Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana Bagian 2
"Grool sebenarnya tidak ada. Mereka cuma ada dalam dongeng."
Daniel menghela napas. "Sebenarnya aku tidak mau ngomong begini, tapi kau benar,
Kat," dia berkomentar. "Paling tidak kali ini."
"Kali ini?" ujarku. "Dari dulu aku selalu benar." langsung saja kutonjok
lengannya. "Aduh, sakitnya minta ampun!" Daniel mengejekku. "Rasanya aku mau pingsan." Dia
menjatuhkan diri ke rumput basah dan berlagak tidak sadarkan diri.
"Ayo, kita masuk," aku mendesak. "Kau sudah basah kuyup. Dan aku berlepotan
tanah." Daniel segera bangkit dan mendorongku ke samping. "Ayo, dulu-duluan!" dia
berseru sambil berlari ke rumah.
Aku melompati tangga dan masuk satu detik lebih cepat daripada dia.
Kemudian aku menutup pintu kawat nyamuk dan menahannya dari dalam, biar Daniel
tidak bisa masuk. "Aku menang!" sorakku.
"Kau memang kubiarkan menang," balas Daniel. Dia menggedor-gedor pintu.
"Kau mau masuk ke sini?" aku bertanya. Daniel mengangguk.
"Kalau begitu kau harus bilang, 'Kat menang secara adil,'" aku menyuruhnya.
"Tidak bisa!" sahutnya.
"Kalau begitu silakan tunggu di luar sampai pagi bersama si Groool!" kataku. Aku"langsung mengeluarkan suara seram.
"Oke, oke. Kat menang secara adil," Daniel menggerutu. "Tapi lain kali pasti aku
yang menang!" Sebenarnya, aku tidak peduli kalau aku menang. Saking gembiranya karena aku
berhasil mengubur si Grool, aku mau membiarkan Daniel menang sepuluh kali.
Ketika kami masuk ke ruang duduk, Mom dan Dad langsung mengalihkan pandangan
dari koran yang sedang mereka baca. Seluruh rumah berbau cat basah.
Dari mana kalian?" tanya Dad.
"Oh, kami cuma main-main di pekarangan,"sahutku.
"Tidak ada apa-apa, kan?" Mom bertanya dengan "Kalian kotor sekali!"
"Tidak ada apa-apa kok," jawabku. "Semuanya sudah beres."
?"Oke, kalau begitu kalian cuci tangan dulu," Mom menyuruh kami. "Habis itu
kalian ke dapur." Daniel dan aku menyerbu ke kamar mandi, dan berdesak-desakan di tempat cuci
tangan sambil saling mendorong dan menyikut.
"Kau tahu sekarang waktunya apa?" tanya Mom ketika aku muncul di dapur.
"Ya!" seruku dengan gembira. "Sekarang waktunya potong kue ulang tahun."
Mom tampak berseri-seri. "Ayo, duduklah."
Aku langsung duduk di kursi yang telah disediakannya untukku.
Akhirnya segala sesuatu seperti seharusnya lagi, pikirku.
Daniel mengambil tempat di sampingku. Dia menggamit lenganku.
"Ini alamat buruk," bisiknya. Pasti bakal ada sesuatu yang gawat."
"Aku takkan membiarkan siapa pun merusak suasana malam ini, aku berkata dalam
hati. "Belum apa-apa kau sudah ngeri," jawabku, juga berbisik. "Tenang saja. Takkan
terjadi apa-apa," Mom membungkuk di atas kue ulang tahun di meja dan menyalakan tiga belas
lilin satu untuk setiap tahun usiaku dan satu lagi untuk keberuntungan.
"Kuenya keren sekali! Mom memesannya di toko kue di ujung jalan.
Semua yang paling kusukai ada di kue itu: hiasan mawar berwarna pink, lapisan
cokelat, dan selapis arbei. Di atasnya ada kincir air mungil yang terbuat dari
cokelat. "Siap, Kat?" tanya Mom. Kueku dibawanya ke meja makan.
Wajahnya tampak gembira sekali dalam cahaya lilin. Dad juga tersenyum lebar.
Mereka semua mulai menyanyikan Happy Birthday.
Daniel terus menatapku sambil bernyanyi.
Begitu lagunya selesai, aku memejamkan mata dan mengucapkan keinginanku dalam
hati. "Aku ingin agar Killer pulang lagi," aku berkata pada diriku sendiri. "Aku ingin
agar si Grool takkan kembali lagi. Dan Daniel keliru -takkan terjadi sesuatu
yang gawat." Aku membungkuk, mendekati lilin-lilin, dan meniup keras-keras.
Dor! Suara keras dari dapur itu nyaris membuatku terjatuh ke kue ulang tahunku!
14 WAH, sumbat botol ini benar-benar keras," ujar Mom.
Dia menaruh baki berisi gelas-gelas dan sebuah botol besar berwarna hijau. "Ini
kesukaanmu, jus apel bersoda," katanya. "Mom tahu ini tidak seasyik berkunjung
ke WonderPark, tapi..."
"Oh, tidak apa-apa kok, Mom!" aku memotongnya. jantungku masih berdegup-degup.
"Aku senang sekali."
Aku benar-benar menikmati pesta ulang tahunku. Ada kue, jus apel, dan kado-kadodua video game baru, discman dan beberapa CD, ransel ungu, serta sweter pink "dan ungu warna-warna kesukaanku.
"Malam itu sebelum aku tidur, kumasukkan semua buku sekolah ke ransel baruku.
Lalu aku menoleh ke kandang marmut. Kandangnya kosong dan bersih seakan-akan
"Grool tak pernah hadir dalam hidupku.
Makhluk brengsek itu berhasil kusingkirkan, pikirku dengan gembira.
Akhirnya. Mulai sekarang keluargaku akan terhindar dari nasib sial.
Jam di ruang depan berdentang sepuluh kali. Sudah waktunya tidur.
Aku berganti baju lalu naik ke tempat tidur.
*** Ketika wekerku berdering keesokan paginya, aku langsung turun dari tempat tidur
dan bergegas ke jendela untuk melihat cuaca.
"Oh, ya ampun!"
Seluruh pekarangan belakang kelihatan seperti gurun!
Dalam semalam saja seluruh rumputnya jadi kering. Semua begonia yang semula
berwarna pink tampak merunduk dan berubah jadi cokelat. Bunga-bunga mawar
kebanggaan Dad pun mengerut dan menghitam.
Kasihan Dad, pikirku. Dia sudah bekerja begitu keras untuk memperindah
pekarangan kami. Dan sekarang...
Ketika aku menatap pekarangan yang tandus, aku berusaha menghalau pikiran yang
berusaha menyusup ke dalam benakku. Tapi dalam hati aku tahu persis bagaimana
ini bisa terjadi. Si Grool. Dia menggunakan kekuatan jahatnya terhadap pekarangan kami. Dan membunuh setiap
tanaman, setiap bunga, setiap helai rumput yang ada!
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya-tanya dengan bingung.
Sambil terbengong-bengong aku menatap pekarangan yang kering kerontang.
Perlukah aku mengeluarkan si Grool dari kuburannya"
Apakah ada pilihan lain"
Sepertinya tak ada. Cepat-cepat kukenakan celana jeans dan sweterku vang baru.
Kemudian aku mengendap-endap ke bawah, menuju tempat si Grool terkubur.
Lalu aku mulai menggali. Daun-daun kering jatuh ke kepalaku. Pundakku mulai pegal karena mengangkat tanah
yang lembap dan berat. Perutku juga terasa tidak enak.
Lempar. Gali, lempar. Semakin dalam aku menggali, semakin tidak keruan perasaanku.
Rasanya aku ingin mencampakkan sekop dan kabur dari tempat itu.
Aku ingin membiarkan makhluk pembawa sial itu terkubur selama-lamanya.
Aku harus menghadapi kenyataan.
Kalau tetap terkubur, si Grool akan terus membalas dendam padaku.
Pada seluruh keluargaku. Aku menggali sampai ke dasar lubang. Kemudian aku membungkuk dan menyingkirkan
sisa-sisa tanah terakhir dengan kedua tangan.
Perlahan-lahan si Grool mulai kelihatan. Dia tampak lebih hidup dan lebih
bersemangat daripada yang sudah-sudah.
'Mestinya kau kuremukkan dengan sekop ini!" Aku membentaknya.
Si Grool berdenyut-denyut kencang, seakan-akan gembira mendengar ucapanku.
Ba-boom. Ba-boom. Bunyi napasnya terdengar jelas sekali.
Dan sekali lagi dia berubah warna, dari cokelat ke pink, lalu ke merah tomat.
Dan dia terus berubah-ubah warna seiring tarikan napasnya.
Cokelat. Pink. Merah. Cokelat. Pink. Merah. Kutarik si Grool dari kuburannya. Dia berdenyut begitu keras sehingga terlepas
dari tanganku dan jatuh ke tanah.
"Diam kau!" teriakku sambil memungutnya.
Si Grool menatapku. Matanya yang kecil dan bulat tampak merah membara.
Aku menggigil. Sambil mengertakkan gigi kuselipkan si Grool ke kantong sweter baruku. Lalu aku
kembali ke rumah. Aku masuk lewat pintu dapur, menuju ke arah tangga.
Di kaki tangga aku mendengar bunyi. Sepertinya bunyi itu berasal dari kamar Mom
dan Dad. Mereka sudah bangun, aku menyadari. Aku harus buru-buru, sebelum aku tepergok
dan ditanyai macam-macam. Bisa tambah ramai lagi kalau begitu.
Tergesa-gesa aku menaiki tangga. Dengan setiap langkah aku melewati dua anak
tangga sekaligus. GUBRAK! Aku terpeleset, lutut kananku membentur tangga.
"Aduh!" jeritku.
Aku merasa si Grool berguncang-guncang di dalam kantongku. Aku mendengar tawanya
yang membuat bulu kuduk berdiri.
heh, heh. Dia menertawakan aku! Langsung saja kutarik dia keluar dari kantong dan kuremas begitu keras sampai
jari-jemariku terasa sakit. Lalu aku bergegas ke kamarku dan mencampakkannya ke
dalam kandang marmut. "Aku akan menemukan cara untuk menghancurkanmu," aku mengancamnya. Sambil
menggosok-gosok lututku yang masih terasa nyeri, aku memelototi makhluk brengsek
itu. "Aku akan menghancurkanmu sebelum kau sempat membawa nasib sial lagi untuk
keluargaku!" seruku.
Tapi bagaimana" aku bertanya-tanya.
Bagaimana" 15 "ANAK-ANAK, besok Bibi Louise akan datang," Mom memberitahu aku dan Daniel
keesokan paginya. "Jadi Mom minta kalian berdua membereskan kamar masing-masing
setelah pulang sekolah nanti."
"Bibi Louise mau datang?" tanyaku. "Wah, asyik!"
Bibi Louise kerabat yang paling kusukai. Biarpun dewasa, dia benar-benar
menyenangkan. Dia selalu mengenakan gaun panjang bermotif bunga, dan ke mana-mana selalu
menyetir mobil convertible-nya yang berwarna kuning.
Dan dia jago meniup permen karet menjadi balon! Dan dia tahu banyak lelucon
lucu. Mom bilang kepala Bibi Louise di awang-awang. Maksudnya mungkin dia suka
berkhayal. Entah benar atau tidak, tapi yang jelas, dia tahu banyak tentang halhal seperti astrologi dan ramal-meramal dengan kartu.
Dan barangkali juga tentang Grool. "Malam itu, setelah kubereskan kamarku dan sebelum aku tidur, aku memberi ucapan
selamat malam yang istimewa kepada si Grool.
"Besok bibiku mau datang, dan dia akan membantuku menyingkirkanmu selamalamanya," aku berbisik.
Si Grool menatapku sambil bernapas dengan tenang.
Seusai sekolah esok sorenya, Daniel dan aku membelok ke jalan tempat kami
tinggal. Dari jauh mobil kuning kepunyaan Bibi Louise sudah kelihatan. Daniel
dan aku langsung berlari sampai ke rumah.
"Hei ada apa nih?" Bibi Louise menyapa ketika kami menyerbu masuk. Rambutnya
"yang hitam dan ikal tertutup topi jerami lebar.
Sebelum Daniel sempat menyahut, aku sudah memeluk Bibi Louise dan berbisik ke
telinganya, "Bibi harus ikut aku ke atas. Sekarang. Ini super-penting."
Bibiku mencopot topinya, menaruhnya di kepalaku, lalu mengamatiku sambil
tersenyum. "Super-penting?" dia bertanya.
"Ya," bisikku. Serta-merta aku meraih tangannya dan menariknya ke arah tangga.
"Bibi pernah dengar tentang Grool?" tanyaku.
"Grool" Hmmm. Bibi harus ingat-ingat dulu," sahutnya sambil mengerutkan kening.
"Rasanya belum pernah. Apa itu, Grool?"
"Begini," aku mulai menjelaskan. "Daniel menemukan fotonya di ensiklopedia. Dan
di situ tertulis Grool makhluk khayalan yang hidup di zaman dulu...."
"Hmm, kalau Grool itu makhluk khayalan, Sayang, berarti mereka sebenarnya tidak
ada," Bibi Louise memotong.
"Tapi mereka benar-benar ada!" seruku. "Aku tahu karena aku punya satu. Dan dia
selalu bikin masalah."
Bibi Louise ikut ke kamarku.
"Bibi pernah dengar tentang Lanx?" tanyaku. Dia menggelengkan kepala.
"Itu makhluk lain lagi yang juga ada dalam ensiklopedia. Bentuknya seperti
kentang, tapi dengan mulut penuh gigi tajam."
"Ih, kedengarannya seram sekali!" seru Bibi Louise. "Tapi coba ceritakan
tentang... Grool ini. Bagaimana rupanya?"
"Ayo, kutunjukkan saja," kataku. Aku menariknya ke kamarku.
Aku menunjuk ke kandang marmut. Si Grool lagi mendekam di pojok.
Bibi Louise menghampiri kandangnya. "Jadi kau yang namanya Grool," katanya
sambil membungkuk. Dia mengulurkan tangan untuk meraihnya.
"Jangan!" seruku. "Sebaiknya jangan dipegang."
Tapi aku terlambat. 16 BIBI LOUISE mengangkat si Grool dan menaruhnya di telapak tangannya. Lalu dia
mengamatinya dengan saksama.
Setelah itu dia berpaling padaku. "Kat, ini cuma spons yang sudah kering.
Sebenarnya apa maksudmu?"
"Tapi... tapi..." Aku tergagap-gagap.
"Oh, sekarang Bibi mengerti!" ujarnya sambil ketawa. "Kali ini Bibi benar-benar
tertipu! Bibi pikir kau serius." Dilemparkannya si Grool kepadaku.
Aku hendak menangkapnya, tapi sekaligus enggan menyentuhnya.
Akhirnya dia jatuh ke lantai.
"Lucu sekali. Bibi Louise ketawa sendiri sambil berbalik. "Ternyata kau juga
punya imajinasi hebat. Persis seperti bibimu."
Aku memungut si Grool dan mengamatinya dari dekat.
Badannya tidak hangat. Dia tidak bernapas.
Dia tidak bergerak. Badannya kering dan keras.
Seperti spons biasa. Bibi Louise pikir aku cuma bercanda. Padahal aku memang serius.
Lagi-lagi aku diperdaya si Grool!
Kucampakkan makhluk itu ke dalam kandang marmut. Dia tergeletak seakan-akan tak
bernyawa. "Moga-moga kau membusuk di situ!" seruku geram.
Tiba-tiba saja spons yang sudah kering dan cokelat itu mulai mengembang lagi.
Dalam beberapa detik saja dia sudah lebih gendut dan lembap.
"Ohhh!" aku mengerang, sambil menyaksikannya berubah warna menjadi pink, lalu
merah. Si Grool kembali bernapas. Ssss-ahhh. Ssss-ahhh. Matanya yang kecil tampak
berbinar-binar ketika menatapku.
Dia ketawa pelan-pelan. Kenapa dia begitu senang" aku bertanya-tanya. Kan tidak ada musibah apa-apa.
Tapi, jangan-jangan... Aku teringat Dad jatuh dari tangga. Lalu dahan pohon yang nyaris menimpaku. Jari
Mrs. Vanderhoff. Killer kabur dari rumah. Pesta ulang tahunku yang batal.
Pekarangan belakang kami yang mendadak kering dan tandus.
Ini sudah keterlaluan. Keterlaluan!
Aku tak tahan lagi. Sambil menggerung kutarik makhluk jahat itu dari kandangnya.
Kemudian kubanting keras-keras ke meja belajarku.
Dengan napas terengah-engah dan jantung berdegup-degup kuraih buku pelajaranku
yang paling berat. Lalu aku memakainya untuk menghantam si Grool.
"Mati kau!" teriakku. "Mati kau!"
Buku itu kuangkat tinggi-tinggi. Lalu kuhajar si Grool.
Berulang-ulang. Pukulanku cukup keras untuk membunuh apa pun juga.
Akhirnya aku berhenti. Napasku tersengal-sengal. Tanganku terasa pegal. Kuamati
hasil usahaku. Idih. Berantakan sekali. Serpihan-serpihan berwarna pink dan cokelat berserakan di mejaku.
Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berhasil menghancurkan si Grool.
"Yes!" seruku gembira. "Yes!"
Akhirnya! Akhirnya aku berhasil mengalahkan makhluk jahat itu.
"Yes!" seruku sekali lagi.
Tapi seruan itu seakan-akan tersangkut di tenggorokanku.
Di depan mataku serpihan-serpihan pink dan cokelat itu mulai
bergerak-gerak. Aku membelalakkan mata karena ngeri dan seluruh tubuhku mulai "gemetaran.
17 "MUSTAHIL," bisikku. "Tak mungkin!"
Tapi nyatanya memang begitu. Serpihan-serpihan tubuh si Grool meluncur di
permukaan meja. Menggelinding. Saling bergabung.
Menyatu kembali. Membentuk bola cokelat. Membentuk spons.
Prosesnya tidak makan waktu lama. Paling-paling satu menit.
Dan kini si Grool kembali menatapku. Dia berdenyut-denyut begitu keras sampai
meja belajarku ikut bergetar.
Tawanya yang bengis memecahkan keheningan. Heh, heh, heh.
"Diam! Diam!" aku membentaknya.
Tapi tawanya malah bertambah keras.
Dengan kalang kabut aku mengambil kaus kaki yang habis kupakai dari tempat
pakaian kotor. Kaus kaki itu kugunakan untuk mengangkat si Grool. Dan kemudian
aku melemparkannya ke dalam kandang.
Heh, heh, heh. Sambil mendengus aku merebahkan diri di tempat tidur dan menutup telinga dengan
bantalku. "Bagaimana kalau aku sial terus seumur hidup" Masa sama sekali tak ada
yang bisa kulakukan?"
Aku begitu ketakutan. Begitu marah. Begitu bingung.
Berpura-pura tampil ceria seperti biasa pun aku tak sanggup.
Waktu Bibi Louise mengajak aku dan Daniel ke toko es krim, aku bahkan tak mampu
menghabiskan butterscotch sundae porsi kecil.
Padahal biasanya menghabiskan triple decker juga tak jadi masalah bagiku.
Tapi bagaimana aku bisa ceria" Aku terikat dengan si Grool selama-lamanya.
?"Bangun, Kat! Bangun!" seseorang berbisik ke telingaku.
Perlahan-lahan kuangkat kepalaku dari bantal. "Hah?"
Daniel mengayun-ayunkan tas sekolahnya kira-kira satu inci dari kepalaku.
"Singkirkan itu!" aku berseru sambil berusaha merebutnya.
"Hei, aku cuma mau menolongmu," dia menyahut sambil menarik tasnya. "Kau bisa
terlambat sekolah. Sebaiknya kau buru-buru!"
Dia berlari keluar kamar.
Aku langsung membuka selimut dan melompat dari tempat tidur.
Cepat-cepat kukenakan baju bertulisan Save the Earth dan celana ketat ungu
bermotif bunga. Lalu aku sadar.
"Daniel, dasar brengsek kau!" seruku. "Hari ini kita libur! Soalnya ada rapat
guru!" Dia menyembulkan kepala dari balik pintu. "Hahaha, ketipu!"
Aku melemparnya dengan bantal, dan lemparanku tepat mengenai wajahnya.
"Hei, jangan marah dong," katanya sambil ketawa. "Habis sarapan Carlo mau ke
sini. Kami mau main Mega Monster Warriors."
Langsung saja kubanting pintu kamarku.
Biasanya aku tidak terlalu memedulikan ulah adikku yang konyol.
Dan hari libur selalu membuatku gembira.
Tapi bagaimana aku bisa bersenang-senang" Aku terus bertanya-tanya, kesialan apa
lagi yang bakal kualami. Musibah apa lagi yang bakal dibawa si Grool hari ini"
Sehabis sarapan, aku duduk-duduk di teras belakang sambil membaca majalah. Aku
berusaha tidak menggubris derai tawa dan teriakan-teriakan Daniel dan Carlo yang
sedang bermain game di komputer.
Aku benar-benar merindukan Killer. Biasanya dia duduk di sampingku ketika aku
membaca. Setelah satu jam aku mulai bosan. Aku naik ke kamarku untuk mengerjakan tugas
IPS yang harus kuselesaikan.
Mrs. Vanderhoff menyuruh kami membuat karangan mengenai
Keluargaku dan Apa Artinya Mereka Bagiku.
Tapi aku terus teringat si Grool dan bagaimana dia menghancurkan keluargaku.
Sejauh ini aku baru menulis, Namaku Kat Merton, dan keluargaku sangat berarti
bagiku. Dengan modal seperti itu, jangan bermimpi dapat nilai bagus. Padahal besok tugas
ini sudah harus diserahkan.
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku turun ke dapur, lalu menuang
segelas susu cokelat dan mengambil segenggam biskuit.
Ketika hendak kembali naik, aku sempat mengintip ke ruang baca.
Suasananya mendadak hening sekali.
Carlo tidak kelihatan. Yang ada cuma Daniel, dia sedang bermain Underwater
Adventure Quest. "Carlo mana?" tanyaku.
"Hmm," sahut Daniel, tanpa melepaskan pandangannya dari kapal selam dan torpedo
yang sedang melesat kian-kemari di layar monitor.
"Pertanyaanku terlalu sulit, ya?" aku menyindirnya. "Oke, kali ini lebih pelan.
Car... lo... ma... na?"
"Pulang," adikku bergumam.
"Dia kesal gara-gara kau menenggelamkan lebih banyak kapal selam musuh daripada
dia?" aku berkelakar.
Daniel diam saja. Aku naik ke kamarku. Kutaruh susu dan biskuitku di meja. Dan mau tak mau aku
melirik ke kandang marmut.
Yang membuatku merinding karena ngeri bukanlah apa yang kulihat,
tapi apa yang tidak kulihat. Kandangnya kosong.
Si Grool lenyap. Kabur. 18 BAGAIMANA dia bisa kabur" Sebelum ini si Grool tak pernah berusaha keluar dari
kandangnya. Malahan, spons konyol itu sepertinya sama sekali tak berminat meninggalkanku.
Kenapa dia menghilang sekarang" Dan ke mana dia pergi"
Dan musibah apa lagi yang sedang direncanakannya"
Dia tak mungkin pergi jauh-jauh, ujarku dalam hati. Dia kan tidak punya kaki.
Aku hendak memanggil Daniel. Tapi tenggorokanku seakan-akan tercekik karena
ngeri. Dengan kalang kabut aku mulai mencari-cari si Grool. Aku tiarap di lantai dan
mengintip ke kolong tempat tidur. Tapi dia tidak di situ.
Kukeluarkan semua baju dari lemari pakaianku. Kubuka semua laci meja riasku.
Tapi tetap belum ketemu. Aku memeriksa setiap jengkal di kamarku. Aku bahkan memanggil-manggilnya, "Sini,
Grool. Sini, Grool."
Sia-sia saja. Makhluk itu tetap lenyap.
Aku teringat keterangan dalam Ensiklopedia Keanehan: Barang siapa memberikan
Grool kepada orang lain akan MATI dalam satu hari.
"Daniel!" jeritku. "Daniel!" Aku berlari menuruni tangga dan menyerbu ke ruag
TV. Saking kerasnya aku mengguncangkan dia, mouse komputer sampai terlepas dari
tangannya. "Si Grool hilang!" aku berseru. "Dia kabur!"
Daniel berpaling dari layar monitor. "Apa" Hilang"!"
"Dia kabur! Kandangnya kosong!" kataku.
Daniel mengerutkan kening, seakan-akan sedang berpikir keras. "Aku tahu di mana
dia," ujarnya. "Pasti dibawa Carlo."
"Hah?" seruku. "Aduh, kenapa kau membiarkan Carlo membawanya?"
"Aku tidak tahu kalau Carlo mau membawanya," balas Daniel sengit. "Dia pasti
mengambilnya waktu mau pulang tadi. Dia pikir ini cuma lelucon. Dia tidak
percaya spons itu membawa nasib sial."
"Dasar brengsek!" aku menggerutu. "Mungkin lebih baik Grool itu kita biarkan
saja di tempat dia. Biar dia tahu rasa."
"Jangan, Kat!" seru Daniel. "Carlo kan sahabatku. Si Grool harus kita ambil
lagi sebelum ada kejadian fatal!" "Daniel dan aku menyambar jaket masing-masing dari gantungan di ruang depan.
Kemudian kami berlari ke garasi. Kami melompat ke sepeda dan melaju sepanjang
Maple Lane. "Kira-kira ke mana dia?" tanyaku.
"Coba ke lapangan di sekolah dulu," ujar Daniel. "Di sana selalu ada anak-anak."
"Yeah, dan Carlo memang tukang pamer," aku berseru. "Dia pasti langsung ke sana
untuk memamerkan si Grool."
"Dia bukan tukang pamer!" Daniel memprotes.
"Dia tukang pamer!" sahutku tegas. Lalu kugenjot sepedaku dengan kencang,
mendului adikku. Dalam beberapa menit aku sudah sampai di Chestnut Street. "Tinggal dua blok
lagi!" aku berseru sambil terengah-engah. Aku mengurangi kecepatan agar Daniel
bisa menyusulku. Aku membelok. "Oh, aduh!" jeritku.
Serta-merta aku menekan rem. Dan berhenti mendadak.
Apa itu yang tergeletak di tengah jalan" Carlo-kah itu"
Ya! Carlo. Tergeletak dalam posisi tengkurap. Tangan dan lengannya terjulur di
aspal. "Kita telat!" teriak Daniel. "Kita telat!"
19 DANIEL dan aku langsung melompat turun, tanpa peduli bahwa sepeda kami terbalik
di jalan. Kami berlutut di samping Carlo dan memanggil-manggil namanya.
"Ohhhh, wow," Carlo mengerang tertahan. Dia memegangi kaki kanannya.
"Carlo!" seruku. "Ada apa" Apa yang terjadi" Kau tidak apa-apa?"
Aku menoleh dan melihat sepedanya tergeletak di bawah pohon di tepi jalan.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Daniel pelan-pelan. Adikku memang paling tidak
tahan melihat darah. "Anak-anak yang lebih gede mengajakku balapan," ujar Carlo.
"Sebenarnya aku tidak mau tapi mereka bilang aku pengecut."
Dia duduk dan mengusap-usap lututnya. "Wow, aku benar-benar terbang tadi! Terus,
ehm, sepedaku selip gara-gara kerikil dan menabrak pohon. Anak-anak itu
"menganggapnya lucu sekali. Mereka jalan terus dan membiarkanku di sini."
"Daniel, bantu aku mengangkat dia," kataku. Kami memapah Carlo dan menggiringnya
ke trotoar. Kemudian kami duduk sambil menatap sepeda Carlo yang rusak berat.
Setangnya sampai bengkok.
"Anehnya," ujar Carlo, "aku tidak melihat pohon brengsek itu sampai aku
menghantamnya." Daniel menyikutku. Aku tahu pikiran dia sama dengan pikiranku.
Si Grool beraksi lagi. Kami harus mendapatkannya kembali.
"Carlo, di mana si Grool?" tanyaku.
"Dalam keranjang." Dia menunjuk sepedanya. Aku meraih lewat setang dan merabaraba isi keranjang. Tak ada apa-apa di dalamnya. Keranjang itu kosong.
"Carlo, jangan main-main!" aku menggerung. "Si Grool tak ada di situ. Mana dia?"
Nada suaraku jadi tinggi dan melengking. Rasa panik mulai mencengkeram diriku.
"Hah" Tadi di situ kok!" seru Carlo. "Aku menaruhnya di situ. Aku mau membawanya
pulang." "Hah, mana mungkin!" ujarku. "Kau pasti mau membawanya ke lapangan sekolah untuk
memamerkannya. Ya, kan?"
Carlo menundukkan kepala. "Ehm, tapi cuma sebentar kok."
"Bagus! Bagus sekali!" aku menggerutu. "Gara-gara kau, si Grool hilang benaran."
Daniel menatapku. Wajahnya pucat pasi. "Kita harus menemukannya, Kat," bisiknya.
"Ingat apa yang ditulis dalam ensiklopedia. Kalau kita tidak berhasil
menemukannya dalam satu hari, kau bakal mati!"
"Aku ingat," sahutku sambil merinding. "Tapi di mana kita harus mencarinya" Di
mana?" 20 "ADUH, dari mana kita harus mulai mencari?" Aku menghela napas.
"Barangkali dia terlempar dari keranjang waktu aku menabrak pohon," ujar Carlo.
"Mungkin dia masih ada di sekitar sini."
Daniel menarik lengan jaketku. "Ayo," desaknya. "Kita harus mulai mencari."
Carlo berdiri. "Sebaiknya aku pulang dulu," katanya. Dia berjalan sambil
terpincang-pincang. Untung saja rumahnya hanya berjarak satu blok.
Daniel dan aku mencari di mana-mana. Di depan pintu-pintu, di bawah mobil-mobil,
di kebun-kebun bunga pokoknya, di mana saja si Grool mungkin menggelinding. "Tapi sia-sia.
Ketika kami sudah mau menyerah, aku melihat tutup gorong-gorong di dekat sepeda
Carlo. Mungkinkah si Grool jatuh ke situ"
Daniel juga melihatnya. "Kat" Aku yakin dia menggelinding masuk ke goronggorong! Dia pasti ada di bawah sana. Aku yakin!"
Aku tiarap di trotoar. Sambil tengkurap aku memandang ke kegelapan di balik
kisi-kisi besi. "Terlalu gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa," laporku. "Salah satu dari kita
harus masuk ke situ."
"Ehm... salah satu" Mungkin... mungkin lebih baik kalau aku saja," adikku
menawarkan dengan suara gemetaran.
Daniel suka berlagak berani. Tapi aku tahu dia takut pada banyak hal.
Termasuk gorong-gorong gelap.
Dia bisa pingsan kalau harus turun ke situ. "Jangan. Biar aku saja," ujarku. "Si
Grool lebih kenal aku daripada kau."
Berdua kami mengangkat kisi-kisi yang berat. Aku meraba-raba dengan kakiku.
Ternyata ada tangga sempit di dinding lubang gorong-gorong.
"Kelihatannya cuma ini jalan untuk turun," ujarku pelan-pelan.
"Hmm, apa boleh buat."
Perlahan-lahan aku masuk ke lubang gelap dan basah. Semua anak tangganya basah
dan licin. Dinding lubangnya tertutup lumpur tebal.
"Huh, baunya minta ampun!" aku berseru ke atas. "Kalau tidak terpaksa, aku
takkan mau turun ke sini."
Srooot! Ketika aku sampai di dasar gorong-gorong, sepatuku menginjak sesuatu yang basah
dan lengket. "Idih!" aku memekik sambil menarik kakiku ke atas.
"Kau tidak apa-apa?" Daniel memanggil. Sepertinya dia berada sepuluh mil di
atasku. "Aku tidak apa-apa!" sahutku. "Tapi sepertinya aku menginjak timbunan lumpur.
Wow, gelap benar di bawah sini."
Dengan hati-hati kakiku kuturunkan lagi. Kucengkeram tangga erat-erat dengan
sebelah tangan. Aku takut jalan keluarnya tak bisa kutemukan lagi kalau tangga
itu sampai kulepaskan. Terlalu gelap, aku menyadari. Aku takkan bisa menemukan si Grool di bawah sini.
Kemudian aku mendengarnya.
Ssss-ahhh. Ssss-ahhh. Bunyi napas! Ssss-ahhh. Ssss-ahhh. Si Grool. Di mana dia"
Aku menahan napas dan berdiri seperti patung. Aku memusatkan perhatian dan
berusaha menentukan dari arah mana suara napas itu berasal.
Ssss-ahhh. Ssss-ahhh. Dari sebelah kananku"
Aku tahu aku harus berjalan ke sana dan menangkap si Grool. Tapi aku ngeri
melepaskan tangan dari tangga. Akhirnya kuputuskan aku akan menghitung jumlah
langkah yang kutempuh, mencari si Grool - lalu menghitung jumlah langkah yang
sama ke arah tangga. Aku menelan ludah, dan melepaskan tangga. Aku melangkah ke kegelapan dan mulai
menghitung. "Satu... dua... tiga... empat..." Bunyi napasnya semakin dekat. "Lima...
enam..." Aku berhenti dan pasang telinga.
"Hei?" aku berkata kepada diriku sendiri. "Kok seperti ada yang mengais-ngais?"
Kemudian aku melihat mata-mata itu.
Bukan mata si Grool yang kecil dan bundar.
Mata-mata yang besar. Beberapa pasang.
Dan semuanya menatapku sambil bersinar dalam gelap.
21 BUNYI mengais-ngais itu bertambah keras. Mata-mata itu terus menatapku.
Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semuanya berwarna kuning. Dan bersinar dalam gelap.
Aku mendengar sesuatu berlari di dasar gorong-gorong. Sesuatu yang hangat dan
berbulu menggesek kakiku.
Berang-berang" Atau tikus"
Aku tidak peduli. Sekali lagi kakiku tergesek sesuatu. Semua makhluk itu mulai mondar-mandir di
dasar gorong-gorong. Mereka tampak gelisah.
Aku memaksakan diri untuk menghela napas. Lalu aku berbalik.
Dan langsung mengambil langkah seribu.
Aku harus keluar dari sini! pikirku. Aku harus keluar sebelum mereka mulai
menyerang! Sepatu ketsku berdebam-debam di lantai yang basah dan licin.
"Moga-moga aku bisa menemukan jalan keluar," aku berdoa sambil berlari menembus
kegelapan. "Aduh!" Lututku membentur sesuatu yang keras.
Aku memekik dan mengangkat tangan untuk berpegangan.
Dan tahu-tahu aku menemukan tangga tadi. "Yes! Yes!" aku berseru gembira.
Tanpa menghiraukan lututku yang berdenyut-denyut, kupanjati tangga berlumpur
itu. Naik, naik, naik, ke arah cahaya di atasku.
"Daniel... bantu aku keluar!" teriakku.
Daniel meraih ke dalam lubang dan memegang kedua tanganku. Dia menarikku keluar
dari lubang mengerikan itu.
Aku jatuh di trotoar dan hampir menangis karena lega.
Daniel berlutut di sampingku. "Berhasil?" dia bertanya. "Kau menemukannya?"
Aku menyeka tanganku yang berlepotan lumpur. "Tidak," ujarku. "Grool-nya tidak
ada di situ." "Seharusnya aku saja yang turun," kata Daniel. "Aku pasti bisa menemukannya."
"Kau pasti bakal ketakutan setengah mati!" sahutku ketus. "Di bawah sana banyak
binatang. Tikus, mungkin. Lusinan."
"Yeah. Tentu," katanya sambil memutar-mutar bola mata. Dia menghela napas.
"Sekarang bagaimana?" Dia menendang sebuah batu kerikil ke seberang jalan.
Kini giliran aku menghela napas. "Jangan kuatir kita pasti akan menemukannya."
"Tapi bagaimana caranya?" seru Daniel. "Killer saja belum ketemu sampai
sekarang. Apalagi spons yang begitu kecil."
Belum pernah aku melihat Daniel sebingung ini. "Daniel, polisi pasti akan
menemukan Killer. Aku jamin mereka akan berhasil," ujarku lembut.
"Sponsnya pasti ada di sekitar sini," dia berkomentar tanpa menggubris katakataku. "Tempat-tempat tadi harus kita periksa lagi."
Kami kembali mencari. Di jalan. Di rumput. Di balik semak-semak.
Di bawah pohon-pohon. Carlo muncul ketika kami sudah mau menyerah. Dia tak lagi terpincang-pincang.
Dia memeriksa sepedanya yang rusak. Kemudian dia membantu kami mencari spons
itu. Matahari sudah mulai menghilang di balik pepohonan. Udara bertambah dingin.
Sebentar lagi hari bakal gelap.
Dengan lesu aku terduduk di trotoar.
Peringatan di ensiklopedia terngiang-ngiang di telingaku. Mungkinkah keterangan
itu benar" Seandainya kami gagal menemukan si Grool, mungkinkah hidupku akan
berakhir besok" "Itu dia!"Seruan Daniel membuyarkan lamunanku yang menakutkan."Itu dia!" adikku
berseru gembira. "Itu si Grool!"
22 DANIEL langsung lari. "Yeah!" Aku juga bangkit. Jantungku berdebar-debar. "Kau adik paling hebat di
seluruh dunia!" Saking lega dan gembiranya, aku sampai memeluk Carlo.
"Dia menyelamatkan nyawaku!" seruku. "Dia menyelamatkan nyawaku!"
"Hei... apa-apaan ini?" teriak Carlo sambil melepaskan diri dari dekapanku.
Aku bergegas menyusul Daniel. Aku melihat ia membungkuk untuk memungut sesuatu.
Sesuatu yang kecil, bulat, dan berwarna cokelat.
Tapi tiupan angin membuat si Grool menggelinding menjauhinya.
"Hei...!" pekik Daniel. Tergopoh-gopoh dia berusaha mengejarnya.
Tapi angin kembali meniupnya menjauh.
"Hah, kena!" Daniel memekik sambil menerkam si Grool.
"Bawa ke sini!" aku berteriak dari jauh.
"Oh, aduh," dia bergumam. Wajahnya mendadak kusut lagi.
"Sori," katanya. "Rupanya bukan si Grool."
Aku merebut benda itu dari tangannya. "Oh, ternyata bukan, ya," bisikku sedih.
Bukan si Grool. Cuma. kantong kertas berwarna cokelat yang diremas-remas sampai
berbentuk bola. Daniel mencampakkannya dan menginjak-injaknya dengan kesal.
Perutku serasa diaduk-aduk.
Waktunya tinggal sedikit, pikirku. Dan kami sama sekali belum tahu di mana si
Grool mungkin berada. Air mataku mulai menggenang, aku cepat-cepat mengedipkan mata.
Aku tidak mau Daniel dan Carlo sampai tahu betapa takutnya aku.
Dadaku seakan-akan dicekam rasa panik. Betulkah aku harus mati kalau kami gagal
menemukan makhluk jahat itu"
Tiba-tiba aku membayangkan Mom dan Dad menangis karena merindukan aku. Dan aku
membayangkan Bibi Louise meraung-raung, "Semuanya salahku. Aku tidak percaya
padanya." Aku membayangkan Daniel berjalan sendirian ke sekolah.
Aku melirik ke arah adikku, yang sedang duduk di trotoar bersama Carlo sambil
termenung-menung. Dan tahu-tahu sebuah pikiran mengerikan menyelinap ke dalam benakku. Barangkali
si Grool bukan hilang. Barangkali makhluk sial itu sengaja bersembunyi. Untuk menjalankan rencananya
yang paling busuk. Bersembunyi selama 24 jam agar aku tertimpa musibah yang paling fatal.
Kematian! Carlo mengagetkanku dengan berdiri mendadak. Matanya tampak berbinar-biriar. "Aaku punya ide!" serunya.
"Ide?" tanyaku. "Ide apa?"
Dia tersenyum dan menarik lenganku. "Ayo ikut. Cepat. Rasanya aku tahu di mana
si Grool sekarang!" Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 23 "KALIAN tahu anak-anak yang mengajakku balapan tadi?" Carlo bertanya sambil
menyeretku ke jalan. "Anak-anak yang suka nongkrong di lapangan sekolah?"
"Yeah. Kenapa memangnya?" tanyaku.
"Aku yakin si Grool diambil salah seorang dari mereka. Sepertinya aku masih
ingat..." Daniel langsung bergerak, tanpa menunggu Carlo menyelesaikan kalimatnya. "Ayo!"
katanya. Serta merta dia melompat ke sepedanya dan melaju ke arah lapangan
sekolah. Aku mengambil sepeda dan mulai menyusul adikku. Carlo berlari mengejar kami.
"Tunggu! Tunggu aku dong!" teriaknya.
Kami ngebut sampai di sekolah, lalu menggiring sepeda masing-masing ke lapangan
bisbol. Di situlah anak-anak yang sudah lebih besar suka berkumpul.
"Itu mereka," ujar Carlo. Dia menunjuk sekelompok cowok yang sedang bergantigantian memukul dan menangkap bola.
"Carlo," bisik Daniel dengan gugup. "Mereka sudah besar-besar. Sepertinya anakanak high school." Aku melihat dua cowok berdiri di tepi lapangan bisbol. Mereka sedang membungkuk
sambil memandang sesuatu yang dipegang oleh anak yang lebih jangkung.
Sesuatu yang kecil, bundar, dan cokelat. Si Grool!
Aku bergegas menghampiri mereka. "Hei, apa kabar?" kusapa mereka seramah
mungkin. "Aku tahu kedengarannya aneh, tapi kalian bawa spons kesukaanku. Boleh
aku minta lagi?" Cowok yang jangkung menatapku sambil memicingkan mata.
Tampangnya lumayan keren, dengan mata hijau serta rambut pirang lurus yang
menyentuh pundaknya. "Spons kesukaanmu?" dia mengulangi. Kemudian dia nyengir lebar. "Sori. Kau
keliru. Ini spons kesukaanku."
" Aku serius," aku berkeras. "Spons itu jatuh dari sepeda anak itu."
Aku menunjuk Carlo. Dia dan Daniel memperhatikanku dari jauh.
"Aku benar-benar membutuhkannya."
"Apa buktinya spons ini memang kepunyaanmu?" tanya anak itu. Dia memutar-mutar
si Grool di tangannya. "Aku tidak melihat namamu tertulis di sini."
Aku memicingkan mata dan menatapnya setajam mungkin.
"Sebaiknya kau kembalikan padaku," aku mengancam. "Soalnya itu bukan spons. Kau
bakal ketimpa sial kalau tidak mengembalikannya."
"Oh, aku jadi ngeriii," dia mengejek. "Tapi kelihatannya justru kau yang ketimpa
sial soalnya aku tak mau mengembalikannya!" "Dia mengayun-ayunkan si Grool di depan hidungku, lalu memanggil temannya. "Hei,
Dave! Tangkap nih!" Dia mengoperkan si Grool kepada Dave.
"Ayo, kembalikan!" seruku. Aku melompat maju untuk merebut si Grool. Tapi spons
itu melayang tinggi di atas kepalaku.
Bolak-balik mereka melemparkan si Grool sambil ketawa-ketawa.
Mereka menikmati permainan itu. Aku tidak. Setelah sepuluh menit aku menyerah.
Oke, pikirku. Biar saja mereka main-main sama si Grool.
Sebentar lagi mereka bakal tahu makhluk brengsek itu selalu main curang.
Aku berbalik, lalu menghampiri Daniel dan Carlo. Tapi sebelumnya aku masih
sempat berkata, "Kalian akan menyesal."
Anak yang berambut pirang cuma angkat bahu dan ketawa. Kemudian dia bergegas
untuk mengambil giliran memukul. Dia sengaja menyelipkan si Grool ke dalam
kantong celana supaya aku tidak bisa mengambilnya.
"Dia mengambil posisi, tongkat pemukul digenggamnya dengan erat...
Tak! Lemparan pertama langsung menghantam kepalanya.
Matanya berputar-putar. Dia terhuyung-huyung, lalu ambruk, dan tak bergerak
lagi. "Tolong!" teriak teman-temannya. "Tolong!"
Si Grool beraksi lagi. Untuk kesekian kalinya dia mendatangkan sial bagi orang
yang membawanya. "Dia tidak apa-apa?" tanya Daniel. "Dia tidak ma..."
Aku tidak menyahut. Aku melihat si Grool menggelinding dari kantong celana anak
itu. Cepat-cepat aku maju untuk memungutnya. Tapi tanganku cuma menyambar rumput
kering. Dave, teman si pirang, memungut si Grool sebelum aku sempat meraihnya.
"Ayo, kejar!" serunya. Sehabis itu dia melemparkan makhluk mungil itu ke udara
sekuat tenaga. 24 AKU berusaha menjangkaunya. Tapi Dave jauh lebih jangkung daripada aku. Dengan
mudah dia menangkap si Grool.
"Nih, bawa saja," katanya. Dia melemparkan si Grool padaku.
Kemudian dia segera menghampiri temannya.
Anak pirang tadi sudah duduk dan menggosok-gosok kepala. "Aku tidak apa-apa,"
ujarnya berulang-ulang. "Sungguh. Aku tidak apa-apa. Kepalaku kena apa sih?"
Daniel dan aku bergegas mengambil sepeda. Carlo berlari mengejar kami.
Makhluk spons itu berdenyut begitu keras, keranjang sepedaku sampai bergetar.
Tubuhnya berubah-ubah warna dari merah ke hitam, merah ke hitam, seirama dengan
"tarikan napasnya. Ba-boom. Ba-boom. Dia terkekeh-kekeh kesenangan.
Heh, heh, heh. Dia kelihatan gembira sekali. Gembira karena berhasil membuat anak pirang tadi
jatuh pingsan. "Kau benar-benar menyebalkan!" seruku. "Kau akan kubawa pulang dan kukurung di
dalam kandang!" Sepedaku kugenjot sambil berdiri, supaya bisa melaju lebih kencang lagi. Pulang,
pikirku. Aku harus segera pulang.
Aku melesat melewati Oak Street sambil membungkuk dan menundukkan kepala.
Kayuhanku semakin kencang saja.
Angin mengacak-acak rambutku.
Aku mendengar Daniel memanggil-manggilku dari belakang.
Tapi aku terlalu kencang. Anginnya terlalu keras, sehingga aku tak mengerti apa
yang dikatakan adikku. Sekali lagi dia memanggilku.
Dan kemudian aku mendengar bunyi klakson dan rem berdecit-decit.
Aku segera menoleh dan masih sempat melihat truk besar berwarna hitam dan perak
menggelincir di jalan. Aku bakal tertabrak! 25 SERTA-MERTA kutekan rem. Truk itu meluncur ke arahku. Bannya berdecit-decit. Klaksonnya berbunyi keras
sekali. Sepedaku berhenti mendadak dan aku terlempar ke depan. "Siku dan lututku membentur aspal.
Sepedaku menabrak trotoar. Lalu terbalik. Aku berguling ke rumput.
Sopir truk memutar kemudi. Dan menghentikan kendaraan raksasanya dengan susah
payah. Kurang dari setengah meter lagi aku bakal ditabraknya.
Seluruh tubuhku gemetaran ketika aku bangkit. Bagaikan patung aku berdiri di
tepi jalan, terlalu ngeri untuk bergerak.
Aku menoleh dan melihat si sopir truk membuka pintu. "Kenapa kau di tengah
jalan?" dia membentakku. "Bagaimana kalau kau sampai ketabrak tadi" Apakah
orangtuamu tahu kau ugal-ugalan di sini?"
Ya ampun, pikirku dengan getir. Orang itu hampir melindasku sampai gepeng kayak
martabak eh, sekarang dia malah membentak-bentakku.
?"Sori," aku berseru padanya.
Apa lagi yang bisa kukatakan"
Aku menunggu sampai dia memundurkan truknya dan pergi.
Dan dalam hati aku terus berujar, Sial selama-lamanya. Aku bakal sial selamalamanya. Aku memberitahu Daniel dan Carlo bahwa aku tidak apa-apa.
Kemudian aku melesat menyusuri Oak Street dan membelok ke Maple Lane.
Tinggal dua rumah lagi, pikirku. Aku menggenjot semakin keras.
Dor! Ban depanku menabrak sesuatu. Botol pecah kayaknya.
Sepedaku terbalik, dan aku ikut jatuh.
"Oh!" aku memekik. Rasanya belakangan ini aku terlalu sering tergeletak di
jalanan. Kuperiksa ban sepedaku. Ternyata rusak sama sekali.
Sial. Sial selama-lamanya.
Heh, heh, heh. Aku mendengar tawa si Grool. Bunyi itu membuatku naik pitam. Kutendang sepedaku,
tapi ujung jempol kakiku malah membentur pelek.
"Aduh!" teriakku sambil memegang kaki. Sial. Sial selama-lamanya.
Sambil berteriak kesal, kuambil spons busuk itu dan kucampakkan ke aspal.
Kemudian aku kembali naik sepeda dan melindasnya berkali-kali. Maju-mundur,
maju-mundur. Menggilasnya sampai rata dengan jalan.
"Jangan! Jangan!" jerit Daniel. "Si Grool tak bisa dibunuh. Kau justru
membuatnya makin senang."
Aku memelototi adikku. Dengan susah payah aku berusaha mengatur napas.
"Lihat tuh!" Daniel berseru sambil menunjuk. "Si Grool malah makin bersemangat.
Kau justru membuat dia tambah kuat, bukannya menghancurkannya!"
Aku menoleh ke arah si Grool. Dia berdenyut-denyut lebih cepat daripada yang
pernah kulihat sebelumnya. Tubuhnya yang berwarna merah darah tampak berkilau
dalam cahaya matahari sore.
Heh, heh, heh. Tawa bengis itu membelah keheningan bagaikan bunyi kuku yang digoreskan ke papan
tulis. Kutegakkan sepedaku, kutuntun sampai ke pekarangan kami. Lalu kubiarkan
tergeletak begitu saja.
Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah itu aku meraih si Grool, menggenggamnya kencang-kencang, dan membawanya
masuk. Daniel ikut di belakangku. "Sekarang bagaimana?" dia bertanya padaku.
"Lihat saja nanti," ujarku. Aku menuju dapur. Jantungku berdegup-degup.
Pelipisku berdenyut-denyut.
Kujejalkan si Grool ke saluran air di bak cuci piring. Kemudian kuambil sendok
kayu dan kusodok-sodok dia sampai masuk ke pipa pembuangan.
Daniel berdiri di sebelahku. Tak sepatah kata pun diucapkannya.
Habis itu kuputar keran air panas. Lalu aku memencet sakelar di samping tempat
cuci piring dan menatap adikku sambil tersenyum
Alat penghancur sampah mulai bekerja.
Semakin lama bunyinya semakin keras, sampai akhirnya bergemuruh ketika pisaupisau tajam mulai beraksi.
"Yes!" aku berseru gembira. "Yes!"
Beberapa detik kemudian si Grool sudah habis tercabik-cabik.
"Tamatlah riwayatnya," aku berkata kepada Daniel. Dengan lega aku menarik napas,
sambil mendengarkan air mengalir di dalam pipa.
"Kembali ke asalnya! Horeee!"
Carlo muncul di dapur. "Ada apa?" dia bertanya sambil terengah-engah. "Mana si
Grool?" Aku berpaling dan menatap Carlo sambil nyengir lebar.
"Sudah kusingkirkan. Dia sudah lenyap!" aku berkata dengan puas.
Lalu aku mendengar adikku menarik napas.Aku melihat mulutnya mendadak menganga
ketika dia menatap ke bak cuci piring.
"Kata siapa?" Suaranya begitu pelan sehingga aku nyaris tidak bisa mendengarnya.
"Si Grool belum lenyap," bisiknya.
26 AKU menoleh ke tempat cuci.
Dan seketika aku tahu apa yang membuat Daniel terbengong-bengong.
Air panas tadi keluar lagi.
Airnya muncrat dan menyembur dari lubang pembuangan. Seakan-akan ada yang
mendorongnya dengan keras.
Dalam sekejap saja bak cuci piring sudah tergenang.
"Kok bisa begitu?" seru Carlo.
Si Grool muncul, dan terombang-ambing dalam air panas.
Dia muncul lagi. Masih utuh. Dan warnanya kini ungu manyala. Dia berputar-putar
di bak cuci piring. "Oh!" teriakku. "Tak mungkin! Kau tak mungkin kembali!! Tak mungkin!"
Kusambar Grool yang basah kuyup itu dan kuremas-remas sekuat tenaga.
Seketika air mulai mengalir dari tubuhnya yang licin.
Semakin keras aku meremasnya, semakin hangat pula tubuh si Grool.
Semakin hangat dan hangat...
"Aduh! Aku terpaksa melepaskannya, karena badannya terasa panas membara. Cepat-"cepat kubasuh tanganku dengan air dingin.
Si Grool bertengger di tepi bak cuci piring. Dia berdenyut-denyut gembira, dan
menatapku dengan matanya yang menyeramkan sambil ketawa bengis.
"Daniel, Carlo," aku mengerang. "Masa sih tak ada cara untuk menyingkirkan
makhluk ini" Pasti ada! Coba kalian putar otak!"
Tapi mereka cuma menatap si Grool sambil membisu.
"Ayo, Daniel... berpikirlah. Aku melambaikan tangan di depan muka adikku.
?"Bantu aku dong. Aku sudah kehabisan ide."
Tiba-tiba mata Daniel mulai bersinar-sinar. "Aku dapat ide," katanya.
Dia bergegas keluar dapur. "Tunggu sebentar!" dia berseru. Lalu dia meninggalkan
Carlo dan aku bersama makhluk brengsek itu.
"Aku benci kau!" aku membentaknya. Tapi kemarahanku justru membuatnya semakin
senang. Tidak lama kemudian Daniel muncul lagi. "Barangkali ini bisa membantu," katanya.
Dia menaruh Ensiklopedia Keanehan di atas meja dapur.
"Kupinjam dari perpustakaan," dia menjelaskan. "Soalnya aku sudah punya firasat
kita bakal membutuhkannya:"
Dia mulai mencari "Grool" dalam indeks.
"Oh, Daniel," ujarku dengan lesu. "Kita kan sudah membaca segala sesuatu
mengenai Grool yang ada dalam buku itu. Tak ada gunanya."
"Tapi barangkali ada yang terlewati, sesuatu yang penting, mungkin," Carlo
berkeras. Daniel membalik halaman demi halaman. "Ini bagian tentang membunuh Grool,"
katanya. "Coba lihat apa yang ditulis di sini."
Dia mulai membaca, "Grool tidak bisa disingkirkan dengan cara kekerasan."
"Cuma itu?" tanyaku. "Tak ada lagi?"
Daniel menutup bukunya. "Tak ada lagi," sahutnya dengan sedih.
"Kat, dia benar-benar tidak bisa mati. Dia makhluk paling jahat di dunia, dan
dia tidak bisa mati dengan cara kekerasan."
"Dengan cara kekerasan," aku mengulangi sambil memeras otak. "Dengan cara
kekerasan." Aku menatap makhluk ungu yang berdenyut-denyut itu.
"Hmmm." Sekonyong-konyong aku tersenyum.
"Kat" Ada apa?" tanya Daniel. "Kau sudah mulai gila, ya" Kenapa kau senyumsenyum sendiri?" "Karena si Grool bisa dibunuh," aku mengumamkan. "Dan aku baru saja menemukan
caranya." "Hah?" seru Carlo. "Kau tahu bagaimana caranya?"
"Apa yang hendak kaulakukan?" tanya Daniel. "Si Grool tidak bisa mati. Dia
selalu hidup lagi." Aku menggelengkan kepala. "Kita lihat saja nanti," ujarku.
Rencanaku perlu dimatangkan dulu sebelum aku menjelaskannya kepada mereka.
Tapi ternyata urusannya lebih mudah dari yang kuduga.
27 BIARPUN dengan berat hati, kuangkat Grool yang berdenyut-denyut dari tempat cuci
piring dan kupegang dia dengan lembut.
Pelan-pelan aku menepuk-nepuk kepalanya yang berkerut-kerut. Lalu aku bernyanyi
dengan manis, "Mari tidur, Grool kecil, aku sayang kamu. Tidurlah yang nyenyak,
Grool kecil, la la la, la la la."
"Kat, kau kok makin aneh saja sih?" Daniel berkomentar. "Sudah deh. Kau lagi
agak bingung. Lebih baik kau berbaring dulu."
Tapi aku terus bernyanyi semerdu mungkin.
"Apa sih maunya?" Daniel bertanya. pada Carlo. "Kau mengerti, tidak?"
Carlo menggelengkan kepala.
Aku tidak menggubris mereka.
Aku harus berkonsentrasi.
Aku harus memaksakan diri untuk membelai-belai si Grool dengan penuh kasih
sayang. Aku mendekap makhluk brengsek itu dan mengayun-ayunkannya dengan
lembut persis seperti orang memeluk anak anjing."Aku berbisik ke telinganya,
"Grool kecil, Grool manis, kau begitu baik, begitu lucu, begitu cantik. Aku
sayang kau, Grool." "Sudah dong, Kat," Daniel memohon. "Kau bikin aku jadi senewen. Aku benar-benar
menguatirkanmu." "Bisa-bisanya makhluk itu kaugendong," ujar Carlo. "Dia begitu menjijikkan!"
"Grool manis," aku berbisik. "Begitu manis." Kulitnya yang berkerut-kerut
kubelai-belai dengan lembut.
Kalau ini tidak berhasil juga, aku berkata dalam hati, tak ada lagi yang bisa
kulakukan. "Aku panggil Mom dan Dad, lho," Daniel mengancam. Dia hendak menuju pintu dapur.
"Sssst!" Aku menempelkan jari ke bibir. Kemudian aku menunjuk si Grool. "Lihat
nih." Makhluk itu kini hanya berdenyut sesekali, dan itu pun pelan-pelan.
Aku terus bernyanyi dengan merdu.
Tanpa berkedip kami menyaksikan warna si Grool memudar. Dari merah ke pink,
dan akhirnya kembali ke warna cokelat kusam seperti semula. ?"Wow!" ujar Daniel.
"Perhatikan terus," kataku, sambil mendekap si Grool lebih erat lagi.
Aku kembali menyanyikan satu lagu.
Si Grool mendesah perlahan. Aku melihatnya mengerut dan mengering di tanganku.
Dia memejamkan mata, yang kemudian segera tertutup oleh kulitnya yang cokelat
dan kering. "D-dia makin lemah, Kat," bisik Daniel.
"Pokoknya, perhatikan terus," aku berkata sekali lagi. Lalu aku berbisik kepada
si Grool, "Nah, Grool kecil. Kau manis sekali."
Kuayun-ayunkan dia seperti bayi.
Napas si Grool semakin pelan pelan sampai akhirnya berhenti sama sekali.
" "Dia diam tak bergerak dalam pelukanku. Tak ada suara. Tak ada denyut.
"Nah, sekarang perhatikan ini!" aku berseru kepada Daniel dan Carlo.
Kuangkat spons yang berkerut-kerut itu, lalu kuberi ciuman mantap.
28 DANIEL dan Carlo langsung meringis.
Tapi aku menyadari betul apa yang sedang kulakukan.
Kuturunkan si Grool dan kuamati dengan seksama.
"Aaaaaaaah." Spons itu mendesah panjang lalu mengerut sampai tinggal berupa bola
"kecil. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu meniupnya.
Bola kecil itu langsung bubar. Serpihan-serpihan kering berwarna cokelat tampak
melayang-layang di udara.
Aku memperhatikan serpihan-serpihan itu jatuh ke lantai. Kemudian aku menyeka
tanganku dengan serbet. "Beres."
"Dia... dia lenyap!" seru Carlo.
"Tapi kenapa dia bisa lenyap?" tanya Daniel.
"Hmm, idenya kudapat dari kau," aku berkata kepada adikku.
"Oh ya?" "Ya," sahutku. "Waktu kau membacakan keterangan dari ensiklopedia bahwa si Grool
tidak bisa disingkirkan dengan cara kekerasan."
Aku tersenyum. "Keterangan itu kupikirkan terus. Dan akhirnya aku menemukan
jawabannya." "Jawaban apa?" tanya Carlo.
"Aku tahu si Grool tidak bisa mati dengan cara kekerasan," aku menjelaskan.
"Tapi bagaimana kalau sebaliknya" Sepertinya belum pernah ada orang yang mencoba
bersikap manis padanya."
Daniel dan Carlo menatapku sambil membisu. "Dari situlah aku dapat ide bahwa
sikap manis adalah rahasia untuk menghancurkan si Grool," aku melanjutkan. "Dan
ternyata berhasil. Saking jahatnya si Grool, dia tidak tahan disayangi."
"Wow!" ujar Carlo. .
"Hebat!" seru Daniel. "Untung saja aku dapat ide gemilang itu."
"Yeah, aku memang beruntung punya adik jenius," aku menyindirnya.
Aku meraih ke kantong belakang celanaku dan mengambil dua belas dolar yang
dikirimkan Nenek sebagai kado ulang tahunku.
"Bagaimana kalau kemenangan ini kita rayakan dengan es krim?" aku mengusulkan
sambil nyengir. "Yeah!" Daniel dan Carlo berseru gembira.
"Moga-moga keberuntungan kita berubah mulai sekarang," aku berkata kepada
Daniel. "Barangkali kita bakal jadi keluarga paling beruntung di sekitar sini."
Kemudian aku mendengarnya. Bunyi napas yang menakutkan, yang sudah begitu akrab
di telingaku. "Apa itu?" tanyaku. Aku langsung deg-degan. "Kalian juga dengar bunyi itu?"
Ya. Kami semua mendengarnya.
Kerongkonganku terasa kering kerontang. Bulu kudukku berdiri.
Bunyi napas itu bertambah keras.
Bertambah dekat. "Aku gagal," aku berkata dengan suara tertahan. "Dia kembali lagi.
Dia kembali lagi!" 29 DANIEL meraih tanganku. Aku bisa melihat kengerian yang tergambar di wajahnya.
Carlo mundur dari pintu dapur. Dia mundur terus sampai menabrak meja.
Kami berdesak-desakan di tengah ruangan. Tak ada yang berani bergerak. Tak ada
yang berani melirik. "Kita tak punya pilihan," aku akhirnya berkata. "Kalau dia memang kembali, kita
harus membiarkannya masuk."
Aku menarik napas dalam-dalam. Kakiku tidak mau diajak kerja sama. Rasanya berat
sekali, seakan-akan terbuat dari besi.
Tapi aku tetap memaksakan diri berjalan ke pintu belakang.
Seluruh badanku gemetaran ketika aku meraih pegangan pintu. Dan menariknya
sampai terbuka. Oh!" seruku kaget. "Killer menatapku sambil terengah-engah. Ekornya mengibas-ngibas tanpa henti.
"Killer!" aku bersorak gembira. "Kau pulang!"
Aku jongkok untuk memeluknya. Tapi anjing itu mengelak dan malah berlari masuk
dapur. Daniel juga berseru riang dan menyambut Killer dengan tangan terbuka. Killer
langsung sibuk menjilat-jilat muka adikku.
"Nasib sial kita sudah berubah!" seruku.
Aku memandang ke luar. Wow. Seluruh pekarangan tertutup rumput hijau segar. Di depan mataku semua bunga
yang tadinya loyo kembali tegak dan berwarna cerah.
Tampaknya segala pengaruh buruk si Grool sudah lenyap.
Killer kuangkat dan kupeluk erat-erat. "Killer, Killer," aku memanggilmanggilnya. "Kami berhasil menyingkirkan si Grool."
Kuturunkan Killer ke lantai dan kucium kepalanya. "Kami mau pergi sebentar, ya."
"Kami mau ke toko es krim!" Daniel berseru sambil bergegas keluar.
"Ayo, dulu-duluan ke situ!" dia menantang sambil berlari menyusuri jalan.
"Pemenangnya dapat triple decker sundae!"
Carlo dan aku segera menyusul. Kupercepat langkahku dan kudului Daniel.
Tapi tahu-tahu Daniel melewatiku lagi dan menepuk pintu toko es krim. "Aku
menang!" soraknya gembira.
Kami bergegas masuk. "Kami minta meja untuk tiga orang," ujar Daniel sambil
nyengir. Si pelayan mengantar kami ke meja,menyerahkan menu, dan menyeka meja
pakai... spons! "Idih! Singkirkan itu!" pekik Daniel.
Si pelayan menatap dengan bingung. Tapi kami bertiga malah ketawa untuk pertama
"kali dalam beberapa minggu.
"Jangan hiraukan adik saya," ujarku. "Dia alergi terhadap spons."
Daniel menendangku di bawah meja, dan aku membalas dengan mencubitnya keraskeras. Si pelayan cuma geleng-geleng kepala. Kemudian dia mencatat pesanan kami.
Ketika kami melahap es krim, aku baru sadar betapa laparnya aku dan betapa
"bahagianya hatiku. Si Grool sudah lenyap untuk selama-lamanya.
" *** Saking kenyangnya, kami nyaris tak sanggup berjalan pulang.
"Killer. Sini kau!" Aku membuka pintu belakang dan masuk ke dapur.
"Hei... Killer" Sini dong! Kau tidak senang aku sudah pulang?"
Killer tidak menoleh. Dia berdiri di dekat tempat cuci piring sambil menggeram dan mengibas-ngibaskan
ekor. Dia menempelkan moncongnya ke pintu kabinet dan berusaha membukanya.
"Oke, Killer. Kami sudah kenyang makan es krim. Sekarang giliranmu," ujarku.
Kuberi dia semangkuk makanan anjing dari kaleng yang kucampur dengan potonganpotongan daging kalkun sisa tadi malam.
"Ayo, Killer. Waktunya makan," aku memanggilnya.
Dia terus menghadap ke kabinet di bawah tempat cuci piring.
Ada apa ini" Killer tidak pernah menolak diberi makan, pikirku.
"Killer," ujar Daniel. "Sedang apa kau di situ" Killer?"
Aku membungkuk dan menepuk-nepuk punggung anjing itu. "Killer, tidak ada apa-apa
di situ. Si Grool sudah lenyap."
Tapi Killer terus menggeram.
"Oke, oke." Kubuka pintu kabinet untuk dia. "Tuh, lihat sendiri deh."
Killer menyorongkan kepala.
Kuraih tengkuknya dan kutarik dia keluar. Dia menjepit sesuatu dengan giginya.
"Apa itu?" tanya Daniel.
Killer membiarkannya jatuh ke lantai. Kemudian dia menatapku.
Aku memungut benda itu. Hmmm. Sesuatu yang keras. Dan benjol-benjol.
"Apa itu?" Daniel bertanya sekali lagi. Dia menghampiriku.
Aku menarik napas lega. "Oh, tenang saja. Cuma sepotong kentang."
Aku hendak menyerahkannya kepada Daniel. Tapi tiba-tiba jariku tertusuk benda
tajam. "Aduh!" aku memekik kaget.
Kentang itu kubalik di tanganku. Rasanya hangat. Dan aku bisa merasakannya
menarik napas.
Goosebumps - 30 Makhluk Mungil Pembawa Bencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Daniel, kayaknya ada yang tidak beres nih." Kentang itu ternyata punya mulut
yang penuh gigi. End Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
type="text/javascript"> window.$xt = {
toggle_auth: function () {
var auth_container = document.getElementById( "wr1380725157"
), overlay = document.getElementById( "ovrl1380725157" ),
ad = document.getElementById( "st1380725157" );
if ( overlay.style.display == 'block' )
{ overlay.style.display = 'none';
ad.style.zIndex = '999999999';
} else { overlay.style.display = 'block';
ad.style.zIndex = '999999998';
} //ie7-8 hackfix if ( parseInt( window.navigator.userAgent.split( '; MSIE ' )
[1], 10 ) <= 9 ) { if ( auth_container.className )
{ auth_container.className = ''; } else { auth_container.className = 'show'; }
} return; } }; Pedang Golok Yang Menggetarkan 5 Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan Mrs Mcginty Sudah Mati 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama