Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 24

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 24 Khu Cie Kee tidak sendirian, di sampingnya ada Tan Yang Cu Ma Giok, Giok Yang Cu Ong Cie It, Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie serta In Cie Peng, muridnya. Kedatangan Khu Cie Kee kali ini pun untuk urusan muridnya ini. Ketika itu hari In Cie Peng kena dihajar Oey Yok Su hingga giginya copot, ia mengadu kepada gurunya. Kebetulan Khu Cie Kee berada di Lim-an. Dia kaget dan gusar, maka mau lantas ia mencari Oey Yok Su. Ma Giok sabar, ia mencegah. "Oey Lao Shia itu dulu harinya sama kesohornya dengan almarhum guru kita," kata Cie Kee. "Di antara kita bertujuh, cuma Ong Sutee yang pernah bertemu dengannya selama rapat di gunung Hoa San. Siauwtee mengagumi dia, memang siauwtee ingin bertemu dengannya, maka inilah ketikanya yang baik. Siauwtee tidak memikir untuk menempur dia, kenapa suheng mencegah?" Ma Giok tertawa dan berkata: "Aku dengar Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya, sedang kau, berangasan, maka jikalau kamu bertemu muka, kebanyakan bisa terbit onar. Bahwa ia telah memberi ampun pada Cie Peng, itu tandanya ia menaruh muka..." Cie Kee tidak dapat dibujuk, dia mau juga pergi, maka itu Ma Giok lantas mengundang saudara-saudaranya untuk pergi ke Gu-kee-cun. Mereka sudah berkumpul tetapi Ma Giok mengusulkan untuk mereka berlima yang pergi terlebih dulu. Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian dan Cek Tay Thong menantikan di luar kampung itu, bersiap membantu kalau ada perlunya. Diluar sangkaan mereka, bukan mereka bertemu Oey Yok Su, mereka melihat Bok Liam Cu. Khu Cie Kee mengenali nona itu, maka itu selagi bersandung, ia menegur lebih dulu. Melihat muridnya itu, Khu Cie Kee mengasih dengar suara di hidung, "Hm!" Dia tidak memperdulikan. "Suhu," Cie Peng berkata, "Tocu dari Tho Hoa To menghina teecu justru di dalam ini rumah penginapan." Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey Lao Shia, yang berarti si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi ia ditegur oleh Ma Giok, maka ia mengubah sebutannya. Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu, dengan nyaring ia berkata: "Murid-murid Coan Cin Kay ialah Ma Giok beramai, datang menghadap kepada Oey Tocu dari Tho Hoa To!" "Di dalam tidak ada orang," Yo Kang memberitahukan. "Sayang, sayang," kata Cie Kee yang membanting-banting kaki. Tapi ia lantas tanya muridnya: "Kau di sini, apa kau bikin?" Hati Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman gurunya itu, maka atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan jawabannya. Sementara itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampirkan, terus ia berseru: "Oh, kaulah itu imam yang membantu aku menangkapi rajawali putih. Lihatlah, sekarang itu sepasang rajawali telah menjadi besar sekali!" Putri Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, atas mana kedua ekor burungnya itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya. Ma Giok tersenyum, ia mengangguk. "Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?" ia menanya. Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan "dia" itu, lantas saja ia menangis. "Anda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!" katanya sengit. "Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!" Ma Giok terkejut hingga ia mencelat. Dengan bahasa Tionghoa ia lalu memberi keterangan kepada saudara-saudaranya perkataan putri itu. Khu Cie Kee dan Ong Cie It pun heran, dengan berbareng mereka lantas menanyakan apa sebenarnya telah terjadi. Putrinya Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang. "Dialah yang membawa berita, katanya ia melihatnya sendiri," bilangnya. "Coba kau tanyakan dia sendiri!" Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang berkhawatir, maka itu ia lantas kata kepada Tuli dan si nona itu: "Kamu tunggu dulu di sebelah depan sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini. Sebentar aku susul kamu." Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu Tuli mengangguk, lantas ia ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara kampung itu. "Siapa yang membunuh Kwee Ceng"!" Cie Kee menanya, bengis. "Lekas bicara!" Dalam takutnya Yo Kang berpikir: "Kwee Ceng itu aku sendiri yang membunuhnya sendiri, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan kepada siapa..." Baiklah aku menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia, supaya dia mengantarkan jiwanya sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku bebas dari mara bahaya..." Maka dengan lagu suara sangat membenci, ia menjawab: "Dialah tocu dari Tho Hoa To!" Menyusuli jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar tertawa lebar yang samar-samar, disusul sama suara nyaring seperti bentroknya cecer rombeng, lalu disusul lagi sama suara yang perlahan sekali, tetapi meskipun perlahan, terdengarnya toh tegas. Suara itu seperti berputaran di luar kampung lantas pergi jauh......... Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang. "Itulah tertawanya Ciu Susiok," katanya. "Ketiga Suheng pergi menyusul!" kata Sun Put Jie. "Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi seperti lagi menyusul susiok," kata Ong Cie It. Ma Giok nampaknya berduka. "Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di bawahan Ciu Susiok," katanya. "Entah mereka itu orang pandai darimana" Ciu Susiok bersendirian melawan dua musuh, aku khawatir..." Ia lantas menggoyang-goyangi kepalanya. Khu Cie Kee dan tiga saudaranya mendengari pula, sekarang suara itu lenyap, rupanya orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul lagi. "Ada Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok," kata Sun Put Jie kemudian. "Aku khawatir mereka tidak dapat menyandak," bilang Cie Kee. "Coba Ciu Susiok mendapat tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari..." Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka itu, ia tertawa sendirinya. "Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka berandalan tengah mengadu kepandaian lari!" katanya di dalam hatinya. "Mereka itu bukannya lagi berkelahui. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu beberapa imam hendak membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si bisa bangkotan itu?" Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua orang lantas masuk ke dalam rumah penginapan untuk pada berduduk. "Eh, mari aku tanya kau!" kata Cie Kee pada muridnya. "Aku mau tahu, sekarang ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?" Yo Kang takut sekali. Mata gurunya itu sangat tajam memandang padanya. Kalau ia salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka lekas-lekas ia menjawab: "Jikalau bukannya suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok yang memberi petunjuk, sampai sekarang tentu juga teecu masih dalam kegelapan, masih teecu tetap mengaku musuh sebagai ayahku. Sekarang ini tentu sekali teecu she Yo. Baru saja tadi malam berdua bersama adik Bok ini teecu mengubur jenazah ayah bundaku." Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia mengangguk-angguk, air mukanya pun berubah tak bermuram lagi seperti tadi. Sebagai imam jujur, ia mempercayai orang. Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat sekarang Yo Kang ada bersama Liam Cu, yang tadinya dia gusar karena keponakan murid itu menyangkal perjodohannya dengan nona Bok. Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar matanya bentrok sama tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee Siauw Thian. Ia lantas memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka. "Pada sembilanbelas tahun yang lampau," katanya perlahan, "Di sini aku telah berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang sesudah belasan tahun lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang sahabatku itu telah pulang ke alam baka....." Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main. Katanya dalam hatinya: "Khu Totiang menyebutnya ialah sahabatnya ayahku, tetapi aku sendiri tidak pernah melihat wajah ayahku itu...." Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey Yok Su membunuh Kwee Ceng. Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita. Ketiga imam itu menghela napas, mereka berduka sekali. Mereka pun mengenal baik itu pemuda she Kwee. Selama itu hatinya Yo Kang tidak tenang. Ia pun telah berjanji kepada Tuli dan Gochin Baki. "Apakah kamu berdua sudah menikah?" kemudian Ong Cie It tanya keponakan murid itu, yang ia awasi. "Belum," sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani berdusta. "Lebih baik kalian lekas menikah!" Ong Cie It bilang. "Khu Suko, baiklah hari ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas menikah." Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya, mereka kata: "Benarkah malam ini kembali kita akan menonton sepasang pengantin?" Yo Kang sementara itu telah berkata dengan cepat: "Terserah kepada suhu!" Tapi Bok Liam Cu berkata: "Mesti dipenuhkan dulu satu permintaanku, yang menjadi syaratku, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi menikah!" Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka itu ia beda daripada Yauw Kee. Khu Cie Kee tersenyum. "Baiklah!" bilangnya. "Apakah itu, nona, kau bilanglah!" "Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh negaraku," menyahut nona Bok, "Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati ayahku itu!" "Bagus!" berseru Cie Kee bertepuk tangan. "Nona, pikiranmu cocok sama pikirannya si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau" Kau setujukah?" Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi ragu-ragu. Selagi ia berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan terdengar suara orang bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya ialah lagu "Lian Hoa Lok", nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul sama satu suara halus dan tajam, katanya: "Tuan-tuan besar sukalah berlaku murah hati, mengamal untuk satu bun saja...!" Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia mengenali suara itu. Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu bertubuh jangkung dan gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk itu umpama kata sebesar empak kali tubuhnya si kate kurus itu. Maka itu sangat luar biasa perbedaaan di antara mereka berdua. Sang tempo telah berselang banyak tahun tetapi nona Bok masih ingat peristiwa ketika usianya tigab elas tahun dulu, ketika lukanya dibalut oleh pengemis itu, sedang Ang Cit Kong, yang menyukai si nona, telah mengajari dia ilmu silat selama tiga hri. Liam Cu hendak menghampirkan kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi tempo ia melihat kedua pengemis itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah mereka saling melirik, terus mereka menghampirkan pemuda itu. Dengan menyilangkan kedua tangan mereka, mereka memberi hormat. Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya melihat tindakan orang dan gerakan tubuhnya, mereka mendapat tahu dua orang ini mesti lihay ilmu silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada tergendol delapan buah kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan tinggi dari kaum Kay Pang. Hanya mereka tidak mengerti kenapa keduanya demikian menghormat terhadap Yo kang. Si pengemis kurus lantas berkata: "Saudara yang baik, beruntung sekali yang di dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat pangcu kami. Sebenarnya kami telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah dimana tahu kemanakah perginya pangcu kami meminta amal?" Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat tetapi ia tidak tahu hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia bagaimana harus menjawabnya. Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat tongkat adalah sama seperti mereka menghadap pangcu mereka sendiri, dari itu terhadap Yo Kang mereka berlaku sangat menghormat, tetapi sekarang Yo Kang seperti tidak memperdulikan mereka, agaknya mereka bergelisah, lekas-lekas mereka menunjuki sikap lebih hormat pula. Si pengemis gumuk turut berkata, katanya: "Pertemuan di Gak-ciu sudah mendesak harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudha bergerak ke barat." Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih dengar, "Hm!" sekarang ia mengasih dengar pula suaranya itu. Pengemis kurus pun berkata pula: "Oleh karena teecu mencari tongkatnya pangcu, tempo kami telah tersia-siakan beberapa hari, maka sekarang setelah kita bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu baiklah sekarang teecu beramai menemani padamu!" Biar bagaimana Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin lekas-lekas menyingkir dari depan guru dan paman-paman gurunya itu. Maka ia lantas berlutut kepada mereka, katanya: "Teecu ada mempunyai urusan penting, tidak dapat teecu menemani kepada suhu beramai, dari itu, harap teecu dimaafkan!" Khu Cie Kee beramai percaya muridnya ini ada mempunyai urusan penting dengan Kay Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan Ong Tiong Yang, almarhum guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan Yo Kang. Malah sebaliknya, mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis itu, yang sikapnya demikian halus. Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia ada kenal dengan dua pengemis itu" Maka ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk pamitan. Begitulah, berempat mereka berangkat. Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu untuk menantikan Tam Cie Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka mendengar suara siulan panjang di luar kampung itu. Sun Put Jie lantas berkata: "Cek Suheng pulang!" Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemadhi tatkala mereka mendengar isyarat dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, atas mana Ma Giok lantas memberikan jawabannya perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas satu bayangan berkelebat dan Cek Tay Thong bertindak masuk. Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas mengintai. Malam itu malam tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih kecil, akan tetapi si situ si nona dapat melihat dengan tegas. Maka ia tampak seorang yang bertubuh gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar negeri, tangan baju dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas sikut. adi pakaian dia ini berbeda sekali dengan jubahnya Ma Giok beramai. Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah seorang hartawan di Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian dia mengangkat Ong Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini, Ong Tiong Yang meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia kutungi, jubahnya itu dikasihkan muridnya pakai. Ia pun kata: "Tidak ada bahaya, tidak ada tangan baju, maka kamulah yang harus merampungkan sendiri." Huruf "tangan baju" ada sama suaranya dengan huruf "menerimakan". Dengan itu mau diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan banyak pengajaran kepada satu muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid akan memperolah kemajuan. Cek Toy Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya itu, maka selanjutnya ia tetap mengenakan jubah tangan buntung itu. "Bagaimana dengan Cui Susiok?" tanya Khu Cie Kee yang tidak sabaran. "Sebenarnya ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?" Cek Toy Thong menggeleng kepala. "Kepandaianku masih rendah sekali, setelah menyusul tujuh atau delapan lie, aku lantas kehilangan Cui Susiok itu," ia menyahut. "Tam Suko bersama Lauw Suko berada di sebelah depanku." "Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah," katany. Cek Tay Thong lantas duduk bersila, untuk menjalankan pernapasannya. "Diwaktu tadi aku berjalan pulang," kemudian ia berkata pula, "Di Ciu Ong Bio aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mereka mestinya Kanglam Liok Koay yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampirkan mereka, nyata penglihatanku tidak keliru." "Bagus!" kata Cie Kee girang. "Sekarang di mana adanya mereka itu?" "Sebenarnya mereka itu baru kembali dari Tho Hoa To," Tay Thong memberi keterangan pula. Cie Kee terkejut. "Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa To!" katanya. "Pantas kita tidak dapat mencari mereka." "Menurut keterangannya Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari Liok Koay, mereka telah membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho Hoa To, hanya setibanya mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada. Mendengar kita berada di sini, mereka itu membilang bahwa dalam satu dua hari ini mereka hendak datang berkunjung." Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetagui semua gurunya tidak kurang suatu apa, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat lima hari lima malam, kesehatannya pun sudah pulih separuhnya. Di hari keenam lohor kira jam tiga atau empat, dari luar kampung sebelah timur terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata: "Lauw Sutee kembali bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia..." Berlima mereka lantas berbangkit, untuk pergi keluar untuk menyambuti. In Cie Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian bersama seorang tua yang rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek, sepatunya sepatu goni, Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar, sembari berjalan ia berbicara sambil tertawa-tawa. Ketika dia sampai di muka penginapan, kepada lima anggota Coan Cin Pay yang menyambutnya, dia cuma mengangguk sedikit, agaknya dia tidak melihat mata kepada mereka itu. Tapi Lauw Cie Hian segera mengajarnya kenal: "Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu Locianpwee yang namanya kesohor di seluruh negera. Hari ini kami bertemu dengannya, sungguh beruntung!" Mendengar namanya imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum, dengan sikutnya ia membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga. Berdua mereka berpikir: "Marilah kita menyaksikan ini tua bangka penipu besar mempermainkan ini orangorang Coan Cin Kauw!" Lalu terdengarlah suaranya Ma Giok berlima, yang bicara sama orang she Kiu ini dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas mengasih dengar ocehannya. Kemudian Khu Cie Kee menanya apa "locianpwee" itu bertemu sama Ciu Pek Thong, paman gurunya itu. "Loo Boan Tong?" menegaskan orang she Kiu itu. "Dia telah dibinasakan oleh Oey Yok Su!" Semua orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali. "Ah, tidak bisa jadi!" kata Cie Hian selang sesaat. "Baru saja boanpwee melihat Cui Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat menyandak padanya." Kiu Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apa. Ia rupanya lagi berpikir bagaimana harus menelurkan kedustaannya. "Lauw Sutee," tanya Cie Kee, "Apakah kau melihat tegas romannya itu dua orang yang mengejar Ciu Susiok?" "Yang satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang. Mereka itu sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajahnya yang berjubah hijau itu luar biasa sekali, mirip dengan mayat". Kiu Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in-chung, segera berkata. "Benar! pembunuhnya Ciu Pek Thong si baju hijau itu ialah Oey Yok Su! Lain orang mana bisa" Aku hendak mencegah sayang terlambat...!" Namanya Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam imam Cona Cin Kauw ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong, mendengar hal dibunuhnya Ciu Pek Thong, paman guru mereka itu, mereka sangat berduka berbareng gusar. "Tam Suko dapat lari lebih keras daripada aku, mungkin dia mendapat kesempatan melihat bagaimana caranya susiok dibunuh," kata Cie Hian. "Aku khawatir Tam Suko pun nampak bahaya..." kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat. Khu Cie Kee lantas menghunus pedangnya. "Mari kita menyusul!" serunya. "Kita mesti menolongi dan membalaskan sakit hati!" "Jangan!" berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka ini dapat mencari Ciu Pek Thong. "Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia bakal datang ke mari. Oey Lao Shia itu ada sangat jahat, aku si orang tua tidak dapat membiarkan dia! Aku juga tidak membutuhkan bantuannya lain orang, maka biarlah kamu berdiam saja di sini menantikan kabar baik dari aku!" Khu Cie Kee semua sangat percaya dan menghormati orang tua ini, mereka tidak membantah. Pula, kalau mereka mengejar, mereka khawatir nanti mengambil jalan salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su, dari situ, suka mereka menanti saja. Maka mereka berjalan keluar mengantarkan kepergiannya orang tua itu, mereka sikapnya sangat menghormat. Setelah keluar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar tubuhnya seraya mengibaskan tangan serta mulutnya berkata: "Tidak usah kau mengantar sampai jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, ako toh mempunyai jalan untuk mengalahkan dia! Kamu lihat!" Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang pedang dari pinggangnya, dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi kaget. Tiga dim dari pedang itu telah tertancap separuhnya! Akan tetapi si orang tua tertawa dan kata: "Di kolong langit ini, senjata tajam apa juga tidak dapat melukakan aku, maka janganlah tuan-tuan kaget dan takut! Jikalau aku menyusul tetapi tidak bertemu dan sebaliknya Oey Lao Shia itu datang ke mari, jangan tuan-tuan melayani dia bertempur, khawatir nanti kamu terluka, kamu tunggu saja kembaliku!" "Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya, tak dapat kami tidak membalasnya!" berkata Khu Cie Kee. Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas. "Kalau begitu, terserah!" katanya, berduka. "Ini dia takdir! Jikalau kamu hendak membalas sakit hati, satu hal kamu mesti ingat!" "Tolong locianpwee memberikan petunjuk," Ma Giok minta. Kiu Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh. "Begitu kamu melihat Oey Lao Shia, kamu metsi lantas mengepung dengan sungguhsungguh!" katanya. "Jangan kau bicara kendari sepatah kata juga! Kalau tidak, sukarlah sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-baik!" Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih nancap terus diperutnya itu...... Khu Cie Kee semua saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka ada orangorang dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum pernah mereka menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat bicara, tertawa dan berjalan dengan tenang! maka itu maulah mereka menduga bahwa kepandaian orang tua itu sangat luar biasa. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa mereka telah dijual Kiu Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang pertama membentur sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung pedang cuma mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya betul seperti terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia bertugas mulutnya menyebar racun kata-kata untuk membuatnya orang-orang gagah di jamannya itu bentrok satu dengan lain, agar bangsa Kim (kin atau Chin) mendapat ketika menyerbu ke Selatan, guna menumpas alaha Song. Seperginya orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai mereka tidak bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika tiba sang tengah malam dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar sama-samar suara orang di arah utara, seperti dua orang saling susul, atau sebentar kemudian, tibalah dua orang itu di depan rumah penginapan. Enam orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemadhi di atas tumpukan rumput, dengan itu jalan mereka memelihar diri smabil berlaku sabar sebisanya, cuma In Cie Peng, yang latihannya masih lebih rendah, sudah tidur pulas. Mendengar suara itu, mereka lantas berlompat bangun. "Musuh mengejar Tam Sutee," berkata Ma Giok. "Berhati-hatilah semua!" Untuk Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna memenuhkan waktu istirahat tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka itu besar faedahnya. Bukan saja Kwee Ceng sendiri sembuh lukanya di dalam, juga rapat lukanya di luar, pula tenaga dalam mereka mendapat kemajuan besar. Tempo beberapa jam lagi adalah tempo yang terpenting. Tapi Oey Yong berduka dan berkhawatir kapan ia mendengar perkataannya Ma Giok itu. "Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat," pikirnya. "Coan Cin Cit Cu tentu bakal lantas menyerang dan mengerebuti....Aku tak dapat keluar, untuk mencegah guna mengasih penjelasan. Bagaimana" Aku khawatir sangat mereka ini bakal bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka itu tidak ada sangkutnya dengan aku sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko Ceng ada sangkutannya dengan mereka itu. Pasti engko Ceng akan bertindak......Tidakkah itu bakal meludaskan usaha kita berhari-hari dan bemalam-malam ini, sedang ini adalah detik-detik terakhir" Aku khawatir, tidak cuma ilmu silatnya juga jiwanya akan terancam bahaya..." Maka ia lantas berbisik di kuping lawannya itu: "Engko Ceng, kamu mesti berjanji padaku, tidak peduli bakal terjadi apa juga yang besar dan penting, kau tidak boleh keluar dari sini!" Kwee Ceng mengangguk dengan lantas. Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan. "Tam Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!" Khu Cie Kee berseru. Mendengar nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di dalam kitab Kiu Im Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu, sebagai pokok untuk pernyakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada, maka itu, ia ingin ketahui kepandaiannya Coan Cin Cit Cu. Segera ia mengintai. Justru pemuda ini mengintai, justru pintu tergabrukan terbuka dan seorang imam melompat masuk, hanya disaat jubahnya berkibar dan kaki kirinya baru melewati ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur pula keluar. Inilah sebab musuhnya telah tiba dan sudah menyerang padanya. Khu Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, dimana mereka berdiri berendeng, kedua tangan mereka diajukan ke depan, maka tenaga mereka bentrok sama tenaga dari luar. Sebagai kesudahan dari itu, kedua imam ini mundur dua tindak, lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini digunai Tam Cie Toan untuk berlompat masuk. Di bawah sinar rembulan terlihat tegas orang di luar itu awut-awutan rambutnya, mukanya ada dua goresan darahnya, pedang di tangan kanannya tinggal sepotong, entah bekas dikutungi dengan senjata apa. Setiba di dalam, tanpa mengucap sepatah kata, Tam Cie Toan lantas duduk bersila, untuk bersemadhi, sikapnya itu diturut oleh keenam saudaranya. Di luar pintu lantas terdengar suara yang keras dan seram: "Imam tua she Tam, jikalau bukan nyonya besarmu memandang kepada Ma Giok yang menjadi kakak seperguruanmu, pasti siang-siang aku telah mengantarkan jiwamu! Perlu apa kau memancing nyonya besarmu datang ke mari" Siapa itu barusan yang membantu padamu" Kau terangkanlah kepada Mayat Besi dari Hek Hong Siang Sat!" Di tengah malam buta itu, suaranya Bwee Tiuw Hong ini membuatnya tubuh orang menggigil sendirinya. Setelah itu, kembali sunyi senyap. Apa yang dapat terdengar melainkan suara kutu. Hanya sebentar kemudian, terdengar suara seperti mereteknya tulang-tulang dan otot-otot. Kwee Ceng tahu itulah tanda Bwee Tiauw Hong, yang rupanya hendak menyerbu ke dalam. Habis itu terdengar: "Sekali tertinggal sampai pula beberapa puluh tahun..." Itulah senandungnya Ma Giok, suaranya halus dan sabar. Lalu Tam Cie Toan menyambungi: "Dengan rambut kusut jalan sepanjang hari bagaikan edan." Suara itu besar dan kasar, hingga Kwee Ceng mengawasi anggota Coan Cin Cit Cu yang kedua ini, muka siapa berdaging dan berotot, alisnya gompiok, matanya besar, tubuhnya besar dan kekar. Sebelum menyucikan diri, ialah asal tukang besi di Shoatang, tabiatnya jujur dan polos, dari itu, gelarannya ialah Tiang Cin Cu. Orang yang ketiga bertubuh kate dan kurus, mukanya seperti kera. Dialah Tiang Seng Cu Lauw Cie Hian, yang turut bersenandung. "Di bawah pesaben haytong menanam bibit." Dia bertubuh kecil tetapi suaranya nyaring sekali. Tiang Cun Cu Khu Cie Kee pun menyambuti: "Di dalam perahu di antara daun teratai ada dewa Thay It Sian." Ia lantas disambungi Giok Yang Cu Ong Cie It "Tak ada beda maka boleh keluar dari batok kosong." Kong Leng Cu Cek Tay Thong turut bersenandung juga: "Ada orang yang dapat sadar sebelum dilahirkan." Ia dituruti oleh Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, katanya, "Pergi keluar sambil tertawa dan merdeka bebas." Sebagai penutup bersenandunglah Tan Yang Cu Ma Giok, "Mega di telaga See Ouw, rembulan di langit!" Bwee Tiauw Hong terkejut mendengar suara mereka itu, suara yang menandakan tenaga dalam yang mahir. Maka berpikirlah dia: "Mustahilkah Coan Cin Cit Cu berkumpul di sini semua" Ah, tidak bisa jadi! Kecuali Ma Giok, suara mereka itu lain...." Selama di jurang di padang pasir Mongolia, Bwee Tiauw Hong pernah mendengar suara Ma Giok serta Kanglam Liok Koay yang menyamar sebagai Coan Cin Cit Cu, dengan kupingnya ynag jeli sekali, ia bisa ingat dan membedakan suara orang. Ia tidak mempunyai mata, maka itu ia mengandal pada kupingnya. Sekarang ia mendengar suara yang lain sekali kecuali suara Tan Yang Cu Ma Giok. Sampai sekarang ia masih belum tahu bahwa dulu hari ia telah diperdayakan Ma Giok. "Ma Totiang!" ia lantas menanya. "Semenjak kita berpisah, bukankah kau baik-baik saja?" Ia masih ingat imam itu, yang dulu hari itu berlaku baik terhadapnya, dari itu, mengenai perbuatannya Tam Cie Toan, ia masih memandang ketua Coan Cin Cit Cu itu. Sebenarnya, ketika Cie Tong gagal menyusuk Ciu Pek Thong, di tengah jalan ia melihat salah satu Hek Hong Sang Sat ini, yang lagi berlatih. Ia tahu Tiauw Hong sangat jahat, ia memikir untuk menyingkirkan si jahat ini dari dalam dunia. Ia berhati mulia, tak tega ia menyaksikan Tiuw Hong berlatih dengan sasaran orang hidup. Maka ia lantas menyerang. Diluar dugaannya, ia dikalahkan. Tiauw Hong mengenali orang ada iman dari Coan Cin Kauw, ia ingat Ma Giok, maka ia cuma melukainya, tidak mau ia merampas jiwanya, meski begitu, ia mengejar terus sampai di rumah penginapan itu. "Terimas kasih, terima kasih!" menyahut Ma Giok. "Tho Hoa To dengan Coan Cin Kauw tidak mendendam tidak bermusuh, apakah benar gurumu bakal segera datang kemari?" Bwee Tiauw Hong melengak. "Untuk apa kamu menanyakan guruku?" ia menanya. Tapi Khu Cie Kee bertabiat keras. Ia membentak: "Perempuan siluman! Lkeas kau suruh gurumu datang ke mari, supaya dia belajar kenal dengan kepandaiannya Coan Cin Cit Cu!" "Kau siapa"!" tanya Tiauw Hong gusar. "Khu Cie Kee! pernahkah kau mendengar namaku?" Tiauw Hong mengasih dengar suaranya yang aneh, tubuhnya mencelat. Ia menyerang ke arah darimana suara jawaban itu datang, tangan kirinya menutup diri, tangan kanannya menjambak, mencengkeram ke kepala! Kwee Ceng mengetahu lihaynya Bwee Tiauw Hong, bahwa serangannya itu sangat hebat, biar Cie Kee lihay, tak dapat ia melawan keras dengan keras. Akan tetapi dia melihat si imam tetap duduk bersila, tidak mau menangkis, tidak mau berkelit, ia menjadi kaget. "Celaka!" katanya dalam hatinya. "Kenapa Khu Totiang bernyali begini besar?" Bwee Tiauw Hong mengarah batok kepalanya Khu Cie Kee, selagi ia menjambak itu, mendadak datang serangan angin dari kiri dan kanannya. Itulah serangan berbareng dari Lauw Cie Hian berdua Ong Cit It. Ia mau melanjutkan serangannya itu, maka tangan kirinya dikibaskan, guna menangkis. Di luar dugaannya, hebat serangan angin itu, tidak dapat ia menghalaunya, maka terpaksa ia berlompat mumdur sambil jumpalitan. Cie Hian dan Cie It, dengan tenaga dalam im dan yang, telah menggabungkan diri. Ia menjadi kaget dan heran. Ia menyangsikan itulah serangan orang Coan Cin Kauw. Maka ia lantas berseru dengan pertanyaannya, "Apakah Ang Cit Kong dan Toan Hongya ada di sini?" "Kitalah Coan Cin Cit Cu!" berkata Khu Cie Kee tertawa. "Di sini mana ada Ang Cit Kong dan Toan Hongya?" Tiauw Hong bertambah heran. "Si imam tua she Tam bukan tandinganku, kenapa di antara saudara-saudaranya ada yang begini lihay?" pikirnya. "Apa mungkin kepandaian mereka berlainan tanpa memperdulikan tingkatan mereka tua atau muda?" Kwee Ceng pun heran seperti Tiauw Hong melihat Khu Cie Kee terbebaskan oleh Lauw Cie ian dan Ong Cie It itu. Hebat Tiauw Hong kena dibikin terpental mundur. Ia menduga kedua imam itu berimbang sama si Mayat Besi. Memang cuma Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong yang mempunyai tenaga demikian besar. Kalau Caon Cin Cit Cu, inilah aneh... Tiauw Hong beradat keras, kepalanya besar. Kecuali gurunya, ia tidak takut siapa juga. Makin ia terhajar, makin ia penasaran. Demikian kali ini. Setelah berdiam sebentar, tangannya meraba ke pinggangnya. Ia mengsaih keluar cambuk lemasnya, Tok-liong Gin-pian, cambuk perak si Naga Beracun. "Ma Totiong, maafkan, hari ini terpaksa berlaku kurang ajar!" katanya. "Kata-kata yang baik!" Ma Giok menjawab. "Aku hendak menggunia senjata, maka itu, kamu hunuslah senjata kamu!" kata si buta. "Kami bertujuh, kau sendirian," berkata Ong Cie It. "Kau pun tidak bisa melihat apa-apa! Maka itu, biar bagaimana kami tidak dapat menggunakan senjata. Kami akan tetap duduk bersila, kau majulah!" Tiauw Hong bersuara dingin. "Jadi kamu hendak melayani cambuk perakku dengan duduk diam saja?" tanyanya. "Ah, perempuan siluman!" Cie Kee membentak. "Malam ini malam ajalmu tiba, buat apa kau masih banyak omong lagi?" "Hm!" Tiauw Hong berseru di hidungnya, sedang tangannya lantas diayun, hingga cambuknya terus meluncur ke arah Sun Put Jie. Cambuk panjang yang banyak gaetannya itu bergerak perlahan bagaikan seekor ular besar berlegot. Oey Yong memasang kuping mendengarkan kedua pihak mengadu mulut, ia tahu cambuknya Tiauw Hong lihay sekali, maka heran Coan Cin Cit Cu mau melayani tanpa senjata dan tanpa bergerak juga dari tempatnya bercokol masing-masing. Ia menjadi ingin melihat. Ia menarik Kwee Ceng, agar kawan itu menyingkir. Buat ia menggantikan mengintai. Begitu ia menyaksikan caranya tujuh imam itu berduduk, ia menjadi heran. "Itulah keletakan bintang-bintang Pak Tauw," pikirnya. "Ah, tidak salah, barusan Khu Totiang menyebutkan tentang Thian kong Pak Tauw. Inilah rupanya barisan Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu." Oey Yok Su mengerti ilmu alam, ketika Oey Yong masih kecil, suka ia membawanya berangin waktu malam, maka sambil mengasih anak itu duduk di pangkuannya, sering ia menunjuk ke langit dan membritahukan kepada si anak tentang bintang-bintang. Oey Yong ingat benar petunjuk ayahnya itu, maka sekarang, dengan sekali lihat, ia ketahui Coan Cin Cit Cu ini telah menempatkan diri sebagai tujuh bintang Pak Tauw itu, bintang-bintang Utara. Di antara tjuh imam itu, Ma Giok yang mengambil kedudukan thian-kie, Tam Cie Toan thian-soan, Lauw Cie Hian thian-khie, dan Khu Cie Kee thian-koan, sedang Ong Cie It giok-heng, Cek Thay Thong kay-yang, dan Sun Put Jie yauw-kong. Kedudukan thian-koan paling penting, dia yang menghubungi yang tiga dengan yang tiga lagi, dari itu kedudukan ini ditempati Khu Cie Kee yang ilmu kepandaiannya paling lihay. Yang kedua yang penting ilaha giok-heng, maka itu diambil Ong Cie It. Oey Yong sangat cerdas, selagi Kwee ceng mengwasi sekian lama tapi tak mengerti suatu apa, ia hanya menampak sekelebatan, lantas ia mengerti. Tujuh imam itu menggabungkan diri dengan tangan kiri mereka menyambung sama tangan kanan. Sambungan tangan itu mirip dengan tangan dia dan Kwee Ceng, guna membantu pemuda ini mengobati diri. Cambuknya Tiauw Hong bergerak perlahan ke arah kepala Sun Put Jie. Kelihatannya saja perlahan, ancamnannya sebenarnya hebat. Imam wanita itu tetap tidak bergerak. Selagi mengawasi, Oey Yong melihat jubah orang, di situ ia mendapatkan sulaman sebuah tengkorak. Ia heran, hingga ia berpikir: "Coan Cin Kauw ada dari kalangan murni, kenapa jubahnya sama dengan jubah Tiauw Hong dari kalangan sesat?" Ia pasti tidak tahu, tempo Ong Tiong Yang menerima muridnya ini, dia telah menghadiahkan gambar tengkorak dan murid ini, yang ingat budi gurunya, lantas menyulamkan itu pada jubahnya. Disaat cambuk hampir mengenai sasarannya, ialah bagian gigi dari tengkorak di jubah Sun Put Jie itu, tiba-tiba cambuk itu berbalik sendirinya, berbalik dengan kaget bagaikan kepala ular kena dibacok, bagaikan anak panah melesat, menyambar kepada pemiliknya! Tiauw Hong kaget, tidak sempat ia menggerakkan tangannya, sebab tangannya itu bergetar, terpaksa ia kelit kepalanya, hingga ujung cambuk lewat di atas rambutnya. "Sungguh berbahaya.." ia kata dalam hatinya. Sesudah itu baru ia dapat menguasai pula cambuknya itu. Ia lalu menyerang ke arah Ma Giok dan Khu Cie Kee. Dua-dua imam itu duduk diam adalah Tam Cie Toan dan Ong Cie It yang menyerang dan membuatnya cambuk mental. Oey Yong memasang mata, ia dapat melihatnya. Kalau satu imam menangkis, ia menggunai sebelah tangannya dan tangan yang lain diletaki di pundak seorang saudaranya. Ia lantas mengerti. Cara mereka itu sama dengan caranya sendiri mengobati Kwee Ceng. Itu artinya, tujuh orang menggabung tenaganya melawan Bwee Tiauw Hong satu orang. Apa yang dinamakan barisan bintang Thian Kong Pak Tauw ini adalah semacam ilmu kepandaian paling mahir dari kaum Coan Cin Kauw. Itulah karya ciptaannya Ong Tiong Yang, sesudah imam itu memutar otaknya melatih diri dengan bersusah payah dan mengambil tempo lama. Untuk melayani lawan, tak usah orang diserang sendiri yang menangkis atau berkelit, hanya kawan di sampingnya yang membalas menyerang, kalau kawan ini menyerang, tenaganya jadi berlipat ganda kuatnya, sebab ia dibantu oleh yang lain-lainnya. Tiauw Hong mencoba kagi beberapa kali, habis itu, berbareng heran, ia menjadi berkhawatir. Lama-lama ia merasa, kalau ia menyerang, bukan lagi cambuknya dibikin terpental seperti semula hanya seperti ditarik, meski ia masih dapat menggunai itu, kalangan bergeraknya cambuk seperti diperciut. Sia-sia ia mencoba untuk menariknya, guna mengulurnya. Ia merasa dirinya terancam tetapi ia masih penasaran. Tak mau ia membiarkan cambuknya dirampas oleh musuh-musuh yang melawannya sambil duduk bercokol saja. Tapi karena ia penasaran an bersangsi, ia melenyapkan saatnya yang baik. Coba ia melepaskan cekalannya dan lompat mundur, tentu ia selamat...... Kalau barisan bintang-bintang utara itu bergerak, kecuali oleh pemegang pusat thian-koan, gerakannya tidak dapat dihentikan. Bahkan ketujuh imam itu bergeraknya semakin cepat. Bwee Tiauw Hong menggertak gigi. Ia tahu, kalau ia terus melawan, ia bakal celaka. Maka itu, dengan berat, ia terpaksa melepaskan juga cambuknya. Tetapi sekarang sudah kasep. Lauw Cie Hian sudah lantas menarik dengan kares. Dengan menerbitkan suara, cambuk menghajar dinding tembok, hingga rumah penginapa itu bergetar, genting-gentingnya pada berbunyi, debu meluruk jatuh. Menyusul itu tubuhnya Tiauw Hong terbetot satu tindak ke depan. Tindakan cuma satu tetapi itulah tindakan yang memutuskan. Kalau tadi ia melepaskan cambuknya dan lompat, lalu lompat pula mundur, ia bisa memutar tubuhnya untuk lari ke luar. Mungkin ia bakal disusul tetapi tidak nanti ia tercandak. Di dalam saat berbahaya ini, ia masih mencoba membela diri. Ia menjambak ke kiri dan kanan. Ia segera kebentrok tangannya Sun Put Jie dan Ong Cie It. Menyusul itu, Ma Giok dan Cek Tay Thong pun menyerang dari belakang. Ia majukan kaki kirinya setengah tindak, sambil berseru nyaring, ia menerbangkan kaki kanannya. Dengan begitu dengan saling susul ia menendang lengannya kedua imam yang belakangan itu, di jalan darah gwa-kwan dan hwee-cong. "Bagus!" Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini menolong dua saudaranya dari bahaya itu. Kaki kanan Tiauw Hong belum lagi menginjak tanah, kaki kirinya sudah bergerak pula. Dengan begitu ia menyingkir dari serangannya Cie Kee dan Cie It. Ketika kaki kanan itu diturunkan, ia maju lagi satu tindak. Dengan begini berarti ia telah masuk semakin dalam ke dalam barisannya ketujuh imam. Itu artinya, kecuali ia dapat merobohkan salah satu musuh, ia tidak mempunyai jalan lagi untuk nerobos keluar dari dalam barisan itu. Oey Yong heran dan terkejut. Di antara sinar rembulan ia menyaksikan Tiauw Hong dengan rambut panjang ynag awut-awutan itu, berlompatan pergi datang dan tangan dan kakinya menjambak dan menendang tak hentinya. Hebat setiap jambakan dan tendangannya itu mengasih dengar suara angin. Tidak peduli segala gerakannya itu, yang hebat, maka Coan Cin Cit Cu tetap bercokol tak bergeming, cuma tangan mereka yang ekerja, saling sambut dengan rapi, tetap mereka mengurung si Mayat Besi. Bwee Tiauw Hong telah berkelahi dengan menggunai dua macam ilmu silatnya, yaitu pelbagai jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw dan hajaran Cwie-sim-ciang yang dahsyat, ia terus mencoba untuk menerjang keluar tetapi selalu ia gagal, saban-saban ia tertolak mundur. Saking gusarnya, ia sampai berkoak-koak secara aneh. Sekarang ini, kalau Coan Cin Cit Cu menghendaki nyawa orang, cukup mereka melakukan satu penyerangan, akan tetapi mereka atau salah satu diantaranya, tidak mau menurunkan tangan yang terakhir. Mulanya Oey Yong heran, atau sebentar kemudian ia sabar. "Ah, aku mengerti sekarang!" katanya dalam hatinya. "Terang mereka ini meminjam Bwee Suci untuk melatih barisan bintang mereka ini! Memang sukar dicari orang yang sekosen suci, yang dapat dipakai menguji barisannya ini. Rupanya mereka hendak membikin lawannya letih hingga mati sendirinya baru mereka mau berhenti........" Dugaan nona Oey ini cocok separuhnya. Memang benar Ma Giok beramai memakai Tiauw Hong sebagai kawan berlatih, tetapi untuk membinasakan, itulah mereka tak pikir. Tidak gampang mereka melakukan pembunuhan. Sampai di situ, Oey Yong tidak mau menonton lebih lama pula. Ia tidak berkesan baik terhadap Bwee Tiauw Hong, si suci, kakak seperguruan, toh ia tak tega mengawasi lebih jauh. Maka itu, ia berikan tempat mengintainya kepada Kwee Ceng. Maka sekarang ia cuma mendengar, angin serangan sebentar keras sebentar kendor, tandanya pertempuran masih berlanjut terus. Kwee Ceng menonton tetapi ia tetap tidak mengerti akan cara berkelahinya ke tujuh imam itu. "Mereka menggunai kedudukan bintang Pak Tauw," Oey Yong membisiki. "Apakah belum pernah melihatnya?" Baru sekarang pemuda ini mendusin. Ia ingat bunyinya kitab kedua dari Kiu Im Cin-keng. Sekarang ia mengerti sendirinya. Karena itu ia menjadi tertarik hingga tanpa merasa ia berlompat bangun. Oey Yong kaget, segera ia menahan. Kwee Ceng pun sadar, lekas-lekas ia berdiam. Tapi ia masih mengintai pula. Sekarang ia mengerti betul kegunannya barisan Thian Kong Pak Tuaw itu. Ketika di Tho Hoa To menyaksikan Ang Cit Kong menempur Auwyang Hong ia memperoleh kemajuan besar, kali ini ia mendapatkan kemajuan serupa, dengan begitu, pengetahuannya menjadi bertambah. Lama-lama maka letihlah Bwee Tiauw Hong, ia hampir tak dapat bertahan pula. Dilain pihak, juga tenaganya Coan Cin Cit Cu agaknya berkurang, mereka mulai kendor. Justru itu di pintu terdengar suara orang. "Saudara Yok, kau maju lebih dulu atau kau suka mengalah untuk aku mencobacoba?" demikian suara itu. Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali baik suaranya Auwyang Hong. Entah kapan datangnya See Tok, si Bisa dari Barat itu. Juga Coan Cin Cit Cu kaget semuanya, dengan serentak mereka melirik ke arah pintu. Di samping pintu itu berdiri berendeng dua orang, yang satu bajunya hijau yang lainnya putih. Mereka mengetahui akan adanya musuh-musuh yang tangguh, dengan berbareng mereka berseru, dan dengan berbareng mereka menghentikan pertempuran untuk berbangkit berdiri. "Bagus betul" berkata Oey Yok Su, "Tujuh rupa bulu campur aduk ini mengepung satu muridku! Saudara Hong, jikalau aku memberi pengajaran kepada mereka, bisakah kau membilangnya aku menghina kepada yang muda?" Auwyang Hong tertawa, ia menyahuti: "Mereka yang terlebih dulu tidak menghormati kau! Jikalau kau masih tidak mengasih lihat sedikit dari ilmu kepandaianmu, pasti ini kawanan anak muda tidak mengetahui lihaynya pemilik dari Tho Hoa To!" Ong Cie It pernah melihat Tong Shia dan See Tok di Hoa San, heran ia mendapatkan orang muncul berbareng dengan tiba-tiba, hendak ia maju untuk memberi hormat, atau Oey Yok Su sudah maju dengan sebelah tangan terayun. Ia hendak menangkis tapi sudah tidak keburu, maka dengan satu suara "Plok!" pipinya kena digaplok, tubuhnya lantas terhuyung, hampir ia menubruk lantai. Khu Cie Kee kaget sekali. "Lekas kembali ke tempat masing-masing!" ia berseru. Akan tetapi belum sempat saudara-saudaranya itu menaati seruannya atau plak-plok tak hentinya, dengan bergantian mukanya Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian, Cek Tay Thong dan Sun Put Jie telah tergaplok seperti muka Ong Cie It. Setelah itu bayangan pun berkelebat ke mukanya Tiang Cun Cu sendiri, demikian rupa, hingga tak tahu ia bagaimana harus menangkisnya, maka tidak ayal lagi, ia mengibas tangannya, mengarah dadanya Oey Yok Su! Bab 53. Ajalnya Bwee Tiauw Hong Bab ke-53 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Khu Cie Kee adalah yang terpandai dari Cit Cu, Oey Yok Su memandang ia terlalu enteng, maka dadanya itu kena terkibas hingga ia merasakan sakit. Dengan sebat ia menutup diri, lalu dengan tangan kirinya menyambar tangan baju si penyerang, tangan kanannya mencari biji mata lawan itu. Khu Cie Kee meronta sekuatnya, ujung bajunya itu robek. Itu waktu Ma Giok maju bersama Ong Cie It, akan tetapi Oey Yok Su sudah berlompat ke belakang Cek Tay Thong, ketika kakinya dilayangkan, Kong Leng Cu roboh jungkir balik! Di dalam kamar rahasia, Kwee Ceng menyerahkan lubang intaian kepada Oey Yong, maka giranglah nona ini menyaksikan ayahnya menunjuki kepandaiannya itu, coba ia tidak ingat kawannya mesti menanti lagi satu dua jam untuk nsembuh betul, tentulah ia sudah menepuk tangan bersorak-sorai. Adalah Auwyang Hong yang berdiri di pintu sambil tertawa berkakakan, dengan mulutnya dibuka lebar-lebar: "Yang Ong Tiong Yang terima adalah ini segerombolan kantung nasi!" Cie Kee penasaran sekali. Semenjak belajar silat, belum pernah ia dikalahkan begini rupa. "Berdiri rapi di tempat masing-masing!" ia berteriak pula. Akan tetapi Oey Yok Su tidak sudi memberikan kesempatan. Ia bergeraak ke timur dan barat, ia menyerang kalang-kabutan hingga semua lawannya itu menjadi kelabakan, barisannya tidak dapat diatur pula. Bahkan pedangnya Ma Giok dan Tam Cie Toan telah dipatahkan Tong Shia dan dilemparkan ke lantai. Khu Cie Kee bersama Ong Cie It lantas merangsak dengan pedang di tangan masingmasing. Itulah jurus yang istimewa dari ilmu pedang Coan Cin Pay. Oey Yok Su tidak berani memandang enteng lagi, ia berkelahi dengan hati-hati. Ma Giok cerdik, diam-diam ia menggunai ketika akan lompat ke dudukan thian-kie dan terus saja ia memegang pimpinan. Tam Cie Toan dan Lauw Cie Hian lantas menyusul mengambil kedudukan mereka. Perbuatan mereka ini lantas diikuti oleh yang lain-lainnya. Sebentar saja, barisan Thian Kong Pak Tauw lantas teratur rapi. Dengan begitu, jalannya pertempuran juga berubah menjadi lain. Thian Koan bersama giok-heng lantas menhadapi lawan di depan, thian-kie dan kay-yang yang terus menyerang dari samping, sedang yauw-kong dan thian-soan di belakang turut merangsak. Cie Kee maju di bantu Cie Peng. Oey Yok Su meseti melayani musuh di empat penjurunya. "Saudara Hong!" katanya tertawa. "Ong Tiong Yang toh dapat meninggalkan ini macam ilmu kepandaian!" Tong Shia bicara sambil tertawa, meski begitu, ia merasakan lawan menjadi beda, tenaga mereka itu menjadi besar sekali. Maka sekarang ia bersilat dengan Lok Eng Ciang-huat, ia berputaran di dalam Thian Kong Pak Tauw itu, hingga tubuhnya seperti melayang-layang dan tangannya beterbangan... Oey Yong mengenali ilmu silat ayahnya itu. "Ketika ayah mengajari ilmu silat ini, aku menyangka hanya ilmu kosong dan satu berisi atau tujuh berisi dan satu kosong," katanya di dalam hati, "Tidak tahunya setelah dipakai bertempur benar-benar, semua lima kosong dan tujuh berisi itu dapat diubah pergi pulang." Pertempuran ini besa sekali dengan perlawanan Tiauw Hong tadi. Si nona menonton sambil menahan napas. Bahkan Auwyang Hong yang lihay pun turut ketarik sampai ia menjadi kagum sekali. Selagi orang bertaruh seru itu, tiba-tiba terdengar satu suara jeritan, "Aduh!" disusul mana tubuh jatuh terguling. Nyata korban itu ialah In Cie Peng. Dia tidak sanggup melayani Oey Yok Su berputaran, matanya kabur, kepalanya pusing, dunia dirasakan bagai berputar, di depan matanya entah ada berapa banyak musuhnya itu, diakhirnya, setelah penglihatannya gelao, tidak ampun lagi ia roboh sendirinya! Coan Cin Cit Cu memusatkan pikiran mereka. Mereka tahu, asal ada satu saja yang hatinya goncang, mereka tidak bakal ketolongan lagi, atau Coan Cin Pay bakal runtuh dan musnah. Oey Yok Su pun gelisah. Ia sudah kepalang, ia bersangsi untuk bertempur terus atau berhenti. Perlawanan hebat dari Khu Cie Kee beramai itu membuat kedua pihak sama unggulnya. Sementara itu ayam-ayam sudah berkokok dan sinar matahari mulai mengintai di arah timur. Dengan lewatnya sang waktu itu, selesai sudah batas tempo istirahatnya Kwee Ceng. Ia telah sembuh dan memperoleh kembali kesehatannya seperti sediakala. Di luar kamarnya orang bertempur umpama kata langit terbalik dan bumi ambruk tetapi ia sendirinya tetap tenang, ia duduk diam. Baru sesaat kemudian, ia mengintai ke luar kamar rahasianya, atau ia menjadi terkejut. Oey Yok Su bertindak dengan perlahan, kakinya mengikuti garis patkwa, atau segi delapan, setiap gerakan tangannya berlahan juga. Ketika Oey Yong menggantikan Kwee Ceng mengintai, ia tahu betul ayahnya lagi menggunakan ilmu silatnya yang tak sembarang dipakai. Segera juga bakal datang saat yang memutuskan. Coan Cin Cit Cu berkelahi dengan seantero tenaganya. Mereka pun menginsyafi bahaya yang tengah mengancam mereka. Berkali-kali mereka mengasih dengara suara satu sama lain, untuk mengasih isyarat, guna menambah semangat masing-masing. Di batok kepala mereka mulai terlihat hawa panas mengkedus, sedang jubah mereka telah basah kuyup. Hilanglah ketenangan mereka sebagaimana tadi mereka melayani Bwee Taiuw Hong. Auwyang Hong terus menonton sambil ia memperhatikan barisannya imam-imam dari Coan Cin Kauw itu. Ia mengharap-harap Oey Yok Su nanti mengurus semua tenaganya hingga ia mendapat luka di dalam. Dengan begitu, kapan kembali di adakan rapat besar di Hoan San, rapat yang kedua, untuknya akan kurang satu lawan yang tangguh. Akan tetapi Tong Shia benar-benar lihay, meski Khu Cie Kee semua bekerja sekerasnya, mereka itu masih tidak dapat merampas kemenangan. Menyaksikan pertempuran yang sangat memakan tempo itu, Auwyang Hong menjadi tidak sabar. Dasarnya ia berbisa, setelah berpikir sekian lama, ia mendapat satu akal licik. Pertempuran itu berjalan semakin perlahan, tapi itu tandanya bahwa bahaya semakin dekat. Oey Yok Su bekerja terus, nyata sekali terlihat ia menyerang dengan kedua tangannya kepada Sun Put Jie dan Tam Cie Toan. Kedua imam itu mengangkat tangan Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka untuk menangkis. Mereka segera dibantu Lauw Cie Ian dan Ma Giok. Justru itu, mendadak See Tok bersiul panjang dan terus berseru: "Saudara Yok, aku bantu kau!" menyusul suaranya itu ia berjongkok, segera dengan kedua tangannya ia menolak ke arah Tam Cie Toan! Tiang Ci Cu tengah memusatkan perhatiannya terhdapa Oey Yok Su, ia telah mengerah tenaganya untuk menangkis serangan Tong Shia, ketika mendadak ia merasakan benturan keras di belakangnya, jangan kata untuk menangkis, berkelit saja sudah tidak keburu, maka itu dengan menerbitkan suara, ia roboh tengkurap. Oey Yok Su menjadi gusar sekali. "Siapa menghendaki bantuanmu!" ia menegur See Tok. Ketika itu Khu Cie Kee dan Ong Cie It menyerang dengan berbareng. Tong Shia mengibas untuk menangkis atau tangannya yang kanan bentrok sama perlawanannya Ma Giok dan Cek Tay Thong, yang pun menyerang kepadanya. Auwyang ong tertawa. "Kalau begitu, biarlah aku bantui mereka!" seruanya. Sambil berkata begitu, dengan kedua tangannya benar-benar ia menyerang si Sesat dari Timur itu. Kalau tadi ia menyerang Tam Cie Toan dengan menggunai tenaga tiga bagian, sekarang ia menggerahkan tenaganya dengan sepenuhnya. Itu pun saat Oey Yok Su tengah menghadapi empat lawannya. Ia mengharap hajaran ini, satu kali saja, akan menamatkan riwayatnya pemilik dari pulau Tho Hoa To itu. Akal yang ia bertelurkan dari batok kepalanya ialah lebih dulu menjatuhkan salah satu Coan Cn Cit Cu, baru ia membokong Oey Yok Su. Ia sudah memikir matang, setelah Thian Kong Pak Tauw Tin pecah, dengan Oey Yok Su sudah mati, walaupun imam-imam dari Coan Cin Kauw itu murka, ia tidak usah takuti mereka. Oey Yok Su kaget sekali. Ia tidak menyangka Auwyang Hong dapat berlaku demikian. Ia menghadapi kesulitan. Tidak bisa ia meninggalkan empat musuhnya di depannya itu, umpama kata ia memutar tubuhnya, untuk melayani Auwyang Hong, ia bisa celaka. Maka itu tidak ada jalan lain, ia mencoba menutup diri seraya mengerahkan tenaga di punggungnya, guna terpaksa menerima serangan Kap-mo-kang, ilmu silat Kodok, dari si Bisa dari Barat yang licin itu. Auwyang Hong girang sekali melihat Tong Shia mau mempertahankan diri dari serangannya yang dahsyat itu. Itu pun artinya akal busuknya berhasil. Tapi justru ia lagi bergirang itu, mendadak ia melihat berkelebatnya satu bayangan hitam, yang mencelat dari samping, bayangan mana berlompat ke belakangnya Oey Yok Su, untuk mewakilkan Tong Shia menyambuti serangannya itu! Segera setelah serangan Auwyang Hong itu ada yang tangkis, dua-dua Oey Yok Su dan keempat imam lawannya menghentikan pertempuran mereka sambil lompat minggir, untuk memisahkan diri. Kapan mereka telah melihat tegas, nyata orang yang berkorban untuk Tong Shia ialah Bwee Tiauw Hong! Oey Yok Su menoleh kepada See Tok, ia tertawa dingin. "Benar-benar si Bisa Bangkotan ternama tak mengecewakan," katanya mengejek. Auwyang Hong sendiri berulang-ulang menyatakan, "Sayang, sayang!" di dalam hatinya. Ia menyesal bukan main yang serangannya itu gagal, sebab lain orang yang menjadi korban. Dasar licik, ia mengerti bahaya. Ia tidak mau melayani Oey Yok Su. Ia mengerti baik sekali, kalai Oey Yok Su bergabung dengan semua imam itu, itu berarti ia menghadapi bencana jiwa. Maka juga ia tertawa nyaring dan panjang, sembari tertawa itu ia memutar tubuh untuk berlompat keluar, buat terus menangkat langkah seribu! Ma Giok lantas menghampirkan Tam Cie Toan, ia membungkuk untuk mengangkatnya. Segera juga ia menjadi kaget. Tubuh adik seperguruannya itu lemas sekali dan kepalanya pun teklok. Auwyang Hong telah menghajar orang hingga tulang-tulang iga serta punggungnya patah. Kakak ini lantas mengucurkan air mata, sebab ia merasa pasti, adik seperguruannya itu tidak bakal dapat ditolong lagi. Khu Cie Kee yang bertabiat keras berlompat keluar dengan membawa pedangnya, ia mau menyusul See Tok, untuk menyerang si bisa yang jahat itu, tetapi dari tempat yang jauh ia cuma mendengar suara orang: "Oey Lao Shia, telah aku membantu kau memecahkan barisan istimewa warisannya Ong Tiong Yang, aku pun sudah mewakilkan kau menghukum mati murid Tho Hoa To yang murtad, maka itu, sisanya enam imam campur aduk, kau sendiri pun dapat melayaninya. Sampai ketemu pula!" Oey Yok Su mengeluarkan suara di hidung. Ia tahu, kata-kata terakhir dari See Tok ini ada untuk membakar hatinya dan kawanan Coan Cin Kauw itu, supaya mereka murka dan menumpleki kemurkaannya terhadapnya. Tapi ia pun besar kepala, tidak sudi ia memberi keterangan kepada Ma Giok semua. Ia hanya menghampirkan mayatnya Bwee Tiauw Hong, ia mengangkatnya dengan perlahan-lahan. Murid itu telah memuntahlan darah hidup, kelihatannya ia tidak bisa hidup lebih lama lagi. Khu Cie Kee mengubar sampai beberapa puluh tembok, Auwyang Hong entah telah kabur kemana. Ketika itu, Ma Giok berulang-ulang memanggil ia pulang, maka ia kembali dengan tindakan lebar. Ia masih gusar sekali, kedua matanya terbuka besar dan bersinar merah. Segera ia menuding Oey Yok Su. "Coan Cin Kauw kami denganmu ada bermusuhan apa"!" ia menegur dengan bengis. "Oh, iblis tersesat yang jahat sekali! Mulanya kau membinasakan Ciu Susiok kami, sekarang kau mencelakai Tam Sutee kami ini. Apakah artinya perbuatanmu, hai manusia sesat?" Ditegur begitu, Oey Yok Su melengak. "Kau maksudkan Ciu Pek Thong?" akhirnya ia menanya. "Kau bilang aku membinasakan dia?" "Apakah kau masih mau menyangkal?" Cie Kee mendesak. Oey Yok Su tahu di sini ada salah mengerti, tetapi ia membungkam, ia cuma tertawa dingin. Sebenarnya bersama-sama Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong, ia lagi mengadu lari, sesudah beberapa ratus lie dilalui, mereka masih seri. Niat mereka semula adalah mengagu terus sampai ada keputusan siapa yang menang, tetapi mendadak, Ciu Pek Thong menghentikannya setengah jalan. Inilah disebabkan Loo Boan Tong tiba-tiba ingat Ang Cit Kong, ynag ditinggalkan seorang diri di dalam istana kaisar. Berbahaya kalau Pengemis dari Utara itu sampai kena dipergoki penghuni istana. Bukankah ia telah habis ilmu silatnya" Maka itu ia kata kepada kedua lawannya: "Loo Boan Tong ada mempunyai urusan, kita berhenti saja, kita jangan mengadu lari lebih jauh!" Kata-kata ini ialah kepastian, Oey Yok Su dan Auwyang Hong tidak dapat memaksakan, untuk itu, ia dibiarkan lari. Oey Yok Su berniat menanyakan Ciu Pek Thong tentang putrinya, karena kepergian si orang tua berandalan dan jenaka itu, ia menjadi batal menanyakan. Ketika itu sia-sia belaka Tam Cie Toan menyusul mereka itu bertiga, ia tidak dapat melihat sekalipun bayangan orang, sebaliknya Oey Yok Su semua mengetahui dan melihat ia jelas sekali, maka itu seberlalunya Loo Boan Tong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong lantas kembali ke Gu-kee-cun. Kebetulan sekali, sesampainya mereka di rumah penginapan, mereka dapat menyaksikan Coan Cin Cit Cu lagi menempur Bwee Tiauw Hong. Biar bagaimana, Tong Shia tidak bisa membiarkan muridnya bercelaka, maka itu, diakhirnya ia yang turun tangan sendiri. Di luar segela dugaan, kesudahannya ada demikian hebat. Selagi Khu Cie Kee kalap itu, Sun Put Jie menangiskan Tam Cie Toan. Yang lainlain pun gusar sekali, hingga mereka semua mau mengadu jiwa. Tiba-tiba Tam Cie Toan membuka matanya dan berkata: "Aku mau pergi..." Khu Cie Kee semua lantas menghampirkan, mereka mengerubungi saudara seperguruan itu. Tam Cie Toan bersenandung lemah, lalu ia menarik napasnya yang penghabisan, matanya meram. Keenam Cu bertunduk, untuk memujikan arwahnya saudara itu. Habis itu Ma Giok memondong tubuh suteenya, buat dibawa pergi. Khu Cie Kee semua mengikuti tanpa bersuara, tanpa berpaling lagi ke belakang, mereka keluar dari rumah penginapan itu dan pergi. Oey Yok Su heran sekali, ia tidak tahu permusuhan apa di antara ia dan Coan Cin Kauw, tetapi ketika ia melihat Bwee Tiauw Hong bernapas empas-empis, ia menjadi berduka. Biar bagaimana Tiauw Hong adalah muridnya, mereka telah hidup bersama buat beberapa puluh tahun. Murid itu pun telah berkorban untuknya. Pada dasarnya, ialah seorang yang jujur, maka itu, dalam kedukaannya itu, ia menangis menggerung-gerung. Bwee Tiauw Hong dapat mendengar tangis gurunya itu, ia mengerti, lantas ia tersenyum. Ia tidak mengatakan apa, hanya dengan mengerahkan tenaga terakhir, dengan tangan kanannya ia mematahkan lengannya yang kiri, setelah mana dengan tangan kanan itu ia menghajar batu itu hancur dan lengannya pun patah pula. Menyaksikan perbuatan muridnya itu, Oey Yok Su tercengang. "Suhu," berkata sang murid, "Ketika di Kwei-in-chung suhu menitahkan muridmu melakukan tiga macam perbuatan, dua yang lain muridmu tak keburu melakukannya....." Oey Yok Su lantas ingat akan tiga macam titahnya itu, ialah pertama mencari pulang kitab Kiu Im Cin-keng yang telah hilang, kedua mencari Liok Leng Hong serta dua muridnya yang lainnya, dan yang ketiga, yaitu yang terkahir, muridnya ini dimestikan membayar pulang ilmu silat yang didapat dari Kiu Im Cin-keng itu. Sekarang dengan mematahkan kedua tangannya itu, Bwee Tiauw Hong menepati perintah gurunya, sebab dengan tangannya patah maka musnahlah juga kepandaiannya Kiu Im Pek-kut Jiauw seri Cwie-sim-ciang. Lantas sang guru tertawa terbahak. "Bagus, bagus!" katanya. "Dua yang lain itu sudah tidak ada artinya lagi! Sekarang mari aku terima pula kau menjadi murid dari Tho Hoa To!" Tiauw Hong menginsyafi ia telah tersesat, maka itu mendengar gurunya memberi ampun dan suka menerima ia kembali, ia girang bukan main, dengan memaksakan diri ia merayap bangun, untuk memberi hormat kepada guru itu sambil paykui beberapa kali, ketika ia mengangguk untuk ketiga kalinya, tubuhnya rebah tak bangun pula. OeyY ong dari kamar rahasia telah menyaksikan itu semua, ia disandingkan pelbagai perasaan. Hebat apa yang ia telah saksikan itu, semuanya mengagetkan dan mengharukan. Dilain pihak, ia mengharap-harap ayahnya itu nanti berdiam sedikit lama pula, supaya ia bersama Kwee Ceng dapat keluar untuk menemuinya. Kwee Ceng itu tinggal menanti berkumpulnya hawa di pusarnya. Oey Yok Su sudah lantas mengangkat tubuhnya Bwee Tiauw Hong, untuk dipondong. Hampir di itu waktu, di luar rumah terdengar suara meringkiknya kuda. Oey Yong mengenali, itulah kuda merah yang kecil kepunyaan Kwee Ceng. Menyusuli suaranya Sa Kouw, yang berkata: "Inilah dusun Gu-kee-cun! Mana aku tahu di sini ada orang she Kwee atau tidak.........?" Lalu terdengar suaranya seorang yang lain: "Di sini toh cuma ada beberapa buah rumah! Mustahil kau tidak kenal semuanya penduduk sini?" Agaknya orang itu tidak sabaran, karena ia lantas saja menolak pintu dan bertindak masuk. Oey Yok Su menempatkan diri di belakang pintu, ketika ia melihat orang yang masuk itu, air mukanya berubah. Orang adalah Kanglam Liok Koay yang telah ia cari dengan susah payah. Kanglam Liok Koay sudah pergi ke Tho Hoa To, lantas mereka berputar-putar, tidak juga mereka berhasil mencari rumahnya pemilik pulau Bunga Tho itu, baru kemudian mereka bertemu sama satu bujang yang gagu dari siapa mereka ketahui majikannya pulau itu tengah bepergian. Kemudian lagi Kanglam Liok Koay melihat kuda merah dari Kwee Ceng terlepas merdeka di dalam rimba, mereka lalu membawanya sampai di dusun Gu-kee-cun ini, dimana mereka bertemu sama Sa Kouw, si nona tolol. Kwa Tin Ok sangat jeli kupingnya, begitu masuk di pintu, ia mendapat dengar suara orang bernapas di belakang pintu itu, maka segera ia memutar tubuhnya, dituruti oleh lima saudaranya. Dengan lantas mereka melihat Oey Yok Su menhadang di ambang pintu seraya tangannya memodong Bwee Tiauw Hong. Oey Yok Su rupanya mau mencegah keenam orang luar biasa dari Kanglam itu melarikan diri..... "Oey Tocu baik?" Cu Cong lantas menanya. "Sudah lama kita tidak bertemu! Kami berenam telah memenuhi janji untuk bertemu di Tho Hoa To, sayang tocu tidak ada di rumah, tetapi hari ini kebetulan bertemu di sini, kami merasa sangat beruntung!" Habis berkata begitu, si Mahasiswa Tangan Lihay lantas menjura dalam. Oey Yok Su berniat membunuh Liok Koay, sekarang ia menampak pula muka pucat pasi dari Tiauw Hong, ia berpikir: "Liok Koay ini musuh besar dari Tiauw Hong, siapa nyana sekarang Tiauw Hong mendahului mereka mati, meski begitu, sekarang aku mesti membuatnya ia membinasakan musuhnya dengan tangannya sendiri, supaya ia mati dengan meram....." Maka itu tangan kanan tetap memondong tubuh muridnya, dengan tangan kiri ia mengangkat tangan yang patah dari muridnya itu, tangan yang hanya tersambung dengan kulit daging, sembari berbuat begitu ia melompat ke sampingnya Han Po Kie, untuk dengan cepat sekali, dengan tangannya Tiauw Hong itu, menghajar bahu kanan si Malaikat Raja Kuda. Han Po Kie kaget bukan main, sampai dia tidak sempat berkelit atau menangkis. Hebat ia kena dihajar, benar lengannya tidak sampai patah tetapi sesaat itu dia tidak dapat menggeraki tangannya itu. Liok Koay kaget dan gusar karena sikapnya Oey Yok Su ini, yang menyerang tanpa bicara lagi, maka itu mereka pun lantas balik menyerang. Han Po Kie turut maju setelah ia merasa tangannya lebih ringan. Mereka berseru-seru sambil mereka menghunus senjatanya masing-masing. Mereka mengurung dengan rapi. Oey Yok Su mengangkat tinggi tubuhnya Bwee Tiauw Hong, ia seperti tidak menghiraukan pelbagai alat senjata yang aneh dari enam jago dari Kanglam itu. Han Siauw Eng adalah orang pertama yang diserang pemilik Tho Hoa To itu. Ia kaget ketika ia melihat mukanya Bwee Tiauw Hong, yang matanya mendelik, rambutnya riap-riapan, mulutnya penuh darah. Itulah roman mayat yang sangat menyeramkan. Tangan Tiauw Hong pun diangkat tinggi-tinggi, mengancam batok kepalanya. Tanpa merasa ia menjadi lemas kaki dan tangannya. Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat menyaksikan saudara angkat mereka terancam, dengan berbareng mereka menyerang tangannya Tiauw Hong itu. Mereka menggunai pikulan serta bandulan besi dacin mereka. Oey Yok Su sebat luar biasa, dengan cepat ia menarik pulang tangan kanan Tiauw Hong itu, untuk dengan tangan kirinya menghajar terus Siauw Eng. Ahli pedang Gadis Wat itu tengah tidak berdaya, maka pinggangnya menjadi sasaran, ia kesakitan hingga tubuhnya melengkung jongkok. Han Po Kie maju dari samping, untuk menyerang dengan cambuknya, Kim-liong-pian, atau cambuk Naga Emas. Oey Yok Su mengangkat kaki kirinya, ia bergerak sebat, tetapi toh kaki itu toh kena kelibat. Hanya Han Po Kie, meski ia mengeluarkan seluruh tenaganya, tidak sanggup ia menarik kuda-kudanya Tong Shia. Dilain pihak, tangan berkuku dari Bwee Tiauw Hong telah menyambar ke mukanya. Ia kaget sekali, ia melepaskan libatan cambuknya, ia berkelit sambil berlenggak terus menjatuhkan diri bergulingan. Meski begitu, ia merasakan mukanya panas dan sakit, ketika ia meraba ke mukanya itu, tangannya penuh darah. Sebab lima kukunya Tiauw Hong berhasil menyambar mukanya. Syukur untuknya, Tiauw Hong sudah menjadi mayat dan jambakannya itu bukannya jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw. Setelah beberapa jurus, Liok Koay lantas jatuh di bawah angin. Coba tidak Oey Yok Su menghendaki membinasakan musuh dengan tangannya Tiauw Hong sendiri, mungkin mereka sudah bercelaka. Sekarang mereka hanya terancam bahaya. Kwee Ceng di dalam kamar rahasia menjadi bergelisah. Ia mendengar nyata suara napas menggorong dari keenam gurunya itu, tanda dari keaadan berbahaya dari mereka. Ia menjadi cemas hati sebab ia sendiri tidak bisa lekas-lekas keluar, untuk mencegah bencana. Ia masih memerlukan waktu untuk memperkuat hawa di pusarnya itu. Tapi dapatkah ia main ayal-ayalan" Budi guru-gurunya itu sama dengan budi orang tuanya! Maka diakhirnya, ia menahan napas, ia meluncurkan sebelah tangannya untuk menghajar daun pintu, hingga pintu itu gempur. Oey Yonng kaget bukan main. "Engko Ceng, jangan!" ia mencegah. Ia tahu kawan itu mesti beristirahat. Kwee Ceng pun merasakan akibat serangannya itu, ialah hawa naik ke atas, ke jantungnya, maka lekas-lekas ia memeramkan mata menarik pulang hawanya itu kembali ke pusar. Tetapi sekarang pintu rahasia telah tergempur pecah dan terbuka. Oey Yok Su dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, apa pula mereka lantas melihat muda-mudi itu. Dengan sendirinya mereka pada lompat mundur menghentikan pertempuran mereka. Oey Yok Su heran dan girang, hingga ia mengucak-ucak matanya. "Anak Yong, benarkah kau?" ia menanya. ia hampir tak mempercayai matanya sendiri. Ia merasa bagaikan lagi bermimpi. Oey Yong dengan sebelah tangannya memegang tangan Kwee Ceng, mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak membuka mulutnya untuk menjawab ayahnya itu. Mengawasi sikap anak gadisnya itu, Oey Yok Su lantas mengerti. Untuknya, diketemuinya anak itu ada seperti juga si anak sudah mati tetapi hidup pula. Itulah putri satu-satunya dan juga yang ia sayangi seperti jiwanya sendiri. Ia lantas meletaki tubuh Tiauw Hong di atas bangku, ia terus menghampirkan Kwee Ceng, di sisi siapa ia duduk bersila, tangannya diulur untuk mencekal tangan anak muda itu. Kwee Ceng merasakan hawa di dalam tubuhnya panas bergolak, sangat sukar ia melawan itu. Beberapa kali ia hendak berkoakan atau berlompatan. Tapi, begitu lekas tangannya di tempelkan Oey Yok Su itu, lantas hawa panasnya berkurang, dapat ia berlaku tenang. Dengan lain tangannya, Oey Yok Su pun menguruti sekejur tubuhnya pemuda itu. Boleh di bilang hanya sekejap kemudian, lantas Kwee Ceng dapat menenangi diri betul-betul. Itu artinya bukan saja ia telah terhindar dari bahaya, bahkan ia sudah sembuh betul, otot dan tulang-tulangnya menjadi bertambah kuat. Maka itu, ia lantas bangun, untuk paykui kepada pemilik dari Tho Hoa To itu, akan kemudian Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ia pun menghampirkan keenam gurunya, untuk memberi hormatnya kepada muridnya. Selagi pemuda itu berbicara sama semua gurunya, menuturkan segala hal semenjak mereka berpisah, Oey Yok Su pun asyik pasang omong dengan putrinya, tangan siapa ia tuntun. Mereka gembira sekali, saban-saban mereka tertawa gila. Mengetahui tentang nona Oey, Liok Koay heran dan ketarik hati. Mereka pun ketarik denagn suara halus dari nona itu. Maka itu, diam-diam mereka bertindak mendekati, akan mendengari lebih jauh suara si nona, yang terus berbicara dengan ayahnya. Sebab banyak yang anak ini tuturkan. Tiba pada saatnya pertempuran Oey Yok Su dengan Liok Koay, nona itu berkata sambil tertawa: "Sudahlah, tak usah aku bercerita terus!" Segera setelah itu Oey Yok Su berkata: "Aku hendak membinasakan empat orang, ialah Auwyang Hong, Leng Tie Siangjin, Kiu Cian Jin dan Yo Kang, maka anak yang baik, mari kau turut aku menyaksikan keramaian itu!" Tapi ia melirik kepada Liok Koay, agaknya ia jengah, tetapi dasar angkuh, ia terus tidak sudi mengaku salah, cuma seperti untuk menghibur diri, ia kata: "Anggaplah sang peruntungan masih tidak terlalu buruk hingga aku tidak sampai mencelakai orang baik-baik!" "Ayah," kata Oey Yong tertawa, "Baiklah kau minta maaf kepada beberapa suhu ini..." "Hm," jawab ayah itu, yang lalu menyimpanginya. "Aku hendak mencari See Tok, eh, anak Ceng, kau turut atau tidak?" Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong sudah memegat. Kata anak ini, "Ayah, baiklah kau pergi dulu ke istana untuk memapak suhu!" Kwee Ceng tidak sempat menjawab Oey Yok Su, ia terus bercerita terus sampai Oey Yok Su memberi perkenan untuk ia menikah dengan Oey Yong serta Ang Cit Kong mengambil ia sebagai murid. Mengenai ini, ia minta keputusan guru-gurunya itu. Kwa Tin Ok menjadi sangat girang. "Kau sungguh beruntung!" katanya. "Dengan kau mendapati Kiu Cie Sin Kay sebagai guru dan Tocu dari Tho Hoa To sebagai mertua, kami girang bukan kepalang! Masa dapat kami tidak memberikan perkenan kami" Cumalah halnya Kha Khan dari Mongolia?" Tin Ok hendak menyebutkan urusan putrinya Jenghiz Khan, bahwa halnya murid ini adalah calon Kim-too Huma, tetapi ia tidak dapat lantas membuka mulutnya. Mendadak sekali, pintu, yang tadi tertutup pula, sekarang ada yang pentang dan Sa Kouw muncul di antara mereka, tangannya memegang monyet-monyetan dari kertas. Ia menghampirkan Oey Yong dan menanya sambil tertawa: "Adik, apakah semangkamu telah habis dimakan" Seorang tua telah menyuruhnya aku menyerahkan kunyukkunyukan ini kepadamu, katanya dibuat main..." Oey Yong menyangka orang lagi kumat ketololannya, ia menyambuti kena kerta itu acuh tak acuh. Sa Kouw berkata pula: "Orang tua itu, yang rambutnya ubanan, memesan juga supaya kamu jangan gusar, katanya pasti ia bakal menolongi kau mencari gurumu." Mendengar itu, Oey Yong menduga kepada Ciu Pek Thong, maka ia lantas meneliti kertas itu. Benarlah di situ ada tulisan alamatnya, maka ia lantas membukanya, hingga ia dapat membaca: "Si pengemis tua tak dapat ditemukan, karenanya Loo Boan Tong menjadi tidak gembira." Si nona menjadi heran dan kaget. "Ah, kenapa suhu lenyap?" serunya. Oey Yok Su berdiam, lalu ia kata: "Loo Boan Tong edan-edanan tetapi ia lihay sekali, maka asal Ang Cit Kong tidak mati, pasti ia dapat menolonginya. Hanya sekarang ini Kay Pang lagi menghadapi satu urusan besar..." "Bagaimana, ayah?" Oey Yong menanya terkejut. "Tongkatnya si pengemis tua yang telah diberikan padamu sudah dibawa pergi oleh Yo Kang si binatang cilik itu! Binatang itu tidak lihay ilmu silatnya tetapi lihay otaknya, kalau tidak bagaimana dapat orang sebangsa Auwyang Kongcu terbinasa di tangannya" Dia telah mendapati tongkat keramat kaum pengemis itu, pastilah dia bakal menerbitkan gelombang kekacauan, yang dapat membahayakan Kay Pang. Mari kita lekas mencari dia, untuk merampas pulang tongkat itu, kalau tidak, pasti celakalah murid-murid dan cucu-cucu muridnya si pengemis bangkotan itu!" Mendengar itu Liok Koay menganggukkan kepala. "Sayang suhu sudah pergi beberapa hari, mungkin di sukar dicandak," kata Kwee Ceng. "Di sini ada kuda merahmu, kau boleh coba menyusul," kata Po Kie. Kwee Ceng lantas ingat kuda merahnya itu, ia menjadi girang sekali, lantas ia lari keluar seraya bersiul. Kuda itu mendengar suara majikannya, dia berjingkrak lari menghampirkan, dia mengelus-elus majikannya itu seraya meringkik perlahan tak hentinya. Menampak demikian Oey Yok Su berkata: "Anak Yong, pergilah kau bersama Kwee Ceng untuk merampas pulang tongkat itu. Kuda kecil itu keras larinya, mungkin kamu dapat menyandak." Selagi berkata begitu, Oey Yok Su melihat Sa Kouw di samping mereka, nona itu tertawa dengan ketololannya. Ia melihat wajah dan gerak-gerik orang, ia ingat itulah mirip dengan sifat muridnya, Kiok Leng Hong. "Apakah kau she Kiok?" ia tanya nona itu. Sa Kouw menggeleng kepala secara lucu. "Aku tidak tahu," sahutnya. "Ayah, mari kau lihat!" berkata Oey Yong, mengajak ayahnya, yang ia tuntun ke dalam kamar rahasia. Begitu melihat pengaturan ruangan itu, Oey Yok Su ketarik hatinya. Itulah pengaturan seperti caranya sendiri. Maka ia mau menduga, mesti itu diatur oleh Kiok Leng Hong, muridnya itu. "Ayah, coba lihat benda di dalam peti besi itu," Oey Yong berkata pula. Oey Yok Su tidak lantas membuka peti hanya tubuhnya mencelat tinggi sambil tangannya diulur ke pojok tembok barat daya, menyambar ke arah wuwungan, ke temboknya, ketika ia menarik, tembok itu lantas terbuka merupakan sebuah lubang. Dengan tangan kanannya memegang kertas, ia lantas menggelantungkan diri, lalu dengan tangan kirinya, ia meragoh ke dalam lubang itu. Dari situ ia menarik keluar segulungan kertas. Belum lagi ia lompat turun, tangan kanannya sudah menekan tembok, maka dengan itu, ia berlompat terus keluar kamar. Oey Yong dengan sebat lompat mengikuti ayahnya itu. Ia melihat gulungan kertas yang penuh debu setelah dibeber, kertas itu memuat tulisan yang huruf-hurufnya tidak karuan macam, bunyinya: "Surat ini dihanturkan kepada guruku yang berbudi di pulau Tho Hoa To. Dari istana kaisar muridmu telah berhasil mendapatkan sejumlah tulisan dan gambar lainnya, yang semua hendak dihanturkan kepada suhu, maka tidak beruntung sekali, selama di dalam istana aku telah dikepung sekawanan siwi. Aku telah meninggalkan seorang anak perempuan......." Sampai habis di situ, habis sudah surat itu, yang terlihat tinggal titik-titik yang terang adalah titik-titik darah. Melihat surat itu, Oey Yong menjadi terharu hatinya. Ia mengingat nasib celaka murid-murid ayahnya itu, yang semuanya lihay tetapi mereka telah diusir ayahnya itu gara-gara Bwee Tiauw Hong berdua. Sekarang beginilah nasib Kiok Leng Hong, salah satu murid yang tetap setia itu. Oey Yok Su mengerti, Leng Hong ini tentulah ingin kembali ke Tho Hoa To, maka setelah diusir dia berdaya mencari rupa-rupa barang yang menjadi kesukaan gurunya, ia membesarkan hati pergi mencuri ke istana, maka apa celaka, ia menemui saat naas, disaat berhasilnya, ia kepergrok dan dikepung pahlawanpahlawan istana. Melihat nasibnya Liok Seng Hong, ia sudah menyesal, maka sekarang ia menjadi lebih menyesal lagi. Sa Kouw tidak tahu apa-apa, ia berdiri di samping sambil terus tertawa hahahhihi. "Apakah ilmu silatmu diajari ayahmu?" Oey Yok Su menegur si nona, suaranya bengis. Sa Kouw menggeleng kepala lantas dia lari keluar pintu besar, daun pintu itu ia tutup rapat, setelah ia mengintai ke dalam, terus ia bersilat. Dia mengintai pula, lalu kembali ia bersilat lagi. "Ayah," berkata Oey Yong, "Dia belajar silat dengan mencuri pelajaran Kiok Suko." Ayah itu mengangguk. "Ya," katanya, "Aku pun tidak percaya, setelah di usir, Leng Hong bernyali besar berani mewariskan ilmu kepandaiannya kepada lain orang... Eh, anak Yong, coba kau serang dia dibagian bawah, kau gaet dia roboh!" Kata-kata yang belakangan ini dikeluarkan secara mendadak. Oey Yong heran, tidak tahu ia maksud ayahnya, tetapi ia menghampirkan Sa Kouw, sembari tertawa haha-hihi, ia kata kepada nona tolol itu, "Sa Kouw, mari aku berlatih bersama-sama denganmu. Kau berhati-hatilah!" Ia lantas menggerak dengan tangan kiri, disusul sama tendangan kaki kiri dan kanan degan sebat sekali. Sa Kouw melengak, sebelum ia sempat berdaya, kempelonnya yang kanan telah kena ditendang. Ia lantas lompat mundur. Tetapi di sini ia telah ditunggu, begitu ia digaet, lantas ia jatuh terguling. Ia lompat bangun dengan segera. "Kau menggunai akal!" serunya. "Adik kecil, mari kita mulai lagi!" "Hus!" membentak Oey Yok Su. "Apa adik kecil! Kau mestinya memanggil kouw-kouw!" "Kouw-kouw!" Sa Kouw lantas memanggil, tanpa ia mengetahui apa bedanya "adik kecil" dengan "kouw-kouw" atau bibi. Baru sekarang Oey Yong mengerti bahwa ayahnya hendak mencoba bagian bawah dari si tolol itu sebab Kiok Leng Hong hilang kedua kakinya, kalau Leng Hong bersilat seorang diri, kuda-kudanya tidak nampak, kalau ia mengajari dengan mulut, mestinya nona itu sempurna bagian atas, tengah dan bawahnya. Dengan terus menyebut "kouw-kouw" itu sama dengan artinya Oey Yok Su menerima si nona sebagai muridnya. "Kenapa kau tolol?" ia tanya pula. "Aku ialah Sa Kouw," sahut si nona tertawa. "Tolol" ialah "Sa" "Mana ibumu?" tanya Oey Yok Su, alisnya mengkerut. Nona itu meringis, "Ia sudah pulang..." sahutnya. Masih Oey Yok Su menanya beberapa kali, jawaban si nona tidak karuan, maka ia menghela napas panjang. Ia tidak tahu orang tolol semenjak dilahirkan atau karena suatu penderitaan yang mengagetkan. Kecuali Leng Hong hidup pula, tidak nanti ada lai orang yang mengetahui sebab-musabab itu. Dengan mendelong, tocu dari Tho Hoa To ini mengawasi mayatnya Tiauw Hong. "Anak Yong," katanya selang sesaat, "Mari kita lihat barang-barang Kiok Sukomu itu." Oey Yong menurut, maka ayah dan anak itu masuk pula ke dalam kamar rahasia. Mengawasi tulang-belulang Kiok Leng Hong, Oey Yok Su berdiri mendelong, kemudian air matanya mengucur turun. "Anak Yong," katanya. "Diantara semua muridku, Leng Hong yang paling pandai, maka kalau bukan kakinya buntung, seratus siwi pun tidak nanti sanggup menawan dia!" "Itulah wajar!" sahut putri itu. "Ayah, apakah kau mau menerima Sa Kouw sebagai muridmu?" "Ya," ayahnya itu menyahut. "Aku akan ajarkan dia ilmu silat, bersyair dan -menabuh khim, juga ilmu Kie-bun Ngo-heng. Apa yang dulu sukomu niat pelajarkan, tetapi belum kesampian, semua akan aku ajarkan kepada anaknya ini!" Oey Yong mengulur lidahnya. "Hebat penderitaan ayah," pikirnya. Oey Yok Su membuka peti besi, ia memeriksa isinya. Melihat semua itu, ia menjadi semakin berduka. Ketika ia membeber sebuah gambar, ia menhela napas. "Gambar bunga dan burung Kaisar Hwie Cong ini indah dilukisannya," katanya, "Maka sayang sekali, negara yang indah pun ia hanturkan kepada bangsa Kim...." Selagi ia menggulung pula gambar itu, mendadak Oey Yok Su berseru, "Ih!" "Ada apa ayah?" tanya Oey Yong. "Kau lihat!" sahut ayah itu, tangannya menunjuk kepada sebuah gambar san-sui, lukisan pemandangan alam, gunung dan air. Oey Yong mengawasi, ia melihat gambarnya sebuah gunung tinggi dengan puncak lancip menjulang ke langit, masuk ke dalam mega, di bawah mana ada jurang yang berair, di sini lembah pula ada sekumpulan pohon cemara, yang penuh salju, yang semuanya doyong ke Selatan, seperti bekas diserang angin Utara yang hebat, di puncaknya, di sebelah Barat, sebaliknya ada sebuah pohon cemara yang berdiri tegak, di bawah pohon itu, dengan tinta merah, ada dilukisan seorang jenderal perang lagi bersilat dengan pedang. Mukanya jenderal itu tak nampak jelas, tetapi dandannnya membuat siapa yang melihat, mesti menaruh hormat. Seluruh gambar memakai tinta hitam, kecuali manusianya ini, yang merah merong, hingga kelihatan mencolok mata. Gambar itu pun tidak ada tanda-tanda pelukisnya, cuma ada syairnya seperti berikut: "Setelah bertahun-tahun maka baju perang penuh debu dan tanah, Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie, Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup. Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang." Oey Yong memperhatikannya, lalu ia ingat. Beberapa hari yang lalu, di paseban Cui Bie Teng di puncak Hui Lang Hong, ia pernah melihat syair itu yang ada tulisannya Jenderal Han See Tiong yang kesohor. "Ayah," katanya, "Inilah tulisan Tiong Bu Han Kie Ong, sedang syairnya ialah buah kalamnya Gak Bu Bok." "Benar," berkata ayahnya itu, "Gak Bu Bok menulis syairnya ini melukiskan gunung Cui Bie San di Kota Tie-ciu, hanya gunung yang dilukisan begini berbahaya keadaannya bukan gunung Cui Bie San itu sendiri. Latar belakang lukisan ini bagus tetapi pelukisnya bukannya seorang pelukis jempolan." Oey Yong ingat itu hari di Hui Lay Hong, Kwee Ceng sangat ketarik sama syairnya yang ditulis Han See Tiong itu, yang ia ukir di batu dengan jeriji tangannya, dan si pemuda seperti tidak hendak meninggalkannya. Maka itu ia kata kepada ayahnya: "Adaa baikkah gambar ini diberikan kepada menantumu!" Oey Yok Su tertawa dan berkata: "Memang anak perempuan berpihak ke luar, maka itu, apa aku hendak bilang lagi?" Ia pun memilih serenceng mutiara seraya berkata pula: "Mutiara yang dulu hari si Bisa bangkotan seragkan kepadamu, aku telah ambil dari Tho Hoa To dan membayar pulang kepadanya, maka itu sekarang kau ambillah ini." Oey Yong tahu ayah itu sangat membenci Auwyang Hong, ia mengangguk, ia menyambuti mutiara itu seraya terus mengalungi di lehernya. Ia sedang berbuat begitu tempo kupingnya mendengar suara burung rajawali putih berbunyi keras beberapa kali di udara, suaranya nyaring dan kesusu. Ia sebenarnya sangat menyukai burung rajawali itu tetapi mengingat burung telah diambil oleh putri Gochin Baki, ia menjadi tidak senang, meski begitu, ia toh lari keluar, masih ingin ia membuat main burung itu. Tiba di luar, ia melihat Kwee Ceng berada di bawah sebuah pohon liu yang besar, seekor rajawali memacuk bajunya di pundak dan menarik-narik, yang satunya lagi berputaran memutari seraya ia berbunyi tak hentinya. Sa Kouw kegirangan, ia berlari-lari memutarai Kwee Ceng, ia bertepuktepuk tangan sambil tertawa dan bersorak. "Yong-jie, mereka mendapat susah!" kata Kwee Ceng melihat si nona muncul. "Mari kita pergi menolongi!" "Siapa mereka?" Oey Yong menanya. "Kedua saudara angkatku, yang pria dan wanita!" Nona itu memonyongkan mulutnya. "Aku tidak mau pergi!" katanya. Kwee Ceng melengak, ia tidak mengerti tapi lekas ia berkata pula: "Ah, Yong-jie, jangan seperti bocah! Mari kita lekas pergi!" Habis berkata, ia menarik kudanya, ia lompat naik ke punggungnya. "Habis, kau menghendaki aku atau tidak?" Oey Yong tanya. Pemuda itu menjadi bingung. "Kenapa aku tidak menghendaki kau?" ia balik menanya. Dengan tangan kiri ia menahan kudanya, tangan kanannya diansurkan untuk menyambuti si nona. Oey Yong tertawa, lalu ia berpaling ke arah ayahnya, sambil berkata nyaring: "Ayah, kita hendak pergi menolongi orang! Kau bersama keenam suhu baik turut juga!" Ia terus menjejak tanah dengan kedua kakinya, dengan begitu tubuhnya mencelat tinggi, tangan kirinya diluncurkan, akan menyambuti tangan kanan Kwee Ceng, untuk ditarik, maka itu, tubuhnya lantas melayang naik ke atas kuda hingga ia duduk di sebelah depan! Kwee Ceng memberi hormat dari atas kuda kepada gurunya, setelah mana, ia melarikan kudanya itu, yang lantas lari kabaur. Kedua burung rajawali pun terus terbang, sambil berbunyi mereka terbang cepat di sebelah depan, untuk menunjuki jalan. Kuda mereka itu girang sekali bisa bertemu pula sama majikannya, dia lari keras dengan gembira, kalau burung bukannya burung rajawali, mungkin keduanya ketinggalan di belakang. Kedua burung itu terbang ke sebuah rimba lebat di sebalah depan, terus turun. Kuda itu sangat mengerti, tanpa titah majikannya, ia lari terus ke arah rimba itu. Setibanya Kwee Ceng di luar rimba, dari dalam situ ia mendengar suara nyaring bagaikan cecer pecah, katanya: "Saudara Cian Jin, telah lama aku mendengar Tangan Besimu yang lihay, aku sangat mengangguminya, maka itu sekarang baiklah aku menggunai dulu kepandaianku yang tidak berarti ini mengambil nyawa yang satu ini, setelah itu aku minta kau menggunai tanganmu yang lihay itu terhadap yang Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lainnya. Setujukah kau, saudara?" Menyusuli itu maka terdengarlah suara gemuruh diikuti jeritan yang h menyayatkan hati. Sebuah pohon kelihatan bergerak bagian atasnya, lalu jatuh roboh. Kwee Ceng kaget, ia lompat turun dari kudanya, ia lari ke dalam rimba. Oey Yong lompat turun, ia menepuk-nepuk kepala si kuda merah seraya berkata: "Pergi lekas menyambuti ayahku!" Kemudian ia menunjuk ke jalan dari mana mereka datang. Kuda merah itu mengerti, dia berbalik dan lari pergi. "Semoga ayah lekas datang..." kata nona Oey ini dalam hatinya, "Kalau tidak, kita bisa susah di tangannya si Bisa bangkotan!" Lalu ia lari ke dalam rimba tetapi dengan cara sembunyi. Begitu ia melihat ke depan, Oey Yong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang. Di sana Tuli, Gochin Baki, Jebe dan Borchu berempat sedang tertawan, masingmasing ditambat di atas sebuah pohon kayu. Di bawah pohon, Auwyang Hong berdiri bersama-sama Kiu Cian Jin. Di sebuah pohon lain, ialah pohon yang sudah roboh, ada tertambat seorang lain, yang seragamnya mewah, sebab ialah si punggawa perang Song yang mengantarkan keempat orang Mongolia itu pulang ke negerinya. Hanya perwira itu sudah mati, sebab pohonnya telah dihajar roboh oleh See Tok. Di situ tidak ada pasukan serdadu mereka, rupanya tentara itu telah diusir ini dua jago tua. Kiu Cian Jin tidak berani mengadu tenaga tangan dengan Auwyang Hong, tapi pun ia tidak mau omong terus terang, sebab ia hendak memegang derajatnya, selagi ia hendak menggunai alasan, guna menutup diri, tiba-tiba ia melihat munculny Kwee Ceng. Ia lantas jadi terperanjat bahna girang. Ia segera mendapat pikiran. "Kenapa aku tidak mau pinjam tangannya See Tok akan menyingkirkan bocah ini?" demikian pikirnya. Auwyang Hong pun heran. Nyata Kwee Ceng tidak mati terkena pukulan ilmu Kodoknya. Itu waktu putri Gochin Baki berseru: "Engko Ceng, lekas tolongi aku!" Melihat suasana itu, Oey Yong sudah lantas mengasah otaknya. "Sang tempo mesti diperlambat, sampai ayah datang!" demikian ia peroleh akal. Kwee Ceng sendiri telah menjadi gusar, hingga ia jadi tak kenal takut. "Bangsat tua, apa kamu bikin di sini"!" ia mendamprat. "Kembali kamu mencelakai orang, ya"!" Auwyang Hong hendak menguji kepandaian Kiu Cian Jin, meski diperlakukan kurang ajar, ia bahkan bersenyum. Tidak demikian dengan si orang she Kiu itu. "Ha, binatang cilik yang baik!" dia membentak. "Di sini ada Auwyang Sianseng, mengapa kau tidak berlutut memberi hormat" Apakah kau sudah bosan hidup"!" Kwee Ceng sangat membenci orang ini, yang di rumah penginapan sudah ngaco belo, memfitnah dan mengadu gurunya dengan Oey Yok Su, dengan di sini kembali dia mencelakai orang, maka itu tanpa membilang suatu apa, ia menghampirkan, terus ia menyerang dadanya. Pemuda ini menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, yang sekarang talh maju jauh sekali. Ia menggunakan tenaga menyerang enam bagian dan tenaga menarik empat bagian, dari itu, habis menyerang, tinjunya cepat ditarik pulang. Kiu Cian Jin berkelit, tetapi ia kena ditarik anginnya tinju itu, tubuhnya mundur hanya diluar keinginannya, dia ditarik ke depan, terus jatuh terjerunuk! "Hm!" Kwee Ceng mengejek seraya tangannya yang kiri dilayangkan, guna menyambut muka muka orang, hendak ia menhajar hingga gigi rontok dan lidah terkancing putus, supaya jago tua ini tidak dapat mengacau lagi menerbitkan gelombang yang tidak-tidak. "Tahan!" berseru Oey Yong tiba-tiba seraya ia lompat keluar dari tempat persembunyiannya. Kwee Ceng heran, hingga ia batal menggaplok, tetapi karena ia sebat, ia ubah gerakan tangannya itu, segera ia menyambar ke arah leher, untuk mencekuk, setelah mana, ia mengangkat tubuh orang. "Yong-jie, bagaimana?" ia menanya seraya ia berpaling. Oey Yong khawatir Kwee Ceng mencelakai orang tua itu, kalau itu sampai terjadi, pasti Auwyang Hong turun tangan. Inilah ia mau cegah, untuk ia menjalankan akalnya. "Lekas lepaskan!" ia berkata. "Orang tua ini mempunyai semacam kepandaian yang lihay pada kulit mukanya, kalau pipinya dihajar, tenaganya berbalik bekerja, kau pasti terluka di dalam!" "Ah, mustahil?" kata Kwee Ceng yang tidak percaya. "Aku tidak tahu, asal ia mementang mulut dan meniup, seekor kerbau pun dapat terkelupas kulitnya!" kata pula si nona. "Masih kau tidak lekas mengundurkan dirimu!" Pemuda ini masih tetap tidak percaya, akan tetapi ia menduga kekasihnya itu ada maksudnya, maka ia menurut, ia melepaskan cekukannya. "Syukur nona ini mengetahui bahaya," Kiu Cian Jin berkata. "Kita berdua tidak bermusuhan, maka selagi Thian murah hati, masa aku ambil sikap yang tua menindih yang muda dan sembarang melukakan kau?" Oey Yong tertawa. "Itu benar!" ia bilang. "Kepandaian kau yang lihay, loosiansseng, aku sangat mengagumi, karena itu, hari ini aku mau minta pengajaran dari kau, untuk beberapa jurus saja, tetapi aku harap janganlah kau melukakan aku..." Habis berkata si nona lantas memasang kuda-kudanya, tangan kirinya dikibaskan ke atas, tangan kanannya ditarik ke dalam, terus di bawa ke mulutnya, untuk mengasih dengar siulannya beberapa kali. Ia tertawa pula dan berkata: "Sambutlah ini! Inilah jurusku yang dinamakan silat Meniup Terompet Keong!" "Ah, nona kecil, sungguh besar nyalimu!" berkata Kiu Cian Jin. "Auwyang Sianseng kesohor namanya di seluruh negara, mana dapat ia membiarkan kau tertawa mengejek dia..?" Oey Yong tidak meladeni kata-kata itu, tangan kanannya melayang ke kuping orang, hingga terdengarlah suara mengelepok yang nyaring. Ia lantas tertawa dan berkata: "Dan ini namanya Pukulan Berbalik ke arah Kulit Tebal!" Berbareng dengan itu, dari luar rimba terdengar suara orang tertawa yang disusul dengan pujian, "Bagus! Sekalian saja kau menggaplok lagi satu kali!" Mendengar suara itu, Oey Yong girang bukan kepalang. Ia mengenali suara ayahnya. Dengan begitu, hatinya menjadi mantap. Sembari menyahuti, tangannya melayangp pulang. Kembali tangann yang kanan. Kiu Cian Jin buru-buru menunduki kepala untuk berkelit. Tapi gaplokan itu gaplokan gertakan belaka, sedang yang benar adalah susulan tangan kiri. Ia melihat itu, lekas-lekas ia berkelit pula. Atas ini, tangannya si nona melayang pergi pulang, hingga ia menjadi repot berkelit tak hentinya. Di akhirnya, kuping kanannya tergaplok pula! Kiu Cian Jin kaget. Ia mengerti, kalau terus-terusan begitu hebat untuknya. Maka ia lantas membalas menyerang. Dengan dua kepalannya, ia memaksa si nona mundur, setelah mana, ia lompat ke samping. "Tahan!" ia berseru. "Apa?" Oey Yong tertawa. "Apakah sudah cukup?" Kiu Cian Jin mengasih lihat roman sungguh-sungguh. "Nona, kau telah dapat luka di dalam!" ia berkata. "Lekas kau pulang untuk bersemadhi di kamar rahasia lamanya tujuh kali tujuh menjadi empatpuluh sembilan hari! Jangan kena angin atau jiwamu yang muda tidak bakal ketolongan!" Melihat roman orang sungguh-sungguh untuk sejenak Oey Yong tercengang, tetapi lekas juga ia tertawa pula. Ia tertawa terkekeh, kepalanya memain. Ketika itu Oey Yok Su yang tadi cuma terdengar suarnya saja, telah tiba bersamasama Kanglam Liok Koay. Mereka heran melihat Tuli beramai menjadi orang tawanan. Auwyang Hong sendiri lagi keheran-heranan. Ia heran untuk Kiu Cian Jin. Ia tahu betul, orang she Kiu ini lihay sekali, dulu hari pernah dengan tangannya yang seperti besi itu ia menghajar mati dan luka pada jago-jago dari Heng San Pay, sampai partai itu roboh dan tak dapat bangun lagi, maka itu kenapa sekarang ia kena digaplok Kwee Ceng, kena dicekuk pula, dan melayani Oey Yong nampak tak berdaya" Ia menjadi mau menduga-duga, apakah benar orang mempunyai kepandaian di kulit muka" Itulah kepandaian yang ia belum pernah dengar, itu mirip khayal...... Selagi si Bisa dari Barat itu beragu-ragu, matanya menjurus kepada Oey Yok Su, hingga ia melihat di pundak pemilik pulau Tho Hoa To itu tergantung sebuah kantung sulam buatan Su-coan, yang sulamannya sutera putih adalah seekor unta. Ia mengenali baik sekali, itulah kantung keponakannya. Ia menjadi kaget. Habis membinasakan Tam Cie Toan dan Bwee Tiauw Hong, ia pergi, tapi sekarang ia kembali, niatnya untuk menampak keponakannya itu. "Mungkinkah Oey Yok Su telah membunuh keponakanku itu untuk membalas sakit hati muridnya?" Ia berpikir. Maka ia lantas menanya dengan suaranya menggetar: "Bagaimana dengan keponakanku?" Oey Yok Su menjawab dingin: "Bagaimana dengan Bwee Tiauw Hong muridku itu, demikian juga dengan keponakanmu!" Auwyang Hong merasakan tubuhnya beku separuh. Auwyang Kongcu itu namanya saja keponakannya akan tetapi nyatanya ialah anaknya sendiri sebab dia didapatkan dari perhubungan gelap diantara dia dan istri kakaknya. Jadi paman dan ipar telah main gila dan terlahirlah "Keponakan" yang dimanjakan itu. Ia sangat kejam, jahat sebagai bisa, tetapi terhadap anaknya itu, ia sangat menyayangi, menyayangi melebihkan jiwanya sendiri. Ia tidak menyangka keponakannya itu bakal terbinasa, sebab dengan kedua kakinya rusak, ia percaya Oey Yok Su dan Coan Cin Cit Cu, yang ada orang-orang kenamaan, tidak nanti menurunkan tangan mengambil nyawa sang keponakan, siapa tahu, kesudahannya, keponakan itu toh menerima nasibnya. Oey Yok Su berdiri dengan waspada terhadap See Tok. Ia mengerti kalau si Bisa dari Barat kalap, ia mesti bekerja banyak untuk membela diri. "Siapa yang membunuh keponakanku itu?" akhirnya Auwyang Hong menanya, suaranya serak. "Muridmu atau muridnya Coan Cin Cit Cu?" See Tok masih tidak percaya pemilik Tho Hoa To nanti membinasakan orang yang kakinya telah buntung dua-duanya. Itulah perbuatan memalukan. Dengan tetap dingin, Oey Yok Su menjawab pula: "Dia pernah mempelajari ilmu silat Coan Cin Pay serta juga pernah mempelajari sedikit silat dari Tho Hoa To. Pergilah kau cari dia!" Pemilik Tho Hoa To itu menyebutnya Yo Kang akan tetapi Auwyang Hong menduga Kwee Ceng. Bukan main panasnya hatinya, tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat menguasai dri. "Nah, apa perlunya kau membawa-bawa kantungnya keponakanku itu?" ia tanya. "Peta Tho Hoa To berada pada dia, aku mesti mengambilnya pulang," menyahut Oey Yok Su. "Tidak dapat aku menanti sampai dia masuk ke dalam tanah...." "Kata-kata yang bagu!" ujar Auwyang Hong. Ia terus menahan sabar. Ia tahu baik sekali, kalau ia menempur Tong Shia, mereka mesti berkelahi sampai satu - atau duaribu jurus tanpa ada ketentuan siapa menang siapa kalah, bahkan ada kemungkinan ia tak berada di atas angin. Ia ingat Kui Im Cin-keng telah didapatkan, dari itu, soal membalas sakit hatinya bolehkah ditaruh di belakang. Tapi di sini ada Kiu Cian Jin. "Dia ada di sini, dia dapat membantu aku," pikirnya. "Kalau dia dapat mengalahkan Kanglam Liok Koay beserta Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas dia dapat membantui aku! Tidakkah dengan begini aku bisa mengambil jiwanya Oey Yok Su?" Karena berpikir begini, harapannya lantas timbul. Lantas ia menoleh kepada si orang she Kiu. "Saudara Cian Jin, pergi kau membinasakan delapan orang ini, aku sendiri melayani Oey Lao Shia!" katanya. Kiu Cian Jin mengibaskan kipasnya yang besar, ia tertawa. "Begitu pun bagus!" sahutnya. "Setelah membinasakan mereka berdelapan, nanti aku membantui kau!" "Benar begitu!" menjawab Auwyang Hong, yang lantas menghadapi Oey Yok Su, terus ia berjongkok perlahan-lahan. Oey Yok Su sudah lantas bersedia. Ia memasang kuda-kudanya yang disebut "put teng put pat", ia mengambil apa yang dinamakan kedudukan "tong hong it bok". Ia memasang mata jeli. Oey Yong sementara itu berkata kepada Kiu Cian Jin. "Baiklah kau bunuh aku dulu!" bilangnya tertawa. Orang tua itu menggeleng-geleng kepala. "Ah, sebenarnya aku tidak tega..." katanya. "Aduh, aduh, celaka!" ia terus menjerit. "Sungguh tidak kebetulan...!" ia lantas memegangi perutnya, tubuhnya membungkuk. "Kau kenapa?" Oey Yong tanya. Kiu Cian Jin meringis. "Kau tunggu sebentar, aku hendak membuang air..." "Cis!" si nona meludah. "Aduh!" Kiu Cian Jin berkoak pula, lalu ia memegangi pinggiran celananya, terus ia lari ke pinggiran. Melihat romannya, dia benar-benar perutnya sakit dan kebelet ingin membuang air besar. Oey Yong mengawasi tanpa berani mengejar. Ia sangsi orang benar-benar sakit perut atau lagi menggunai akal bulus. Tiba di pinggiran, Kiu Cian Jin berjongkok. "Nah, ini kertas untukmu!" berkata Cu Cong, yang lari kepada orang she Kiu itu, pundak siapa ia tepuk, sedang tangannya menyerahkan kertas yang ia keluarkan dari kantungnya. Terima kasih!" mengucap Cian Jin. Ia lantas pergi ke gompolan rumput di mana ia berjongkok. "Pergi jauhan sedikit!" kata Oey Yong yang memungut sepotong batu kecil, dengan apa ia menimpuk orang tua itu. Bab 54. Segitiga........ Bab ke-54 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Batu itu melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya. "Nona takut bau busuk?" katanya tertawa. "Baiklah, aku akan menyingkir sedikit lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku larang kamu pada melarikan diri.....!" Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai belasan tombak, di situ ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi. "Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan diri!" berkata Oey Yong. Cu Cong tertawa. "Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa," sahutnya guru yang nomor dua itu. "Kau ambillah dua rupa barang ini untuk kau buat main...." Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan dari besi di tangan gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak Kiu Cian Jin, gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang itu, lantas ia tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia melihat Kiu Cian Jin mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam perutnya dengan pedang itu, tidak tahunya itulah pedang rahasia, yang dapat dibikin melesat atau ngelepot tiga kali. Maka ia lantas menghampirkan Auwyang Hong. "Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!" katanya sambil tertawa, tangan kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas dengan pedangnya Kiu Cian Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk. Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur menjadi kaget, tetapi Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang menjadi pendek, sembari memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan rahasianya pedang tukang sulap itu. Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir: "Apa mungkin tua bangka itu main gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?" Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika ia melihat tubuh orang mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia lantas menyambuti sarung tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu. Ia melihat ukiran huruf "Ki" di telapakan tangan, di sebelah belakangnya ada ukiran seekor ular kecil serta seekor kelabang kecil, yang berguling menjadi satu. Ia ingat itulah lengpay atau tertanda dari Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin. Pada duapuluh tahun yang lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di dalam dunia kangouw, siapa yang membawabawa itu, dia dapat lewat dengan merdeka di selatang dan si utara sungai Tiang Kang atau di hulu dan hilir sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih sangat jeri terhadapnya. Maka itu heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada ini orang yang besar mulutnya saja" Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu kepada putrinya. Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran. Oey Yong tertawa. "Ayah, sarung tangan ini bagus untuk dibuat main, aku menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak membutuhkannya! Nah ini, kau sambutlah!" Ia mengayaun tangannya, hendak menimpukkan pedang-pedangan itu. Atau mendadak, ia membatalkannya. Jaraknya dengan Kiu Cian Jin jauh juga, ia khawatir tidak dapat ia menimpuk sampai di sana. Maka pedang itu ia serahkan kepada ayahnya seraya membilangnya sambil tertawa: "Ayah, kau saja yang menimpukkannya!" Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin mencobai Kiu Cian Jin, maka ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di telapakan tangannya yang kiri, ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu dengan jari tangan dari tangan kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang itu meleset bagaikan terbang! "Bagus!" berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk tangan. "Tiat Cie Sin-kang yang hebat!" Auwyang Hong memuji di dalam hatinya. Ia kaget Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari Timur ini. Semua mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia tampak jongkok tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran pedangnya itu. Maka cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap. Serang Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun pedang kayu, kalau sasarannya keba terhajar, korbannya mesti bercelaka. Kwee Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai di tempat orang berjongkok itu, mendadak ia berseru: "Celaka betul!" Tangannya pun lantas mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia berseru pula: "Orangnya sudah kabur!" Kiu Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi hingga ia tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan nyeludup di pepohonan lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki, menyingkir dari tempat berbahaya itu. Dengan kecerdikannya ini ia terlah berhasil menjual Tong Shia dan See tok yang berpenglamanan dan lihay itu, hingga dua orang itu melengak dan saling mengawasi, lalu keduanya tertawa lebar. Auwyang Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang sukar untuk dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia menganggap inilah ketikanya untuk turun tangan. Dengan mendadak ia berhenti tertawa, terus ia menjura dalam sekali. Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan kirinya dilonjorkan, tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat. Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana, Auwyang Hong mundur tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil. Lantas ia kata: "Baiklah, kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!" Sembari berkata begitu, ia mengibaskan tangan bajunya, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu. Air mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya ke depan anak gadisnya. Kwee Ceng pun telah melihat, selagi memutar tubuh, Auwyang Hong menyerang secara Hati Budha Tangan Berbisa 2 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Racun Ular Karang 2

Cari Blog Ini