Hardy Boys Naga Berkepala Empat Bagian 2
Joe berpaling, menghadapi binatang itu. Sepatunya berputar berayun-ayun, siap
untuk melontarkan pukulan. Tetapi sudah tak perlu lagi. Anjing itu merayap
bangun dan secepat kilat terjun ke air kembali.
Pada saat itu regu penolong muncul Dalam
sedetik pak Morton telah menguasai keadaan. Senapannya terangkat dan meledak
menghujankan peluru-peluru di atas kepala kawanan anjing. Anjing-anjing itu
berlarian, ekornya merasuk tegang di antara kaki belakang.
"Bukan main senangnya melihat kalian!" seru Joe.
"Dapat menyeberang kemari?" tanya Frank. "Atau perlu bantuan?"
Joe mengamati jarak ke tepian.
"Jangan bercanda, tentu saja aku bisa."
Sepatunya kembali dikalungkan di leher, lalu terjun ke sungai. Frank memandangi
adiknya dengan rasa khawatir. Jelas terlihat dari ayunan tangan adiknya yang
lambat, bahwa Joe telah kehabisan tenaga, terkuras dalam usaha menyelamatkan
diri sebelumnya. Namun, Joe tak perlu berenang sampai ke tepian. Kakinya segera
menyentuh dasar sungai, dan dapat berjalan kaki sisa jarak yang enam meter.
Ketika ia tiba di pinggir, teman-temannya menepuk-nepuk punggungnya, dan
tangannya dijabat hangat-hangat.
"Lebih baik segera ke rumah," kata pak Morton. "Ganti pakaian dulu sebelum
engkau terkena radang paru-paru."
Pak Morton melihat ke sekeliling.
"Tahukah kalian, kurasa ada sesuatu yang
aneh di sini! Seperti lain daripada biasanya, sebabnya apa aku tak tahu."
Ia mengerutkan dahinya, kemudian berseru. "Aku tahu sekarang! Dulu ada sebuah
gudang di sini. Ayahku yang membangunnya, untuk menyimpan kayu bakar, kapak dan
gergajinya. Aku sendiri tak pernah memakainya. Tetapi musim dingin yang lalu aku
masih melihatnya. Sekarang sudah tak ada lagi!"
"Mari kita keluar," usul Tonio. "Anjing-anjing itu dapat kembali lagi."
"Aku sangsi. Mereka telah ketakutan setengah mati. Mereka mungkin berani
menyerang satu orang atau binatang yang tak berdaya, tetapi tak akan berani
menyerang sekelompok orang." Sambil berkata-kata, pak Morton berjalan
berkeliling, matanya tertuju ke tanah.
"Tumpukan debu apa ini?"
Ia membungkuk dan meraup segenggam debu.
"Di sinilah tempat gudang itu berdiri. Kalian pernah melihat yang seperti ini?"
Semuanya, kecuali Tonio, mengerumuni petani itu, mengamati debu di tangannya.
"Tampaknya jutaan rayap telah melakukan pesta di sini!" kata pak Morton sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kurasa teman kalian menggigil kedinginan," kata Tonio sambil menunjuk Joe.
"Betul," Pak Morton melirik ke Joe yang memang sedang menggigil.
"Misteri ini dapat kita bicarakan kelak," katanya. Ia membuka jaketnya yang
tebal, lalu dikenakan pada pundak Joe. "Ayo, pulang.
Tak lama kemudian mereka tiba di pertanian. Bu Morton berdiri di pintu.
"Aku menjadi khawatir. Aku pulang dari berbelanja, dan tak seorang pun ada di
rumah. Meninggalkan surat saja tidak," katanya.
"Tidak sempat." Pak Morton lalu menceritakan peristiwa yang telah terjadi.
"Anjing-anjing itu!" seru bu Morton.
"Mudah-mudahan Dewan Kota mau mendengarkan engkau kali ini, dan mau menangkap
anjing-anjing itu. Chet, bawalah Joe ke kamarmu."
Sementara Chet dan Joe pergi ke kamar, Iola dan bu Morton sibuk di dapur. Pak
Morton, Frank dan kedua orang asing itu duduk di kamar tamu. Frank dan pak
Morton berusaha melancarkan percakapan, tetapi sikap Tonio sangat mengganggu
pemandangan. Ia duduk meringkuk di kursi, kedua tangannya di dalam saku dan
menatap ke langit-langit. Gadis itu berulang-ulang melemparkan pandangan kepadanya, meminta agar mau
memperbaiki tingkah lakunya. Tetapi Tonio tak menghiraukannya.
Ketika Joe turun lagi, suasana segera berubah melihat pemuda itu dalam pakaian
temannya. Frank tertawa-tawa. "Engkau seperti pelawak sirkus!"
Joe memandangi diri sendiri pada sebuah cermin, melihat celana yang kedodoran
dan kemeja wol yang kebesaran. Ia menyeringai malu-malu.
"Kukira memang begitu."
"Itu pakaian bagus!" Chet memprotes.
"Untuk engkau bagus," ayahnya menjawab sambil tersenyum.
"Bagaimanapun kering dan hangat," Chet membela diri.
Bu Morton dan Iola melangkah masuk, membawa baki-baki penuh dengan roti isi.
Semuanya mengambil sepotong, bahkan Tonio sempat bergumam ketika mengucapkan
terima kasih. "Aku ingin mengucapkan terima kasih pada kalian, melepaskan aku dari anjinganjing yang mengerikan itu," kata gadis asing tersebut kepada Joe dan Chet.
"Kalian mempertaruhkan diri sendiri untuk menyelamatkan aku."
"Ah, biasa saja," jawab Chet seenaknya. Kemudian, sambil melirik ke Joe, ia
melanjutkan dengan malu-malu: "Tentu saja Joe yang berbuat paling banyak."
"Apakah kalian berada di sekitar sini, nak?" tanya bu Morton.
Senyuman orang asing itu terbesit di matanya yang hitam.
"Bukan. Baik Tonio maupun aku datang dari ribuan kilo jauhnya. Izinkanlah aku
menjelaskan. Namaku Maquala Krazak, dan temanku ini Tonio Mossesky. Pada waktu
ini, ayah, paman dan kami adalah tetangga anda."
"Kalian tinggal di rumah besar Abby Sayer?" tanya bu Morton, matanya terbelalak.
"Untuk sementara waktu," kata Maquala dengan suara bernada sedih. "Rupa-rupanya
kami harus selalu berpindah-pindah. Tetapi aku sungguh akan menyesal
meninggalkan Bayport. Tempatnya sungguh menyenangkan. Rupa-rupanya kami melangsungkan kehidupan yang
bagi orang lain akan menarik; tetapi, tetapi sungguh tak menyenangkan selalu
harus melarikan diri menghindari agen-agen musuh yang selalu mengejar-ngejar
kami. Bahkan di negara ini, dan----"
"Maquala, mereka tak akan menghiraukan mendengar semua itu," sela Tonio.
"Bagaimana pun hari sudah malam, dan ayahmu----"
"Sebaliknya. Kami sangat tertarik," kata Bu Morton.
"Harap teruskan saja cerita kalian."
Tonio kembali acuh tak acuh ketika keluarga Morton dan kakak beradik Hardy itu
siap sedia untuk mendengarkan ceritera mereka.
8. Perangkap Telepon "Kami adalah kaum Hucul," Maquala memulai.
"Kaum apa?" tanya Iola. Maquala tertawa.
"Aku tahu kalian tak mengerti. Tidak banyak orang di luar Eropa Timur yang
pernah mendengar tentang kami. Kaum Hucul adalah sekelompok orang yang tinggal
di pegunungan Karpatia. Ada di antara kami hidup di Polandia, beberapa lagi di
Cekoslowakia, atau di Rumania. Tetapi kami adalah orang-orang yang memiliki
kebudayaan tersendiri."
"Ayahku, Dubek Krazak, adalah seorang
ilmuwan besar. Itu bukan hanya pendapatku sendiri, tetapi banyak ilmuwan di
seluruh dunia mengatakan demikian. Bukan demikian, Tonio?"
Temannya hanya mengangguk sebentar, tetapi terus menatap langit-langit.
"Semua negara-negara di belakang Tirai Besi ingin ayah bekerja untuk mereka.
Percayalah, mereka telah mencobanya beberapa kali. Mereka mengemis-ngemis
kepadanya, mereka menjanjikan kehidupan yang baik, dan mereka mengancam dia.
Tetapi ia selalu menolak untuk melayani mereka. Ia membenci para penindas dan
sangat mencintai demokrasi yang belum pernah dirasakannya hingga ia sampai di
sini." "Sudah berapa lama itu?" tanya Iola.
"Baru beberapa bulan yang lalu," jawab Maquala. "Ketika ayah masih muda, ia
berjuang melawan Nazi. Setelah perang ia melawan kaum penindas yang lain. Ia
menjadi pemimpin kaum Partisan. Tetapi alangkah mahalnya yang harus dibayar!
Alangkah mahalnya apa yang harus kita bayar!"
"Baik aku maupun Tonio belum pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Seringkah kami terjaga di tengah malam, untuk melarikan diri sebelum polisi
rahasia datang menggerebeg."
"Kadang-kadang kami kurang cepat, dan ayah beserta paman Alessandro tertangkap
dan di-penjara. Ibuku dan kedua orangtua Tonio meninggal di penjara. Tetapi ayah
dan paman selalu dapat meloloskan diri."
Gadis itu menarik napas - dalam-dalam, kemudian melanjutkan. Beberapa bulan yang
lalu menjadi jelas, bahwa tak ada suatu tempat pun di Eropa Timur yang aman bagi
kami. Ayah menjadi terlalu terkenal. Lagi pula ia telah menjadi pincang akibat
siksaan yang diterimanya. Kesehatannya memburuk. Jadi, diputuskanlah bahwa kami
datang ke Amerika Serikat. Kami menyewa rumah besar keluarga Sayer, tetapi
mungkin kami harus segera pindah lagi. Ayah telah diberitahu, bahwa agen-agen
rahasia telah membayanginya sampai kemari. Sementara itu, ayah sedang
mengerjakan suatu penemuan yang diharapkan..."
Tonio berdiri dengan mendadak.
"Maquala, aku mendesak agar kita segera pergi. Ayahmu akan sangat khawatir."
Ia menyiapkan mantel Maquala, dan gadis itu berdiri dengan segan-segan.
"Kukira engkau benar," kata Maquala.
"Sekali lagi, aku akan mengucapkan terima-kasihku kepadamu, Joe, atas apa yang
telah kaulakukan. Engkau menyelamatkan jiwaku. Engkau sungguh-sungguh berani."
Mata Tonio yang menunjukkan sikap permusuhan menyala mendengar pujian atas Joe.
Joe melihat perasaan orang Hucul itu lalu berkata: "Kalau bukan karena Tonio,
justru aku yang mungkin akan mati."
"Ya," sela Frank. "Aku tak mengerti bagaimana engkau dapat melacak jejak di
kegelapan, Tonio. Engkau memang seorang penjelajah hutan yang ulung."
Pemuda itu tak terlunakkan oleh kata-kata sanjungan itu. Ia menggumam sesuatu
yang tak dapat didengar, lalu mendorong Maquala ke arah pintu.
"Silakan datang lagi," bu Morton mengundang. "Bagaimanapun kita adalah
tetangga." "Kukira itu tidak mungkin," jawab Tonio kaku. "Kita sangat sibuk."
Tetapi Maquala tersenyum.
"Terima kasih, aku akan berusaha. Kadang-kadang memang terasa sangat sepi."
"Nah, 'kukira kami pun juga harus berangkat," kata Frank. "Kami menunggu telepon
dari ayah." "Apa yang harus kupakai untuk pulang?" tanya Joe memelas.
"Maksudku, pakaianku masih basah dan
"Ah, engkau dapat memakai punyaku dan nanti dapat dikembalikan," kata Chet
bermurah hati. Ia memandangi Joe dengan teliti, dari celana
yang kedodoran sampai ke bajunya yang bagaikan sebuah tenda.
"Apa pun yang dikatakan orang, engkau kelihatan hebat."
"Ah! Kepalamu besar," balas Joe bergurau. Ia menepuk-nepuk lengan temannya. "Aku
belum pernah melihat engkau lari begitu cepat seperti ketika di hutan itu.
Seharusnya engkau ikut perlombaan lari jarak pendek pada musim semi yang akan
datang." "Aku memang punya bakat-bakat yang belum diketahui orang!" Chet mengiakan,
membanggakan dirinya sedikit.
Ketika Frank dan Joe melangkah masuk ke pintu rumah keluarga mereka, mereka
mendapatkan bibi Gertrude membawa sebakul besar surat-surat.
"Ini telegram-telegram," katanya setengah menggerutu.
"Dari polisi di seluruh negara. Telegram itu berdatangan setiap lima menit
sepanjang siang hari ini. Sesuatu mengenai orang yang bernama Bantler." Kemudian
ia memandangi Joe dengan terbelalak. "Dari mana kaudapatkan pakaian itu" Ini
belum waktunya merayakan karnaval Halloween. Lagi pula kukira engkau sudah tak
pantas lagi ikut karnaval demikian."
"Lain kali kuceritakan," kata Joe, lalu bergegas ke kamarnya.
Frank membawa telegram-telegram itu ke kamar kerja. Ibunya mendongak sedang
memegang gagang telepon. "Ethel Radley baru saja menelepon. Sam sudah membaik," katanya dengan gembira.
"Ia dapat beristirahat dengan lebih enak, dan rupa-rupanya sudah mulai sadar."
"Apakah ia sudah bangun benar-benar?" tanya Frank sambil meletakkan telegramtelegram itu ke meja ayahnya.
"Belum. Ia masih setengah sadar. Tetapi Dr. Kelly sangat berbesar hati dan
mengira ia akan segera bangun."
Bibi masuk, mengatakan suatu pengumuman.
"Badai yang kukatakan itu ternyata tak jadi menimpa North Carolina sama sekali,"
katanya. "Radio memberitakan, badai itu melewati negara bagian itu dan sekarang
menuju ke utara. Aku hanya mengharap, janganlah menimpa kita." Ia memandang ke
sekeliling dengan bangga.
"Kalian semua mengira bahwa sungguh tolol mengkhawatirkan badai tersebut, bukan"
Nah, ternyata naluriku memang benar!"
Ia menjadi demikian bangga, hingga kedua kakak beradik itu hampir yakin, bahwa
bibi tentu akan sangat kecewa bila badai itu tak jadi datang.
Tetapi mereka menyimpan pikiran itu dalam hati saja.
"Bagaimana kalian siang ini?" tanya ibu. "Ayahmu berangkat dengan lancar?"
"Lepas landasnya sungguh indah," kata Frank sambil melirik adiknya dengan penuh
arti. "Dan cuaca antara sini dengan Chicago diberitakan bagus sekali. Aku yakin ia
akan tiba tepat pada waktunya."
"Ya, memang," kata bibi Gertrude. "Ia telah menelepon dari Chicago ketika ibumu
sedang di rumah sakit. Ia mendapatkan perjalanan yang bagus."
Frank tidak menceritakan tentang montir palsu dan kebocoran pipa bahan bakar.
Tak ada gunanya membuat bibi dan ibunya khawatir, pikirnya. Joe mengangguk diamdiam mengiakan. "Tetapi engkau tidak hanya mengantarkan ayahmu berangkat," kata bibi sambil
memandangi Joe. "Engkau pulang dengan pakaian tak keruan demikian. Rambutmu juga
basah, seperti baru saja berenang."
"Tidak dengan sengaja," kata Joe, lalu dengan gencar menceritakan segala
kejadian pada hari itu. Ibu dan bibi mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ibu menggeleng-geleng ketika
selesai mendengarkan. "Aku tak ingin tinggal di rumah besar Sayer. Tentu tak akan menyenangkan. Sudah
bertahun-tahun tidak ditinggali. Emile Grabb telah berusaha keras untuk
merawatnya, aku yakin, tetapi ia sendiri tinggal di rumah kecil. Bagaimanapun,
bagaimana seseorang dapat mengurus sebuah rumah sebesar itu seorang diri?"
"Apa yang kuketahui tentang rumah ini hanyalah, bahwa rumah itu sudah tua,
menakutkan dan terletak di suatu ketinggian," kata Joe.
"Siapakah sebenarnya Abby Sayer itu?"
Sinar mata bibi Gertrude menjadi sedih.
"Riwayat nyonya itu menyedihkan, semacam suatu tragedi. Ia adalah anak tunggal
dari seorang kaya raya pengusaha pakaian. Ketika masih sangat muda, menyaksikan
suatu peristiwa yang sangat mengerikan. Pabrik ayahnya terbakar sampai habis.
Pabrik itu tak jauh dari rumahnya, dan ia melihat sendiri jenazah dari korbankorban yang digotong, dibawa pergi.
"Ya, ampuuun!" seru Joe.
"Ia tak dapat melupakannya," sambung bibi Gertrude.
"Yang lebih parah lagi, penduduk kota menyalahkan ayahnya tentang kebakaran itu.
Meskipun jelas terbukti, bahwa itu bukan kesalahannya. Hampir tak ada seorang
pun yang mau bercakap-cakap dengan keluarga itu. Ia mengalami masa kanak-kanak
yang sangat kesepian dan menyedihkan. Ia merasa selalu dikejar hantu arwah para
pekerja yang meninggal terbakar."
"Menyedihkan sekali," kata Frank penuh simpati.
Bibi Gertrude mengangguk.
"Setelah orangtuanya meninggal, ia pindah ke Bayport lalu membangun rumah besar
itu. Belum pernah aku masuk ke rumah itu, tetapi aku mendengar dari cerita orang,
bahwa rumah itu merupakan rumah yang paling aneh yang pernah dibangun orang."
"Memang sebuah rumah yang aneh," kata bu Hardy. "Temanku, Joan McLeod, yang
ayahnya adalah pengurus rumah tangga bagi Abby Sayer, mengatakan kepadaku
tentang kehidupan di sana."
"Seperti apa itu?" tanya Joe ingin tahu.
"Abby Sayer tak pernah berhenti menambah-nambah rumah itu. Ia selalu menyuruh
tukang-tukang kayu bekerja sepanjang waktu. Tahukah engkau, ia percaya bahwa
hantu-hantu para pekerja itu telah mengikuti dia sampai ke sana. Karena itu ia
harus membuat mereka senang, atau sebaliknya mereka akan membuat Abby celaka.
Pada waktu ia meninggal, rumah itu telah memiliki tiga ratus kamar!"
"Tiga ratus kamar!" Joe bersiul. "Sudah merupakan hotel saja!" Ibunya
mengangguk. "Nona Sayer membuat pola rumah itu sendiri. Dia sungguh telah memimpikan suatu
arsitektur yang sangat aneh. Seperti lorong-lorong yang buntu, pintu-pintu
berkolong dan undak-undakan yang begitu kecilnya, hingga kalau naik harus
merayap." "Sinting!" komentar Frank.
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti, kau sendiri akan dengar apa saja yang terjadi setiap malam! Abby telah
membangun sebuah menara dengan sebuah lonceng raksasa di atasnya. Lonceng itu
hanya berdentang sekali selama 24 jam, dan itu hanya pada waktu tengah malam.
Pada saat itu para pelayan harus menghidangkan makanan-makanan yang lezat-lezat
di ruang pesta, dengan piring-piring emas. Abby menyapa dan menghormati kedua
belas tamu hantu-hantu, dan duduk di kepala meja. Para pelayan lalu harus
meninggalkan tempat itu, menutup pintu ruangan."
"Dua belas tamu tak kelihatan dan dia sendiri menjadi tiga belas," kata Frank.
Bibi Gertrude tertawa. "Jumlah yang tepat untuk permainan setan. Tetapi harus jujur, katakan ini
tentang Abby Sayer: mungkin otaknya sedikit miring, tetapi
hatinya mulia bagaikan emas permata. Dialah yang menyediakan dana untuk
membangun Bayport Youth Centre. Lihatlah pula bagaimana ia berteman dengan Emile
Grabb. Emile adalah seorang yatim-piatu, tak berteman seperti halnya dia
sendiri. Tetapi ia mengasuh Emile di rumahnya, dijadikan sebagai sopir dan
pembantu umum. Emile sangat memuja tanah milik itu. Ia masih tetap memuja Abby
hingga sekarang, kukira, sebab ia tetap tinggal di sana sepeninggal majikannya.
Dia yang mengurus rumah yang menyeramkan itu."
"Sudah berapa lama Abby meninggal?" tanya Joe.
"Aku tak ingat lagi," kata bibi. "Tetapi kira-kira sepuluh tahun yang lalu atau
sekitar itu. Sejak itu tak seorang pun yang meninggali rumah itu. Katanya, para
pengacaranya tak tahu harus diapakan rumah itu. Nah, sekarang akhirnya mereka
menyewakannya." Pada saat itu telepon berdering.
"Biar aku yang ambil," kata Frank dan pergi untuk mengangkat gagang telepon.
"Aku ingin berbicara kepada Frank atau Joe," terdengar suara laki-laki yang
terdengar menyenangkan. "Inilah Frank."
"Ah, bagus. Aku Ted O'Neil, jururawat di
rumah sakit. Dr. Kelly meminta aku untuk menelepon kalian. Radley sedang bangun
dan ingin sekali berbicara dengan kalian. Dapatkah kalian segera datang?"
"Kami segera ke sana," jawab Frank.
"Bagus," kata O'Neil. "Eh, ia diberitahu bahwa kalian telah merekamnya. Ia ingin
mendengarnya. Dapatkah kaset itu kaubawa?"
"Tentu saja. Nah, apakah aku dapat berbicara dengan Sam sekarang juga?"
"Dr. Kelly menghendaki agar Sam jangan terlalu lelah dulu," kata jururawat lakilaki itu sedikit gugup. "Sebenarnya, kalian pun hanya dapat bertemu dia untuk
beberapa menit saja."
"Aku mengerti. Selamat sore."
Dengan gairah Frank menceritakan berita baik
itu. "Hebat!" seru Joe. Ia bangkit berdiri.
"Aku akan mengambil jaketku."
"Jangan!" kata bu Hardy tegas. "Engkau tidak dalam kondisi baik. Engkau lekas ke
tempat tidur. Beristirahatlah dengan baik malam ini. Kalau tidak, engkau akan
terpaksa ke rumah sakit, seperti Sam Radley!"
Joe tahu tak ada gunanya berdebat. Ia pun mengerti akan kebijaksanaan kata-kata
ibunya. "Oke, jawabnya. "Tetapi, Frank. Bangunkan
aku kalau engkau pulang. Beritahukan apa yang dikatakan Sam."
Frank pergi menelusuri Elm Street. Kegelisahan selama dua hari terakhir itu
telah terhapus sebagian. Sam telah membaik dan akan mampu menceritakan dengan
tepat apa yang terjadi di dekat pertanian Morton. Ayahnya akan mendapatkan
konfirmasi yang cukup tentang si Bantler, yang akan dapat menghentikan
kegiatannya sebelum sempat menghancurkan pipa minyak Alaska, misteri pemuda yang
menghalau mereka dari tanah milik Sayer pun telah terungkap. Frank tak begitu
memperhatikan sebuah mobil yang muncul di belakangnya. Ketika mobil itu mulai
menyusul, ia berpikir marah kepada pengemudinya yang dengan sembrono
mengemudikan mobil di jalan dua jalur.
Mobil itu memotong kendaraan Frank, memaksa ia berhenti di pinggir. Dua orang
bertopeng melompat keluar dan membuka pintu mobil Frank, sebelum ia sempat
menutup kaca jendela maupun mengunci pintunya.
Mereka segera menyerang. Meskipun Frank berusaha sekuat tenaga, mereka menekan
dia di belakang kemudi dan memukuhnya tanpa rasa kasihan.
"Kaset itu!" salah seorang mendesak. "Berikan kaset itu!"
9. Ceritera Sedih Yang seorang merogoh saku baju Frank dan mengeluarkan kaset itu.
"Sudah dapat!" serunya penuh kemenangan. "Ayo pergi!"
"Hajar dulu dia, sampai ia tak dapat melupakannya," temannya menggeram. "Kita
beri pelajaran dia, jangan suka mencampuri urusan ini."
Mereka memukul-mukul Frank lagi yang terpojok di belakang kemudi. Tiba-tiba saja
pukulan-pukulan itu berhenti.
"Tinggalkan dia!" terdengar suara yang cukup dikenal.
Frank mendongak dan melihat Ben Ebler
mendorong-dorong para penyerang itu dari mobil sportnya.
Tiba-tiba orang yang terpendek mencabut sepucuk pestol.
"Mundur!" ia memerintah kepada Ben Ebler. Tukang karpet itu mengangkat kedua
tangan nya, "Tikus-tikus busuk!" ia menukas.
"Seharusnya engkau kutembak," kata si pendek berpestol.
"Ayolah, kata yang seorang lagi. "Nanti polisi datang. Kita kan sudah dapat yang
kita cari." Orang berpestol itu sangsi sejenak lalu mundur ke mobilnya.
"Aku tak tahu siapa engkau," katanya kepada Ebler. "Tetapi kita masih akan
bertemu lagi!" "Lebih baik tidak," jawab penolong Frank.
Mobil penjahat menderu pergi, dan Ben Ebler membungkuk kepada Frank.
"Engkau tak apa-apa?"
Frank menggelengkan kepala.
"Kukira begitu. Tak ada tulang patah atau semacam itu. Mereka tak keras
pukulannya." Ebler membantu dia keluar dari mobil. Sambil menahan diri untuk tidak jatuh,
Frank berkata: "Engkau melihat nomor mobil mereka?"
Ebler menjentikkan jari-jarinya.
"Wah, tidak terpikir. Maaf, Frank."
"Sudahlah," kata Frank. "Memang tak ada alasanmu untuk mengingat. Aku sungguh
berterima kasih engkau datang."
"Memang untunglah itu," Ebler membenarkan. "Aku baru saja makan besar, dan
kupikir jalan-jalan dulu menurunkan nasi. Aku melihat mereka memotong mobilmu,
tetapi aku masih satu blok dan tak dapat datang lebih cepat lagi. Untuk apa
mereka menyerang engkau, menurutmu?"
"Aku tak tahu," kata Frank biasa saja. "Barangkali penodong biasa." Pak Hardy
telah mengajar anak-anaknya, jangan mengatakan rahasia apa pun kepada orang
lain, tak peduli teman baik atau penolong sekali pun.
"Dapatkah engkau berjalan sendiri?" tanya Ebler dengan khawatir.
"Aku tak ingin engkau mengemudi dalam keadaan gegar otak atau semacamnya."
"Tidak. Aku tak separah itu. Bagaimanapun aku akan kembali pulang saja. Aku
sungguh berterima kasih, Ben. Kuharap aku dapat berbuat yang sama pada saatnya."
Ben tertawa. "Kukira tidak. Aku tak mencari kesempatan untuk diserang gangster! Nah, selamat
malam, Frank." Frank masuk ke rumah dengan diam-diam.
Ibu dan bibi sedang menonton TV di kamar duduk, dan ia dapat mendengar mereka
tertawa-tawa. Ia menyelinap ke kamar kerja ayahnya, dan segera menggunakan
telepon yang ada di sana untuk menelepon rumah sakit.
"Adakah jururawat yang bernama Ted O'Neil?" ia bertanya kepada petugas.
"Tidak. Tetapi ada yang bernama Mary O'Neil."
"Terima kasih," kata Frank, lalu meletakkan gagang telepon. Kemudian ia naik ke
laboratorium di atas garasi. Ia mengeluarkan kaset dari laci. Kakak beradik itu
selalu membuat kopi dari kaset asli, kalau kalau hilang atau dicuri. Mencuri
kaset dari saku Frank tak terlalu menguntungkan bagi para penjahat itu, kalau
maksudnya untuk menghindarkan Frank dan adiknya untuk mendengarnya.
"Mungkin ada yang terlepas dari perhatianku, ketika dicoba sore tadi," pikirnya.
Ia pasang kasetnya, dan memutar volumenya sampai habis, hingga terdengar suara
yang keras sekali. Tetapi Frank tak khawatir akan mengganggu, sebab ruangan itu
memang kedap suara. Dalam setengah sadarnya Sam mengatakan sesuatu seperti sin berulang-ulang.
Sekarang, dengan suara yang keras, Frank dapat mengenali suatu suku kata di
depannya. "Me-sin, me-sin," teriak suara Sam. "Mesin!" kata Frank menirukan sambil
membunyikan jari-jarinya.
"Tetapi ... mesin apa yang dimaksudkannya?"
Ia mengeluarkan kaset itu, mengambil tape recorder portable, lalu masuk ke kamar
tidurnya. Joe sedang tidur nyenyak, harus diguncang-guncang beberapa kali agar
mau bangun. Joe melihat kakaknya dengan kabur. "Ada apa?"
Frank menceritakan tentang serangan tadi, lalu menambahkan: "Tetapi itu tak
penting sekarang. Dengar, apakah engkau mendengar Sam mengatakan 'mesin'?" Ia
lalu membunyikan kasetnya.
"Kedengarannya seperti itu," kata Joe. "Tetapi seperti tak ada artinya."
"Yah, sampai sekarang belum ada sesuatu yang berarti," Frank menyetujui.
Mereka saling berpandangan tak mengerti, dan akhirnya Joe berkata:
"Aku terlalu lelah untuk memikir. Aku mau tidur lagi."
Tetapi, tak ada waktu pula untuk memikirkan kaset itu pada pagi harinya. Suratsurat mengenai Bantler semakin menumpuk. Kakak beradik itu memilih-milih suratsurat atau telegram yang datang dari kantor polisi di berbagai kota Amerika
Serikat. Semuanya pernah berhubungan dengan Bantler dalam satu atau lain
masalah. Pada waktu makan siang, Frank dan Joe mengakui tidak banyak mendapatkan tambahan
informasi. Ciri-ciri yang disebutkan pun tak memberikan petunjuk-petunjuk. Entah
bagaimana, Bantler selalu dapat menampilkan diri setiap kali dengan wajah lain.
"Barangkali yang dapat mengenali dia hanya teman-temannya sendiri dan Sam
Radley," kata Frank.
Joe melirik ke catatan-catatannya.
"Yah, yang jelas kita tahu ia seorang genius tentang barang-barang mekanik. Ia
ahli menangani alat-alat listrik, elektronik, pipa ledeng dan sebagainya."
Telepon berdering. "Apa yang kauperoleh?" tanya pak Hardy dari Chicago.
Frank menceritakan hasil mereka yang sedikit sekali.
"Ya, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali," kata ayahnya. "Kami
mendapat kemajuan sedikit di sini. Kami dapat menangkap bekas temannya. Katanya
ia bertemu Bantler beberapa minggu yang lalu. Bantler sangat bergairah tentang
apa yang disebutnya "operasi besar, yang terbesar sepanjang hidupku," katanya.
"Apakah si teman itu mengatakan tentang sesuatu?" tanya Frank dengan ingin tahu
"Tidak. Tetapi Bantler menyatakan bahwa kalau harapannya terkabul, ia tak akan
melakukan penipuan lagi. Temannya itu ingin dilibatkan, tetapi Bantler berkata
bahwa ia telah punya cukup tenaga. Sesuatu yang berhasil diketahui teman itu
hanyalah, ada hubungannya dengan naga berkepala empat."
"Naga berkepala empat!" seru Frank. "Itulah yang disebut-sebut penjahat-penjahat
yang mendobrak rumah kita!"
"Ya, aneh, bukan?" kata pak Hardy. "Nah, aku harus kembali melakukan penyidikan.
Sejauh ini, kukira kami telah memeras segala apa yang diketahui dari orang ini.
Tetapi tak ada salahnya untuk diteruskan. Bagaimana si Sam?"
Frank menceritakan tentang keadaannya yang membaik.
"Itu sungguh membesarkan hati," kata ayah. "Aku segera akan menelepon lagi."
"Engkau mengatakan tentang orang-orang yang menyerangmu semalam," kata Joe,
ketika Frank meletakkan telepon.
"Ayah seperti sibuk sekali," Frank menjelaskan. "Akan kuceritakan kalau ayah
menelepon lagi. Aku sedang berpikir tentang kaset itu. Bagaimana bangsat-bangsat
itu dapat tahu bahwa kita
telah merekam Sam" Kita tak mengatakannya kepada siapa pun, dan kita hanya
mengatakannya di rumah."
"Kita tak dapat mengetahuinya," kata Joe. Mereka meninggalkan laboratorium, lalu
menemani bibi dan ibu duduk di kamar. "Tetapi mereka bisa tahu. Mungkin mereka
mempunyai kekuatan batin."
Frank tertawa. "Maksudmu, mereka mampu mengetahui apa yang kita pikirkan" Itu teori yang paling
tidak masuk akal! "Engkau punya pikiran yang lebih aneh?" tanya Joe tersinggung.
"Tidak. Frank mengaku. "Tetapi tentu ada penjelasan yang lebih rasional daripada
itu." Bibi Gertrude mempunyai peta dari daerah pantai timur Amerika. Ia membentangkan
peta itu di hadapannya, pada meja. Ia menunjuk: "Badai itu kira-kira ada di
sini." Radio memberitakan, akan menimpa di sini siang ini. Kalau tidak
membelok." Kali ini yang lain-lain menerimanya dengan sungguh-sungguh.
"Lebih baik kita siap-siap," kata Bu Hardy. Baiknya engkau telah membeli makanan
kaleng-an, Gertrude. Anak-anak, periksalah kebun, ya"
Usahakanlah agar jangan ada apa-apa yang dapat terbang terbawa angin."
"Akan kukerjakan," kata Joe-. "Itu ada telepon lagi. Biarlah aku yang menjawab."
"Sepertinya seluruh dunia sedang menelepon-nelepon saja selama dua hari ini,"
bibi Gertrude menggerutu.
Ketika Joe mendengarkan di telepon, dokter Kelly membentak-bentak suaranya.
"Bagaimana kalian bisa meminta neurolog dari New York City untuk memeriksa Sam"
Tanpa memberitahu aku?"
"Tidak, kami tak melakukan hal itu!" Joe memprotes. "Kami tidak tahu apa-apa
tentang hal itu!" Dokter itu tak mau mengerti.
"Barangkali ayahmu?"
"Tidak. Tidak mungkin. Ia baru saja menelepon dari Chicago, dan aku yakin tentu
ia akan memberitahu kami. Apa kata dokter yang ini, dokter?"
"Bagaimana aku bisa tahu" Ia datang ketika aku sedang tak berdinas."
"Aku tak mengerti," kata Joe. "Diapakan Sam olehnya?"
Suara dokter Kelly melunak.
"Engkau betul-betul tidak tahu, ya" Keterlaluan, Joe! Orang yang mengaku dokter itu membawa Sam pergi!"
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 10. Topan Badai "Apa pun yang terjadi dengan Sam di hutan ... apa saja yang diketahuinya ...
tentu sangat penting bagi seseorang," kata Joe, sementara ia dan kakaknya melaju
di Main Street menuju ke rumah sakit.
"Sungguh berani sekali mengaku sebagai dokter dan menculik Sam di siang bolong!"
"Apakah kira-kira Slicer dan teman-temannya?" pikir Frank dengan suara keras.
"Aku yakin, tentu dia," Joe mengiakan. Ia memukul tangannya dengan tinjunya.
"Aku ingin benar-benar ketemu dengan Slicer lagi! Menculik orang sakit seperti
itu sudah keterlaluan."
Dokter Kelly sudah menunggu mereka di lobby rumah sakit.
"Kecurigaan kami memang tepat," katanya. "Aku sudah menelepon rumah sakit New
York City di mana Morrison bekerja. Mereka belum pernah mendengar nama itu.
Tetapi salah sebuah mobil ambulansnya telah dicuri orang kemarin. Sam dibawa
dengan ambulans itu dari rumah sakit, menurut pegawai yang membantu dokter palsu
itu dengan usungan! Berani-beraninya!" wajah dokter yang biasanya ramah itu
bagaikan topan-badai. "Lalu bagaimana dengan Ethel," tanya Joe. "Kukira ia selalu ada di sini."
"Memang," kata dokter itu nampak pahit. "Tetapi ia menerima telepon, tepat
sebelum Morrison ini datang. Katanya dari aku, meminta dia untuk menemui aku di
cafetaria untuk makan siang, sambil lalu membicarakan perihal Sam Radley.
Katanya, suaranya juga mirip suaraku."
"Di mana Ethel sekarang?" tanya Frank.
"Ia menderita shock, nyonya yang malang itu. Engkau dapat mengerti. Mula-mula
suaminya ditemukan dalam keadaan tak sadar. Ketika mulai membaik, lalu diculik.
Ia kuberi obat penenang dan kusuruh tidur."
"Apakah Morrison sendiri saja?"
"Tidak. Pegawai itu mengatakan, ada seorang sopir berbaju putih. Orangnya kecil
dan wajahnya penuh bekas luka."
"Slicer!" seru kakak beradik itu bersama-sama.
"Kalian kenal?" tanya dokter Kelly heran.
"Kami sudah pernah bertemu," kata Frank.
"Sudah beritahu polisi?"
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum," kata dokter itu. "Begitu sibuk dengan apa yang terjadi dan merawat
nyonya Radley, mana mungkin terpikir untuk melapor."
"Biarlah," kata Frank. "Kami yang akan lapor."
Pemuda-pemuda itu menggunakan telepon yang ada di lobby untuk menelepon pak
Collig. "Kalau dokter Kelly mau menghubungi aku terlebih dulu," kata polisi itu. "Kami
dapat mencegah ambulans itu ke luar kota. Kendaraan itu ditemukan lima menit
yang lalu di jalan Route 13. Tak ada seorang pun tentu saja. Mereka tentu telah
memindahkan Sam ke mobil lain. Kami akan segera melakukan penyebaran berita!"
"Apa lagi yang harus kita kerjakan sekarang?" tanya Joe ketika mereka ke luar
dari rumah sakit. Frank hanya mengangkat bahu.
"Apa yang dapat kita lakukan" Kita tak punya petunjuk-petunjuk pada waktu ini.
Kita hanya harus menunggu, apa yang diperoleh oleh polisi. Ingat akan kata-kata
ayah: menunggu adalah berat, tetapi kadang-kadang itulah yang harus dilakukan."
"Aku benci untuk melaporkan kepadanya bahwa Sam diculik. Ia sedang menghadapi
demikian banyak masalah!" kata Joe. "Dan sekarang datang masalah baru lagi, ...
badai bibi Gertrude!"
Awan gelap-bergulung-gulung datang dari selatan. Angin yang tajam meniup di
tempat parkir, dan tetesan-tetesan besar air hujan mulai berjatuhan.
"Aku tahu sekarang, apa yang harus kita lakukan," kata Joe. "Kita harus periksa
Sleuth!" "Pikiran yang bagus," kata Frank sambil menghidupkan mesin mobil.
Sleuth adalah nama perahu motor mereka, yang mereka tambatkan di Bayport Marina.
Ketika mereka menuju ke dermaga, Joe menghidupkan radio mobilnya, dan mereka
mendengarkan berita radio. Laporan cuaca memberitakan, pusat badai sedang menuju
ke Bayport. Angin akan bertiup sangat kencang, disertai hujan lebat. Ramalan
yang sedikit menghibur ialah, bahwa badai itu tak akan berlangsung lama, karena
jalannya sangat cepat. Diramalkan akan meninggalkan daerah mereka kira-kira pada waktu malam. Nama yang
diberikan kepada badai tersebut oleh Kantor Cuaca Amerika Serikat ialah
Gertrude. Kakak beradik itu tertawa.
"Bibi Gertrude punya badai!" kata Joe.
"Bibi tak akan bangga," kata Frank. Mereka sampai di dermaga. Perahu Sleuth
berada di kandangnya, naik turun dihempas air. Salah satu tali pengikatnya
terlepas, dan mereka mengikatnya lagi dengan erat. Setelah itu tutupnya yang
terbuat dari terpal dipererat pula.
"He, lihat," kata Joe tiba-tiba. Ia menunjuk ke dalam teluk. "Ada orang di luar
sana!" Pandangan sangat kabur, tetapi Frank memicingkan mata dan mengintai di hujan
yang lebat. Ia hampir tak melihat seseorang yang melambai-lambaikan tangannya di
dalam perahu yang hanyut.
"Cepat, ke Pengawal Pantai!" teriak Frank mengatasi suara angin. Aku akan
menolongnya." Joe tak perlu diperintah dua kali. Ia membalikkan tubuhnya dan lari ke mobil.
Frank dengan cepat melepaskan tambatan Sleuth dan membuka kain terpal
penutupnya. Dalam waktu satu menit mesin sudah dihidupkan dan perahu itu
meluncur keluar menuju ke teluk.
"Kuharap saja aku bisa datang pada waktunya," ia menggumam.
Pos Pengawal Pantai terletak satu mil dari Marina. Biasanya hanya diperlukan
beberapa menit untuk sampai ke sana, tetapi sebatang pohon telah tumbang, jatuh
melintang jalan. Setelah naik melompatinya, Joe berlari empat ratus meter terakhir.
Ia menghambur masuk. Perwira piket mendongak dari mejanya.
"Perahu ... hanyut ... Frank sudah ke sana ..." kata Joe tersengal-sengal.
"Ambil napas dulu, nak," kata perwira itu. "Kalau engkau menghadapi hal darurat,
kami akan lebih mudah mengatasi kalau laporanmu jelas."
Joe menyandarkan tubuhnya pada meja untuk beberapa saat sampai napasnya menjadi
tenang. "Ada sebuah perahu yang hanyut di dalam teluk. Ada orang di dalamnya. Kakakku
Frank telah ke sana dengan perahunya untuk menolong orang tersebut."
"Komandan Morelli!" teriak perwira itu. "Ada perahu hanyut!"
Dari dalam kantor muncul seorang yang jangkung berbahu bidang. Joe mengulang
laporannya. "Bunyikan alarm, Pete!" komandan itu memerintah perwira piket. "Kita harus
keluar dengan salah satu kapal."
Pete berteriak ke dalam mikrofon.
"Semua tenaga, siap! Siapkan kapal nomor tiga! Kumpul di sana!"
Terdengar langkah-langkah kaki dari kamar
belakang, kemudian seregu pelaut berlari-lari melintas ruang tunggu ke dermaga.
Sementara itu, pak komandan memakai pakaian untuk menghadapi topan.
"Ayo ikut!" katanya kepada Joe. "Engkau dapat membantu kami."
Joe lari mengikuti pak komandan lalu melompat masuk ke kapal.
Mesin sudah menderu-deru.
"Tarik jangkar!" terdengar perintah, dan kapal kecil itu bergerak membelah air.
"Mudah-mudahan kita dapat menemukan kakakmu beserta orang yang lain itu," kata
pak komandan Morelli. "Badai ini sungguh berat!"
Frank memegang kemudi dengan sekuat tenaga, tetapi tetap saja sulit untuk
mengarahkan perahunya dengan baik. Perahu itu didorong ke segala jurusan. Sekali
bahkan pernah terhempas menuju ke pantai kembali. Sementara detektif muda itu
berjuang keras untuk mengarahkan Sleuth keluar ke laut terbuka, ia sering
kehilangan pandangan atas perahu yang diombang-ambing gelombang. Ketika
keadaannya sudah tak ada harapan lagi, ia melihat sepintas orang yang keta-kutan
ini melalui hujan yang lebat.
Akhirnya ia tinggal beberapa meter lagi dari perahu yang hanyut. Ia mulai
berteriak-teriak, tetapi suaranya hilang tak keluar dari mulutnya, ketika sebuah
gelombang raksasa menggulung perahu yang hanyut itu.
Setelah menaiki punggung gelombang, kemudian menukik di jeram seberang
gelombang, ia memandang ke sekeliling. Kemudian ia melihat perahu itu telah
terbalik! Sebuah kepala timbul tenggelam di permukaan. Frank memberi gas
sepenuhnya dan melesat ke samping perenang itu.
Ia melepaskan roda kemudi dan mengulurkan tangannya. Orang itu menangkapnya. Dua
kali pegangan itu lepas dan orang itu jatuh kembali ke laut. Yang ketiga
kalinya, Frank menangkap per-gelangan tangannya dan menariknya sekuat tenaga.
Perenang itu jatuh dengan kepalanya masuk ke dalam perahu, mendengus-dengus dan
tersengal-sengal. Kemudian ia memalingkan kepala memandangi Frank penuh terima
kasih. Frank membelalak. "Maquala!" "Frank Hardy?" Maquala terbata-bata. "Sekarang ... sekarang sudah dua kali aku
berhutang jiwa kepada kalian."
"Belum seratus persen," jawab Frank. "Kita harus sampai di pantai dulu!"
Frank memutar haluan. Menuju ke darat jauh lebih cepat daripada melawan ombak ke
tengah laut. Tetapi bahayanya tidak lebih kecil. Sekarang ombak menghempas dari
belakang! Tiba-tiba mesin Sleuth mulai batuk-batuk, lalu mati.
"Apanya yang rusak?" teriak Maquala. Frank yang rusak?" teriak Maquala. Frank
cepat-cepat memeriksa mesinnya. "Aku tak tahu. Tak ada waktu untuk
memperbaikinya. Ia kembali ke kemudi. Perahu itu hanyut menuju ke pantai yang nampak samarsamar. Ia berusaha untuk mengarahkan perahunya ke tempat Marina, tetapi segala
usahanya gagal. Perahu itu menuju ke batu karang di sebelah timur dermaga. Kalau mereka
terhempas ke batu itu, kesempatan mereka untuk menyelamatkan diri adalah nol!
Sementara itu kapal patroli perlahan-lahan membelah perairan teluk. Sirenenya
meraung-raung, tetapi hampir tak terdengar tertelan jeritan angin. Di setiap
sisi kapal Pengawal Pantai itu, para pelaut memasang mata ke segala jurusan.
"Keadaannya tak terlalu baik, nak," kata komandan Morelli kepada Joe. "Kita
berusaha keras, tetapi bersedialah menghadapi kenyataan yang paling buruk."
Frank tenggelam" Joe tak dapat mempercayainya. Ia dan kakaknya sudah berulang
kali terlepas dari bahaya maut bersama-sama.
"Perahu hanyut, tepat di haluan:" tiba-tiba seorang pelaut berteriak.
"Ada penumpangnya?" balas komandan berteriak.
"Dua orang!" "Siap untuk mendekat!"
Dalam satu menit mereka berada di sisi Sleuth yang tak berdaya. Seorang pelaut
melemparkan tali kepada Frank. Frank menangkapnya, lalu diikatkan kepada
perahunya. Kemudian ia membantu Maquala naik ke tangga tali. Joe mengulurkan tangannya dan
menarik Maquala ke geladak. Ia segera pulih dari terkejutnya melihat Maquala,
dan tersenyum kepadanya. "Kita rupanya selalu bertemu satu sama lain!"
Setelah Frank yakin bahwa gadis itu telah selamat, ia mulai meniti tangga tali:
Di tengah-tengah, kakinya terpeleset dan jatuh ke dalam air yang menggelegak. Ia
hanyut terhempas dan hilang dari pandangan!
11. Penyelamatan yang Menakjubkan
Maquala, Joe dan para awak memandangi penuh ketakutan air yang bergulung-gulung.
Tetapi Frank tak nampak di mana-mana. Komandan menggeleng-gelengkan kepala.
"Buka mata lebar-lebar!" ia memerintah anak buahnya. Tetapi jelas terdengar dari
suaranya, bahwa harapan telah tipis untuk menemukan pemuda itu. Angin yang
menderu-deru itu mengguncangkan kapal patroli, seperti hendak berbalik ke arah
pantai. "Jaga kemudi kuat-kuat!" pak Morelli memerintah jurumudi.
Tiba-tiba, sebuah gelombang raksasa datang dari arah laut. Maquala dan Joe
terbelalak dan berpegangan erat-erat pada pagar kapal. Nampaknya, kapal Pengawal
Pantai itu akan hancur dilabrak ribuan ton air yang akan menimpanya.
Pukulan ombak itu tiba. Kedua muda-mudi itu menunduk untuk menahan guncangan.
Air yang menerjang mereka, nyaris melepaskan pegangan mereka. Sedetik lebih lama
lagi, muda-mudi itu tentu terseret air ke dalam laut. Ketika gulungan air itu
menyambar melewati geladak, terdengar suara keras di geladak.
Terdengar pula jeritan tertahan! Para awak, Maquala dan Joe menoleh, dan melihat
Frank terbaring di geladak, kedua tangannya berpegangan erat-erat pada rantai
jangkar. Ia menggigil dan terbatuk-batuk dengan hebat. Tetapi dengan segera ia
sadar, bahwa dirinya telah selamat secara mukjijat! Setelah menjadi tenang,
senyuman lega membelah wajahnya yang pucat.
"Kukira aku su ... sudah habis!" ia terbata-bata.
Morelli memandang dengan takjub.
"Aku sudah lebih dari dua puluh tahun di laut," ia berteriak mengatasi badai.
"Dan sudah ribuan kali melihat hal yang aneh-aneh. Tetapi yang ini! Engkau
sungguh-sungguh beruntung!"
Ia dan Joe membantu Frank berdiri dan menuntunnya ke kabin kapten. Maquala
mengikuti. Di sana kedua muda-mudi itu diselimuti, dan komandan memerintahkan agar kapal
kembali ke pantai. Selama setengah jam kapal kecil itu berjuang menuju pos
Pengawasan Pantai. Setelah masuk di gedung Pos Pengawasan Pantai, salah seorang pelaut membuatkan
teh panas bagi Frank dan Maquala. Tak lama kemudian, pak Morelli yang mengawasi
menambatkan kapal. "Kuharap saja kita tak perlu keluar lagi dalam badai itu sampai reda," katanya.
Ia berpaling kepada Maquala.
"Demi setan kenapa engkau berlayar dalam badai begini" Untung masih bisa hidup.
Kalau tak ada kedua pemuda ini, engkau tak akan bisa pulang! Sebenarnya, engkau
telah membahayakan kehidupan kedua pemuda ini dan anak buahku!"
Gadis asing itu menundukkan kepalanya.
"Aku menyesal," ia minta maaf. "Aku tak tahu bahwa badai itu akan datang."
Perwira Pengawal Pantai itu memandangnya tak percaya.
"Peringatan sudah disiarkan berulang-ulang di radio," katanya. "Engkau tak
pernah mendengarnya?"
"Kami tidak mempunyai radio," jawabnya lugas.
Morelli semakin keras, "Kukira anak-anak selalu membawa radio yang menempel di telinga mereka. Paling
tidak, anak-anakku selalu begitu."
"Aku tidak demikian," kata Maquala. "Tetapi andaikata aku punya radio, aku juga
tak akan mendengar. Aku tak tahu bagaimana badai itu. Di negara asal kami tak
pernah ada badai." Komandan itu sadar, tak guna memarahi dia.
"Nah, sekarang engkau tahu, bagaimana badai itu. Karena kalian tak ada yang
cedera hingga perlu ke rumah sakit, kalian dapat pulang. Frank dan Joe, kami
akan merawat perahumu di sini hingga badai reda."
"Terima kasih, pak," kata Frank. "Dan beribu-ribu terima kasih atas penyelamatan
jiwaku." Pelaut itu tersenyum. "Itu memang tugas kami."
"Sekarang aku harus pulang," kata Maquala ketika mereka bertiga duduk di mobil
Frank. "Engkau akan terserang radang paru-paru sebelum sampai di rumah," kata Joe. "Ke
rumahku dulu saja, ibu dan bibi akan menolongmu."
Maquala terus menggigil di sepanjang jalan. Perjalanan itu benar-benar berat.
Biasanya, dari dermaga ke rumah hanya memakan waktu lima-belas menit. Tetapi
kini lebih dari empat puluh lima menit mereka baru melihat cahaya lampu-lampu
rumah mereka. Mereka harus sering memutar mengitari beberapa blok, karena
terhalang pohon-pohon yang tumbang atau tiang-tiang telepon yang roboh. Tenaga
angin terus meningkat, dan kadang-kadang mereka merasa didorong dari depan. Joe
menghadapi kesulitan menjalankan mobilnya.
Di halaman, Joe menghentikan mobilnya.
"Kalian berdua lari masuk ke dalam. Aku akan memasukkan mobil ke garasi dulu."
Tak perlu disuruh sampai dua kali, mereka segera melompat keluar dan berlari ke
serambi di tengah hujan yang sangat lebat.
Joe menjalankan mobilnya ke garasi. Setelah dekat ia menekan tombol alat jarak
jauhnya, dan pintu terbuka. Ia memasukkan mobilnya. Baru saja sebelah kaki
melangkah keluar, ia mendengar suara langkah kaki orang berlari. Sebelum ia
dapat berbuat apa-apa, tangan-tangan yang kuat menahan pintu hingga pergelangan
kaki Joe tergencet. Joe terperangah kesakitan, tetapi tekanan pada kakinya semakin keras. Sebuah
lampu senter menyala dan menerangi wajahnya.
"Diam di situ saja, nak," terdengar suara kasar. Joe melihat laras sepucuk
pestol. "Slicer," katanya kepada orang yang ada di kegelapan.
"Benar, anak Hardy. Aku sudah lama kehujanan menunggu kalian. Bukan hal
menyenangkan berdiri saja di dalam badai! Gara-gara kalian."
Meskipun menderita, Joe merasa adanya humor dengan keadaan itu. "Memang salahku.
Seharusnya aku pulang lebih dulu, kalau tahu bahwa engkau akan datang." Jawab
Joe. "Engkau beruntung," tukas penjahat itu. "Boss bilang untuk tidak mencelakai
kalian." Joe menggeliat kesakitan dan melihat ke kakinya.
"Apakah kaukira kakiku tidak geli?"
Slicer mendengus, tetapi mengurangi tekanan pada pintu mobil.
"Sekarang dengarkan baik-baik. Boss minta aku mengatakan kepadamu, inilah
peringatan yang terakhir. Lepaslah dari perkara ini!"
"Lepas dari apa?" tanya Joe. "Kami tak tahu menahu apa yang kalian lakukan.
Engkau sudah memperoleh kasetku dan juga Sam."
Ketawa Slicer sama sekali tak mengandung humor.
"Memang kami telah menangkap Sam, tetapi kaset apa-apaan itu! Kami tahu, kalian
masih mempunyai rekaman lainnya. Jangan masukkan hidungmu ke mana-mana lagi,
kalau ingin temanmu itu tetap sehat. Ini juga berlaku bagi ayahmu. Mengerti?"
Joe mengangguk. "Aku mengerti."
"Ini peringatan terakhir, ingat" Sekarang aku pergi. Jangan coba-coba mengikuti
aku, mungkin aku terpaksa menggunakan pestolku ini."
Senter itu padam dan orang itu berlari di dalam hujan. Joe turun dari mobil, dan
dengan ter-pincang-pincang lari ke rumah.
"Mengikuti dia?" ia menggerutu. "Lari dua-puluh meter saja aku tak mampu!"
Untunglah, tak ada seorang pun yang ada di dapur. Jadi ia tak perlu memberi
penjelasan mengapa ia pincang. Ia naik ke atas, ke kamar tidurnya. Frank sedang
berganti pakaian. "Kakimu terkilir?" tanya Frank.
"Tidak begitu sakit. Barusan ada tamu." Joe melanjutkan menceritakan kejadian di
garasi. Frank mengkerutkan dahinya.
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada beberapa hal yang aneh tentang ini."
"Misalnya?" tanya Joe. Ia duduk di ranjang sambil melepaskan sepatunya.
"Mengapa ia minta agar ayah melepaskan perkara itu" Slicer tahu, bahwa ayah
keluar kota, karena ia yang berusaha untuk melakukan sabotase pesawatnya. Ruparupanya ia juga tahu, bahwa usahanya itu telah gagal. Lagi pula, bagaimana ia
dapat tahu bahwa kita telah membuat kopi kaset yang lain lagi?" Joe berhenti
mengelus-elus mata kakinya yang sakit.
"Aku dapat mengerti bahwa ia tahu pesawat ayah tidak jatuh. Kalau pesawat itu
jatuh, tentu dimuat di surat kabar, atau radio dan TV. Tetapi bagaimana ia tahu
kita mempunyai kaset yang lain, aku sungguh tak dapat mengerti. Sepertinya, ia
bisa mendengar segala apa yang dikatakan di rumah kita ini!"
"Haa! Mungkin ia memang bisa," kata Frank dengan geram. "Mari kita cari!"
Mereka menggeledah kamar, dimulai dengan tempat ganti baju. Mereka memeriksa
setiap senti dari kedua buah meja tulis, lalu setiap lampu. Setelah seperempat
jam, mereka menemukan apa yang mereka curigai, terletak di bawah permadani di
bawah tempat tidur Joe. Frank menunjukkan alat elektronik kecil itu.
"Sebuah pemancar mini!" seru Joe.
"Ya," kata Frank. Ia menjatuhkan radio mini itu lalu diinjaknya hingga hancur.
"Nah! Sekarang bangsat-bangsat itu tak dapat mencuri dengar kita lagi. Tetapi ini
hanya sebagian kecil saja. Aku yakin, setiap kamar rumah ini tentu dipasangi
pemancar mini pula."
"Bagaimana mungkin?" seru Joe.
"Siapa yang memasangnya?"
"Makanan sudah siap!" seru bibi Gertrude dari bawah tangga. "Ayo kita turun,"
kata Frank. "Tutup mulut terhadap ibu dan bibi." Mereka turun ke kamar makan yang telah siap
dengan makanan hangat. "Kukira, makanan yang direbus sangat cocok untuk hari yang dingin begini."
Bu Hardy dan Maquala masuk ke kamar makan pula.
"Untung Maquala sama besarnya dengan aku," kata ibu. Gadis itu mengenakan celana
jean dan sweater abu-abu yang tebal. "Ia cocok sekali dengan pakaianku, seperti
khusus dibuat untuk dia saja."
Di luar, angin semakin menderu-deru.
"Ah, nanti malam juga reda!" keluh bibi Gertrude.
"Bibi, kaudengar tidak, badai ini dinamakan apa?" tanya Joe.
Bibi mengangkat hidungnya.
"Gertrude! Ya, aku juga mendengarnya, anak muda! Kuingin, mereka tak lagi
memberi nama-nama kepada badai dengan nama orang."
"Tetapi memang harus diberi nama," kata Frank.
"Menurut aku, badai yang pertama dalam suatu tahun disebut saja "Angin ribut,
yang kedua: Badai, yang ketiga: Celaka, begitu seterusnya.
Para pemuda itu tertawa. "Bagus juga gagasan itu," Joe membenarkan.
Kakak beradik itu makan dengan lahap, tetapi Maquala hanya makan tanpa semangat.
Di antara suapan-suapannya ia selalu memuji keberanian kakak beradik itu, dan
bagaimana mereka telah dua kali menyelamatkan jiwanya. Frank dan Joe merasa
sedikit malu dan bingung atas puji-pujian temannya yang baru. Mereka ingin agar
percakapan dialihkan. Tetapi bibi Gertrude dan Bu Hardy mendengarkannya dengan penuh perhatian,
terutama peristiwa yang terjadi di Teluk Barmet.
Setelah hidangan poding apel dengan es krim panili, bu Hardy berkata: "Kukira,
Maquala, engkau sebaiknya menginap di sini. Sangat berbahaya berkendaraan dalam
cuaca begini." Gadis itu menjadi pucat. "Tidak bisa, bu Hardy. Ayah sedang kurang sehat, dan ia tentu akan sangat
khawatir memikirkan aku."
"Engkau dapat menelepon dia," bibi Gertrude menjelaskan.
"Di rumah induk tidak ada telepon," kata Maquala. "Yang ada hanya di rumah yang
ditinggali pengurus rumah, dan ia tak menyukai kami.
Ia tentu tidak mau keluar untuk menyampaikan pesan itu kepada ayah. Aku sungguh
berterima-kasih atas keramahan kalian, tetapi aku benar-benar harus pulang." Ia
lalu berdiri. "Kalau kalian memberitahu di mana telepon itu, aku akan menelepon
taksi saja." "Tak ada taksi yang mau keluar dalam badai begini," kata Frank. "Biarlah aku dan
Joe meng-antarkanmu." Ia melirik ke ibunya. "Jangan khawatir, bu. Kami akan
sangat berhati-hati."
Bu Hardy mengangguk. Tetapi anak-anaknya tak melihat tangan ibunya yang menjadi
pucat di pangkuannya. 12. Kunjungan yang Aneh Seperti yang lalu, kedua pemuda itu mendapat kesulitan keluar dari daerah
mereka. Tetapi setelah sampai di Main Street, perjalanan menjadi lebih mudah. Jalan itu
bersih dari rintangan-rintangan dan lalu lintas mobil sangat jarang. Dengan
melewati pinggiran kota, tampak setiap blok keadaannya sangat gelap.
"Beberapa dari rumah itu tentu tak akan dapat aliran listrik untuk beberapa
hari," kata Frank. Joe mengangguk, lalu menunjuk ke depan.
"Lihat!" serunya. Mereka melihat rintangan yang dipasang oleh polisi. Frank
menurunkan kaca jendelanya ketika seorang polisi mendekati.
"Kami berusaha agar orang-orang kembali ke kota Bayport, kecuali kalau benarbenar memang perlu," kata anggauta polisi itu. Meskipun sebenarnya ia berteriakteriak, namun ketiga muda-mudi itu hampir tak dapat mendengar suaranya karena
deru angin dan hujan. Frank menjelaskan maksud perjalanannya.
"Eh, kalian anak-anak Hardy, ya?" tanya polisi itu. "Kukira pak Collig akan
mengizinkan kalian meneruskan perjalanan, kalau ia memang ada di sini. Oke,
teruskanlah. Tetapi hati-hati! Keadaannya sungguh kacau!"
Frank berterima kasih atas nasehatnya, lalu melaju lagi di dalam hujan.
Penghapus kaca tak banyak berguna, dan pandangan mata hanya sampai beberapa
meter ke depan. Ia mengemudikan mobilnya perlahan-lahan, sedikit membungkukkan
tubuhnya agar dapat melihat lebih nyata.
"Tahukah engkau, kita sungguh beruntung," kata Joe.
Frank meliriknya sedikit tak mengerti. "Bagaimana maksudmu?" "Coba kalau ini
badai salju!" "Tidak lucu!" Tetapi Frank terpaksa juga tersenyum. Percaya
sajalah kepada adiknya yang
selalu optimis, untuk menghadapi keadaan yang menegangkan itu.
Pada suatu sisi jalan terdengar suara gemuruh. Suatu bayangan jatuh rubuh di
depan mereka. Mula-mula Frank mengira suatu tangan raksasa, tetapi ia segera
sadar, apa yang dilihat itu adalah sebatang pohon yang tumbang tercabut dari
tanah. Ia menginjak rem kuat-kuat, hingga mobil itu mengepot beberapa meter
sebelum berhenti di depan pohon yang melintang.
Kedua kakak beradik itu keluar memeriksa keadaan.
"Sedetik terlambat, kita akan tertimpa," kata Joe.
Frank menyorotkan senternya sepanjang batang pohon.
"Untung tidak menutup seluruh jalan. Kita masih dapat lewat pinggir. Kuharap
saja tak ada pohon-pohon tumbang yang menutup seluruh jalan."
Mereka terus merayap maju bagaikan berjam-jam lamanya, harapan Frank memang
terkabul. Walaupun mereka melewati banyak pohon-pohon, yang tumbang dihantam angin, mereka
berhasil mengatasi. Mereka juga mendapatkan tiang listrik yang tumbang, kawatkawatnya berasap dan memancarkan bunga api yang baunya menusuk hidung.
Setelah melewati gerbang pertanian Morton mereka sampai di jembatan kecil.
"Kuharap saja ia bertahan sampai kita dapat melewatinya," kata Joe.
Pagar besi setinggi enam meter dari tanah milik ternyata tertutup. "Kalau
dikunci, sulit juga kita dapat masuk," kata Joe. Ia keluar dari mobil dan dengan
sukar berjalan melawan angin ke pintu pagar. Untung tidak dikunci, tetapi ia
harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorongnya terbuka. Frank memasukkan
mobilnya dan Joe menutup gerbang itu.
"Akhirnya sampai juga," kata Joe sambil melompat naik ke mobil. Mereka merayap
maju. Di depan, mereka dapat melihat bayangan suram rumah besar tersebut,
menjulang nyata di lebatnya hujan.
"Siapa kalian?" Tiba-tiba sesosok tubuh, bagaikan seekor burung raksasa muncul
dari semak-semak, memegangi sebuah tongkat. "Berhenti, kataku!"
Frank hampir saja keluar dari jalan untuk menghindari tabrakan dengan orang itu.
Orang itu datang ke samping jendela, dan Frank merasa lega, bagaimanapun orang
itu adalah manusia biasa. Hanya jas hujannya yang kedodoran itulah yang
membuatnya nampak seperti seekor burung.
"Keluar dari sini!" orang itu berteriak. "Ini tanah milik pribadi!"
"Pak Grabb, aku di sini, Maquala," kata gadis Krazak itu. "Para pemuda itu
mengantarkan aku pulang."
Wajah orang itu berkeriput dan penuh garis-garis dalam. Matanya menatap Maquala.
"O, engkaukah itu," terdengar suaranya yang sepertinya gemar berkelahi, nadanya
menunjukkan tidak senang kepada gadis itu. Emile Grabb menurunkan tongkat
pentungannya. "Aku sedang mengintai pencuri. Mereka telah seringkali mencoba merampok nyonya
Sayer, tetapi aku selalu menggagalkan mereka."
"Kaukira mereka datang juga dalam badai begini?" tanya Joe yang menganggapnya
tak masuk akal. Pengurus rumah itu menatap Joe dengan jijik.
"Saat apa lagi yang lebih baik dari keadaan seperti ini" Mereka tentu berharap
aku menjadi lalai. Perintah nyonya Sayer ialah agar justru lebih waspada dalam
cuaca buruk." Ia menegakkan tubuhnya dan menunjuk ke arah rumah besar.
"Teruslah!" "Ia berbicara seperti nyonya Sayer masih hidup saja," kata Frank. Ia memasang
persneling rendah dan kembali merayap maju.
"Untuknya, nyonya itu masih hidup, kukira,"
kata Maquala. Kasihan dia. Ia tak menyukai kami semua, tetapi aku sungguh
kasihan terhadap dia."
"Kukira, kalau orang mengurus sebuah hotel yang berhantu selama bertahun-tahun,"
kata Joe, "akan mudah sekali menjadi percaya bahwa nyonya itu masih hidup,
mengawasi setiap gerak-geriknya."
Frank menghentikan mobilnya, dan ketiganya turun. Ketika mereka mendekati rumah
besar itu, pintu depan terbuka dengan mendadak. Tonio mengintai-intai ke arah
kegelapan hujan. "Siapa engkau" Untuk apa engkau ke mari?" ia berteriak.
"Tonio! Ini aku, Maquala!"
Pemuda asing itu merangkul pundak gadis itu, lalu menariknya masuk ke dalam.
"Maquala! Bagaimana khawatirnya kami. Kami tak tahu apa yang terjadi dengan
engkau. Kami menelepon polisi, tetapi mereka tak tahu apa-apa. Di mana engkau tadi?"
"Wah, Tonio. Banyak yang harus kukatakan." Ia lalu bercakap-cakap dengan
cepatnya dalam bahasa asing. Kakak beradik itu tak mengertinya. Tetapi jelas
bahwa Maquala sedang menceritakan pengalamannya di dalam perahu, sebab sekalisekali ia menunjuk ke Frank dan Joe.
Akhirnya Maquala selesai berbicara. Tonio berpaling ke arah Joe dan Frank.
"Terima kasih atas apa yang telah kalian lakukan," katanya dengan suara masam.
"Terima-kasih atas jiwa Maquala yang telah selamat."
"Engkau pun telah berbuat yang sama terhadap aku," jawab Joe. Tonio nampak
seperti menyesal bahwa ia telah melacak anjing-anjing liar itu. "Pergilah
sekarang." "Tonio, bukan begitu caranya berbicara!" seru Maquala. "Mereka telah membawa aku
ke rumahnya ketika aku masih basah kuyup dan menggigil kedinginan, dan ibu
mereka merawat aku dengan sangat baik. Frank dan Joe tentu berhak atas perlakuan
seperti kepadaku." Tonio hendak menyangkal, tetapi terhenti oleh suara dari bagian atas rumah.
"Maquala!" Seorang gemuk pendek turun dari tangga, lalu memeluk Maquala. Sekali lagi
keduanya berbicara dalam bahasa asing. Akhirnya orang itu melangkah ke arah
kedua pemuda. Wajahnya tersenyum lebar dan mengacungkan tangannya.
"Selamat datang! Aku Alessandro Krazak, paman Maquala. Aku khawatir, ia telah
menyulitkan kalian, dan menurut dia, kalian telah menghadapi sejumlah bahaya
besar." Ia mengguncang-guncangkan tangan kedua pemuda itu dengan hangat dan
wajah berseri-seri. Kumisnya yang tebal terangkat ketika tersenyum. "Mari, mari masuk ke ruang
duduk. Tonio, buatkan teh. Ingat, airnya harus benar-benar mendidih!"
Alessandro menggiring para pemuda itu masuk ke kamar duduk, sementara Tonio ke
arah yang berlawanan. Kamar duduk itu luas sekali bagaikan sebuah lapangan
tenis. Permadani permadani tua berasal dari Asia Timur melapisi dinding-dinding
dan lantai. Di perapian, api menyala menghangatkan ruangan.
Alessandro mengajak kedua pemuda dan kemenakannya duduk pada kursi panjang
berlapis kulit di depan perapian. Ia berbicara dengan ramah, dan sekali-sekali
memperingati Maquala karena berperahu seorang diri.
Sepuluh menit kemudian Tonio masuk, membawa gelas-gelas dengan teh yang masih
mengepul dengan baki perak. Dengan khidmad ia menghidangkannya kepada kakak
beradik Hardy. Mula-mula gelas itu seperti hendak membakar tangan mereka, sukar
untuk memegangnya. Tetapi setelah beberapa hirupan, tubuh mereka merasa menjadi
hangat. Tonio duduk di kursi panjang di dekat Maquala, dan percakapan dimulai lagi.
Akhir-akhirnya Frank dan Joe merasa bahwa Alessandro selalu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, tetapi selalu mengalihkan rasa ingin tahu mereka tentang
keluarga Krazak dan kehidupan di Eropa Timur.
Mereka menyadari, bahwa mereka menghadapi penyelidikan yang halus tetapi sangat
cerdik. Akhirnya orang Hucul itu menghirup tehnya lalu meletakkan gelasnya di meja.
"Aku yakin, bahwa kakakku, ayah Maquala, tentu senang apabila dapat mengucapkan
terima-kasih secara pribadi atas apa yang telah kalian lakukan. Tetapi
kesehatannya sangat rapuh. Pada waktu ini, ia sedang beristirahat, dan aku tak
ingin diganggu." Kata-kata itu adalah cara yang halus untuk kakak beradik itu agar meninggalkan
tempat. Mereka baru saja hendak mengucapkan selamat tinggal, ketika sebuah pintu terbuka
di kejauhan. "Maquala! Dari mana saja engkau" Siapa pula orang-orang ini" Engkau ingat
peraturanku, tidak boleh menerima orang asing di rumah ini?"
Joe dan Frank berpaling, melihat seorang kecil kurus yang duduk di kursi roda
dan menatap mereka dengan tajam!
13. Sayap Bangunan yang Misterius
Untuk ketiga kali kakak beradik itu mendengar cerita tentang diri mereka dalam
bahasa asing. Wajah orang yang cacat itu tak pernah berubah, tetapi sinar
matanya menjadi lebih lunak. Ia menarik Maquala lalu menciumnya. Kemudian ia
menekan sebuah tombol pada kursi rodanya dan mendekati kakak beradik Hardy.
"Maafkanlah aku, kalau sambutanku kurang baik atau kurang sopan," katanya.
"Tetapi harap kalian mengerti, bahwa kami berada dalam tekanan yang sangat
berat. Lagi pula aku bukan seorang diplomat seperti adikku ini. Aku Dubek
Krazak. Aku berterima kasih atas usaha kalian
sampai dua kali menyelamatkan jiwa anakku yang tunggal. Aku sungguh berterima
kasih sedalam-dalamnya."
"Kami sungguh senang dapat berbuat demikian, pak," kata Frank.
"Selamat jalan. Tonio, mari ikuti aku. Aku membutuhkan engkau." Sambil
mengangguk pendek kepada kakak beradik itu, Dubek Krazak membalikkan kursi
rodanya dan keluar dari kamar. Diikuti oleh Tonio yang pendiam.
"Kukira kami harus pergi sekarang," kata Joe.
"Belum!" kata Maquala. "Bagaimana" Kalian belum melihat rumah ini sedikit pun!"
"Mereka tahu apa yang paling baik, sayang," kata Alessandro sedikit gugup.
"Mereka harus melakukan perjalanan di dalam badai----"
"Ah, hanya untuk beberapa menit," sela Maquala. Ia memandangi Frank dan Joe.
"Jangan bilang bahwa kalian tidak ingin tahu," ia menggoda. "Kudengar semua
orang di Bayport ingin sekali melihat-lihat rumah Abby Sayer yang berhantu ini!"
"Aku sanggup menerobos seribu badai untuk menyelidiki," kata Joe tak sabar.
"Aku tak tahu, apakah harus sekian jauhnya!" kata Frank tertawa. "Tetapi memang
benar, aku pun ingin juga melihatnya."
"Kalau begitu, marilah ikut," kata Maquala. Pamannya menarik napas panjang. "Aku
juga mau ikut." "Pada suatu ketika, di sini terdapat tiga ratus kamar," kata Maquala. Mereka
berjalan melewati serambi yang lebar membulat dan naik ke tangga yang berputarputar. "Tetapi sebelum Abby Sayer meninggal, salah satu sayap gedung ini
terbakar habis. Kini yang ada tinggal dua ratus buah kamar." Maquala membuka
Hardy Boys Naga Berkepala Empat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintu di lorong lantai kedua.
"Lihatlah." Para pemuda itu menjenguk ke dalam. Kamar itu berisi sebuah tempat tidur besi
berwarna putih, sebuah meja tulis kayu, dan almari berlaci kayu cemara. Di
hadapan jendela ada dua buah kursi goyang.
"Ini adalah kamar hantu," Maquala menjelaskan. "Setiap kamar hantu adalah
sama ... persis sama. Perabotannya, tempat tidur, almari berlaci dan jendela yang hanya
sebuah. Dan setiap kamar ukurannya tepat enam kali enam meter."
"Kok tidak ada tempat ganti baju," kata Joe.
Maquala tertawa cekikikan.
"Tidak ada apa-apa dalam kamar hantu. Kukira, Abby Sayer juga berpendapat bahwa
para hantu itu tak pernah berganti pakaian."
Frank tak percaya pada hantu-hantu, tetapi ia
mendapat perasaan ngeri melihat kamar yang kosong itu.
"Kalau aku cukup lama tinggal di sini, mungkin aku akan mulai melihat yang
bukan-bukan," pikirnya.
Selanjutnya Maquala membawa mereka naik turun beberapa tangga. "Apakah kalian
tak perhatikan, bahwa setiap tangga juga sama?" ia bertanya. Mereka saling
memandang dengan ter heran-heran dan menggelengkan kepala.
"Semuanya mempunyai tiga belas undakan."
"Ini tangga yang buntu," kata Joe, setelah ia naik dan menghadapi sebuah
dinding. "O, banyak sekali tangga yang demikian."
"Untuk apa?" Gadis itu hanya mengangkat bahu.
"Hanya Abby Sayer yang tahu. Mari kita naik ke menara lonceng. Tentunya sangat
menarik dalam badai begini."
Tetapi Maquala tak menghiraukan peringatan pamannya sambil tertawa. Ia naik
tangga ke pintu jebakan. Yang lain-lain mengikuti.
"Engkau masih membawa lampu senter, Frank?"
"Ini." "Bagus. Kita ada di ruang bawah tanah, dan di sini tak ada lampu."
Frank menyalakan senternya dan memeriksa
ruang bawah tanah itu. Rasanya lebarnya sama dengan sebuah lapangan sepak bola!
Di tengah ada beberapa tangga yang menuju ke atas.
"Kita harus naik ke sana," kata Maquala, dan lari ke salah satu tangga. Sekali
lagi Alessandro memprotes, tetapi tak dihiraukan oleh gadis yang keras kepala
itu. Mereka naik ke dalam tabung sempit tinggi dan gelap.
"Apa itu?" tanya Joe, ketika mereka melewati suatu mesin yang bulat dengan rodaroda gerigi yang besar-besar.
"Lonceng," jawab Maquala. "Tetapi sekarang tak dapat berjalan lagi. Katanya
lonceng ini mati dua hari setelah Abby meninggal."
Mereka keluar dari tangga ke sebuah anjungan. Di sekeliling mereka terdapat
banyak sekali jendela-jendela. Maquala memang benar: pemandangan dari sana
memang sangat menarik. Bayangan-bayangan hitam pohon-pohonan di bawah mereka
seperti melambai-lambaikan tangan-tangan yang kurus ke langit. Awan-awan yang
menakutkan melintas di atas dan angin menghantam jendela-jendela dengan kuatnya.
"Lihat!" bisik Maquala sambil menunjuk ke bagian belakang dari bangunan yang
aneh itu. Mereka dengan samar-samar dapat melihat lautan, ombak-ombaknya menggunung tinggi
dan menghempas pada batu karang di bawah.
"Rumah besar ini dibangun pada tepi sebuah batu karang," kata Maquala.
"Pada suatu ketika tentu akan runtuh ke laut, dengan hantu hantunya segala!"
Alessandro menggigil. "Kukira hal itu dapat terjadi setiap detik," katanya. "Aku sudah merasakan
menara ini bergetar."
"Aku tak merasa," kata kemenakannya.
"Aku merasa," kata Frank. "Anginnya memang besar sekali. Mari kita turun saja."
"Oke," jawab Maquala. "Masih ada sejumlah hal-hal yang dapat kutunjukkan kepada
kalian." "Ini sungguh cara yang paling baik untuk nonton hotel hantu," kata Joe sambil
turun. "Pada malam hari, sewaktu ada badai. Ada tiga-ratus kamar, katamu?"
"Ya, hingga waktu kebakaran. Harap kau-tahu, Abby Sayer sebenarnya tidak begitu
ramah terhadap para hantu. Ia takut kepada mereka. Ia biasa tidur di kamar yang
berbeda setiap malam. Bahkan para pelayan pun tak pernah tahu di mana ia tidur.
Mereka mengira, ia sedang tidur di bagian sayap rumah itu ketika terjadi
kebakaran. Tetapi ternyata tidak. Lama sekali mereka menggeledah kamar-kamar
itu. Ketika mereka mene mukan dia, Abby sedang duduk di sebuah tempat tidur,
ketakutan. "Bagaimana engkau bisa mengetahui ini semua?" tanya Joe.
Emile Grabb tak dapat menahan diri untuk menceritakannya. Aku tahu banyak sekali
dari dia." "Seharusnya engkau tidak boleh percaya omongan sinting orang tua itu," kata
pamannya. "Memang tidak," jawab Maquala. "Tetapi semua itu merupakan dongengan yang bagus.
Asyik untuk mengisi waktu kosong.
Kelompok itu turun ke bawah ke lantai utama, dan Maquala menuntun mereka melalui
sebuah lorong yang gelap dan -panjang. Ia membuka sebuah pintu yang besar pada
ujungnya dan menyalakan lampu.
Di hadapan mereka nampak sebuah kamar yang sangat besar dengan sebuah meja yang
besar pula di tengah-tengah. Pada setiap sisi terdapat enam buah kursi dan
sebuah kursi lagi di kepala meja.
"Di sinilah Abbe Mayer menjamu kedua belas hantu setiap malam," kata Maquala.
Joe dan Frank dapat membayangkan adegan itu: nyonya tua itu duduk di kepala meja
seorang diri, bercakap-cakap dengan kursi-kursi yang kosong!
Maquala mematikan lampu, dan dengan perlahan-lahan menutup pintu. Kemudian ia
membawa mereka kembali melalui koridor. Ketika mendekati kamar tunggu, ia
membelok ke sebuah pintu kecil di sebelah kanan. "Sekarang kalian dapat melihat
sisa-sisa sayap rumah setelah terbakar."
"Jangan! Jangan, Maquala!" kata Alessandro, lalu lari ke depan menahan
kemenakannya. "Jangan ke pintu itu."
Tetapi sudah terlambat. Maquala sudah memutar tombol pintu. Tiba-tiba seseorang
membuka pintu dari sebelah dalam dan Tonio muncul ke luar. Dengan cepat ia
menutup pintu itu di belakangnya. Tetapi kakak beradik itu masih sempat melihat
beberapa orang duduk di dalam di sekitar sebuah meja bundar.
Joe mengenal salah seorang: Slicer! Rasa merinding merayap di punggungnya, dan
ia memandangi kakaknya, ingin tahu, apakah Frank juga melihatnya. Tetapi wajah
Frank tetap tenang tak berubah.
"Engkau tidak boleh masuk, Maquala," kata Tonio dengan dingin. "Ayahmu sedang
bekerja di sana." Maquala mencibir. "Aku tak pernah diizinkan masuk. Engkau, ayah dan paman sering berada di dalam
dan tinggal seharian di sana. Aku ditinggalkan seorang
diri berkeliaran di rumah ini. Aku tak mengerti, mengapa aku selalu dihalanghalangi." "Hal ini karena ayahmu sangat mencintai engkau," kata Alessandro. "Ia tak sampai
hati kalau engkau mendapat cedera. Pekerjaan yang dilakukannya adalah sangat
berbahaya." "Ia tak pernah mengatakannya kepadaku," Maquala menggerutu. "Aku malah tak tahu
sama sekali apa penemuan itu, dan apa yang ayah kerjakan. Kukira..."
Keluhannya terhenti oleh suara pintu dipukul keras-keras.
"Ada tamu-tamu lagi!" seru Tonio. Ia lari melintas di kamar tunggu ke pintu, dan
semua orang mengikutinya.
Di luar, di dalam hujan berdiri Emile Grabb, jas hujannya yang kedodoran membuat
ia lebih menyerupai burung daripada manusia. Ia memegang pentungannya dengan
mengancam pada sesosok tubuh di sampingnya.
"Aku memergoki pencuri ini berkeliaran, mencoba mencari harta nyonya Abby,
tentunya." katanya dengan suara kecil. "Katanya ia mengenal tuan-tuan, tetapi kukira ia
berdusta." Kakak beradik Hardy hampir saja tertawa terbahak-bahak. Pencuri yang sangat
mengibakan itu ternyata tidak lain daripada Chet Morton!
14. Berita Sandi "Jangan pukul dia, pak Grabb!" seru Maquala ketakutan. "Ia adalah tetangga
kita." "Tetangga yang paling buruk," tukas pengurus rumah itu. "Oke, nak. Engkau boleh
masuk. Tetapi jangan coba-coba berbuat yang bukan-bukan! Aku tak ingin engkau mencuri
barang-barang milik nyonya Abby."
"Untuk apa aku mengambilnya?" kata Chet lemah.
"Mari masuk! Mari masuk, kalian berdua. Nah, ada apa sebenarnya?"
Wanita Gagah Perkasa 10 Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan Pusaka Negeri Tayli 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama