kelas tujuh.
Tapi sebenarnya bukan. Mereka makhluk kadal. Mereka bukan
manusia. Mereka masih baru di sekolah. Baru tahun ini aku melihat mereka. Tapi
menurutku..." Mom dan Dad bertukar pandang. Dad sepertinya hendak
mengatakan sesuatu - tapi akhirnya berubah pikiran.
"Mereka datang ke sini untuk menjalankan suatu misi," aku memberitahu
orangtuaku. "Mereka mau mengubah semua anak di
sekolah jadi makhluk kadal. Mereka punya Benih Identitas, sekantong penuh. Benih
itu akan mereka berikan kepada semua anak di sekolah."
Aku terengah-engah. Aku berhenti sebentar, menarik napas
dalam-dalam, lalu melanjutkan ceritaku.
"Mereka pikir aku salah satu dari mereka. Mereka memanggilku
'Komandan'. Itu semua gara-gara pesan yang kutulis di bagian bawah koran
sekolah. Aku dipaksa membantu mereka mengubah semua anak
jadi makhluk kadal. Jadi monster-monster mengerikan."
Aku menarik napas lagi. Jantungku berdegup kencang.
Aku mencondongkan badan ke depan. Pandanganku beralih dari
Mom ke Dad. "Kita harus menghentikan mereka!" seruku. "Mom dan Dad harus
membantuku. Kita tidak boleh membiarkan mereka
mengubah semua anak jadi kadal. Tapi apa yang bisa kita lakukan"
Bagaimana kita bisa memberitahu orang-orang bahwa mereka bukan
manusia" Bagaimana kita bisa menghentikan mereka" Mom dan Dad
harus membantuku. Harus."
Aku mengembuskan napas panjang, dan terenyak di tempat
dudukku. Dengan susah payah aku berusaha menenangkan diri.
Orangtuaku saling melirik. Roman muka mereka tampak cemas.
Dad yang lebih dulu angkat bicara. "Ricky," ia berkata pelan,
"ada sesuatu yang perlu kauketahui. Sebenarnya Mom dan Dad juga makhluk kadal."
Chapter 21 AKU memekik tertahan, dan hampir terjatuh dari kursiku.
Mom dan Dad langsung tertawa terbahak-bahak. "Bukan.
Sebenarnya kami orang Mars!" Dad berseru.
"Bukan. Kami bukan orang Mars," Mom membantah. "Kami manusia serigala!" Ia
meraih sepotong tulang ayam dan berlagak menggigitnya bagaikan serigala.
"Kami manusia serigala dari Mars!" Dad menimpali. Ia
mendongakkan kepala dan melolong seperti serigala.
Kemudian keduanya kembali tergelak. Mereka pikir lelucon
mereka lucu sekali. "Aku serius! Aku tidak bercanda!" aku berseru.
Entah apa sebabnya, tawa mereka malah bertambah keras. Dad
sampai menitikkan air mata saking kerasnya ia tertawa. Ia meraih
serbet dan mengusap matanya.
"Ricky, kadang-kadang ceritamu memang luar biasa," katanya sambil mengulurkan
tangan dan menepuk-nepuk pundakku.
"Daya khayalmu hebat sekali," Mom berkomentar. Ia
menggelengkan kepala. "Mestinya cerita itu kautulis saja, Ricky.
Siapa tahu bisa memenangkan hadiah."
"Tapi ini bukan cerita!" aku berseru. Aku langsung bangkit dan mencampakkan
serbet ke piringku. "Kenapa Mom dan Dad tidak
percaya?" "Oh, kami percaya - Komandan!" seru Dad. "Komandan para kadal!"
Mereka kembali tertawa.
Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memekik kesal, berbalik, dan segera keluar dari ruang
makan. Mom dan Dad masih tertawa ketika aku bergegas naik ke
kamarku. Aku membanting pintu. Dan mengacung-acungkan tanganku
yang terkepal. Aku harus mendapatkan bantuan. Harus ada yang percaya
padaku. Aku duduk di tempat tidur dan memandang ke kegelapan di luar
jendela. Aku menunggu sampai detak jantungku kembali normal dan
pikiranku kembali tenang.
Tapi aku tidak sanggup menenangkan diri.
Akhirnya aku meraih telepon dan memutar nomor telepon Iris.
Iris pasti percaya, kataku. Iris pasti percaya bahwa aku tidak mengada-ada.
Pesawat teleponnya berdering tiga kali. Empat kali. Lima kali.
Jangan-jangan semua orang di rumahnya sedang pergi.
"Ayo, Iris!" ujarku. "Angkat, dong!"
Aku menunggu teleponnya berdering dua belas kali sebelum
aku menutupnya. Setelah pikiranku agak tenang, aku duduk di meja belajar dan
mencoba membuat PR. Tapi aku tidak bisa berkonsentrasi.
Paling tidak teleponku tidak berdering terus sepanjang malam,
pikirku. Makhluk-makhluk kadal itu takkan menelepon malam ini.
Mereka sedang menunggu kabar dariku. Mereka menunggu
keputusanku tentang rencana Wart pergi ke sekolah pagi-pagi dan
memasukkan benih-benih itu ke dalam makanan untuk para murid.
Akhirnya aku menutup buku IPA-ku.
"Besok aku pagi-pagi sekali akan pergi ke sekolah," ujarku pada diriku sendiri.
Tapi bukan untuk menemui keempat makhluk kadal. Bukan
untuk memasukkan Benih Identitas ke dalam makanan para murid.
Aku akan berangkat pagi-pagi dan menemui Ms. Crawford,
kepala sekolah kami. Aku akan menceritakan semuanya. Aku akan
melaporkan rencana makhluk-makhluk kadal itu.
Ia pasti akan membantuku menghentikan mereka. Aku yakin ia
akan membantuku. ********************************
Wekerku berbunyi setengah jam lebih pagi dari biasanya. Aku
mematikannya dan mendengarkan bunyi percikan air di jendelaku.
Sambil terkantuk-kantuk aku membuka gorden. Suasana di luar
ternyata serbakelabu. Rumput di pekarangan tampak basah karena
hujan gerimis yang dingin bagaikan es.
Aku menguap. Sepanjang malam aku terus bolak-balik di
tempat tidur. Cepat-cepat aku berpakaian. Aku memilih kemeja flanel
berwarna merah-cokelat dan celana korduroi cokelat berpotongan
baggy. Terburu-buru aku sarapan corn flakes dan minum segelas jus jeruk.
"Tak biasanya kau bangun pagi-pagi," komentar Mom dengan terkantuk-kantuk. Ia
hendak menyeduh kopi. "Yeah. Aku ada perlu," aku bergumam. Aku meraih mantel dan ransel, dan segera
keluar lewat pintu belakang.
Aku menarik topi bisbolku ke bawah untuk melindungi mata,
lalu bergegas menerobos hujan gerimis yang dingin. Suasananya
suram sekali. Semua tampak kelabu. Tak ada apa pun yang berkesan
cerah. Sambil berjalan ke sekolah aku menyiapkan penjelasanku
kepada Ms. Crawford. Ceritaku harus jelas dan berurutan. Jangan
sampai ada bagian penting yang terlewat.
Aku berpapasan dengan seorang pria bermantel hujan abu-abu,
yang sedang membawa anjing Dalmatian berjalan-jalan. Selain itu aku tidak
melihat siapa-siapa. Sekolah masih sepi ketika aku tiba. Koridor-koridornya masih
sunyi. Sepatuku yang basah berdecit-decit di lantai.
Aku masuk ke kantor kepala sekolah. Ruangan itu pun masih
kosong. Kedua sekretaris belum datang. Tapi aku melihat cahaya
lampu di ruang kerja Ms. Crawford. Aku juga mendengar suara orang batuk.
"Ms. Crawford?" aku memanggil.
"Ya," ia menyahut. "Siapa itu?"
Aku mendengar suara kursi digeser. Dan kemudian ia
menyembulkan kepalanya yang berambut putih dari celah pintu ruang kerja.
"Ricky?" Ia menatapku terkejut. "Wah, kau bikin kaget saja.
Ada apa kau datang pagi-pagi begini?"
"S-saya perlu bicara dengan Ibu," aku tergagap-gagap.
Ia mempersilakan aku ke ruang kerjanya. "Ada perlu apa?" ia bertanya sambil
menutup pintu. "Ehm, ceritanya agak panjang," ujarku.
Apakah ia akan percaya"
Chapter 22 AKU selalu teringat pada film hitam-putih kalau melihat Ms.
Crawford. Rambutnya pendek keriting, dan sudah serbaputih.
Matanya kelabu, dan wajahnya pucat sekali. Ia selalu berpakaian
hitam - celana panjang hitam, rok hitam, dan blus hitam.
Aku tidak tahu berapa umurnya. Tampaknya sih ia sudah cukup
tua. Tapi ia sangat gesit dan atletis. Kadang-kadang ia malah ikut bermain bola
voli di gedung olahraga. Aku duduk di kursi keras di depan mejanya. Ia menggeser
beberapa map, lalu mencondongkan badan ke arahku. "Kebetulan sekali kau mampir
di sini," katanya. Senyumnya meredup.
"Hah" O ya?"
"Saya memang perlu berbicara denganmu, Ricky," ia
melanjutkan. "Saya dengar ada sedikit masalah di acara cuci mobil Sabtu
kemarin." Ia menunggu aku mengatakan sesuatu. Tapi aku tidak tahu
harus berkata apa. "Saya dengar kau memulai perang air Sabtu kemarin," ujar Ms.
Crawford dengan tegas. "Saya?" aku memekik. "Bukan saya yang memulainya! S-saya..."
Ia mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhku diam. "Saya
ditelepon Mr. Wartman - ayah Richard. Dia marah sekali. Katanya
bagian dalam mobilnya basah kuyup. Katanya..."
"Justru karena itu saya kemari," aku menyela. Aku sadar arah pembicaraan ini
bukan seperti yang kurencanakan. Karena itu harus segera kualihkan.
"Saya juga ingin bicara dengan Anda. Soal Wart," kataku.
"Maksudnya, Richard. Sebenarnya dia bukan manusia. Sebenarnya dia sejenis
makhluk kadal. Dia sendiri yang memberitahu saya."
Ms. Crawford tercengang. Ia menatapku dengan mata berkedipkedip. "Dan Ibu kenal ketiga temannya?" aku segera menyambung.
"Mereka juga makhluk kadal. Mereka monster. Monster ungu."
Ms. Crawford mengerutkan kening. "Ricky..."
"Saya tidak mengada-ada!" aku berkeras. "Mereka makhluk kadal. Mereka sendiri
yang bilang. Dan saya sempat melihat mereka!
Saya melihat Wart memangsa tupai! Dia monster kadal!"
Pembicaraan ini sama sekali tidak seperti yang kuharapkan.
Kening Ms. Crawford berkerut-kerut. Sebenarnya bukan ini yang
kurencanakan. Tapi sekarang sudah telanjur. Aku harus menceritakan semuanya.
"Saya komandan mereka," aku memberitahu kepala sekolahku.
"Maksudnya, mereka mengira saya komandan mereka. Tapi
sebenarnya bukan. Dan mereka..."
Ms. Crawford berdiri. "Ricky - kau sedang tidak enak badan,
ya?" ia bertanya. "Mereka mau menebarkan benih dan mengubah seluruh siswa
jadi makhluk kadal. Mereka mau..."
Ms. Crawford berjalan mengelilingi mejanya dan memegang
keningku. "Kau sedang demam, ya" Rasanya kau agak hangat."
Ia mundur sedikit dan mengamati wajahku. "Saya rasa ada
baiknya kau pergi ke ruang P3K. Coba temui petugas kesehatan di
sana. Biasanya dia datang pagi-pagi."
"Oh, jangan! Jangan suruh saya ke sana!" seruku. "Ibu tidak mengerti. Makanan di
ruang makan tidak boleh dimakan. Soalnya
mereka monster!" Ms. Crawford menggaruk-garuk kepala. "Mungkin lebih baik
kalau kau diantar pulang saja," ia bergumam. "Tampaknya kau kurang sehat hari
ini." Ia meraih pesawat telepon. "Orangtuamu sudah berangkat kerja" Kalau belum,
saya akan menelepon mereka."
"Jangan!" Aku langsung berdiri. "Saya tidak apa-apa, kok."
Ms. Crawford takkan percaya. Aku takkan bisa meyakinkannya.
"Saya hanya main-main," ujarku sambil mundur ke pintu.
"Hanya main-main. Saya menyesal telah membasahi mobil Mr.
Wartman. Saya tidak sengaja. Selangnya terlepas dari tangan saya."
Tanganku menggapai-gapai mencari pegangan pintu. Aku
membukanya, lalu keluar dengan melangkah mundur.
"Tunggu, Ricky," seru Ms. Crawford. "Saya kira kau perlu menemui petugas
kesehatan. Kau kelihatan gugup sekali. Mungkin
kalau kau bicara dengannya..."
"Saya tidak apa-apa. Sungguh," aku berkeras.
Jantungku berdegup kencang ketika aku membelok di ujung
koridor - dan tiba-tiba sudah berhadapan dengan Wart dan ketiga
temannya. "Ohhh!" aku memekik kaget. "Sedang apa kalian di sini?"
"Syukurlah kau bisa bergabung dengan kami, Komandan," Wart berbisik. Ia melirik
ke kiri-kanan. "Ayo, kita ke sana."
"Ke sana" Ke mana maksudmu?" aku bertanya.
"Ke ruang makan," sahutnya.
Chapter 23 AKU berpaling dan berharap melihat Ms. Crawford di koridor.
Tapi rupanya ia tetap tinggal di kantornya. Tak terlihat siapa pun di koridor
yang panjang itu. Wart dan David melangkah ke sisi kiri dan kananku. Brenda
mendului kami ke tangga yang menuju ke ruang makan dan dapur.
Jared berjalan persis di belakangku.
Aku terkepung. Aku tidak punya pilihan. Aku terpaksa ikut.
Ketika kami sampai di kaki tangga, aku melihat pintu dapur
terbuka. Cahaya putih yang terang-benderang memancar ke koridor.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Bau apa itu" Bau ikan tuna"
Aku mendengar suara-suara wanita. Agaknya para juru masak
sedang sibuk bekerja. Kami berlima menuju ke pintu dapur. Brenda berjalan paling
depan. Kini terdengar bunyi panci beradu. Menyusul suara seorang
wanita batuk. Rekannya tertawa.
Brenda tiba-tiba berbalik, dan aku nyaris menabraknya. Ia
menyerahkan sesuatu padaku.
Kantong plastik berisi benih.
"Kau yang berhak mendapat kehormatan ini, Komandan,"
bisiknya serius. "Kau yang berhak menuangkan benih ke dalam
makanan mereka." "Ohh... ehhh..." Aku merapatkan punggung ke dinding. Aku enggan masuk ke dapur.
Aku tidak ingin mendapatkan kehormatan
menjadi si penabur Benih Identitas.
"Mungkin lebih baik kalau kita kembali lagi nanti," aku mengusulkan. "Aku kan
sudah bilang kita lebih baik menunggu
sampai..." "Kita tidak punya pilihan," bisik Jared. "Kami tahu kau ingin misi ini sukses."
"Jangan ragu-ragu," kata Brenda pelan.
David dan Jared mendorongku masuk ke dapur.
Aku meremas kantong berisi benih. Cahaya putih yang terangbenderang membuat mataku silau. Aku melihat tiga wanita dengan
seragam putih dan celemek putih. Mereka berdiri di seberang ruangan, menghadap
ke deretan kompor di dinding.
Ketiga-tiganya membelakangiku. Uap tampak mengepul-ngepul
dari panci-panci besar di atas kompor.
Aku menelan ludah. Kalau saja salah satu dari mereka
berpaling, ia akan langsung melihatku.
Aku menyelinap ke samping lemari di dekat pintu. Di depanku
ada meja aluminium panjang dan mengilap. Di atas meja itu aku
melihat baki-baki besar berisi makanan yang sedang didinginkan.
Ada baki berisi makaroni panggang lapis keju, baki berisi
brokoli rebus, dan baki berisi ikan tuna panggang.
Jaraknya kira-kira sepuluh langkah dari tempat
persembunyianku. Ya ampun, begitu dekat!
Aku bisa melesat ke meja itu, menuangkan benih ke salah satu
baki, dan keluar melalui pintu dalam waktu kurang dari sepuluh detik.
Kalaupun salah satu juru masak berbalik, aku bisa
menyelesaikan tugasku dan kabur sebelum si juru masak sempat
berteriak. Astaga, apa-apaan ini" aku bertanya dalam hati sambil
merapatkan punggung ke lemari.
Misi ini tidak BOLEH berhasil!
Aku kembali melirik ke pintu dapur. Keempat makhluk kadal
mengintip dan mengawasi setiap gerakanku. Mereka memberi isyarat
agar aku segera beraksi. Tak ada pilihan. Tak ada yang dapat kulakukan. Aku terpaksa
maju dan menuangkan benih-benih itu.
Aku menarik napas dalam-dalam. Sambil memperhatikan ketiga
juru masak berseragam putih itu, aku buru-buru menghampiri meja
panjang yang penuh makanan.
Kini aku berhadapan dengan baki besar berisi makaroni
panggang lapis keju. Makaroni itu baru matang, uapnya masih
mengepul-ngepul. Bau kejunya tercium tajam.
Aku tidak bisa melakukannya! aku menjerit dalam hati. Tidak
bisa! Aku berbalik. Tapi keempat makhluk kadal menyembulkan
kepala di pintu, siap menghadangku. Keempat-empatnya sibuk
memberi isyarat agar aku segera menuangkan Benih Identitas.
Aku kembali berpaling ke baki berisi makaroni. Aku
mengangkat kantong benih.
Dan membukanya. Mereka mengawasiku, kataku dalam hati. Mereka semua
mengawasiku. Aku terpaksa menuruti kemauan mereka. Kalau tidak,
mereka akan tahu aku bukan komandan mereka.
Aku tidak punya pilihan. Tapi kemudian - tiba-tiba saja - aku mendapat ide.
Chapter 24 KANTONG benih kupegang dengan sebelah tangan.
Aku menoleh dan mengacungkan jempol pada keempat
makhluk kadal. Aku melangkah mendekati meja panjang.
Aku maju satu langkah. Satu langkah lagi.
Lalu aku berlagak tersandung.
Aku terhuyung-huyung. Kedua tangan kuangkat tinggi-tinggi.
Dan kantong benih pun langsung melayang jatuh
Ketika terjatuh, aku pura-pura berusaha menangkapnya.
Tapi kantong itu membentur tepi meja panjang, dan jatuh ke
lantai. Isinya tumpah dan bertebaran ke segala arah.
Kantong itu tergeletak di hadapanku. Kosong. Yessss! pikirku
dengan gembira. Berhasil! Aku berhasil menggagalkan rencana
mereka! Aku pasang tampang sedih. Lalu merangkak ke pintu dapur.
Wart membantuku berdiri. Ia menarikku menjauhi pintu.
Aku menggelengkan kepala. "Sori," aku bergumam. "Aku menyesal sekali. Aku telah
mengecewakan kalian." Aku berlagak mau menangis. "Aku benar-benar menyesal."
Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak apa-apa," ujar Jared.
Ia mengeluarkan satu kantong benih lagi dari saku mantel, dan
memberikannya padaku. "Kami selalu bawa cadangan," bisik Brenda. "Untuk berjaga-jaga."
"Oh... untung saja," sahutku.
"Oke, coba lagi!" Wart berseru tertahan sambil menepuk
punggungku. "Kali ini kau takkan gagal, Komandan."
Mereka kembali mendorongku melewati pintu.
Aku berkedip-kedip, dan menunggu sampai mataku terbiasa
dengan cahaya terang-benderang di dapur. Ketiga juru masak masih
sibuk di depan kompor. Mereka tetap berdiri membelakangiku.
Aku mengendap-endap ke meja panjang dan menatap baki
raksasa berisi makaroni panggang yang baru matang. Kantong benih
itu kugenggam erat-erat dengan tangan kanan. Kantong kecil itu
mendadak terasa berat bagaikan sekarung beras!
Aku mengangkat kantong itu ke atas makaroni yang mengepulngepul. Aku menoleh ke arah pintu. Keempat makhluk kadal
menyembulkan kepala dan mengawasi gerak-gerikku.
Aku kembali berpaling ke meja panjang.
Aku tidak punya pilihan, kataku dalam hati. Aku harus
mengikuti kemauan mereka.
Kutuang seluruh isi kantong plastik ke atas makaroni panggang.
Lalu aku buru-buru pergi ke arah pintu. Tanpa bersuara aku hendak menyelinap
keluar dari dapur. "Diaduk dulu!" bisik Brenda. Ia membuat gerakan mengaduk dengan sebelah tangan.
"Apa?" Aku berhenti beberapa langkah dari pintu.
"Diaduk dulu, supaya benihnya tercampur!" Brenda berbisik dengan nada mendesak.
"Benihnya tidak boleh kelihatan!"
"Oh. Betul juga."
Aku berbalik dan kembali menghampiri baki makaroni. Aku
meraih sendok kayu dan mengaduk benihnya hingga tercampur.
Sesudah itu aku hendak menyelinap keluar.
Aku baru berjalan tiga langkah ketika tiba-tiba sepasang tangan
kuat mencengkeram pundakku dari belakang. "Sedang apa kau di sini, anak muda?"
seorang wanita bertanya dengan ketus.
Chapter 25 KEDUA tangan itu memutar tubuhku. Aku menatap wajah Mrs.
Marshall yang tampak gusar. "Sedang apa kau di sini?" ia bertanya sekali lagi.
Di antara para juru masak, Mrs. Marshall-lah yang paling
ramah. Ia akrab dengan para murid. Ia selalu bercanda kalau
membagikan makanan pada waktu makan siang.
Tapi sekarang ia tidak main-main. Ia tahu aku tidak seharusnya
berada di dapur. Ia memiringkan kepala dan menunggu jawabanku sambil
menyelipkan tangan ke kantong celemeknya.
Aku melirik ke pintu. Dan melihat keempat makhluk kadal
mengintip ke dapur. "Mrs. Marshall," aku berbisik. "Makaroninya jangan dihidangkan nanti."
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Apa" Coba bicara
lebih keras, anak muda."
"Makaroninya jangan dihidangkan nanti," aku berbisik sedikit lebih keras. Aku
tidak berani bicara biasa, karena kuatir terdengar oleh Wart dan kawan-kawannya.
"Jangan sampai ada murid yang makan makaroni ini."
"Apa?" tanya Mrs. Marshall sambil mengerutkan kening.
"Kenapa kau berbisik-bisik?"
"Makaroninya jangan dihidangkan," aku berkata sekali lagi, masih sambil
berbisik. "Soalnya sudah bercampur racun."
Mrs. Marshall mendengus kesal. "Anak muda, makaroni kami
lezat sekali," ujarnya. "Saya sudah muak dengan lelucon kalian tentang masakan
kami." "Ya, benar sekali!" Mrs. Davis, juru masak yang lain,
menimpali dari seberang ruangan. Ia bicara sambil mengacungkan
sendok kayu bertangkai panjang. "Kami memasak makanan yang
sehat dan bergizi. Tidak kalah dengan masakan orangtua kalian di
rumah. Dan kami betul-betul sudah bosan mendengar lelucon kalian
yang keterlaluan." "Kami juga punya perasaan," Mrs. Marshall menambahkan.
"Kami memakai keju asli untuk makaroni panggang ini," Mrs.
Davis berseru sambil melambai-lambaikan sendoknya. "Bukan keju palsu. Dan
makaroninya juga kualitas nomor satu."
"Ya, betul!" seru juru masak ketiga. Ia masih baru, dan aku belum tahu namanya.
"Suruh cicipi saja, Alice. Suruh dia cicipi makaroni kita. Biar dia tahu betapa
lezatnya masakan kita."
Mrs. Marshall bertolak pinggang di hadapanku. "Ide bagus. Kau mau semangkuk
makaroni?" Ia melangkah menghampiri meja
panjang. "Kau pasti akan berubah pikiran tentang masakan kami."
Mrs. Marshall mengambilkan makaroni untukku. Aku mundur
pelan-pelan. "Ehm, tidak usah. Terima kasih," ujarku kebingungan.
Aku mundur sampai ke pintu. "S-saya baru saja sarapan," aku berdalih.
Aku berbalik dan bergegas keluar. Keempat makhluk kadal
mencegatku. Mereka bersorak-sorai.
"Komandan... kau berhasil!" Wart berseru gembira. "Kau berhasil menaburkan semua
benih!" Mereka menepuk-nepuk punggungku sambil ter-enyum lebar.
"Sekarang kita tinggal menunggu sampai nanti sore; kata
Brenda. "Sekolah ini bakal penuh kadal!"
Chapter 26 AKU tidak ke ruang makan pada waktu istirahat makan siang.
Aku malah bersembunyi di tangga. Sebenarnya sih perutku sudah
keroncongan, tapi aku tidak peduli.
Aku tidak tega melihat anak-anak lain melahap makaroni. Aku
tidak tega melihat mereka menelan benih yang akan mengubah
mereka menjadi makhluk kadal pemakan tupai.
Seluruh sekolah akan penuh makhluk kadal berwarna ungu,
pikirku galau. Dan semuanya salahku... salahku.
Sepanjang sore aku tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan
pelajaran. Iris berusaha mengajakku bicara, tapi aku berlagak sibuk
memperhatikan penjelasan guru.
Aku duduk di mejaku sambil mengamati anak-anak lain. Aku
menunggu tanda-tanda mereka sedang berubah. Menunggu tandatanda benih yang kucampurkan ke dalam makaroni sudah mulai
bekerja. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Tapi aku tidak melihat sesuatu yang janggal. Tak ada kulit ungu
berbintil-bintil. Tak ada lidah panjang menjulur-julur.
Semua anak kelihatan biasa saja.
Seusai jam pelajaran, keempat makhluk kadal menungguku di
lapangan sekolah. Mereka mengelilingi dan menggiringku ke tempat
persembunyian kami di hutan di seberang jalan.
Wart tampak kesal sekali. Ia menendang semua kerikil yang
dilewatinya. David dan Jared pun bergumam-gumam sambil gelenggeleng kepala. "Kita gagal," Brenda berkata pelan. "Benihnya tidak mempan.
Tidak ada yang berubah."
"Apanya yang salah?" tanya Wart. "Kenapa rencana kita tidak berhasil?"
Semuanya menatapku. Tiba-tiba aku sadar apa yang terjadi. Aku tahu persis kenapa tak
ada yang berubah menjadi makhluk kadal. "Tidak ada yang makan makaroninya,"
seruku. Rasanya aku ingin menampar diriku sendiri. Kenapa aku
memberitahu mereka" Mereka menatapku sambil memicingkan mata. "Hah?"
"Tak pernala ada yang makan makaroni di sekolah," ujarku.
Sudah kepalang. Aku terpaksa menjelaskan semuanya. "Ini semacam aturan sekolah.
Sudah bertahun-tahun tak pernah ada yang makan
makaroni di sini!" Keempat makhluk kadal itu mendengus kesal. Wart
menghampiriku dan menatapku dengan curiga. "Dari mana kau tahu itu, Komandan?"
ia bertanya dengan nada menuntut. "Kau tiba di sini hanya beberapa hari sebelum
kami. Jadi, bagaimana kau bisa tahu
bahwa sudah bertahun-tahun tidak ada yang makan makaroni di sini?"
Aku memutar otak. Kalau mereka sampai tahu bahwa aku
bukan salah satu dari mereka, bisa-bisa aku mengalami nasib sama
seperti si tupai yang malang!
"Ehm... aku dengar dari salah satu anak di kelasku," jawabku.
Aku menundukkan kepala. "Seharusnya sejak awal sudah kuingat.
Aku telah mengecewakan kalian. Misi kita gagal total."
"Kita belum gagal," ujar Brenda. "Aku masih punya cadangan benih - dan rencana
baru. Rencana yang lebih baik."
Ketiga kawannya langsung menoleh. "Coba jelaskan
rencanamu," kata Jared. "Waktu kita tinggal sedikit."
"Sebenarnya gampang, kok," balas Brenda sambil angkat bahu.
"Benihnya kita campurkan ke dalam adonan untuk membuat kue. Lalu kuenya kita
bagi-bagikan gratis waktu acara jual kue sekolah hari Sabtu besok."
"Ide bagus!" seru David.
"Yaaay!" Wart dan Jared berseru gembira.
"Semuanya kebagian kue gratis," kata Brenda sambil nyengir lebar. "Dan semuanya
akan berubah menjadi makhluk kadal."
Aku merinding sewaktu melihat Brenda mengembangkan
senyumnya. Aku menelan ludah. Mulutku mendadak terasa keringkerontang. Aku tahu rencana itu bisa berhasil. Aku tahu murid-murid
Harding takkan menolak kue gratis.
Apa yang bisa kulakukan" aku bertanya dalam hati. Bagaimana
aku bisa menghentikan mereka"
Mereka berpaling padaku. "Bagaimana, Komandan?" tanya
Wart. "Kita bikin kue saja" Kita laksanakan rencana Brenda?"
Aku membalas tatapan mereka. Ketiga-tiganya menunggu
jawabanku. Aku tidak tahu apakah mereka melihat lututku yang
gemetaran. "Ehm..." Aku menarik napas dalam-dalam. Aku harus
bertindak. Aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan mereka.
"Aku tidak suka rencana Brenda," kataku sambil berusaha agar suaraku tetap
tenang. "Kurasa lebih baik benihnya kita siapkan untuk saat lain saja. Kita bisa
menanam semuanya di tanah supaya bertunas dulu. Dengan cara itu, persediaan
benih kita tak ada habisnya."
Aku tahu. Aku tahu. Ide itu tidak bisa dibilang cemerlang.
Tapi hanya itulah yang terlintas dalam benakku. Apakah
mereka akan setuju" aku bertanya dalam hati.
Apakah mereka mau melupakan rencana Brenda dan menerima
usulanku" Apakah mereka setuju menanam Benih Identitas" Tidak
mungkin. Aku hanya perlu waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa
aku telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku.
Chapter 27 "BENIHNYA ditanam?" Brenda memekik. "Ditanam?"
Keempat makhluk kadal itu mengepungku semakin rapat.
Dengan gugup aku memandang berkeliling, mencari-cari jalan
terbaik untuk lari. Tapi kali ini aku tidak mungkin lolos.
"Kau ini komandan kami atau bukan?" Wart bertanya dengan nada menuntut.
David dan Jared menatapku sambil tersenyum mengejek.
"Seorang komandan tidak mungkin menyuruh kami menanam Benih
Identitas," kata Jared sengit.
Wart merapatkan wajahnya ke wajahku. "Buktikan bahwa kau
memang Komandan kami," ia menyuruhku.
"Ya. Buktikan bahwa kau salah satu dari kami!" seru David.
"Buktikan! Ayo, buktikan!" mereka mulai bersorak-sorak.
Aku memekik tertahan dan mencoba mundur. Tapi aku
terkepung. "Buktikan! Buktikan!"
Sambil bersorak-sorak, mereka mulai berubah bentuk lagi.
Bintil-bintil bermunculan di kulit mereka yang menjadi ungu terang.
Rambut mereka menghilang, dan rahang mereka berubah menjadi
moncong yang panjang. "Buktikan! Buktikan!" mereka berseru-seru. "Buktikan bahwa kau salah satu dari
kami!" Aku terpaku menatap mereka. Aku tidak bisa bergerak. Aku
tidak bisa lari. Apa yang harus kulakukan"
"Buktikan bahwa kau salah satu dari kami!" mereka menuntut.
"Ayo, sekarang juga!"
Mata mereka tampak berapi-api. Bintil-bintil di kulit mereka
bergetar-getar. Kepungan mereka pun semakin rapat.
Aku segera sadar kali ini tamatlah riwayatku.
Chapter 28 "BUKTIKAN! Buktikan!"
Lidah mereka yang panjang menjulur-julur.
"Buktikan bahwa kau memang salah satu dari kami! Coba
perlihatkan bentukmu yang asli! Buktikan bahwa kau bisa berubah
seperti kami!" Aku menelan ludah. Mereka mendesak agar aku berubah
bentuk. Gawat! "Berubah! Berubah! Berubah!"
Akhirnya kedokku akan terbongkar juga.
Aku tidak punya pilihan selain berterus terang. Dan memohon
ampun pada mereka. "Ehm... begini...," aku mulai berkata.
Tapi tiba-tiba terdengar suara cewek mengalahkan sorak-sorai
keempat makhluk kadal itu. "Hei, berhenti!"
Kami semua menoleh dan melihat Iris muncul dari balik semaksemak. Keempat makhluk kadal menggerung kaget sambil
membelalakkan mata. "Aku wakil komandan kalian!" Iris berseru. Anting-antingnya yang panjang tampak
bergoyang-goyang. "Aku seorang sersan!"
Keempat makhluk kadal langsung terdiam. Mereka menatap Iris
tanpa berani bersuara. "Komandan dan aku telah memutuskan bahwa sekarang belum
waktunya untuk berubah," kata Iris tegas. "Tidak ada waktu untuk itu.
Kita harus menyiapkan kue dulu. Kita harus bersiap-siap untuk acara jual kue."
"Yaaaay!" keempat makhluk kadal bersorak gembira.
"Terima kasih, Sersan," kata Brenda. "Syukurlah kau setuju dengan rencanaku."
"Rencanamu akan berhasil," sahut Iris. "Kita akan mengubah seluruh sekolah
menjadi seperti kita. Cepat. Kita ke rumahku untuk membuat kue."
Keempat makhluk kadal tampak sangat gembira. Mereka saling
membenturkan lidah. Lalu mereka segera berubah menjadi manusia
lagi. Warna ungu di kulit mereka memudar. Kulit mereka pun
kembali halus. Moncong mereka mengecil, dan tak lama kemudian
aku sudah berhadapan dengan keempat anak yang kukenal.
Sementara mereka berubah, aku mencondongkan badan
mendekati Iris dan berbisik ke telinganya. "Iris - kau benar-benar salah satu dari
mereka?" "Ya, Komandan," ia menyahut sambil menatap keempat
makhluk kadal. "Jangan kuatir. Rencana baru ini takkan gagal,"
Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi suaraku
tidak mau keluar. Rasanya aku tidak bisa percaya. Iris ternyata juga makhluk
kadal! Kami mulai berjalan menembus hutan. Iris mengajak kami ke
rumahnya. Matahari sore sudah mulai terbenam di balik pohon-pohon
Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gundul. Udara mendadak terasa dingin dan mencekam. Aku pun
merinding. Aku hampir celaka di hutan itu. Untung saja Iris
menyelamatkanku. Tapi aku tahu aku belum terbebas dari bahaya.
Aku terancam bahaya besar.
Begitu pula anak-anak di sekolah.
Kami masuk ke dapur Iris. Kenapa Iris menyelamatkanku" aku
bertanya-tanya. Ia tahu aku bukan salah satu dari mereka. Ia tahu aku bukan
makhluk kadal. Jadi, kenapa ia menyelamatkanku dari keempat makhluk kadal
itu" Sementara Wart dan kawan-kawannya menyiapkan tepung
terigu, telur, dan bahan-bahan lainnya, aku menarik Iris ke samping.
"Kau tahu aku bukan makhluk kadal," ujarku. "Tapi kenapa kau menyelamatkanku?"
"Aku juga bukan," sahutnya sambil berbisik. "Tapi aku lihat kau sedang dalam
kesulitan." "Dari mana kautahu bahwa...," aku bertanya. Aku melirik ke dapur untuk
memastikan keempat makhluk kadal tidak
memperhatikan kami. "Kita kan sudah janji untuk bertemu di lapangan bermain - ya,
kan?" bisik Iris. "Aku melihat mereka menyeretmu ke hutan. Lalu aku mengikuti
kalian. Aku mendengar semuanya. Dan aku melihat
semuanya. "Hmm, terima kasih kau telah menyelamatkanku," kataku.
"Tapi sekarang kau sendiri juga dalam bahaya."
Ia mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku harus bagaimana lagi"
Masa aku diam saja, padahal kau sedang dalam keadaan gawat?"
"Bagaimana cara kita menyelamatkan anak-anak di sekolah?"
bisikku. "Pertanyaan bagus," balas Iris. "Sekarang kita harus bikin kue dulu. Kita tidak
punya pilihan. Nanti kita pikirkan cara supaya kuenya tidak dimakan di acara
sekolah itu." "Mana mungkin"!" ujarku sambil menghela napas.
Mana mungkin kami mencegah anak-anak mengambil potongan
kue gratis" Mana mungkin"
Chapter 29 PADA Sabtu pagi Iris, aku, dan keempat makhluk kadal
membawa baki-baki besar berisi kue ke gedung olahraga.
Wah, ramainya minta ampun!
Ternyata semua murid Harding Middle School datang. Mereka
sibuk mondar-mandir sambil membawa baki-baki berisi kue. Semua
asyik mengobrol, tertawa, dan bercanda.
Di bawah ring basket di salah satu ujung gedung terdapat
podium lengkap dengan mikrofonnya. Deretan meja panjang
membentang dari dinding ke dinding.
Keempat makhluk kadal berjalan di samping Iris dan aku,
sementara kami membawa baki menuju deretan meja. Mereka
menjaga kue-kue yang telah kami buat dan mengawasi setiap gerakan kami.
Potongan-potongan kue berisi Benih Identitas menumpuk di
atas kedua baki. Kami telah membuat ratusan potong kue. Lebih dari cukup untuk
semua anak di sekolah. Kami melewati sekelompok anak yang sedang makan kue
cokelat. Di salah satu meja, Ms. Williamson, wali kelas kami, sedang sibuk
memotong kue keju. Aku melihat lusinan piring berisi kue
terpajang di atas meja-meja.
Hampir semua kue diberi harga satu dolar sepotong. Tak ada
yang gratis. Hanya kue buatan kami yang akan dibagikan cuma-cuma.
Bagaimana mungkin aku mencegah anak-anak mengambil kue
itu" Bagaimana mungkin aku mencegah mereka melahap kue kami"
Kami menghampiri deretan meja. Tapi tiba-tiba Wart
mendahului Iris dan aku, lalu berbalik. "Lebih baik kuenya langsung kita bagibagikan saja," ia mendesak.
"Ya. Tak perlu menunggu," Brenda menimpali. "Kuenya kita bagi-bagikan sekarang
saja. Tempat ini penuh sesak. Dalam beberapa menit saja kita sudah bisa melihat
hasilnya." Wart merebut baki yang sedang kupegang.
David dan Jared membuka lapisan plastik yang menutupi baki.
Aku sadar aku harus bertindak - sebelum terlambat!
Tapi apa yang bisa kulakukan"
Tiba-tiba aku mendapat ide.
Serta-merta aku bergegas melewati Wart. Berlari melewati
anak-anak yang sedang makan kue cokelat. Melompat ke belakang
podium. Saat itu Tasha sedang bersiap memberikan sambutan selamat datang. Aku
merebut mikrofon dari tangannya.
"Perhatian! Perhatian, semuanya!" teriakku.
Bunyi melengking pengeras suara berhasil menarik perhatian
semua orang di dalam gedung olahraga. Suaraku yang gemetar karena panik memantul
pada dinding-dinding. "Kue gratisannya jangan dimakan!" aku berseru. "Tolong dengarkan aku, semuanya!
Kue gratisannya jangan dimakan! Karena
kalau dimakan kalian semua akan berubah jadi monster! Kulit kalian bakal
berbintil-bintil, dan kalian akan berubah jadi makhluk kadal berkulit ungu!
Dan... dan... kalian bakal melahap tupai hidup-hidup!"
Semua orang tertawa. Tawa mereka mengalahkan suaraku yang
kalang kabut. "Kalian harus percaya padaku!" aku memekik ke mikrofon.
Aku melihat Wart dan David berlari ke arah podium. "Kalian harus percaya! Kue
gratisannya jangan dimakan!"
Tawa di sekelilingku semakin keras, sampai-sampai aku tidak
bisa mendengar suaraku sendiri.
"Kembalikan mikrofonnya!" Tasha membentakku. Ia berusaha merampasnya dari
tanganku. Dua orang guru bergegas maju untuk menarikku turun dari
podium. "Sicky Ricky! Sicky Ricky!" Tasha berseru-seru. Dan anak-anak yang lain segera
mengikuti contohnya. "Sicky Ricky! Sicky Ricky!" Gedung olahraga sampai bergetar saking dahsyatnya
suara mereka. Aku langsung lemas. "Sicky Ricky! Sicky Ricky!" Kepalaku serasa mau pecah
mendengar ejekan dari puluhan anak itu.
Rasanya aku ingin menutup telinga. Rasanya aku ingin lari.
Rasanya aku ingin ditelan bumi saja.
Bagaimana aku bisa menyelamatkan mereka kalau mereka
malah menertawakanku" aku bertanya dalam hati. Apa yang bisa
kulakukan kalau mereka tidak mau mendengarkanku"
Dan tiba-tiba aku mendapat ide lain. Ide yang lebih nekat
daripada sekadar merampas mikrofon dan memohon perhatian.
"Sicky Ricky! Sicky Ricky!" Tasha masih terus berteriak.
Aku berusaha mengabaikan cemooh mereka. Aku sadar aku
hanya punya waktu beberapa detik untuk bertindak.
Apakah rencanaku akan berhasil"
Kemungkinan sih tidak. Tapi hanya itulah yang terpikir olehku.
Semua potongan kue harus kumakan sendiri, kataku dalam hati.
Bakinya akan kuambil dan kue-kuenya akan kuhabiskan - dan
semua orang akan selamat.
Tanpa pikir panjang aku menerjang maju, menerobos
sekelompok anak yang sedang berseru-seru. Aku merebut baki kue
dari tangan Wart. Dan membuka mulut untuk melahap semuanya.
Chapter 30 "ADUH!" Aku memekik kaget ketika sesuatu membentur keningku.
Sebenarnya aku tidak kesakitan. Cuma kaget.
Aku menyentuh keningku dan menyentuh sesuatu yang lembap
dan lengket. Rupanya aku ditimpuk sepotong pai cokelat.
Semua orang tertawa. Tasha bergegas maju dan mengambil
fotoku dengan kameranya. "Hei...!" aku berseru marah.
"Sicky Ricky! Sicky Ricky!" beberapa anak terus berseru.
"Ricky Rat! Ricky Rat!" anak-anak lain menimpali.
Salah satu dari mereka melempar sepotong kue cokelat. Aku
cepat-cepat menunduk, dan kue itu terbang melewati pundakku. Baki kue yang
sedang kupegang hampir terlepas dari tanganku. Tasha
segera menjepretkan kameranya lagi.
"Ada apa sih dengan kalian?" seruku. "Aku sedang berusaha menyelamatkan kalian!"
"Sicky Ricky! Sicky Ricky!"
"Ricky Rat! Ricky Rat!"
Apakah mereka tidak sadar bahwa mereka terancam bahaya
besar" tanyaku pada diriku sendiri. Aku harus mengabaikan ejekan
mereka. Aku harus menyelamatkan mereka semua.
Brenda dan Wart menghampiriku. "Tunggu apa lagi,
Komandan?" tanya Wart. "Bagikan kuenya!"
"Jangan pedulikan mereka," kata Brenda. "Begitu mereka makan kue ini, mereka
semua akan menjadi seperti kita. Kau akan
menjadi pemimpin mereka. Dan mereka semua akan menjadi
budakmu!" Aku harus menyelamatkan mereka, aku menegaskan dalam hati.
Aku harus menyelamatkan mereka. Harus menyelamatkan mereka....
Aku berpaling kepada Brenda. "Hah" Apa katamu tadi?"
"Aku bilang mereka semua akan menjadi budakmu!" Brenda
berseru untuk mengalahkan hiruk-piruk di sekeliling kami.
Budakku" Budakku" Budakku" Aku menunduk ketika seseorang melemparkan sepotong kue
keju. "Sicky Ricky! Sicky Ricky!" semua orang bersorak-sorai.
"Nih - Tasha - coba kue ini!" seruku. Aku menyodorkan baki
dan mengamatinya mengambil sepotong kue.
"Kue gratis! Kue gratis!" aku berseru sekeras mungkin.
Semua anak berebut untuk mendapat kue cuma-cuma. Sambil
tersenyum lebar aku berjalan mengitari gedung olahraga dan
membagi-bagikan kue. "Kue gratis! Semuanya kebagian!" teriakku. "Kue lezat! Gratis!
Gratis! Ayo, jangan malu-malu! Habiskan semuanya! Kue gratis!"
Aku mengacungkan jempol pada keempat temanku. Lalu aku
mengambil sepotong kue untuk kumakan sendiri.
Hmm, lumayan juga. Agak keras, tapi manis sekali.
Aku memandang berkeliling. Memperhatikan semua anak
melahap kue-kue gratis. Mulai sekarang, aku berkata dalam hati, semuanya bakal
berubah. Dah aku sudah tak sabar menantikan saat itu! END
Anak Naga 17 Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut Riwayat Lie Bouw Pek 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama