Ceritasilat Novel Online

Kisah Hantu Goosebumps Ii 1

Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 Bagian 1


HARI PERTAMA SI MANUSIA SERIGALA
"ADA apa, Brian?" tanya ayahku sambil menatapku dari kaca
spion. "Kita sudah empat jam bermobil dan kau terus bungkam. Apa
kau tidak senang?" "Senang kok." Aku duduk membungkuk di belakang, supaya
Dad tidak bisa melihat wajahku dan tidak tahu bahwa aku berbohong.
Kami sedang bermobil ke Thunder Lake. Ke sanalah kami pergi
setiap musim panas. Thunder Lake adalah tempat rekreasi yang
dilengkapi dengan pondok-pondok, lapangan golf, danau luas, dan
lain-lainnya. Banyak keluarga berlibur di sana, sebab di sana ada
perkemahan untuk anak-anak. Para orangtua memarkir anak-anak
mereka di perkemahan, lalu mereka pergi main golf atau kumpulkumpul di klub.
"Kau benar-benar tidak apa-apa, Brian?" tanya Dad.
"Biarkan dia, Sayang," kata Mom. "Mungkin dia agak cemas
karena mesti ikut perkemahan musim panas ini."
Cemas" Aku bukan cemas. Aku ngeri.
Dad berdeham. Siap-siap menguliahi. "Coba pikir, Brian.
Perkemahan itu bisa membantumu mengurangi sifat pemalumu. Kau
akan merasa lebih dewasa setelah berkumpul dengan anak-anak yang
lebih tua. Dan kau sudah pantas berada di sana. Kau sudah dua belas
tahun sekarang." Benar, pikirku. Aku sudah dua belas tahun, dan aku masih ingin
hidup lama. "Kau pasti senang," kata Dad.
"Aku tahu kau takut," kata Mom, "tapi nanti kau tidak akan
takut apa-apa lagi. Tunggu saja."
Mom dan Dad tidak mengerti. Memang aku agak cemas mesti
ikut perkemahan, tapi yang membuatku ngeri adalah cerita-cerita
tentang Thunder Lake. Tentang makhluk-makhluk yang berkeliaran di
malam hari. Tentang lolongan dan jeritan, dan jejak-jejak kaki
raksasa. Tentang para manusia serigala yang tinggal di tepi danau.
Aku sudah enam tahun mendengar cerita-cerita semacam itu,
sejak kami mulai berlibur di Thunder Lake, dan aku benar-benar
ketakutan karenanya. Akibatnya orangtuaku kesal.
Mereka menganggapku penakut.
Jadi, aku tidak menceritakan apa-apa pada mereka.
Tapi aku tetap ketakutan.
"Sepuluh mil lagi," seru Dad.
Aku duduk tegak dan memandang ke luar jendela. Ada papan
bertulisan THUNDER LAKE: SEPULUH MIL LAGI.
Berikutnya papan tanda lima mil lagi.
Dan akhirnya kulihat papan yang kutakuti. Papan dengan
tulisan: SELAMAT DATANG DI THUNDER LAKE! TEMPAT
LIBURAN KELUARGA. RENANG, LINTAS ALAM, PERAHU,
GOLF, TENIS. Dan manusia serigala. ************* Ada sepuluh anak yang ikut perkemahan. Yang sebaya
denganku hanya satu, namanya Kevin. Kevin berambut merah dan
kulitnya sangat putih. Anak-anak lain yang lebih tua selalu
menggodanya, karena ia disuruh ibunya memakai lotion banyakbanyak agar kulitnya tidak terbakar matahari.
Aku bermata cokelat; rambutku juga, dan kulitku tidak mudah
terbakar, jadi mereka tidak usil mengenai penampilanku. Tapi aku
pendek dan agak canggung; dan itulah yang membuat mereka
menggodaku. Ketiga anak yang paling tua adalah yang paling kuat. Jake, Phil,
dan Don"semuanya berumur lima belas tahun.
Jake berambut ikal, dan mengenakan anting emas di satu
telinganya. Phil bermata biru kecil dan selalu memakai kaus Bulls
merah. Don bertubuh pendek, lebar, dan jahat.
"Ingin rasanya aku menyebut dia si Gendut," bisik Kevin
padaku saat bermain bisbol.
"Yeah," aku balas berbisik, "tapi bisa-bisa dia mendudukimu
sampai penyek." Ketika mendapat giliran memukul, aku lari ke tempat memukul.
Don yang menangkap. Ketika melihatku ia berseru, "Oh, dia!"
Lalu ia nyengir lebar. Dan aku terpaku. Aku belum pernah melihat Don tersenyum, jadi aku belum
pernah melihat giginya. Tapi sekarang aku melihatnya.
Gigi depannya panjang sekali, dan tajam.
Seperti taring. Taring serigala. Lalu Don bersikap aneh. Mendadak ia mengatupkan mulutnya
dan memalingkan kepala, seolah baru teringat bahwa ia tak boleh
tersenyum. Aku tercekat dan menjilat bibir. Sambil bersiap memukul,
kubayangkan taring Don menancap di kakiku.
Ketika pukulanku gagal, Don nyengir lagi. Aneh! Giginya biasa
saja. Taringnya tidak ada lagi.
Tapi aku tahu apa yang kulihat tadi bukan imajinasiku.
Lalu aku teringat cerita tentang manusia serigala. Awalnya
mereka manusia. Mereka tidak langsung menjadi serigala. Tapi pada
malam bulan purnama mereka berubah sepenuhnya menjadi serigala.
Mungkinkah Don adalah manusia serigala"
Setelah permainan usai, kuceritakan pada Kevin tentang gigi
Don, lalu kutunggu reaksinya. Tapi Kevin tidak tertawa.
"Wah!" katanya. "Aku sudah sering dengar cerita tentang danau
ini dan keluarga-keluarga yang menjadi manusia serigala, tapi aku
tidak percaya. Kau yakin taringnya bukan tipuan?"
"Mungkin saja," kataku, "tapi kalau ingin menakut-nakutiku,
kenapa dia mencoba menyembunyikan taringnya?"
"Yeah," Kevin sependapat. "Sebaiknya kita hati-hati saat bulan
purnama nanti." Kemudian aku memeriksa di kalender kecil Mom, kapan bulan
purnama muncul. Empat hari lagi. Aku ingin memberitahukan ketakutanku pada Mom dan Dad,
tapi aku tidak mau dikira penakut.
Jadi, aku tidak bilang apa-apa, tidak juga ketika mereka
meninggalkanku sendirian di pondok untuk pergi main kartu di klub.
Aku menenangkan diriku. Tidak ada manusia serigala. Don
hanyalah anak biasa. Segalanya tenang selama beberapa waktu, lalu aku mendengar
suara gemeresik di luar pondok.
Jantungku mulai berdebar kencang, tapi kutenangkan diriku. Itu
mungkin cuma tupai. Suara itu semakin keras. Lututku mulai gemetar. Ah, itu cuma sigung, pikirku.
Terdengar geraman persis di luar pintu, lalu suara menggarukgaruk, disusul oleh geraman lagi.
Ah, itu cuma Don, pikirku.
Kumatikan lampu, lalu aku mengintip dari jendela depan. Bulan
bersinar. Di kejauhan kulihat sesuatu yang merah bergerak di antara
pepohonan, menuju danau. Kaus Bulls merah. Phil! Berlari di tengah hutan, seperti binatang liar.
Begitu Mom dan Dad pulang, kuceritakan kejadian tadi pada
mereka. Biarlah kalau aku dianggap penakut.
"Oh, Brian, kau belum mengerti juga?" tanya Dad. "Anak-anak
itu cuma ingin menggodamu. Mereka tahu kau ketakutan, dan mereka
senang." "Aku tahu, sulit untuk tidak merasa takut, Sayang," kata Mom.
"Tapi semuanya akan segera berubah. Percayalah."
"Ibumu benar," kata Dad. "Aku heran kau bisa tertipu oleh
mereka, Brian. Kan mudah sekali menyelinap masuk ke pondok dan
membuat bunyi-bunyian seram?"
Baiklah, jadi, membuat bunyi-bunyian seram itu mudah.
Tapi apa membuat jejak serigala juga mudah"
Sebab itulah yang kutemukan keesokan paginya.
Bukan jejak serigala biasa.
Jejak-jejak itu panjangnya sekitar sepuluh inci.
Aku menemukannya di tanah seputar pondok. Kuikuti jejakjejak itu sampai mereka lenyap di dalam hutan... persis di tempat aku
melihat Phil malam sebelumnya.
Phil juga manusia serigala. Tidak diragukan lagi.
******** Dua malam kemudian perkemahan itu mengadakan acara di tepi
danau. Aku tidak ingin pergi, tapi karena bulan purnama belum
waktunya muncul, kurasa aku akan aman-aman saja.
Setelah makan hamburger dan apel bakar, kami duduk
mengitari api unggun. Jake menceritakan kisah seram tentang orang
yang tangannya berupa pengait tajam.
Aku tidak terlalu memperhatikan. Cerita itu tidak membuatku
takut. Aku lebih takut pada manusia serigala.
Aku terus memperhatikan Don dan Phil. Cahaya api
menimbulkan bayang-bayang aneh di wajah mereka. Mata mereka
jadi merah membara. Kubayangkan tak lama lagi taring dan cakar
mereka akan keluar. Tapi tidak terjadi apa-apa.
Ketika acara selesai, kami menyusuri jalan setapak ke arah
pondok. Mendadak aku ingat bahwa jaket baruku ketinggalan. Mom
akan memarahiku kalau jaket itu tertinggal di pasir sepanjang malam,
jadi aku lari kembali untuk mengambilnya.
Bulan menerangi pantai yang gelap. Aku melihat seseorang
berlutut di pasir. Ketika ia mengangkat kepala ke arah langit, kulihat
sesuatu berkilat dalam cahaya bulan.
Anting emas Jake. Sementara aku mengawasi, Jake mengangkat lengan ke arah
bulan, membuka mulutnya, dan melolong.
Suaranya mendirikan bulu roma.
Tak ada manusia biasa yang bisa melolong seperti itu. Aku
berbalik dan lari secepat mungkin.
Aku hampir berhasil menyusul Kevin. "Kevin, kaudengar
lolongan itu?" teriakku terengah-engah. "Itu Jake."
Sementara aku lari ke arahnya, kulihat Kevin cepat-cepat
memasukkan sesuatu ke mulutnya.
Tapi ia kurang cepat, sebab aku masih sempat melihat apa yang
dimakannya"sepotong daging hamburger yang masih mentah.
Darah dari daging itu menetes di dagunya.
Kevin juga salah satu dari mereka.
************** Satu malam lagi bulan purnama akan muncul. Aku ketakutan,
tapi kupikir kalau aku tetap di pondok, aku akan aman.
Namun ternyata ada rencana berkemah di luar. Pada malam
bulan purnama! Gawat! pikirku. Aku mesti membuat alasan. Tapi bagaimana"
Sehari sebelum kemping kukatakan pada Mom bahwa
tenggorokanku sakit. "Mungkin amandelku," kataku dengan suara
serak. "Brian," Mom mendesah, "amandelmu sudah dibuang dua tahun
yang lalu." Kenapa aku begitu tolol" Sekarang, kalaupun aku benar-benar
sakit, Mom tidak akan percaya.
Selanjutnya aku berusaha membuat diriku sakit dengan menelan
air banyak-banyak ketika berenang. Tapi ternyata aku cuma batukbatuk tersedak.
Lalu kucoba menggosokkan tanaman yang kelihatannya daun
poison ivy ke wajah dan lenganku. Tapi tidak ada efek apa-apa.
Akhirnya kuputuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Yah,
tidak seluruhnya. Aku tahu orangtuaku tidak akan percaya, jadi aku
hanya menceritakan sebagian.
"Mereka jahat," kataku. "Aku tahu mereka merencanakan
sesuatu yang jahat untukku. Aku tidak usah ikut kemping saja, ya"
Boleh kan?" Dad menyilangkan tangan, lalu berdeham. "Brian," katanya,
"kalau kau kuizinkan tetap di pondok ini, kau akan rugi besar.
Mungkin anak-anak itu agak keterlaluan padamu, tapi kalau mereka
tahu kau ketakutan, mereka akan lebih nakal lagi padamu."
"Ayahmu benar," kata Mom. "Sabarlah, nanti juga semuanya
berlalu." "Tapi, Mom...!"
"Cukup, Brian!" bentak Dad. "Aku tidak mau lagi mendengar
alasanmu. Pokoknya kau ikut kemping. Titik!"
************* Maka aku terperangkap di dalam hutan bersama sedikitnya
empat manusia serigala. Ketika hari mulai gelap dan bintang-bintang bermunculan, aku
hendak masuk ke tendaku. "Hei, Brian, mau ke mana?" teriak Kevin. "Kau tidak mau
makan?" Yeah, makan apa" Tupai mentah"
Sementara yang lain makan, aku tetap di tendaku.
Tak lama kemudian api unggun mati. Hutan di sekitar danau
menjadi sunyi. Lalu aku melihat cahaya dari balik tendaku. Cahaya jingga
bulan yang mulai naik. Bulan purnama. Aku meringkuk di kantong tidurku.
Aku berdoa mudah-mudahan perkiraanku salah. Mungkin tidak
akan ada apa-apa. Saat itulah aku mendengar lolongan yang pertama.
Bulu kudukku langsung meremang dan jantungku berdebar
kencang. Aku pernah mendengar lolongan itu.
Aku mesti keluar dari sini! Mesti kabur dari tempat ini!
Aku keluar dari kantong tidurku, lalu merangkak di tanah dan
membuka pintu tenda sedikit, mengintip ke luar. Kulihat Phil berdiri
di depan tendanya dalam kaus merahnya.
Tapi wajahnya bukan lagi wajah Phil.
Rambut tebal dan gelap menutupi wajah dan lengannya.
Sepasang taring putih mencuat dari mulutnya, berkilat-kilat seperti
belati. Ia mengangkat kepala ke arah bulan dan melolong lagi.
Ia sudah menjadi manusia serigala.
Saat lolongannya reda, aku membuka pintu tenda lebih lebar.
Sosok-sosok gelap mulai bermunculan dari tenda-tenda lainnya.
Sosok-sosok yang menggeram dan menyeringai, dengan bulu lebat
dan taring tajam. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku mengenali mereka.
Don, Jake, Kevin, dan lima anak lainnya. Semuanya manusia serigala.
Mereka berkumpul di sekitar Phil. Membentuk lingkaran.
Bersama-sama mereka mengangkat kepala dan melolong ke
arah bulan. Suara itu membuat darahku serasa membeku.
Sebelum aku bisa bergerak, makhluk-makhluk itu menoleh ke
arahku. Taring mereka berkilat-kilat saat mereka mulai bergerak ke
arah tendaku. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Seluruh tubuhku gemetar.
Bukan tupai mentah yang akan mereka makan, tapi aku.
Geraman mereka semakin keras. Aku membuka mata. Para


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia serigala itu semakin dekat.
Aku hendak menjerit ketakutan, tapi tak ada suara yang keluar.
Kucoba berdiri, tapi kakiku lemas sekali. Jantungku serasa
bergemuruh di telingaku. Kawanan itu semakin dekat.
Semakin dekat. Lalu aku bertatapan dengan Phil. Ia memegangi kepalanya yang
berbulu... Dan menarik lepas topengnya.
Aku ternganga kaget. Phil tertawa terpingkal-pingkal. Lalu
Jake, Kevin, Don, dan yang lainnya juga membuka topeng mereka dan
tertawa. "Selamat datang di perkemahan remaja, Brian," teriak Phil di
antara tawanya. "Kami selalu melakukan ini pada setiap anak baru,
tapi kaulah yang paling asyik."
"Yeah, kau benar-benar tertipu!" seru Jake. Ia mengeluarkan
sebuah tape kecil dari sakunya dan menyalakannya. Mula-mula
terdengar lolongan tunggal, lalu disusul lolongan mengerikan yang
tadi kudengar. "Suara segerombolan serigala," Jake menjelaskan. "Suara
mereka direkam di kaset."
Phil mengangkat sepasang sepatu tua yang sudah dibentuknya
untuk membuat jejak-jejak serigala. Don menunjukkan taring palsu
yang dikenakannya saat main bisbol.
Kevin mengangkat sebuah kantong plastik. "Kecap dan spageti
cincang," katanya. "Kelihatannya seperti hamburger mentah, kan?"
Dad benar. Semua itu hanya tipuan.
Aku mendesah lega dan merangkak keluar dari tenda.
Anak-anak itu tertawa dan menepuk punggungku. "Jangan
marah, Brian. Oke?" kata Kevin.
Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi yang keluar justru
suara geraman pelan dari dalam tenggorokanku.
"Hei, Brian, sudah dong bercandanya," kata Phil.
Lagi-lagi aku mengeluarkan suara geraman.
Aku merasa aneh. Seluruh tubuhku gatal.
Aku menunduk dan melihat bulu-bulu lebat tumbuh di balik
telapak tanganku. Kukuku semakin panjang, terus memanjang menjadi cakar
tajam. Kugosok-gosok bulu tebal yang kasar itu, yang telah menutupi
pipi dan daguku. Sambil mengentakkan rahang aku mengeluarkan suara geraman
tajam. Lalu aku mengangkat kepala ke bulan purnama... dan
melolong. Anak-anak lainnya melongo memandangiku, masih sambil
memegang topeng masing-masing.
Aku tidak menyalahkan mereka. Tadi pun aku ketakutan pada
manusia serigala. Aku melolong lagi. Jadi, ini yang dimaksud Mom ketika
mengatakan segalanya akan beres.
Perutku berkeruyuk. Rasanya aku benar-benar lapar.
Kuentakkan rahangku. Teman-temanku yang ketakutan mulai
berlari. Tapi aku tahu mereka tidak akan bisa lari jauh. Empat kaki
lebih cepat daripada dua kaki.
Kurasa Thunder Lake tidak akan terlalu membosankan lagi,
pikirku. Dan aku pun mulai berlari.
P.S. JANGAN DIBALAS KAMP Timber Lake Hills. Tempat perkemahanku yang baru.
Baru dan asyik. Aku sudah delapan hari di sini. Di Pondok 14, dan
aku benar-benar senang di sini.
Para teman sepondokku suka mempermainkan satu sama lain.
Mereka ahli sekali untuk hal satu itu.
Tapi Sam payah. Ia pimpinan kamp di sini. Ia jangkung sekali,
dan berperut buncit. Kepalanya botak, tapi kumisnya lebat. Dan ia
tidak pernah tersenyum. TIDAK PERNAH!
Banyak kegiatan di sini, tapi yang paling kusukai adalah sofbol.
Teman-teman sepondokku paling jago bermain sofbol di antara para
pekemah lain. Bukannya sombong, tapi kebetulan aku adalah pemukul bola
paling hebat di pondokku. Padahal aku baru dua belas tahun"setahun
lebih muda daripada teman-temanku.
Dave si Pencetak Angka... begitulah julukan mereka untukku.
Seperti kukatakan, perkemahan ini oke.
Tapi ada satu masalah. Aku sudah seminggu lebih di sini, tapi belum sekali pun
mendapat surat dari rumah.
Mungkin sebenarnya tidak terlalu aneh, tapi pada perkemahan
tahun lalu Mom dan Dad mengirimiku empat surat dan sekantong
makanan, padahal waktu itu baru hari kedua.
Tahun ini belum ada apa-apa. Kartu pos pun tidak.
Jadi, ketika Sam mengumumkan, "Surat!" siang ini, aku lari
keluar. Pasti hari ini ada surat untukku.
Atau paket. Apalah. Sam mengorek-ngorek kantong suratnya dan menarik
segenggam amplop. "Don Benson! Mark Silver! Patrick Brown!"
Mereka melompat untuk mengambil surat.
Selesai pembagian, Don memamerkan enam surat untuknya.
"Hei, kalian dapat berapa?"
Jeremy mendapat tiga surat.
Patrick menari-nari menunjukkan komik baru yang dikirimkan
ayahnya. Aku tidak mendapat apa-apa.
"Mustahil," gerutuku. "Mom janji akan menulis."
Memang sih ini bukan masalah besar. Maksudku, banyak anak
lain di perkemahan yang tidak mendapat surat.
Tapi orangtuaku sudah janji.
********** Tiga hari kemudian tetap belum ada surat untukku.
Kuminta Sam memeriksa ke kantor pos. Ia janji akan
melakukannya. Kantor pos itu dikelola oleh Miss Mildred. Ia sudah
lama sekali menangani pekerjaan itu, dan selama lima puluh tahun
bekerja, belum pernah ada surat yang hilang. Begitulah katanya.
Aku mulai membayangkan yang tidak-tidak. Mungkin Mom
dan Dad mengirimkan surat ke perkemahan yang kudatangi tahun lalu.
Atau mungkin ada gempa bumi, sehingga mereka tidak bisa keluar
rumah. Pokoknya bayangan-bayangan konyol semacam itu.
Akhirnya kuputuskan untuk menelepon ke rumah, menanyakan
apa yang terjadi. "Sam," kataku setelah pembagian surat hari itu. "Aku ingin
menelepon ke rumah."
Sam menggeleng. "Tidak boleh menelepon, kecuali untuk
urusan penting," bentaknya.
"Tapi ini penting," desakku.
"Tidak bisa." ********** Hari berikutnya, setelah berenang, kami semua bergegas ke
pondok untuk ganti pakaiah dan siap-siap bertanding sofbol dengan
Pondok 13. "Surat!" seru Sam ketika aku sedang mengikat tali sepatuku.
Aku lari ke beranda tepat saat Sam mencabut sepucuk surat untukku
dari kantongnya. "David Stevenson! Hari ini kau beruntung. Miss Mildred
menemukan surat ini di dasar laci," kata Sam sambil melambaikan
sepucuk amplop lusuh. "Dia heran kenapa surat ini ada di situ. Siapa
yang menaruh" Pokoknya dia bilang dia akan mencari, siapa tahu ada
lagi." Kusambar surat itu dari tangan Sam. Kuperiksa bahwa nama di
bagian depan sampul memang namaku, lalu aku membukanya.
Hai, David, Kami tidak bisa mengunjungimu. Kakakmu rindu padamu.
Sampai bertemu bulan Agustus nanti.
Mom dan Dad P. S. Jangan dibalas. Hah" Cuma itu" Kubalik kertas itu dan kuamati dengan curiga.
Ini pasti ulah iseng teman-temanku. Tapi mereka semua sedang asyik
membaca surat masing-masing. Tidak ada yang menoleh ke arahku.
Aku duduk dan membaca surat itu lagi.
Kami tidak bisa mengunjungimu.
Kenapa begitu" Mereka kan sudah janji. Mereka selalu datang
pada hari berkunjung. Selalu.
Kakakmu rindu padamu. Tak mungkin! Kakakku, Carly, menari-nari seperti orang
sinting ketika aku berangkat ke perkemahan ini. Katanya itulah hari
paling bahagia dalam hidupnya.
Dan P.S. jangan dibalas. Inilah yang paling aneh, kenapa Mom
menulis begitu" Katanya Mom senang sekali kalau menerima surat
dariku. Aku ingin menangis rasanya. Tapi belum sekarang.
********** Keesokan siangnya ada surat lagi untukku. Bagus! Ini akan
menjelaskan segalanya. Aku mulai membaca.
Hai, David, Kami akan mengirimmu ke rumah kakek John untuk tinggal di
sana. Dia akan menjemputmu tanggal 27. Kami rasa itulah yang
terbaik. Mom dan Dad P.S. Jangan dibalas. "Apa?" Aku hampir-hampir tersedak.
Tanganku gemetar. Mana mungkin mereka menyuruhku tinggal
bersama Kakek John" Umurnya sudah delapan puluh tujuh tahun dan
dia tinggal di panti werda.
Aku memandang pepohonan di seberang pondokku.
Pandanganku mulai kabur. Tanganku serasa beku dan dingin dan
mataku penuh air mata. Aku melompat dan lari ke kantor perkemahan. Ke pintu
depannya. Tapi ternyata dikunci.
Aku mengintip dari kasa penutup jendela. Tidak ada orang di
dalam. Tapi di temboknya ada telepon. Aku mesti bisa menggunakan
telepon itu. Aku menoleh kiri-kanan. Tidak ada siapa-siapa. Syukurlah.
Pelan-pelan kuangkat kasa jendela dan aku memanjat masuk ke dalam
kantor. Aku melesat ke telepon dan memencet nomor.
Pada dering ketiga, telapak tanganku sudah basah oleh keringat.
Dahiku juga. "Ayo! Angkatlah!" Aku bergerak-gerak gelisah.
Akhirnya ibuku menjawab pada dering keempat.
"Mom!" seruku. "Apa yang terjadi?"
"... sedang tidak di rumah. Silakan tinggalkan pesan. Semoga..."
Aduh! Di luar ada suara-suara. Menuju kantor ini. Aku tidak
sempat meninggalkan pesan.
berpikirlah, Dave. Cepat! Dan lekas keluar dari sini!
Mendadak aku melihat jendela di bagian belakang kantor.
Kubuka kasanya, dan aku memanjat ke luar.
Aku bergegas kembali ke pondokku dengan terngah-engah. Aku
melompati anak tangga beranda. Pintu terbuka.
Sam berdiri di situ, seperti patung batu, melotot padaku.
"Stevenson! Kau akan mendapat masalah besar!"
"Tapi, Sam...," aku ingin menjelaskan.
"Tidak, Stevenson, kau terlambat ikut acara berburu harta di
hutan. Ingat" Sekarang kau mesti menyusul yang lainnya." Ia turun
tangga dan menuju pepohonan.
Acara berburu harta" Oh iya! Kami akan hiking di hutan, lalu
makan malam di dekat api unggun, lalu mulai berburu. Aku lupa.
Kuaduk-aduk laciku, mencari perlengkapan untuk acara itu.
Lampu senter, ransel, sweatshirt.
Kenapa aku diperlakukan begini oleh orangtuaku" pikirku
sambil mencari-cari lampu senter dengan panik.
Lalu aku melihat amplop itu. Di bawah dipanku, di samping
lampu senter yang kucari. Amplop surat yang kuterima siang tadi.
Kubaca lagi alamatnya. David Stevenson. Kamp Timber Lane
Hills.ebukulawas.blogspot.com
Astaga! Kenapa tadi aku tidak memperhatikan" Kampku
bernama Timber Lake Hills.
Pantas saja! Kamp Timber Lane Hills berada di sisi seberang
sana danau. Ada kesalahan rupanya. Aku mendesah lega. Berarti surat-surat
ini bukan untukku, melainkan untuk anak lain yang juga bernama
David Stevenson dan ikut di perkemahan lain. Kemungkinan suratsurat untukku ada padanya.
Kusambar lampu senterku dan kumasukkan ke ransel.
Aku tahu apa yang mesti kulakukan, Sementara anak-anak lain
ikut acara berburu harta, aku akan menyelinap ke seberang sana
danau, ke Kamp Timber Lane untuk mencari David Stevenson itu.
********** Begitu acara dimulai, aku menyelinap dalam kegelapan dan
mengarah ke dermaga. Perahu-perahu milik perkemahan terayun-ayun pelan di air
yang diterangi cahaya bulan. Aku naik ke salah satunya.
Kutarik tali penambat jangkar perahu. Berat sekali.
kutarik lagi dengan dua tangan. Tidak terlalu berat lagi.
Jangkar terangkat naik dari air dan kutaruh di dasar perahu.
Perahu bergoyang-goyang. Aku membungkuk dan memegangi
sepasang dayungnya erat-erat. Dan menunggu. Menunggu ditangkap.
Hening. Aku mendesah pelan, lalu mulai mendayung.
Sementara perahu meluncur di air, cahaya lampu dari
perkemahanku semakin kecil. Aku menoleh ke daratan di seberang
sana. Hutan lebat. Kegelapan total. Mungkin rencanaku tidak
bijaksana. Tapi aku mesti pergi ke kamp seberang itu. Aku ingin
mengambil suratku. Aku mendayung lebih cepat. Lenganku sakit. Debur pelan air
yang tersibak dayungku serasa menggemuruh di telingaku. Pelipisku
berdenyut-denyut. Akhirnya aku melihat dermaga.
Kuturunkan jangkar dan aku naik ke darat.
Kayu dermaga itu sudah rapuh dan retak-retak.
Mana jalan setapaknya" pikirku sambil menyorotkan lampu
senter ke tengah alang-alang yang tinggi.
Aku tersandung-sandung dalam gelap, menembus rumput tinggi
dan tajam yang menggores-gores kakiku.
Sekonyong-konyong sinar senterku mengenai sebuah papan
penunjuk bertulisan KAMP TIMBER LANE HILLS.
Akhirnya kutemukan juga. Aku memandang ke belakang papan itu, menajamkan mata. Ya,
itu ada pondok-pondok. Tapi di mana anak-anaknya" Kenapa tidak ada lampu satu pun
di kamp ini"

Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aneh. Aneh sekali. Aku berjalan ke pondok pertama. Seorang anak lelaki kurus
yang sebaya denganku sedang berdiri di pagar beranda. Ia mengangkat
kepalanya perlahan-lahan. Matanya yang cekung menatapku.
"Permisi," kataku gugup, "apa di sini ada yang bernama David
Stevenson?" Ia mengangkat lengannya yang kurus dan menunjuk ke pintu di
belakangnya. "Trims," kataku, tapi aku tidak langsung pergi. Aku ingin
kembali rasanya ke kampku sendiri yang ceria dan normal.
Teruskan saja, kataku pada diri sendiri. Ambil surat-suratmu.
Aku melewati anak tadi dan membuka pintu yang berderit-derit
itu. Tanganku gemetar ketika menyorotkan cahaya lampu senterku ke
dalam ruangan gelap itu. Tidak ada orang.
Aku pergi saja, pikirku. Tempat ini menyeramkan. Tapi ketika
berbalik, aku melihat sesuatu. Bukan. Seseorang! Bergerak dalam
bayang-bayang. "Siapa... siapa di situ?" tanyaku ngeri.
"Kau mau apa?" sahut sebuah suara serak.
"Aku... mencari David Stevenson."
"Aku sendiri," sahut suara itu ketus.
Kuarahkan senterku ke ujung belakang pondok.
Itu dia. Seorang anak lelaki kurus dengan rambut cokelat
panjang dan pakaian kotor cabik-cabik.
"Kau mau apa?" tanyanya dengan tatapan dingin.
Aku tak bisa menjawab. Jantungku berdebar kencang.
"Aku tanya, kau mau apa?" ulangnya.
Aku menelan ludah dan menjawab, "Surat-suratmu ada
padaku." Ia menyipitkan mata dengan marah. "Apa?"
Kuambil surat-surat itu dari sakuku dan kuulurkan padanya.
"Surat untukmu, dari rumah," aku menjelaskan. "Dan aku ingin minta
surat-suratku. Kalau ada padamu."
"Kau siapa?" tanyanya sambil melangkah lebih dekat.
"Namaku juga David Stevenson," sahutku. "Aku dari Kamp..."
"Pergi!" teriaknya sambil mengepalkan tinjunya dengan marah.
"Jangan sampai mereka melihatmu di sini!"
Wah, anak ini sinting! "Dengar," pintaku, "berikan saja surat-surat itu padaku, dan aku
akan pergi." "Pergi! Pergi! Pergi!" teriaknya.
Aku melesat ke luar dan menuruni anak tangga. Anak kurus tadi
tidak ada lagi. Aku tersandung-sandung menembus rumput lebat, mencari
jalan di antara tunggul-tunggul pohon.
Lalu aku mencium sesuatu yang sudah akrab di hidungku. Bau
api unggun. Aku mendengarkan. Bunyi api berderak keras.
Aku membungkuk di belakang sebongkah karang besar,
mengamati cahaya api unggun yang berkelap-kelip. Ratusan anak
sedang mengelilinginya dengan lengan saling memeluk. Mereka
bergoyang-goyang sambil merintih. Terus merintih.
Kamp apa ini" pikirku.
Ada yang tidak beres di sini.
Aku melompat, siap lari. Tapi sebuah lengan kurus dan panjang
meraih tanganku. Anak di beranda tadi itu. Matanya bersinar jahat saat ia
menarikku ke api. Aku berusaha melepaskan diri, tapi tak bisa.
Anak-anak lainnya berbalik menghadap kami. Terus merintih.
Mata-mata cekung mereka menatap kosong padaku. Apa
mereka sedang kerasukan"
Lalu mereka melepaskan pelukan dan memberi jalan untuk
kami. Wajahku panas oleh cahaya api yang berkobar-kobar.
Mendadak aku tahu apa yang akan mereka lakukan. Mereka
akan mendorongku ke dalam api.
"Tidaaaak!" teriakku.
Kusentakkan lenganku keras-keras dan aku berhasil lepas. Aku
lari. Lari cepat sekali. Aku melompat ke perahu dan mendayung cepat ke seberang
danau. Lalu aku menyerbu ke pondokku.
Sam sedang mondar-mandir di beranda. Gelisah.
"Sam! Sam!" teriakku terengah-engah.
"Stevenson! Dari mana saja kau" Seluruh kamp ini keluar
mencarimu. Ibumu menelepon. Katanya mereka harus pergi..."
"Sam, dengar!" Dengan tergesa-gesa kuceritakan semua
peristiwa tadi pada Sam. Tentang anak yang juga bernama David
Stevenson. Para peserta kamp yang sedih dan terus merintih. Anak
kurus yang mencoba menyeretku ke api.
Sam menatap tajam padaku. "David, kau ini bicara apa sih"
Cuma kita yang berkemah di danau ini."
"Tidak. Kau salah, Sam. Aku melihatnya. Papan itu bertuliskan
Kamp Timber Lane Hills."
Sam menggosok-gosok dagunya sambil berpikir. "Memang
pernah ada perkemahan di seberang danau itu," katanya. "Tapi
perkemahan itu terbakar habis pada musim panas tiga puluh tahun
yang lalu." "Tidak!" teriakku. "Kamp itu masih ada. Akan kutunjukkan
padamu." Sam menarikku naik ke pondok. "Kita tidak akan kemana-mana
malam ini. Aku akan membereskan masalah ini besok pagi."
"Tapi..." "Besok pagi!" kata Sam dengan tegas. "Sekarang masuklah dan
cobalah tidur." Aku terhuyung-huyung ke dipanku, seperti dalam mimpi.
"Aku tidak salah lihat," gumamku sambil naik ke dipan.
Kuambil lampu senterku dan kututupi tubuhku dengan selimut
sampai ke kepala. Lalu kunyalakan lampu senterku dan kuarahkan ke
salah satu amplop surat yang kuterima.
Nah, aku tidak sinting kan" Jelas tertulis di sini. David
Stevenson. Kamp Timber Lane Hills.
Lalu kuarahkan cahaya senter ke sudut kanan atas amplop. Dan
aku tercekat. Cap posnya bertanggal 10 Juli 1968.
AKU INGIN MENJADI IKAN "Jadi, aku bakal berada di apartemen panas ini SEPANJANG
musim panas" Aduh, Mom... di sini membosankan sekali!"
Biasanya kami selalu pergi ke danau. Setiap musim panas. Tapi
kata Mom tahun ini kami tak bisa ke mana-mana.
"Tidak ada dana, Eric," kata Mom. "Mahal sekali menyewa
rumah di tepi danau, dan tahun ini kita tidak punya uang."
Tahun ini memang tahun yang payah. Tidak ada uang.
Orangtuaku bercerai, dan semuanya berantakan.
Mom berdiri di sudut kamarku, memandangiku. Mungkin ia
mengira aku akan menangis atau apalah. Tapi aku tidak menangis.
Aku tersenyum dan mengatakan aku tidak apa-apa"padahal
sebenarnya tidak begitu. Setelah Mom keluar, aku berbaring di ranjang. kupejamkan
mataku, mencoba membayangkan danau itu. Mungkin hari ini airnya
berwarna biru-kelabu. Jernih.
Kukatupkan mataku rapat-rapat dan kucoba membayangkan
rasa air itu. Dingin. Enak. Pasirnya menyelusup di sela-sela jari
kakiku. "Eric?" Adikku, Sarah. Lamunanku buyar.
"Bisa ketuk pintu dulu, tidak?" teriakku.
Sarah tidak pernah mengetuk pintu. Ia umur sembilan tahun.
Tiga tahun lebih muda dariku. Tapi ia tetap mesti belajar mengetuk
pintu. Sarah dan aku sangat berbeda. Mata dan rambutku cokelat,
sedangkan ia berambut merah dan bermata hijau. Aku menyenangkan,
dia tidak. Aku selalu ketuk pintu dulu, dia tidak.
"Ada apa?" Aku mengeluh sambil berguling turun dari tempat
tidur dan berjalan ke akuarium ikanku.
"Kita tidak ke danau tahun ini," kata Sarah.
"Aku sudah tahu," sahutku.
"Tapi di sini panas sekali, dan kita tidak punya AC."
"Tidak usah diomongkan," kataku. "Pergi sana! Terlalu panas
untuk mengobrol." Ia menggesek-gesek kakinya sejenak, tapi lalu keluar. Tanpa
menutup pintu. Aku memandangi akuariumku dan memikirkan hawa panas
menyengat ini. Kausku sudah lengket di badan, padahal ini baru bulan
Juni. Bagaimana rasanya pada bulan Agustus nanti"
Aku menaburkan sedikit makanan ikan ke akuarium, lalu
duduk. Ikan-ikanku berlomba mendekati makanan itu. Mula-mula
yang besar, lalu yang sedang.
Ikan-ikan yang kecil bertarung memperebutkan makanan yang
tersisa. Yah, setidaknya ikan-ikan ini bisa berenang sepanjang musim
panas, pikirku. Beruntung sekali mereka.
*********** Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali.
Panasnya bukan kepalang. Mungkin suhu di kamarku sekitar
100 derajat. Aku melihat jam dan mengeluh. Baru pukul delapan, tapi
panasnya sudah tak tertahankan. Aku malas berpakaian. Kukenakan
saja celana pendekku, lalu aku keluar ke dapur.
Mom sedang menggoreng daging sambil menyeka dahi dengan
lengan bajunya. "Aku akan beli kipas angin hari ini," janjinya. Ia
menyodorkan sepiring pancake dan daging padaku.
Aku makan sedikit. Aku tidak begitu lapar. Terlalu panas untuk
makan. Aku kembali ke kamarku dan memandangi akuariumku. Ikanikanku tampak segar dan bahagia. Mereka melesat di air, seperti
kilatan perak dan emas. Aku berpikir-pikir, seperti apa rasanya menjadi ikan. Pasti
asyik, berenang-renang di air yang sejuk.
Kupandangi ikan-ikan itu... lama. Terus dan terus. Sampai
ibuku masuk. "Ini uang sakumu, Eric," katanya. "Mungkin bisa kaupakai
membeli sesuatu yang dingin hari ini. Es krim barangkali" Atau ikan"
Ikan eksotis yang sangat kausukai itu."
Aku tidak mau membeli ikan. Aku ingin MENJADI ikan. Di
danau. Kutelepon temanku Benny, tapi tidak ada jawaban. Lalu aku
teringat. Benny pergi ke Colorado dengan orangtuanya. Temanku Leo
ikut perkemahan, dan temanku satunya lagi tinggal bersama neneknya
selama musim panas. Wow. Musim panasku sangat membosankan.
Akhirnya aku pergi ke toko binatang, membeli puri untuk
akuariumku. Warnanya merah muda, dengan banyak pintu dan
jendela. Ikan-ikanku tampaknya senang. Mereka berenang keluar-masuk
puri itu, seolah-olah puri itu adalah rumah baru mereka.
Berhubung mereka sangat suka, minggu berikutnya aku
membeli perahu kecil warna ungu, dan minggu berikutnya lagi aku
membeli boneka penyelam yang membawa tombak panjang dan tajam
di tangannya. Kelihatannya ikan-ikanku senang.
Setiap ada kesempatan, aku selalu memandangi ikan-ikanku.
Aku tidak bosan-bosannya melakukan itu.
Lalu, suatu larut malam, sesuatu yang sangat aneh terjadi.
Kamarku rasanya seperti tungku. Aku berbaring tidak bergerak
di ranjangku. Celana pendekku menempel di kakiku, kaus kakiku
lengket dan gatal. Aku menoleh ke akuariumku. Lalu aku bangkit. Cahaya dari
akuarium itu menarikku mendekat.
Kutarik kursiku ke depan akuarium, dan aku duduk
memandangi ikan-ikanku. Ikan guramiku melesat keluar dari puri dan
mengitari perahu. Berulang-ulang.
Salah satu ikan platis-ku menghilang di bawah perahu.
Gelembung-gelembung dari filter air berputar-putar. Bergeluguk.
Kuangkat telunjuk kiriku dan kusentuhkan ke air yang dingin.
Kucelupkan jariku lebih dalam dan kugerakkan.
Jariku sepertinya mempunyai keinginan sendiri. Ia bergerak
berputar, membentuk angka delapan. Lagi dan lagi. Lima kali, searah
dengan jarum jam. Lalu dua kali, berlawanan dengan jarum jam. Lalu
tiga kali ke samping. Lagi dan lagi.
Di lorong kudengar jam berbunyi sepuluh kali. Aku membuat
satu angka delapan lagi di air dengan lelunjukku.
Lalu, sementara aku duduk di situ dengan mata setengah
terpejam, sesuatu yang aneh terjadi.
Saat jam berbunyi sepuluh kali, mendadak aku merasa basah.
Dan dingin. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami.
Aku memutar tubuh dan menendangkan kaki.
Dan berhadapan dengan seekor ikan. Bertatapan mata. Ikan itu
persis di depanku, melotot padaku.
"Aduh!" teriakku. "Apa aku jatuh ke akuarium?"
Aku menyelam dan memandang ke atasku. Ikan- ikan itu balas
memandangku. Mereka BESAR sekali.
Seperti ikan paus. Bahkan ikan koki yang paling kecil pun
kelihatan seperti ikan raksasa.
"Kenapa aku bisa ada di dalam sini?" kataku, bicara sendiri.
"Aku kenapa nih" Aku lebih kecil daripada ikan maskoki. Dan aku
bisa bernapas di dalam air."
Mestinya aku takut, tapi aku malah senang.
Benar-benar luar biasa. Aku menyelam ke dasar akuarium dan
melakukan jungkir balik. Hebat!
Aku berenang lamaaa sekali. Menyelam berkali-kali. Meluncur
menyentuh dasar, berdiri dengan kepala, lalu melesat lagi ke atas dan
menyemburkan air ke salah satu ikan maskokiku.
Kelihatannya si maskoki kesal. Ia melotot marah padaku, lalu
mulai bergerak... pelan-pelan... ke arahku.
Aku melesat ke perahu dan masuk ke dalamnya. Perahu itu
miring dan air masuk ke dalamnya, tapi ia tidak tenggelam.
Si maskoki tidak terburu-buru. Pelan-pelan ia mengitari perahu.
Terus... terus... terus... sambil mengawasiku dengan marah.
Apa dia mau menyerangku"
Aku meringkuk di dasar perahu sepanjang malam. Mudahmudahan si maskoki berhenti mengitari perahu.
Aku tidak tahu lagi jam berapa sekarang. Tak lama kemudian
matahari bersinar di atas akuarium. Sudah pagi.
Dari jauh kudengar suara yang sudah sangat kukenal. "Eric"
Eric?" Adikku! Belum pernah aku segembira ini mendengar suaranya.
"Sarah!" panggilku. "Aku di sini. Di dalam akuarium!"
Aku melongok dari tepi perahu dan melihat Sarah mencari-cari
di kamarku. "Sarah, di sini!" teriakku. Lihat ke akuarium! Di sini!"
Sarah melongok ke akuarium dan memandangi ikan-ikan.
"Di sini! Hei!" teriakku. Aku melompat dan melambai-lambai.
Hampir-hampir aku terjungkal dari perahu. "Sarah! Sarah!"
Seekor gurami besar berenang di depanku, menutupiku dari


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan. Ketika ikan itu lewat, Sarah sudah pergi.
Sekarang bagaimana" pikirku. Aku sudah berenang. Aku sudah
bersenang-senang. Sekarang waktunya keluar, menjadi manusia
normal lagi. Ikan maskoki raksasa itu datang lagi ke arahku.
"Awas!" teriakku.
Terlambat. Ia menubruk tepi perahu dengan keras.
"Hei!" teriakku ketika perahu menjadi miring. Aku terjatuh ke
air dengan suara keras. Ikan itu melewatiku. Tepi tubuhnya yang bersisik inengenai
pinggangku. Iiih! Terdengar suara mengisap yang menjijikkan. Aku menoleh dan
melihat mulut si ikan menganga mengisap air, menarikku ke arahnya.
Aku bakal jadi makanan ikan, pikirku.
Kucoba berenang lebih cepat, tapi sisi tubuhku mulai sakit.
Suara mengisap itu semakin keras. Ikan itu menarikku ke arah
mulutnya. Sebuah gagasan nekat melintas di benakku. Boneka penyelam
itu! Kutendangkan kakiku keras-keras, lalu aku menyelam ke arah
boneka plastik tersebut. Kuambil tombak di tangan si penyelam, lalu aku berbalik untuk
menghadapi musuhku. Ikan-ikan lainnya berpencar ke tepi-tepi akuarium.
Si ikan maskoki mulai menyerang, melesat ke arahku.
Aku berkelit dan menendang keras, lalu menyelam ke dasar
akuarium. Kutunggu ikan itu berputar, lalu kuangkat tombakku tinggitinggi.
Aku membidik, kemudian melemparkan tombak itu ke arah si
maskoki. Meleset. Ikan itu terlalu gesit.
Kulihat mata si maskoki berkilat marah. Ia menyelam ke
arahku. Aku bersandar di tepi akuarium. Ikan itu berbalik dan
menghantamku dengan ekornya.
Aku terkejut. Lututku lemas dan aku hampir jatuh ke lantai
akuarium. Tombak tadi melayang ke dasar. Aku meraihnya, persis saat
ikan itu kembali menyerang.
Tubuhnya yang kuning raksasa meluncur ke arahku. Aku
mengambil ancang-ancang dan menusukkan tombak itu ke perut si
maskoki. Astaga, pikirku ketika melihat ikan itu melayang miring. Aku
membunuh ikan peliharaanku sendiri.
Tapi aku tak bisa lama-lama menyesalinya. Kan tadi ikan itu
ingin memakanku. Ikan mati itu melayang ke permukaan, tapi aku tidak sempat
bersantai. Ikan-ikan lainnya mengincarku sekarang.
Kusambar tombak itu dan kupegang dengan sikap siap. Apa aku
perlu melawan mereka satu per satu"
Dua ikanku yang paling kecil berenang mendekat. Mereka lebih
besar daripadaku. Kalau mereka hendak menyerangku bersamaan,
habislah aku. Lalu dari jauh aku mendengar suara-suara. Kata-katanya
terhalang oleh air, tapi dari balik kaca akuarium aku bisa melihat
Mom dan Sarah. Mereka sedang mencari-cari di kamarku. Kurasa mereka
bingung, di mana aku berada.
Aku tak bisa memanggil mereka dari dasar akuarium begini,
tapi bisakah aku memberi isyarat pada mereka. Atau menarik
perhatian mereka" Jantungku mulai berdebar kencang ketika Sarah berjalan ke
akuarium. Ia melongok ke air, lalu menjentikkan jari ke ikan
maskokiku yang mati. "Mom, ada ikan yang mati di sini!" kudengar ia memanggil.
Mom menghampiri Sarah dan ikut melihat ikan mati itu, lalu ia
mengambil serok putih yang kutaruh di samping akuarium.
Mom akan menggunakan serok itu untuk mengambil ikan yang
mati, pikirku. Aku menarik napas panjang dan melesat dari dasar akuarium.
Aku berenang ke permukaan secepat mungkin.
Aku menendang dan menggerakkan tangan di air.
Aku mesti mencapai serok itu. Hanya itu kesempatanku untuk
lolos dari sini. Aku terus berenang ke atas. Akhirnya aku mencapai permukaan
dengan terengah-engah. Seluruh ototku sakit. Kusambar tepi serok itu
dengan dua tangan, lalu aku menarik tubuhku dan masuk ke
dalamnya. Yes! Kucoba berdiri dan melambai pada ibuku, tapi serok itu
bergoyang-goyang di air dan tercebur lagi. Aku berjuang agar tetap di
dalam. "Owww!" teriakku ketika sesuatu yang berat mendarat di
atasku. Berat dan sangat bau. Ikan maskoki yang mati itu.
Kucoba mendorongnya dari tubuhku, tapi aku tidak cukup kuat.
Aku tak bisa bernapas. Ikan itu menindihku.
Lalu kurasakan air mulai berkurang. Serok itu diangkat dari
dalam akuarium. Ikan mati itu bergoyang-goyang di atasku.
Mom membawa serok itu ke luar kamar. Kucoba
memanggilnya, tapi ikan mati itu menutupi wajahku.
Ke mana Mom akan membawaku"
Oh, tidak! Aku tahu! Mom akan membawaku ke tempat
pembuangan semua ikan mati.
Ke kamar mandi! "Mom!" teriakku sambil mendorong ikan mati itu. "Jangan
buang aku! Aku kan anak lelaki satu-satunya, Mom!"
Aku memanjat ke tubuh ikan mati itu, tapi Mom tetap tidak
mendengarku. "Tolong, jangan buang aku! Aku ada di sini, Mom! Jangan
buang aku!" Mom memiringkan serok itu. Kucoba meraih tepinya, tapi
gagal. Aku meluncur jatuh. Terus, terus. Kupejamkan mata saat terjatuh. Udara tajam menerpaku,
mengeringkan tubuhku yang kecil.
Aku menunggu diriku tercebur.
Tapi kakiku ternyata menyentuh lantai.
Terkejut, aku membuka mata... dan berdiri berhadapan dengan
Mom. Ia sangat terperanjat, dan menjatuhkan serok itu. "Eric! Dari
mana kau muncul?" teriaknya.
"Oh... aku... ada di kamar kok," kataku, mencoba bersikap biasa
saja. Tapi aku tidak merasa biasa saja. Rasanya aku ingin melompatlompat sambil berseru-seru, "Aku normal lagi! Aku normal lagi!"
Bagaimana aku bisa kembali seperti semula" pikirku. Mungkin
karena aku sudah kering. Begitu tubuhku kering, aku kembali ke
ukuran semula. Aku tidak mau jadi kecil lagi, janjiku pada diri sendiri.
*********** Selama dua hari aku menepati janjiku, tapi kemudian suhu
meningkat hingga 102 derajat. Aku hampir-hampir tak bisa bernapas.
Aku perlu berenang... sangat perlu.
Kupandangi akuarium sambil teringat betapa dingin dan segar
airnya. Ya, memang berbahaya pengalamanku waktu itu.
Tapi juga mendebarkan. Dan saat ini aku sangat kepanasan.
Kali ini aku akan lebih hati-hati, pikirku. Pertama-tama aku
akan membuat tembok dari bebatuan kecil di tengah akuarium. Aku
akan berenang di dalamnya, terlindung dari ikan-ikan di luar.
Aku akan punya kolam renang sendiri.
Kalau sudah bosan berenang, aku akan berdiri di atas bebatuan
itu sampai tubuhku kering. Lalu aku akan kembali ke ukuranku
semula. Asyik kan" Kumasukkan jariku ke air, membuat angka delapan searah
dengan jarum jam. Kulakukan itu lima kali, lalu aku membalikkan
arahnya, lima kali lagi. Gelembung-gelembung filter di akuarium bergeluguk...
bergeluguk.... Dan sekali lagi aku menjadi kecil. Aku berada di dalam air.
Baru sebentar aku berenang, terdengar suara-suara di luar. Aku
melayang pelan-pelan dan mendongak. Aku terkejut melihat Mom dan
Sarah. "Di mana Eric?" kudengar Mom bertanya, suaranya tidak jelas,
karena terhalang air. "Di mana dia" Aku membawakan kejutan hebat
untuk dia." "Entah ya!" sahut Sarah. "Dia sering menghilang."
Mom mendekat ke akuarium, membawa kantong plastik di
tangannya. Di kantong itu ada dua ekor ikan. Aku memandangi dari
dasar kolam renangku. "Lihat, Sarah," kudengar Mom berkata. "Eric sudah membuat
kolam renang kecil yang bagus untuk hadiahku. Dia menyusun
bebatuan ini dan memindahkan ikan-ikannya ke luar. Kurasa dia
sudah tahu apa yang akan kubelikan untuknya."
"Apa sih?" tanya Sarah. "Mom membelikan apa untuk dia?"
Mom mengangkat kantong plastiknya di atas akuarium dan
memasukkan kedua ekor ikan di dalamnya ke kolam renangku.
"Ikan Siam petarung," kata Mom. "Yang paling galak di dunia.
Lihat, mereka sudah mengertakkan gigi. Bayangkan, Eric pasti
terkejut sekali, ya?"
KALIAN PERCAYA KAN" AKU tahu kalian pasti tidak percaya. Tak ada yang bakal
percaya. Aku sudah bilang pada orangtuaku, pada guru-guruku, pada
polisi dan surat kabar. Aku bahkan sudah menulis surat pada Presiden.
Hah! Sama saja efeknya dengan bercerita pada kura-kura
peliharaanku, Mable. Aku telah menyelamatkan dunia dari makhluk angkasa luar.
Uh-oh, kalian pasti berpikir, "Makhluk angkasa luar" Dasar
anak sinting!" Tapi aku tidak sinting. Sungguh!
Semua ini bermula gara-gara piring-piring terbang itu. Dan
piring-piring terbang itu bermula gara-gara peraturan di rumahku.
Kurasa di dunia ini cuma aku anak yang orangtuanya menolak
mempunyai TV. "TV bisa merusak otakmu," kata ayahku.
"Banyak kegiatan lain yang menarik. Bukan hanya duduk di
depan kotak yang mendiktemu," kata ibuku.
Orangtuaku adalah hipi-hipi tua dari tahun enam puluhan.
Mereka percaya pada hal-hal semacam itu. Jadi, aku cuma bisa nonton
TV di rumah Robbie dan Melanie, sobat-sobat baikku. Kucoba
mengikuti perkembangan acara TV yang paling populer, supaya aku
tidak terlalu primitif di tengah anak-anak lain. Tapi aku tidak terlalu
banyak nonton TV. Sebagai pengganti TV, orangtuaku membelikanku teleskop
beberapa tahun yang lalu. Baik sekali mereka. Mereka tahu aku
senang membaca karya fiksi ilmiah tentang angkasa luar dan
semacamnya. Kalau tidak punya TV, tidak banyak kegiatan setelah membuat
PR. Jadi, setiap malam aku mulai mengamati langit.
Dan aku mulai melihat piring terbang.
Beberapa berbentuk bundar, dengan lampu hijau dan merah.
Beberapa seperti gulungan tisu. Beberapa lagi besar, dan beberapa
kecil. Menakjubkan, ternyata di atas sana ramai sekali.
Sebagian benda-benda di atas itu ternyata satelit cuaca dari
bumi, tapi sebagian lagi benar-benar piring terbang. Berani taruhan!
Memang tidak ada yang tahu, habis tidak ada yang pernah melihat sih!
Tapi orangtuaku cuma tertawa. "Itu pasti pesawat terbang,
Stanley," kata Dad. "Atau burung, Sayang," ibuku menimpali.
"Dia cuma ingin perhatian," kata kakakku, Laura. Padahal dia
yang suka cari perhatian. Dia sudah mulai memakai rias wajah untuk
menarik minat Herbie, Romeo di sekolahnya.
"Stanley manusia antik," kata adikku, Dan. Padahal dia yang
antik. Dia suka membuat bola-bola besar dari aluminum foil, dan dia
bilang aku yang antik" Huh!
Semua guruku menganggap aku mengada-ada. Ketika aku
menelepon polisi, mereka malah menganggap aku tidak waras.
Teman-temanku sama saja. "Stan," kata Robbie, teman baik nomor satu, "kau ini memang
aneh." Dengar ya, aku bukan orang aneh. Aku benar-benar anak dua
belas tahun yang normal. Aku duduk di kelas tujuh SMP Piscopo.
Tinggiku 170-an. Rambutku cokelat dan mataku biru, dan aku
memakai kacamata bergagang kawat. Aku pintar matematika dan IPA,
dan aku juga mahir main basket.
"Imajinasinya memang hebat," kata Melanie, teman baik nomor
dua. Mungkin ia benar, tapi aku tidak mengada-ada. Tidak tentang
hal-hal penting. "Dengar," kataku pada Robbie dan Melanie. "Aku bisa mengerti
kalau keluargaku, guru-guru, dan polisi tidak percaya pada ceritaku,
tapi kalian lain. Kita sudah berteman baik sejak kita masih pakai
popok." Melanie mendesah. "Stanley, kami memang teman baikmu
sejak lama. Itu sebabnya kami pikir kau tidak perlu meneruskan
omong kosong tentang angkasa luar itu. Di atas sana tidak ada cukup
ruang untuk semua piring terbangmu itu."
Begitulah. Sampai kemudian terjadi sesuatu pada tanggal12
Juli. Sesuatu yang mengubah kehidupanku selamanya.
************** Waktu itu pukul sebelas malam dan aku belum bisa tidur. Panas
sekali di kamarku. Keringat mengalir di leherku.
Kupandangi angka-angka jam di meja samping tempat tidurku.
11.01. 11.02. 11.03. Akhirnya aku bangun dan turun ke ruang bawah. Kuambil
segelas jus tomat kesukaan orangtuaku, lalu aku berdiri di pintu
belakang, memandang ke luar jendela. Di luar gelap dan berkabut.
Kilat berkeredap membelah angkasa, lalu guntur menggelegar.
Aku terlompat. Lalu hujan mulai turun.
Mulanya kukira aku melihat kilatan cahaya lagi. Aku
menajamkan mata. Sesuatu berkeredap, tapi bukan kilat.
Aku naik ke kamarku. Teleskopku ada di dekat jendela. Aku
mengarahkannya ke cahaya di atas itu, agar dapat melihat lebih jelas.
Apa yang kulihat membuat keringatku mengalir semakin deras.
Piring terbang! Bundar, besar, dan bercahaya, dengan banyak lampu putih di
sekelilingnya. Lampu-lampu itu berkelap-kelip; itu sebabnya piring
terbang itu tampak seperti kilat. Benda itu melayang di atas ladang
jagung Mr. Tribble. Aku menggosok-gosok mataku. Apa aku bermimpi" Kurasa


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak. Kucubit lenganku untuk memastikan. Ternyata sakit.
Piring terbang itu mendadak meninggi dan melesat pergi.
Mr. Tribble terkenal galak. Ia suka mengejar anak-anak dari
ladangnya dengan garpu penggaru. Ia jahat dan aneh, dan istrinya
sama saja. Tak ada yang mau dekat-dekat ladang mereka.
Tapi aku mesti ke sana. Mesti melihat apa yang terjadi di ladang
itu. Kukenakan jeans dan T-shirt-ku, juga sepatuku.
Dengan hati-hati aku turun lagi. Jangan sampai ada yang
terbangun. Aku ingin sendirian melihat apa yang terjadi. Kubuka pintu
depan, lalu aku menyelinap keluar.
Di luar masih hujan, tapi aku tidak peduli. Aku lari sepanjang
jalan. Akhirnya aku tiba di gudang merah Mr. Tribble. Aku
mengendap-endap ke ujungnya, lalu mengintip dari sudut.
Ladang jagung itu kosong, tapi ketika kuperhatikan kulihat
sesuatu yang aneh. Sepertinya ada orang yang membuat lingkaran api
di tanah. Pelan-pelan aku menghampiri bagian yang terbakar itu, lalu
menyentuhnya. Tadi ada sesuatu di sini.
Ketika aku menoleh, Mr. Tribble sudah berdiri di belakangku.
Matanya berkilat-kilat marah dan ia membawa garpu penggaru
di tangannya. "Kau sedang apa di ladangku?" tanyanya.
"Mr. Tribble!" kataku takut-takut. "Senang melihat Anda. Ada
piring terbang mendarat di ladang Anda. Lihat bekas-bekas itu...."
"Tidak ada apa-apa di situ!" kata Mr. Tribble dengan tajam.
"Tapi Anda mesti lihat!" seruku. "Tadi piring terbang itu ada di
sini, lalu pergi lagi...."
"Tidak. Tidak ada apa-apa di sini!" ulang Mr. Tribble.
Ia berjalan ke arahku, matanya berkilat-kilat. Lalu ia
menyeringai, garpu penggarunya bercahaya dalam gelap.
Aku lari. ************* Keesokan paginya, saat sarapan, kuceritakan peristiwa itu pada
keluargaku. "Kurasa Mr. Tribble tahu sesuatu," kataku akhirnya. "Menurut
kalian, kita mesti bagaimana?"
"Ambilkan rotinya dong," kata Laura.
"Mrph," kata Dan dengan mulut penuh.
"Dan, jangan bicara sambil makan," Mom memperingatkan.
"Lihat ini. Pabrik tutup," kata ayahku. "Para buruh kalah lagi.
Menurut berita ini..."
Begitulah! Teman-temanku sama saja. "Stan," kata Robbie, "ini pernah terjadi. Ini cuma imajinasimu."
"Imajinasi apaan?" teriakku. "Coba kalian lihat sendiri di ladang
itu!" "Aku tidak mau pergi ke ladang Mr. Tribble." Melanie
merinding. "Dia itu aneh."
"Oke," kataku dengan marah. "Terserahlah. Aku akan pikirkan
sendirian." Begitulah. Akhirnya aku mendapat rencana brilian. Aku akan
meminjam kamera ayahku untuk memotret lingkaran bekas terbakar
itu. Dengan begitu, mereka akan percaya padaku.
Iya tidak" ************** Keesokan malamnya, aku tidur dengan pakaian lengkap.
Kututupi tubuhku sampai ke dagu, supaya orangtuaku tidak tahu.
Kamera Dad kutaruh di bawah bantal. Aku sudah siap. Tinggal
menunggu yang lainnya tidur.
Aku melihat jam. 11.46. 11.47. Aku akan pergi saat tengah
malam. Aku melongok ke luar jendela. Lalu melihat lagi untuk
menegaskan. Piring terbang itu turun ke ladang Mr. Tribble.
Kusambar kameraku dan pelan-pelan aku lari ke luar rumah.
Aku mengendap-endap melewati rumah Mr. Tribble. Cahaya
TV memancar dari balik jendelanya. Aku mendesah lega. Kalau dia
terus nonton TV, mungkin dia tidak akan mengejarku.
Ketika tiba di ladang, jantungku serasa berhenti berdetak.
Piring terbang itu ada di situ.
Jauh lebih besar daripada yang kukira. Sekitar setengah
lapangan bola. Benda itu bersinar-sinar Ada anak tangga menuju ke tengahnya,
dan MEREKA turun-naik di tangga itu.
MEREKA... makhluk-makhluk angkasa luar itu.
Mereka juga besar, seukuran sapi Mr. Tribble, tapi bentuknya
tidak seperti sapi. Bentuk mereka tidak seperti apa pun yang pernah kulihat,
kecuali dalam mimpi buruk. Kulit mereka hijau berlendir.
Kepala mereka besar dan lembek, dengan mata besar berkilau.
Di kepala mereka ada antena dan kaki mereka ada enam. Di punggung
mereka ada dua lengan, tapi di ujung lengan itu ada cakar raksasa,
bukan tangan. Dari tubuh mereka menetes lendir hijau lengket.
Aku ternganga dan mulai gemetar. Aku ingin keluar dari sini...
secepatnya. Tapi tak mungkin. Aku mesti tahu, apa yang mereka lakukan di
sini. Beberapa makhluk memegang benda keperakan yang aneh.
Setiap beberapa menit mereka mengarahkan benda itu ke langit.
Lalu dua makhluk maju ke arahku.
Apa mereka melihatku"
Tidak. Mereka mulai bicara. Suara mereka sengau, seperti orang kena
flu. Dan yang mengejutkan, mereka ternyata bisa bahasa manusia.
"Kita hampir sampai pada tahap ketiga," kata Makhluk No. 1.
"Tanda ini akan menjadi yang terakhir."
"Salah makhluk bumi sendiri," kata Makhluk No. 2. "Gara-gara
gelombang televisi yang dikirimkan ke angkasa, kita jadi mendapat
gagasan." "Begitu kita mempelajari bahasa mereka dan memahami
pentingnya televisi bagi mereka, nah, tinggal soal waktu saja," kata
Makhluk No. 1. "Sudah sepuluh tahun. Pesan-pesan tidak tampak yang kita
pancarkan melalui acara-acara TV mereka telah membuat mereka
lemah dan bodoh. Makhluk bumi tidak percaya pada piring terbang.
Mereka pikir kita cuma ada di film fiksi-ilmiah." Makhluk No. 2
mendengus. Mungkin ia tertawa.
"Pesan terakhir ini akan menghabisi mereka," Makhluk No. 1
melanjutkan. "Mereka pasti tergoda. Mereka tak akan berdaya lagi di
depan kita. Mereka akan menyerah."
"Kapan akan kita pancarkan?" tanya Makhluk No. 2.
"Dalam dua puluh empat jam waktu bumi," sahut Makhluk No.
1. "Kita mulai pukul delapan besok. Pada 'jam tayang utama', menurut
istilah makhluk bumi."
Aku serasa tak percaya mendengarnya.
Jadi, selama bertahun-tahun ini, TV benar-benar telah
melemahkan umat manusia. Persis seperti yang dikatakan orangtuaku.
Mungkin bagus juga mereka tidak membolehkan ada TV di
rumah. Kedua makhluk asing itu pergi. Lalu kulihat sebuah pintu besar
terbuka di puncak piring terbang itu.
Semua makhluk asing menghentikan kegiatan mereka dan
memperhatikan. Terdengar suara mendesing, lalu sebuah piringan
besar keperakan muncul dan piring terbang.
Kelihatannya seperti piringan satelit TV.
Saat itulah aku teringat kameraku. Aku mesti memotret.
Mengingat aku biasanya sial, mungkin aku akan gagal. Tapi yang
penting dicoba dulu. Tanganku gemetar hebat, sehingga hampir hampir tak bisa
menekan tombol. Ketika sudah memotret lima kali, aku mendapat sial.
Hidungku terasa geli. Semakin lama semakin geli. Aku tidak
ingin berisik, tapi aku tidak tahan lagi
Dan aku pun bersin. Lima makhluk itu menoleh dan menatap ke tempat aku
bersembunyi. Sebelum aku sempat bergerak mereka sudah menyerbu
ke arahku. Aku berdebar-debar dan mencoba menjerit, tapi yang keluar
cuma suara serak pelan. Aku tak bisa bernapas. Kucoba berlari, tapi kakiku seperti
terpaku di tanah. Salah satu makhluk itu membawa kantong keperakan. Ia
mengeluarkan semacam tabung dari dalamnya.
Makhluk lainnya mencengkeramku, lalu makhluk pertama tadi
menusukkan tabung itu ke sisi tubuhku.
"Ow!" teriakku. Lalu semuanya gelap.
*********** Ketika aku siuman, yang tampak hanya kegelapan. Kucoba
bangkit, tapi tak bisa. Seseorang... sesuatu... telah mengikatku di meja.
Aku berada di dalam piring terbang.
Aku mengangkat kepala dan melayangkan pandang. Satusatunya cahaya di ruangan ini berasal dari sebuah TV raksasa yang
tergantung di udara, sekitar enam kaki di depanku.
"Nonton saja," kata sebuah suara makhluk asing dalam
kegelapan. Mereka memutar Space Trekkers. Aku belum pernah melihat
film ini. Kupejamkan mataku, tidak mau menonton, tapi makhluk itu
berkata, "Buka matamu, manusia." Nada suaranya tegas. Jadi, aku
menurut. Aku menonton. Selama tiga jam. Aku mengira akan merasa aneh, terhipnotis atau apalah.
Tapi nyatanya tidak. Kurasa pengaruhnya baru terasa kalau orang sudah terlalu
sering nonton siaran mereka.
Mendadak TV itu mati. "Bagaimana rasanya?" tanya si makhluk asing.
"Baik-baik saja," sahutku dengan suara datar, seperti orang
dihipnotis. "Bagus," kata si makhluk. "Sekarang pulanglah. Kau tidak
pernah kemari. Kalau kami datang, kau sudah akan siap."
"Aku akan siap," kataku lagi dengan suara seperti terhipnotis.
Tahu-tahu aku sudah berada di luar piring terbang itu. Aku
ingin lari, tapi kupikir lebih baik aku pura-pura masih berada di bawah
pengaruh mereka. Jadi, aku jalan saja pelan-pelan.
Begitu tiba di rumah, aku lari ke kamar orangtuaku. Kakiku
lemas sekali dan napasku terengah-engah.
"Mom! Dad! Ada piring terbang!" laporku. "Mereka
menangkapku dan mereka akan mengirimkan sinyal TV yang akan
membuat kita menjadi budak mereka. Besok malam, pukul delapan.
Kita mesti bertindak!"
Ayahku duduk di tempat tidur dan ibuku membuka mata.
"Kau mimpi buruk, Stanley," kata ayahku. "Kembalilah tidur."
"Tidak, ini sungguhan!" teriakku. "Kalian mesti percaya.
Mesti!" "Stanley," Mom ikut duduk juga akhirnya, "kau cuma mimpi.
Tapi aku senang kau mulai mengerti kenapa kami tidak suka nonton
TV" "Tidurlah, Nak," kata ayahku. "Kita bicarakan besok pagi saja."
"Seluruh dunia dalam bahaya, tapi kalian tidak percaya!"
erangku. Lalu aku ingat foto-foto tadi. "Aku punya foto- foto!" teriakku.
"Untuk bukti!" Aku hendak meraih kamera di leherku.
Ternyata sudah lenyap. ********** Keesokan harinya, hari Sabtu, aku menelepon Melanie pada jam
delapan pagi. Ia belum bangun, tapi aku tak peduli. Kuceritakan
semuanya. "Uh, Stanley," Melanie kedengarannya tak senang. "Ini kok
semakin aneh. Bisa tidak kauhentikan?"
"Tidak," kataku. "Aku serius."
"Yeah," gerutu Melanie.
Ketika aku menelepon Robbie, reaksinya sama saja.
"Aku percaya," katanya. "Aku sendiri dari Jupiter."
Kuputuskan untuk menghubungi polisi.
"Hei!" seru Opsir Banks ketika aku datang ke kantornya. "Ini
dia si anak piring terbang. Melihat piring terbang lagi, Nak?"
Dua polisi lain tertawa. Aku melotot pada mereka. Mereka tidak
akan percaya padaku. Kutinggalkan kantor polisi. Aku melihat sekelilingku. Hari ini
hari yang cerah dan normal. Banyak orang di jalanan. Tak ada yang
tahu bahwa bumi akan diambil alih oleh makhluk asing. Tak ada yang
peduli. Kecuali aku! Dan aku punya gagasan. Makhluk-makhluk itu telah membangun pemancar untuk
mengirimkan gelombang siaran mereka yang aneh. Mungkin aku bisa
membuat sesuatu untuk menghalangi, sehingga gelombang itu tidak
akan sampai ke TV siapa pun.
Mungkin aku bisa membuat cermin untuk memantulkan
gelombang makhluk asing itu. Aku bergegas ke rumah Robbie.
"Aku mau pinjam uang," kataku padanya. "Sebanyak yang
kaupunyai." "Buat apa?" tanyanya.
"Menyelamatkan dunia," kataku.
Robbie tidak percaya, tapi ia meminjamkan uangnya.
Begitu pula Melanie. Mereka memang baik. Aku langsung ke
supermarket, menyambar kereta, dan memenuhinya dengan gulungan
aluminum foil banyak-banyak.
Di kasir, Mr. Barnes terheran-heran. "Buat apa foil sebanyak
itu, Stanley?" tanyanya.
"Eksperimen IPA di sekolah," aku berbohong.
Jumlah pembelianku $134,59. Uangku tidak cukup.
"Besok orangtuaku akan membayar kekurangannya," kataku.
Kalau makhluk-makhluk itu kalah, pikirku.
Kubawa aluminum foil itu ke garasi rumahku dan aku mulai
membuat cermin raksasa. Ketika cermin itu sudah dua kali lebih besar daripada meja
makanku, aku kehabisan bahan. Kubawa benda itu ke ladang Mr.
Tribble. Untung tidak berat.
Kupastikan tidak ada yang melihat cerminku, lalu
kusembunyikan benda itu di hutan di belakang gudang. Kemudian aku
merangkak lebih dekat, untuk melihat apa yang terjadi.
Piring terbang itu ada di sana dan piringan satelitnya tampak
sudah siap. Piringan itu besar sekali. Kurasa cermin kecilku bukanlah


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tandingannya. Tapi aku tak punya waktu lagi. Sekarang sudah jam
setengah tujuh. Lalu mendadak aku punya ide cemerlang.
Aku lari pulang, menyelinap ke kamar adikku, Dan, dan
mencuri bola aluminum raksasanya.
Tak kusangka bola ini akan berguna. Yah, rupanya Dan
lumayan juga. Aluminum dari bola itu kugunakan untuk memperbesar
cerminku. Entah usahaku akan berhasil atau tidak, pokoknya aku
mesti mencoba. Kuseret cermin itu ke cabang tinggi sebatang pohon mapel yang
besar. Dari sana aku bisa melihat piringan makhluk itu.
Mudah-mudahan mereka tidak melihatku. Kelihatannya mereka
tidak ada di luar. Mungkin mereka sedang bersiap-siap di dalam
pesawat. Kuarahkan cerminku ke posisi yang tepat.
Lalu aku menunggu. Persis jam delapan memancar cahaya biru dari piringan
makhluk tersebut. Aku menahan napas. Cahaya itu menghantam cermin pemantulku dan kembali ke
piring terbang. Aku menunggu. Lalu cahaya biru itu lenyap.
Aku menahan napas. Piringan itu masuk kembali ke pesawat, lalu piring terbang itu
terangkat naik dan pergi menuju bintang-bintang.
Kubiarkan cermin itu bertengger di pohon. Entah bagaimana
nasibnya. Mungkin Mr. Tribble mengira itu perbuatan anak-anak yang
hendak mempermainkannya. Aku pulang. Apa yang mesti kulakukan" Memberitahu seseorang" Tak
mungkin. Mungkin piring terbang itu akan kembali, tapi aku tidak yakin.
Dugaanku, para makhluk asing itu jera. Mungkin saat ini mereka
sedang melayang-layang di atas sana, nonton I Love Lucy sambil
mengobrol dengan sesama mereka.
Aku telah menyelamatkan dunia dari serangan makhluk asing,
tapi takkan ada yang percaya.
Akhirnya aku bercerita juga pada Robbie dan Melanie,
beberapa hari kemudian. Tapi mereka malah minta uang mereka
dikembalikan. Lalu aku mencoba menceritakannya pada orangtuaku, untuk
terakhir kali. "Aku setuju sepenuhnya," kata Mom, "bahwa TV bisa
menguasai dunia." "Kemarikan tahunya," kata Dad.
"Bagaimana penampilanku, Mom?" tanya Laura. "Aku mau
pergi dengan Herbie."
"Kau mencuri bolaku!" Dan melotot padaku. "Aku tahu!"
Begitulah akhir ceritaku. Kecuali kalau makhluk-makhluk itu
datang lagi dan aku bisa memotret mereka untuk membuktikan
kebenaran ceritaku. Aku sering meneropong dengan teleskopku belakangan ini.
Hei... lihat... di sana itu! Kalian lihat cahaya-cahaya yang
melayang-layang itu"
Mereka kembali! Lihat... piring terbang itu kembali! Kalian
percaya kan" SI PENGACAU "JOROK!" teriakku.
Alex Pratt menggoyang-goyangkan ubur-ubur yang menggeliatgeliut itu di depan wajahku. "Kenapa, Ashley" Takut pada ubur-ubur
kecil ini?" "Dia penakut! Semua orang yang datang kemari penakut!" seru
Jimmy Stern. Ia sobat karib Alex.
Alex dan Jimmy berumur empat belas tahun. Setahun lebih tua
daripada aku. Mereka pikir mereka hebat, sebab mereka tinggal di
Black Island sepanjang tahun. Dan semua orang yang tidak tinggal di
sini dianggap penakut. Itu termasuk aku, adikku Jack, dan sepupuku Greg.
"Taruh di kepalanya. Taruh!" desak Jimmy sambil
menyibakkan rambutnya yang berminyak.
Alex tertawa mengejek. Ia mengayunkan ubur-ubur itu di atas
kepalaku, lalu menurunkannya pelan-pelan.
"Jangan ganggu dia!" teriak Greg yang bersembunyi di
belakangku. Mungkin mereka benar juga. Greg memang agak
penakut. Alex mendorongku. Tidak sukar. Ia lebih jangkung dan lebih
lebar daripadaku. "Rasanya aku mencium permen," kata Alex. Ia mendekat ke
Greg dan mendorongnya dengan keras. "Sini, berikan padaku,
Greggie." "Tidak," sahut Greg. "Jangan dorong-dorong aku. Ya?"
"Yeah," Jack menimpali. "Jangan dorong-dorong dia. Atau kau
akan dapat masalah. Aku bisa karate, tahu?"
"Wah, Karate Kid," ejek Jimmy.
"Dan si Pemakan Permen," tambah Alex. "Tangkap mereka."
Alex dan Jimmy melompat, menyerang Greg dan Jack hingga
jatuh ke pasir, lalu Alex menduduki Greg.
"Lihat, apa yang kutemukan," kata Alex sambil menarik
sekantong besar permen dari saku Greg. Ia mengangkat kantong itu ke
mulutnya dan mengosongkan isinya.
Lalu kedua anak konyol itu kabur.
"Alex dan Jimmy merusak liburan kita!" ujarku kesal.
Kami berjalan sepanjang pantai. Greg memungut sepotong kayu
yang terlontar ke pasir dan melemparkannya ke air.
"Aku benci sekali pada mereka," gerutunya. "Akan kubalas
mereka." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Yeah," kata Jack dengan bersemangat. "Begitu aku mendapat
sabuk hitam, akan kukarate mereka. Kata guruku aku secepat kilat."
Greg memutar-mutar bola matanya. "Kau masih sabuk putih,
tahu?" Ia mengingatkan Jack, lalu merogoh saku depan celana
pendeknya. Mendadak wajahnya cerah.
"Hei, permenku masih ada."
Ia mengambil sebuah kantong lusuh dari sakunya, lalu
memasukkan beberapa buah permen lengket ke mulutnya. Ia banyak
sekali makan permen. Kemudian ia mengulurkan kantong itu pada Jack. "Mau?"
Jack makan sambil diam. "Kau mau, Ash?" Ia mengulurkan kantong itu padaku.
"Tidak," sahutku. "Permen cacing. Iih! Geli."
"Sinting," kata Greg. "Ini enak sekali. Paling enak malah." Ia
memasukkan seluruh sisa permen ke mulutnya.
"Hei, Ash, lihat." Greg nyengir padaku. Beberapa potongan
permen hijau, ungu, dan merah menempel di giginya.
"Iiih! Kau jorok amat sih! Ya, Jack?" tanyaku. "Iya tidak?"
Jack tidak menjawab. "Apa itu?" tanyanya, menunjuk ke sebuah
peti besar di depan sana, di Bowen's Cove.
Kami berlomba menghampiri peti itu. Jack yang paling dulu
sampai. Peti tua itu sudah karatan, ukurannya sepanjang peti mati,
penuh dililit rumput laut dan digembok.
Jack melompat-lompat. "Ini peti bajak laut. Penuh harta. Emas
dan permata." "Bukan," kata Greg. "Mungkin peti ini jatuh dari perahu dan
terdampar ke pantai. Pasti isinya perlengkapan mancing."
Aku mengernyitkan hidung. Peti itu berbau asam. "Pasti penuh
dengan ikan busuk."'
Jack menari-nari mengitari peti itu. "Ayo kita buka. Cepat!" Ia
menyentakkan gembok peti dengan tangan kirinya. Tidak berhasil.
"Akan kubuka," Jack menyombong. "Mundur." Ia mengangkat
kakinya, lalu menendangkannya keras-keras ke gembok itu. Tidak
berhasil juga. Aku melayangkan pandang ke pantai. Tak jauh di sana ada
sepotong kayu yang kuat. Aku cepat-cepat mengambilnya.
Kupasang kayu itu di antara gembok dan peti, lalu dengan dua
tangan perlahan-lahan kudorong kayu itu.
Pop! Gembok itu membuka. "Bagus!" seru Jack.
Kami bertiga mengangkat tutup peti yang berat dan lembap itu.
Sedikit demi sedikit. "Wah!" seruku ketika peti itu sudah terbuka lebar.
Sebuah gumpalan hijau besar dan berdenyut-denyut melompat
ke arahku dan menempel di kakiku.
"Tolong! Dia menempel!" jeritku. "Tarik dia! Tarik!"
Kukibaskan kakiku dengan panik, tapi benda itu tetap
menempel. Rasanya dingin dan licin, juga lengket dan bau, seperti bau
ikan mati. Ia menempel erat, menutupi kakiku, dari mata kaki sampai ke
lutut. "Tolong!" teriakku pada Jack dan Greg. Tapi mereka malah
bengong ketakutan. Dengan panik kudorong-dorong gumpalan licin itu. Jemariku
melesak ke tubuhnya yang dingin dan hijau. "Ohhh!" aku mendesah
ketika merasakan apa yang ada di bawah kulitnya.
Makhluk ini memiliki pengisap.
Pengisap itu bergerak-gerak dan menarik-narik kulitku.
Semakin keras aku meronta, semakin erat mereka mencengkeram
kakiku. PLOK. Ia bergerak. Ia merayap sepanjang kakiku melalui pengisapnya,
meninggalkan jejak yang gatal dan panas.
"Tolong lepaskan!" teriakku.
Greg dan Jack tersentak. Mereka mencengkeram gumpalan itu
dan menariknya, tapi pengisapnya menancap semakin dalam di
kakiku. PLOK. PLOK. Gumpalan itu merayap dan menekan lebih keras.
Greg memukulnya dengan tongkat. "Pergi, makhluk lengket!"
teriaknya. "Pergi!"
"Greg! Hentikan!" teriakku. "Kau memukuli kakiku."
PLOK. Gumpalan itu melepaskan satu pengisapnya dari pahaku
dan melambaikannya di udara, seperti mengendus-endus. Lalu ia
mengarahkan pengisapnya ke dalam saku kaus Greg.
"Aduh!" teriak Greg sambil melompat mundur.
Pengisap itu muncul lagi dengan sebuah permen cacing. Slop!
Ia mengisap permen itu ke dalam tubuhnya yang licin.
"Dia... dia makan permen," kata Greg gugup. "Kalian lihat?"
"Tapi dia kan tidak punya mulut." Jack merinding. "Dia malah
tidak punya kepala."
Sekarang gumpalan itu merayap ke perutku, pengisapnya
menarik-narik kulitku. Apa dia ingin mengisapku juga"
"Diam! Bertindak dong!" teriakku.
Greg menyambar segenggam permen dari sakunya dan
mengayun-ayunkannya di depan gumpalan itu.
PLOK. PLOK. Makhluk itu melepaskan diri dariku dan
menyambar permen tersebut, lalu menelannya.
"Ya, berhasil!" teriakku.
"Tapi sekarang dia menyerangku," ratap Greg. "Dan aku sudah
kehabisan permen." Aku menatap terpaku. Gumpalan itu menempel di lengan Greg,
meliuk-liuk, berdenyut-denyut.
Jack melongo memandangi makhluk itu. "Kurasa dia bertambah
besar." Benar. Makhluk itu melilit lengan Greg dan terus melebar ke
dadanya. "Ambil permen!" kata Greg. "Di kamarku. Cepat! Dia mulai
mencengkeramku." Jack dan aku lari ke pondok kami dan berusaha membuka pintu.
Dikunci. Tidak ada orang di rumah.
Jack melemparkan keset dan menemukan kunci pondok di
bawahnya. Ia membuka pintu dan kami lari ke kamar Greg.
"Periksa di lacinya," perintahku. Aku sendiri membuka pintu
lemari Greg dan mencari-cari di antara jeans dan sweatshirt-nya.
Tidak ada permen sepotong pun.
"Di laci tidak ada," seru Jack.
"Periksa di bawah tempat tidur," kataku. "Pokoknya di semua
tempat." Aku memeriksa di lantai lemari. Ada sepatu, kaus kaki kotor....
Akhirnya aku melihat kantong permen. Banyak sekali.
"Ketemu!" teriakku senang.
Kuambil satu kantong. Ternyata kosong. Kuambil kantong
lainnya. Kosong juga. Semuanya kosong.
"Bagaimana nih?" erang Jack.
"Kita ke toko. Cepat. Naik sepeda."
Kami mengayuh dengan tergesa-gesa ke toko Simpson,
menjatuhkan sepeda di luar toko, dan bergegas masuk toko. Di rak
berjajar kantong permen. Kuambil sekitar dua puluh kantong, pokoknya sebanyak yang
bisa kuambil. Jack juga begitu.
"Semuanya...," Mr. Simpson mulai menghitung.
Aduh! Uangnya! Aku tidak bawa uang!
"Mr. Simpson, aku tidak bawa uang, dan aku butuh permenpermen ini," aku menjelaskan dengan panik. "Ini masalah hidup dan
mati. Permen ini untuk Greg."
"Greg" Dia pelangganku yang paling setia. Dia sering sekali
beli permen cacing. Oke, ambillah, nanti tagihannya kumasukkan ke
rekening orangtuamu."
"Trims, Mr. Simpson," kataku. Kami cepat-cepat pergi.
Kantong-kantong permen itu kami lemparkan ke keranjang
sepedaku. "Ada jalan pintas ke Bowen's Cove," kata Jack. Ia menunjuk
sebuah jalan berdebu di dekat Main Street. "Kita lewat situ saja."
Aku ragu-ragu. "Oke," kataku. "Mudah-mudahan kau tidak
salah jalan." Kami mengayuh ke jalan utama, lalu berbelok.
"Aduh!" teriak Jack. "Rantai sepedaku lepas. Aku mesti
membetulkannya dulu. Kau jalan duluan saja. Pokoknya ambil jalan
ini terus, lalu belok di persimpangan. Tidak jauh lagi."
"Baik," kataku. Aku mengayuh cepat di jalanan berdebu itu,
meliak-liuk di tengah rumput tinggi. Sepi sekali di sini. Sunyi. Tak
ada seorang pun di tempat ini.
Dan tidak ada jalan pintas ke Bowen's Cove.
Aku mengerem sepedaku, lalu memutarnya. "Aku tersesat nih,"
kataku keras-keras. "Sekarang kau sudah ditemukan."
Rerumputan terkuak dan Jimmy muncul beserta Alex. Mereka
mencengkeram setang sepedaku.
"Tidak boleh lewat," Jimmy tersenyum menang. "Para
pelancong terutama."
Alex mengintip isi keranjang sepedaku. "Wah, permen cacing.
Hei, Jimmy, Ashley mau bagi-bagi permennya pada kita."
"Tidak!" teriakku. "Aku perlu permen-permen itu."


Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex dan Jimmy mulai membuka kantong-kantong permenku.
Kucoba menyentakkan sepedaku, tapi Alex kembali mencengkeram
setangnya. Lalu Jack muncul dengan rambut melambai-lambai. Ia
mengayuh dengan cepat. Ban-ban sepedanya berdecit menerbangkan
pasir. Alex dan Jimmy berpaling kepadanya. Aku cepat-cepat
menepikan sepedaku. "Minggir, pengacau," teriak Jack.
"Aduh, hati-hati, Jimmy, Karate Kid mau menghajar kita."
Jimmy tertawa. Jack terus mengayuh. Ketika lewat di samping mereka, ia
mengayunkan kaki dan menendang mereka hingga jatuh.
Sambil bersorak aku melompat ke sepedaku dan kami cepatcepat pergi.
"Kalian akan menyesal!" kudengar Alex berseru.
"Yeah, kalian bakal dapat masalah!" teriak Jimmy.
Kami terus mengayuh. Itu dia... jalan pintas ke Bowen's Cove.
Dalam beberapa menit saja kami sudah sampai di pantai.
Kami menyambar kantong-kantong permen dan lari
menghampiri Greg. Kami terperangah. Gumpalan berminyak itu membesar dan
terus membesar. Jauh lebih besar daripada payung pantai Mom.
Dan Greg tidak tampak. Lalu terdengar seruan pelan. "Tolong aku! Tolong aku!"
"Greg!" teriakku. "Di mana kau?"
PLOK. PLOK. Gumpalan itu bergetar di pasir, dan baru saat
itulah aku melihat sebuah sepatu. Sepatu Greg.
"Dia ada di bawah gumpalan itu!" teriakku pada Jack.
"Tidak bisa napas," erang Greg.
"Tahan, Greg," seruku. Cepat-cepat kubuka sekantong kecil
permen dan kujejerkan enam potong per?men di pasir.
PLOK. PLOK. Slop! Monster lengket itu melesat maju dan menelan permen-permen
tersebut dengan lahap. "Lagi! Berikan lagi!" kataku pada Jack.
Ia merobek kantong-kantong itu dan aku melemparkan
segumpal besar permen ke pasir.
PLOK. Gumpalan itu menarik satu pengisapnya dari Greg.
Pengisap itu bergetar senang. Lepaskan Greg, pikirku. Lepaskan.
Kulemparkan segumpal permen lagi ke pasir.
RRRIP! Monster itu melepaskan pengisap-pengisap lainnya dari
tubuh Greg. Ia bergulir ke depan dan menelan semua permen.
Aku berpaling pada Jack. "Lagi! Cepat! Kita coba mengarahkan
makhluk itu kembali ke peti."
Greg terhuyung-huyung, mencoba berdiri tegak. Lalu ia dan
Jack membuka semua kantong permen. Aku menjejerkan permenpermen itu di pasir, mengarah ke peti.
PLOK. PLOK. Slop. Slop. Makhluk itu mengikuti jejak permen
dan terus melahapnya. Ia tinggal satu meter dari peti.
"Petinya! Lemparkan permen ke dalam peti!" perintahku.
Jack dan Greg memasukkan permen ke peti.
PLOK! Gumpalan itu melesat ke depan, tinggal beberapa senti
dari peti. "Lemparkan kantong permennya ke peti. Tidak ada waktu untuk
membukanya dulu!" teriakku.
Gumpalan itu merayap di dinding peti, tapi sekarang ia sudah
terlalu besar untuk mengangkat tubuh nya masuk.
Titisan Siluman Harimau 2 Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Pukulan Si Kuda Binal 2

Cari Blog Ini