Ceritasilat Novel Online

Teror Di Ruang Bawah Tanah 2

Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah Bagian 2


Lampu langit-langit padam. Separuh ruangan tersembunyi
dalam bayangan gelap. Aku mendengar bunyi TES TES TES air keran
yang bocor, dari ruang cuci di seberang ruangan.
Suara helaan napas berat membuatku terperangah kaget. Tapi
kemudian aku sadar itu suara napas Gwynnie.
Gwynnie masuk lebih ke dalam lagi. Ia melingkarkan tangan di
sekitar mulutnya dan berseru, "Hei, boy... kau ada di sini?"
Aku berdiri di sisinya, mendengarkan.
Tak ada jawaban. Suasana sunyi senyap.
"Keith?" panggil Gwynnie. "Keith" Di mana kau?"
Aku menggigil. Ia ada di sini. Aku tahu pasti. Kenapa Gwynnie
tidak takut" Tiba-tiba aku terkesiap. Ada bunyi aneh di langit-langit. Aku
menengadah, dan menyadari itu bunyi jendela yang berderak-derak
terkena embusan angin. Aku menajamkan telinga untuk mendengarkan bunyi aneh
lainnya. Apakah itu suara tikus"
Ternyata bukan. Itu bunyi sepatu kets Gwynnie yang berdecitdecit di lantai linoleum.
Aku menghampiri meja biliar dan melongok ke bawahnya. Tak
ada siapa pun. Gwynnie membuka pintu lemari makan di bawah tangga. Ia
menyalakan lampu dan memeriksa rak-raknya. Beberapa saat
kemudian ia menutup pintu dan berpaling padaku. "Rasanya konyol,
Marco," ujarnya. "Aku jadi malu."
"Tapi dia memang ada di sini," bisikku. "Dia bilang dia tinggal
di bawah sini. Aku yakin kok."
Gwynnie mendesah. "Kita cari beberapa menit lagi, setelah itu
aku keluar dari sini."
"Ayo, kita periksa sebelah sana," ajakku. "Itu, di dekat
perapian." Kami menyeberangi ruangan. Perapian itu berdiri kokoh di
bagian ruangan yang gelap, seperti sosok tubuh raksasa.
"Keith?" panggil Gwynnie. "Keith... di mana kau sembunyi"
Ayo, keluar!" Suaranya bergema, memantul pada dinding-dinding yang gelap.
Di luar angin menderu-deru, membuat jendela berderak-derak keras.
"Gwynnie... tunggu aku!" Aku tidak mau jauh-jauh darinya.
Ia membuka lemari pakaian tua. "Keith... di mana kau?"
Bau kamper mengambang keluar dari lemari. Gwynnie
membanting pintu lemari hingga tertutup.
"Keith" Ayo keluar. Jangan malu-malu!" seru Gwynnie.
Kami mengintip ke belakang perapian. Tak ada yang sembunyi
di situ. "Cuma tinggal ruang cuci yang belum kita periksa," aku
memberitahu. "Jangan-jangan dia sembunyi di mesin pengering," kata
Gwynnie menggoda. Aku tahu Gwynnie menganggap kejadian ini tidak serius, cuma
main-main. Tapi masa bodoh. Aku senang ia ikut denganku ke ruang
bawah tanah ini. Sebab aku sendiri enggan kemari sendirian.
Aku mengikuti Gwynnie ke ruang cuci. Kami sudah hampir tiba
di pintunya ketika mendadak ia berhenti.
"Astaga!" ia menjerit. "Itu dia. Aku melihatnya!"
18 "HAH?" Jantungku serasa melompat ke luar. Aku
mengembuskan napas dan mengikuti pandangannya.
Yang kulihat adalah boneka tua untuk mengepas pakaian, milik
ibuku. Gwynnie tertawa. "Ooops. Sori, salah dikit!"
Sekujur tubuhku gemetar. "Tidak lucu, tahu!" sergahku kesal.
Aku hendak meninjunya, tapi ia mengelak sambil tertawa terbahakbahak.
"Marco, nyerah deh," ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
"Aku tahu kau cuma mau menakut-nakuti aku. Kisah tentang si Keith
ini cuma karanganmu saja, kan" Tapi kisahmu sama sekali tidak
seram kok. Aku tahu tak ada yang tinggal di bawah sini."
"Tapi... tapi... tapi...," aku tergagap-gagap. "Jadi kau tidak
percaya. sedikit pun padaku?"
"Tentu saja tidak," jawab Gwynnie. "Memangnya siapa yang
percaya pada cerita macam itu?"
"Dan kausangka aku cuma mau balas dendam karena kau telah
memukulku?" tanyaku. Suaraku melengking nyaring saking kesalnya.
Ia mengangguk. "Ya. Lalu kau akan berkoar-koar, bercerita
kepada semua anak di sekolah bahwa kau berhasil menakut-nakuti
aku," tuduh Gwynnie.
"Itu tidak benar. Dengar dulu...," aku memohon.
"Tak usah ya," ia menyela. Ia membuang muka dan melangkah
menuju tangga. "Gwynnie!" Aku segera mengejarnya.
Ia berhenti di kaki tangga dan berpaling padaku. "Kau tak bisa
menakut-nakuti aku, Marco," katanya. Matanya memantulkan sinar
lampu di langit-langit. Senyum aneh mengembang di wajahnya.
"Kau tak bisa menakut-nakuti aku," ia mengulangi ucapannya.
"Mau tahu kenapa" Akan kutunjukkan sebabnya."
"Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
"Akan kutunjukkan sesuatu," jawab Gwynnie.
Ia berpegangan pada pegangan tangga. Lalu ia membuka
mulutnya. Lebar-lebar. Mulutnya menganga lebar. Semakin lebar... semakin lebar.
Sampai akhirnya wajahnya lenyap, seolah ditelan mulut
menganga itu. Wajahnya kini hanya berupa lubang mulut yang
menganga lebar. Lidahnya yang besar melonjak ke luar, panjang melewati dagu.
Berikutnya cairan berwarna merah muda tumpah ke luar.
Cairan merah muda yang licin dan basah itu kian banyak
tercurah ke luar. Melimpah ruah.
Pada mulanya kukira ada segumpal besar permen karet di mulut
Gwynnie. Tapi sementara kotoran merah muda itu mengalir keluar
dari tenggorokannya, mulutnya bahkan menganga semakin lebar, dan
kepalanya hilang tertutup mulut itu.
Dan aku pun sadar... Aku sadar... aku tidak sedang menatap permen karet. Melainkan
sedang berhadapan dengan bagian dalam tubuh Gwynnie.
Kulihat organ-organ tubuh berwarna kuning melekat pada
daging merah muda yang berkilat-kilat. Sesuatu yang berbentuk
panjang dan berwarna kelabu, bergoyang-goyang dan saling lilit,
keluar dari mulutnya. Paru-paru berwarna ungu tua meluncur melewati lidah yang
terkulai layu. Berikutnya jantungnya yang merah"sangat merah hingga
tampak sangat mengerikan"melompat keluar dari mulut menganga
itu, lalu berdenyut-denyut, terus berdenyut-denyut. Tampak merah dan
basah. "Ahhhhhh." Aku mengerang, dicekam ketakutan yang amat
sangat. Tapi aku tak bisa berpaling. Aku tak bisa mengelak dari bagian
dalam tubuh Gwynnie yang tumpah ruah dari mulutnya.
Aku terpaku di tempat. Aku terus berdiri di sana, dengan
perasaan takjub sekaligus ketakutan mencekam diriku. Sementara
organ-organ tubuh Gwynnie berdenyut dan bergetar, menempel pada
daging merah muda yang mengalir keluar itu.
Aku terus berdiri di sana sampai seluruh organ tubuhnya keluar.
Sekarang wujudnya jadi terbalik. Bagian dalam tubuhnya jadi ada di
luar, sementara bagian luarnya lenyap.
Detik berikutnya barulah aku bisa menjerit. Aku menjerit
sekuat-kuatnya. 19 JERITANKU melengking tinggi seperti sirene.
Gwynnie"atau tepatnya organ dalam tubuh Gwynnie"terus
berdenyut dan bergetar di hadapanku.
Bahkan jeritanku malah membuat ia bergetar lebih keras,
seperti gundukan agar-agar berwarna merah muda dan kuning.
Bersamaan dengan itu, seberkas cahaya putih bersinar
mengelilingi kami. Cahaya itu begitu menyilaukan, sehingga aku
terpaksa memejamkan mata. Bahkan dengan mata tertutup pun,
cahaya itu masih membuatku silau.
Segala sesuatu mendadak menjadi putih. Jeritanku seolah
menembus bidang putih itu. Gwynnie lenyap di dalamnya. Dan ruang
bawah tanah itu pun ikut lenyap.
Aku tenggelam dalam lautan putih itu, tenggelam dalam
jeritanku yang melengking nyaring.
Dan ketika aku membuka mata, aku menatap langit-langit yang
putih. Juga lampu langit-langit yang bercahaya putih. Tirai putih yang
menutupi jendela yang separuh terbuka, menampakkan gumpalan
awan yang kelabu. Tenggorokanku sakit. Aku sudah tidak lagi menjerit.
Detik berikutnya wajah ibuku mengambang masuk dalam
pandanganku. "Marco" Kau sudah sadar?" tanyanya lembut. Kulihat lipstik di
bibirnya berantakan. Matanya merah, dan bekas-bekas air mata
tampak di pipinya yang pucat.
"Sudah sadar?" tanyaku dengan susah payah. Suaraku parau.
"Kau akan sembuh," kata Mom sambil menepuk-nepuk dadaku
yang tertutup selimut. Aku menatap ke sekeliling ruangan. Aku tengah berbaring di
tempat tidur, di sebuah ruangan kecil. Di rumah sakit.
"Kepalamu kena pukul, Marco," ibuku menjelaskan. "Mobil
ambulans membawamu kemari, ke rumah sakit ini. Sudah satu jam
kau pingsan." "Hah" Aku pingsan?" bisikku. "Maksud Mom, aku tidak
sadarkan diri?" Mom mengangguk. "Tapi tadi aku berada di ruang bawah tanah," protesku. "Aku
sedang mencari anak cowok itu, bersama Gwynnie."
Wajah ibuku jadi ketakutan. Dagunya gemetar. "Anak cowok"
Siapa yang kau maksud?"
"Keith," jawabku. "Itu lho, anak yang katanya tinggal di ruang
bawah tanah kita." "Marco, kau bermimpi rupanya."
"Uh, menyeramkan sekali," aku mendesah.
"Itu karena kepalamu kena pukul," Mom menjelaskan.
"Tubuhmu dingin. Pantas saja kau mengalami mimpi buruk."
"Maksud Mom, aku belum pulang ke rumah?" seruku heran.
"Aku belum masuk sekolah?"
Mom mengamati diriku dengan saksama. "Belum. Kau masuk
rumah sakit sejak kepalamu kena pukul."
Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Mom kan sudah bilang,
jangan main sofbol. Nanti kau kena pukul."
Ia terus bicara, tapi aku tak mendengarkan.
Aku sibuk berpikir keras. Dan aku merasa gembira.
Jadi semua ini cuma mimpi. Keith yang tinggal di ruang bawah
tanah rumahku... Dr. Bailey yang hendak mengeluarkan otakku...
Gwynnie yang berubah wujud dengan mengeluarkan organ dalam
tubuhnya.... Semua itu cuma mimpi yang menakutkan.
Semua itu tidak nyata. Kini semua sudah usai. Dan aku akan sembuh.
Aku merasa senang, rasanya aku ingin melompat dari tempat
tidur. Aku ingin berteriak, bersorak, dan melompat-lompat gembira.
Tapi kemudian aku memandang melewati bahu ibuku.
Dan aku melihat... Gwynnie!
"Tidak!" aku menjerit ketakutan.
Gwynnie masih hidup. Gwynnie benar-benar ada di hadapanku.
Dan ia melangkah menghampiriku. Sinar jahat berkilat-kilat di
matanya. 20 AKU menjerit sambil berupaya bangkit. Tapi selimutku
membelit terlalu ketat. Aku tak bisa bergerak.
"Mom... jangan sampai Gwynnie mendekati aku!" aku
memohon. "Tolong, jangan sampai dia melukai aku!"
Gwynnie berjalan ke samping tempat tidur, matanya berkilatkilat. Mom menyentuh bahu Gwynnie. "Marco, ada apa?" tanya Mom.
"Masa kau takut pada adikmu sendiri?"
Adik" "Tidak mungkin...!" aku memprotes. "Dia yang memukul
kepalaku dengan tongkat pemukul itu. Lalu dia..."
"Enak saja!" seru Gwynnie. "Bukan aku yang memukulmu!
Apa kau sudah gila?"
Mom menarik Gwynnie mundur. "Bukan Gwynnie yang
melakukannya, Marco," kata Mom lembut. "Gwynnie tidak ikut main.
Masa kau tidak ingat?"
"Agaknya pukulan itu membuat ingatannya jadi kacau-balau,"
ujar Gwynnie. Ia melotot padaku sambil geleng-geleng kepala. "Ada
tidak sih yang kau ingat, Marco?"
"Tentu saja ada," gumamku.
Tapi mendadak aku merasa pusing. Seakan otakku berputarputar di dalam kepalaku. Aku bingung. Aku tidak tahu apa saja yang
kuingat dan apa saja yang tidak kuingat.
"Coba, berapa empat ditambah empat?" tanya Gwynnie.
"Gwynnie, sudahlah. Jangan macam-macam," Mom memarahi.
Ia menoleh padaku. "Tapi tentu saja kau ingat bahwa Gwynnie adalah
adikmu, bukan?" Adik" Ya, ampun! Badannya saja dua kali lebih besar daripadaku.
"Ya, aku ingat," jawabku asal bunyi. Aku memutar bola
mataku. "Masa aku bisa lupa sih" Kurasa mimpi buruk itu memutar
balik semua hal," aku menjelaskan. "Soalnya, dalam mimpiku dia
bukan adikku. Dalam mimpiku dia yang memukulku..."
"Yang memukulmu adalah temanmu, Jeremy!" seru Gwynnie.
"Masa kau tidak ingat?"
"Jeremy?" teriakku kaget.
"Pukulan itu membuat Marco sedikit lamban," kata Mom pada
Gwynnie. "Tapi, Dr. Bailey bilang dia akan sembuh total."
"Dengan catatan, dia jadi tolol," sergah Gwynnie.
Mom menahan napas. "Gwynnie! Kenapa kau bilang begitu?"
Gwynnie terkikik geli. "Sebab sebelum kena pukul pun dia
memang sudah tolol!"
Aku menggeram. Maunya sih aku melompat dan meninjunya.
Tapi selimut ini begitu ketat. Dan aku juga begitu lemah.
Kepalaku berdenyut-denyut. Potongan-potongan mimpiku
masih terus terbayang-bayang dalam benakku.
Sekali lagi aku melihat Gwynnie turun ke ruang bawah tanah,
dan berubah wujud menjadi gumpalan yang terdiri atas bagian dalam
tubuhnya. Aku melihat organ-organ yang berwarna merah muda dan
kuning itu bergetar seperti tumpukan agar-agar.
Kemudian aku melihat Keith. Ia sedang duduk di tempat
tidurku. Gayanya begitu tenang dan santai, seolah-olah dialah pemilik
kamar itu! "Mom," panggilku seraya berusaha mengusir bayanganbayangan aneh itu dari pikiranku. "Tak ada anak cowok bernama
Keith, bukan" Maksudku, tak ada temanku yang bernama Keith. Aku
sama sekali tak mengenalnya. Dan dia juga tidak tinggal di ruang
bawah tanah rumah kita. Iya, kan?"


Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja dia tinggal di sana!" seru Gwynnie.
21 "HAH" Apa maksudmu?" Aku menatapnya dengan ngeri.
Gwynnie meringis. "Banyak orang yang tinggal di ruang bawah
tanah kita!" ia mengumumkan. "Jumlahnya lusinan. Mereka menyebut
diri sebagai Klub Bawah Tanah. Mereka tinggal di bawah, dan baru
naik kalau kita tidak di rumah. Saat itulah mereka berkeliaran di
dalam rumah dan memakai barang-barang milik kita."
Ia terbahak-bahak, seolah-olah ia baru saja menciptakan lelucon
paling lucu sedunia. "Sudahlah, jangan menggoda kakakmu terus," Mom
memarahinya. "Kenapa sih kau usil begitu" Dia kan baru saja tertimpa
musibah?" ebukulawas.blogspot.com
"Sori," kata Gwynnie sambil meringis kepadaku.
"Gwynnie khawatir melihatmu, Marco. Sungguh," Mom
menjelaskan. Aku bersandar ke bantal. "Mimpi itu... kelihatannya sangat
nyata," aku bergumam.
"Kalau begitu istirahatlah dulu," ujar Mom. "Kau perlu waktu
untuk mengatasi semua ini."
Mom mendorong Gwynnie ke arah pintu. "Mom dan adikmu
akan pergi ke ruang tunggu. Jadi kau bisa tidur."
"Tapi... kapan aku boleh pulang?" tanyaku.
"Secepatnya," janji ibuku. "Segera setelah Dr. Bailey
memeriksa kondisimu. Dia bilang, kalau keadaanmu oke, kau boleh
pulang." "Bagus!" aku berseru.
Aku betul-betul ingin keluar dari rumah sakit. Salah satu
sebabnya, karena selimut ketat ini serasa mencekikku. Dan aku tahu,
aku takkan mengalami mimpi buruk kalau aku tidur di tempat tidurku
sendiri. "Sampai jumpa, Marco," kata Gwynnie sementara ia melangkah
ke luar. Serta-merta ia memunculkan kepalanya lagi di pintu. "Aku
punya pertanyaan terakhir. Coba, berapa empat ditambah empat?"
"Gwynnie...!" Mom menariknya.
"Sembilan!" teriakku.
Gwynnie tertawa. "Anak pinter. Jawabanmu betul sekali!"
Setelah mereka pergi, aku menatap pintu selama beberapa saat.
Lalu pandanganku menerawang ke langit-langit, menghitung jumlah
kotak-kotak eternitnya. Kepalaku kembali berdenyut-denyut. Tapi aku merasa lebih
tenang. Ruangan itu tidak lagi berputar-putar.
Kupejamkan mata, dan kurasa aku terlelap.
Sampai akhirnya kurasakan seseorang menepuk bahuku dengan
lembut. Kubuka mata dan kulihat seorang dokter yang masih muda,
mengenakan jas laboratorium berwarna putih, tengah mengamatiku.
"Marco" Kau sudah bangun?" tanyanya pelan. "Aku Dr.
Bailey." Tampangnya sama sekali berbeda dibanding Dr. Bailey yang
muncul dalam mimpiku. Rambutnya pirang berombak, dan matanya
biru cerah. Ia masih muda dan kulitnya cokelat. Ia seperti bintang film
yang berperan sebagai dokter di TV. Bukan dokter betulan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya, suaranya rendah, seperti
berbisik. "Agak pusing" Sakit kepala?"
"Sedikit," aku menjawab.
"Itu normal," ujarnya. "Aku akan memeriksamu, Marco. Aku
yakin kau sudah bisa pulang."
"Aku sudah siap."
"Nah, coba kita lihat...," kata Dr. Bailey seraya memeriksa
mataku. "Matamu tampak bagus dan jernih. Itu pertanda baik.
Sekarang, coba buka mulutmu."
Aku membuka mulutku. Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam mulutku, dan meraih
lidahku. Dan tiba-tiba menariknya.
"Hei"!" aku berusaha berteriak. Tapi aku tak bisa bicara.
Pegangannya pada lidahku semakin erat. Dan tarikannya juga
semakin keras. Stop! Sakit, tahu! Kenapa kau berbuat begitu"
Itulah yang ingin kukatakan.
Tapi yang keluar dari mulutku cuma erangan sia-sia,
"Haaaaaaaah?" Dr. Bailey terns menarik lidahku. Lidahku menjulur ke luar,
panjang seperti hot dog. Aku meronta. Tapi ia menekan dadaku dengan tangannya yang
lain, sementara tangannya yang satu lagi terus menarik lidahku.
Terus menarik... terus menarik.
Lidahku mungkin sudah terjulur sepanjang satu meter. Lidah itu
terjulur ke samping tempat tidur.
Dr. Bailey memasukkan tangannya semakin dalam ke dalam
mulutku. Dan ia tidak berhenti menarik lidahku....
Meter demi meter. Lidahku melingkar di lantai, warnanya
merah muda dan basah. Kuentakkan kepalaku ke belakang, berjuang untuk bisa
bernapas. Lidahku sudah membentuk gundukan, melingkar seperti ular
basah di lantai, di samping tempat tidur.
Sambil bergumam, Dr. Bailey terus menarik.
Ini cuma mimpi, kataku pada diri sendiri. Cuma satu lagi mimpi
buruk. Aku menutup mata rapat-rapat dan menguatkan diriku untuk
bangun. Bangun dari mimpi buruk ini.
Bangun, Marco! Bangun! Bangun!
Tapi ketika aku kembali membuka mata, dokter itu masih
membungkuk di sisiku, masih terus menarik lidahku. Terus... dan
terus... dan terus.... Ternyata ini bukan mimpi.
22 AKHIRNYA aku sungguh-sungguh bangun.
Yang tampak dalam pandanganku adalah kotak-kotak eternit
langit-langit yang putih.
Dengan bersandar pada siku, aku bangkit. Keringat membasahi
keningku. Kepalaku berdenyut-denyut.
"Dr. Bailey...?" aku memanggil dengan suara seperti tercekik.
Sunyi. Tak ada jawaban. Berusaha mengusir kebingunganku, aku menatap ke sekitar
ruangan. Tirai putih yang menutupi jendela yang separuh terbuka,
bergoyang pelan. Tempat tidur di dinding seberang dalam keadaan
kosong. Aku sendirian di kamar rumah sakit ini.
Aku melirik ke lantai sambil bertanya-tanya apakah gundukan
lidah merah muda yang saling membelit seperti ular itu masih ada di
lantai. Ternyata tidak. Lantai itu bersih. Aku menggerakkan lidah di
dalam mulutku. Ukurannya normal.
Aku mendesah lega. Aku oke-oke saja, pikirku. Dan aku dalam keadaan sadar.
Akhirnya aku sepenuhnya sadar.
Tak ada lagi mimpi buruk yang menjijikkan.
Langkah-langkah kaki yang berat terdengar di koridor. Aku
menoleh ke pintu, tepat pada saat makhluk raksasa itu masuk ke
kamarku. Orang itu tersenyum, tangannya mengusap janggut hitamnya
yang tebal. Tingginya lebih dari dua meter. Ia harus menundukkan
kepala agar bisa masuk ke dalam kamar. Rambutnya hitam tebal
seperti semak-semak, dan alis hitamnya yang tebal tampak seperti ulat
bulu yang melekat di atas kacamatanya.
Ia mengenakan jas lab putih yang tampak longgar membungkus
tubuhnya. Stetoskop yang menggantung di lehernya, memukul-mukul
dadanya ketika ia berjalan.
"Sudah baikan, Marco?" ia bertanya. "Aku Dr. Bailey."
"Uh... apakah Anda Dr. Bailey betulan?" pertanyaan itu
terlontar begitu saja dari mulutku.
Ia mengerutkan alisnya yang menyemak. "Apa maksudmu?"
"Yah... soalnya Dr. Bailey yang lain... Dr. Bailey yang muncul
dalam mimpiku..." Ia duduk di tepi tempat tidur. Kasurnya sampai melesak karena
harus menahan bobotnya yang begitu berat. Ia mengamati diriku
selama beberapa saat. "Yah... aku memang agak bingung dengan
mimpi-mimpi yang kaualami ini," akhirnya ia berkata.
Ia memeriksa dadaku dengan stetoskop. "Detak jantungmu
normal," ia melaporkan.
Lalu keningnya berkerut. "Ibu dan adikmu ada di kantin rumah
sakit, di lantai bawah. Mereka akan datang sebentar lagi. Mereka
menceritakan soal mimpimu," katanya tenang. "Ibumu bilang, mimpimimpi itu membuatmu agak bingung dan ketakutan."
Aku mengangguk. "Mimpi-mimpi itu menyeramkan. Lagi pula
semua tampak begitu nyata. Begitu pula warna-warnanya. Dan..." Aku
tak tahu apa lagi yang harus kukatakan.
Dr. Bailey mengangguk. "Kau harus tinggal di sini semalam
lagi, Marco," katanya. Diselipkannya stetoskop ke balik jas lab-nya.
"Hasil pemeriksaan sinar X-mu bagus. Aku tak menemukan kerusakan
pada tengkorak kepalamu. Kulitnya memang luka, tapi kepalamu akan
segera pulih." "Hebat!" aku memotong ucapannya.
Ia mengangguk lagi. "Ya. Tapi aku dibuat bingung dengan
mimpi-mimpi aneh yang kaualami."
"Jadi aku harus menginap semalam lagi?" tanyaku kecewa.
Ia bangkit berdiri. Tubuhnya berada begitu dekat denganku,
sehingga ia seolah-olah menjulang tinggi di atasku.
"Ya, satu malam lagi," jawabnya seraya mencoret-coret catatan
pada clipboard. "Aku akan memeriksamu lagi besok pagi. Aku yakin
kau sudah boleh pulang pada saat itu."
"Terima kasih, Dokter," kataku pelan. Aku tak dapat
menyembunyikan kekecewaanku. Aku betul-betul ingin keluar dari
sini. Dr. Bailey berpaling ke pintu. "Oh, aku hampir lupa," katanya.
Ia geleng-geleng kepala. Dikeluarkannya amplop segi empat dari saku jasnya. "Ini
untukmu, Marco. Kuterima beberapa menit lalu, sewaktu ibu dan
adikmu berada di bawah. Hampir saja aku lupa memberikannya
padamu." Ia mengulurkan amplop itu padaku. "Istirahatlah," ia
menyuruhku. "Akan kuusahakan sebisaku agar kau bisa pulang besok
pagi." Aku mengucapkan terima kasih lagi padanya. Kuperhatikan ia
merunduk ketika melewati pintu kamar. Lalu aku mengamati amplop
itu. Di bagian depannya tertera UNTUK MARCO. Aku tak mengenali
tulisan tangan itu. Kusobek amplop itu dan kukeluarkan selembar surat. Tulisan
tangannya kecil-kecil dan acak-acakan. Aku sampai harus
memicingkan mata supaya bisa membacanya:
Dear Marco, Cepatlah pulang. Sudah waktunya kau merawatku.
Aku menunggumu di ruang bawah tanah.
Keith 23 BEBERAPA menit kemudian, Mom dan Gwynnie masuk ke
dalam kamar. "Kami membawakanmu oleh-oleh," Gwynnie mengumumkan.
Ia memberiku Milky Way, cokelat favoritku.
"Kata suster, kau boleh makan apa saja sesukamu," kata Mom.
Ia mendekati tempat tidur. "Apakah dokter sudah kemari" Apa
katanya?" "Dia bilang, aku sudah boleh pulang besok pagi. Tapi Mom...?"
Mom menatapku sambil memicingkan mata.
"Kau mau makan cokelat itu atau tidak?" tanya Gwynnie.
"Ya, nanti," bentakku.
"Tapi itu kan cokelat kesukaanmu!" seru Gwynnie memaksa.
Aku tahu yang diinginkannya. Ia ingin aku membaginya!
Aku tak mengacuhkannya dan menatap ibuku. "Mom, Dr.
Bailey memberikan surat ini padaku. Aku tak tahu kenapa bisa ada di
tangannya. Tapi Keith yang menulisnya. Mom tahu kan, itu anak yang
muncul dalam mimpiku. Tapi itu kan mustahil. Bagaimana...?"
"Surat apa sih?" Mom menyela. "Coba lihat, Marco. Mom mau
baca." Aku meletakkannya di atas selimut tadi. Tapi sekarang tidak
ada di sana. Aku meraba-raba seluruh tempat tidur. Tapi aku tak bisa
menemukannya. Kuangkat bantal, kutarik seprai dan selimut. Tapi tak ada apa
pun. "Aneh sekali," aku menggumam sambil geleng-geleng kepala.
"Aku baru saja memegangnya."
Mom dan Gwynnie saling lirik.
"Memang betul kok!" aku memprotes.
"Mungkin sebaiknya kau kembali berbaring," ujar Mom.
"Belum waktunya kau jalan-jalan. Dr. Bailey pasti juga takkan senang
melihatnya." "Tapi aku harus menemukan surat itu," kataku berkeras.
"Cokelatmu sudah meleleh tuh!" Gwynnie memperingatkan.
"Masa bodoh!" aku menjerit. "Aku mendapat surat dari anak
yang tinggal di ruang bawah tanah rumah kita. Dan aku akan
membuktikannya! Aku akan membuktikan bahwa itu bukan mimpi."
"Hentikan jeritanmu, Marco," Mom memarahi. "Pikiranmu
kacau. Kau harus istirahat."
"Tapi... tapi...," ucapku terbata-bata.
Tiba-tiba Dr. Bailey melongok di pintu. Aku menoleh. "Hei,
Marco!" katanya sambil tersenyum. "Kau sudah bisa jalan-jalan, ya"
Sudah kuat, nih?" "Dr. Bailey... bilang pada mereka!" aku berseru. "Anda baru
saja memberiku sepucuk surat, iya kan" Tolong ceritakan tentang
surat itu pada mereka."
Dr. Bailey menaikkan alisnya yang hitam tebal. "Surat?"
tanyanya. "Surat apa, ya?"
24 MALAM itu aku berusaha tidak tidur. Aku tak ingin mengalami
mimpi buruk lagi. Aku tak ingin bertemu anak bernama Keith itu lagi.
Dan aku juga tak ingin melihat adikku, atau siapa pun juga, membuka
mulut lebar-lebar dan mengubah diri mereka sehingga bagian dalam
tubuh jadi ada di luar. Kuusahakan mataku tetap terbuka lebar, dan kupandangi
gumpalan awan kelabu di luar jendela. Kudengarkan suara-suara yang
terdengar di luar pintu kamarku.
Tapi akhirnya aku terlelap. Tidur pulas sampai-sampai tak
sempat bermimpi apa pun. Ketika aku bangun keesokan harinya, Mom dan Gwynnie sudah
ada di kamar. Mom sedang mengepak tasku.
Aku mengerang dan bersandar pada sebelah sikuku.
"Ayo bangun, Putri Tidur," ujar Mom gembira. "Kata Dr.
Bailey, kau sudah boleh pulang pagi ini."
"Asyik!" seruku. Suaraku masih parau. Biasa, namanya juga
habis bangun tidur. Kepalaku sakit.


Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menyentuh balutan perban yang membungkus sebelah
kepalaku. "Jangan dipegang," Mom memperingatkan. "Untuk sementara
kepalamu masih sakit. Tapi selebihnya kau baik-baik saja."
Kuturunkan kakiku ke lantai. Aku merasa agak pusing, tapi
kuputuskan untuk berdiri.
"Dr. Bailey bilang, kau bisa masuk sekolah begitu kau merasa
cukup kuat," kata Mom.
"Nasibmu mujur banget!" seru Gwynnie. "Tahu tidak, kau tidak
ikut semua ulangan. Huh, dasar. Kau memang nyebelin!"
"Ayo, ganti pakaian," perintah Mom.
Ia tidak perlu memerintah dua kali. Aku langsung mengganti
pakaianku. Aku begitu gembira karena sudah boleh pulang, rasanya aku
ingin menyanyi dan menari. Aku bahkan memeluk Gwynnie. Seumur
hidup baru kali ini aku memeluknya. "Sori deh, karena aku bermimpi
kau bukan adikku," kataku padanya.
"Idih! Pakai peluk-peluk segala. Jangan coba-coba lagi, ya,"
Gwynnie memaki sambil mengernyit. "Kau membuatku takut, Marco.
Sudahlah. Tidak usah berlagak macam-macam. Normal saja deh."
"Jangan khawatir. Begitu aku sampai di rumah, aku akan
kembali normal!" Ketika aku tiba di rumah, aku mencium pintu depan! Aku amat
gembira. Aku tinggal di rumah sakit cuma dua hari, tapi serasa dua
tahun! Mom sibuk di dapur. Ia membuat piza, makanan kegemaranku.
Ditaburinya piza itu dengan keju banyak-banyak, dan sebagai
pengganti pepperoni, ia menaruh irisan-irisan hot dog.
Mom biasanya membuat piza pada akhir pekan. Tapi ini hari
istimewa. Jadi perlu dirayakan.
Jeremy datang siang itu. Ia minta maaf padaku karena telah
memukulku dengan tongkat pemukul.
Kukatakan padanya aku tak ingat apa yang terjadi.
"Aku juga tidak yakin sih," ujar Jeremy. "Soalnya kau berdiri di
belakangku. Aku sama sekali tak melihatmu. Ketika tiba giliranku
memukul, aku melatih ayunanku, dan tahu-tahu... BAM."
Aku berusaha mengingat. Tapi sia-sia.
"Aku betul-betul minta maaf, Marco," kata Jeremy lagi.
"Bukan salahmu," ujarku. "Tak usah menyalahkan diri sendiri."
"Jangan-jangan kau membuat dia sinting!" teriak Gwynnie dari
pintu ruang baca. "Keluar kau!" aku membentak. "Mau apa kau kemari" Mematamatai kami, ya?"
"Buat apa?" ia balik membentakku. "Kalian tidak seru, tahu!"
Menurutku Gwynnie tergila-gila pada Jeremy. Tiap kali Jeremy
datang, ia selalu pasang aksi.
"Mom menyewa film. Kami mau nonton sekarang," aku
memberitahu Gwynnie. "Kau mau ikut nonton, tidak?"
"T-i-d-a-k s-e-r-u!" komentarnya. Tapi, bukannya pergi, ia
malah menjatuhkan diri di lengan sofa. Dilipatnya kedua tangan di
dada, lalu bertanya, "Film apa sih?"
Aku meraih video film Indiana Jones yang sudah kutonton
hampir sepuluh kali. "Yang ini seru nih," ujarku. "Yuk, kita tonton
lagi." Biasanya Mom tidak mengizinkan kami menonton film di siang
hari. Ia bilang, nanti mata kami rusak.
Tapi ini kan hari istimewa.
Piza dan Indiana Jones. Wah, apa lagi yang lebih asyik daripada
ini" Kami bertiga duduk di ruang baca. Sepotong demi sepotong
piza masuk ke dalam perut, sementara mata kami menonton film.
Mom bolak-balik masuk, cuma untuk menanyakan bagaimana
keadaanku. Dan setiap kali aku menjawab pertanyaannya, "Aku baik-baik
saja." Tapi menjelang akhir film, kepalaku sakit. Aku merasa lelah
dan tubuhku gemetar. Kuputuskan untuk tidur siang sejenak. Aku berpamitan pada
Jeremy, dan kukatakan padanya aku akan meneleponnya nanti. Aku
perlu menanyakan PR. Setelah itu aku naik ke kamarku.
Sambil mendesah lemah, aku duduk di tempat tidur dan
melepas sepatu kets-ku. Lalu aku membuka penutup tempat tidur.
Aku sudah hendak menyusup ke balik selimut ketika tiba-tiba
aku merasa sepasang mata sedang mengamati diriku.
Aku menoleh... dan kulihat seorang anak cowok tengah
bersandar di pintu. "Jeremy...?" aku memanggil.
Bukan. Ketika ia masuk ke dalam kamar, aku pun
mengenalinya. Ia adalah Keith. 25 AKU berkedip sekali. Dua kali. Aku berharap dengan berkedip aku akan membuat Keith
lenyap. Tapi ia malah menyeberangi kamar. Langkahnya pelan dan
mantap. Matanya yang gelap tak henti menatapku.
"Mustahil!" aku menjerit, dan melompat berdiri. "Tak mungkin
kau ada di sini. Kau cuma ada dalam mimpi!"
"Aku tahu kok," jawabnya tenang.
"Kau cuma ada dalam mimpi!" teriakku. "Dan aku dalam
keadaan sadar sekarang. Sadar total!"
Kucubit lenganku. Kugaruk pipiku.
"Awww!" Ternyata sakit.
Berarti aku tidak mimpi. Aku sadar. Sadar sepenuhnya.
"Tak mungkin kau ada di sini, Keith!" aku mengulangi. Lututku
goyah, sekujur tubuhku gemetar. "Mustahil. Aku tidak sedang
bermimpi. Sedangkan kau cuma ada dalam mimpi. Kau tidak nyata!"
Keith berdiri beberapa langkah di depanku. "Tentu saja aku
nyata," sanggahnya. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang tampak
sungguh-sungguh. Matanya yang gelap bersinar-sinar. "Aku tinggal di
ruang bawah tanahmu, Marco. Kau sudah tahu, bukan" Aku sudah
pernah memberitahumu."
"Tapi... tapi...," ucapku tergagap-gagap. "Kau tidak nyata. Kau
cuma ada dalam mimpiku!"
Masih sambil nyengir lebar, Keith geleng-geleng kepala. "Aku
nyata. Coba kaupegang." Ia mengulurkan lengannya.
Aku ragu-ragu. Pelan-pelan aku mengulurkan tangan... dan
meremas tangannya. "Hei"!" Aku melonjak mundur. Ia memang nyata.
Ia tertawa. "Kan sudah kubilang."
"Tapi dalam mimpiku..."
"Aku memanfaatkan mimpimu," Keith menjelaskan. "Aku
berhubungan denganmu lewat mimpi. Aku memasukkan diriku ke
dalam mimpimu." "Ta-tapi... kenapa?" tanyaku terputus-putus.
Senyumnya lenyap. "Aku ingin kau tahu bahwa aku ada di sini.
Bahwa aku sedang menunggumu."
Aku tidak suka melihat ekspresi kejam di wajahnya. Aku juga
tidak suka mendengar nada bicaranya.
Ia membuatku takut. Tiba-tiba aku sadar ia memang berupaya menakut-nakutiku.
Jantungku berdebam-debam. Sebelah kepalaku mulai
berdenyut-denyut. Aku mundur selangkah. Kakiku menghantam ujung tempat
tidur. Dan dalam sekejap aku jatuh ke atas kasur.
Secepat kilat Keith mendekatiku, menghalangi aku, sehingga
aku tak bisa berdiri. "Aku sudah menunggumu selama ini, Marco," katanya.
Matanya menatap dingin dan keras. "Sebab kau akan merawatku.
Seumur hidupmu kau harus merawatku."
"Tidak...!" jeritku.
Aku menggeliat-geliut ke samping, berupaya melompat.
Tapi gerakannya terlalu cepat. Ia segera menghalangi niatku.
Dengan ketakutan yang mencekam, aku menatapnya. "Jangan!
Jangan!" suaraku melengking nyaring.
"Kau akan rhematuhi semua perintahku, Marco," desak Keith.
Ia membungkuk di atasku dengan sikap mengancam.
"Pergi kau. Di sini bukan tempatmu! Kau bikin aku takut saja!"
"Kau harus membiasakan diri!" ia mendesis. Ia membungkuk
lebih dekat, sehingga wajahnya hampir menyentuh wajahku.
"Kau harus membiasakan diri, Marco," desisnya dengan gigi
terkatup. "Apa boleh buat. Kau tak punya pilihan. Aku ada di sini.
Aku nyata. Aku tinggal di ruang bawah tanahmu. Kau harus
merawatku. Kau harus memenuhi semua kebutuhanku."
"Tidaaak!" aku melolong ketakutan.
Aku meronta, membebaskan diri dari kungkungannya.
Lututku membentur lantai. Aku menjauhkan diri darinya dan
segera bangkit berdiri. Ia berbalik, dan kulihat matanya yang gelap berkilat-kilat
marah. Ia menggeram galak.
"Mau ke mana kau, Marco?" tanyanya.
Tanpa menunggu jawabanku, seperti binatang buas, ia
menerkam. Aku mengelak, dan terhuyung-huyung ke belakang, menabrak
meja. Aku berharap bisa mencapai pintu kamar. Tapi kini ia berdiri
kokoh di tengah kamar, menghalangi jalanku. Napasnya panas
memburu seperti binatang liar. Matanya berkobar-kobar marah.
Sambil menggeram parau ia bersiap menyerbuku lagi.
Mataku jelalatan ke sana kemari, mencari jalan keluar.
Mencari senjata. Pokoknya apa saja yang bisa mengusirnya.
"Kau tak mungkin lolos, Marco," teriaknya. "Kau harus
merawatku... untuk selamanya!"
Aku bersandar pada meja. Tanganku mencengkeran pemberat
kertas. Pemberat itu berbentuk burung hantu besar, terbuat dari batu
yang berat. Gwynnie memberikannya padaku sebagai hadiah ulang
tahunku. Begitu Keith melompat, aku mengayunkan pemberat itu dan
menghantam kepalanya. Matanya terbelalak karena kaget.
Mulutnya terbuka, tapi tak terdengar suara apa pun.
Tubuhnya merosot ke lantai. Jatuh terenyak. Tidak bergerak
lagi. "Keith...?" panggilku. Suaraku kecil dan gemetar. "Keith?"
Ia tidak bergerak sama sekali. Matanya menatap kosong ke
Jangit-langit. "Keith...?" Kubiarkan burung hantu besar dan berat itu jatuh ke lantai. Lalu
aku jongkok di sisi tubuhnya yang kaku.
"Keith" Keith...?"
"Ya, ampun!" Aku mengerang. "Apa yang telah kulakukan?"
26 "KEITH...?" Kuguncang bahunya. Kepalanya tergolek di karpet. Matanya
menatapku dengan dingin. Tidak berkedip.
"Oh, tidak!" aku mengerang ketakutan. Dan segera berdiri.
Ruangan seakan berputar. Lantai menjadi miring dan
bergelombang. Kepalaku berdenyut-denyut.
Tersandung-sandung aku menuju pintu. Aku bermaksud
memanggil Mom untuk minta tolong.
Tapi sebelum sampai di pintu, aku berpaling.
"Hah?" aku menahan napas. Dan memandang Keith dengan
kaget dan ngeri. Keith mulai berubah wujud.
Bagian mukanya"mata, hidung, mulut"meleleh menjadi satu
dengan daging wajahnya. Disusul kepalanya menyusup ke dalam
lehernya. Seperti kura-kura yang masuk ke dalam perisainya, kepala
Keith lenyap ke dalam bahunya. Lengan dan kakinya meluncur masuk
ke batang tubuhnya. Pakaiannya merosot jatuh.
Kulit tubuhnya menjadi licin dan berlendir seperti daging
keong. Warnanya abu-abu, agak bening.
Sementara aku masih terbengong-bengong, tubuh lembek itu
terkulai dan mulai menggeliat-geliut di atas karpet. PLOP PLOP
PLOP Basah dan berat, tubuh itu merayap ke arahku.
Dengan napas tertahan, tatapanku terpaku pada jejak kuning
tebal yang tertinggal di karpet seiring gerakan tubuh itu.
Dan sebelum aku sempat memaksa kakiku yang gemetar untuk
ambil langkah seribu, makhluk basah dan lembek itu bangkit.
Mengembang... dan membelit pinggangku.
"Iiihhh." Aku mengerang jijik. Baunya yang masam menyerang
hidungku. Aku tak bisa bernapas, leherku serasa tercekik. Daging
yang basah dan lengket itu semakin erat membelit tubuhku.
Aku mencoba menjerit minta tolong. Tapi tak bisa.
Napasku sesak. Baunya... begitu busuk dan pekat. Gelombang demi gelombang
bau itu menyapu diriku, terus-menerus, seperti gas beracun.
Aku mencoba menendang makhluk itu.
Tapi sepatu kets-ku melesak dalam daging yang liat, lembek,
dan lengket itu. Aku meninjunya, dan berusaha menanduknya dengan kepalaku.
Bukannya berbunyi buk... buk...buk, tinjuku malah
menimbulkan bunyi basah squish... squish... squish begitu
menghantam daging lembek itu.
Rasanya seperti bertinju melawan busa yang licin dan lembek.
Aku mencoba bergulat dengannya. Melipatnya ke belakang....
Tapi daging busuk itu malah mekar... mengembang.
Mengembang ke bagian atas tubuhku. Hingga menutupi
wajahku. Daging itu terasa hangat dan lengket. Dan berdenyut-denyut.
Membungkus kepalaku. Menutupi wajahku. Menutupi hidungku.
Bahkan ia mulai menyusup masuk ke dalam lubang hidungku.
Aku... aku tak bisa bernapas.
Aku akan mati lemas dibungkus daging ini.
27 AKU tahu aku tak punya banyak waktu untuk membebaskan
diriku. Dengan mengerahkan segenap tenaga, kuayunkan kepalaku ke
belakang. Tapi daging liat yang hangat itu ikut bergerak bersamaku,
semakin rapat menutupi wajahku. Kurasakan daging lengket itu
merayap naik ke hidung dan mulutku.
Aku harus minta tolong. Tapi bagaimana caranya"
Aku bahkan tak bisa berjalan.
Seandainya aku bisa mencapai tangga....
Jantungku berdentam-dentam. Kupaksa diriku berjalan.
Dengan menanduk, mendorong, dan menendang gumpalan
berat itu, aku berjuang agar bisa bergerak.
Ya! Aku berhasil maju selangkah. Lalu selangkah lagi.


Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah aku sudah melewati pintu kamar tidur"
Melalui tubuhnya yang agak bening, aku bisa melihat
pemandangan di seberangku. Semua tampak seperti bayang-bayang
memudar. Aku tak bisa bernapas. Dadaku serasa terbakar. Aku tak
sanggup menahan napas lebih lama lagi.
Aku harus terus berjalan!
Kudorong, kutendang, dan kupaksa kakiku melangkah... terus...
dan terus... Akhirnya aku sampai di koridor dengan makhluk itu terus
membelit tubuhku. ebukulawas.blogspot.com
Selangkah demi selangkah aku mendekati tangga. Dan tiba-tiba
aku tersandung. Aku jatuh berguling-guling ke bawah tangga.
Daging lengket itu ikut berguling-guling bersamaku, memantulmantul di bawah tubuhku, melindungiku seperti bantal karet busa.
Akhirnya kami terpelanting keras di kaki tangga.
Aku menyentakkan kepalaku sehingga terlepas dari belitan
gumpalan itu. Aku menarik napas panjang. Uh, rasanya begitu segar dan
melegakan. Paru-paruku hampir saja meledak tadi.
Aku masih sempat menarik napas panjang lagi sebelum daging
itu kembali membelit wajahku.
Aku berputar-putar untuk membebaskan diri. Tapi belitan
makhluk itu semakin erat.
Aku melompat-lompat melalui koridor, menuju ke dapur.
Mom... Mom ada di mam" aku bertanya-tanya.
Mom... apakah Mom ada di rumah" Tidakkah Mom
mendengarku" Makhluk itu melekat di wajahku, di dadaku. Baunya yang
busuk menghantam diriku. Pening yang kurasakan membuatku
merosot jatuh. Kupaksa diriku berdiri. Dengan menahan beban berat makhluk
basah itu aku menuju ke dapur.
Melalui tubuhnya yang tembus pandang, aku mendekati meja.
Lalu kubenturkan makhluk itu ke ujung meja, ke bagian yang tajam.
Aku mundur... lalu maju lagi. Dan sekeras mungkin aku kembali
membenturkannya ke meja. BAM! Kembali aku mendorongnya sekuat tenaga dan
membenturkannya ke meja. BAM! BAM! Aku melakukannya berulang-ulang.
Setiap kali membentur meja, tubuh makhluk itu menimbulkan
bunyi mendesis. SQUISH... SQUISH... SQUISH.
Tapi ia melekat semakin lengket di wajahku sehingga aku tak
bisa menarik napas. Sampai akhirnya kurasakan kekuatanku
memudar, terkuras habis. Sekali lagi. Sebagai upaya terakhir, kembali aku
membenturkannya ke meja. Sekeras mungkin.
Dan saat itulah kudengar bunyi keras, SPLAAAT.
Terkesiap kaget, kurasakan gumpalan hangat itu jatuh dari
wajahku. Jatuh dari dadaku. Dan dengan bunyi meletup keras, makhluk
itu jatuh ke lantai. PLOP
Napasku megap-megap, dadaku Sakit. Dan ketika aku menatap
makhluk itu, aku bukan cuma melihat satu gumpalan. Melainkan dua.
Makhluk itu membelah menjadi dua.
Keduanya berdenyut-denyut basah di lantai dapur, tergolek
tanpa daya seperti serangga gendut yang terguling dengan kedua kaki
di atas. "Mom...." Suaraku seperti tercekik, sehingga hanya berupa
bisikan parau. "Mom..." Bahkan akhirnya aku tak bisa bersuara.
Kupegang tenggorokanku... dan kurenggut bongkahan tebal dan
licin yang ternyata sudah membelit leherku itu. Lalu kudorong benda
menjijikkan itu ke wastafel.
"Mom...!" Di mana sih dia" Aku mendengar suara di dalam rumah, entah dari mana.
Apakah dari ruang baca"
"Mom?" Apakah ia sedang menelepon"
Masa ia tidak mendengar suaraku ketika membentur-benturkan
tubuh makhluk itu ke meja" Masa ia tidak mendengar panggilanku"
"Mom...?" Aku terhuyung-huyung ke pintu.
Tapi aku cuma bisa maju selangkah.
Sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, kurasakan sesuatu
membelit kakiku. "Ohhh!" Aku menunduk... dan tampak di mataku kedua potong
makhluk itu membungkus kakiku.
Aku menendang-nendang. Tapi belitannya kian ketat. Dan
mereka malah mengembang naik.
Tubuh lengket dan hangat itu menyebar, naik ke bagian atas
tubuhku, menutupi kemejaku.
Kucengkeram dan kutarik kedua makhluk itu.
Tapi saking licin dan basahnya, tanganku malah tergelincir.
"Mom...! Gwynnie...! Tolong!"
Kedua makhluk itu telah mencapai wajahku. Rasanya berat
sekali. Aku tak tahan lagi menanggung berat tubuh mereka. Aku jatuh
berlutut, lalu terkapar di lantai.
Dua gumpalan licin itu menekan tubuhku. Dan sewaktu aku
memukul, meronta, menendang, dan menggeliat-geliut, keduanya
meleleh dan kembali bersatu.
Gumpalan itu menyebar ke sekeliling tubuhku, membungkus
diriku, hingga aku terjebak di dalamnya.
Tanpa udara.... Melalui tubuhnya yang agak bening, aku melihat sesuatu
bergerak menyeberangi dapur.
Gerakannya cepat. Tampak seperti bayangan memudar.
Apakah itu Mom" Bisakah ia menyingkirkan makhluk menjijikkan ini dari
tubuhku" Aku menatapnya dari balik belitan tubuh tebal dan agak keruh
itu. Cepatlah Mom. Aku tak bisa bernapas nih.
Masa Mom tidak melihat aku terjebak di dalam sini"
Ayo, cepat. Kulihat ia cepat-cepat berlari menghampiri makhluk itu. Kulihat
ia menunduk, dan kedua tangannya terangkat ke sisi wajahnya. Mirip
Macaulay Culkin dalam film Home Alone.
Tarik aku, Mom! aku mendesak tanpa suara.
Tank aku sekarang juga! aku memohon.
Tapi tidak. Ternyata ia cuma berdiri saja.
Berdiri di sana, menyaksikan aku mengembuskan napas
terakhir. 28 "BANGUN, Marco," perintah ibuku. Ia bertolak pinggang.
"Bangun, Marco," ia mengulangi dengan tegas. "Ngapain sih,
kau tiduran di lantai seperti itu?"
"Hah?" aku menahan napas. "Mom... tolong aku! Aku terjebak
di dalam sini! Aku tak bisa bernapas!"
Ia melotot padaku, keningnya berkerut. Digeleng-gelengkannya
kepala. "Marco, sekarang bukan waktunya bercanda. Ayo, bangun.
Jangan tidur di lantai!"
Bercanda" "Masa Mom tidak lihat sih?" aku menjerit. "Kepala Keith
lenyap, lalu dia berubah menjadi gumpalan daging besar. Aku
berusaha kabur, tapi dia malah menelanku dan..."
Ia berpaling dariku dan melangkah menuju wastafel. Kudengar
bunyi air mengalir. "Mom...?" "Mom cemas melihat keadaanmu, Marco," ujar Mom pelan dan
datar. "Kata-katamu tidak masuk akal. Sekarang, ayo bangun. Mom
tidak mau melihatmu gulang-guling di lantai seperti bayi!"
Aku duduk dan menatap ke sekitarku.
"Hei...!" aku berteriak kaget.
Tak ada daging basah menjijikkan itu.
Aku menggosok lantai. Tapi lantai itu kering sama sekali.
Jadi aku bermimpi lagi, kataku pada diri sendiri.
Jadi gumpalan kotor itu tidak nyata. Tidak ada pergulatan di
bawah tangga. Semua itu cuma mimpi yang menjijikkan.
Aku tidak sedang tidur di lantai dapur, melainkan sedang tidur
di tempat tidur, dan memimpikan semua ini.
Dan kini aku akan bangun dan menamatkan mimpi itu.
Bangun! Bangun, Marco! aku memerintah diriku sendiri.
Aku berdiri. Mom berada di depan wastafel. Ia sedang minum.
Bangun, Marco! Kalau ini cuma mimpi, kenapa aku benar-benar ada di dapur"
Seharusnya aku bangun di tempat tidurku, di dalam kamarku.
Aku menoleh... dan membenturkan keningku ke lemari.
"Owww!" Rasa sakit meledak dalam kepalaku, merayap ke
leher dan punggungku. "Aku tidak mimpi," kataku keras-keras.
Mom berpaling. "Apa katamu?"
"Aku tidak mimpi," ulangku. Kepalaku terasa pusing.
"Setidaknya kau bisa berdiri," komentar Mom. Ia mengamatiku.
"Kepalamu sakit, Marco?"
Tentu saja. Bayangkan, aku menghantamkannya ke lemari.
Tapi aku menjawab, "Tidak. Aku baik-baik saja, Mom."
Lalu aku berlari meninggalkan dapur. Aku harus keluar dari
sini. Aku harus berpikir. Aku harus menyendiri agar bisa memikirkan
semua ini. "Marco...?" panggil ibuku.
Tapi aku tidak menoleh. Aku terus menaiki tangga, menuju ke
kamarku. Kemudian kubanting pintu kamar keras-keras.
"Marco, tenanglah sedikit," kata sebuah suara.
Aku menahan napas dan menatap ke arah tempat tidur. Keith
tengah duduk bersila di atas selimut sambil memeluk bantal.
"Duduklah," katanya, memberi isyarat ke arah kursi meja
belajarku. "Tarik napas dalam-dalam. Santai. Kita akan tinggal
serumah. Seumur hidupmu. Untuk selama-lamanya."
29 "APAKAH aku bermimpi?" tanyaku dengan suara kecil.
Keith tidak menjawab. Ia menunjuk ke kursi. "Duduk,"
perintahnya. Aku melirik ke pintu sambil pikir-pikir, bisakah aku lari"
Tapi tiba-tiba aku merasa sangat capek, sangat lemah dan letih.
Kakiku tak berdaya. Sekujur tubuhku gemetar.
"Aku capek sekali," aku mengerang. Aku berpaling pada Keith.
"Kau menang," bisikku. "Kau berhasil mengalahkan aku."
Ia tersenyum, dan kembali menunjuk ke kursi.
Aku terenyak sambil mendesah. "Aku tak sanggup
melawanmu," kataku letih. "Aku tidak tahu apakah aku sedang mimpi
atau tidak. Dan aku sudah tidak punya kekuatan lagi untuk mencari
tahu." Senyumnya bertambah lebar. Senyum kemenangan, kurasa.
Mata hitamnya berkilat-kilat.
"Kau menang," ulangku sedih. "Akan kulakukan apa pun
perintahmu." Ia melompat bangkit, lalu menyeberangi kamar.
Ditepuk-tepuknya bahuku. Huh, memangnya aku anak anjing.
"Anak pintar," katanya.
Ia duduk di depanku dan menyilangkan lengannya. Seringai
lebar masih menghiasi wajahnya. "Nah, sekarang kau sudah tahu
kekuatanku," katanya. "Apa sebabnya" Karena kau anak yang pintar,
Marco." Aku menunduk. Tak tahan rasanya menatap seringai
memuakkan di wajahnya itu.
"Aku tahu kau akan merawatku dengan baik," lanjut Keith.
"Aku tahu kau akan mematuhi semua perintahku. Seumur hidupmu."
Mendadak ia berbalik dan berjalan ke pintu.
"Mau ke mana kau?" tanyaku dengan suara lemah.
"Aku mau ke ruang bawah tanah. Di sanalah aku tinggal. Dan,
tahukah kau apa yang akan kulakukan?"
"Tidak," kataku dengan suara seolah tercekik.
"Coba tebak," ia menuntut.
"Aku tak mau main tebak-tebakan," bentakku. "Jangan macammacam."
"Aku akan ke ruang bawah tanah dan membuat daftar apa saja
yang harus kaukerjakan segera," Keith menjelaskan. "Kau tunggu di
sini. Begitu aku selesai membuat daftar, aku kembali kemari dan kita
bisa membahasnya bersama."
"Terserah saja," gumamku sambil memutar bola mataku.
Ia serius atau tidak sih" Memangnya ia ingin aku menjadi
budaknya... untuk selamanya"
Ia berhenti di pintu, berpaling, dan berkata padaku, "Sebelum
aku pergi, ada satu hal yang ingin kutunjukkan padamu."
Ia melangkah lagi ke dalam ruangan. Lalu dibukanya mulutnya
lebar-lebar. Benda merah muda yang licin mengilap mengalir keluar dari
mulutnya. Sesaat kukira ia sedang menggelembungkan permen karet.
Tapi segera aku menyadari apa yang terjadi.
Bagian dalam tubuhnya yang basah berkilauan tumpah ruah dari
mulutnya. Organ-organ kuning yang melekat pada daging merah
muda. Jantungnya yang ungu melompat keluar dari antara gigigiginya, berdenyut-denyut di balik jaringan tebal urat darah yang
seperti tali berwarna biru.
Ketakutan mencekam diriku ketika ia berubah wujud. Bagian
dalam tubuhnya kini ada di bagian luar. Wujudnya jadi terbalik.
Detik berikutnya aku menjerit sekeras-kerasnya.
Dan Keith membuka mulut"dengan gigi berada di sebelah
luar"dan ikut menjerit juga.
30 AKU membuka mata dan mengedip-ngedipkannya. Mataku
kering dan lengket. Mulutku terasa sekering kapas.
Aku pasti tidur lama sekali, kataku pada diri sendiri.
Sambil tetap berbaring, aku merentangkan lengan. Otot-ototku
sakit. Kepalaku juga sakit. Sambil mengerang, kuangkat kepalaku dari bantal. Kemudian,
dengan menggunakan kedua siku, aku bangkit.
"Whoa...," aku berbisik. Pelan-pelan pemandangan ruang
bawah tanah masuk dalam batas penglihatanku. Aku merasa sangat
pusing... pusing dan lemah. "Keith... kau sudah bangun!"
Kudengar suara ibuku. Lalu ia muncul di hadapanku.
Aku membuka mulutku untuk menyapanya, tapi aku malah
batuk. Aku berdeham. "Akhirnya kau bangun juga, Keith," kata Mom. "Mom sudah
menunggu begitu lama."
Kugelengkan kepalaku keras-keras, berusaha mengusir
kebingunganku. Aku memandang ke sekeliling ruangan, berjuang


Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk memfokuskan mataku.
Ya, inilah aku. Sehat dan aman di ruang bawah tanah, tempat
aku tinggal bersama Mom. Tapi, apa yang terjadi padaku" Kenapa aku tidur begitu lama"
Bayangan aneh mengambang masuk ke dalam benakku.
"Mom...," panggilku dengan suara tercekat. "Mom, aku
mengalami mimpi buruk."
Dengan lembut ia mengusap rambut dari keningku. Tangannya
hangat dan halus. "Kau mimpi apa?" tanyanya lembut.
"Aku... aku memimpikan Marco. Kepalanya kena pukul tongkat
pemukul," kataku. Mom menggigit bibir bawahnya. "Kau memimpikan Marco?"
tanyanya sambil menatapku tajam.
Aku mengangguk. "Ya. Marco dipukul dengan tongkat,
sementara aku..." "Tapi kaulah yang dipukul, Keith," Mom menyela. "Bukan
Marco." "Segalanya jadi terbalik dalam mimpi," kataku. "Aku bermimpi
aku pergi ke kamar Marco. Aku menjelaskan siapa diriku. Kubilang
aku tinggal di ruang bawah tanahnya."
Mom duduk di tepi tempat tidur lipatku. "Lalu, apa yang
terjadi?" "Dia malah melawanku. Aku jadi ketakutan. Kami bergulat. Dia
menjatuhkanku ke bawah tangga. Aku jadi takut sekali!"
Mom memicingkan mata. "Keith, aku sudah
memperingatkanmu, bukan" Mom sudah bilang, jangan bergaul
dengan manusia." "Ya, tapi..." Ia mengangkat tangan, menyuruhku diam.
"Jangan pernah bergaul dengan manusia, Keith," Mom
memarahi. "Jangan lupa, kau adalah monster." Ia mendesah. "Tampangmu
memang seperti manusia. Tapi tidak berarti kau bisa berteman dengan
manusia." "Aku tahu. Aku tahu," aku bersungut-sungut.
Entah sudah berapa kali aku mendengar nasihat seperti itu"
Setidaknya seratus kali. Uh, bosan.
"Sudah kubilang jangan bermain bola dengan Marco dan anakanak manusia lainnya," lanjut Mom. "Tapi kau tidak mau dengar. Nah,
sekarang lihat... lihat apa yang terjadi."
Kuangkat tangan dan kusentuh samping kepalaku yang terbalut
perban. "Kepalamu kena pukul tongkat pemukul, Keith," Mom
memberitahu, suaranya bergetar. "Lukamu parah. Tak heran kau
mengalami mimpi buruk."
"Mom, sudahlah...." Aku berusaha duduk.
Tapi dengan halus ia mendorongku supaya berbaring lagi. "Kau
tidak boleh pergi ke atas dan bermain dengan manusia," ia
melanjutkan ceramahnya. Kalau Mom sudah mulai melontarkan
nasihat, mustahil deh menghentikannya. Ia akan mencerocos terus.
"Kita mesti sangat hati-hati, Keith. Sangat hati-hati."
"Aku tahu! Aku tahu!" teriakku. "Aku tahu seluruh nasihat itu,
Mom. Kita adalah monster, dan kita tinggal di ruang bawah tanah
rumah Marco dan Gwynnie. Dan kalau mereka sampai menemukan
kita di sini, mereka akan ketakutan dan mengusir kita."
Mom mengerutkan kening. "Mom tahu, memang asyik pergi ke
atas dan bermain bersama mereka," katanya. "Tapi Mom harap kau
sudah kapok sekarang. Kau membuat Mom sangat cemas, Keith."
"Sori, Mom. Mulai sekarang aku akan lebih hati-hati deh," aku
berjanji. Tampaknya janjiku membuatnya senang. Ia tersenyum.
"Baiklah," ujarnya. "Kau perlu istirahat. Sekarang keluarkan
bagian dalam tubuhmu, dan tidurlah."
"Oke, Mom." Kuucapkan selamat malam padanya, dan kuamati ia pergi ke
ruang sebelah. Lalu aku membuka mulut dan mulai berubah wujud. Bagian
dalam tubuhku akan berada di sebelah luar. Nyaman rasanya kalau
organ-organ itu ada di sebelah luar. Rasanya bersih dan segar.
Jantung dan urat-urat darahku meluncur di antara gigi-gigiku.
Perutku sudah setengah keluar dari mulut ketika tiba-tiba aku
mendengar suara. Oh, jangan! Suara itu berasal dari tangga ruang bawah tanah.
Aku melirik ke atas... dan melihat Marco berdin di sana.
Apakah ia melihatku"
31 SAMBIL menatap tajam sosok yang berdiri di tangga itu, cepatcepat kuisap kembali organ-organ bagian dalam tubuhku. Jantung dan
urat-urat darah meluncur masuk ke dalam tubuhku. Berikutnya giliran
paru-paru yang kutelan kembali.
Apakah Marco melihat diriku"
Ya. Matanya terbeliak kaget. Mulutnya terbuka lebar.
Perasaan panik menyerang diriku. Punggungku terasa dingin.
Inilah mimpi yang paling buruk, pikirku. Aku tertangkap basah
ketika sedang beraksi. Aku terlihat oleh manusia.
Jadi sekarang bagaimana"
Aku membalas pandangan Marco dan menunggu ia bicara.
Rupanya ia tidak sanggup berkata-kata. Dicengkeramnya
pegangan tangga erat-erat. Tatapan matanya tajam menembus ruang
bawah tanah yang kelabu itu. Ia seakan tidak percaya pada
penglihatannya. "Siapa kau?" akhirnya ia mampu bertanya. Suaranya kecil dan
ketakutan. Aku menelan ludah dengan susah payah.
Aku mesti jawab apa"
Aku harus berpikir cepat.
"Siapa kau?" ia bertanya lagi, kali ini suaranya lebih keras,
lebih kuat. "Eh... kau sedang bermimpi!" aku berteriak padanya.
Tatapannya semakin tajam.
"Kembalilah ke atas," aku menyuruhnya. "Ini cuma mimpi
kok." Tapi, akan percayakah ia"END
Iblis Pemburu Wanita 2 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Pendekar Pedang Dari Bu Tong 11

Cari Blog Ini