Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor Bagian 2
"Tapi... tapi..." Aku tak mampu bicara.
Matanya menyorot dingin menatapku. "Yah, Andrew, kau dan adikmu ada di
Kabin Keberuntungan!" ujarnya. "Yes. Kalian memang benar-benar
beruntung." "Ap-apa maksud Anda?" kataku terbata-bata.
"Kalian akan tahu apa sebenarnya Kamp Horor itu," jawabnya.
16 "FARRADAY pasti mengatakan yang sebenarnya," kata Meredith. "Yang kita lihat itu
cuma makhluk di film." Ia menarik rambutnya dan mengikatnya dengan karet gelang.
Lalu ia duduk di rumput di sebelah kabinku.
"Yah... tapi aku nggak pernah melihat mereka di film mana pun," bantah Tyler
"Lagi pula mereka tidak seperti bohongan. Mereka jelas bernapas!"
"Kalau mereka memang cuma monster film, kenapa Farraday begitu marah?"
aku bertanya. "Kenapa ia menakut-nakuti aku dan Tyler?"
Tadi kami berempat langsung kabur secepat kami dapat. Tentu saja kami
bahkan tidak sempat mengatakan padanya soal Duffy atau Putar-dan-Jerit.
Dan sekarang kami duduk di bawah bayangan kabinku, mencoba menenangkan
diri dan memahami apa yang kami lihat tadi.
Matahari sore perlahan-lahan terbenam di balik pepohonan. Aku dapat
mendengar suara teriakan dan pekik senang anak-anak yang berenang di danau.
"Kalau benar mereka cuma para aktor yang mengenakan kostum," kata Tyler,
"kenapa mereka dirantaikan ke tembok" Kenapa..."
"Kenapa mereka menjerit?" potong Meredith.
"Benar. Kalian dengar bagaimana mereka menjerit-jerit," tambah Elizabeth.
"Kedengarannya sungguhan. Bukan jeritan pura-pura."
"Dan mengapa wajah Mr. Farraday begitu merah dan napasnya tersengalsengal?" desak Meredith.
Aku mengangkat bahu. "Aku menyerah. Aku tak dapat menjawab satu pun
pertanyaan itu." "Semuanya begitu aneh," gumam Tyler.
"Tempat ini memang aneh," timpal Elizabeth. "Ini kamp horor, benar, kan"
Maksudku, seharusnya kita tak mempercayai apa pun yang kita lihat. Semua
memang harus menakutkan dan kita seharusnya menikmatinya."
"Kau benar," aku mendesah. "Tapi kapan kita bisa mulai menikmatinya?"
*** Makan malam di pondok besar kali itu amat tenang. Perang lempar-lemparan
makanan meletus di sebuah meja di seberang ruangan. Tapi setelah beberapa
menit perang lasagna dan salad, para pembimbing akhirnya berhasil menenangkan
semua anak. Setelah makanan utama, petugas menyajikan semangkuk besar es krim. Anakanak berubah ceria dan bertepuk tangan.
Kami tetap tinggal di pondok dan menonton salah satu film paling
menyeramkan R.B. Farraday, Gua Tanpa Jalan Keluar.
Aku dan Tyler memiliki kaset videonya, dan kami. telah menonton film itu
sedikitnya dua belas kali.
Dalam ifim itu, beberapa remaja pergi .menjeiajah ke dalam gua-gua batu yang
besar di suatu tempat di Barat. Mereka menemukan sebuah gua besar yang
tampak menarik. Mereka masuk ke dalam dan meluncur menuruni lereng yang
curam, terus ke dalam mulut gua itu.
Mereka menyelidiki sebentar. Tapi terlalu gelap untuk dapat melih?t sesuatu.
Jadi mereka memutuskan untuk keluar saja. Dan saat itulah masalah itu timbul.
Karena memang tak ada jalan k?luar.
Itu benar-benar Gua Tanpa Jalan Keluar. Dan tepat pada saat para remaja itu
menyadari bahwa mereka terperangkap di gua itu selama-lamanya, mereka
mulai mendengar suara langkah kaki dan raungan aneh yang menggemuruh.
Dan mereka pun tersadar bahwa mereka tidak sendirian.
Keren, kan" Aku benar-benar menikmati acara nonton film di layar lebar di pondok itu.
Setelah film itu selesai, aku dan Tyler langsung asyik membahas betapa
kerennya film itu sambil berjalan. menyusuri jalan setapak menuju kabin kami.
Bulan purnama menerangi jalan kami Cahayanya yang keperakan membuat
seluruh daerah kamp itu berkilauan.
Sesuatu menarik perhatianku saat kami mencapai kabin pertama di jalan setapak
itu. Kabin itu kabin anak cewek. Aku menghentikan langkah dan menengadah
memandang atap kabin yang miring.
Benarkah itu kamera yang tersembunyi di balik atap"
Ya, benar. Lalu ada sebuah kamera lagi, yang diarahkan pada jalan setapak itu.
Apakah di mana-mana memang telah ditempatkan kamera-kamera" aku
bertanya-tanya. Apakah Farraday memata-matai kami setiap waktu" Apakah ia
memfilmkan kami" Kutunjukkan kamera itu pada Tyler. Ia menguap. Ia nggak biasa tidur terlalu
malam. "Mungkin itu untuk keamanan," ujarnya.
"Yeah. Keamanan," ulangku. Masuk akal sih. Tapi aku tak percaya.
Kemudian, setelah berbaring di atas tempat tidur, aku tak dapat tidur.
Cahaya bulan membuat kabin kami nyaris seterang siang hari. Dan aku tetap
mendengar suara erangan dan lolongan binatang di luar sana. Di luar, tapi tidak
jauh. Aku mendengar Tyler bergerak-gerak di tempat tidurnya. "Andrew, kaudengar
lolongan itu?" bisiknya.
"Semua cuma bagian dan Kamp Horor," aku memberitahunya. "Cuma efek suara. Pasti
ada loudspeaker di luar kabin."
"Kau yakin?" Jack bertanya, melompat bangkit dari tempat tidurnya.
Chris, yang tidur di tempat tidur atas, menjulurkan tubuhnya ke bawah. "Ada apa
sih" Siapa yang berteriak di luar sana?"
Aku meluncur dari tempat tidurku dan berjalan pelan ke jendela. Yang lain
mengikuti tepat di belakangku.
Aku memandang rerumputan yang keperakan.
Jauh di bukit aku melihat dua sosok. Sosok itu gelap, dilatarbelakangi oleh
pepohonan yang bercahaya. Sambil menatap tajam kulihat mereka memiringkan
kepala ke belakang. Tangan mereka diletakkan di mulut, membentuk corong.
Dan kemudian mereka melolong. Melolong seperti binatang yang mengarahkan
moncong ke arah bulan. Makhluk-makhluk yang tadi ada di ruang kerja Farraday!
"Bag?imana mereka bisa lepas?" tanya Tyler, tangannya menarik lengan
bajuku. "Apa yang mereka lakukan di luar sana?"
17 TAK seorang pun mendengar bunyi lolongan itu semalam. Tak seorang pun,
kecuali Tyler, aku, Chris, dan Jack.
Tak seorang pun melihat dua makhluk di atas bukit itu, berdiri di bawah sinar
bulan yang keperakan, melolong seperti binatang.
Tak seorang pun, kecuali penghuni Kabin Tiga.
Kok bisa begitu, ya" pikirku sambil mengambil handuk hijau dan
menyampirkannya di bahuku. Lalu aku berjalan sepanjang pantai sempit yang
berpasir, menuju area renang yang dibatasi oleh tali.
Aku perlu berenang, kataku pada diriku. Aku baru saja menyelesaikan
pertandingan softball tujuh-inning di bawah matahari terik. Aku amat sangat
kepanasan! Aku melambai ke arah Tyler. Ia dan beberapa anak lain sudah berada di dalam air.
Ini memang giliran pelajaran renangnya.
Pembimbing sedang mulai mendemonstrasikan. gerakan gaya kupu-kupu.
"Perhatikan bagaimana aku bernapas," ia berkata saat aku lewat. "Hei... kau
tidak memperhatikan. Bagian paling sulit dan gaya kup..."
Suaranya menghilang ditelan suara-suara kecipak air yang pelan.
Gumpalan awan putih melayang-layang tinggi di angkasa. Matahari pagi
menyorotkan cahayanya, menghangatkan bahuku, menggosongkan bagian
belakang leherku. Kujatuhkan handukku di atas pasir dan kuperbaiki bagian atas celana renangku.
Air danau berkilauan, memantulkan bayangan matahari. Aku menyipitkan mata
memandang air danau, berharap seandainya aku membawa kacamata hitamku.
Kulihat beberapa anak cewek naik ke atas papan yang mengapung. Papan itu
terapung-apung di air di bagian belakang area renang yang dibatasi tali.
"Hei, Andrew! Andrew!"
Aku berbalik ke arah suara itu. Dan menemukan Meredith serta Elizabeth
sedang berbaring berjemur di atas handuk pantai.
Aku melambai, tapi tidak menghampiri mereka. Aku perlu berenang. Aku tak
bisa menunggu lebih lama lagi.
Aku berbalik dan mulai berlari kecil melintasi pasir yang panas, menuju ke air.
Dan nyaris menabrak Duffy, cowok berbadan besar yang menjalankan
permainan Putar-dan-Jerit.
"Whooa." Ia mengelak ke samping. Ia mengenakan pakaian hitam. Peluit perak
berayun-ayun pada rantai yang tergantung di dadanya yang lebar. Sekujur
tubuhnya cokelat sempurna dan dioles krim.
"Selamat datang di Danau Zombie Air," ia menyambutku.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku tanpa pikir panjang.
"Aku pengawas pagi ini," sahutnya. Diturunkannya kacamata hitamnya yang
berlapis perak dari kening dan menutupi matanya. Lalu ia berpaling ke air.
"Mau masuk?" Sambil menggerutu kujawab ya, lalu berlalu.
"Kalau ketemu zombie air, teriak saja." serunya.
Apa maksudnya itu bercanda"
Nggak lucu, pikirku. Aku ingat film zombie air Mr. Farraday. Sekelompok orang tenggelam saat
kapal mereka karam di dasar laut. Mereka bangkit hidup sebagai Para Perenang
Abadi dan menteror para penyelam yang nekat turun untuk menjelajah kapal
karam itu. Bukan termasuk film Farraday yang kusukai. Aku tidak begitu suka film-film yang
mengambil lokasi di bawah air. Dan aku benar-benar tak ingin
memikirkan tentang monster bawah air yang mengerikan saat aku baru saja
akan berenang di danau. "Tarik napas! Sekarang... tarik napas!" Aku dapat mendengar pelatih adikku
melanjutkan pelajaran gaya kupu-kupunya.
Aku menarik napas dalam dan lari ke air. Air yang dingin naik merendam
pergelangan kakiku, lalu tungkai kakiku. Jemari kakiku masuk ke dalam dasar
danau berpasir yang lembut saat aku berlari.
Aku terus berlari sampai air dingin itu mencapai pinggangku. Setelah itu aku
menyelam, berenang cepat meninggalkan tepi danau.
Aku menyembulkan kepala dan menarik napas panjang. Lalu kubiarkan diriku
terapung-apung di atas gelombang yang berayun-ayun. Airnya begitu jernih dan
bersih. Aku terus terapung-apung. Kudorong rambutku ke belakang. Kutengadahkan
kepalaku menantang matahari.
Kutundukkan kepalaku dan mulai berenang pelan dan stabil menuju papan putih yang
terapung. Aku sudah hampir mencapainya saat kurasakan sesuatu melilit
pergelangan kakiku Pertama-tama kupikir itu ganggang air.
Tapi kemudian kurasakan benda Itu semakin erat melilitku. Jemari yang dingin dan
keras mencengkeram pergelangan kakiku.
Lalu menarik dan menyeretku ke bawah.
"Hei!" protesku.
Kutendangkan kakiku sekuat tenaga.
Kutepuk-tepuk air danau itu dengan kedua tangan. Aku menarik napas panjang.
"Lepaskan!" Aku meronta sambil menendang-nendang.
Tapi tangan yang keras dan kurus itu terus menyeretku, menarikku ke bawah
air. Kuangkat tanganku jauh-jauh ke atas, seolah-olah berusaha merenggut
permukaan air danau itu. Tapi aku tetap merasakan diriku ditarik ke bawah. Semakin dalam...
Sambil menendang dan mengibaskan tangan, aku memutar tubuhku di bawah
air dan melihatnya - makhluk menyeramkan itu. Sekujur tubuhnya cuma tinggal
tulang-belulang dan kulit yang telah terkoyak-koyak.
Tulang tangan mencengkeram pergelangan kakiku. Kulit berwarna hijau
melambai-lambai di dada yang tinggal tulang itu.
Kepalanya menunduk saat ia berpegangan pada diriku, dan terus menarikku
lebih dalam lagi. Aku menggeliat dan menendang dan meronta. Dadaku mau meledak rasanya.
Jantungku berdegup kencang saat aku menatap menembus air biru suram yang
bergelombang, memandang makhluk itu, melihat serpihan-serpihan daging yang
bergelantungan di tulang-belulangnya.
Kugerak-gerakkan tanganku dengan histeris. Kutekuk lututku. Lalu
kutendangkan kakiku dengan sekuat tenaga.
Tapi makhluk itu tak mau lepas-lepas juga... terus memegangku...
Dan perlahan-lahan ia mendekatkan kepalanya padaku.
Dengan panik dan ketakutan kutatap wajah hijau yang bengkak itu.
Kutatap wajah itu... kutatap.
Wajah Jack. 18 DADAKU terasa penuh, aku naik ke permukaan. Kuangkat tanganku dan
menyembul keluar. Tertegun oleh rasa takut, oleh rasa ngeri, aku tak merasakan makhluk itu
melepaskanku. Aku tak melihat jemari bertulangnya merenggangkan
cengkeramannya. Aku tidak melihat makhluk itu mundur... makhluk berwajah Jack itu.
Aku meluncur naik. Terus menembus permukaan air.
Kuembuskan napas kuat-kuat. Lalu menarik masuk udara segar dengan
tersengal-sengal. Aku ingin menjerit dan bernapas pada waktu bersamaan.
Kutarik lagi satu napas panjang. Lalu saat jantungku memukul-mukul dada, aku
mulai menyeret diriku ke tepian. Dengan tangan dan kaki yang terasa sakit, serta
gerakan yang tidak teratur dan panik, aku meluncur cepat di atas air.
Begitu ingin menyelamatkan diri...
Apakah makhluk itu mengejarku"
Apakah makhluk itu akan menangkapku lagi" Menarikku ke bawah dan tak
melepaskanku lagi" Sambil merinding dam gemetaran, aku berjalan terhuyung-huyung ke pantai.
Aku berbailk ke arah danau, mataku menyipit, tanganku memeluk tubuhku eraterat.
Tak ada tanda-tanda makhluk itu.
Tiga orang cewek sedang berjemur di atas papan yang mengapung. Adikku dan
kelasnya tampak sedang melatih gaya baru mereka.
Selebihnya, tak ada siapa-siapa.
Aku berbalik dan mencoba berjalan. Kakiku terasa lemas dan seperti karet.
"Duffy?" aku mencari-carinya.
Tak ada. Lenyap. Sekali lagi hilang ditelan bumi. Aku membuka mulut dan
berteriak penuh amarah. Inikah tugas Duffy" Lenyap pada saat kau
membutuhkannya" Aku roboh ke pasir, mencari-cari pembimbing yang lain. "Hati-hati!" aku
berteriak kepada instruktur adikku. Kutangkupkan tanganku di mulut hingga
membentuk corong. "Hati-hati! Dia ada di sana!" teriakku, sambil menunjuk ke
arah air. "Dia ada di dalam air!"
lnstruktur itu tak dapat mendengarku. Suaraku pelan dan terengah-engah.
Tyler mendongak memandangku, lalu segera berpaling untuk melatih
gerakannya. "Andrew... kau baik-baik saja?"
Meredith dan Elizabeth berlari menghampiriku.
Elizabeth menangkap lenganku. "Apa yang terjadi" Kami lihat kau berjalan
limbung keluar dari air."
"Kau tampak berantakan!" Meredith berseru. Mereka berdua bau krim tabir surya
beraroma kelapa. Meredith melapisi hidungnya dengan krim putih itu.
Mereka memperhatikanku dengan saksama, wajah mereka tegang oleh rasa
khawatir. "Dia ada di sana," gumamku. "Dia... menangkapku."
"Apa" Siapa yang menangkapmu?" desak Elizabeth.
"Dia. Monster itu," jawabku. Aku menunjuk ke air. "Dia ada di sana."
Aku tahu ucapanku tak masuk akal. Aku masih belum bisa berpikir jernih. Sinar
matahari menimpa mataku bagaikan ribuan lampu blitz. Pantai itu berputar kencang
di kakiku. "Wajahnya, wajah Jack," aku berkata "Tapi itu bukan Jack. Tak mungkin Jack."
"Kenapa tak mungkin?" Meredith bertanya. "Bisa saja Jack
mempermainkanmu."
Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak! Itu bukan lelucon!" teniakku. "Dia... dia mencoba membenamkan aku!
Jack tak mungkin melakukannya."
"Mungkin kau terlalu lama berada di bawah matahan," Meredith berkata. "Atau
apa." "Ayo, kami bantu kau menemui perawat," Elizabeth mengusulkan.
Mereka masing-masing memeluk lengankuu dan membimbingku menuju jalan
setapak. Tubuhku yang basah kuyup meneteskan air. Saat kami tiba di dekat
kabin-kabin, jantungku mulai berdegup teratur dan aku merasa sedikit normal.
"Aku tak ingin menemui perawat," kataku pada mereka. "Aku cuma ingin pergi ke
kabinku." "Setidaknya kau melaporkan hal ini kepada salah satu pembimbing," Elizabeth
berkata. "Kalau Jack melakukan permainan berbahaya di dalam danau...'
"Itu bukan Jack!" aku berkeras. "Itu... monster Akan kuberitahu pembimbing.
Tapi nanti. Aku ingin mengeringkan tubuhku dulu. Lalu aku mau di tinggal
sendirian dan berpikir. Aku harus tahu apa yang terjadi di sini."
Kami berhenti di depan pintu kabinku. Aku mengucapkan terima kasih. afas
pertolongan mereka. Lalu kudorong pintu kabin hingga terbuka... dai terenyak terkejut.
Kami bertiga menatap pesan yang ditulis dengan tulisan cakar ayam merah di
tembok kabin di sebelah tempat tidurku:
HORORNYA SUNGGUHAN. PERGILAH... SELAGI DAPAT.
19 BENARKAH R.B. Farraday mencoba menakut-nakuti kami"
Benarkah semua itu cuma hasil teknologi efek dalam film" Atau apakah sesuatu
yang benar-benar berbahaya sedang terjadi di sini"
Apakah pesan bertulisan cakar ayam itu cuma lelucon... atau peringatan
sungguhan" Apakah hidupku berada dalam bahaya" Juga hidup Tyler dan Jack dan Chris"
Dan di manakah Jack berada"
Seharian ini aku tidak melihatnya.
Benarkah Jack yang berada di dasar danau itu"
Apakah Farraday telah mengubahnya menjadi zombie air"
Kuasailah dirimu, aku mengingatkan diriku. Lalu aku mencoba. Dengan
sungguh-sungguh. Tapi aku tak dapat mengenyahkan kata-kata Farraday: Kabin Tiga
adalah kabin keberuntungan. Kalian akan tahu apa sebenarnya Kamp
Horor itu. Aku harus berbicara dengan seseorang. Aku harus mencari jawaban-jawaban.
*** Waktu makan siang, aku mencari Gus, pembimbing kami. Tapi tak juga
menemukannya. Jadi kupojokkan pembimbing pertama yang kutemukan di ruang makan.
Namanya Claire. Ia pembimbing olah raga bertubuh tinggi dan bertampang
ramah. Rambutnya yang keriting dan hitam diikat tinggi di kepalanya.
"Kau harus mengatakan yang sejujurnya," tegasku "Apakah semua itu
sungguhan?" Aku harus berteriak untuk mengatasi bunyi dentingan peralatan
makan dan suara ribut anak-anak yang menggema di ruangan besar itu.
Claire membimbingku keluar dari ruangan itu. "Ada apa?" ia bertanya seraya
meletakkan kedua tangannya di bahuku. "Apa yang membuatmu marah?"
"Apakah semua itu sungguhan?" ulangku. "Semua kejadian menakutkan itu,
maksudku." Ia menyipitkan matanya menatapku. "Apa kau terlalu ketakutan?"
"Jawab saja pertanyaanku!" jeritku. "Kejutan listrik di hari pertama itu" Orang
yang merusak mesin permainan Putar-dan-Jerit" Lolongan aneh di waktu
malam" Dan... makhluk seram di dalam danau. Seseorang mencoba
membenamkan aku hari ini! Monster itu!"
Claire menatapku dengan saksama. Bisa kulihat ia sedang berusaha
memutuskan apa yang akan dikatakannya padaku. Setelah itu ia menatap
sekelilingnya, melihat apakah seseorang memperhatikan kami.
"Katakan padaku," ujarku menuntut. penjelasan."Aku harus tahu apa yang
terjadi di sini." Ia menunduk, hingga wajahnya mendekati wajahku. "Kau dengar apa kata Mr.
Farraday," bisiknya. "Dia bilang horor itu harus sungguhan supaya terasa
menakutkan." Dengan tegang ia menatap ke kiri dan kanan lorong yang panjang itu.
"Apa maksudnya?" tukasku. "Apakah kau bermaksud berkata bahwa makhluk
di dalam danau itu sungguhan" Apakah maksudmu nyawa kami benar-benar dalam
bahaya?" "Aku... aku tak tahu," katanya terbata-bata. "Yang kutahu hanya..."
Suaranya menghilang. Kuikuti pandangannya. Matanya menatap kamera yang
bertengger di atas kami di sudut lorong itu.
"Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi," ia berbisik. Ia berbalik dan berlari ke
pintu ruang makan. Aku berlari mengejarnya. Tapi lalu berhenti waktu kudengar suara-suara yang tak
asing lagi di dalam ruangan besar itu.
"Kau harus menghubungi orangtuamu," kudengar Chris berkata.
"Tidak, aku tak bisa. Aku terlalu takut," sahut Jack.
Jack...! Aku menyerbu masuk ke dalam ruangan besar itu.
"Kau harus menghubungi Orangtuamu! Kau tak boleh membiarkan mereka
begitu saja!" Chris terus mendesak.
"Tidak akan! Kau tahu apa yang akan dilakukannya padaku. Dia..." Jack
menghentikan ucapannya begitu melihatku.
Mereka berdua memelototiku.
Aku sadar bahwa aku telah menginterupsi sesuatu yang serius.
Tapi aku tak peduli. "Jack!" seruku. "Kaukah itu" Di dasar danau itu" Kaukah
yang menyeretku ke dasar danau?"
"Maaf?" Jack memandangku dengan mata disipitkan. "Kau serius nih" Kurasa
tidak." "Halo!" Chris mengetuk-ngetuk kepalaku. "Ada orang di dalam" Kau sinting,
ya?" Kutepiskan tangannya. "Jangan bercanda lagi!" tukasku. "Kau, tidak berada di
danau pagi ini?" tanyaku pada Jack.
"Tidak," gumamnya. "Aku sedang mengepak-ngepakkan tanganku dan terbang
ke Jupiter." "Jangan bergurau! Aku ingin tahu yang sebenarnya. Apa yang terjadi di sini"
Aku tahu kalian berdua tahu. Kalian tahu. Kalian harus mengatakannya
padaku!" Jack dan Chris bertukar pandang.
Lalu Jack mencengkeram bahuku dan menarikku. Ia mendekatkan mulutnya di
telingaku. "Sudah terlambat," ia berbisik.
"Apa?" Aku menahan napas.
"Terlambat," ulangnya. "Sudah dimulai. Tak ada apa pun yang dapat kita lakukan
lagi." 20 "Aku tidak mengerti," kataku gugup "Kalian harus memberitahuku..."
Tiba-tiba aku tersadar Jack dan Chris tak lagi memandangku. Mereka menatap ke
atas bahuku, menatap dengan penuh ketakutan.
Aku membalikkan tubuh..., dan mendapatkan Alonso menjulang di dekat kami.
Mata kelabunya yang aneh disipitkan. Codetnya berdenyut-denyut di atas
alisnya. Chris melangkah mundur. "Kami tidak mengatakan apa pun!" teriaknya pada
Alonso. "Kami tak memberitahu apa pun padanya. Sungguh!" ujar Jack, wajahnya pucat pasi.
"Dasar kalian tukang bikin ribut," gumam Alonso dengan gigi dikertakkan.
"Aku telah mengingatkan kalian sebelumnya."
"Jangan... kumohon!" raung Jack.
"Kau harus percaya pada kami!" Chris memohon.
Alonso menatap mereka dengan marah, lalu mengusir mereka. Setelah itu ia
tersenyum menyeringai padaku. "Pergilah ke mejamu. Jangan lagi bikin susah."
"Hah" Bikin susah?" aku terenyak.
"Aku mengawasimu lho," Alonso mengingatkan. "Kabin tiga. Kabin
keberuntungan." Ia berlalu sambil tertawa.
*** Untuk makan malam mereka menghidangkan masakan yang direbus. Aku tak
terlalu bernafsu makan. Kulihat Tyler di seberang ruangan, tertawa dan bercanda dengan beberapa
teman baru. Meredith dan Elizabeth berhenti di mejaku untuk menanyakan
apakah aku sudah merasa lebih baik.
Kubilang, aku sudah baikan. Aku tak tahu harus bilang apa lagi.
Kutusuk-tusuk makananku dengan garpu sambil memikirkan semua kejadian
yang telah terjadi. Kamp Horor seharusnya kan menyenangkan, kataku pada
diriku. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Aku malah terlalu takut untuk
menikmatinya. Apakah aku pengecut"
Tidak, putusku. Ada bahaya sungguhan di sini. Horor sungguhan.
Sesuatu yang jahat ada di sini.
Aku menatap ke arah Jack dan Chris. Mereka sedang menghabiskan makan
malam mereka, membungkuk di atas piring mereka, mata mereka menatap ke
bawah, tidak berbicara dengan siapa pun.
Mereka juga ketakutan, aku tersadar.
Mereka tahu apa yang terjadi di kamp ini. Dan mereka ketakutan juga.
Aku ingin menghubungi orangtuaku. Aku ingin memberitahu mereka bahwa
kamp ini kacau. Dan sebaiknya mereka datang menyelamatkan aku dan Tyler
sebelum sesuatu yang buruk sekali terjadi.
Tapi mereka sedang berkeliling Australia sebulan penuh. Aku tak tahu
bagaimana caranya menghubungi mereka.
Aku mendongak dari piringku dan melihat Alonso berjalan ke depan ruangan.
"Ada pengumuman penting," ia berkata.
Ruangan besar itu langsung sunyi senyap. "Tolong perhatikan," Alonso
melanjutkan. "Koki kita khawatir ada jamur beracun telah tanpa sengaja
dicampurkan ke dalam hidangan ini. Ia yakin jamur itu digunakan pada dua
piring makanan. Jika makanan kalian terasa aneh, tolong laporkan secepatnya."
Tawa meledak di seluruh ruangan.
"Makananku terasa aneh!"
"Makananku terasa seperti sampah!"
Lebih banyak tawa lagi. Tangan-tangan terangkat ke atas.
"Makananku!" "Tidak... makananku!"
Semuanya menikmati lelucon itu.
Tapi ekspresi Alonso tetap serius. "Ini bukan hal yang patut ditertawakan,"
teriaknya marah. "Jika jamur beracun digunakan pada dua piring makanan, kita
harus menemukannya."
"Tapi kenapa kau menunggu selama ini?" seru Elizabeth. "Kami sudah hampir
selesai makan." Alonso membuka mulutnya untuk menjawab. Tapi sebelum ia mengatakan apa
pun, terdengar raungan yang keras. Dan lolongan kesakitan.
Aku berbalik ke arah suara itu... dan melihat Jack dan Chris meremas perut
mereka. Chris mencoba berdiri, matanya membelalak ketakutan. Dicengkeramnya
perutnya dan terbungkuk-bungkuk.
Jack mengerang keras. "Sakit sekali," gerungnya. "Ohhh... perutku. Sakit
sekali!" Keduanya membungkuk dalam-dalam sambil mengerang dan meremas perut
mereka. "Kurasa kita telah menemukan kedua piring makanan yang kena racun!" Alonso
mengumumkan. Senyuman aneh merekah di wajahnya.
Aku tak percaya! pikirku.
Jack dan Chris diracun" Ini sih bukan kecelakaan!
Aku bangkit berdiri.. "Kau cuma akan berdiri di situ saja?" aku membentak
Alonso. "Tidakkah kau akan menolong mereka?"
Senyum Alonso lenyap. Ia rnenggelengkan kepala dengan sedih. "Aku khawatir sudah
terlambat," ujarnya pelan.
Semuanya menjerit saat Jack dan Chris roboh ke lantai.
21 RUANG yang besar itu meledak oleh teriakan-teriakan panik. Dan jeritanjeritan marah. Aku melompat berdiri. Aku harus keluar dan sini... sekarang juga! putusku.
Tempat ini memuakkan! Para pembimbing menyeret Jack dan Chris ke pintu samping. Aku berlari
sepanjang meja yang panjang itu dan menangkap tangan Tyler. "Ayo," aku
berkata. Kutarik dia hingga berdiri. "Kita pergi dari sini."
Tak sedikit pun ia ragu. Kami berdua lari ke pintu depan.
Kami tinggal beberapa meter lagi dari pintu, ketika dua pengawal berseragam abuabu melangkah ke ambang pintu dan memblokir jalan kami.
"Whoooa!" Tyler dan aku mendadak berhenti hingga bertabrakan.
"Pengawal?" aku berteriak "Sejak kapan sebuah kamp punya petugas
keamanan?" Kedua pengawal itu menatap kami de?gan dingin tanpa menjawab.
"Kami mau keluar dari sini!" Tyler bersikeras.
"Aku tak yakin," salah satu pengawal itu menyeringai.
Meredith dan Elizabeth berlari di belakang kami. "Kami harus menghubungi
orangtua kami... sekarang juga!" pekik Elizabeth dengan suara nyaring.
Salah satu pengawal tertawa terkekeh-kekeh. "Itu tak akan terjadi," katanya
datar. Aku tak tahan lagi. Aku berbalik dan mencari-cari Alonso. "Apakah kami
tawanan di sini?" teriakku mengatasi jeritan dan pekikan para peserta kamp
lainnya. "Apakah kami tawanan?"
*** Para pengawal menggiring kami ke kabin kami masing-masing. Tyler dan aku
berbaring tengkurap di tempat tidur kami.
Seorang pembimbing menyembulkan kepalanya di jendela. "Matikan lampu...
sekarang!" ia memerintahkan.
Aku sedang tak ingin berdebat. Jadi, kumatikan lampunya.
"Apa yang akan kita lakukan?" Tyler bertanya dengan suara pelan. Ia bersandar di
tembok sambil memeluk dirinya sendiri.
"Aku nggak tahu," sahutku. "Mungkin kita tunggu dulu sampai semua orang
tertidur dan..." "Ini benar-benar seperti film Tawanan Raja Vampir," ujar Tyler. "Ingat film itu"
Para pengawal di film itu mengenakan seragam abu-abu juga."
"Aku nggak peduli film-film itu lagi," sahutku pahit. "Aku nggak akan pernah
nonton film R.B. Farraday lagi seumur hidupku."
Lalu kudengar suara menderu yang pelan. Aku menengadah dan melihat sesuatu
berbentuk persegi bertengger di kasau kabin. Aku berdiri agar dapat melihatnya
lebih baik. Kamera. Kamera itu bergerak ke arah sana.
"Mereka memata-matai kita," aku berkata pada Tyler.
Ia menatap kamera itu. "Oh, wow," gumamnya.
Kutudingkan tinjuku ke arah kamera itu dengan marah. "Aku tak peduli!"
seruku. "Aku tak peduli apa yang akan kalian lakukan. Pokoknya kami akan
pergi dari sini!" Lalu aku menurunkan kepalaku dan menatap tempat tidur bertingkat di seberang
kabin. Tempat-tempat tidur yang kosong.
Tyler mengikuti arah tatapanku. "Apakah menurutmu Jack dan Chris baik-baik
saja?" ia bertanya sambil berbisik.
Aku mengangkat bahu. "Kuharap."
Aku menghampiri jendela dan menatap ke luar. Di bawah cahaya bulan yang
keperakan, para pengawal berseragam abu-abu yang jumlahnya setidaknya
selusin, berpatroli di sekitar kamp.
"Kita takkan bisa ke mana-mana malam ini," kataku pada Tyler. "Pengawal ada di
mana-mana." "Tapi kita harus coba!" protes Tyler.
"Besok pagi," aku berbisik. "Besok pagi, kita cari jalan untuk melarikan diri."
Aku tidak mengganti pakaianku. Aku cuma melepaskan kaus kaki dan
menyelinap di bawah selimut.
Sebentar kemudian aku jatuh tertidur. Tidurku gelisah. Aku berbalik ke kiri dan
ke kanan, setiap jam terbangun oleh bayangan mimpi buruk yang terus
menghantuiku. Lalu suara garukan. Suara TAM yang pelan. Suara-suara itu membuat mataku terbuka
lebar-lebar. Aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Berusaha melihat di dalam
Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegelapan. Aku mendengar suara TAM lagi. Lalu bunyi berdebam.
Lingkaran sinar putih melintasi lantai kabin.
"Siapa itu?" bisikku, tenggorokanku tercekat.
Aku bangkit duduk. Seseorang berjalan terseok-seok menyeberangi kabin.
"Jack" Chris?" aku berbisik lagi. "Kaliankah itu?"
Tak ada jawaban. Rasa dingin merambati tengkukku. Aku gemetaran.
Lingkaran cahaya yang berasal dari lampu senter menyapu lantai sekali lagi.
"Siapa itu?" seruku.
Pintu kabin mengayun terbuka. Sosok itu bergerak cepat. Lalu lenyap di luar
pintu. Daun pintu terempas menutup.
Aku melompat berdiri. Dan berjalan terhuyung-huyung ke jendela.
Tak ada siapa-siapa lagi di luar sana.
Kutekan tombol lampu. Tyler tampak duduk di tempat tidurnya, menggeleng-gelengkan kepala dengan
kebingungan. "Seseorang tadi ada di sini," aku memberitahunya. dan..."
Aku dan Tyler menahan napas saking kagetnya.
22 "SEPATUKU" teriakku.
Aku berlutut dan mengulurkan tangan ke bawah tempat tidur. "Hei" Aku
merunduk ke lantai dan mengintip ke kolong.
"Ketsku, sepatuku, dan sandalku" seruku seraya berpaling kepada Tyler.
"Semua lenyap!"
"Punyaku juga," ujar Tyler. Ia menggelengkan kepala. "Aku tak percaya."
"Orang itu telah mengambilnya," gumamku. "Seseorang masuk ke dalam kabin
dan mengambil semua sepatu kita."
Aku mendengar suara-suara ribut di luar. Langsung saja aku melompat berdiri dan
menghambur ke luar untuk melihat apa yang terjadi.
Anak-anak menyerbu keluar dari kabin mereka. Beberapa sudah berpakaian.
Beberapa cuma mengenakan piama dan pakaian tidur.
"Mereka mengambil satu-satunya ketsku." seorang anak cowok mengeluh.
"Mereka mengambil seluruh tasku," raung seorang anak cewek "Bersama
semua sepatuku" Meredith dan Elizabeth buru-buru menghampiri kami. "Sepatu kami," pekik
Meredith. "Kalian percaya, nggak?"
"Kenapa sih mereka melakukan ini?" tukas Tyler.
"Untuk mencegah agar kita tidak kabur," Meredith berkata. "Kita tak mungkin bisa
melintasi hutan tanpa sepatu. Banyak ular di hutan itu. Begitulah kata para
pembimbing itu." "Tapi... tapi... tapi..." Tyler tergagap. "Mereka tak boleh melakukan ini!"
"Kembali ke kabin kalian!" suara seorang pengawal meledak lewat pengeras suara.
"Tiga puluh detik untuk kembali ke kabin kalian!"
Anak-anak berlari berpencaran dengan panik, masih sambil berkata-kata soal
sepatu mereka yang diambil orang.
Tyler dan aku bersembunyi ke balik bayang-bayang gelap di samping kabin.
Meredith, dan Elizabeth mengikuti di belakang kami
"Kita terperangkap tanpa sepatu kita," erang Elizabeth.
"Tidak... kita harus melarikan din!" sebuah suara berteriak.
Kami berbalik. Jack dan Chris muncul dari kegelapan. Keduanya tampak amat
ketakutan. "Kalian baik-baik saja!" seruku senang.
Chris menunjukkan wajah jijik. "Mereka memompa keluar isi perut kami," ia
mengerang. "Tapi kalian baik-baik saja," ulangku.
"Yeah. Kurasa," sahut Chris.
"Tapi kita tak punya banyak waktu. Kita harus kabur dari sini," Jack berbisik.
"Kenapa" Apa yang akan terjadi?" desakku.
Jack dan Chris berpandang-pandangan.
"Lebih baik kita beritahu saja mereka," Chris berkata "Semuanya sudah
kepalang basah sekarang."
Jack berbalik kepada kami. "Chris dan aku tanpa sengaja mendengar rencana
mereka. Kami mengetahui rahasia mereka. Itulah sebabnya mereka terusmenerus mengganggu kami. Itulah sebabnya mereka memilih Kabin Tiga."
"Kita semua berada dalam bahaya," tambah Chris, terengah-engah. "Juga
Meredith dan Elizabeth... karena mereka teman-teman kalian."
"Tapi... apa?" desakku. "Apa rencana mereka?"
"Mereka... mereka bermaksud menakut-nakuti kita sampai mati!" seru Chris.
23 "LIMA belas detik!" Suara pengawal yang seperti logam yang keluar dari megafon
itu membuat kami semua terlonjak kaget. "Kembali ke kabin kalian...
sekarang juga! Peringatan terakhir."
"Mereka ingin menakut-nakuti kita sampai mati," ulang Chris berbisik.
"Semacam eksperimen aneh atau apa."
"Apakah Farraday mengetahui hal itu?" aku bertanya.
Chris mengangkat bahu. "Kami nggak tahu. Kami cuma tahu mereka tidak
bercanda. Mereka ingin tahu sebanyak apa ketakutan yang dapat ditanggung
seorang anak... sebelum anak itu mati!"
Elizabeth menahan napas. "Tapi mereka tak boleh melakukannya! Orangtua kita..."
"Aku sudah menelepon ibuku," Jack berbisik. "Ada telepon umum di pondok
pengobatan. Aku menghubunginya. Kukatakan pada ibuku agar kemari
secepatnya." "Apakah menurutmu..." aku mulai.
"Dia akan tiba di sini besok pagi," ujar Jack. "Dia akan menyelamatkan kita
semua." Ia menelan dengan susah payah. "Kalau belum terlambat."
Aku mengembuskan napas lega.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Seorang pengawal berbadan tinggi besar
sekonyong-konyong mendekat ke arah mereka, matanya menyipit penuh
amarah. "Masuk ke kabin kalian, sekarang juga!"
Meredith dan Elizabeth menjerit histeris seraya kabur dari situ.
Tyler, Jack, Chris, dan aku menyerbu masuk ke Kabin Tiga. Kubanting pintu
kabin hingga menutup. Kaki kami yang telanjang melangkah di atas lantai kayu.
Kulihat Jack dan Chris tidak mengenakan sepatu juga.
Di kasau di atas kami, sebuah kamera terus bergerak.
"Apakah kau benar-benar berpikir ibumu dapat membawa kita keluar dari sini?"
Tyler bertanya pada Jack.
Jack mengangguk. Aku melihat kilatan cahaya di bagian belakang lehernya. Sinar bulan telah jatuh
dan terpantul pada permukan suatu benda.
Aku mendekatinya untuk melihat lebih jelas.
Dan menahan napas saat melihatnya.
Sebuah chip metal yang kecil telah ditanamkan di kulit di belakang telinganya.
Aku berbalik, dan melihat sebuah chip di belakang telinga Chris juga.
"Apa yang telah mereka lakukan pada kalian?" seruku "Apa sih yang mereka
tanamkan di tubuh kalian?"
Jack dan Chris balik menatap kami dengan tatapan hampa "Apa sih
maksudmu?" 24 KEESOKAN paginya kami berjalan bertelanjang kaki melintasi rerumputan
yang basah untuk sarapan. Matahari yang bulat merah tergantung rendah di atas
pepohonan. Awan-awan gelap yang melayang di atas danau menambah gelap
warna danau di bawah kami.
Wajah-wajah kaku para pengawal memperhatikan gerak-gerik kami. Dengan
marah dan ketakutan anak-anak berbisik satu sama lain. Sebuah kamera di atas
pintu ruang makan besar itu menangkap ekspresi sedih kami saat kami
melangkah masuk. Aku, Tyler, Meredith, Elizabeth, Chris, dan Jack duduk di barisan meja paling
belakang, yang letaknya paling dekat dengan pintu. Rencananya kami akan
segera menyelinap keluar segera setelah ibu Jack tiba.
Hening. Biasanya suara-suara bising selalu memenuhi ruangan yang besar itu. Tapi pagi
ini, yang terdengar hanya suara dentingan sendok yang mengenai mangkuk-mangkuk
sereal dan beberapa suara batuk.
Tapi begitu Alonso muncul di depan perapian, keheinngan itu langsung
berakhir. Ia dihujani oleh pertanyaan-pertanyaan marah yang bertubi-tubi.
"Kenapa kau mengambil sepatu kami?"
"Benarkah kami tawanan" Kenapa ada pengawal-pengawal di sini?"
"Bolehkah kami menghubungi rumah kami?"
"Bolehkah kami meninggalkan kamp ini?"
"Apakah kau akan mengembalikan sepatu kami?"
"Kembalikan sepatu kami! Kembalikan sepatu kami"
Para peserta kamp di meja depan mulai berteriak-teriak. Dan teriakan itu segera
menyebar ke seantero ruangan.
Alonso berdiri diam, wajahnya kosong. Akhirnya ia mengangkat kedua
tangannya di atas kepala agar semuanya diam.
"Kami cuma meminjam sepatu kalian!" katanya saat seruan-seruan tadi berhenti dan
ruangan itu akhirnya hening. "Sepatu kalian diambil demi keselamatan
kalian sendiri." Kata-katanya itu menimbulkan ledakan suara-suara penuh amarah lagi.
Sekali lagi Alonso menunggu sampai semuanya tenang. Wajahnya semakin
lama semakin merah. Codet di keningnya tampak berdenyut-denyut.
"Kami sudah mendengar beberapa cerita yang menakutkan," ia menjelaskan.
"Beberapa hal mengerikan di hutan. Jadi kami mengambil sepatu kalian dengan
rnaksud agar kalian tidak pergi jauh-jauh dari sini. Tapi jangan khawatir.
Kalian akan mendapatkan sepatu kalian setelah keadaan aman."
Alonso meneruskan bicaranya. Tapi suaranya tenggelam oleh teriakan-teriakan
tidak puas dan marah. Dengan panik ia menggerakkan tangannya meminta semua tenang. Seseorang
melamparinya dengan jeruk. Ia merunduk. Jeruk itu mendarat di perapian.
Anak-anak bersorak. Sebuah jeruk lagi melayang. Seseorang melemparkan
mangkuk sereal. Mangkuk itu pecah berantakan setelah menghantam tembok.
Para pengawal buru-buru bergerak ke muka ruangan untuk mengawal Alonso.
Di antara teriakan dan pekikan, aku mendengar suara jeritan yang tinggi. Jeritan
perempuan. Dari luar. Kulihat mata Jack membelalak lebar sekali.
"Mom!" ia terkesiap. "Itu ibuku!"
Ia melompat menjauhi meja dan menyerbu ke pintu. Aku dan Tyler
mengikutinya dengan susah payah.
"Mom?" panggil Jack.
Awan hujan telah bergerak ke atas kami. Aku menengadah menatap langit yang
kelabu. Saat itu sudah nyaris segelap malam.
"Tolllong!" Jeritan lagi. Datangnya dari dekat pepohonan.
"Lewat sini!" seruku dan mulai berlari menuju asal suara.
Aku melihat dua pembimbing berseragam hijau berlari dengan kecepatan
penuh... dari arah berlawanan.
"Tollllong aku!" ibu Jack menjerit histeris.
Jack yang melihatnya lebih dulu. "Dia... dia ada di dalam kubangan pasir
pengisap! Apakah mereka telah mendorongnya ke situ?"
"Jack... cari pertolongan!" serunya. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya di
atas kepalanya. Pasir itu sudah mencapai pinggangnya. Ia terisap dengan cepat.
Jack mulai berlari menghampiri ibunya.
"Jangan!" hardikku. Kutangkap bahunya dan kusentakkan tubuhnya. "Kau akan
ikut terisap!" "Ambil tali!" sergah Elizabeth. "Ambil dahan pohon! Pokoknya sesuatu untuk
tempatnya berpegangan!"
"Tolong aku. Aku... terisap!" ibu Jack melolong. Dengan panik dipukulpukulkannya kedua tangannya ke pasir itu. Tangannya terkepal erat. Dengan
putus asa ia mencari sesuatu yang dapat menahan tubuhnya dari isapan pasir itu.
"Lekas! Lekas!" Tyler menjerit-jerit.
Aku dapat ide. "Aku akan menjemput Mr. Farraday!" kataku pada mereka. Aku
berbalik menuju pondok utama. "Dia akan menolong kita. Aku yakin dia akan
bersedia!" "Pokoknya cepat!" ibu Jack memohon.
Kudengar gelegar petir saat berlari ke pondok utama. Sambil terengah-engah aku
meluncur melewati seorang pengawal di pintu dan berbelok ke koridor yang
panjang. "Hei, tunggu...," ia berteriak di belakangku. Tapi aku sudah setengah jalan
menuju kantor Mr. Farraday yang letaknya di ujung koridor.
"Mr. Farraday! Mr. Farraday!" kuserukan namanya sambil terus berlari. "Kami
butuh bantuan Anda!"
Daun pintu ruang kerja itu terbuka. Mestinya ia ada di dalam sana. Harus.
Kupegang kedua sisi ambang pintu itu, lalu kudorong tubuhku masuk.
"Mr. Farraday?" panggilku kehabisan napas.
Tidak. Ia tak ada di mejanya.
"Mr. Farraday?"
Aku mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Daun jendelanya terbuka.
Tirainya berkibaran ditiup angin dingin.
Gemuruh petir. Lalu deru mesin mobil.
Aku bergerak ke jendela. Sambil bersandar di birainya aku menjulurkan
kepalaku ke luar. Dan melihat sebuah mobil hitam bergerak menjauh, keempat bannya
menggelinding di atas jalan berlumpur. Mobil Mr. Farraday!
Aku dapat melihatnya membungkuk ke muka, kedua tangannya di puncak roda
kemudi. Mobilnya melaju menuruni bukit, meninggalkan kamp.
"Hei Anda mau ke mana?" teriakku Tapi tentu saja ia tak bisa mendengar
suaraku. Sambil mendesah, kutarik kepalaku. Aku sedang beranjak menuju pintu saat
mataku tertumbuk sesuatu di atas mejanya.
Sebuah surat pendek. Surat pendek bertulisan tangan.
Tanganku bergetar hebat saat kurenggut surat itu dari meja dan membacanya
dengan suara keras. "Aku tak dapat melakukannya. Aku tak dapat melakukannya terhadap anakanak ini. Aku merasa amat bersalah. Aku sangat menyesal. Selamat tinggal
semuanya." 25 "HAH?" Aku menganga menatap surat itu sampai huruf-hurufnya tampak samar di
mataku. Lalu kubiarkan surat itu jatuh ke meja.
Aku berbalik ke arah pintu, dan terenyak.
"Membaca surat orang lain, ya?" Alonso bertanya, seringai jahat menghiasi
wajahnya. "Kau tahu itu tak baik bukan, Andrew?"
Ada noda gelap di bagian depan jas laboratoriumnya. Ia bergerak cepat untuk
menghadang di depan pintu.
"Ibu Jack..." Leherku tercekat. "Kau harus segera menolongnya."
"Terlambat," ia berkata pelan.
"Tidak!" jeritku.
"Kami tidak suka tamu-tamu tak diundang datang ke Kamp Horor," ujar
Alonso. "Tidak! Itu mengerikan!" pekikku.
Alonso menepi. Dua penjaga dengan cepat memasuki ruangan dan
mencengkeram bahuku. Aku memukul-mukul dan meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri. Tapi
mereka terlalu kuat. Mereka mulai menyeretku keluar dari ruangan itu. Aku melihat sebuah kamera yang
diarahkan kepada kami dari rak buku yang tinggi.
"Untuk apa kamera itu?" aku bertanya pada Alonso. "Kenapa kamera-kamera
itu ada di seantero kamp ini?"
"Jangan bertanya-tanya lagi," sahutnya dingin. "Kau sudah melihat terlalu
banyak." Mereka menarikku ke koridor.
"Ke mana kalian akan membawaku?" sergahku.
"Untuk bergabung dengan adikmu dan biang-biang kerok lainnya," tukas
Alonso. "Mereka menunggumu, Andrew. Di suatu tempat yang pasti menarik
bagimu." "Apakah mereka baik-baik saja?" seruku. "Apakah semuanya tidak kurang
suatu apa?" Alonso diam saja. Ia memimpin masuk ke dalam hutan Para pengawal mencengkeram tanganku
erat-erat. Kami menyusuri sebuah jalan kecil yang belum pernah kulihat.
Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awas ular, Andrew."Alonso menyeringai.
Hujan dingin turun, membuat rambut dan lengan T-shirt-ku basah kuyup. .Aku
mengarahkan mataku ke bawah, mengawasi kalau-kalau ada ular. Dengan
seksama aku mencoba mendengar suara desisan, tapi bunyi hujan telah
menenggelamkan suara-suara lainnya.
Alonso mendorong tubuhku agar aku berjalan di depannya. Jalan kecil itu
mengantar kami ke karang batu t?rjal yang gelap. Di tengah karang aku melihat
lubang kecil. Sebuah gua. Gelap gulita.
Sebuah papan tanda dari kayu tergantung miring di dekat mulut gua:
TAMBANG JIWA-JIWA YANG TERSESAT.
"Tempat apa ini?" aku bertanya pada Alonso. "Apakah aku harus masuk ke
sana?" Ia mengangguk. "Teman-temanmu sudah ada di dalam sana, Andrew. Mereka
menunggumu." Para pengawal menyeretku dengan paksa ke mulut gua.
"Tapi ada apa di dalam sana?" aku menuntut jawaban. "Kenapa kami harus
masuk ke sana?" Satu-satunya jawaban yang kudapatkan cuma dorongan yang keras.
Aku terhuyung-huyung ke dalam kegelapan. Sebuah batu yang tajam melukai
kaki telanjangku. Aku terguling-guling. Lalu mulai jatuh. Terus meluncur... meluncur...
Ke bawah, ke dalam kegelapan yang pekat.
Terus ke bawah... jatuh berguling-guling... ke bawah.
Semakin dalam dan semakin dalam... ke lubang tak berujung.
Jeritanku mengikutiku sampai ke bawah.
"Oooooof!" Aku mendarat miring. Di dasar yang dingin dan keras. Dasar
lubang tambang, aku tersadar.
Kuangkat tubuhku. Lalu aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali,
berusaha mengusir kegelapan di depanku. Tapi aku dikelilingi oleh kegelapan yang
pekat. Aku tak dapat melihat apa pun.
Aku merinding. Udara di situ terasa dingin. Dan lembap.
"Halo?" aku berteriak lemah. Suaraku bergema di sekeliling gua yang dalam.
"Ada orang di bawah sini?"
"Andrew" Kaukah itu?" Suara adikku datang dari suatu tempat di depanku.
"Tyler" Kau baik-baik saja?"
Sebuah tangan menabrakku. Meluncur di mukaku. Dan mendarat di leherku.
"Andrew" Ini aku," Tyler berkata dengan suara kecil dan bergetar. "Kau baik-balk
saja" Mereka melemparkanmu ke bawah sini juga?"
"Ya," aku memberitahunya. Kuremas tangannya yang dingin dan basah. "Siapa
lagi yang ada di sini?"
"Kita semua," jawab Elizabeth "Meredith, aku, Jack, Chris..."
"Jack... ibumu!" pekikku tercekat.
"Aku tahu," ia berbisik. "Aku dan Chris telah berusaha menyelamatkannya.
Tapi..." Ia menghentikan ucapannya
Suara geraman yang muncul entah dari mana di dekat kami, membuat kami
semua menahan napas. Geraman seekor binatang. "Oh, tidaaaaak," erangku. Jantungku berpacu semakin cepat. Lututku mulai
gemetaran. Kami tidak sendirian di bawah sini, aku tersadar.
Kami tidak sendirian.... 21 KAMI semua menjerit histeris saat geraman berikutnya terdengar. Kali ini lebih
dekat lagi. Dan lebih marah lagi.
"Apa... itu?" kataku tercekat. Jantungku berdetak cepat sekali, kepalaku juga
berdenyut-denyut. Aku tak dapat berpikir lurus.
"Kedengarannya... marah!" Tyler terkesiap.
"Terlalu gelap," bisik Jack. "Kalau saja kita bisa melihat sesuatu."
"Wow. Tunggu sebentar," Chris bergumam. "Aku punya senter plastik di
sakuku. Salah satu pembimbing menjatuhkannya. Sebentar."
Aku menahan napas. Kupaksa kedua tungkai kakiku untuk berhenti bergetar.
Aku menunggu senter Chris menyala.
"Owww!" Aku mengeluarkan jeritan melengking saat sinar senter yang terang
muncul. Kupejamkan mataku. Lalu pelan-pelan kubuka lagi.
Dan mendapati Mr. Farraday menyeringai ke arah kami dari seberang ruangan
yang penuh manusia. Kami bukan berada di lorong tambang yang kosong. Kami tengah berdiri di
dalam ruangan bulat yang yang penuh dengan para pembimbing dan pengawal.
Mereka duduk di kursi lipat Mereka langsung bertepuk tangan dengan gegap
gempita saat adik, teman-teman, dan diriku yang ketakutan menatap mereka
dengan mulut menganga lebar.
Mr. Farraday ikut bertepuk tangan, menyeringai, dan mengangguk-anggukkan
kepala. "Bagus sekali. Itu benar-benar bagus sekali!" ia berkata.
Aku menggeleng-gelengkan kepala keras sekali. Apakah ini cuma mimpi" Aku merasa
terlalu bingung untuk dapat mengatakan sesuatu.
"Kalian benar-benar sempurna!" puji Mr. Farraday. Ia berjalan ke atas pentas dan
mulai mengguncang-guncangkan tangan kami. "Bagus sekali! Bagus!
Kalian benar-benar hebat."
Para pembimbing dan penjaga kembali bertepuk tangan.
Mr. Farraday berpaling kepada Alonso, yang berdiri menyandar di dinding
belakang. "Apakah kamera-kamera itu masih menyala" Kau bisa mematikannya
sekarang" Lalu sutradara film itu kembali menatap kami. "Mari kita ucapkan terima kasih
secara khusus kepada para aktor yang memerankan Jack dan Chris!" ia berseru.
"Hah" Aktor?" pekikku, lebih bingung lagi
Tepukan tangan lagi. Jack dan Chris menunduk memberi hormat.
"Pekerjaan yang bagus, anak-anak," Mr. Farraday menyalami mereka "Kalian
benar-benar telah menipu semua orang. Kalian peserta kamp yang sempurna.
Tak seorang pun menyangka kalian bekerja untukku."
Kutarik tangan Jack. "Kau seorang aktor?"
Ia mengangguk seraya menyeringai kepadaku.
"Dan tak satu pun dari semua ini benar-benar sungguhan?" desakku "Kejutan
listrik itu" Racun makanan itu?"
Seringainya semakin lebar. "Kau semakin pintar saja, Andrew"
"Monster di dalam danau itu?" teriakku nyaring. "Yang wajahnya sama persis
dengan wajahmu?" "Cuma topeng. Aku menunggumu di balik papan yang mengapung itu"
Ia melepaskan chip kecil dari belakang telinganya. "Ini mikrofon," ia
memberitahuku. "Begitulah caranya aku mendapatkan instruksi-instruksi dari Mr.
Farraday" "Apakah kau tidak bertanya-tanya mengapa semua kejadian buruk itu menimpa
kita, para penghuni Kabin Tiga?" aktor yang memerankan Chris itu bertanya
"Kami semua dipersiapkan untuk menakut-nakuti siapa saja yang menghuni
kabin keberuntungan."
"Dan aku juga ingin berterima kasih kepada Max, yang memerankan tokoh
Duffy," Mr. Farraday melanjutkan Tepuk tangan lagi. "Dan terima kasih yang
istimewa kepada Margo, yang memerankan ibu Jack. Kerjamu hebat di
kubangan pasir isap itu, Margo."
Mr. Farraday berpaling ke bagian belakang ruangan. "Dan terima kasih secara
khusus kepada adikku, Ned, yang memerankan Alonso."
Tepuk tangan lagi saat Alonso - atau Ned - membungkuk memberi hormat.
"Hei... apa maksudnya semua ini?" teriakku marah. "Kenapa kalian melakukan semua
ini pada kami?" "Kenapa kalian menipu kami?" sembur Elizabeth.
Mr. Farraday menyeberangi ruangan itu. Diletakkannya satu lengannya di
bahuku dan lengan yang lain merangkul pundak Elizabeth. "Kalian main dalam film
baruku," ia mengumumkan. "Film dokumenter pertamaku."
"Tapi... tapi..." Tyler tergagap.
Mr. Farraday melanjutkan. "Kalian mungkin telah melihat kamera-kamera di
sekeliling kamp. Aku ingin menangkap teror sungguhan di dalam filmku.
Bukan teror yang cuma hasil akting, tapi teror sungguhan. Aku ingin menggunakan
semua trikku untuk membuat kalian ketakutan. Untuk membuat
kalian gila ketakutan. Aku ingin semuanya nyata. Sungguhan! Dan ternyata
berhasil. Kalian semua hebat sekali."
Kutepiskan tangannya dan berbalik ke arahnya. Kemarahan bangkit dan dadaku dan
meluap menjadi teriakan penuh murka. "Semua itu cuma pura pura?"
sergahku dengan suara nyaring. "Kalian menakut-nakuti kami seperti itu...
hanya untuk sebuah film" Tak ada yang benar-benar nyata?"
Senyum Mr. Farraday lenyap. Digosok-gosokkannya jenggotnya. "Yah,
sesungguhnya, Andrew, beberapa hal memang benar-benar nyata."
"Apa?" tuntutku. "Apa yang benar-benar nyata?"
"Itu tidak penting," sahutnya tajam. "Yang paling penting, aku telah berhasil
menangkap ketakutan kalian dan memfilmkannya. Kalian akan jadi terkenal!"
"Tapi ini tidak adil!" timpal Elizabeth. "Anda seharusnya memperingatkan kami
lebih dulu!" Tyler dan Meredith setuju. Kami berempat serentak mulai b?rteriak-teriak.
Mr. Farraday mengangkat tangannya menyuruh kami diam. "Tenang,
semuanya. Sekarang kalian bisa rileks dan senang-senang. Nikmati kamp ini.
Kalian layak mendapatkannya."
Aku, Tyler, Meredith, dan Elizabeth menghambur ke luar. Kami kembali ke
kabin kami. Mengganti pakaian dan mengenakan baju renang. Dan pergi
berenang di danau. Kini kamp itu tampak sungguh berbeda. Kubangan pasir isap... Gua Tanpa jalan
Keluar... Hutan Angker... Tak ada yang tampak menakutkan lagi.
Sekarang aku tahu rahasianya. Semua cuma tempat pengambilan film. Semua
cuma bohong-bohongan... dibuat supaya Mr. Farraday bisa memfilmkan
ketakutan kami. "Aku masih marah," aku memberitahu yang lain saat kami mengeringkan tubuh
di pantai. "Orang yang memerankan Jack itu nyaris menenggelamkan aku,
menarikku di balik kostum menjijikkan itu."
"Aku juga marah," Meredith setuju. "Ini tidak adil. Kita kan datang ke sini
untuk bersenang-senang."
"Ia memperalat kita," ujar Elizabeth.
Tyler membungkus tubuhnya dengan handuk pantai. Ia menggigil. "Semua itu
terlalu mengerikan," ia berkata. "Rasanya kita ini seperti... korban. Kita tak
pernah punya kesempatan."
Kami terus duduk di sana dan membicarakan hal itu lama sekali. Kami
berempat masih kesal. Kami merasa marah.
"Kita harus protes," kataku akhimya. "Farraday dan teman-temannya tidak
punya hak untuk menakut-nakuti kita seperti itu. Mereka keterlaluan. Kita harus
menunjukkan kepada semua orang apa yang telah dilakukannya pada kita."
Yang lain bersorak. Sebuah bayangan mengenai kami
Aku berpaling dan melihat adik Mr. Farraday, Ned, memperhatikan kami dari
sebuah batu karang. Apakah ia mendengar apa yang kuucapkan tadi"
Aku merasa ngeri saat mendongak menatapnya. Mata kelabunya yang aneh
menyipit dengan dingin. Codet di keningnya berdenyut-denyut.
Kejadian-kejadian menyeramkan itu sudah berakhir, pikirku.
Lalu kenapa ia menatap kami seperti itu"
27 SETELAH makan siang, kami menghabiskan hari itu dengan bersenang-senang.
Kami menaiki kereta di atas relnya yang menjulur sepanjang pepohonan. Rel itu
tidak rata dan penuh bebatuan. Kami praktis melayang keluar dari kereta itu,
menjerit dan memekik setiap kali kereta kami tersandung-sandung
Kami menaiki permainan Putar-dan-Jerit sampai merasa pusing sekali dan tak dapat
berhenti tertawa. Kami berlayar di danau naik perahu kecil. Lalu kami mencoba berselancar
angin, yang ternyata lebih sulit daripada kelihatannya. Setelah berenang lagi,
kami kembali ke kabin dan berganti pakaian untuk makan malam.
Anak-anak sudah mulai menyikat hot dog dan kacang panggang waktu aku tiba di
ruang makan besar. Beberapa dan mereka menengadah menatapku saat aku
melangkah masuk. Sebagian bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Yang lain
mengacungkan jempol. Kurasa kisah tentang Kabin Keberuntungan telah menyebar.
Kuambil sebuah piring dan pergi antre ke bagian hot dog. Sambil menunggu, aku
mencari-cari Jack dan Chris Tap tentu saja mereka tidak ada di tempat-tempat
mereka biasanya berada. Mr. Farraday mungkin telah membayar honor
mereka dan mereka telah meninggalkan kamp.
Mr. Farraday melambai ke arahku dari meja di sebelah depan. Ia duduk
dikelilingi oleh para pembimbing. Adiknya, Ned, duduk di ujung meja,
membungkuk di atas sebuah piring yang penuh makanan.
Aku duduk di seberang Meredith. Ia sedang berbicara dengan seorang cewek
lain dari kabinnya. Aku sedang menghabiskan hot dog keduaku saat menyadari sesuatu dan melompat
berdiri. "Hei... mana adikku?" aku berteriak.
Kulihat Mr. Farraday berpaling ke arahku.
"Di mana Tyler?" teriakku "Tadi ia berada tepat di belakangku"
Kupanggil namanya beberapa kali
Ruangan itu jadi hening. "Ada masalah, Andrew?" Mr. Farraday bertanya.
"Adikku," sahutku "Katanya dia kelaparan. Tapi dia tak ada di sini."
"Mungkin dia masih di kabin?" Ned mengusulkan.
Aku setengah berlari ke pintu. "Biar kuperiksa ini aneh sekali."
"Uh. Tenang saja. Aku akan menemanimu," Mr. Farraday mengusulkan.
Ia buru-buru melintasi ruangan untuk mengejarku. Aku berjalan di depan
menuju kabin. Sekonyong-konyong aku menghentikan langkah saat kulihat
pintu kabin terbuka lebar.
Aku dan Mr. Farraday buru-buru menghampiri ambang pintu.
"Oh, tidddaaak" aku menjerit. "Berantakan sekali!"
Kabin itu kacau balau. Selimut dan seprai telah dilepaskan dari tempat tidur dan
tersebar di lantai. Laci-laci lemari terbentang terbuka, pakaian-pakaian
berhamburan keluar dari dalamnya. Ada lubang besar di salah satu kasa jendela.
Mr. Farraday terkesiap dan mengangkat kedua tangannya ke wajahnya.
"Kelihatannya... kelihatannya tadi ada pergumulan di sini!" seruku dengan suara
bergetar. "Tenang. Tenang," perintah Mr. Farraday. "Aku yakin semuanya baik-baik saja.
Aku..." "Oh, tidak!" Kudorong dia dan masuk ke dalam kabin. Aku menunduk ke lantai dan
memungut sebuah benda dari bawah tempat tidur kami.
Kusorongkan benda itu ke wajah Mr. Farraday.
"Jam tangan adikku!" teriakku ketakutan. "Dia dia tak pernah melepaskannya!
Tak pernah!" "Aku - aku tak mengerti," Mr. Farraday terbata-bata. "Ini tak boleh terjadi.
Pengambilan film itu sudah selesai."
"Lalu di mana adikku?" pekikku nyaring.
28 MR. FARRADAY menelan ludah dengan susah payah. "Aku... aku tak tahu
siapa yang melakukan semua ini," gumamnya sambil memandang kamar yang
berantakan. "Yuk kita berpencar dan cari dia. Dia pasti ada di sekitar sini."
Ditiupnya peluitnya. Beberapa pembimbing keluar dan ruang makan turun
menuruni bukit, dan mengembalikan sepatu kami.
"Mungkin Tyler pergi ke kubangan pasir isap," ujarku dengan suara kecil.
Mr. Farraday menggelengkan kepala. "Itu bukan pasir isap sungguhan. Tapi
cuma pasir biasa yang kami sebarkan di situ."
Ia berpaling kepada para pembimbing. "Cari Tyler di seluruh wilayah kamp," ia
memerintahkan mereka. Tapi sebelum mereka bergerak, Meredith muncul. Rambutnya yang berantakan
membingkai wajahnya. Ekspresinya amat sangat ketakutan.
"Adikku juga lenyap!" raung.Meredith. Kusangka ia ada di kabin kami... tapi
ternyata tak ada. Aku tak melihat Elizabeth lagi sejak kami meninggalkan
pantai!" Mr. Farraday meletakkan tangannya di bahu Meredith yang gemetaran.
"Ssst. Tenang. Ayo semuanya, tarik napas dalam-dalam. Aku jamin Tyler dan
Elizabeth ada di pantai."
Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sutradara itu berusaha terdengar tenang. Tapi aku menangkap kilatan rasa takut
di matanya. Bibir atasnya gemetaran. Ia menggigitnya untuk menghentikan
getarannya. Dengan setengah berlari, Mr. Farraday menyusuri jalan kecil menuju pantai.
Meredith dan aku mengejar di belakangnya.
Semua kabin gelap. Tiupan angin membuat rumput-rumput tinggi bagai berbisik saat
kami melewatinya. Dalam cahaya senja yang kelabu, aku dapat melihat pantai itu kosong.
Meredith mulai menangis. Ia berlari melewati Mr. Farraday, sepatu ketsnya
menendang pasir. "Sudah semakin gelap," Farraday berkata, matanya mencari-cari di sekeliling
pantai. "Sulit melihat apakah..."
Jeritan Meredith menghentikan kata-katanya.
"Lihat!" serunya. Ia menunduk dan memungut sesuatu dari atas pasir.
"Hah?" Mr. Farraday menahan napas.
"Ini pakaian renang Elizabeth!" erang Meredith.
Mulut Mr. Farraday menganga.
"Ini punyanya! Miliknya!" Meredith berteriak-teriak dengan suara nyaring.
Dikibas-kibaskannya pakaian renang itu di udara. "Mana dia" Di mana adikku?"
Kami semua memandang ke air. Air danau yang gelap tampak gemerlapan di
bawah cahaya senja. "Ini tak mungkin terjadi," raung Mr. Farraday, seraya menggeleng-gelengkan
kepala. Ia menarik napas panjang. "Ayo kita kembali ke pondok. Mungkin
seseorang telah melihat Elizabeth dan Tyler."
"Di mana Elizabeth" Apa yang telah terjadi padanya?" Meredith berteriak-teriak
sepanjang perjalanan kami kembali ke bukit.
"Akan kuhubungi polisi kota," janji Mr. Farraday. "Aku tak ingin kalian
khawatir. Kita akan..."
Kami semua menghentikan langkah saat melihat permainan Putar- dan-Jerit
menyala. Kereta-keretanya berputar pelan, berderak-derak dan berderit-derit.
"Siapa yang menyalakannya?" tukas Mr. Farraday. "Ada apa ini?"
Kami menghampiri kereta permainan yang berputar itu.
"Itu Tyler!" seruku seraya menudingkan jariku ke salah satukereta. "Lihat! Itu
dia! Tyler! Tyler!" Mr. Farraday mencengkeram tuas pengatur dan menariknya ke atas.
Kereta-kereta itu pelan-pelan berhenti.
Kami bertiga meluncur melintasi rerumputan dan menghampiri kereta itu.
"Tyler?" panggilku. "Tyler?"
Tidak. Bukan Tyler. Dengan ngeri kami menatap pakaian Tyler yang tersebar di atas bangku kereta.
29 MR. FARRADAY membuka mulutnya dengan suara mendeguk. Dengan
gemetaran ia mundur, menjauhi kereta itu.
Meredith menangkap lengan Mr. Farraday dan mulai mengguncangguncangkannya dengan sekuat tenaga "Hentikan! Hentikan semua ini!" jeritnya.
"Anda masih mencoba menakut-nakuti kami! Anda masih terus membuat film
Anda yang konyol itu!"
"Tidak tidak lagi." Mr. Farraday bersikeras. Ia melepaskan tangannya dari
cengkeraman Meredith. "Aku sudah selesai membuat filmnya. Aku... aku tak
tahu siapa yang melakukan semua ini!"
"Yah, kalau begitu, apa yang akan kita lakukan?" desakku "Tyler dan Elizabeth
tak mungkin lenyap begitu saja."
Mr. Farraday beranjak menuju pondok "Aku akan menghubungi polisi," ia
berkata. "Ini sih sungguhan. Bukan film."
"Kami ikut dengan Anda," aku berkata.
Kami mengikutinya ke pondok utama. Makan malam sudah selesai. Layar film
sudah dipasang dan semua anak sedang menonton salah satu film Mr. Farraday.
Kulihat seekor serangga raksasa di sana saat kami melewati aula utama dan
mengenali filmnya, Malam Kumbang-kumbang June.
Aku dan Meredith sudah jelas sedang tidak mood menonton film horor.
Mr. Farraday menyalakan lampu ruang kerjanya, dan kami mengikutinya
masuk. "Duduklah, anak-anak." Ia menunjuk dua kursi di seberang mejanya.
"Aku yakin polisi kota akan, membantu kita." Ia mengangkat gagang telepon
dan meletakkannya di telinga.
"Hei!" Ia menjauhkan gagang pesawat itu dan memandangnya. Lalu ditekannya
beberapa tombol. Lalu mendengarkan lagi. Waktu ia mendongak kepada kami, sekujur tubuhnya gemetar karena panik.
"Teleponnya mati," katanya tercekat.
Diempaskannya tubuhnya di kursinya. "Siapa yang melakukannya?"
30 "COBA pesawat yang lain!" seruku. "Coba sesuatu! Apa kek! Kita harus mencari
pertolongan!" Dua penjaga menghambur ke dalam ruang kerja itu. "Aku... aku rasa kami telah
menemukan mereka!" salah satu dari penjaga itu berseru dengan napas
tersengal-sengal. "Di mana?" teriakku.
"Kami mendengar suara-suara," yang lain berkata sambil terengah mencari
napas. "Dari dalam Gua Tanpa Jalan Keluar!"
"Tapi itu tak mungkin!" seru Mr. Farraday. "Bagaimana mereka bisa masuk ke dalam
gua itu" Siapa yang meletakkan mereka di sana?"
"Kita harus mengeluarkan mereka!" hardikku.
Sebuah sosok besar berlari menyusuri koridor menuju ke arah kami. Rupanya
Ned, yang masih mengenakan jas lab putih yang kena noda. "Ada apa ini?" ia
bertanya pada kakaknya. "Ambil saja beberapa senter," sahut Mr. Farraday. "Kita akan ke Gua Tanpa
Jalan Keluar," Ned terperangah kaget. Kemudian ia berbalik dan pergi mengambil beberapa
lampu senter. Beberapa menit kemudian, kami berjalan cepat melewati pepohonan, lampulampu senter kami menari-nari di atas tanah di depan kami. Gua Tanpa Jalan
Keluar itu ada di tembok bebatuan yang tersembunyi jauh di dalam hutan.
Tak ada jalan lagi. Jadi kami harus melangkahi ranting-ranting pohon yang
berserakan dan menembus semak belukar serta tanaman rambat yang rapat.
Jangkrik-jangkrik berbunyi bising sekali. Di sekitar kami dapat kudengar suarasuara binatang berlarian di atas dedaunan kering yang bergemeresik.
Akhirnya, gua itu tampak menjulang gelap di atas kami. Mulut gua itu kecil dan
rendah, cuma sekitar satu atau dua kaki tingginya.
Kami berlutut di depannya.
Mr. Farraday ragu-ragu. "Ini terlalu berbahaya. Kita benar-benar tak boleh masuk
ke sana." "Bahaya?" Meredith berteriak. "Aku tak peduli! Adikku ada di dalam sana! Kita
harus menemukannya!"
"Kalian tidak mengerti...," Ned mulai berkata.
Aku berbalik dan membungkukkan tubuhku ke arah mulut gua itu. "Aku akan
pergi mencari Tyler!" kataku ngotot.
"Jangan. Tunggu...," desak Mr. Farraday.
Terlambat. Aku sudah meluncur ke dalam kegelapan "Wow!" pekikku saat
tubuhku mulai berguling-guling menuruni jalan yang curam, terus ke bawah, ke
dalam gua itu. Akhirnya aku dapat menahan tubuhku dan mendarat di lantai gua. Napasku
yang pendek-pendek terdengar amat keras, bergema di dinding-dinding batu.
Beberapa detik kemudian aku melihat kilasan lingkaran cahaya berwarna
kuning saat Ned, Meredith, dan Mr. Farraday turun menyusulku.
Rasa dingin menyapu punggungku. Walaupun di luar udara panas, di bawah sini
terasa dingin. Mr. Farraday menabrakku. "Oh. Maaf," gumamnya. Bahkan di bawah cahaya
senter yang redup, aku dapat melihat ekspresi ketakutan di wajahnya.
"Siapa... siapa di sini?" serunya terbata-bata. "Ada orang di sini" Tyler"
Elizabeth" Kalian ada di sini?"
31 AKU mendengar suara rintihan pelan dari suatu tempat di depan kami.
Mr. Farraday melompat. Ia mendengarnya juga. Raungan pelan.
"Siapa itu?" Mr. Farraday menahan napas. "Kumohon! Siapa itu?"
Lampu-lampu menyala di atas kami
Kami semua mengerjap-ngerjapkan mata.
Tyler dan Elizabeth berdiri di tembok, keduanya mengenakan jins dan kaus
Kamp Horor "Kejutan!" keduanya berteriak Dan tawa mereka meledak.
Aku dan Meredith ikut tertawa.
Mr. Farraday dan Ned mundur dengan terhuyung-huyung, mulut mereka
terbuka, mata mereka melotot lebar.
"Kami balas kalian!" seru Meredith. Ia ber -high five dengan Elizabeth.
"Maksud kalian maksud kalian semua ini cuma pura-pura?" sergah Mr.
Farraday. "Elizabeth dan Tyler sebenarnya tidak lenyap?"
"Semua ini cuma sandiwara?" Ned bertanya lemas.
Kami tertawa lagi. Benar-benar saat yang mengesankan.
"Benar, kami merencanakan semuanya. Sekarang kalian tahu bagaimana
rasanya benar-benar ketakutan itu!" kataku pada mereka.
"Sayang sekali kami tak punya kamera!" pekik Elizabeth "Kami bisa membuat film
horor kami sendiri!"
Lagi-lagi kami tertawa. Lalu kami saling mengucapkan selamat. Kami senang
sekali rencana kami berhasil. Kami merasa puas.
"Kita berhasil menakut-nakuti Manusia Paling Menakutkan di Muka Bumi!"
seruku girang sekali. Tapi kemudian aku menangkap ekspresi khawatir di wajah kedua orang itu.
Kepala Mr. Farraday dimiringkan, seolah-olah sedang mencoba mendengarkan
sesuatu. Kurasa sutradara besar film horor itu tak suka kalau seseorang mencoba
menakut-nakuti dia, aku menyimpulkan.
"Mr. Farraday?" aku mulai.
Mr. Farraday masih meletakkan jarinya di bibir. Suara dengungan itu semakin
dekat. Semakin keras. Naik-turun seperti suara sirene.
"Suara apa itu?" tanyaku lagi.
Tyler, Meredith, dan Elizabeth bergerak mendekat.
Farraday menggosok jenggotnya dengan tegang. Ia menutup mata. "Ingat waktu aku
mengatakan ada beberapa hal di kamp ini yang benar-benar nyata?"
tanyanya berbisik. Dengan susah payah aku mencoba mendengarnya, sebab suara dengungan itu
semakin lama semakin keras.
"Gua ini adalah sarang tawon raksasa," ia melanjutkan. "Tawon-tawon dan
serangga-serangga penyengat itu semua berkumpul di sini pada waktu malam."
Aku mulai melangkahkan kaki ke arah jalan masuk. Aku membuka mulut ingin
mengatakan, "Ayo kita pergi dan sini!" Tapi rasa panik mengunci leherku.
"Ayo kita memanjat keluar dan sini!" sebagai gantinya Meredith berkata begitu.
"Tidak bisa," ujar. Mr. Farraday datar. "Terlalu terjal."
"Ini Gua Tanpa Jalan Keluar. Ingat?" Ned menimpali. "Kita terperangkap di
bawah sini sampai seseorang datang menolong kita."
"Terperangkap bersama mereka...," tambah Mr. Farraday seraya menunjuk ke
arah datangnya suara dengungan itu.
Semakin keras... semakin keras....
"Waktu berpura-pura sudah lewat. Sekarang kita akan menghadapi teror yang
sesungguhnya," ujar Mr. Farraday pelan seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak!" protesku. "Kita harus keluar dari sini! Kita tak boleh terus di sini!"
Aku harus berteriak mengalahkan suara dengungan kawanan tawon itu.
Kakiku gemetaran, aku mulai bergerak menjauh. Menjauh dari mereka. Terus
mundur... mundur... Aku tersandung sesuatu. Lalu jatuh terjengkang.
"Hei!" Dengan susah payah aku bangkit. Dan menatap sebuah loudspeaker. Rupanya itulah
yang membuatku terjengkang tadi.
Loudspeaker" Yang benar saja!
Kuangkat benda itu ke dekat telingaku Dan kudengar suara mendengung tadi
keluar dari situ. Efek suara. Efek suara! Dengan jantung berdegup kencang, aku berpaling kepada Mr. Farraday.
Ia menyeringai menatapku. Seringai senang dan penuh kemenangan. "Kau
menikmati Kamp Horor?" ia bertanya "Pikirkan saja... kau masih punya waktu dua
minggu lagi!" End Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Memanah Burung Rajawali 24 Pendekar Naga Putih 12 Kelabang Hitam Bidadari Dari Sungai Es 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama