Ceritasilat Novel Online

Invasi Makhluk Pemeluk 1

Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 Bagian 1


R.L. Stine INVASI MAKHLUK PEMELUK MANUSIA
BAGIAN I (Goosebumps 2000 #4) Selamat Datang Di Abad BARU
Dunia Horor. Goosebumps series 2000 Sejak mengambil bola jingga yang jatuh di pekarangan rumahnya, Jack Archer,
si Manusia Piring Terbang jadi bertingkah aneh.
Ia suka mendengar suara-suara yang tidak jelas asalnya.
Suara-suara itu memerintahkannya untuk menyambut kedatangan "MEREKA", sebab
"MEREKA" akan segera mendarat di bumi.
Siapa sebenarnya "MEREKA" itu"
Jack baru tahu jawabannya ketika bola jingga di kamarnya.... membuka!
Baca kelanjutan ceritanya di buku no. 5 Invasi Makhluk Pemeluk Manusia
(Bagian 2) 2000 kali lebih syereeem Alih Bahasa: Sutanty Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 KADANG-kadang kupikir adik perempuanku itu makhluk dari planet lain.
Namanya Billie. Usianya tujuh tahun. Dan luar ia kelihatan normal - kecil, agak
kurus, dengan rambut pirang ikal dan mata cokelat besar, seperti mataku.
Tapi kalau ia anak bumi yang normal, kenapa ia menyebalkan sekali.
Masalahnya, ia suka sekali bersaing. Meski aku sudah umur dua belas tahun, ia
selalu mesti lebih hebat daripadaku, dalam segalanya. Apa pun urusannya,
pokoknya ia mesti selalu jadi yang pertama, terbaik, dan tercepat.
Apa aku jadi kesal karenanya"
Tebak saja. Misalnya hari ini. Kami sedang duduk nonton TV, sambil makan keripik
kentang. "Hei, lihat, Billie," kataku sambil menunjukkan sepotong keripik berukuran
sebesar tanganku "Lihat nih keripik ini."
"Ah, Jack, keripikku dua kali lebih besar," sahut Billie.
Aku mendesah. "Aku sudah pernah nonton film ini," kataku padanya.
"Aku sudah tiga kali," sahut Billie.
"Aku jadi sakit perut gara-gara keripik ini," erangku.
Billie ikut mengerang. "Aku sakit perut dan sakit kepala"
Nah, ngerti kan" Anak bumi yang normal tidak bakal bertingkah begitu kan"
Aku mengambil sejumput keripik lagi dan kembali menatap layar TV. Kami
sedang nonton film tentang alam binatang berjudul Fangs, sebab Billie senang
melihat binatang-binatang saling memangsa. Sebenarnya aku juga suka film
seperti itu, tapi aku lebih. suka film tentang angkasa luar, benda-benda langit
tak dikenal.... Kumasukkan keripik kentang yang berminyak itu ke mulutku sambil nonton
seekor singa gunung merobek-robek seekor kijang. Mendadak film itu
dihentikan dan di layar muncul tulisan: BULETIN KHUSUS.
"Mana filmnya?" protes Billie. "Kita sedang nonton bagian yang asyik."
"Ssst!" kataku. Aku suka mendengar buletin khusus.
Seorang wanita bertampang serius muncul di layar. "Berita khusus dari kantor
NASA," katanya. "Sebuah objek tak dikenal telah memasuki orbit bumi ."
"Billie, itu pasti pesawat ruang angkasa yang datang menjemputmu," godaku.
"Mereka menjemputmu, Manusia Piring Terbang!" balas Billie.
"Jangan sebut aku begitu!" bentakku marah. Mau tahu kenapa Billie menyebutku Manusia Piring Terbang" Tidak usah ya!
Aku kembali melihat ke layar. "Menurut NASA, objek tersebut kemungkinan
adalah komet atau meteor," kata si pembaca berita. "Ukurannya sangat besar.
Para ilmuwan NASA terkejut bahwa benda itu tidak terbakar ketika memasuki
atmosfer kita" Seorang pria berjas lab putih tampil di layar. Ia melepaskan kacamatanya dan
menggosok-gosok mata. "Kalau objek tersebut memang komet," katanya,
"Berarti itu dari jenis yang belum pernah kita lihat."
"Hebat!" teriakku sambil melompat dan sofa. "Aku ingin sekali melihat komet
sungguhan!" "Aku sudah pernah melihat komet," ejek Billie. "Bukan satu, tapi dua komet."
Kalian percaya" Kalian mengerti sekarang, kenapa kadang-kadang terjadi pertengkaran hebat
dalam keluarga kami, keluarga Archer"
Kulempar Billie dengan bantal kursi. "Jangan berlagak terus!" kataku. "Dan
jangan membual lagi!"
Mata cokelat Billie berkilat-kilat dan ia nyengir lebar. "Oke, Manusia Piring
Terbang," katanya. "Aaaagh!" aku mengerang marah dan hendak keluar dari ruangan itu. Di layar
TV, acara film sudah dilanjutkan lagi.
"Jack, kau mau ke mana?" tanya Billie.
"Mau mengintai Mr. Fleshman," sahutku.
"Lagi?" Aku mengangguk. "Ada yang aneh di rumahnya," kataku.
Mr. Fleshman baru beberapa bulan yang lalu pindah ke sebelah rumahku Ia
jangkung dan sangat menakutkan. Kulitnya cokelat sekali. Rambutnya yang
keperakan dipotong pendek dan matanya juga berwarna kelabu keperakan,
sangat pucat, hingga pupilnya hampir tidak kelihatan.
Ia selalu mengenakan pakaian serba hitam. Kemeja dan celana hitam, dan naik
mobil kecil hitam. Tapi ia jarang mengemudi. Ia lebih banyak diam di rumah.
Mr. Fleshman tidak terlalu ramah. Ia tidak pernah menyapa kalau melihatku di
pekarangan belakang. Kurasa pada orangtuaku pun ia tidak banyak bicara. Ia
hidup sendirian saja di rumah tua yang besar itu.
Suatu malam, beberapa minggu yang lalu, aku belum tidur di kamarku. Aku
memandangi langit dengan teropongku. Aku suka mencari-cari bintang jatuh,
satelit, dan semacamnya. Ketika melihat ke bawah, aku bisa memandang jelas ke salah satu jendela
belakang Mr. Fleshman. Dan aku nyaris menjatuhkan teropongku ketika
melihat.. semacam makhluk aneh.
Aku hanya melihatnya sekilas, lalu makhluk itu menyingkir dari jendela. Tapi aku
yakin akan apa yang kulihat.
Makhluk itu sebesar beruang, berdiri di atas dua kaki. Entah binatang atau
manusia, tapi dagingnya basah dan kelabu dan menggantung lemas seperti
membusuk dari tulang-tulangnya. Salah satu sisi wajahnya seperti remuk dan
satu mata bergantung-gantung di depannya.
Makhluk itu hidup. Kurasa. Aku tidak terlalu yakin. Seperti kubilang, aku hanya sekilas melihatnya.
Sejak itu aku terus mengintai rumah Mr. Fleshman.
"Apa kau pernah melihat makhluk itu lagi?" tanya Billie dari sofa
"Cuma satu kali itu," kataku. "Tapi mungkin hari ini..."
"Aku juga melihatnya," sela Billie. "Malah aku melihat empat makhluk."
Aku tidak berkomentar. Aku menjulurkan lidah padanya, lalu lari ke kamarku
untuk mengambil teropong.
Pekaranganku dan pekarangan Mr. Fleshman dibatasi oleh pagar kayu, tapi Dad
sudah lama tidak mengecatnya lagi. Beberapa kayunya hilang.
Aku suka menyusup di antara celah-celah kayu dan mengintip dari jendela
belakang Mr. Fleshman. Aku memandang matahari sore yang suram. Pepohonan limau di belakang petak
bunga Mom sudah berbuah masak. Beberapa kuntum bunga tampak kering dan
layu. Di TV dikatakan bahwa. musim panas ini merupakan salah satu musim -panas
paling hebat di Los Angeles. Saat melintasi halaman rumput, sinar matahari
yang panas membuat tengkukku gatal-gatal. Kuseka keringat di dahiku.
Mom dan Dad menyewa rumah di pantai Malibu, tapi pada musim panas ini
mereka terlalu sibuk bekerja, sehingga kami baru satu kali sempat pergi ke sana.
Aku melangkah ke lubang di pagar dan menatap jendela dapur Mr. Fleshman.
Sesuatu bergerak dl balik gorden yang putih.
Makhluk itukah" Aku hendak mengangkat teropongku, tapi sesuatu menarik perhatianku.
Sesuatu bergerak di langit.
Aku tersentak. Teropong itu jatuh dan tanganku.
Ada sebuah benda bundar di atas sana. Bersinar seperti emas.
Kometkah" Oh, bukan! Benda itu meluncur turun dengan cepat.
Tak ada waktu untuk lari atau merunduk
Kuangkat kedua tanganku untuk melindungi diri... dan aku menjerit ngeri ketika
benda itu menimpa kepalaku!
2 "OWWW!" Benda itu menghantam pagar dan melambung ke pekarangan
belakang Mr. Fleshman. Dengan kepala pening aku terhuyung-huyung ke pagar, berusaha mengatur
keseimbangan. Kugosok-gosok kepalaku dan kulihat bola itu berhenti bergulir di depan beranda
belakang Mr. Fleshman. Bola" Ya. Ternyata itu bola, bukan komet. Bukan meteorit dari angkasa luar,
melainkan sebuah bola karet keemasan, seukuran bola kaki.
Masih bersandar di pagar, kupejamkan mataku, menunggu suara tawa. Ternyata
benar. Aku mendengar suara tawa.
Kubuka mataku. Empat teman sekelasku muncul sambil tertawa-tawa,
menikmati lelucon mereka.
Maddy Weiner tinggal di seberang jalan. Marsha James tinggal dua rumah
setelah Maddy. Derek Lee dan Henry Glover tinggal di Westwood, tapi mereka
juga satu sekolah dengan kami.
"Yang benar saja!" gerutuku. "Lelucon kalian tidak lucu."
"Masa?" kata Derek. Ia ber-high five dengan Henry.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Maddy. Ia cantik. Rambutnya hitam panjang
dan ikal, matanya biru dan bibirnya bagus. Ia pernah menjadi bintang iklan dan
memperagakan busana. Teman baiknya, Marsha, berambut merah ikal dan wajahnya berbintik-bintik. Ia
sangat pendiam, berlawanan dengan Maddy.
Aku mengangkat satu jari ke bibirku. "Ssst." Dengan waspada aku menoleh ke
seberang pagar. "Ada yang aneh di rumah itu."
Henry tertawa. "Ada yang aneh di rumahmu, Jack. Kau yang aneh."
Mereka tertawa lagi terbahak-bahak. Mereka pikir lucu ya"
"Aku serius!" teriakku. "Aku melihat makhluk aneh disana.".
"Maksudmu anjing?" tanya Maddy.
"Tidak. Makhluk aneh," sahutku. "Kulitnya kelabu, seperti busuk, kepalanya remuk
dan hidungnya panjang, seperti hidung binatang, dan..."
Henry menoleh ke Marsha. "Dia melongok ke jendelamu, Marsha!"
Yang lainnya tertawa. Marsha mendorong Henry dengan keras ke pagar. "Yang
berhidung panjang kan kau, Glover!"
Henry langsung diam, Ia sangat sensitif tentang hidungnya yang besar dan
bengkok. Henry dan Derek sama-sama bertubuh besar, tinggi, dan atletis. Mereka masuk
tim sepak bola dan tim renang dl sekolah.
Henry tampak agak lucu dengan matanya yang kecil hitam dan hidungnya yang
bengkok. Ia mengenakan kawat gigi biru cerah di mulutnya.
Derek berwajah bundar, seperti bengap, dengan rambut hitam pendek dan mata
berwarna gelap yang selalu bersinar nakal. Derek sepertinya selalu punya
gagasan lucu di kepalanya.
Aku menyukai keempat temanku ini, tapi mereka suka menjengkelkan.
"Kenapa sih kalian tidak percaya tentang makhluk yang kulihat itu?" kataku
sambil menoleh ke jendela Mr. Fleshman.
Apa ada yang balas menatapku dan balik jendela sana" Aku merunduk di balik
pagar. "Kenapa kami tidak percaya?" kata Derek.
"Sebab yang ngomong itu kau," kata Maddy
"Beri alasan lain," sahutku.
"Kau selalu membicarakan hal-hal aneh,"kata Marsha.
"Misalnya?" tantangku.
"Misalnya tentang Mr Potter," kata Derek.
"Apa?" seruku. "Mr. Potter" Maksudmu guru pengganti itu?"
Derek mengangguk. "Ingat" Katamu dia itu serigala jadi-jadian. Dan kau
mengatakan itu pada semua orang di sekolah. Ternyata dia cuma ingin
memelihara janggut."
Mereka tertawa. "Oke, oke, aku memang salah waktu itu," aku mengakui.
"Dan piring terbang itu...," Marsha menimpali. "Jangan lupakan yang satu itu."
Aku mengangkat tanganku untuk menghentikan mereka, tapi aku tahu itu akan
sia-sia. "Kau menunjukkan foto Polaroid piring terbang itu pada semua orang," kata
Maddy sambil gelenggeleng kepala. "Ternyata itu cuma lampu jalan yang
tertutup pohon sebagian."
Henry menepuk-nepuk punggungku. "Hebat sekali, Manusia Piring Terbang."
Mereka tertawa lagi. Aku juga. Memang cukup lucu sih.
Oke, oke, jadi sekarang kalian tahu kenapa aku dijuluki Manusia Piring
Terbang. "Tapi kali ini aku benar," kataku. "Kali ini aku melihat sendiri. Ada yang
sangat aneh di rumah itu. Aku melihat makhluk jelek di jendela belakang itu.
Sungguh!" Kuambil teropongku dan kuarahkan ke jendela belakang Mr. Fleshman.
Dua mata balas menatapku.
"Itu dia!" seruku sambil berpaling pada teman-temanku. "Cepat lihat ke sana!
Kalian lihat" Lihat tidak?"
Keempat temanku memandang ke balik pagar.
Kulihat ekspresi mereka berubah.
Mata mereka terbelalak kaget dan mereka terpekik.
"Oh, wow!" kata Maddy. "Oh, wow!"
3 AKU berbalik dan melihat apa yang membuat mereka kaget.
Mr. Fleshman berdiri di beranda belakangnya, dalam pakaian serba hitam,
tangan di pinggang. Ia melotot marah pada kami dengan matanya yang aneh dan
keperakan. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tanpa melepaskan pandang dari kami, ia
memungut bola karet itu, lalu berdiri dengan cemberut sambil memainkan bola
tersebut di antara kedua tangannya.
"Aku kabur ah," kata Henry.
"Tunggu" teriakku.
Tapi mereka berempat sudah ambil langkah seribu. Semuanya menyeberang
jalan dan lari menghilang ke belakang rumah Maddy.
Aku tercekat dan kembali menatap Mr. Fleshman. Ia masih menatap marah
padaku, sepasang matanya menyipit, dan tangannya masih memainkan bola.
Slap... slap... slap. *** Saat makan malam aku menceritakan pada Mom dan Dad tentang Mr. Fleshman
dan bola karet. itu. "Dia menatap jahat padaku," kataku. Kucoba menirukan tatapan tetanggaku itu.
Mom dan Dad tertawa. Billie meniru-niru melotot.
Orangtuaku tertawa semakin keras.
"Tidak lucu," gerutuku. "Aku tadi... ketakutan."
"Mr. Fleshman kelihatannya sangat penyendiri," komentar Morn. "Kurasa dia
tidak suka ada bola masuk ke pekarangannya."
"Memangnya kau sedang apa di sana?" tanya Dad.
"Aku..." Aku ragu-ragu. Perlukah aku berterus terang" Aku sering dimarahi
karena membuat takut Billie dengan cerita-ceritaku yang tidak keruan.
Tapi aku tak bisa berbohong tentang yang satu ini.


Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sedang mengintai rumahnya," kataku. "Semalam sebelumnya aku
melihat... monster atau semacamnya di sana."
Mom mengangkat tangannya. "Jack... stop!"
"Sungguh!" teriakku. "Aku tidak melihat dengan jelas, tapi aku tahu. Itu..."
"Aku juga melihat," sela Billie. "Ada satu monster! Eh, tidak, ada dua monster
di sana." "Bohong" teriakku "Kau tolol amat."
"Jangan mengatai adikmu tolol," Mom memperingatkan.
Dad berpaling pada Billie. "Jangan selalu ingin bersaing dengan kakakmu.
Cerita-ceritanya sudah cukup konyol tanpa kautambahi."
"Tapi... tapi... tapi.." Aku terbata-bata.
"Kau mempengaruhi pikiran adikmu dengan hal yang tidak-tidak," kata Mom.
"Dia mengira mesti menirumu."
"Itu karena dia tolol," gerutuku.
Tak ada yang percaya padaku, dan itu gara-gara Billie.
"Ambilkan salad- nya ," kata Dad.
"Tapi aku melihat makhluk itu," protesku.
"Ya . Kemarikan salad- nya," ulang Dad.
Begitulah Dad kalau sudah tidak mau bicara tentang topik tertentu. Ia akan
berkata, "Kemarikan salad- nya." Itu berarti "tutup mulutmu".
Aku menggerutu dan mengambilkan mangkuk salad. Orangtuaku sangat ketat menjaga
kesehatan dan kami banyak disuruh makan salad.
"Apa sih pekerjaan Mr. Fleshman?" tanya Mom pada Dad.
Dad mengambil sejumput besar selada. "Entah ya," sahutnya. "Dia tidak terlalu
ramah. Aku baru satu kali bicara dengannya. Kelihatannya dia agak aneh. Dia.."
"Agak aneh?" selaku. "Dia seratus persen aneh."
Billie tertawa. Dagunya berlepotan spageti.
Dad tidak mengacuhkanku. "Kurasa Mr. Fleshman cuma pemalu," katanya.
"Menurutku dia tidak apa-apa."
Mom meremas lenganku. "Jangan mengintai dia lagi, Jack. Tidak bagus
mengintai tetangga. Oke" Janji?"
"Tidak masalah," sahutku.
Tapi aku tidak akan berhenti mengintai... sampai aku tahu persis tentang makhluk
yang kulihat dan tentang Mr. Fleshman.
Sesudah makan malam, Mom dan Dad pergi ke bioskop. Billie pergi ke rumah
temannya. Aku punya tugas membaca dan sekolah, tapi aku tak bisa berhenti memikirkan
Mr. Fleshman dan makhluk yang kulihat itu.
Aku mesti menyelinap masuk ke rumah itu, pikirku.
Tapi bagaimana caranya"
Mendadak sebuah gagasan muncul di kepalaku. Aku akan pergi ke sana untuk
meminta bola tadi. Bagus! Aku bergegas turun, dua anak tangga sekali langkah. Aku menuju pekarangan
belakang, masuk lewat lubang di pagar, dan mendekati beranda belakang Mr.
Fleshmah. Lampu-lampu dapur menyala dan aku bisa melihat cahaya di jendela-jendela
belakang lainnya. Dia pasti ada di rumah, pikirku.
Aku menarik napas panjang, berdeham, lalu mengetuk pintu belakang.
Aku menunggu sebentar, memasang telinga untuk menangkap langkah-langkah
kaki Mr. Fleshman. Mungkin dia ada di depan dan tidak mendengarku, pikirku. Aku mencari-cari
bel pintu. Tidak ada bel. Jadi, aku berniat mengetuk pintu lagi.
Tapi gerakanku terhenti ketika terdengar geraman pelan dari dalam rumah.
Suara apa itu" Geraman anjing"
Tidak. Mr. Fleshman tidak punya anjing.
Suara geraman berikutnya membuatku terlompat mundur hingga nyaris jatuh.
Bagian atas pintu itu berupa jendela. Kutempelkan wajahku di kacanya dan
melongok ke dalam. Tidak ada orang di dapur. Di tembok seberang sana kulihat ada pintu yang
menuju lorong. Aku menyipitkan mata, memusatkan pandangan pada pintu itu.
Terdengar suara BUK. Lalu erangan.
Mr. Fleshman! Ia terhuyung mundur ke tembok dengan kedua lengan terentang.
Mulutnya terbuka, - mengeluarkan jeritan tertahan.
Ada apa" Apa dia berkelahi dengan seseorang"
Jantungku berdebar kencang sementara aku terus melihat dan jendela.
Terdengar bunyi BUK lagi.
Sebuah sosok raksasa berjalan terhuyung-huyung ke lorong... dan
mencengkeram leher Mr. Fleshman.
Makhluk itu! 4 "OHHH!" Aku terpekik ngeri.
Makhluk itu... dagingnya yang kelabu dan membusuk lepas sedikit demi sedikit dan
tubuhnya. Matanya yang hanya satu bergoyang-goyang di depan hidungnya
yang panjang. Dia itu manusia atau binatang"
Gerakannya seperti manusia, tapi kepalanya remuk. Remuk. Remuk...
Perutku bergolak. Aku mual. Kututupi mulutku dengan tangan.
Makhluk itu menganga dan tampaklah barisan gigi yang rusak dan tidak rata.
Ia menggeram keras dan mendorong Mr. Fleshman lagi ke tembok.
Mr Fleshman menghantam tembok dan merosot ke lantai.
Makhluk itu berdiri di atasnya dengan menyeringai, kulitnya lepas sedikit demi
sedikit dari tulang-tulangnya.
"Bangun! Bangun!" teriakku tanpa sadar "Aduh, bangunlah!"
Perutku bergolak lagi. Kutekankan wajahku lebih keras ke jendela.
Mr. Fleshman bangkit dengan gemetar.
Ia tampak bingung. Dengan limbung ia mengulurkan lengan dan meraih
pinggang makhluk itu. Makhluk itu menengadah dan melolong keras saat Mr. Fleshman mendorongnya
ke lantai. Mereka bergulat, lepas dari jangkauan pandanganku.
Aku mundur dengan kaki gemetar hebat, hingga nyaris tak bisa berdiri.
"Aku mesti berbuat apa?" seruku keras-keras.
Aku mengintip lagi ke dalam rumah. Aku tak bisa melihat mereka.
Hening. "Aku mesti bagaimana?"
Mesti mencari bantuan. Aku berbalik dan tergopoh-gopoh menuruni undakan beranda. Aku lari ke
rumahku. Tapi tak ada orang di rumah. Tak ada yang bisa dimintai bantuan.
Aku akan telepon polisi, pikirku.
Aku menoleh kembali ke rumah Mr. Fleshman. Cahaya memancar dan semua
jendelanya. Aku tak bisa melihat tetanggaku itu di sana, juga monster itu.
Keringat membasahi dahiku, turun ke pipi. Aku menerobos lubang di pagar dan
lan secepat mungkin, masuk ke rumahku sendiri dan pintu belakang.
Telepon polisi! Telepon polisi!
Aku hendak menyambar telepon di meja dapur Tapi sebelum telepon kuambil,
pesawat itu berdering "Hah?" Aku terperanjat dan mendekatkan gagang telepcin ke telingaku.
"Jack," kata sebuah suara serak sebelum aku sempat bicara apa pun.
"Jack aku si monster. Aku tahu kau melihatku. Sekarang aku terpaksa
mendatangimu DAN MEMBUNUHMU!"
5 "HAH?" Telepon itu lepas dari tanganku, menghantam meja, dan jatuh ke
lantai. Aku menyambarnya dan memeriksanya, kalau-kalau rusak, lalu aku kembali
mendengarkan. "Si... siapa ini?" tanyaku gugup.
Hening. Makhluk itu. Dia bisa bicara"
Lalu terdengar tawa cekikikan. Tawa anak perempuan.
Seseorang bernapas di telepon.
"Siapa ini?" teriakku.
"Takut ya?" terdengar jawaban.
"Derek! Ini kau ya?"
Derek tertawa. "Aku akan mendatangimu, Jack," bisiknya. "Aku ada di
seberang jalan." "Jangan telepon-telepon lagi!" teriakku. "Ini bukan saat yang tepat untuk
bercanda! Derek..." "Kami membuatmu takut ya?" Aku mengenali suara Maddy.
"Aku ada hal lain yang lebih menakutkan," kataku "Maddy... bisakah kau..."
"Marsha juga ada di sini," sela Maddy. "Dan Henry. Kau bicara di telepon
speaker, Jack. Kami mendengarmu kaget ketika Derek berkata..."
"Kau bisa kemari?" seruku. "Aku agak takut saat ini. Aku sendirian di sini,
Maddy. Kau bisa datang, tidak?"
Maddy terkikik. "Memangnya kenapa?"
"Aku melihat monster itu," kataku. "Aku melihatnya. Di rumah Mr. Fleshman.
Mereka bergulat, dan... dan makhluk itu membunuh Mr. Fleshman."
Kudengar mereka semua tertawa.
"Cerita bagus, Jack," kata Henry.
"Kami tidak bodoh," kata Derek. "Kalau mau menipu kami, cari cerita lain."
"Sudahlah, Jack," kudengar Marsha menggerutu.
"Tidak!" protesku. "Ini bukan lelucon. Aku melihat mereka berkelahi. Sangat...
sangat mengerikan." "Oooh! Aku juga takut. Takut!" seru Henry.
"Tutup teleponnya!" teriakku. "Kalau kau tidak mau datang untuk membantuku,
tutup teleponnya. Aku mesti menghubungi polisi."
"Hubungi nomor Bantuan Menghadapi Monster," gurau Derek.
Kubanting telepon itu. Apa mereka tidak sadar bahwa ini keadaan darurat"
Kadang-kadang teman-temanku menyebalkan. Tanganku gemetar ketika
mengangkat telepon lagi: Kupencet nomor darurat 911.
Berdering satu kali. Apa yang akan kukatakan pada pobsi" Kalau ku katakan bahwa aku melihat
monster di rumah sebelah, mereka tak mungkin mau percaya.
Kukatakan saja ada yang berkelahi, pikirku Aku tidak akan menyebut-nyebut
monster. Dering kedua. Bel pintu depan berbunyi. Kututup telepon dan aku berbalik terkejut.
Siapa yang ada di luar itu"
Pasti teman-temanku, pikirku. Mungkin mereka berubah pikiran. Mungkin
mereka datang untuk membantuku.
Bel pintu berdering lagi.
"Sebentar!" teriakku. Aku lari sepanjang lorong, melewati ruang tamu.
Kupegang tombol pintu dan hendak memutarnya.
Tapi mendadak aku berhenti.
Jangan buka pintu, sampai kau tahu siapa yang ada di luar, aku memperingatkan
diriku sendiri. Kulepaskan tombol pintu. "Siapa itu?" tanyaku. Suaraku kecil dan pelan.
Tidak ada jawaban. "Siapa itu?" ulangku sambil menempelkan telinga di pintu.
Aku menjauh dari pintu dan lari ke jendela ruang tamu. Dalam kegelapan di luar
sana kulihat sesosok tubuh jangkung berdiri di beranda.
Mr. Fleshman. 6 AKU terpaku dengan wajah menempel di kaca jendela. Kulihat Mr. Fleshman
mengulurkan tangan dan memencet bel lagi.
Dia tidak apa-apa, pikirku. Dia pasti telah mengalahkan makhluk itu.
Tapi kenapa dia ada di smi" Mau apa dia"
Bel pintu berdering lagi, membuyarkan pikiranku. Aku kembali ke pintu,
memasang rantainya, lalu membukanya sedikit.
"Siapa?" tanyaku.
"Mr. Fleshman. Tetangga sebelah," sahutnya. Suaranya serak.
"Eh orangtuaku... tidak di rumah," kataku gugup.
"Tidak apa-apa," sahutnya pelan. "Aku ingin bicara denganmu."
"Tentang apa?" tanyaku cepat. Kuperiksa rantai pintu, untuk memastikan masih
terpasang kuat. Lalu aku mengintip lewat celah di pintu.
Rambut Mr. Fleshman yang keperakan bersinar dalam cahaya bulan. Wajahnya
tampak tenang, hampir tanpa ekspresi. Tidak seperti orang yang baru berkelahi
dengan monster. "Aku membawa bolamu," katanya, hampir berbisik. Ia mengangkat bola karet
itu dengan satu tangan dan menunjukkannya lewat celah di pintu.
"Terima kasih," kataku.
Aku ingin meminta ia menaruh bola itu di beranda, lalu pergi, tapi tak mungkin
aku melakukan itu. Mr. Fleshman mengangkat bola itu lagi. Apa boleh buat. Kulepaskan rantai
pintu dan kubuka pintunya.
"Terima kasih." kataku. Kuambil bola itu dari tangannya.
Aku ingin langsung menutup pintu, supaya ia cepat pergi.
Mr. Fleshman berdiri tegak sekali. Rambutnya yang keperakan membuat
seluruh kepalanya seakan bersinar. Ia menyipitkan sepasang matanya yang aneh
padaku. "Aku tahu kau dan teman-temanmu suka mengintaiku, Jack," katanya. Ia bicara
perlahan-lahan dan pelan sekali, hingga suaranya hampir tidak terdengar.
Matanya yang kelabu menatap dingin dan tajam padaku."
"Aku..." "Kuminta kalian berhenti melakukan itu," katanya dengan gigi dikatupkan.
"Hah?" Aku tersentak. Aku tidak tahu mesti berkata apa. "Tapi... aku melihat...
sesuatu... di rumah Anda," kataku akhirnya.
"Aku tak peduli apa yang kaulihat," bentak Mr. Fleshman. "Pekerjaanku sangat
rahasia. Aku tak mau kau memata-mataiku."
"Sangat rahasia?" kataku nyaring.
Ia tidak menjawab, cuma memandangiku dengan matanya yang dingin.
Aku gemetar. Kami saling pandang... lama.
"Kau mengerti, Jack?" kata Mr. Fleshman akhirnya. "Tidak boleh mengintai
lagi." Aku mengangguk. "Bagus," bisiknya. "Kalau begitu, tidak ada masalah lagi antara kau dan aku."
Ia menunduk, mendekatkan wajahnya padaku. "Kau tidak ingin mendapat
kesulitan, bukan?" bisiknya.
Dia mengancamku, pikirku.
Aku gemetar lagi. "Tidak, tidak mau," kataku akhirnya.
Mr. Fleshman mengangguk, matanya yang dingin serasa menusuk mataku. Lalu
ia berbalik dan kembali ke rumahnya tanpa menoleh lagi.
Aku menutup pintu dan menguncinya, lalu aku terpuruk lemas di anak tangga
paling bawah. Kutunggu sampai napasku tenang kembali, lalu kusapukan
tanganku yang dingin dan berkeringat di kaki celanaku.
Aku tidak mungkin berhenti mengintai, pikirku.
Aku tak punya pilihan. Aku mesti tahu rahasia Mr. Fleshman.
Ia sedang melakukan sesuatu yang aneh di rumahnya. Sesuatu yang ingin
disembunyikannya. Kalau saja orangtuaku ada di rumah.
Tapi mereka pasti tak akan percaya padaku.
Kalau kuceritakan apa yang kulihat, mereka pasti akan membela Mr. Fleshman.
Mereka akan mendatanginya untuk minta maaf. Mereka akan menjanjikan pada
Mr. Fleshman untuk melarangku dekat-dekat rumahnya lagi, lalu mereka akan
menghukumku karena telah mengganggu tetangga.
Orang dewasa selalu saling membela. Menjengkelkan sekali.
Mr. Fleshman menyembunyikan monster di rumahnya. Monster yang aneh dan
jahat. Dan hanya aku yang tahu tentang hal itu. Pikiran itu membuatku
merinding. Hanya aku yang tahu....
Tapi Mom dan Dad tidak akan percaya padaku.
Kecuali... kecuali aku punya bukti.
Aku melompat bangkit. Ya, bukti.

Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau aku bisa menunjukkan bukti pada Mom dan Dad, mereka akan percaya.
Mendadak aku merasa lebih baik. Aku telah membuat keputusan. Keputusan
penting. Aku tahu apa yang mesti kulakukan.
7 AKAN kutunggu sampai Mr. Fleshman pergi, pikirku. Lalu aku akan
menyelinap masuk ke rumahnya dan menyelidiki apa yang dilakukannya di
sana. Keesokan sorenya aku berdiri di pekarangan belakang dengan teropongku,
memeriksa langit. Hari itu cerah, tak berawan.
Hari yang sempurna untuk mengintai Mr. Fleshman dan melihat komet itu.
Heran, masa aku tidak melihatnya" Menurut berita di TV, komet itu cukup
besar dan terang untuk kelihatan pada siang hari sekalipun.
Para ilmuwan sedang mempelajarinya siang-malam. Tapi mereka belum tahu
komet apakah itu. Sinar matahari memantul di lensa teropongku. Kuturunkan alat itu dan aku
menggosok-gosok tengkukku. Leherku pegal karena terlalu lama menengadah
ke langit. Setiap beberapa menit aku menoleh ke rumah Mr. Fleshman. Tidak ada yang
mencurigakan di sana. Mobilnya ada di pekarangan, diparkir setengah di dalam dan
setengah di luar garasi. Tapi aku tidak melihat orang itu... atau makhluk
apapun. Sebersit cahaya keperakan melesat di langit. Kusambar teropongku dan
kuarahkan ke sana. Hanya pesawat terbang rupanya.
"Coba kulihat," kata sebuah suara yang kukenal.
"Ow!" Aku terpekik ketika Billie menarik teropongku keras-keras, hingga aku
hampir jatuh. "Teropong ini kukalungkan di leherku!" teriakku.
"Lepaskan dong!" Billie menarik lagi. "Sekarang giliranku."
"Pergi sana!" bentakku. "Tidak pakai giliran segala!"
"Aku ngadu sama Mom!" teriak Billie.
Apa dia tidak bosan mengadu terus"
"Ambil teropongmu sendiri" kataku "Aku tidak bakal beranjak dari sini sampai aku
melihat komet itu." "Aku tidak butuh teropong konyolmu," ejek Billie. "Aku sudah melihat komet
itu. Malah aku melihatnya dua kali. Eh, tidak.., lima kali."
"Pergi!" gerutuku.
Ternyata Billie pergi. Tapi di pintu dapur ia berhenti "Mestinya kau pakai
teleskop, bukan teropong," katanya.
"Aku tidak punya teleskop" bentakku
Ia tidak mendengar. Ia sudah membanting pintu dan masuk ke dalam rumah.
Sebelum sempat mulai mencari komet lagi, kulihat Henry dan Derek
menghampiriku dari samping rumah. Mereka mengenakan kaus putih tanpa
lengan dan celana longgar di bawah lutut.
"Mereka mencarimu, Manusia Piring Terbang," panggil Derek.
"Apa?" sahutku.
Derek menunjuk ke langit sambil nyengir. "Mereka mencarimu."
"Yeah, yang di atas sana itu bukan komet," Henry menimpali. "Itu UFO Mereka
mencarimu,. Manusia Piring Terbang. Mereka ingin menjemputmu pulang ke
planet asalmu." Mereka pikir ucapan mereka lucu barangkali" Mereka terkikik dan saling ber-high
five. "Haha," kataku sambil memutar-mutar bola mata. "Lucu sekali. Ingatkan aku
supaya tertawa." Aku menengadah ke langit. Dua ekor burung terbang tinggi di atas pepohonan
limau di pekarangan belakang.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kami sedang santai, sambil menunggu ayah Henry pulang," sahut Derek. "Dia
punya banyak tiket untuk nonton pertandingan Dodger dan dia akan mengajak
kami. Mau ikut?" Aku menendang segumpal tanah "Tidak bisa," kataku. "Aku mesti ikut
orangtuaku ke rumah sepupuku."
"Di mana, Manusia Piring Terbang?" tanya Derek. "Di Mars atau Jupiter?"
"Burbank," sahutku. "Jangan panggil aku Manusia Piring Terbang lagi. Oke?"
Henry ikut-ikutan menendang tanah "Minggu depan kita sekolah lagi. Kau mau
ikut tes masuk tim renang?"
Teropongku mulai terasa berat. Kulepaskan benda itu dari leherku dan
kuletakkan di tanah. "Entah ya," kataku. "Menurutmu bagaimana?"
"Ikut saja. Kami membutuhkanmu dalam tim."Henry nyengir lebar, lalu
menambahkan, "Sebab kami jadi tampak hebat dengan adanya kau."
Lalu mereka tertawa. "Itulah masalahnya," keluhku "Kalian jauh lebih hebat daripada aku. Aku tidak
bakal bisa masuk tim."
"Kami akan membantumu," Derek menawarkan.
"Yeah, nanti kami bawakan pelampung untuk kaupakai," gurau Henry.
"Jack!" Mom memanggil dan dalam rumah. "Ayo berangkat."
Henry dan Derek lansung minta diri.
"Sayang kau tidak bisa ikut nonton," kata Henry. Lalu mereka menghilang di
samping rumah. "Nonton apa?" tanya Mom.
"Tidak nonton apa-apa," sahutku.
Sejauh ini semuanya tidak menyenangkan. Tidak ada komet. Tidak bisa ikut
nonton Dodger. Dan sekarang aku mesti ikut ke Burbank, mengunjungi sepupusepupuku yang jauh lebih tua, mereka suka mencubit pipiku dan mengatakan
sekarang aku sudah besar sekali.
Mom menggosokkan tangannya pada noda di kausku. "Kau mau pakai kaus itu,
Jack" Tidak bisa. Ganti pakaianmu."
Aku ingin protes, tapi sebuah sosok bergerak di pekarangan sebelah dan
menarik perhatianku. Mr. Fleshman! Mom juga melihatnya. Ia melambai pada laki-laki itu. "Ayo kita. menyapanya,"
ajak Mom. "Tidak, Mom..." Aku hendak menahan ibuku. Tapi Mom sudah beranjak
menghampiri Mr. Fleshman. Aku diam di tempat sejenak.
Orang itu telah mengancamku. Ia berusaha membuatku takut.
Mungkin Mom akan sadar betapa jahatnya dia. Aku bergegas menyusul Mom.
Mr. Fleshman mengenakan kaus hitam dan celana pendek hitam, serta topi
bisbol hitam di kepalanya.
Mom sudah berkenalan dengan orang itu ketika aku tiba di sampingnya. "Jack
sering bicara tentang Anda," kata Mom.
Wah! Wajahku merah padam. Kenapa Mom berkata begitu"
Mr. Fleshman menatapku dengan mata kelabunya yang dingin. Bisa kulihat
kemarahan dalam mata itu. Tapi ia tersenyum pada Mom.
"Hari yang indah, bukan?" katanya cerah. "Apa Anda sedang melakukan
eksperimen ilmiah atau semacamnya di rumah Anda?" tanya Mom.
"Eksperimen ilmiah?" tanya Mr. Fleshman dengan suaranya yang seperti
bisikan. Mom mengangguk. "Jack suka bercerita yang aneh-aneh. Katanya dia melihat
monster di rumah Anda." Mom tertawa
Mr Fleshman ikut tertawa. Suara tawanya dingin dan datar, seperti suara orang
batuk. Ia melirikku. Aku langsung merinding.
"Tidak. Tidak ada monster di rumahku," katanya "juga tidak ada eksperimen
ilmiah." Senyumnya memudar. "Mau tahu yang sebenarnya?"
"Ya," kata Mom "Aku ini makhluk asing dari planet lain," kata Mr. Fleshman "Aku
menyembunyikan teman-temanku di rumah, sementara kami menyusun rencana
untuk mengambil alih dunia."
8 "IA tidak bercanda!" Aku berseru dari kursi belakang mobil.
Mom menoleh dari kursi penumpang di depan. "Dia cuma bercanda, Jack. Kau
kenapa sih" Mr. Fleshman kelihatannya baik."
Aku mendesah dan memasang sabuk pengamanku. "Mom, dari mana Mom tahu
dia cuma bercanda?" "Aku tidak mau membicarakan itu lagi, Jack," sahut Mom tak sabar. "Aku tahu dia
cuma bercanda, dan kau juga tahu itu."
"Jack tolol," Billie ikut bicara "Jack makhluk planet."
"Jangan bilang aku tolol!" bentakku.
"Hentikan... kalian berdua!" seru Dad. "Kalian lihat tidak kemacetan ini" Kita
bakal lama dalam perjalanan, jadi jangan membuatku pusing!"
Aku bersandar kembali di kursiku dan memejamkan mata.
Oke, oke, aku tahu Mr. Fleshman cuma bercanda. Tapi aku juga tahu bahwa ia
berbohong. Aku jelas-jelas melihat monster itu di dalam rumahnya.
Aku bertekad akan mencari bukti.
Aku akah menyelinap ke rumah itu dan mencari bukti.
*** Sore yang kami lewatkan di rumah sepupu-sepupuku sangat membosankan dan
tidak layak dibicarakan. Aku cuma ingin bilang bahwa dua sepupuku mencubit
pipiku keras sekali, sampai wajahku bengkak. Mungkin bengkak ini baru akan
hilang dalam beberapa hari.
Malam itu Billie, Dad, dan aku nonton TV bersama-sama. Billie menonton film
tentang alam binatang lagi.
Aku sedang mencoba menunjukkan pada Dad cara memainkan game Mario di Gameboy,
tapi Dad susah sekali mengikutiku.
"Jari-jari tanganku terlalu besar untuk memencet tombol-tombol kecil ini,"
keluhnya. "Makanya, belikan permainan Virtual Reality dong, Dad. Itu tuh, permainan
alam khayal," pintaku.
Kudengar Mom tertawa dari ruang tamu. "Jack, sekarang pun kau sudah hidup
di alam khayal, kan?" katanya.
Aku hendak menjawab, tapi kemudian tertarik pada Buletin Khusus di TV. Dad
ikut menatap ke layar. "Para ilmuwan NASA masih belum bisa mengidentifikasikan benda besar yang
mengitari bumi," kata si pembaca berita.
Di layar tampak foto sebuah gumpalan bundar bersinar-sinar.
Si pembaca berita melanjutkan, "NASA belum herhasil mengidentifikasikan
objek tersebut, tapi benda itu diduga sebuah meteor besar."
"Wow!" seru Dad sambil mendekatkan kursi ke TV. "Lihat itu Menakjubkan
sekali." "Meteor raksasa itu tampaknya pecah di dalam atmosfer kita dan
menyemburkan meteor-meteor yang lebih kecil," kata si pembaca berita,
Dalam foto di layar kulihat lingkaran-lingkaran gelap dan kecil berterbangan
dari benda bundar raksasa itu.
"Angkatan Udara Amerika S?rikat memerintahkan pengawasan dua puluh
empat jam di langit," lanjut si pembaca berita. "Tapi mereka ingin meyakinkan
pada penduduk bahwa berita burung tentang meteor itu tidaklah benar. Benda
itu bukan, UFO..Para ilmuwan yakin benda itu adalah semacam karang atau mineral
dari angkasa luar." Aku melompat dan sofa. "Mereka bohong!" teriakku. "Aku tahu itu bukan
meteor, tapi pesawat makhluk angkasa luar. Atau mungkin semacam senjata
makhluk asing. Dan mereka menembaki kita."
"Jack, duduk!" bentak Dad "Jangan menakut-nakut adikmu."
Aku menoleh dan melihat Billie sudah pindah ke dekat jendela. Ia telah
membuka semua kerai dan sedang memandang ke luar.
"Oh, aku melihat meteorit!" serunya sambil menunjuk. "Aku melihatnya! Aku
melihatnya!. TIDAAAK! Meteorit itu meluncur tepat ke rumah kita!"
"Hah?" Aku menghampiri jendela. "Mana" Mana?"i
"Aku melihat dua meteorit," kata Billie. "Tidak deh... enam."
Aku menatap langit. Aku melihat bulan dan sejuta bintang yang berkelap-kelip.
Hanya itu. "Duduk, BillIe," bentak Dad. "Kau membuat takut kami semua. Itu tidak lucu."
Billie meleletkan lidah padaku. "Takut ya, Manusia Piring terbang?" katanya
pelan, sehingga Dad tidak mendengar.
Aku menggeleng marah padanya. Kenapa ya aku selalu terpancing dengan
tingkah konyolnya" "Aku mesti menyelidiki ini," seruku.
Aku lari ke kamarku dan menyambar teropongku, lalu aku bergegas turun
kembali. Waktu itu pengamatanku di pekarangan belakang tidak menghasilkan apa-apa.
Malam ini aku akan mengamati di pekarangan depan saja.
Saat melewati ruang TV, kulihat acaranya masih berita tentang meteor aneh itu.
Billie duduk di antara Mom dan Dad di sofa. Ia tampak agak takut. Dad
merangkulnya dan Mom memegang tangannya.
Kadang-kadang, kalau sedang sangat marah, aku lupa bahwa ia cuma anak
kecil. Ia suka pura-pura berani, tapi berita tentang meteor ini rupanya benarbenar membuatnya ketakutan.
Di TV terdengar suara seorang ilmuwan berbicara tentang objek angkasa luar
yang aneh itu. "Masyarakat tidak usah cemas," katanya. "Tak ada alasan untuk
panik." "Sir," kata seorang reporter, "menurut Anda, apakah benda angkasa luar ini akan
terus mengikuti kita mulai saat ini" Seperti bulan, misalnya?"
"Kami belum bisa memastikan pada tahap ini," sahut si ilmuwan. "Bahkan
membuat dugaan pun kami belum bisa."
Jawabannya tidak memuaskan, pikirku. Apa pemerintah merahasiakan sesuatu"
Kubuka pintu depan dan aku bergegas keluar.
Malam itu hangat dan terang. Barisan pohon palem yang tinggi di sudut
pekarangan berderit dan membungkuk diembus angin hangat. Sebentuk bulan
pucat mengambang di langit yang penuh bintang.
Kudengar anak-anak tertawa dan saling bersimburan air di kolam renang di
belakang rumah keluarga Arthur di seberang jalan. Sebuah minivan melaju
dengan papan selancar diikatkan di atapnya; suara musik country terdengar keras
dari jendela-jendelanya. "Meteor, di mana kau?" gumamku.
Kuangkat teropongku dan mulai memeriksa langit.
Tak lama kemudian aku berhenti.
Mendadak aku merasa bahwa aku tidak sendirian. Ada seseorang mengawasiku.
Kuturunkan teropongku dan aku membalikkan tubuh. Kulihat Mr. Fleshman
berdiri di pekarangan depannya. Karena pakaiannya serba hitam, ia sulit dilihat pada malam hari. Ia juga sedang
meneropong ke langit. "Mencari komet?" tanya Mr. Fleshman. Ia, tidak menoleh ke arahku, tatapannya
tetap terarah pada bintang-bintang "Aku sedang menunggu teman-temanku
mendarat," katanya. Aku tertawa "Anda bergurau, kan?"
"Bergurau?" sahutnya.
Ia menurunkan teropongnya.
Dan menoleh ke arahku. Aku terpekik melihat sepasang bola matanya mencuat keluar dari rongga
matanya. 9 BOLA mata itu bergoyang-goyang dalam kegelapan.
Mr. Fleshman tertawa terbahak-bahak.
Aku merinding. Tapi juga merasa sangat malu.
Kenapa aku menjerit seperti itu"
Kenapa aku bisa tertipu oleh trik kuno begitu"
Bola mata plastik dengan pegas panjang yang dipasang di kerangka kacamata
bohongan. Mudah sekali. Masih tertawa kecil, Mr. Fleshman melepaskan kacamatanya dan
mengulurkannya padaku. "Mau coba?"
"Eh... tidak," kataku. Aku merasa bodoh sekali karena menjerit-jerit.
"Ini buatanku sendiri," kata Mr. Fleshman, masih sambil mengulurkan benda itu
padaku. "Kelihatannva seperti sungguhan ya?"
"Ya," sahutku. Kenapa ia menggodaku begini" Apa ia sudah menungguku di sini" Apa
mendadak ia ingin ramah padaku" Atau ia ingin menakut-nakutiku"


Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda sudah melihat meteor itu?" tanyaku sambil menatap langit.
Mr. Fleshman menggeleng. Ia melintasi lapangan dan berhenti di dekatku.
"Kurasa dia tidak berada dalam belahan bumi kita saat ini," katanya. "Kurasa dia
tidak akan mengorbit di atas kita sampai besok."
"Menurut Anda, benda itu komet atau meteor" Atau lainnya?" tanyaku.
Ia tidak menjawab. Ia mengamatiku dengan sepasang matanya yang kelabu.
"Adikku Billie jadi ketakutan," kataku. "Dia mengira benda itu pesawat angkasa
luar atau semacamnya."
Mendadak mulutku terasa kering. Kusadari bahwa aku bicara dengan cepat
karena merasa gugup. Mr. Fleshman tidak mengatakan apa-apa. Senyumnya memudar ketika matanya
bertemu dengan mataku. "Kau banyak bicara dengan ibumu, bukan, Jack?" tanyanya. Suaranya yang
dingin dan serak membuatku merinding.
"Apa?" tanyaku.
"Kau banyak menceritakan ini-itu pada ibumu," kata Mr. Fleshman. Ia
mendekatkan tubuh padaku. Sosoknya begitu jangkung dan matanya begitu
dingin... jahat. "Aku.. Aku..." "Kau banyak bercerita tentang aku pada ibumu, bukan?" tanyanya mendesak.
Aku menarik napas panjang. "Aku... aku sudah bilang pada Anda," kataku
terbata-bata. "Aku melihat suatu makhluk di rumah Anda. Aku melihat kalian
berkelahi. Aku..." Mr. Fleshman merunduk di atasku. Dalam cahaya bulan, rambutnya yang
keperakan bersinar-sinar. Ia mengatupkan rahang dan sisi lehernya berdenyutdenyut. "Aku... tidak... suka... orang... bercerita... ini-itu... tentang... diriku,
Jack," katanya perlahan-lahan dengan geram. "Aku... sama... sekali... tidak... suka."
Aku hendak menjawab, tapi yang keluar cuma erangan ketakutan.
Jantungku berdebar keras dan lututku lemas. Rasanya seperti mau pingsan.
Tapi aku masih bisa berdiri. "Maaf," kataku. Lalu aku berbalik dan berlari ke
rumahku. "Ini peringatan terakhir, Jack," seru Mr. Fleshman. "Ya, peringatan terakhir
untukmu." Aku langsung masuk ke rumah dan membanting pintu keras-keras.
Aku berdiri gemetar di lorong depan, berusaha mengatur napas.
Dia tak boleh menakut-nakuti aku begitu, pikirku.
Dia menyembunyikan sesuatu di rumahnya, dan aku akan menyelidikinya. Aku
akan memperoleh bukti. Dia takkan bisa menakut-nakutiku.
*** Keesokan paginya aku menepati janjiku sendiri.
Keesokan paginya aku menyelinap masuk ke rumah orang itu.
Dan mendapatkan bukti yang kucari-cari.
10 CAHAYA matahari pagi masuk melalui jendela dapur. Burung-burung berkicau
dan pepohonan limau di pekarangan belakang. Aku duduk di depan meja dapur,
menikmati sarapanku. "Kenapa kau makan begitu cepat?" tanya Mom.
"Aku selalu cepat kalau makan sereal," sahutku. "Aku tidak mau serealku jadi
dingin." Mom membelai rambutku. "Benar," katanya. Ia menuang kopi untuk dirinya
sendiri. Kuangkat mangkuk sarapanku dan kuhirup sisa susu yang ada.
Lalu aku bergegas keluar untuk melihat, kalau-kalau ada meteor.
Matahari cerah sekali, seluruh pekarangan berseri-seri. Aku menengadah ke
langit. Gumpalan-gumpalan awan putih-berarak di langit.
Apa itu... titik putih itu"
Sebuah titik putih pucat yang melayang rendah di bawah awan-awan.
Apakah itu" Meteorkah"
"Wow" Aku berseru senang. Aku mesti mengambil teropongku. Akhirnya!
Meteor itu tampak juga. Aku tak bisa melepaskan pandangan. Aku terus melihat ke atas, ke titik putih
kecil yang bergerak perlahan itu.
Bisakah aku melihatnya lebih jelas dengan teropong" Aku hendak masuk ke
rumah, tapi kemudian aku menangkap gerakan di jendela dapur Mr. Fleshman.
Aku terkesiap. Aku melihat wajah yang remuk itu dan matanya yang tergantung-gantung.
Makhluk itu! Aku menajamkan pandangan ke jendela, menudungi mataku dengan satu
tangan. Aku maju beberapa langkah ke pagar. Makhluk itu tidak bergerak.
Pantulan sinar matahari di kaca jendela membuatku sulit melihat dengan jelas.
Akhirnya aku menyelinap lewat lubang di pagar, masuk ke pekarangan Mr.
Fleshman. Aku melihat ke jendela lagi. Makhluk itu sudah tidak ada.
Apa tadi dia memang ada di situ" Atau penglihatanku keliru"
Pintu garasi terbuka. Di dalam kosong. Mobil hitam tetanggaku tidak ada.
Kulihat koran pagi tergeletak di dekat jalan. Biasanya Mr. Fleshman selalu
langsung mengambil korannya setiap pagi.
Dia sedang pergi, pikirku. Kesempatan bagiku!
Tapi beranikah aku" Mungkin. Aku mulai berdebar-debar. Aku mengintip dan jendela di atas pintu. Tak ada
siapa-siapa di dapur. Tak ada manusia. Tak ada makhluk apa pun.
Perlukah aku mengetuk"
Kalau Mr. Fleshman ada di rumah dan dia membuka pintu, aku mesti bilang
apa" Aku akan bilang aku menyesal telah mengintai dia, pikirku.
Kuketuk pintu dapur dalam tiga ketukan keras. "Permisi!" seruku.
Tak ada yang menjawab. Aku memegang tombol pintu. Dia tidak di rumah, pikirku. Jadi, aku mau
masuk. Pintu itu dikunci, tapi jendela dapur tidak. Aku naik lewat tepi jendela dan
masuk ke dalam. Aku mengendap-endap ke dapur. Baunya agak pedas. Kuperiksa meja dan
tempat cuci piring. Tidak ada bekas-bekas sarapan. Semuanya bersih dan rapi.
Mr. Fleshman pasti pergi semalam, pikirku. Aku menarik napas panjang dan
menuju lorong belakang. Apa benar aku sedang memasuki rumah orang lain
tanpa izin" pikirku.
Tapi sudah terlambat untuk mundur. Aku sudah telanjur berada di sini.
Aku melangkah pelan-pelan ke lorong. "Eeh... permisiii!" kataku pelan. "Mr.
Fleshman?" Tidak ada jawaban. Sinar matahari hanya bisa mencapai dapur. Lorong panjang ini remang-remang.
Aku maju beberapa langkah dengan mata jelalatan.
Sepasang mata besar melotot padaku dan tembok. Aku berhenti dan balas
menatap. Sebuah poster film yang besar. Judulnya ditulis dalam tinta merah
menyala. MATA SANG MONSTER. TATAP MATANYA DAN KAU AKAN
MATI SERIBU KALI. "Wah!" gumamku.
Dinding penuh dengan poster film lama. TARING SANG HANTU, begitulah
bunyi poster berikutnya. Di seberang lorong, sebuah mumi compang-camping
mengulurkan tangannya yang sudah setengah membusuk ke arahku.
CENGKERAMAN SANG MUMI. "Hebat!" gumamku. Mr. Fleshman mempunyai koleksi poster film horor yang
asyik-asyik. Semuanya dibingkai dan dipasang berderet di lorong panjang ini.
Dari mana ia memperoleh poster-poster ini" Aku suka sekali film horor, tapi
aku belum pernah mendengar tentang film-film ini.
PEMBALASAN WANITA LINTAH... KLONG SI RAJA VAMPIR...
Aku asyik sekali memandangi poster-poster itu, sampai-sampai tidak melihat
meja kecil yang disandarkan di dinding. Aku menabraknya dengan keras.
"Aduh!" teriakku; kakiku sakit sekali.
Aku hampir jatuh. Cepat-cepat aku berpegangan ke tembok.
Sebuah buku besar jatuh dan meja dan terbanting keras ke lantai.
Aku mengatur napas sebentar, juga menunggu lututku berhenti gemetar. Lalu
aku membungkuk untuk mengambil buku itu.
Ternyata itu bukan buku, melainkan album foto.
Halaman-halamannya terbuka. Aku berlutut dan memandangi foto-foto
berwarna di dalamnya. "Hah!" Aku terperanjat. "Aneh sekali," gumamku. Foto-foto itu... semuanya
menampilkan makhluk-makhluk hijau yang jelek.
Makhluk-makhluk itu seperti manusia, dengan kepala hijau mengilap yang
sangat halus, mata hitam oval, seperti buah badan besar yang hitam, dan
sepasang lubang hidung di bagian tengah kepala mereka, tepat di bawah mata.
Tidak ada hidung, hanya lubang hidung.
Lengan mereka yang hijau panjang lebih mirip sulur tanaman, dengan tangan
berjari tiga. "Makhluk apa ini?" gumamku. Kubolak-balik album foto itu. Semuanya berisi fotofoto makhluk tersebut. Apakah mereka ini model" pikirku. Apa mereka semacam boneka"
Masing-masing makhluk agak berbeda. Semuanya ramping, mengilap, dan
hijau, tapi ada yang tinggi dan ada yang pendek. Ada yang matanya lebih besar,
lebih kecil, dan lubang hidungnya pun tidak sama ukurannya.
Salah satu makhluk memiliki semacam tongkat-tongkat berwarna jingga yang
mencuat di puncak kepalanya. Apakah itu model rambutnya" Makhluk lain
memiliki tongkat-tongkat yang mencuat dari tempat dagunya semestinya
berada. Aneh pikirku sambil terus melihat-lihat isi album itu.
Makhluk apa ini" Apa mereka nyata dan benar-benar hidup"
Inilah bukti yang kuperlukan" Kalau aku membawa ini kepada orangtuaku, apa
mereka akan percaya tentang keanehan Mr. Fleshman"
Kututup album itu dan kubawa. Ini bukan mencuri, pikirku. Aku cuma
meminjam sebentar. Nanti akan kukembalikan album ini, setelah aku membuktikan pada Mom dan
Dad bahwa Mr. Fleshman memang aneh, dan bahwa ia melakukan sesuatu yang
sangat aneh di rumahnya. Aku hendak berbalik kembali ke dapur, tapi mataku menangkap sinar yang
memancar dari sebuah ruangan di seberang lorong.
Aku melongok ke ruangan itu... dan terpekik kaget.
Album foto itu terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.
Aku terbelalak menatap kotak hitam panjang di tengah ruangan itu.
Sebuah peti mati. Aku sudah sering melihat peti mati dalam film-film horor, tapi belum pernah
aku melihat peti mati sungguhan.
Kayunya yang hitam mengilap bersinar kelabu. Peti itu tertutup. Dua
pegangannya yang terbuat dari kuningan bersinar temaram di sampingsampingnya. Aku melayangkan pandang dengan cepat di ruangan kecil itu. Jendela ditutupi
tirai-tirai berwarna gelap. Sebuah lemari kayu yang tinggi bersandar di salah
satu dinding. Di sampingnya ada kursi kayu bersandaran lurus.
Tidak ada perabotan lain.
Hanya ada peti mati hitam panjang itu di tengah ruangan.
Aku maju beberapa langkah. Kayu peti itu begitu mengilap, sampai-sampai aku
bisa melihat pantulan diriku di sampingnya
"Hah?" Aku berhenti ketika mendengar suara derit pelan.
Apakah itu suara pintu yang dibuka" Atau langkah kaki"
Suara itu terdengar lagi. KREEEAK. KREEEAK.
Aku terpaku. Jantungku serasa berhenti berdebar.
Tutup peti mati itu... terbuka.
11 "TIIDAAAK!" Aku menjerit serak. Tanpa menungu siapa - atau apa - yang keluar dari peti mati
itu, aku langsung kabur dan membanting pintu keras-keras.
Aku lari di lorong, melewati deretan poster, masuk ke ruangan lain. Bukan dapur.
Aku salah lari. Rupanya aku masuk ke dalam semacam bengkel kerja atau laboratorium.
Di antara bunyi napasku yang terengah-engah kudengar suara geleguk. Ada
sebuah meja panjang dengan tabung-tabung percobaan. Di langit-langit yang
rendah ada rangkaian kabel dan tabung lagi. Di dinding berderet peralatan
listrik yang aneh. Cahaya merah-biru berkedap-kedip. Dalam sebuah wadah gelas tampak cairan
biru yang menggeleguk dan tumpah keluar.
Peralatan apa ini" pikirku sambil menoleh ke sana kemari, berusaha memahami
semua ini. Apa yang dilakukan Mr. Fleshman di sini"
Kalau dia pergi, kenapa dia tidak mematikan peralatan ini" Kenapa semua
dibiarkan menyala" Aku tidak punya, waktu untuk memikirkan jawabannya.
Terdengar suara mendesis, seperti bunyi ban kempes.
Udara dingin menerpaku. Ketika menoleh ke arah suara itu, kulihat sebentuk kabut tebal naik dan balik
meja lab. Seperti awan, kabut itu melayang masuk ke dalam ruangan.
Sambil melayang, kabut itu mulai berubah bentuk.
Ada kepala yang tampak di atas sepasang bahu putih empuk.
Kepala itu melipat. Bergerak. Melipat lagi.
Aku melihat sepasang mata kelabu. Dan mulut samar-samar.
Mulut itu membuka dan mengeluarkan erangan mengerikan. Antara suara
manusia dan bukan manusia.
"Ooooooh!" Sosok itu melayang lebih tinggi. Semakin besar saat melayang ke arahku.
Itu hantu! Hantu sungguhan!
Sosok berkabut itu melayang di atasku.
Menebar, menggelap. Semakin gelap.
Menutupiku dengan hawanya yang dingin membekukan.
12 "OOOH!" Terdengar lagi erangan pelan yang seram itu, menggema di sekelilingku.
Hantu itu bergulung di atasku.
Aku menjerit ngeri. Hantu itu mengitariku seperti gumpalan kabut dingin. Berpusar dan berpusar.
Hidup. Sambil mendesah keras aku merunduk di bawahnya.
Lalu aku menyerbu maju, menghantam meja lab. Beberapa tabung jatuh dan
cairan biru kental tumpah ke lantai.
Aku berputar ke arah pintu
Dan terhuyung-huyung ke lorong. Di sini gelap dan sunyi.
Di ruangan di belakangku terdengar erangan pelan hantu tadi.
"Apa yang terjadi di sini?" teriakku keras-keras.
Aku terhuyung mundur ketika sebuah sosok muncul di ujung lorong.
Makhluk itu! Ia berbalik ke arahku, merundukkan bahunya yang membusuk, dan menggeram
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang jelek, seolah ia mengenaliku.
Ia maju dengan langkah berat ke arahku.
Terus maju. Aku terkesiap ngeri ketika melihat dagingnya memuakkan dan terus berjatuhan,
matanya yang tergantung-gantung, serta giginya yang rusak dan kuning di
wajahnya yang hijau remuk.
Makhluk itu menggeram lagi dan menyentakkan mulutnya dengan lapar.
Wah! Dugaanku tentang Mr. Fleshman rupanya benar.
Aku sudah tahu, ada sesuatu yang mengerikan di rumah ini. Kenapa tidak ada
yang percaya padaku"
Sekarang sudah terlambat. Terlambat...
Kecuali kalau aku menemukan jalan keluar.
BUK... BUK... Makhluk itu maju dengan langkah berat ke arahku.
Aku mundur kembali ke lab. Aku tak bisa ke mana-mana lagi.
Dengan panik aku melayangkan pandang di ruangan menakutkan itu, mencaricari senjata. Sesuatu untuk dilemparkan pada makhluk itu. Sesuatu yang bisa
menghambatnya, supaya aku bisa kabur.
Kabur...

Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kusambar benda pertama yang bisa kutemukan. Sebuah benda kecil berbentuk
persegi, dari logam. Akan kulempar kepala makhluk itu. Kupegang benda itu erat-erat di tanganku.
Kakiku gemetar. BUK.. Seluruh tubuhku gemetar mendengar langkah makhluk itu semakin mendekat.
Lempar kepalanya, lalu lari, pikirku. Lari ke luar lewat dapur.
Pulang! Pulang! Pulang! Kupaksakan diriku keluar ke lorong.
Makhluk raksasa itu berdiri beberapa meter jauhnya, menghalangi jalanku.
Matanya tergantung-gantung. Ia mengeluarkan erangan rendah dan maju dengan
langkah berat, semakin dekat.
Kuangkat benda logam di tanganku, siap-siap melempar.
Tapi sebuah tangan menyentuh bahuku.
Aku menjerit dan membalikkan tubuh.
Dan bertatapan dengan Mr. Fleshman yang tersenyum lebar.
"Kau sudah kuperingatkan, Jack," bisiknya. "Mestinya kau mendengarkan."
13 CENGKERAMAN tangannya di bahuku semakin erat.
"Aku... aku... aku... ," aku terbata-bata.
Senyum Mr. Fleshman semakin lebar "Jack, kau gemetar," katanya.
"Maaf," sahutku. "Aku tidak tahu. Maksudku, aku tidak melihat apa-apa
Sungguh. Aku tidak akan bilang pada siapa pun. Tolong..."
Ia tersenyum mengejek. "Swear (Sumpah)!" seruku. "Tolong lepaskan aku. Aku tidak akan bilang-bilang
tentang apa yang kulihat."
"Yah, mudah-mudahan memang tidak." kata Mt Fleshman sambil melepaskan
bahuku. "Sebab kalau kau buka mulut, aku bisa kehilangan pekerjaan."
"Hah" Pekerjaan?" Aku terheran-heran. Aku bersandar di dinding, berusaha
menghentikan gemetar di kakiku.
Mr. Fleshman mengangguk. "Aku merancang efek khusus," ia menjelaskan.
"Untuk film-film horor."
Aku terperangah dan tak sanggup berbicara.
Mr. Fleshman menaruh satu tangannya di bahu makhluk hijau itu, "Kau suka
dia" Namanya Cutey. Dia lucu, ya?" Ia mencubit hidung panjang makhluk itu.
"Anda... Anda yang membuatnya?" tanyaku terbata-bata.
Mr. Fleshman mengangguk lagi. "Ya. Dia digerakkan dengan remote."
Ia menunjukkan sebuah remote control kecil, seperti remote TV. Ketika ia menekan
tombol, hidung makhluk itu membuka dan menutup. Ia menekan
tombol kiri dan mata makhluk itu berkedip.
"Wow! Hebat!" seruku. Aku mulai merasa lebih tenang. Rasanya aku perlu
minta maaf pada Mr. Fleshman. "Maaf aku masuk tanpa izin ke rumah Anda,"
kataku. Mr. Fleshman mengangkat tangan, "Tak perlu minta maaf," katanya. "Aku
sengaja menjebakmu kemari. Kutaruh Cutey di jendela dapur untuk menarik
perhatianmu. Aku melihatmu datang, dan aku sengaja menunggu."
"Tapi... kenapa?" tanyaku. "Mula-mula Anda berusaha menakut-nakutiku,
lalu..." "Pekerjaanku sangat rahasia," kata Mr. Fleshman sambil bersandar pada Cutey.
"Kucoba membuatmu berhenti mengintaiku, tapi kulihat kau masih penasaran.
Jadi, aku memutuskan untuk menakut-nakutimu saja."
"Yah, aku memang ketakutan," aku mengakui.
"Kau suka efek hantu buatanku?" tanya Mr. Fleshman. Ia mengajakku kembali ke
lab. "Bagaimana Anda membuat kabut itu bisa bergerak?" tanyaku.
"Itu cuma tampilan gambar. Lihat..." Ia mengeluarkan sebuah kotak elektronik
yang mirip VCR. Ketika ia menekan tombol, cahaya memancar dan sebuah
lensa kecil. "Aku menampilkan hantu itu di seluruh ruangan," ia menjelaskan.
Kulihat kabut itu mulai terbentuk lagi. Kelihatannya seperti sungguhan.
"Sebenarnya tekniknya sederhana sekali. Semua yang kaulihat, Jack, hanyalah
efek khusus. Tapi aku tidak mau ada orang yang mengintaiku dan mempelajari
trik-trikku." Aku minta maaf lagi. Lalu giliran Mr. Fleshman minta maaf padaku. "Mudah-mudahan aku tidak
keterlaluan menakut-nakutimu. Kadang-kadang aku suka keasyikan sendiri." Ia
tertawa. "Menurut dugaanmu, apa yang terjadi di sini?"
"Aku belum yakin betul," kataku. "Aku melihat Anda berkelahi dengan Cutey
dan..." "Aku sedang mengujinya," kata Mr. Fleshman.
"Aku tidak akan cerita pada siapa pun," aku berjanji. Kuikuti dia ke pintu
dapur. Aku sudah hendak keluar, tapi kemudian aku teringat sesuatu.
"Album foto itu," kataku.
Mr. Fleshman menyipitkan sepasang matanya yang kelabu. "Kenapa?"
"Aku melihat album foto itu," kataku. "Isinya, foto-foto makhluk berwarna
hijau. Apa itu sebenarnya?"
Mr. Fleshman mendesah. "Itu model makhluk buatanku untuk sebuah film.
Ratusan jumlahnya. Sialnya filmnya tidak jadi beredar."
"Anda masih memiliki model-model itu?" tanyaku.
Mr. Fleshman menggeleng. "Tidak. Semuanya diambil oleh studio film yang
memesan, tapi kemudian studio itu bangkrut."
Aku melangkah ke luar. "Terima kasih atas penjelasan Anda," kataku. "Aku
janji tidak akan pernah mengintai Anda lagi, Mr. Fleshman."
Ia tertawa. "Mungkin aku akan menggunakanmu sebagai bahan uji, Jack. Untuk
mencobakan beberapa kreasi baruku."
"Wow, pasti seram sekali," seruku. Aku berpamitan lalu bergegas pulang.
Aku tak sabar ingin mengatakan pada Mom dan Dad, bahwa selama ini aku
salah duga tentang Mr. Fleshman. Bahwa sebenarnya ia orang yang baik. Aku
tahu orangtuaku pasti akan berkata, "Benar kan?"
Biarlah. Aku merasa sangat lega dan senang karena sudah tahu yang sebenarnya
tentang tetanggaku dan apa yang terjadi di rumahnya.
Pendekar Cacad 4 Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa Perjodohan Busur Kumala 14

Cari Blog Ini