Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah Bagian 1
1 "'JANGAN berbuat begitu. Nanti matamu tercongkel ke luar,'
Begitu kata ibuku. Pokoknya, aku berbuat apa saja, pasti dia bilang
begitu." Aku sedang bercerita pada sobatku, Jeremy Goodman, sambil
berlari-lari kecil menuju lapangan di belakang sekolah.
Jeremy tertawa. "Betul ibumu bilang begitu, Marco?"
Aku mengangguk dan mengatur kecepatan, menjaga lariku
supaya tetap berdampingan dengan Jeremy sewaktu kami
menyeberangi Fulton Street.
"Semalam kan aku mau mengerjakan banyak PR," kataku. "Aku
mengambil tiga batang pensil baru, lalu merautnya. Lalu ibuku masuk
kamar dan dia bilang, 'Jangan begitu. Nanti matamu tercongkel ke
luar.'" Jeremy tertawa lagi. "Maksud ibumu kau mesti pakai krayon?"
Aku tidak tertawa. Bagiku itu tidak lucu. Habis, usiaku sudah
dua belas tahun, tapi ibuku memperlakukanku seolah aku masih bayi.
Ia selalu memberi peringatan terhadap semua hal yang
kulakukan. "Jangan manjat pohon. Nanti lehermu patah."
"Jangan mengisi bak mandi terlalu penuh. Nanti kau
tenggelam." "Jangan makan terlalu cepat. Nanti kau tercekik."
Ia selalu memberi peringatan. Aku menyimpan harapan suatu
hari ia akan bilang, "Marco, jangan sering-sering bernapas. Nanti
hidungmu patah." Mom membuatku pusing setengah mati. Yang ada dalam
pikirannya adalah aku mungkin melukai diriku sendiri atau melakukan
sesuatu yang berbahaya. "Duduk yang tegak. Kalau tidak, nanti punggungmu bungkuk."
"Jangan suka mengernyitkan wajah. Nanti wajahmu membeku
dan seumur hidup tampangmu akan jelek seperti itu."
"Jangan mengorek-ngorek hidung. Nanti jarimu tidak bisa
keluar lagi." Ibuku juga menyatakan perang terhadap kuman. Menurutnya,
semua yang kaulihat atau kausentuh, mengandung kuman.
"Jangan suka meluk-meluk anjing. Kan ada kumannya."
"Jangan makan cokelat punya Jeremy. Itu mengandung kuman."
"Jangan memasukkan tangan ke dalam saku. Nanti kena
kuman." Mom selalu berjaga-jaga. Selalu siaga. Selalu siap masuk kamar
dan memberiku peringatan.
Sikapnya membuat hidupku jadi agak sulit.
Ia tak suka aku main sofbol bersama teman-temanku. Ia yakin
aku akan mematahkan kakiku. Itu pun kalau nasibku mujur. Kalau
tidak, aku akan mematahkan setiap tulang di tubuhku.
Terbayang tidak sih, kan susah banget mematahkan setiap
tulang di tubuh manusia. Ibuku adalah satu-satunya manusia di dunia yang menyangka
orang-orang mematahkan tulang setiap hari.
Itu sebabnya aku harus mengendap-endap keluar rumah kalau
mau main sofbol bersama Jeremy dan teman-teman sekolahku yang
lain. Hari ini hangat dan cerah. Lapangan rumput hijau di sepanjang
Fulton Street bersinar di bawah cahaya matahari. Udara terasa manis
dan segar. Asyik rasanya joging di sepanjang trotoar bersama Jeremy,
menunggu saat permainan dimulai, tertawa-tawa, dan menghabiskan
waktu bersama kawan-kawan.
Murid-murid pulang lebih awal karena ada rapat guru. Cepatcepat aku pulang dan menjatuhkan ranselku.
Rumah dalam keadaan kosong, yang ada cuma Tyler, anjingku.
Ia jenis anjing campuran. Setengah cocker spaniel, setengah lagi,
entahlah"kami tidak tahu.
Tyler gembira melihatku. Dijilatnya wajahku.
Mom tidak senang Tyler berbuat begitu. Sebabnya, kalian pasti
sudah tahu. Ada KUMANNYA!
Mom sedang keluar, mungkin pergi berbelanja. Agaknya ia lupa
aku pulang cepat hari ini.
Ada untungnya juga sih ia tidak di rumah. Aku mengganti
pakaianku dengan celana jeans belel dan T-shirt. Lalu kusambar
sarung tangan sofbolku dan bergegas menemui Jeremy. Hap-hap-hap,
selagi ibuku belum pulang.
"Hei, Marco, apa tindakan ibumu kalau dia memergoki kau
main sofbol?" tanya Jeremy.
"Memberi peringatan," jawabku. "Dia tidak pernah
menghukum, atau melakukan hal lain. Dia cuma memberiku
peringatan." "Orangtuaku tidak pernah memberiku peringatan," ujar Jeremy.
"Yeah, itu karena kau anak yang sempurna!" aku menggodanya.
Ia meninju lenganku. Sebenarnya, aku tidak menggoda. Jeremy memang sempurna. Ia
dapat nilai A untuk semua pelajaran di sekolah. Ia juga jago olahraga.
Ia menjaga adik perempuannya dengan baik. Hampir tak pernah ia
mendapat masalah. Ia tak pernah menyentuh benda-benda yang mengandung
kuman. Pokoknya sempurna deh....
Kami melewati halte bus sebelum menyeberangi Fairchild
Avenue. Sekolah kami sudah tampak di depan mata. Gedungnya
bertingkat satu, membentang lurus, hampir memenuhi satu blok.
Dinding sekolah dicat warna kuning cerah, sama kuningnya
seperti kuning telur. Kata Mom, terjadi perdebatan seru dalam
pertemuan para orangtua murid. Soalnya tak ada yang menyukai
warna itu. Jeremy dan aku joging melewati lapangan parkir guru, menuju
lapangan di belakang gedung. Lapangan sofbol membentang di
belakang barisan ayunan. Sekelompok anak sudah bergerombol di sana. Aku mengenali
Gwynnie Evans dan Leo Murphy.
Si kembar Franklin, seperti biasa, sedang berdebat sengit.
Keduanya berdiri berhadapan, berteriak satu sama lain. Mereka
memang anak-anak aneh. Pokoknya jangan sampai mereka masuk
dalam regu yang sama. "Kita bisa mulai sekarang!" seru Jeremy. "Semua bintang sofbol
sudah ada di sini!" Ia berlari ke seberang lapangan. Leo dan beberapa anak lain
memanggil-manggil kami. Aku memperlambat lariku, napasku terengah-engah. Jeremy
jelas atlet yang lebih hebat dibanding diriku. Ia tidak tampak megapmegap.
Gwynnie berdiri di dalam bidang pelempar. Ia mengayunayunkan dua tongkat pemukul sambil mengobrol dengan Lauren
Blank. Gwynnie selalu berusaha membuktikan bahwa ia atlet yang
lebih hebat dibanding semua anak cowok.
Tubuh Gwynnie besar dan kuat. Sedikitnya ia lebih tinggi lima
belas sentimeter dibanding diriku, dan bahunya juga jauh lebih lebar.
Ia selalu mempermainkan anak-anak lain. Lagaknya seperti jagoan.
Tak ada yang suka padanya. Tapi kami selalu ingin ia jadi
anggota regu karena pukulannya keras banget. Dan jika terjadi adu
mulut, Gwynnie selalu menang karena teriakannya paling keras.
"Ayo kita mulai," Jeremy mengumumkan.
"Siapa yang memukul duluan?" tanyaku. "Siapa yang jadi
kapten?" Leo menunjuk. "Gwynnie dan Lauren."
Aku berlari ke bidang pelempar. Gwynnie menjatuhkan salah
satu pemukul ke tanah. Dan dicengkeramnya pemukul yang lain.
Kurasa ia tidak melihatku.
Sebab ketika aku berlari ke arahnya, ia menarik pemukul itu ke
belakang"dan mengayunkannya sekuat tenaga.
Aku melihat pemukul itu bergerak.
Tapi aku tidak sempat menunduk atau menyingkir dari sana.
"THUNK!" terdengar suara keras ketika pemukul itu
membentur sisi kepalaku. Pada mulanya tak terasa apa-apa.
Lalu tanah serasa miring.
Tapi aku tetap tidak merasakan apa pun.
Kemudian rasa sakit meledak dalam kepalaku.
Meledak... meledak... meledak.
Mendadak semua jadi berwarna merah cerah.
Begitu cerah, sehingga aku harus menutup mataku.
Kudengar mulutku memekik. Meringkik seperti kuda.
Lengkingan nyaring yang tak pernah kudengar sebelumnya.
Detik berikutnya tanah meluap, menganga, dan menelan diriku.
2 AKU siuman dan menatap langit-langit.
Lampu langit-langit yang nyalanya berwarna biru"sebiru
langit"sesaat memudar lalu tampak jelas, memudar lagi, lalu tampak
jelas lagi di atasku. Wajah ibuku mengambang, masuk dalam batas pandanganku.
Aku mengedip sekali. Dua kali. Aku tahu aku ada di rumah.
Mata ibuku merah dan basah. Rambutnya yang hitam diikat erat
ke belakang. Tapi beberapa helai jatuh menjuntai di keningnya.
Dagunya gemetar. "Marco...?"
Aku mengerang. Akhirnya terjadi juga, pikirku. Aku telah mematahkan semua
tulang di tubuhku. "Marco...?" bisik ibuku lagi. "Kau sudah bangun, Sayang?"
"Ohhh?" aku mengerang lagi.
Sesuatu seakan menduduki kepalaku. Rasanya berat.
Tyler" Kenapa anjing itu menduduki kepalaku"
Pelan-pelan aku mengangkat tangan untuk meraba kepalaku.
Tanganku terasa sakit. Ternyata perban. Kepalaku terbalut perban tebal.
Kuturunkan tanganku. Ruangan mulai berputar. Aku
mencengkeram bantal sofa, seolah kalau tidak kupegang kuat-kuat aku
akan mati karenanya. Aku menatap lampu langit-langit yang biru, mulanya memudar
tapi akhirnya tampak jelas. Ruang baca. Aku tengah berbaring di sofa
kulit di dalam ruang baca.
Wajah Mom muncul lagi, dagunya masih gemetar. Ia menarik
selimut sampai hampir menutupi daguku. "Marco" Kau sudah
bangun?" tanya ibuku lagi. "Bagaimana rasanya?"
"Oke," aku menggumam.
Bicara membuat tenggorokanku sakit.
Ia menatapku. "Kau bisa melihatku, Sayang" Ini Mom."
"Yeah. Aku bisa melihat," bisikku.
Ia mengusap salah satu matanya dengan tisu. Lalu kembali ia
menatapku. "Aku bisa melihat dengan baik," kataku padanya.
Ia menepuk-nepuk dadaku. "Bagus, Sayang."
Moga-moga ia tidak berkata, Mom kan sudah bilang! Aku
menyilangkan jari, berdoa, meskipun jari-jariku jadi sakit karenanya.
Moga-moga ia tidak berkata, Mom kan sudah bilang!
Ekspresi wajah Mom berubah. Ia cemberut. "Mom kan sudah
bilang agar jangan main bisbol," katanya.
"Itu bukan bisbol," kataku dengan suara tercekik. "Itu sofbol."
"Mom kan sudah bilang jangan main," kata ibuku tegas. "Tapi
kau tidak mau dengar. Sekarang kepalamu retak."
"Apa?" aku menahan napas. "Kepalaku retak" Mom, aku akan
sembuh, kan?" Ia diam saja. "Iya, kan?" aku memohon jawaban. "Katakan yang sebenarnya.
Dokter bilang apa, Mom" Apakah aku akan sembuh?"
3 "TENTU saja," jawabnya. Sesaat wajahnya mengambang,
sebelum lenyap dari penglihatanku.
Aku tidak suka mendengar nada bicaranya. Kedengarannya
dibuat-buat. Nadanya terlalu ceria.
"Katakan yang sebenarnya," aku memaksa. "Apakah aku akan
sembuh, Mom?" Tak ada jawaban. Kuangkat kepala. Nyeri yang tajam menghantam belakang
leherku. Ternyata Mom sudah meninggalkan ruangan. Kudengar ia
sedang merapikan piring di dapur.
Aku mencoba memanggilnya. Tapi suaraku cuma berupa
bisikan parau. Aku berbaring lagi dan memejamkan mata.
Agaknya aku tertidur. Sampai dering telepon
membangunkanku. Aku mengedip-ngedipkan mata. Telepon terus berdering. Aku
menunggu Mom mengangkatnya. Tapi ia tidak datang.
Apakah ia keluar rumah dan meninggalkan aku sendirian" aku
bertanya-tanya. Masa ia berbuat begitu" Di mana sih Mom"
Sambil mengerang aku berbalik dan meraih telepon yang ada di
meja. Aku mengangkat pesawat penerimanya ke telingaku.
"Halo?" kataku serak.
Aku mendengar desah napas di ujung sambungan. Disusul suara
yang tidak kukenal, berkata, "Kuharap kau baik-baik saja, Marco."
"S-siapa ini?" aku tergagap. Kupejamkan mata rapat-rapat,
berusaha mengenyahkan sakit yang berdenyut-denyut di kepalaku.
"Kuharap kau oke-oke saja," kata suara itu lagi. Suara anak
cowok. "Jangan sampai kau celaka."
"Apa sih maksudmu?" aku menggumam. "Tapi... terima kasih."
Mataku tetap terpejam. Rasa sakit berdenyut-de- nyut pada
pelipisku. Susah rasanya menelepon dengan kepala dibalut.
"Siapa ini?" aku bertanya lagi.
"Jangan sampai kau celaka," kata anak itu lagi. "Karena kau
harus merawatku." "Apa?" aku hampir tercekik. "Aku tak mengerti. Apa
maksudmu?" Tak ada jawaban. Aku menghela napas panjang. Kuputuskan untuk bertanya
sekali lagi. "Siapa ini?"
"Ini aku," jawab suara itu. "Keith."
"Keith." "Ya. Keith." "Aku... aku tak kenal," kataku tergagap.
"Kau pasti kenal," ujar anak itu lembut. "Kau pasti mengenalku,
Marco. Sebab aku tinggal di basement"di ruang bawah tanah
rumahmu." 4 APAKAH aku yang menutup telepon" Atau Keith"
Aku tidak pasti. Aku bingung, dan juga kesal.
Keith tidak menelepon dengan maksud baik. Aku tahu ia
mencoba menakut-nakutiku.
Tapi kenapa" Apa benar ia memang temanku" Ataukah ini cuma perbuatan
konyol salah satu teman sekolahku" Dasar brengsek!
Aku menatap langit-langit, merasa pusing dan lemah. Aku tak
tahu sudah berapa lama waktu berlalu.
Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam benakku terus terbayang Gwynnie sedang berdiri di
bidang pelempar. Kulihat ia mengayun-ayunkan dua pemukul. Lalu
satu dijatuhkannya ke tanah. Berikutnya pemukul itu melayang,
menghantam kepalaku. "Aduhhh." Aku mengerang pelan dan berusaha melenyapkan
bayangan itu. "Bagaimana kabarmu, Marco?" tanya sebuah bisikan.
Aku memandang Mom. Ia telah menyikat rambutnya dan
memoleskan lipstik ke bibirnya. Ia telah mengganti pakaiannya
dengan T-shirt hijau dan rok warna gelap.
"Sudah baikan?" tanyanya. "Mom membawa semangkuk sereal
untukmu. Kau harus makan sesuatu. Kalau tidak, lambungmu bisa
berlubang karena kebanyakan asam."
"Mom... telepon itu," kataku sementara kepalaku serasa
berputar-putar. "Tadi berdering, dan..."
"Ya, Mom tahu," ia menyela. "Jeremy yang menelepon. Dia
ingin tahu, apakah dia boleh datang menjengukmu."
"Hah" Dari Jeremy?"
Mom mengangguk. "Mom bilang, kau belum boleh dijenguk.
Dia baru boleh datang besok."
"Bukan telepon yang itu," ujarku. Aku bersandar pada sikuku.
Denyut di kepalaku sudah berkurang. Ruangan tidak berputar dan
miring-miring lagi. Aku mulai merasa lebih kuat.
"Ada telepon lain," aku memberitahunya. "Mom tidak
mengangkatnya, jadi aku yang angkat."
"Tapi, Marco..."
"Dari anak yang tak kukenal," aku melanjutkan. "Teleponnya
aneh sekali. Dia bilang, namanya Keith, dan dia tinggal di ruang
bawah tanah rumah kita."
Ekspresi wajah Mom berubah. "Oh, wow," gumamnya.
"Telepon itu membuatku takut," ujarku. "Kenapa ada orang
menelepon, lalu bilang bahwa dia tinggal di ruang bawah tanah rumah
kita?" Mom menempelkan tangannya yang dingin ke keningku yang
panas. "Mom agak khawatir melihatmu, Marco," katanya lembut.
"Apa maksud Mom?"
"Pelan-pelan sajalah," jawabnya. "Kau harus banyak istirahat.
Tak usah buru-buru. Salahmu sendiri, tidak mendengarkan peringatan
Mom. Dan sekarang kepalamu kena pukul."
"Tapi Mom, telepon itu..."
Dagunya bergetar lagi. "Pikiranmu kacau, Marco," katanya.
"Kenapa" Kenapa Mom bilang begitu?" aku memohon.
Ia memicingkan mata. "Sebab tidak ada telepon di ruangan ini,"
jawabnya. 5 AKU bangun pagi-pagi keesokan harinya. Aku duduk, dan
bersikap waspada. Berusaha mengingat-ingat. Sebelum aku bangkit,
aku tahu keadaanku sudah lebih baik.
Kepalaku tidak berdenyut-denyut. Otot-ototku tidak sakit.
Aku mandi berlama-lama. Air terasa dingin dan segar saat
mengenai kulitku. Sewaktu mengeringkan tubuh, aku sadar kepalaku tidak lagi
dibalut. Perbannya tergeletak di lantai, di samping tempat tidurku.
Agaknya perban itu jatuh semalam.
Aku berkaca di depan cermin lemari obat. Kuamati diriku, siapa
tahu ada yang rusak. Hmm, tidak terlalu parah kok. Pelipis kananku
luka, warnanya ungu. Bengkak seperti habis digigit nyamuk raksasa.
Tapi selebihnya, bentuk kepalaku normal.
Aku mengedipkan mata. Mataku tampak tajam dan terang.
Aku berteriak keras. Tenggorokanku tidak sakit. Uh, aku
gembira aku merasa kuat lagi.
Aku mengenakan jeans longgar dan kaus lengan panjang. Lalu
aku bergegas ke dapur untuk sarapan.
"Jangan berlari seperti itu di dapur," Mom mem-peringatkan.
"Bisa-bisa kau menabrak meja dan tempurung lututmu pecah."
Tempurung lutut" Wah, ada istilah baru lagi nih!
"Aku kelaparan!" seruku. Kutuang semangkuk besar kombinasi
sereal kesukaanku"Frosted Flakes dan Corn Pops, dicampur jadi
satu. Aku menyambar sendok dan dengan kelaparan mulai
melahapnya. "Jangan makan sereal cepat-cepat," Mom memberi peringatan.
"Nanti ususmu tersumbat."
Nah, peringatan yang ini aku sudah pernah dengar.
"Rupanya kau sudah baikan, ya," ujar Mom. Ia tersenyum dan
meremas tanganku. Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja," kataku. "Hari apa
sekarang?" "Sabtu," jawabnya. Senyumnya lenyap. "Mom senang kau
sudah baikan. Tapi lebih baik kau tidak keluar rumah hari ini."
"Mom selalu ingin aku tinggal di rumah," aku menggerutu.
"Kau masih lemah," ucapnya. "Nanti kau pingsan dan kepalamu
membentur trotoar." "Baiklah, aku tetap di rumah," aku berjanji.
Ketukan keras membuat aku terlompat. "Apa itu?" aku menjerit.
Mom berdiri. Ia mengamati diriku. "Itu kan cuma suara ketukan
pintu," jawabnya. "Nah, betul, kan" Kau belum sehat benar, Marco."
"Sudah kubilang aku tetap di rumah," aku mengerang.
Jeremy masuk ke dapur. Ia berhenti di seberang ruangan dan
menatapku. "Apakah kau masih hidup?" tanyanya.
Kucubit lenganku. "Rupanya masih tuh," jawabku.
"Jangan suka mencubit. Nanti lecet," Mom memperingatkan.
Entah kenapa Jeremy tidak mau mendekat. Ia berdiri saja di
tengah ruangan sambil menatapku.
"Kenapa kau tidak duduk sementara aku menghabiskan
serealku?" tanyaku. "Tidak apa-apa kok duduk di dekatku. Kau tidak
akan ketularan benjol."
"Kau sudah sarapan?" tanya Mom pada Jeremy. "Jangan keluar
rumah kalau perutmu kosong. Nanti seluruh sistem tubuhmu macet."
Pelan-pelan Jeremy menghampiri meja. "Aku terus terbayangbayang saat Gwynnie mengayunkan pemukul itu," katanya. "Wah,
ngeri banget deh. Kau tahu, aku menyaksikan semua kejadian itu."
Ia duduk di sampingku dan menghela napas. "Kusangka
kepalamu copot, Marco. Sungguh. Aku jadi mual. Aku jadi kepingin
muntah." "Jangan bicara soal muntah saat sarapan," Mom memarahi. Ia
berjalan ke pintu. "Mom harus pergi sebentar, Marco. Ingat janjimu.
Jangan pergi ke mana-mana."
"Aku ingat," gumamku.
"Dan tenang sajalah," perintahnya, "Duduk dan ngobrol. Jangan
bertingkah macam-macam. Nanti kau pingsan."
Begitu Mom lenyap dari pandangan, Jeremy menoleh padaku.
"Betul kau baik-baik saja?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Yeah. Aku tidak merasa sakit sama sekali."
Serealku sudah habis. Kutuang segelas jus jeruk untukku. "Aku
merasa lebih baik dibanding kemarin."
"Gwynnie meneleponku semalam," kata Jeremy. "Dia ingin
tahu kabarmu. Wah, keadaannya kacau-balau. Dia merasa bersalah
karena telah memukulmu."
Aku tergelak. "Jadi dia tidak menyombongkan pukulannya yang
hebat itu?" "Tentu saja tidak!"
"Yah, itu bukan salahnya," ujarku. "Aku berlari tepat ke arah
pemukulnya. Dan dia tidak melihatku."
Kami membicarakan kecelakaan itu selama beberapa saat. Lalu
aku bertanya pada Jeremy, apakah ia mau memegang benjolan ungu di
sisi kepalaku. "Uh... untuk apa!" serunya sambil mengernyit.
Aku tahu benjolan itu membuatnya mual.
Ia membantuku membereskan piring dan gelas bekas sarapan.
"Kau punya acara apa hari ini?" aku bertanya.
"Ibumu bilang, kau tidak boleh keluar rumah," Jeremy
mengingatkan. "Ya, sudah. Kita mendekam saja di rumah," jawabku.
"Mau main biliar?" ia mengusulkan.
Aku punya meja biliar di ruang bawah tanah. Mejanya
berukuran besar, seperti yang dipakai dalam turnamen-turnamen,
sehingga ruang bawah ta?nah hampir tidak bisa memuatnya. Saking
sempitnya, kita harus memiringkan tongkat biliar dan bermain di
antara tiang-tiang ruangan.
"Boleh saja. Siapa takut," kataku setuju. Jeremy lebih jago
bermain biliar dibanding aku. Tapi kadang-kadang aku bernasib mujur
dan bisa mengalahkannya. Aku selesai memasukkan peralatan makan ke dalam mesin
pencuci piring. Lalu kami pergi ke ruang bawah tanah.
Aku memegang tombol pintu... dan mendadak berhenti.
Aku tinggal di ruang bawah tanah rumahmu.
Tiba-tiba aku ingat suara anak cowok di telepon. Nadanya datar
dan dingin. Kau harus merawatku... aku tinggal di ruang bawah tanah
rumahmu. Kata-katanya terngiang-ngiang di telingaku. Aku jadi ragu-ragu
membuka pintu. Tapi telepon itu cuma khayalan, kataku pada diri sendiri.
Tak ada anak cowok. Tak ada suara. Tak ada Keith.
Aku mengkhayalkannya karena kepalaku kena pukul.
Iya, kan" Aku membuka pintu, lalu menatap tangga menuju ruang bawah
tanah. Sambil memegang pagar tangga kuat-kuat, aku turun.
6 BEGITU tiba di bawah, aku berlari, dan menyalakan semua
lampu. Termasuk lampu di ruang cuci.
Jeremy mengambil tongkat biliar dan mengolesi ujungnya
dengan kapur. "Kau kenapa, sih?" serunya. "Kita akan main atau
tidak?" "Aku suka kamar yang terang benderang," kataku.
Aku mengintip ke balik tumpukan kardus di dekat perapian.
Berikutnya aku mengerutkan badan, menyusup ke belakang perapian
untuk melihat apakah ada orang yang bersembunyi di sana.
Tak ada apa pun kecuali gunungan debu. Aku jadi agak malu.
Lagi pula, kenapa orang mau tinggal di ruang bawah tanah"
Kedengarannya konyol banget.
Aku segera menghampiri meja biliar dan mengambil tongkat.
Kami pun mulai bermain. Jeremy memasukkan tiga bola ke dalam lubang. Pada tembakan
berikutnya, bola berserakan memenuhi meja. Tapi tak ada yang
masuk. Kini giliranku. Karena sempitnya ruangan, aku harus
mengerutkan badan di antara meja dan tiang, serta memiringkan
tongkat ke arah langit-langit. Sungguh bukan tembakan gampang.
Dan aku gagal total. "Apa kau pernah main biliar bersama Gwynnie?" tanya Jeremy
seraya mengitari meja untuk menemukan sudut tembakan terbaik.
"Tidak pernah," jawabku. "Apa dia hebat?"
Ia terkekeh. "Dia pikir main biliar sama dengan main sofbol.
Dia memukul bola begitu keras, sampai bolanya retak. Kami pernah
main bersama di Gelanggang Remaja. Gwynnie menembak hingga
bolanya terlontar dari meja, dan melayang ke luar jendela."
"Mungkin dia pikir dia harus mencetak home run," komentarku.
Kami tertawa. Sisi kepalaku jadi sakit.
Mengingat Gwynnie membuat kepalaku sakit.
Tembakan bola tujuh Jeremy mengenai bola delapan. Bola
delapan itu hampir masuk ke dalam lubang. "Aduh, nyaris saja!"
Jeremy mengembuskan napas kesal.
Seandainya bola delapan itu masuk, aku kalah.
"Si kembar Franklin juga pernah main di Gelanggang Remaja,"
lanjut Jeremy. "Mereka sampai bertengkar hebat."
Aku memutar bola mata. "Ah, itu kan biasa."
"Dasar tolol," ujar Jeremy. "Masa mereka bertengkar soal yang
mana bola enam dan yang mana bola sembilan. Lalu mereka mulai
adu pedang dengan memakai tongkat biliar. Terus, mereka saling
melumuri badan dengan kapur."
"Hebat," gumamku. Aku menembak bola dua belas keras-keras,
tapi tidak masuk. "Menurutmu, kenapa sih si kembar itu bertengkar
terus?" Jeremy berpikir selama beberapa saat. "Karena mereka
kembar," akhirnya ia menjawab. "Mereka begitu mirip, sehingga sulit
dikenali. Jadi mereka berusaha membuktikan bahwa ada perbedaan di
antara mereka." "Uh, rumit banget," komentarku. Aku hendak memikirkan
pendapat Jeremy lebih jauh.
Tapi mendadak terdengar bunyi yang aneh. Aku berpaling dari
meja. Bunyi menggaruk. Kedengarannya dekat sekali.
Bunyi menggaruk. Disusul bunyi menabrak.
"Kau dengar suara itu?" aku berbisik pada Jeremy.
Ia mengangguk. "Ya," ujarnya seraya menunjuk ke tangga.
Terdengar bunyi menabrak lagi. "Brakkk!"
Ada lemari makan besar di bawah tangga. Bunyi aneh itu
datang dari dalam lemari.ebukulawas.blogspot.com
Kami menatap pintu lemari kayu itu.
Lagi-lagi terdengar bunyi menabrak.
"Ada orang di dalammya," aku komat-kamit. "Dan dia mau
keluar." Jeremy memicingkan mata ke arahku. "Kenapa ada orang yang
sembunyi di dalam lemari?"
Aku menghampiri lemari itu. "Siapa di situ?"
Tak ada jawaban. Terdengar bunyi menggores-gores, tepat di balik pintu lemari.
"Siapa itu?" aku mengulangi.
Tetap tak ada jawaban. Kupegang pintu lemari. Aku menghela napas. Dan kutarik pintu
itu hingga terbuka. Dan aku pun menjerit ketika sesosok makhluk melompat ke
arahku. 7 "TUPAI!" seru Jeremy.
Ya. Seekor tupai gendut berwarna kelabu melompat dari dalam
lemari... dan hinggap di kakiku.
Lalu binatang itu jatuh ke lantai, matanya tampak liar, kakinya
menggelepar-gelepar di udara. Hewan itu meluncur di lantai yang
licin, dan berhenti di seberang ruangan.
"Kok tupai itu bisa ada di dalam lemari?" tanya Jeremy.
Aku masih kaget, sehingga aku tak sanggup menjawab. Kulihat
tupai itu mencoba memanjat tiang, tapi ia terpeleset, dan jatuh. Lalu ia
berlari ke ruang cuci. "Kita harus mengeluarkannya!" seruku. Akhirnya aku bisa
bicara lagi. "Ibuku bisa gila kalau tahu ada binatang masuk ke rumah.
Kau tahu kan, mereka mengandung kuman."
Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari ruang cuci, tupai itu menatap kami. "Tangkap dia!" aku
berteriak. Kami segera mengejarnya. Hewan itu berlari mengitari ruang cuci. Akhirnya ia tersudut di
belakang mesin pengering.
"Kena!" aku berteriak. Aku mengulurkan tangan untuk
menangkapnya. Tapi tupai itu malah melesat melewati punggungku, mengelak
dari tangkapan Jeremy, dan kembali ke ruang utama.
Kepalaku mendadak berdenyut-denyut. Napasku tersengalsengal.
Aku keluar dari ruang cuci. Tupai itu berlari di bawah meja
biliar, ekornya yang tebal berdiri tegak.
Aku memeriksa, untuk memastikan kedua jendela ruang bawah
tanah terbuka. Lalu kusambar jaring tua yang tergantung di dinding.
Tupai yang ketakutan itu berhenti berlari dan berpaling pada
Jeremy dan aku. Sekujur tubuhnya gemetar. Mata hitamnya yang kecil
memohon pada kami. "Ayo sini, tupai! Pai-tupai, ayo kemari!" aku memanggil sambil
menggoyangkan jaring. "Kami takkan melukaimu."
Aku mengayunkan jaring ke arahnya. Tapi luput.
Tupai itu lari lagi. Sementara kami menatap dengan putus asa, si tupai melompat
ke atas tumpukan kardus di dekat perapian dan melompat ke luar,
melalui jendela yang terbuka.
"Hore!" Kami berteriak gembira dan ber-high five.
"Kami berhasil menaklukkan para tupai!" Suara Jeremy yang
besar dan dalam memenuhi ruangan.
Aku tidak mengerti maksudnya, tapi aku ikut terbahak-bahak.
Dari atas tangga, suara ibuku menghentikan tawa kami. "Ada
apa di bawah sana?" ia berseru.
"Tidak ada apa-apa kok," aku cepat menjawab. "Kami lagi main
biliar." "Marco... hati-hati dengan tongkat biliar," teriak Mom. "Nanti
matamu tercongkel ke luar."
************** Aku dan Jeremy bermain beberapa ronde. Pada setiap ronde, ia
bisa mengalahkanku dengan mudah. Tapi kami gembira. Dan mata
kami sama sekali tidak tercongkel ke luar.
Lalu kami menikmati makan siang berupa sandwich dan sup
ayam buatan ibuku. Selama kami makan, ia terus menyuruh kami
meniup supnya. Kalau tidak, lidah kami bisa terbakar.
Selesai makan, aku merasa capek. Jadi Jeremy pulang.
"Naiklah ke kamarmu, nonton TV atau tidur siang," kata Mom.
"Awas, jangan sampai kau terlalu capek."
"Tidak kok," aku menggerutu. Tapi aku naik juga ke kamarku
dan tidur siang. Ternyata aku tidur siang terlalu lama, sehingga malam harinya
aku jadi tidak bisa tidur. Mataku terus melotot.
Aku membaca selama beberapa saat. Kemudian aku menyetel
TV, tapi tak ada acara yang menarik.
Aku melirik weker di meja samping tempat tidurku. Sudah
lewat tengah malam. Perutku keroncongan. Mungkin sebaiknya aku makan snack,
pikirku. Kunyalakan lampu koridor dan aku turun ke dapur. Tapi
sebelum sampai ke sana, dengan kaget kulihat pintu ruang bawah
tanah terbuka. "Aneh," gumamku. Mom selalu menutup pintu itu. Ia bisa
senewen kalau melihat ada pintu yang tidak tertutup.
Aku mendekati pintu itu. Aku sudah hendak menutupnya ketika
tiba-tiba aku mendengar suara menggores-gores di bawah sana.
Apakah itu bunyi langkah kaki" Kalau ya, langkah siapa"
Aku mengintip ke dalam ruangan yang gelap gulita itu. "Siapa...
siapa di situ?" Suara menggores terdengar lagi.
Disusul suara anak cowok berseru, "Ini aku, Keith. Masa kau
tidak ingat" Aku tinggal di bawah sini."
8 "TIDAK! Kau tidak nyata! Kau cuma khayalanku!"
Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku, melengking
ketakutan. Aku mendengar langkah kaki berjalan di atas lantai linoleum.
Berikutnya lampu ruang bawah tanah menyala.
Aku menatap ke bawah... dan beradu pandang dengan Mom!
"Hah?" Aku ternganga.
"Marco... kau belum tidur?" tanyanya. Wajahnya cemberut,
tangannya berkacak pinggang.
"Uh... belum. Soalnya aku masih bangun," jawabku bingung.
"Mom, sedang apa di sini?"
"Mencuci baju," jawabnya. "Mom juga tidak bisa tidur. Jadi
Mom mencuci saja. Kau kan tahu, mencuci membuat Mom santai."
"Mom, naik sekarang juga! Cepat!" aku berseru. "Ada orang di
bawah!" Ia menengadah, menatapku sambil memiringkan kepala. "Apa
maksudmu?" tanyanya pelan.
"Cepat!" aku memaksa. "Anak laki-laki. Dia baru saja bicara
denganku tadi. Dia ada di bawah, Mom. Katanya dia tinggal di
bawah." "Marco, kau membuat Mom khawatir," kata Mom dengan
tenang. Ia menaiki tangga, matanya terus memandangku. "Ucapanmu
tidak masuk akal, Sayang."
"Tapi itu memang benar!" kataku berkeras. "Aku
mendengarnya, dia bicara padaku... baru saja! Dia ada di bawah.
Sungguh!" "Sudah kemalaman untuk menelepon Dr. Bailey," gerutu Mom.
Ia berdiri di sampingku dan menyentuh keningku. "Tapi tidak panas
kok." "Mom... aku tidak mengkhayal!" aku meratap.
"Besok hari Minggu," katanya. "Kau harus istirahat sepanjang
hari. Lalu kita lihat, apakah kau sudah bisa masuk sekolah pada hari
Senin." "Tapi, Mom... aku... aku..."
Suara anak laki-laki menyela ucapanku. Arahnya dari ruang
bawah. "Marco," ia memanggil, "dengarkan ibumu."
"Mom... Mom dengar, tidak?" teriakku.
9 "DENGAR apa?" tanya Mom menuntut, matanya menatap
tajam. "Anak itu...," ujarku. Tapi sebelum aku menyelesaikan
ucapanku, sesuatu menabrakku dengan keras dari belakang.
Aku terpelanting ke bawah... dan hampir saja jatuh ke tangga.
"Awww"!" aku menjerit dan cepat memutar badan.
Tampak Tyler sedang mengibas-ngibaskan ekornya. Lalu
kembali ditubruknya aku. Ia memang sering bertingkah begitu. Kurasa
ia cuma ingin bercanda. "Dasar anjing tolol!" seruku. "Hampir saja kau membunuhku."
Tyler berhenti mengibaskan ekor. Ia menatapku dengan
matanya yang besar dan berwarna cokelat.
"Jangan suka memaki-maki anjing," ibuku memarahi. "Kau
memang belum sembuh benar, Marco. Pergilah tidur. Jelas kau
kecapekan." "Tapi, Mom..." Akhirnya kuputuskan tidak membantah. Habis, apa gunanya"
Aku melirik ke ruang bawah tanah, berharap melihat sekilas
sosok anak cowok itu. Tapi yang ada hanya kegelapan.
Di manakah ia" Di mana ia bersembunyi"
Aku tahu aku tidak mengkhayal. Aku yakin aku mendengar
suaranya. Jadi, ada apa sebenarnya"
********** Mom mengizinkan aku sekolah pada hari Senin, padahal aku
berharap boleh tetap tinggal di rumah.
Aku merasa baik-baik saja. Benjolan di kepalaku masih
berwarna ungu, tapi sudah mengecil.
Begitu aku tiba di depan sekolah, setiap anak berlari
menghampiriku. Si kembar Franklin sedang bertengkar. Mereka ribut
tentang siapa di antara mereka yang memiliki ransel A, dan siapa yang
memiliki ransel B. Barang-barang mereka memang selalu tertukar.
Tapi begitu melihatku, mereka menjatuhkan kedua ransel itu
dan bergegas menghampiriku.
"Marco... bagaimana kabarmu?"
"Kau oke-oke saja?"
"Coba kulihat lukamu?"
"Wow! Jelek banget!"
"Sakit, ya?" "Kusangka kau tidak akan sekolah lagi!"
"Kepalamu pasti keras banget, ya! Kayak beton!"
Setiap anak tertawa. Mereka sibuk melucu dan membicarakan
diriku. Aku senang menjadi pusat perhatian. Biasanya tak ada yang
menaruh perhatian padaku.
Perasaanku sangat senang.
Tapi kemudian lonceng berbunyi. Kami masuk kelas dan Miss
Mosely menyuruhku maju ke depan. "Kami semua senang melihat kau
sudah masuk sekolah lagi, Marco," katanya.
Jeremy bertepuk tangan, kemudian setiap anak mengikutinya.
Termasuk Gwynnie, yang duduk tepat di depan guru.
"Kebetulan kita sedang belajar tentang perawatan kesehatan,"
lanjut Miss Mosely. "Kuminta kau menceritakan bagaimana suasana
di rumah sakit." Rumah sakit" Aku menatap guruku. Pikiranku jungkir-balik. Mulutku
menganga. Memangnya aku pernah masuk rumah sakit"
"Seperti apa kamarmu di rumah sakit?" tanya Miss Mosely.
"Dokter apa saja yang memeriksa dirimu" Apa yang mereka cari?"
Aku mengedipkan mata. Berpikir keras. Berusaha mengingat.
"Ayo, ceritakan semuanya," lanjut Miss Mosely. Ia melipat
tangan di dada dan menatapku melalui kacamata bulatnya yang
berbingkai hitam. Ia menunggu aku bicara.
"Aku... aku tidak ingat," kataku tergagap.
Salah satu dari si kembar Franklin tertawa. Beberapa anak
berbisik satu sama lain. "Apa saja yang kau ingat tentang rumah sakit, Marco?" tanya
Miss Mosely. Ia bicara lambat-lambat dan jelas, seolah ia. bicara pada
anak berusia tiga tahun. "Aku tak ingat apa pun. Tak ingat sama sekali!" jawabku tanpa
pikir panjang. Gwynnie menjulurkan tubuh, mendekati meja Miss Mosely.
"Mungkin sebaiknya aku memukul kepalanya lagi," katanya. "Itu lho,
supaya ingatannya kembali."
Beberapa anak tertawa. Miss Mosely menatap Gwynnie sambil cemberut. "Ucapanmu
jahat sekali. Itu tidak lucu. Hilangnya ingatan akibat pukulan di
kepala, bisa berakibat sangat serius."
Gwynnie mengangkat bahunya yang lebar. "Cuma bercanda
kok," gerutunya. "Memangnya tidak boleh?"
Sementara itu aku masih berdiri di depan kelas. Aku merasa
kikuk dan bingung. Kenapa aku tidak ingat" Hal pertama yang kuingat setelah kena
pukul, aku berbaring di sofa ruang baca.
Miss Mosely memberi isyarat, menyuruhku duduk. "Yah, kami
gembira kau baik-baik saja, Marco," ujarnya. "Dan jangan khawatir.
Ingatanmu pasti kembali."
Sampai saat itu aku tidak tahu ingatanku hilang. Aku duduk,
merasa lemah dan terguncang.
Sisa hari itu rasanya samar-samar.
Seusai sekolah, sambil berjalan pulang ke rumah, aku masih
berpikir keras. Aku berusaha mengingat-ingat tentang rumah sakit.
Kulihat beberapa anak sedang bermain sofbol di lapangan.
Melihat permainan itu, aku jadi merinding.
Aku sudah hendak berpaling ke arah lain... ketika tiba-tiba aku
melihat seseorang. Gwynnie! Ia melintasi lapangan rumput, berlari mengejarku. Pemukul
sofbol diangkatnya tinggi-tinggi, di atas kepalanya.
Wajahnya tampak penuh tekad.
"Marco! Hei... Marco!" ia memanggil seraya mengayunayunkan pemukul dengan nada mengancam.
Ya, ampun! Ia akan memukulku lagi.
Tapi, kenapa" "Jangan"!" teriakku. Dan menatapnya dengan penuh
ketakutan. "Gwynnie... jangan!"
10 "MARCO! Hei... Marco!"
Tampang Gwynnie tampak keras, penuh ancaman. Kembali ia
mengayunkan tongkat pemukul tinggi-tinggi.
Aku terpaku. Kakiku kaku, tak bisa digerakkan.
Sambil mengerang keras, akhirnya aku bisa berbalik dan ambil
langkah seribu. Aku melesat, menyeberangi jalan tanpa menoleh kiri-kanan.
Kenapa sih si Gwynnie" Apakah ia sudah gila" tanyaku pada diri
sendiri. Kenapa ia berbuat begitu"
Apa ia pikir ingatanku akan kembali kalau ia memukul
kepalaku lagi" Aku membelok di sudut jalan, napasku tersengal-sengal,
ranselku terlonjak-lonjak di bahuku. Ketika aku menoleh ke belakang,
kulihat Gwynnie di seberang jalan. Dua bus sekolah bergemuruh
lewat, menghalanginya menyeberang.
Kurendahkan kepalaku, kubetulkan ranselku, dan kupaksa
diriku berlari semakin cepat.
Pada saat aku tiba di rumah, jantungku berdebum-debum begitu
keras hingga sakit rasanya. Dan benjolan di kepalaku berdenyutdenyut nyeri.
Aku masuk ke rumah dan membanting pintunya. Aku bersandar
pada pintu sambil mengatur napasku yang memburu.
"Marco" Kau sudah pulang?" seru ibuku dari ruang baca.
Masih terengah, aku berupaya menjawab. Tapi yang keluar dari
mulutku cuma bisikan parau.
Mom muncul di pintu ruang tamu. Ia memicingkan mata,
mengamati diriku. "Bagaimana hari pertamamu kembali masuk
sekolah?" "Oke," aku menggumam.
"Kau tidak kecapekan, kan" Kenapa wajahmu pucat begitu"
Kau ikut pelajaran senam, ya" Mom sudah memberimu surat izin
supaya tidak ikut senam... kau ingat, kan?"
"Tidak... ada... pelajaran... senam," jawabku terbata-bata.
Mom selalu melarangku ikut pelajaran senam. Ia yakin mataku
akan tercongkel ke luar atau tulangku patah semua dalam pelajaran
itu. "Kenapa kau terengah-engah?" tanyanya sambil
menghampiriku. Disentuhnya keningku. "Kau berkeringat. Bukankah
Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mom sudah bilang, berkeringat bisa membuatmu masuk angin."
"Aku baik-baik saja kok," kataku. Aku mulai merasa normal
lagi. Aku mengintip melalui jendela.
Apakah Gwynnie mengejarku sampai ke rumah"
Tidak ada siapa pun di luar.
"Aku merasa baik-baik saja hari ini," kataku pada Mom. "Tidak
ada masalah." Aku ingin bertanya padanya soal rumah sakit, tapi aku tak mau
ia tahu bahwa ingatanku hilang. Nanti malah jadi lebih parah.
Jadi aku tak bertanya apa-apa padanya. Aku malah menuju ke
tangga dan berkata, "Aku punya banyak PR. Aku mau ke kamarku."
"Kau mau makanan kecil?" tanya Mom. "Jangan mengerjakan
PR dengan perut kosong."
"Tidak, terima kasih," jawabku. Aku menaiki tangga dan cepatcepat melewati koridor.
Begitu tiba di depan pintu kamarku, aku berteriak kaget.
Seorang anak cowok sedang duduk di tempat tidurku.
Usianya kira-kira sebaya denganku. Rambutnya hitam
berombak, wajahnya kurus dan serius. Ia menatapku dengan matanya
yang bulat dan gelap. Matanya tampak sedih. Ia mengenakan jeans
hitam dan kemeja wol flanel yang kebesaran.
Ia sama sekali tidak terkejut melihatku.
"Siapa... siapa kau?" tanyaku tergagap-gagap.
"Ini aku. Keith," jawabnya pelan. "Kan sudah kubilang, aku
tinggal di ruang bawah tanah rumahmu."
11 AKU tidak bisa berkata-kata. Pikiranku kosong melompong.
Aku cuma berdiri di koridor dan menatap anak itu.
Lututku mendadak lemas dan gemetar. Aku berpegangan pada
tiang pintu supaya tidak sampai jatuh.
Senyuman bengis pelan-pelan mengembang di wajah Keith.
Matanya yang gelap bersinar-sinar. "Masuklah. Kurasa kita mesti
saling kenal," katanya. "Apalagi karena kau akan merawatku
sekarang." Selama beberapa saat aku tetap berdiri, tubuhku seolah
membeku. Detik berikutnya aku menjerit, "Tidak! Tidak mungkin!"
Kututup pintu kamar tidur. Lalu dengan tangan gemetar,
kuputar kuncinya. Bagus! Aku berhasil mengurung Keith di dalam kamar.
Sekarang Mom bisa melihat Keith. Sekarang ia harus percaya
padaku. "Mom!" aku memanggil. "Cepat kemari!"
Tak ada jawaban. Apakah ia pergi" Ah, mungkin ia sedang di dapur untuk menyiapkan makan
malam. Kuputar pegangan pintu untuk memastikan pintu itu masih
terkunci. Lalu aku menuruni tangga, memanggil ibuku lagi.
"Marco" Ada apa sih...?" Mom lari dari dapur sambil membawa
bawang dan pisau. "Cepat naik, Mom! Ayo!" aku berseru. "Aku berhasil
menangkapnya! Dia ada di kamarku sekarang!"
"Menangkap siapa?" Mom menatapku dengan pandangan
curiga. "Siapa yang ada di kamarmu?"
"Anak itu!" teriakku. Kusambar tangannya dan kutarik ia ke
atas. "Namanya Keith. Dia yang tinggal di ruang bawah tanah rumah
kita." "Marco... tunggu." Mom melepaskan tangannya dari
peganganku. "Jangan bertingkah macam-macam lagi. Kau kan tahu, Mom
jadi cemas kalau bicaramu seperti orang sinting begitu."
"Aku tidak sinting!"
"Tak usah menarik-narik," bentaknya. "Tingkahmu aneh sekali,
Marco. Mom sama sekali tidak suka. Kata Dr. Bailey, kalau
tingkahmu mulai tidak beres, Mom harus segera meneleponnya dan..."
"Mom... sudah jangan bicara lagi!" aku memohon. "Pokoknya
ikut saja. Dia ada di kamarku. Aku mengurungnya di sana, Mom bisa
melihat sendiri. Lalu Mom akan tahu bahwa aku tidak sinting."
Ia menggerutu, tapi ia mengikuti aku ke atas.
Aku berhenti di depan kamarku dan memegang kunci pintu.
Jantungku berdebar begitu keras, hingga kupikir dadaku akan
meledak. Kepalaku mulai berdenyut-denyut.
Kuputar kunci, dan kubuka pintu kamarku.
"Itu dia!" aku berteriak sambil menunjuk tempat tidurku.
12 MOM dan aku berteriak kaget.
Tyler duduk di tempat tidur. Matanya menatap kami.
Napasnya terengah-engah. Lidahnya terjulur ke luar. Ketika
melihat kami, ekornya segera mengibas-ngibas.
Mom menyentuh bahuku. "Berbaringlah, Marco," perintahnya.
"Mom akan menelepon dokter sekarang."
"Jangan. Tunggu sebentar," kataku. Aku masuk ke dalam
kamar, berlutut, dan mengintip ke bawah tempat tidur. "Keith... di
mana kau?" Tak ada seorang pun di kolong tempat tidur.
Aku bangkit, lalu menghampiri lemari dan membuka pintunya.
"Keith...?" Tak ada seorang pun di dalamnya.
Aku berpaling. Di mana lagi ia bisa bersembunyi"
Tyler melompat dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
"Anjing malang itu tidak suka dikurung," Mom bersungutsungut.
"Aku tidak mengurung Tyler!" seruku. "Yang kukurung adalah
Keith." Mom mendecakkan lidah. "Kau akan sembuh, Marco. Pasti."
Suaranya bergetar. Aku mengerti maksud ucapannya: Pukulan di kepala itu
membuat pikiranmu kacau, Marco. Tingkahmu seperti orang sinting!
Aku menghela napas panjang dan mencoba menjelaskan lagi.
"Mom, aku tidak tahu Tyler ada di dalam. Yang aku tahu, ada anak
cowok di kamarku. Dan aku mengurungnya tadi."
"Mom akan menghubungi Dr. Bailey sekarang juga," ujar
Mom. "Tapi kau tak perlu cemas. Semuanya akan baik-baik saja."
Lalu ia pergi. Semuanya akan baik-baik saja. Kata-kata ibuku terngiangngiang dalam benakku.
Dan seperti biasa, ia salah.
************ Ruang tunggu tempat praktek Dr. Bailey bercat biru dan hijau.
Akuarium ikan yang besar menempel di salah satu dinding, airnya
membentuk gelembung-gelembung. Kursi-kursi dan karpet yang
berwarna biru dan hijau membuat aku merasa berada di dalam
akuarium juga. Mom dan aku mendaftar terlebih dulu. Lalu kami duduk di sofa
plastik yang keras. Di kursi plastik di seberang kami, duduk seorang anak cewek
bersama ayahnya. Usianya sekitar tujuh atau delapan tahun. Setiap
beberapa saat ia cegukan dengan keras, sampai tubuhnya ikut
berguncang. "Sudah dua minggu ia cegukan." ayahnya menjelaskan sambil
geleng-geleng kepala. "Dad," sentak anak cewek itu, "baru sepuluh hari kok."
"Apakah dia makan telur?" tanya ibuku pada ayahnya.
"Kebanyakan makan telur bisa menimbulkan cegukan."
Si ayah menatap Mom. "Karena putih telurnya terlalu licin," lanjut Mom. "Jadi sulit
dicerna." Anak cewek itu cegukan lagi, diiringi guncangan tubuhnya.
Air dalam akuarium menggelembung-gelembung. Aku merasa
seolah berenang bersama ikan-ikan. Mengambang di air yang biru
pekat. Anak cewek itu lagi-lagi cegukan. Bunyinya membuat aku
kesal. Hik... hik... hik. Aku ingin pulang. Aku menoleh pada ibuku,
yang sedang membolak-balik majalah. "Bisa kita pulang sekarang?"
aku memohon. "Aku tidak kenapa-napa kok."
Ia menggeleng. "Dr. Bailey ingin memeriksamu," jawabnya,
tanpa menatapku. "Kena pukul di kepala adalah masalah serius. Kau
kan cuma punya satu kepala."
Anak cewek itu cegukan lagi. Hik... hik... hik.
"Tahan napasmu," perintah ayahnya.
"Aku sudah menahannya selama sepuluh hari," gerutu anak itu.
Baru setelah beberapa ratus cegukan lagi, suster menyuruh aku
dan Mom masuk ke ruang kantor
Dr. Bailey. Dinding kantornya juga berwarna biru dan hijau.
Dr. Bailey bertubuh gemuk dan sikapnya ceria. Wajahnya bulat,
kepalanya botak mengilap, dan ia memakai dasi kupu-kupu di balik
jas lab-nya yang hijau. Dasi itu timbul-tenggelam seiring jakunnya
yang turun-naik ketika ia bicara.
Ia keluar dari balik mejanya untuk bersalaman denganku. Lalu
dengan ibu jarinya ia mengangkat kelopak mataku sehingga ia dapat
memeriksa mataku. "Hmmm... kelihatannya oke," ia menggumam.
Kemudian ia menyentuh benjolan di kepalaku. "Terasa sakit,
Marco?" "Sedikit," aku mengaku.
"Luka itu berangsur-angsur akan sembuh," kata Dr. Bailey pada
Mom. "Nah, sekarang, apa masalahmu, Marco?"
Aku ragu-ragu. Haruskah aku bercerita tentang Keith" Kalau
ya, apakah ia juga akan menganggap aku sinting" Apakah ia akan
mengembalikan aku ke rumah sakit"
Haruskah kuceritakan padanya bahwa aku tak ingat diriku
pernah masuk rumah sakit"
Dr. Bailey memandangku dengan sabar, menunggu aku bicara.
Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semuanya.
Lagi pula ia kan dokter, ia pasti akan memahami yang kualami.
Jadi aku memaparkan tentang ingatanku yang hilang. Juga
tentang anak cowok yang katanya tinggal di ruang bawah tanah rumah
kami. Anak yang kemarin kukurung di dalam kamarku, tapi kemudian
hilang tanpa bekas. Dan yang ada di kamarku malahan Tyler.
Pokoknya kuceritakan semuanya.
Dr. Bailey duduk di balik mejanya dan terus menatapku. Dasi
kupu-kupunya berkedut-kedut di atas jakunnya. Tapi ia tetap membisu
sampai aku selesai bercerita.
Lalu ia menjulurkan tubuh dan mengembuskan napas lega.
"Kedengarannya tidak parah," ujarnya.
"Oh, syukurlah!" seru Mom.
Dr. Bailey menggaruk-garuk kepalanya yang botak. "Tapi,
apakah kalian tahu apa yang akan kulakukan untuk memastikan kau
baik-baik saja?" ia bertanya.
"Apa?" tanya Mom dan aku berbarengan.
"Aku akan mengeluarkan otakmu dan memeriksanya dengan
mikroskop." 13 "HAH?" Aku ternganga. Nyaris aku jatuh dari kursi.
"Operasinya tidak sulit," ujar Dr. Bailey sambil melontarkan
senyum menenangkan. "Tapi... tapi...," aku terbata-bata.
"Begitu tengkoraknya dibuka, otak bisa dikeluarkan dengan
mudah," dokter itu menjelaskan.
"Aku... aku tidak yakin," protesku.
Ia mengangkat bahu. Dasi kupu-kupunya kembali turun-naik di
tenggorokannya. "Kalau tidak dikeluarkan, mana bisa aku memeriksa
otak itu." Jantungku berdebar keras. Tanganku jadi dingin. Kuamati
wajah bulat Dr. Bailey. "Anda cuma bercanda, kan?" tanyaku cemas.
"Ini cuma lelucon konyol, kan?"
Mom menggamitku. "Dengarkan apa kata dokter," tegasnya.
"Dokter tahu apa masalahnya. Kalau dia bilang otakmu harus
dikeluarkan, ya dikeluarkan."
Dr. Bailey menjulurkan tubuh ke arahku. Wajahnya begitu
dekat, sehingga aku bisa melihat bintik-bintik keringat di keningnya.
"Tidak sakit kok," ujarnya.
Aku menatap ibuku. "Mom tidak akan mengizinkan, bukan?"
tanyaku. Ia menepuk-nepuk tanganku. "Apa pun kata dokter, itu yang
terbaik. Dr. Bailey itu dokter yang hebat, Marco. Dia sangat
berpengalaman." Dokter itu mengangguk. "Aku sudah mengeluarkan banyak
otak," ia memberitahu. "Bukan menyombong lho, tapi..."
"Bolehkah aku berunding dulu dengan ibuku?" aku bertanya,
berusaha mengulur waktu. "Bolehkah kami kembali besok" Aku
merasa sehat-sehat saja. Sungguh. Bahkan aku merasa sangat fit!"
Dr. Bailey menggaruk kepalanya lagi. "Wah, ide bagus,"
ucapnya pada ibuku. "Bagaimana kalau kalian meneleponku besok"
Kita bisa menentukan tanggal operasi."
Langsung saja aku bangkit dan meninggalkan ruangan. Aku
tidak menunggu ibuku. Aku juga tidak pamit pada Dr. Bailey. Aku
langsung ambil langkah seribu.
Mom mengikutiku menuju ke ruang tunggu. "Marco, kau betulbetul tidak sopan!" Ia marah-marah.
"Aku ingin otakku tetap di tempatnya," sahutku marah sambil
terus melangkah. Melewati ruang tunggu, aku berpamitan pada si
cewek cegukan. "Hik... hik... hik," sahutnya. Kurasa penyakitnya tambah parah.
"Dokter tahu apa yang terbaik," kata Mom. Ia bergegas
menyeberangi tempat parkir, berusaha mengejarku.
Aku naik ke mobil dan duduk sambil melipat tangan di dada.
"Aku sehat-sehat saja, Mom," kataku geram dengan gigi terkatup.
"Otakku sangat normal. Aku tak pernah melihat anak bernama Keith
itu lagi. Dia sudah lenyap, untuk selamanya. Pokoknya aku tak pernah
melihat atau mendengarnya lagi."
Tapi tentu saja aku salah besar.
14 KATA Mom aku tak perlu khawatir kehilangan otakku. Kami
akan pikir-pikir dulu selama beberapa hari, setelah itu baru mengambil
keputusan. Ucapannya membuat perasaanku lebih baik.
Malam itu aku membuat PR di komputer. Miss Mosely
memberi kami PR mengarang. Kami harus mengarang cerita dari
sudut pandang orang lain, bukan dari sudut pandang si pengarang
sendiri. Kuputuskan untuk mengarang dari sudut pandang Tyler. Asyik
lho, mencoba masuk ke dalam pikiran seekor anjing.
Anjing punya IQ sepuluh. Rendah banget, ya. Aku
mengetahuinya dari acara ilmu pengetahuan di TV. IQ sepuluh tentu
saja tidak bisa disebut pintar. Tak banyak yang bisa dipelajari. Itu
sebabnya tampang Tyler selalu kelihatan bingung dan terkaget-kaget.
Saking bingungnya, ia bisa menyalak-nyalak di depan kantong
sampah sampai sepuluh menit.
Aku sibuk mengetik. Aku gembira. Biasanya aku tidak suka
mengarang, tapi tugas ini asyik punya.
Tiba-tiba telepon berdering. Aku mengerang, tapi terus
mengetik. Aku menunggu Mom mengangkat telepon itu di lantai
Goosebumps - Teror Di Ruang Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah. Tapi telepon itu terus berdering.
Akhirnya aku berdiri dan menghampiri pesawat telepon di meja
dekat tempat tidur. Mendadak bulu kudukku meremang.
Ada apa ini" Apakah Keith yang menelepon"
Aku ingat saat ia pertama kali meneleponku. Pada hari kepalaku
kena pukul. Kupegang pesawat telepon, tapi aku tidak mengangkatnya. Aku
masih bingung mesti berbuat apa. Aku tak mau bicara lagi dengannya.
Aku ingin ia lenyap untuk selamanya.
Pada deringan keenam, kuangkat pesawat penerimanya.
"Halo?" "Hai, Marco. Ini aku."
Bulu kudukku kembali meremang. Tapi kemudian aku
mengenali suara itu. "Jeremy?"
"Yeah. Hai, apa kabar?"
"Ini Jeremy?" tanyaku lagi, kurang yakin.
"Yeah. Kau baik-baik saja, Marco" Aku cuma ingin tahu
kabarmu." "Oh, keadaanku oke," jawabku. Aku duduk di tepi tempat tidur.
"Hatiku lagi senang nih. Aku sedang membuat PR mengarang."
"Ya, aku juga," sahut Jeremy. "Dari sudut pandang siapa?"
"Anjingku." Ia tertawa. "Kalau aku, dari sudut pandang kucingku."
"Wah, jangan-jangan semua anak memilih binatang,"
komentarku. "Pasti kisahnya lucu-lucu."
Kami mengobrol selama beberapa lama. Ngobrol dengan
Jeremy membuat hatiku riang. Aku mulai merasa normal lagi. Usai
mengobrol, aku kembali ke komputerku di meja.
Aku sudah hendak duduk, tapi tidak jadi begitu aku menatap
layar monitor. Karanganku... tulisanku... semuanya lenyap.
Sebagai gantinya muncul seraut wajah di layar. Wajah Keith!
"Tidak mungkin...!" aku menjerit.
Dan mendadak sepasang lengan yang kuat mencekik leherku
dari belakang. 15 "UHHH." Aku berusaha menarik napas.
Cekikan di leherku semakin kuat.
Aku meronta, dan dengan cepat berpaling.
Dan aku berhadapan dengan Gwynnie.
"Hei, apa-apaan sih?" aku berteriak marah.
Ia nyengir lebar. "Kau ketakutan, ya?"
"Enak saja!" jawabku dengan napas masih terengah. "Aku
sudah biasa dicekik orang, tahu!"
Gwynnie tertawa. "Aku cuma mau membuatmu kaget. Yah,
kalau-kalau kau belum tahu kalau aku cewek perkasa."
"Ah, siapa sih yang belum tahu," gumamku kesal sambil
menggosok-gosok leherku. "Mau apa kau kemari, Gwyn?"
Ia menjatuhkan tubuhnya yang sebesar gajah ke kursi. "Aku
datang untuk minta maaf."
"Ah, masa?" Aku tercengang.
"Betul kok," ia menegaskan. Ia merapikan rambutnya yang
hitam tebal. "Aku cuma bercanda waktu bilang kau harus kupukul lagi
supaya ingatanmu kembali. Aku memang keterlaluan. Kok bisa ya aku
berkata begitu" Sebab itu sekarang aku mau minta maaf."
"Minta maaf sih gampang. Tapi kau mengejarku sepulang
sekolah...," protesku. "Kau mengejarku sambil mengayun-ayunkan
tongkat pemukul dan..."
"Hah" Kau salah!" teriaknya sambil melompat dari kursi. "Aku
mengejarmu justru untuk minta maaf."
"Tapi untuk apa kau membawa-bawa pemukul segala?"
"Aku cuma bersiap-siap. Karena berikutnya giliran aku
memukul bola," ia menjelaskan. "Kau pikir aku benar-benar akan
memukulmu lagi?" "Yah... entahlah." Aku tak ingin berterus terang padanya. Bisabisa nanti ia akan memberitahu seisi sekolah bahwa aku takut
padanya. Lalu semua anak akan menertawakan aku.
Gwynnie menatapku dengan matanya yang hijau. "Kau tahu,
Marco, aku merasa bersalah," katanya lembut. "Aku tak bisa
melupakan perbuatanku. Kejadian itu terbayang-bayang terus dalam
pikiranku. Aku terus-menerus membayangkan kau jatuh dan menjeritjerit begitu terkena pukulanku."
Ia mendesah. "Aku jadi ketakutan. Kau terkapar di rumput.
Tidak bergerak. Kusangka kau... kau..." Ia tak melanjutkan ucapannya.
"Aku baik-baik saja," kataku. "Sungguh."
"Selama ini aku tidak sempat minta maaf," lanjut Gwynnie.
"Sebab itulah aku datang kemari. Betul, kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. Lalu aku teringat pada Keith.
"Tapi aku punya masalah besar," aku memberitahu. "Ada
seorang anak cowok yang terus-menerus membuntutiku. Terusmenerus meneleponku. Dan dia juga sering muncul di kamarku."
Mata Gwynnie yang hijau melebar. "Anak cowok" Di
kamarmu?" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Aku mengangguk lagi. "Kau mau lihat" Wajahnya ada di layar
monitor komputerku!" Aku menunjuk. "Aku sedang membuat PR
mengarang. Lalu Jeremy menelepon. Usai menelepon, ketika aku
kembali ke komputerku, karanganku lenyap. Sebagai gantinya, wajah
Keith-lah yang muncul di layar. Coba kau lihat!"
Gwynnie menatap layar monitor. Ketika ia berpaling padaku,
ekspresi wajahnya tampak bingung.
"Marco," katanya, "komputermu tidak dinyalakan."
16 "MANA mungkin!" seruku.
Aku berpaling ke layar monitor. Hitam. Gelap. Tak ada gambar
wajah ataupun tulisan di sana.
Gwynnie menyeberangi kamar, lalu bersandar di birai jendela.
Ia melipat kedua tangan di dada. "Kau cuma bercanda, kan?" tanyanya
ketus. Aku masih menatap layar. Apakah tadi aku cuma berkhayal"
Tapi aku memang betul-betul melihat wajah itu tadi!
Aku tidak sinting! kataku pada diri sendiri.
"Aku serius!" seruku pada Gwynnie, suaraku bergetar.
"Namanya Keith. Dia mau menipuku. Dia mau menakut-nakuti aku."
Gwynnie memandangku dengan curiga. "Marco, kapan kau
pertama kali melihat Keith" Setelah kepalamu kena pukul, ya?"
"Masa bodoh! Tadi dia betul-betul ada di sini, Gwynnie. Aku
melihatnya. Dia duduk di sini. Di tempat tidurku. Katanya dia tinggal
di ruang bawah tanah rumahku."
Gwynnie geleng-geleng kepala. Rambut hitamnya jatuh
menutupi wajahnya lagi. "Tenang, Marco. Coba kau pikir-pikir lagi
deh." "Aku bahkan hafal tampangnya," kataku keras kepala.
"Rambutnya hitam. Sama sepertimu. Dan ada lingkaran hitam di
sekitar matanya. Wajahnya serius."
Gwynnie berdecak-decak. "Tapi, coba kau pikir, mau apa dia
datang kemari" Mau apa dia tinggal di ruang bawah tanahmu?"
"Dia bilang aku harus merawatnya. Selama hidupku."
Gwynnie terdiam. Matanya terus memperhatikanku.
Dan aku tahu apa yang ada dalam benaknya.
Kasihan Marco. Dia jadi gila.
Mendadak aku mendapat ide. "Keith tinggal di ruang bawah
tanah. Maukah kau ikut denganku ke sana?"
Ia menggigit bibir. Gwynnie lebih berani dibanding aku. Ia juga lebih besar, lebih
kuat, dan lebih kejam. Aku merasa lebih aman pergi ke ruang bawah tanah bersama
Gwynnie. "Ah, semua ini memang konyol. Sebaiknya aku pulang saja.
Aku bahkan belum membuat PR mengarang." Ia melangkah ke pintu.
"Hei, tunggu!" Aku cepat-cepat menyusulnya. "Gwynnie, aku
tidak gila. Ayo, ikut aku ke ruang bawah tanah. Aku akan
membuktikannya padamu."
Ia berhenti di dekat pintu. "Bagaimana ya..."
"Ayo, dong!" Aku memohon padanya. "Dia tinggal di bawah.
Kita bisa bertemu dengannya." Lalu aku menambahkan, "Kau tidak
takut, kan?" "Tentu saja tidak!" bentak Gwynnie. Ia mengerang sambil
mengentakkan tangan. "Oke-oke. Ayo kita ke bawah."
Aku tahu ia pasti ikut. "Ayo, cepat," desak Gwynnie. "Tunjukkan padaku teman
kecilmu itu. Setelah itu aku mau pulang."
Aku membuka pintu menuju ke ruang bawah tanah.
Kunyalakan lampu, lalu aku mengintip ke bawah. Tak tampak apa
pun. Bulu kudukku merinding. "Kau turun duluan deh," aku menyuruh Gwynnie.
17 SEPATU kets-ku berdebam-debam di lantai kayu. Udara
semakin dingin. Mom sering kali mengeluh karena kami tak punya
pemanas di ruang bawah tanah.
Gwynnie berjalan mendahului. Geraknya sigap. Aku
berpegangan pada pagar tangga, berusaha dekat-dekat dengannya.
Di bawah tangga, hampir saja aku menabrak Gwynnie. Kami
menatap ke sekeliling ruangan.
Raden Banyak Sumba 5 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Pendekar Guntur 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama