Ceritasilat Novel Online

Permainan Maut Goosebumps 1

Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps Bagian 1


1 Namaku Connor Buckley, dan aku adalah Raja Iblis.
Well, tentu saja aku bukan benar-benar Raja Iblis. Itu adalah
karakter yang kumainkan dalam permainan kartu.
Permainan kartu apa"
Akan kuceritakan nanti. Tetapi sekarang kau kuberitahu"sekali
kau memilih karakter, kau akan terjebak selamanya. Kau akan terus
memerankan karakter itu, setiap kali kau memainkan permainan kartu
itu. Lalu, setiap kartu yang kauambil dan setiap lemparan dadu yang
kaulakukan sangat berarti bagi karaktermu...
Kecuali bila kau mati. Selama ini aku dan temanku tidak pernah mencoba permainan
kartu jenis ini. Tetapi ketika kami membuka sekotak kartu dan mulai
mencobanya, kami ketagihan.
Kami tidak pernah membayangkan betapa nyatanya permainan
ini. Atau betapa bahayanya! Lebih baik aku mulai dari awal. Temanku, Emily Zinman,
selalu berkata padaku agar lebih santai. "Tenang saja, Connor." Itu
yang selalu dikatakannya. "Ambil napas dalam-dalam. Hitunglah
sampai sepuluh. Cobalah sedikit kopi."
Kopi" Aku tidak minum kopi. Umurku dua belas tahun! Bagiku
kopi rasanya seperti lumpur pahit.
Habis, mau apa lagi" Aku punya banyak energi yang
membuatku tak bisa diam. Aku selalu bersemangat, bicara dengan
cepat, menari, meloncat-loncat, dan meninju.
Jadi, apa masalahnya" Kan bukan salahku bila orang lain begitu
lambaaat" Musim panas hampir berakhir, aku dan Emily mulai bosan.
Hari yang panjang dan panas, tanpa kegiatan apa pun. Dua
minggu lagi sekolah dimulai kembali.
Buku untuk musim panas telah kami baca sampai selesai.
Semua permainan komputer telah kami mainkan ribuan kali. Kami
berhasil selamat dari liburan keluarga kami hanya dengan beberapa
lusin gigitan nyamuk. Kami berenang, main tenis, kumpul bersama
teman-teman, bercanda tanpa melakukan apa pun.
Dan sekarang kami benar-benar bosan.
Kami duduk di bawah pohon maple yang terbelah, di halaman
depan rumahku. Dan Emily bertengger di belahan batang pohon itu.
Kalian tahu, tahun lalu batang pohon itu tersambar petir hingga
terbelah tepat di tengahnya. Dua belahan batang pohon itu
melengkung ke arah yang berlawanan, sehingga tampak seperti
lengkungan kembar. Kebanyakan orang mungkin segera memutuskan untuk
menggali akar pohon itu dan menyingkirkannya. Tapi kedua
orangtuaku memang aneh. Mereka adalah arsitek, perancang
bangunan dengan sclera artistik yang tinggi.
Mereka pikir, pohon yang terbelah tampak seperti karya
pahatan. Jadi mereka mempertahankannya. Kini pohon itu sangat
nyaman untuk duduk-duduk dan dipanjat.
Tapi aku dan Emily sudah menduduki dan memanjatnya
sepanjang musim panas, dan kami benar-benar bosaaan!
Sudah kukatakan kan kalau kami bosan"
Aku duduk di tanah di bawah keteduhan pohon, mencabut
segenggam rumput dan melemparkannya ke Emily. Ya, aku tahu
mencabuti rumput itu salah. Tapi aku tidak bisa hanya duduk saja.
Aku harus membuat kedua tanganku sibuk.
Tiba-tiba leher belakangku terasa gatal. Aku meraba leherku,
dan berhasil menangkap seekor semut hitam yang besar.
Emily tertawa dari tempat duduknya di batang pohon. Aku
menduga, dialah yang mengambil semut itu dari batang pohon dan
menjatuhkannya ke dalam bajuku.
"Yang benar saja," gerutuku.
"Mau membalas?" sahutnya.
Kami sangat bosan, sehingga mulai menjadi bodoh.
"Mungkin sebaiknya aku pulang dan mewarnai rambutku,"
desah Emily. Aku melemparkan segenggam rumput lagi ke arahnya.
"Rambutmu sudah penuh warna," kataku. Dia kembali dari liburan
dengan garis-garis pirang terang di rambut cokelatnya.
"Mungkin aku akan mewarnai rambutku sekali lagi," sahut
Emily. "Aku butuh penampilan baru saat sekolah dimulai."
"Kau butuh wajah baru!" kataku padanya.
Dia tidak tertawa. Dia tidak pernah tertawa mendengar
leluconku. Tapi aku masih berusaha.
"Hei"ada apa di sana?" Emily bertanya, sambil melompat
turun dari pohon. Dia membersihkan bagian belakang celana tenis
putihnya dan melangkah ke sampingku.
Aku melompat berdiri dan menatap hingga ke ujung jalan.
Sekelompok orang berkumpul di sebuah rumah di pojok jalan.
"Kelihatannya ada cuci gudang," kataku sambil mengambil sebuah
ranting dari bahu Emily. "Di rumah Mr. Zarwid" Aneh!" seru Emily.
Ya, memang sangat aneh. Di lingkungan kami, Mr. Zarwid
adalah si penggerutu. Dia tidak akrab dengan siapa pun, dan dia
membenci anak-anak. Musim gugur lalu, aku mengetuk pintu depan rumahnya yang
tua dan mengerikan, mencoba menjual beberapa batang permen untuk
pengumpulan dana sekolah kami. Dia malah mengeluarkan anjing
gembalanya yang besar untuk mengejarku.
Aku memang pelari yang cepat"tetapi pada hari itu aku
memecahkan rekor olimpiade.
Kira-kira, apa yang dijual orang tua aneh itu" aku bertanyatanya dalam hati. Aku mulai berlari-lari keeil, sambil sesekali
melompat ke jalan raya. "Ayo kila periksa!"
Emily tetap di tempatnya. "Aku"aku tidak suka lelaki itu. Dia
sangat jahat pada adik-adikku.Dia?"
"Kita lihat saja apa yang dijualnya," ajakku padanya. Aku sudah
setengah jalan menyusuri blok. "Mungkin saja ada alat-alat
penyiksaan, cambuk kulit, atau gergaji mesin!" guraku.
Emily tidak tertawa. Ketika kami sampai di seberang halaman depan rumah Mr.
Zarwid yang rumputnya terpangkas rapi, kami melihat empat atau
lima tetangga di depan pintu garasi yang terbuka. Mereka sedang
membungkuk, mengamati barang-barang yang dijual.
Tidak ada cambuk kulit atau gergaji mesin. Hanya cuci gudang
biasa. Aku mendekati meja pertama dan melihat setumpuk majalah
lama tentang berburu dan memancing, sepasang sepatu model kuno
yang masih mengilat, teropong yang sudah penyok, dan asbak
berbentuk kulit tiram. Membosankan! "Berapa harganya?" Seorang wanita memegang sebuah lukisan
minyak di dalam pigura indah keemasan. Lukisan itu menggambarkan
perahu layar saat matahari tenggelam.
"Dua puluh dolar," sahut Mr. Zarwid. Dia duduk bersandar di
kursi lipat di dalam garasi, kedua tangannya yang kuning dan kurus
memegangi belakang kepalanya.
Rambutnya yang putih dan berombak dibelah tengah. Kumisnya
juga sudah putih, tapi tampak aneh. Kedua ujung kumisnya berdiri
kaku di kedua sisi wajah perseginya yang merah. Aku tidak pernah
melihat kumis seperti itu.
Tetapi pandangan matanyalah yang membuatku bergidik. Mata
birunya yang kecil dan jahat selalu bersinar marah. Dia sering
merengut dan menggerutu seorang sendiri.
Mr. Zarwid memakai celana khaki pendek dan longgar, serta
kaus merah tanpa lengan yang hampir tidak dapat menutupi perutnya
yang buncit. Aku dapat melihat seberkas rambut putih di dadanya.
Wanita yang memegang lukisan tadi meletakkan kembali
lukisan itu ke meja. "Kalau rusak, kau harus membelinya," seru Mr. Zarwid dengan
suaranya yang tinggi dan serak. Lalu dia berdecak-decak, kumis
putihnya bergerak naik-turun.
Emily menutup buku tua berisi sajak anak-anak. "Ayo kita pergi
dari sini," bisiknya, sambil mendorongku ke arah jalan. "Semuanya
rongsokan." Sebuah meja yang setengah tersembunyi di dalam gurasi
menarik perhatianku. Di atasnya terdapat banyak patung kecil.
Mengabaikan ajakan Emily, aku berlari kecil mengitari rak berisi jasjas tua menuju ke a rah garasi.
Aku mendekati meja yang berantakan itu untuk memeriksa
patung-patung tersebut. Ternyata itu bukan patung, melainkan pahatan
kayu. Ada yang berbentuk naga, setan, binatang-binatang aneh, dan
monster yang dipahat di kayu berwarna gelap.
Kuambil sebuah lalu kuperhatikan. Bentuknya setengah
manusia, setengah kuda. Emily berdiri di sampingku. "Menjijikkan," gerutunya.
"Perhatikan yang ini," tambahnya sambil menunjukkan makhluk
gendut dengan ekor tikus yang panjang.
"Mirip sekali denganmu!" gurauku. "Sebelum kau mewarnai
rambutmu." Emily tidak tertawa. "Hei, anak-anak," kudengar suara parau Mr. Zarwid. "Apa yang
mau kalian curi?" Pria tua itu bangkit berdiri dan memandang kami dengan mata
birunya yang jahat. Ia berdecak marah sambil berkacak pinggang.
Pahatan yang dipegang Emily jatuh ke meja. "Kami"kami
tidak mencuri apa pun," sahutnya gugup.
"Kami hanya melihat-lihat," aku menambahkan.
"Itu bukan mainan anak-anak," gerutu orang tua itu. "Mungkin
sebaiknya kalian pulang dan bermain dengan boneka beruang kalian."
Boneka beruang" Aku merasakan semua orang memperhatikanku dan Emily.
Wajahku terasa panas. Aku tahu pasti saat ini wajahku merah padam.
"Kami tidak melakukan apa pun!" protesku.
"Kalian berandalan kecil, sepertinya aku pernah melihat
kalian!" ulang Mr. Zarwid.
Berandalan" Mr. Zarwid tidak bergerak. Dia memandangi kami, mata
birunya yang jahat beralih dari Emily ke arahku.
"Ayo kita pergi," gumam Emily. "Dia... gila."
Aku mengikutinya keluar dari garasi. Kami menerobos dua
wanita tetangga yang menatap kami dengan pandangan menuduh.
Kami menyusup melalui sederet meja berantakan yang dipenuhi
barang-barang rongsokan. Lalu kami mulai berlari. Aku tidak menoleh lagi. Kami baru berhenti ketika sampai di
halaman belakang rumahku. Aku membuka pintu dapur dan cepatcepat masuk ke dalam.
"Ada orang di rumah?" panggilku sambil terengah-engah.
Tidak ada tanggapan. Masih terengah-engah, aku mengambil sesuatu dari saku celana
pendekku dan melemparkannya ke meja dapur.
"Apa itu?" tanya Emily ingin tahu.
Aku menyeringai ke arahnya.
"Connor"apa itu?" ulang Emily.
Aku menyeringai makin lebar. "Sesuatu yang kucuri," sahutku.
Mulutnya menganga kaget. "Kau apa?"
"Dia tidak punya hak menuduh kita," kataku. "Dia tidak punya
hak mempermalukan kita seperti itu. Tentu saja aku marah. Lalu
ketika lari tadi kuambil sesuatu dari mejanya."
Mata Emily terbelalak menatapku. Kemudian dia melirik ke
arah kotak kecil berbentuk persegi panjang itu. "Apa itu?" tanyanya
penuh rasa ingin tahu. "Apa yang kaucuri?"
2 AKU mengambil kartu itu dan melemparnya ke arah Emily.
"Awas!"ebukulawas.blogspot.com
Dia menangkapnya. Meleset. Dan kartu itu jatuh di lantai dapur.
Aku merangkak di bawah meja makan dan mengambilnya di
lantai. "Ini kumpulan kartu."
Emily mengerlingkan matanya padaku. "Kartu" Barang konyol
begitu kok dicuri. Kau tidak suka main kartu, kan?"
Dia benar. Aku tidak bisa duduk diam bila bermain kartu. Itu
membuatku bosan. Aku mengamati kotak itu dan membaca tulisannya keras-keras:
"Permainan Maut."
Emily memandangku. "Bisa kauulangi?"
"Itu nama permainan kartu ini," kataku padanya. "Permainan
Maut." "Aneh," gerutunya.
Aku membuka kotaknya dan menarik setumpuk kartu. "Coba
lihat ini," gumamku.
Aku membalik kartu-kartu itu dengan cepat. Semua kartu itu
ada gambarnya. Gambar satria bertopeng, kurcaci berwajah jahat,
naga, dan makhluk kerdil tegap berwajah babi.
"Gambarnya keren," kataku.
"Connor, kartu ini kelihatan sangat tua," ulang Emily. "Kartu ini
mungkin berharga. Mungkin kau harus mengembalikannya."
Aku membuka mulutku untuk membantah. Tapi sebelum aku
sempat bersuara, terdengar suara keras di dekatku, "Bersiaplah untuk
mati!" Aku berteriak terkejut, sehingga kartu-kartu itu terlepas dari
genggamanku. Kartu-kartu itu pun berserakan di lantai.
Ketika aku membungkuk untuk memungutinya, pintu dapur
terayun membuka. "Bersiaplah untuk mati!" ulang sahabat kami, Kyle
Boots, dengan langkah berat masuk ke dapur.
Kyle bertubuh besar, berambut pirang, dan kelihatan sangat
kuat. Dia sangat suka menakut-nakuti anak anak lain. Dia bermain
sebagai penyerang di tim football SMP kami. Tapi besarnya hampir
sama dengan anak-anak SMU.
Kyle menyatakan pada semua orang bahwa suaranya berubah
saat dia berumur sebelas tahun. Dia suka memamerkan suaranya yang
berat, benar-benar berat"khususnya di antara kami yang masih
bersuara seperti anak-anak. Ketika tadi dia berseru nyaring
"Bersiaplah untuk mati!" kedengarannya keren sekali.
"Ada apa, teman-teman?" tanyanya ingin tahu, sambil
menunduk menatapku. "Apa yang kaulakukan di bawah sana, Connor"
Mencari remah-remah?"
"Hah" Remah-remah?" sahutku sambil memungut kartu
terakhir. "Kenapa aku harus mencari remah-remah?"
"Itu yang biasa dilakukan anjingku," jawab Kyle.
Aku berdiri. "Aku bukan anjingmu."
"Aku tahu," sahut Kyle. "Mau kukatakan perbedaannya"
Anjingku pintar!" Emily tertawa. Anak perempuan itu kenapa sih"
"Coba kau lihat ini," kataku, sambil mengocok kartu di depan
Kyle. "Connor mencuri setumpuk kartu aneh," lapor Emily.
Kyle memicingkan mata ke arahku. "Kau mencurinya?" Dia
menatap kotak yang berada di atas meja. "Oh, Permainan Maut. Ya,
aku tahu permainan itu."


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu?" tanyaku.
Kyle mengangguk, rambut pirangnya jatuh menutupi dahinya
yang lebar. "Ya. Aku pernah memainkannya dengan anak-anak yang
lebih tua." Dia menyisir rambutnya dengan jemari tangannya yang
besar. "Bagaimana cara memainkannya?" tanya Emily.
"Ini adalah permainan dengan pilihan karakter," Kyle
menjelaskan. "Tahu, kan" Raja iblis, satria, naga, dan semacamnya.
Banyak pertarungan, sihir, dan ilmu gaib. Ada ratusan jenis kartu.
Anak-anak mongoleksinya."
Dia meraih kartu itu dari tanganku. "Coba kulihat apa saja
milikmu." Dia membalik kartu itu, mendekatkan pada wajahnya, dan
mulai mengocoknya perlahan-lahan.
Tiba-tiba Kyle berhenti dan menatap salah satu kartu.Ia
menatapnya dengan mata melotot.
"Oh, tidak" jerit Kyle ketakutan. "Tidak! Aku tidak percaya
ini!" 3 AKU merasakan detak jantungku berhenti. "Kyle"ada apa?"
seruku. "Apa yang salah?"
Pelan-pelan senyum Kyle melebar di wajahnya yang gemuk.
Matanya yang kecokelatan bersinar iseng. "Kena kau," bisiknya.
Emily tertawa lagi. Kenapa Emily menganggap Kyle begitu heboh"
Kyle berjalan ke arah kulkas. Dia membuka pintu, mencari-cari
di rak, dan mengambil sekaleng Coke.
"Anggap saja rumah sendiri," gerutuku.
Kyle telah membuka kaleng itu dan menuangkan isinya ke
mulutnya yang terbuka. Dia membiarkan soda mengalir di
kerongkongannya, meneguknya dengan suara berisik, dan
menghabiskan isi kaleng itu. Lalu dia bersendawa panjang dan keras,
kemudian melemparkan kaleng itu ke pojok ruangan.
"Ayo kita coba memainkannya," sarannya. Dia menjatuhkan
diri ke kursi dapur dan mulai mengocok kartu Permainan Maut.
Emily duduk di seberangnya, membelakangi jendela dapur.
Cahaya matahari sore menyinari ruangan melalui jendela, membuat
mereka berdua tampak bersinar.
"Connor, cepat ambil beberapa buah dadu," perintah Kyle,
"Setidaknya kita butuh empat. Kau punya?"
"Sepertinya begitu," jawabku. "Coba kulihat."
Aku berlari ke gudang tempat kami menyimpan semua
permainan yang menggunakan papan. Aku membuka kotak dan terus
mencari, sampai akhirnya aku menemukan empat buah dadu.
Ketika aku kembali ke dapur, Kyle telah membagi kartu itu
menjadi empat tumpukan yang rapi. Semuanya dalam keadaan
tertutup. Aku menjatuhkan dadu ke meja dan mengambil tempat duduk.
"Bagaimana cara memainkannya?" tanyaku pada Kyle.
"Aku membagi kartu ini menjadi empat tumpukan," Kyle
menjelaskan, sambil mengetuk setiap tumpukan kartu dengan jarinya.
"Kartu karakter, kartu kekuatan, kartu aksi, dan kartu nasib. Pertama
kau harus memilih karakter apa yang akan kaumainkan."
Dia mengocok setumpuk kartu yang ada di depanku. "Ambil
satu kartu karakter. Dari bagian mana pun di tumpukan ini."
Aku mengamati kartu-kartu itu dan menarik satu yang berada di
tengah. Aku membaliknya dan mulai mengamatinya. "Raja!" kataku
mengumumkan. "Hei"asyik juga. Aku adalah raja!"
"Itu tidak adil," protes Emily. "Kenapa Connor mendapat giliran
pertama" Harusnya kita melempar dadu atau menggunakan cara lain
untuk menentukannya. Kenapa dia yang menjadi raja?"
"Karena aku pernah bermain sebelumnya, aku yang
menentukan peraturan," kata Kyle pada Emily, sambil mengocok
setumpuk kartu di hadapannya. "Ini permainan yang rumit. Butuh
berbulan-bulan untuk mempelajarinya."
"Tapi Connor menjadi raja"," Emily memulai lagi.
"Menjadi raja bukan masalah besar," potong Kyle. "Dia
mungkin raja yang sangat lemah. Dia mungkin menjadi pecundang
besar. Kita masih belum menarik kartu kekuatan."
Kyle menyeringai. "Connor mungkin menjadi raja tanpa
kekuatan. Malah mungkin menjadi budak yang tidak berdaya bagi
salah seorang dari kita!"
"Ya, karakter itulah yang kuinginkan," kata Emily. "Karakter
yang lebih kuat daripada raja."
"Teruslah bermimpi," gerutuku. "Begitu kita mulai, aku akan
memerintahkan untuk memotong kepala kalian berdua!"
Emily mencibir kepadaku. "Itu sangat kejam, Connor," katanya
pelan. "Pilih saja karaktermu sekarang," desah Kyle. "Apa mau tunggu
sampai tahun depan?"
Emily memejamkan matanya dan mengambil sebuah kartu
karakter. Dia lalu mengamatinya. "Goth" Hih, apa sih Goth itu?"
serunya, tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya.
Kyle mengambil kartu Emily. "Goth adalah penyihir jadijadian," katanya pada Emily.
Wajah Emily sedikit cerah. "Penyihir" Maksudmu aku punya
kekuatan sihir?" "Mungkin," jawab Kyle.
Emily berbalik menatapku. "Mungkin nanti raja akan kuubah
menjadi seekor katak," ancamnya.
Aku membalasnya dengan suara katak. Aku sangat mahir
menirukan suara katak. Keras dan sangat mirip. Tanya saja pada
semua orang. Kyle menggebrak meja dengan tinjunya, hingga seluruh kartu
berterbangan. "Ayolah, kawan-kawan," pintanya. "Bermainlah lebih
serius." Aku menghentikan suara katakku. Kalau Kyle ingin orang lain
serius, sebaiknya mereka benar-benar serius.
Kyle mengocok kartu karakter. Lalu mengambil sebuah. "Aku
menjadi Krel," katanya mengumumkan.
Dia menunjukkan kartunya pada kami. Pada kartu itu tergambar
sesosok makhluk kerdil jelek dengan lelinga merah muda yang lancip
dan moncong binatang. Krel memakai topi berbulu merah dan
membawa sebuah belati berukir.
"Apa sih Krel itu?" tanyaku. "Baik atau jahat?"
"Tergantung," jawab Kyle.
"Apakah Goth lebih kuat daripada Krel?" tanya Emily.
"Tergantung," jawab Kyle lagi.
Dia melemparkan dadu ke arahku. "Sekarang kita akan
melemparkan dadu untuk menentukan kekuatan. Kau mulai dulu.
Gulirkan keempat dadu itu. Lalu kita lihat bagaimana kekuatanmu.
Untuk setiap satu angka di dadumu, kau akan mendapat seratus poin
kekuatan." Kami melemparkan dadu masing-masing. Daduku terdiri atas
angka lima dan enam. "Horee!" seruku. "Kekuatan! Kekuatan menjadi
milikku!" Dadu Emily dan Kyle masing-masing menunjukkan angka dua
dan tiga. "Sang raja sangat kuat," kata Kyle sungguh-sungguh. Dia
berbalik ke arah Emily. "Kita harus bekerja sama, bila tidak kita tak
akan punya kesempatan."
Aku melompat berdiri, mengangkat kepalanku di atas kepala,
dan berseru nyaring. "Sang raja berkuasa!" jeritku.
"Kita lihat saja nanti," Kyle menggeram.
"Duduklah, Connor," perintah Emily.
"Raja Connor," kataku membetulkan. Namun aku kembali
duduk di kursiku. "Ayo kita mulai," kata Kyle. "Permainan ini seperti cerita kuno.
Pejamkan matamu. Bayangkan kita ada di masa lalu. Kita tinggal di
hutan. Di ujung hutan berdiri sebuah istana."
"Istanaku!" sahutku.
Kyle tidak memedulikannya. Dia makin merendahkan suaranya
sehingga terdengar seperti bisikan. "Hutan itu penuh dengan
bermacam-macam bahaya. Makhluk-makhluk aneh, satria bertopeng,
makhluk jadi-jadian, Krel, Goth, Mord, dan Jekel. Binatang-binatang
aneh, tumbuhan beracun, dan musuh yang kejam, bersembunyi di
mana-mana." Dia mendorong setumpuk kartu ke depanku. "Mulailah beraksi,
Raja. Pilih kartu yang berada paling, atas dan bukalah. Bersiaplah
menghadapi apa pun yang terjadi."
Apa pun yang terjadi"
Sesuatu di wajah Kyle yang tampak sungguh-sungguh, suaranya
yang dalam, dan mata gelapnya yang bersinar serius, membuat bulu
romaku berdiri. Aku mengambil kartu paling atas dan membukanya.
Gambar petir kuning raksasa.
Aku meletakkan kartu itu di meja.
Saat aku meletakkannya, aku mendengar suara keras.
Dan aku melihat petir kuning yang sangat terang menerobos
jendelaku. "Aaah!" jeritku.
Suasana di luar sangat cerah. Jadi, dari mana petir itu datang"
Aku meraih kartu itu. Suara keras terdengar lagi, disusul sebuah kilatan cahaya lagi.
Dan di balik kilatan cahaya itu, aku melihat sebuah wajah"
mengerikan, jahat, berkerut, dan bersinar hijau menakutkan"
menempel di jendela, sedang menatap ke arah kami.
4 AKU menjerit dan melompat berdiri. Kursiku terbalik dan jatuh
ke lantai. Bunyi guntur menggelegar di luar jendela. Sangat dekat, hingga
aku dapat merasakan getarannya di dalam rumah.
Kilat muncul silih berganti. Dan ketika sinarnya mulai
memudar, aku mengenali sebuah wajah.
Mr. Zarwid! Wajahnya menempel di jendela, matanya yang kecil dan bulat
menatap ke arah kami. Lalu dia menunjuk ke arah pintu dapur.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke pintu.
"Mau apa dia ke sini?" gumamku.
Ketika aku membuka pintu, raungan guntur sekali lagi
terdengar hingga menggetarkan seluruh rumah. Rintik hujan
membasahi serambi belakang. Pohon tua di belakang rumahku
tertunduk dan berderak karena angin kencang.
Kenapa cuaca bisa cepat berubah" tanyaku dalam hati.
Di bawah siraman hujan, Mr. Zarwid melangkah ke serambi
belakang. Rambutnya yang putih menutupi keningnya.
Dia menanggalkan jas hujan yang menutupi kaus tanpa lengan
dan celana pendeknya. Titik air jatuh dari jas hujan tersebut. Mr.
Zarwid melotot ke arahku.
"Aku tahu salah satu dari kalian tinggal di sini," katanya dengan
suara yang kecil dan serak. Kumisnya yang basah bergerak-gerak di
atas bibirnya. Dia memandang Kyle dan Emily di belakangku. Emily berdiri
dan berjalan ke sampingku.
"Kulihat kalian saat cuci gudang," kata Mr. Zarwid,
memandang kami dengan tatapan curiga. "Ada setumpuk kartu yang
hilang." Sambil mengatakan itu, matanya bergantian memandangi aku
dan Emily. "Kalian pasti mengetahuinya, kan?"
Kulihat Emily mengangguk. Anak perempuan itu hendak
membuka mulut untuk mengaku. Aku tahu dia hendak menceritakan
kejadian sebenarnya. "Tidak," potongku. "Kami tidak tahu apa-apa."
Mr. Zarwid berpaling sedikit, lalu mengamati kami lagi.
"Kalian yakin?"
"Tentu saja kami yakin," jawabku. "Kami tidak mencuri kartu
Anda. Kami bukan pencuri, Mr. Zarwid!"
Orang tua itu menganggukkan kepala, sambil mengusap-usap
dagunya. Hujan turun semakin deras. Tetes-tetas air dari jas hujannya
membasahi lantai dapur. Mr. Zarwid membungkuk ke arah aku dan Emily.
Sangat dekat, sehingga kami bisa mencium bau pepermint di
embusan napasnya. "Kuharap kalian berkata jujur," katanya pelan sambil
mengertakkan gigi. "Karena kartu itu... kartu itu bukan permainan
biasa." Tubuhku sedikit gemetar, tapi aku balik menatapnya. "Apa
maksud Anda?" "Kartu itu bukan permainan biasa," ulangnya. "Kartu itu sangat
berbahaya." "Anda"Anda bergurau, kan?" kataku gugup.
"Hati-hatilah dengan kartu itu," bisiknya. "Permainan Maut."
Kemudian dengan cepat dia meraih jas hujannya, berbalik, dan
menghilang di tengah hujan lebat.
Aku membeku di samping Emily untuk beberapa delik. Katakata Mr. Zarwid masih terngiang-ngiang di telingaku. Kemudian aku
menutup pintu dapur dan menguncinya.
Kami berbalik ke arah Kyle, yang telah menyembunyikan
semua kartu di balik punggungnya. Kami bertiga tertawa tebahakbahak.
"Benar-benar sebuah lelucon!" seruku. Lalu aku meniru Mr.
Zarwid, "Hati-hatilah dengan kartu itu. Permainan Maut."
"Apa dia sungguh-sungguh?" seru Kyle. "Apa benar dia
bersungguh-sungguh?"
"Apa sih masalahnya?" sahut Emily. "Maksudku, ayolah, ini
kan cuma kartu!" Sambil tertawa geli, aku mengambil kartu di bagian atas.
Seluruhnya hitam. Aku meletakkannya di atas meja"dan tiba-tiba ruangan itu
menjadi gelap.s 5 "AAAH!" Aku hampir terjatuh dari kursiku.
"Ada apa denganmu?" tanya Emily. "Itu kan hanya badai."
"Aku"aku tidak berpikir begitu," kataku gugup. "Aku
mengambil kartu bergambar petir, lalu ada petir di luar. Sekarang aku
mengambil sebuah kartu hitam, dan semua lampu padam."
Aku melompat berdiri. Aku meraba-raba dinding, mencari
sakelar lampu, lalu menekannya berkali-kali. Tidak menyala.
"Tenang saja," kata Emily.
"Setiap ada badai, lampu selalu padam," kata Kyle
menenangkan. "Kita tidak usah panik."
"Kita bermain saja di kegelapan," saran Emily. "Pasti lebih
asyik." Aku punya ide yang lebih baik.
Aku berlari ke arah ruang makan dan kembali dengan lilin yang
kuambil dari meja makan. Butuh sesaat sampai aku bisa menemukan
korek api dalam kegelapan. Beberapa menit kemudian, tubuh kami
sudah condong ke arah cahaya lilin, bayangan panjang membujur di
meja dapur. Ayo kita mulai lagi," kata Kyle dengan suaranya yang berat dan
dalam. "Emily, ambillah sebuah kartu aksi."
Emily mengambil sebuah kartu. Dia memegangnya di dekat
sinar lilin sehingga kami semua bisa melihatnya. Gambar dua pedang
bersilang di bawah helm tempur yang mengilat.


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Goth menyihir sebuah pasukan," kata Kyle. "Istana raja sedang
diserang. Sang raja harus keluar dan menaklukkan istana lain."
"Bagaimana aku melakukannya?" tanyaku.
Guntur menggelegar di luar. Rintik hujan menerpa kaca jendela.
Sesaat api lilinnya melengkung tertiup angin, berkedip-kedip, lalu
kembali lurus. "Kau juga harus membentuk pasukan," perintah Kyle padaku.
Dia melemparkan keempat dadu ke atas meja. "Pada setiap angka
ganda, kau mendapat seratus prajurit."
Aku menggenggam dadu itu dan mulai mengocoknya. "Apa kau
mengarang peraturan itu?" tanyaku pada Kyle.
"Itu peraturannya, Connor," jawabnya, sambil mengetukngetukkan jarinya dengan tidak sabar ke atas meja. "Kan sudah
kubilang"aku pernah memainkan permainan ini."
"Ayolah, berhenti mengocoknya. Lemparkan saja," gerutu
Emily. Aku membuka kepalanku dan melemparkan dadu ke alas meja.
Tiga buah dadu menunjukkan angka empat dan sebuah dadu
menunjukkan angka enam. "Triple" kata Kyle, membungkuk ke arah sinar lilin untuk
melihat dadu dengan lebih jelas. "Kau mendapat tiga ratus prajurit."
"Sempurna!" seruku. "Apa yang selanjutnya harus kulakukan"
Apakah aku?" Aku berhenti ketika mendengar banyak suara. Suara laki-laki,
suara tawa riuh rendah, ringkikan kuda, dan teriakan-teriakan.
Dari luar" Aku menoleh ke jendela. Terlalu gelap untuk melihat ke luar.
Hujan telah membentuk tirai air di kaca jendela.
"Kalian dengar itu?" bisikku.
"Itu bunyi air hujan yang mengguyur pepohonan," jawab Emily.
"Badai yang luar biasa! Entah berasal dari mana."
"Lemparkan dadumu lagi," perintah Kyle. "Kau butuh prajurit
lagi. Kau takkan mampu menaklukkan sebuah istana hanya dengan
tiga ratus prajurit."
Aku melemparkan dadu lagi. Tidak ada angka kembar.
Emily tertawa. "Aku ingin menggunakan mantra lain untuk
menaklukkkan raja." "Giliranmu belum tiba," kata Kyle pada Emily.
Aku berusaha mendengarkan suara di luar. Tapi yang kudengar
hanya bunyi angin kencang dan guyuran hujan.
Api lilinnya melengkung, kemudian meredup.
Kami bertiga membungkuk ke arah meja untuk melihat lebih
jelas. Aku melemparkan dadu lagi. Dan lagi.
Akhirnya, aku mempunyai cukup pasukan untuk menyerbu
benteng musuh. "Lemparkan keempat buah dadunya," perintah Kyle. "Raja yang
sangat kuat tinggal di istana itu. Lebih kuat darimu. Minimal kau
harus mendapatkan angka dua puluh untuk menaklukkan benteng itu."
"Itu sangat sulit," gerutuku.
Emily memejamkan matanya. Dia menggerak-gerakkan sebelah
tangannya ke arahku. "Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Goth sedang memantrai dadu," jawab Emily. "Semua dadumu
akan memperlihatkan angka satu. Mata ular kembar."
"Kau sinting," gerutuku.
Aku mengocok dadu dan melemparkannya ke atas meja.
Dua angka enam, lima, dan empat. Dua puluh satu!
"Aku berhasil! Istana itu telah kuhancurkan," jeritku, sambil
melompat berdiri dan mengacungkan kedua tanganku ke udara.
Aku membeku ketika mendengar suara dentuman yang
memekakkan telinga. Kami bertiga menjerit kaget.
"Bunyi apa itu?" tanya Emily menahan napas, matanya
membelalak ketakutan. "Kedengarannya seperti ledakan," gumam Kyle. "Atau mungkin
bunyi tabrakan mobil."
Kudengar teriakan marah. Jeritan yang keras.
Jeritan yang melengking tinggi.
Teriakan penyerangan"
Lalu bunyi dentangan keras. Seperti suara logam yang beradu.
Pedang" Raungan dan jeritan terdengar lagi.
Aku mengamati dari jendela"lalu membuang muka. Aku tidak
ingin melihat apa yang terjadi di luar sana.
"Kedengarannya seperti suara pertempuran," kata Emily dengan
suara pelan dan ketakutan.
"Aku"aku tidak suka ini," sahutku. "Kupikir kita harus
berhenti memainkannya."
Tanganku gemetar saat mengumpulkan kartu-kartu itu dan
menumpuknya dengan rapi, lalu mengembalikan ke kotaknya.
Aku menutup kotak"dan lampu kembali menyala.
"Hei!" Aku tersedak, mengejap-ngejapkan mata karena cahaya
yang terang. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Emily, kedua tangannya
menempel di pipi. "Kenapa lampu kembali menyala saat kau mynutup
kotak?" "Cuma kebetulan, hanya itu," kata Kyle. "Bukan masalah
besar." Tapi Kyle membeku ketika kami mendengar suara langkah
kaki. Suara langkah kaki terdengar dari ruang tamu. Menuju dapur,
ke arah kami. Sangat cepat.
Kami semua menjerit nyaring saat sesosok makhluk kerdil
berwajah mengerikan menerobos masuk ke dapur.
6 EMILY menjerit. Kyle berdiri, kedua tangannya terkepal erat,
siap untuk berkelahi. Aku melompat ke arah tembok, jantungku
berdetak kencang. Makhluk kerdil itu mendongakkan kepalanya yang bulat dan
besar, lalu mengeluarkan tawa yang tinggi melengking.
Rambut ikalnya memanjang hingga ke bahu, dan janggutnya
pendek berwarna hitam. Matanya yang hijau berputar liar. Hidungnya
seperti moncong binatang. Dia mengenakan rompi berbulu hitam
lebat, celana kulit hitam, dan sandal bulu warna cokelat berbentuk
kerucut. "Aku bebas!" teriak makhluk kerdil itu keras-keras. Dia
melambai-lambaikan kedua tangannya di atas kepala. "Aku bebas
bagaikan burung! Terima kasih! Terima kasih untuk kalian semua."
"Hei, tunggu!" teriakku.
Tetapi dia telah berlari, membuka pintu dapur, dan menghilang
di tengah lebatnya hujan.
Emily terenyak di kursinya, kedua tangannya masih menempel
di pipinya. Kyle tidak bergerak. Tangannya masih terkepal erat, siap
berkelahi. Aku menelan ludah dan menunggu detak jantungku kembali
normal. Akhirnya suara Kyle memecah kesunyian. "Krel. Dia Krel,"
gumamnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku menelan ludah lagi. Lalu menatap ke luar jendela. Hujan
telah berhenti, tapi aku masih tidak bisa melihat apa-apa.
"Dia mirip sekali dengan Krel yang ada di tumpukan kartu,"
kata Emily. "Hah?" Aku menatap ke arah kartu Permainan Maut. "Ya. Mirip
sekali." Aku mengambil kotak kartu lalu menebarkan kartu-kartu itu di
atas meja dapur. Aku mulai mengacaknya dengan perasaan kalut. "Di
mana kartu itu" Di mana?"
Aku membuka setiap kartu hingga kartu terakhir. Tidak ada
kartu Krel. "Mungkin aku terlalu terburu-buru. Aku tahu kartu itu masih di
sini," kataku. Aku mengumpulkan kartu itu sekali lagi dan mulai mencari
lagi. Kali ini lebih pelan. Dengan hati-hati kuamati setiap kartu.
Raja, makhluk kerdil, tiga kartu Jekel, dua kartu Goth, satria
bertopeng.... "Ayolah. Ayo!" kataku cepat, sambil menjatuhkan kartu ke
meja satu per satu. "Tidak ada," kataku sambil menatap kedua temanku. "Kartu
Krel-nya tidak ada."
"Coba kulihat," hardik Kyle, sambil mengerutkan dahi.
Dia meraih kartu-kartu itu hingga sebuah kartu terjatuh ke
lantai. Dengan cepat aku membungkuk untuk memungutnya.
Kartu bergambar naga. Gambar naga yang sangat besar. Matanya liar, kepalanya
terangkat tinggi, mulutnya terbuka mengeluarkan raungan marah, api
keluar dari lubang hidungnya.
Aku meraih kartu itu. Dan aku mendengar suara langkah kaki pelan dan berat dari
ruang tamu. 7 "NAGA!" kataku tertahan.
Aku melemparkan kartu itu ke meja. Emily dan kyle berdiri
membeku, mulut mereka ternganga dan kedua mata mereka
membelalak. "Itu suara naga," ulangku, berbalik ke arah pintu masuk.
"Connor" Naga apa?" panggil sebuah suara yang akrab di
telingaku. Mom dan Dad masuk ke dapur, basah kuyup karena hujan.
Rambut Mom yang ikal tampak kempis karena basah. Tetes hujan
turun melalui dagunya, baju kerja biru Dad seluruhnya juga basah
karena hujan. "Uh... kami sedang bermain," jelasku.
Tanganku gemetaran. Aku menggenggam ujung meja agar
mereka tidak dapat melihatnya.
"Setidaknya kalian tidak terjebak di tengah hujan lebat yang
turun tiba-tiba," kata Mom, sambil melepaskan sepatunya yang basah.
Dad mendekati kami. "Kalian lihat apa yang terjadi di sebelah"
Kalian tidak mendengar ribut-ribut di luar?"
"Benar-benar sebuah bencana!" Mom menambah-kan.
"Keluarga Nelson yang malang...."
"Hah" Apa yang terjadi?" tanyaku ingin tahu.
Dad mengibaskan air hujan dari rambutnya. "Lihat saja sendiri.
Benar-benar luar biasa!"
"Aku tidak percaya kalian tidak mendengarnya," kata Mom,
sambil mengerutkan dahi. Aku berjalan ke pintu dapur, membukanya, dan berlari ke luar.
Emily dan Kyle mengikutiku dari belakang.
Hujan telah berhenti. Secercah sinar matahari sore mulai
tampak di antara awan gelap yang mulai menipis.
Aku berlari melewati pagar kayu di antara halaman rumah kami
dan keluarga Nelson. Tiba-tiba langkahku terhenti, saat rumah
keluarga Nelson tampak di depanku.
Atau apa yang tersisa dari rumah mereka!
Rumah itu hancur berantakan.
Seluruh jendelanya hancur. Daun jendelanya tergeletak di tanah
yang basah. Pecahan bata dari sebagian dinding berserakan di manamana. Separuh atapnya ambruk ke dalam rumah.
Pagar depan hancur terinjak-injak. Bunga-bunga di kebun
samping tercabut dari akarnya. Kotak surat tergeletak di lumpur.
Para tetangga mengerumuni rumah itu, suasananya sunyi
senyap. Aku melihat Mr. dan Mrs. Nelson berbicara dengan dua polisi
berwajah muram. Mereka berbicara dengan nada berapi-api, sambil
menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan bersemangat.
Apa yang terjadi?" tanyaku pada seorang tetangga. "Apa karena
badai?" Orang itu mengangkat bahu. "Kurasa bukan. Keluarga Nelson
berkata bahwa mereka telah diserang."
Aku menahan napas. Aku bisa mendengar suara Mr. Nelson ketika aku
mendekatinya, melewati pecahan kaca. "Itu semacam pasukan!"
katanya, sambil menganggukkan kepalanya. "Mereka berpakaian
seperti"satria atau semacamnya!"
Satria" Mrs. Nelson mulai terisak. "Sangat menakutkan!" tangisnya.
"Mereka naik kuda. Mengenakan helm baja. Kami tidak dapat melihat
wajah mereka. Mereka"mereka?" Suaminya merangkulkan
tangannya di pundaknya, berusaha menghiburnya.
"Mereka menyerang rumah kami," kata Mr. Nelson pada polisi.
"Seperti sebuah film. Aku tahu, kedengarannya memang gila. Satria
berkuda menyerang rumah kami."
Aku melangkah mundur. Tenggorokanku terasa kering hingga
aku tak dapat menelan. Tiba-tiba kakiku terasa lemas.
Aku tahu. Ini bukan film.
Ini akibat permainan kartu kami, Permainan Maut.
Di dalam permainan, aku mengirimkan prajuritku untuk
menyerang benteng kerajaan tetangga.
Dan keluarga Nelson diserang oleh pasukan satria bertopeng.
Tiba-tiba aku merasa mual. Aku menutup mulutku. Menunggu
perutku kembali normal. Apa yang dapat kulakukan" tanyaku dalam hati. Bagaimana aku
menjelaskannya" Polisi berdebat dengan keluarga Nelson. Mereka tidak percaya
dengan cerita aneh itu. Tapi aku percaya. Aku tahu semua ini salahku. Aku tahu permainan kartulah yang
telah menyebabkan kejadian ini.
Aku mendongak"dan melihat seseorang menatapku di balik
bayang-bayang reruntuhan pagar. Sosok itu lalu melangkah melewati
pagar, menuju cahaya. Mr. Zarwid. Dengan wajah sedingin es, matanya tertuju padaku.
Aku melangkah mundur. Bersiap-siap berlari pulang.
Mr. Zarwid bergerak cepat, menyeberangi rerumputan yang
basah. Jas hujannya melambai-lambai di belakangnya. Perutnya yang
buncit naik-turun seirama dengan langkahnya.
"Ada yang ingin kausampaikan padaku, anak muda?" tanyanya
dengan suara parau, memandang tajam ke arahku. "Ada yang ingin
kaukatakan tentang hilangnya koleksi kartuku?"
Dia tahu. Aku sadar, Mr. Zarwid tahu bahwa aku mencuri
kartunya. Apa yang akan dilakukannya" Apa yang akan dilakukannya
padaku" 8 DENGAN pandangan seperti sinar laser, Mr. Zarwid
menatapku dengan matanya yang kecil dan bulat. Di bawah kumis
putihnya yang kaku, dia menggerutu sendiri. Wajahnya tetap
cemberut. Aku menelan ludah. Aku tak boleh menceritakan kejadian
sesungguhnya, pikirku. Aku tak bisa mengaku bahwa aku telah
mencuri kartunya.

Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak bisa menceritakan pada siapa pun bahwa
penyerangan ke rumah keluarga Nelson adalah tanggung jawabku.
Di belakang Mr. Zarwid, kedua polisi tadi menggelenggelengkan kepalanya. Para tetangga berkelompok sendiri-sendiri,
saling berbisik dengan wajah kebingungan.
"Aku tidak tahu apa-apa," kataku pada Mr. Zarwid dengan
suara bergetar. Jantungku berdetak kencang, terasa hingga ke
tenggorokanku, membuatku tidak bisa bernapas. Aku batuk, lalu
menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu apa-apa," ulangku.
Aku berbalik dan mulai berlari di atas rumput yang basah dan
licin. Aku harus kabur. Aku harus memikirkan masalah ini berpikir
keras untuk menentukan langkah selanjutnya.
Aku berlari terus tanpa menoleh ke belakang, tanpa menunggu
Kyle dan Emily. Aku terus berlari hingga ke depan rumahku. Aku berlari menuju
loteng, lalu membanting pintu kamarku dengan keras.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Dengan napas
terengah-engah, aku menjatuhkan diri di ujung tempat tidurku.
Kepalaku berputar-putar dan jantungku berdetak kencang.
Aku memejamkan mataku dan melihat tulisan yang tercetak
tebal di kotak kartu: PERMAINAN MAUT.
*************** Malam itu aku bermimpi tentang Mr. Zarwid.
Dia berdiri di hadapanku, mengenakan pakaian serbaputih. Jas
putih, kemeja putih, dasi putih"seputih rambut dan kumisnya.
Dalam mimpiku, Mr. Zarwid mengangkat tangannya di atas
kepala dan berteriak keras, "Permainan Maut, Connor! Takutlah!"
Lalu dia berbalik ke pintu dan mulai mengayunkan tangannya
seakan-akan sedang mengatur lalu lintas.
Kulihat diriku duduk di atas tempat tidur dengan wajah
ketakutan Kudengar langkah berat dari luar kamarku. Geraman, jeritan,
dan rintihan keras. Mr. Zarwid semakin cepat mengayunkan tangannya. Dia
mendongak, rambut putihnya jatuh ke bahunya, dan tertawa terbahakbahak.
Satria dengan baju baja berwarna abu-abu berkilat, berjalan
dengan langkah berat memasuki kamarku. Perisainya yang lebar
menabrak kedua sisi pintu kamarku.
"Hei"pergi dari sini!" jeritku.
Dalam mimpi itu, aku tahu aku sedang bermimpi, tetapi rasa
takut mencekikku. Aku berteriak nyaring saat sosok-sosok lain
menyusul satria itu. Goth dan Krel. Makhluk kerdil jahat berjanggut dengan
moncong binatang. Satria bertopeng. Manusia berkepala babi.
Mereka mulai meraung, melolong, dan menggonggong seperti
hewan, sambil mendongakkan kepala.
Keras sekali. Sangat keras, sehingga aku menutup kedua
telingaku. Tapi aku tidak bisa mengusir suara jeritan dan raungan saat
mereka mulai bertempur. Mereka saling mengayunkan pedang, golok panjang, dan belati
yang berkilat-kilat. Baju baja mereka saling beradu, menimbulkan
bunyi yang sangat keras. Sambil memajukan perisai, mereka berteriak
dan menjerit. Mereka jatuh berguling-guling di atas tempat tidurku. Mereka
menebas tirai jendela dan membuat isi mejaku berantakan di lantai.
Krel mendorong satria bertopeng hingga menabrak jendela
kamarku. Kaca jendela pecah berkeping-keping. Pedang merobek
kertas pelapis dinding kamarku.
"Keluar! Keluar! Keluar!" teriakku dengan suara nyaring dan
putus asa. "Keluar! Keluar!" Aku terbangun sambil berteriak-teriak.
Tubuhku gemetaran dan basah oleh keringat.
Piamaku menempel di punggungku yang basah.
Aku duduk di ranjang, sadar sepenuhnya. Sinar matahari pagi
masuk ke kamarku melalui celah-celah tirai jendela.
Kacanya"tidak pecah. Tidak pecah.
Kertas pelapis dindingnya tidak robek.
Aku menarik napas lega dan mulai berdiri.
Tapi aku terduduk kembali saat menatap lantai. Karpetnya"
dipenuhi lumpur. Jejak kaki berlumpur. Jumlahnya lusinan, besar dan
kecil. Jejak kaki berlumpur tercetak di karpet.
"Tidak!" aku berteriak keras.
"Ini gara-gara kartu itu," gerutuku. Aku memeluk diriku,
mencoba menghentikan tubuhku yang gemetaran.
"Ini akibat permainan kartu itu."
Aku harus menyingkirkan kartu itu. Aku tahu, aku takkan
pernah aman jika masih memilikinya. Aku harus mengembalikannya
pada Mr. Zarwid. Aku berdiri lagi. Akan kukembalikan sekarang juga, aku memutuskan. Aku akan
berpakaian dan mengembalikan kartu itu ke rumah Mr. Zarwid.
Mungkin sebaiknya aku meletakkan kartu itu di depan
rumahnya. Ya, begitu saja. Tidak perlu bicara padanya. Tidak perlu mendengarkan
kuliahnya bahwa mencuri itu salah.
Aku mulai merasa lebih baik, lebih tenang. Aku punya rencana.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku mengenakan celana jins dan kausku. Tanganku gemetaran
saat mengikat tali sepatuku.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Connor, kau akan baik-baik saja, kataku dalam hati. Kau akan
mengembalikan kartu itu, dan hidupmu akan kembali normal.
Di mana aku meletakkan kartu itu" Oh ya, di mejaku.
Oke. Oke. Tidak ada masalah.
Dalam beberapa menit, semuanya akan kembali normal.
Aku berjalan ke arah mejaku"dan menahan napas.
Kartunya hilang. 9 HILANG. Tanganku menjelajahi setiap sudut meja. Tidak ada. Kartunya
tidak ada. Akhirnya, aku menarik laci dan mulai mencari. Kartunya tidak
ada. Aku berlutut dan mencari di kolong meja. Tidak ada.
Aku mendengar suara dari lantai bawah. Anak perempuan
tertawa. Suara kursi ditarik.
Oh, tunggu dulu. Aku pasti telah meninggalkan kartu itu di
bawah. Di atas meja dapur.
Kugeleng-gelengkan kepalaku, lalu aku berdiri dan segera turun
menuju dapur. "Hei!" seruku terkejut. Emily dan Kyle sudah duduk di depan
meja dapur. Kyle telah memisahkan kartu itu menjadi empat
tumpukan. "Kami sudah menunggumu," kata Emily. "Kami tidak ingin
membangunkanmu." "Cepat sarapan dan ayo bermain," desak Kyle. Dia mengocok
salah satu tumpukan kartu.
"Tidak mau!" sahutku. "Kembalikan kartu itu ke kotaknya,
Kyle. Aku akan mengembalikannya kepada Mr. Zarwid. Sekarang
juga." "Hah?" Kyle ternganga. "Kau tidak bisa melakukannya. Kita
sedang di tengah permainan."
"Kau baru saja menaklukkan sebuah istana," sahut Emily. "Kau
kini memimpin. Kau harus memberi kesempatan pada Goth dan Krel
untuk menyusulmu." "Tidak bisa!" paksaku. "Kenapa sih kalian" Permainan ini
terlalu berbahaya. Kalian lihat kan yang terjadi pada rumah sebelah"
Mr. Zarwid memperingatkan kita. Katanya?"
"Dia orang tua yang aneh," Kyle mencemooh. "Dia benci anakanak. Kau tahu, kan?"
"Dia hanya mencoba menakut-nakuti kita," kata Emily sambil
mengocok setumpuk kartu. "Kau tidak percaya peringatan itu kan,
Connor" Itu terlalu dibuat-buat."
"Tapi... tapi...," sahutku tergagap. "Rumah keluarga Nelson?"
"Badai yang menghancurkannya," kata Kyle.
"Tapi badai muncul saat kita menarik kartu bergambar petir!"
kataku mengingatkan. Mereka berdua tertawa. "Hahaha! Apa kaupikir sekarang kau
mampu mengendalikan cuaca, Connor?" tanya Kyle.
"Duduklah," perintah Emily. "Kau hanya membuang waktu.
Seharusnya kita sekarang telah bermain."
Aku memandang mereka berdua. Kulihat tekad mereka sudah
bulat. Apa pun yang kukatakan, mereka akan tetap bermain.
"Oke, oke," gerutuku.
Aku menuang segelas jus jeruk, lalu mengambil tempat duduk.
"Satu permainan lagi," desakku. "Aku sungguh-sunguh, teman-teman.
Sekali saja. Lalu aku akan mengembalikan kartu itu kepada Mr.
Zarwid." Emily mengocok kartu-kartu di tangannya, lalu meletakkannya
tertutup di atas meja. Tubuh kami bertiga condong ke depan saat Emily mulai
menarik sebuah kartu. Aku merasa bulu romaku berdiri.
Haruskah kami berhenti" Apakah kami membuat kesalahan
besar" Emily menarik sebuah kartu, lalu membaliknya.
Dan aku menjerit ketakutan.
10 EMILY mengambil kartu bergambar naga.
Di bagian depan kartu tampak seekor naga berdiri, seluruh
tubuhnya berwarna perak, lehernya yang panjang terangkat ke
belakang seakan siap menyerang. Duri-duri metalik yang besar dan
panjang berdiri tegak penuh kemarahan, meregang di sepanjang
punggungnya. Dadanya keras seperti baja. Sayap lebar berwarna perak
melebar di balik bahunya.
Moncongnya yang panjang meraung terbuka, memperlihatkan
dua deret gigi yang tajam. Kedua lubang hidungnya mengeluarkan
lidah api merah dan asap.
Kami bertiga menatap kartu itu. "Emily, kini saatnya
mengambil kartu nasib," instruksi Kyle, sambil mendorong tumpukan
kartu lain ke hadapan anak perempuan itu.
Sejenak Emily tampak ragu-ragu. Lalu dia menarik kartu teratas
di tumpukan kartu nasib. Dia memegangnya. Tampak dua panah
hitam yang panjang melingkar hingga kedua ujungnya saling bertemu.
"Apa maksudnya?" tanya Emily pada Kyle.
"Itu kartu penukar," jelas Kyle. "Karaktermu berganti. Kau
bukan Goth lagi. Kau sekarang adalah naga."
"Yaaa! Sekarang aku naga!" seru Emily kegirangan.
Aku memejamkan mata. Dan mimpiku muncul lagi. Lolongan,
raungan sosok-sosok yang jelek dan aneh, bertempur di kamarku.
Aku tidak suka ini, pikirku. Aku tidak ingin bermain lagi.
Ketika aku membuka mata, Kyle memberikan dadunya pada
Emily. "Tunjukkan kekuatanmu," instruksinya. "Kita lihat sekuat apa
nagamu," katanya menjengkelkan. "Mungkin kau hanya kantong gas
yang besar dan lemah."
Emily menggulirkan dadunya ke atas meja. Dua angka enam,
lima, dan empat. "Wow! Luar biasa!" seru Kyle, menggebrak meja dengan
kepalan tangannya. "Luar biasa! Nagamu benar-benar kuat!"
Aku merasa mual. "Aku masih tetap raja, kan?" tanyaku pada Kyle. "Dan masih
punya pasukan satria, kan?"
Kyle mengangguk. "Baiklah... aku akan mengirim satriaku untuk menghancurkan
naga," kataku mengumumkan.
Aku meraih dadu. Kyle mendorong tanganku.
"Sekarang giliranku," katanya. Dia melirik ke arah Emily. "Krel
memutuskan untuk bergabung dengan naga."
"Huh" Apa maksudnya?" tanyaku penasaran.
"Krel sangat pintar, sangat cerdik," jawab Kyle. "Kami tahu
kapan harus berpindah kubu."
"Tapi, apa maksudnya?" tanyaku lagi.
"Aku menggabungkan kekuatanku dengan kekuatan naga,"
katanya. "Yaaa!" seru Emily. Dia ber-high five dengan Kyle. "Kita
berkuasa!" "Tapi itu tidak adil!" protesku.
Kyle tertawa. "Ini perang, Connor."
Kyle menarik kartu di tumpukan paling atas dan membukanya.
Kartu itu menggambarkan makhluk aneh berjanggut dan memakai
baju cokelat, sedang memegang jaring yang lebar.
"Makhluk aneh berpakaian nelayan," kata Kyle. Dia
melemparkan dadunya, lalu berbalik ke arahku. "Kau dalam masalah,
Raja Krel telah memanggil dua ribu pasukan makhluk aneh nelayan.
Para makhluk itu berhasil menyelinap melewati pasukanmu dan
melemparkan jaringnya padamu."
"Kau bergurau," gerutuku.
Kyle menggeleng pelan. "Maksudmu, aku tertangkap?" seruku.
"Ya. Tertangkap," kata Kyle. Dia menggulirkan dadu ke arah
Emily. "Sang raja telah tertangkap"dan sekarang giliran naga
menghabisinya." "Tidak"tunggu!" paksaku.
Tapi Emily sudah melemparkan dadunya.
Dan dari arah jalan di luar rumah aku mendengar raungan.
Lalu terdengar jeritan seorang wanita.
Decitan ban mobil. Suara benturan keras. Kemudian terdengar
raungan buas hewan, makin keras dan makin dekat.
Tidak"tolonglah, jangan! Aku berdoa dalam hati, melihat
wajah terkejut kedua temanku.
Tolong jangan biarkan sang naga hidup. Tolong....
11 AKU melompat berdiri dan berlari ke arah jendela dapur.
Aku mendengar teriakan lain. Disusul suara mobil yang
mengerem mendadak. Tapi aku tidak melihat apa pun.
Aku berbalik dan lari ke pintu depan. Emily dan Kyle
berimpitan di belakangku. Aku mendorong pintu hingga terbuka"dan
terdengarlah suara raungan garang.
Aku tidak pernah mendengar raungan seperti itu sebelumnya.
Bukan seperti auman singa atau harimau. Juga tidak seperti
suara gajah. Raungan itu terdengar rendah, bergetar, dan meledak dari dasar
perut seekor binatang. Semakin lama semakin keras hingga terdengar
seperti auman dan lengkingan nyaring.
Aku mendengar suara berderak, suara pohon tumbang.
Teriakan-teriakan lagi. Aku, Emily, dan Kyle cepat-cepat melintasi halaman depan


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumahku. Kami berhenti di pinggir jalan, ketika bayangan besar menyapu
jalanan. Dan dari balik bayangan muncullah seekor naga.
Tinggi, berduri, dan garang"seperti gambar di kartu.
"Aku"aku tidak percaya ini!" kataku gugup.
Sayapnya yang keperakan terbentang di balik punggungnya
yang berduri. Sayap itu mengembang"mengembang seperti layar
kapal"dan memotong kabel-kabel listrik di sekitar jalan. Kabel itu
jatuh, disertai bunga-bunga api dan bunyi keras.
Kepala naga itu mendongak lagi, lalu mengeluarkan raungan
keras. Badannya yang besar maju perlahan-lahan, membuat tiang
listrik bertumbangan ke jalan.
Naga itu mengangkat kakinya yang besar"dan menginjak
sebuah mobil hingga hancur berantakan.
Para tetangga berteriak dan berlarian. Aku mendengar tangisan
anak-anak. Sebuah mobil mengerem mendadak, sehingga kehilangan
kontrol dan masuk ke halaman tetangga.
Kyle berdiri di sampingku, memandang makhluk itu dengan
mulut ternganga. "Seekor naga... benar-benar seekor naga,"
gumamnya. "Kita yang membawanya ke sini," kataku, sambil
menggenggam lengan Kyle. "Kita yang melepaskannya. Kita harus
melakukan sesuatu." Kyle berbalik ke arahku, wajahnya memancarkan ketakutan.
"Melakukan sesuatu" Misalnya apa?"
"Emm, begini?" "Aku punya ide," potong Emily sambil terengah-engah.
Sang naga meraung lagi ketika menginjak mobil lain hingga
hancur berantakan. "Cepat...," desak Emily. "Ke dalam rumah." Dia mulai berlari
menyeberangi rerumputan. Aku melirik sekali lagi ke arah naga itu, saat api kemarahan
menyembur dari moncongnya. Kemudian aku berlari menyusul Emily.
"Apa idemu?" tanyaku.
Dia tidak menjawab sampai kami bertiga mencapai dapur.
"Kartunya," kata Emily dengan napas terengah-engah. "Kartu
bergambar naga. Kalau kita mengembalikan kartu itu ke kotaknya,
mungkin naga itu akan menghilang."
"Ya!" seruku. "Ingat kemarin malam" Saat badai berhenti ketika
aku mengembalikan kartu bergambar petir ke dalam kotak?"
"Mungkin bisa berhasil," kata Kyle setuju.
Kami melompat kaget saat terdengar suara benturan keras.
Pohon tumbang lagi" Sangat dekat. Di luar jendela depan.
Kami membungkuk ke arah meja dan dengan kalut mencari
kartu itu. "Di mana kartunya?" jeritku. "Di mana kartu bergambar naga
itu?" "Tadi aku meninggalkannya terbuka," sahut Emily. "Ingat
tidak" Kartu itu ada di hadapanku!"
Kyle menggebrakkan tinjunya ke meja, sehingga beberapa kartu
beterbangan. "Kartunya tidak ada!" serunya.
Aku belum menyerah. Aku membalik kartu-kartu itu lagi. Tapi
Kyle benar. Kartu bergambar naga itu telah lenyap.
"Sekarang bagaimana?" desah Emily.
Aku mendengar teriakan-teriakan lagi dari luar. Suara sirene
meraung-raung di luar. Derakan kayu terbelah terdengar lagi.
Tengkukku terasa dingin. Aku menatap kartu-kartu di atas meja.
Dan terlintas ide di benakku.
Aku mengambil dadu. "Aku akan mengirim pasukan besar
satria bertopeng untuk mengalahkan naga itu," aku mengumumkan.
"Tapi?" Emily hendak mengatakan sesuatu.
Aku tidak membiarkannya menyelesaikan kata-katanya. "Itu
layak dicoba," kataku. "Aku hanya perlu mengumpulkan banyak poin
kekuatan." Kyle menepuk punggungku untuk menyemangati. "Semoga
berhasil, Connor. Lemparkan dadunya, keluarkan seluruhnya angka
enam. Cepat." Raungan terdengar lagi dari luar. Suara percikan listrik.
Teriakan dan jeritan ketakutan memenuhi jalan.
Aku meremas dadu-dadu dalam genggamanku.
Mengocoknya. Menutup mataku dan berdoa semoga seluruh
dadunya menunjukkan angka enam.
Lalu aku menurunkan tanganku dan melemparkan dadunya ke
atas meja. 12 "OH, tidaaak!" aku mengerang.
Tiga buah angka tiga, dan satu buah angka dua.
"Gulirkan lagi," desak Emily. "Coba lagi, Connor."
Aku hendak meraih dadu-dadu itu lagi, tapi suara gaduh
membuatku berhenti. Aku meninggalkan meja dan berlari ke arah
jendela. "Oh, wow!" gumamku. Aku melihat lima satria bertopeng di
jalan. Mereka bergerak bersama, berbaris perlahan. Mereka
memegang perisai dengan satu tangan, dan pedang teracung tinggi di
tangan yang lain. Baju besi mereka berkilau terkena sinar matahari"sampai
akhirnya bayang-bayang naga menaungi mereka. Mereka berlima
kelihatan tenggelam di bawah bayangan naga.
"Tidak kelihatan seperti pasukan," sahut Kyle. "Kalau angka
yang keluar seluruhnya angka enam, mungkin saja?"
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Kami bertiga menahan napas ketika rahang naga itu
mengangkat dua satria"dan dengan kibasan keras melemparkan
mereka ke atap rumah seberang.
Makhluk garang itu merendahkan kepalanya lagi. Dengan
raungan keras, naga itu menyemburkan bola api besar ke arah ketiga
satria yang tersisa. Sambil menjerit ketakutan, para satria itu menjatuhkan pedang
dan perisai mereka, kemudian berbalik dan melarikan diri. Teriakan
mereka tenggelam dalam dentang baju besi mereka.
"Naga itu menang," gerutuku.
Dan apa yang terlihat kemudian, membuatku beku dalam
ketakutan. Naga itu memutar badannya yang besar, menghadap ke
arah rumahku. Dia mendongakkan kepalanya, lalu mengeluarkan
raungan siap untuk menyerang.
Bayang-bayang gelap menyapu rumahku saat makhluk itu
memasuki halaman depan. ebukulawas.blogspot.com
"Dia"dia datang ke sini!" kataku tercekat. "Sekarang dia
mengejar kita!" 13 BAYANGAN gelap menyapu rumahku. Tiba-tiba tubuhku
terasa dingin, dingin sekali, saat naga itu menutupi sinar matahari.
Aku berbalik dan menjauhkan diri dari jendela.
Sambil menggigil, aku berlari ke dapur.
Aku dapat mendengar langkah naga itu saat makhluk itu
memasuki halaman depan rumahku. Langkah-langkahnya
menggetarkan rumah. Aku mendengar pohon berderak dan tumbang. Juga bunyi
bunga listrik dari pusat listrik yang putus.
"Dia datang dari samping rumah!" jerit Emily.
Bayangan gelap dan dingin menyelimuti halaman belakang, lalu
jendela dapur. "Dia"dia mengikuti kita ke sini!" teriak Kyle.
Aku mendongak ke arah jendela dapur dan melihat dada naga
yang besar seperti baju baja. Makhluk itu menabrak bagian belakang
rumah. Menggetarkan seluruh rumah dan meretakkan dinding dapur.
Naga itu merendahkan kepalanya ke jendela, mengertakkan
rahangnya yang kuat"mengintip dengan mata merahnya yang sebesar
bola basket. Emily menjerit ketakutan. Dia menjauhi jendela, berusaha lari
ke kamar, hingga menabrak Kyle yang juga berusaha lari.
Akhirnya aku pun menjerit. Dalam keputusasaan sebuah ide
terlintas di kepalaku. Aku membungkuk ke arah meja dan mengumpulkan kartu-kartu
itu dengan kedua tanganku, menumpuknya menjadi satu. Seluruh
tubuhku gemetaran ketakutan.
Kupegang kartu itu dengan satu tangan, sedangkan tanganku
yang lain meraih kotaknya.
Masukkan kartu itu ke dalam kotak, Connor, perintahku pada
diri sendiri. Mungkin... mungkin kalau kau memasukkan kartu itu seperti
kemarin malam, naga itu akan menghilang.
Seperti kemarin malam. Kemarin malam, ya aku ingat, ketika kami memasukkan kartu
itu kembali ke kotaknya"badai berhenti dan lampu kembali menyala.
Kaca jendela dapur bergetar saat moncong naga
menghantamnya. Matanya yang bulat dan merah menyala menatap ke
arah kami. Lubang hidungnya menyemburkan api.
Naga itu mendongakkan kepalanya.
Dalam sedetik, dia akan menghancurkan jendela, pikirku.
Tidak ada waktu. Tidak ada waktu.
Aku mulai memasukkan kartu itu ke dalam kotak. Namun aku
menjatuhkannya! "Tidaaak!" aku meraung dalam keputusasaan.
Aku jatuh berlutut. Dengan gemetaran kuraih kembali kotak itu.
Aku berusaha memasukkan kartu itu ke dalam kotak.
Masukkan. Masukkan kartu itu ke dalam kotak.
Dan menutup kotaknya. Apakah akan berhasil"
14 KUDENGAR bunyi ledakan keras, seperti bunyi balon raksasa
yang meletus. Kilatan cahaya putih yang menyilaukan membuat kami bertiga
berteriak terkejut. Sambil mengejap-ngejapkan mataku, aku berputar ke arah
jendela. Sinar matahari pagi membanjiri dapur.
Di luar hening. Kami membungkuk ke arah jendela dan mengintip ke luar.
Aku melihat jejak kaki yang luar biasa besar dan dalam
membekas di halaman. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Tapi tidak ada naga. Tidak ada naga. Naganya telah lenyap.
"Connor"kau jenius!" seru Kyle. Dia menepuk punggungku
dengan keras, sangat keras hingga aku hampir terlempar ke jendela.
Emily mulai tertawa. Tanpa kami sadari, kami bertiga mulai
tertawa dan berpelukan gembira.
Kami sangat senang naga itu telah pergi.
Tapi ketika pandangan mataku beradu dengan kotak kartu di
atas meja dapur, aku berhenti tertawa.
"Kita harus mengembalikan kartu-kartu ini pada Mr. Zarwid"
sekarang!" kataku. "Mr. Zarwid tidak berbohong," gumam Emily, menatap kartu
itu dengan pandangan waswas, seakan-akan kartu itu bisa meledak
setiap saat. "Dia berusaha memperingatkan kita betapa berbahayanya
permainan ini. Tapi kita tidak mendengarkan."
Kyle menyisir rambutnya yang pirang dan tebal ke belakang.
"Kalau Mr. Zarwid tahu kartu-kartu ini berbahaya, kenapa dia
menjualnya saat cuci gudang?" tanyanya penasaran.
"Pertanyaan bagus," sahut Emily lembut, matanya masih
menatap kartu itu. Dia berbalik ke arahku. "Tentu saja, Mr. Zarwid
tidak mengira ada orang yang akan mencurinya."
Wajahku terasa panas. "Jangan kuatir. Aku takkan pernah
mencuri lagi!" kataku mantap. "Dan tidak ada lagi permainan memilih
karakter. Mulai saat ini, aku hanya akan memainkan permainan
biasa!" "Kita hanya membuang waktu," kata Kyle. "Ayo kembalikan
kartu-kartu itu." "Maukah kalian ikut denganku?" tanyaku. "Mungkin kalau kita
pergi bertiga, Mr. Zarwid tidak akan terlalu menyulitkanku."
Kyle dan Emily berpandangan, lalu mengangguk. "Oke. Ayo
kita pergi," kata Emily.
Aku meraih kotak kartu itu. Ketika aku mengambilnya,
tutupnya bergeser dan terbuka"hingga kartu-kartu itu terjatuh dan
berceceran di lantai. Aku membungkuk untuk mengumpulkannya.
Aku berseru kaget ketika melihat sesosok gambar di bagian
depan kartu. "Coba lihat ini!" seruku. "Aku tidak melihat kartu ini
sebelumnya." Aku berdiri sambil memegang kartu itu supaya kedua temanku
bisa melihatnya. "Itu"itu Mr. Zarwid!" seru Emily.
Ya. Itu memang gambarnya. Rambut putihnya bersinar,
kumisnya yang putih dan kaku berdiri, matanya yang biru dan bundar
memandang ke arah kami. "Lihat apa yang ditulis di belakangnya," kataku. Aku membalik
kartu itu sehingga mereka dapat melihat tulisan: WIZARD"
PENYIHIR. "Ini kartu penyihir." Kyle berpikir sejenak. "Wah! Tunggu
sebentar. Zarwid... Wizard... Kalian mengerti, kan?"
Ya, aku mengerti. Zarwid berasal dari kata Wizard. Kalau kalian mengacak hurufhuruf pada nama Mr. Zarwid, kalian akan mendapatkan kata wizard
yang artinya penyihir. Emily meraih kartu itu dan mendekatkannya pada wajahnya,
mengamatinya dengan serius. "Apa kalian pikir dia benar-benar
penyihir?" tanyanya.
"Mungkin saja," jawabku.
Emily merendahkan kartu itu dan wajahnya jadi ketakutan.
"Lalu menurut kalian, apa yang akan dilakukannya jika dia tahu
kitalah yang mengambil kartunya?"
15 AKU menyelipkan kartu bergambar penyihir di saku kausku.
Lalu aku memasukkan kumpulan kartu Permainan Maut di saku
belakang celana jinsku. Kami bertiga meninggalkan pintu depan, lalu berjalan
menyusuri halaman depan. Kami berhenti di depan pohon maple raksasa yang telah
tumbang. Pohon itu tumbang di atas kabel listrik. Kawatnya
berdenging dan berderak, memercikkan bunga-bunga listrik di trotoar.
Di seberang jalan, kulihat bongkahan baja yang telah hancur.
"Sebelumnya benda itu adalah mobil," gumamku pada kedua
temanku. Sambil ternganga, mereka melihat puing-puing dan kerusakan
di sepanjang blok. Mobil yang hancur, pohon dan tiang listrik yang
tumbang. Lubang yang dalam di jalanan. Pagar yang patah. Taman
bunga yang terinjak-injak.
Tiga mobil polisi menutup jalan itu, lampu sirene bersinar
merah tanpa suara. Orang-orang berkumpul dalam kelompok kecil, menangis,
mengobrol dengan bersemangat, sambil menunjuk ke rumah yang


Goosebumps - Permainan Maut Goosebumps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hancur dan mobil yang rusak. Mereka menggeleng-gelengkan kepala
dengan wajah bingung dan terkejut.
"Kita yang melakukannya," gumamku. "Ini semua salah kita."
"Aku tidak percaya," jawab Emily dengan suara bergetar. "Aku
tidak percaya kartu itu begitu jahat."
Aku melihat sekelompok tetangga menatap ke arah kami. Aku
bertanya-tanya apakah mereka tahu kamilah yang bersalah. Kamilah
yang telah memunculkan satria, tentara, dan naga.
Apa yang terjadi padaku dan teman-temanku kalau para
tetangga itu tahu" Apa yang akan mereka lakukan pada kami" Akankah mereka
menuntut orangtuaku" Apakah orangtuaku harus mengganti semua
kerusakan ini" Apa yang akan dilakukan orangtuaku padaku"
Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan gelombang kepanikan
dalam diriku. Kakiku tiba-tiba terasa lemas. Aku berusaha mengusir
rasa pusing yang datang tiba-tiba.
Kami melewati mobil patroli polisi. Aku bisa mendengar bunyi
radio mereka. Petugas berseragam gelap berjalan mondar-mandir di
sepanjang jalan, memeriksa jejak kaki yang dalam di trotoar. Mereka
menggaruk-garuk kepala, wajah mereka tampak kebingungan.
Ketika kami mencapai ujung jalan, rumah Mr. Zarwid tampak
di hadapan kami. Pintu depan tertutup dan jendelanya tampak gelap.
Koran pagi masih tergeletak di jalan masuk.
Pemburu Darah Satria 1 Shugyosa Samurai Pengembara 5 Pusaka Jarum Surga 2

Cari Blog Ini