Goosebumps - Kembali Ke Horrorland Bagian 2
keras-keras, seolah-olah mau membangunkannya. "Sudah, tidak apaapa," ia memberitahu temannya. "Dokter itu cuma robot."
Clay membuka mata dan menatap kami seolah-olah ia tak
mengenali kami. Aku dan Luke menariknya bersama-sama dari
kursinya. Dengan panik aku mencari pintu keluar. Aku tak tahan
mendengar jeritan dan tangisan meski satu menit lagi!
Apakah semua itu sungguhan" Apakah anak-anak yang
menjerit-jerit itu semuanya robot juga"
Aku tak peduli. Aku melihat sebuah pintu belakang di seberang ruangan,
setengah tersembunyi di balik gorden kelabu. Kami bertiga buru-buru
menghampirinya. Kami meluncur melewati gorden, mendorong pintu
hingga terbuka, lalu melesat keluar.
"Wow!" jeritku saat nyaris menabrak Derek dan Margo.
"Hebat!" seru Derek, sambil menepuk-nepuk camcorder
mungilnya. "Tadi benar-benar seru!" timpal Margo. "Kalian hebat sekali,
anak-anak. Kami merekam semuanya dari jendela di sebelah sana itu."
Ia menudingkan telunjuknya.
"Tapi"tapi?" Aku tak sanggup berkata-kata.
"Bisa saja tadi kami hancur berantakan!" raung Clay. "Dokterdokter gigi itu... semua gigi kami..." Ia bergidik.
Kututup mataku, kutahan napas, dan kuhitung sampai sepuluh.
"Tenang, Lizzy," kuperintahkan diriku. "Tenang..."
"Menurutku sih lucu juga," bual Luke. "Aku sudah mengira
semua dokter itu cuma robot."
"Bohong! Kau sama sekali nggak tahu!" sentakku marah. "Kau
sama takutnya dengan aku dan Clay."
"Siapa bilang!" Luke bersikeras.
"Kurasa anak-anak itu juga robot," Derek berujar, dahinya
mengernyit. "Sejauh ini semuanya cuma bohongan. Ini tidak bagus
untuk acara kita." "Kau benar," Margo sepakat. "Kita ingin membuktikan sesuatu
yang mengerikan tengah berlangsung di sini"ya, kan" Kita ingin
mengungkapkan betapa bahayanya taman hiburan ini. Itu sebabnya,
kita membutuhkan horor sungguhan."
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Yang tadi cukup
sungguhan menurutku," gumamku seraya menunjuk ke arah tempat
praktek dokter gigi tadi.
Dua orang Horor berjalan melewati kami. Mereka membawa
sapu, ekor mereka yang berwarna hijau berayun-ayun di belakang
mereka. Derek dan Margo buru-buru menyembunyikan kamera
mereka di belakang punggung.
"Kupikir kita harus... istirahat sebentar," usul Clay masih
gemetaran. Dilepaskannya kacamatanya dan diusapnya keningnya
yang penuh keringat dengan lengan T-shirt-nya.
"Horor sungguhan," gumam Derek tanpa memedulikannya.
"Ya. Kita butuh horor sungguhan. Kalian sudah terlalu lama berlehaleha, anak-anak!" Ia tertawa.
Tak ada yang ikut tertawa.
"Hei, aku cuma mencoba menghibur kalian," Derek cengarcengir. "Aku mau kalian bertiga keluar dengan selamat dari tempat ini.
Sungguh." Diusapnya dagunya. "Yah... setidaknya dua dari kalian
lah!" Margo mendorongnya. "Kau nggak lucu, Derek. Apa kau tidak
lihat" Mereka tidak menyukai lelucon-leluconmu yang memuakkan
itu." Senyum di wajah Derek lenyap. "Kita harus menemukan
sesuatu yang benar-benar berbahaya," ia bergumam. "Atau kalau
tidak, kita tidak akan punya cerita."
"Hei"bagaimana kalau tempat itu?" seru Margo.
Aku berbalik dan memandang tajam sebuah bangunan tinggi
dan sempit di depan kami, yang menjulang tinggi ke angkasa. Lalu
kubaca tulisan pada papan di pintu gerbangnya.
"Oh, tidak. Tidak!" teriakku.
15 LUKE berlari-lari ke pintu masuk bangunan ifu. "Stop, Luke!"
teriakku sambil mengejarnya. "Kita takkan melakukan ini. Tidak akan
pernah!" Dibacanya tulisan di papan itu dengan suara keras: "'Wahana
Lubang Lift. Terjun Bebas Tercepat di Seluruh Dunia. Ngeri Habis.
Silakan Mampir dan Jatuh Kapan Saja.'"
Kucengkeram bahu Luke dengan kedua tangan dan mulai
menyeretnya pergi. "Tapi kedengarannya asyik!" ia memprotes.
"Siapa bilang asyik" Aku takkan sudi terjun bebas dalam lubang
lift," berondongku. "Bisakah kita mencari sesuatu untuk dimakan?" rengek Clay.
Luke mengayunkan sebelah tinjunya ke depan wajah Clay.
"Bagaimana kalau sandwich isi tinju?" tanyanya cengengesan.
"Luke, ucapanmu benar-benar tolol," bentakku. "Kau nggak
pernah bosan mengucapkan hal-hal tolol seperti itu, ya?"
"Enggak tuh," sahutnya.
"Ayo, waktu bergerak terus," Derek berkata seraya memeriksa
jam tangannya. "Kita harus menemukan sesuatu yang benar-benar
berbahaya." "Hei"itu ada gerobak penjual makanan," seru Clay.
Aku berbalik dan melihat seorang perempuan Horor bertubuh
pendek dan mengenakan celemek ungu sedang mendorong gerobak
kecil berwarna ungu. Kami bertiga langsung saja meluncur
menghampirinya. Tapi serta-merta kuhentikan langkah saat membaca
kata-kata yang dituliskan dalam huruf-huruf kuning manyala di bagian
sisinya: KEPALA-KEPALA KARAMEL.
"Makanan apa itu?" tanyaku.
Horor itu memberi isyarat ke gerobaknya. "Kepala yang telah
disusutkan, kemudian ditusuk pada sebatang lidi," jawabnya, "dan
dilumuri karamel." "Yaik." Perutku langsung saja terasa mual.
"Bagian luarnya rasanya manis sekali," Horor itu memberitahu
kami. "Kepala di dalamnya agak asam. Kecuali matanya."
Disodorkannya sebuah pada kami. Kelihatannya seperti apel
karamel. Hanya saja di balik lapisan tebal dan lengket karamel
berwarna cokelat itu, aku bisa melihat sepasang mata yang tertutup
dan hidungnya. Clay mengerang. Aku menutup mulut dengan tangan.
"Kepala itu"bukan kepala sungguhan, kan?" Luke bertanya.
"Tentu saja," sahut Horor itu. Dan kemudian tawanya meledak.
"Kami takkan pernah menggunakan kepala sungguhan di sini di
HorrorLand"ya, kan?" tanyanya ketus.
Diangkatnya kepala-kepala karamel itu ke arah kami. "Berapa
kalian mau" Satu untuk setiap orang" Atau lebih" Kalian tahu, kan,
dua kepala lebih baik daripada satu." Lagi-lagi ia tertawa.
Tapi kami tidak. Kutatap lekat-lekat kepala yang dilumuri
karamel itu. Kutatap matanya yang tertutup, telinganya yang
menyembul keluar dari cairan cokelat yang lengket itu... bibirnya...
Dan kemudian aku terkesiap saat bibir di kepala itu terbuka.
Dari balik lapisan karamelnya, aku melihat mulut itu terbuka.
Melihatnya bergerak. Melihat bibirnya yang tipis tanpa suara berkata,
"Tolong..." "Kami tak ingin satu pun!" Ucapan itu berasal dari mulutku.
Aku menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari Derek dan Margo.
Apakah mereka merekam kejadian ini" Apakah mereka melihat bibir
di kepala yang telah disusutkan itu bergerak"
Tidak. Mereka telah pergi. Lagi-lagi mereka lenyap.
Horor itu mendorong gerobaknya sambil tertawa sendiri.
Ekornya bergerak-gerak di belakangnya.
Clay mencengkeram tanganku, wajahnya pucat pasi, dagunya
gemetaran. "Lizzy, kaulihat itu" Apakah itu kepala sungguhan?" ia
berbisik. Aku mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Kita harus mencari
Derek dan Margo. Mereka lenyap lagi, dan kita nggak tahu mereka
ingin kita melakukan apa lagi."
"Mungkin mereka sudah pergi duluan," Luke berkata. Ia mulai
berjalan sambil melompat-lompat dan menari di sepanjang jalan kecil
itu. "Luke"tunggu!" seruku. "Bukankah kita harus terus bersamasama?"
Kami melewati menara-menara gelap Istana Drakula dan
kemudian sesuatu yang disebut Taman Serangga. Aku bisa mendengar
bunyi dengungan dan gemeretak yang keras dari balik pagar tanaman
yang tinggi. Aku merinding. Aku benar-benar tak ingin melihat apa
yang ada di sebelah sana.
Jalan setapak itu membelok ke sebuah sungai kecil yang airnya
bergerak pelan. "Hei, lihatlah!" seru Luke sambil menunjuk ke
sekelompok perahu kayu kecil yang mengapung-apung di air.
"Wahana peti mati masih ada lho! Kalian ingat?"
Kubaca papan namanya: PELAYARAN NAIK PETI
MATI. PERJALANAN MENYENANGKAN MENUJU
LIANG KUBUR. "Tentu saja aku masih ingat wahana yang menyeramkan itu!"
tukasku. Musim panas yang lalu, seluruh keluarga kami berlayar
mengarungi sungai itu dalam peti-peti mati. Perjalanan itu santai dan
menyenangkan"sampai tutup peti mati terbanting tertutup di atas
kami, dan kami menemukan bahwa peti-peti itu penuh dengan labahlabah.
"Aku tak mau naik wahana itu lagi," Clay berkata. "Sampai
kapan pun!" "Ke mana sih Derek dan Margo?" aku bertanya tak sabar.
"Kenapa mereka nggak pernah ada" Kelakuan mereka benar-benar
tidak terpuji." "Yeah. Mereka kan sudah berjanji akan menjaga kita," tambah
Clay. Kami susuri lagi jalan setapak itu. Sekarang kami berjalan di
bawah bayang-bayang dinding batu bata yang seakan tak ada habishabisnya. Pepohonan yang tinggi menjulang dari balik dinding, hingga
menghalangi sinar matahari.
Udara terasa semakin dingin. Aku tak melihat siapa pun di
dekat kami. "K-kurasa Derek dan Margo tak mungkin lewat sini," kataku
gugup. "Kurasa kita berjalan terlalu jauh. Sebaiknya kita kembali
saja." "Ah, kita lihat saja apa yang ada di depan sana," desak Luke. Ia
berjalan mundur sambil berjingkrak-jingkrak.
Dan tepat menabrak seorang Horor berotot dan berbadan besar,
yang muncul entah dari mana.
"Hei!" pekik Luke terkejut. Buru-buru ia menjauh dari Horor
itu. Si Horor menatap kami dengan galak. Ia tinggi seperti
gunung"setidaknya tingginya dua setengah meter! Lengannya yang
hijau tampak nyata di balik seragam ungunya, mempertontonkan
bisepnya yang sebesar bola voli!
"S-saya rasa kami tersesat," aku memberitahunya.
Ia mengangguk. "Benar. Kalian memang tersesat!" gelegarnya.
Sebelum kami sempat bergerak, tiga orang Horor berotot dan
berbadan besar keluar dari celah di dinding. Mereka mengepung kami.
Lalu menyebar. Dan mengangkat sebuah mata jaring berwarna hitam
tinggi-tinggi di atas kepala kami.
"Hei"ada apa ini?" bentak Luke.
"Kami sedang memancing," Horor yang berbadan raksasa
bergumam. Aku menjerit saat mereka menjatuhkan jaring itu, menjerat
kami bertiga di dalamnya.
"Apa yang kalian lakukan?" hardikku. "Lepaskan kami!"
Horor-horor itu tak mengatakan apa-apa. Mereka malah
mempererat jaring itu. Kami meronta. Mengayun-ayunkan tangan. Mencoba melawan.
Namun mereka menyeret kami menyusuri jalan setapak.
Mendorong dan menarik kami sepanjang dinding yang berkelokkelok.
"Ke mana kalian membawa kami?" suara Clay nyaring.
"Kenapa kalian tidak mau bicara?"
Aku mengintip dari balik jaring, berusaha melihat apakah Derek
dan Margo ada di belakang kami.
Tak ada tanda-tanda mereka.
"Lepaskan kami!"
"Kalian tak bisa melakukan ini!"
Mereka tak memedulikan seruan-seruan kami. Salah satu dari
mereka mendorongku dengan kasar dari belakang. Aku berjalan
terhuyung-huyung melewati sebuah celah kecil pada dinding.
"Hentikan! Keluarkan kami!" sentakku.
"Jalan terus," Horor yang berbadan raksasa menggeram.
Mereka menyeret kami ke dalam kegelapan di sepanjang jalan
batu bata kecil yang dibatasi oleh dua buah tembok. Lalu kami
melewati sebuah pintu yang rendah. Dan kemudian menuruni anakanak tangga batu yang curam, basah, dan licin oleh lapisan berwarna
hijau. "Ke mana kalian membawa kami?" desakku marah.
"Orangtua kami akan mencari kami," bual Luke. "Mereka tepat
di belakang kami. Kami akan memberitahu mereka?"
"Kau takkan memberitahu mereka apa-apa," salah satu Horor
bergumam seraya mendorong punggungku sekali lagi.
"Heiii?" tukasku. Lalu kami pun terjatuh sepanjang sisa
tangga. Anak-anak tangga itu terasa keras dan lembap. Kami bertiga
mendarat di kaki tangga, saling bertindihan di dalam jaring.
Saat kami susah payah bangkit berdiri, Horor-Horor itu menarik
lepas jaring yang menjerat kami.
"Saya mohon...," Clay mengiba-iba pada mereka. "Tolong..."
Kulihat dagunya bergetar. Matanya membelalak lebar oleh rasa takut.
Kakiku gemetaran saat aku berdiri. Aku menunduk dan menarik
Luke bangkit berdiri. Lalu aku memandang sekitarku.
Kami berada di sebuah bilik batu rendah yang kosong
melompong. Sebuah obor di dindingnya mengirimkan bayang-bayang
yang berkedip-kedip di permukaan lantai batunya. Sebuah ambang
pintu yang sempit di dinding bagian belakang hanya menyajikan
kegelapan. Aku bisa mendengar bunyi TES TES TES air dari suatu
tempat di dekat situ. Para Horor berbalik dan mundur selangkah saat seorang Horor
lain memasuki ruangan. Jubahnya yang berwarna ungu berkibaran di
belakangnya. Kepalanya dibungkus topeng hitam yang panjang.
Sepasang mata kuning yang terang menatap kami lewat lubang mata
kecil pada topeng itu. "Ini para sukarelawan Anda, Sir," ujar Horor yang berbadan
raksasa dengan suara menggelegar.
Horor yang bertopeng itu menatap kami, sebelah tangannya
menyentak bagian leher jubahnya. "Tiga orang," ia bergumam pada
diri sendiri. "S-siapa kau?" akhirnya aku berhasil berkata.
"Aku Kepala Penjara Bawah Tanah, tentu saja," jawabnya
dengan suara parau dan mendengus.
"Kenapa kau membawa kami kemari?" desakku.
"Kau harus melepaskan kami!" sentak Luke. "Kami tak mau
mengunjungi penjara bawah tanah. Kau tak boleh memaksa kami!"
"Lepaskan kami!" beo Clay.
Kepala Penjara Bawah Tanah itu tak memedulikan kami. Ia
berpaling kepada Horor yang berbadan amat kuat. "Ada yang
menemani mereka tadi?"
"Tidak," Horor itu menyahut.
"Ada yang melihat kalian membawa mereka kemari?" si Kepala
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penjara bertanya. Horor yang berbadan raksasa menggelengkan kepala. "Tidak.
Tidak ada siapa-siapa. Tak seorang pun melihat kami."
"Bagus," si Kepala Penjara berbisik parau dari balik topengnya.
Disatukannya kedua telapak tangannya dan dikertakkannya buku-buku
jarinya keras-keras, semuanya sekaligus.
Aku bergidik ngeri. Kedengarannya seperti suara tulang-tulang
berpatahan. "Bagus," ulangnya sambil berpaling ke arah kami. "Aku senang
sekali ada yang menemaniku. Aku mulai merasa bosan."
16 "KAU tak boleh menahan kami!" seruku dengan suara bergetar.
"Apa yang akan kaulakukan?"
Kepala Penjara itu tertawa gelak-gelak. "Yah... tempat ini
dinamakan Penjara Bawah Tanah Tanpa Jalan Keluar," ia berkata.
"Tidakkah nama itu memberimu sedikit petunjuk?"
Kami bertiga terbeliak menatapnya. "Ini... ini cuma lelucon"
ya, kan?" Luke akhirnya berkata.
Di balik topengnya, mata si Kepala Penjara yang berwarna
kuning berkilat-kilat. "Ya," ujarnya parau. "Tapi kalianlah korban
lelucon itu." Ia berpaling pada Horor-Horor yang lain. "Ayo, bawa
mereka ke bawah," perintahnya.
Para Horor bertampang seram itu bergerak cekatan. Mereka
menyeret kami menuruni anak-anak tangga batu yang melingkar lagi.
Kami tak punya pilihan. Sambil berpegangan pada tembok yang
lembap dengan sebelah tangan, kami pun turun. Udara semakin
dingin. Bau apak dan asam melayang naik menyambut kami.
Aku gemetaran. Dalam cahaya kuning yang suram dapat kulihat
uap napasku di depanku. Di bawah sana aku mendengar suara tetesan
air yang stabil, bergema samar di dinding-dinding batu. Dan dari suatu
tempat di kejauhan, terdengar erangan yang panjang dan sedih.
Erangan manusia. "Orangtua kami akan mencari kami," seruku pada para Horor di
belakang kami. "Kalian takkan bisa menahan kami di sini."
"Diam, dan jalanlah terus. Kalian hampir tiba," salah satu dari
mereka menjawab dengan ketus.
Di mana sih Derek dan Margo" aku bertanya-tanya. Apakah
mereka kehilangan jejak kami" Atau mereka sebetulnya tahu kami ada
di bawah sini" Apakah mereka bersembunyi entah di mana, merekam
semua kejadian ini" Kalau mereka memang di sini, mereka seharusnya menolong
kami, kataku pada diri sendiri. Kejadian-kejadian mengerikan sebelum
ini mungkin saja cuma lelucon. Tapi yang ini kelihatannya sungguhan.
Terlalu nyata... "Ohhh!" Aku tergelincir di anak tangga yang basah. Kuulurkan
tangan dan berpegangan pada dinding yang dingin dan kasar supaya
tidak jatuh. Cairan lengket yang berwarna hijau dan berlumut
menempel di tanganku. "Keluarkan kami dari sini!" aku memohon dengan lemah.
"Kalian tak bisa menahan kami di penjara bawah tanah yang konyol
ini!" Mereka tak menjawab. Kami memasuki ruangan luas dan berlangit-langit tinggi yang
penuh peralatan. Peralatan penyiksaan. Tali-tali bergelantungan dari
langit-langit. Rantai rantai, lengkap dengan borgol, terpasang
sepasang-sepasang pada dinding.
Aku menabrak sebuah roda kayu yang tinggi dan dilapisi pasakpasak besi. Di depanku kulihat sebuah kandang kecil, juga penuh
dengan pasak besi. Jeritan yang keras membuatku terlompat dan berteriak. Jeritan
kesakitan dan ketakutan. Dan diikuti dengan jeritan melengking yang
lain, kali ini lebih lemah.
Kepala Penjara Bawah Tanah itu memasuki ruangan. "Jangan
pedulikan rengekan yang menyedihkan itu," ia berkata. Ia memberi
isyarat ke dinding di seberang kami. "Itu suara sukarelawan lain yang
sedang menikmati keramahtamahan kami. Aku khawatir dia payah
sekali." Didorongnya jubahnya ke belakang. "Kalian sedang
mengagumi kamar penyiksaanku," ia berkata. "Mari kutunjukkan
koleksi peralatanku."
Ia mengangkat sebuah alat kecil yang terbuat dari metal. "Alat
ini pas di ibu jarimu," ia berkata. "Lalu kukencangkan sekrup ini.
Lebih kencang... lebih kencang lagi..."
Aku tercekat. Ia tertawa. "Benar. Sakit sedikit. Tapi setelah beberapa lama di
penjara bawah tanahku, kau akan terbiasa dengan rasa sakit."
Luke menunduk menatap ibu jarinya, lalu ganti menatap alat
kecil itu. "Apakah kau... akan memakaikan alat itu pada kami?" ia
bertanya dengan suara kecil.
Kepala Penjara itu menggelengkan kepala. "Aku punya rencana
lain untuk kalian. Pokoknya sesuatu yang lebih seru."
Ketiga Horor mendorong kami maju. "Naik ke panggung itu,"
Horor yang berbadan raksasa memberi perintah.
Didorongnya aku keras-keras. Kami naik ke sebuah panggung
kecil berbentuk segiempat yang setengah masuk ke lantai. Begitu
kami berada di atasnya, panggung itu mulai bergerak turun.
Pintu rahasia, aku tersadar.
Batu bergesekan dengan batu. Panggung itu bergeser turun,
terantuk dan tersendat setiap beberapa senti. Aku berusaha menjaga
keseimbanganku. Ke mana benda ini akan membawa kami"
"Kalian pernah melihat seekor ferret?" si Kepala Penjara
berteriak dari atas. Apa" Ferret" Binatang pengerat kecil itu"
"Temanku punya ferret," sahut Luke.
"Seperti apa sih rupanya?" tanya Clay.
"Binatang itu berbulu cokelat. Tubuhnya sangat kurus dan kakikakinya pendek," Luke memberitahu.
"Tapi bulu di sekeliling matanya berwarna hitam," aku
menambahkan. "Seperti topeng."
"Besar?" "Ukurannya kurang-lebih segini." Luke melebarkan kedua
tangannya ke kiri dan kanan selebar enam puluh senti.
"Berbulu, kurus, pendek, bertopeng, berukuran sedang," Clay
menyebutkan satu per satu. "Kayaknya nggak terlalu jelek," ia berkata
gugup. "Ya, kan?" "Tidak terlalu jelek?" si Kepala Penjara tertawa terkekeh-kekeh.
"Kalian pernah mendengar ferret yang kelaparan?"
Kami tak punya waktu untuk menjawab. Panggung itu
berguncang saat menyentuh dasar.
Clay sampai terjatuh. Ia jatuh miring di atas batu-batu yang
lembap. Jatuhnya keras, lagi. Aku dan Luke melompat turun. Luke
membantu Clay bangkit. Aku mengedarkan pandang dengan cepat. Mataku berhenti pada
tulisan di dinding di depan kami: BERI MAKAN FERRET-FERRET.
"Oh, tidak! Lihat!" Luke mencengkeram lenganku.
Aku berbalik ke arah yang dimaksudnya.
Dan melihat mata-mata hitam kecil"ratusan mata yang
bersinar-sinar"balas menatap kami.
Suara cericit semakin jelas terdengar. Lalu detak-detak kaki
memukul lantai saat binatang-binatang itu beranjak dan mulai
bergerak. Ferret-ferret kelaparan, pikirku Ferret-ferret kelaparan... beri
makan ferret-ferret... beri makan ferret-ferret yang kelaparan itu...
Kata-kata itu terus bergema berulang-ulang di benakku seperti kaset
rusak. "Lekas"lari!" Aku menahan napas.
Tapi di belakang kami ada dinding.
Tak bisa lari ke mana-mana. Tak bisa bergerak ke mana-mana.
Bayangan-bayangan kelabu. Kepala-kepala licin dan berbulu.
Bunyi gigi beradu. Mata-mata yang dingin dan hitam...
Sambil mencicit dan mengatup-ngatupkan rahang, ferret-ferret
itu menyerbu. Kami semua menjerit dan mundur ke dinding.
Menempel putus asa ke dinding batu yang dingin, kami melihat
mereka maju menyerang. 17 "TIIDDDAAAK!" Teriakan ngeri terlepas dari leherku.
Mata-mata yang bulat dan hitam itu! Mata-mata berbentuk
kelereng yang bersinar-sinar itu! Mata-mata kelaparan itu!
Sambil menjerit melengking binatang-binatang itu melompat ke
arah kami. "Ohhhh!" Kututup mataku dengan tangan.
Bisa kurasakan tubuh-tubuh yang hangat dan berbulu itu
berkerumun di sekeliling kakiku.
"Pergi!" bentakku seraya menggerak-gerakkan kaki,
menendang-nendang makhluk-makhluk yang kelaparan itu.
Ratusan gigi yang tajam-tajam menggerogoti jins-ku. "Stop!"
teriakku. "Jangan ganggu kami!"
Ferret-ferret itu semakin ketat mengepung kami. Mereka
merangkak ke atas yang lain; begitu bernafsu menyerang kami. Jeritan
mereka semakin lama semakin nyaring.
"Mereka akan memakan kita hidup-hidup!" ratap Clay.
"Ooooo." Aku meraung saat seekor ferret melompat dari
kerumunan yang kelaparan itu. Dengan mulut menganga dan gigi
kelihatan, binatang itu melemparkan dirinya ke arahku.
Kusentakkan tubuhku ke samping untuk menghindarinya"dan
sikuku menyentuh sesuatu. Sebuah tombol kecil pada permukaan batu.
Terdengar suara dengungan saat dinding mulai bergerak.
"Apa ini?" Kubuka mata dan melihat dinding batu itu berputar.
Dinding itu berputar 180 derajat, mendorong kami bertiga
keluar dari penjara bawah tanah. Mengirim kami keluar.
Terbengong-bengong, kudengar bunyi BUK yang samar. Lalu
sekali lagi. Dan sekali lagi. Kemudian lusinan BUK yang keras di
balik dinding. Ferret-ferret yang kelaparan itu rupanya telah maju menyerang,
melompat ke arah tembok, melemparkan diri mereka, begitu inginnya
melahap kami. "Wow." Sambil berkedip-kedip aku memandang menembus
sinar matahari yang terik. Luke dan Clay tampak kebingungan, tapi
baik-baik saja. "Huh... nyaris saja...," gumam Clay.
"Enak saja kau bilang nyaris. Ferret-ferret itu sungguhan!" ujar
Luke sambil menggelengkan kepala. "Dan mereka amat sangat
kelaparan." Aku menatap lurus-lurus, masih menantikan jantungku berhenti
berdebar keras. "Bagaimana kalau aku tak menemukan tombol itu
tanpa sengaja?" tanyaku menahan napas. "Bagaimana kalau..."
Suaraku menghilang. Aku berbalik dari dinding. Aku sadar aku takkan pernah
melupakan mata-mata ferret yang hitam dan bersinar-sinar itu. Aku
takkan pernah bisa mengenyahkan suara yang ditimbulkan oleh tubuh
mereka yang mirip tikus saat menabrak dinding batu, dari benakku.
Bicara soal nyaris! Kulindungi mataku dengan sebelah tangan dan mencari-cari
Derek serta Margo. Tak ada tanda-tanda mereka.
"Di mana sih mereka?" raungku. "Aku sudah muak dengan
HorrorLand. Aku nggak peduli dengan acara TV mereka yang konyol
itu. Aku ingin pergi dari sini!"
"Aku juga," sambut Clay.
"Mungkin mereka bersembunyi," usul Luke. "Untuk merekam
semuanya." "Aku nggak peduli," bentakku. "Tempat ini terlalu berbahaya."
Wajah Clay yang bulat dan pucat kembali tampak seperti
burung hantu ketakutan. "Mungkin Derek dan Margo mengalami
kesulitan," ia berbisik. "Mungkin mereka diseret ke penjara bawah
tanah atau apa, seperti kita tadi."
"Aku nggak peduli," erangku. "Aku ingin keluar dari sini.
Kurasa kita harus?" "Coba lihat itu!" potong Luke, seraya menunjuk ke sebuah
lingkaran di atas rerumputan.
Aku melihat sebuah panggung kecil bertirai hitam dengan
barisan-barisan bangku di depannya. Lukisan-lukisan besar kelincikelinci putih yang ditarik dari topi sulap berdiri di kiri dan kanan
panggung kecil itu. Luke menarikku ke papan bertulisan di sisi teater bertirai hitam
itu. AMAZ-O SI TUKANG SULAP. MUNCUL"DAN LENYAP!"
SETIAP HARI. "Hah" Apa yang dilakukannya di sini?" seruku. "Ia pesulap
yang sangat terkenal." Kupandangi foto Amaz-O di papan itu. Ia
mengenakan jubah dan dasi kupu-kupu yang berkilauan. Rambutnya
yang hitam terurai dari batik topi pesulap yang mengilap, dan ia
memiliki sepasang mata yang berkilat-kilat, serta senyum jahat yang
lebar. Aku memperhatikan dua keluarga mengambil tempat duduk.
Beberapa anak lain sudah duduk di situ, menantikan pertunjukan
Amaz-O. "Mungkin sebaiknya kita tunggu Derek dan Margo di
pertunjukan sulap itu saja," aku mengusulkan. "Kita akan aman.
Soalnya ada banyak orang di situ."
"Dan kita juga bisa menonton pertunjukannya!" sembur Luke.
"Amaz-O pesulap hebat. Aku pernah melihatnya di TV."
"Tidak terlalu menakutkan, kan?" Clay bertanya. Ia masih pucat
dan gemetaran karena petualangan kami di penjara bawah tanah itu.
"Ah, cuma permainan sulap kok," kata Luke padanya seraya
berjalan cepat menuju panggung. "Yuk!"
Aku dan Clay mengekor di belakangnya. Kami bertiga duduk di
barisan ketiga. Aku merasa senang bisa duduk. Kutarik napas panjang dan
mengeluarkannya pelan-pelan. Teater kecil itu dalam waktu singkat
sudah dipenuhi anak-anak dan para orangtua mereka.
Aku merasa jauh lebih aman dikelilingi orang-orang. Tapi aku
masih menengok ke belakang sebentar-sebentar, mencari-cari Derek
dan Margo. Apa sih yang menahan mereka"
Matahari siang tergantung tinggi di angkasa. Udara terasa basah
dan lengket. Tak ada angin sama sekali.
Kuusap keningku dengan punggung tangan. Wah, enak juga
kalau minum yang dingin-dingin, pikirku. Tapi semua gerobak
makanan yang kami lihat sejauh ini benar-benar menjijikkan.
Suara musik terompet yang keras membuyarkan pikiranku.
Sebuah pengeras suara menggelegar hidup, lalu terdengar suara
yang dalam mengumumkan, "Ibu-ibu dan Bapak-bapak, anak-anak
semuanya, HorrorLand dengan bangga mempersembahkan Jagoan
Sulap"Amaz-O si Tukang Sulap!"
Amaz-O naik ke panggung dengan angkuh sambil diiringi
musik. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak sementara AmazO menyapukan jubahnya yang berkilauan dan memberi hormat
beberapa kali. Lalu musik lagi. Sambil tersenyum pada penonton, Amaz-O
membuka topi sulapnya dan mulai mengeluarkan aneka macam benda
dari dalamnya. Senyumnya tak pernah lenyap sementara tangannya
menarik rangkaian saputangan aneka warna, yang panjang sekali.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu diulurkannya tangannya lebih dalam lagi dan mulai
mengeluarkan bola-bola karet. Jumlahnya banyak sekali. Setelah itu
diputar-putarnya topi itu, ditepuknya dua kali dengan tongkat
sulapnya yang pendek dan berwarna hitam, dan mulai menarik keluar
kelinci-kelinci. Satu per satu kelinci-kelinci itu keluar dari topi diiringi
sorak-sorai penonton. Panggung kecil itu penuh dengan kelinci yang melompatlompat tak tentu arah dalam lingkaran, saling bertabrakan satu sama
lain. "Nah, kosong sudah!" akhirnya Amaz-O berkata. Diangkatnya
topi itu tinggi-tinggi dan kemudian dengan tangannya yang lain
ditekannya topi itu hingga rata. "Oh, sebentar!" Ditatapnya topi yang
telah rata itu. "Aku melupakan sesuatu di dalamnya!"
Dipukulnya topi itu hingga kembali ke bentuk semula. Lalu ia
mulai mengeluarkan burung-burung merpati dari dalamnya.
"Bagaimana sih dia melakukannya?" Clay menanyai adikku.
Luke mengangkat bahu. "Kurasa dia menyembunyikannya di
lengan bajunya." Amaz-O menyajikan trik-trik sulapnya satu per satu. Dia benarbenar hebat. Biarpun duduk begini dekat, yaitu di baris ketiga, kami
tetap saja tak bisa melihat bagaimana ia melakukan permainan
sulapnya itu. Tapi aku tidak sedang terlalu bersemangat menikmati sulap.
Hari ini terlalu mengesalkan, terlalu mengerikan. Dan aku mulai
mengkhawatirkan nasib Derek dan Margo.
Aku tidak terlalu memperhatikan pertunjukan Amaz-O. Aku
sebentar-sebentar menoleh ke belakang, berharap melihat Derek dan
Margo datang menjemput kami.
Aku cuma setengah mendengar waktu Amaz-O menunjuk ke
arahku. "Ya. Kau," ia berkata.
"Apa?" Mulutku menganga.
Ia memberi isyarat supaya aku maju ke depan. "Ayo, cepat.
Kaulah sukarelawanku."
"Tapi?" Aku mulai memprotes.
Di sebelahku, Luke dan Clay tertawa. "Ayo, Manis!" teriak
Luke. "Lekas, Lizzy"naiklah ke sana!"
Aku sedang tidak mood untuk semua ini. Tapi belum lagi
menyadarinya, aku sudah berdiri di atas panggung di samping AmazO. Lututku gemetaran, dalam hati aku berpikir permainan sulap apa
yang akan dipraktekkannya padaku.
Aku tak perlu menunggu terlalu lama. Aku mendengar raungan
yang keras dan tidak bersahabat. Tirai hitam di belakang kami
terangkat. Aku berbalik dan melihat dua harimau besar mondarmandir di dalam kandang besi yang tinggi.
"Ini trik kandang harimauku yang terkenal!" Amaz-O berkata.
Ia menyeringai kepadaku, matanya bersinar-sinar. "Salah satu dari kita
akan masuk ke dalam kandang harimau itu. Bisa kautebak siapakah
itu?" Debar jantungku semakin cepat. Salah satu harimau dengan
marah mengiriskan cakarnya pada jeruji kandang. Yang satu lagi
menarik bibirnya dan memamerkan giginya.
"Jangan pedulikan mereka," seru Amaz-O, masih menyeringai.
"Mereka cuma marah karena aku menghabiskan sarapannya pagi
tadi!" Ia menepuk-nepuk punggungku. "Mungkin kau bisa jadi makan
siangnya!" Aku mendengar Luke dan Clay tertawa keras di tengah
penonton. Aku mencoba berbalik. Namun Amaz-O dengan tegas
membimbingku masuk ke pintu kandang.
Kedua harimau meraung dan memamerkan gigi mereka.
Dengan penuh minat mereka memperhatikan Amaz-O membuka selot
pintu kandang dan mulai menarik pintunya hingga terbuka.
"Sukarelawan kita yang pemberani memasuki kandang
harimau"dan kedua harimau akan lenyap di udara yang tipis!" AmazO mengumumkan kepada para penonton.
"Uh... ini aman, kan"benar?" aku berbisik.
Ia mengangguk. "Pokoknya ingat saja satu hal penting," ia balas
berbisik. "Kalau kau sudah ada di dalam situ, jangan biarkan mereka
melihat bahwa kau ketakutan. Mereka bisa mencium perasaan takut
dari jarak satu mil. Apa pun yang kaulakukan, lakukanlah dengan
berani." Dibukanya pintu kandang dengan sebelah tangan"dan
didorongnya aku ke dalamnya dengan tangan yang lain.
"Jangan, tunggu"kumohon!" seruku.
Kudengar pintu itu berbunyi menutup di belakangku.
Sambil menatapku dengan dingin, kedua harimau itu
merundukkan kepala, seolah-olah bersiap-siap menyerang. Mereka
menggeram pelan. Yang satu mengais lantai kandang.
"Tunggu!" jeritku saat kegelapan jatuh ke atasku.
Tirai itu! Amaz-O telah menurunkan tirai itu.
Sekarang gelap gulita. Bisa kudengar geraman pelan harimauharimau itu, juga napas mereka yang berat. Tapi aku tak bisa melihat
mereka. Dan kemudian... aku mundur kaget saat kudengar raungan
marah. Lalu detak langkah kaki-kaki yang berat.
Kini aku bisa merasakan napas panas harimau-harimau itu di
wajahku. Aku mundur. Menekan punggungku di jeruji dingin kandang
kecil itu. Kedua harimau itu kembali meraung. Kali ini raungannya keras
sekali. "Keluarkan aku dari sini!" seruku.
"Tarik ke atas tirainya!" Teriakan ketakutan Amaz-O dari depan
panggung membuatku terkesiap. "Tarik! Ada yang tidak beres!"
Amaz-O memekik. "Cepat! Ada yang benar-benar tidak beres!"
18 KUPEJAMKAN mataku. Dan jatuh berlutut di lantai kandang.
Dan menunggu harimau-harimau itu menyerang. Menunggu
rasa sakit itu. Sebuah raungan marah lagi membuatku menjerit.
Aku mendengar suara-suara menahan napas dari arah penonton.
Lalu suara tepuk tangan. Tirainya telah diangkat. Harimau-harimau itu telah lenyap. Lenyap di udara yang tipis"
tepat seperti yang dijanjikan Amaz-O.
Sekujur tubuhku gemetaran. ebukulawas.blogspot.com
Kenapa Amaz-O tidak memberitahuku apa yang akan terjadi"
Kenapa ia tidak memperingatkan aku"
Trik harimau itu sama saja dengan semua yang terjadi di
HorrorLand ini"terlalu mengerikan untuk jadi menyenangkan.
Terlalu berbahaya. Terlalu nyata...
Kucengkeram jeruji kandang dan kutarik diriku hingga berdiri.
Amaz-O telah meninggalkan panggung. Pertunjukan sudah selesai.
Orang-orang berjalan meninggalkan teater kecil itu.
Aku menelan ludah dengan susah payah dan memandang
seputar kandang. Aku tak bisa melihat satu jalan rahasia pun di
lantainya. Bagaimana cara harimau-harimau itu lenyap"
"Hei!" aku mencoba berteriak. Namun leherku masih tegang
oleh rasa takut. "Hei"siapa yang bakal mengeluarkanku dari sini?" aku
berhasil berteriak. "Hei"siapa saja..."
Sambil terus mencengkeram jeruji itu aku memandang ke luar.
"Hei"aku masih terkunci di sini!"
Aku tak melihat siapa-siapa di belakang panggung. Di depanku,
barisan bangku-bangku berdiri kosong.
"Hei"Luke" Clay" Di mana kalian?" seruku. "Tolong"siapa
saja, keluarkan aku dari sini!"
19 SEORANG Horor yang kelihatannya sangat kuat aan
mengenakan seragam petugas keamanan menatapku tajam dari lantai
teater. "Hei"pertunjukannya sudah selesai!" ujarnya tegas. "Pergi
dari situ!" "Mereka melupakan saya!" teriakku.
"Ayo, pergi," perintahnya. "Pertunjukannya sudah selesai.
Semua sudah pergi." "Tapi saya terkunci di dalam sini!" protesku.
"Alasan!" Ia menatapku dengan pandangan marah.
"Apa katamu?" Aku bergerak ke pintu kandang. Lalu kudorong
jerujinya. Pintu kandang itu terbuka.
Tidak terkunci seperti yang kusangka.
"Uh... terima kasih," aku bergumam. Tapi Horor itu sudah
pergi. Sambil menarik napas panjang, aku melangkah keluar dari
kandang. Lalu melompat menuruni panggung. Dan berteriak
memanggil Luke dan Clay. Batang hidung mereka sama sekali tak kelihatan.
Aku berhenti di depan poster-poster kelinci yang besar-besar di
luar teater. "Luke" Clay" Hei!"
Dua orang anak laki-laki berjalan sepanjang pagar tanaman, di
tangan mereka tergenggam kepala karamel. Mereka berjalan sambil
menjilati makanan itu. Kukejap-kejapkan mataku, kusangka itu Luke
dan Clay. Rupanya bukan. Sekali lagi aku meneriakkan nama mereka.
Aku berlari menyusuri jalan setapak yang melewati teater,
mencari-cari ke segala penjuru. Lalu aku berlari ke arah semula. Tapi
tak ada tanda-tanda mereka.
Ada yang tidak beres, ujarku pada diri sendiri. Mestinya mereka
ada di sini. Mereka nggak bakal pergi ke mana-mana tanpaku.
Ke mana aku harus mencari mereka" aku bertanya-tanya. Apa
di sini ada pos tempat mengumumkan orang-orang hilang" Mungkin
mereka telah menemukan Derek dan Margo. Mungkin mereka semua
sedang menungguku di pintu gerbang depan.
Aku melihat selembar peta taman hiburan yang dilekatkan di
dinding. Buru-buru aku menghampirinya. Mataku menyapu peta itu.
Tulisan di sebelah sebuah anak panah berwarna merah berbunyi: KAU
ADA DI SINI. KAU TAKKAN PERGI KE MANA-MANA.
"Nggak lucu," gerutuku. Dengan putus asa aku berusaha
memutuskan jalan setapak mana yang akan membawaku ke pintu
gerbang muka taman hiburan ini. Kutelusurkan jariku di sepanjang
peta. Lalu aku cabut dari situ.
Aku melewati Pelayaran Naik Peti Mati di sungai. Lalu wahana
bernama ARUNGI ARUS SUNGAI YANG DERAS: WAHANA
RAKIT BOCOR. Aku berjalan cepat melewati sebuah papan
bertulisan: KLUB MENJERIT. Aku bisa mendengar anak-anak
menjerit-jerit keras di dalam gedung di situ.
Matahari sore tergantung semakin rendah di balik pepohonan.
Bayang-bayang panjang terentang sepanjang jalan setapak. Beberapa
anak jalan melewatiku, mereka tampak lelah dan murung. Tapi taman
hiburan itu bisa dibilang nyaris sepi sama sekali.
Pinggangku mulai terasa sakit, dan aku harus memelankan
langkah. Aku mendengar bunyi bising biji-biji boling. Papan di depan
sebuah bangunan rendah yang panjang berbunyi: BOLING TANPA
KEPALA. Aku tidak berhenti untuk melihat permainan seperti apa itu.
Di mana sih mereka berdua" aku menanyakan diriku sendiri
untuk keseratus kalinya. Ke mana sih perginya mereka"
Rasanya lama sekali, tapi akhirnya aku berlari pelan dan tiba di
pelataran beton yang luas di bagian depan taman hiburan. Aku bisa
melihat gedung kantor kecil di sebelah kananku. Pintu-pintu gerbang
masuk tampak menjulang di depanku.
"Hei!" Serta-merta aku menghentikan langkah saat kulihat
Derek dan Margo di dekat gerbang. "Hei!" Aku mencoba memanggil
mereka. Tapi aku sudah berlari lama sekali, hingga napasku terengahengah.
Aku berhenti sambil memegangi pinggang. Dan terkesiap kaget.
Apa yang terjadi" Empat orang Horor mengelilingi Derek dan Margo. Mereka
mendorong suami-istri itu dengan kasar ke pintu keluar.
Derek dan Margo tampak berteriak-teriak marah, tangan mereka
bergerak-gerak liar. Mereka mencoba melepaskan diri dari HororHoror itu.
"Tunggu!" jeritku.
Kulihat dua Horor merampas kedua camcorder dari tangan
mereka. Horor-Horor itu dengan marah melempar kamera-kamera
video itu ke lantai beton dan menginjak-injaknya.
Mereka mendorong Derek dan Margo keluar dari taman
hiburan, kemudian membanting pintu gerbang hingga tertutup.
"Jangan"tunggu!" seruku panik. "Stop! Kembali!"
Sambil berteriak-teriak dan melambai-lambaikan kedua tangan,
aku berlari ke gerbang. Keempat Horor itu bergerak dan menghalangi jalanku.
"Saya membutuhkan mereka!" seruku kehabisan napas. "Derek!
Margo! Tunggu! Kumohon!"
Aku mencoba berlari melewati para Horor itu dan mendekat ke
pintu gerbang. Tapi mereka bergerak cepat sekali. Mereka
mengelilingiku. "Mereka sudah pergi dari sini. Mereka tidak bakal kembali
kemari," salah satu Horor menggeram.
Horor yang lain mendekatkan wajah hijaunya ke wajahku lalu
menyeringai, "Kenapa memangnya" Tidak suka?"
20 "MEREKA melanggar peraturan," salah satu Horor
menggeram. "Mereka terpaksa harus pergi."
Horor yang lain masih terus menempelkan wajahnya di dekat
wajahku. "Mungkin kau juga harus meninggalkan tempat ini," ia
berbisik. Dicengkeramnya pergelangan tanganku.
"Tidak!" sergahku. Kutarik tanganku hingga terlepas. "Saya
harus mencari adik saya dan temannya! Saya tak bisa meninggalkan
tempat ini!" "Sudah waktunya pergi," Horor itu mendesak.
"Tidak! Tidak tanpa Luke dan Clay!" sentakku. "Mereka
tersesat!" Keempat Horor itu tertawa keras-keras. "Jangan bikin kami
tertawa. Bibir kami pecah-pecah nih!" salah satu dari mereka
mencemooh. Ia menarik pintu gerbang hingga membuka, lalu memberi
isyarat padaku untuk pergi. "Keluar."
"Tidak!" tukasku keras kepala. "Nggak mau!"
Ia mencoba menangkapku lagi.
Aku berbalik dan mulai berlari. Sambil tersengal-sengal dan
dengan dada naik-turun, aku berlari menyeberangi pelataran dan
kembali ke sebuah jalan kecil.
Apakah mereka masih mengejarku"
Yap! "Siaga penuh!" seorang dari mereka berteriak kepada
gerombolan Horor yang lain. "Siaga penuh! Tangkap dia!"
Oh, tidak! pikirku. Sebentar lagi setiap Horor di taman hiburan
ini akan dikerahkan untuk menangkapku.
Bulir-bulir keringat turun membasahi wajahku. Tapi aku merasa
dingin, amat dingin. Bulu kudukku meremang. Kakiku terasa lemas
dan lemah. "Luke! Clay!" kuteriakkan nama mereka.
Di mana sih kedua anak itu" Aku harus menemukan mereka"
sebelum Horor-Horor itu menangkapku lebih dulu.
Aku benar-benar sendirian sekarang, sendirian di taman hiburan
yang mengerikan ini. Derek dan Margo sudah pergi. Sekarang
semuanya tinggal tergantung padaku seorang. Tergantung padaku
untuk menemukan Luke dan Clay dan mengeluarkan kami semua
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan selamat dari tempat menyeramkan ini.
"Luke! Clay!" Aku berlari dengan kecepatan penuh sepanjang Kota Zombie
yang gelap walaupun matahari masih bersinar. Melewati Gudang
Kelelawar dan Seluncuran Ajal.
Dengan jantung bertalu-talu, aku berlari melewati toko
cenderamata yang kecil. Lusinan kostum Horor berwarna hijau
tergantung di etalasenya.
Kok ada ya, yang mau membeli kostum Horor" aku bertanyatanya.
Aku terus berlari sambil memanggil-manggil Luke dan Clay.
Dengan setiap langkah aku merasa semakin ketakutan. Aku terusmenerus berkata pada diriku agar tidak panik"tapi sudah terlambat.
Terlambat... terlambat...
Pada saat aku menemukan mereka, bagaimana kami akan keluar
dari sini" aku menanyakan diriku. Dan bagaimana kami bisa pulang"
Satu-satu, Lizzy, aku membentak diriku.
Aku berbelok"dan melihat dua orang Horor berjalan ke
arahku. "Itu dia!" salah satu dari mereka berteriak. Mereka
merundukkan tanduk mereka dan mulai berlari.
Sambil terenyak ketakutan, aku berbalik dan kabur ke arah lain.
Sepatuku berdebam-debam memukul jalanan batu bata itu.
Aku berbelok dan menuju bagian belakang sebuah bangunan
yang disebut Rumah Lolongan. Lalu aku berbelok lagi ke sebuah gang
kecil. Di ujung gang itu aku berlari ke arah sungai.
Jantungku rasanya sudah mau pecah. Kepalaku berdenyutdenyut tidak keruan.
Aku menoleh ke belakang. Rupanya aku sudah berhasil
meninggalkan mereka. Tapi aku juga sadar akan lebih banyak lagi Horor yang bakal
mengejarku. Sambil berlari sekencang-kencangnya, aku menyusuri jalan
kecil yang berkelok di sepanjang sungai. Lalu mendadak berhenti"
dan nyaris tersungkur" waktu kudengar suara-suara jeritan.
Jeritan ketakutan. Dan mengenali suara-suara itu. Suara Luke dan Clay!
Mataku menyapu papan yang ada di situ: PANTAI BURUNG
HERING. TOLONG KASIH MAKAN BURUNG-BURUNG INI.
Terdengar jerit ketakutan lagi.
"Aku datang, Luke!" seruku, kehabisan napas.
Aku menunduk di bawah papan itu. Dan memasuki sebuah
pantai kecil yang berpasir.
Dan menemukan Luke serta Clay"dirantai. Tangan di
punggung. Diborgol. Terborgol ke kayu pancang yang berdiri tegak di
atas pasir. Bayangan-bayangan berwarna biru-hitam menyambar-nyambar
di atas mereka. "Lizzy"tolong! Tolong kami!" raung Luke, meronta-ronta.
"Lekas?" ratap Clay. "Horor-Horor itu"mereka mengikat
kami di sini!" Bayangan-bayangan bergerak-gerak di atas pasir, di atas kedua
anak yang meronta-ronta itu.
Aku menengadah"dan melihat apa yang ada di atas mereka.
Burung-burung hering. Burung-burung hering yang hitam dan besar sekali...
menyambar-nyambar... semakin lama semakin rendah.
Sayap-sayap mereka yang hitam terentang lebar. Kepala mereka
yang botak dan putih terulur jauh-jauh. Mereka mengaok dan berteriak
kelaparan. Menyambar semakin rendah...
Mengepung Luke dan Clay. Bersiap-siap memangsa.
21 "LIZZY"tolong! Cepat!"
Aku berdiri terpaku, memandang ngeri burung- burung hering
yang jelek dan terbang menyambar-nyambar itu.
Namun jeritan Luke menyentakku dari lamunan. Aku pun mulai
beraksi. Aku meluncur menyeberangi hamparan pasir dan menghampiri
kedua anak itu. Sambil berlutut, dengan panik kutarik rantai yang
mengikat mereka. "Lepaskan kami! Lepaskan kami!" teriak Luke berulang-ulang,
matanya terus menatap burung-burung besar yang terbang berputarputar.
Aku mendengar bunyi BUK yang keras di atas pasir, tepat di
belakangku. Lalu kaokan yang keras dan parau.
Aku menoleh dan melihat salah satu burung-burung itu telah
mendarat. Burung itu mengepak-ngepakkan kedua sayapnya yang
hitam dan menelengkan kepala ke belakang. Lalu melesat
menyeberangi pasir menuju kami.
BUK. Seekor burung lagi mendarat.
"Ayo! Cepat!" Luke memohon.
Kedua burung itu membuka paruh mereka yang bengkok dan
mengeluarkan jeritan kelaparan.
Kutarik borgol yang melilit pergelangan tangan Luke. "Jangan
kepalkan tanganmu!" perintahku. "Buka kepalanmu. Kurasa kau bisa
mengeluarkan tanganmu."
"Mereka akan melahap kita!" raung Clay. "Itu kan yang
dilakukan burung hering" Ya, kan" Mereka akan memangsa kita
hidup-hidup!" Aku tak punya waktu untuk menjawab. Kudengar suara
kepakan sayap yang keras.
"Hei!" Aku berteriak saat salah satu burung menukik ke arahku
dari belakang. Aku terjerembap dan burung itu kemudian menusukkan
paruhnya pada Luke. Lalu mencoba menggigit lehernya. Aku
mendengar jeritan parau, dan burung itu kembali mencoba
menggigitnya lagi. "Tidddaaak!" raungku.
Kuulurkan kedua tangan dan kudorong burung yang berkaokkaok itu ke samping. Bulunya terasa panas dan kering.
Binatang itu mengepakkan sayapnya dengan panik. Terus
mengepak-ngepakkannya sampai ia mendapatkan keseimbangannya
lagi. Setelah itu ia kembali menukik ke arah kami.
Ia memukul-mukulkan sayapnya yang berat ke wajahku.
Mencoba menggigit kepalaku.
"Pergi!" teriakku, seraya melindungi kepalaku dengan kedua
tangan. Sayapnya memukul bagian belakang leherku. Dan lagi-lagi
paruhnya yang kuat dikatupkan hanya sedikit di atasku.
"Tidak!" Aku kembali berteriak dan mengayun-ayunkan tangan
dengan panik pada burung yang tengah menyambar-nyambar itu.
BUK. Seekor hering lain mendarat di pantai. Yang lain menukik amat
rendah, bersiap-siap menyerang.
"Apa yang mesti kulakukan?" aku berseru. "Aku tak bisa
melawan mereka semua!"
Burung pertama kembali berkaok parau dan menyerang ke
arahku. Sayapnya menampar wajahku. Aku tak bisa melihat... tak bisa
bernapas. Sambil berkaok-kaok dan menjerit-jerit, semua burung buas itu
menyerbu. Memukulkan sayap mereka pada kami. Berusaha menggigit
kami dengan paruh mereka yang amat kuat.
Sambil balas memukul mereka dengan kedua tangan, aku
kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke pasir.
Dua ekor burung menukik ke arahku, lalu menyambar Luke dan
Clay. "Tolong, Lizzy!" jerit Luke. "Mereka mau mencongkel
mataku!" "Jangan! Jaaangggan!" teriak Clay dengan suara melengking.
Dikibas-kibaskannya kepalanya dengan liar dari kiri ke kanan,
mencoba menghindari burung-burung yang terus menyerang itu.
Kuambil dua genggam penuh pasir. Sambil berteriak penuh
kemarahan, kulempar pasir itu pada burung-burung yang terbang
menukik itu. Burung-burung itu berhenti. Lalu berbalik. Pasir menempel di
puncak kepala mereka yang kurus dan di bulu-bulu punggung mereka.
Kulempar lagi segenggam penuh pasir.
Burung-burung itu berbalik. Aku tahu mereka tidak menyukai
serangan pasirku itu. Dua ekor burung berdiri di garis pantai, kaku seperti patung.
Mereka berdiri tegang dengan punggung membungkuk, sayap-sayap
sedikit diangkat, mata mereka mengawasi pertempuran itu.
Menyaksikan semuanya dengan membisu.
Kulemparkan lebih banyak pasir lagi. Lalu aku berpaling pada
Luke. Kuraih borgolnya. "Loloskan tanganmu!" teriakku nyaring,
mataku terus menatap burung-burung yang mengamuk itu. "Kau pasti
bisa! Borgol ini cukup besar kok!"
"Yes!" seru Luke senang saat tangannya terbebas. Ia berpaling
dan melepaskan tangannya yang lain.
Aku melompatinya dan mulai bekerja dengan borgol-borgol
Clay. Di belakangku, burung-burung itu berkaok amat keras. Aku
berpaling dan melihat mereka mengangkat sayap... dan merundukkan
kepala... "Tiddddaaak!" Aku menjerit liar saat burung-burung jelek itu
menyerang. Menyambar-nyambar dengan marahnya ke arah kami.
Menggerakkan paruh mereka. Mengatupkan rahang mereka.
Mengepakkan sayap dengan liarnya, hingga menciptakan kepulan
pasir bercampur kerikil dan bulu burung.
"Clay"cepat!" erangku.
Kudorong seekor hering dari kepalaku. Cakar-cakarnya menarik
rambutku. Nyaris membuatku tersungkur. Burung itu terjatuh ke pasir.
Lalu ia berputar. Dan kemudian menyambar ke arah Luke.
"Yes!'' seru Clay. Ia berhasil membebaskan kedua tangannya.
Kubantu ia berdiri. "Ayo, kita cabut dari sini!" seruku seraya menarik tangannya.
Burung-burung itu mengatup-ngatupkan paruh. Menyambarnyambar. Salah satu terbang ke arah Luke sambil menjerit, sampaisampai Luke berguling ke pasir dibuatnya.
Dengan susah payah Luke bangkit berdiri.
Dan kami pun berlari pergi dari situ.
Berlari sekuat dan secepat kami dapat.
Berlari terus sampai kami meninggalkan burung-burung yang
berkaok-kaok itu. "Burung-burung itu pasti kelaparan setengah mati!" seruku.
"Hering kan biasanya tidak menyerang makhluk-makhluk yang masih
hidup!" "Lewat mana nih?" Luke bertanya dengan napas pendekpendek. "Bagaimana caranya kita keluar dari sini?"
"Oh, tidak!" Aku berbalik dan berteriak. Aku melihat
gerombolan yang terdiri atas delapan atau sepuluh Horor berlari ke
pantai ke arah kami. Aku berbalik ke arah lain. "Lewat sini!" aku memberitahu Luke
dan Clay. Namun segerombolan Horor lain berlari sepanjang garis pantai
pada arah yang kutunjuk itu.
Terperangkap, pikirku. Kini kami semua akan menjadi mangsa hering.
"Tidak!" Aku tidak akan menyerah. "Ayo lewat sini!"
Aku berlari, kembali menuju ke jalan kecil yang tadi
membawaku ke pantai. Luke dan Clay mengikuti tepat di belakangku.
"Ke mana kita pergi" Kenapa mereka mengejar kita?" desak
Luke. "Nanti saja," jawabku terengah-engah. Kupimpin mereka
menuju gang kecil di belakang Rumah Lolongan. Kami bisa
mendengar teriakan dan jeritan dari dalam bangunan itu.
"Stop!" sebuah suara yang marah berseru.
Aku berbalik dan melihat empat orang Horor mendekati kami
dari ujung gang. Aku kembali berlari, berputar ke bagian muka Rumah
Lolongan, dan menyusuri jalan setapak lebar yang kelihatannya
kosong. Tapi segera saja jalan setapak itu penuh dengan Horor. Setiap
kali melihat kami, mereka akan mulai melambai-lambaikan tangan
dengan marah, berteriak agar kami diam di tempat.
"Kurasa setiap Horor di HorrorLand memburu kita!" kataku
kehabisan napas. "Kita harus pergi dari sini."
"Tapi bagaimana caranya?" sergah Luke.
Kutarik mereka berdua ke balik sebuah pagar tanaman yang
tinggi. "Lewat sini," kataku.
"Tapi"kenapa?" desak Luke. "Bagaimana kita bisa melarikan
diri?" Sekonyong-konyong, aku dapat ide.
22 KUBAWA mereka ke toko cenderamata tempat aku tadi
melihat kostum-kostum Horor. Tak ada satu pun Horor di belakang
konternya. Mungkin sedang keluar bersama yang lain, mencoba
menangkap kami. Kami mengambil beberapa kostum dari rak dan cepat-cepat
mengenakannya. "Topeng ini kebesaran!" keluh Clay. Kubetulkan letak topengku
dan berpaling padanya. Topengnya kebesaran. Tanduknya terjatuh ke
wajahnya. Kusodorkan topeng yang lain padanya.
"Mereka bakal tahu kita bukan Horor asli," gumam Luke. "Ini
nggak bakal berhasil."
"Yah, kalau kau punya ide yang lebih bagus, katakan saja!"
bentakku. Ia cuma menggeleng. "Usahakan berjalan seperti Horor," aku memberitahu mereka.
"Kibaskan ekor kalian. Kayak begini nih." Aku pun
mendemonstrasikannya. "Dan yang paling penting, kalian harus
bersikap tenang. Jangan bertingkah mencurigakan. Jalan pelan-pelan
dan tenang." "Baiklah, baiklah," Luke menyahut tak sabaran. Ia memandang
ke jalan. "Ke mana kita pergi?"
"Ke pintu gerbang muka," kataku padanya. "Kita takkan aman
sebelum keluar dari taman hiburan ini."
"Dan di manakah Derek dan Margo?" Clay bertanya.
"Mereka ketahuan membawa camcorder. Jadi Horor-Horor itu
mengusir mereka," kataku. "Ayo. Ikuti aku."
Baru saja kami menyusuri sebuah jalan setapak, empat Horor
berbadan besar dan tampak amat kuat sudah mengepung kami.
"Kalian pikir kalian mau ke mana?" pemimpinnya menggeram
galak sekali. 23 KUTATAP mereka dari balik topengku. Jantungku nyaris saja
berhenti berdetak. Kakiku sekonyong- konyong terasa terlalu lemah
untuk sanggup menyanggaku.
"Uh... eh..." aku ragu.
"Kami sedang mencari ketiga anak itu," Luke berkata.
Yessss! Terima kasih, Luke, pikirky.
"Yeah. Kayaknya kami melihat mereka pergi ke arah sini," ia
melanjutkan. Luke, hentikan sekarang juga, pikirku, sambil menahan napas.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jangan teruskan. Nanti dia bakal curiga.
Pemimpin keempat Horor itu menatap kami dengan wajah
marah. "Tidak bisa," Horor itu menggeram.
Oh, tidak. Kami ketahuan, aku tersadar. Ia tidak percaya pada
ucapan Luke. "Tidak bisa," ulang Horor itu ketus. "Tak seharusnya kalian
mencari di daerah sebelah sini. Ini daerah kami." Ia memberi isyarat
pada ketiga temannya. "Daerah kekuasaan kami."
"Sori," semburku cepat-cepat. "Kami tak bermaksud begitu.
Kami sedang menyusuri jalan setapak itu dan?"
"Periksa saja pantai di sana itu," Horor itu memerintah. "Jauhi
daerah kami, dengar" Kami bisa mengatasinya sendiri."
"Baiklah," aku berkata, seraya menarik napas lega. Aku, Luke,
dan Clay buru-buru berlalu dari situ. Dapat kurasakan mata HororHoror itu terus menatap kepergian kami. Tapi aku tidak menoleh sama
sekali. Kami melewati dua kelompok Horor lainnya saat berjalan ke
gerbang muka. Mereka mengangguk kepada kami, tapi tidak bilang
apa-apa. Ketika gerbang muka kelihatan, kami berlindung di bawah
bayangan sebuah bangunan. "Bagaimana cara kita melewati Horor
yang bertugas di pintu gerbang itu?" Luke bertanya. "Kita tidak bisa
keluar begitu saja."
"Kenapa tidak?" tukas Clay. "Kita sudah sebegini dekat. Bilang
saja kita mau keluar jalan-jalan atau apa."
Kuperhatikan Horor itu. Ia berdiri kaku di loket karcis kecilnya,
matanya menyapu ke kiri dan kanan sepanjang bagian depan taman
hiburan itu. "Luke benar," ujarku pada Clay. "Mungkin Horor-Horor tak
pernah meninggalkan HorrorLand. Kita tidak benar-benar tahu apakah
itu benar atau tidak. Jika kita mencoba keluar dari sini, kita bakal
tertangkap." Kami bertiga memperhatikan penjaga pintu gerbang itu.
"Sudah begini dekat...," Luke bergumam. "Sudah begini dekat
dengan kebebasan." Diangkatnya matanya. "Bisakah kita memanjat
pagar itu?" "Terlalu tinggi," sahut Clay. "Dan mungkin dialiri listrik, lagi."
"Aku punya ide," ujarku. Lalu kutarik napas dalam-dalam.
"Tunggu di sini."
Sekali lagi aku menarik napas panjang dan berjalan ke loket
karcis. Horor yang bertugas di situ pelan-pelan berpaling ke arahku. Ia
tampak tua, wajahnya yang hijau letih dan keriput. Sebelah tanduk di
atas kepalanya sudah retak. Ekornya terkulai di tanah.
"Bagaimana?" tanyanya parau. "Apakah mereka berhasil
menangkap ketiga anak itu?"
Aku mengangguk. "Ya. Kudengar anak-anak itu sudah
tertangkap," kataku. "Mereka mengutusku kemari supaya kau bisa
istirahat." Ia menatapku lekat-lekat. "Secepat ini?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak keberatan kok. Ayo,
pergilah beristirahat. Lagi pula hari ini kan sepi."
Ia menatapku lagi dengan matanya yang berair.
Apakah ia mempercayaiku" Maukah ia meninggalkan pintu
gerbang ini" Yes! Dilemparkannya alat pelubang karcisnya dan beberapa
benda lain ke dalam sebuah tas kulit. Lalu ia melambai sedikit padaku
dan pergi dengan langkah diseret menuju kantor.
Aku menunggu, menahan napas, sampai ia lenyap ke dalam
gedung kantor. Lalu aku melambai-lambaikan tangan dengan panik
supaya Luke dan Clay bergabung denganku.
Aku tak perlu melambai. Mereka sudah berlari dengan
kecepatan penuh menyeberangi pelataran depan.
Beberapa detik kemudian, kami melesat keluar gerbang"dan
terus berlari. Menyeberangi pelataran parkir yang terbuat dari batu
kerikil, yang kini nyaris kosong. Sampai ke bawah papan iklan besar
di depan taman hiburan itu, dan akhirnya tiba di jalanan.
"Kita berhasil!" seru Luke senang sekali, sambil mengacungacungkan tinjunya di udara. "Kita selamat!" Dilepaskannya topengnya
dan menari-nari sebentar.
Aku dan Clay diam saja. "Bagaimana cara kita pulang?" Clay
bertanya padaku dengan suara kecil. Dilepaskannya topengnya.
Keringat bercucuran di kening dan jatuh ke kacamatanya.
"Uh... kita cari telepon," aku berkata padanya. "Dan kita
hubungi ibu dan ayahku. Pasti ada rumah atau toko atau apalah di
jalanan ini." Kami berlari kecil sepanjang sisi jalan. Matahari sudah mulai
bertengger rendah di belakang pepohonan. Bayang-bayang biru yang
panjang terentang di atas kami. Udara semakin dingin.
Aku tak mendengar suara van itu sampai mobil itu berhenti di
sebelah kami. Aku menjerit, benar-benar terkejut, saat pintu pengemudinya
terayun membuka. Kami tertangkap! aku berpikir.
Derek Strange memanjat turun dari belakang kemudi. Tak
pernah aku merasa sesenang ini bertemu seseorang seumur hidupku!
"Kalian baik-baik saja rupanya!" serunya senang. Diraihnya
kedua tanganku dan diremasnya.
Luke dan Clay bersorak dan berjingkrak-jingkrak dengan
gembiranya. Margo berlari mengitari van. "Kami begitu cemas!" ujarnya.
"Bagaimana kalian keluar dari tempat itu?"
"Tidak gampang!" teriakku.
"Setiap Horor di taman hiburan itu mengejar kami," cerita
Luke. "Syukurlah kalian selamat!" Derek mendesah. "Mereka melihat
kamera kami dan melempar kami keluar dari taman hiburan itu. Kami
mencari-cari jalan lain untuk bisa masuk kembali. Tapi tak berhasil."
"Kami cemas sekali," ulang Margo, sambil menggelenggelengkan kepala. "Ayo lekas"naik ke mobil. Mari kita pergi dari
tempat mengerikan ini. Sejauh mungkin."
Kedengarannya bagus untukku. Jadi kami semua naik ke van.
"Kalian hebat sekali!" puji Derek. "Bagaimana kalian bisa
keluar dari sana" Aku ingin mendengar semuanya."
Dinyalakannya mesin van-nya, lalu kami pun meluncur pergi.
Aku duduk bersandar, masih tegang, jantungku masih berdegup
kencang. Aku menarik napas dalam dan memperhatikan pepohonan
melesat lewat di luar jendela mobil.
Wow... tunggu dulu... Ada yang nggak beres nih...
Derek memutar mobilnya dan menekan dalam-dalam pedal
gasnya. Van itu melesat maju. Pepohonan tinggal bayang-bayang yang
bergerak cepat. Papan bertulisan HorrorLand tampak di muka.
"Stop!" jeritku dengan suara melengking. "Apa yang
kaulakukan" Kenapa kaubawa kami kembali ke HorrorLand?"
24 KAMI meluncur di bawah papan itu, dan memasuki pelataran
parkir. "Biarkan kami keluar!" teriakku. "Biarkan kami keluar"
sekarang juga!" Kucengkeram pegangan pintu mobil dan kusentakkan kuatkuat. Tapi Derek telah mengunci semua pintu.
Ban mobil berdecit nyaring saat ia menghentikannya di pintu
gerbang muka. Di luar jendela, aku melihat lusinan Horor berlarian
dengan penuh minat ke arah kami. Mereka mengepung mobil kami.
Lewat kaca jendela yang tertutup, aku bisa mendengar ocehan mereka
yang gembira dan penuh semangat.
Derek membuka kunci pintu. Ia dan Margo turun dari mobil.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" ratap Luke.
Aku tak punya waktu untuk menyahut.
Horor-Horor itu membuka pintu mobil. Tangan-tangan
berwarna hijau mencengkeram kami.
Tak mungkin melawan mereka. Kami bertiga diseret keluar dari
van. Luke menendang-nendangkan kakinya. Ia mengayun-ayunkan
tinjunya. Tapi dua orang Horor yang lain bergerak cepat untuk
menahannya. Clay mengeluarkan erangan ketakutan dan mengibas-ngibaskan
kepalanya dengan sedih saat Horor-Horor itu membawa kami pergi.
Aku berbalik"dan melihat seorang Horor menyerahkan
tumpukan sesuatu yang tebal dan berwarna hijau kepada Derek dan
Margo. Uangkah itu" Jelas. Horor-Horor itu telah menyewa mereka berdua rupanya.
Derek dan Margo selama ini bekerja pada para Horor.
"Kenapa?" tanyaku pada mereka, suaraku pecah oleh rasa takut
yang amat sangat. "Kenapa kalian lakukan ini pada kami?"
Derek tak memedulikanku. Ia terlalu sibuk menghitung
uangnya. Margo berpaling, ekspresi wajahnya dingin. "Kalian melihat
terlalu banyak, Lizzy," ia menjawab. "Musim panas yang lalu, waktu
kalian pertama kali datang ke HorrorLand, kalian bertiga melihat
terlalu banyak. Dan kalian bersedia menceritakan semua itu kepada
dunia." "A-apa maksudmu?" tanyaku gugup sekali.
"Kalian bersedia masuk TV dan mengekspos HorrorLand,"
Margo menjelaskan. "Para Horor tak bisa membiarkan itu terjadi.
Kalau saja kalian mengatakan tidak kepadaku dan Derek, kami pasti
takkan mengganggu kalian. Tapi sekarang..."
"Sekarang apa?" sergahku.
Margo menatapku bengis. "Sekarang kalian takkan pernah
meninggalkan tempat ini."
Para Horor mulai menyeret kami pergi lagi.
"Tapi kami takkan memberitahu siapa pun!" Luke berseru pada
Derek dan Margo. "Kami akan tutup mulut! Janji!"
"Benar. Lepaskan kami, kami berjanji tidak akan mengatakan
sepatah kata pun," aku berseru.
"Terlambat," Derek menukas. Disumpalkannya tumpukan uang
kertas itu ke saku jaketnya. Kemudian ia memberi isyarat kepada
Margo. Mereka kembali ke mobil. Beberapa detik kemudian, mereka
telah pergi. "Auw!" jeritku saat tangan seorang Horor yang bercakar tajam
mencengkeram erat-erat bahuku. "Ke mana kalian akan membawa
kami?" desakku gemetaran.
Ia menudingkan jemarinya ke sebuah gunung tinggi, yang
menjulang gelap di bagian belakang taman hiburan. "Kami akan
membawa kalian ke sebuah wahana atraksi yang baru di puncak
gunung itu," ujarnya dengan suara parau. "Namanya Lompatan
Terakhir." "Dan... apa yang akan kami lakukan di sana?" tanyaku.
"Coba tebak...," sahutnya.
25 DENGAN sekuat tenaga aku mencoba berpikir jernih. Namun
kepanikanku membuat benakku terus menderu.
Segalanya sepertinya bergerak semakin cepat, seolah-olah kami
semua bergerak dengan kecepatan tinggi. Para Horor, taman hiburan
ini, Luke dan Clay"semua cuma bayangan samar bagiku. Semua
cuma rupa dan suara yang tidak berarti apa-apa, yang tidak masuk
akal. Aku terus menarik napas dalam-dalam dan menahannya,
mencoba menenangkan jantungku yang berdegup cepat, mencoba
memfokuskan mataku, memfokuskan pikiranku.
Aku terus mencari kesempatan untuk melarikan diri. Kulihat
Luke dan Clay begitu tegang, mereka juga mencari-cari kesempatan.
Namun selusin Horor mengawal kami dengan ketat. Tak
mungkin melarikan diri. Tak mungkin kabur.
Mereka mendorong kami naik ke sebuah kereta kecil. Saking
kecilnya, kereta itu paling banyak hanya bisa diisi lima atau enam
orang. Tapi semua Horor tetap saja ikut berdesakan naik bersama
kami. Kereta itu berderak dan mengerang saat berbelok dan menikung
menaiki lereng gunung yang curam. Tiba-tiba kereta tersentak keras,
dan kami semua terpelanting ke satu sisi.
"Kumohon, lepaskan kami," aku mencoba membujuk sekali
lagi. "Kami janji takkan memberitahu siapa pun tentang HorrorLand.
Kami akan menandatangani perjanjian tertulis. Kami akan melakukan
apa saja yang kalian inginkan."
Horor-Horor itu tak memedulikan aku.
Kereta kecil itu tiba-tiba berhenti. Pintunya terbuka. Mereka
mendorong kami keluar. "Wow!" Aku mengeluarkan teriakan ngeri saat melihat
sekelilingku. Kami tengah berdiri di atas karang terjal sempit yang menonjol
keluar dari sisi gunung. Dan jauh di bawah sana... di bawah sana...
Kupejamkan mataku. Mestinya aku tidak memandang ke
bawah. Pasti tempat ini tingginya 1500 meter, langsung sampai ke
dasar. Dan di bawah sana kulihat batu-batu berwarna hitam yang
bergerigi dan tajam, menjulang ke atas seperti paku-paku raksasa.
"Selamat datang di. Lompatan Terakhir," seorang Horor berkata
ceria. "Inilah atraksi kami yang paling mengerikan. Wahana terjun
bebas paling asyik di seluruh dunia. Hanya sayangnya, semua cuma
berlangsung selama beberapa detik."
"Oh, kumohon...," Luke berbisik. Matanya terpejam erat-erat. Ia
mencengkeram lenganku. "Kalian... kalian tidak benar-benar menyuruh kami melompat"
ya, kan?" Clay bertanya sambil berbisik. Semua warna telah lenyap
dari wajahnya. Aku bisa melihat kakinya gemetaran.
"Tak perlu terburu-buru," seorang Horor berkata.
"Pejamkan matamu. Biasanya lebih mudah bila dilakukan
seperti itu," Horor yang lain turut berkata.
"Mungkin kalian berpegangan tangan saja dan kemudian samasama melompat," Horor yang pertama berujar.
"Dan menjerit sekeras-kerasnya," Horor yang lain
menambahkan. "Jangan khawatir soal itu. Kita jauh dari mana-mana
kok. Tak ada yang bakal mendengar kalian."
Horor-Horor itu berbalik pergi, meninggalkan kami di tepi
karang terjal itu. Aku menunduk dan sekali lagi memandang bebatuan
bergerigi yang hitam di bawah sana.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Mulutku terasa
sekering kapas. "Kami takkan melakukannya," kataku pada mereka. "Kalian
boleh saja menunggu seharian. Kami tidak akan melompat."
"Tidak masalah," seorang Horor menyahut. Yang lain memberi
jalan saat Horor itu beranjak mendekati sebatang tuas berwarna
kuning manyala yang menonjol keluar dari sebuah panel kontrol yang
terbuat dari besi. Ia meraih dan menggenggam tuas itu dengan kedua tangannya,
lalu mendorongnya ke bawah.
Aku mendengar suara bergemuruh.
Karang terjal itu bergetar di bawah kaki kami.
Dan kemudian mulai bergerak"bergeser masuk ke dalam
punggung gunung. Karang terjal itu akan bergerak masuk di bawah kaki kami, aku
tersadar.
Goosebumps - Kembali Ke Horrorland di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami takkan selamat kali ini. Kami akan benar-benar jatuh ke
bawah sana. Kuraih tangan Luke dan Clay, dan menggenggamnya erat-erat.
Di bawah kami, lantai karang itu bergerak masuk dengan cepat.
Tak ada lagi apa-apa... tak ada lagi tempat untuk berpijak...
"Sori," aku berbisik. "Bye, Luke Bye, Clay. Goodbye."
26 KUCENGKERAM tangan Luke dan Clay erat-erat. Lalu
kupejamkan mataku. Karang itu bergemuruh dan bergerak masuk... bergeser...
Lantai karang itu tinggal beberapa senti saja.
Angin menderu di sekeliling kami.
Kakiku mulai menyerah. Aku menahan napas. Bersiap-siap jatuh ke bawah.
Lalu kudengar suara-suara di belakangku.
Aku berpaling dan melihat seorang Horor mendorong tuas
kuning itu kembali ke atas.
Lantai karang berhenti dengan suara bergemuruh.
Kami bertiga berdiri tepat di bibir karang. Bagian depan
sepatuku sudah menginjak udara kosong.
Tiga Horor yang baru datang telah menggabungkan diri dengan
yang lainnya. "Kalian diperlukan di bawah sana," salah satu Horor
yang baru datang itu berkata. "Tinggalkan para tawanan itu pada
kami." Gerombolan Horor yang pertama mengangguk.
Mereka naik ke kereta, dan beberapa detik kemudian meluncur
pergi dari situ. Berdiri di atas karang yang sempit, aku tak punya tempat lagi
untuk berbalik. Tapi aku menoleh menatap ketiga Horor baru itu.
"Kalian menyelamatkan kami?" seruku. "Kami tak perlu melompat ke
bawah sana?" Pemimpin Horor itu memandang kami sambil menyipitkan
matanya yang berwarna kuning. "Kami punya rencana sendiri untuk
kalian," ia menggeram.
27 KETIGA Horor itu mendekati kami. Mereka mencengkeram
dan menarik kami dari tepi karang yang sempit.
"Ayo pergi. Cepat," si pemimpin menggeram.
Kami pergi dari situ, berjalan terantuk-antuk menuruni gunung
yang curam, mengikuti jejak kereta yang tadi kami tumpangi.
"Apa yang akan kalian lakukan pada kami?" desak Luke. "Ke
mana kalian membawa kami?"
"Tutup mulut," Horor itu berkata dengan suara parau.
Didorongnya punggung Luke keras-keras.
Matahari telah terbenam. Kabut kelabu menyelimuti taman
hiburan itu. Udara terasa dingin dan lembap.
Aku merinding. Di dasar gunung, Horor-Horor itu memaksa kami berjalan
menyusuri jalan setapak yang tersembunyi. Jalan itu mengantar kami
ke sebuah pagar tinggi di bagian belakang taman hiburan. Papan di
atas sebuah celah sempit berbunyi: KHUSUS UNTUK
KARYAWAN. DILARANG KELUAR.
"Ayo, cepat," Horor itu memerintah.
Mereka mendorong kami melewati celah itu. Kami sampai di
sebidang tanah yang kosong dan gelap. Sebuah van berwarna hitam
diparkir di dekat pagar, mesinnya menyala.
"Ke mana kalian akan membawa kami?" desakku. "Kami
takkan memberitahu apa pun pada siapa pun. Janji!"
"Diam!" bentak si pemimpin.
Mereka membuka pintu mobil dan memaksa kami naik. Kami
duduk berdesakan di belakang. Mereka membanting pintu mobil
hingga tertutup, lalu naik ke depan.
"Tolonglah?" pintaku. "Saya mohon?"
Ketiga Horor itu membuka topeng mereka. Dua pemuda dan
seorang wanita berambut pirang tersenyum pada kami. "Kalian aman
sekarang," yang perempuan berkata. "Kalian sudah aman."
"Kalian"kalian menyelamatkan kami?" seruku.
Mereka mengangguk. "Horor-Horor itu monster sungguhan," pemuda di belakang
kemudi berkata serius. "Mereka makhluk jahat. Mereka membangun
taman hiburan ini untuk menyiksa manusia."
"Kenapa?" aku bertanya.
"Menyiksa manusia adalah olahraga mereka. Malah sebenarnya,
itu olahraga favorit mereka," ia menyahut. "Tapi berkat kalian bertiga,
rahasia mereka pun terungkap. Derek dan Margo telah tertangkap.
Dan HorrorLand akan ditutup untuk selamanya."
"Tapi"siapa kalian?" desakku.
"Kami dari sebuah acara TV," yang perempuan menyahut
sambil menyikat rambut hitamnya ke belakang. "Mungkin kalian
sudah pernah menontonnya. Namanya Kejadian-kejadian Aneh. Kami
melaporkan semua hal aneh yang terjadi di muka bumi ini."
"Kami selalu mengawasi sejak kalian memasuki taman hiburan
itu," si pemuda menambahkan. "Kami merekam semuanya. Ini akan
menjadi acara TV yang hebat."
Ia berpaling ke depan dan menyalakan mesin mobil. Kami
meluncur ke jalan raya. "Terima kasih!" seru Luke senang. "Terima kasih telah
menyelamatkan kami!"
"Apakah sekarang kalian akan mengantarkan kami pulang?"
Clay bertanya dengan penuh semangat.
"Yah... tapi kita harus mampir ke suatu tempat dulu," si
perempuan menjawab. "Apa" Mampir?" aku bertanya.
Ia mengangguk. "Ceritanya belum benar-benar berakhir. Kami
harus menambahkan beberapa adegan seru."
"Wow," gumamku. "Adegan seru" Apa maksudmu?"
"Lihat saja nanti...," sahut perempuan itu, seraya memalingkan
wajahnya ke jendela. Kami melaju tanpa bicara. Tak lama kemudian, mobil kami
masuk ke sebuah pelataran parkir yang luas dan ramai.
Dan aku menjerit saat menatap dan membaca sebuah papan
bertulisan neon berwarna biru-hijau. Bunyinya: SELAMAT
DATANG KE TERRORVILLE. end
Kampung Setan 8 Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas Pendekar Pedang Sakti 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama